BAB II
-
Upload
alpriyando-rindy-agustinus -
Category
Documents
-
view
105 -
download
5
Transcript of BAB II
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku
2.1.1 Batasan perilaku
Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2005:43).
Skiner (1938) dalam buku Notoatmodjo (2005:43) menyatakan “perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari
luar)”. Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses: Stimulus →
Organisme → Respons, sehingga Skinner menyebut dengan teori SOR.
Skiner menjelaskan tentang dua jenis respons dalam buku Notoatmodjo
(2005:43) yaitu, respondent respons atau refleksif dan operant respons atau
instrumental respons.
Respondent respon atau reflektif yakni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena
menimbulkan respons-respons yang relatif tetap, respondent respons juga
mencakup perilaku emosional emosional (Notoatmodjo, 2005:43).
Operant respons atau instrumental respons yakni respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan lain, perangsang yang
terakhir disebut reinforcing stimuli atau reinforcer (Notoatmodjo, 2005:44).
Notoatmodjo (2005:44) menjelaskan teori SOR, maka perilaku manusia
dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu perilaku tertutup (Covert behavior) dan
perilaku terbuka (Overt behavior).
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih
belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih
terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap
terhadap stimulus yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2005:44).
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah
berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable
behavior (Notoatmodjo, 2005:44).
2.1.2 Perilaku kesehatan
Menurut Notoadmojo dalam buku Sudarma (2008:53) mengatakan bahwa
“perilaku kesehatan yaitu suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus
atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan,
makanan dan minuman, serta lingkungan”.
Kasl dan Cobb (1966) dalam buku Sudarma (2008:53) menyatakan
perbedaan definisi dengan Notoadmojo “pertama, perilaku kesehatan yaitu suatu
aktivitas dilakukan oleh individu yang meyakini dirinya sehat untuk tujuan
mencegah penyakit atau mendeteksinya dalam tahap asimptomatik. Kedua,
perilaku sakit yaitu aktivitas apapun yang dilakukan oleh individu yang merasa
sakit, untuk mendefinisi keadaan kesehatannya dan untuk menemukan pengobatan
mandiri yang tepat. Sedangkan ketiga, perilaku peran-sakit yaitu aktivitas yang
dilakukan untuk tujuan mendapatkan kesejahteraan, oleh individu yang
mempertimbangkan diri mereka sendiri sakit”.
Skiner dalam buku Notoatmodjo (2005:46) menjelaskan tentang
pengertian “perilaku kesehatan (health behavior) adalah respons seseorang
terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan
faktor-faktor yang memperngaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan,
makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan”.
Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik
yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable),
yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo,
2005:46).
2.1.3 Domain perilaku
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom dalam buku Botoatmodjo
(2005:50) dalam tiga ranah perilaku yaitu, pengetahuan (knowledge), sikap
(attitude), dan tindakan atau praktik (practice).
a) Pengetahuan (knowledge)
Bloom dalam buku Notoatmodjo (2005:50) mengatakan “pengetahuan
adalah hasil penginderaan manusia atua hasil tahu seseorang terhadap objek
melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya)”.
Bloom dalam buku Notoarmodjo (2005:50) mengatakan bahwa secara
garis besar dibagi menjadi dalam enam tingkat pengetahuan yaitu,
1) Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
2) Memahami (comprehensive)
Memahami suatu objek sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar
dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara
benar tentang objek yang diketahui tersebut.
3) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui
tersebut pada situasi yang lain.
4) Analisa (analysis)
Analisa adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang
terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui
5) Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
b) Sikap (attitute)
Sikap adalah juga suatu respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau
objek tertentu, yang sidah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan
sebagainya). Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana yaitu, “an
individual’s attitude is syndrome of response consistency with regard to object”.
Notoatmodjo (2005:54) menjelaskan sikap juga mempunyai tingkat-
tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagi berikut:
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus
yang diberikan (objek).
2) Menanggapi (responding)
Menganggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
3) Mengahargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang
positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain
bahkan mengajak atau mempengaruhi atau mengajurkan orang lain merespons.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap
apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu
berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil risiko bila ada orang lain
yang mencemooh atau adanya risiko lain.
c) Tindakan atau praktik (practice)
Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu
terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain,
yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.
Notoatmodjo (2005:55—56) menjelaskan praktik atau tindakan dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut kualitasnya, yaitu
1) Praktik terpimpin (guided response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih
tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.
2) Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikan sesuatu
hal secara otomoatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.
3) Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang.
Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi
sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.
2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan
Dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan atau lebih spesifik lagi yaitu
derajat kesehatan, perilaku manusia merupakan salah satu faktor utama dalam
terwujudnya derajat kesehatan individu secara prima (Sudarma, 2008:52).
Hendrik L. Blum dalam buku Sudarma (2008:52) memetakan bahwa
“derajat manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan salah satunya adalah
perilaku manusia itu sendiri”.
Derajat kesehatan menurut Hendrik L. Blum dalam buku Sudarma
(2008:53) menyatakan bahwa derajat kesehatan morbiditas dan mortalitas
dipengaruhi oleh empat faktor yaitu, lingkungan (45%), perilaku (30%),
pelayanan kesehatan (20%), dan keturunan (5%).
Sudarma (2008:53) merumuskan perilaku kesehatan berhubungan dengan
“(1) perilaku pencegahan, penyembuhan penyakit, serta pemulihan dari penyakit,
(2) perilaku peningkatan kesehatan, dan (3) perilaku gizi (makanan dan
minuman)”.
2.1.5 Model-model perubahan perilaku
Sudarma (2008:51—62) menjelaskan model-model perubahan perilaku
yaitu, model pengelolahan rasa sakit, model Suchman, model mechanic, model
Anderson, model keyakinan sehat, model Kurt Lewin, dan model pengambilan
keputusan.
a) Model pengelolahan rasa sakit
Teori yang dikembangkan Lehndorff dan Tracy, sesungguhnya dapat
dipetakan ulang mengenai model perilaku sakit dari sudut kemampuan dan
kemauan mengelola rasa sakit.
b) Model Suchman
Menyangkut pola sosial dari perilaku sakit yang tampak pada cara orang
mencari, menemukan, dan menemukan perawatan medis. Pendekatan yang
digunakan berkisar pada empat unsur yang merupakan faktor utama dalam
perilaku sakit, yaitu: (1) perilaku itu sendiri, (2) sekuensinya, (3) tempat atau
ruang lingkup, dan (4) variasi perilaku selama tahap-tahap perawatan medis.
Dari keempat unsur tersebut dapat dikembangkan lima konsep dasar yang
berguna dalam menganalisis perilaku sakit, yaitu: (1) mencari pertolongan medis
dari berbagai sumber atau pemberi layanan, (2) fragmentasi perawatan medis di
saat orang menerima pelayanan dari berbagai unit, tetapi pada lokasi yang sama,
(3) menangguhkan (procastination) atau menangguhkan upaya mencari
pertolongan meskipun gejala sudah dirasakan, (4) melakukan pengobatan sendiri
(self-medication), (5) membatalkan atau menghentikan pengobatan
(discontinuity).
c) Model mechanic
Landasan pemikiran model mechanic ini yaitu mengembangkan suatu
model mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan cara orang melihat,
menilai serta bertindak terhadap suatu gejala penyakit. Teori ini menekankan pada
dua factor, yaitu: (1) persepsi dan definisi oleh individu pada suatu situasi dan (2)
kemampuan individu melawan keadaan yang berat.
Mechanic menggunakan sembilan variable yang menentukan perilaku
kesehatan, yaitu: (1) adanya tanda-tanda penyimpangan dan gejala penyakit yang
dirasakan dan dikenal, (2) sebenarnya jauh gejala-gejala penyakit yang dipandang
serius oleh seseorang, (3) seberapa jauh gejala-gejala penyakit dapat
menimbulkan gangguan dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, dan kegiatan-
kegiatan sosial, (4) frekuensi terjadinya tanda-tanda penyimpangan atau gejala
penyakit, (5) batas toleransi dari orang yang menilai tanda menyimpang atau
gejala penyakit tersebut, (6) informasi yang tersedia, pengetahuan, kebudayaan,
serta pandangan orang yang menilai, (7) adanya kebutuhan pokok lain yang
menimbulkan pengabaian atau penolakan terhadap gejala tersebut, (8) adanya
kompetisi terhadap berbagai kemungkinan interaksi yang timbul setelah gejala
penyakit diketahui, dan (9) sumber pengobatan yang tersedia serta biaya yang
harus dikeluarkan.
d) Model Anderson
Anderson (1974) termasuk salah seseorang yang mengembangkan model
sistem kesehatan (health system model) yang berupa model kepercayaan
kesehatan. Kerangka asli model ini yaitu menggambarkan suatu sekuensi
determinan individu terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga dan
dinyatakan bahwa hal itu bergantung pada, yaitu: (1) presdiposisi keluarga untuk
menggunakan jasa pelayanan kesehatan misalnya saja variable demografi (umur,
jumlah, status perkawinan), variable struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, suku
bangsa), kepercayaan terhadap medis, (2) kemampuan untuk melaksanakannya,
yang terdiri atas persepsi terhadap penyakit serta evaluasi klinis terhadap klinis,
dan (3) kebutuhan terhadap jasa pelayanan. Faktor presdisposisi dan faktor yang
memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan
apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan.
e) Model Keyakinan Sehat
Empat keyakinan utama yang diidentifikasikan dalam model HBM (Health
Believe Model), yaitu: (1) keyakinan tentang kerentanan kita terhadap keadaan
sakit, (2) keyakinan tentang keseriusan atau keganasan penyakit, (3) keyakinan
tentang kemungkinan biaya, (4) keyakinan tentang efektivitas tindakan ini
sehubungan dengan adanya kemungkinan tindakan alternatif.
Menurut Marshall H. Becker dan Lois A. Maiman dalam buku Sudarma
(2005:59), model ini terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: (1) kesiapan
seseorang untuk melakukan suatu tindakan ditentukan oleh pandangan orang itu
terhadap kemungkinan akibat (fisik dan sosial) bila terserang penyakit tersebut,
(2) penilaian seseorang terhadap perilaku kesehatan tertentu, dipandang dari sudut
kebaikan dan kemanfaatan (misalnya perkiraan subjektif mengenai kemungkinan
manfaat dari suatu tindakan dalam mengurangi tingkat bahaya dan keparahan).
Kemungkinan dibandingkan dengan persepsi terhadap pengorbanan (fisik, uang,
dan lain-lain) yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan tindakan tersebut, (3)
suatu “kunci” untuk melakukan tindakan kesehatan yang tepat harus ada, baik dari
sumber internal (misalnya gejala penyakit) maupun eksternal (misalnya interaksi
interpersonal komunikasi massa).
f) Model Kurt Lewin
Kurt Lewin (1970) berpandangan bahwa individu hidup di lingkungan
masyarakat. Apabila seseorang bertindak untuk melawan atau mengatasi penyakit,
ada empat variable yang terlibat di dalamnya, yaitu: (1) kerentanan yang
dirasakan (perceived suspectibility), (2) keseriusan yang dirasakan (perceived
seriousness), (3) manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (perceived
benefits and barriers), dan (4) isyarat atau tanda-tanda (clues).
Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua
kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan
terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang, yakni: (1) kekuatan-kekuatan
pendorong meningkat, hal ini terjadi bila ada stimulus yang mendorong terjadinya
perubahan, (2) kekuatan-kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi bila ada
penurunan dari kekuatan-kekuatan penahan, sehingga terjadi usaha ke arah
perubahan, dan (3) kekuatan pendorong meningkat dan kekuatan penahan
menurun.
g) Model Pengambilan Keputusan
Dalam model ini, ada beberapa kondisi sosial yang khas yang terjadi,
yaitu: (1) realitas sosial adanya perbedaan pemahaman dan sikap antara pasien
dan anggota keluarganya, (2) perbedaan pemahaman dan sikap pasien tersebut
diwujudkan dalam bentuk persepsi atau respons terhadap penyakit (sakit), (3)
setiap di antara mereka memiliki akses informasi ke pihak lain mengenal persepsi
penyakit dan kemudian, (4) adanya komunikasi atau interaksi antara pasien dan
orang lain, (5) dari interaksi ini melahirkan dua kemungkinan akhir, yaitu masih
tetapnya persepsi masing-masing terhadap penyakit (de-kolektivasi refleksi) dan
kolektivasi persepsi, (7) pada saat ada kolektiviasi persepsi posisi si pasien ada
dua kemungkinan, yaitu sebagi posisi aktif (memliki inisiatif untuk bertindak
dalam proses penyembuhan) atau pasif (pasrah terhadap sikap orang lain di luar
dirinya) dan pada akhirnya (8) terjadilah sebuah tindakan yang menunjukkan
perilaku kesehatan dari seseorang.
2.2 Lanjut usia
2.2.1 Pengertian lanjut usia
Budi Anna Keliat (1999) dalam buku Maryam, Ekasari, Rosidawati,
Jubaedi & Batubara (2008:32) menjelaskan pengertian lansia “usia lanjut
dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia”.
Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang
Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi & Batubara, 2008:32).
2.2.2 Klasifikasi lanjut usia
Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi & Batubara (2008:33) menjelaskan
tentang klasifikasi pada lansia, yaitu
a) Pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antar 45—59.
b) Lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c) Lansia risiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan (Depkes RI, 2003).
d) Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI,
2003).
e) Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidka berbahaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
2.2.3 Karakteristik lansia
Budi Anna Keliat (1999) dalam buku Maryam, Ekasari, Rosidawati,
Jubaedi & Batubara (2008:33) menjelaskan karakteristik lansia sebagai berikut
a) Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13
tentang Kesehatan).
b) Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adatif
hingga kondisi maladaptif.
c) Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
2.2.4 Teori penuaan
Donlon dalam buku Stanley & Beare (2006:11—16) menjelaskan ada
beberapa jenis teori penuaan, yaitu teori biologis, teori genetika, teori wear-and-
tear, teori imunitas, teori neuroendokrin, teori psikososiologis, teori kepribadian,
teori tugas perkembangan, teori disengagement, teori aktivitas, dan teori
kontiuitas.
Teori biologis menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan
fungsi, dan struktur, pengembangan, panjang usia, dan kematian. Perubahan-
perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekular dan seluler dalam sistem
organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan
penyakit (Stenley & Beare, 2006:11—12).
Tabel Karekteristik Biologis Penuaan
a) Peningkatan usia harapan hidup, tetapi mortalitas tidak dapat dihindari.
b) Penuaan dapat ditemukan di dalam sel, molekul, jaringan, dan massa
tulang.
c) Perusakan bersifat progresif dan tidak tertandingi serta mempengaruhi
semua sistem hidup.
d) Diperlukan waktu yang panjang untuk kembali dari periode serangan,
kelelahan, dan stres.
e) Peningkatan kerentanan terhadap infeksi, kanker, dan penyakit lain yang
berhubungan dengan pertambahan usia.
Sumber: Disadur dari Cristofalo, VJ: Biological mechanism of aging. Dalam buku
Stanley & Beare (2006:13).
Teori genetika dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan
pada pembentukan kode genetik. Menurut teori genetika, proses penuaan adalah
suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalanan dari waktu ke
waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan. Teori genetika terdiri dari teori
asam deoksiribonukleat (DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi somatik,
dan teori glikogen. Proses replikasi yang tidak teratur karena adanya informasi
yang tidak sesuai, molekul DNA saling bersilangan dengan unsure yang lain
(crosslink) sehingga mengubah informasi genetik. Sehingga menyebabkan sistem
dan organ tubuh gagal untuk berfungsi (Stanley & Beare, 2006:12).
Teori wear-and-tear mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau
zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA. Radikal bebas merupakan contoh dari
produk sampah metabolisme yang menyababkan kerusakan ketika akumulasi
terjadi (Stanley & Beare, 2006:12).
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam suatu imun yang
berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka
terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan
untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan
berkurangnya fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan dalam respons autoimun
tubuh (Stanley & Beare, 2006:13).
Teori neuroendokrin yang mengalami gangguan secara universal akibat
penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memperoses, dan
bereaksi terhadap perintah. Dikenal dengan perlambatan tingkah laku, respons ini
kadang-kadang diinterpretasikan sebagai tindakan melawan, ketulian, atau
kurangnya pengetahuan (Stanley & Beare, 2006:14).
Kepribadian adalah suatu wilayah pertumbuhan yang subur dalam tahun-
tahun akhir dalam tahun-tahun akhir kehidupan dan telah merangsang penelitian
yang pantas dipertimbangkan. Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek
pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas secara spesifik
lansia (Stanley & Beare, 2006:14).
Teori tugas perkembangan menurut Erickson menguraikan tugas utama
lansia adalah mampu melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang
dijalani dengan integritas (Stanley & Beare, 2006:15).
Teori disengagement (teori pemutusan hubungan), dikembangkan pertama
kali pada tahun 1960-an menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari
peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya (Stanley & Beare, 2006:15).
Teori aktivitas ini berlawanan dengan teori disengagement adalah teori
aktivitas penuaan, yang berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses
adalah dengan cara tetap aktif (Stanley & Beare, 2006:15).
Teori kontinuitas atau teori perkembangan merupakan suatu kelanjutan dari
dua teori sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan dampak kepribadian pada
kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai kebahagian dan
terpenuhinya kebutuhan di usia tua (Stanley & Beare, 2006:15).
2.3 Osteoporosis
2.3.1 Pengertian osteoporosis
Osteoporosis, which literally means porous bone, is a disease in which the
density and quality of bone are reduced. As bones become more porous and
fragile, the risk of fracture is greatly increased. The loss of bone occurs silently
and progressively. Often there are no symptoms until the first fracture occurs
(International Osteoporosis Foundation).
Osteoporosis adalah suatu kondisi penurunan masa tulang secara
keseluruhan, merupakan suatu keadaan tidak mampu berjalan/bergerak, sering
merupakan penyakit tulang yang menyakitkan yang terjadi dalam proporsi
epidemic (Stanley & Beare, 2006:158).
Kelompok kerja World Health Organisation (WHO) dan consensus ahli
mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan rendahnya
massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang sehingga
meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Osteoporosis adalah penyakit tulang
sistemik dan fraktur osteoporosis dapat terjadi pada setiap tempat (Zaviera,
2007:16).
2.3.2 Etiologi
Zaviera (2007:27—31) mengatakan bahwa penyakit osteoporosi dibagi
menjadi dua, yaitu
a) Osteoporosis primer
Jenis osteoporosis ini faktor pemicunya adalah merokok, aktivitas,
pubertas tertunda, berat badan rendah, alkohol, ras kulit putih/asia, riwayat
keluarga, postur tubuh, dan asupan kalsium yang rendah. Osteoporosis primer ini
dibagi menjadi dua, yaitu
1) Tipe I (Post-menopausal)
Terjadi 15—20 tahun setelah menopause (53—75 tahun). Ditandai oleh
fraktur tulang belakang tipe crush, Colles’ fracture, dan berkurangnya gigi geligi.
Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut di mana
jaringan trabekular lebih beresponsif terhadap defisiensi estrogen.
2) Tipe II (Senile)
Terjadi pada pria dan wanita usia lebih dari sama dengan 70 tahun.
Ditandai dengan fraktur tulang panggul dan tulang belakang tipe wedge.
Hilangnya masa tulang kortikal terbesar terjadinya pada usia tersebut.
b) Osteoporosis skunder
Osteoporosis jenis ini dapat terjadi pada semua kelompok umur.
Penyebabkan meliputi ekses kortikosteroid, hipertiroid, multiple myeloma,
malnutrisi, defisiensi estrogen, hiperparatiroidisme, faktor genetika, dan obat-
obatan.
Tabel Penyebab Osteoporosis Sekunder pada Dewasa
Penyebab endokrin
atau penyebab
metabolik
Keadaan
malnutrisi
Obat-obatan Metabolisme
kolagen
abnormal
Lain-lain
Hipogonadisme Malabsorb
si
Keracunan
Vitamin D
Osteogenesis
imperfect
Arthritis
Reumatoid
Hiperadrenokortis Sindrome Phenytoin Homosistinur Myeloma &
me malnutrisi ia yang
mengarah
pada
Cystathionine
deficiency
Cancer
Tirotoksikosis Penyakit
hati kronik
Glukokortoko
id
Sindrome
Ehlers-
Danlos
Immobilisasi
Anorexia Nervosa Operasi
lambung
Phenobarbita
l
Sindrome
Marfan
Asidosis
tubulus
ginjal
Hiperprolaktinemi
a
Defisiensi
Vitamin D
Terapi Tiroid
be>
Thalasemia
Porphyria Defisiensi
kalsium
Heparin Mastositosis
Hipophosphatasia
(dewasa)
Alkoholism
e
Gonaditropin
-releasing
hormone
Hiperkalsiuri
a COPD
Diabetes Melitus
tipe 1
Antagonis Transplantas
i Organ
Kehamilan Cholestatis
liver
Hiperparatiroid
Akromegali
*COPD=penyakit obstruksi paru kronik
Sumber: Zaviera, F. 2007. Osteoporosis: Deteksi Dini, Penanganan, dan Terapi
Praktis. Jogjakarta: Katahati.
Zaviera (2007:33—35) mengatakan bahwa penyebab osteoporosis adalah
sebagai berikut: (1) Osteoporosis postmenopausal, (2) Osteoporosis senilis, (3)
Osteoporosis skunder, dan (4) Osteoporosis juvenile idiopatik.
Zaviera (2007:35—39) menjelaskan faktor-faktor penyebab osteoporosis
adalah
a) Kekurangan kalsium
Kekurangan kalsium sepanjang hidup, terutama di masa kecil dan remaja
di mana terjadi pembentukan masa tulang yang maksimal merupakan penyebab
utama osteoporosis
b) Faktor genetik
Faktor genetik berperan penting dalam penentuan massa tulang puncak.
Jika keluarga ada yang mempunyai riwayat osteoporosis, maka 80% risiko
osteoporosis. Sedangkan 20% tergantung pada olahraga dan pola makan sehari-
hari.
c) Pengobatan
Pengobatan dapat menyebabkan penurunan massa tulang, misalnya obat
kortison (cortison) yang dipakai untuk penyakit rematik (rheumatoid arthritis)
dan penyakit asma; heparin untuk penyakit jantung dan penyakit tekanan darah
tinggi efek sampingnya meningkatkan risiko osteoporosis. Kerusakan sel-sel
tulang yang disebabkan oleh pengobatan sinar radiasi atau kemoterapi juga dapat
meningkatkan risiko osteoporosis.
d) Gangguan fisiologis
Seperti penyakit pada usus kecil, hati, dan pankreas, serta faktor gaya
hidup seperti mengkonsumsi minuman beralkohol dan merokok, juga dapat
mengurangi penyerapan kalsium.
e) Kafein
Konsumsi kafein atau minuman yang mengandung kafein seperti kopi, the,
dan cola secara berlebihan terbukti dapat meningkatkan pengeluaran kalsium
melalui air seni dan tinja.
f) Perubahan Hormonal
Perubahan hormonal seperti menopause dapat menurunkan kemampuan
tubuh untuk menyerap kalsium secara drastic. Karena turunya kadar gula
estrogen, maka penyerapan kalsium pada wanita menopause menjadi tidak efisien.
g) Konsumsi kalsium rendah
Konsumsi klasium rendah disertai menurunnya kemampuan tubuh
menyerap kalsium, yang umumnya terjadi pada orang tua, dapat menyebabkan
osteoporosis.
h) Kehilangan kalsium
Kalsium dibuang melalui kulit, air, seni, dan tinja. Semua kalsium yang
hilang harus diganti kembali dengan kalsium yang diperoleh dari makanan
sehingga kekuatan tulang dapat dipertahankan.
i) Kurang bergerak
Kurang gerak daapt mempercepat dan memperparah terjadinya
osteoporosis. Penurunan massa tulang terjadi selama kurang gerak, misalnya
seseorang dalam jangka panjang beristirahat di tempat tidur atau duduk di kursi
roda.
j) Kurang vitamin D
Vitamin D sangat berperan penting bagi pemanfaatan kalsium yang
effisien terutama bila konsumsi kalsium rendah. Kekurangan vitamin D jarang
terjadi pada penduduk Indonesia karena selalu mendapat sinar matahari sepanjang
tahun.
2.3.3 Gejala osteoporosis
Wanita yang merupakan penderita osteoporosis paling dominan, dengan
gejala osteoporosis mulai memiliki masalah seperti, nyeri tulang dan sendi, patah
tulang, perubahan bentuk tulang (Zaviera, 2007:46).
Semakin lama tubuh memendek, organ tubuh pun menjadi berdekatan,
karena tulang sebagai penyangga tubuh tidak mampu menopangnya. Maka
mulailah terjadi perubahan dalam tubuh orang tersebut, seperti: sesak napas, perut
terasa kenyang terus, padahal belum makan, nafsu makan hilang sehingga asupan
gizi kurang (Zaviera, 2007:47).
Gejala-gejala baru yang timbul pada tahap osteoporosis lanjut diantaranya
adalah sebagai berikut: patah tulang, punggung semakin membungkuk, hilangnya
tinggi badan, nyeri punggung (Zaviera, 2007:47).
2.3.4 Kiat mencegah osteoporosis
Zaviera (2007:78—83) mengatakan bahwa untuk mencegah osteoporosis,
faktor-faktor penting yang menentukan puncak massa tulang, yaitu:
a) Nutrisi seimbang
Osteoporosis dapat dicegah dengan nutrisi yang seimbang. Nutrisi yang
seimbang adalah makanan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan tubuh,
secara kuantitas dan kualitasnya. Kehadiran suatu zat yang esensial dapat
mempengaruhi ketersediaan, absorbsi (penyerapan), metabolisme (pertukaran zat)
atau kebutuhan zat gizi lainnya.
b) Hindari minuman yang berakhohol dan merokok serta batasi minum kopi
Peminum alcohol berkontribusi pada kehilangan tulang dan kejadian patah
tulang. Kepadatan mineral tulang lebih rendah secara bermakna pada wanita
dengan asupan alcohol lebih dari 30 gram/hari dibanding bukan peminum alcohol.
Merokok yang berkepanjangan akan berpengaruh terhadap osteoporosis.
Analisi suatu penelitian bahwa semakin banyak wanita yang merokok, semakin
tinggi berisiko untuk patah tulang.
Konsumsi kafein juga berkontribusi terhadap osteoporosis. Asupan kafein
lebih lebih dari dua cangkir sehari seumur hidup akan berhubungan dengan
rendahnya densitas (kepadatan) tulang wanita lanjut.
c) Kegiatan fisik dan olahraga teratur
Pencegahan osteoporosis pemenuhan nutrisi saja tidak cukup tanpa
dibarengi kegiatan fisik dan olahraga yang teratur. Ada senam osteoporosis untuk
pencegahan pengeroposan tulang.
Ada empat gerakan yang dilarang bagi penderita osteoporosis, yakni
melompat, membungkuk dengan posisi punggu ke depan, seperti gerakan
mengambil sesuatu di lantai, menggerakan kaki ke samping atau kea rah depan ke
belakang.
Empat gerakan yang dianjurkan adalah aerobic ringan, jalan kaki,
berenang, tidur tengkurap dengan menaikkan kaki seberapa inci dari lantai
beberapa menit. Sebelum olahraga harus pemanasan dulu harus 5—10 menit
kemudian peregangan.
Tabel Jenis Makanan Mengandung Kalsium
Jenis Makanan Berat (mg/100gram)
Ayam 14
Pisang 26
Telur 54
Kankung 73
Tahu 124
Tempe 129
Selada Air 182
Kepiting 210
Sawi 220
Katuk 204
Bayam 267
Sarden 354
Keju 777
Susu Bayi 800
Susu Full Cream 904
Teri kering 1000
Wijen 1125
Susu Skim 1300
Rebon kering 2306
Sumber: Zaviera, F. 2007. Osteoporosis: Deteksi Dini, Penanganan, dan Terapi
Praktis. Jogjakarta: Katahati.
Menurut International Osteoporosis Foundation (IOF) mengatakan bahwa
Recommended daily calcium intakes for populations vary between countries. The
FAO/WHO (2002) recommendations, based on data from several countries, are
as follows:
Infants and Children Calcium (mg/day)
0—6 months 300-400
7—12 months 400
1—3 years 500
4—6 years 600
7—9 years 700
Adolescents Calcium (mg/day)
10—18 years 1300
Women Calcium (mg/day)
19 years to menopause 1000
Post-menopause 1300
During pregnancy (last trimester) 1200
Lactation 1000
Men Calcium (mg/day)
19—65 years 1000
65+ years 1300
2.4 Kerangka konsep dan hipotesis penelitian
2.4.1 Kerangka konsep
Keterangan:
= diteliti
= tidak diteliti
DERAJAT KESEHATAN 1. Lingkungan2. Perilaku3. Pelayanan Kesehatan4. Keturunan
PERILAKU MINUM SUSU
Perilaku Pencegahan Osteoporosis
Perilaku peningkatan kesehatan
Perilaku gizi
2.4.2 Hipotesis penelitian
Notoatmodjo (2010:105) menyatakan pendapatan tentang hipotesis “hasil
suatu penelitian pada hakikatnya adalah suatu jawaban atau pertanyaan penelitian
yang telah dirumuskan perencanaan penelitian. … Jadi, hipotesis di dalam suatu
penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil
sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut”.
Jenis-jenis rumusan hipotesis digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1)
Hipotesis kerja, (2) Hipotesis Nol atau Hipotesis Statistik, dan (3) Hipotesis
hubungnan dan hipotesis perbedaan (Notoatmodjo, 2010:108—111). Untuk
penelitian ini menggunakan Hipotesis Nol atau Hipotesis Statistik. Berdasarkan
isinya dibagi menjadi dua, yaitu (1) Hipotesis Nol (H0) penelitian ini adalah ada
pengaruh pola perilaku minum susu terhadap pencegah osteoporosis, (2) Hipotesis
alternatif (Ha) penelitian ini adalah tidak ada pengaruh pola perilaku minum susu
terhadap pencegahan osteoporosis. Notoatmodjo (2010:110) mengatakan bahwa
“hipotesis nol biasanya menggunakan rumus H0 (misalnya, H0:x=y), sedangkan
hipotesis alternatif menggunakan symbol Ha (misalnya, Ha:x=>y)”.