BAB II

41
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku 2.1.1 Batasan perilaku Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2005:43). Skiner (1938) dalam buku Notoatmodjo (2005:43) menyatakan “perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar)”. Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses: Stimulus → Organisme → Respons, sehingga Skinner menyebut dengan teori SOR. Skiner menjelaskan tentang dua jenis respons dalam buku Notoatmodjo (2005:43) yaitu, respondent respons atau refleksif dan operant respons atau instrumental respons. Respondent respon atau reflektif yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus)

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku

2.1.1 Batasan perilaku

Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas

organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2005:43).

Skiner (1938) dalam buku Notoatmodjo (2005:43) menyatakan “perilaku

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari

luar)”. Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses: Stimulus →

Organisme → Respons, sehingga Skinner menyebut dengan teori SOR.

Skiner menjelaskan tentang dua jenis respons dalam buku Notoatmodjo

(2005:43) yaitu, respondent respons atau refleksif dan operant respons atau

instrumental respons.

Respondent respon atau reflektif yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena

menimbulkan respons-respons yang relatif tetap, respondent respons juga

mencakup perilaku emosional emosional (Notoatmodjo, 2005:43).

Operant respons atau instrumental respons yakni respons yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan lain, perangsang yang

terakhir disebut reinforcing stimuli atau reinforcer (Notoatmodjo, 2005:44).

Page 2: BAB II

Notoatmodjo (2005:44) menjelaskan teori SOR, maka perilaku manusia

dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu perilaku tertutup (Covert behavior) dan

perilaku terbuka (Overt behavior).

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih

belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih

terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap

terhadap stimulus yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2005:44).

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah

berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau observable

behavior (Notoatmodjo, 2005:44).

2.1.2 Perilaku kesehatan

Menurut Notoadmojo dalam buku Sudarma (2008:53) mengatakan bahwa

“perilaku kesehatan yaitu suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus

atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan,

makanan dan minuman, serta lingkungan”.

Kasl dan Cobb (1966) dalam buku Sudarma (2008:53) menyatakan

perbedaan definisi dengan Notoadmojo “pertama, perilaku kesehatan yaitu suatu

aktivitas dilakukan oleh individu yang meyakini dirinya sehat untuk tujuan

mencegah penyakit atau mendeteksinya dalam tahap asimptomatik. Kedua,

perilaku sakit yaitu aktivitas apapun yang dilakukan oleh individu yang merasa

sakit, untuk mendefinisi keadaan kesehatannya dan untuk menemukan pengobatan

mandiri yang tepat. Sedangkan ketiga, perilaku peran-sakit yaitu aktivitas yang

Page 3: BAB II

dilakukan untuk tujuan mendapatkan kesejahteraan, oleh individu yang

mempertimbangkan diri mereka sendiri sakit”.

Skiner dalam buku Notoatmodjo (2005:46) menjelaskan tentang

pengertian “perilaku kesehatan (health behavior) adalah respons seseorang

terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan

faktor-faktor yang memperngaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan,

makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan”.

Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik

yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable),

yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo,

2005:46).

2.1.3 Domain perilaku

Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom dalam buku Botoatmodjo

(2005:50) dalam tiga ranah perilaku yaitu, pengetahuan (knowledge), sikap

(attitude), dan tindakan atau praktik (practice).

a) Pengetahuan (knowledge)

Bloom dalam buku Notoatmodjo (2005:50) mengatakan “pengetahuan

adalah hasil penginderaan manusia atua hasil tahu seseorang terhadap objek

melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya)”.

Bloom dalam buku Notoarmodjo (2005:50) mengatakan bahwa secara

garis besar dibagi menjadi dalam enam tingkat pengetahuan yaitu,

1) Tahu (know)

Page 4: BAB II

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

2) Memahami (comprehensive)

Memahami suatu objek sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar

dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara

benar tentang objek yang diketahui tersebut.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui

tersebut pada situasi yang lain.

4) Analisa (analysis)

Analisa adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen

pengetahuan yang dimiliki.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.

b) Sikap (attitute)

Page 5: BAB II

Sikap adalah juga suatu respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau

objek tertentu, yang sidah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang

bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan

sebagainya). Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana yaitu, “an

individual’s attitude is syndrome of response consistency with regard to object”.

Notoatmodjo (2005:54) menjelaskan sikap juga mempunyai tingkat-

tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagi berikut:

1) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus

yang diberikan (objek).

2) Menanggapi (responding)

Menganggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan

terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

3) Mengahargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang

positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain

bahkan mengajak atau mempengaruhi atau mengajurkan orang lain merespons.

4) Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap

apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu

berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil risiko bila ada orang lain

yang mencemooh atau adanya risiko lain.

c) Tindakan atau praktik (practice)

Page 6: BAB II

Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu

terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain,

yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

Notoatmodjo (2005:55—56) menjelaskan praktik atau tindakan dapat

dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut kualitasnya, yaitu

1) Praktik terpimpin (guided response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih

tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.

2) Praktik secara mekanisme (mechanism)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikan sesuatu

hal secara otomoatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.

3) Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang.

Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi

sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan

Dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan atau lebih spesifik lagi yaitu

derajat kesehatan, perilaku manusia merupakan salah satu faktor utama dalam

terwujudnya derajat kesehatan individu secara prima (Sudarma, 2008:52).

Hendrik L. Blum dalam buku Sudarma (2008:52) memetakan bahwa

“derajat manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan salah satunya adalah

perilaku manusia itu sendiri”.

Page 7: BAB II

Derajat kesehatan menurut Hendrik L. Blum dalam buku Sudarma

(2008:53) menyatakan bahwa derajat kesehatan morbiditas dan mortalitas

dipengaruhi oleh empat faktor yaitu, lingkungan (45%), perilaku (30%),

pelayanan kesehatan (20%), dan keturunan (5%).

Sudarma (2008:53) merumuskan perilaku kesehatan berhubungan dengan

“(1) perilaku pencegahan, penyembuhan penyakit, serta pemulihan dari penyakit,

(2) perilaku peningkatan kesehatan, dan (3) perilaku gizi (makanan dan

minuman)”.

2.1.5 Model-model perubahan perilaku

Sudarma (2008:51—62) menjelaskan model-model perubahan perilaku

yaitu, model pengelolahan rasa sakit, model Suchman, model mechanic, model

Anderson, model keyakinan sehat, model Kurt Lewin, dan model pengambilan

keputusan.

a) Model pengelolahan rasa sakit

Teori yang dikembangkan Lehndorff dan Tracy, sesungguhnya dapat

dipetakan ulang mengenai model perilaku sakit dari sudut kemampuan dan

kemauan mengelola rasa sakit.

b) Model Suchman

Menyangkut pola sosial dari perilaku sakit yang tampak pada cara orang

mencari, menemukan, dan menemukan perawatan medis. Pendekatan yang

digunakan berkisar pada empat unsur yang merupakan faktor utama dalam

perilaku sakit, yaitu: (1) perilaku itu sendiri, (2) sekuensinya, (3) tempat atau

ruang lingkup, dan (4) variasi perilaku selama tahap-tahap perawatan medis.

Page 8: BAB II

Dari keempat unsur tersebut dapat dikembangkan lima konsep dasar yang

berguna dalam menganalisis perilaku sakit, yaitu: (1) mencari pertolongan medis

dari berbagai sumber atau pemberi layanan, (2) fragmentasi perawatan medis di

saat orang menerima pelayanan dari berbagai unit, tetapi pada lokasi yang sama,

(3) menangguhkan (procastination) atau menangguhkan upaya mencari

pertolongan meskipun gejala sudah dirasakan, (4) melakukan pengobatan sendiri

(self-medication), (5) membatalkan atau menghentikan pengobatan

(discontinuity).

c) Model mechanic

Landasan pemikiran model mechanic ini yaitu mengembangkan suatu

model mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan cara orang melihat,

menilai serta bertindak terhadap suatu gejala penyakit. Teori ini menekankan pada

dua factor, yaitu: (1) persepsi dan definisi oleh individu pada suatu situasi dan (2)

kemampuan individu melawan keadaan yang berat.

Mechanic menggunakan sembilan variable yang menentukan perilaku

kesehatan, yaitu: (1) adanya tanda-tanda penyimpangan dan gejala penyakit yang

dirasakan dan dikenal, (2) sebenarnya jauh gejala-gejala penyakit yang dipandang

serius oleh seseorang, (3) seberapa jauh gejala-gejala penyakit dapat

menimbulkan gangguan dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, dan kegiatan-

kegiatan sosial, (4) frekuensi terjadinya tanda-tanda penyimpangan atau gejala

penyakit, (5) batas toleransi dari orang yang menilai tanda menyimpang atau

gejala penyakit tersebut, (6) informasi yang tersedia, pengetahuan, kebudayaan,

serta pandangan orang yang menilai, (7) adanya kebutuhan pokok lain yang

Page 9: BAB II

menimbulkan pengabaian atau penolakan terhadap gejala tersebut, (8) adanya

kompetisi terhadap berbagai kemungkinan interaksi yang timbul setelah gejala

penyakit diketahui, dan (9) sumber pengobatan yang tersedia serta biaya yang

harus dikeluarkan.

d) Model Anderson

Anderson (1974) termasuk salah seseorang yang mengembangkan model

sistem kesehatan (health system model) yang berupa model kepercayaan

kesehatan. Kerangka asli model ini yaitu menggambarkan suatu sekuensi

determinan individu terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga dan

dinyatakan bahwa hal itu bergantung pada, yaitu: (1) presdiposisi keluarga untuk

menggunakan jasa pelayanan kesehatan misalnya saja variable demografi (umur,

jumlah, status perkawinan), variable struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, suku

bangsa), kepercayaan terhadap medis, (2) kemampuan untuk melaksanakannya,

yang terdiri atas persepsi terhadap penyakit serta evaluasi klinis terhadap klinis,

dan (3) kebutuhan terhadap jasa pelayanan. Faktor presdisposisi dan faktor yang

memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan

apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan.

e) Model Keyakinan Sehat

Empat keyakinan utama yang diidentifikasikan dalam model HBM (Health

Believe Model), yaitu: (1) keyakinan tentang kerentanan kita terhadap keadaan

sakit, (2) keyakinan tentang keseriusan atau keganasan penyakit, (3) keyakinan

tentang kemungkinan biaya, (4) keyakinan tentang efektivitas tindakan ini

sehubungan dengan adanya kemungkinan tindakan alternatif.

Page 10: BAB II

Menurut Marshall H. Becker dan Lois A. Maiman dalam buku Sudarma

(2005:59), model ini terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: (1) kesiapan

seseorang untuk melakukan suatu tindakan ditentukan oleh pandangan orang itu

terhadap kemungkinan akibat (fisik dan sosial) bila terserang penyakit tersebut,

(2) penilaian seseorang terhadap perilaku kesehatan tertentu, dipandang dari sudut

kebaikan dan kemanfaatan (misalnya perkiraan subjektif mengenai kemungkinan

manfaat dari suatu tindakan dalam mengurangi tingkat bahaya dan keparahan).

Kemungkinan dibandingkan dengan persepsi terhadap pengorbanan (fisik, uang,

dan lain-lain) yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan tindakan tersebut, (3)

suatu “kunci” untuk melakukan tindakan kesehatan yang tepat harus ada, baik dari

sumber internal (misalnya gejala penyakit) maupun eksternal (misalnya interaksi

interpersonal komunikasi massa).

f) Model Kurt Lewin

Kurt Lewin (1970) berpandangan bahwa individu hidup di lingkungan

masyarakat. Apabila seseorang bertindak untuk melawan atau mengatasi penyakit,

ada empat variable yang terlibat di dalamnya, yaitu: (1) kerentanan yang

dirasakan (perceived suspectibility), (2) keseriusan yang dirasakan (perceived

seriousness), (3) manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (perceived

benefits and barriers), dan (4) isyarat atau tanda-tanda (clues).

Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua

kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan

terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang, yakni: (1) kekuatan-kekuatan

pendorong meningkat, hal ini terjadi bila ada stimulus yang mendorong terjadinya

Page 11: BAB II

perubahan, (2) kekuatan-kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi bila ada

penurunan dari kekuatan-kekuatan penahan, sehingga terjadi usaha ke arah

perubahan, dan (3) kekuatan pendorong meningkat dan kekuatan penahan

menurun.

g) Model Pengambilan Keputusan

Dalam model ini, ada beberapa kondisi sosial yang khas yang terjadi,

yaitu: (1) realitas sosial adanya perbedaan pemahaman dan sikap antara pasien

dan anggota keluarganya, (2) perbedaan pemahaman dan sikap pasien tersebut

diwujudkan dalam bentuk persepsi atau respons terhadap penyakit (sakit), (3)

setiap di antara mereka memiliki akses informasi ke pihak lain mengenal persepsi

penyakit dan kemudian, (4) adanya komunikasi atau interaksi antara pasien dan

orang lain, (5) dari interaksi ini melahirkan dua kemungkinan akhir, yaitu masih

tetapnya persepsi masing-masing terhadap penyakit (de-kolektivasi refleksi) dan

kolektivasi persepsi, (7) pada saat ada kolektiviasi persepsi posisi si pasien ada

dua kemungkinan, yaitu sebagi posisi aktif (memliki inisiatif untuk bertindak

dalam proses penyembuhan) atau pasif (pasrah terhadap sikap orang lain di luar

dirinya) dan pada akhirnya (8) terjadilah sebuah tindakan yang menunjukkan

perilaku kesehatan dari seseorang.

2.2 Lanjut usia

2.2.1 Pengertian lanjut usia

Budi Anna Keliat (1999) dalam buku Maryam, Ekasari, Rosidawati,

Jubaedi & Batubara (2008:32) menjelaskan pengertian lansia “usia lanjut

dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia”.

Page 12: BAB II

Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang

Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia

lebih dari 60 tahun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi & Batubara, 2008:32).

2.2.2 Klasifikasi lanjut usia

Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi & Batubara (2008:33) menjelaskan

tentang klasifikasi pada lansia, yaitu

a) Pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antar 45—59.

b) Lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c) Lansia risiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau

lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah

kesehatan (Depkes RI, 2003).

d) Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan

dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI,

2003).

e) Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidka berbahaya mencari nafkah,

sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

2.2.3 Karakteristik lansia

Budi Anna Keliat (1999) dalam buku Maryam, Ekasari, Rosidawati,

Jubaedi & Batubara (2008:33) menjelaskan karakteristik lansia sebagai berikut

a) Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13

tentang Kesehatan).

Page 13: BAB II

b) Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,

dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adatif

hingga kondisi maladaptif.

c) Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

2.2.4 Teori penuaan

Donlon dalam buku Stanley & Beare (2006:11—16) menjelaskan ada

beberapa jenis teori penuaan, yaitu teori biologis, teori genetika, teori wear-and-

tear, teori imunitas, teori neuroendokrin, teori psikososiologis, teori kepribadian,

teori tugas perkembangan, teori disengagement, teori aktivitas, dan teori

kontiuitas.

Teori biologis menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan

fungsi, dan struktur, pengembangan, panjang usia, dan kematian. Perubahan-

perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekular dan seluler dalam sistem

organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan

penyakit (Stenley & Beare, 2006:11—12).

Tabel Karekteristik Biologis Penuaan

a) Peningkatan usia harapan hidup, tetapi mortalitas tidak dapat dihindari.

b) Penuaan dapat ditemukan di dalam sel, molekul, jaringan, dan massa

tulang.

c) Perusakan bersifat progresif dan tidak tertandingi serta mempengaruhi

semua sistem hidup.

d) Diperlukan waktu yang panjang untuk kembali dari periode serangan,

kelelahan, dan stres.

Page 14: BAB II

e) Peningkatan kerentanan terhadap infeksi, kanker, dan penyakit lain yang

berhubungan dengan pertambahan usia.

Sumber: Disadur dari Cristofalo, VJ: Biological mechanism of aging. Dalam buku

Stanley & Beare (2006:13).

Teori genetika dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan

pada pembentukan kode genetik. Menurut teori genetika, proses penuaan adalah

suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalanan dari waktu ke

waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan. Teori genetika terdiri dari teori

asam deoksiribonukleat (DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi somatik,

dan teori glikogen. Proses replikasi yang tidak teratur karena adanya informasi

yang tidak sesuai, molekul DNA saling bersilangan dengan unsure yang lain

(crosslink) sehingga mengubah informasi genetik. Sehingga menyebabkan sistem

dan organ tubuh gagal untuk berfungsi (Stanley & Beare, 2006:12).

Teori wear-and-tear mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau

zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA. Radikal bebas merupakan contoh dari

produk sampah metabolisme yang menyababkan kerusakan ketika akumulasi

terjadi (Stanley & Beare, 2006:12).

Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam suatu imun yang

berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka

terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan

untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan

berkurangnya fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan dalam respons autoimun

tubuh (Stanley & Beare, 2006:13).

Page 15: BAB II

Teori neuroendokrin yang mengalami gangguan secara universal akibat

penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memperoses, dan

bereaksi terhadap perintah. Dikenal dengan perlambatan tingkah laku, respons ini

kadang-kadang diinterpretasikan sebagai tindakan melawan, ketulian, atau

kurangnya pengetahuan (Stanley & Beare, 2006:14).

Kepribadian adalah suatu wilayah pertumbuhan yang subur dalam tahun-

tahun akhir dalam tahun-tahun akhir kehidupan dan telah merangsang penelitian

yang pantas dipertimbangkan. Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek

pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas secara spesifik

lansia (Stanley & Beare, 2006:14).

Teori tugas perkembangan menurut Erickson menguraikan tugas utama

lansia adalah mampu melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang

dijalani dengan integritas (Stanley & Beare, 2006:15).

Teori disengagement (teori pemutusan hubungan), dikembangkan pertama

kali pada tahun 1960-an menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari

peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya (Stanley & Beare, 2006:15).

Teori aktivitas ini berlawanan dengan teori disengagement adalah teori

aktivitas penuaan, yang berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses

adalah dengan cara tetap aktif (Stanley & Beare, 2006:15).

Teori kontinuitas atau teori perkembangan merupakan suatu kelanjutan dari

dua teori sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan dampak kepribadian pada

kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai kebahagian dan

terpenuhinya kebutuhan di usia tua (Stanley & Beare, 2006:15).

Page 16: BAB II

2.3 Osteoporosis

2.3.1 Pengertian osteoporosis

Osteoporosis, which literally means porous bone, is a disease in which the

density and quality of bone are reduced. As bones become more porous and

fragile, the risk of fracture is greatly increased. The loss of bone occurs silently

and progressively. Often there are no symptoms until the first fracture occurs

(International Osteoporosis Foundation).

Osteoporosis adalah suatu kondisi penurunan masa tulang secara

keseluruhan, merupakan suatu keadaan tidak mampu berjalan/bergerak, sering

merupakan penyakit tulang yang menyakitkan yang terjadi dalam proporsi

epidemic (Stanley & Beare, 2006:158).

Kelompok kerja World Health Organisation (WHO) dan consensus ahli

mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan rendahnya

massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang sehingga

meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Osteoporosis adalah penyakit tulang

sistemik dan fraktur osteoporosis dapat terjadi pada setiap tempat (Zaviera,

2007:16).

2.3.2 Etiologi

Zaviera (2007:27—31) mengatakan bahwa penyakit osteoporosi dibagi

menjadi dua, yaitu

a) Osteoporosis primer

Jenis osteoporosis ini faktor pemicunya adalah merokok, aktivitas,

pubertas tertunda, berat badan rendah, alkohol, ras kulit putih/asia, riwayat

Page 17: BAB II

keluarga, postur tubuh, dan asupan kalsium yang rendah. Osteoporosis primer ini

dibagi menjadi dua, yaitu

1) Tipe I (Post-menopausal)

Terjadi 15—20 tahun setelah menopause (53—75 tahun). Ditandai oleh

fraktur tulang belakang tipe crush, Colles’ fracture, dan berkurangnya gigi geligi.

Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut di mana

jaringan trabekular lebih beresponsif terhadap defisiensi estrogen.

2) Tipe II (Senile)

Terjadi pada pria dan wanita usia lebih dari sama dengan 70 tahun.

Ditandai dengan fraktur tulang panggul dan tulang belakang tipe wedge.

Hilangnya masa tulang kortikal terbesar terjadinya pada usia tersebut.

b) Osteoporosis skunder

Osteoporosis jenis ini dapat terjadi pada semua kelompok umur.

Penyebabkan meliputi ekses kortikosteroid, hipertiroid, multiple myeloma,

malnutrisi, defisiensi estrogen, hiperparatiroidisme, faktor genetika, dan obat-

obatan.

Tabel Penyebab Osteoporosis Sekunder pada Dewasa

Penyebab endokrin

atau penyebab

metabolik

Keadaan

malnutrisi

Obat-obatan Metabolisme

kolagen

abnormal

Lain-lain

Hipogonadisme Malabsorb

si

Keracunan

Vitamin D

Osteogenesis

imperfect

Arthritis

Reumatoid

Hiperadrenokortis Sindrome Phenytoin Homosistinur Myeloma &

Page 18: BAB II

me malnutrisi ia yang

mengarah

pada

Cystathionine

deficiency

Cancer

Tirotoksikosis Penyakit

hati kronik

Glukokortoko

id

Sindrome

Ehlers-

Danlos

Immobilisasi

Anorexia Nervosa Operasi

lambung

Phenobarbita

l

Sindrome

Marfan

Asidosis

tubulus

ginjal

Hiperprolaktinemi

a

Defisiensi

Vitamin D

Terapi Tiroid

be>

Thalasemia

Porphyria Defisiensi

kalsium

Heparin Mastositosis

Hipophosphatasia

(dewasa)

Alkoholism

e

Gonaditropin

-releasing

hormone

Hiperkalsiuri

a COPD

Diabetes Melitus

tipe 1

Antagonis Transplantas

i Organ

Kehamilan Cholestatis

liver

Hiperparatiroid

Page 19: BAB II

Akromegali

*COPD=penyakit obstruksi paru kronik

Sumber: Zaviera, F. 2007. Osteoporosis: Deteksi Dini, Penanganan, dan Terapi

Praktis. Jogjakarta: Katahati.

Zaviera (2007:33—35) mengatakan bahwa penyebab osteoporosis adalah

sebagai berikut: (1) Osteoporosis postmenopausal, (2) Osteoporosis senilis, (3)

Osteoporosis skunder, dan (4) Osteoporosis juvenile idiopatik.

Zaviera (2007:35—39) menjelaskan faktor-faktor penyebab osteoporosis

adalah

a) Kekurangan kalsium

Kekurangan kalsium sepanjang hidup, terutama di masa kecil dan remaja

di mana terjadi pembentukan masa tulang yang maksimal merupakan penyebab

utama osteoporosis

b) Faktor genetik

Faktor genetik berperan penting dalam penentuan massa tulang puncak.

Jika keluarga ada yang mempunyai riwayat osteoporosis, maka 80% risiko

osteoporosis. Sedangkan 20% tergantung pada olahraga dan pola makan sehari-

hari.

c) Pengobatan

Pengobatan dapat menyebabkan penurunan massa tulang, misalnya obat

kortison (cortison) yang dipakai untuk penyakit rematik (rheumatoid arthritis)

dan penyakit asma; heparin untuk penyakit jantung dan penyakit tekanan darah

tinggi efek sampingnya meningkatkan risiko osteoporosis. Kerusakan sel-sel

Page 20: BAB II

tulang yang disebabkan oleh pengobatan sinar radiasi atau kemoterapi juga dapat

meningkatkan risiko osteoporosis.

d) Gangguan fisiologis

Seperti penyakit pada usus kecil, hati, dan pankreas, serta faktor gaya

hidup seperti mengkonsumsi minuman beralkohol dan merokok, juga dapat

mengurangi penyerapan kalsium.

e) Kafein

Konsumsi kafein atau minuman yang mengandung kafein seperti kopi, the,

dan cola secara berlebihan terbukti dapat meningkatkan pengeluaran kalsium

melalui air seni dan tinja.

f) Perubahan Hormonal

Perubahan hormonal seperti menopause dapat menurunkan kemampuan

tubuh untuk menyerap kalsium secara drastic. Karena turunya kadar gula

estrogen, maka penyerapan kalsium pada wanita menopause menjadi tidak efisien.

g) Konsumsi kalsium rendah

Konsumsi klasium rendah disertai menurunnya kemampuan tubuh

menyerap kalsium, yang umumnya terjadi pada orang tua, dapat menyebabkan

osteoporosis.

h) Kehilangan kalsium

Kalsium dibuang melalui kulit, air, seni, dan tinja. Semua kalsium yang

hilang harus diganti kembali dengan kalsium yang diperoleh dari makanan

sehingga kekuatan tulang dapat dipertahankan.

i) Kurang bergerak

Page 21: BAB II

Kurang gerak daapt mempercepat dan memperparah terjadinya

osteoporosis. Penurunan massa tulang terjadi selama kurang gerak, misalnya

seseorang dalam jangka panjang beristirahat di tempat tidur atau duduk di kursi

roda.

j) Kurang vitamin D

Vitamin D sangat berperan penting bagi pemanfaatan kalsium yang

effisien terutama bila konsumsi kalsium rendah. Kekurangan vitamin D jarang

terjadi pada penduduk Indonesia karena selalu mendapat sinar matahari sepanjang

tahun.

2.3.3 Gejala osteoporosis

Wanita yang merupakan penderita osteoporosis paling dominan, dengan

gejala osteoporosis mulai memiliki masalah seperti, nyeri tulang dan sendi, patah

tulang, perubahan bentuk tulang (Zaviera, 2007:46).

Semakin lama tubuh memendek, organ tubuh pun menjadi berdekatan,

karena tulang sebagai penyangga tubuh tidak mampu menopangnya. Maka

mulailah terjadi perubahan dalam tubuh orang tersebut, seperti: sesak napas, perut

terasa kenyang terus, padahal belum makan, nafsu makan hilang sehingga asupan

gizi kurang (Zaviera, 2007:47).

Gejala-gejala baru yang timbul pada tahap osteoporosis lanjut diantaranya

adalah sebagai berikut: patah tulang, punggung semakin membungkuk, hilangnya

tinggi badan, nyeri punggung (Zaviera, 2007:47).

2.3.4 Kiat mencegah osteoporosis

Page 22: BAB II

Zaviera (2007:78—83) mengatakan bahwa untuk mencegah osteoporosis,

faktor-faktor penting yang menentukan puncak massa tulang, yaitu:

a) Nutrisi seimbang

Osteoporosis dapat dicegah dengan nutrisi yang seimbang. Nutrisi yang

seimbang adalah makanan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan tubuh,

secara kuantitas dan kualitasnya. Kehadiran suatu zat yang esensial dapat

mempengaruhi ketersediaan, absorbsi (penyerapan), metabolisme (pertukaran zat)

atau kebutuhan zat gizi lainnya.

b) Hindari minuman yang berakhohol dan merokok serta batasi minum kopi

Peminum alcohol berkontribusi pada kehilangan tulang dan kejadian patah

tulang. Kepadatan mineral tulang lebih rendah secara bermakna pada wanita

dengan asupan alcohol lebih dari 30 gram/hari dibanding bukan peminum alcohol.

Merokok yang berkepanjangan akan berpengaruh terhadap osteoporosis.

Analisi suatu penelitian bahwa semakin banyak wanita yang merokok, semakin

tinggi berisiko untuk patah tulang.

Konsumsi kafein juga berkontribusi terhadap osteoporosis. Asupan kafein

lebih lebih dari dua cangkir sehari seumur hidup akan berhubungan dengan

rendahnya densitas (kepadatan) tulang wanita lanjut.

c) Kegiatan fisik dan olahraga teratur

Pencegahan osteoporosis pemenuhan nutrisi saja tidak cukup tanpa

dibarengi kegiatan fisik dan olahraga yang teratur. Ada senam osteoporosis untuk

pencegahan pengeroposan tulang.

Page 23: BAB II

Ada empat gerakan yang dilarang bagi penderita osteoporosis, yakni

melompat, membungkuk dengan posisi punggu ke depan, seperti gerakan

mengambil sesuatu di lantai, menggerakan kaki ke samping atau kea rah depan ke

belakang.

Empat gerakan yang dianjurkan adalah aerobic ringan, jalan kaki,

berenang, tidur tengkurap dengan menaikkan kaki seberapa inci dari lantai

beberapa menit. Sebelum olahraga harus pemanasan dulu harus 5—10 menit

kemudian peregangan.

Tabel Jenis Makanan Mengandung Kalsium

Jenis Makanan Berat (mg/100gram)

Ayam 14

Pisang 26

Telur 54

Kankung 73

Tahu 124

Tempe 129

Selada Air 182

Kepiting 210

Sawi 220

Katuk 204

Bayam 267

Sarden 354

Keju 777

Page 24: BAB II

Susu Bayi 800

Susu Full Cream 904

Teri kering 1000

Wijen 1125

Susu Skim 1300

Rebon kering 2306

Sumber: Zaviera, F. 2007. Osteoporosis: Deteksi Dini, Penanganan, dan Terapi

Praktis. Jogjakarta: Katahati.

Menurut International Osteoporosis Foundation (IOF) mengatakan bahwa

Recommended daily calcium intakes for populations vary between countries. The

FAO/WHO (2002) recommendations, based on data from several countries, are

as follows:

Infants and Children Calcium (mg/day)

0—6 months 300-400

7—12 months 400

1—3 years 500

4—6 years 600

7—9 years 700

Adolescents Calcium (mg/day)

10—18 years 1300

Women Calcium (mg/day)

Page 25: BAB II

19 years to menopause 1000

Post-menopause 1300

During pregnancy (last trimester) 1200

Lactation 1000

Men Calcium (mg/day)

19—65 years 1000

65+ years 1300

Page 26: BAB II

2.4 Kerangka konsep dan hipotesis penelitian

2.4.1 Kerangka konsep

Keterangan:

= diteliti

= tidak diteliti

DERAJAT KESEHATAN 1. Lingkungan2. Perilaku3. Pelayanan Kesehatan4. Keturunan

PERILAKU MINUM SUSU

Perilaku Pencegahan Osteoporosis

Perilaku peningkatan kesehatan

Perilaku gizi

Page 27: BAB II

2.4.2 Hipotesis penelitian

Notoatmodjo (2010:105) menyatakan pendapatan tentang hipotesis “hasil

suatu penelitian pada hakikatnya adalah suatu jawaban atau pertanyaan penelitian

yang telah dirumuskan perencanaan penelitian. … Jadi, hipotesis di dalam suatu

penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil

sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut”.

Jenis-jenis rumusan hipotesis digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1)

Hipotesis kerja, (2) Hipotesis Nol atau Hipotesis Statistik, dan (3) Hipotesis

hubungnan dan hipotesis perbedaan (Notoatmodjo, 2010:108—111). Untuk

penelitian ini menggunakan Hipotesis Nol atau Hipotesis Statistik. Berdasarkan

isinya dibagi menjadi dua, yaitu (1) Hipotesis Nol (H0) penelitian ini adalah ada

pengaruh pola perilaku minum susu terhadap pencegah osteoporosis, (2) Hipotesis

alternatif (Ha) penelitian ini adalah tidak ada pengaruh pola perilaku minum susu

terhadap pencegahan osteoporosis. Notoatmodjo (2010:110) mengatakan bahwa

“hipotesis nol biasanya menggunakan rumus H0 (misalnya, H0:x=y), sedangkan

hipotesis alternatif menggunakan symbol Ha (misalnya, Ha:x=>y)”.