BAB II

33
BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1. Pengertian Perubahan Sosial Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan manusia lain. Sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di antara individu-individu (manusia) kemudian lahirlah kelompok-kelompok sosial (sosial group) yang dilandasi oleh kesamaan-kesamaan kepentingan bersama. Namun bukan berarti semua himpunan manusia dapat dikatakan kelompok sosial. Untuk dikatakan kelompok sosial terdapat persyaratan- persyaratan tertentu. Dalam kelompok sosial yang telah tersusun susunan masyarakatnya akan terjadinya sebuah perubahan dalam susunan tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Karena perubahan merupakan hal yang mutlak terjadi dimanapun tempatnya. Perubahan sosial merupakan gejala umum yang terjadi dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sejalan dengan sifat dasar manusia yang selalu ingin berubah dan perubahan itu diperlukan sebagi hakekat dari perilaku-perilaku sosial. Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan pembatasan pengertian perubahan sosial. Kingsley (dalam Soekanto: 1985) mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan- perubahan yang terjadi dalarn struktur dan fungsi masyarakat. Menurut Mac lver (dalam Soekanto: 1985) perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial. Menurut William F. Ogburn, perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material

description

jjhjhkjhjk

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

KAJIAN LITERATUR

2.1. Pengertian Perubahan Sosial

Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan

dengan manusia lain. Sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di antara individu-individu

(manusia) kemudian lahirlah kelompok-kelompok sosial (sosial group) yang dilandasi oleh

kesamaan-kesamaan kepentingan bersama. Namun bukan berarti semua himpunan manusia

dapat dikatakan kelompok sosial. Untuk dikatakan kelompok sosial terdapat persyaratan-

persyaratan tertentu. Dalam kelompok sosial yang telah tersusun susunan masyarakatnya akan

terjadinya sebuah perubahan dalam susunan tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Karena

perubahan merupakan hal yang mutlak terjadi dimanapun tempatnya. Perubahan sosial

merupakan gejala umum yang terjadi dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sejalan

dengan sifat dasar manusia yang selalu ingin berubah dan perubahan itu diperlukan sebagi

hakekat dari perilaku-perilaku sosial.

Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan pembatasan pengertian

perubahan sosial. Kingsley (dalam Soekanto: 1985) mengartikan perubahan sosial sebagai

perubahan-perubahan yang terjadi dalarn struktur dan fungsi masyarakat. Menurut Mac lver

(dalam Soekanto: 1985) perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan sosial

atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.

Menurut William F. Ogburn, perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup unsur-

unsur kebudayaan baik material maupun immaterial yang menekankan adanya pengaruh besar

dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Sedangkan Gillin dan

Gillin, perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup

yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebudayaan material,

komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam

masyarakat. Wilbert Moore mendefiniskan perubahan sebagai perubahan penting dari struktur

sosial. Struktur sosial disini diartikan pola-pola prilaku dan interaksi sosial. Moore

memasukan kedalam definisi perubahan sosial berbagai ekspresi mengenai struktur norma,

nilai, dan fenomena kultural, jelaslah definisi demikian sangat luas cakupannya. (dalam

Abdulsyani: 1992).

Selo Soemardjan menyatakan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan

yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang

Page 2: BAB II

memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara

kelompok-kelompok dalam masyarakat. (Selo dan Soemardi: 1974)

Tidak semua gejala-gejala sosial yang mengakibatkan perubahan dapat dikatakan

sebagai perubahan sosial, gejala yang dapat mengakibatkan perubahan sosial memiliki ciri-

ciri antara lain:

1) Setiap masyarakat tidak akan berhenti berkembang karena mereka mengalami

perubahan baik lambat maupun cepat, karena pada dasarnya tidak ada masyarakat

yang stagnan. (Hoogvelt: 1976)

2) Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan

perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya, karena lembaga sosial tidak

bersifat independen, sehingga sulit untuk mengisolasi adanya perubahan. (Moore:

1963)

3) Perubahan sosial yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang

bersifat sementara sebagai proses penyesuaian diri. (Lawang: 1985)

4) Perubahan tidak dibatasi oleh bidang kebendaan atau bidang spiritual karena

keduanya memiliki hubungan timbal balik yang kuat. (Inkeles: 1966)

Setiap adanya perubahan sosial menimbulkan masalah-masalah, antara lain: (S.N.

Einsenstadt, 1968)

1) Dalam taraf individu (pribadi), timbulnya masalah bagaimana mengamankan

identitasnya sebagai manusia, warga Negara dan penganut kepercayaan tertentu.

2) Dalam taraf strukturil, timbul masalah bagaimana mengorganisasikan pola pernanan

dan kelompok-kelompok baru yang timbul.

3) Dalam taraf kebudayaan, timbul masalah bagaimana membentuk tradisi baru yang

nantinya dapat dijadikan pedoman bagi warga masyarakat.

Jika dilihat dari beberapa pengertian tersebut diatas, pada prinsipnya dalam perubahan

sosial terjadi perubahan dalam struktur sosial, organisasi dan hubungan sosial, serta

lingkungannya seperti kondisi geografi dan komposisi penduduk. Menurut ”Rogers”, suatu

perubahan sosial melewati beberapa tahap, diantaranya :

1)Invensi, yaitu suatu situasi atau kondisi seseorang untuk bisa menciptakan ide. Ide

tersebut bisa datang dari bahan pustaka, penelitian orang lain atau tulisan orang lain.

2)Adopsi, yaitu suatu proses yang menunjukkan bahwa informasi tersebut bisa

diterimaoleh individu maupun masyarakat.

3)Konsekuensi, yaitu keadaan individu atau masyarakat untuk bisa menerima

ataumenolak terhadap perubahan tersebut.

Page 3: BAB II

Proses perubahan masyarakat (sosial change) terjadi karena manusia adalah makhluk

yang berfikir dan bekerja. Selain itu manusia juga selalu berusaha untuk memperbaiki

nasibnya dan sekurang-kurangnya berusaha untuk mempertahankanhidupnya.Dalam keadaan

demikian, terjadilah sebab-sebab perubahan (menurut ”Robert L.Sutherland, dkk.) yaitu :

1)Inovasi (penemuan baru/perubahan)

2)Invensi (penemuan baru)

3)Adaptasi (penyesuaian secara sosial dan budaya)

4)Adopsi (penggunaan dari penemuan baru/teknologi)

Jelas bahwa yang dimaksud dengan perubahan sosial bukan terwujud dalam bentuk-

bentuk dan perilaku luar saja, misalnya yang menyimpang dari yang lama dan mungkin juga

sudah menjadi fenomena umum. Yang penting ialah terjadinya "change of meanings" atau

pemaknaan baru dari fenomena baru pula.

2.2. Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial

Perubahan sosial budaya dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk berikut ini:

(Abdulsyani: 1992)

1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat

Perubahan lambat disebut juga evolusi, yaitu perubahan tersebut terjadi karena

usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan

kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat, seperti

perubahan pada struktur masyarakat. Perubahan cepat disebut juga dengan revolusi,

yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga

kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali

oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat. Terjadinya proses

revolusi memerlukan persyaratan tertentu, antara lain: adanya keinginan umum untuk

mengadakan suatu perubahan, adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang

mampu memimpin masyarakat tersebut, harus bisa memanfaatkan momentum untuk

melaksanakan revolusi, harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan

kepada rakyat, serta kemampuan pemimpin dalam

menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa

tidak puas masyarakat dan keinginan-keinginan yang

diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan

revolusi.

2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar

Page 4: BAB II

Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial

yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat,

seperti perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian. Sebaliknya, perubahan

besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa

pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat, seperti dampak ledakan

penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.

3. Perubahan yang Dikehendaki (Direncanakan) dan Perubahan yang Tidak

Dikehendaki (Tidak Direncanakan)

Perubahan yang dikehendaki (direncanakan)

merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau

direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak

(agent of change) yang hendak melakukan

perubahan di masyarakat, seperti pelaksanaan

pembangunan atau perubahan tatanan

pemerintahan. Perubahan yang tidak dikehendaki

(tidak direncanakan) merupakan perubahan yang

terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat

dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan, seperti

munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa peralihan tatanan Orde

Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke Orde Reformasi.

2.3. Faktor-Faktor Perubahan Sosial

Jika kita telaah, bahwa bagian-bagian yang mengalami perubahan adalah hal-hal yang

tidak lagi memuaskan bagi masyarakat. Hal ini bisa disebabkan karena adanya unsur baru

yang masuk dalam masyarakat yang lebih memuaskan dari unsur sebelumnya. Atau bisa juga

perubahan terjadi karena harus adanya penyesuaian terhadap unsur-unsur lain yang telah

mengalami perubahan terlebih dahulu. Sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan itu

disebabkan oleh masyarakat itu sendiri atau bersumber dari luar masyarakat atau lingkungan

alam sekitarnya.

Perubahan sosial yang terjadi karena bersumber dari masryakatnya sendiri, antara lain:

berkurang/bertambahnya penduduk (dinamika penduduk), penemuan-penemuan baru,

pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam masyarakat serta adanya revolusi. Sedangkan

yang bersumber dari lingkungan alam sekitarnya, antara lain: peperangan, bencana alam,

pengaruh kebudayaan masyarakat lain, dll. (Halim.J: 2002)

Gambar. Mode Pakaian merupakan contoh perubahan kecil.

Sumber : Jawa Post, 19 April 2008

Gambar. Perubahan yang direncanakan dan dikehendaki.

Sumber : Encarta Encyclopedia, 2006

Page 5: BAB II

Disamping itu ada beberapa faktor baik yang mendukung ataupun menghambat

terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Faktor-faktor pendukung adanya perubahan

sosial seperti: sistem pendidikan yang maju, toleransi masyarakat terhadap perilaku

menyimpang, adanya stratifikasi sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen, dan

ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Sedangkan faktor-faktor yang

menghambat, antara lain: kurangnya atau tidak adanya relasi dengan masyarakat lain,

perkembangan pengetahuan yang sangat lambat, kehidupan masyarakat tradisional, adanya

kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat dalam masyarakat, rasa takut akan

terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal baru, sikap

idiologis. (Bettelheim, Janowtz: 1964).

Perubahan sosial terjadi pada dasarnya karena adanya pola-pola interaksi sosial. Dimana

pola-pola interaksi sosial ini, antara lain:

1. Asimilasi, suatu proses penetrasi(penerobosan), dan peleburan atau penyatuan

kepada seseorang maupun kelompok yang mempunyai pikiran, perasaan, dan sikap

dari orang atau kelompok yang lain,dengan membagi pengalaman dan cerita

(sejarah) termasuk juga tentang kebudayaandidalam kehidupan mereka

sebagaimana biasanya (Lubis dalam Federika: 2010)

2. Akulturasi meliputi fenomena yang dihasilkan dua kelompok yang berbeda

kebudayaanya mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti pola kebudayaan

asli salah satu atau kedua kelompok itu.

3. Konflik memainkan suatu peranan penting dalam pembentukan unit-unit sosial,

memperkuat sistem stratifikasi sosial dan memperluas difusi penemuan-penemuan

baru di bidang sosial budaya. (Soekanto dalam Federika: 2010)

Para ahli sosiologi mempercayai bahwa, masyarakat manapun pasti mengalami

perubahan berlangsung puluhan atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Perbedaannya adalah

dalam hal kecepatannya, intensitasnya, dan sumber-sumbernya. Perubahan sosial sekarang ini

berlangsung lebih cepat dan lebih intensif, sementara itu sumber-sumber perubahan dan

unsur-unsur yang mengalami perubahan juga lebih banyak.

Perubahan-perubahan yang terjadi bisa merupakan kemajuan atau mungkin justru suatu

kemunduran. Unsur-unsur yang mengalami perubahan biasanya adalah mengenai nilai-nilai

sosial, norma-norma sosial, pola-pola perikelakuan, organisasi sosial, lembaga-lembaga

kemasyarakatan, stratifikasi sosial, kekuasaan, tanggung  jawab, kepemimpinan dan

sebagainya. Dalam masyarakat maju atau pada masyarakat berkembang, perubahan-

Page 6: BAB II

perubahan sosial dan kebudayaan selalu berkaitan eratdengan ciri dan bentuk

perekonomiannya.

Sikap tertentu juga merintangi perubahan. Pembangunan ekonomi akan terhambat

kecuali jika mau mempelajari sikap bekerjasama, mengkehendaki kemajuan, menghargai

pekerjaan, dan sebagainya. Bahkan perubahan menjanjikan pemenuhan kebutuhan dasar

seperti pemeliharaan kesehatan sekalipun, mungkin menghadapi rintangan karena sikap

tradisional.

2.4. Pengertian Etnis

Etnis adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti

atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-

anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik

yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi. Etnis bisa

dikatakan sebagai kesukuan, kedaerahan atau rasial. (Wikipedia)

Etnis dalam bahasa Yunani mengacu pada suatu pengertian (identik) pada dasar

geografis dalam batas-batas wilayah dengan system politik tertentu. (Rudolf dalam

Abdilah:2002). Kata etnis menjadi predikat pada identitas seseorang ataupun kelompok.

Ikatan-iaktan etnis terwujud dalam kumpulan orang, kelengkapan-kelengkapan primordial

seperti derajat, martabat, bahasa, adat-istiadat, dan kepercayaan yang dibebankan kepada

anggota kelompok tersebut yang menjadikannya serupa dengan anggota yang lain.

Dalam edintifikasi kelompok etnis ada dua pandangan pengertian, yaitu: 1. sebagai

sebuah unit obyek yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang dan 2. hanya

sekedar obyek pemikiran seseorang yang menyatakannya sebagai kelompok etnis. (Manger

dalam Abdilah:2002).

Terdapat tiga pendekatan teoritis dalam melihat fenomena etnisitas, yaitu:

primordialisme, konstruktivisme dan instrumentalisme. Primordialisme melihat fenomena

etnis dalam kategori-kategori sosio-biologis, seperti wilayah, agama, kebudayaan, bahasa dan

organisasi sosial. Konstruktivisem memandang identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial

yang lebih kompleks, dimana etnisitas dibangun berdasarkan suatu hitungan sejarah dari

bahasa dan pengalaman masa lalu. Sedangkan instrumentalisme lebih menekankan pada

manipulasi dan mobilisasi politik yang menyusun suatu kelompok-kelompok sosial, seperti

kebangsaan, agama, ras dan bahasa. (Abdilah: 2002)

Dari itu semua maka dapat ditarik sebuah batasan dari definisi etnis, dimana kelompok

etnis merupakan populasi yang mampu berkembang biak, memiliki budaya yang sama dan

Page 7: BAB II

sadar akan kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan

interaksi sendiri, serta menentukan ciri kelompoknya sendiri yang dapat diterima oleh

kelompok lain dan dapat dibedakan dengan ciri dari kelompok lain tersebut. (Barth dalam

Abdilah: 2002). Sehingga dapat disimpulkan bahwa etnis adlah suatu suku bangsa dengan

budaya dan bisa jadi dengan bahasa sendiri di dalam suatu komunitas masyarakat sebagai

sustu unit tersendiri yang terpisah dengan unit yang lain.

2.5. Masyarakat Etnis Cina di Kawasan Pecinan

Suku bangsa etnis Tionghoa (biasa disebut Cina) adalah salah satu etnis di Indonesia.

Orang Cina yang datang ke Indonesia sebenarnya berasal dari berbagai etnis yang membawa

kebudayaan dan bahasa aslinya sendiri-sendiri, dimana masing-masing berdiri sendiri dan

saling tidak dipahami. (Hidayah: 1977). Ada empat kelompok etnis Cina, antara lain:

Tenglang (Hokkien), Tengnag (Tiochiu), Thongnyin (Hakka) dan Kanton (Kwong Fu).

Kelompok-kelompok ini mayoritas berasal dari Cina Selatan (Guangdong dan Fujian) yang

menyebut diri mereka sebagai orang Tang. (Suryadinata,2005).

Istilah Tionghoa dan Tiongkok berasal dari kata kata dari bahasa Kanton, yaitu salah

satu bahasa Cina, dan artinya adalah orang Cina dan Negara Cina. Istilah ini selalu dipakai

oleh masyarakat Tionghoa sebelum 1965 (Suryadinata; 1978; hal 42). Akan tetapi pada tahun

itu, di Bandung dalam pertemuan antara Jenderal penting dari ABRI (Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia) menghasilkan keputusan menggunakan istilah ‘Cina’ ketika

menggambarkan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, sehingga mengurangi atau

menghapuskan perasaan ‘inferior’ dan ‘superior’ (Suryadinata; 1978; hal 42-43). Oleh karena

alasan ini yang melatarbelakangi pengunaan istilah ‘Cina’, masyarakat keturunan Tionghoa

merasa istilah ini adalah hinaan dan akibatnya ketika berbicara tentang masyarakatnya mereka

memakai istilah Tionghoa dan merasa dihina ketika istilah orang Cina atau Cina dipakai.

Orang Tionghoa sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-5 masehi. Selama beberapa

abad orang-orang Tionghoa terus bertambah jumlahnya, akan tetapi tidak ada catatan yang

jelas berapa jumlahnya. Catatan tentang angka baru bisa diperoleh dari cacah jiwa yang

dilakukan pada masa pemerintahan Inggris di Jawa (tahun 1811-1816). Jumlah masyarakat

Tionghoa pada tahun 1815 di Jawa ada 94.441 orang, sedangkan penduduk Jawa secara

keseluruhan waktu itu berjumlah 4.615.270 orang, berarti 2,04% dari jumlah penduduk secara

keseluruhan. (Raffels, 1817). Sebagian besar masyarakat Cina saat itu hidup secara

berkelompok di kota-kota pesisir Jawa.

Page 8: BAB II

Kedatangan orang-orang Cina semakin banyak pada abad ke-16 dan abad ke-19.

Terlebih ketika Belanda mulai mendirikan kota baru yang disebut Batavia. Mereka berasal

dari suku Tio Chiu dan Hakka (Khek), yang dipekerjakan sebagai kuli di perkebunan dan

pertambangan di daerah Sumatera Timur, Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat. Sedangkan

suku Hakkien memiliki keahlian berdagang (berniaga) dan suku bangsa Kanton memiliki

keahlian dibidang pertukangan kayu dan besi.

Gambar. Seorang pria Tionghoa berkuncir (toucang) di jalanan Batavia pertengahan tahun 1910-an.Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia, 7 Nov 2011, 2.47 pm

Pada masa VOC berkuasa, orang-orang Cina diijinkan berkumpul dan tinggal di

Batavia. Disini Belanda berperan sebagai karateker perkembangan kota. Periode kolonial

banyak meninggalkan artefak kota baik tangible dan intangible di kawasan kota lama. Salah

satunya dengan terdapatnya pengelompokan permukiman berdasarkan rasial oleh Belanda,

yang terdiri dari tiga kelompok yaitu permukiman untuk orang-orang Belanda (Eropa) dan

yang sederajat, permukiman untuk orang pribumi dan permukiman untuk orang timur asing

(Arab, Cina dan Melayu). Pengelompolan ini pada dasarnya untuk memudahkan pengontrolan

dan kelancaran akitivtas administrasi dan perdagangan Belanda, serta dimaksudkan pula

untuk lebih memudahkan pemerintah colonial dalam mengawasi aktivitas ekonomi dan segala

tindakan sosial komunitas diluar komunitas Belanda. (Greif; 1991)

Dari beberapa permukiman multirasial tersebut, Pecinanlah yang masih memiliki

eksistensi yang kuat di banding lainnya. Masuknya komunitas Cina yang mencapai

puncaknya pada abad ke 17 menjadikan populasi Pecinan cukup besar dan permukiman etnis

ini cenderung mentransplantasikan daerah barunya sama dengan daerah asalnya walaupun

masih dalam koridor adaptasi. (Widodo, 2004). Pecinan berawal dari makna kata “tempat”

atau kawasan yang dihuni oleh masyarakat Cina, namun kenyataannya Pecinan sekarang

adalah kawasan perdagangan yang tidak nampak lagi adanya aktivitas hunian. Kawasan

Pecinan adalah kawasan yang merujuk pada suatu bagian kota yang dari segi penduduk,

bentuk hunian, tatanan sosial serta suasana lingkungannya memiliki ciri khas karena

Page 9: BAB II

pertumbuhan bagian kota tersebut berakar secara historis dari masyarakat berkebudayaan

Cina (Lilananda 1998:1).

Gambar. Jalan Kembang Jepun (dulu bernama Handelstraat) Sumber: http://dewey.petra.ac.id/spektra/module/surabaya/docs/res_detail.php?knokat=

Permukiman Cina tersebut dibarengi dengan pendirian bangunan yang khas Cina,

misalnya bentuk bangunan arsitektur oriental dan klenteng. Namun karena sebagian besar

masyarakatnya datang dari Cina Selatan, yang berasal dari kalangan pekerja (buruh, petani,

nelayan, dll), sehingga bentuk arsitektur yang dibawanya menunjukkan tradisi kerakyatan.

Suatu bentuk phisik dari kebudayaan yang merupakan kebutuhan akan nilai, usaha untuk

mewujudkan keinginan, impian dari kebutuhan manusia. Hal yang demikian tentunya jauh

dari tradisi besar arsitektur (the grand architectural tradition) di Tiongkok, yang meliputi

struktur imperial dari daerah Tiongkok Utara, yang tidak berhubungan langsung dengan

kebudayaan mayoritas rakyatnya.

Pada umumnya permukiman Tionghoa pada kota-kota di Jawa sampai tahun 1900 an

terdapat di daerah Pecinan. Sejak tahun 1835 pemerintah kolonial Belanda membuat undang-

undang yang disebut sebagai wijkenstelsel, yang sangat membatasi gerak orang Tionghoa dari

daerah permukimannya (Pecinan). Dalam tata ruang kota, daerah Pecinan sering menjadi

“pusat perkembangan” karena daerah tersebut merupakan daerah perdagangan yang ramai.

Daerah yang mempunyai kepadatan bangunan yang sangat tinggi, dengan penampilan

bangunan yang berfungsi sebagai hunian-dagang atau lebih populer dengan sebutan rumah-

toko (shop house), sering menjadi ciri khas daerah Pecinan. (Handinoto,1996). Kawasan

Pecinan yang relatif sempit dan berpenduduk sangat padat tidak memungkinkan adanya

bangunan dalam skala besar. Pada umumnya jenis bangunan arsitektur Tionghoa yang ada di

Pecinan, adalah: kelenteng, ruko (rumah toko) dan rumah tinggal. (Khol: 1984)

Page 10: BAB II

Gambar. Klenteng Siu Hok Bio di Jalan Wotgandul Timur, SemarangSumber : http://iccsg.wordpress.com/2006/09/01/wisata-pecinan-semarangeksotika-1001-klenteng/, 7 Nov

2011, 3.35 pmBentuk awal perumahan masyarakat Cina memang tidak banyak diketahui. Umumnya

bangunan hunian mereka akan mengadopsi dengan bentuk umum bangunan hunian

masyarakat asli di sekitar mereka. Pada saat Kolonial membangun perumahan bagi warga

Belanda, maka komunitas Cina di dalam benteng tersebut akan mengikuti pola perumahan

warga Belanda, yaitu bangunan rumah gandeng menerus dengan atau tanpa lantai bertingkat,

dengan ukuran lebar rumah yang menghadap ke kanal atau jalan antara 5-8 meter. Bangunan

rumah semacam ini disebut dengan tipe stads wooningen atau rumah kota. Pola ini kemudian

berkembang menjadi pola bangunan rumah-toko yang terdapat di Pecinan (Widayati 2003).

Gambar. Kawasan Pecinan di Surabaya Tahun 1927anSumber : http://www.flickr.com/photos/8494278@N04/page2/, 7 Nov 2011, 4.34 pm

Vasanty dalam Koentjaraningrat (1999), menyebutkan Kampung Tionghoa di kota-kota

biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang berhadapan dengan jalan pusat pertokoan.

Deretan rumah-rumah itu, merupakan rumah-rumah petak di bawah satu atap, yang umumnya

tidak mempunyai pekarangan. Sebagai ganti pekarangan, di tengah rumah, biasanya ada

bagian tanpa atap untuk menanam tanam-tanaman (courtyard), untuk tempat mencuci piring

dan menjemur pakaian. Ruangan paling depan dari rumah selalu merupakan ruang tamu dan

tempat meja abu. Biasanya ruang ini dipakai sebagai toko, sehingga meja abu harus

ditempatkan di ruang belakangnya. Sesudah itu terdapat lorong dengan di sebelah kanan-

kirinya terdapat kamar tidur. Di bagian belakang terdapat dapur dan kamar mandi. Ciri khas

Page 11: BAB II

dari rumah masyarakat Tionghoa dengan tipe yang kuno adalah bentuk atapnya yang selalu

melancip pada ujung-ujungnya (Chih-Wei), dengan ukir-ukiran pada tiang-tiang dari balok.

Gambar. Kawasan Pecinan JakartaSumber : http://www.pecinan.net/, 7 Nov 2011, 4.44 pm

Dinyatakan pula bahwa di tiap-tiap Kampung Tionghoa selalu terdapat satu atau dua

kelenteng. Bangunan klenteng biasanya masih memiliki bentuk yang khas dan kaya akan ukir-

ukiran Tionghoa. Kuil-kuil yang dijelaskan di atas bukan merupakan tempat untuk beribadah,

tetapi hanya merupakan tempat orang-orang meminta berkah, meminta anak, dan tempat

orang mengucapkan syukur. Untuk itu ia membakar dupa kepada dewa yang melindunginya.

(Vasanty dalam Koentjaraningrat 1999)

Dengan pemukiman yang tumbuh di sana, kehidupan sosial juga ikut berkembang.

Interaksi sosial yang terjadi dengan masyarakat pribumi memberi kesempatan bagi orang-

orang dan para pedagang Cina untuk mengenal lebih jauh budaya lokal. Kebanyakan dari

mereka meniru pola pemukiman dan pergaulan hidup orang pribumi. Pada kalangan elit ini

orang-orang Cina juga banyak berhubungan dengan para bangsawan, seperti keraton

Surakarta. Sehingga hal ini memberikan pengaruh pada perilaku kehidupan orang-orang Cina.

Gambar. Kawasan Pecinan MagelangSumber : http://www.pecinan.net/, 7 Nov 2011, 4.44 pm

2.6. Modernisasi sebagai Hasil dari Perubahan Sosial Budaya

Page 12: BAB II

Modernisasi adalah suatu proses transformasi masyarakat dalam segala aspeksnya. Data

enunjuakn bahwa semua Negara baru mengamali proses moderinasasi, dengan menetapkan

rencana-rencana pembangunannya yang menyentuh sector-sektor permbangunan ekonomi,

politik, sosial dan pendidikan; yang dianggap sebagai aspek-aspek dominan dalam

modernisasi. (Anies: 2005). Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya

untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau

berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan

nilai-nilai tradisi.

Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan

sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih

luas atau universal, itulah spesifikasi nilai atauvalues.

Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang

berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan

secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnyatradisi meliputi sejumlah norma

(norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan

kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal

seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values. Sebagai contoh atau kasus, seyogianya

manusia mengenakkan pakaian, ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua

fihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa

yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa

dikenakan, itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu

ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.

Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah

sebagai berikut, Ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai

penghambat kemajuan atau proses modernisasi, Ada pula sejumlah norma atau tradisi yang

memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau

dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi.Ada pula yang betul-

betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai baru.

Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka

ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau

orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan

terhadap tahyul. Konsep modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian perubahan

yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional sebagai suatu upaya

mewujudkan masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu masyarakat industrial.

Page 13: BAB II

Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk

perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik, pendidikan,

tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial tertentu.

Modernisasi suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan suatu

pengertian yang berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat

yang sadar dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin mengglobal

pada saat kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau

masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan kehidupan

manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia) tidaklah sekedar

memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata, tetapi diharapkan mampu merespons,

melibatkan diri dan memanfaatkannya secara signifikan bagi eksistensi bagi dirinya,

sesamanya, dan lingkungan sekitarnya. Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau

kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah:

Nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan

cermat mencoba merencanakan masa depannya. Nilai budaya atau sikap mental yang

senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam,

dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini, memang iptek bisa

dibeli, dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing, namun dalam penerapannya

memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit daripada mengembangkan iptek baru,

Nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasidan tidak menilai

tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa

gengsi pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada

konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland (Koentjaraningrat, 1985),

yaitu achievement-oriented, Nilai budaya atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi

usaha pihak lain yang mampu meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.

Tanpa harus suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya

hidup seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk ditiru,

diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala persyaratan ini telah

dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang telah ditampilkan telah dimiliki

oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau

mengajarkan bahwa sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di

Asia seperti India dan Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara

ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan bahwa orang-

Page 14: BAB II

orang Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan pengadaptasian nilai-nilai

kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau Cina.

Proses modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan

(urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di

Indonesia. Kota-kota di negara-negara sedang berkembang menjadi pusat-pusat modernisasi

yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk kegiatan pembangunan, baik aspek fisik-material,

sosio-kultural, maupun aspek mental-spiritual. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini,

menjadikan daerah perkotaan sebagai daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih

baik bagi penduduk pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi

pendorong kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan memadati

setiap sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi. Fenomena

demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber permasalahan bagi kebijakan-

kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan masyarakat perkotaan. Sampai dengan

saat sekarang ini masalah perkotaan ini masih menunjukkan gelagat yang semakin ruwet dan

kompleks.

2.7. Perubahan Sosial Etnis Cina di Kawasan Pecinan dalam Modernisasi

Komunitas etnis Cina di Indonesia, khususnya di kawasan Pecinan mengalami

perubahan sejalan dengan perubahan-perubahan umum yang terjadi di Indonesia, baik mulai

dari kolonial hingga di era modernisasi yaitu abad ke-20 ini. Perubahan yang terjadi

mencakup empat aspek, yaitu: budaya, organisasi, media dan politik.

Gambar. Perubahan Suasana Kya-Kya dalam era modernSumber: http://surabayaberkembang.blogspot.com

Pengelompokan masyarakat menjadi 3 kelompok pada era kolonial yang pada akhirnya

menciptakan kawasan permukiman yang lebih dikenal dengan nama Pecinan, memberikan

perubahan bagi kaum etnis Cina pada masa itu. Belanda mengangkat beberapa pemimpin

komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara

Page 15: BAB II

pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang

saat itu sedikit demi sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih

didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki

oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-323). Bidang

pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina. Pada abad ke-19,

pemerintah Belanda mengijinkan orang-orang keturunan Cina kaya untuk bersekolah,

sehingga akhirnya berdiri sekolah Tionghoa dengan nama Tionghoa Hwee Koan (THHK).

(wikipedia).

Gambar. Eks-Gedung THHK di BataviaSumber : http://masoye.multiply.com/photos/album/64#photo=15, 7 Nov 2011, 4.53 pm

Sampai tahun 1900-an kita masih dapat melihat banyak arsitektur yang bergaya

Tionghoa di daerah Pecinan. Tapi sesudah tahun 1900 terdapat perkembangan yang cukup

signifikan, dimana setelah dihapuskannya undang-undang Wijkenstelsel, permukiman

Tionghoa menempati daerah-daerah perdagangan yang strategis, diseluruh kota. Sebagian

elite lokalnya membangun rumah-rumah modern diluar daerah yang dulunya terkenal dengan

sebutan Pecinan. Perubahan pembaharuan tersebut berdampak langsung pada tampilan

arsitekturnya. Ditambah dengan dibukanya sekolah-sekolah Belanda yang boleh dimasuki

oleh sebagian kecil orang Tionghoa seperti HCS, MULO maupun AMS, maka pembangunan

rumah-rumah modern orang Tionghoa secara tidak langsung berakibat menipisnya unsur-

unsur arsitektur tradisional Tionghoanya, bahkan boleh dibilang hilang sama sekali. Kejadian

seperti ini terus berlanjut sampai setelah kemerdekaan 1945.

Gambar. Rumah Warga Tionghoa di Asia TenggaraSumber : http://www.pecinan.net/, 7 Nov 2011, 4.44 pm

Page 16: BAB II

David G. Khol (1984:22), menulis dalam buku “Chinese Architecture in The Straits

Settlements and Western Malaya”, memberikan semacam petunjuk terutama bagi orang

awam, bagaimana melihat ciri-ciri dari arsitektur orang Tionghoa yang ada terutama di Asia

Tenggara. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut : “courtyard”, penekanan pada bentuk atap

yang khas, elemen-elemen struktural yang terbuka (yang kadang-kadang disertai dengan

ornamen ragam hias dan penggunaan warna yang khas.

Pada masa pasca kolonial, Pecinan sebagai suatu tempat hunian dan juga perdagangan,

mengalami perubahan. Orang-orang Cina yang sudah mapan kehidupannya, kemudian

membeli lahan dan membangun hunian di luar daerah Pecinan. Pada awal perkembangannya

detail-detail konstruksi dan ragam hiasnya sarat dengan gaya arsitektur Tionghoa. Tapi

setelah akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sudah terjadi percampuran dengan sistim

konstruksi (mulai memakai kuda-kuda pada konstruksi atapnya) dan ragam hias campuran

dengan arsitektur Eropa.

Gambar. Bangunan berarsitektur campuran Cina dan EropaSumber : http://masoye.multiply.com/journal, 7 Nov 2011, 5.06 pm

Pada masa pasca Belanda, orang-orang cina telah mengembangkan kehebatan

ekonominya terutama di bidang yang telah ditinggalkan Belanda, yaitu kegiatan ekspor impor.

Sehingga orang-orang Cina menjadi penguasa di bidang ekonomi. Pecinan yang menjadi basis

ekonomi semakin berkembang. Akan tetapi perkembangannya sempat mengalami mati suri.

Hal ini diakibatkan karena pengaruh pengelompokan yang dilakukan Belanda pada masa

kolonial menyebabkan adanya stratifikasi sosial yang pada akhirnya meunculkan adanya

diskriminasi yang terasa hingga saat ini. Banyak dari kebijakan dan undang-undang yang

mengenai keturunan Tionghoa menyebabkan timbulnya batasan-batasan yang menahan

perkembangan identitas kebudayaan Tionghoa.

Pada tahun 1967 rezim ‘orde baru’ mengeluarkan Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 14

Tahun 1967, yang isinya melarang perayaan-perayaan, pesta agama dan adat istiadat

Tionghoa. Peraturan tersebut jelas-jelas sangat menghambat perkembangan kebudayaan etnis

Page 17: BAB II

Tionghoa di Indonesia. Ketika jaman orda baru warga keturunan Tionghoa juga dilarang

berekspresi. Warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan

kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus

hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan

pemakaian Bahasa Mandarin dilarang.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian

Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan

diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa

Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya

agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Kelenteng sebagai salah satu bentuk

bangunan di Pecinan, yang pada awalnya di bangun untuk memuja dewa yang melindungi

para pedagang dan pelaut, akhirnya mengadopsi ajaran budhisme agar bisa bertahan.

Gambar. Klenteng yang dibangun pada tahun 1960anSumber : http://eastjavatraveler.com/wp-content/uploads/ejtcom_kwan-sing-bio4.jpg, 7 Nov 2011, 6.06 pm

Dalam bidang politik, kaum komunitas Cina dijauhkan dari dunia politik praktis. Puncak

dari ini semua adalah adanya peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam

bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan

jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual,

penjarahan, kekerasan, dan lainnya, yang menjadi akhir dari Orde Baru. Baru pada pasca

kerusuhan Mei 1998, bermacam-macam kelonggaran diberikan kepada komunitas Tionghoa.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dikeluarkan Kepres (Keputusan

Presiden) Nomor 6 Tahun 2000, tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967. Ini

merupakan pengakuan bahwa masyarakat Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia.

Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri , Hari Raya Imlek

ditetapkan dalam daftar tanggal merah almanak Indonesia.

Page 18: BAB II

Gambar. Bukti Pengakuan Megawati Soekarnoputri terhadap Etnis TionghoaSumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia, 7 Nov 2011, 5.48 pm

Di era modernisasi, corak arsitektur ruko sudah berkembang lebih pesat lagi. Meskipun

bentuk dasarnya pada 1 unit ruko masih belum banyak mengalami perubahan, tapi tampak

luarnya merupakan pencerminan arsitektur pasca modern yang sedang melanda dunia

arsitektur di Indonesia dewasa ini, tidak ada sedikitpun corak arsitektur Tionghoanya yang

tertinggal. Dengan makin kaburnya daerah Pecinan sekarang, maka bangunan ruko pada akhir

abad ke 20 ini banyak yang terletak di daerah zoning perdagangan dalam tata ruang kota

(keluar dari daerah Pecinan tradisional). Fasilitas bangunannya pun sudah di sesuaikan

dengan jaman sekarang, seperti adanya parkir mobil, dan fasilitas umum lainnya. Arsitektur

ruko yang pada awalnya berkembang di daerah Pecinan sekarang berkembang subur di

berbagai kota di Indonesia dengan mengikuti perkembangan jaman.

Dunia perdagangan selalu sarat dengan perubahan dan penyesuaian jaman. Hal ini juga

tercermin dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia. Wujud phisiknya bisa tercermin pada

banguan ruko. Ada hal-hal yang harus tetap dipertahankan dan ada hal-hal yang berubah, akan

tetapi fungsi dan efisiensi masih tetap tidak berubah.

Di awal abad ke-20, perubahan pada komunitas Tionghoa terjadi pada empat bidang

kehidupan komunitas Tionghoa. Keempat bidang tersebut yaitu, kegiatan budaya, organisasi,

media dan aktivitas politik. Perubahan di bidang budaya berupa pertujukan keseniaan,

kegiatan ritual adat istiadat, yang sebelumnya sempat dilarang, sekarang bisa kembali eksis di

muka umum, seperti tarian Barong Sai, kegiatan ritual Imlek, dan budaya-budaya Cina

lainnya. Perubahan organisasinya berupa hidupnya kembali organisasi Tionghoa dengan

didirikannya organisasi Tionghoa yang sifatnya untuk melawan stereotip negatif etnis

Tionghoa. Perubahan medianya berupa siaran radio berbahasa Mandarin. Perubahan dalam

aktivitas politik diekpresikan lewat memilih sendiri partai mana yang menurut mereka

mewakili pandangan mereka.

Page 19: BAB II

Perubahan kondisi sosial kemasyarakatan di Pecinan ditinjau dalam melakukan interaksi

dalam dua konteks, yaitu hubungan sosial di kalangan etnis Cina (intern) dan hubungan sosial

etnis Cina dengan komunitas luar yang majemuk (extern).

1) Hubungan internal (sesama komunitas Cina). Secara tidak tertulis, dalam sistem

sosial komunitas Cina terdiri dari adanya dualism, antara Cina Totok dan Cina

peranakan. Masing-masing golongan pun memiliki perbedaan dalam menyikapi

kehidupannya meskipun berada di daerah perantauan. Cina totok cenderung tertutup

dan masih menjaga tradisi asli etnis Cina, misalnya mereka masih menggunakan

bahasa Cina dalam kehidupan sehari-hari dalam mendidik anaknya. Kelompok sosial

ini tergolong dalam proses evolusi yang membutuhkan waktu yang cukup lama

dalam kehidupan sosialnya. Lain halnya dengan Cina peranakan yang lebih

fleksibel, sehingga terkategorikan dalam suatu akulturasi. Kondisi sosial yang

berlangsung saat ini lebih dominan pada proses akulturasi, tanpa mengesampingkan

proses lain yang juga terjadi dalam berbagai indikasi. Berdasarkan tinjauan Pratiwo

(2009), Cina Totok merasa lebih Tionghoa dan memiliki perasaan superior terhadap

kaum peranakan. Eksistensi perbedaan misalnya juga terlihat pada kepemilikan

rumah abu. Rumah abu adalah bangunan yang didirikan oleh keluarga semarga dan

digunakan sebagai rumah sembahyang untuk menghormati leluhur mereka (Indrani,

2005). Umumnya rumah abu hanya dimiliki oleh keluarga mampu, sedangkan bagi

keluarga kurang mampu cukup menyediakan sebuah altar yang ditempatkan di ruang

depan rumah tinggalnya berupa meja sembahyang berfungsi untuk meletakkan

papan-papan nama dan foto-foto leluhur. Rumah abu pada umumnya dimiliki oleh

Cina Totok yang memiliki taraf hidup yang tinggi dibanding Cina peranakan.

2) Hubungan eksternal (komunitas Cina dengan komunitas sosial luar). Dari kondisi

sosial internal Cina bahasan tadi, diketahui bahwa etnis Cina telah melakukan

akulturasi terhadap komunitas lain, terutama dari golongan peranakan. Sedangkan

untuk hubungan eksternal lintas etnis Cina juga terlihat dari indikasi pada hubungan

dalam sistem kemasyarakatannya. Contoh kasus dapat dilihat pada komunitas Cina

di Jawa (Zahnd, 2007), dimana daerah ini dipengaruhi budaya Cina dalam tiga hal

yaitu banyak orang Cina masuk Islam, karena status sosialnya akan menjadi lebih

tinggi dan mereka juga menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti

perkembangannya. Selain itu, etnis Cina itu tidak homogen, di satu pihak adalah

para pedagang dengan kaya dengan hubungan luas dan status tinggi, namun di lain

pihak terdapat orang Cina bekerja sebagai pengusaha kecil.

Page 20: BAB II

Sebagian etnis Cina melakukan perkawinan dengan pribumi, bukti dalam agama yang

dianut telah beragam, dan pranata sosial yang dijalankannya telah mengalami penyesuaian

dengan kehidupan di Indonesia. Contoh-contoh tersebut bukan saja karena bentuk antisipasi

diskriminasi anti-Cina di zaman orde baru (setelah tahun1965), namun timbul secara alamiah

sampai sekarang. Trauma akan peristiwa renggangnya hubungan etnis Cina dan pribumi

lambat launpun berangsur hilang.

Penelusuran kondisi budaya Pecinan di Indonesia seperti Pecinan Semarang, Pecinan

Jakarta, Pecinan Makasar, Pecinan Surabaya, dll (http://dwithebigone.blogspot.com,

www.wikipedia.com, dan melantjong-petjinan-soerabaia-tjiamik.html) berdasarkan akulturasi

budaya Cina dan kaum pribumi, dapat dilihat dari indikasi berikut :

1) Bahasa. Akulturasi budaya Cina dan pribumi dalam bidang bahasa terjadi dalam

bentuk peminjaman istilah pada bahasa lisan atau tulisan. Penggunaan bahasa pada

unsur nama orang, makanan Cina dan istilah lain. Untuk hal makanan sangatlah

familiar, seperti : bakso, mie titi, bakmi, capjay, lunpia, dan lainnya. Bahkan ada

pusat-pusat frencise makanan Cina.

2) Kesenian. Ada pembauran kebudayaan yang sangat kental, khususnya terjadi di

Pecinan yang ada di Jawa. Di Semarang misalnya dikenal Gambang Semarang, yang

berasal dari Gambang Kromong Jakarta yaitu perpaduan unsur kesenian masyarakat

Cina dan pribumi. Disamping bentuk kesenian yang merupakan tradisi dari etnis

Cina misalnya atraksi barongsai, leong-leong, atau rangkaian kegiatan etnis Cina

yang digelar ketika ada perayaan hari raya tertentu.

Gambar. Pagelaran Gambang SemarangSumber : http://nidafauziasupriatna.blogspot.com/2009_12_01_archive.html, 7 Nov 2011, 6.19 pm

3) Sistem Kepercayaan (Religi). Rangkaian sejarah Indonesia diwarnai berbagai

pergolakan yang melibatkan etnis Cina yang kontradiktif terhadap pribumi. Pada

masa ini terjadi pula peralihan status dan identitas, termasuk dalam system

Page 21: BAB II

kepercayaan. Ada yang semula beragama Kong Hu Chu atau Budha berpindah

memeluk agama Islam, Katolik dan Kristen Protestan.

4) Sistem Pengetahuan. Kebudayaan sungai Kuning (Cina) termasuk salah satu

kebudayaan yang mempunyai peradaban tertinggi di dunia. Buktinya bahwa hasil

kebudayaannya tetap berkelanjutan bahkan diwarisi hingga sekarang. Cina telah

membawa pengetahuan dan teknologi seperti teknologi metalurgi (pengolahan

logam dan besi), bahkan, bangsa Cina membawa bibit-bibit tanaman seperti teh,

tembakau, dan kacang hijau atau tauge. Implikasi lanjutannya, pengetahuan dan

pengolahan makanan berkembang sehingga kita semakin mengenal variasi kuliner

yang kaya sampai kini.