BAB II
KAJIAN LITERATUR
2.1. Pengertian Perubahan Sosial
Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan
dengan manusia lain. Sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di antara individu-individu
(manusia) kemudian lahirlah kelompok-kelompok sosial (sosial group) yang dilandasi oleh
kesamaan-kesamaan kepentingan bersama. Namun bukan berarti semua himpunan manusia
dapat dikatakan kelompok sosial. Untuk dikatakan kelompok sosial terdapat persyaratan-
persyaratan tertentu. Dalam kelompok sosial yang telah tersusun susunan masyarakatnya akan
terjadinya sebuah perubahan dalam susunan tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Karena
perubahan merupakan hal yang mutlak terjadi dimanapun tempatnya. Perubahan sosial
merupakan gejala umum yang terjadi dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sejalan
dengan sifat dasar manusia yang selalu ingin berubah dan perubahan itu diperlukan sebagi
hakekat dari perilaku-perilaku sosial.
Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan pembatasan pengertian
perubahan sosial. Kingsley (dalam Soekanto: 1985) mengartikan perubahan sosial sebagai
perubahan-perubahan yang terjadi dalarn struktur dan fungsi masyarakat. Menurut Mac lver
(dalam Soekanto: 1985) perubahan sosial adalah perubahan-perubahan dalam hubungan sosial
atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.
Menurut William F. Ogburn, perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup unsur-
unsur kebudayaan baik material maupun immaterial yang menekankan adanya pengaruh besar
dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Sedangkan Gillin dan
Gillin, perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup
yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebudayaan material,
komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam
masyarakat. Wilbert Moore mendefiniskan perubahan sebagai perubahan penting dari struktur
sosial. Struktur sosial disini diartikan pola-pola prilaku dan interaksi sosial. Moore
memasukan kedalam definisi perubahan sosial berbagai ekspresi mengenai struktur norma,
nilai, dan fenomena kultural, jelaslah definisi demikian sangat luas cakupannya. (dalam
Abdulsyani: 1992).
Selo Soemardjan menyatakan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan
yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang
memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat. (Selo dan Soemardi: 1974)
Tidak semua gejala-gejala sosial yang mengakibatkan perubahan dapat dikatakan
sebagai perubahan sosial, gejala yang dapat mengakibatkan perubahan sosial memiliki ciri-
ciri antara lain:
1) Setiap masyarakat tidak akan berhenti berkembang karena mereka mengalami
perubahan baik lambat maupun cepat, karena pada dasarnya tidak ada masyarakat
yang stagnan. (Hoogvelt: 1976)
2) Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan
perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya, karena lembaga sosial tidak
bersifat independen, sehingga sulit untuk mengisolasi adanya perubahan. (Moore:
1963)
3) Perubahan sosial yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang
bersifat sementara sebagai proses penyesuaian diri. (Lawang: 1985)
4) Perubahan tidak dibatasi oleh bidang kebendaan atau bidang spiritual karena
keduanya memiliki hubungan timbal balik yang kuat. (Inkeles: 1966)
Setiap adanya perubahan sosial menimbulkan masalah-masalah, antara lain: (S.N.
Einsenstadt, 1968)
1) Dalam taraf individu (pribadi), timbulnya masalah bagaimana mengamankan
identitasnya sebagai manusia, warga Negara dan penganut kepercayaan tertentu.
2) Dalam taraf strukturil, timbul masalah bagaimana mengorganisasikan pola pernanan
dan kelompok-kelompok baru yang timbul.
3) Dalam taraf kebudayaan, timbul masalah bagaimana membentuk tradisi baru yang
nantinya dapat dijadikan pedoman bagi warga masyarakat.
Jika dilihat dari beberapa pengertian tersebut diatas, pada prinsipnya dalam perubahan
sosial terjadi perubahan dalam struktur sosial, organisasi dan hubungan sosial, serta
lingkungannya seperti kondisi geografi dan komposisi penduduk. Menurut ”Rogers”, suatu
perubahan sosial melewati beberapa tahap, diantaranya :
1)Invensi, yaitu suatu situasi atau kondisi seseorang untuk bisa menciptakan ide. Ide
tersebut bisa datang dari bahan pustaka, penelitian orang lain atau tulisan orang lain.
2)Adopsi, yaitu suatu proses yang menunjukkan bahwa informasi tersebut bisa
diterimaoleh individu maupun masyarakat.
3)Konsekuensi, yaitu keadaan individu atau masyarakat untuk bisa menerima
ataumenolak terhadap perubahan tersebut.
Proses perubahan masyarakat (sosial change) terjadi karena manusia adalah makhluk
yang berfikir dan bekerja. Selain itu manusia juga selalu berusaha untuk memperbaiki
nasibnya dan sekurang-kurangnya berusaha untuk mempertahankanhidupnya.Dalam keadaan
demikian, terjadilah sebab-sebab perubahan (menurut ”Robert L.Sutherland, dkk.) yaitu :
1)Inovasi (penemuan baru/perubahan)
2)Invensi (penemuan baru)
3)Adaptasi (penyesuaian secara sosial dan budaya)
4)Adopsi (penggunaan dari penemuan baru/teknologi)
Jelas bahwa yang dimaksud dengan perubahan sosial bukan terwujud dalam bentuk-
bentuk dan perilaku luar saja, misalnya yang menyimpang dari yang lama dan mungkin juga
sudah menjadi fenomena umum. Yang penting ialah terjadinya "change of meanings" atau
pemaknaan baru dari fenomena baru pula.
2.2. Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial
Perubahan sosial budaya dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk berikut ini:
(Abdulsyani: 1992)
1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan lambat disebut juga evolusi, yaitu perubahan tersebut terjadi karena
usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan
kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat, seperti
perubahan pada struktur masyarakat. Perubahan cepat disebut juga dengan revolusi,
yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali
oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat. Terjadinya proses
revolusi memerlukan persyaratan tertentu, antara lain: adanya keinginan umum untuk
mengadakan suatu perubahan, adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang
mampu memimpin masyarakat tersebut, harus bisa memanfaatkan momentum untuk
melaksanakan revolusi, harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan
kepada rakyat, serta kemampuan pemimpin dalam
menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa
tidak puas masyarakat dan keinginan-keinginan yang
diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan
revolusi.
2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial
yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat,
seperti perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian. Sebaliknya, perubahan
besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa
pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat, seperti dampak ledakan
penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.
3. Perubahan yang Dikehendaki (Direncanakan) dan Perubahan yang Tidak
Dikehendaki (Tidak Direncanakan)
Perubahan yang dikehendaki (direncanakan)
merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau
direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak
(agent of change) yang hendak melakukan
perubahan di masyarakat, seperti pelaksanaan
pembangunan atau perubahan tatanan
pemerintahan. Perubahan yang tidak dikehendaki
(tidak direncanakan) merupakan perubahan yang
terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat
dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan, seperti
munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa peralihan tatanan Orde
Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke Orde Reformasi.
2.3. Faktor-Faktor Perubahan Sosial
Jika kita telaah, bahwa bagian-bagian yang mengalami perubahan adalah hal-hal yang
tidak lagi memuaskan bagi masyarakat. Hal ini bisa disebabkan karena adanya unsur baru
yang masuk dalam masyarakat yang lebih memuaskan dari unsur sebelumnya. Atau bisa juga
perubahan terjadi karena harus adanya penyesuaian terhadap unsur-unsur lain yang telah
mengalami perubahan terlebih dahulu. Sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan itu
disebabkan oleh masyarakat itu sendiri atau bersumber dari luar masyarakat atau lingkungan
alam sekitarnya.
Perubahan sosial yang terjadi karena bersumber dari masryakatnya sendiri, antara lain:
berkurang/bertambahnya penduduk (dinamika penduduk), penemuan-penemuan baru,
pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam masyarakat serta adanya revolusi. Sedangkan
yang bersumber dari lingkungan alam sekitarnya, antara lain: peperangan, bencana alam,
pengaruh kebudayaan masyarakat lain, dll. (Halim.J: 2002)
Gambar. Mode Pakaian merupakan contoh perubahan kecil.
Sumber : Jawa Post, 19 April 2008
Gambar. Perubahan yang direncanakan dan dikehendaki.
Sumber : Encarta Encyclopedia, 2006
Disamping itu ada beberapa faktor baik yang mendukung ataupun menghambat
terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Faktor-faktor pendukung adanya perubahan
sosial seperti: sistem pendidikan yang maju, toleransi masyarakat terhadap perilaku
menyimpang, adanya stratifikasi sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen, dan
ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Sedangkan faktor-faktor yang
menghambat, antara lain: kurangnya atau tidak adanya relasi dengan masyarakat lain,
perkembangan pengetahuan yang sangat lambat, kehidupan masyarakat tradisional, adanya
kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat dalam masyarakat, rasa takut akan
terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal baru, sikap
idiologis. (Bettelheim, Janowtz: 1964).
Perubahan sosial terjadi pada dasarnya karena adanya pola-pola interaksi sosial. Dimana
pola-pola interaksi sosial ini, antara lain:
1. Asimilasi, suatu proses penetrasi(penerobosan), dan peleburan atau penyatuan
kepada seseorang maupun kelompok yang mempunyai pikiran, perasaan, dan sikap
dari orang atau kelompok yang lain,dengan membagi pengalaman dan cerita
(sejarah) termasuk juga tentang kebudayaandidalam kehidupan mereka
sebagaimana biasanya (Lubis dalam Federika: 2010)
2. Akulturasi meliputi fenomena yang dihasilkan dua kelompok yang berbeda
kebudayaanya mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti pola kebudayaan
asli salah satu atau kedua kelompok itu.
3. Konflik memainkan suatu peranan penting dalam pembentukan unit-unit sosial,
memperkuat sistem stratifikasi sosial dan memperluas difusi penemuan-penemuan
baru di bidang sosial budaya. (Soekanto dalam Federika: 2010)
Para ahli sosiologi mempercayai bahwa, masyarakat manapun pasti mengalami
perubahan berlangsung puluhan atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Perbedaannya adalah
dalam hal kecepatannya, intensitasnya, dan sumber-sumbernya. Perubahan sosial sekarang ini
berlangsung lebih cepat dan lebih intensif, sementara itu sumber-sumber perubahan dan
unsur-unsur yang mengalami perubahan juga lebih banyak.
Perubahan-perubahan yang terjadi bisa merupakan kemajuan atau mungkin justru suatu
kemunduran. Unsur-unsur yang mengalami perubahan biasanya adalah mengenai nilai-nilai
sosial, norma-norma sosial, pola-pola perikelakuan, organisasi sosial, lembaga-lembaga
kemasyarakatan, stratifikasi sosial, kekuasaan, tanggung jawab, kepemimpinan dan
sebagainya. Dalam masyarakat maju atau pada masyarakat berkembang, perubahan-
perubahan sosial dan kebudayaan selalu berkaitan eratdengan ciri dan bentuk
perekonomiannya.
Sikap tertentu juga merintangi perubahan. Pembangunan ekonomi akan terhambat
kecuali jika mau mempelajari sikap bekerjasama, mengkehendaki kemajuan, menghargai
pekerjaan, dan sebagainya. Bahkan perubahan menjanjikan pemenuhan kebutuhan dasar
seperti pemeliharaan kesehatan sekalipun, mungkin menghadapi rintangan karena sikap
tradisional.
2.4. Pengertian Etnis
Etnis adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti
atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-
anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik
yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi. Etnis bisa
dikatakan sebagai kesukuan, kedaerahan atau rasial. (Wikipedia)
Etnis dalam bahasa Yunani mengacu pada suatu pengertian (identik) pada dasar
geografis dalam batas-batas wilayah dengan system politik tertentu. (Rudolf dalam
Abdilah:2002). Kata etnis menjadi predikat pada identitas seseorang ataupun kelompok.
Ikatan-iaktan etnis terwujud dalam kumpulan orang, kelengkapan-kelengkapan primordial
seperti derajat, martabat, bahasa, adat-istiadat, dan kepercayaan yang dibebankan kepada
anggota kelompok tersebut yang menjadikannya serupa dengan anggota yang lain.
Dalam edintifikasi kelompok etnis ada dua pandangan pengertian, yaitu: 1. sebagai
sebuah unit obyek yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang dan 2. hanya
sekedar obyek pemikiran seseorang yang menyatakannya sebagai kelompok etnis. (Manger
dalam Abdilah:2002).
Terdapat tiga pendekatan teoritis dalam melihat fenomena etnisitas, yaitu:
primordialisme, konstruktivisme dan instrumentalisme. Primordialisme melihat fenomena
etnis dalam kategori-kategori sosio-biologis, seperti wilayah, agama, kebudayaan, bahasa dan
organisasi sosial. Konstruktivisem memandang identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial
yang lebih kompleks, dimana etnisitas dibangun berdasarkan suatu hitungan sejarah dari
bahasa dan pengalaman masa lalu. Sedangkan instrumentalisme lebih menekankan pada
manipulasi dan mobilisasi politik yang menyusun suatu kelompok-kelompok sosial, seperti
kebangsaan, agama, ras dan bahasa. (Abdilah: 2002)
Dari itu semua maka dapat ditarik sebuah batasan dari definisi etnis, dimana kelompok
etnis merupakan populasi yang mampu berkembang biak, memiliki budaya yang sama dan
sadar akan kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan
interaksi sendiri, serta menentukan ciri kelompoknya sendiri yang dapat diterima oleh
kelompok lain dan dapat dibedakan dengan ciri dari kelompok lain tersebut. (Barth dalam
Abdilah: 2002). Sehingga dapat disimpulkan bahwa etnis adlah suatu suku bangsa dengan
budaya dan bisa jadi dengan bahasa sendiri di dalam suatu komunitas masyarakat sebagai
sustu unit tersendiri yang terpisah dengan unit yang lain.
2.5. Masyarakat Etnis Cina di Kawasan Pecinan
Suku bangsa etnis Tionghoa (biasa disebut Cina) adalah salah satu etnis di Indonesia.
Orang Cina yang datang ke Indonesia sebenarnya berasal dari berbagai etnis yang membawa
kebudayaan dan bahasa aslinya sendiri-sendiri, dimana masing-masing berdiri sendiri dan
saling tidak dipahami. (Hidayah: 1977). Ada empat kelompok etnis Cina, antara lain:
Tenglang (Hokkien), Tengnag (Tiochiu), Thongnyin (Hakka) dan Kanton (Kwong Fu).
Kelompok-kelompok ini mayoritas berasal dari Cina Selatan (Guangdong dan Fujian) yang
menyebut diri mereka sebagai orang Tang. (Suryadinata,2005).
Istilah Tionghoa dan Tiongkok berasal dari kata kata dari bahasa Kanton, yaitu salah
satu bahasa Cina, dan artinya adalah orang Cina dan Negara Cina. Istilah ini selalu dipakai
oleh masyarakat Tionghoa sebelum 1965 (Suryadinata; 1978; hal 42). Akan tetapi pada tahun
itu, di Bandung dalam pertemuan antara Jenderal penting dari ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) menghasilkan keputusan menggunakan istilah ‘Cina’ ketika
menggambarkan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, sehingga mengurangi atau
menghapuskan perasaan ‘inferior’ dan ‘superior’ (Suryadinata; 1978; hal 42-43). Oleh karena
alasan ini yang melatarbelakangi pengunaan istilah ‘Cina’, masyarakat keturunan Tionghoa
merasa istilah ini adalah hinaan dan akibatnya ketika berbicara tentang masyarakatnya mereka
memakai istilah Tionghoa dan merasa dihina ketika istilah orang Cina atau Cina dipakai.
Orang Tionghoa sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-5 masehi. Selama beberapa
abad orang-orang Tionghoa terus bertambah jumlahnya, akan tetapi tidak ada catatan yang
jelas berapa jumlahnya. Catatan tentang angka baru bisa diperoleh dari cacah jiwa yang
dilakukan pada masa pemerintahan Inggris di Jawa (tahun 1811-1816). Jumlah masyarakat
Tionghoa pada tahun 1815 di Jawa ada 94.441 orang, sedangkan penduduk Jawa secara
keseluruhan waktu itu berjumlah 4.615.270 orang, berarti 2,04% dari jumlah penduduk secara
keseluruhan. (Raffels, 1817). Sebagian besar masyarakat Cina saat itu hidup secara
berkelompok di kota-kota pesisir Jawa.
Kedatangan orang-orang Cina semakin banyak pada abad ke-16 dan abad ke-19.
Terlebih ketika Belanda mulai mendirikan kota baru yang disebut Batavia. Mereka berasal
dari suku Tio Chiu dan Hakka (Khek), yang dipekerjakan sebagai kuli di perkebunan dan
pertambangan di daerah Sumatera Timur, Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat. Sedangkan
suku Hakkien memiliki keahlian berdagang (berniaga) dan suku bangsa Kanton memiliki
keahlian dibidang pertukangan kayu dan besi.
Gambar. Seorang pria Tionghoa berkuncir (toucang) di jalanan Batavia pertengahan tahun 1910-an.Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia, 7 Nov 2011, 2.47 pm
Pada masa VOC berkuasa, orang-orang Cina diijinkan berkumpul dan tinggal di
Batavia. Disini Belanda berperan sebagai karateker perkembangan kota. Periode kolonial
banyak meninggalkan artefak kota baik tangible dan intangible di kawasan kota lama. Salah
satunya dengan terdapatnya pengelompokan permukiman berdasarkan rasial oleh Belanda,
yang terdiri dari tiga kelompok yaitu permukiman untuk orang-orang Belanda (Eropa) dan
yang sederajat, permukiman untuk orang pribumi dan permukiman untuk orang timur asing
(Arab, Cina dan Melayu). Pengelompolan ini pada dasarnya untuk memudahkan pengontrolan
dan kelancaran akitivtas administrasi dan perdagangan Belanda, serta dimaksudkan pula
untuk lebih memudahkan pemerintah colonial dalam mengawasi aktivitas ekonomi dan segala
tindakan sosial komunitas diluar komunitas Belanda. (Greif; 1991)
Dari beberapa permukiman multirasial tersebut, Pecinanlah yang masih memiliki
eksistensi yang kuat di banding lainnya. Masuknya komunitas Cina yang mencapai
puncaknya pada abad ke 17 menjadikan populasi Pecinan cukup besar dan permukiman etnis
ini cenderung mentransplantasikan daerah barunya sama dengan daerah asalnya walaupun
masih dalam koridor adaptasi. (Widodo, 2004). Pecinan berawal dari makna kata “tempat”
atau kawasan yang dihuni oleh masyarakat Cina, namun kenyataannya Pecinan sekarang
adalah kawasan perdagangan yang tidak nampak lagi adanya aktivitas hunian. Kawasan
Pecinan adalah kawasan yang merujuk pada suatu bagian kota yang dari segi penduduk,
bentuk hunian, tatanan sosial serta suasana lingkungannya memiliki ciri khas karena
pertumbuhan bagian kota tersebut berakar secara historis dari masyarakat berkebudayaan
Cina (Lilananda 1998:1).
Gambar. Jalan Kembang Jepun (dulu bernama Handelstraat) Sumber: http://dewey.petra.ac.id/spektra/module/surabaya/docs/res_detail.php?knokat=
Permukiman Cina tersebut dibarengi dengan pendirian bangunan yang khas Cina,
misalnya bentuk bangunan arsitektur oriental dan klenteng. Namun karena sebagian besar
masyarakatnya datang dari Cina Selatan, yang berasal dari kalangan pekerja (buruh, petani,
nelayan, dll), sehingga bentuk arsitektur yang dibawanya menunjukkan tradisi kerakyatan.
Suatu bentuk phisik dari kebudayaan yang merupakan kebutuhan akan nilai, usaha untuk
mewujudkan keinginan, impian dari kebutuhan manusia. Hal yang demikian tentunya jauh
dari tradisi besar arsitektur (the grand architectural tradition) di Tiongkok, yang meliputi
struktur imperial dari daerah Tiongkok Utara, yang tidak berhubungan langsung dengan
kebudayaan mayoritas rakyatnya.
Pada umumnya permukiman Tionghoa pada kota-kota di Jawa sampai tahun 1900 an
terdapat di daerah Pecinan. Sejak tahun 1835 pemerintah kolonial Belanda membuat undang-
undang yang disebut sebagai wijkenstelsel, yang sangat membatasi gerak orang Tionghoa dari
daerah permukimannya (Pecinan). Dalam tata ruang kota, daerah Pecinan sering menjadi
“pusat perkembangan” karena daerah tersebut merupakan daerah perdagangan yang ramai.
Daerah yang mempunyai kepadatan bangunan yang sangat tinggi, dengan penampilan
bangunan yang berfungsi sebagai hunian-dagang atau lebih populer dengan sebutan rumah-
toko (shop house), sering menjadi ciri khas daerah Pecinan. (Handinoto,1996). Kawasan
Pecinan yang relatif sempit dan berpenduduk sangat padat tidak memungkinkan adanya
bangunan dalam skala besar. Pada umumnya jenis bangunan arsitektur Tionghoa yang ada di
Pecinan, adalah: kelenteng, ruko (rumah toko) dan rumah tinggal. (Khol: 1984)
Gambar. Klenteng Siu Hok Bio di Jalan Wotgandul Timur, SemarangSumber : http://iccsg.wordpress.com/2006/09/01/wisata-pecinan-semarangeksotika-1001-klenteng/, 7 Nov
2011, 3.35 pmBentuk awal perumahan masyarakat Cina memang tidak banyak diketahui. Umumnya
bangunan hunian mereka akan mengadopsi dengan bentuk umum bangunan hunian
masyarakat asli di sekitar mereka. Pada saat Kolonial membangun perumahan bagi warga
Belanda, maka komunitas Cina di dalam benteng tersebut akan mengikuti pola perumahan
warga Belanda, yaitu bangunan rumah gandeng menerus dengan atau tanpa lantai bertingkat,
dengan ukuran lebar rumah yang menghadap ke kanal atau jalan antara 5-8 meter. Bangunan
rumah semacam ini disebut dengan tipe stads wooningen atau rumah kota. Pola ini kemudian
berkembang menjadi pola bangunan rumah-toko yang terdapat di Pecinan (Widayati 2003).
Gambar. Kawasan Pecinan di Surabaya Tahun 1927anSumber : http://www.flickr.com/photos/8494278@N04/page2/, 7 Nov 2011, 4.34 pm
Vasanty dalam Koentjaraningrat (1999), menyebutkan Kampung Tionghoa di kota-kota
biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang berhadapan dengan jalan pusat pertokoan.
Deretan rumah-rumah itu, merupakan rumah-rumah petak di bawah satu atap, yang umumnya
tidak mempunyai pekarangan. Sebagai ganti pekarangan, di tengah rumah, biasanya ada
bagian tanpa atap untuk menanam tanam-tanaman (courtyard), untuk tempat mencuci piring
dan menjemur pakaian. Ruangan paling depan dari rumah selalu merupakan ruang tamu dan
tempat meja abu. Biasanya ruang ini dipakai sebagai toko, sehingga meja abu harus
ditempatkan di ruang belakangnya. Sesudah itu terdapat lorong dengan di sebelah kanan-
kirinya terdapat kamar tidur. Di bagian belakang terdapat dapur dan kamar mandi. Ciri khas
dari rumah masyarakat Tionghoa dengan tipe yang kuno adalah bentuk atapnya yang selalu
melancip pada ujung-ujungnya (Chih-Wei), dengan ukir-ukiran pada tiang-tiang dari balok.
Gambar. Kawasan Pecinan JakartaSumber : http://www.pecinan.net/, 7 Nov 2011, 4.44 pm
Dinyatakan pula bahwa di tiap-tiap Kampung Tionghoa selalu terdapat satu atau dua
kelenteng. Bangunan klenteng biasanya masih memiliki bentuk yang khas dan kaya akan ukir-
ukiran Tionghoa. Kuil-kuil yang dijelaskan di atas bukan merupakan tempat untuk beribadah,
tetapi hanya merupakan tempat orang-orang meminta berkah, meminta anak, dan tempat
orang mengucapkan syukur. Untuk itu ia membakar dupa kepada dewa yang melindunginya.
(Vasanty dalam Koentjaraningrat 1999)
Dengan pemukiman yang tumbuh di sana, kehidupan sosial juga ikut berkembang.
Interaksi sosial yang terjadi dengan masyarakat pribumi memberi kesempatan bagi orang-
orang dan para pedagang Cina untuk mengenal lebih jauh budaya lokal. Kebanyakan dari
mereka meniru pola pemukiman dan pergaulan hidup orang pribumi. Pada kalangan elit ini
orang-orang Cina juga banyak berhubungan dengan para bangsawan, seperti keraton
Surakarta. Sehingga hal ini memberikan pengaruh pada perilaku kehidupan orang-orang Cina.
Gambar. Kawasan Pecinan MagelangSumber : http://www.pecinan.net/, 7 Nov 2011, 4.44 pm
2.6. Modernisasi sebagai Hasil dari Perubahan Sosial Budaya
Modernisasi adalah suatu proses transformasi masyarakat dalam segala aspeksnya. Data
enunjuakn bahwa semua Negara baru mengamali proses moderinasasi, dengan menetapkan
rencana-rencana pembangunannya yang menyentuh sector-sektor permbangunan ekonomi,
politik, sosial dan pendidikan; yang dianggap sebagai aspek-aspek dominan dalam
modernisasi. (Anies: 2005). Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya
untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau
berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan
nilai-nilai tradisi.
Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan
sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih
luas atau universal, itulah spesifikasi nilai atauvalues.
Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang
berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan
secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnyatradisi meliputi sejumlah norma
(norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan
kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal
seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values. Sebagai contoh atau kasus, seyogianya
manusia mengenakkan pakaian, ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua
fihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa
yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa
dikenakan, itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu
ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.
Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah
sebagai berikut, Ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai
penghambat kemajuan atau proses modernisasi, Ada pula sejumlah norma atau tradisi yang
memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau
dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi.Ada pula yang betul-
betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai baru.
Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka
ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau
orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan
terhadap tahyul. Konsep modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian perubahan
yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional sebagai suatu upaya
mewujudkan masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu masyarakat industrial.
Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk
perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik, pendidikan,
tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial tertentu.
Modernisasi suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan suatu
pengertian yang berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat
yang sadar dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin mengglobal
pada saat kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau
masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan kehidupan
manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia) tidaklah sekedar
memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata, tetapi diharapkan mampu merespons,
melibatkan diri dan memanfaatkannya secara signifikan bagi eksistensi bagi dirinya,
sesamanya, dan lingkungan sekitarnya. Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau
kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah:
Nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan
cermat mencoba merencanakan masa depannya. Nilai budaya atau sikap mental yang
senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam,
dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini, memang iptek bisa
dibeli, dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing, namun dalam penerapannya
memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit daripada mengembangkan iptek baru,
Nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasidan tidak menilai
tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa
gengsi pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada
konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland (Koentjaraningrat, 1985),
yaitu achievement-oriented, Nilai budaya atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi
usaha pihak lain yang mampu meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.
Tanpa harus suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya
hidup seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk ditiru,
diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala persyaratan ini telah
dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang telah ditampilkan telah dimiliki
oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau
mengajarkan bahwa sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di
Asia seperti India dan Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara
ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan bahwa orang-
orang Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan pengadaptasian nilai-nilai
kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau Cina.
Proses modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan
(urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di
Indonesia. Kota-kota di negara-negara sedang berkembang menjadi pusat-pusat modernisasi
yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk kegiatan pembangunan, baik aspek fisik-material,
sosio-kultural, maupun aspek mental-spiritual. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini,
menjadikan daerah perkotaan sebagai daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih
baik bagi penduduk pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi
pendorong kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan memadati
setiap sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi. Fenomena
demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber permasalahan bagi kebijakan-
kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan masyarakat perkotaan. Sampai dengan
saat sekarang ini masalah perkotaan ini masih menunjukkan gelagat yang semakin ruwet dan
kompleks.
2.7. Perubahan Sosial Etnis Cina di Kawasan Pecinan dalam Modernisasi
Komunitas etnis Cina di Indonesia, khususnya di kawasan Pecinan mengalami
perubahan sejalan dengan perubahan-perubahan umum yang terjadi di Indonesia, baik mulai
dari kolonial hingga di era modernisasi yaitu abad ke-20 ini. Perubahan yang terjadi
mencakup empat aspek, yaitu: budaya, organisasi, media dan politik.
Gambar. Perubahan Suasana Kya-Kya dalam era modernSumber: http://surabayaberkembang.blogspot.com
Pengelompokan masyarakat menjadi 3 kelompok pada era kolonial yang pada akhirnya
menciptakan kawasan permukiman yang lebih dikenal dengan nama Pecinan, memberikan
perubahan bagi kaum etnis Cina pada masa itu. Belanda mengangkat beberapa pemimpin
komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara
pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang
saat itu sedikit demi sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih
didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki
oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-323). Bidang
pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina. Pada abad ke-19,
pemerintah Belanda mengijinkan orang-orang keturunan Cina kaya untuk bersekolah,
sehingga akhirnya berdiri sekolah Tionghoa dengan nama Tionghoa Hwee Koan (THHK).
(wikipedia).
Gambar. Eks-Gedung THHK di BataviaSumber : http://masoye.multiply.com/photos/album/64#photo=15, 7 Nov 2011, 4.53 pm
Sampai tahun 1900-an kita masih dapat melihat banyak arsitektur yang bergaya
Tionghoa di daerah Pecinan. Tapi sesudah tahun 1900 terdapat perkembangan yang cukup
signifikan, dimana setelah dihapuskannya undang-undang Wijkenstelsel, permukiman
Tionghoa menempati daerah-daerah perdagangan yang strategis, diseluruh kota. Sebagian
elite lokalnya membangun rumah-rumah modern diluar daerah yang dulunya terkenal dengan
sebutan Pecinan. Perubahan pembaharuan tersebut berdampak langsung pada tampilan
arsitekturnya. Ditambah dengan dibukanya sekolah-sekolah Belanda yang boleh dimasuki
oleh sebagian kecil orang Tionghoa seperti HCS, MULO maupun AMS, maka pembangunan
rumah-rumah modern orang Tionghoa secara tidak langsung berakibat menipisnya unsur-
unsur arsitektur tradisional Tionghoanya, bahkan boleh dibilang hilang sama sekali. Kejadian
seperti ini terus berlanjut sampai setelah kemerdekaan 1945.
Gambar. Rumah Warga Tionghoa di Asia TenggaraSumber : http://www.pecinan.net/, 7 Nov 2011, 4.44 pm
David G. Khol (1984:22), menulis dalam buku “Chinese Architecture in The Straits
Settlements and Western Malaya”, memberikan semacam petunjuk terutama bagi orang
awam, bagaimana melihat ciri-ciri dari arsitektur orang Tionghoa yang ada terutama di Asia
Tenggara. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut : “courtyard”, penekanan pada bentuk atap
yang khas, elemen-elemen struktural yang terbuka (yang kadang-kadang disertai dengan
ornamen ragam hias dan penggunaan warna yang khas.
Pada masa pasca kolonial, Pecinan sebagai suatu tempat hunian dan juga perdagangan,
mengalami perubahan. Orang-orang Cina yang sudah mapan kehidupannya, kemudian
membeli lahan dan membangun hunian di luar daerah Pecinan. Pada awal perkembangannya
detail-detail konstruksi dan ragam hiasnya sarat dengan gaya arsitektur Tionghoa. Tapi
setelah akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sudah terjadi percampuran dengan sistim
konstruksi (mulai memakai kuda-kuda pada konstruksi atapnya) dan ragam hias campuran
dengan arsitektur Eropa.
Gambar. Bangunan berarsitektur campuran Cina dan EropaSumber : http://masoye.multiply.com/journal, 7 Nov 2011, 5.06 pm
Pada masa pasca Belanda, orang-orang cina telah mengembangkan kehebatan
ekonominya terutama di bidang yang telah ditinggalkan Belanda, yaitu kegiatan ekspor impor.
Sehingga orang-orang Cina menjadi penguasa di bidang ekonomi. Pecinan yang menjadi basis
ekonomi semakin berkembang. Akan tetapi perkembangannya sempat mengalami mati suri.
Hal ini diakibatkan karena pengaruh pengelompokan yang dilakukan Belanda pada masa
kolonial menyebabkan adanya stratifikasi sosial yang pada akhirnya meunculkan adanya
diskriminasi yang terasa hingga saat ini. Banyak dari kebijakan dan undang-undang yang
mengenai keturunan Tionghoa menyebabkan timbulnya batasan-batasan yang menahan
perkembangan identitas kebudayaan Tionghoa.
Pada tahun 1967 rezim ‘orde baru’ mengeluarkan Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 14
Tahun 1967, yang isinya melarang perayaan-perayaan, pesta agama dan adat istiadat
Tionghoa. Peraturan tersebut jelas-jelas sangat menghambat perkembangan kebudayaan etnis
Tionghoa di Indonesia. Ketika jaman orda baru warga keturunan Tionghoa juga dilarang
berekspresi. Warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus
hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan
pemakaian Bahasa Mandarin dilarang.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian
Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya
agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Kelenteng sebagai salah satu bentuk
bangunan di Pecinan, yang pada awalnya di bangun untuk memuja dewa yang melindungi
para pedagang dan pelaut, akhirnya mengadopsi ajaran budhisme agar bisa bertahan.
Gambar. Klenteng yang dibangun pada tahun 1960anSumber : http://eastjavatraveler.com/wp-content/uploads/ejtcom_kwan-sing-bio4.jpg, 7 Nov 2011, 6.06 pm
Dalam bidang politik, kaum komunitas Cina dijauhkan dari dunia politik praktis. Puncak
dari ini semua adalah adanya peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam
bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan
jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual,
penjarahan, kekerasan, dan lainnya, yang menjadi akhir dari Orde Baru. Baru pada pasca
kerusuhan Mei 1998, bermacam-macam kelonggaran diberikan kepada komunitas Tionghoa.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dikeluarkan Kepres (Keputusan
Presiden) Nomor 6 Tahun 2000, tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967. Ini
merupakan pengakuan bahwa masyarakat Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia.
Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri , Hari Raya Imlek
ditetapkan dalam daftar tanggal merah almanak Indonesia.
Gambar. Bukti Pengakuan Megawati Soekarnoputri terhadap Etnis TionghoaSumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia, 7 Nov 2011, 5.48 pm
Di era modernisasi, corak arsitektur ruko sudah berkembang lebih pesat lagi. Meskipun
bentuk dasarnya pada 1 unit ruko masih belum banyak mengalami perubahan, tapi tampak
luarnya merupakan pencerminan arsitektur pasca modern yang sedang melanda dunia
arsitektur di Indonesia dewasa ini, tidak ada sedikitpun corak arsitektur Tionghoanya yang
tertinggal. Dengan makin kaburnya daerah Pecinan sekarang, maka bangunan ruko pada akhir
abad ke 20 ini banyak yang terletak di daerah zoning perdagangan dalam tata ruang kota
(keluar dari daerah Pecinan tradisional). Fasilitas bangunannya pun sudah di sesuaikan
dengan jaman sekarang, seperti adanya parkir mobil, dan fasilitas umum lainnya. Arsitektur
ruko yang pada awalnya berkembang di daerah Pecinan sekarang berkembang subur di
berbagai kota di Indonesia dengan mengikuti perkembangan jaman.
Dunia perdagangan selalu sarat dengan perubahan dan penyesuaian jaman. Hal ini juga
tercermin dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia. Wujud phisiknya bisa tercermin pada
banguan ruko. Ada hal-hal yang harus tetap dipertahankan dan ada hal-hal yang berubah, akan
tetapi fungsi dan efisiensi masih tetap tidak berubah.
Di awal abad ke-20, perubahan pada komunitas Tionghoa terjadi pada empat bidang
kehidupan komunitas Tionghoa. Keempat bidang tersebut yaitu, kegiatan budaya, organisasi,
media dan aktivitas politik. Perubahan di bidang budaya berupa pertujukan keseniaan,
kegiatan ritual adat istiadat, yang sebelumnya sempat dilarang, sekarang bisa kembali eksis di
muka umum, seperti tarian Barong Sai, kegiatan ritual Imlek, dan budaya-budaya Cina
lainnya. Perubahan organisasinya berupa hidupnya kembali organisasi Tionghoa dengan
didirikannya organisasi Tionghoa yang sifatnya untuk melawan stereotip negatif etnis
Tionghoa. Perubahan medianya berupa siaran radio berbahasa Mandarin. Perubahan dalam
aktivitas politik diekpresikan lewat memilih sendiri partai mana yang menurut mereka
mewakili pandangan mereka.
Perubahan kondisi sosial kemasyarakatan di Pecinan ditinjau dalam melakukan interaksi
dalam dua konteks, yaitu hubungan sosial di kalangan etnis Cina (intern) dan hubungan sosial
etnis Cina dengan komunitas luar yang majemuk (extern).
1) Hubungan internal (sesama komunitas Cina). Secara tidak tertulis, dalam sistem
sosial komunitas Cina terdiri dari adanya dualism, antara Cina Totok dan Cina
peranakan. Masing-masing golongan pun memiliki perbedaan dalam menyikapi
kehidupannya meskipun berada di daerah perantauan. Cina totok cenderung tertutup
dan masih menjaga tradisi asli etnis Cina, misalnya mereka masih menggunakan
bahasa Cina dalam kehidupan sehari-hari dalam mendidik anaknya. Kelompok sosial
ini tergolong dalam proses evolusi yang membutuhkan waktu yang cukup lama
dalam kehidupan sosialnya. Lain halnya dengan Cina peranakan yang lebih
fleksibel, sehingga terkategorikan dalam suatu akulturasi. Kondisi sosial yang
berlangsung saat ini lebih dominan pada proses akulturasi, tanpa mengesampingkan
proses lain yang juga terjadi dalam berbagai indikasi. Berdasarkan tinjauan Pratiwo
(2009), Cina Totok merasa lebih Tionghoa dan memiliki perasaan superior terhadap
kaum peranakan. Eksistensi perbedaan misalnya juga terlihat pada kepemilikan
rumah abu. Rumah abu adalah bangunan yang didirikan oleh keluarga semarga dan
digunakan sebagai rumah sembahyang untuk menghormati leluhur mereka (Indrani,
2005). Umumnya rumah abu hanya dimiliki oleh keluarga mampu, sedangkan bagi
keluarga kurang mampu cukup menyediakan sebuah altar yang ditempatkan di ruang
depan rumah tinggalnya berupa meja sembahyang berfungsi untuk meletakkan
papan-papan nama dan foto-foto leluhur. Rumah abu pada umumnya dimiliki oleh
Cina Totok yang memiliki taraf hidup yang tinggi dibanding Cina peranakan.
2) Hubungan eksternal (komunitas Cina dengan komunitas sosial luar). Dari kondisi
sosial internal Cina bahasan tadi, diketahui bahwa etnis Cina telah melakukan
akulturasi terhadap komunitas lain, terutama dari golongan peranakan. Sedangkan
untuk hubungan eksternal lintas etnis Cina juga terlihat dari indikasi pada hubungan
dalam sistem kemasyarakatannya. Contoh kasus dapat dilihat pada komunitas Cina
di Jawa (Zahnd, 2007), dimana daerah ini dipengaruhi budaya Cina dalam tiga hal
yaitu banyak orang Cina masuk Islam, karena status sosialnya akan menjadi lebih
tinggi dan mereka juga menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti
perkembangannya. Selain itu, etnis Cina itu tidak homogen, di satu pihak adalah
para pedagang dengan kaya dengan hubungan luas dan status tinggi, namun di lain
pihak terdapat orang Cina bekerja sebagai pengusaha kecil.
Sebagian etnis Cina melakukan perkawinan dengan pribumi, bukti dalam agama yang
dianut telah beragam, dan pranata sosial yang dijalankannya telah mengalami penyesuaian
dengan kehidupan di Indonesia. Contoh-contoh tersebut bukan saja karena bentuk antisipasi
diskriminasi anti-Cina di zaman orde baru (setelah tahun1965), namun timbul secara alamiah
sampai sekarang. Trauma akan peristiwa renggangnya hubungan etnis Cina dan pribumi
lambat launpun berangsur hilang.
Penelusuran kondisi budaya Pecinan di Indonesia seperti Pecinan Semarang, Pecinan
Jakarta, Pecinan Makasar, Pecinan Surabaya, dll (http://dwithebigone.blogspot.com,
www.wikipedia.com, dan melantjong-petjinan-soerabaia-tjiamik.html) berdasarkan akulturasi
budaya Cina dan kaum pribumi, dapat dilihat dari indikasi berikut :
1) Bahasa. Akulturasi budaya Cina dan pribumi dalam bidang bahasa terjadi dalam
bentuk peminjaman istilah pada bahasa lisan atau tulisan. Penggunaan bahasa pada
unsur nama orang, makanan Cina dan istilah lain. Untuk hal makanan sangatlah
familiar, seperti : bakso, mie titi, bakmi, capjay, lunpia, dan lainnya. Bahkan ada
pusat-pusat frencise makanan Cina.
2) Kesenian. Ada pembauran kebudayaan yang sangat kental, khususnya terjadi di
Pecinan yang ada di Jawa. Di Semarang misalnya dikenal Gambang Semarang, yang
berasal dari Gambang Kromong Jakarta yaitu perpaduan unsur kesenian masyarakat
Cina dan pribumi. Disamping bentuk kesenian yang merupakan tradisi dari etnis
Cina misalnya atraksi barongsai, leong-leong, atau rangkaian kegiatan etnis Cina
yang digelar ketika ada perayaan hari raya tertentu.
Gambar. Pagelaran Gambang SemarangSumber : http://nidafauziasupriatna.blogspot.com/2009_12_01_archive.html, 7 Nov 2011, 6.19 pm
3) Sistem Kepercayaan (Religi). Rangkaian sejarah Indonesia diwarnai berbagai
pergolakan yang melibatkan etnis Cina yang kontradiktif terhadap pribumi. Pada
masa ini terjadi pula peralihan status dan identitas, termasuk dalam system
kepercayaan. Ada yang semula beragama Kong Hu Chu atau Budha berpindah
memeluk agama Islam, Katolik dan Kristen Protestan.
4) Sistem Pengetahuan. Kebudayaan sungai Kuning (Cina) termasuk salah satu
kebudayaan yang mempunyai peradaban tertinggi di dunia. Buktinya bahwa hasil
kebudayaannya tetap berkelanjutan bahkan diwarisi hingga sekarang. Cina telah
membawa pengetahuan dan teknologi seperti teknologi metalurgi (pengolahan
logam dan besi), bahkan, bangsa Cina membawa bibit-bibit tanaman seperti teh,
tembakau, dan kacang hijau atau tauge. Implikasi lanjutannya, pengetahuan dan
pengolahan makanan berkembang sehingga kita semakin mengenal variasi kuliner
yang kaya sampai kini.
Top Related