BAB II
-
Upload
dyah-gupita -
Category
Documents
-
view
229 -
download
3
description
Transcript of BAB II
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Manusia telah diciptakan sebagai satu-satunya makhluk hidup yang
sempurna. Salah satu bentuk kesempurnaan manusia yaitu lengkapnya
indra yang dimilikinya, dimana indra-indra ini sangat menopang
kehidupan manusia. indra manusia terbagi menjadi 5 macam yaitu indra
pendengaran, indra penglihatan, indra perasa, indra pembau dan indra
peraba. Masing-maisng indra apabila mengalami gangguan maka akan
mengubah kestabilan kehidupan manusia dan salah satu contoh adanya
gangguan pada indra pendengaran. Gangguan pendengaran diartikan
sebagai ketidakmampuan secara parsial atau total untuk mendengarkan
suara pada salah satu atau kedua telinga. Penyebab gangguan pendengaran
hingga saat ini didasarkan oleh adanya kelainan genetik dan adanya faktor
lain yang terjadi pada organ-organ dalam telinga, maka bisa saja yang
dianggap hal biasa oleh penderita dapat menyebabkan gangguan
pendengaran.
Menyadari pentingnya kesehatan indra pendengaran maka
diperlukan pengetahuan khusus mengenai penyebab-penyebab terjadinya
gangguan pendengaran, ciri-ciri adanya gangguan pada pendengaran dan
pengobatan yang dapat ambil untuk mengobati gangguan pendengaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga dan Histologi Telinga
Gambar 1. Anatomi Telinga
2.1.1.Anatomi telinga luar
Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan
dipisahkan dari telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk
membantu pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan
dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat
di depan meatus auditorius eksternus terdapat sendi temporal mandibular.
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga
lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua
pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius
eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung
kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin
yang disebut serumen. Serumen mempunyai sifat antibakteri dan memberikan
perlindungan bagi kulit.
2.1.2. Anatomi telinga tengah
Bagian atas membrana timpani disebut
pars flaksida, sedangkan bagian bawah pars
tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan,
yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit
liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh
sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa
saluran napas. Menurut Sherwood, pars tensa
mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan
sedikit serat elastin yang berjalan secara radier
di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.
Di dalam telinga tengah terdapat
tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus,
dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.
Prosesus longus maleus melekat pada membrana timpani, maleus melekat pada
inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap oval yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran
merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.
2.1.3.Anatomi telinga dalam
Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat. Bagian
dalam sekat ini adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina
spiralis membranasea. Ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala
vestibuli dan skala timpani. Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea yang
disebut helikotrema. Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala
timpani berakhir pada foramen rotundum. Pertemuan antara lamina spiralis ossea
dan membranasea kearah perifer membentuk suatu membrana yang tipis yang
disebut membrana Reissner yang memisahkan skala vestibuli dengan skala media
(duktus koklearis). Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan dengan
labirin tulang oleh jaringan ikat penyambung periosteal dan mengandung end
organ dari nervus koklearis dan organ Corti. Duktus koklearis berhubungan
dengan sakkulus dengan perantaraan duktus Reuniens.
Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung
organel-organel yang penting untuk mekenisma saraf perifer pendengaran.
Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000
sel dan tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira 12.000 sel. Sel-sel ini
menggantung lewat lubang-lubang lengan horisontal dari suatu jungkat-
jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen
menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel rambut terdapat
strereosilia yang melekat pada suatu selubung yang cenderung datar yang
dikenal sebagai membrana tektoria. Membrana tektoria disekresi dan
disokong oleh limbus.
2.3.
Fisiologi
Pendengaran
Proses pendengaran terjadi mengikuti alur sebagai berikut: gelombang suara
mencapai membran tympani, membran tympani bergetar menyebabkan tulang-
tulang pendengaran bergetar. Tulang stapes yang bergetar masuk-keluar dari
tingkat oval menimbulkan getaran pada perilymph di scala vestibuli. Karena luas
permukaan membran tympani 22 x lebih besar dari luas tingkap oval, maka terjadi
penguatan 15-22 x pada tingkap oval. Membran basilaris yang terletak dekat
telinga tengah lebih pendek dan kaku, akan bergetar bila ada getaran dengan nada
rendah. Getaran yang bernada tinggi pada perilymp scala vestibuli akan melintasi
membrana vestibularis yang terletak dekat ke telinga tengah. Sebaliknya nada
rendah akan menggetarkan bagian membrana basilaris di daerah apex. Getaran ini
kemudian akan turun ke perilymp scala tympani, kemudian keluar melalui tingkap
bulat ke telinga tengah untuk direndam.
Sewaktu membrana basilaris bergetar, rambut-rambut pada sel-sel rambut
bergetar terhadap membrana tectoria, hal ini menimbulkan suatu potensial aksi
yang akan berubah menjadi impuls. Impuls dijalarkan melalui saraf otak
statoacustikus (saraf pendengaran) ke medulla oblongata kemudian ke colliculus
Persepsi auditif terjadi setelah proses sensori atau sensasi auditif. Sensori auditif
diaktifkan oleh adanya rangsang bunyi atau suara. Persepsi auditif berkaitan
dengan kemampuan otak untuk memproses dan menginterpretasikan berbagai
bunyi atau suara yang didengar oleh telinga. Kemampuan persepsi auditif yang
baik memungkinkan seorang anak dapat membedakan berbagai bunyi dengan
sumber, ritme, volume, dan pitch yang berbeda.
2.4. Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total
untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga.
2.4.1. Klasifikasi
Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Tuli konduktif,
yaitu gangguan pendengaran akibat gangguan hantaran suara yang
disebabkan oleh kelainan yang terdapat pada telinga luar dan telinga tengah.2,3
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat
mencapai telinga dalam secara efektif. Keadaan ini disebabkan karena adanya
gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang
telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan tuba auditiva (Centers for
Disease Control and Prevention). Secara umum, gejala yang ditemui pada
gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut :
Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga
sebelumnya.
Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak
dengan perubahan posisi kepala.
Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung).
Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara
lembut (soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis.
Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai.
b) Tuli sensorineural (perseptif),
yaitu gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kelainan yang terdapat
pada telinga dalam, nervus VII, atau di pusat pendengaran.2,3 Tuli sensorineural
dapat dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea.2
Tuli sensorineural koklea dapat disebabkan oleh aplasia (kongenital),
labirintitis (oleh bakteri atau virus) dan intoksikasi obat (streptomisin, kanamisin,
garamisin, neomisin, kina, asetosal, atau alcohol). Selain itu, dapat juga
disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik
dan pajanan bising.
Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor
sudut pons serebelum, myeloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan
kelainan otak lainnya.
c) Tuli campuran,
yaitu gangguan pendengaran yang merupakan kombinasi tuli konduktif dan
tuli sensorineural. Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis
hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi
gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan
pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan
hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media. Kedua
gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang berat
sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam.
Berdasarkan derajat ketulian, gangguan pendengaran juga dapat
diklasifikasikan menjadi berikut:
a) tuli ringan : >25 - 40 dB
b) tuli sedang : >40 - 55 dB
c) tuli sedang berat : >55 - 70 dB
d) tuli berat : >70 - 90 dB
e) tuli sangat berat : > 90 dB
2.4.2. Patofisiologi
a) Tuli Konduktif
Tuli konsuktif terjadi apabila gelombang suara tidak secara adekuat
dihantarkan melalui telinga luar dan tengah untuk menggetarkan cairan di telinga
dalam. Tuli konduktif mungkin disebabkan oleh sumbatan fisik saluran telinga
oleh kotoran telinga, ruptur gendang telinga, infeksi telinga tengah disertai
penimbunan cairan, atau restriksi gerakan osikula karena adhesi antara stapes dan
jendela oval.
b) Tuli Sensorineural
Gangguan pendengaran sensorineural dapat terjadi akibat gangguan dalam
transmisi setelah koklea. Pada tuli ini gelombang suara disalurkan ke telinga
dalam, tetapi gelombang tersebut tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang
diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara. Defek mungkin terletak pada
organ Corti, pada saraf auditorius atau jalur auditorius asendens, atau yang jarang
terjadi, pada korteks auditorius itu sendiri.
2.4.3. Etiologi
Penyebab terjadinya gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh beberapa
kelainan yang terdapat pada telinga bagian luar, telinga tengah, dan telinga dalam.
a) Kelainan yang berasal dari telinga luar
1. Atresia liang telinga
Atresia liang telinga adalah malformasi liang telinga, yang dapat dilihat
bersama dengan malformasi lengkap atau sebagian dari daun telinga (pinna) dan
sudah terlihat sejak lahir (American Academy of Otolaryngology). Gangguan ini
disebabkan oleh adanya kegagalan kanalisasi bagian sumbatan epitelial dari celah
brankiail pertama ektoderm (medscape dan BOIES). Dengan demikian terjadi
kegagalan pembentukan external auditory canal, yang menyebabkan penyaluran
suara menuju membran
timpani terhambat,
sehingga menimbulkan tuli
konduktif (BOIES).
Gambar. Atresia Liang Telinga
2. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel)
Otitis eksterna sirkumskripta adalah radang pada liang telinga yang
disebabkan oleh infeksi pada polisebaseus yang dapat menyebabkan timbulnya
furunkel. Kuman penyebabnya biasanya adalah Staphylococcus aureus dan
Staphylococcus albus. Furunkel yang besar dapat menyumbat liang telinga
sehingga dapat menghambat penyaluran gelombang suara ke gendang telinga.
Gejala lain yang dapat muncul ialah rasa nyeri yang dapat timbul pada waktu
membuka mulut atau penekanan perikondrium (FKUI).
3. Osteoma Liang Telinga
Osteoma adalah tumor jinak yang tumbuh lambat pada dinding liang telinga
yang tampak sebagai benjolan tunggal, keras, yang menempel pada sepertiga
bagian dalam (bagian tulang) liang telinga (BOIES).
4. Penumpukan Serumen
Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel
kulit yang terlepas, dan partikel debu. Gumpalan serumen yang menumpuk di
liang telinga dapat menimbulkan gangguan penyaluran gelombang suara ke
gendang telinga, sehingga menimbulkan gangguan pendengaran. Bila terdapat air
yang masuk ke dalam telinga, serumen mengembang hingga menimbulkan rasa
tertekan dan gangguan pendengaran (FKUI).
5. Benda Asing di Liang Telinga
Benda asing yang ditemukan di liang telinga dapat berupa benda mati atau
hidup, binatang, komponen tumbuh-tumbuhan, atau mineral. Pada anak kecil
sering ditemukan kacang hijau, manik, mainan, atau karet penghapus. Pada orang
dewasa sering ditemukan kapas cotton bud yang tertinggal hingga serangga kecil
seperti semut atau nyamuk. Benda asing seringkali tertinggal pada bagian liang
telinga yang menyempit yaitu pada bagian persambungan antara cartilago dan
tulang. Bendaasing tersebut dapat menyebabkan obstruksi pada liang telinga
sehingga menghambat penghantaran gelombang suara ke gendang telinga.
b) Kelaianan yang berasal dari telinga tengah
1. Sumbatan Tuba Eustachius
Yaitu suatu keadaan terbloknya tuba atau tidak dapat terbuka secara baik.
Udara tidak dapat masuk ke dalam telinga tengah, sehingga menyebabkan tekanan
udara di dalam telinga tengah lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di luar
membran timpani. Keadaan ini mendorong membran timpani menjadi tegang dan
tidak dapat bergetar dengan baik ketika dilalui gelombang suara. Sehingga gejala
utama yang dapat muncul adalah pendengaran yang kurang tajam. Gejala lain
yang dapat dirasakan diantaranya adalah nyeri pada telinga, terasa penuh dalam
telinga, tinitus, dan pusing. Terjadinya sumbatan tuba eustachius akibat ISPA,
alergi, pembesaran adenoid, tumor nasofaring, atau barotrauma
(penerbang/penyelam).
2. Otitis Media
Otitits media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (FKUI). Penimbunan
sekret yang dihasilkan pada otitis media non-supuratif dan otitis media supuratif
dapat menghambat pergerakan rantai tulang-tulang pendengaran dalam
menghantarkan getaran suara dari membrana timpani ke jendela oval. Selain itu,
perforasi membran timpani juga dapat menghambat hantaran gelombang suara ke
telinga tengah.
3. Osteosklerosis
Suatu penyebab umu tuli konduktif pada orang dewasa adalah otosklerosis
(BOIES). Gangguan ini merupakan penyakit kapsul tulang labirin yang
mengalami spongiosis di daerah kaki stapes. Akibatnya stapes menjadi kaku dan
tidak dapat menghantarkan getaran suara ke labirin dengan baik. Beberapa faktor
diperkirakan dapat menjadi penyebab kelainan ini, seperti faktor keturunan dan
gangguan perdarahan pada stapes (FKUI).
c) Kelainan yang berasal dari telinga dalam
1. Aplasia telinga dalam
Aplasia adalah suatu kedaan cacat bawaan dengan tidak terbentuknya suatu
organ atau jaringan (dorland). Aplasia telinga dalam merpakan suatu kelainan
kongenital yang menimbulkan keadaan tuli sensorineural. Kelainan ini dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa bagian menjadi ketulian Michel, ketulian
Mondini, ketulian Scheibe, dan ketulian Alexander (BOIES, American Journal of
Neuroradiology). Anomali ini terjadi akibat kegagalan secara lengkap atau
sebagian dari pengembangan struktur telinga bagian dalam selama minggu-
minggu pertama kehidupan embrio dan kejadiaannya jarang terjadi. Beberapa
faktor predisposisi anomali ini meliputi paparan thalidomide, infeksi
sitomegalovirus kongenital, dan kelainan genetik.
2. Labirinitis
Labirinitis adalah suatu proses radang yang melibatkan mekanisme telinga
dalam (BOIES). Kelainan ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan
vertigo (Pubmed). Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan patologis labirinitis,
yaitu proses akut, kronik, seta toksik, atau supuratif. Labirinitis akut dapat
disebabkan oleh infeksi pada struktur didekatnya, yaitu dapat telinga tengah atau
meningen. Labirin toksik diduga disebabkan oleh produk-produk toksik dari suatu
infeksi. labirinitis supuratif akut terjadi pada infeksi bakteri akut yang meluas ke
dalam struktur-struktur telinga dalam. Labirinitis kronik dapat timbul dari
berbagai sumber dan dapat menimbulkan suatu hidrops endolimfatik atau
perubahan-perubahan patologik yang akhirnya menyebabkan sklerosis labirin.
3. Intoksikasi Obat
Setiap obat dan zat kimia yang menimbulkan efek toksik terhadap ginjal
dapat dan biasanya juga bersifat ototoksik. Masing-masing obat dapat
menimbulkan gejala vestibular dan gangguan pendengaran (BOIES). Kurang
pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik bersifat tuli sensorineural. Tuli
akibat ototoksik yang menetap biasanya dapat terjadi berhari-hari, berminggu-
minggu, atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan. Biasanya tuli bersifat
bilateral tetapi tidak jarang yang unilateral. Berikut adalah daftar obat yang sapat
menyenbabkan ototoksik.
Tabel 1. Agen-agen ototoksik
Antibiotik
Aminoglikosida
Streptomisin
Dihidrostreptomisin
Neomisin
Gentamisin
Vankomisin
Diuretik
Furosemid
Asam etakrinat
Bumetanid
Asetazolamid
Manitol
Analgetik dan Antipiretik
Salisilat
Kinin
Klorokuin
Antineoplastik
Bleomisin
Nitrogen mustard
Cis-platinum
Lain-lain
Pentobarbital
Heksadin
Mandelamin
Praktolol
Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas sangat
sering ditemukan, oleh karena pemberian gentamisin dan streptomisin. Gangguan
fungsional pada telinga dalam dapat terjadi akibat adanya perubahan struktur
anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat
ototosik tersebut antara lain adalah:
a) Degenerasi stria vaskularis.
b) Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti
dan labirin vestibular.
c) Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya
degenerasi dari sel epitel sensori.
4. Trauma
Trauma telinga dalam dapat dibedakan atas dua bentuk. Yang pertama
adalah energi akustik dan kedua adalah energi mekanis. Pada cedera yang
mengakibatkan trauma mekanik terhadap tulang temporal dapat terjadi fraktur
pada tulang tersebut. Fraktur tranversal sering menyebabkan cedera labirin dan
saraf fasialis karena garis fraktur melintasi apeks petrosus atau labirin. Cedera
labirin mungkin tidak begitu berat, yaitu dengan pemulihan keseimbangan dan
pendengaran, atau cukup berat, dengan ketulian total.
Trauma akustik agaknya merupakan penyebab ketulian sensorineural yang
paling umum dan umumnya terjadi pada kedua telinga. Ketulian sensorineural
dapat dipengaruhi oleh intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi,
lebih lama terpapar bising, mendapat pengobatan yang bersifat ototoksik seperti
streptomisin, kanamisin, garamisin, dan lain-lain. Pada awalnya, paparan bising
menimbulkan suatu pergeseran ambang pendengaran sementara. Gangguan ini
biasanya pulih dalam waktu kurang dari dua minggu. Namun, trauma berulang
akan berakibat perubahan ambang yang menetap.
5. Presbikusis
Presbikusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi umumnya mulai usia
65 tahun, simetris pada telinga kiri dan kanan. Presbikusis dapat mulai pada
frekuensi 1000 Hz atau lebih. Kejadian presbikusis diduga merupakan hubungan
dengan faktor-faktor herediter, pola makanan, metabolisme, aterosklerosis,
infeksi, bising, gaya hidup, atau bersifat multifaktorial. Presbikusis merupakan
akibat dari proses degenerasi. Proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur
koklea dan N. VII. Pada koklea perubahan yang mencolok ialah atrofi dan
degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ corti. Oleh karena itu, keluhan
utama presbikusis berupa berkurangnya pendengaran secara perlahan-lahan dan
progresif, simetrispada kedua telinga (FKUI).
2.4.4. Pemeriksaan dan Diagnosis Gangguan Pendengaran
Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik atau otoskopi telinga,
hidung dan tenggorok, tes pendengaran, yaitu tes bisik, tes garputala dan tes
audiometri dan pemeriksaan penunjang.
Tes berbisik merupakan pemeriksaan yang bersifat semi-kuantitatif, yaitu
menentukan derajat ketulian secara kasar. Hal yang perlu diperhatikan ialah
ruangan cukup tenang, dengan panjang minimal 6 meter. Pada nilai normal tes
berbisik bernilai 5/6 – 6/6, dimana menurut Feldmenn orang normal dapat
mendengar bisikan dari jarak 6-8 meter. Prosedur pemeriksaan yang dilakukan
adalah:
Ruangan cukup tenang, dengan panjang 6 meter
Berbisik pada akhir ekspirasi
Dimulai dari jarak 6 meter dan makin lama makin mendekat, maju tiap
satu meter sampai dapat mengulangi tiap kata dengan benar
Telinga yang tidak diperiksa ditutup, orang yang diperiksa tidak boleh
melihat pemeriksa (pemeriksa berdiri di sisi telinga yang diperiksa).
Interpretasi yang akan didapatkan pada tes ini adalah:
Normal : 5/6 sampai 6/6
Tuli ringan bila suara bisik 4 meter
Tuli sedang bila suara bisik antara 2 - 3 meter
Tuli berat bila suara bisik antara 0 - 1 meter
Tes penala merupakan pemeriksaan yang bersifat kualitatif. Terdapat
berbagai macam tes penala, seperti tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach, tes Bing,
dan tes Stenger.
Garputala yang digunakan adalah garputala 512 Hz. Hal ini karenapada
frekuensi tersenut tidak terlalu dipengaruhi suara bising disekitarnya. Menurut
Guyton dan Hall, cara melakukan tes Rinne adalah penala digetarkan, tangkainya
diletakkan di prosesus mastoideus. Setelah tidak terdengar penala dipegang di
depan teling kira-kira 2 ½ cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif. Bila
tidak terdengar disebut Rinne negatif.
Cara melakukan tes Weber adalah penala digetarkan dan tangkai garputala
diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, dan di dagu).
Apabila bunyi garputala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah teling
mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.
Cara melakukan tes Schwabach adalah garputala digetarkan, tangkai
garputala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi.
Kemudian tangkai garputala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga
pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar
disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar
bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira
sama-sama mendengarnya disebut Schwabach sama dengan pemeriksa.
Audiometri nada murni/ pure tune audiometry (PTA) adalah salah satu jenis
uji pendengaran untuk menilai
fungsi pendengaran.
Audiometri dapaat
dipergunakan untuk mengukur
ketajaman pendengaran, dan
dapat dipergunakan untuk
menentukan lokalisasi
kerusakan anatomis yang
menimbulkan gangguan
pendengaran. Untuk membuat
audiogram diperlukan alat audiometer. Bagian dari audiometer adalah tombol
pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk
memeriksa AC (hantaran udara), dan bone conductor untuk memeriksa BC.
Audiometer nada murni merupakan uji sensitivitas prosedur masing
masing telinga dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi
nada-nada murni dari frekuensi bunyi yang berbeda beda, yaitu 250, 500, 1000,
2000, 4000 dan 8000 Hz dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan desibel
(dB). Bunyi dihasilkan dari dua sumber yaitu sumber pertama adalah dari
earphone yang ditempelkan pada telinga, manakala sumber kedua adalah suatu
osilator atau vibrator hantaran tulang yang ditempelkan pada mastoid (atau dahi)
melalui satu head band. Vibrator menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan
menggetarkan cairan dalam koklear. Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui ear
phone atau melalui bone conductor ke telinga orang yang diperiksa
pendengarannya. Hasil pemeriksaan digambar sebagai audiogram dan akan
diperiksa secara terpisah, untuk bunyi yang disalurkan melalui ear phone
mengukur ketajaman pendengaran melalui hantaran udara, sedangkan melalui
bone conductor telinga mengukur hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai
ambang. Dengan membaca audiogram yang dihasilkan kita dapat mengetahui
jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata
sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 18-30 tahun
merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada murni.
Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah dalam
dB dari tiap frekuensi yang masih dapat terdengar pada telinga seseorang, dengan
kata lain ambang pendengaran seseorang terhadap bunyi.
Prosedur dasar pemeriksaan ini adalah, a) dimulai dengan signal nada
yang sering didengar (familiarization), b) pengukuran ambang pendengaran. Dua
cara menentukan nada familiarization: 1,6
1. Dengan memulai dari 1000 Hz, dimana pendengaran paling stabil, lalu
secara bertahap meningkatkan oktaf lebih tinggi hingga terdengar.
2. Pemberian nada 1000 Hz pada 30 dB. Jika terdengar, lakukan pemeriksaan
ambang pendengaran. Jika tidak terdengar nada awal di tinggkatkan
intensitas bunyi hingga 50 dB, dengan menaikkan tiap 10 dB hingga
tedengar.
Familiarization tidak selalu dilakukan pada setiap kasus. Terutama pada
kasus forensic atau pasien dengan riwayat ketulian.
Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut
konduksi tulang (BC). Apabila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik
AC maupun BC, maka akan didapatkan didalam audiogram.
1. Audiogram Normal
Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk
hantaran udara maupun hantaran tulang tercatat sebesar 0 dB. Pada anakpun
keadaan ideal seperti ini sulit tercapai terutam pada frekuensi rendah bila
terdapat bunyi lingkungan (ambient noise). Pada keadaan tes yang baik,
audiogram dengan ambang dengar 10 dB pada 250, 500 Hz 0 dB pada 1000,
2000,4000, 10000 Hz pada 8000 Hz dapat dianggap normal. 7
Gambar 5. Gambar audiogram pada orang normal
2. Tuli Konduktif
Diagnosis gangguan dengar konduktif ditegakkan berdasarkan prinsip
bahwa gangguan konduktif (telinga tengah) menyebabkan gangguan hantaran
udara yang lebih besar daripada hantaran tulang. Pada keadaan tuli konduktif
murni, keadaan koklea yang baik (intak) menyebabkan hantaran tulang
normal, yaitu 0 dB pada audiogram.2,6,7
Pengecualian adalah pada tuli konduktif karena fiksasi tulang stapes
(misalnya pada otosklerosis). Disini terdapat ambang hantaran tulang turun
menjadi 15 dB pada 2000Hz. Diperkiran keadaan ini bukan karena ketulian
sensorineural, tapi belum diketahui sebabnya. Penyebab ketulian koduktif
seperti penyumbatan liang telinga, contohnya serumen, terjadinya OMA,
OMSK, penyumbatan tuba eustachius. Setiap keadaan yang menyebabkan
gangguan pendengaran seperti fiksasi kongenitalm fiksasi karena trauma,
dislokasi rantai tulang pendengaran, juga akan menyebabkan peninggian
amabang hantaran udara dengan hantaran tulang normal. Gap antara hantran
tulang dengan hantaran udara menunjukkan beratnya ketulian konduktif. 2,7
Derajat ketulian yang disebabkan otitis media sering berfluktuasi.
Eksarsebasi dan remisi sering terjadi pada penyakit telinga tenga terutama
otitis media serosa. Pada orang tua sering mengeluhkan pendengaran anaknya
bertambah bila sedang pilek, sesudah berenang atau sedang tumbuh gigi. dapat
juga saat perubahan pada musim tertentu karena alergi.
Penurunan Pendengaran akan menetap sekitar 55-60 dB pada pasien
otitis media. Selama koklea normal, gangguan pendengaran maksimum tidak
melebihi 60 dB. Konfigurasi audiogram pada tuli konduktif biasanya
menunjukkan pendengaran lebih pada frekuensi rendah. Dapat pula berbentuk
audiogram yang datar.2,7
Gambar 6. Audiogram tuli konduktif 7
3. Tuli Sensorineural (SNHL)
Tuli sensorineural terjadi bila didapatkan ambang pendengaran
hantaran tulang dan udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini terjadi bila
terdapat gangguan koklea, N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat pendengaran
termasuk kelainan yang terdapat didalam batang otak.2 Kelainan pada pusat
pendengaaran saja (gangguan pendengaran sentral) biasanya tidak
menyeababkan gangguan dengar untuk nada murni, namun tetap terdapat
gangguan pendengaran tertentu. Gangguan pada koklea terjadi karenadua cara,
pertama sel rambut didalam koklea rusak, kedua karena stereosilia dapat
hancur. Proses ini dapat terjadi karenainfeksi virus, obat ototoxic, dan biasa
terpapar bising yang lama, dapat pula terjadi kongenital. Istilah retrokoklea
digunakan untuk sistem pendengaran sesudah koklea, tetapi tidak termasuk
korteks serebri (pusat pendengaran), maka yang termasuk adalah N.VIII dan
batang otak. 7
Berdasarkan hasil audiometrik saja tidak dapat membedakan jenis tuli
koklea atau retrokoklea. Maka perlu dilakukan pemeriksaan khusus. Pada
ketulian Meniere, pendengaran terutama berkurang pada frekuensi tinggi. Tuli
sensorineural karena presbikusis dan tuli suara keras biasanya terjadi pada
nada dengan frekuensi tinggi.7 Apabila tingkat konduksi udara normal,
hantaran tulang harusnya normal pula. Bila konduksi udara dan konduksi
tulang keduaduannya abnormal dan pada level yang sama, maka pastilahnya
masalah terletak pada koklea atau N. VIII, sedangkan telinga tengah normal.7
Gambar 7. Audiogram tuli sensorineural 7
4. Tuli Campuran
Kemungkinan tarjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan serumen
yang padat dapat terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan gangguan
fungsi koklea ditambah dengan penurunan pendengaran karena sumbatan
konduksi udara mengambarkan tingkat ketulian yang disebabkan oleh
komponen konduktif.2
Perbedaan anatara level hantaran udara dan tulang dikenal sebagai
“jarak udara-tulang” atau “air-bone gap”. Jarak udara-tulang merupakan suatu
ukuran dari komponen konduktif dari suatu gangguan pendengaran. Level
hantaran udara menunjukkan tingkat patologi koklea, kadang disebut sebagai
“cochlear reserve” atau cabang koklea.7
Gambar 8. Audiogram tuli campuran
Dari audiogram juga dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli,
jenis ketulian yaitu tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur.
Derajat ketulian berdasarkan ISO 1964
Ambang pendengaran Interpretasi
0-25 dB Normal
26-40 dB Tuli ringan
41-54 dB Tuli sedang
55-70 dB Tuli sedang - berat
71-90 dB Tuli berat
> 90 dB Tuli total
Nilai ambang dengar dapat diukur dengan menggunakan perhitungan
seperti yang berikut: Menambahkan ambang dengar 500Hz, 1000Hz, 200Hz,
4000Hz lalu dibagi 4.
2.4.5. Penatalaksanaan
a) Penatalaksanaan Tuli Konduktif
Jenis gangguan pendengaran konduktif termasuk tidak adanya saluran
telinga atau kegagalan dari kanal telinga terbuka saat lahir, dan adanya bawaan
kelainan, atau disfungsi struktur telinga tengah, yang semuanya mungkin dapat
dikoreksi melalui pembedahan. Jika persetujuan untuk koreksi dengan
pembedahan tidak berhasil, maka sidang alternatif dapat diperbaiki dengan
amplifikasi dengan alat bantu dengar konduksi tulang, atau implan operasi,
perangkat osseointegrasi (misalnya, Baha atau Ponto System), atau alat bantu
dengar konvensional, tergantung pada status dari saraf pendengaran.
Penyebab lain gangguan pendengaran konduktif adalah: infeksi; tumor;
cairan telinga tengah akibat infeksi atau disfungsi tuba eustachius; benda asing;
dan trauma (seperti pada patah tulang tengkorak). Infeksi akut biasanya diobati
dengan obat antibiotik atau antijamur. Infeksi kronis telinga, cairan tengah kronis,
dan tumor biasanya memerlukan operasi. Jika tidak ada respon terhadap terapi
awal medis, cairan infeksi telinga tengah biasanya diobati dengan antibiotik -
sementara cairan telinga tengah non-infeksi kronis diobati dengan pembedahan
(atau tekanan menyamakan tabung).
Gangguan pendengaran konduktif dari trauma kepala sering dilakukan
pembedah untuk perbaikan struktur telinga tengah yang rusak, dilakukan setelah
keadaan medis pasien stabil setelah cedera traumatis akut.
b) Penatalaksanaan Tuli Senosrineural
Gangguan pendengaran sensorineural dapat disebabkan oleh
trauma akustik (atau paparan terhadap kebisingan terlalu keras),
yang dapat merespon terapi medis dengan kortikosteroid untuk
mengurangi pembengkakan sel rambut koklea dan peradangan
untuk meningkatkan penyembuhan struktur telinga bagian dalam
ini terluka.
Gangguan pendengaran sensorineural dapat terjadi dari trauma
kepala atau perubahan mendadak dalam tekanan udara seperti di
pesawat keturunan, yang dapat menyebabkan kompartemen cairan
telinga bagian dalam pecah atau kebocoran, yang dapat menjadi
racun ke telinga bagian dalam. Ada keberhasilan variabel dengan
operasi darurat ketika hal ini terjadi.
Tuli mendadak sensorineural, diduga berasal dari virus, keadaan
darurat otologic yang secara medis diobati dengan kortikosteroid.
Bilateral gangguan pendengaran yang progresif selama beberapa
bulan, juga didiagnosis sebagai penyakit autoimun telinga bagian
dalam, dikelola secara medis dengan kortikosteroid jangka panjang
dan kadang-kadang dengan terapi obat. Penyakit autoimun telinga
bagian dalam adalah ketika sistem kekebalan tubuh menyesatkan
pertahanan terhadap struktur telinga bagian dalam untuk
menyebabkan kerusakan di bagian tubuh.
Fluktuasi gangguan pendengaran sensorineural mungkin dari
penyebab yang tidak diketahui atau berhubungan dengan penyakit
Meniere. Gejala penyakit Meniere adalah gangguan pendengaran,
tinnitus (atau dering di telinga), dan vertigo. Penyakit Meniere
dapat diobati secara medis dengan diet rendah natrium, diuretik,
dan kortikosteroid. Jika vertigo tidak terkontrol secara medis, maka
berbagai prosedur bedah yang digunakan untuk menghilangkan
vertigo.
Gangguan pendengaran sensorineural dari tumor saraf
keseimbangan berdekatan dengan saraf pendengaran, umumnya
tidak terbalik dengan operasi pengangkatan atau iradiasi tumor
jinak. Jika kehilangan pendengaran ringan dan tumor sangat kecil,
pendengaran dapat disimpan dalam 50 persen dari mereka yang
menjalani operasi pelestarian pendengaran untuk pengangkatan
tumor.
Gangguan pendengaran sensorineural dari penyakit pada sistem
saraf pusat dapat merespon manajemen medis untuk penyakit
tertentu yang mempengaruhi sistem saraf. Misalnya, gangguan
pendengaran sekunder untuk multiple sclerosis dapat dibalik
dengan pengobatan untuk multiple sclerosis.
Ireversibel kehilangan pendengaran sensorineural, bentuk paling
umum dari gangguan pendengaran, dapat dikelola dengan alat
bantu dengar. Ketika alat bantu dengar tidak cukup, jenis gangguan
pendengaran dapat diobati dengan pembedahan implan koklea.
2.4.6. Cara Pencegahan Gangguan Pendengaran
1. Gunakanlah pelindung pendengaran, jika berada di lingkungan yang
memiliki tingkat kebisingan tinggi gunakanlah pelindung pendengaran
seperti penutup telinga. Alat ini juga bisa digunakan saat melakukan
kegiatan sehari-hari seperti memotong rumput.
2. Waspadai kebisingan, kapan pun waktunya usahakan untuk
mengecikan volume radio, televisi atau speaker.
3. Berhati-hatilah menggunakan earphone. Jika menggunakan earphone
maka aturlah volume agar tidak terlalu keras, jika orang yang
disebelah Anda bisa mendengar suara dari earphone maka volumenya
sudah terlalu keras.
4. Berikan waktu bagi telinga untuk beristirahat, semakin sering
seseorang terpapar suara maka bisa mempengaruhi gangguan
pendengaran, bahkan suara dengan volume rendah sekalipun jika
terpapar dalam jangka waktu lama bisa jadi berbahaya. Untuk itu
berilah waktu bagi telinga untuk beristirahat dengan berada di dalam
ruangan yang tenang.
5. Periksalah telinga secara teratur, tes pendengaran dan pemeriksaan
telinga sebaiknya menjadi kegiatan kesehatan yang rutin, karena
semakin cepat gangguan diketahui maka penanganannya akan menjadi
lebih mudah dan mencegah kerusakan lebih lanjut.
BAB III
SIMPULAN
Simpulan yang dapat diambil dari makalah ini yaitu :
1. Anatomi lengkap telinga yaitu terdiri dari telinga luar, tengah dan dalam.
2. Fisiologi pendengaran diawali dari getaran suara ditangkap oleh daun telinga
yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga
membran timpani bergetar, rambut-rambut pada sel-sel rambut bergetar
terhadap membrana tectoria, hal ini menimbulkan impuls dan impuls
diteruskan ke saraf otak dan diterjemahkan sebagai suara.
3. Gangguan pendengaran adalah ketidak mampuan secara parsial atau total
untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga
4. Fisiologi gangguan pendengaran, gangguan pendengaran, yaitu konduktif,
sensorineural, dan campuran, pada gangguan pendengaran konduktif terdapat
masalah di dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan
pendengaran sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf
pendengaran. Sedangkan, tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli
konduktif dan tuli sensorineural.
5. Faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran yaitu faktor genetik dan
faktor didapat
6. Penilaian gangguan pendengaran dengan menggunakan ovoked otoacoustic
emissions, dan automated auditory brainsteim respone (ABR), sedangkan
pemeriksaan dan diagnosis yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik atau otoskopi
telinga, hidung dan tenggorok, tes pendengarn, yaitu tes bisik, tes garputala
dan tes audiometri dan pemeriksaan penunjang
7. Jenis gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran konduktif,
sensorineural, dan campuran
8. Cara pencegahan gangguan pendengaran : gunakanlah pelindung
pendengaran, waspadai kebisingan, berhati-hatilah menggunakan earphone,
periksalah telinga secara teratur, berikan waktu bagi telinga untuk
beristirahat.