BAB II

39
BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Manusia telah diciptakan sebagai satu-satunya makhluk hidup yang sempurna. Salah satu bentuk kesempurnaan manusia yaitu lengkapnya indra yang dimilikinya, dimana indra-indra ini sangat menopang kehidupan manusia. indra manusia terbagi menjadi 5 macam yaitu indra pendengaran, indra penglihatan, indra perasa, indra pembau dan indra peraba. Masing-maisng indra apabila mengalami gangguan maka akan mengubah kestabilan kehidupan manusia dan salah satu contoh adanya gangguan pada indra pendengaran. Gangguan pendengaran diartikan sebagai ketidakmampuan secara parsial atau total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Penyebab gangguan pendengaran hingga saat ini didasarkan oleh adanya kelainan genetik dan adanya faktor lain yang terjadi pada organ-organ dalam telinga, maka bisa saja yang dianggap hal biasa oleh penderita dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Menyadari pentingnya kesehatan indra pendengaran maka diperlukan pengetahuan khusus mengenai penyebab-penyebab terjadinya gangguan

description

THT

Transcript of BAB II

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Manusia telah diciptakan sebagai satu-satunya makhluk hidup yang

sempurna. Salah satu bentuk kesempurnaan manusia yaitu lengkapnya

indra yang dimilikinya, dimana indra-indra ini sangat menopang

kehidupan manusia. indra manusia terbagi menjadi 5 macam yaitu indra

pendengaran, indra penglihatan, indra perasa, indra pembau dan indra

peraba. Masing-maisng indra apabila mengalami gangguan maka akan

mengubah kestabilan kehidupan manusia dan salah satu contoh adanya

gangguan pada indra pendengaran. Gangguan pendengaran diartikan

sebagai ketidakmampuan secara parsial atau total untuk mendengarkan

suara pada salah satu atau kedua telinga. Penyebab gangguan pendengaran

hingga saat ini didasarkan oleh adanya kelainan genetik dan adanya faktor

lain yang terjadi pada organ-organ dalam telinga, maka bisa saja yang

dianggap hal biasa oleh penderita dapat menyebabkan gangguan

pendengaran.

Menyadari pentingnya kesehatan indra pendengaran maka

diperlukan pengetahuan khusus mengenai penyebab-penyebab terjadinya

gangguan pendengaran, ciri-ciri adanya gangguan pada pendengaran dan

pengobatan yang dapat ambil untuk mengobati gangguan pendengaran.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga dan Histologi Telinga

Gambar 1. Anatomi Telinga

2.1.1.Anatomi telinga luar

Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan

dipisahkan dari telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk

membantu pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan

dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat

di depan meatus auditorius eksternus terdapat sendi temporal mandibular.

Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga

lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua

pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius

eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung

kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin

yang disebut serumen. Serumen mempunyai sifat antibakteri dan memberikan

perlindungan bagi kulit.

2.1.2. Anatomi telinga tengah

Bagian atas membrana timpani disebut

pars flaksida, sedangkan bagian bawah pars

tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan,

yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit

liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh

sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa

saluran napas. Menurut Sherwood, pars tensa

mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu

lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan

sedikit serat elastin yang berjalan secara radier

di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.

Di dalam telinga tengah terdapat

tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus,

dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.

Prosesus longus maleus melekat pada membrana timpani, maleus melekat pada

inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap oval yang

berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran

merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah

menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.

2.1.3.Anatomi telinga dalam

Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat. Bagian

dalam sekat ini adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina

spiralis membranasea. Ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala

vestibuli dan skala timpani. Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea yang

disebut helikotrema. Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala

timpani berakhir pada foramen rotundum. Pertemuan antara lamina spiralis ossea

dan membranasea kearah perifer membentuk suatu membrana yang tipis yang

disebut membrana Reissner yang memisahkan skala vestibuli dengan skala media

(duktus koklearis). Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan dengan

labirin tulang oleh jaringan ikat penyambung periosteal dan mengandung end

organ dari nervus koklearis dan organ Corti. Duktus koklearis berhubungan

dengan sakkulus dengan perantaraan duktus Reuniens.

Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung

organel-organel yang penting untuk mekenisma saraf perifer pendengaran.

Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000

sel dan tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira 12.000 sel. Sel-sel ini

menggantung lewat lubang-lubang lengan horisontal dari suatu jungkat-

jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen

menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel rambut terdapat

strereosilia yang melekat pada suatu selubung yang cenderung datar yang

dikenal sebagai membrana tektoria. Membrana tektoria disekresi dan

disokong oleh limbus.

2.3.

Fisiologi

Pendengaran

Proses pendengaran terjadi mengikuti alur sebagai berikut: gelombang suara

mencapai membran tympani, membran tympani bergetar menyebabkan tulang-

tulang pendengaran bergetar. Tulang stapes yang bergetar masuk-keluar dari

tingkat oval menimbulkan getaran pada perilymph di scala vestibuli. Karena luas

permukaan membran tympani 22 x lebih besar dari luas tingkap oval, maka terjadi

penguatan 15-22 x pada tingkap oval. Membran basilaris yang terletak dekat

telinga tengah lebih pendek dan kaku, akan bergetar bila ada getaran dengan nada

rendah. Getaran yang bernada tinggi pada perilymp scala vestibuli akan melintasi

membrana vestibularis yang terletak dekat ke telinga tengah. Sebaliknya nada

rendah akan menggetarkan bagian membrana basilaris di daerah apex. Getaran ini

kemudian akan turun ke perilymp scala tympani, kemudian keluar melalui tingkap

bulat ke telinga tengah untuk direndam.

Sewaktu membrana basilaris bergetar, rambut-rambut pada sel-sel rambut

bergetar terhadap membrana tectoria, hal ini menimbulkan suatu potensial aksi

yang akan berubah menjadi impuls. Impuls dijalarkan melalui saraf otak

statoacustikus (saraf pendengaran) ke medulla oblongata kemudian ke colliculus

Persepsi auditif terjadi setelah proses sensori atau sensasi auditif. Sensori auditif

diaktifkan oleh adanya rangsang bunyi atau suara. Persepsi auditif berkaitan

dengan kemampuan otak untuk memproses dan menginterpretasikan berbagai

bunyi atau suara yang didengar oleh telinga. Kemampuan persepsi auditif yang

baik memungkinkan seorang anak dapat membedakan berbagai bunyi dengan

sumber, ritme, volume, dan pitch yang berbeda.

2.4. Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total

untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga.

2.4.1. Klasifikasi

Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Tuli konduktif,

yaitu gangguan pendengaran akibat gangguan hantaran suara yang

disebabkan oleh kelainan yang terdapat pada telinga luar dan telinga tengah.2,3

Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat

mencapai telinga dalam secara efektif. Keadaan ini disebabkan karena adanya

gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang

telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan tuba auditiva (Centers for

Disease Control and Prevention). Secara umum, gejala yang ditemui pada

gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut :

Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga

sebelumnya.

Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak

dengan perubahan posisi kepala.

Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung).

Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara

lembut (soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis.

Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai.

b) Tuli sensorineural (perseptif),

yaitu gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kelainan yang terdapat

pada telinga dalam, nervus VII, atau di pusat pendengaran.2,3 Tuli sensorineural

dapat dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea.2

Tuli sensorineural koklea dapat disebabkan oleh aplasia (kongenital),

labirintitis (oleh bakteri atau virus) dan intoksikasi obat (streptomisin, kanamisin,

garamisin, neomisin, kina, asetosal, atau alcohol). Selain itu, dapat juga

disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik

dan pajanan bising.

Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor

sudut pons serebelum, myeloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan

kelainan otak lainnya.

c) Tuli campuran,

yaitu gangguan pendengaran yang merupakan kombinasi tuli konduktif dan

tuli sensorineural. Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis

hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi

gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan

pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan

hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media. Kedua

gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang berat

sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam.

Berdasarkan derajat ketulian, gangguan pendengaran juga dapat

diklasifikasikan menjadi berikut:

a) tuli ringan : >25 - 40 dB

b) tuli sedang : >40 - 55 dB

c) tuli sedang berat : >55 - 70 dB

d) tuli berat : >70 - 90 dB

e) tuli sangat berat : > 90 dB

2.4.2. Patofisiologi

a) Tuli Konduktif

Tuli konsuktif terjadi apabila gelombang suara tidak secara adekuat

dihantarkan melalui telinga luar dan tengah untuk menggetarkan cairan di telinga

dalam. Tuli konduktif mungkin disebabkan oleh sumbatan fisik saluran telinga

oleh kotoran telinga, ruptur gendang telinga, infeksi telinga tengah disertai

penimbunan cairan, atau restriksi gerakan osikula karena adhesi antara stapes dan

jendela oval.

b) Tuli Sensorineural

Gangguan pendengaran sensorineural dapat terjadi akibat gangguan dalam

transmisi setelah koklea. Pada tuli ini gelombang suara disalurkan ke telinga

dalam, tetapi gelombang tersebut tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang

diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara. Defek mungkin terletak pada

organ Corti, pada saraf auditorius atau jalur auditorius asendens, atau yang jarang

terjadi, pada korteks auditorius itu sendiri.

2.4.3. Etiologi

Penyebab terjadinya gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh beberapa

kelainan yang terdapat pada telinga bagian luar, telinga tengah, dan telinga dalam.

a) Kelainan yang berasal dari telinga luar

1. Atresia liang telinga

Atresia liang telinga adalah malformasi liang telinga, yang dapat dilihat

bersama dengan malformasi lengkap atau sebagian dari daun telinga (pinna) dan

sudah terlihat sejak lahir (American Academy of Otolaryngology). Gangguan ini

disebabkan oleh adanya kegagalan kanalisasi bagian sumbatan epitelial dari celah

brankiail pertama ektoderm (medscape dan BOIES). Dengan demikian terjadi

kegagalan pembentukan external auditory canal, yang menyebabkan penyaluran

suara menuju membran

timpani terhambat,

sehingga menimbulkan tuli

konduktif (BOIES).

Gambar. Atresia Liang Telinga

2. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel)

Otitis eksterna sirkumskripta adalah radang pada liang telinga yang

disebabkan oleh infeksi pada polisebaseus yang dapat menyebabkan timbulnya

furunkel. Kuman penyebabnya biasanya adalah Staphylococcus aureus dan

Staphylococcus albus. Furunkel yang besar dapat menyumbat liang telinga

sehingga dapat menghambat penyaluran gelombang suara ke gendang telinga.

Gejala lain yang dapat muncul ialah rasa nyeri yang dapat timbul pada waktu

membuka mulut atau penekanan perikondrium (FKUI).

3. Osteoma Liang Telinga

Osteoma adalah tumor jinak yang tumbuh lambat pada dinding liang telinga

yang tampak sebagai benjolan tunggal, keras, yang menempel pada sepertiga

bagian dalam (bagian tulang) liang telinga (BOIES).

4. Penumpukan Serumen

Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel

kulit yang terlepas, dan partikel debu. Gumpalan serumen yang menumpuk di

liang telinga dapat menimbulkan gangguan penyaluran gelombang suara ke

gendang telinga, sehingga menimbulkan gangguan pendengaran. Bila terdapat air

yang masuk ke dalam telinga, serumen mengembang hingga menimbulkan rasa

tertekan dan gangguan pendengaran (FKUI).

5. Benda Asing di Liang Telinga

Benda asing yang ditemukan di liang telinga dapat berupa benda mati atau

hidup, binatang, komponen tumbuh-tumbuhan, atau mineral. Pada anak kecil

sering ditemukan kacang hijau, manik, mainan, atau karet penghapus. Pada orang

dewasa sering ditemukan kapas cotton bud yang tertinggal hingga serangga kecil

seperti semut atau nyamuk. Benda asing seringkali tertinggal pada bagian liang

telinga yang menyempit yaitu pada bagian persambungan antara cartilago dan

tulang. Bendaasing tersebut dapat menyebabkan obstruksi pada liang telinga

sehingga menghambat penghantaran gelombang suara ke gendang telinga.

b) Kelaianan yang berasal dari telinga tengah

1. Sumbatan Tuba Eustachius

Yaitu suatu keadaan terbloknya tuba atau tidak dapat terbuka secara baik.

Udara tidak dapat masuk ke dalam telinga tengah, sehingga menyebabkan tekanan

udara di dalam telinga tengah lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di luar

membran timpani. Keadaan ini mendorong membran timpani menjadi tegang dan

tidak dapat bergetar dengan baik ketika dilalui gelombang suara. Sehingga gejala

utama yang dapat muncul adalah pendengaran yang kurang tajam. Gejala lain

yang dapat dirasakan diantaranya adalah nyeri pada telinga, terasa penuh dalam

telinga, tinitus, dan pusing. Terjadinya sumbatan tuba eustachius akibat ISPA,

alergi, pembesaran adenoid, tumor nasofaring, atau barotrauma

(penerbang/penyelam).

2. Otitis Media

Otitits media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga

tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (FKUI). Penimbunan

sekret yang dihasilkan pada otitis media non-supuratif dan otitis media supuratif

dapat menghambat pergerakan rantai tulang-tulang pendengaran dalam

menghantarkan getaran suara dari membrana timpani ke jendela oval. Selain itu,

perforasi membran timpani juga dapat menghambat hantaran gelombang suara ke

telinga tengah.

3. Osteosklerosis

Suatu penyebab umu tuli konduktif pada orang dewasa adalah otosklerosis

(BOIES). Gangguan ini merupakan penyakit kapsul tulang labirin yang

mengalami spongiosis di daerah kaki stapes. Akibatnya stapes menjadi kaku dan

tidak dapat menghantarkan getaran suara ke labirin dengan baik. Beberapa faktor

diperkirakan dapat menjadi penyebab kelainan ini, seperti faktor keturunan dan

gangguan perdarahan pada stapes (FKUI).

c) Kelainan yang berasal dari telinga dalam

1. Aplasia telinga dalam

Aplasia adalah suatu kedaan cacat bawaan dengan tidak terbentuknya suatu

organ atau jaringan (dorland). Aplasia telinga dalam merpakan suatu kelainan

kongenital yang menimbulkan keadaan tuli sensorineural. Kelainan ini dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa bagian menjadi ketulian Michel, ketulian

Mondini, ketulian Scheibe, dan ketulian Alexander (BOIES, American Journal of

Neuroradiology). Anomali ini terjadi akibat kegagalan secara lengkap atau

sebagian dari pengembangan struktur telinga bagian dalam selama minggu-

minggu pertama kehidupan embrio dan kejadiaannya jarang terjadi. Beberapa

faktor predisposisi anomali ini meliputi paparan thalidomide, infeksi

sitomegalovirus kongenital, dan kelainan genetik.

2. Labirinitis

Labirinitis adalah suatu proses radang yang melibatkan mekanisme telinga

dalam (BOIES). Kelainan ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan

vertigo (Pubmed). Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan patologis labirinitis,

yaitu proses akut, kronik, seta toksik, atau supuratif. Labirinitis akut dapat

disebabkan oleh infeksi pada struktur didekatnya, yaitu dapat telinga tengah atau

meningen. Labirin toksik diduga disebabkan oleh produk-produk toksik dari suatu

infeksi. labirinitis supuratif akut terjadi pada infeksi bakteri akut yang meluas ke

dalam struktur-struktur telinga dalam. Labirinitis kronik dapat timbul dari

berbagai sumber dan dapat menimbulkan suatu hidrops endolimfatik atau

perubahan-perubahan patologik yang akhirnya menyebabkan sklerosis labirin.

3. Intoksikasi Obat

Setiap obat dan zat kimia yang menimbulkan efek toksik terhadap ginjal

dapat dan biasanya juga bersifat ototoksik. Masing-masing obat dapat

menimbulkan gejala vestibular dan gangguan pendengaran (BOIES). Kurang

pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik bersifat tuli sensorineural. Tuli

akibat ototoksik yang menetap biasanya dapat terjadi berhari-hari, berminggu-

minggu, atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan. Biasanya tuli bersifat

bilateral tetapi tidak jarang yang unilateral. Berikut adalah daftar obat yang sapat

menyenbabkan ototoksik.

Tabel 1. Agen-agen ototoksik

Antibiotik

Aminoglikosida

Streptomisin

Dihidrostreptomisin

Neomisin

Gentamisin

Vankomisin

Diuretik

Furosemid

Asam etakrinat

Bumetanid

Asetazolamid

Manitol

Analgetik dan Antipiretik

Salisilat

Kinin

Klorokuin

Antineoplastik

Bleomisin

Nitrogen mustard

Cis-platinum

Lain-lain

Pentobarbital

Heksadin

Mandelamin

Praktolol

Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas sangat

sering ditemukan, oleh karena pemberian gentamisin dan streptomisin. Gangguan

fungsional pada telinga dalam dapat terjadi akibat adanya perubahan struktur

anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat

ototosik tersebut antara lain adalah:

a) Degenerasi stria vaskularis.

b) Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti

dan labirin vestibular.

c) Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya

degenerasi dari sel epitel sensori.

4. Trauma

Trauma telinga dalam dapat dibedakan atas dua bentuk. Yang pertama

adalah energi akustik dan kedua adalah energi mekanis. Pada cedera yang

mengakibatkan trauma mekanik terhadap tulang temporal dapat terjadi fraktur

pada tulang tersebut. Fraktur tranversal sering menyebabkan cedera labirin dan

saraf fasialis karena garis fraktur melintasi apeks petrosus atau labirin. Cedera

labirin mungkin tidak begitu berat, yaitu dengan pemulihan keseimbangan dan

pendengaran, atau cukup berat, dengan ketulian total.

Trauma akustik agaknya merupakan penyebab ketulian sensorineural yang

paling umum dan umumnya terjadi pada kedua telinga. Ketulian sensorineural

dapat dipengaruhi oleh intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi,

lebih lama terpapar bising, mendapat pengobatan yang bersifat ototoksik seperti

streptomisin, kanamisin, garamisin, dan lain-lain. Pada awalnya, paparan bising

menimbulkan suatu pergeseran ambang pendengaran sementara. Gangguan ini

biasanya pulih dalam waktu kurang dari dua minggu. Namun, trauma berulang

akan berakibat perubahan ambang yang menetap.

5. Presbikusis

Presbikusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi umumnya mulai usia

65 tahun, simetris pada telinga kiri dan kanan. Presbikusis dapat mulai pada

frekuensi 1000 Hz atau lebih. Kejadian presbikusis diduga merupakan hubungan

dengan faktor-faktor herediter, pola makanan, metabolisme, aterosklerosis,

infeksi, bising, gaya hidup, atau bersifat multifaktorial. Presbikusis merupakan

akibat dari proses degenerasi. Proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur

koklea dan N. VII. Pada koklea perubahan yang mencolok ialah atrofi dan

degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ corti. Oleh karena itu, keluhan

utama presbikusis berupa berkurangnya pendengaran secara perlahan-lahan dan

progresif, simetrispada kedua telinga (FKUI).

2.4.4. Pemeriksaan dan Diagnosis Gangguan Pendengaran

Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik atau otoskopi telinga,

hidung dan tenggorok, tes pendengaran, yaitu tes bisik, tes garputala dan tes

audiometri dan pemeriksaan penunjang.

Tes berbisik merupakan pemeriksaan yang bersifat semi-kuantitatif, yaitu

menentukan derajat ketulian secara kasar. Hal yang perlu diperhatikan ialah

ruangan cukup tenang, dengan panjang minimal 6 meter. Pada nilai normal tes

berbisik bernilai 5/6 – 6/6, dimana menurut Feldmenn orang normal dapat

mendengar bisikan dari jarak 6-8 meter. Prosedur pemeriksaan yang dilakukan

adalah:

Ruangan cukup tenang, dengan panjang 6 meter

Berbisik pada akhir ekspirasi

Dimulai dari jarak 6 meter dan makin lama makin mendekat, maju tiap

satu meter sampai dapat mengulangi tiap kata dengan benar

Telinga yang tidak diperiksa ditutup, orang yang diperiksa tidak boleh

melihat pemeriksa (pemeriksa berdiri di sisi telinga yang diperiksa).

Interpretasi yang akan didapatkan pada tes ini adalah:

Normal : 5/6 sampai 6/6

Tuli ringan bila suara bisik 4 meter

Tuli sedang bila suara bisik antara 2 - 3 meter

Tuli berat bila suara bisik antara 0 - 1 meter

Tes penala merupakan pemeriksaan yang bersifat kualitatif. Terdapat

berbagai macam tes penala, seperti tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach, tes Bing,

dan tes Stenger.

Garputala yang digunakan adalah garputala 512 Hz. Hal ini karenapada

frekuensi tersenut tidak terlalu dipengaruhi suara bising disekitarnya. Menurut

Guyton dan Hall, cara melakukan tes Rinne adalah penala digetarkan, tangkainya

diletakkan di prosesus mastoideus. Setelah tidak terdengar penala dipegang di

depan teling kira-kira 2 ½ cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif. Bila

tidak terdengar disebut Rinne negatif.

Cara melakukan tes Weber adalah penala digetarkan dan tangkai garputala

diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, dan di dagu).

Apabila bunyi garputala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut

Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah teling

mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.

Cara melakukan tes Schwabach adalah garputala digetarkan, tangkai

garputala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi.

Kemudian tangkai garputala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga

pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar

disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,

pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada

prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar

bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira

sama-sama mendengarnya disebut Schwabach sama dengan pemeriksa.

Audiometri nada murni/ pure tune audiometry (PTA) adalah salah satu jenis

uji pendengaran untuk menilai

fungsi pendengaran.

Audiometri dapaat

dipergunakan untuk mengukur

ketajaman pendengaran, dan

dapat dipergunakan untuk

menentukan lokalisasi

kerusakan anatomis yang

menimbulkan gangguan

pendengaran. Untuk membuat

audiogram diperlukan alat audiometer. Bagian dari audiometer adalah tombol

pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk

memeriksa AC (hantaran udara), dan bone conductor untuk memeriksa BC.

Audiometer nada murni merupakan uji sensitivitas prosedur masing

masing telinga dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi

nada-nada murni dari frekuensi bunyi yang berbeda beda, yaitu 250, 500, 1000,

2000, 4000 dan 8000 Hz dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan desibel

(dB). Bunyi dihasilkan dari dua sumber yaitu sumber pertama adalah dari

earphone yang ditempelkan pada telinga, manakala sumber kedua adalah suatu

osilator atau vibrator hantaran tulang yang ditempelkan pada mastoid (atau dahi)

melalui satu head band. Vibrator menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan

menggetarkan cairan dalam koklear. Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui ear

phone atau melalui bone conductor ke telinga orang yang diperiksa

pendengarannya. Hasil pemeriksaan digambar sebagai audiogram dan akan

diperiksa secara terpisah, untuk bunyi yang disalurkan melalui ear phone

mengukur ketajaman pendengaran melalui hantaran udara, sedangkan melalui

bone conductor telinga mengukur hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai

ambang. Dengan membaca audiogram yang dihasilkan kita dapat mengetahui

jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata

sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 18-30 tahun

merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada murni.

Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah dalam

dB dari tiap frekuensi yang masih dapat terdengar pada telinga seseorang, dengan

kata lain ambang pendengaran seseorang terhadap bunyi.

Prosedur dasar pemeriksaan ini adalah, a) dimulai dengan signal nada

yang sering didengar (familiarization), b) pengukuran ambang pendengaran. Dua

cara menentukan nada familiarization: 1,6

1. Dengan memulai dari 1000 Hz, dimana pendengaran paling stabil, lalu

secara bertahap meningkatkan oktaf lebih tinggi hingga terdengar.

2. Pemberian nada 1000 Hz pada 30 dB. Jika terdengar, lakukan pemeriksaan

ambang pendengaran. Jika tidak terdengar nada awal di tinggkatkan

intensitas bunyi hingga 50 dB, dengan menaikkan tiap 10 dB hingga

tedengar.

Familiarization tidak selalu dilakukan pada setiap kasus. Terutama pada

kasus forensic atau pasien dengan riwayat ketulian.

Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut

konduksi tulang (BC). Apabila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik

AC maupun BC, maka akan didapatkan didalam audiogram.

1. Audiogram Normal

Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk

hantaran udara maupun hantaran tulang tercatat sebesar 0 dB. Pada anakpun

keadaan ideal seperti ini sulit tercapai terutam pada frekuensi rendah bila

terdapat bunyi lingkungan (ambient noise). Pada keadaan tes yang baik,

audiogram dengan ambang dengar 10 dB pada 250, 500 Hz 0 dB pada 1000,

2000,4000, 10000 Hz pada 8000 Hz dapat dianggap normal. 7

Gambar 5. Gambar audiogram pada orang normal

2. Tuli Konduktif

Diagnosis gangguan dengar konduktif ditegakkan berdasarkan prinsip

bahwa gangguan konduktif (telinga tengah) menyebabkan gangguan hantaran

udara yang lebih besar daripada hantaran tulang. Pada keadaan tuli konduktif

murni, keadaan koklea yang baik (intak) menyebabkan hantaran tulang

normal, yaitu 0 dB pada audiogram.2,6,7

Pengecualian adalah pada tuli konduktif karena fiksasi tulang stapes

(misalnya pada otosklerosis). Disini terdapat ambang hantaran tulang turun

menjadi 15 dB pada 2000Hz. Diperkiran keadaan ini bukan karena ketulian

sensorineural, tapi belum diketahui sebabnya. Penyebab ketulian koduktif

seperti penyumbatan liang telinga, contohnya serumen, terjadinya OMA,

OMSK, penyumbatan tuba eustachius. Setiap keadaan yang menyebabkan

gangguan pendengaran seperti fiksasi kongenitalm fiksasi karena trauma,

dislokasi rantai tulang pendengaran, juga akan menyebabkan peninggian

amabang hantaran udara dengan hantaran tulang normal. Gap antara hantran

tulang dengan hantaran udara menunjukkan beratnya ketulian konduktif. 2,7

Derajat ketulian yang disebabkan otitis media sering berfluktuasi.

Eksarsebasi dan remisi sering terjadi pada penyakit telinga tenga terutama

otitis media serosa. Pada orang tua sering mengeluhkan pendengaran anaknya

bertambah bila sedang pilek, sesudah berenang atau sedang tumbuh gigi. dapat

juga saat perubahan pada musim tertentu karena alergi.

Penurunan Pendengaran akan menetap sekitar 55-60 dB pada pasien

otitis media. Selama koklea normal, gangguan pendengaran maksimum tidak

melebihi 60 dB. Konfigurasi audiogram pada tuli konduktif biasanya

menunjukkan pendengaran lebih pada frekuensi rendah. Dapat pula berbentuk

audiogram yang datar.2,7

Gambar 6. Audiogram tuli konduktif 7

3. Tuli Sensorineural (SNHL)

Tuli sensorineural terjadi bila didapatkan ambang pendengaran

hantaran tulang dan udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini terjadi bila

terdapat gangguan koklea, N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat pendengaran

termasuk kelainan yang terdapat didalam batang otak.2 Kelainan pada pusat

pendengaaran saja (gangguan pendengaran sentral) biasanya tidak

menyeababkan gangguan dengar untuk nada murni, namun tetap terdapat

gangguan pendengaran tertentu. Gangguan pada koklea terjadi karenadua cara,

pertama sel rambut didalam koklea rusak, kedua karena stereosilia dapat

hancur. Proses ini dapat terjadi karenainfeksi virus, obat ototoxic, dan biasa

terpapar bising yang lama, dapat pula terjadi kongenital. Istilah retrokoklea

digunakan untuk sistem pendengaran sesudah koklea, tetapi tidak termasuk

korteks serebri (pusat pendengaran), maka yang termasuk adalah N.VIII dan

batang otak. 7

Berdasarkan hasil audiometrik saja tidak dapat membedakan jenis tuli

koklea atau retrokoklea. Maka perlu dilakukan pemeriksaan khusus. Pada

ketulian Meniere, pendengaran terutama berkurang pada frekuensi tinggi. Tuli

sensorineural karena presbikusis dan tuli suara keras biasanya terjadi pada

nada dengan frekuensi tinggi.7 Apabila tingkat konduksi udara normal,

hantaran tulang harusnya normal pula. Bila konduksi udara dan konduksi

tulang keduaduannya abnormal dan pada level yang sama, maka pastilahnya

masalah terletak pada koklea atau N. VIII, sedangkan telinga tengah normal.7

Gambar 7. Audiogram tuli sensorineural 7

4. Tuli Campuran

Kemungkinan tarjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan serumen

yang padat dapat terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan gangguan

fungsi koklea ditambah dengan penurunan pendengaran karena sumbatan

konduksi udara mengambarkan tingkat ketulian yang disebabkan oleh

komponen konduktif.2

Perbedaan anatara level hantaran udara dan tulang dikenal sebagai

“jarak udara-tulang” atau “air-bone gap”. Jarak udara-tulang merupakan suatu

ukuran dari komponen konduktif dari suatu gangguan pendengaran. Level

hantaran udara menunjukkan tingkat patologi koklea, kadang disebut sebagai

“cochlear reserve” atau cabang koklea.7

Gambar 8. Audiogram tuli campuran

Dari audiogram juga dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli,

jenis ketulian yaitu tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur.

Derajat ketulian berdasarkan ISO 1964

Ambang pendengaran Interpretasi

0-25 dB Normal

26-40 dB Tuli ringan

41-54 dB Tuli sedang

55-70 dB Tuli sedang - berat

71-90 dB Tuli berat

> 90 dB Tuli total

Nilai ambang dengar dapat diukur dengan menggunakan perhitungan

seperti yang berikut: Menambahkan ambang dengar 500Hz, 1000Hz, 200Hz,

4000Hz lalu dibagi 4.

2.4.5. Penatalaksanaan

a) Penatalaksanaan Tuli Konduktif

Jenis gangguan pendengaran konduktif termasuk tidak adanya saluran

telinga atau kegagalan dari kanal telinga terbuka saat lahir, dan adanya bawaan

kelainan, atau disfungsi struktur telinga tengah, yang semuanya mungkin dapat

dikoreksi melalui pembedahan. Jika persetujuan untuk koreksi dengan

pembedahan tidak berhasil, maka sidang alternatif dapat diperbaiki dengan

amplifikasi dengan alat bantu dengar konduksi tulang, atau implan operasi,

perangkat osseointegrasi (misalnya, Baha atau Ponto System), atau alat bantu

dengar konvensional, tergantung pada status dari saraf pendengaran.

Penyebab lain gangguan pendengaran konduktif adalah: infeksi; tumor;

cairan telinga tengah akibat infeksi atau disfungsi tuba eustachius; benda asing;

dan trauma (seperti pada patah tulang tengkorak). Infeksi akut biasanya diobati

dengan obat antibiotik atau antijamur. Infeksi kronis telinga, cairan tengah kronis,

dan tumor biasanya memerlukan operasi. Jika tidak ada respon terhadap terapi

awal medis, cairan infeksi telinga tengah biasanya diobati dengan antibiotik -

sementara cairan telinga tengah non-infeksi kronis diobati dengan pembedahan

(atau tekanan menyamakan tabung).

Gangguan pendengaran konduktif dari trauma kepala sering dilakukan

pembedah untuk perbaikan struktur telinga tengah yang rusak, dilakukan setelah

keadaan medis pasien stabil setelah cedera traumatis akut.

b) Penatalaksanaan Tuli Senosrineural

Gangguan pendengaran sensorineural dapat disebabkan oleh

trauma akustik (atau paparan terhadap kebisingan terlalu keras),

yang dapat merespon terapi medis dengan kortikosteroid untuk

mengurangi pembengkakan sel rambut koklea dan peradangan

untuk meningkatkan penyembuhan struktur telinga bagian dalam

ini terluka.

Gangguan pendengaran sensorineural dapat terjadi dari trauma

kepala atau perubahan mendadak dalam tekanan udara seperti di

pesawat keturunan, yang dapat menyebabkan kompartemen cairan

telinga bagian dalam pecah atau kebocoran, yang dapat menjadi

racun ke telinga bagian dalam. Ada keberhasilan variabel dengan

operasi darurat ketika hal ini terjadi.

Tuli mendadak sensorineural, diduga berasal dari virus, keadaan

darurat otologic yang secara medis diobati dengan kortikosteroid.

Bilateral gangguan pendengaran yang progresif selama beberapa

bulan, juga didiagnosis sebagai penyakit autoimun telinga bagian

dalam, dikelola secara medis dengan kortikosteroid jangka panjang

dan kadang-kadang dengan terapi obat. Penyakit autoimun telinga

bagian dalam adalah ketika sistem kekebalan tubuh menyesatkan

pertahanan terhadap struktur telinga bagian dalam untuk

menyebabkan kerusakan di bagian tubuh.

Fluktuasi gangguan pendengaran sensorineural mungkin dari

penyebab yang tidak diketahui atau berhubungan dengan penyakit

Meniere. Gejala penyakit Meniere adalah gangguan pendengaran,

tinnitus (atau dering di telinga), dan vertigo. Penyakit Meniere

dapat diobati secara medis dengan diet rendah natrium, diuretik,

dan kortikosteroid. Jika vertigo tidak terkontrol secara medis, maka

berbagai prosedur bedah yang digunakan untuk menghilangkan

vertigo.

Gangguan pendengaran sensorineural dari tumor saraf

keseimbangan berdekatan dengan saraf pendengaran, umumnya

tidak terbalik dengan operasi pengangkatan atau iradiasi tumor

jinak. Jika kehilangan pendengaran ringan dan tumor sangat kecil,

pendengaran dapat disimpan dalam 50 persen dari mereka yang

menjalani operasi pelestarian pendengaran untuk pengangkatan

tumor.

Gangguan pendengaran sensorineural dari penyakit pada sistem

saraf pusat dapat merespon manajemen medis untuk penyakit

tertentu yang mempengaruhi sistem saraf. Misalnya, gangguan

pendengaran sekunder untuk multiple sclerosis dapat dibalik

dengan pengobatan untuk multiple sclerosis.

Ireversibel kehilangan pendengaran sensorineural, bentuk paling

umum dari gangguan pendengaran, dapat dikelola dengan alat

bantu dengar. Ketika alat bantu dengar tidak cukup, jenis gangguan

pendengaran dapat diobati dengan pembedahan implan koklea.

2.4.6. Cara Pencegahan Gangguan Pendengaran

1. Gunakanlah pelindung pendengaran, jika berada di lingkungan yang

memiliki tingkat kebisingan tinggi gunakanlah pelindung pendengaran

seperti penutup telinga. Alat ini juga bisa digunakan saat melakukan

kegiatan sehari-hari seperti memotong rumput.

2. Waspadai kebisingan, kapan pun waktunya usahakan untuk

mengecikan volume radio, televisi atau speaker.

3. Berhati-hatilah menggunakan earphone. Jika menggunakan earphone

maka aturlah volume agar tidak terlalu keras, jika orang yang

disebelah Anda bisa mendengar suara dari earphone maka volumenya

sudah terlalu keras.

4. Berikan waktu bagi telinga untuk beristirahat, semakin sering

seseorang terpapar suara maka bisa mempengaruhi gangguan

pendengaran, bahkan suara dengan volume rendah sekalipun jika

terpapar dalam jangka waktu lama bisa jadi berbahaya. Untuk itu

berilah waktu bagi telinga untuk beristirahat dengan berada di dalam

ruangan yang tenang.

5. Periksalah telinga secara teratur, tes pendengaran dan pemeriksaan

telinga sebaiknya menjadi kegiatan kesehatan yang rutin, karena

semakin cepat gangguan diketahui maka penanganannya akan menjadi

lebih mudah dan mencegah kerusakan lebih lanjut.

BAB III

SIMPULAN

Simpulan yang dapat diambil dari makalah ini yaitu :

1. Anatomi lengkap telinga yaitu terdiri dari telinga luar, tengah dan dalam.

2. Fisiologi pendengaran diawali dari getaran suara ditangkap oleh daun telinga

yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga

membran timpani bergetar, rambut-rambut pada sel-sel rambut bergetar

terhadap membrana tectoria, hal ini menimbulkan impuls dan impuls

diteruskan ke saraf otak dan diterjemahkan sebagai suara.

3. Gangguan pendengaran adalah ketidak mampuan secara parsial atau total

untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga

4. Fisiologi gangguan pendengaran, gangguan pendengaran, yaitu konduktif,

sensorineural, dan campuran, pada gangguan pendengaran konduktif terdapat

masalah di dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan

pendengaran sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf

pendengaran. Sedangkan, tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli

konduktif dan tuli sensorineural.

5. Faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran yaitu faktor genetik dan

faktor didapat

6. Penilaian gangguan pendengaran dengan menggunakan ovoked otoacoustic

emissions, dan automated auditory brainsteim respone (ABR), sedangkan

pemeriksaan dan diagnosis yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik atau otoskopi

telinga, hidung dan tenggorok, tes pendengarn, yaitu tes bisik, tes garputala

dan tes audiometri dan pemeriksaan penunjang

7. Jenis gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran konduktif,

sensorineural, dan campuran

8. Cara pencegahan gangguan pendengaran : gunakanlah pelindung

pendengaran, waspadai kebisingan, berhati-hatilah menggunakan earphone,

periksalah telinga secara teratur, berikan waktu bagi telinga untuk

beristirahat.