Bab II

download Bab II

of 19

description

asam jawa skripsi

Transcript of Bab II

  • 5

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Tinjauan Pustaka

    1. Asam Jawa

    Klasifikasi tanaman

    Divisi : Spermatophyta

    Sub divisi : Angiospermae

    Kelas : Dicotyledoneae

    Bangsa : Resales

    Suku : Leguminosae

    Marga : Tamaridus

    Jenis : Tamarindus indica L

    Asam jawa dengan nama ilmiah Tamarindus indica L adalah nama

    sejenis pohon dengan buah lonjong dan masam. Di Negara Indonesia sendiri

    terdapat beberapa nama lain asam jawa seperti Bak mee (Aceh), celagi (Bali),

    tangkal asem (Sunda), asang jawi (gorontalo). Nama-nama lainnya dibeberapa

    Negara adalah : tamarinde (Afrika), aradeib, ardeib (Arab); tamarinda,

    tamarino (Brazil); luo-wang, lo-wang-tsu (Cina); tamarinde, tamarindenbaum

    (Jerman); teteli, tetuli, tentul (India); tamrisi (Ghana), tamarin, tamarinier

    (Prancis) ( Lim, 2012; Warintek, 2013).

    Deskripsi tanaman asam jawa berperawakan pohon tinggi besar,

    dengan tinggi 25 m. Batang tegak, berkayu, bulat, permukaan banyak

    lentisel, percabangan simpodial, coklat muda. Daun majemuk, lonjong,

    berhadapan, panjang sekitar 1- 2,5 cm, lebar 0,5 1 cm, mempunyai tepi rata,

    ujung tumpul, pangkal membulat, berwarna hijau, halus, pertulangan

    menyirip, halus, dan bertangkai dengan panjang 0,2 cm. Bunga majemuk,

    berbentuk tandan, berada di ketiak daun, tangkai panjang 0,6 cm, warna

    kuning, kelopak bentuk tabung, hijau kecoklatan, benang sari warna putih

    berjumlah banyak, dan putik putih, mahkota kecil, berwarna kuning. Buah

  • 6

    polong, panjang 10 cm, lebar 2 cm, hijau kecoklatan. Akar tunggang,

    berwarna coklat kotor ( Warintek, 2013).

    Gambar 2.1 Tanaman asam jawa ( Tamarindus indica L).

    Kandungan nutrisi asam jawa antara lain pada asam jawa matang

    mengandung 40 50 % buah yang dapat dimakan dan per 100 g mengandung

    : 17,8-35,8 g. air, 2-3 g. protein, 0,6 g. lemak,: 41,1-61,1 g. karbohidrat, 2,9 g

    serat;: 2,6-3,9 g abu, 34-94 mg. kalsium, 34 mg -78. fosfor, 0,2-0,9 mg. besi,

    0,33 mg 'tiamin (vitamin B1), 0,1 mg. riboflavin (vitamin B2), 1 mg. niacin

    (vitamin B3), 44 mg. vitamin C. Biji atau benih segar mengandung 13% air,

    20% protein, lemak 5,5%, 59% karbohidrat, abu 2,4% dan sisanya adalah

    amyloid, phytohemaglutinins dan flavonoid. Daging buah, daun, dan batang

    mengandung saponin, flavonoid dan tannin (Soemardji, 2007).

    Isolasi dan penentuan struktur senyawa fenolik antioksidan dari

    benih dan pericarp (kulit buah) asam jawa menyimpulkan bahwa terdapat

    kandungan polifenol sebagai antioksidan. Polifenol dalam kulit buah

    didominasi oleh proanthocyanidin (73,4 %) dalam berbagai bentuk (+)-

    catechin (2.0 %), procyanidin B2 (8,2%), (-)-epicatechin (9.4%), procyanidin

    trimer (11,3%), procyanidin tetramer (22,2%), procyanidin pentamer (11,6%),

    procyanidin heksamer (12,8%), bersama dengan taxifolin (7,4%), apigenin

    (2.0%), eriodictyol (6,9%), luteolin (5.0%) dan naringenin (1.4%) dari total

    fenol. Ekstraksi kulit buah dan biji menggunakan aseton, methanol, asam

    asetat hanya mendapatkan kandungan polifenol berupa oligomer procyanidin,

  • 7

    tetapi hasilnya jauh lebih tinggi. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa asam

    jawa dapat menjadi produk pencegah kanker di daerah tropis (Sudjaroen et al.,

    2005).

    Dari hasil uji fitokimia ekstra asam jawa didapatkan beberapa

    senyawa yang dihasilkan dari ekstra air dan etanol 70%, yaitu :

    Tabel 1 Hasil Uji fitokimia ekstra asam jawa

    NO SENYAWA EKSTRA

    AIR ETANOL 70%

    1 Alkaloid ++ +++

    2 Flavonoid ++ +

    3 Saponin + +++

    4 Steroid + +

    5 Triterpenoid - -

    6 Tanin ++ +++

    Keterangan:

    + = terdeteksi mengandung senyawa metabolit tersebut.

    - = tidak terdeteksi mengandung senyawa metabolit tersebut.

    (Doughari, 2006)

    Dalam kehidupan sehari-hari tanaman asam jawa banyak

    dimanfaatkan masyarakat untuk tujuan tertentu. Daging buahnya digunakan

    untuk dimakan seperti dalam bumbu masakan, permen, selai dan jus. Biji

    digunakan untuk bahan produk farmasi, stabilkan eskrim, mayones, dan keju.

    Daun dan bunga sebagai bumbu masakan yang banyak digunakan di masakan

    Thailand dan salad. Batang pohon berguna sebagai bahan bakar maupun

    bahan bangunan (Williams, 2006).

    Proanthocyanidin yang merupakan kandungan terbanyak dari kulit

    buah asam jawa mempunyai nama lain yaitu tannin khususnya tannin yang

    terkondensasi yang termasuk oligomer dan polimer dari monomer flavonoid

    yang lebih khususnya adalah polyflavan (molekul kental flavonoid dengan

    cincin C jenuh (Beecher , 2004). Mekanisme tannin sebagai antidiabetik

    terdapat beberapa mekanisme yaitu menghambat penyerapan glukosa

  • 8

    diintestinal dan menghambat adipogenesis. Mekanisme tersebut yaitu

    menurunkan absorbsi nutrisi (seperti katein teh) dengan menghambat

    penyerapan glukosa di intestinal. Pada penghambatan adipogenesis dengan

    menginduksi regenerasi sel pankreas dan berefek langsung pada sel adipose

    yang menguatkan aktivitas insulin. Selain itu tannin bertindak sebagai

    pemangsa radikal bebas dan mengaktifkan enzim antioksidan. Pada

    peningkatan uptake glukosa dalam darah melalui aktivasi mediator jalur

    signal insulin, seperti PI3K (phosphoinositide 3-Kinase), p38 MAPK

    (Mitogen Aktivated Protein Kinase) dan translokasi GLUT-4 sehingga

    menurunkan glukosa dalam darah (Kumari dan Jain, 2012).

    Selain itu flavonoid itu sendiri merangsang sekresi insulin dan

    meregenerasi kerusakan sel beta pankreas untuk antihiperglikemik.

    Antioksidan secara umum juga berpengaruh pada glukosa darah, mekanisme

    antioksidan dalam antihiperglikemia yaitu mengurangi stress oksidatif pada

    terjadinya diabetes, selain itu antioksidan bekerja dengan cara mengurangi

    glukosa dalam darah dan meningkatkan kadar insulin plasma (Widowati,

    2008).

    2. Teknik Ekstraksi

    Ekstrak merupakan sediaan kering, kental, atau cair yang dibuat dengan

    menyari simplisia nabati maupun hewani dengan beberapa cara tanpa

    pengaruh matahari. Simplisia itu sendiri berarti bahan alam yang telah

    dikeringkan yang digunakan untuk pengolahan dan belum mengalami

    pengolahan (MENKES, 2009). Tujuan pembuatan ekstrak itu sediri adalah

    untuk menstandarisasi tumbuhan untuk menjamin keseragaman mutu,

    keamanan dan khasiat produk akhir. Simplisia juga dapat digunakan

    tersendiri walupun sebelum diekstrak, tetapi ekstrak mempunyai kelebihan

    dibandingkan silmplisia asalnya yaitu penggunaan lebih simpel, bobot

    pemakaiannya lebih sedikit dibandingkan berat tumbuhan asalnya (BPOM,

    2005).

  • 9

    Teknik ekstraksi membutuhkan cairan penyari dengan berbagai

    pertimbangan. Pertimbangan tersebut meliputi : murah dan mudah diperoleh,

    stabil secara fisika maupun kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan

    tidak mudah terbakar, selektif menarik zat yang dikehendaki, dan tidak

    mempengaruhi zat yang berkhasiat. Dalam Farmakope Indonesia ditetapkan

    beberapa cairan penyari yaitu air, etanol, dan etanol-air. Air dipertimbangkan

    sebagai cairan penyari karena mudah diperoleh, stabil, tidak mudah menguap,

    tidak muah terbakar, tidak beracun dan alamiah. Air dapat melarutkan

    kandungan senyawa garam alkaloid, minyak penguap, glikosida, tannin dan

    gula, gom, pati, protein, pectin, dan zat warna. Akan tetapi terdapat kerugian

    yaitu tidak selektif, sari dapat ditumbuhi kapang dan kuman serta cepat rusak.

    Selanjutnya etanol mempunyai kelebihan lebih selektif, kapang dan kuman

    sulit tumbuh dalam etanol diatas 20%, tidak beracun, netral, absorbsinya

    baik, etanol dapat bercampur dengan air dalam segala perbandingan,

    sedangkan kerugian etanol lebih mahal. Etanol dapat melarutkan alkaloida

    basa, minyak penguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid,

    steroid, dammar dan klorofil (DEPKES, 1986).

    Berikut ini beberapa metode ekstraksi menurut BPOM (2010) dan

    DEPKES (1986):

    1. Infusa (Infus)

    Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi

    simplisia nabati dengan air pada suhu 90 C selama 15 menit. Teknik ini

    merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari

    bahan lunak seperti daun dan bunga. Sediaan infusa dapat dikonsumsi

    panas maupun dingin.

    2. Maserasi

    Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan

    dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari kemudian zat

    aktif akan larut karena perbedaan konsentrasi. Setelah beberapa hari

    diambil ekstrak kemudian dipanaskan sambil diaduk sehingga diperoleh

    ekstrak kental.

  • 10

    3. Perkolasi

    Prinsip perkolasi yaitu serbuk simplisia ditempatkan dalam bejana atau

    percolator dibawahnya ada sekat berpori, kemudian cairan penyari

    dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut kemudian ditutup dan

    ditunggu selama 24 jam. Hal tersebut dilakukan berulang sampai

    mendapatkan 0,8 bagian perkolat cair, kemudian dipisahkan dan sisanya

    diuapkan sampai mendapat 0,2 bagian perkolat yang selanjutnya dicampur

    kedalam perkolat pertama.

    3. Glukosa Darah dan Diabetes Mellitus

    a. Glukosa Darah

    Glukosa merupakan hal terpenting yang berperan dalam penyedia

    energi di dalam tubuh. Glukosa tersebut diperoleh dari karbohidrat yang

    dikonsumsi baik monosakarida, disakarida maupun polisakarida. Glukosa

    tersebut di dalam hati akan dikonversikan menjadi glukosa. Dalam tubuh

    manusia glukosa diserap oleh usus halus kemudian didistribusikan ke semua

    sel dalam tubuh melalui aliran darah. Penyimpanan glukosa di dalam tubuh

    tidak hanya tersimpan dalam bentuk glikogen di dalam otot dan hati namun

    tersimpan dalam plasma darah dalam bentuk glukosa darah ( blood glucose)

    (Irawan, 2007). Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan hati kemudian

    digunakan oleh jaringan perifer bergantung pada keseimbangan fisiologi

    beberapa hormon yaitu hormon yang menurunkan kadar glukosa darah

    (insulin) dan hormon yan meningkatkan glukosa darah (glukagon). Kedua

    hormon tersebut disekresi dalam sel-sel pankreas yaitu sel beta pulau

    langerhans mensekresi insulin dan sel alfa pulau langerhans mensekresi

    glukagon (Schteingart, 2006).

    Keadaan pasca penyerapan kadar glukosa darah mamalia termasuk

    manusia dan tikus yaitu antara 4,5 5,5 mmol/L. Setelah mengkonsumsi

    karbohidrat, kadar meningkat menjadi 6,7 7, 2 mmol/L, dan pada saat

    kelaparan kadar turun menjadi 3,3 3,9 mmol/L. Kadar glukosa darah

    manusia dalam keadaan normal apabila tidak makan dalam tiga sampai empat

  • 11

    jam terakhir sekitar 90 mg/dL, sedangkan setelah makan walaupun banyak

    makanan karbohidrat kadar jarang melebihi 140 mg/dL. Keadaan penurunan

    mendadak glukosa darah akan menyebabkan kejang karena otak bergantung

    pada pasokan glukosa. Jika terjadi peningkatan glukosa darah atau

    hiperglikemi hormon insulin akan berperan dalam penyeimbangan agar tidak

    mengganggu keseimbngan tubuh sendiri. Penurunan glukosa darah tersebut

    dengan cara meningkatkan pemindahan glukosa ke dalam jaringan adipose

    dan otot dengan merekrut pengangkut glukosa dari bagian sel ke membrane

    plasma (Bender dan Mayes, 2009 ; Guyton dan Hal., 2008 ; IDF, 2007).

    Kadar glukosa serum puasa normal yaitu 70 sampai 110 mg/dl,

    dalam keadaan meningkat atau hiperglikemi jika lebih dari 110 mg/dl

    sedangkan keadaan menurun atau hipoglikemi kurang dari 70mg/dl. Glukosa

    difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hampir keseluruhannya direabsorbsi oleh

    tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160 180

    mg /dl. Apabila konsentrasi melebihi kadar tersebut glukosa dapat keluar

    bersama urin dan keadaan tersebut disebut glikosuria (Schteingart, 2006).

    b. Diabetes mellitus

    1) Definisi Diabetes Melitus:

    Menurut American Diabetes Asosiation (ADA), Diabetes mellitus

    (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik dengan cirri khas

    hiperglikemia yang disebabkan karena adanya kelainan kerja insulin,

    sekresi insulin atau keduanya (ADA, 2013). Hiperglikemia kronik

    pada diabetes dapat berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,

    kegagalan beberapa organ tubuh, terutama pada ginjal, saraf, mata,

    jantung dan pembuluh darah. Secara umum diabetes mellitus juga

    dapat dikatakan sebagai kumpulan problema kimiawi dan anatomik

    akibat dari sejumlah factor dimana terdapat gangguan fungsi insulin

    dan defisiensi insulin absolute atau relative (Purnamasari, 2009).

  • 12

    2) Gejala Diabetes Melitus :

    Gejala yang biasanya diderita pasien Diabetes Melitus secara

    umum meliputi sering mulai mendadak merasakan haus, berat badan

    turun, poliuria dan kelelahan. Selain itu didapatkan gejala umum

    dehidrasi, pusing, jantung berdenyut cepat, pandangan mata kabur,

    infeksi. Apabila dalam pemeriksaan penyaring rutin didapati juga

    glikosuria ( Barnes, 2012 ; Saputra, 2009).

    3) Diagnosis Diabetes Melitus:

    Diagnosis Diabetes Melitus (DM) didasarkan pada pemeriksaan

    konsentrasi glukosa darah. Ada beberapa gejala dari Diabetes Melitus

    seperti gejala klasik berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan

    penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya sedangkan gejala

    lainnya seperti lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi

    ereksi pada pria dan pruritus vulvae pada wanita. Diagnosis tersebut

    dapat ditegakkan melalui beberapa langkah (Purnamasari , 2009) :

    a) Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1

    mmol/L)

    Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada

    suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

    b) Atau

    Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0

    mmol/L)

    Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya

    8 jam.

    c) Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral)

    200 mg/dL (11,1 mmol/L)

    TTGO dilakukan dengan standart WHO, menggunakan beban

    glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang

    dilarutkan ke dalam air.

    Apabila terdapat risiko DM namun tidak menunjukkan adanya

    gejala DM dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan penyaring

  • 13

    dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar gluosa darah sewaktu

    maupun kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan ini bertujuan untuk

    menemukan pasien DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu),

    maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) sehingga dapat

    ditangani lebih dini dan secara tepat. TGT dan GDPT merupakan

    tahapan sementara menuju DM dan merupakan faktor risiko untuk

    terjadinya DM. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dilakukan apabila

    saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.

    Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan

    penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)

    Bukan Belum DM

    DM pasti DM

    Konsentrasi

    glukosa

    Plasma vena

  • 14

    memahami patofisiologi hiperglikemianya sendiri agar terapi lebih

    efektif.

    a) Diabetes Melitus Tipe I

    Pada tipe ini terdapat defisiensi absolut insulin dengan

    penyebab paling umum yaitu destruksi sel beta pankreas yang

    disebabkan oleh autoimun. Pada keadaan ini pemberian insulin

    sangat penting, karena jika pasien tidak menerima insulin maka

    pasien akan mengalami dehidrasi akibat hiperglikemia berat dan

    ketoasidosis. Hiperglikemia berat dan ketoasidosis bila tidak

    diobati akan menyebabkan koma dan kematian dengan cepat. DM

    tipe 1 juga memiliki kecenderungan genetik yang kuat dan terdapat

    beberapa gen yang rentan. Pasien DM dengan tipe ini sangat rentan

    mengalami komplikasi mikroavaskuler seperti neuropati,

    retinopati, dan nefropati. Selain itu dapat juga mengalami penyakit

    arteri koroner dan aterosklerosis meskipun kurang umum

    (Kidambi dan Patel, 2008).

    b) Diabetes Melitus Tipe II

    Diabetes mellitus tipe 2 merupakan gangguan metabolisme

    yang melibatkan kelebihan berat badan dan resistensi insulin.

    Pasien DM tipe ini pada awalnya pankreas memproduksi insulin

    akan tetapi tubuh kesulitan untuk menggunakan hormon

    pengendali glukosa darah tersebut. Peran gangguan sekresi insulin

    oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin perifer masih belum

    diketahui pasti. Akhirnya pankreas tidak dapat menghasilkan

    cukup insulin untuk memenuhi kebutuhan tubuh tersebut. Diabetes

    tipe ini merupakan bentuk paling umum dinegara maju. Diabetes

    tipe 2 dahulu disebut diabetes onset dewasa dan non- insulin

    dependent diabetes melitus (NIDDM). Istilah tersebut tidak akurat

    karena perkembangan penyakit menjadikan anak - anak dapat

    mengalami Diabetes tipe 2 dan beberapa pasien butuh terapi insulin

    ( Kumar et al., 2007 ; Riaz , 2009).

  • 15

    c) Diabetes Melitus Tipe Lainnya

    Beberapa tipe diabetes mellitus pada tipe ini (ADA, 2012) yaitu:

    1. Defek genetik fungsi sel beta : pada kromosom 12, kromosom

    7, kromosom 20, kromosom 13, kromosom 17, kromosom 2,

    DNA mitokondrial dan yang lain.

    2. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A,

    leprechaunism, sindrom Rabson-Mendenhal., diabetes

    lipoatropihic, dan yang lain.

    3. Penyakit eksokrin pankreas : pancreatitis, trauma /

    pancreatectomy, neoplasia, fibrosis kistik, hemoshromatosis,

    pancreatopathy fibrocalculus, dan yang lain.

    4. Endokrinopati : acromegali, chushings syndrome,

    glucagonoma, pheochromacytoma, hipertiroid,

    somatostatinoma, aldosteronoma, dan lainnya.

    5. Karena obat dan zat kimia : vacor, pentamidin, asam nicotin,

    glucocorticoids, hormon tiroid, diazoxide, agonis b-adrenergik,

    thiazid, dilantin, g-interferon dan lainnya.

    6. Infeksi : rubella congenital, cytomegalovirus, dan lainnya

    7. Sebab imunologi yang jarang : stiff-man syndrome, antibody

    reseptor anti insulin dan yang lainnya.

    8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan Diabetes Melitus :

    syndrome down, syndrome klinefelter, syndrome turner,

    syndrome wolfram, ataxia friedreich, chorea Huntington,

    porhyria, dan yang lainnya.

    d) Diabetes Melitus Gestasional

    Diabetes mellitus gestasional seperti namanya diabetes ini

    timbul pada kehamilan. Hal tersebut akan beralih ke metabolisme

    dan ke gejala normal setelah melahirkan, meskipun dapat juga

    berisiko menjadi diabetes tipe 2 antara 7 13 kali lebih tinggi pada

    diabetes gestasional dibantingkan normoglikemik. Oleh karena hal

    tersebut diabetes tipe ini harus dibedakan dari diabetes yang sudah

  • 16

    ada pada wanita yang hamil. Efek dari diabetes ini meliputi

    eklampsia, kesulitan melahirkan, retardasi pertumbuhan intrauterus,

    makrosomia, hipoglikemia neonatl dan gangguan pernafasan

    (Ministry of Public Health and Sanitation, 2010).

    4. Metode Pemeriksaan Glukosa Darah

    Pengukuran glukosa darah dalam laboratorium ada beberapa cara yaitu

    menggunakan metode kondensasi, reduksi dan enzimatik. Cara yang sering

    digunakan adalah metode enzimatik dengan perkembangan metode

    menggunakan glukometer yang mudah dibawa.

    1. Metode Kondensasi

    Metode kondensasi merupakan metode yang termasuk metode

    spektofotometri atau kolometri. Metode ini berprinsip pada kondensasi

    glukosa dengan senyawa amin aromtik primer menjadi campuran yang

    seimbang. Bahan penstabil yang biasa digunakan yaitu o-toluidin yang

    akan menghasilkan warna sehingga dapat dibaca oleh spektrofotometer

    (Dubowski, 2008).

    2. Metode reduksi

    Metode ini merupakan metode yang paling lama yang

    memanfaatkan reduktor glukosa. Metode ini menghasilkan kadar glukosa

    yang terlalu tinggi sehingga metode ini sudah lama ditinggalkan (Sacks et

    al., 2011).

    3. Metode Enzimatik

    Metode enzimatik menggunakan beberapa enzim untuk melakukan

    pengukuran glukosa darah yaitu glukosa dehidrogenase, glukosa oksidase

    dan heksokinase. Metode yang sering digunakan adalah metode

    dehidrogenase (Sacks et al., 2011). Terdapat alat dengn metode enzimatik

    yang mudah dibawa yaitu glukometer. Glukometer adalah alat yang sering

    digunakan pada masyarakat maupun klinis. Ada beberapa faktor yang

    dapat mempengaruhi hasil glukosa meter seperti teknik operator, paparan

    lingkungan, factor pasien seperti obat-obatan, terapi oksigen, anemia,

  • 17

    hipotensi dan yang lainnya. Metode glukosa meter sering digunakan

    karena cepat, mudah, hanya menggunakan sedikit sampel darah dan cukup

    akurat (Hones et al., 2008 ; Tonyushkina et al., 2009).

    5. Model Hewan Dalam Pengujian Efek Anti Diabetes

    Etuk (2010) menyebutkan terdapat perkembangan model hewan diabetes

    mellitus atau penguji agen antidiabetes. Model tersebut mencangkup metode

    kimia, bedah (pancreatectomy) dan manipulasi genetik. Ada beberapa obat

    atau bahan kimia sebagai aksi diabetogenik yaitu aloksan monohydrate,

    streptozotocin dengan atau tanpa nicotinamide, nitrilotriacetate besi, ditizona

    dan antiinsulin serum.

    1. Model Hewan Uji Normoglikemik

    Hewan uji yang normal dapat berpotensi untuk melakukan uji

    normoglikemik. Metode ini masih valid digunakan untuk menguji efek

    obat tanpa perusakan pankreas. Agen hiperglikemik dapat dideteksi pada

    waktu yang sama.

    2. Model Hewan Uji Diberikan Asupan Glukosa Secara Oral (TTGO)

    Metode ini juga disebut metode induksi fisiologis karena

    peningkatan glukosa darah tanpa merusak pankreas. TTGO merupakan

    prosedur yang sering digunakan untuk diagnosis pada pasien diabetes.

    Pada model ini hewan uji dipuasakan selama semalam kemudian diberikan

    glukosa berlebihan (1-2,5 g/kgBB) dan kadar glukosa dimonitor selama

    waktu tertentu. Kelemahan metode ini menghasilkan kondisi

    hiperglikemia lebih fluktuasi dibandingkan induksi aloksan monohidrat.

    3. Model Hewan Uji Yang Diinduksi Secara Kimiawi

    Beberapa agen yang digunakan seperti aloksan monohydrate,

    streptozotocin dengan atau tanpa nicotinamide, nitrilotriacetate besi,

    ditizona dan antiinsulin serum. Mayoritas agen yang digunakan dalam

    bidang farmakologi yaitu model induksi Streptozotocin (STZ, 69% ) dan

    Aloksan 31%. Kedua obat tersebut mempunyai efek diabetogenik ketika

    diberikan secara parenteral (intravena, intraperitoneal atau subkutan).

  • 18

    Dosis yang diberikan untuk menginduksi diabetes tergantung pada spesies

    hewan, jalur metabolisme dan status gizi.

    6. Aloksan

    Aloksan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-pyrimidinetetrone)

    merupakan derivat pirimidin oksigen yang ditampilkan sebagai hidrat aloksan

    di larutan. Aloksan muncul dari dua kata yaitu allantoin dan asam Oxaluric,

    dengan allantonin adalah produk asam urat diekskresi dalam allantois

    sedangkan asam oxaluric yaitu turunan asam oksalat dan urea yang ditemukan

    pada air seni. Aloksan digunakan untuk penginduksi hewan uji untuk

    menciptakan keadaan diabetes pada hewan uji. Injeksi aloksan sebagai aksi

    diabetogenik dilakukan pada pemberian parenteral yaitu intravena,

    intraperitoneal atau subkutan. Dosis aloksan untuk beberapa penelitian

    tergantung spesies hewan, metabolisme dan status gizi. Aloksan terbukti tidak

    beracun untuk sel beta manusia bahkan dalam dosis sangat tinggi, karena

    mungkin disebabkan oleh perbedaan penyerapan glukosa pada manusia dan

    hewan uji (Rohilla dan Ali , 2012).

    Mekanisme aloksan sebagai aksi diabetogenik masih belum pasti tetapi

    ada penelitian yang menyebutkan aksi diabetogenik aloksan pada hewan uji

    yaitu zat aloksan sangat cepat mencapai pankreas. Aksi tersebut diawali

    dengan pengambilan cepat pada sel beta langerhans. Kemudian terjadi reduksi

    aloksan dalam sel beta sehingga menyebabkan pembentukan oksigen reaktif..

    Pembentukan oksigen reaktive merangsang pengeluaran asam dialurat

    kemudian mengalami reoksidasi kembali dan menyebabkan pengeluaran

    radikal superoksida. Selanjutnya radikal superoksida membebaskan ion ferri

    dari feritin yang akan mereduksi ferro dan radikal superoksida juga

    mengalami dismutase menjadi hydrogen peroksida yang kedua hal tersebut

    akan membentuk radikal hidroksi yang sangat reaktif melalui reaksi fenton.

    Dari reaksi tersebut menyebabkan kerusakan DNA sel pulau langerhans yang

    memproduksi insulin sehingga produksi insulin terganggu. Selain itu

    mekanisme aloksan dalam aksi diabetogenik aloksan menyebabkan gangguan

  • 19

    homeostatis kalsium intraselluler. Aloksan menyebabkan depolarisasi sel beta

    langerhans yang membuka kanal kalsium sehingga menyebabkan gangguan

    sensitivitas insulin perifer dalam waktu singkat. Dari kedua mekanisme

    tersebut dapat menyebabkan rusaknya sel penghasil insulin dan meningkatkan

    kadar glukosa dalam plasma (Nugroho, 2006).

    Pada penelitian Munawaroh dan Sujono (2009) menyebutkan percobaan

    dosis untuk hewan uji 100 dan 120 mg/kgBB belum mampu menyebabkan

    terjadinya diabetes pada tikus, sedangkan dosis 150 mg/kgBB sudah mampu

    menyebabkan keadaan diabetes untuk hewan uji. Sehingnga dosis aloksan

    yang digunakan untuk penginduksi diabetes adalah 150 mg/kgBB yang

    diberikan secara intraperitoneal pada tikus.

    7. Glibenklamid

    Glibenklamid merupakan obat generasi dua golongan sulfonylurea yang

    berpotensi sebagai antihiperglikemik. Golongan obat ini sering disebut sebagai

    insulin secretagogues dengan mekanisme kerjanya merangsang sekresi insulin

    dari sel beta langerhans. Farmakokinetik golongan ini absorbsinya melalui

    saluran pencerna yang cukup efektif. Potensi glibenklamid yang merupakan

    golongan dua dari sulfonylurea lebih kuat 200 kali daripada tolbutamid yang

    merupakan golongan satu sulfonylurea. Waktu paruh obat sekitar empat jam

    yang metabolismenya terjadi di hepar. Efek hipoglikemik dari obat ini

    berlangsung 12 24 jam sehinngga sering cukup diberikan satu kali sehari.

    Pada pemberian dosis tunggal hanya 25% metabolitnya diekskresi melalui urin

    dan sisanya melalui empedu (Syarif et al., 2007).

    Efek samping dari glibenklamid yaitu peningkatan nafsu makan dan berat

    badan, sehingga pasien dengan pengobatan glibenklamid yang tidak menjaga

    pemasukan makanan dan olahraga teratur akan mengalami obesitas. Keadaan

    hipoglikemia yang berat sangat berbahaya jika diberikan pada orang tua.

    Selain itu terdapat gangguan pencernaan dan ruam kulit reaksi alergi banyak

    dilaporkan. Kerusakan sumsum tulang juga dapat terjadi akan tetapi jarang

    dilaporkan dan termasuk efek samping berat (Throp, 2008).

  • 20

    Indikasi pemberian obat harus tepat untuk suksesnya terapi dan berdampak

    buruk hanya sedikit. Penentuan keberhasilan bukanlah melalui umur pasien

    waktu terapi dimulai melainkan usia pasien saat mulai timbul penyakit

    diabetes mellitus. Kegagalan terapi obat ini disebabkan oleh perubaahan

    farmakokinetik obat misalnya penghancuran yang sangat cepat (Syarif et al.,

    2007).

    Glibenklamid dalam pasaran tersedia dalam bentuk tablet. Dosis yang

    diberikan pada awal biasanya 2,5 mg/hari atau kurang, dan rata-rata dosis

    pemeliharaan 5 10 mg/hari yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi

    hari. Dosis pemeliharaan tidak dianjurkan memberikan dosis sampai 20

    mg/hari (Katzung, 2002).

    8. Tikus Putih

    a. Taksonomi

    Kingdom : Animalia

    Phylum : Chordata

    Subphylum : Vertebrata

    Class : Mammalia

    Order : Rodentia

    Suborder : Myomorpha

    Family : Muridae

    Subfamily : Murinae

    Genus : Rattus

    Spesies : Rattus norvegicus (Armitage, 2008).

    b. Sifat sifat Tikus Putih

    Hewan percobaan yang umumnya digunakan salah satunya yaitu

    tikus putih. Suhu perawatan tikus pada laboratorium dianjurkan antara

    suhu 20 26 C atau 68 79 F. Beberapa penggunaan hewan uji tikus di

    laboratorium seperti praktikum imunologi, fisiologi, farmakologi, dan

    untuk respon toxicology (National Academy of Sciences, 2011).

    Penggunaan tikus putih karena tikus putih mempunyai anatomi dan

  • 21

    fisiologi serta proses biokimia dan biofisik yang hampir sama dengan

    manusia (Amitage, 2008).

    Tikus putih (Rattus norvegicus) mempunyai panjang ekor yang

    lebih pendek dari pada kepala dan badannya. Telinga tikus pendek, dan

    ketika telinga ditelungkupkan tidak dapat mencapai mata (Yigit et al,

    1998). Berat tikus tersebut 150 600 gram, dengan panjang kepala dan

    badan 18-25 cm,ekor 16 21 cm, telinga 20-23 mm. Tikus putih

    mempunyai bulu dibagian punggung berwarna abu-abu kecoklatan dan

    pada bagian perut keabu-abuan. Tikus dewasa berumur 75 hari dan pada

    tikus betina masa hamil 22 24 hari. Kebiasaan Rattus norvegicus adalah

    menggali lubang, berenang, menyelam dan menggigit benda keras seperti

    kayu bangunan, alumunium dan lain lain (DEPKES, 2013).

    9. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

    Kromatografi merupakan teknik pemisahan komponen senyawa kimia

    diantara dua fase yaitu fase gerak (cair atau gas) dan fase diam (padat atau

    cair). Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa kimia

    karena penggunaan memerlukan biaya yang murah, metode sederhana, serta

    dalam serempak dapat menganalisis beberapa komponen. Dalam

    melaksanakan teknik ini diawali dengan pembuatan lapisan tipis adsorben

    pada permukaan plat kaca yang tebalnya bervariasi tergantung pada analisis

    yang akan dilakukan. Pemisahan komponen senyawa dengan KLT

    dipengaruhi beberapa factor, yaitu suhu ruang, kejenuhan uap pereaksi,

    ketebalan fase diam, dan cara penetesan contoh ekstrak. Komponen senyawa

    yang dipisahkan dengan KLT merupakan senyawa-senyawa besar seperti

    flavonoid, tannin, saponin, dan lainnya. (Hayani dan Sukmasari, 2005).

  • 22

    B. Kerangka Teori

    Keterangan : : Menstimulasi

    : Menghambat atau memperbaiki

    : Menghasilkan

    Ekstrak etanol 70%

    kulit asam jawa

    (Tamarindus indica L)

    Kandungan flavonoid

    fenolik (Proanthocyanidin

    atau Tanin terkondensasi)

    Tikus Putih Jantan

    Galur Wistar

    Glukosa

    darah

    Sel pankreas rusak

    Radikal

    superoksida

    Radikal

    superoksida

    Diinduksi Aloksan

    Pemangsa Radikal

    superoksida

    Transport Glukosa

    darah terganggu

    Level Insulin

    Regenerasi sel

    pankreas dan aktivitas

    insulin

    Induksi Regenerasi

    Sel Pankreas

    uptake Glukosa darah

    Aktivasi mediator

    jalur signal insulin

    Glukosa darah

    Hambat penyerapan

    glukosa di intestinal

    Glukosa

    darah

  • 23

    C. Hipotesis

    Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut maka dapat dihipotesiskan bahwa :

    H0 : Tidak terdapat efek ekstrak kulit buah asam jawa (Tamarindus indica L.)

    terhadap kadar glukosa darah pada tikus putih jantan yang diinduksi

    Aloksan.

    H1 : Terdapat efek ekstrak kulit buah asam jawa (Tamarindus indica L.)

    terhadap kadar glukosa darah pada tikus putih jantan yang diinduksi

    Aloksan.