BAB | II LANDASAN TEORI II 1 BAB II LANDASAN TEORI Konsep ...
Bab II
-
Upload
ririh-febriyana -
Category
Documents
-
view
25 -
download
0
description
Transcript of Bab II
-
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Asam Jawa
Klasifikasi tanaman
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Resales
Suku : Leguminosae
Marga : Tamaridus
Jenis : Tamarindus indica L
Asam jawa dengan nama ilmiah Tamarindus indica L adalah nama
sejenis pohon dengan buah lonjong dan masam. Di Negara Indonesia sendiri
terdapat beberapa nama lain asam jawa seperti Bak mee (Aceh), celagi (Bali),
tangkal asem (Sunda), asang jawi (gorontalo). Nama-nama lainnya dibeberapa
Negara adalah : tamarinde (Afrika), aradeib, ardeib (Arab); tamarinda,
tamarino (Brazil); luo-wang, lo-wang-tsu (Cina); tamarinde, tamarindenbaum
(Jerman); teteli, tetuli, tentul (India); tamrisi (Ghana), tamarin, tamarinier
(Prancis) ( Lim, 2012; Warintek, 2013).
Deskripsi tanaman asam jawa berperawakan pohon tinggi besar,
dengan tinggi 25 m. Batang tegak, berkayu, bulat, permukaan banyak
lentisel, percabangan simpodial, coklat muda. Daun majemuk, lonjong,
berhadapan, panjang sekitar 1- 2,5 cm, lebar 0,5 1 cm, mempunyai tepi rata,
ujung tumpul, pangkal membulat, berwarna hijau, halus, pertulangan
menyirip, halus, dan bertangkai dengan panjang 0,2 cm. Bunga majemuk,
berbentuk tandan, berada di ketiak daun, tangkai panjang 0,6 cm, warna
kuning, kelopak bentuk tabung, hijau kecoklatan, benang sari warna putih
berjumlah banyak, dan putik putih, mahkota kecil, berwarna kuning. Buah
-
6
polong, panjang 10 cm, lebar 2 cm, hijau kecoklatan. Akar tunggang,
berwarna coklat kotor ( Warintek, 2013).
Gambar 2.1 Tanaman asam jawa ( Tamarindus indica L).
Kandungan nutrisi asam jawa antara lain pada asam jawa matang
mengandung 40 50 % buah yang dapat dimakan dan per 100 g mengandung
: 17,8-35,8 g. air, 2-3 g. protein, 0,6 g. lemak,: 41,1-61,1 g. karbohidrat, 2,9 g
serat;: 2,6-3,9 g abu, 34-94 mg. kalsium, 34 mg -78. fosfor, 0,2-0,9 mg. besi,
0,33 mg 'tiamin (vitamin B1), 0,1 mg. riboflavin (vitamin B2), 1 mg. niacin
(vitamin B3), 44 mg. vitamin C. Biji atau benih segar mengandung 13% air,
20% protein, lemak 5,5%, 59% karbohidrat, abu 2,4% dan sisanya adalah
amyloid, phytohemaglutinins dan flavonoid. Daging buah, daun, dan batang
mengandung saponin, flavonoid dan tannin (Soemardji, 2007).
Isolasi dan penentuan struktur senyawa fenolik antioksidan dari
benih dan pericarp (kulit buah) asam jawa menyimpulkan bahwa terdapat
kandungan polifenol sebagai antioksidan. Polifenol dalam kulit buah
didominasi oleh proanthocyanidin (73,4 %) dalam berbagai bentuk (+)-
catechin (2.0 %), procyanidin B2 (8,2%), (-)-epicatechin (9.4%), procyanidin
trimer (11,3%), procyanidin tetramer (22,2%), procyanidin pentamer (11,6%),
procyanidin heksamer (12,8%), bersama dengan taxifolin (7,4%), apigenin
(2.0%), eriodictyol (6,9%), luteolin (5.0%) dan naringenin (1.4%) dari total
fenol. Ekstraksi kulit buah dan biji menggunakan aseton, methanol, asam
asetat hanya mendapatkan kandungan polifenol berupa oligomer procyanidin,
-
7
tetapi hasilnya jauh lebih tinggi. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa asam
jawa dapat menjadi produk pencegah kanker di daerah tropis (Sudjaroen et al.,
2005).
Dari hasil uji fitokimia ekstra asam jawa didapatkan beberapa
senyawa yang dihasilkan dari ekstra air dan etanol 70%, yaitu :
Tabel 1 Hasil Uji fitokimia ekstra asam jawa
NO SENYAWA EKSTRA
AIR ETANOL 70%
1 Alkaloid ++ +++
2 Flavonoid ++ +
3 Saponin + +++
4 Steroid + +
5 Triterpenoid - -
6 Tanin ++ +++
Keterangan:
+ = terdeteksi mengandung senyawa metabolit tersebut.
- = tidak terdeteksi mengandung senyawa metabolit tersebut.
(Doughari, 2006)
Dalam kehidupan sehari-hari tanaman asam jawa banyak
dimanfaatkan masyarakat untuk tujuan tertentu. Daging buahnya digunakan
untuk dimakan seperti dalam bumbu masakan, permen, selai dan jus. Biji
digunakan untuk bahan produk farmasi, stabilkan eskrim, mayones, dan keju.
Daun dan bunga sebagai bumbu masakan yang banyak digunakan di masakan
Thailand dan salad. Batang pohon berguna sebagai bahan bakar maupun
bahan bangunan (Williams, 2006).
Proanthocyanidin yang merupakan kandungan terbanyak dari kulit
buah asam jawa mempunyai nama lain yaitu tannin khususnya tannin yang
terkondensasi yang termasuk oligomer dan polimer dari monomer flavonoid
yang lebih khususnya adalah polyflavan (molekul kental flavonoid dengan
cincin C jenuh (Beecher , 2004). Mekanisme tannin sebagai antidiabetik
terdapat beberapa mekanisme yaitu menghambat penyerapan glukosa
-
8
diintestinal dan menghambat adipogenesis. Mekanisme tersebut yaitu
menurunkan absorbsi nutrisi (seperti katein teh) dengan menghambat
penyerapan glukosa di intestinal. Pada penghambatan adipogenesis dengan
menginduksi regenerasi sel pankreas dan berefek langsung pada sel adipose
yang menguatkan aktivitas insulin. Selain itu tannin bertindak sebagai
pemangsa radikal bebas dan mengaktifkan enzim antioksidan. Pada
peningkatan uptake glukosa dalam darah melalui aktivasi mediator jalur
signal insulin, seperti PI3K (phosphoinositide 3-Kinase), p38 MAPK
(Mitogen Aktivated Protein Kinase) dan translokasi GLUT-4 sehingga
menurunkan glukosa dalam darah (Kumari dan Jain, 2012).
Selain itu flavonoid itu sendiri merangsang sekresi insulin dan
meregenerasi kerusakan sel beta pankreas untuk antihiperglikemik.
Antioksidan secara umum juga berpengaruh pada glukosa darah, mekanisme
antioksidan dalam antihiperglikemia yaitu mengurangi stress oksidatif pada
terjadinya diabetes, selain itu antioksidan bekerja dengan cara mengurangi
glukosa dalam darah dan meningkatkan kadar insulin plasma (Widowati,
2008).
2. Teknik Ekstraksi
Ekstrak merupakan sediaan kering, kental, atau cair yang dibuat dengan
menyari simplisia nabati maupun hewani dengan beberapa cara tanpa
pengaruh matahari. Simplisia itu sendiri berarti bahan alam yang telah
dikeringkan yang digunakan untuk pengolahan dan belum mengalami
pengolahan (MENKES, 2009). Tujuan pembuatan ekstrak itu sediri adalah
untuk menstandarisasi tumbuhan untuk menjamin keseragaman mutu,
keamanan dan khasiat produk akhir. Simplisia juga dapat digunakan
tersendiri walupun sebelum diekstrak, tetapi ekstrak mempunyai kelebihan
dibandingkan silmplisia asalnya yaitu penggunaan lebih simpel, bobot
pemakaiannya lebih sedikit dibandingkan berat tumbuhan asalnya (BPOM,
2005).
-
9
Teknik ekstraksi membutuhkan cairan penyari dengan berbagai
pertimbangan. Pertimbangan tersebut meliputi : murah dan mudah diperoleh,
stabil secara fisika maupun kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan
tidak mudah terbakar, selektif menarik zat yang dikehendaki, dan tidak
mempengaruhi zat yang berkhasiat. Dalam Farmakope Indonesia ditetapkan
beberapa cairan penyari yaitu air, etanol, dan etanol-air. Air dipertimbangkan
sebagai cairan penyari karena mudah diperoleh, stabil, tidak mudah menguap,
tidak muah terbakar, tidak beracun dan alamiah. Air dapat melarutkan
kandungan senyawa garam alkaloid, minyak penguap, glikosida, tannin dan
gula, gom, pati, protein, pectin, dan zat warna. Akan tetapi terdapat kerugian
yaitu tidak selektif, sari dapat ditumbuhi kapang dan kuman serta cepat rusak.
Selanjutnya etanol mempunyai kelebihan lebih selektif, kapang dan kuman
sulit tumbuh dalam etanol diatas 20%, tidak beracun, netral, absorbsinya
baik, etanol dapat bercampur dengan air dalam segala perbandingan,
sedangkan kerugian etanol lebih mahal. Etanol dapat melarutkan alkaloida
basa, minyak penguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid,
steroid, dammar dan klorofil (DEPKES, 1986).
Berikut ini beberapa metode ekstraksi menurut BPOM (2010) dan
DEPKES (1986):
1. Infusa (Infus)
Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi
simplisia nabati dengan air pada suhu 90 C selama 15 menit. Teknik ini
merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari
bahan lunak seperti daun dan bunga. Sediaan infusa dapat dikonsumsi
panas maupun dingin.
2. Maserasi
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari kemudian zat
aktif akan larut karena perbedaan konsentrasi. Setelah beberapa hari
diambil ekstrak kemudian dipanaskan sambil diaduk sehingga diperoleh
ekstrak kental.
-
10
3. Perkolasi
Prinsip perkolasi yaitu serbuk simplisia ditempatkan dalam bejana atau
percolator dibawahnya ada sekat berpori, kemudian cairan penyari
dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut kemudian ditutup dan
ditunggu selama 24 jam. Hal tersebut dilakukan berulang sampai
mendapatkan 0,8 bagian perkolat cair, kemudian dipisahkan dan sisanya
diuapkan sampai mendapat 0,2 bagian perkolat yang selanjutnya dicampur
kedalam perkolat pertama.
3. Glukosa Darah dan Diabetes Mellitus
a. Glukosa Darah
Glukosa merupakan hal terpenting yang berperan dalam penyedia
energi di dalam tubuh. Glukosa tersebut diperoleh dari karbohidrat yang
dikonsumsi baik monosakarida, disakarida maupun polisakarida. Glukosa
tersebut di dalam hati akan dikonversikan menjadi glukosa. Dalam tubuh
manusia glukosa diserap oleh usus halus kemudian didistribusikan ke semua
sel dalam tubuh melalui aliran darah. Penyimpanan glukosa di dalam tubuh
tidak hanya tersimpan dalam bentuk glikogen di dalam otot dan hati namun
tersimpan dalam plasma darah dalam bentuk glukosa darah ( blood glucose)
(Irawan, 2007). Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan hati kemudian
digunakan oleh jaringan perifer bergantung pada keseimbangan fisiologi
beberapa hormon yaitu hormon yang menurunkan kadar glukosa darah
(insulin) dan hormon yan meningkatkan glukosa darah (glukagon). Kedua
hormon tersebut disekresi dalam sel-sel pankreas yaitu sel beta pulau
langerhans mensekresi insulin dan sel alfa pulau langerhans mensekresi
glukagon (Schteingart, 2006).
Keadaan pasca penyerapan kadar glukosa darah mamalia termasuk
manusia dan tikus yaitu antara 4,5 5,5 mmol/L. Setelah mengkonsumsi
karbohidrat, kadar meningkat menjadi 6,7 7, 2 mmol/L, dan pada saat
kelaparan kadar turun menjadi 3,3 3,9 mmol/L. Kadar glukosa darah
manusia dalam keadaan normal apabila tidak makan dalam tiga sampai empat
-
11
jam terakhir sekitar 90 mg/dL, sedangkan setelah makan walaupun banyak
makanan karbohidrat kadar jarang melebihi 140 mg/dL. Keadaan penurunan
mendadak glukosa darah akan menyebabkan kejang karena otak bergantung
pada pasokan glukosa. Jika terjadi peningkatan glukosa darah atau
hiperglikemi hormon insulin akan berperan dalam penyeimbangan agar tidak
mengganggu keseimbngan tubuh sendiri. Penurunan glukosa darah tersebut
dengan cara meningkatkan pemindahan glukosa ke dalam jaringan adipose
dan otot dengan merekrut pengangkut glukosa dari bagian sel ke membrane
plasma (Bender dan Mayes, 2009 ; Guyton dan Hal., 2008 ; IDF, 2007).
Kadar glukosa serum puasa normal yaitu 70 sampai 110 mg/dl,
dalam keadaan meningkat atau hiperglikemi jika lebih dari 110 mg/dl
sedangkan keadaan menurun atau hipoglikemi kurang dari 70mg/dl. Glukosa
difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hampir keseluruhannya direabsorbsi oleh
tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160 180
mg /dl. Apabila konsentrasi melebihi kadar tersebut glukosa dapat keluar
bersama urin dan keadaan tersebut disebut glikosuria (Schteingart, 2006).
b. Diabetes mellitus
1) Definisi Diabetes Melitus:
Menurut American Diabetes Asosiation (ADA), Diabetes mellitus
(DM) merupakan kelompok penyakit metabolik dengan cirri khas
hiperglikemia yang disebabkan karena adanya kelainan kerja insulin,
sekresi insulin atau keduanya (ADA, 2013). Hiperglikemia kronik
pada diabetes dapat berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama pada ginjal, saraf, mata,
jantung dan pembuluh darah. Secara umum diabetes mellitus juga
dapat dikatakan sebagai kumpulan problema kimiawi dan anatomik
akibat dari sejumlah factor dimana terdapat gangguan fungsi insulin
dan defisiensi insulin absolute atau relative (Purnamasari, 2009).
-
12
2) Gejala Diabetes Melitus :
Gejala yang biasanya diderita pasien Diabetes Melitus secara
umum meliputi sering mulai mendadak merasakan haus, berat badan
turun, poliuria dan kelelahan. Selain itu didapatkan gejala umum
dehidrasi, pusing, jantung berdenyut cepat, pandangan mata kabur,
infeksi. Apabila dalam pemeriksaan penyaring rutin didapati juga
glikosuria ( Barnes, 2012 ; Saputra, 2009).
3) Diagnosis Diabetes Melitus:
Diagnosis Diabetes Melitus (DM) didasarkan pada pemeriksaan
konsentrasi glukosa darah. Ada beberapa gejala dari Diabetes Melitus
seperti gejala klasik berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya sedangkan gejala
lainnya seperti lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi pada pria dan pruritus vulvae pada wanita. Diagnosis tersebut
dapat ditegakkan melalui beberapa langkah (Purnamasari , 2009) :
a) Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
b) Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7,0
mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya
8 jam.
c) Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral)
200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standart WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air.
Apabila terdapat risiko DM namun tidak menunjukkan adanya
gejala DM dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan penyaring
-
13
dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar gluosa darah sewaktu
maupun kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menemukan pasien DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu),
maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) sehingga dapat
ditangani lebih dini dan secara tepat. TGT dan GDPT merupakan
tahapan sementara menuju DM dan merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DM. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dilakukan apabila
saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)
Bukan Belum DM
DM pasti DM
Konsentrasi
glukosa
Plasma vena
-
14
memahami patofisiologi hiperglikemianya sendiri agar terapi lebih
efektif.
a) Diabetes Melitus Tipe I
Pada tipe ini terdapat defisiensi absolut insulin dengan
penyebab paling umum yaitu destruksi sel beta pankreas yang
disebabkan oleh autoimun. Pada keadaan ini pemberian insulin
sangat penting, karena jika pasien tidak menerima insulin maka
pasien akan mengalami dehidrasi akibat hiperglikemia berat dan
ketoasidosis. Hiperglikemia berat dan ketoasidosis bila tidak
diobati akan menyebabkan koma dan kematian dengan cepat. DM
tipe 1 juga memiliki kecenderungan genetik yang kuat dan terdapat
beberapa gen yang rentan. Pasien DM dengan tipe ini sangat rentan
mengalami komplikasi mikroavaskuler seperti neuropati,
retinopati, dan nefropati. Selain itu dapat juga mengalami penyakit
arteri koroner dan aterosklerosis meskipun kurang umum
(Kidambi dan Patel, 2008).
b) Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan gangguan metabolisme
yang melibatkan kelebihan berat badan dan resistensi insulin.
Pasien DM tipe ini pada awalnya pankreas memproduksi insulin
akan tetapi tubuh kesulitan untuk menggunakan hormon
pengendali glukosa darah tersebut. Peran gangguan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin perifer masih belum
diketahui pasti. Akhirnya pankreas tidak dapat menghasilkan
cukup insulin untuk memenuhi kebutuhan tubuh tersebut. Diabetes
tipe ini merupakan bentuk paling umum dinegara maju. Diabetes
tipe 2 dahulu disebut diabetes onset dewasa dan non- insulin
dependent diabetes melitus (NIDDM). Istilah tersebut tidak akurat
karena perkembangan penyakit menjadikan anak - anak dapat
mengalami Diabetes tipe 2 dan beberapa pasien butuh terapi insulin
( Kumar et al., 2007 ; Riaz , 2009).
-
15
c) Diabetes Melitus Tipe Lainnya
Beberapa tipe diabetes mellitus pada tipe ini (ADA, 2012) yaitu:
1. Defek genetik fungsi sel beta : pada kromosom 12, kromosom
7, kromosom 20, kromosom 13, kromosom 17, kromosom 2,
DNA mitokondrial dan yang lain.
2. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A,
leprechaunism, sindrom Rabson-Mendenhal., diabetes
lipoatropihic, dan yang lain.
3. Penyakit eksokrin pankreas : pancreatitis, trauma /
pancreatectomy, neoplasia, fibrosis kistik, hemoshromatosis,
pancreatopathy fibrocalculus, dan yang lain.
4. Endokrinopati : acromegali, chushings syndrome,
glucagonoma, pheochromacytoma, hipertiroid,
somatostatinoma, aldosteronoma, dan lainnya.
5. Karena obat dan zat kimia : vacor, pentamidin, asam nicotin,
glucocorticoids, hormon tiroid, diazoxide, agonis b-adrenergik,
thiazid, dilantin, g-interferon dan lainnya.
6. Infeksi : rubella congenital, cytomegalovirus, dan lainnya
7. Sebab imunologi yang jarang : stiff-man syndrome, antibody
reseptor anti insulin dan yang lainnya.
8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan Diabetes Melitus :
syndrome down, syndrome klinefelter, syndrome turner,
syndrome wolfram, ataxia friedreich, chorea Huntington,
porhyria, dan yang lainnya.
d) Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes mellitus gestasional seperti namanya diabetes ini
timbul pada kehamilan. Hal tersebut akan beralih ke metabolisme
dan ke gejala normal setelah melahirkan, meskipun dapat juga
berisiko menjadi diabetes tipe 2 antara 7 13 kali lebih tinggi pada
diabetes gestasional dibantingkan normoglikemik. Oleh karena hal
tersebut diabetes tipe ini harus dibedakan dari diabetes yang sudah
-
16
ada pada wanita yang hamil. Efek dari diabetes ini meliputi
eklampsia, kesulitan melahirkan, retardasi pertumbuhan intrauterus,
makrosomia, hipoglikemia neonatl dan gangguan pernafasan
(Ministry of Public Health and Sanitation, 2010).
4. Metode Pemeriksaan Glukosa Darah
Pengukuran glukosa darah dalam laboratorium ada beberapa cara yaitu
menggunakan metode kondensasi, reduksi dan enzimatik. Cara yang sering
digunakan adalah metode enzimatik dengan perkembangan metode
menggunakan glukometer yang mudah dibawa.
1. Metode Kondensasi
Metode kondensasi merupakan metode yang termasuk metode
spektofotometri atau kolometri. Metode ini berprinsip pada kondensasi
glukosa dengan senyawa amin aromtik primer menjadi campuran yang
seimbang. Bahan penstabil yang biasa digunakan yaitu o-toluidin yang
akan menghasilkan warna sehingga dapat dibaca oleh spektrofotometer
(Dubowski, 2008).
2. Metode reduksi
Metode ini merupakan metode yang paling lama yang
memanfaatkan reduktor glukosa. Metode ini menghasilkan kadar glukosa
yang terlalu tinggi sehingga metode ini sudah lama ditinggalkan (Sacks et
al., 2011).
3. Metode Enzimatik
Metode enzimatik menggunakan beberapa enzim untuk melakukan
pengukuran glukosa darah yaitu glukosa dehidrogenase, glukosa oksidase
dan heksokinase. Metode yang sering digunakan adalah metode
dehidrogenase (Sacks et al., 2011). Terdapat alat dengn metode enzimatik
yang mudah dibawa yaitu glukometer. Glukometer adalah alat yang sering
digunakan pada masyarakat maupun klinis. Ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi hasil glukosa meter seperti teknik operator, paparan
lingkungan, factor pasien seperti obat-obatan, terapi oksigen, anemia,
-
17
hipotensi dan yang lainnya. Metode glukosa meter sering digunakan
karena cepat, mudah, hanya menggunakan sedikit sampel darah dan cukup
akurat (Hones et al., 2008 ; Tonyushkina et al., 2009).
5. Model Hewan Dalam Pengujian Efek Anti Diabetes
Etuk (2010) menyebutkan terdapat perkembangan model hewan diabetes
mellitus atau penguji agen antidiabetes. Model tersebut mencangkup metode
kimia, bedah (pancreatectomy) dan manipulasi genetik. Ada beberapa obat
atau bahan kimia sebagai aksi diabetogenik yaitu aloksan monohydrate,
streptozotocin dengan atau tanpa nicotinamide, nitrilotriacetate besi, ditizona
dan antiinsulin serum.
1. Model Hewan Uji Normoglikemik
Hewan uji yang normal dapat berpotensi untuk melakukan uji
normoglikemik. Metode ini masih valid digunakan untuk menguji efek
obat tanpa perusakan pankreas. Agen hiperglikemik dapat dideteksi pada
waktu yang sama.
2. Model Hewan Uji Diberikan Asupan Glukosa Secara Oral (TTGO)
Metode ini juga disebut metode induksi fisiologis karena
peningkatan glukosa darah tanpa merusak pankreas. TTGO merupakan
prosedur yang sering digunakan untuk diagnosis pada pasien diabetes.
Pada model ini hewan uji dipuasakan selama semalam kemudian diberikan
glukosa berlebihan (1-2,5 g/kgBB) dan kadar glukosa dimonitor selama
waktu tertentu. Kelemahan metode ini menghasilkan kondisi
hiperglikemia lebih fluktuasi dibandingkan induksi aloksan monohidrat.
3. Model Hewan Uji Yang Diinduksi Secara Kimiawi
Beberapa agen yang digunakan seperti aloksan monohydrate,
streptozotocin dengan atau tanpa nicotinamide, nitrilotriacetate besi,
ditizona dan antiinsulin serum. Mayoritas agen yang digunakan dalam
bidang farmakologi yaitu model induksi Streptozotocin (STZ, 69% ) dan
Aloksan 31%. Kedua obat tersebut mempunyai efek diabetogenik ketika
diberikan secara parenteral (intravena, intraperitoneal atau subkutan).
-
18
Dosis yang diberikan untuk menginduksi diabetes tergantung pada spesies
hewan, jalur metabolisme dan status gizi.
6. Aloksan
Aloksan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-pyrimidinetetrone)
merupakan derivat pirimidin oksigen yang ditampilkan sebagai hidrat aloksan
di larutan. Aloksan muncul dari dua kata yaitu allantoin dan asam Oxaluric,
dengan allantonin adalah produk asam urat diekskresi dalam allantois
sedangkan asam oxaluric yaitu turunan asam oksalat dan urea yang ditemukan
pada air seni. Aloksan digunakan untuk penginduksi hewan uji untuk
menciptakan keadaan diabetes pada hewan uji. Injeksi aloksan sebagai aksi
diabetogenik dilakukan pada pemberian parenteral yaitu intravena,
intraperitoneal atau subkutan. Dosis aloksan untuk beberapa penelitian
tergantung spesies hewan, metabolisme dan status gizi. Aloksan terbukti tidak
beracun untuk sel beta manusia bahkan dalam dosis sangat tinggi, karena
mungkin disebabkan oleh perbedaan penyerapan glukosa pada manusia dan
hewan uji (Rohilla dan Ali , 2012).
Mekanisme aloksan sebagai aksi diabetogenik masih belum pasti tetapi
ada penelitian yang menyebutkan aksi diabetogenik aloksan pada hewan uji
yaitu zat aloksan sangat cepat mencapai pankreas. Aksi tersebut diawali
dengan pengambilan cepat pada sel beta langerhans. Kemudian terjadi reduksi
aloksan dalam sel beta sehingga menyebabkan pembentukan oksigen reaktif..
Pembentukan oksigen reaktive merangsang pengeluaran asam dialurat
kemudian mengalami reoksidasi kembali dan menyebabkan pengeluaran
radikal superoksida. Selanjutnya radikal superoksida membebaskan ion ferri
dari feritin yang akan mereduksi ferro dan radikal superoksida juga
mengalami dismutase menjadi hydrogen peroksida yang kedua hal tersebut
akan membentuk radikal hidroksi yang sangat reaktif melalui reaksi fenton.
Dari reaksi tersebut menyebabkan kerusakan DNA sel pulau langerhans yang
memproduksi insulin sehingga produksi insulin terganggu. Selain itu
mekanisme aloksan dalam aksi diabetogenik aloksan menyebabkan gangguan
-
19
homeostatis kalsium intraselluler. Aloksan menyebabkan depolarisasi sel beta
langerhans yang membuka kanal kalsium sehingga menyebabkan gangguan
sensitivitas insulin perifer dalam waktu singkat. Dari kedua mekanisme
tersebut dapat menyebabkan rusaknya sel penghasil insulin dan meningkatkan
kadar glukosa dalam plasma (Nugroho, 2006).
Pada penelitian Munawaroh dan Sujono (2009) menyebutkan percobaan
dosis untuk hewan uji 100 dan 120 mg/kgBB belum mampu menyebabkan
terjadinya diabetes pada tikus, sedangkan dosis 150 mg/kgBB sudah mampu
menyebabkan keadaan diabetes untuk hewan uji. Sehingnga dosis aloksan
yang digunakan untuk penginduksi diabetes adalah 150 mg/kgBB yang
diberikan secara intraperitoneal pada tikus.
7. Glibenklamid
Glibenklamid merupakan obat generasi dua golongan sulfonylurea yang
berpotensi sebagai antihiperglikemik. Golongan obat ini sering disebut sebagai
insulin secretagogues dengan mekanisme kerjanya merangsang sekresi insulin
dari sel beta langerhans. Farmakokinetik golongan ini absorbsinya melalui
saluran pencerna yang cukup efektif. Potensi glibenklamid yang merupakan
golongan dua dari sulfonylurea lebih kuat 200 kali daripada tolbutamid yang
merupakan golongan satu sulfonylurea. Waktu paruh obat sekitar empat jam
yang metabolismenya terjadi di hepar. Efek hipoglikemik dari obat ini
berlangsung 12 24 jam sehinngga sering cukup diberikan satu kali sehari.
Pada pemberian dosis tunggal hanya 25% metabolitnya diekskresi melalui urin
dan sisanya melalui empedu (Syarif et al., 2007).
Efek samping dari glibenklamid yaitu peningkatan nafsu makan dan berat
badan, sehingga pasien dengan pengobatan glibenklamid yang tidak menjaga
pemasukan makanan dan olahraga teratur akan mengalami obesitas. Keadaan
hipoglikemia yang berat sangat berbahaya jika diberikan pada orang tua.
Selain itu terdapat gangguan pencernaan dan ruam kulit reaksi alergi banyak
dilaporkan. Kerusakan sumsum tulang juga dapat terjadi akan tetapi jarang
dilaporkan dan termasuk efek samping berat (Throp, 2008).
-
20
Indikasi pemberian obat harus tepat untuk suksesnya terapi dan berdampak
buruk hanya sedikit. Penentuan keberhasilan bukanlah melalui umur pasien
waktu terapi dimulai melainkan usia pasien saat mulai timbul penyakit
diabetes mellitus. Kegagalan terapi obat ini disebabkan oleh perubaahan
farmakokinetik obat misalnya penghancuran yang sangat cepat (Syarif et al.,
2007).
Glibenklamid dalam pasaran tersedia dalam bentuk tablet. Dosis yang
diberikan pada awal biasanya 2,5 mg/hari atau kurang, dan rata-rata dosis
pemeliharaan 5 10 mg/hari yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi
hari. Dosis pemeliharaan tidak dianjurkan memberikan dosis sampai 20
mg/hari (Katzung, 2002).
8. Tikus Putih
a. Taksonomi
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Suborder : Myomorpha
Family : Muridae
Subfamily : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus (Armitage, 2008).
b. Sifat sifat Tikus Putih
Hewan percobaan yang umumnya digunakan salah satunya yaitu
tikus putih. Suhu perawatan tikus pada laboratorium dianjurkan antara
suhu 20 26 C atau 68 79 F. Beberapa penggunaan hewan uji tikus di
laboratorium seperti praktikum imunologi, fisiologi, farmakologi, dan
untuk respon toxicology (National Academy of Sciences, 2011).
Penggunaan tikus putih karena tikus putih mempunyai anatomi dan
-
21
fisiologi serta proses biokimia dan biofisik yang hampir sama dengan
manusia (Amitage, 2008).
Tikus putih (Rattus norvegicus) mempunyai panjang ekor yang
lebih pendek dari pada kepala dan badannya. Telinga tikus pendek, dan
ketika telinga ditelungkupkan tidak dapat mencapai mata (Yigit et al,
1998). Berat tikus tersebut 150 600 gram, dengan panjang kepala dan
badan 18-25 cm,ekor 16 21 cm, telinga 20-23 mm. Tikus putih
mempunyai bulu dibagian punggung berwarna abu-abu kecoklatan dan
pada bagian perut keabu-abuan. Tikus dewasa berumur 75 hari dan pada
tikus betina masa hamil 22 24 hari. Kebiasaan Rattus norvegicus adalah
menggali lubang, berenang, menyelam dan menggigit benda keras seperti
kayu bangunan, alumunium dan lain lain (DEPKES, 2013).
9. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi merupakan teknik pemisahan komponen senyawa kimia
diantara dua fase yaitu fase gerak (cair atau gas) dan fase diam (padat atau
cair). Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa kimia
karena penggunaan memerlukan biaya yang murah, metode sederhana, serta
dalam serempak dapat menganalisis beberapa komponen. Dalam
melaksanakan teknik ini diawali dengan pembuatan lapisan tipis adsorben
pada permukaan plat kaca yang tebalnya bervariasi tergantung pada analisis
yang akan dilakukan. Pemisahan komponen senyawa dengan KLT
dipengaruhi beberapa factor, yaitu suhu ruang, kejenuhan uap pereaksi,
ketebalan fase diam, dan cara penetesan contoh ekstrak. Komponen senyawa
yang dipisahkan dengan KLT merupakan senyawa-senyawa besar seperti
flavonoid, tannin, saponin, dan lainnya. (Hayani dan Sukmasari, 2005).
-
22
B. Kerangka Teori
Keterangan : : Menstimulasi
: Menghambat atau memperbaiki
: Menghasilkan
Ekstrak etanol 70%
kulit asam jawa
(Tamarindus indica L)
Kandungan flavonoid
fenolik (Proanthocyanidin
atau Tanin terkondensasi)
Tikus Putih Jantan
Galur Wistar
Glukosa
darah
Sel pankreas rusak
Radikal
superoksida
Radikal
superoksida
Diinduksi Aloksan
Pemangsa Radikal
superoksida
Transport Glukosa
darah terganggu
Level Insulin
Regenerasi sel
pankreas dan aktivitas
insulin
Induksi Regenerasi
Sel Pankreas
uptake Glukosa darah
Aktivasi mediator
jalur signal insulin
Glukosa darah
Hambat penyerapan
glukosa di intestinal
Glukosa
darah
-
23
C. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut maka dapat dihipotesiskan bahwa :
H0 : Tidak terdapat efek ekstrak kulit buah asam jawa (Tamarindus indica L.)
terhadap kadar glukosa darah pada tikus putih jantan yang diinduksi
Aloksan.
H1 : Terdapat efek ekstrak kulit buah asam jawa (Tamarindus indica L.)
terhadap kadar glukosa darah pada tikus putih jantan yang diinduksi
Aloksan.