BAB II 3198178 -...
Transcript of BAB II 3198178 -...
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG GURU MURID
A. Pengertian Guru dan Murid
1. Guru
Terdapat banyak pengertian tentang “Guru“, dari segi bahasa kata
guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang pekerjaannya
mengajar1 dan menurut ahli bahasa Belanda J.E.C. Gericke dan T. Roorda
yang dikutip oleh Ir. Poedjawijatna, menerangkan bahwa guru berasal dari
bahasa Sansekerta, yang artinya berat, besar, penting, baik sekali,
terhormat dan juga berarti pengajar.2 Sedangkan dalam bahasa Inggris
dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan guru, kata teacher
berarti guru, pengajar 3 kata educator berarti pendidik, ahli mendidik4 dan
tutor yang berarti guru pribadi, atau guru yang mengajar di rumah,
memberi les (pelajaran).5 Dalam pandangan masyarakat Jawa, guru dapat
dilacak melalui akronim gu dan ru . “Gu” diartikan dapat digugu (dianut)
dan “ru” berarti bisa ditiru (dijadikan teladan).6
Selanjutnya dalam konteks pendidikan Islam banyak sekali kata
yang mengacu pada pengertian guru, seperti kata yang lazim dan sering
digunakan diantaranya Murabbi, Mu’allim, dan Mu’addib. Ketiga kata
tersebut memiliki penggunaan sesuai dengan peristilahan pendidikan
1 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Ed. II, Cet.
IX, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 330 2 Ir. Poedjawijatno, dalam Hadi Supeno, Potret Guru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1995), hlm. 26 3 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia,
1992), Cet. xx , hlm. 581 4 Ibid., hlm.207 5 Ibid., hlm. 608 6 Hadi Supeno, Potret Guru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1995), hlm. 26
20
dalam konteks pendidikan Islam. Disamping itu guru kadang disebut
melalui gelarnya, seperti Al-Ustadz dan Asy-Syaikh.7
Dalam hal ini dibahas secara luas oleh Abudin Nata, yakni kata al-
alim (jamaknya Ulama’) atau al-Muallim, yang berarti orang yang
mengetahui dan kata ini banyak dipakai para Ulama’ atau ahli pendidikan
untuk menunjuk pada hati guru. Al-Mudarris yang berarti orang yang
mengajar (orang yang memberi pelajaran). Namun secara umum kata al-
Muallim lebih banyak digunakan dari pada kata al-Mudarris. Dan kata al-
Muaddib yang merujuk kepada guru yang secara khusus mengajar di
Istana. Sedangkan kata Ustadz untuk menunjuk kepada arti guru yang
khusus mengajar dibidang pengetahuan agama Islam. Selain itu terdapat
pula istilah Syaikh yang digunakan untuk merujuk pada guru dalam
bidang tasawuf.8
Ada pula istilah Kyai, yaitu suatu atribut bagi tokoh Islam yang
memiliki penampilan pribadi yang anggun dan disungkani karena jalinan
yang memadu antara dirinya sebagai orang alim, yang menjadi pemimpin
pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.9
Adapun pengertian guru secara terminologi memiliki banyak arti,
dalam pandangan tradisional, guru dilihat sebagai seseorang yang berdiri
didepan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan.10 Sedangkan
dalam bukunya, Earl V. Pullias and James D. Young menyatakan, ” The
teacher teaches in the centuries-old sense of teaching. He helps the
developing student to learn things he does not know and to understand
7 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Tri Genda Karya, 1993,
hlm. 167 8 Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid (Studi Pemikiran
Tasawuf Al-Ghozali), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 41-42 9 Zamakhsari Dlofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai),
(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 55 10 Roestiyah NK, dalam Hadi Supeno, Loc.Cit.
21
what he learns”.11 (Dalam berabad-abad guru mengajarkan rasa
pengajaran, ia membantu mengembangkan siswa untuk belajar sesuatu
yang tidak diketahui dan untuk memahami apa yang dipelajari�.
Menurut pandangan para pakar pendidikan Islam sangat bervariasi
dalam memberikan pengertian istilah guru. Menurut Ahmad Tafsir, bahwa
pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, baik potensi
kognitif, afektif, maupun potensi psikomotorik.12
Sama halnya dengan A. Tafsir, A.D. Marimba memberi
pengertian guru atau pendidik sebagai orang yang memikul
pertanggungan jawab untuk mendidik.13 Sedangkan Zakiah Daradjat, lebih
memilih kata guru sebagai pendidik profesional, sebab secara implisit ia
telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggungjawab
pendidikan yang terpikul dipundak para orang tua.14 Akan tetapi istilah
guru untuk masa sekarang sudah mendapat arti yang lebih luas dalam
masyarakat dari arti diatas, yakni semua orang yang pernah memberikan
suatu ilmu atau kependidikan tertentu kepada seseorang atau sekelompok
orang dapat disebut sebagai “guru”, misalnya guru silat, guru mengetik,
guru menjahit, bahkan guru mencopet.15
Menurut Hadari Nawawi bahwa guru adalah orang yang
mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah (kelas). Secara lebih
11 Earl V. Pullias and James D. Young, A Teacher Is Many Things, Ladder Edition,
(America: Indiana University Press, 1968), hlm. 40 12 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1994), hlm. 74 13 Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT.Al-Ma’arif,
1980), Cet. IV., hlm. 37 14 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), Cet. IV.,
hlm. 39 15 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2000), Cet. XIII., hlm. 139
22
khusus lagi, ia mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja dalam
bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam
membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. Artinya,
guru tidak hanya memberi materi di depan kelas, tetapi juga harus aktif
dan berjiwa kreatif dalam mengarahkan perkembangan murid.16
Guru menurut paradigma baru ini bukan hanya bertindak sebagai
pengajar, tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator proses belajar
mengajar yaitu realisasi atau aktualisasi potensi-potensi manusia agar
dapat mengimbangi kelemahan pokok yang dimilikinya.17 Sehingga hal
ini berarti bahwa pekerjaan guru tidak dapat dikatakan sebagai suatu
pekerjaan yang mudah dilakukan oleh sembarang orang, melainkan orang
yang benar-benar memiliki wewenang secara akademisi, kompeten secara
operasional dan profesional.
Dalam diskusi pengembangan model pendidikan profesional
tenaga kependidikan yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun
1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu :
1. Memiliki fungsi dan signifikansi sosial
2. Memiliki keahlian atau ketrampilan tertentu
3. Keahlian / ketrampian diperoleh dengan menggunakan teori dan
metode ilmiah
4. Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas
5. Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama
6. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional
7. Memiliki kode etik
16 Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas Sebagai Lembaga
Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 123 17 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi abad 21, (Jakarta: Pustaka Al
Husna, 1988), Cet. I., hlm. 86
23
8. Memiliki kebebasan untuk memberikan judgment dalam memecahkan
masalah
9. Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi
10. Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan
profesinya.18
Penetapan 10 ciri keprofesionalan diatas sebagai salah satu
bentuk upaya antisipasi bagi tugas guru yang benar-benar menuntut
sebuah keseriusan serta tanggung jawab bagi pelaksananya, serta sebagai
suatu upaya peningkatan mutu dan kualitas guru secara komprehensif.
Sehingga diharapkan mutu dan kualitas hasil pendidikan juga sesuai
dengan tujuan yang dicita-citakan.
Sebagaimana sabda Rosulullah SAW, yang berbunyi :
���������������� ���������� ������������������������� ��� ��� ����������������������!"�� ��������#$���%�&'��'�(�'����)��� �����*�$���!"��'����+ �,���-���������.��������/01���2��"�34�5���67������8�
�9'�#:��;��<��=>:��?���@����
“Menceritakan Muhammad bin Sinan berkata: menceritakan kepada kita Fulih. H. dan menceritakan kepadaku Ibrahim bin Mundhir menceritakan kepada kita Muhammad bin Fulih berkata: menceritakan kepadaku ayahku berkata: menceritakan kepadaku Hilal bin Ali dari Atha’ bin Yasar dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW, bersabda : “Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya”. ( H.R. Bukhori )
Dengan demikian tersirat dengan jelas bahwa untuk menyandang
predikat sebagai seorang guru tidaklah mudah, sebab predikat seorang
18 Nana Syaodih S, Pengembangan Kurikulum ; Teori dan Praktik, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 191 19 Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah Bin
Bardzabahj Al-Bukhari Al-Ja’fi, Shahih Bukhari, jld. I, (Beirut-Libanon: Darul Fikr, 1994), hlm. 26.
24
guru hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar memiliki
wewenang secara mutlak. Kemutlakan tersebut ditandai dengan
keprofesionalan dengan ciri-ciri sebagaimana diatas, yang mana hal ini
terdapat kesesuaian dengan hadits Nabi SAW, bahwa setiap segala urusan
yang diserahkan pada orang yang tidak mampu secara maksimal,
diantaranya masalah pendidikan maka sudah secara otomatis tujuan
pendidikan tidak akan dapat tercapai, karena guru sebagai pembawa arah
pendidikan tidak mumpuni dalam mengantarkan murid menjadi insan
berkualitas baik bagi lingkungan sesamanya maupun dihadapan sang
khaliq.
2. Murid
Menurut Engr Sayyid Khaim Husayn Naqawi yang dikutip oleh
Abudin Nata, dalam buku Persspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru
Murid, menyebutkan bahwa kata murid berasal dari bahasa arab, yaitu: �
����� ���� ������ ������ artinya orang yang menginginkan (the willer).20
Menurut Abudin Nata kata murid diartikan sebagai orang yang
menghendaki untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, ketrampilan,
pengalaman dan kepribadian yang baik sebagai bekal hidupnya agar
bahagia dunia dan akhirat dengan jalan belajar sungguh-sungguh.
Disamping kata murid dijumpai istilah lain yang sering
digunakan dalam bahasa arab, yaitu tilmidz ” ����A “ yang berarti murid
atau pelajar, jamaknya “ talamidz “21 kata ini lebih merujuk pada murid
yang belajar di madrasah. Kata lain yang berkenaan dengan murid adalah
20 Abudin Nata, Op.Cit., hlm. 49 21 Mahmud Yunus, Kamus Arab –Indonesia, (Jakarta: Hida Karya agung,t.th), hlm. 79
25
“ ���B:��C :�D “ yang artinya “pencari ilmu, pelajar, mahasiswa”22. Kata
inilah yang banyak dipakai oleh al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-
Muta’allim untuk memberi julukan kepada para murid, disamping kata “
���B0�� ”23 yang memiliki kemiripan dan kedekatan makna dengan kata “
thalib ”, yakni orang yang mencari ilmu pengetahuan.24
Mengacu dari beberapa istilah mengenai murid diatas, murid
diartikan sebagai orang yang berada dalam taraf pendidikan, yang dalam
berbagai literatur disebut sebagai anak didik. Dalam Undang-undang
Pendidikan No.2 Th. 1989 disebut peserta didik.25 Dalam hal ini siterdidik
dilihat sebagai seseorang (subjek didik), yang mana nilai kemanausiaan
sebagai individu, sebagai makhluk sosial yang mempunyai identitas
moral, harus dikembangkan untuk mencapai tingkatan optimal dan kriteria
kehidupan sebagai manusia warga negara yang diharapkan.
Secara teoritis subjek didik dilihat sebagai seseorang yang harus
mengembangkan diri, dan pada sisi lain ia memperoleh pengaruh, bantuan
yang memungkinkan ia sampai berdiri sendiri atau bertanggung jawab
sendiri.26
Sama halnya dengan teori barat, anak didik dalam pendidikan
Islam adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara
22 Ibid. hlm. 238 23 Lihat Kitab Ta’lim al-Muta’allim 24 Enger Sayyid dalam Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 49 25 Undang-Undang No.20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,(Bandung:
Citra Umbara, 2003), hlm. 10 26 Piet A. Sahertian, Profil Pendidik Profesional, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm.
6
26
fisik maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui
lembaga pendidikan.27
Menurut H.M. Arifin, menyebut “ murid “ dengan manusia didik
sebagai makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan atau
pertumbuhan menurut fitrah masing-masing yang memerlukan bimbingan
dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal yakni
kemampuan fitrahnya.28
Akan tetapi dalam literatur lain lebih jelas ditegaskan bahwa anak
didik bukanlah hanya anak-anak yang sedang dalam pengasuhan dan
pengasihan orang tua, bukan pula anak yang dalam usia sekolah saja.
Pengertian ini berdasar atas tujuan pendidikan, yaitu manusia sempurna
secara utuh, yang untuk mencapainya manusia berusaha terus menerus
hingga akhir hayatnya.29
Dari berbagai pengertian diatas dapat penulis simpulkan
mengenai pengertian murid yaitu setiap orang yang memerlukan ilmu
pengetahuan yang membutuhkan bimbingan dan arahan untuk
mengembangkn potensi diri (fitrahnya) secara konsisten melalui proses
pendidikan dan pembelajaran, sehingga tercapai tujuan yang optimal
sebagai manusia dewasa yang bertanggung jawab dengan derajat
keluhuran yang mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah di bumi.
Masalah yang berhubungan dengan anak didik merupakan objek
yang penting dalam paedagogik. Begitu pentingnya faktor anak dalam
pendidikan, sampai-sampai ada aliran pendidikan yang menempatkan
anak sebagai pusat segala usaha pendidikan (aliran child centered). Untuk
27 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam ; Kajian Filosofis Dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Tri Genda Karya, 1993), hlm. 177 28 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. IV, hlm. 144 29 Hery Nur Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1994), Cet.
II, hlm. 113
27
itulah diperlukan sebuah upaya untuk memahami siapa peserta didik
(murid). anak didik memiliki sifat-sifat umum antara lain :
a. Anak bukanlah miniatur orang dewasa, sebagaimana statement J.J.
Rousseau, bahwa “anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi anak
adalah anak dengan dunianya sendiri”
b. Peserta didik memiliki fase perkembangan tertentu, seperti pembagian
Ki Hadjar Dewantara (Wiraga, Wicipta, Wirama)
c. Murid memiliki pola perkembangan sendiri-sendiri
d. Peserta didik memiliki kebutuhan. Diantara kebutuhan tersebut adalah
sebagaimana dikemukakan oleh para ahli pendidikan seperti, L.J.
Cionbach, yakni afeksi, diterima orang tua, diterima kawan,
independence, harga diri. Sedangkan Maslow memaparkan : adanya
kebutuhan biologi, rasa aman, kasih sayamg, harga diri, realisasi.30
e. Perbedaan individual, yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial,
bakat dan lain sebagainya. Disamping itu perlu diperhatikan masalah
kualitas seorang pembelajar tidak diukur dengan membandingkannya
dengan pembelajar-pembelajar lainnya, karena secara aktual
diperhadapkan dengan dirinya yang potensial, sesederhana dan sesulit
itu.31
Sedangkan menurut para ahli psikologi kognitif memahami
anakdidik sebagai manusia yang mendayagunakan ranah kognitifnya
semenjak berfungsinya kapasitas motor dan sensorinya. Implikasi pokok
dari hasil riset kognitif menurut Bower sebagimana dikutip Daehler dan
Bukatco (1985) menyatakan bahwa manusia : “begins life as an
extremely competent social organism, an extremely competent learning
30 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Cet. II (Surabaya: Aksara Baru, 1985), hlm.
79-82 31 Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar; Pemberdayaan Dan Transformasi
Organisasi Dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, (Jakarta: Kompas, 2001), Cet.V, hlm. 67-68
28
orgnism, an extremely perceiving orgnism” (Bayi manusia memulai
kehidupannya sebagai organisme sosial atau makhluk hidup
bermasyarakat yang betul-betuk berkemampuan, sebagai makhluk hidup
yang betul-betul mampu belajar dan sebagai makhluk hidup yang mampu
memahami).32
Dalam Islam yang landasan filosofinya adalah Al-Qur’an,
memahami manusia dalam beberapa hal33 : Pertama, manusia adalah
makhluk yang termulia. Allah swt berfirman yang artinya: “ (Dia Allah)
yang maha pengasih, mengajar insan akan al-Qur’an. Ia mencipta insan
dan mengajarnya akan al-Bayan (daya untuk melukiskan akalnya dan
persannya)”.(Qs. Ar-Rahman;1-4)34 ilmu adalah kemulyaan manusia
sebagai sebuah potensi yang paling mulya yang dimiliki manusia. Kedua,
Manusia adalah hewan berfikir yang mampu menciptakan istilah dan
menanamkan sesuatu untuk dikenal, sebagaimana firman Allah yang
artinya : “ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: sebutkanlah pada-Ku nama-nama benda itu jika kamu
memang orang-orang yang benar”(Qs. Al-Baqoroh;31).35 Ketiga,
manusia memiliki tiga dimensi, yaitu badan, akal dan ruh sebagai dimensi
pokok dalam kepribadian. Aspek yang harus dioptimalkan oleh tiap
menusia. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Dan carilah pada apa
yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”
32 Dehler dan Bukatco dalam Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2000), cet. v, hlm. 67 33 Oumar Al-Toumi Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I (Jakarta: Bulan
Bintang; 1979), hlm. 102-140 34 R.H.A Sunarjo, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Kumudasmoro
Gravindo, 1994), hlm. 885 35 Ibid., hlm. 14
29
(Qs. Al-Qashash:77).36 Keempat, manusia mempunyai motivasi dan
kebutuhan, perasaan kebapaan, kasih sayang dan rasa gundah. Firman
Allah yang artinya : “ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang
yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka kuatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab
itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar” (Qs. An Nisa:9).37 Kelima, ada
perbedaan perseorangan diantara manusia. Firman Allah yang artinya :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya” (Qs. Al-Baqarah : 286).38
B. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Guru merupakan orang yang diserahi tanggung� jawab sebagai
pendidik di� dalam lingkungan kedua setelah keluarga (sekolah).39 Karena
pada dasarnya tanggung� jawab pendidikan terhadap anak adalah sebagai
tanggung jawab orang tua (bapak/ibu) dalam sebuah lingkungan keluarga.
Tanggung�jawab ini bersifat kodrati, artinya bahwa orang tua adalah pendidik
pertama dan utama yang bertanggung�jawab terhadap perkembangan jasmani
maupun rohani anak didik. Disamping itu karena kepentingan orang tua
terhadap kemajuan dan perkembangan anaknya.40
Tanggung jawab utama orang tua terhadap anak didik tersebut
berdasar atas firman Allah SWT dalam Al- qur’an surat Al-Tahrim : 6
36 Ibid., hlm. 623 37 Ibid., hlm. 116 38 Ibid., hlm. 72 39 Ngalim Puirwanto, Ilmu Pendidikan Teoritik dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosda karya, 2000), Cet. XIII, hlm. 138 40 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1994), Cet.II, hlm. 74
30
���E��F1�G�HIG�J�G�K�F��G�HIF#HLG1K"��G-H���G-M�F6K��F�G$J�N:���FOP$K���F$� ……. �;�Q�R0:�����@�ST
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka …” ( Q.S. Al-Tahrim : 6 )
Seiring dengan perkembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap serta
kebutuhan hidup yang semakin luas dan rumit, maka orang tua tidak mampu
melaksanakan tugas-tugas pendidikan terhadap anaknya. Sehingga di zaman
yang telah maju ini banyak tugas orang tua sebagai pendidik sebagian
diserahkan kepada guru disekolah.42 Secara tidak langsung guru sebagai
penerima amanat dari orang tua untuk mendidik anaknya. Sebagai pemegang
amanat guru bertanggung�jawab atas amanat yang diserahkan kepadanya.
Firman Allah dalam Al-qur’an surat An Nisa’ ayat 58 :
�����G-M�HIGRFA�U�K"�JV �W�:��F�G�F�G�M0G�KIF���K8J�F���FOJ�G�XXK"�K5J��JY �6KZ���G�P[F\MA�U�XK"�G�H]M�M6UF$X�,��N�J�J�GFB:U��J����J2J�G�HIH/JBF$�K�_�JBJ1X�,��N�J������E�G�JF��EBG�J�F��K�K�]X�,��N�J��;�%�#�:������@Sa�
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya padamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Al-Nisa’ : 58)
Sebagai pengemban amanat dari orang tua untuk mendidik anak,
maka menurut Abdullah Nasih Ulwan, guru bertugas untuk melaksanakan
pendidikan ilmiah, sebab ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia.44 Akan tetapi di
zaman sekarang jabatan guru telah menjadi sumber mata pencaharian, yakni
41��R.H.A Soenarjo, Op.Cit., hlm. 951� 42 Ahmad Tafsir, Op. Cit., hlm. 75 43 R.H.A. Soenarjo, Op. Cit. hlm. 128�� 44 Abd. Nasih Ulwan, Pendidikamn Anak Dalam Islam, Cet. II, (Jakarta: Pustaka Amani,
1999), hlm. 301
31
guru bukan hanya sebagai penerima amanat pendidikan, melainkan juga
orang yang menyediakan dirinya sebagai pendidik profesional.45
Sebagai pendidik profesional, guru memiliki banyak tugas baik terkait
oleh dinas maupun di� luar dinas dalam bentuk pengabdian. Apabila
dikelompokkan terdapat tiga jenis tugas guru, yaitu : tugas dalam bidang
profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih.
Mendidik berarti mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti
meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sedangkan melatih berarti mengembangkan ketrampilan pada siswa.46
Tugas kemanusiaan salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini tidak dapat
diabaikan, karena guru harus terlibat dengan kehidupan dimasyarakat dengan
interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada
anak didik, sehingga anak didik memiliki sifat-sifat kesetiakawanan sosial.
Disamping itu guru harus dapat menempatkan diri sebagai orang tua kedua,
sebagai tugas yang diemban dari orang tua kandung (wali murid) dalam
waktu tertentu. Sehingga pemahaman terhadap jiwa dan watak anak didik
diperlukan agar dengan mudah dapat memahami jiwa dan watak anak didik.47
Dibidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang tidak kalah pula
pentingnya. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar
masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral pancasila.48
45 Hery Nur Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet.
II., hlm. 94 46 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2001), Cet. XIII., hlm. 6-7 47 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hlm. 37 48 Ibid.
32
Mencermati tiga tugas guru sebagai pendidik profesional diatas, dapat
dipahami bahwa tugas guru tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan
ruangan kelas saja, akan tetapi mencakup lingkup yang lebih luas lagi, yakni
guru juga sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat.
Sedangkan menurut Ahmad D.Marimba, disamping guru memiliki
tugas untuk membimbing, mencari pengenalan terhadap anak didik melalui
pemahaman terhadap jiwa dan watak, guru juga mempunyai tugas lain yang
sangat urgen, yaitu :
1. Menciptakan situasi untuk pendidikan, yakni suatu keadaan
dimanatindaan-tindakan pendidikan dapat berlangsung baik dengan hasil
yang memuaskan
2. Memiliki pengetahuan yang diperlukan, terutama pengetahuan-
pengetahuan agama
3. Selalu meninjau diri sendiri, tidak malu apabila mendapat kecaman dari
murid. Sebab guru juga manusia biasa yang memiliki sifat-sifat yang
tidak sempurna
4. Mampu menjadi contoh dan teladan bagi murid sekaligus tempat
beridentifkasi (menyamakan diri).49
Guru terkait dengan tugas yang diembannya yang sangat banyak,
maka secara otomatis menuntut tanggung� jawab yang sangat tinggi, sebab
baik dan tidaknya mutu hasil pendidikan tergantung pada seberapa besar
pertanggung jawaban guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai
guru dan pendidik yang profesional.
Untuk melaksanakan tugas-tugas guru dengan penuh tanggung jawab,
menurut Wens Tanlain dan kawan-kawan (1989: 31) yang dikutip oleh
Syaiful Bahri, maka guru harus memiliki beberapa sifat antara lain :
49 Ah.D.Marimba, Op. Cit., hlm. 38-40
33
a. Menerima dan mematuhi norma, nilai-nilai kemanusiaan
b. Memikul tugas mendidik dengan bebas, berani, gembira (tugas bukan
menjadi beban baginya)
c. Sadar akan nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan serta akibat-
akibat yang timbul (kata hati)
d. Menghargai oarang lain termasuk anak didik
e. Bijaksana dan hati-hati (tidak nekat, tidak sembrono, tidak singkat akal)
f. Taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.50
Sedangkan Athiyah Al-Abrasyi menyoroti sifat-sifat yang harus
dimiliki oleh seorang guru dalam pendidikan, menurut kaca mata Islam,
antara lain :
a. Bersifat Zuhud tidak mengutamakan materi dalam mengajar, karena
mencari keridloan Allah
b. Kebersihan guru, baik jasmani maupun rohani, seperti terhindar dari dosa
besar, tidak bersifat riya’ menghindari perselisihan dan lain-lain
c. Ikhlas dalam pekerjaan, seperti adanya kesesuaian antara kata dan
perbuatan serta menyadari kekurangan dirinya
d. Suka pemaaf, yakni sanggup menahan diri dari kemarahan, lapang hati,
sabar dan tidak pemarah karena hal-hal kecil, sehingga terpantul
kepribadian dan harga diri
e. Seorang guru merupakan seorang bapak, sebelum ia menjadi menjadi
seorang guru. Guru harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya
kepada anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan murid-muridnya
seperti memikirkan keadaan anak-anaknya.
f. Harus mengetahui tabiat murid. Seorang guru harus mengatahui tabiat,
pembawaan, adat kebiasaan, rasa dan pemikiran murid agar tidak salah
50 Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hlm. 36
34
dalam mendidik murid, termasuk dalam pemberianmata pelajaran harus
sesuai dengan tingkat perkembangannya
g. Harus menguasai mata pelajaran. Seorang guru harus benar-benar
menguasai mata pelajaran yang diberikan kepada murid, serta
memperdalam pengetahuannya tentang ilmu itu, sehingga pelajaran yang
diajarkan tidak bersifat dangkal.51
Mencermati sifat-sifat sebagaimana tersebut diatas, memang sudah
seharusnya seoarang guru yang notabenenya sebagai pendidik dengan segala
tugas yang diembannya dalam menghantarkan anak didik untuk memiliki
pengetahuan, kepandaian, serta berbagai ilmu dalam rangka mengembangkan
diri secara optimal melalui bimbingan, arahan, serta didikan guru, sehingga
melalui itu semua dapat tercipta insan-insan didik yang berkualitas tidak
hanya dari segi ilmu pengetahuan saja, tapi juga dibarengi dengan
kepribadian dan keluhuran sifat.
Dengan demikian secara tidak langsung bahwa sifat-sifat sebagaimana
dikemukakan di atas, merupakan syarat mutlak yang harus ada dan dimiliki
oleh seorang guru, sebab tanggung�jawab tersebut tidak hanya dituntut secara
akademisi dan operasionalnya saja tapi juga tanggung jawab secara moral,
baik sesama manusia (anak didik khususnya) terlebih kepada Allah SWT.
C. Hak dan Kewajiban Murid
Sebagaimana guru yang memiliki tugas dan kewajiban, seorang murid
juga memiliki hak dan kewajiban (tugas–tugas) yang sangat penting dan
harus diperhatikan dalam pendidikan. Menurut Athiyah al-Abrasyi, bahwa
hak–hak murid yang paling utama adalah dimudahkannya jalan bagi
51 Moh. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970, hlm. 137-139
35
tercapainya ilmu pengetahuan kepada mereka serta adanya kesempatan
belajar tanpa membedakan kaya dan miskin. 52
Selanjutnya dipaparkan pula bahwa seorang pengembara Ibnu Jubair
telah melukiskan cara-cara yang memudahkan bagi siswa untuk belajar,
diantaranya sekolah-sekolah besar yang didirikan untuk tempat belajar, harta
wakaf yang diladangkan buat mereka dan buat guru-guru, atau wisma-wisma
yang didirikan buat menampung mereka, peralatan-peralatan yang disediakan
buat mereka serta banyak hal–hal lain yang dapat menjadi kebanggaan bagi
kaum muslimin. Dan siapa yang ingin kemenangan, hendaklah ia pergi ke
Arab Maghribi untuk belajar, maka akan mendapat banyak sokongan dan
bantuan, sebab kaum muslimin memandang para penuntut ilmu dengan
perasaan hormat dan pennghargaan, dikarenakan seorang siswa atau pelajar
berusaha memperoleh sesuatu yang amat tinggi dan berharga nilainya didunia
ini yaitu ilmu pengetahuan.53
Oleh karena itulah Islam selalu menghimbau kepada para pengikutnya
untuk berusaha keras dalam menuntut ilmu, kemudian mengajarkan dan
menyumbangkan ilmu yang telah didapat tersebut kepada segenab manusia.
Banyak sekali firman Allah dalam al-Quran yang memerintahkan untuk
menuntut ilmu dan mengajarkannya. Diantaranya adalah firman Allah dalam
surat Az- Zumar ayat: 9
�K�G-M�K�GBF$KZ�F�G$J�N:�F��K�G-M�K�GBF$�F�G$J�N:��<J-F0G#F$�UbF��UbH�;�6c:���������@dS
“Katakanlah Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”(QS. Az- Zumar: 9)
52 Ibid., hlm. 146 53 Ibid. 54 R.H.A. Soenarjo, Op. Cit., hlm. 747
36
Pada ayat di atas, terlihat dengan jelas bahwa Allah SWT mengajak
manusia untuk menuntut ilmu sekaligus menerangkan betapa pentingnya
menuntut ilmu sebab ilmu-ilmu tersebut pada saatnya akan dapat
meninggikan harkat dan martabat manusia terutama bagi para penuntut ilmu
itu sendiri serta menjelaskan bagaimana kedudukan manusia yang berilmu,
baik dimata Allah SWT maupun dimata manusia itu sendiri dibandingkan
dengan manusia yang tidak berilmu. Barang siapa yang ingin menjadi orang
yang berilmu hendaknya berusaha memperhatikan, mengkaji dan menggali isi
al-Qur’an yang sarat dengan pedoman dan petunjuk bagaimana seharusnya
manusia menuntut ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam
terhadap ilmu sangat besar.55�Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
�)�4��[-����� �������*�$���!"��'�e�f�!"��'�g �'7���'�96��"�-"��� ������+ �,���-���������.����hiG$J�KD�M2K:�M2j�:��KbWOF���E�U�J'�J2G�J��Mk J�F0U�F$��hi$G�JDX�l K�F��G�F6F�
��J�9W�FmU:��nK:J��;�<�6�A�?���@do�
“Menceritakan Mahmud bin Ghailan, menceritakan Abu Usamah A’mas dari Abi Shalih dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW,bersabda: Dan barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju surga.” (HR.Tirmidzi)
Nasih Ulwan juga menjelaskan dalam bukunya, bahwa seorang
cendikiawan mengatakan, “sesungguhnya negara Islam telah mendahului
seluruh dunia didalam menyeberkan pengajaran secara gratis bagi seluruh
warga negaranya, tanpa pandang bulu atau pilih kasih. Pintu-pintu sekolah
terbuka lebar bagi seluruh masyarakat dan bangsa di masjid-masjid, tempat-
tempat belajar, dan tempat–tempat umum disetiap negara yang telah
55 Abdur Rozak Husein, Hak Dan Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati
Aneska; 1992), hlm. 82 56 Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Al-Jami’us Shokhih Sunan Tirmidzi Juz V,
(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987), hlm 28
37
memeluk Islam. Diantara pengajaran yang bebas itu adalah Al-Azhar Asy-
Syarif, Kulliyatul Darul Ulum dan seluruh perguruan–perguruan atau
sekolah-sekolah agama. Di sana para pelajar dan mahasiswa diberi bantuan
biaya untuk makan mereka seperti yang dilakukan secara merata oleh
beberapa negara diseluruh pelosok dunia.57
Pada dasarnya persamaan hak belajar bagi umat Islam dan manusia
secara keseluruhan merupakan suatu kewajiban, lantaran memang telah
diperintahkan oleh Allah SWT. Sehingga meluangkan waktu untuk belajar
bagi semua individu adalah mutlak (wajib), baik kecil maupun besar, lakip
laki atau wanita, kaya atau miskin, bodoh maupun pandai. Dan bagi
pemerintah wajib untuk menyediakan sarana dan prasarana belajar bagi
kepentingan ummat.58
Mengajar dan mendidik memang bukan hal yang mudah, sebab anak
didik yang diberi pengajaran dan pendidikan datang dari berbagai tingkatan
dan kelas dalam masyarakat yang berbeda–beda, baik secara ekonomi,
kecerdasan dasar maupun tingkat kemampuan penyerapan materi yang
diajarkan. Sehingga sebagai orang tua, guru pendidik maupun pihak-pihak
yang bertanggung�� jawab atas pendidikan anak, dituntut untuk menerima
dengan lapang dada. Lantaran mendidik dan mengajar merupakan kewajiban
mutlak dan perintah dari agama Islam yang lurus.59
Jadi jelaslah bahwa seorang murid memiliki hak–hak yang mutlak
untuk diterima dan dinikmati, sebab murid dipandang sebagai individu yang
memiliki derajat kemulyaan pula disamping seorang guru yang penuh
57 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, cet. II, (Jakarta: Pustaka
Amani; 1999), hlm. 314 58 Abdur Rozak Husein, Op. Cit., hlm. 90 59 Ibid., hlm. 91
38
keikhlasan dan ketulusan hati meluangkan waktu dan tenaganya untuk
mencari ilmu sebagai bekal hidup didunia serta sebagai sarana untuk dekat
pada sang Khaliq-Nya, sehingga tercapai tujuannya di dunia dan akhirat.
Begitu tinggi Islam memperhatikan hak–hak seorang murid tanpa
membedakan status sosial dan asal mereka. Demikian pula seorang murid
diberi petunjuk terhadap kewajiban–kewajiban yang harus diperhatikan
sebagai rambu–rambu dan petunjuk yang harus diperhatikan supaya para
murid tidak salah jalan dalam menuntut ilmu serta dapat mencapai tujuan
yang akan ditempuh dengan baik.
Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang diusahakan
untuk menambah pengetahuan dan melangsungkan pendidikan.60 Untuk
mencapai keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan
peserta didik. Walau bagaimanapun pendidikan berusaha menanamkan
pengaruhnya kepada peserta didik, apabila tidak ada kesediaan dari peserta
didik sendiri untuk mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan
dapat berhasil. Sehingga hal ini mendapat perhatian besar dari para pemikir
pendidikan Islam.61
Terdapat banyak ulama’ pendidikan Islam, yang mengemukakan
pemikirannya tentang kewajiban murid. Kewajiban tersebut sangat signifikan,
yakni lebih berorientasi pada akhlak sebagai dasar kepribadian seorang
muslim, yang harus ditegakkan oleh murid. Karena dasar utama pendidikan
Islam adalah bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis yang sarat dengan nilai dan
etika. Diantara kewajiban–kewajiban tersebut adalah:
60 Tamyiz Burhanudin, Akhlaq Pesantren Pandangan K.H. Hasym Asy’ary, (Yogyakarta
: Ittaka Press; 2001), hlm. 72 61 Hery Nur Aly, Op. Cit., hlm. 129
39
Menurut Asma Hasan Fahmi, bahwa murid memiliki beberapa
kewajiban terpenting, yaitu :
a. Seorang murid harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum
menuntut ilmu. Sebab belajar sama dengan ibadah dan tidak sah suatu
ibadah kecuali dengan hati yang bersih
b. Hendaklah tujuan belajar ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat
keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan dan bukan untuk mencari
kedudukan
c. Selalu tabah dan memiliki kemauan kuat dalam menuntut ilmu sekalipun
harus merantau pada tempat yang cukup jauh
d. Wajib menghormati guru dan bekerja untuk memperoleh kerelaan guru,
dengan berbagai macam cara.62
Al-Ghozali juga membahas mengenai kewajiban murid yang
dituangkan dalam karya monumentalnya kitab Al- Ihya’ Ulumuddin,
dijelaskan bahwa :
a. Mendahulukan kesucian jiwa dan menjauhkan diri dari akhlak tercela,
sebab batin yang tidak bersih tidak akan dapat menerima ilmu yang
bermanfaat dalam agama dan tidak akan disinaridengan ilmu
b. Mengurangi hubungan (keluarga) dan menjauhi kampung halamannya
sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu
c. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan yang tidak
terpuji kepada guru
d. Menjaga diri dari perselisihan (pandangan–pandangan yang kontroversi),
khususnya bagi murid pemula, sebab hanya akan mendatangkan
kebingungann
62 Asma Hasan Fahmi, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta; Bulan Bintang,
1979 ), hlm. 174-175
40
e. Tidak mengambil ilmu terpuji, selain hingga mengetahuui hakikatnya.
Karena mencari dan memilih yang terpenting hanya dapat dilakukan
setelah mengetahui suatu perkara secara keseluruhan
f. Mencurahkan perhatian pada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat,
sebab ilmu akhirat merupakan tujuan
g. Memiliki tujuan dalam belajar, yaitu untuk menghias batinnya dengan
sesuatu yang akan menghantarkannya kapada Allah SWT, bukan untuk
memperoleh kekuasaan, harta dan pangkat.63
Syaih Imam al-Zarnuji dalam risalahnya kitab Ta’lim al-Muta’allim,
menjelaskan tentang kewajiban yang harus diperhatikan seorang murid secara
khusus, yang berisi ketentuan normatif dan moral bagi seorang pelajar dalam
hubungannya dengan berbagai hal dalam upaya mencari ilmu, diantaranya :
a. Seorang murid wajib mendahulukan mencari ilmu-ilmu yang paling
penting yang digunakan sehari-hari (ilmu al-hal) yang berhubungan
dengan pekerjaan wajib dalam ibadah seperti sholat, puasa dan sebagainya
b. Murid wajib mempelajari ilmu yang berhubungan dengan pemeliharaan
hati, seperti bertawakkal, mendekatkan diri kepada Allah, memohon
ampunan-Nya, sebab semua itu diperlukan bagi tingkah laku kehidupan
sehari-hari dan bagi kemuliaan seorang alim.
c. Memelihara akhlak yang mulia, dan menjauhi diri dari akhlak yang buruk
seperti kikir, pengecut, sombong dan tergesa-gesa
d. Berniat menuntut ilmu, karena niat itu merupakan dasar bagi setiap amal
perbuatan
e. Berniat menuntut ilmu untuk mencari keridlaan Allah dan kebahagiaan
hidup diakhirat, menghilangkan kebodohan, menghidupkan agama Islam,
karena kelangsungan hidup agama hanya dengan ilmu.64
63 Al- Ghazali, Mukhatashar Ihya’ Ulumuddin, Cet. 1, (Beiruth.: Muasyasyah Al- kutub
Al-Tsaqafiyyah, 1410/1990), hlm. 32-35
41
f. Sabar dan konsekwen dalam belajar pada guru yang telah dipilihnya, dan
tidak meninggalkan guru tersebut untuk beralih pada guru yang lain, sebab
akan menyakiti hati kedua guru tersebut.
g. Tidak meninggalkan kitab (buku) yang telah dipilihnya dalam keadaan
terbengkelai
h. Tidak menyibukkan diri dengan ilmu lain sebelum dapat menguasai ilmu
yang telah dipelajari pertama kali dengan baik
i. Tidak berpindah-pindah tempat dalam menuntut ilmu, karena hal itu akan
merusak keadaannya, dan membimbangkan hatinya, serta membuang-
buang waktu.65
j. Harus rajin belajar dan mengulanginya pada permulaan malam akhirnya,
karena waktu diantara isya’ dan sahur adalah waktu yang membawa
berkat.66
Pada dasarnya, petunjuk-petunjuk para pemikir pendidikan Islam
mengenai kewajiban-kewajiban yang harus dipegang oleh seorang murid,
dapat dikelompokkan dalam petunjuk tentang bagaimana sifat ilmu yang
harus dipelajari oleh seorang murid, serta segala sesuatu yang berkaitan
dengan bagaimana menciptakan kondisi dan situasi yang baik dalam proses
belajar mengajar, yang berkisar pada kondisi batin yang senantiasa dibina dan
dihiasi oleh ibadah dan akhlak yang terpuji.
64 Abudin Nata, Op.Cit., hlm. 85-87 65 Ahmad Sjalaby, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang:; 1973), hlm. 312-
313 66 Asma Hasan Fahmi, Op.Cit., hlm. 176