BAB I.doc

32
BAB I ILUSTRASI KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Jenis kelamin : Usia : Pekerjaan : Pendidikan : Agama : Status nikah : Alamat : Masuk RS : Pengambilan Data: II. ANAMNESIS (anamnesis dilakukan secara auto dan alloanamnesis pada tanggal) a. Keluhan Utama b. Riwayat Penyakit Sekarang : c. Riwayat Penyakit Dahulu: d. Riwayat Penyakit Keluarga: III. PEMERIKSAAN FISIK A. Keadaan Umum Kesadaran : Compos Mentis (GCS : E4, M6, V5 = 15) Sikap : Berbaring

Transcript of BAB I.doc

BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama

: Jenis kelamin: Usia

: Pekerjaan: Pendidikan :

Agama

:Status nikah:Alamat

:

Masuk RS:

Pengambilan Data:II. ANAMNESIS (anamnesis dilakukan secara auto dan alloanamnesis pada tanggal)a. Keluhan Utamab. Riwayat Penyakit Sekarang: c. Riwayat Penyakit Dahulu:

d. Riwayat Penyakit Keluarga:

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan Umum

Kesadaran

: Compos Mentis (GCS : E4, M6, V5 = 15)

Sikap

: Berbaring Kooperasi

: Kooperatif

Tekanan darah

: Nadi

: Suhu

:

Pernapasan

:B.Status Generalis

Trauma Stigmata: - Perdarahan perifer: Capillary refill time < 2 detik Pulsasi arteri karotis: cukup, regular equal kanan kiri KGB

: tidak teraba membesar, nyeri tekan (-) Columna Vertebralis: Lurus ditengah, tidak ada nyeri tekan Kepala : rambut hitam, tidak mudah dicabut, jejas (-), nyeri tekan perikranial (-) Mata

: conjungtiva anemis (-)/(-), sclera ikterik (-)/(-). Pupil bulat isokor, RCL (+)/(+), RCTL (+)/(+) Telinga: Deformitas (-)/ (-): serumen minimal Hidung: Pernafasan cuping hidung ( - ): Deformitas (-) Tenggorokan: T1/T1 Tidak hiperemis Gigi & Mulut: Oral trush ( - ) Leher

: Tiroid tidak teraba, JVP 5-2 cmH20. Penggunaan otot pernafasan tambahan m. sternokleidomastoideus (-): pembesaran KGB (- ) nyeri tekan (-) Pemeriksaan ParuInspeksi : Gerakan nafas simetris dalam statis & dinamis

Palpasi : Nyeri tekan (-), emphysema subkutis (-), vocal fremitus sama pada lapang paru dextra et sinistra

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi: Suara nafas lapang paru dextra et sinistra vesikuler; Tidak ada suara nafas tambahan. Ronkhi ataupun wheezing pada kedua lapang paru

Pemeriksaan JantungInspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi

: Teraba Ictus ordis pada 2 jari medial Linea Midclavicula ICS 5 sinistra

Perkusi : Pinggang jantung ICS III Linea parasternalis sinistra. Batas kanan ICS 4 linea parasternalis dextra. Batas Kiri 2 jari medial Linea midclavicularis sinistra ICS 5 sinistra

Auskultasi: BJ I & II regular, Murmur (-), Gallop (-) Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : datar, tidak tampak buncit.Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defanse muscular (-), hepatoslenomegali (-)Perkusi : TimpaniAuskultasi: BU (+) normal Punggung:deformitas (-), gibus (-) Ekstremitas: perfusi baik, akral hangat +/+,edem pitting -/-, sianosis -/-, clubbing finger -/-IV. Pemeriksaan Neurologis

A. Rangsang Selaput Otak

Kaku kuduk : (-)

Laseque

: Kanan > 70o Kiri > 70oKerniq

: Kanan > 135o Kiri > 135oBrudzinsky I: Kanan(-) Kiri(-)

Brudzinsky II: Kanan(-) Kiri(-)

B. Peningkatan tekanan intrakranial: (-)

C. Saraf kranialis

N.I Normosmia / Normosmia

N.II

Acies Visus

: 3/60 / 3/60 (baik, terbatas ruangan)

Visus Campus

: Baik/baik

Lihat warna

: Baik/baik

Funduskopi

: Tidak dilakukan

N. III,IV dan VI

Kedudukan bola mata

: Ortoposisi/ortoposisi

Pergerakan bola mata

: Bebas ke segala arah

Nasal

: +/+

Temporal

: +/+

Nasal atas

: +/+

Temporal atas

: +/+

Nasal bawah

: +/+

Temporal bawah: +/+

Eksoftalmus

: -/-

Nistagmus

: -/-

Pupil

Bentuk

: Bulat, isokor, diameter = 3mm/3mm

Refleks cahaya langsung: +/+

Refleks cahaya konsensual: +/+

Refleks akomodasi

: +/+

Refleks konvergensi

: +/+

N.V

Cabang motorik

: Baik/baik

Cabang sensorik oftalmikus: Baik/baik

Cabang sensorik maksilaris: Baik/baik

Cabang sensorik mandibularis: Baik/baik

N.VII

Motorik orbitofrontal: Baik/baik

Motorik orbikularis : Baik/baik

Pengecapan lidah

: Baik

N.VIII

Vestibular

- Vertigo

: -

- Nistagmus

: -

Koklearis

- Tuli konduktif : -/-

- Tuli perspektif: -/-

N.IX ; N.X

Motorik

: Arcus faring simetris, uvula di tengah

Sensorik

: Baik N.XI

Mengangkat bahu: Baik/baik Menoleh

: Baik/baik

N.XII

Pergerakan lidah: Baik, tidak ada deviasi

Atrofi

: (-) Fasikulasi

: (-) Tremor

: (-)D. Sistem motorik

Ekstremitas atas proksimal distal: 4433/3344 Ekstremitas bawah proksimal distal: 1111/1111E. Gerakan involunter

Tremor

: -/-

Chorea

: -/-

Atetose

: -/-

Miokloni

: -/-

Tics

: -/-

F. Trofik

: Eutrofik

G. Tonus

: Normotonus

H. Sistem sensorik

Propioseptif

: Baik

Eksteroseptif

: Baik

I. Fungsi serebelar

Ataxia

: -

Tes Romberg

: -

Disdiadokokinesia

: -

Jari-jari

: -/-

Jari-hidung

: -/-

Tumit-lutut

: -

Rebound phenomenon: -

Hipotoni

: -/-

J. Fungsi luhur

Astereognosia

: -

Apraksia

: -

Afasia

: -

K. Fungsi otonom

Miksi

: Baik

Defekasi

: Baik

Sekresi keringat

: Baik

L. Refleks fisiologis

Kornea

: +/+

Berbangkis

: baik

Faring

: baik

Biseps

: +2/+2

Triseps

: +2/+2

Radius

: +2/+2

Dinding perut

: +

Otot perut

: +

Patella

: +2/+2

Tumit

: +2/+2

M. Refleks patologis

Hoffman tromer

: -/-

Babinsky

: -/-

Chaddok

: -/-

Gordon

: -/-

Schaefer

: -/-

Klonus lutut

: -/-

Klonus tumit

: -/-

N. Keadaan Psikis

Intelegensia

: Baik

Tanda regresi

: -

Demensia

: -

V. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium darah lengkap EEG CT-Scan kepalaVI. RESUME

Pasien kejang kelojotan seluruh anggota tubuh 2 jam SMRS. Pasien mengalami kejang sebanyak 4 kali, dengan durasi tiap kejang sekitar 5 menit. Sebelum kejang pasien mengaku tidak merasakan suatu perasaan yang aneh, baik mencium sesuatu maupun merasakan perubahan pada dirinya. Tidak ada kejadian tertentu sebagai pencetus kejang. Pada saat kejang pasien tidak sadar. Mata mendelik keatas disertai mulut yang berbusa. Setelah selesai serangan, pasien mengaku tidak ingat apa yang telah terjadi pada dirinya lalu pasien terasa sangat mengantuk. Karakteristik kejang yang terjadi selalu sama setiap serangan selama 2 tahun ini. Pada pemeriksaan didapatkan tanda vital TD: 90/60 mmHg, Nadi: 60x/menit, Suhu: 36,5C, Pernapasan: 18x/menit. GCS E4M6V5. Pada pemeriksaan generalis maupun neurologis tidak didapatkan kelainan yang berarti.VII. DIAGNOSA KERJA

Diagnosa Klinis

: Kejang generalisata tipe tonik-klonik Diagnosa Etiologi

: Idiopatik

Diagnosa Topik

: Korteks/subkorteksVIII. TATA LAKSANA

NaCl 0,9% /12 jam IV Citicoline 3X250mg IV Asam Valproat 2xCthI PO Asam Folat 1x1 tab POIX. PROGNOSA

Ad vitam : Bonam

Ad fungsionam: Bonam Ad sanationam: Dubia ad bonamSindroma Guillain-Barre (SGB)

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.

Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda radang.Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan medula oblongata.Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Parry mengatakan bahwa SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis

2.2 Sejarah

Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan LCS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.

2.3 Epidemiologi

Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April sampai dengan Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

2.4 Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:

1. Infeksi

2. Vaksinasi

3. Pembedahan

4. Penyakit sistematik:

a. Keganasan

b. Systemic lupus erythematosus

c. Tiroiditis

d. Penyakit Addison

5. Kehamilan atau dalam masa nifas

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal

Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB

Infeksi Definite Probable Possible

Virus CMV HIV Influenza

EBV Varicella-zoster Measless

Vaccinia/smallpox Mumps

Rubella

Hepatitis

Coxsackie

Echo

Bakteri Campilobacter Typhoid Borrelia B

Jejeni Paratyphoid

Mycoplasma Brucellosis

Pneumonia Chlamydia

Legionella

Listeria

2.5 Patogenesa

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang

menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer.Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak.Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut.

2.6 Peran imunitas seluler

Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.

Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

2.7 Gambaran Klinis

Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :

Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya. Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa.Masa latenWaktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.Keluhan utamaKeluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.

Gejala Klinis1.KelumpuhanManifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neuron. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.2.Gangguan sensibilitasParestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.3.Saraf KranialisSaraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.4.Gangguan fungsi otonomGangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.5.Kegagalan pernafasanKegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.6.PapiledemaKadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.7.Perjalanan penyakitPerjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu.Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan.Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

Gambar 1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita SGB (3).

1.Variasi klinisDi samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis seperti yang dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981 adalah sebagai berikut :- Sindroma Miller-Fisher

- Defisit sensoris kranialis- Pandisautonomia murni- Chronic acquired demyyelinative neuropathy.

2.Pemeriksaan laboratoriumGambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).3.Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :- Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat- Distal motor retensi memanjang- Hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna.2.8 Diagnosa Banding

Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria

diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan

dengan keadaan lain, seperti:

Mielitis akuta

Poliomyelitis anterior akuta

Porphyria intermitten akuta

Polineuropati post difteri

Botulisme

2.9 Terapi

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

Pengobatan imunosupresan:

1. Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

2. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

1. 6 merkaptopurin (6-MP)

2. Azathioprine

3. Cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

Perawatan Umum dan Fisioterapi

Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan pada perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati. Respirasi diawasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan pernafasan buatan. Jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama maka trakheotomi harus dikerjakan.Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif.Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. Disfungsi otonom harus dicari dengan pengawasan teratur dari irama jantung dan tekanan darah. Bila ada nyeri otot dapat diberikan analgetik.

2.10 Prognosis

Kajian yang dilakukan oleh Berger dan Pulley, (2000) memperlihatkan bahwa prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien. Kajian yang dilakukan Seneviratne, (2000) serta Spies dan Sheikh, (2001) terhadap berbagai penelitian terdahulu menghasilkan beberapa faktor prediktor prognosis SGB.

Tabel 6. Faktor prediktor prognosis SGB yang buruk

Faktor prediktor Keterangan

1. Prediktor klinik Usia tua, didahului oleh infeksi gastrointestinal,tergantung pada ventilator,

progresivitas yang cepat,defisit motorik berat

2. Etiologi CMV dan Campylobacter jejuni

3. Marker biokimiawi Antibodi anti GM1

4. Neurofisiologi Derajat degenerasi aksonal dan CMAP rendah yang persisten

Faktor prediktor prognosis yang buruk dalam penelitian Lyu dkk, (1997) adalah :

(1) Usia > 40 tahun

(2) Amplitudo CMAP yang rendah

(3) Perlunya ventilasi mekanik.

Sebuah penelitian prospektif lain dengan waktu follow-up 1 tahun terhadap 79 pasien SGB dilakukan oleh Ress dkk, (1998) memperlihatkan bahwa usia tua ( 60 tahun) merupakan faktor prediktor prognosis yang buruk untuk tidak tercapainya pemulihan sempurna (p=0.05; odds ratio 0.35; 95% CI 0.12-1.00). Penelitian lain oleh Kuwabara dkk, (2001) menunjukkan bahwa refleks tendo yang positif merupakan salah satu prediktor tercapainya pemulihan SGB yang cepat (skala Hughes meningkat 2 skor dalam waktu 14 hari) (44% : 9%, p=0,01).

Tabel 7. Prognosis SGB dari berbagai penelitian terdahulu

Peneliti

(tahun) Tempat Metode dan subjek Gambaran prognosis Jumlah (%)

Lyu, dkk Taiwan Prospektif (median follow-up - Pulih hampir sempurna 127(87%)

(1997) 12,8bulan); 145/167follow-up - Independen 18 (13%)

lengkap

Ress, dkk Inggris Prospektif 1 tahun; Pulih hampir sempurna 49 (62%)

(1999) 79 pasien SGB Tidak sempurna 30 (38%)

- Tidak dapat lari 14 (18%)

- Berjalan dengan bantuan 7 (9%)

- Tidak dapat bangun 3 (4%)

- Meninggal dunia 6 (8%)

Kuwabara, Jepang Prospektif 6 bulan; - Pulih cepat (2 minggu) 9 (11%)

dkk (2001) 80 pasien SGB - Pulih dalam 6 bulan 65 (81%)

- Tidak dapat berjalan 6 (8%)

sendiri setelah 6 bulan

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari serangkaian pembahasan di atas adalah sebagai berikut :

1. Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah salah satu kelainan poliradikulopati menyangkut demielinasi inflamasi bisa akut maupun subakut yang mengarah pada paralisis ascenden dan ditandai oleh kelemahan, parestesia, dan hiporefleksia

2. Mekanisme autoimun dipercaya bertanggung jawab pada sindrom ini.

3. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

4. Sindroma Guillain-Barre (SGB) secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia.

5. Terapi meliputi farmakoterapi dan terapi fisik,

6. Prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Arnason B.G.W. 1985. Inflammatory polyradiulopathy in Dick P.J. et al Peripheral neuropathy. Philadelphia : WB. Sounders.

Asbury A.K. 1990. Gullain-Barre Syndrome : Historical aspects. Annals of Neurology (27): S2-S6

Asbury A.K. and David R. Crnblath. 1990. Electrophysiology in Guillain-Barre Syndrome. Annals of Neurology (27): S17

Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226

Chandra B. 1983. Pengobatan dengan cara baru dari sindroma gullain-barre. Medika (11); 918-922

Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th ed. Guillain-Barre Syndrome Foundation International 2000.

Hurwitz E.S. Guillain-Barre Syndrome and the 1978-1979 influenza vaccine. The New England Med. (304); 1557-1561

Morariu M.A. 1979. major Neurological syndrome. Illinois : Charles C. Thomas Publisher.

Parry G.J. 1993. Guillain-Barre Syndrome . New York : Theime Medical Publisher

Van der Meche et all. 1992. A randomized trial comparing intravenous globulin and plasma exchange injury Guillain-Barre Syndrome. The New England JournaL of Med. 326(April 23); 1123-1129

Van Doom P.A. and Van der Meche. 1990. Guillain-Barre Syndrome, optimum management. Clin. Immunother. 2(2): 89-99

Visser L.H. et all. 1995. Guillain-Barre Syndrome without sensory loss (acute motor neuropathy). A subgroup with specific clinical, electrodiagnostic and laboratory features. Brain (118); 841-847