BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73357/potongan/S2... · tersebut telah...
-
Upload
hoangduong -
Category
Documents
-
view
217 -
download
1
Transcript of BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73357/potongan/S2... · tersebut telah...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Abad 19 adalah awal lahirnya sektor pariwisata sebagai industri, dimana
negara-negara Barat pada masa revolusi industri sedang mengalami surplus
penghasilan. Berbagai perusahaan dan pemilik modal besar di negara – negara
tersebut pada masa itu mencari jalan untuk menyerap penghasilan dari peluang sejak
diterapkan sebuah kebijakan leisure.1 Dalam rentang waktu 10 tahun, kebijakan
tersebut telah berhasil meningkatkan penyedia jasa leisure dengan pesat di negara-
negara tersebut.2
Efek lanjutan dari perkembangan kebijakan leisure pada negara-negara
berkembang khususnya Asia Tenggara dan Asia Pasifik adalah meningkatnya
kunjungan wisatawan internasional sebesar 6 juta wisatawan pada tahun 1962 dan
1 Konsep leisure digunakan untuk menganalisa “waktu luang” yaitu rentang waktu bebas yang
tidak terkait oleh aktivitas kerja, dan individu tersebut dapat bebas melakukan kegiatan yang diinginkan. Lihat Thanh Dam Troung, 1992, dalam Angelina Patricia Pingkan Sondakh, Jendela Pariwisata Angelina Sondakh : Masa Depan Pariwisata Indonesia 1, Kesain Blanc, Jakarta, 2010, hal. 4.
2 Bersamaan dengan lahirnya kebijakan leisure, perjalanan untuk kepentingan pariwisata tanpa diduga mengalami perkembangan yang menakjubkan, sehingga industri tersebut menjadi mata dagang terbesar setelah minyak. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan jumlah penumpang maskapai penerbangan dari 20 miliar pada tahun 1955 menjadi 200 miliar pada tahun 1975. Lihat J.H. Dunning dan M. McQueen, 1982 dalam Thanh Dam Troung, Seks, Uang dan Kekuasaan : Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1992, hal. 177.
2
pada tahun 1978 meningkat menjadi 40,2 juta wisatawan.3 Peningkatan jumlah
wisatawan tersebut terus berlanjut walaupun tahun 1980-an negara-negara tersebut
mengalami krisis ekonomi.
Pariwisata didefinisikan sebagai bentuk kegiatan sementara yang dilakukan
oleh wisatawan yang tinggal paling tidak 24 jam di negara yang dikunjunginya
dengan tujuan perjalanan untuk kepentingan leisure (rekreasi, berlibur, kesehatan,
pendidikan, agama, olahraga), bisnis, keluarga, misi dan pertemuan.4 Pariwisata juga
digunakan sebagai alat untuk memperkecil kesenjangan antara negara maju dengan
negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan pariwisata merupakan salah satu sektor
penghasil devisa negara.
Wisatawan asing yang datang ke suatu negara membutuhkan alat pembayaran
domestik yang sering disebut dengan valuta asing. Valuta asing merupakan devisa
negara yang penggunaannya dilakukan dengan cara menukarkan dengan mata uang
dimana wisatawan akan melakukan kegiatan wisata. Untuk itu sektor pariwisata
dipandang bisa melakukan perubahan ekonomi dan sosial suatu negara. Kesadaran
tersebut tidak hanya dirasakan oleh negara maju saja, tetapi juga oleh negara
berkembang seperti Indonesia.
3 Ibid., hal. 178. 4 Robert Claverdon, 1979, dalam Jendela Pariwisata Angelina Sondakh : Perkembangan
Pariwisata Indonesia 1, Kesain Blanc, Jakarta, 2010, hal. 5.
3
Bagian dari gejala pariwisata terdiri dari 3 unsur yaitu manusia, tempat,
waktu.5 Unsur-unsur tersebutlah yang menjadi persyaratan terjadinya gejala
pariwisata tersebut. Gejala tersebut telah ada semenjak adanya perjalanan manusia
dari suatu tempat ke tempat lain yang mana dalam melakukan perjalanan tersebut ada
berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi. Seiring bergesernya minat
wisatawan dari “old tourist” menjadi “new tourist” maka semakin banyak kebutuhan
yang harus dipenuhi.6
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki potensi keindahan alam yang
melimpah. Pesona alam Pulau Bali merupakan salah satu gambaran dari sekian
banyak keindahan yang ada pada masing-masing daerah di Indonesia. Dengan
potensi alam yang dimiliki serta sumber daya manusia yang mumpuni, Pulau Bali
merupakan destinasi utama bagi wisatawan mancanegara dari berbagai negara untuk
melakukan kegiatan wisata.
Saat ini sektor pariwisata merupakan industri yang sangat penting di dunia.
Melakukan perjalanan wisata telah menjadi sebuah keharusan yang harus dipenuhi.
5 Manusia sebagai unsur insani pelaku kegiatan pariwisata, tempat sebagai unsur fisik
sebenarnya tercakup oleh kegiatan itu sendiri, waktu sebagai unsur tempo yang dihabiskan dalam perjalanan itu sendiri dan selama berdiam di tempat tujuan. Lihat Salah Wahab, Manajemen Kepariwisataan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, hal. 1.
6 Perubahan minat wisatawan dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu “old tourist” dan “new tourist”. Old tourist memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Search for the sun, follow the masses, here toda gone tomorrow, show that you have been, having, superiority, like attractions, reactions, eating in hotel dinning room, homogeneous. Sedangkan New tourist memiliki ciri – ciri : experience something new, want to be in charge, see and enjoy but not destroy, just for the fun of it, being, understanding, like sport and nature, adventurous, try out local fare, hybrid. Lihat Martin Mowforth dan Ian Munt, Tourism and Sustainability : Development, Globalisation, and New Tourism in 3rd World, Routledge, New York, 2009, hal. 59.
4
Dengan pertumbuhan yang sangat cepat di dunia, sektor pariwisata adalah suatu
industri yang turut memberi andil dalam pembangunan sosial dan ekonomi pada
sebuah negara.7 Sektor pariwisata memainkan peranan penting dalam pembangunan,
baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Di Indonesia hal tersebut
dibuktikan oleh keseriusan pemerintah melalui pembentukan Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif untuk tingkat nasional dan Dinas Pariwisata untuk tingkat
provinsi.
Dinamika perkembangan pariwista di wilayah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) memiliki karakteristik yang berbeda apabila dibandingkan dengan
wilayah lainnya di Indonesia. Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu :
a. Provinsi DIY merupakan wilayah administratif otonomi khusus bersama
dengan dengan DKI Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
dan Provinsi Papua. Otonomi ini diperoleh karena adanya keterkaitan
dengan sejarah dan kebudayaan yang tidak bisa lepas satu sama lain.
Adanya faktor sejarah dan budaya inilah yang menjadi nilai tambah serta
daya saing tersendiri bagi sektor pariwisata di Provinsi DIY.
7 Pada 37 negara berkembang, pariwisata merupakan sumber devisa utama yang dapat
tumbuh lebih dari 4% setiap tahunnya. Pada daerah yang kurang berkembang, pariwisata justru dapat berkembang sekitar 5% per tahun. Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara adalah sekitar 36,5%. Lihat Neel Inamdar, Nina Kolbe, Kathryn Kelly, Conservation and Tourism A Value Chain Approach, Crystal Drive, Arlington, 2001, hal. 1.
5
b. Provinsi DIY merupakan wilayah dengan diversifikasi sosial-ekonomi
yang relatif homogen. Artinya wilayah yang terdiri dari empat kabupaten
dan satu kotamadya tersebut tidak memiliki kapasitas industri yang besar
untuk mendukung perekonomian daerah sehingga keberadaan sektor
pariwista menjadi tolok ukur kemajuan perekonomian wilayah selain
sektor perdagangan dan jasa.
c. Sektor pariwisata di wilayah Provinsi DIY melibatkan aktor dan entitas
dalam jumlah yang besar seperti Pemerintah Provinsi (Pemprov),
Pemerintah Kabupaten (Pemkab)/ Pemerintah Kota (Pemkot), masyarakat,
sektor swasta, ekspedisi, biro perjalanan dan lain-lainnya yang
menyebabkan sektor pariwisata di wilayah ini memiliki arti penting bagi
perkembangan sosial-ekonomi.
Dinamika perkembangan pariwisata memiliki kontribusi nyata bagi studi Ilmu
Hubungan Internasional. Perkembangan pariwisata di Provinsi DIY sebagai
pariwisata internasional telah berhasil memunculkan adanya isu-isu kontemporer
seperti masih bergantungnya pariwisata DIY terhadap potensi alam dan historisnya.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
6
a. Masyarakat atau entitas lainnya dipandang dapat mewakili kultur dan
budaya masyarakat asal. Sehingga ini dapat menciptakan sebuah
mekanisme public diplomacy atau cultural diplomacy.
b. Perkembangan pariwisata juga berkaitan dengan perkembangan ekonomi-
politik daerah.
c. Pariwisata telah berkembang menjadi industri yang turut mendukung
kapasitas ekonomi-politik negara-negara dunia ketiga yang memiliki
keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), teknik dan anggaran.
Adanya hal tersebut diatas menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata di suatu
daerah dalam hal ini pariwisata di Provinsi DIY memiliki relevansi serta kontribusi
yang nyata terhadap program studi hubungan internasional.
Provinsi DIY atau yang lebih dikenal dengan Yogyakarta adalah sebuah
provinsi yang berada di bagian tengah-selatan Pulau Jawa. Secara geografis,
Yogyakarta terletak pada 7°33’ - 8°12’ Lintang Selatan dan 110°00’ - 110°50’ Bujur
Timur.8 Bagian selatan provinsi ini dibatasi dengan lautan Indonesia sedangkan
bagian timur laut, tenggara, barat dan barat laut dibatasi oleh wilayah Provinsi Jawa
Tengah (Jateng) yang meliputi :9
8 Dinas Pariwisata Provinsi DIY, Statistik Kepariwisataan 2011, Yogyakarta, 2011, hal. iii. 9 Ibid,.
7
a. Kabupaten Klaten di sebelah timur laut
b. Kabupaten Wonogiri di sebelah tenggara
c. Kabupaten Purworejo di sebelah barat
d. Kabupaten Magelang di sebelah barat
Provinsi DIY yang berpenduduk sekitar 3.452.390 jiwa terdiri dari 4
kabupaten dan 1 kotamadya. Pembagian wilayah di Provinsi DIY dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 1.1 Pembagian Wilayah Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY10
Kabupaten/ Kota Luas Wilayah (km2)
Kota Yogyakarta 32,50 km2
Kabupaten Bantul 506,85 km2
Kabupaten Kulon Progo 586,27 km2
Kabupaten Gunung Kidul 1.485,36 km2
Kabupaten Sleman 574,82 km2
Total Provinsi DIY 3.185,80 km2
Provinsi DIY memiliki kondisi topografi yang berupa dataran, lereng pegunungan
hingga daerah pantai. Kondisi topograsi yang beragam tersebut yang kemudian
10 Ibid,.
8
menjadikan DIY memiliki banyak potensi wisata. Sehingga menjadikan Provinsi DIY
sebagai destinasi wisata internasional kedua setelah Bali.
Provinsi DIY memiliki berbagai macam predikat. Predikat tersebut antara lain
kota pelajar, kota budaya, kota wisata, kota gudeg dan masih banyak lagi. Dengan
predikat “kota wisata”, Provinsi DIY memiliki berbagai macam tujuan wisata mulai
dari wisata alam, wisata budaya, wisata religi, wisata minat khusus hingga wisata
lainnya. Hal tersebut yang kemudian menjadi nilai tambah dan daya tarik tersendiri
dalam menarik minat wisatawan mancanegara untuk melakukan kegiatan wisata di
Provinsi DIY.
Sebagai pusat kebudayaan Jawa dan terjadinya beberapa peristiwa bersejarah,
DIY memiliki beragam peninggalan sejarah seperti bangunan, benteng dll yang
menarik untuk dikunjungi. Namun tidak hanya bangunan dan peninggalan sejarah
saja yang menjadikan DIY menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan mancanegara.
Terdapat local wisdom atau kearifan lokal yang ditunjukkan masyarakat DIY
terhadap wisatawan mancanegara menjadi nilai tambah serta daya tarik tersendiri.
Pembentukan Dinas Pariwisata Provinsi DIY merupakan bentuk keseriusan
Pemprov DIY dalam upaya pengembangkan sektor pariwisata. Keseriusan Dinas
Pariwisata Provinsi DIY dalam mengembangkan pariwisata di DIY ditunjukkan dari
9
visi, misi serta kebijakannya.11 Adapun fungsi pembentukan dinas pariwisata tersebut
antara lain :12
1. Penyusunan program pengendalian bidang pariwisata
2. Perumusan kebijakan teknis bidang pariwisata
3. Pengelolaan pengembangan destinasi pariwisata
4. Pengelolaan pengembangan kapasitas pariwisata
5. Penyelenggaraan peasaran pariwisata
6. Pemberian fasilitas bidang pariwisata kabupaten/ kota
7. Pelaksanaan koordinasi perijinan bidang pariwisata
11 Visi Dinas Pariwisata Provinsi DIY : Terwujudnya DIY sebagai salah satu destinasi utama di
Asia Tenggara berdasarlan keunggulan produk wisata yang berkualitas, berwawasan budaya, berwawasan lingkungan, berkelanjuran dan menjadi salah satu pendorong tumbuhnya ekonomi kerakyataan. Misi : 1) Mengembangkan destinasi berdasarkan keunggulan produk wisata dan sarana prasarana penunjang yang berkualitas berbasis budaya dan pembangunan pariwisata berkelanjutan, 2) Mengembangkan pariwisata sebagai industri pariwisata yang berbasis pada kekuatan ekonomi lokal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah, 3) Mengembangkan pemasaran pariwisata terpadu, sinergis, efektif dan efisien untuk meningkatkan kunjungan wisatawan, 4) Mengembangkan kemitraan dengan meningkatkan jejaring (kerjasa dan koordinasi), kualitas manajemen, sumber daya manusia, dan memantapkan kapasitas kelembagaan masyarakat pariwisata, 5) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat terhadap kesadaran dan partisipasi aktif seluruh masyarakat dalam kegiatan pariwisata yang berdasarkan Sadar Wisata Sapta Pesona. Kebijakan : 1) Pengembangan kualitas produk wisata sesuai dengan kondisi yang diharapkan dalam Sapta Pesona dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, 2) Peningkatan saran dan prasarana pariwisata serta manajemen dan kualitas sumber daya manusia, 3) Pertumbuhan dan peningkatan kesadaran masyarakat dalam kegiatan pariwisata, 4) Pengembangan obyek dan daya tarik wisata agar mampu menjadi unggulan pariwisata bagi DIY, 5) Pengembangan pemasaran untuk meningkatkan kunjungan wisata. Ibid, slide 2,3,5.
12 Dinas Pariwisata Provinsi DIY, Profil Dinas Pariwisata Provinsi DIY, slide 4.
10
8. Pelaksanaan pelayanan umum bidang pariwisata
9. Pemberdayaan sumber daya dan mitra kerja bidang pariwisata
10. Pelaksanaan kegiatan ketatausahaan
11. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur
Pariwisata DIY terus berkembang dari tahun ke tahun. Hal tersebut
dikarenakan adanya konsep serta dukungan dari para investor. 13 Sehingga
pengembangan potensi wisata di DIY dirasa perlu sebagai salah satu penyokong
perekonomian daerah.
Dinamika pariwisata Yogyakarta sejak dekade 1980-an ternyata tidak lepas
dari perkembangan pariwisata nasional dan internasional. Kondisi yang selama ini
terbentuk menjadikan destinasi pariwisata Yogyakarta hanya sebagai tujuan wisata
sekunder bagi para wisatawan mancanegara. Hingga periode 2003 hingga 2012,
pariwisata DIY belum memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh
wilayah lainnya di Indonesia. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan kunjungan
wisatawan mancanegara ke DIY seringkali mengalami peningkatan dan penurunan.
13 Salah satu investor yang mendukung konsep pariwisata di DIY adalah PT Yogyakarta Tugu
Televisi. Perusahaan yang menaungi Jogja TV tersebut adalah perusahaan televisi swasta pertama yang ada di Yogyakarta. Bekerjasama dengan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (DISHUBKOMINFO) Pemprov DIY, Jogja TV tidak hanya menyiarkan program televisi yang bertema pendidikan saja tetapi pariwisata dan budayapun ikut menjadi prioritas dalam program penyiaran. Hal tersebut bertujuan untuk ikut melestarikan sekaligus mengembangkan kebudayaan Yogyakarta. “Jogja TV” (online), diakses dari <http://www.plazainformasi.jogjaprov.go.id/index.php/media-streaming/televisi/817-jogja-tv.html> pada tanggal 21 April 2013.
11
Munculnya kompetitor baru belakangan ini seperti Kota Bandung
mengharuskan DIY berbenah dalam hal pengembangan sektor pariwisata. Hal
tersebut bertujuan agar pariwisata DIY dapat berkompetisi seiring dengan munculnya
kompetitor baru. Tidak dapat dipungkiri pengelolaan dan pengembangan sektor
pariwisata di Provinsi DIY belum sepenuhnya sesuai seperti yang diharapkan. Belum
stabilnya jumlah kedatangan serta lama tinggal wisatawan mancanegara
mengindikasikan bahwa terdapat faktor penghambat dalam pengembangan sektor
pariwisata di Provinsi DIY. Apabila dibandingkan dengan beberapa kompetitor
seperti Bali, Bandung, Lombok dan Batam, Provinsi DIY merupakan salah satu
daerah wisata yang belum stabil perkembangannya.
Keberadaan sektor pariwisata di Provinsi DIY pada tahun 2003-2012
mengalami dinamika yang menarik. Jika dilihat dari kedatangan wisatawan
mancanegara maka perkembangan sektor pariwisata di wilayah Provinsi DIY
cenderung mengalami penurunan. Sebagai fakta rata-rata tingkat kunjungan
wisatawan mancanegara pada tahun 2003 di wilayah DIY sebesar 72.9 ribu orang.
Namun dalam perkembangannya di tahun-tahun selanjutnya pencapaian ini
cenderung menurun. Sebagai contoh pada tahun 2006 jumlah kedatangan wisatawan
mancanegara hanya sekitar 68,9 ribu orang. Kondisi ini ternyata tidak terjadi pada
kedatangan wisatawan mancanegara saja tetapi berlaku juga bagi kedatangan
wisatawan domestik yang juga mengalami tren fluktuatif.
12
Perkembangan sektor pariwisata di Provinsi DIY yang cenderung fluktuatif
kemudian dihadapkan pada kondisi yang berbeda dengan wilayah lainnya, yaitu Kota
Bandung, Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini pada tahun 2007-2012 berhasil
meningkatkan tingkat kunjungan wisatawan khususnya wisatawan mancanegara.
Kasus pengembangan sektor pariwisata di wilayah Provinsi DIY dan Kota
Bandung mampu menjadi tolok ukur perkembangan kunjungan wisatawan,
khususnya wisatawan mancanegara yang ternyata dipengaruhi oleh konstelasi sosial,
ekonomi dan politik dalam negeri serta internasional. Dengan kata lain, pencapaian
oleh kedua destinasi diatas tidak lepas dari berbagai upaya dan kebijakan yang
dijalankan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) daerah dalam membangun
stimulus kedatangan dan frekuanse lama tinggal bagi wisatawan khususnya
wisatawan mancanegara.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, penulis merumuskan pertanyaan besar yang
akan menjadi landasan permasalahan dalam penelitian yaitu :
“Mengapa Kota Bandung dapat mengejar Foreign Tourist Arrival (FTA) dari
Provinsi DIY ?”
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan tesis ini memiliki tujuan dan manfaat meliputi tiga hal masing-
masing sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui potensi wisata yang ada di Provinsi DIY yang ternyata
belum mampu terkelola secara maksmimal sehingga FTA Provinsi DIY
dapat tertinggal dari Kota Bandung.
2. Untuk mengetahui upaya Pemprov DIY dalam mengembangkan
pariwisata yang belum sepenuhnya berjalan secara optimal.
3. Untuk mengetahui hambatan pengembangan pariwisata di Provinsi DIY
dari sudut pandang Tourism Value Chain.
D. Kerangka Teoritik
Tourism Value Chain
Tourism Value Chain (TVC) adalah sebuah metode analisis yang di dalamnya
terdiri dari semua penyedia barang dan jasa yang bergerak dalam penyediaan produk
wisata. Dalam metode tersebut digambarkan bahwa komponen pendukung sektor
pariwisata bukan hanya akomodasi, transportasi dan wisata saja tetapi terdapat
14
komponen lain seperti bar dan restoran, kerajinan tangan, produksi makanan,
pembuangan limbah, dan infrastruktur seperti energi, air, jalan.14
TVC bertujuan untuk mendeskripsikan value chain dalam sektor pariwisata
dan bagaimana partisipasi para pemangku kepentingan dapat dikoordinasikan dengan
baik.15 Selain itu, metode ini dapat membantu memberikan informasi tentang strategi
bagaimana meningkatkan daya saing sektor industri lokal dalam pasar global melalui
strategi upgrading.16 Komponen yang terdapat dalam tourism value chain yang dapat
dipergunakan sebagai instrumen analisis dapat dilihat pada deskripsi dibawah ini.
1. Upgrading
Upgrading adalah sebuah strategi dimana kemampuan industri lokal untuk
melaksanakan inovasi agar meningkatkan daya saingnya di pasar global.17 Strategi
upgrading merupakan sinergi antara pemerintah (pusat dan daerah), sektor swasta dan
masyarakat.18 Strategi upgrading sangat erat kaitannya dengan penciptaan nilai
melalui inovasi.
14 Dalam hal tersebut pemerintah mengelola pembuangan limbah, dan infrastruktur seperti
energi, air, jalan. Sedangkan swasta selaku penyedia jasa pariwisata mengelola akomodasi, transportasi dan tempat wisata (ada beberapa tempat wisata yang dikelola oleh pihak swasta). Lihat Bart Slob and Jospeph Wilde, Tourism and Sustainability in Brazil : The Tourism Value Chain in Porto de Galinhas, Northeast Brazil, 2006, hal. 7.
15 Marta Bakuzc, Tourism Value Chain Management as a Tool for Effective Tourism Destination Development The Case of Pecs ECoC 2010, hal. 46.
16 Nanang Pamuji Mugasejati dan Riza Noer Arfani, Bahan Pekuliahan Analisis Global Value Chain (GVC) : Metode Untuk Menggapai Pasar Global, 2010, slide 2.
17 Ibid,. 18 Ibid,.
15
Inovasi merupakan keberhasilan sosial dan ekonomi berkat adanya
pengenalan cara baru atau kombinasi baru dari cara-cara lama dalam
mentransformasikan input menjadi output (teknologi) yang menghasilkan perubahan
besar atau drastis dalam perbandingan antara nilai guna yang dipersepsikan oleh
konsumen atas manfaat suatu produk (barang atau jasa) dan harga yang ditetapkan
oleh produsen.19 Pengertian keberhasilan inovasi pada konteks tersebut tidak saja
dalam keberhasilan ekonomi melaikan juga keberhasilan sosial. Inovasi yang berhasil
adalah inovasi yang menciptakan nilai besar untuk konsumen, untuk komunitas dan
lingkungan pada saat yang sama.20 Inovasi merupakan langkah yang sangat penting
dalam mengembangkan sebuah industri. Adanya inovasi yang dihasilkan sebuah
industri dapat memproduksi nilai tambah dan keuntungan yang besar bagi aktifitas
lainnya. Inovasi menjadi sangat penting perannya karena :21
1. Membentuk atau meningkatkan keunggulan daya saing.
2. Meningkatkan produktivitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
3. Memenuhi kebutuhan sosial secara signifikan.
4. Meningkatkan standart hidup.
5. Menciptakan atau memperluas kesempatan kerja.
19 Avanti Fontana, Innovate We Can! Manajemen Inovasi dan Penciptaan Nilai Individu,
Organisasi, Masyarakat, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 18. 20 Ibid,. 21 “Kebijakan Inovasi di Indonesia : Bagaimana Sebaiknya” (online), hal 18, diakses dari
<http://www.slideshare.net/tatang.taufik/kebijjakan-inovasi-tatang-a-taufik> pada tanggal 19 April 2013.
16
6. Menciptakan atau memperluas pasar setempat, daerah, nasional dan
internasional.
7. Meningkatkan keuntungan dan mendorong kemajuan bisnis.
8. Memunculkan nilai tambah bagi suatu produk.
Dalam rangka mengembangkan sektor pariwisata, inovasi tidak hanya
dilakukan oleh pihak penyedia jasa wisata saja tetapi oleh aktor-aktor yang terkait.
Diperlukan kerjasama antar aktor untuk menunjang efektifnya inovasi. Selain itu,
peran aktif dari pemprov dan pemkab/ pemkot terkait dengan diberlakukannya otda
yang bertujuan untuk mendukung sebuah inovasi juga diperlukan.
Inovasi dapat dilakukan oleh aktor manapun pihak-pihak yang memiliki
keterkaitan dan kepentingan terhadap pengembangan sektor pariwisata pada suatu
daerah. Aktor seperti pemprov, pemkab/ pemkot dan non state actor dapat melakukan
inovasi sesuai kapasitasnya masing-masing. Misalnya inovasi pada bidang
transportasi, perundang-undang, serta kemudahan yang diberikan kepada wisatawan
baik domestik maupun mancanegara. Namun, upaya inovasi tersebut tidak dapat
berfungsi secara maksimal apabila tidak terdapat sinergi antar aktornya.
17
Konsep upgrading pada sektor pariwisata menurut Josiah Child ternyata tidak
semata-mata mengarah pada komoditas itu sendiri.22 Berbagai respon dan sensitifitas
dari pembuat kebijakan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan peningkatan
industri pariwisata daerah. Lebih lengkapnya Child menyatakan bahwa :
“...upaya peningkatan industri pariwisata memerlukan serangkaian kebijakan
secara menyeluruh dengan melibatkan seluruh entitas/pemangku
kepentingan, baik pemerintah, swasta dan masyarakat secara luas. Nantinya
pencapaian yang akan diraih memerlukan evaluasi secara periodik dan untuk
menumukan titik yang ideal dan kemudian terus dikembangkan lagi dalam
berbagai bentuk inovasi.”23
Berdasar pada proposisi diatas maka konsep upgrade tourism tidak hanya
menekankan komoditas-komoditas yang telah ada sebelumnya, namun kapabilitas
sektor pariwisata memerlukan sebuah kebijakan konkrit yang melibatkan entitas-
entitas dan para pemangku kepentingan secara luas. Kondisi ini nantinya akan
membentuk sebuah multiplier effect yang dapat mendukung daya saing sektor
pariwisata regional.
22 Josiah Child merupakan analis pariwisata dari Universitas Princenton, New Jersey, Amerika
Serikat yang meneliti perkembangan pariwisata Thailand dan Malaysia pada tahun 2008 hingga 2010 tentang “Pengaruh Dukungan Kebijakan Publik terhadap Pariwisata : Studi Perbandingan Thailand dan Malaysia.
23 Josiah Child, “The Asian Tourism : A Studied of Cmparatives of Thailand and Malaysian” dalam William Muller and WM.Rayonkanish, The Asian Tourism, Princenton University Press, New Jersey, 2008, hal.23-24.
18
2. Pemetaan Aktor
Dalam sektor pariwisata, pemerintah merupakan aktor yang mempunyai peran
sebagai pembuat kebijakan. Pemerintah dapat menggandeng non state actor yang
berupa asosiasi pelaku pariwisata lokal dan penyedia jasa untuk ikut dalam
mengembangkan pariwisata secara memaksimalkan melalui peran masing-masing
aktor.
Berbagai peran yang dijalankan baik oleh pemerintah, non state actor maupun
stakeholders membutuhkan sinergi. Hubungan antar aktor tidak dapat berjalan secara
optimal apabila tidak terdapat sinergi antara pemerintah yang satu dengan pemerintah
lainnya (pemerintah pusat dan pemprov), pemprov dengan pemkab/ pemkot, ataupun
pemerintah pusat dan provinsi dengan para aktor swasta maupun masyarakat.
Nantinya sinergi yang tercipta akan mendukung peningkatan citra dan kapasitas
sektor pariwisata daerah tersebut sehingga peningkatan jumlah kunjungan wisatawan
khususnya wisatawan mancanegara dapat tercipta.
TVC dapat memetakan aktor-aktor yang terkait dalam pengembangan sektor
pariwisata. Dari pemetaan aktor tersebut dapat diketahui mana aktor yang bersinergi
dan yang tidak. Interest/Pressure Group yang dijalankan oleh Non – Governmental
Organisations (NGO) merupakan salah satu aktor yang terkait dalam pengembangan
sektor pariwisata. Kelompok tersebut berperan terhadap perkembangan isu yang
sedang berkembang terkait pariwisata seperti isu sosial, ekonomi, lingkungan dan
19
perilaku masyarakat. Industri yang terkait dengan sektor pariwisata yaitu jasa
perhotelan, agen perjalanan, dan jasa penerbangan.
Selain aktor yang telah disebutkan diatas, organisasi internasional juga
memiliki peranan dalam pengembangan sektor pariwisata. Organisasi internasional
tersebut antara lain seperti United Nation World Tourism Organization (UNWTO),
United Nation Development Programme (UNDP), International Monetary Fund
(IMF), World Bank dan Asian Development Bank (ADB) serta organisasi-organisasi
internasional yang terkait lainnya. Penjelasan siapa saja aktor yang terlibat dalam
pengembangan pariwisata dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
20
Gambar 1.1 Who is involved in tourism management? Tourism policy community24
Legislative Branch Congress/Parliament: lower and upper
houses, elected representative
Executive Branch Government National, state and regional, government
Public sector management
Ministries / departements : Ministry of Tourism
Statutory authorities / bussiness enterprises :
national tourism organisation ; development
agency, public regulatory bodies
Environmental protection agencies, advisory and
consultative bodies, joint ventures with
private sector
States Government Elected assemblies
Local Government Departments, enterprises and PSM, elected
Councils
Interest / Pressure Groups Non – governmental organisations, economic,
Social and environmental groups
Industry Hotels, travel agents, airlines, trade unions,
Theme parks
Political Parties, Public Optersebuton,
Mass Media
Judicial Branch Courts: constitutional, national, local
International Organisations United Nation World Tourism Organisation (UNWTO), United Nations
Development Programme (UNDP), European
Union (EU), Economic institutions, World Bank, International Monetary Fund (IMF) Asian Development Bank (ADB)
24 James Elliot, Tourism, Politics and Public Sector Management, Routledge, London & New
York, 2002, hal. 9.
21
Gambar diatas menggambarkan aktor yang berperan dalam pengembangan
sektor pariwisata. Sinergi antara pemerintah, pemprov, pemkab/ pemkot, swasta serta
peran serta masyarakat merupakan salah satu upaya untuk memaksimalkan potensi di
sektor pariwisata. Pemerintah dapat bekerja sama dengan pihak swasta yang memiliki
visi dan misi yang sama untuk mengembangkan sektor pariwisata misalnya dengan
joint venture.
3. Pengklasteran Penyedia Jasa Pariwisata
Penglasteran penyedia jasa pariwisata merupakan bagian dari upaya
pemerintah untuk memudahkan dalam mendefinisikan unit-unit pariwisata dan
mewujudkan proporsi tanggung-jawab pada skema pariwisata itu sendiri.
Pengklasteran jasa pariwisata merupakan konsep untuk mengelompokkan pelaku
pariwisata, meksipun pelaku tersebut juga memiliki hubungan non-tekstual dengan
pelaku lain yang keberadaannya dapat saling melengkapi antara satu dengan yang
lain.
Dalam kerangka konseptualnya, UNWTO menyebutkan enam poin yang ada
pada destinasi pariwisata yaitu :25
1. The fundamental unit, on which all the many complex dimensions of
tourism are based,
2. The focal point in the development and delivery of tourism products and
implementation of tourism policy,
25 Tourism Destination (online), diakses dari
<http://destination.unwto.org/en/content/conceptual-framework-0> pada tanggal 31 Maret 2013.
22
3. The basic unit of analysis in tourism,
4. Offers a broad range of products, experiences and services under the
destination brand,
5. Cluster: co-location of activities (products and services) that are linked
horizontally, vertically or diagonally along the value-chain and served by
public and private sector,
6. Physical, but also intangible (image, identity, personality).
Poin ke lima kerangka konseptual UNWTO tersebut yang kemudian
mendasari pengintergrasian lima kluster kegiatan produktif pada tourism value chain.
Dalam setiap klaster terdapat beragam rantai yang dapat dibedakan dan di analisis26.
Gambar 1.2 Pengklasteran Sektor Penyedia Jasa Pariwisata27
Gambar di atas merupakan kluster penyedia jasa wisata yang merupakan
faktor pendukung pengembangan sektor pariwisata. Adanya faktor pendukung
tersebut dapat meningkatkan daya saing pada masa persaingan global yang sangat
ketat ini.
4. Pengklasteran Destinasi Wisata
Salah satu tren yang menonjol dalam perkembangan pasar wisatawan global
adalah pergeseran preferensi aktivitas dan destinasi pariwisata akibat perubahan
26 Federico Vignati and Quirin Laumans, Value Chain Analysis as a Kick Off for Tourism
Destination Development in Maputo City, 2009, hal. 6. 27 Netherlands Development Organization (SNV), Managing Sustainable Tourism in Developing
Country : Maputo City Tourism Value Chain, 2009, hal. 6.
23
psikografis wisatawan global seperti perubahan selera, minat, ekspektasi, dan pola
konsumsi, kesan mereka tentang suatu destinasi.28 Dan dalam skala yang lebih khusus
adalah kepuasan wisatawan. 29 Kegiatan wisata tidak lagi dimaknai sebagai kegiatan
dalam mengisi waktu luang dan mencari kesenangan melainkan mencari pengalaman
yang unik dan beragam.
Untuk mengembangkan destinasi pariwisata di dunia, UNWTO memiliki
program yang disebut sebagai “Destination Management”. Program tersebut
merupakan komitmen UNWTO dalam memberikan respon positif terhadap
pertumbuhan sektor pariwisata lokal, regional dan nasional yang sistematis,
multidisiplin, dan lintas sektoral, khususunya untuk menyediakan panduan strategis
dalam program tersebut.
Munculnya minat wisatawan mancanegara terhadap jenis wisata tertentu
menjadi fenomena tersendiri dalam dunia pariwisata. Hal tersebut memaksa para
aktor untuk lebih kreatif dalam berinovasi serta memunculkan destinasi wisata baru.
Beragamnya destinasi wisata yang muncul dapat berdampak pada peningkatan jumlah
wisatawan khususnya wisatawan mancanegara.
28 Penny M Simpson dan Judy A Siguaw, Destination Word of Mouth : The Role of Traveler Type,
Resident and Identity Salience, dalam Junianto Damanik, Pariwisata Indonesia : Antara Peluang dan Tantangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal. 156 .
29 Girish Prayag, International Journal of Tourism Research : Paradise for Who? Segmenting
Visitors Satisfaction with Cognitive Image and Predicting Behavioural Loyalty dalam Junianto
Damanik, Pariwisata Indonesia : Antara Peluang dan Tantangan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2013, hal. 156.
24
Pengklasteran destinasi pariwisata ternyata tidak semata-mata menjadi konsep
untuk memisahkan berdasarkan karakteristik obyek. Keberadaannya dapat
membangun sebuah ikatan konsep baru yang mengarah kepada terbentuknya model
pariwisata baru atau yang dikenal dengan paket wisata (integrated tourism), yaitu
sebuah penawaran tentang kunjungan wisata ke beberapa tempat sekaligus. Konsep
ini memang memiliki karakter yaitu menjadikan salah satu klasifikasi destinasi
pariwisata sebagai tujuan primer dan menjadikan beberapa lainnya sebagai tujuan
sekunder. Melalui konsep ini nantinya dapat menjadi kebijakan penyangga (buffer
policy) pada sektor pariwisata daerah.
Tahun 2004, UNWTO mengklasifikasikan destinasi wisata dalam 17 tema
utama yang dapat dilihat pada table berikut ini.
Tabel 1.2 Tabel Klasifikasi Destinasi Pariwisata
No Destinasi Wisata
1. Kawasan perairan / Bahari (coastal zone)
2. Kawasan pantai (beach destination and sites)
3. Gugusan kepulauan (small islands)
4. Kawasan gurun (destination in desert and arid areas)
5. Kawasan pegunungan (mountain destinations)
6. Kawasan taman nasional (natural and sensitive ecological sites)
7. Kawasan ekowisata (ecotourism destinations)
8. Kawasan taman nasional dan cagar alam (park and protected areas)
25
9. Komunitas disekitar kawasan lindung / konservasi (communities within or
adjacent to protected area)
10. Jalur atau rute perjalanan (trail and routes)
11. Situs peninggalan sejarah (built heritages sites)
12. Kawasan pemukiman tradisional (small and traditional communities)
13. Kawasan wisata kota (urban tourism)
14. Pusat kegiatan MICE dan konvensi (MICE and convention centers)
15. Kawasan taman bertema (theme park)
16. Kawasan taman air (water park)
17. Kapal pesiar dan tujuan perjalanannya (cruise and their destinations)
Sumber : UNWTO, 2004
Tabel diatas merupakan klasifikasi terhadap destinasi wisata yang dibuat oleh
UNWTO berdasarkan studi tentang trend atau kecenderungan minat dan harapan
pasar wisatawan terhadap jenis destinasi yang sedang diminati.
Analisis pengklusteran destinasi wisata merupakan instrumen penting bagi
pengembangan destinasi wisata. Analisis tersebut dipergunakan untuk memudahkan
aktor dalam memahami isu-isu penting yang berkaitan dengan strategi pengembangan
destinasi wisata yang kompetitif.30 Selain itu, dengan analisis kluster dapat membantu
dalam mengidentifikasi potensi kluster wisata.31
30 Federico Vignati, Gestão de destinos turísticos, dalam Federico Vignati dan Quirin Laumans,
Value Chain Analysis as a Kick Off for Tourism Destination Development in Maputo City, 2009, hal. 10.
31 Ibid..
26
Ketersediaan informasi terhadap destinasi wisata yang ada bagi wisatawan
khususnya wisatawan mancanegara merupakan tujuan lain dari pengklasteran jenis
wisata. Tersedianya informasi yang lengkap merupakan faktor yang mendukung
untuk menarik minat wisatawan khususnya wisatawan mancanegara yang pada
umumnya sebelum melakukan aktivitas perjalanan wisata, wisatawan mancanegara
terlebih dahulu mencari informasi destinasi wisata yang dituju. Adanya informasi
yang lengkap serta dikemas dengan menarik, tidak menutup kemungkinan untuk
menarik minat wisatawan. Selain untuk menarik minat wisatawan khususnya
wisatawan mancanegara, ketersediaan informasi juga dapat dijadikan sebagai sarana
promosi baik di dalam maupun di luar negeri terhadap destinasi wisata yang ada di
Provinsi DIY.
Dalam permasalahan hambatan dalam pengembangan di sektor pariwisata
Provinsi DIY, pengklasteran jenis wisata bertujuan untuk memudahkan pemprov atau
pemkab/ pemkot dalam mengelola dan mengembangkan destinasi wisata. Dengan
harapan, semakin spesifik dan mendetail dalam melakukan pengklasteran destinasi
wisata maka pengelolaan dan pengembangan destinasi wisata akan semakin intensif
dan spesifik sesuai dengan kebutuhan masing-masing klaster.
Sebelum tahun 2007, kluster jenis wisata di Provinsi dapat dikategorikan
sebagai old tourism yang mana pada waktu itu wisata hanya mengandalkan pada
potensi wisata alam dan budaya. Pengeklasteran destinasi wisata alam dan budaya
dapat dilihat pada tabel berikut :
27
Tabel 1.3 Pemetaan Jenis Wisata di Provinsi DIY Sebelum Tahun 200732
Wisata Alam Wisata Budaya
Gunung
Sungai
Pantai
Goa
Karst
Hutan
Keraton Yogyakarta
Kawasan Kota Gede
Candi
Museum
Puro Pakualaman
Makam Raja-Raja
Situs Purbakala
Tradisi / Upacara Adat
Sanggar Seni (Tradisional dan Modern)
Seiring berkembangnya minat wisatawan khususnya wisatawan mancanegara
terhadap jenis wisata tertentu, pada tahun 2007 mulai bermunculan klaster-klaster
jenis wisata baru seperti wisata religi, wisata minat khusus dan wisata lainnya. Jika
diklasterkan menurut jenisnya, maka pengklasteran tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut :
32 Dinas Pariwisata Provinsi DIY, Profil Dinas Pariwisata Provinsi DIY, slide 14.
28
Tabel 1.4 Pengklasteran Jenis Wisata di Provinsi DIY Setelah Tahun 200733
Wisata Religi Wisata Minat Khusus Wisata Lainnya
Pondok Pesantren
Gereja
Masjid
Klenteng
Panjat Tebing
Arung Jeram
Susur Goa / Caving
Off Road
Tracking
Camping
Mendaki Gunung
Outbound
Mancing / Fishing
Rafting, Canoing
Rambling Kota Gede
MICE (Meeting,
Incentive, Convention,
Exhibition)
Agro
Kuliner
Belanja
Desa Wisata
Namun hingga saat ini pengklasteran yang telah dilakukan oleh Dinas
Pariwisata Provinsi DIY belum memadahi untuk mendukung pengelolaan dan
pengembangan destinasi wisata. Pengklasteran destinasi wisata yang kurang spesifik
berdampak pada tidak maksimalnya pengelolaan, pengembangan serta fungsi
destinasi wisata.
33 Ibid., slide 15-16.
29
5. Kerjasama Internasional
Dalam perkembangan hubungan internasional modern, kerjasama
internasional merupakan kerjasama yang berlandaskan pada Prinsip Piagam PBB dan
Resolusi Majelis Umum PBB. Kerjasama internasional tersebut bertujuan untuk
memajukan perdamaian dan keamanan dengan cara memperkuat ikatan antar negara,
menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dan efektif.
Pada era globalisasi, kerjasama internasional merupakan pemanfaatan pasar
global untuk produk lokal, investasi asing, bantuan asing serta transfer teknologi.
Kerjasama internasional memiliki tiga tantangan antara lain :34
a. Image Building
Bagaimana kerjasama internasional dapat mengembangkan citra sebagai
daerah yang menarik untuk investasi dan kondusif sebagai pasar.
b. Investment generating
Bagaimana kerjasama internasional dapat menarik investasi asing ke daerah
dan kemudian menanamkan modalnya.
34 Riza Noer Arfani, Bahan Perkuliahan Konteks GVC : Kerjasama Internasional, 2010, slide 3.
30
c. Investor servicing
Bagaimana kerjasama internasional dapat melayani investor agar tetap
bertahan dan calon investor untuk menanamkan modalnya.
E. Tinjauan Pustaka (Literatur Review)
Hakikat dari penelitian ilmiah adalah untuk memperjelas terjadinya fenomena
maupun atau obyek tertentu berdasarkan suatu parameter ilmiah. Oleh karenanya,
aktivitas penelitian tidak akan terhindar dari proses tesis, antithesis, maupun sintesis.
Pada intinya tinjauan pustaka mengandung makna aktivitas peneliti untuk berdialog
secara kritis dengan pendapat pihak lain. Adanya tinjauan pustaka berarti peneliti
akan dihadapkan pada konsep-konsep yang telah ada sebelumnya. Tinjauan pustaka
juga dilakukan secara selektif terhadap tema yang secara substansial relevan dengan
kajian yang sedang dilakukan.35
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menganalisa mengenai tourism
value chain pada sebuah negara atau daerah kawasan wisata dalam sebuah negara
yang secara substansial memiliki relevansi dengan penelitian ini serta dianggap dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan yang signifikan dalam proses penulisan.
Beberapa penelitian tersebut masing-masing ditulis oleh Birgit Steck, Kenneth Wood,
35 Irawati Singarimbun, Metode Penelitian Sosial, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 70-71
31
Julia Bishop (2010)36, FIAS dan OECD Development Center (2006)37, Bart Slob dan
Joseph Wilde (2006)38, Federico Vignati dan Quirin Laumans (2009).39
Dari keseluruhan hasil penelitian diatas menyebutkan bahwa setiap daerah
memiliki potensi unggul destinasi wisata yang berbeda-beda. Namun yang menjadi
akar permasalahan, khususnya di negara penerima wisatawan ada pada sinergitas
aktor, nilai tambah yang dapat dijadikan sebagai daya saing serta pengelolaan sektor
pariwisata itu sendiri.
Berangkat dari penelitian yang telah ada, argumen penelitian tesis ini
dibangun. Provinsi DIY mulai mengelola sektor pariwisata secara mandiri sejak
memasuki era otonomi daerah (otda). Pemkab/ pemkot memiliki kewenangan dalam
mengelola serta mengembangkan potensi wisata di daerahnya masing-masing tanpa
adanya intervensi dari pihak manapun.
Pada era otda, pengelolaan pariwisata pada setiap kabupaten/ kota terpisah
pada persoalan administratif. Setiap kabupaten/ kota memiliki kebijakan masing-
masing terkait pengelolaan obyek wisata, promosi dan pengembangan. Hal tersebut
36 Birgit Steck, Kenneth Wood, Julia Bishop, Tourism : More Value for Zanzibar, 2010. 37 FIAS and OECD Development Center, The Tourism Sector in Mozambique : A Value Chain
Analysis, 2006. 38 Bart Slob and Jospeph Wilde, Tourism and Sustainability in Brazil : The Tourism Value Chain
in Porto de Galinhas, Northeast Brazil, 2006. 39 Federico Vignati and Quirin Laumans, Value Chain Analysis as a Kick Off for Tourism
Destination Development in Maputo City, 2009.
32
berdampak pada perbedaan target pasar, strategi pemasaran, tumpang tindih program
wisata, hingga perbedaan slogan pariwisata.40
Adanya perbedaan dalam pengelolaan sektor pariwisata pada setiap
kabupaten/ kota menyebabkan upaya upgrading yang telah dilakukan oleh pemprov
menjadi tidak maksimal. Oleh karena itu, diperlukan sinergitas aktor dalam upaya
memaksimalkan upaya upgrading yang telah ada untuk mengembangkan sektor
pariwisata di Provinsi DIY.
Diberlakukannya otda di Indonesia membuat persaingan industri sektor
pariwisata pada masing-masing wilayah di Indonesia berkembang semakin kompleks.
Hal ini menimbulkan dua persoalan dilematis yang menyertai hal tersebut seperti
Provinsi DIY akan semakin terdegradasi karakter pariwisatanya apabila tidak
membangun sistem manajemen pariwisata yang baik dan akan membuka peluang
yang lebih luas bagi wilayah-wilayah di Indionesia seperti Kota Bandung untuk dapat
mengembangkan industri pariwisatanya secara spesifik.
Persoalan mengenai tourism value chain antara Provinsi DIY dan Kota
Bandung secara nyata berkaitan dengan realitas praktik tata kelola pada masing-
masing sektor pariwisata. Hal tersebut mendorong berbagai prakarsa untuk
meningkatkan kualitas pengelolaan dan daya saing destinasi pariwisata. Indikator
rendahnya kualitas pengelolaan destinasi pariwisata dapat dilihat dari sejumlah
40 “Pengelolaan Pariwisata Belum Solid” (online), diakses dari
<http://health.kompas.com/read/2010/10/09/1453262/Pengelolaan.Pariwisata.Belum.Solid>, pada tanggal 25 Juni 2013
33
praktik tata kelola yang belum berjalan secara optimal karena besaran perolehan
pariwisata (magnitude of tourism) yang masih rendah.
Destinasi pariwisata terbentuk dari konstruksi ruang, sosial, budaya,
lingkungan, serta sumber daya pariwisata yang saling terkait dan melengkapi dalam
rangka menciptakan pengalaman pariwisata. Oleh karena itu, pengembangan
destinasi dilakukan melalui berbagai intervensi dari sejumlah stakeholders untuk
meningkatkan intensitas aktivitas pariwisata, yaitu para pemangku kepentingan
Provinsi DIY dan Kota Bandung.
Destinasi sebagai bagian integral dari tourism value chain dapat dipahami
sebagai kesatuan fasilitas dan pelayanan yang terbentuk dari berbagai atribut multi-
demensi. Dengan kata lain destinasi merupakan elemen dari produk pariwisata yang
menawarkan pengalaman menyeluruh kepada konsumen. Destinasi pariwisata
Provinsi DIY dan Kota Bandung merupakan gabungan dari produk dan pelayanan
yang tersedia pada satu lokasi yang dapat menarik pengunjung diluar wilayah
bersangkutan.
F. Argumen Utama
Dalam penulisan tesis ini, penulis menyimpukan beberpa hal yang menjadi
hambatan dalam pengembangkan sektor pariwisata di Provinsi DIY sehingga pada
tahun 2007-2012 FTA cenderung tertinggal dari Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat
34
adalah kurangnya penciptaan nilai tambah pada sektor pariwisata, lemahnya kegiatan
promosi di luar negeri, tidak adanya sinergi antar aktor (pemprov dengan
pemkab/pemkot), sistem pengklasteran destinasi wisata yang kurang spesifik dan
tidak merata, kegagalan Pemprov DIY dalam mengelola kerjasama internasional serta
terjadinya hambatan lain dalam pengembangan pariwisata di Provinsi DIY. Adanya
hambatan yang telah dipaparkan diatas menjadikan upaya upgrading yang telah
dilakukan oleh pemerintah (pemprov, pemkab/ pemkot) serta stakeholders menjadi
tidak maksimal dari sudut pandang TVC.
G. Metodologi Penelitian
Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif. Menurut Casel and Simon, metode deskriptif kualitatif merupakan metode
penelitian ilmu sosial yang berusaha mendeskripsikan dan menyajikan proposisi
secara akurat mengenai makna dari gejala yang terjadi dalam konteks sosial. Metode
ini menekankan pada pengumpulan dan analisis teks tertulis atau terucapkan. Metode
kualitatif juga berusaha memberikan gambaran menyeluruh tentang situasi yang
sedang dipelajari oleh peneliti. Alasan atas digunakannya deskriptif kualitatif karena
mampu melihat lebih komprehensif persoalan yang ada. Seperti yang disebutkan oleh
35
Casel and Simon, bahwa untuk banyak alasan, penelitian kualitatif bisa lebih kaya,
dapat lebih banyak mendapatkan data, bersahaja dan lebih holistik41
Obyek dari penelitian tersebut adalah Pemprov DIY khususnya Dinas
Pariwisata Provinsi DIY. Data yang dipergunakan dari berbagai sumber seperti buku,
jurnal dan juga pemberitaan media massa. Data tersebut didukung data dari instansi
pemprov dan referensi kepustakaan pendukung lainnya. Pengumpulan data juga akan
dilakukan melalui Focused Group Discussion (FGD) dengan berbagai nara sumber
yang terkait.
Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis baik berupa data yang
bersifat kuantitatif, kualitatif maupun kombinasi dari keduanya. Khusus untuk
analisis data kualitatif dilakukan proses verifikasi dari berbagai sumber melalui
indepth interview maupun FGD dengan berbagai nara sumber seperti pihak dari
Pemprov DIY, Dinas Pariwisata Provinsi DIY, Pemkab/ Pemkot yang berada dalam
wilayah Provinsi DIY, pelaku pariwisata, serta pihak-pihak yang terkait dalam
pengembangan sektor pariwisata di Provinsi DIY. Sedangkan data kuantitatif lebih
banyak digunakan sebagai data pendukung.
Untuk mendapatkan gambaran yang dibutuhkan agar hasil penulisan tesis ini
mencapai sasaran, maka dicari lokasi penelitian yang sesuai. Mengingat penelitian
kali tersebut lebih menggali tentang tourism value chain dan upaya pemprov serta
41 Catherine Cassel and Gillian Symon (ed), Qualitative Methods in Organizational Research,
Sage Publications, London, 1994, hal.3-4.
36
pemkab/ pemkot, untuk itu dipilih lokasi langsung yaitu Dinas Pariwisata Prov. DIY
sebagai sentral penelitian.
Untuk memperoleh data lainnya yang lebih otentik, yang berfungsi untuk
melengkapi literatur, penulis juga menjalankan teknik pengumpulan data primer,
yaitu melalui teknik wawancara terstruktur dan tidak terstruktur pada pihak-pihak
yang memiliki relevansi dengan kasus yang diteliti, antara lain pemerintah, tokoh
masyarakat, serta wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang pernah
terlibat secara khusus dalam dinamika sektor pariwisata di wilayah Provinsi DIY.
H. Jangkauan Penelitian
Penulisan tesis ini dibatasi pada periode tahun 2003-2012. Tahun tersebut
dipilih penulis dengan pertimbangan sebagai tahun yang merepresentasikan periode
maksimalnya implementasi kebijakan otda. Penulis berpendapat dinamika otda
sebagai pelimpahan wewenang memiliki peran yang penting terhadap fokus dari
kajian tulisan ini.
Selain pembatasan pada periode tahun, penulisan tesis ini dibatasi pada
analisis aktor, kluster jenis wisata, kerjasama internasional serta faktor penghambat
lainnya dalam pengembangan pariwisata di Prov. DIY. Hal tersebut dikarenakan
luasnya lingkup pembahasan yang ada pada TVC. Sehingga penulis merasa perlu
37
untuk melakukan pembahasan agar penulisan tesis ini lebih spesifik pada hal yang
menjadi hambatan dalam pengembangan pariwisata di Provinsi DIY.
I. Sistematika Penulisan
Tesis ini akan disusun dalam lima bab dengan uraian sebagai berikut :
Bab I merupakan pendahuluan yang lebih banyak menjelaskan tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, literatur review, kerangka pemikiran, argumen
utama, metodologi penelitian, jangkauan penelitian, sistematika penulisan.
Bab II akan mendeskripsikan mendeskripsikan Tourism Value Chain di
Provinsi DIY dan Kota Bandung.
Bab III akan mendeskripsikan sejauh mana upaya upgrading Pemprov DIY
dan Kota Bandung dalam mengembangkan pariwisata di daerahnya masing-masing.
Bab IV akan menganalisa faktor hambatan dalam upaya pengembangan
pariwisata di Provinsi DIY dari sudut pandang Tourism Value Chain.
Bab V akan menjadi penutup dari tesis tersebut. Pada bab tersebut akan berisi
yang berisi kesimpulan dari penulisan tesis serta kontribusi tesis tersebut dalam
kajian studi hubungan internasional.