BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa
-
Upload
ismy-hoiriyah -
Category
Documents
-
view
80 -
download
1
description
Transcript of BAB I Referat Spondilitis Tuberculosa
BAB I
PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosa (TB) merupakan infeksi granulomatosis dan bersifat kronis
destruktif yang di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa yang
mengenai tulang vertebra.
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang
menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang
belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil
tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.
Di beberapa negara berkembang, TB spinal masih menjadi manifestasi pada kasus TB
anak maupun dewasa, dan merupakan perhatian cukup serius karena dapat menimbulkan
komplikasi yang berat berupa gangguan neurologis berupa paraplegi. Hal ini disebabkan
karena penderita spondylitis TB biasanya datang terlambat untuk mendapatkan pengobatan
dan pada pemeriksaan klinis serta radiologis sudah ditemukan adanya kerusakan tulang belakang
yang sudah lanjut dan disertai gangguan neurologis.
Tuberkulosa sebagai suatu penyakit sistemik dapat menyerang berbagai organ termasuk
tulang dan sendi. Lesi pada tulang dan sendi disebabkan oleh penyebaran hematogen dari lesi
primer pada bagian tubuh yang lain.
Pada spondilitis TB, vertebra torakalis bagian bawah lebih sering terkena dan biasanya akan
melibatkan struktur diskus intervertebralis dan menyebar ke korpus vertebra. Manifestasi klinis
yang terjadi merupakan gejala dan tanda TB secara umum, disertai dengan gejala dan tanda
neurologis sesuai dengan level radiks spinal yang terkena.
1
BAB II
SPONDILITIS TUBERCULOSA
2.1 Definisi Spondilitis Tuberculosa
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang. 1
Spondilitis tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi oleh kuman Micobacterium
tuberculosis yang menyerang tulang belakang. Kuman ini menyerang terutama di daerah paru yang
penderitanya banyak sekali kita temui di Indonesia. Ternyata dalam perjalanannya, kuman ini tidak
hanya menyerang paru, tetapi juga diketahui menyerang tulang belakang. Spondilitis tuberkulosa
dikenal juga sebagai penyakit Pott, paraplegi Pott. Nama Pott itu merupakan penghargaan bagi
Pervical Pott seorang ahli bedah berkebangsaan Inggris yang pada tahun 1879 menulis dengan tepat
tentang penyakit tersebut. Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia (kelumpuhan) terbanyak
setelah trauma, dan banyak dijumpai di Negara berkembang. Spondilitis ini paling sering ditemukan
pada vertebra T8 – L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. 3,4
2.2 Epidemiologi Spondilitis Tuberculosa
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun. Diperkirakan
20 - 33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Indonesia adalah
penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000
orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun.
Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling sering
terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang
mengenai tulang dan sendi. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak
terjadi dalam 1 tahun, namun dapat juga 2-3 tahun kemudian. 1
Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk
terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB. Insiden spondilitis TB
masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan
1,8% dari total kasus TB. 1
2
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan
dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di
negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama
pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan
kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah
berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30
tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami
peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut
infeksi HIV. 2
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa, dengan
usia rata-rata 40 – 50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50%
kasus terjadi antara usia 1 – 20 tahun). Pola ini mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya
penurunan insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong. 2
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada
kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang
mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup
besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus
tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang
lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki,
sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area thorako-lumbal terutama thorakal
bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat
karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti
dengan area servikal dan sakral. 2
2.3 Etiologi Spondilitis Tuberculosa
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling
sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium
yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium
africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun
non -tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini
menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat. 2
3
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-
fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan
teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-
enriched dengan periode 6 – 8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium
tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain. 2
Gambar 1. Organ Target Tuberculosis. 5
2.4 Patogenesa Spondilitis Tuberculosa
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus
tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus
infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal
dari sistem pulmoner dan genitourinarius. 2
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di
paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil). 2
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbal yang memberikan suplai
darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra di atasnya dan
bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna
vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada
kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,
sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra. 2
4
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal tiga bentuk spondilitis : 2
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa.
Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio
lumbal. 2
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai
tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih
dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat.
Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio
torakal. 2
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan di
bawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior
dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik
yang ditransmisikan melalui abses prevertebral di bawah ligamentum longitudinal anterior atau
karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral. 2
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk di dalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan
lengkung saraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang
(tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler
yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen
posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2% - 10%. 2
5
Gambar 2. Bentuk Spondilitis Tuberkulosa. 4
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area infeksi
secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra
sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebra yang berdekatan
melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus
intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra
yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses
paravertebral. 2
Terjadinya nekrosis perkejuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada
saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous
sequestra, terutama di regio thorakal. Discus intervertebralis yang avaskular, relatif lebih resisten
terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal
ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra
karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas
fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis
yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis. 2
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan
menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian
akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung saraf posterior tetap intak,
jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung
dari derajat kerusakan, level lesi, dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas
ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas. 2
6
Di regio thorakal, kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area
lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbal lordosis dimana sebagian besar dari
berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian
servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar
berat badan disalurkan melalui prosesus artikular. 2
Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio thorakal, tulang-tulang iga akan
menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest. 2
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan
kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami osifikasi,
sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps. 2
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya
korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkejuan, dan tulang nekrotik serta
sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi
sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi
aslinya. 2
Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha
di bawah ligamentum inguinal. Di regio thorakal, ligamentum longitudinal menghambat jalannya
abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau
sedikit di bawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur
ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai ‘sarang
burung’. Terkadang, abses thorakal dapat mencapai dinding dada anterior di area parasternal,
memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher. 2
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan
spondilitis tuberkulosa. Kompresi saraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis)
atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa
keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous
arachnoiditis). 2
Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal
dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah
hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula
7
spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada
pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan
jenis kelamin untuk kejadian ini. 2
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran bakteri sangat
kecil 1-5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan
kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru
disebut fokus primer Ghon. 1
Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang
meradang (limfangitis). 1
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu
antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 10
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular. Pada saat terbentuk kompleks
primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk
hipersensitivitas terhadap protein tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun selular berkembang, proliferasikuman TB terhenti.
Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. 1
Setelah imunitas selular terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan
dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi
8
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap
hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut. 1
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas selular, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus tersebut umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi, disebut
sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus
Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang dan lain-lain. 1
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran hematogen kuman TB masuk
ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling
sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic
spread), kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang,
ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang belakang
yang sering terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari
bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum longitudinal. Anterior terjadi
sekitar 2,1% kasus spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior
longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral terjadi sekitar
11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah dari badan vertebra tunggal,
sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai
lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas selular yang akan membatasi pertumbuhan. 1
2.5 Manifestasi Klinis Spondilitis Tuberculosa
Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan sebagai
berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, demam lama
tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari
30 hari, terjadi diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai benjolan/masa di
abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen. 1
9
Manifestasi klinis pada spondilitis TB tidak ditemukan pada bayi di bawah 1 tahun.
Penyakit ini baru muncul setelah anak belajar berjalan atau melompat. Gejala pertama
biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri. Untuk
mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan
kaku. Pasien akan menolak jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari
lantai. Nyeri tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang
belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang
membungkuk dan membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang
secara progresif. 1
Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi kiposis 100,
20% kasus memiliki kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus lebih dari 300. Kelainan yang sudah
berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi pada
tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal. 1
Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan istilah
Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari penyakit yaitu
dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh yang biasanya
berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat. 1
2.6 Diagnosis Spondilitis Tuberculosa
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor.
Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat. 1
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan
hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa. 2
1. Anamnesa dan inspeksi
a. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan
bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi
sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam
10
tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan
jelas. 2
b. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus,
tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa. 2
c. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.
Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telinga
atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di thorakal atas akan menampakkan nyeri
yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian thorakal bawah maka nyeri
dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang
dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri, pasien akan menahan punggungnya
menjadi kaku. 2
d. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung. 2
e. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi
dagu disanggah oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas
pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis
torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika
terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar,
terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan
menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi
medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis. 2
f. Infeksi di regio thorakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat
mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku. Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian
kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak
dinding dada. Jika abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda
spinalis dan menyebabkan paralisis. 2
g. Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi
di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam
pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan
dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan
11
meletakkan tangannya di atas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan
deformitas fleksi sendi panggul. 2
h. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang),
skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi. 2
i. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi
pada kurang lebih 10 – 47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih
banyak ditemukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia
akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang
hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat
pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal. 2
j. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan nyeri akut
seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun
sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa. 2
2. Palpasi
a. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya
terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik
yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx,
atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level
lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada
hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess. 2
b. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena. 2
3. Perkusi
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus spinosus vertebrae
yang terkena, sering tampak tenderness. 2
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam. 2
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD)
positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun yang
baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak
area berindurasi, kemerahan dengan diameter ‡ 10mm di sekitar tempat suntikan selama
12
48 – 72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada – 20% kasus dengan
tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya
tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain). 2,6
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas
lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru- paru yang aktif). 2
d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif. 2
e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid,
paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan
dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding. 2
f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).
Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TB.
Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.
Cairan serebrospinal akan tampak: 2
i. Xantokrom.
ii. Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
iii. Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut
responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik.
iv. Kandungan protein meningkat.
2. Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi. 2
a. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
b. Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3 – 8
minggu onset penyakit.
c. Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
d. Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior
corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga
tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus
vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area
subligamentous.
e. Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang
sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih
13
besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar
terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall
vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal
gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada
kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum
menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra thorakal.
f. Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.
Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan
kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang
mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat
penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh
karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).
Gambar 3. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis. 6
14
Gambar 4. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis. 7
3. Computed Tomography – Scan (CT- Scan)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio thorakal dan keterlibatan iga yang sulit
dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik
dengan CT Scan.
.
Gambar 5. Gambaran CT Scan menunjukkan penghancuran signifikan elemen posterior tulang. 7
15
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif
dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk : 7
a. Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau
operatif.
b. Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses.
A B
16
C
Gambar 6. MRI Spondilitis Tuberkulosis. A dan B gambaran potongan sagital dari vertebra
thorakal, menunjukkan gambar disk space loss dan kompresi vertebral dengan ekstensi jaringan
lunak paravertebral (panah). C menunjukkan abses paraspinal multiloculated besar. 8
2.7 Diagnosis Banding Spondilitis Tuberculosa
1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya
sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi
piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih
menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain. 2
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan
laboratorium. 2
3. Tumor / penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma,
aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma). Metastase dapat menyebabkan destruksi dan
kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang
diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai
bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas. 2
17
4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak
adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian
anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal. 2
2.8 Tata Laksana Spondilitis Tuberculosa
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah : 2
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit.
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis.
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi : 2
A. Terapi Konservatif
1. Pemberian nutrisi yang bergizi.
2. Pemberian kemoterapi atau terapi antituberkulosa.
Pemberian kemoterapi antituberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh
kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat
secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Hasil penelitian Tuli dan Kumar
dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang
belakang menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi
negara yang belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu
pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian
terapi. 2
Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan
yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat
antituberkulosa memakan waktu lama (kurang lebih 6 – 8 minggu) dan perlu biaya yang
cukup besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih
penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang
baik terhadap obat antituberkulosa juga merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik. 2
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi : 2
1. Resistensi primer
Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang
sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat
18
baik itu streptomycin (SM) ataupun isoniazid (INH). Jarang terjadi resistensi terhadap
rifampicin (RMP) atau ethambutol (EMB).
2. Resistensi sekunder
Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang
awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut.
The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa
spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid
dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan. Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang
sifatnya dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama
6 – 12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang timbul
dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien. Durasi terapi pada tuberkulosa
ekstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12 – 18 bulan, dapat
menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan
menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.
Obat antituberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA),
streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). 2
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine,
kanamycin dan capreomycin. 2
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer : 2
a. Isoniazid
i. Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler.
ii. Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
iii. Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
iv. Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
v. Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien berusia
lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat
reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).
vi. Relatif aman untuk kehamilan.
vii. Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari.
b. Rifampin
i. Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari basil,
baik di intra ataupun ekstraseluler.
19
ii. Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti
pada nekrosis perkejuan).
iii. Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk
sediaan oral dan intravena.
iv. Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
v. Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus gastrointestinal,
cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis.
Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.
vi. Relatif aman untuk kehamilan.
vii. Dosisnya : 10 mg/kg/hari atau 450 – 600 mg/hari.
c. Pyrazinamide (PZA)
i. Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam
dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkejuan.
ii. Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
iii. Efek samping :
a. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan dalam
jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam jangka pendek.
b. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak. Arthralgia dapat
timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
c. Atralgia, anoreksia, mual dan muntah, disuria, malaise, dan demam.
iv. Dosis : 15-30mg/kg/hari.
d. Ethambutol (EMB)
i. Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler.
ii. Tidak berpenetrasi ke dalam menings yang normal.
iii. Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta
warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.
iv. Relatif aman untuk kehamilan.
v. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
vi. Dosis : 15-25 mg/kg/hari.
e. Streptomycin (STM)
i. Bersifat bakterisidal.
20
ii. Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan
untuk melengkapi pemberian PZA.
iii. Tidak berpenetrasi ke dalam menings yang normal.
iv. Efek samping : ototoksisitas (kerusakan saraf VIII), nausea dan vertigo (terutama
sering mengenai pasien lanjut usia).
v. Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
vi. Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari.
Tabel 1. Dosis dan Efek Samping OAT. 2
Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis,
radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame / plaster
bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi. 2
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia
keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila
terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan. 2
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam
posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk
21
mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat
tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-
tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri,
hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal.
Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm.
Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun
sekuester. 2
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan
jaket Minerva; pada daerah vertebra thorakal, thorakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan
body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan
immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi
panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan. 2
B. Terapi Operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami perbaikan
dengan pemberian kemoterapi saja. Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang
mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.
Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3 – 6 minggu. 2
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3 – 4 minggu pemberian terapi obat
antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang
baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan untuk
mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan
memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat. 2
Selain indikasi di atas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila
: 2
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi.
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan.
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase.
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau
kifosis berat saat ini.
5. Penyakit yang rekuren
22
Jika terjadi Pott’s paraplegia maka pembedahan harus dilakukan. Indikasi pembedahan antara
lain: 2
A. Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia
memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan kekuatan
motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan pengobatan konservatif,
paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol oleh karena suatu keganasan dan
imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan
pada kulit, paraplegia yang berat dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat
oleh karena kecelakaan mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis
vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia
flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan
kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.
B. Indikasi relative
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering
tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang diakibatkan
oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi seperti batu atau
terjadi infeksi saluran kencing.Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB
yang mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan
laminektomi.
23
Gambar 7. Algoritme tata laksana spondilitis TB dengan komplikasi neurologi. 1
2.9 Komplikasi Spondilitis Tuberculosa
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus
intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung
24
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :
menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan
paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis. 1
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di thorakal ke dalam pleura. 1
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena kerusakan
tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi sangat besar. Hal
ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas inferior yang dikenal
dengan istilah Pott’s paraplegia. 1
2.10 Prognosis Spondilitis Tuberculosa
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi.
Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB, dapat terjadi sekuele
antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak dan lain-lain. Prognosis
bertambah baik bila pengobatan lebih cepat dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada
anak dengan usia kurang dari 5 tahun sampai 30%. 1
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi
kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan. 1
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan
patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis
saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetik secara
signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan
pernapasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.
d. Defisit neurologis
25
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan
tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan
dilakukannya operasi dini.
2.11 Pencegahan Spondilitis Tuberculosa
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis yang
dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas, meningkatkan
daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman
tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial. 2
Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anak-anaknya cukup
gizi, BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah
pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan tipe percobaan
yang sama di Amerika dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah
kecil penelitian pada bayi di negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap
kondisi tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis
Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif
dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi immigran di Inggris. 2
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap
menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada negara-negara
dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti pada AIDS aktif). 2
Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak
yang lebih besar dan dewasa. 2
Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya
anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai sedikit
efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di
kelompok orang dewasa maka yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien
dengan sputum berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular.
Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat sehingga seluruh
kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi. 2
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari selama 1
tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulosa. 2
26
BAB III
KESIMPULAN
Spondilitis TB adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi
klinis yang bervariasi. Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah
berkurang pada beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan
kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus menjadi
suatu masalah kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang berkembang dimana diagnosis
dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin dapat tertunda.
Pemeriksaan radiografi mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta follow up
penyakit. Jika dalam pemeriksaan didapatkan normal, salah satu pemeriksaan jaringan harus
dikerjakan untuk menyingkirkan spondilitis TB
Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan tetapi
morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat
dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang baik
antara pasien, keluarga dan tim kesehatan. Tata laksana ditentukan oleh ada tidaknya paralisis atau
paraplegi pada ekstremitas inferior sehingga pembedahan harus segera dilakukan.
Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit, tata laksana dan komplikasi yang menyertai.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Paramarta, I.G et al. 2008. Spondilitis Tuberculosis. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD.
Sari Pediatri. Vol 10(3):177-83.
2. Vitriana. 2002. Spondilitis Tuberkulosa. (online)
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/spondilitis_tuberkulosa.pdf. Diakses
tanggal 5 Agustus 2015.
3. Rauf, A. 2010. Spondylitis TB. (online)
http://www.afrisusnawatirauf.wordpress.com/2010/07/02/they-called-it-spondylitis-tb.
Diakses tanggal 5 Agustus 2015.
4. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC;
2010.
5. Hilman, A. 2012. Tulang Belakang dan Spondilitis Tuberculosa. (online)
http://kangantonhilman.blogspot.com/2012/01/sekilas-tentang-tulang-belakang-dan.html,.
Diakses tanggal 5 Agustus 2015.
6. Clifford, R. Wheeleess. 2013. Tuberculous Spondylitis. (online)
http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculous_spondylitis. Diakses tanggal 5 Agustus
2015.
7. Rasuoli, M. Mirkoohi, M. Vaccaro, A., dkk. 2012. Spinal Tuberculosis. (online)
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3530707/. Diakses tanggal 5 Agustus 2015.
8. Berquist, M.D. Thomas, H. dkk. 2007. Musculoskeletal Imaging Companion.2nd ed. Wolters
Kluwer.
28