BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang...
1
BAB I
PENGANTAR
1.1. Latar Belakang Masalah
Kehadiran sebuah bentuk seni pertunjukan dan aktivitasnya
dalam lingkungan masyarakat yang bersifat kelompok ditentukan
oleh norma-norma yang telah disepakati masyarakatnya. Seni yang
dikenal sebagai cerminan masyarakat terdiri dari jiwa, keinginan,
realita dan nilai masyarakatnya,1 karena seni adalah produk
masyarakat.2 Salah satu produk masyarakat Indonesia yang berasal
dari Sumatera Utara adalah seni pertunjukan yang dikenal dengan
nama Opera Batak.
Opera Batak adalah pertunjukan teater tradisional atau
pertunjukan sandiwara panggung yang dimiliki masyarakat Batak
Toba secara turun-temurun. Bila dilihat dari asal penamaan,
pertunjukan teater Batak di sebut sebagai Opera Batak ketika orang
Belanda masuk ke pulau Samosir pada awal abad ke-19. Belanda
menjuluki sandiwara tradisional itu dengan nama Opera (gaya)
1 Made Bambang Oka Sudira. 2010. Ilmu Seni, Teori dan Praktik. Jakarta: Inti Prima. Hal 38-
39. 2Janet Wolf. 2002.“The Social Production of Art”, dalam Soedarsono, Seni Pertunjukan
Indonesia di Era Globalisasi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 2.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
Batak, atau kemudian dikenal sebagai Opera Batak.3 Istilah Opera
Batak sendiri dilekatkan oleh Diego van Biggelar, misionaris Belanda
yang datang ke Pulau Samosir pada tahun 1930-an.
Professor Rainer Carle merepresentasikan sejarah Opera Batak
melalui sebagian ringkasan singkat dalam bukunya yang berjudul
“Opera Batak-The traveling theater of the Toba Batak in North
Sumatra-Spectacles maintain cultural identity in the national context of
Indonesian.” Carle menuliskan bahwa selama paruh kedua abad ke-
19 Sumatera Utara berada di bawah kendali Belanda karena wilayah
ini memiliki perkebunan yang luas sebagai penghasil perekenomian
yang strategis. Disinilah para misionaris Jerman memulai
Kristenisasi pada orang Batak.4 Pada awal abad ke-20 muncul
berbagai teater keliling di Asia Tenggara, kemunculan teater ini
merupakan bentuk perekonomian yang baru di Asia Tenggara. Teater
keliling Asia Tenggara (Eurasia) yang populer saat itu adalah wayang
parsi, Opera Melayu dari Malaka atau yang dikenal dengan nama
Opera Bangsawan. Kemunculan teater keliling pada saat itu
menempatkan musik sebagai media interaktif yang melibatkan
reaksi-reaksi dari penonton yang disajikan untuk menghibur dan
3Seniman Teater tradisi Zukaidah Harahap. Sumber dari:
http://www.tamanismailmarzuki.com. Diakses pada tanggal 17 September 2013. 4Rainer Carle. 1990. Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra
- Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian. Hal 9. Sumber: http://www.adtractive.de/operabatak. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
menginformasikan berbagai hal. Kemunculan teater keliling pada
masa tersebut berfungsi sebagai seni klasik tradisional dan tradisi
lisan yang harus dipertahankan, tetapi di sisi lain untuk melihat
bagaimana perkembangan teater keliling sebagai kesenian pembuka
bagi dunia non-Melayu. Pendekatan ini pertama kali dikemukakan
melalui pembentukan Opera Batak secara terbuka. Menurut Carle
ada beberapa alasan mengapa Opera Batak dihadirkan. Pertama,
bentuk ritual mereka berasal dari pengalaman hidup di dunia.
Kedua, adanya kebutuhan terhadap suatu periode pergolakan
budaya yang besar, yang tidak lagi sesuai dan terhambat oleh misi
politik atas kebijakan Kristenitas.5
Lebih lanjut Carle menuliskan bahwa Opera Batak berkembang
selama periode satu dekade dari sekitar tahun 1925 melalui kontak
antara operasi regional teater rakyat pendatang Eurasia Melayu
dengan regional musisi keliling yang terdiri dari kaum petani dan
kaum intelektual perkotaan, yang melibatkan budaya Batak sebagai
politik melalui orientasi karakteristik.6 Tahun 1928 Tilhang Oberlin
Gultom mendirikan „Opera Batak Tilhang Gultom‟ (sekarang dikenal
5Rainer Carle. 1990. Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra
- Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian.Hal 9. Sumber: http://www.adtractive.de/operabatak. Diakses pada tanggal 17 September 2013. 6Rainer Carle. 1990. Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra
- Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian.Hal 96. Sumber:
http://www.adtractive.de/operabatak. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
dengan nama Opera Batak Tilhang Serindo). Opera Batak ini telah
menggelar sendiri pertunjukannya selama hampir enam dekade.
Selain akting, unsur komedi kerap menjadi ciri khas dari
pertunjukan ini. Keistimewaan yang utama dari pertunjukan ini
adalah ansambel musik tradisional Batak Toba yang menggunakan
Gondang hasapi atau biasa disebut dengan Uning-uningan. Menurut
Carle Uning-uningan pada waktu itu belum dilarang oleh para
misionaris, namun hingga sekarang musik Batak yang khas ini
menegaskan dirinya sebagai suatu ilustrasi panggung bermain
dengan tujuan profan dan menghibur.7
Christian Moser mengemukakan bahwa Opera Batak klasik
telah muncul sebagai teater keliling di dekade awal abad kedua
puluh, sekitar tahun 1920-an yang berlangsung hingga tahun 1980-
an. Pada masa era 1920-1950, Opera Batak klasik merupakan
sarana protes terhadap kekuasaan kolonial Belanda terhadap
pelestarian persatuan dan identitas regional. Berbeda dengan Opera
Batak yang ada saat ini, selera media lebih sesuai dengan plot atau
alur yang sedikit menunjukkan kesederhanaan dan keasliannya.
Akses terhadap isu-isu terkini seperti penggundulan hutan atau
7 Rainer Carle. 1990. Opera Batak; The traveling theater of the Toba Batak in North Sumatra
- Spectacles maintain cultural identity in the national context of Indonesian.Hal 15. Sumber:
http://www.adtractive.de/operabatak. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
keracunan air diberitahukan untuk membuat penontonnya sensitif
terhadap isu-isu sosial tersebut melalui media entertain yang
menghibur. Moser menyatakan bahwa masyarakat Batak
mengekspresikan diri mereka dengan menyuarakan kebenaran
karena mereka tidak takut membicarakan apa yang ada dalam
pemikiran mereka. Melalui pertunjukan Opera Batak kesenian
ditempatkan sebagai jembatan penghubung antara tradisi dan
modernitas yang dapat diartikulasikan.8 Thompson Hutasoit
menyebut Opera Batak demikian sebagai Opera Bataktransisi, suatu
peralihan dari perkembangan Opera Batak terdahulu menuju
revitalisasi Opera Batak dengan struktur modern.9
Kisah yang diangkat dalam Opera Batak umumnya tentang
lakon legenda, mitos, cerita kepahlawanan, atau cerita keseharian
masyarakat setempat.10 Ada berbagai jenis sastra dalam budaya
Batak Toba, di antaranya umpama-umpasa (pepatah dan pantun) dan
cerita. Menurut Mula Hutasoit, cerita dapat dikelompokkan menjadi
6 jenis, antara lain: (1) Torsa-torsa (sejarah), (2) Na homi (mistik), (3)
Taringot tu angka debata (cerita tentang para dewa), (4) Hajajadi
8 Christian Moser.The Batak people and the Classical Opera Batak. Published on 21, March
2013. Sumber dari: http://www.adtractive.de/operabatak. Diakses pada tanggal 17 September 2013. 9 Wawancara dengan Thompson Hs ketika tengah memberikan Worshop dalam tur PLOt di
Padepokan Bagong Kussdiardjo pada 22 oktober 2013, Yogyakarta. 10
Kenedi Nurhan. 2008. “Ratu Opera Batak dari Tiga Dolok,” dalam Sosok, Kompas, Selasa
18 Desember.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
(legenda), (5) Turi-turian (dongeng), dan (6) Tudosan (perumpamaan).
Hutasoit menyatakan bahwa keseluruhan cerita tersebut
menunjukan betapa dalam makna yang terkandung didalamnya, dan
betapa mereka telah mengerti bagaimana mengemas suatu
permasalahan ke dalam sebuah bentuk cerita untuk diwariskan
kepada keturunan mereka, yang selain sarat akan nilai seni, juga
sarat akan nilai edukasi.11
Gender saat ini telah menjadi wacana sosial yang
mempersepsikan berbagai manifestasi peran laki-laki dan perempuan
dalam menata hubungan sosialnya (social construction), menurut
Arief.12 Walaupun wacana ini bukan suatu hal yang baru, dan sudah
berlangsung cukup lama dalam lingkup sosial, kenyataannya
permasalahan tersebut masih tetap diperbincangkan dan
ditelusurioleh kalangan akademis. Di samping itu Chris Barker
berpendapat bahwa gender adalah asumsi dan praktik kultural yang
mengatur konstruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial
mereka. Begitu juga dengan femininitas dan maskulinitas yang
merupakan bentuk perilaku yang diatur secara kultural dan
dipandang sesuai secara sosial bagi jenis kelamin tertentu. Gender
11
Mula Hutasoit. 2002. “Turi-turian Ninna tu Ninna” dalam Krismus Purba, Opera Batak
Tilhang Serindo. Yogyakarta: Kalika. Hal 197. 12
Arief Agung Suasana. Hubungan Gender dalam Representasi Iklan Televisi. Sumber:
https://www.mysciencework.com. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
selalu merupakan masalah bagaimana laki-laki dan perempuan
dihadirkan. Lebih jauh lagi, karena gender adalah konstruk kultural,
dia terbuka bagi segala perubahan, menurut Barker.13
Menurut Katrin citra (image) gender yang hadir dalam
keseharian kita lewat berbagai bentuk budaya termasuk karya seni,
sangat berperan dalam membentuk dan melestarikan konstruksi
femininitas dan maskulinitas yang dominan dalam masyarakat,
namun juga berpotensi menggugat dan mengubah konstruksi
tersebut. Katrin menegaskan bahwa konsep femininitas dan
maskulinitas cenderung dikonstruksi dalam oposisi biner; lemah
atau kuat, yang mengkonstruksi laki-laki sebagai pihak yang selalu
unggul dan utama. Konstruksi citra tersebut tidak dapat dihindari
telah mempengaruhi posisi perempuan tidak hanya di dalam bidang
seni tetapi dalam kehidupan masyarakat secara umum.14
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner menyatakan bahwa
kehadiran perempuan dalam dunia seni pertunjukan menjadi
persoalan yang kerap berhubungan dengan sistem normatif dan nilai-
nilai moral yang dijunjung tinggi di Indonesia. Banyak kebudayaan
etnis menempatkan larangan-larangan terhadap perempuan yang
13
Chris Barker. 2013. “Antiesensialisme, Feminisme dan Politik Identitas” dalam Cultural
Studies; Teori dan Praktek. Nurhadi (Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hal 195. 14
Katrin. 2013.Reinterpretasi Perempuan pada Kisah-kisah Tradisional ke dalam Seni
Kontemporer. Sumber: https://groups.yahoo.com. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
berdampak pada sempitnya akses perempuan berperan dalam
aktivitas seni. Bahkan dalam etnis-etnis tertentu perempuan
dikekang dalam memasuki dunia seni. Dengan kata lain, kehadiran
mereka dalam memasuki dunia seni dianggap sebagai penyimpangan.
Keprihatinan atas nasib perempuan lazim dijelaskan akibat
dominannya ideologi patriarki dalam komunitas-komunitas
masyarakat.15
Konsep yang dikonstruksi oleh ideologi patriarki dalam suatu
tatanan adat masyarakat juga tidak terlepas pada ranah
keseniannya. Kesenian yang mengandung unsur-unsur yang identik
dengan dominasi maskulinitas inilah yang pada akhirnya
menciptakan istilah seni maskulin. Seni maskulin kemungkinan
tidak terjadi pada Opera Batak bila dilihat dari keseluruhan bentuk
pertunjukannya. Namun secara musikal, maskulinitas ada pada
musik yang dimainkan dalam Opera Batak.
Setiap instrumen musik yang ada pada masyarakat Batak Toba
pada hakikatnya didisain khusus untuk anatomi tubuh laki-laki.16
Dalam panggung kesenian Opera Batak, perempuan difungsikan
hanya sebagai pemain lakon, penyanyi, dan juga penari, bukan
15
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti. Hal 48-49. 16
Wawancara dengan Krismus Purba, Dosen Etnomusikologi (ISI) Institut Seni Indonesia
Yogyakarta. Pada tanggal 23 November 2013 di ISI Yogyakarta.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
sebagai parmusik (pemain musik) yang lazimnya adalah bagian yang
dipegang laki-laki. Musik yang digunakan dalam Opera Batak adalah
ansambel Gondang Hasapi atau yang biasa disebut dengan Uning-
uningan. Ansambel Gondang Hasapi atau Uning-uningan adalah
seperangkat alat musik tradisional Batak yang terdiri dari: sarune
(serunai), hasapi (kecapi), sulim (seruling), garantung, odap, dan
hesek.17
Kenyataan bahwa instrumen musik tradisi Batak Toba
diciptakan khusus untuk laki-laki dapat dikategorikan sebagai seni
maskulin. Konsep patrilineal yang dianut masyarakat Batak Toba
cenderung menjadikannya lazim dimainkan oleh kaum laki-laki. Hal
tersebut dapat didukung pula oleh pernyataan bahwa secara
keseluruhan seni maskulin tidak dapat dilekatkan dalam panggung
seni pertunjukan Opera Batak. Kemudian bagaimana jika dominasi
maskulinitas dalam budaya Batak Toba yang patrilineal ditantang
oleh kemunculan seorang perempuan yang secara musikalitas
berhasil menyamakan kedudukannya dengan laki-laki. Zulkaidah
Harahap, kepiawaiannya dalam memainkan instrumen musik
tradisional Batak Toba berhasil mengantarkannya menjadi seorang
figur dalam panggung Opera Batak, sekaligus menjadi perempuan
17
Dame Ambarita. 2008. Dua Maestro Opera Batak ikut Mentas, Perankan Nai Mberu & si
Pande. Media Harian Metro Siantar, Pematang Siantar Sumatera Utara, Jumat 11 April 2008.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
Batak pertama yang mahir memainkan instrumen tradisional Batak
Toba.
Kedudukan kaum perempuan dalam setiap aktivitas
masyarakat tidak dapat dipisahkan dari norma-norma kehidupan
yang berlaku dalam lingkungannya. Begitu pula yang terjadi dalam
konteks seni pertunjukan, terlebih lagi figur yang mempunyai latar
belakang menarik, yakni seorang perempuan dengan predikat
parmusik (pemain musik). Namun perlu dipahami pentingnya
kehadiran figur perempuan dalam konteks Opera Batak disebabkan
oleh adanya pandangan masyarakat dalam menilai kehadiran
parmusik perempuan sebagai suatu yang tidak lazim (penyimpangan).
Anggapan bahwa parmusik perempuan dipandang kurang memahami
konstruksi sosial budaya Batak yang patriarkal, kemudian
mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan parmusik
perempuan pada posisi yang tidak penting. Setidaknya disadari
„penyimpangan‟ yang dilakukan oleh perempuan pada akhirnya
membangkitkan kekuatan yang secara tidak sadar menjadi modal
untuk pencapaian suatu prestasi.
Zanten membahas peran perempuan sebagai seniman dalam
kedudukannya dilingkungan masyarakat.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
“If the position of artist is marginal, because they do not conform to the normal style of living, this applies even more to the position of female artist. They have rather independent position in society and relatively more autonomy. Female artist sing and dance, rather than play musical instruments.”18
Meskipun kredibilitas seniman tradisional menurut pandangan
Zanten sering tersisihkan dalam konteks sosial, hal ini dikarenakan
keberadaan mereka tidak merasa nyaman dalam gaya hidup normal,
terlebih jika hal tersebut diposisikan kepada seniman perempuan.
Seniman perempuan lazimnya adalah menyanyi dan menari,
dibanding memainkan instrumen musik. Zanten beranggapan hal
tersebut semata-mata disebabkan adanya pelanggaran terhadap
tatanan yang berlaku dalam lingkungan sosialnya.19 Walaupun
tatanan dalam suatu lingkungan sosial bisa saja berbeda dengan
lingkungan sosial lainnya.
Sama halnya dalam seni pertunjukan Opera Batak masih
dirasakan adanya semacam „hirarki‟ yang berdasarkan atas
klasifikasi jenis pertunjukan jika dicermati lebih jauh. Hal semacam
ini dapat pula ditinjau dari fenomena yang terdapat dalam dunia
paropera Batak Toba, terlihat adanya suatu „kreativitas‟ yang
18
Wim Van Zanten. 1989. Sundanese Music In Cianjuran Style: Anthropological and
Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht-Holand: Foris Publications. Hal 42. 19
Wim Van Zanten. 1989. Sundanese Music In Cianjuran Style: Anthropological and
Musicological Aspects of Tembang Sunda. Dordrecht-Holand: Foris Publications. Hal 42.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
diperankan kaum perempuannya. Meskipun „kreativitas‟ ini bukan
prasyarat mutlak dalam Opera Batak, namun perlu digarisbawahi hal
tersebut disebabkan oleh adanya sosialisasi yang lebih terbuka.
Figur Zulkaidah Harahap inilah yang kemudian menjadi simbol
tertinggi bagi sejarah “paropera” bagi masyarakat Batak Toba.
Musikalitas Zulkaidah mampu mensejajarkan kedudukannya dengan
kaum pria dalam lingkungan seni pertunjukan Opera Batak sejak
setengah abad yang lalu. Bagi masyarakat Batak Toba, keberadaan
Zulkaidah Harahap bukan hanya merupakan bagian dari sisi
kehidupan seni pertunjukan, tetapi juga sebagai pembuktian kepada
khalayak banyak bahwa seorang perempuan mampu
menyeimbangkan fungsi dan peranannya sejajar dengan kedudukan
kaum pria. Namun ketika dikaitkan dengan pandangan gender, hal
ini menimbulkan subordinasi terhadap kaum perempuan, secara
lebih khusus terhadap kedudukan parmusik.
Persoalan ini menarik untuk dikaji baik dari sisi tekstual
maupun kontekstual. Secara tekstual, kajian gender ini bertujuan
mengkaji hal yang berkaitan dengan perjalanan hidup seorang
seniman tradisi perempuan, Maestro Zulkaidah Harahap bersama
dengan kelompok (1) Opera Batak klasik, Opera Batak Serindo (Seni
Ragam Indonesia); (2) Opera Batak transisi PLOt (Pusat Latihan
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
Opera Batak) meliputi sejarah, perkembangan dan bentuk serta
struktur pertunjukannya. Kedua Opera Batak tersebut merupakan
wadah pertama dan terakhir Zulkaidah Harahap dalam berkesenian
hingga kematiannya pada 25 Maret 2013 yang lalu. Secara
kontekstual bertujuan mengkaji dampak kehadiran seorang seniman
perempuan Zulkaidah Harahap dalam panggung seni tradisi Opera
Batak terhadap eksistensi perempuan dalam seni pertunjukan Batak
Toba. Kajian ini diharapkan mampu memberikan manfaat penting
bagi semua pihak maupun pemerhati kesetaraan gender.
1.2. Rumusan Masalah
Seni pertunjukan Batak Toba yang didominasi laki-laki
ditantang oleh eksistensi seorang perempuan, Zulkaidah Harahap.
Jika pada sebelumnya Opera Batak secara musikal lebih bersifat seni
maskulin dengan hadirnya Zulkaidah Harahap, Opera Batak kini
memiliki jalan yang berbeda. Hal tersebut tentunya memunculkan
beragam pertanyaan dan yang menjadi pertanyaan dalam penelitian
ini antara lain adalah:
1. Bagaimana eksistensi Zulkaidah Harahap sebagai perempuan
pada seni pertunjukan Opera Batak dalam masyarakat Batak
Toba?
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
2. Apa arti penting eksistensi Zulkaidah Harahap dalam seni
pertunjukan Opera Batak?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,
terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai. Selain untuk menjawab
pertanyaan yang ada pada rumusan masalah di atas, penelitian ini
dilakukan berdasarkan pemahaman bahwa Perempuan, seperti juga
laki-laki, merupakan subjek daripada objek. Perempuan tidak lebih
“Ada dalam dirinya” sendiri daripada laki-laki. Perempuan, seperti
juga laki-laki, adalah “Ada bagi dirinya” dan sudah saatnya bagi laki-
laki untuk menyadari fakta ini. Demikian halnya seni yang tidak
mengenal bias gender, karena seni adalah kebutuhan dasariah
manusia. Meskipun dalam kenyataan sosio-kultural masyarakat etnis
tertentu, kebutuhan itu tidak jarang terkonstruksi menjadi
kebutuhan yang sah bagi laki-laki dan ditabukan bagi perempuan.
Hal itulah yang menjadi tujuan penulisan ini, yakni untuk
memahami kenyataan tersebut.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
1.4. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dilakukan untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih terhadap topik dan permasalahan serta judul yang
sama dengan peneliti terdahulu. Diharapkan penelitian ini bisa
memecahkan masalah-masalah yang selama ini belum mendapat
perhatian dari peneliti terdahulu. Di sisi lain, keutamaan tinjauan
kepustakaan ini berfungsi untuk menemukan kerangka teori dan
konsepsi sebagai dasar pijakan dalam rangka memantapkan
pemecahan masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini.
Dari sejumlah kepustakaan yang dicermati tampaknya
penulisan yang berhubungan dengan kebudayaan Batak Toba telah
banyak mengundang perhatian kalangan intelektual untuk
memperbincangkannya. Perhatian ini terlihat dari beberapa hasil
penelitian dan tulisan-tulisan yang membahas kebudayaan Batak
Toba dari berbagai sudut pandang dan kepentingan tertentu. Namun,
sampai saat ini peneliti belum menemukan kajian ilmiah ataupun
penelitian tentang gender dalam kebudayaan Batak Toba.
Ada beberapa penelitian yang langsung mempersoalkan isu
perempuan dalam dunia seni pertunjukan dan merupakan bacaan
awal yang mendukung dan memberi inspirasi dalam menentukan
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
topik penelitian ini. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh
Endang Caturwati, dkk, yang berjudul “Lokalitas, Gender, dan Seni
Pertunjukan di Jawa Barat” (2003). Masalah yang diangkat dalam
buku ini adalah permasalahan tentang “Dominasi gender pada seni
pertunjukan Kliningan Bajidoran” di wilayah Subang yang ditulis oleh
Endang, hingga kajian tentang “Gender sebagai sarana simbol pada
musik tradisi sunda tercermin dalam Notasi Daminatila” yang dikaji
oleh Heri Herdini.20
Namun yang menjadi acuan dari buku ini adalah tulisan dari
Ismet Rachmat “Pesinden Titim Fatimah: dari pentas hingga
penolakan gender,” yang mengatakan bahwa kehadiran perempuan
(pesinden) dalam dunia seni pertunjukan seolah-olah telah menjadi
bagian yang identik dengan pelanggaran susila. Apabila dilihat dari
perkembangan serta kedudukan perempuan pada masa kini,
nampaknya kultus semacam tersebut telah semakin bergeser. Hal ini
dimungkinkan oleh adanya perkembangan pola pikir masyarakat
seiring dengan semakin meningkatnya kualitas pendidikan di
Indonesia. Bahkan hampir dapat disebutkan di dalam setiap jenis
20
Endang Caturwati, dkk.2003. Lokalitas, Gender, dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat.
Yogyakarta: Aksara Indonesia. Hal 87.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
pertunjukan, kehadiran figur seorang perempuan dalam konteks-
konteks tertentu mendapat sebuah peranan yang dominan.
Kajian tentang gender dalam seni pertunjukan pernah ditulis
oleh Fuji Astuti, yang sebelumnya ditulis untuk kebutuhan Tesis
Pascasarjana UGM dan kemudian terbit menjadi sebuah buku yang
berjudul “Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: suatu
Tinjauan Gender” (2004).21
Fuji Astuti membahas peranan para koreografer Minang
melalui berbagai kegiatan kreativitasnya di bidang tari telah berhasil
sedikit banyak „menggeser‟ pandangan konvensional dalam
masyarakat adat Minang mengenai peranan perempuan di area
publik. Para koreografer yang dijadikan pokok bahasan itu adalah
mereka yang sekaligus mewakili lingkaran kehidupan dikota.
Peluang-peluang yang mereka peroleh dikota juga dikontraskan
dengan kehidupan seni pertunjukan di desa, yang dalam kajian ini
hanya diamati satu desa saja, yaitu desa Sungai Janiah, kecamatan
Baso, kabupaten Agam. Dalam hubungan ini ditunjukan bahwa
kegiatan seni pertunjukan di desa ini tetap mematuhi kaidah
konvensional masyarakat Minang, yaitu bahwa perempuan tidak
21
Fuji Astuti. 2004.Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: suatu Tinjauan
Gender. Yogyakarta: Kalika.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
dianggap pantas untuk tampil dalam pentas pertunjukan kesenian.
Oleh karena itu, maka di desa tersebut pertunjukan randai yang
menjadi kebanggaan desa tetap menampilkan pemain laki-laki untuk
memerankan peran perempuan.
Buku selanjutnya adalah tulisan yang tidak berkaitan dengan
kajian gender, namun masih menjadi acuan pustaka penting bagi
penelitian ini. Buku yang ditulis oleh dosen etnomusikologi ISI
Yogyakarta ini berjudul “Opera Batak Tilhang Serindo: pengikat
budaya masyarakat Batak Toba di Jakarta” (2000).22
Krismus Purba menulis buku ini untuk melacak sejarah
keberadaan Opera Batak klasik, yakni grup Opera Batak Tilhang
Serindo (Seni Ragam Indonesia). Penelitian yang dilakukan mulai dari
September 1999 hingga September 2000 ini, bertujuan untuk
memahami faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi grup Opera
Batak Tilhang Serindo dengan menganalisis pertunjukan secara total,
baik aktivitas di atas panggung maupun diluar panggung, serta
konsep perkembangan kreativitas seniman baik secara kelompok
maupun individu. Namun yang menjadi inti permasalahan dalam
tulisan Purba adalah orang Batak Toba yang tinggal di metropolitan
22
Krismus Purba. 2002.Opera Batak Tilhang Serindo: pengikat budaya masyarakat Batak
Toba di Jakarta. Yogyakarta: Kalika.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
Jakarta yang mensuplai keseniannya. Religi tradisional yang kuat,
intensitas tantangan hidup yang tinggi, keharusan berpegang teguh
kepada adat, ulet mempertahankan kesukuan, dan menghadapi
tantangan kehidupan merupakan hal yang membentuk kepribadian
orang Batak.
Sejauh ini pengangkatan pada tesis yang hampir serupa tidak
ditemukan. Beberapa buku dan tesis yang telah dijelaskan di atas,
menjadi pijakan awal dan menjadi rujukan untuk permasalahan
penelitian. Selain itu dari beberapa buku dan tesis tersebut, tidak
ditemukan pembahasan yang serupa dengan pembahasan yang akan
dibahas oleh peneliti. Tulisan-tulisan Ismet Rachmat dan Fuji Astuti
hanya membahas tentang kehadiran dan peranan perempuan yang
dominan dalam seni pertunjukan. Sedangkan Krismus Purba hanya
membahas mengenai peranan Opera Batak Tilhang Serindo sebagai
pengikat budaya masyarakat Batak Toba di Jakarta, tetapi tidak
ditemukan kajian yang mengangkat permasalahan seperti dalam tesis
ini. Kajian gender dengan studi kasus Zulkaidah Harahap ini
merupakan penelitian yang orisinal dan belum pernah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
1.5. Landasan Teori
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, penelitian ini
bertujuan menganalisis kenyataan kehadiran perempuan dalam
panggung Opera Batak. Untuk kebutuhan penjelasan gejala tersebut,
akan dipaparkan teori sosial yang dipandang relevan untuk
membantu menjelaskannya. Teori yang dipakai dalam tulisan ini
adalah teori eksistensialisme perempuan yang di paparkan oleh
Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis Perancis dalam
tulisan kontroversialnya The Second Sex.
Sebelum menelaah tulisan Beauvoir tentang ke-Liyanan
perempuan, ada baiknya jika terlebih dahulu melihat hubungan
antara The Second Sex karya Beauvoir dengan Being and Nothingness
karya Jean Paul Sartre. Ada pandangan yang mengatakan bahwa The
Second Sex sekedar penerapan Being and Nothingness pada situasi
khusus perempuan. The Second Sex tetap merupakan teks
eksistensialis, hanya saja Beauvoir banyak menggunakan istilah yang
digunakan Sartre, dengan memodifikasi maknanya agar dapat sesuai
dengan agenda feminisnya.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
The Human being as“L’etre pour-soi”and“L’etre en-soi”
“L’etre-pour-soi” Being-for-it self
Ada Untuk Dirinya sendiri &
“L’etre-en-soi” Being-in-it self
Ada Dalam Dirinya sendiri
Jean Paul Sartre dalam bukunya Being and Nothingness,
membagi Diri ke dalam dua bagian, yaitu Ada untuk dirinya sendiri
(pour-soi) dan Ada dalam dirinya sendiri (en-soi). Ada dalam dirinya
sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki
oleh manusia dengan binatang, sayuran, dan mineral. Ada untuk
dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan
berkesadaran, yang hanya dimiliki oleh manusia.23 Perbedaan antara
Ada dalam dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna
dalam melakukan analisis tentang manusia, terutama jika kita
mengasosiasikan Ada dalam dirinya sendiri dengan tubuh yang
konstan dan objektif. Karena tubuh dapat dilihat, disentuh,
didengarkan, dicium, dan dirasakan, tubuh adalah objek yang
dilihat. Sebaliknya, yang melakukan tindak melihat, menyentuh,
23
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second
Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal
255.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
mendengar, mencium, dan merasakan-bukanlah objek yang semata-
mata dapat dilihat, melainkan menurut Sartre, masih mempunyai
sejenis ke-Adaan atau ke-Aku-an; Ada untuk dirinya sendiri. Apa
yang memisahkan ke-Aku-an seseorang-kesadaran seseorang atau
pikiran seseorang-dari tubuhnya, secara paradoks, adalah tidak ada
sama sekali (nothing) secara literal-no thing tidak satu hal pun, atau
ketiadaan (nothing-ness).24
Menurut Sartre, setiap Ada untuk dirinya sendiri membangun
dirinya sendiri sebagai subjek, sebagai Diri, tepat dengan mendefenisi
Ada Liyan sebagai objek, sebagai Liyan, tindak kesadaran
membentuk sistem yang secara fundamental merupakan relasi sosial
yang konfliktual. Dengan demikian, proses defenisi diri adalah proses
untuk menguasai Ada Liyan. Dimana dalam menempatkan dirinya
sebagai Diri, setiap Diri menggambarkan dan mengatur peran bagai
Liyan. Lebih dari itu, setiap subjek membangun dirinya sendiri
sebagai transenden dan bebas serta memandang Liyan sebagai
imanen dan diperbudak. “Sifat manusia”, suatu esensi/inti yang
dimiliki bersama-sama oleh semua manusia, yang menentukan
bagaimana seorang manusia seharusnya, sesungguhnya tidak ada.
24
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second
Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal
255.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
Kondisi manusia lah yang menempatkan semua manusia sama dan
tanpa defenisi. Eksistensi, menurut Sartre, mendahului esensi.
Manusia ada hanya sebagai organisme hidup yang amorfus (tidak
mempunyai bentuk yang ajeg) hingga kita menciptakan identias yang
terpisah dan esensial bagi diri kita sendiri melalui tindakan yang
sadar-melalui pilihan dan keputusan, menegaskan kembali tujuan
dan proyek lama, serta menegakkan tujuan dan proyek yang baru.25
Semua Ada yang berkesadaran atau, Ada untuk dirinya sendiri,
tidak memiliki esensi atau defenisi. Mereka harus mendefenisi diri
melalui proses pengambilan keputusan dan pengambilan tindakan
yang saling berhubungan. Sebaliknya, semua Ada yang tidak
berkesadaran, atau Ada dalam dirinya sendiri, bersifat masif
(sebagaimana adanya).26 Pour-soi; subjek yang berkesadaran, tidak
dapat menjadi en-soi; subjek yang tidak berkesadaran.27 Menurut
Sartre, hubungan antar manusia adalah variasi dari dua bentuk
dasar tema konflik; konflik antara kesadaran yang saling bersaing,
25
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second
Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal
256. 26
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second
Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal
257. 27
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second
Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal
258.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
yaitu Diri dan Liyan.28 Tidak ada kemungkinan untuk keselarasan,
atau kesatuan, antara Diri dan Liyan, karena kebutuhan Diri untuk
memperoleh kebebasan yang total terlalu mutlak untuk dibagi.29
Penolakan untuk mengakui subjektifitas Liyan, menyebabkan subjek
memahami Liyan semata-mata sebagai objek. Meskipun demikian,
apa yang terjadi bahkan tanpa pengakuan kita, tetap terjadi: ada
Liyan yang dalam pandangannya kita adalah objek.30 Demikian
pemikiran Sartre yang membagi Diri (manusia) menjadi dua bagian:
Pour-soi; dan en-soi; kemudian dianalogikan dan dikembangkan
Beauvoir hingga menjadi bentuk pemikiran yang fenomenal, yang
dikenal dengan istilah Liyan (The Second Sex).
Perempuan sebagai Liyan (Woman asOther)
Dengan mengadopsi bahasa ontologis dan bahasa etis
eksistensialisme, Simone de Beauvoir dalam buku fenomenalnya The
Second Sex, mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang
28Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second
Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal
259. 29
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second
Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal
260. 30
Jean Paul Sartre.2004. “Being and Nothingness Sartre: Sumbangan terhadap The Second
Sex”dalam Rosemarie Putnam Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal
261.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman
bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena
itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi
perempuan terhadap dirinya. Jelas, opresi gender bukanlah sekadar
bentuk opresi. Perempuan selalu tersubordinasi laki-laki. Perempuan
telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki adalah
esensial dan perempuan adalah tidak esensial.31
Simone de Beauvoir dalam “Eksistensialisme untuk
Perempuan,” menelaah bagaimana perempuan menjadi tidak hanya
berbeda dan terpisah dari laki-laki, tetapi juga inferior terhadap laki-
laki. Analisisnya tentang bagaimana perempuan menjadi Liyan,
ditelaah melalui fakta biologi, psikoanalisis Freud, para ekonom
Marxis serta para filsuf eksistensialis. Beauvoir mencatat bahwa
biologi menawarkan pada masyarakat fakta yang kemudian oleh
masyarakat diinterpretasi sesuai dengan kebutuhannya sendiri.
Biologi, menjelaskan peran reproduksi jantan dan betina yang
berbeda. Jantan dan betina adalah dua tipe individual yang
dibedakan dalam satu spesies karena fungsi reproduksinya; mereka
hanya dapat didefenisikan secara korelatif. Produksi dua tipe gamet,
31
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal262.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
atau sel kelamin, sperma dan telur, belum tentu mengimplikasikan
eksistensi dua jenis kelamin yang berbeda; karena nyatanya, telur
dan sperma, dua tipe sel reproduksi yang sangat berbeda, keduanya
bisa diproduksi dari individu yang sama.
Meskipun “fakta” reproduksi ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa seringkali jauh lebih sulit bagi perempuan untuk tetap
menjadi Diri, terutama jika ia telah mempunyai anak. Menurut
Beauvoir, fakta itu tidak dapat membuktikan mitos sosial dengan
cara apapun bahwa kapasitas perempuan untuk menjadi Diri, secara
intrinsik, memang lebih rendah daripada laki-laki.32 Pembudakan
betina bagi spesies dan keterbatasan dari kekuatannya yang beragam
adalah fakta yang sangat penting; tubuh perempuan adalah salah
satu elemen esensial dalam situasinya di dunia. Tetapi tubuh itu saja
tidak cukup mendefinisi perempuan; tidak ada kenyataan hidup yang
sesungguhnya kecuali yang dimanifestasikan oleh individu, yang
sadar melalui kegiatan dan apa yang ada di dalam masyarakat.
Biologi tidak cukup untuk menjawab pertanyaan yang menghadang
kita mengapa perempuan adalah Liyan. Dengan kata lain, karena
perempuan adalah Ada untuk dirinya sebagaimana ia juga adalah
32
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal263.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
Ada dalam dirinya, kita harus mencari penyebab dan alasan di luar
hal-hal yang diarahkan oleh biologi dan fisiologi perempuan, untuk
menjelaskan mengapa masyarakat memilih perempuan untuk
menjalankan peran Liyan.33
Beauvoir kecewa mencari jawaban di luar biologi dan psikologi,
terutama psikoanalisis, untuk mendapat penjelasan yang lebih baik
mengenai ke-Liyanan perempuan. Menurutnya, Freudian tradisional
pada dasarnya menceritakan hal yang sama tentang perempuan:
Bahwa perempuan adalah makhluk yang harus mengatasi
kecendrungan nafsu seksualnya dan kecendrungan “feminin”-nya,
yang pertama diekspresikan melalui erotisme klitoral, yang kedua
melalui erotisme vaginal. Beauvoir menolak anggapan ini dan
menganggapnya sebagai simplistik. Menurutnya kemanusiaan tidak
dapat dijelaskan hanya sebagai produk dari implus-implus seksual
yang direpresi atau disublimasi. Kemanusiaan adalah lebih rumit
dari ini, dan karena itu hubungan perempuan dan laki-laki juga tidak
dapat disederhanakan dalam kerangka seksual semata.34
33
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal264. 34
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal265.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
Beauvoir menolak pendapat freudian yang mengatakan adalah
anatomi perempuan yang menempatkan perempuan sebagai warga
negara kelas dua. Freudian menganggap perempuan “mencemburui”
mereka yang memiliki penis, menurut Beauvoir, bukan karena
mereka ingin mempunyai penis itu sebagai penis, tetapi karena
mereka menginginkan keuntungan material dan psikologis yang
dihadiahkan kepada pemilik penis. Status sosial laki-laki tidak dapat
ditelusuri dari karakteristik tertentu dari anatomi laki-laki; tetapi,
“prestise penis” harus dijelaskan “melalui kekuasaan sang ayah.”
Perempuan adalah Liyan bukan karena mereka tidak memiliki penis,
melainkan karena mereka tidak memiliki kekuasaan.35
Pada akhirnya, Beauvoir menganggap penjelasan Marxis
mengenai alasan mengapa perempuan adalah Liyan hampir sama
tidak memuaskannya seperti penjelasan Freud. Friedrich Engels
berpendapat bahwa kapitalisme mengatur sistem pembagian kerja
spesifik, dimana laki-laki menguasai produksi; laki-laki menjadi
“borjuis,” sedangkan perempuan melakukan pekerjaan domestik
(rumah tangga); perempuan menjadi “proletar”. Menurutnya, hanya
jika kapitalisme dijatuhkan dan alat produksi dimiliki secara merata
35
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal265.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
oleh perempuan dan laki-laki, barulah jenis pekerjaan akan dibagi
bukan berdasarkan gender seseorang, tetapi berdasarkan
kemampuan, kesiapan, dan kebersediaan seseorang untuk
melakukan pekerjaan tertentu.36 Namun, Beauvoir tidak setuju
dengan Engels dan bersikeras bahwa perubahan kapitalisme ke
sosialisme tidak akan secara otomatis mengubah relasi perempuan
dan laki-laki. Perempuan sangat mungkin akan tetap menjadi Liyan
dalam masyarakat sosialis dan kapitalis, karena akar opresi terhadap
perempuan lebih dari sekedar faktor ekonomi; tetapi yang lebih
utama adalah faktor ontologis. Karena itu, Beauvoir menekankan
bahwa Pembebasan perempuan membutuhkan, paling tidak,
penghapusan lembaga yang melanggengkan hasrat laki-laki untuk
menguasai perempuan.37
Beauvoir mencari penjelasan yang lebih mengenai alasan
mengapa laki-laki menamai laki-laki sang Diri, dan menamai
perempuan sang Liyan. Beauvoir memperkirakan bahwa mungkin
ada lagi penjelasan, bahkan penjelasan yang lebih mendasar
mengapa laki-laki menempatkan perempuan dalam ruang Liyan.
36
Friedrich Engles. 2004. “Takdir dan Sejarah Perempuan” dalam Rosemarie Putnam Tong,
Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis.
Penerjemah: Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 265. 37
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal266.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
Menurutnya, begitu laki-laki menyatakan dirinya “sebagai Subjek
dan Ada yang bebas, gagasan Liyan pun muncul” terutama, gagasan
perempuan sebagai Liyan. Perempuan menjadi segala sesuatu yang
bukan laki-laki, suatu kekuatan asing yang lebih baik dikontrol laki-
laki karena kalau tidak, perempuan akan menjadi Diri dan laki-laki
menjadi Liyan.38
Simone de Beauvoir dalam bukunya “The Second Sex”
menyatakan “Perempuan adalah rahim” (Tota mulier in utero).
Perempuan dianggap sebagai rahim karena perempuan memiliki
ovarium, uterus. Kekhususan ini justru memenjarakannya dalam
subyektivitasnya, melingkupinya di dalam batasan-batasan sifat
alamiahnya.39 Perempuan sama sekali bukan laki-laki. Bagi filsuf
rasionalisme dan nominalisme, perempuan tak lebih dari sekadar
makhluk manusia yang didesain dengan sewenang-wenang oleh kata
perempuan. Memang perempuan, seperti halnya laki-laki, adalah
juga manusia; namun, pernyataan itu sungguh abstrak.
38
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal266. 39
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 6.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
Kenyataannya, setiap manusia selalu tunggal, individu yang
berlainan.40
Istilah maskulin dan feminin digunakan secara simetris
semata-mata sebagai masalah bentuk. Namun, dalam aktualitasnya
hubungan antara kedua jenis kelamin ini tidak persis seperti dua
arus listrik, karena laki-laki mewakili baik arus positif dan arus
netral, sebagaimana diindikasikan dengan pemakaian kata laki-laki
(man-peny) untuk menunjukkan umat manusia secara umum;41
sementara perempuan hanya mewakili hal-hal yang berkonotasi
negatif, yang didefenisikan oleh kriteria-kriteria terbatas, tanpa
adanya hubungan timbal balik.
Kemanusiaan adalah laki-laki dan laki-laki mendefinisikan
perempuan bukan sebagai dirinya, namun sebagai kerabatnya;
perempuan dianggap bukan sebagai makhluk yang mandiri.42 Laki-
laki mampu berpikir tentang dirinya sendiri tanpa perempuan.
Sementara perempuan tidak dapat memikirkan dirinya tanpa laki-
laki; oleh karenanya ia disebut “seks,” yang secara esensial berarti
datang kepada laki-laki sebagai makhluk seksual. Baginya, ia adalah
40
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 7. 41
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 8. 42
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 9.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
seks, seks absolut. Didefenisikan dan dibedakan dengan referensi
laki-laki dan bukan laki-laki dengan referensi perempuan; ia
merupakan makhluk yang tercipta secara kebetulan, makhluk tidak
esensial yang berlawanan dengan makhluk esensial. Laki-laki adalah
sang Subjek, sang Absolut dan perempuan adalah Sosok yang Lain.
Sosok yang Lain sama primordialnya dengan kesadaran itu
sendiri dalam masyarakat paling primitif dan dalam mitologi paling
kuno, orang mendapatkan ekspresi dualitas, Diri sendiri dan Sosok
yang Lain.43 Dualitas ini tidak ada secara murni dalam pembagian
jenis kelamin; ia tidak lepas dari fakta-fakta empiris. Tidak ada satu
kelompok pun yang menganggap dirinya sebagai Yang Satu tanpa
sekaligus menganggap Sosok yang Lain menentangnya.44 Subjek
tersebut hanya bisa muncul jika ditentang. Ia menjadikan dirinya
sebagai sesuatu yang esensial, penentang yang lain, yang tidak
esensial, sang Objek. Akan tetapi, kesadaran yang lain, ego yang lain,
justru melakukan hal yang resiprokal. Kenyataannya, perang,
perdagangan, perjanjian, dan persaingan antar suku, bangsa, dan
kelas cenderung menolak konsep Sosok yang Lain dalam pengertian
absolutnya dan mewujudkan relativitasnya. Betapapun juga,
43
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 10. 44
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 11.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
individu-individu dan beberapa kelompok dipaksa merealisasikan
unsur timbal balik hubungan mereka.45 Namun, bagaimana jika
unsur timbal balik ini tidak diakui kedua jenis kelamin ini, apabila
ternyata salah satu dari term-term yang kontras ditempatkan sebagai
satu-satunya yang paling esensial, menolak adanya relativitas
terhadap korelasinya dan mendefenisikan yang terakhir sebagai yang
lain.
Mengapa perempuan tidak mempermasalahkan kekuasaan
laki-laki? Tak ada subjek yang dengan sukarela mau menjadi objek,
sesuatu yang tidak esensial; ini bukan karena Sosok yang Lain,
dalam mendefenisikan dirinya sebagai yang lain memantapkan Yang
Satu.46 Mereka memang benar-benar perempuan secara anatomi dan
fisik. Alasan mengapa Sosok yang Lain menjadi sesuatu yang absolut
sebagian karena ia kurang memiliki kesatuan atau sifat kebetulan
dari fakta sejarah.47 Mereka hanya memperoleh apa yang diberikan
kaum laki-laki; mereka tidak mengambil apa-apa, mereka hanya
menerima. Hal ini disebabkan karena perempuan kurang memiliki
tujuan konkret untuk mengorganisasikan diri mereka menjadi
45
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 12. 46
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 13. 47
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 14.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
sebuah unit yang dapat berhadap-hadapan dengan unit korelatif.
Perempuan juga tidak mempunyai solidaritas dalam hal pekerjaan
dan kepentingan seperti yang dimiliki kaum proletar. Kaum proletar
bisa saja menganjurkan pemusnahan kelas penguasa, tetapi kaum
perempuan bahkan tidak mampu bermimpi untuk membasmi kaum
laki-laki. Ikatan yang menyatukan mereka dengan para penindasnya
tak dapat dibandingkan dengan apa pun juga.48
Pembagian jenis kelamin merupakan fakta biologis, bukan
merupakan peristiwa sejarah. Laki-laki dan perempuan bertentangan
dalam Mitsein primordial, dan perempuan tidak mampu
menghancurkannya. Dengan adanya pasangan yang merupakan
suatu kesatuan fundamental yang dipancangkan bersama,
pemisahan masyarakat atas dasar jenis kelamin menjadi mustahil.
Dari sini terlihat ciri dasar perempuan: ia adalah Sosok yang Lain
dalam sebuah totalitas di mana kedua komponen tersebut saling
membutuhkan.49
Perempuan, menurut Simone de Beauvoir, dikonstruksi oleh
laki-laki, melalui struktur dan lembaga laki-laki. Tetapi karena
perempuan, seperti juga laki-laki, tidak memiliki esensi, perempuan
48
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 15. 49
Simone de Beauvoir. 2003.The Second Sex; Fakta dan Mitos. Penerjemah: Toni B
Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea. Hal 16.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
tidak harus meneruskan untuk menjadi apa yang diinginkan laki-
laki. Perempuan dapat menjadi subjek, dapat terlibat dalam kegiatan
positif dalam masyarakat, dan dapat mendefenisi ulang atau
menghapuskan perannya sebagai istri, ibu, perempuan pekerja,
pelacur, narsis, dan perempuan mistis. Perempuan dapat
membangun dirinya sendiri karena tidak ada esensi dari femininitas
yang mencetak identitas siap pakai baginya.50 Semua yang
menghambat usaha perempuan untuk membangun dirinya sendiri di
dalam masyarakat patriarki mulai tiba pada ujungnya, menurut
Beauvoir: “Hal yang pasti adalah bahwa sampai saat ini, semua
kemungkinan yang bisa diraih perempuan telah ditekan dan hilang
dalam wacana kemanusiaan, dan karena itu, sudah waktunya bagi
perempuan untuk meraih kesempatan untuk kepentingannya sendiri
dan bagi kepentingan semuanya..”
Perempuan, seperti juga laki-laki, lebih merupakan subjek
daripada objek. Perempuan tidak lebih Ada dalam dirinya sendiri
daripada laki-laki. Perempuan, seperti juga laki-laki, adalah Ada bagi
dirinya, dan sudah tiba waktunya bagi laki-laki untuk menyadari
fakta ini. Tentu saja tidak ada cara yang mudah bagi perempuan
50
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal273.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
untuk menghindarkan diri dari apa yang diberulang-ulang
digambarkan Beauvoir sebagai imanensi perempuan: pembatasan,
defenisi, dan peran dalam masyarakat, kepatutan; dan laki-laki telah
menekankan imanensi ini kepada perempuan. Meskipun demikian,
jika perempuan ingin menghentikan kondisinya sebagai jenis kelamin
kedua, Liyan, perempuan harus dapat mengatasi kekuatan-kekuatan
dari lingkungan. Perempuan harus mempunyai pendapat dan cara
seperti juga laki-laki.51
Dalam proses menuju transendensi, menurut Beauvoir, ada
empat strategi yang dapat dilakukan oleh perempuan. Pertama,
perempuan dapat bekerja. Beauvoir menyadari bahwa bekerja dalam
kapitalisme yang patriarkal bersifat opresif dan eksploitatif, terutama
jika pekerjaan itu membuat perempuan harus melakukan pekerjaan
dalam shift ganda: di dalam dan di luar rumah. Dengan bekerja di
luar rumah bersama dengan laki-laki, perempuan dapat “merebut
kembali transendensinya”. Perempuan akan “secara konkret
menegaskan statusnya sebagai subyek, sebagai seseorang yang
secara aktif menentukan arah nasibnya.”52
51
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal274. 52
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal274.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
Kedua, perempuan dapat menjadi seorang intelektual, anggota
dari kelompok yang akan membangun perubahan bagi perempuan.
Beauvoir mengatakan bahwa kegiatan intelektual adalah kegiatan
ketika seseorang berpikir, melihat dan mendefenisi, dan bukanlah
nonaktivitas ketika seseorang menjadi obyek pemikiran, pengamatan,
dan pendefenisian. Beauvoir mendorong perempuan untuk
menghargai dirinya secara sungguh-sungguh dalam profesi yang
dipilihnya.53
Ketiga, perempuan dapat bekerja untuk mencapai transformasi
sosialis masyarakat. Seperti Sartre, Beauvoir meyakini bahwa salah
satu kunci bagi pembebasan perempuan adalah kekuatan ekonomi.
Beauvoir mengingatkan perempuan bahwa lingkungan tentu saja
akan membatasi usaha mereka untuk mendefenisi diri. Jika
perempuan ingin mewujudkan semua yang diinginkannya, ia harus
membantu menciptakan masyarakat yang akan menyediakannya
dukungan material untuk mentransendensi batasan yang
melingkarinya.54
53
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal275. 54
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal275.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
Keempat, untuk mentransendensi batasan-batasannya,
perempuan dapat menolak menginternalisasi ke-Liyanannya, yaitu
dengan mengidentifikasi dirinya melalui pandangan kelompok
dominan dalam masyarakat sehingga perempuan untuk menjadi Diri
dalam masyarakat harus membebaskan diri dari tubuhnya.
Menerima peran sebagai Liyan, menurut Beauvoir adalah menerima
status obyek. Di satu sisi, Diri autentik perempuan hidup sebagai
“Diri-Obyek” yang dilihat dari dunia laki-laki. Di sisi lain, Diri
autentik perempuan hidup sebagai “Diri yang terasingkan dan kasat
mata bagi dirinya sendiri.” Sebagai akibatnya, perempuan menjadi
Diri yang terpecah. Menolak Diri-Subyek yang kreatif berarti
kehilangan otonomi terhadap diri sendiri.55
Creativity Folk Musician: The Individual’s Role in Traditional
Change
Kemunculan dan keberadaan figur perempuan, Zulkaidah
Harahap, didefinisikan sebagai suatu „kreativitas‟ dalam panggung
seni pertunjukan Batak Toba. Satu teori yang dikemukakan oleh
55
Simone de Beauvoir. 2004. “Eksistensialisme untuk Perempuan”dalam Rosemarie Putnam
Tong, Aquarini Priyatna Prabasmoro (Penerjemah) Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Hal276.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
George Herzog dalam Philip Bohlman, “The Study of Folk Music in the
Modern World” bab ke-5 yang berbunyi:
“The creative process is not one begun and finished by a
single individual; it is spread over many individuals and
generations, and it never comes to an end as long as the
tradition is alive.”56
“Proses kreatif bukanlah dimulai dan di akhiri dari satu
individual saja; tetapi dikembangkan oleh beberapa
individual dan generasi, dan tidak akan pernah
berakhir selama tradisi itu tetap hidup.”
Dalam bab yang berjudul “Folk Musician” ini terdapat tulisan
pada sub-bab “Creativity vs Representation: The Individual’s Role in
Traditional Change,” atau “Kreativitas vs Representasi: Peran Individu
dalam Perubahan Tradisional.” Herzog menuliskan bahwa, “Banyak
diskusi kesenian tradisi menganggap bahwa tradisi itu menggelakkan
kreativitas.” Dalam kondisi ini, Herzog menyatakan bahwa kreativitas
bertentangan dengan representasi, sama halnya antara individualis
dengan pandangan komunal masyarakat. Argumen yang ditimbulkan
oleh konflik ini adalah bahwa tindakan individu cenderung akan
membawa kepada perubahan, sedangkan masyarakat komunal
56
George Herzog. 1988. “Folk Musician” dalam Philip V. Bohlman, The Study of Folk Music
in the Modern World. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Hal. 69.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
cenderung menolak perubahan.57 Menurut Herzog, beberapa seniman
dapat kreatif dengan cara yang disengaja, dengan sadar berusaha
memperkenalkan perubahan atau setidaknya kepada varian gaya
tradisional. Ada juga seniman lainnya yang kreativitasnya tidak
disengaja, meskipun hasil akhirnya terdapat inovasi dan perubahan
yang luas, karena alasan untuk kreativitas yang tidak disengaja juga
bervariasi.58
1.6. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang
memiliki kesamaan dengan studi tokoh dalam batas-batas tertentu.
Pendekatan studi kasus yang digunakan umumnya berupa studi
tokoh, terutama apabila peneliti berhadapan dengan seorang
informan yang tidak memiliki karya yang berbentuk dokumen
sehingga data yang lebih banyak diperoleh berasal dari hasil
wawancara. Studi kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan data
melalui wawancara dengan seseorang sebenarnya identik dengan
studi tokoh. Studi kasus dan studi tokoh yang dilakukan peneliti
adalah penggalian informasi tentang seseorang yang bersifat
57
George Herzog. 1988. “Folk Musician” dalam Philip V. Bohlman, The Study of Folk Music
in the Modern World. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Hal. 74. 58
George Herzog. 1988. “Folk Musician” dalam Philip V. Bohlman, The Study of Folk Music
in the Modern World. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Hal. 75.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
mendalam dan terfokus pada persoalan yang berkaitan dengan suatu
bidang keilmuan tertentu.59 Persoalan memerlukan suatu
pendekatan sebagai perspektif untuk melihat permasalahan secara
mendalam dan terfokus. Tesis ini menggunakan pendekatan
feminisme sebagai perspektif untuk melihat persoalan yang terjadi
pada perempuan dalam seni pertunjukan Opera Batak melalui studi
kasus dan studi tokoh dari seorang seniman tradisi perempuan,
yakni Zulkaidah Harahap.
Salah satu kaidah dalam penjelasan sejarah adalah penjelasan
sejarah yang terdapat dalam sejarah naratif, sejarah deskriptif, atau
sejarah yang bercerita (verhalendeverklaringsmodel). Narrative History
ini sesuai dengan apa yang ditulis Lorenz J. G. Droysen dalam
studinya De Constructie van het Verleden, sebagai verhalende
verklaringsmodel atau model penjelasan sejarah bercerita. Menurut
Droysen menulis sejarah adalah persoalan kontinuitas, doorlopend
proces, menyusun dengan cara merekonstruksi kembali masa lalu,
menghubungkan fakta yang satu dengan yang lainnya, sehingga
terbentuklah sebuah cerita.60
59
H. Arief Furchon dan H. Agus Maimun. 2005. Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai
Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 33-34 60
LorenzJ. G. Droysen. 2008. “De Constructie van het Verleden” dalam Kuntowijoyo,
Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 11, 15, 16.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
42
Sejarah naratif adalah menulis sejarah secara deskriptif, tetapi
bukan sekedar menjejerkan fakta. Ada tiga syarat cara menulis
sejarah naratif yaitu: colligation, plot, dan struktur sejarah. (1)
Colligation: menulis sejarah adalah mencari inner connection
(hubungan dalam) antar peristiwa sejarah, kemudian melakukan
proses colligation (collide=bentrokan);61 (2) Plot: menulis sejarah sama
seperti menulis novel, memerlukan plot. Ada dua pengertian plot
disini. Pertama, plot adalah cara mengorganisasikan fakta-fakta
menjadi satu keutuhan, karena tidak mungkin melakukan penulisan
sejarah secara „universal‟, tetapi harus memecahnya menjadi bagian-
bagian. Kedua, plot dalam sejarah yang mirip dengan plot dalam
sastra, yaitu interpretasi dan eksplanasi;62 (3) Struktur sejarah:
strukturadalah cara mengorganisasikan dan pentingnya struktur
sejarah adalah sebagai “rekonstruksi yang akurat” dalam penulisan
sejarah.63
Sejarah naratif (narrative history) peneliti gunakan untuk
merekonstruksi sejarah mengenai Opera Batak Serindo dari ketiga
penulis buku yang pernah menuliskan sejarah grup tersebut. Sejarah
61
W. H. Walsh.2008.“Philosophy of History: An Introduction”dalam Kuntowijoyo,
Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal. 147. 62
Paul Veyne.2008.“Writing History: Essay on Epistemology”dalam Kuntowijoyo,
Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 148. 63
Michael Stanford.2008.“Nature of Historical Knowledge”dalam Kuntowijoyo, Penjelasan
Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 148.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
43
naratif juga peneliti gunakan untuk mengkonstruksi sejarah
mengenai PLOt atau Pusat Latihan Opera Batak yang belum pernah
dituliskan dalam sebuah tulisan ilmiah sebelumnya. Selanjutnya
peneliti menggunakan „struktur sejarah‟ untuk mengkonstruksi
bagaimana struktur pertunjukan Opera Batak klasik dan Opera
Batak transisi,dilihat dari persamaan dan perbedaan kedua struktur
pertunjukan tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yakni:(1)
Rekonstruksi Historis; dan (2) wawancara. Rekonstruksi Historis
digunakan berdasarkan sejumlah tulisan mengenai Zulkaidah
Harahap dari berbagai perspektif tertentu, dalam hal ini perspektif
yang dipakai adalah perspektif feminisme. Kemudian wawancara
digunakan untuk melengkapi validitas data tulisan-tulisan mengenai
Zulkaidah Harahap pada informan yang mengetahui dengan baik
tentang kehidupan Zulkaidah Harahap.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang studi
kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
44
mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi
menurut apa adanya.64
Dalam penelitian ini, pendeskripsian secara kualitatif
dilakukan untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya
eksistensi perempuan dalam seni pertunjukan Opera Batak dalam
masyarakat Batak Toba melalui perjalanan hidup seorang seniman
perempuan Maestro Zulkaidah Harahap bersama dengan grup Opera
Batak Serindo atau Seni Ragam Indonesia (Opera Batak klasik) dan
grup PLOt atau Pusat Latihan Opera Batak (Opera Batak transisi),
meliputi sejarah dan perkembangan, bentuk serta struktur
pertunjukannya.
2. Pengumpulan data dan Metode Analisis data
Data dalam penelitian ini berupa data primer, yaitu data yang
diambil secara langsung oleh peneliti. Penelitian ini dilakukan dengan
melalui beberapa tahap, diantaranya:
a. Studi pustaka
Studi pustaka dilakukan sebagai tahap paling awal
dalam penelitian ini. Studi pustaka diperlukan untuk
64
Dr. Lexy J. Moleong.2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Hal 125-126.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
45
mendapatkan data tertulis mengenai topik penelitian, landasan
teori, dan data-data pendukung lainnya melalui buku-buku
terbitan, jurnal, artikel, dan situs internet sehingga diperoleh
data yang valid.65
Jenis-jenis data yang diperlukan antara lain: data materi
berupa dokumen, video, kepustakaan dan literatur-literatur
terkait topik penelitian terutama mengenai kajian-kajian dalam
tinjauan gender, dan tentang Zulkaidah Harahap, serta sejarah
seni pertunjukan Opera Batak yang dapat diperoleh di Tiga
dolok dan kota Pematangsiantar, kabupaten Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara.
Literatur pendukung lainnya dapat diperoleh di Medan,
yang merupakan pusat pemerintahan Sumatera Utara. Data
dapat diperoleh dari perpustakan daerah provinsi Sumatera
Utara, Perpustakan Fakultas Ilmu Budaya (USU) Universitas
Sumatera Utara, Perpustakan Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas HKBP Nomensen Medan dan Taman budaya
Sumatera Utara.
b. Observasi: pengamatan lapangan.
65
Dr. Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Hal 125-126.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
46
Observasi merupakan metode mengumpulkan data
dengan mengamati langsung di lapangan. Proses ini
berlangsung dengan pengamatan yang meliputi: melihat,
merekam, menghitung, mengukur, dan mencatat kejadian.66
Namun, Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
untuk membantu pemahaman mengenai struktur pertunjukan
Opera Batak, bukan untuk pemahaman tentang Zulkaidah
Harahap.
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
melihat langsung bagaimana seni pertunjukan Opera Batak
yang ada saat ini, Opera Batak PLOt (Pusat Latihan Opera
Batak) yang telah menggelar turnya di Pulau Sumatera Utara;
Medan, Pematangsiantar, dan Balige pada tanggal 30 Agustus-
5 Oktober 2013; dan Pulau Jawa; Bandung, Yogyakarta, Solo,
dan Jakarta pada tanggal 19-26 Oktober 2013; serta di kota
Koeln, Jerman pada tanggal 2 November 2013 yang lalu.
Namun, peneliti hanya sempat mengamati ketika PLOt
menggelar pertunjukan dan Worshop Opera Batak pada 21-22
Oktober di Padepokan Bagong Kussudiarjo, Yogyakarta. Proses
66
Dr. Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Hal 125-126.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
47
penelitian serta observasi selanjutnya akan peneliti laksanakan
pada minggu ke dua Januari-Februari 2014 di Sumatera Utara.
c. Wawancara
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan
cara menanyakan sesuatu kepada subyek penelitian atau
informan. Metode wawancara yang digunakan dalam studi
tokoh salah satunya adalah wawancara tidak berstruktur atau
wawancara mendalam. Jika sang tokoh sudah meninggal
biasanya dilakukan wawancara tidak langsung. Wawancara
tidak langsung dilakukan kepada orang lain yang mengetahui
tentang aktivitas dan produktivitas sang tokoh.67
Proses wawancara dilakukan dengan narasumber yang
dianggap mempunyai kompetensi yang relevan dengan objek
penelitian, terutama orang-orang yang terlibat langsung dengan
almarhum Zulkaidah Harahap selama berpartner bersamanya
dalam panggung Opera Batak Serindo dan Opera Batak PLOt,
antara lain:
1) Maestro Alister Nainggolan; sahabat dan partner
Zulkaidah Harahap, mantan pemain grup Opera
67
H. Arief Furchon dan H. Agus Maimun. 2005. Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai
Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 51-53.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
48
Batak Serindo, dan saat ini adalah pemain grup Opera
Batak PLOt, di Sumatera Utara.
2) Thompson Hutasoit; Direktur Artistik dan pemain di
grup Opera Batak PLOt, Sumatera Utara.
3) Mantan pemain-pemain Opera Batak klasik,
khususnya grup Opera Batak Serindo yang mengenal
baik keberadan Zulkaidah Harahap (jika masih ada,
selain Alister Nainggolan).
4) Zulkarnaen Gultom; suami dari Zukaidah Harahap
5) Krismus Purba; dosen etnomusikologi ISI Yogyakarta,
penulis buku Opera Batak Tilhang Serindo.
d. Discografi
Discografi adalah mengumpulkan dokumentasi dengan
alat media elektronik, seperti kamera, handycam, atau
rekaman audio. Hasil data yang diperoleh berupa video, foto,
hasil rekaman audio atau visual pendukung lainnya.68
Sebelum melakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan
pemilihan data. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan sekaligus
melihat validitas data yang telah terkumpul. Data yang telah
68
Dr. Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Hal 125-126.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
49
terkumpul diposisikan sesuai dengan dimensi ruang dan waktu,
kemudian dilakukan analisis data dengan pendekatan yang sesuai.
Data yang telah dianalisis kemudian dievaluasi dan dilakukan
sinkronisasi antara permasalahan dengan teori dan pendekatan yang
digunakan. Setelah melakukan sinkronisasi, tahap selanjutnya
adalah menarik kesimpulan atas data-data yang telah diintegrasikan
sehingga memperoleh hasil akhir dari masalah penelitian yang
dipilih.69
1.7. Sistematika Penulisan
Seluruh hasil penelitian tentang “Eksistensi Perempuan dalam
Opera Batak” melalui Zulkaidah Harahap di Sumatera Utara
nantinya akan dijabarkan melalui pembahasan yang ditandai dalam
beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini akan menjelaskan alasan
peneliti mengakaji permasalahan pada tesis. Bagian ini akan dibagi
kedalam Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
69
Dr. Lexy J. Moleong. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Hal 125-126.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
50
BAB II Opera Batak Klasik Serindo dan Opera Batak Transisi
PLOt. Pembahasan mengenai Opera Batak klasik dan Opera Batak
transisi dalam bab ini akan mengungkap eksistensi kelompok Opera
Batak Serindo yang merupakan klasifikasi dari Opera Batak klasik
dan kelompok Opera Batak PLOt yang merupakan klasifikasi dari
Opera Batak Transisi. Kedua kelompok Opera Batak yang menjadi
wadah pertama dan terakhir Zulkaidah Harahap berkesenian ditulis
secara Narrative History (Verhalende Verklaringsmodel) atau
penjelasan sejarah bercerita. Perkembangan dari Opera Batak klasik
hingga menjadi Opera Batak transisi tidak terjadi begitu saja, terjadi
perkembangan dan perubahan yang dapat dilihat dari struktur
pertunjukannya.
BAB III Perjalanan Hidup seorang Seniman Perempuan
Zulkaidah Harahap. Bab ini akan mengungkap perjalanan hidup
seorang seniman perempuan yang ditulis dengan pendekatan studi
tokoh (life history) yang mendalam (In-depth) dengan metode
rekonstruksi historis dan wawancara, kemudian di analisis menjadi
beberapa babak kehidupan yang peneliti soroti sebagai sisi hidup
yang fenomenal dari seorang Zulkaidah Harahap.
BAB IV Eksistensi Zulkaidah Harahap sebagai perempuan
dalam Seni Pertunjukan Opera Batak. Bab ini akan menjelaskan
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
51
tentang dampak kehadiran seorang seniman perempuan Zulkaidah
Harahap terhadap eksistensi perempuan pada seni pertunjukan
Opera Batak dalam masyarakat Batak Toba, dengan pendekatan
feminisme sebagai perspektif untuk melihat permasalahan yang ada.
BAB V Penutup. Bab terakhir ini berisikan tentang ringkasan,
dan penjelasan dari hasil penelitian ditambah dengan refleksi teoritis
dari perspektif feminis yang dipilih peneliti sebagai subyek formal
dari penelitian ini. Hasil penelitian merupakan tujuan dari
dilakukannya penelitian ini untuk menunjukkan nilai penting yang
didapat peneliti.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM OPERA BATAK: STUDI KASUS ZULKAIDAH HARAHAPJAYANTI M.SAGALAUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/