BAB I PENDAHULUAN - etnomusikologiusu.com · Sumatera Utara yang terdiri dari daerah-daerah...

78
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia terdiri dari berbagai ragam etnis (suku bangsa), bahasa, dan adat istiadat. Salah satu dari etnis di Indonesia yang turut mendukung keberadaan kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Melayu. Namun, satu hal kompleks bahwa etnis Melayu tidak hanya berada di Indonesia saja, melainkan meliputi berbagai negeri di kawasan Asia Tenggara. Etnis yang disebut Melayu, secara keseluruhan adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah Thailand bagian selatan (Pattani), Semenanjung Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia, yang mempergunakan adat- istiadat Melayu. Bahasa nasional yang dipergunakan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam sebagian besar dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Begitu juga dengan di Singapura, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa nasional kedua. Pada zaman sekarang, penutur bahasa Melayu ini sudah lebih dari 200 juta jiwa. Dengan demikian, sebenarnya kebudayaan Melayu adalah sebagai salah satu khazanah terbesar kuantitasnya di Asia Tenggara ini. Wilayah kebudayaan Melayu di Indonesia mencakup daerah Tamiang, pesisir Timur Sumatera Utara (lazim disebut dengan Sumatera Timur), Riau, Kalimantan, dan Jambi. Khusus di daerah Pesisir Timur Sumatera Utara, mereka berada di daerah Langkat, Deli Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu. Kabupaten-kabupaten yang terdapat di dalam kawasan Timur Pesisir Sumatera Utara yang disebutkan di atas terdapat kesamaan dalam adat-istiadatnya. Seperti pada

Transcript of BAB I PENDAHULUAN - etnomusikologiusu.com · Sumatera Utara yang terdiri dari daerah-daerah...

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Indonesia terdiri dari berbagai ragam etnis (suku bangsa), bahasa, dan adat

istiadat. Salah satu dari etnis di Indonesia yang turut mendukung keberadaan

kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Melayu. Namun, satu hal kompleks bahwa

etnis Melayu tidak hanya berada di Indonesia saja, melainkan meliputi berbagai negeri

di kawasan Asia Tenggara. Etnis yang disebut Melayu, secara keseluruhan adalah salah

satu suku bangsa yang mendiami wilayah Thailand bagian selatan (Pattani),

Semenanjung Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia, yang mempergunakan adat-

istiadat Melayu.

Bahasa nasional yang dipergunakan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei

Darussalam sebagian besar dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Begitu juga dengan di

Singapura, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa nasional kedua. Pada zaman

sekarang, penutur bahasa Melayu ini sudah lebih dari 200 juta jiwa. Dengan demikian,

sebenarnya kebudayaan Melayu adalah sebagai salah satu khazanah terbesar

kuantitasnya di Asia Tenggara ini.

Wilayah kebudayaan Melayu di Indonesia mencakup daerah Tamiang, pesisir

Timur Sumatera Utara (lazim disebut dengan Sumatera Timur), Riau, Kalimantan, dan

Jambi. Khusus di daerah Pesisir Timur Sumatera Utara, mereka berada di daerah

Langkat, Deli Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu.

Kabupaten-kabupaten yang terdapat di dalam kawasan Timur Pesisir Sumatera

Utara yang disebutkan di atas terdapat kesamaan dalam adat-istiadatnya. Seperti pada

upacara tepung tawar, khitanan, perkawinan, jamu laut, dan dalam kegiatan pertanian

yang dalam kesempatan ini menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini.

Dalam kegiatan pertanian, khususnya pertanian padi oleh masyarakat Melayu,

pengunaan kesenian biasanya digunakan sebagai pengiring ketika bekerja dan berfungsi

sebagai hiburan ketika bekerja. Salah satu kesenian tersebut adalah ahoi.

Ahoi merupakan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh para petani ketika mengirik

padi (melepaskan gabah padi atau bertih padi dari tangkainya dengan cara menginjak-

injaknya). Ahoi ini dinyanyikan oleh para petani ketika mengirik padi disaat musim

panen tiba. Biasanya para petani atau pengirik berkumpul bersama-sama dengan

berjumlah 12 sampai dengan 15 orang dan membentuk posisi lingkaran, kemudian

mereka berkeliling secara bersama-sama menginjak-injak tangkai padi sampai bulir-

bulir padi terlepas dari batangnya sambil bernyanyi. Sehabis menyanyikan satu kuplet

pantun secara solo, lalu di dalam refrein diikuti bersama oleh semua pengirik dengan

kata-kata “E. .Wak. .Ahoi, ahoi,. . .!

Lagu-lagu yang dinyanyikan biasanya berupa pantun berisi tentang ajakan-

ajakan atau seruan mengenai mengirik padi dan juga ucapan syukur atas hasil panen

yang melimpah. Pantun yang dinyanyikan biasanya merupakan hasil kreatifitas dari si

penyanyi dalam menciptakan pantun. Sama seperti kebanyakan lagu-lagu Melayu

lainnya, melodi Ahoi ini juga bersifat berulang-ulang dengan teks yang berbeda-beda.

Unsur teks lebih diutamakan daripada unsur melodinya atau dalam dunia

etnomusikologi disebut dengan logogenik1.

Dalam perkembangannya sekarang ini, ahoi ini sudah sangat jarang ditemui lagi

dan bahkan ada yang sudah tidak dilakukan lagi di beberapa daerah. Menurut Bapak

1 Jika lebih mengutamakan melodi daripada teksnya disebut dengan melogenik

Ruslan Nainggolan2 (Salah seorang yang pernah melakukan kegiatan mengirik yang

masih hidup), di daerah Batangkuis sendiri kegiatan mengirik padi secara tradisional ini

sudah tidak dilakukan lagi semenjak tahun 1983.

Salah satu faktor penyebab jarangnya kesenian ini adalah dikarenakan sudah

masuknya teknologi mesin dalam pengerjaan proses mengirik padi sehingga tidak

membutuhkan banyak orang dalam proses pengerjaannya. Ketika kegiatan mengirik

padi secara manual tidak dilakukan lagi, maka secara otomatis kesenian ahoi atau ini

pun terkena dampaknya dan tidak dinyanyikan lagi.

Jika hal ini dibiarkan terus menerus, beberapa waktu ke depan kesenian ahoi ini

lambat laun akan tinggal sejarah saja, tidak terkecuali juga nilai-nilai falsafah hidup

ataupun kearifan lokal kebudayaan Melayu yang terkandung di dalam kegiatan tersebut

akan ikut juga menjadi sejarah.

Berdasarkan hal yang disebutkan di atas, maka penulis tertarik untuk

mengangkat dan menulis tentang Lagu Mengirik Padi atau ahoi ini sebagai bahan

referensi dan sebagai salah satu syarat khusus kelulusan dari Departemen

Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU dengan judul : Ahoi Mengirik Padi Pada

Masyarakat Melayu Daerah Batang kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi

Sumatera Utara : Suatu Kajian Tekstual dan Musikal

1.2 Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan yang penulis bahas berdasar kepada pertanyaan:

1. Bagaimana penyajian kesenian ahoi di dalam kegiatan mengirik padi yang

dilakukan oleh petani Batang Kuis?

2 Bapak Nainggolan merupakan salah seorang pengirik padi tradisional yang lahir bermukim di daerah Batang Kuis, sehingga penulis memilih beliau sebagai salah satu informan dalam penulisan ini.

2. Bagaimana unsur musik yang terkandung di dalam kesenian ahoi pada

kegiatan mengirik padi pada masyarakat Batang Kuis Kabupaten Deli

Serdang?

3. Bagaimana makna yang terkandung di dalam teks kesenian ahoi pada

kegiatan mengirik padi pada masyarakat Batang Kuis Kabupaten Deli

Serdang?

4. Bagaimana Fungsi kesenian ahoi dalam kegiatan mengirik padi pada

masyarakat Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang?

Pokok permasalahan ini akan dijawab dengan melakukan uraian dalam bentuk

kajian penyajian ahoi yang dimaksud. Kemudian menganalisis jalannya kegiatan

tersebut, dengan menotasikan musik, mentranskripsi teks-teks nyanyian, dan kemudian

menuliskannya dalam bentuk skripsi.

1.3 Pembatasan Masalah

Beberapa aspek dan masalah yang dapat dijumpai pada tradisi nyanyian ahoi ini,

diantaranya adalah aspek musikologis, teks, konteks, fungsi dan kegunaan, dan lainnya.

Melihat banyaknya masalah di atas, maka penulis lebih menitik beratkan pada aspek

musikologis dan aspek tekstualnya.

Dalam aspek musikologisnya, penulis akan membahas tentang analisis melodi

dan transkripsi melodi ahoi, yang di dalamnya mencakup : tangga nada, jumlah nada,

formula melodi, ritem, interval, perjalanan melodi (contour), dan wilayah nada.

Dalam aspek tekstualnya, penulis akan membahas tentang struktur teks dari

nyanyian ahoi, bentuk teks, serta unsur pantun pada teks ahoi dan makna teksnya.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh penulis sebelum

melakukan penulisan. Tanpa adanya tujuan yang jelas, maka kegiatan yang dilakukan

tidak akan terarah karena tidak tahu apa yang akan dicapai dalam kegiatan tersebut.

Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji bagaimana struktur musik lagu mengirik padi yang mencakup

melodi dan ritemnya.

2. Mengkaji struktur teks yang terdapat di dalam lagu mengirik padi.

3. Sebagai suatu bahan dokumentasi musik tradisional Melayu.

4. Untuk memenuhi salah satu syarat yang diwajibkan bagi penulis untuk

menyelesaikan studi di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

1.5 Manfaat Penulisan

Selanjutnya, adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui bagaimana struktur musik dalam lagu mengirik padi atau

ahoi.

2. Untuk mengetahui struktur teks di dalam lagu mengirik padi atau ahoi.

3. Sebagai bahan referensi masyarakat akan kesenian Melayu, khususnya lagu

mengirik padi atau ahoi.

4. Membantu pemerintah dalam upaya mengembangkan pembangunan di bidang

kebudayaan, khususnya kebudayaan Melayu. Kesenian ini dapat dibangkitkan

kembali dengan cara merekonstruksinya dan di alih-fungsikan menjadi seni

pertunjukan.

1.6 Konsep

Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan

menghindari penyimpangan, maka diperlukan pengertian atau definisi terhadap

terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini akan menjadi kerangka konsep

yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik yang menjadi pokok penelitian.

Konsep adalah kesatuan pengertian tentang sesuatu hal atau persoalan yang perlu di

rumuskan (Mardalis 2003:46).

Demikian juga halnya menurut Koentjaraningrat, yang dimaksud dengan konsep

adalah gambaran abstrak. Ia bercerita sebagai berikut: Seorang individu dapat juga

menggabung dan membandingkan bagian-bagian bagian-bagian dari suatu

penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain yang sejenis,

berdasarkan asas-asas tertentu secara konsisten. Dengan proses akal itu individu

mempunyai suatu kemampuan untuk membentuk suatu penggambaran baru yang

abstrak yang sebenarnya dalam kenyataan tidak serupa dengan salah satu dari berbagai

macam penggambaran yang menjadi bahan konkret dari penggambaran baru itu.

Sehingga manusia dapat membuat penggambaran tentang tempat-tempat tertentu

dimuka bumi ini, bahkan juga di luar bumi ini, padahal ia belum pernah berpengalaman

melihat atau mempersepsikan tempat-tempat tadi. Itulah konsep (1980:118).

Judul skripsi ini adalah Ahoi Mengirik Padi Pada Masyarakat Melayu

Daerah Batang kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara : Suatu

Kajian Tekstual dan Musikal. Agar penulis dan pembaca memiliki pemahaman yang

sama terhadap kata-kata yang terkandung di dalam judul tulisan ini, maka perlu

diuraikan konsep dari kata-kata tersebut, yaitu sebagai berikut:

Ahoi memiliki pengertian sebagai seruan di antara orang Melayu. Namun dalam

penulisan ini, konsep ahoi adalah sebuah seruan yang memiliki unsur musikal yang

menjadi judul dalam lagu mengirik padi.

Lagu merupakan gubahan seni nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan

hubungan temporal (biasanya diiringi dengan alat musik) untuk menghasilkan gubahan

musik yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan (mengandung irama). Dan ragam

nada atau suara yang berirama disebut juga dengan lagu (Kamus Besar Bahasa

Indonesia Kontemporer:2002). Lagu yang saya maksud disini adalah nyanyian vokal

yang dinyanyikan para pengirik padi pada masyarakat Batang Kuis.

Mengirik berasal dari kata irik yang artinya pijak. Dengan demikian mengirik

merupakan sebuah kegiatan memijak atau menebah agar terlepas dari tangkainya

(Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Pengertian masyarakat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata

masyarakat memiliki pengertian sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat

oleh suatu kebudayaan yg mereka anggap sama. Masyarakat yang penulis maksud

dalam penulisan ini adalah sekumpulan orang yang menempati wilayah Batang Kuis

dan terikat di dalam kebudayaan Melayu.

Melayu adalah sebuah istilah antropologis dan budaya, yang memiliki berbagai

pengertian. Istilah ini bisa bermakna dalam konteks yang luas yaitu ras, bisa juga

identitas yang berkaitan dengan tata negara, atau etnik setempat, yang menghuni

kawasan tertentu seperti provinsi atau kabupaten. Makna-makna yang bisa luas atau

sempit ini umumnya tergantung dalam konteks apa istilah tersebut digunakan.

Berdasarkan pengertian ras, Melayu dapat digolongkan kepada kumpulan

Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepulauan Melayu,

Polinesia, dan Madagaskar. Namun demikian pada masa pusat imperium Melayu berada

di Malaka 1400 M dan Parameshwara menjadi Islam, maka sejak itu agama Islam

disebarkan dari Malaka ke segenap penjuru di Nusantara. Penyebaran yang terjadi

melalui proses dagang dan perkawinan ini, sekaligus membentuk budaya Melayu.

Setelah itu, terbentuk definisi jati diri Melayu yang baru yang tidak lagi terikat pada

faktor geneologis (hubungan darah) tetapi dipersatukan oleh faktor kultural yang sama,

yaitu kesamaan agama Islam, bahasa Melayu, dan adat-istiadat Melayu.

Definisi Melayu sejak abad ke 15 M dikemukakan oleh penguasa kolonial

Belanda dan Inggris serta para sarjana asing bahwa seseorang dikatakan orang Melayu

apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu sehari-hari, dan melakukan adat istiadat

Melayu dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga sampai pada awal kemerdekaan

Indonesia istilah “masuk Melayu” sama dengan ”masuk Islam” (Luckman Sinar 1994:8-

9).

Menurut seorang ahli antropologi, Vivienne Wee (dalam Takari dan Dewi,

2008), terdapat perbedaan pengertian Melayu di Singapura, Malaysia, dan Indonesia

yang secara langsung berkaitan erat dengan persepsi pemerintah masing-masing.

Pemerintah Singapura memandang Melayu sebagai sebuah ras, sebuah kategori yang

dihasilkan berdasarkan keturunan dalam sistem etnisitasnya. Bahkan di Singapura,

seseorang yang rasnya Melayu, beragama Kristen, berbahasa Inggris, secara syah

dianggap sebagai orang Melayu. Terdapat sejumlah kecil orang Melayu Kristen dan

mereka dipandang sebagai suatu Asosiasi Kristen Melayu di Singapura. Sedangkan di

Malaysia, Melayu secara konstitusional diikat identitasnya dengan agama Islam, maka

jika seorang Melayu berpindah agama menjadi Kristen misalnya, dia tidak dipandang

lagi sebagai orang Melayu. Meskipun demikian, tidak berarti semua orang Islam di

Malaysia dipandang sebagai orang Melayu. Konstitusi Malaysia menyatakan bahwa

orang Melayu itu hanyalah orang Islam yang berbahasa Melayu, menuruti adat-istiadat

Melayu, lahir di Malaysia atau lahir dari orang tua yang berkebangsaan Malaysia.

Berbeda dengan Singapura dan Malaysia, pemerintah Indonesia tidak begitu berminat

memberi pengertian secara legal terhadap Melayu. Pengertian Melayu di Indonesia

adalah satu istilah yang mengandung makna identitas regional berdasarkan pengakuan

penduduknya. Dengan demikian, menurut pandangan pemerintah Indonesia, seseorang

dapat saja menyatakan diri sebagai oring Melayu ataupun bukan orang Melayu. Dia

boleh menentukan identitas regionalnya. Karena pemerintah Indonesia tidak

mencantumkan label etnik dalam kartu tanda penduduk (KTP), sedangkan Singapura

dan Malaysia mencantumkannya.

Selain itu, istilah Melayu bisa merujuk kepada salah satu etnik setempat di

Sumatera Utara yang terdiri dari daerah-daerah kebudayaan yaitu Melayu Deli, Serdang,

Langkat, Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu. Namun demikian, tidak terdapat

perbedaan yang sangat mendasar. Menurut Fadlin, perbedaan di antara ke enam

kelompok Melayu ini hanya terdapat pada dialek atau pengucapan sesuatu, misalnya

pada pengucapan kata “kemana” bisa berbeda pada akhir hurufnya di enam wilayah

Melayu Sumatera Utara tersebut. Namun hal tersebut tidak membatasi mereka untuk

berkomunikasi, mereka dapat saling mengerti dan dapat saling berkomunikasi dengan

baik.

Dalam penelitian ini, konsep Melayu yang penulis pergunakan merujuk kepada

Melayu sebagai salah satu etnik setempat di Sumatera Utara yang terdiri dari daerah-

daerah kebudayaan yang salah satunya merupakan daerah yang menjadi daerah objek

penelitian ini, yaitu Batang Kuis.

Pengertian kaji menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti penyelidikan,

memeriksa, mempertimbangkan dan memikirkan (Poerwadarminta 1984:433). Dengan

demikian yang dimaksud dengan kajian adalah suatu penyelidikan yang dilakukan

dengan memakai metode-metode ilmiah.

Menurut Echols dan shadily (1986:380), tekstual adalah sesuatu yang berkaitan

dengan isi karangan. Kemudian Christine Ammer (1973:369) mengemukakan tentang

musik vokal, yakni sebagai berikut :

Text : In vocal music, the word.

A text need not consist of whole words, it may consist f nonsense or other

syllables (solmization, vocalization) also called lyrics.

Artinya:

Teks khususnya dalam musik vokal berarti kata-kata. Sebuah teks tidak hanya

terdiri dari kata-kata dalam susunan keseluruhannya, ia dapat saja terdiri dari

suku kata yang tidak punya arti atau suku-suku kata lain (seperti solmisasi,

vokalisasi), teks juga disebut dengan lirik

Selanjutnya Merriam (1964:187) mengemukakan tentang salah satu sumber

yang paling jelas untuk mempelajari tata tingkah laku manusia dalam salah satu

kebudayaan yang berkaitan dengan musik adalah teks nyanyian. Dengan demikian yang

dimaksud dengan tekstual adalah suatu lirik atau kata-kata yang di dalamnya

mempelajari tentang tata tingkah laku manusia yang berkaitan dengan musik.

Musikal merupakan segala hal yang mengandung unsur musik. Dan dalam

penulisan ini pengertian musikal adalah segala hal di dalam ahoi yang mengandung

unsur musik.

1.7 Teori

Teori merupakan asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar

sesuatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Teori juga merupakan pendapat-pendapat atau

aturan-aturan untuk melakukan sesuatu (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1991: 154-

155).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang sesuai dengan

topik yang akan penulis angkat. Untuk melihat ahoi tergolong ke dalam bagian

nyanyian tradisional atau nyanyian rakyat yang bagaimana, penulis menngambil teori

Brunvand. Ia membagi nyanyian rakyat menjadi tiga bagian, yakni:

1. Nyanyian rakyat yang berfungsi ( Functional folk song ) adalah nyanyian yang kata-

kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting dan cocok dengan irama di

dalam aktivitas tertentu.

2. Nyanyian rakyat yang bersifat liris ( lirycal folk song ) adalah nyanyian rakyat yang

teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru si penyanyi tanpa

menceritakan kisah yang bersambung ( koheren ) .

3. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah ( Narative folk song ) adalah nyanyian

rakyat yang menceritakan suatu kisah. ( Danandjaya, 1984:146-152)

Dari keterangan di atas, nyanyian ahoi merupakan nyanyian rakyat yang

berfungsi dalam kebudayaannya, karena berhubungan langsung dengan kebudayaan

masyarakat Melayu Batang Kuis.

Untuk menganalisis melodi di dalam lagu mengirik padi ini, penulis

menggunakan teori weighted scale oleh William P Malm. Teori weighted scale adalah

sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya.

Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm (1977:15), adalah: (1) tangga nada; (2) nada

pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada); (4) jumlah nada; (5) penggunaan interval; (6)

pola cadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur.

Dalam menganalisis teks-teks yang dinyanyikan dalam lagu mengirik padi ini,

penulis menggunakan teori William P. Malm. Ia menyatakan bahwa dalam musik vokal,

hal yang sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya.

Apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis.

Sebaliknya, bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatik.

Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukanhubungan antara

aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta sangat membantu melihat reaksi

musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi

(Malm dalam terjemahan Takari 1993:15)

Teori selanjutnya yang penulis gunakan adalah teori penggunaan dan fungsi

musik yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam (1964 : 219-222), yang menyatakan

tentanng bagaimana sebuah musik digunakan dan apa fungsi musik tersebut digunakan.

Merriam menawarkan sepuluh fungsi musik, namun ia tidak membatasinya. Mungkin

ada lebih dari sepuluh.

Dalam kaitannya dengan ahoi, penulis melihat penggunaannya adalah sebagai

pengiring kerja. Sedangkan fungsinya antara lain adalah sebagai hiburan, penghayatan

estetis, komunikasi, pengintegrasian masyarakat, kesinambungan kebudayaan,

penghayatan nilai-nilai religi (khususnya yang berkaitan dengan pertanian), dan lainnya.

Selain teori yang telah disebutkan di atas, penulis juga menggunakan pendekatan

transkripsi yang mengacu pada Nettl yang mengatakan ada dua pendekatan utama untuk

mendeskripsikan musik yaitu:

(1) Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan

(2) Kita dapat dengan cara menuliskan apa yang kita dengar tersebut ke atas kertas lalu

mendeskripsikan apa yang kita lihat.

Dalam penelitian ini, untuk dapat mentranskripsikan atau menuliskan sebuah

musik dalam bentuk simbol-simbol notasi membutuhkan pengetahuan tentang beberapa

hal, diantaranya ritem (organisasi musik di dalam waktu) dan meter (skema waktu

dalam musik). Cara-cara mentranskripsikan musik adalah sebagai berikut:

(1) Belajar memainkan alat musik yang akan ditranskripsikan.

(2) Kedua, peniruan bunyi dengan cara bernyanyi atau menirukan secara bernyanyi.

1.8 Metode Penelitian

Metode peneletian adalah suatu prosedur atau urutan kerja yang akan

dilaksanakan dalam rangka penyelidikan dari suatu bidang yang bertujuan untuk

memperoleh fakta-fakta. Metode kerja yang penulis lakukan adalah metode deskriptif

dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu rangkaian kegiatan atau proses menyaring

data/informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam bidang

kehidupan tertentu pada objeknya (Bogdan dan Taylor 1975:176).

Suatu penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara

personal dan memandang mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan

1975:4-5). Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian deskriptif

dengan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

diamati.

Di sini penulis mencari data dilapangan dengan cara wawancara secara

langsung. Sebelum melakukan wawancara penulis hanya mempersiapkan garis-garis

besar pertanyaan yang akan ditanyakan. Seluruh data yang diperoleh dari hasil

wawancara dengan setiap informan penulis kumpulkan untuk diolah dalam kerja

laboratorium.

Menurut Netll (1964:62-64) ada 2 hal yang esensial untuk melakukan aktifitas

penelitian dalam disiplin etnomusikologi yaitu : kerja lapangan (field work) dan kerja

laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pemilihan informan, pendekatan dan

pengambilan data, pengumpulan dan perekaman data. Sedangkan kerja laboratorium

meliputi pengolahan data, menganalisis dan membuat kesimpulan dari keseluruhan

data-data yang diperoleh. Namun demikian, sebelum melakukan hal ini terlebih dahulu

dilakukan studi kepustakaan yakni mendapatkan literatur atau sumber-sumber bacaan

yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

1.8.1 Pemilihan Lokasi Penelitian

Dalam hal lokasi penelitian, penulis menetapkan di Desa Bintang Meriah

Kecamatan Batang Kuis. Desa Bintang Meriah dipilih sebagai lokasi penelitian karena

di daerah ini sampai saat ini masih terdapat oknum-oknum atau para pelaku kegiatan

mengirik padi. Selain itu kegiatan rekonstruksi mengirik padi juga dilakukan oleh

penduduk desa ini pada tahun 2010 dalam acara Pesona Kebudayaan melayu 2010.

1.8.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penulis menjalani dua tahapan, yakni:

1. Studi kepustakaan,

2. Penelitian lapangan.

1.8.2.1 Studi Kepustakaan

Sebelum melakukan kerja lapangan, terlebih dahulu penulis membaca beberapa

literatur yaitu berupa makalah, skripsi, buku-buku dan majalah yang berkaitan dengan

objek yang diteliti. Kemudian mencari konsep-konsep dan teori yang dapat menjadi

sumber informasi bagi penulis untuk membahas tulisan ini. Untuk mencari teori,

konsep dan juga informasi yang berhubungan dengan tulisan ini, yang dapat dijadikan

landasan dalam penelitian, maka penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan

untuk menemukan literatur atau sumber bacaan yang dibutuhkan dalam melakukan

penelitian lapangan.

Sumber bacaan yang dilakukan dapat berasal dari peneliti luar maupun peneliti

dari Indonesia sendiri. Selain bacaan yang dapat berupa majalah atau Koran, bulletin,

buku ilmiah, jurnal, skripsi sarjana, tesis, berita dan lain-lain, penulis juga menggunakan

buku-buku yang cukup relevan dengan topik permasalahan dalam penelitian ini,

terutama yang menyangkut nyanyian ahoi.

Buku-buku tersebut antara lain ialah, Kebudayaan Melayu Sumatera Timur,

tulisan Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II. SH dan Wan Syaifuddin. M.A, The

Anthropology of Music, tulisan Alan P. Merriam, 1964; Theory and Method in

Ethnomusicology, karya Bruno Nettl, 1864; Pokok-pokok Antropologi Budaya, karya

T.O. Ihromi, 1987; serta buku-buku pendukung lainnya yang dianggap relevan dengan

topik penelitian ini.

1.8.2.2 Penelitian Lapangan

Dalam penelitian lapangan penulis mengadakan observasi langsung dan

wawancara langsung. Adapun observasi langsung ini dilakukan untuk mendapatkan

secara langsung data-data yang dibutuhkan selama berlangsungnya kegiatan yang

diamati tersebut. Selain mengamati kegiatan dari observasi langsung ini penulis dapat

langsung menentukan orang-orang yang dianggap mampu menjadi narasumber dalam

pengumpulan data-data yang dibutuhkan penulis.

Pengamatan atau observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yang kemudian

digunakan untuk menyebut jenis observasi, yaitu :

a. Observasi non-sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak

menggunakan instrumen pengamatan.

b. Observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan

pedoman sebagai instrumen pengamatan.

Dalam metode pengamatan setidaknya ada 3 (tiga) macam metode, yaitu :

1. Metode pengamatan bebas. Metode ini menggunakan teknik pengamatan

yang mengharuskan si peneliti tidak boleh terlibat dalam hubungan-

hubungan emosi pelaku yang menjadi sasaran penelitiannya. Si peneliti

dalam hal ini tidak ada hubungan apapun dengan para pelaku yang

diamatinya.

2. Metode pengamatan terkendali. Dalam pengamatan terkendali, si peneliti

juga tidak terlibat hubungan emosi dan perasaan dengan yang ditelitinya,

seperti halnya dengan pengamatan biasa. Yang membedakannya adalah pada

pengamatan terkendali para pelaku yang akan diamati diseleksi dan kondisi-

kondisi yang ada dalam ruang atau tempat kegiatan pelaku itu diamati dan

dikendalikan oleh si peneliti.

3. Metode pengamatan terlibat. Melalui metode pengamatan terlibat si peneliti

mempunyai hubungan dengan para pelaku yang diamatinya dalam

melakukan pengumpulan bahan-bahan yang diperlukan. Sasaran dalam

metode pengamatan terlibat adalah orang atau pelaku.

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode pengamatan

terlibat. Disini penulis bertindak sebagai pengamat total yang dapat masuk ke suatu

tempat dan melakukan pengamatan sebagai seorang peneliti. Melalui pengamatan ini

peneliti dalam mengumpulkan bahan keterangan yang diperlukan tidak perlu

bersembunyi tapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan

yang diamati. Dalam hal ini, peneliti harus berusaha memperoleh kepercayaan penuh

dari orang-orang yang menjadi sasaran penelitiannya.

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara, jawaban responden akan

dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder) (Suhartono, 1995:67). Teknik

wawancara yang dilakukan oleh penulis adalah seperti yang dikemukakan oleh

Koentjaraningrat (1985:138-140) mengatakan bahwa wawancara dapat dilakukan

dengan tiga cara yaitu:

1. Wawancara berfokus : pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu dan selalu

berpusat kepada satu pokok permasalahan

2. Wawancara bebas : pertanyaan yang diajukan tidak hanya berpusat pada pokok

permasalahan tetapi beraneka ragam selama masih berkaitan dengan objek

penelitian.

3. Wawancara sambil lalu : pertanyaan dalam hal ini diajukan kepada nara sumber

dalam situasi yang tidak terkonsep ataupun tanpa persiapan. Dengan kata lain

informan dijumpai secara kebetulan.

Adapun wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara bebas. Wawancara

bebas adalah wawancara yang lebih santai dan fleksibel.

Kendala yang penulis alami dalam wawancara hanya berkisar dari informan

yang merasa terganggu dengan adanya alat rekam. Namun setelah penulis memberikan

pengertian dari tujuan dari peralatan tersebut hal ini segera dapat diatasi. Sebelum

wawancara secara terfokus penulis membuat kerangka pertanyaan, hal ini sengaja

penulis lakukan agar disaat wawancara dapat melakukan wawancara sesuai dengan yang

penulis inginkan dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.

1.8.3 Pemilihan Informan

Sebelum melakukan penelitian penulis terlebih dahulu menentukan informan

pangkal3 yang dapat membantu memberikan informasi untuk keperluan penelitian.

Dalam hal ini penulis memilih Ibu Aisyah Tarmidzi menjadi informan pangkal. Dari

informan pangkal inilah penulis mendapat informasi mengenai siapa orang yang banyak

mengetahui tentang Ahoi. Setelah mendapat informasi dari informan pangkal

selanjutnya penulis menentukan informan kunci4. Dalam hal ini yang menjadi informan

kunci adalah Bapak Amirudin atau lebih dikenal dengan nama Pak Ying. Dari informan

kunci inilah penulis memperoleh data dan masukan mengenai permasalahan yang ada

dalam tulisan ini, serta dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dituakan oleh

masyarakat di Desa Bintang Meriah Kecamatan Batang Kuis.

Untuk kelengkapan data tentang permasalahan yang ada dalam tulisan ini

terutama dalam hal perubahan musik, penulis mendapat informasi dari para personil

pertunjukan lagu mengirik padi pada Pesona Budaya Melayu 2010 yaitu Bapak Ruslan

Sinulingga.

1.8.4 Metode Penelusuran Data Online

Perkembangan Internet yang sudah semakin maju pesat serta telah mampu

menjawab berbagai kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan para akademisi mau

ataupun tidak menjadikan media online seperti Internet sebagai salah satu medium atau

ranah yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai informasi, mulai dari

3 Informan pangkal adalah orang yang memberikan informasi awal tentang Gondang Naposo 4 Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi mendalam mengenai pokok permasalahan dalam tulisan ini.

informasi teoritis maupun data-data primer ataupun sekunder yang diinginkan oleh

peneliti untuk kebutuhan penelitian.

“Pada mulanya banyak kalangan akademisi meragukan validitas

data Online sehubungan apabila data atau informasi itu digunakan dalam

karya-karya ilmiah, seperti penelitian, karya tulis, skripsi, tesis maupun

disertasi. Namun ketika media Internet berkembang begitu pesat dengan

sangat akurat, maka keraguan itu menjadi sirna kecuali bagi kalangan

akademisi konvensional –ortodoks yang kurang memahami

perkembangan teknologi informasi sajalah yang masih mempersoalkan

akurasi media online sebagai sumber data maupun sumber informasi

teori. Hal ini disebabkan karena saat ini begitu banyak publikasi teoritis

yang disimpan dalam bentuk online dan disebarkan melalui jaringan

Internet. Begitu pula saat ini, berbagai institusi telah menyimpan data

mereka pada server-server yang dapat dimanfaatkan secara Intranet

maupun Internet. Dengan demikian polemic tentang keabsahan dan

validitas data-informasi online menjadi sesuatu yang kuno, tergantung

pada bagaimana peneliti dapat memilih sumber-sumber data online mana

yang sangat kredibel dan dikenal banyak kalangan”.

Dengan demikian, Burhan Bungin menjelaskan bahwa metode penelusuran data

online yang dimaksud adalah tata cara melakukan penelusuran data melalui media

online seperti Internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online

sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data informasi online yang

berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin, dan dapat

dipertanggungjawabkan secara akademis.

1.8.5 Perekaman

Ada dua jenis perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dan

perekaman video audio. Hal perekaman audio digunakan alat perekam dari handphone

merk Nokia 5630 Expressmusic, dan menggunakan software Adobe Audition 1.5.

Sedangkan untuk merekam video digunakan digunakan kamera video Casio 12.0

Megapixel.

1.8.6 Pemotretan

Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar maka penulis

menggunakan kamera digital merk Casio, 12 megapixel. Data digital ini kemudian

dipindahkan ke dalam bentuk data komputer dalam format bmp (bitmap picture

graphics), yang kemudian diinsert ke tempat-tempat analisis yang memerlukan data

visual ini.

1.8.7 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium yang penulis lakukan adalah bertujuan mengolah data yang

telah terkumpul dari pengamatan dan wawancara. Demua data diklasifikasikan sesuai

dengan jenis yang dibutuhkan oleh penulis dengan melihat relevansi dari data tersebut.

Pengklasifikasian bertujuan untuk menghindari data yang bertumpang tindih dan untuk

mempermudah penulis untuk mengolah data tersebut.

Rekaman musik juga dianalisa untuk melihat pola melodi yang terdapat dalam

nyanyian ahoi. Data-data diolah sesuai materi permasalahan. Hasil dari data yang telah

diolah tersebut penulis jadikan sebagi laporan dalam bentuk skripsi.

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU BATANG KUIS

2.1 Identifikasi

Kecamatan Batang Kuis merupakan sebuah kecamatan yang termasuk ke dalam

bagian kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Batang

Kuis terdiri atas 11 Desa, dan 72 Dusun. Mayoritas penduduk di kecamatan ini adalah

etnis Melayu.

Menurut Tengku Lukman Sinar dalam bukunya Pengantar Etnomusikologi dan

Tari Melayu mengatakan bahwa kebudayaan Melayu secara historis telah terbentuk

sejak keberadaan ras Melayu yang berasal dari daratan benua Asia berabad-abad

sebelum Masehi. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, kebudayaan Melayu

mengalami perubahan dan penyesuaian akibat adanya pengaruh besar dari tata

kehidupan manusia pada zamannya (1990 : 45). Sistem kehidupan masyarakat Melayu

Batang Kuis menyerap semua nilai-nilai Islam yang bersumber dari agama Islam. Nilai-

nilai Islam diwujudkan dalam segala aspek budaya Melayu Batang Kuis, mulai dari ide-

ide, konsep, gagasan, sampai kepada aktifitas, dan perwujudannya.

Berdasarkan administrasi pemerintahan, Kabupaten Batang Kuis mempunyai

luas wilayah 40,34 Km² dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pantai Labu.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Morawa.

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Beringin dan Pantai Labu.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan.

Berdasarkan data yang di dapat dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli

Serdang, Kecamatan Batang Kuis memiliki jumlah penduduk sebesar 59.989 Jiwa dan

10.837 Rumah Tangga yang tersebar di 11 Desa, dan 72 Dusun. Perincian jumlah rumah

tangga dan jumlah penduduk di setiap desa dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut :

NO

NAMA DESA

LUAS DESA

( KM2 )

JUMLAH

R.TANGGA

JUMLAH

PENDUDUK 1. TANJUNG SARI 7,34 2.027 12.596

2. BATANG KUIS PEKAN 0,75 1.115 5.779

3. SENA 6,40 1.593 7.079

4. BARU 4,32 1.001 6.047

5. TUMPATAN NIBUNG 3,70 1.100 6.898

6. PAYA GAMBAR 3,03 432 3.138

7. BINTANG MERIAH 0,65 899 6.073

8. MESJID 2,67 328 1.292

9. SIDODADI 9,50 850 3.822

10. SUGIHARJO 1,53 1.040 4.644

11. BAKARAN BATU 0,45 487 2.757

2.2 Mata Pencaharian Hidup

Deskripsi mengenai mata pencaharian masyarakat dibutuhkan dalam penulisan

skripsi ini. hal ini terjadi karena skripsi ini sendiri memfokuskan kajian kepada

eksistensi ahoi, yang meliputi tuga aspek utama yaitu dalam konteks kebudayaan,

struktur musik, dan teksnya. Ahoi sendiri merupakan nyanyian yang dilakukan dalam

kegiatan dari salah satu mata pencaharian masyarakat Melayu di Batang Kuis, yaitu

bertani.

Penduduk Kabupaten Batang Kuis kebanyakan hidup dari pekerjaan bertani,

pegawai negeri, pegawai perusahaan, nelayan, dan juga wiraswasta.

Daerah Kecamatan Batang Kuis pada umumnya adalah dataran rendah yang

subur. Tanahnya banyak mengandung zat-zat hara yang dibutuhkan oleh tumbuh-

tumbuhan yang khas dataran rendah seperti pohon kelapa, kelapa sawit, bakau, padi,

dan lain-lain. Oleh karena itu, daerah ini sangat cocokdijadikan lahan pertanian

(perkebunan). Oleh sebab itu, di Kecamatan Batang Kuis ini banyak dijumpai

perkebunan yang bergerak di bidang agroindustri sawit dan coklat.

Dilihat dari segi pengusahaannya, di Kecamatan Batang Kuis terdapat dua

macam perkebunan yaitu: perkebunan rakyat/swasta dan perkebunan negara. Rakyat

Batang Kuis pada umumnya berkebun kelapa sawit dan coklat.

Teknologi pertanian, pada masa kini umumnya telah mengarah kepada pertanian

modern. Pengertian modern di sini adalah sudah mempergunakan mesin-mesin meliputi

mesin traktor untuk mengolah tanah, perontok hasil pertanian, pengolahan teknologi

pasca panen seperti mesin giling padi, dan sejenisnya. Hal ini mengakibatkan

pergeseran-pergeseran kepada keberadaan ahoi di kawasan ini sebagaimana yang telah

dijelaskan pada bab sebelumnya.

2.3 Sistem Perkawinan

Dalam sistem perkawinan dalam adat-istiadat etnis Melayu di Batang Kuis,

umumnya pencarian jodoh dilakukan oleh si pemuda atau orang tuanya dengan cara

meminang anak pamannya. Namun, setelah masuknya agama Islam maka pencarian

jodoh itu bukan lagi hanya semata-mata dengan cara endogami melainkan malah sering

dengan cara exogami5.

5 Endogami adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan kebiasaan atau adat untuk mencari isteri atau suami di kalangan sendiri. Sedangkan exogami ialah istilah yang diperrgunakan untuk menyebutkan kebiasaan atau adat untuk mencari isteri di luar lingkungan keluarga

Seorang laki-laki dapat melakukan poligami6. Jika seorang perempuan kebetulan

adalah anak tunggal maka mereka akan tinggal di rumah orang tua perempuan tersebut.

Sebab-sebab terjadinya poligami antara lain tidak bertentangan dengan agama Islam,

isteri pertama mandul, tidak ada keturunan anak laki-laki untuk meneruskan keturunan,

dan adanya perselisihan dalam rumah tangga yang tidak dapat dipersatukan kembali

antara suami dan isteri.

2.3.1 Tujuan Perkawinan

Perkawinan bertujuan untuk mendapatkan kesinambungan keturunan, silsilah,

dan penerus hak waris. Hal itu semakin lebih penting lagi terutama di kalangan

bangsawan demi meneruskan kerajaan ataupun kesultanan

Perkawinan itu adalah hal yang wajar dalam kehidupan ini, apalagi di daerah

yang luas wilayahnya setiap keluarga menginginkan jumlah anak yang banyak.

Sebaliknya pada daerah-daerah yang sempit arealnya dan padat penduduknya, setiap

keluarga mengingini keluarga kecil tetapi sejahtera.

2.3.2 Jenis Perkawinan

Jenis perkawinan di kalangan Etnis Melayu Batang Kuis tidak begitu banyak.

Beberapa jenis perkawinan yang terdapat dalam kebudayaan Melayu di batang Kuis

adalah perkawinan perawan, perkawinan janda, kawin lari, kawin ngaleh (ganti tikar),

dan perkawinan lako mangani.

2.4 Sistem Kekerabatan

Etnis Melayu di darah Batang Kuis menganut sistem kekerabatan yang bilateral, artinya

seorang anak (laki-laki atau perempuan) langsung mengikuti garis keturunan ayah dan

ibunya.

6 Poligami adalah sistem perkawinan bahwa seseorang lakii-laki mempunyai lebih dari seorang isteri. (Ensiklopedia Indonesia, 1986:80)

E♂ ♀F G♂ ♀F

C ♂ ♀D

A ♂ ♀ B

Keterangan:

A = Anak Perempuan C = Ayah E dan F = Kakek dan Nenek (Pihak ayah)

B = Anak Laki-laki D = Ibu G dan H = Kakek dan Nenek (Pihak ibu)

2.5 Sistem Religi dan Kepercayaan

Masyarakat Melayui pada awalnya menganut kepercayaan animisme dan

dinamisme. Kemudian setelah masuknya kepercayaan monotheisme (ahama Islam dan

Kristen) maka sebagian besar anggota masyarakat sudah memeluk agama Islam.

2.5.1 Agama

Sesuai dengan dasar falsafah negara dan dengan ketentuan pemerintah, setiap

warga negara Indonesia bebas memilih agamanya. Religi yang dikategorikan sebagai

agama di Indonesia ialah: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindhu, dan

Konghuchu. Selain itu religi yang dikategorikan pemerintah Indonesia sebagai aliran

kepercayaan contohnya adalah: Parmalim, Sipelebegu, Kejawen, dan lain-lain.

Mayoritas pemeluk agama di Batang Kuis merupakan agama pemeluk agama

Islam, yakni kira-kira 80% dari jumlah penduduknya, sedangkan pemeluk agama

Kristen, Hindu dan Budha berkisar lebih kurang 20% dari jumlah penduduk di Batang

Kuis.

Masuknya agama Islam merupakan lebih dahulu dari agama lainnya yaitu

sewaktu pedagang-pedagang Gujarat dan Semenanjung Malaysia datang ke Pesisir

Sumatera bagian Timur. Demikian juga karena Sultan sebagai kepala pemerintahan di

Batang Kuis memeluk agama Islam turut menambah cepatnya perkembangan agama

Islam sampai ke pelosok-pelosok desa.

2.5.2 Upacara-upacara Tradisional

Dalam kebudayaan Etnis Melayu di Batang Kuis terdapat berbagai upacara

tradisional. Dalam pelaksanaannya masih terdapat perbedaan-perbedaan antara satu

tempat dengan tempat lainnya pada upacara yang sejenis. Upacara tersebut masih ada

yang dilaksanakan sampai saat ini dan konsep dasarnya telah disesuaikan dengan

ajaran-ajaran agama Islam. Hal itu berlangsung dalam masyarakat karena upacara dari

tradisi lama itu merupakan salah satu identitas kebudayaan mereka dan dapat

disesuaikan konsep dasarnya dengan ajaran agama Islam dan dipergunakan untuk

kemajuan kebudayaan mereka.

Mereka meyakini adanya hari-hari baik dan buruk untuk pelaksanaan upacara

tradisional. Upacara tersebut antara lain adalah upacara kelahiran, upacara perkawinan,

upacara kematian, upacara turun ke sawah, upacara menjamu laut, dan sebagainya.

2.5.2.1 Upacara Kelahiran

Semasa seorang hamil tujuh bulan dilakukan satu upacara yang disebut upacara

kebo. Upacara ini adalah suatu pertanda syukur kepada Allah. Pelaksanaan upacara ini

telah disesuaikan dengan agama Islam dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah

40 hari bayi lahir maka diadakanlah upacara turun ke sawah. Pelaksanaannya tergantung

pula kepada kemampuan orang tua. Jika belum mampu waktunya dapat diundurkan.

Kemudian barulah dilanjutkan dengan upacara penabalan anak dan menidurkan

anak. Upacara ini juga sudah disesuaikan dengan agama Islam. Anak yang mau

ditidurkan dengan cara diayun diiringi dengan nyanyian berupa nasyid yang isinya

adalah nasehat-nasehat dan petuah dan juga ayat-ayat Al-Qur’an oleh ibunya.

Pel5aksanaannya tetap bergantung kepada kemampuan orang tua.

2.5.2.2 Upacara Perkawinan

Setiap perkawinan yang dilaksanakan dengan baik akan terikat oleh janji tentang

jumlah biaya yang ditanggung oleh pihak laki-laki. Sesuai dengan adat yang berlaku,

biaya perkawinan tersebut disampaikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan,

yang sering disebut dengan istilah mas kawin. Selain mas kawin ini, masih ada lagi apa

yang disebut dengan : uang hangus, ikat tanda, pakaian, uang buka kipas dan

sebagainya. Besarnya mas kawin itu tergantung pada kemampuan pihak laki-laki dan

kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun pada saat ini perkawinan yang

membutuhkan biaya seperti di atas sudah semakin jarang terjadi, pelaksanaan

perkawinan sudah semakin bebas dari ikatan biaya yang mahal. Kebiasaan perkawinan

antar turuna bangsawan-bangsawan tidak begitu berlaku lagi, karena dasar utama

perkawinan sekarang ini adalah saling mencintai dan suka sama suka.

2.5.2.3 Upacara Turun ke Sawah/Ladang

Upacara ini dilaksanakan untuk menjamu sawah atau ladang sebagai ucapan

permintaan kepada Tuhan agar hasil panen padi tetap membaik, serta pertanda syukur

atas panen padi pada musim tanam sebelumnya yang berbuah baik.

Upacara dilakukan saat akan memulai musim tanam di atas lahan yang akan

ditanam. Upacara ini dimulai dengan tepung tawar, yaitu merinjis-rinjiskan beras

kunyit, dan daun-daunan di atas tanah itu.

2.5.2.4 Upacara Menjamu Laut

Biasanya upacara ini berlangsung dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat

yang bertempat tinggal di tepi laut. Upacara menjamu laut ini biasanya diadakan sekali

setahun. Bahan-bahan yang diperlukan untuk upacara ini adalah: pulut kuning, bertih,

beras, tepung tawar (yang terdiri dari sedingin, pulut-pulut, dan buah-buahan). Semua

bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang disebut talam. Bahan-

bahan inilah yang dibawa oleh pawang ke tepi laut atau kuala.

Di tempat tersebut dibangun sebuah pancang bertiang empat. Talam yang berisi

bahan-bahan tadi diletakkan di atas altar tersebut. Dengan dihadiri oleh anggota-anggota

masyarakat yang ada, dukun atau pawang mengucapkan mantera yang berbunyi sebagai

berikut :”mambang diajid datuk setinggi yang menguasai laut, lindungilah kami anak-

anak nelayan dari segala marabahaya.” Sehabis mengucapkan mantera di atas, maka

ditaburkanlah bahan-bahan upacara tadi ke laut.

Sehabis upacara tersebut maka seluruh anggota masyarakat desa pantai selama

tiga hari tidak boleh turun ke laut. Sehabis upacara menaburkan bahan-bahan tadi maka

sang dukun atau seorang pawang segera melepas sampan kecil ke lepas pantai lalu

sampan tersebut bergerak ditiup angin. Bila acara menjamu laut itu berlangsung di lepas

pantai, maka altar tempat talam tadi didirikan di atas sampan. Sampan itu diiringi oleh

sampan lainnya yang berisi anggota masyarakat dibawah pimpinan datuk atau pawang.

Pada puncak acara, datuk penghulu segera menaburkan bahan-bahan upacara tadi ke

laut.

Kemudian mereka kembali ke darat dengan penuh harapan bahwa kehidupan

mereka akan bertambah baik dari tahun-tahun sebelumnya.

BAB III

AHOI DALAM KONTEKS KEBUDAYAAN ETNIS MELAYU DI

BATANGKUIS

3.1 Pengertian Ahoi

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ahoi adalah sebuah

nyanyian tradisional Melayu Batangkuis yang dinyanyikan secara solo lalu pada setiap

akhir dari sampiran dan isi pantun yang dinyanyikan disambut dengan teriakan “e..wak

ahoiii..ahoii...,”oleh pengirik lain dan secara harafiah artinya menghimbau ataupun

mengajak kaum kerabat untuk bekerja-sama seperti yang dijelaskan oleh Bapak

Amirudin kepada penulis pada saat wawancara yang dilakukan pada tanggal 17 Juni

2012 bahwa ahoi artinya adalah berdendang atau bernyanyi untuk menghimbau

masyarakat untuk mengirik padi bersama-sama.

3.2 Sejarah Ahoi

Hingga saat ini penulis belum menemukan referensi yang menjelaskan kapan

aktifitas mengirik dan menyanyikan ahoi pertama kali dilaksanakan masyarakat Melayu

di Batang Kuis. Namun, menurut Amirudin terakhir kali dia melihat aktifitas ini sekitar

tahun 70-an. Ada beberapa penyebab hilangnya aktifitas ini menurut Amirudin.

Salah satu faktor penyebab tidak dilakukannya lagi kegiatan mengirik adalah

dikarenakan pada tahun itu pemerintah mengambil alih lahan pertanian masyarakat,

termasuk juga lahan pertanian padi untuk dialih fungsikan menjadi perkebunan coklat

dan sawit.

Selain itu faktor utama yang menyebabkan masyarakat meninggalkan tradisi

mengirik padi ini adalah masuknya teknologi kedalam sistem pertanian masyarakat pada

umumnya dan tidak terkecuali pada masyarakat petani di Batang Kuis. Mengirik padi

yang dahulunya dilakukan beramai-ramai, sudah dapat dilakukan oleh satu orang saja

dengan bantuan mesin.

3.3 Penyajian Ahoi Dalam Kegiatan Mengirik Padi

Selanjutnya dalam penyajian ahoi tersebut tidak terlepas hubunganya dengan

kondisi musim panen padi di daerah Batang Kuis yang berlangsung sekitar bulan

Oktober. Musim panen terjadi dalam sekali setahun dikarenakan jenis padi yang

ditanam pada waktu itu adalah jenis padi yang berbuah setelah berumur 6 bulan.

Proses pemanenan padi ini dilakukan oleh para penduduk secara bergotong-

royong. Merupakan sebuah kebiasaan setiap panen berlangsung masyarakat di desa

melakukannya secara bergotong royong dari satu lahan pertanian kelahan pertanian

yang lain.

Hasil panen biasanya disimpan selama lebih kurang 10 hari di dalam lumbung

tempat penyimpanan padi. Hal ini dilakukan agar batang padi lebih kering, sehingga

pada saat proses mengirik padi lebih mudah dipisahkan dari batangnya.

Padi yang sudah dianggap kering dipindahkan ketempat mengirik. Disinilah

pemilik padi mengundang para pemuda pemudi desa untuk bersama-sama bergotong

royong mengirik padi.

Selain para pemuda yang mengirik padi biasanya di ikuti juga oleh para gadis-

gadis yang tinggal di sekitar desa. Para gadis-gadis desa tersebut biasanya turut dalam

aktifitas ini dengan mengemping padi yang masih muda. Padi yang dijadikan emping

biasanya padi yang masih memiliki kandungan air yang tinggi sehingga lebih mudah di

tumbuk didalam lesung untuk digongseng sehingga menjadi emping.

Disinilah nyanyian ahoi dilakukan, pada saat pemuda desa telah berkumpul.

Biasanya warga yang datang berjumlah 15 sampai 20 warga yang terdiri dari pemuda,

pemudi, dan orang tua. Selain mengirik menurut pak ying kegiatan ini juga

dimanfaatkan oleh para pemuda dan pemudi sebagai ajang mencari jodoh.

Kemudian tamu warga yang datang tersebut memberikan salam kepada tuan

rumah dengan cara menyampaikan pantun, misalnya;

Ku tutuh dali baru kutebang

Ambil sebatang hamparan kain

Assalamualaikum kami yang datang

Apa gerangan hajat disini

Pantun di atas melambangkan bahwa para undangan yang datang menyampaikan

salam kepada tuan rumah dan mengatakan bahwa mereka sudah datang dan apa yang

hendak dilakukan di rumah si tuan rumah. Pantun tersebut pun dibalas tuan rumah,

misalnya:

Bebirik batang bebirik

Batang bayam sandaran dulang

Mengirik kita mengirik

Kokok ayam kita pe pulang

Pantun tersebut menyatakan bahwa si tuan rumah mengharapkan bantuan para

tamu untuk membantunya dalam mengirik padi hasil panen sawahnya. Dan setelah padi

selesai di irik mereka pun bisa kembali ke rumah masing-masing.

Setelah maksud dan tujuan kegiatan tersebut disampaikan, maka kegiatan

mengirik padi pun dimulai. Tangkai padi yang telah kering tersebut pun dihamparkan di

atas tikar yang luasnya kira kira 25 meter persegi. Jumlah padi yang diirik dalam sekali

proses pengirikan adalah 4 sampai 5 karung goni tangkai padi.

Kegiatan mengirik ini dimulai pada pukul 7 malam dan berakhir pada waktu

subuh tiba. Biasanya yang melakukan kegiatan mengirik adalah kaum pemuda,

sedangkan kaum pemudi membantu mengemping padi untuk dijadikan makanan para

pengirik. Sementara itu, para orang tua mengawasi anak-anak mereka sambil membuat

lemang di luar.

Sambil mengirik, mulailah salah seorang dari pengirik menyanyikan sebuah

pantun yang isinya ajakan kepada para pengirik lainnya agar bersemangat. Contoh

pantun yang dinyanyikan adalah sebagai berikut:

Bukan batang sembarang batang

Batang padi di atas pedang

Sesudah yang bernyanyi selesai menyanyikan sampiran pantunnya, pengirik

lainnya pun menyambut dengan meneriakkan “E wak ahoi ahoi.” Kemudian si pengirik

pun mengulang bait kedua dari sampiran tersebut dan disambut lagi oleh pengirik lain

dengan sambutan “E wak ahoi ahoi”.

Kemudian dilanjutkan lagi oleh si pengirik yang pertama bernyanyi dengan

menyanyikan isi dari pantunnya tersebut yang terdiri dari dua bait, yaitu:

Maek kabar tuan yang datang

Mari mengirik sambil berdendang

Nyanyian tersebut pun disambut oleh pengirik lain dengan meneriakkan “E wak

ahoi ahoi.” Kemudian bait kedua dari isi pantun pun dinyanyikan kembali oleh si

pengirik yang pertama bernyanyi dan disambut lagi dengan teriakan “ E wak ahoi ahoi.”

Tidak jauh dari tempat para pemuda mengirik padi, para wanita yang datang

menyiapkan penganan buat para pemuda yang mengirik dengan cara membuat emping.

Padi yang masih muda mereka gongseng dan setelah itu ditumbuk di dalam lumpang.

Hasil tumbukan itu mereka campur dengan gula dan santan. Sambil mengemping

mereka juga bernyanyi dan membalas pantun dari si pengirikm yang pertama. Contoh

pantun dari seorang pemudi tersebut adalah sebagai berikut.

Kalau tidak karena bulan

Mana bintang meninggi hari

E...wak....ahooii.....ahooii.

Jika tidak karena tuan

Mana kami datang kemari

E...wak....ahooii.....ahooii.

Lalu disambut lagi oleh seorang pemuda yang disebelah si pengirik yang pertama

bernyanyi dengan pantun pula.

Kalau ada kaca di pintu

Kaca lama kami pecahkan

E wak ahoii.. ahoii..

Kalau ada kata begitu

Badan dan nyawa kami serahkan

E wak ahoii.. ahoi..

Para wanita yang mendengarnya pun tersenyum tersipu-sipu dan salah seorang

dari mereka pun menyambutnya dengan menyanyikan pantun pula

Tiga petak tiga penjuru

Tiga ekor kumbang diapit

E...wak....ahooii.....ahooii.

Pantun tidak padamu tertuju

Teruntuk jaka berlesung pipit

E...wak....ahooii.....ahooii.

Mendengar hal itu maka meledaklah gelak dan tawa pemuda-pemudi diselingi

oleh kekeh orang tua-tua.

Setelah semua bulir padi terlepas dari tangkainya, padi pun di bersihkan dari

sisa-sisa tangkainya dan dimasukkan ke dalam karung. Ketika padi dimasukkan, para

pengirik pun duduk beristirahat sambil menyanyikan teks sebagai berikut.

Allah halim sewa Allah

Maimunah silotan dona

Warabikum tuan saridi

Habibina saidina ali

Setelah itu nyanyian dilanjutkan dengan menyanyikan teks berupa pantun yang

di setiap akhir baitnya disambut dengan teriakan ‘iak iak” sebagai berikut.

Kalau ada sumur di ladang (iak iak)

Bolehlah kita menumpang mandi (iak iak)

Kalau ada umur yang panjang (iak iak)

Bolehlah kita berjumpa lagi (iak iak)

Setelah padi selesai dimasukkan ke dalam karung, tangkai padi yang belum

diirik pun diletakkan lagi ke atas tikar dan kegiatan mengirik pun dimulai kembali

sambil menyanyikan ahoi dengan bentuk yang sama seperti sebelumnya. Demikianlah

proses penyajian nyanyian ahoi ketika mengirik padi pada masyarakat Melayu Batang

Kuis.

3.4 Alat-Alat Yang Dipakai Untuk Mengirik Padi

Peralatan yang dipakai dalam kegiatan mengirik padi menurut informan yang

penulis wawancarai adalah sebagai berikut:

1. Tikar

Tikar digunakan sebagai wadah untuk meletakkan tangkai padi agar padi mudah

untuk dikumpulkan.

2. Tampi

Tampi dipergunakan untuk memindahkan bulir-bulir padi yang sudah terlepas

dari tangkainya ke dalam karung atau goni

3. Lesung

Lesung merupakan alat yang digunakan para pemudi yang mengemping untuk

menumbuk padi yang akan dijadikan emping.

3.5 Penyanyi Ahoi

Ahoi dapat dinyanyikan oleh siapa saja yang dapat menyanyikannya, baik pria

atau wanita, tua maupun yang muda, kaya atau miskin, sudah menikah ataupun belum.

Namun secara umum yang menyanyikan ahoi adalah para kaum lelaki.

Kenyataannya pada masa sekarang ini, tidak semua bahkan sangat sedikit sekali

masyarakat Melayu Batangkuis yang dapat menyanyikan atau mengenal ahoi ini. Salah

satu Hal yang tak bisa di pungkiri yang mengakibatkan jarangnya diadakan kegiatan

mengirik padi secara bersama-sama lagi adalah dikarenakan sudah berkembangnya

tekhnologi mesin di bidang pertanian.

3.6 Cara Belajar Ahoi

Menurut Aisyah (informan), seorang pengirik tidak belajar langsung dari guru,

melainkan berdasarkan pengalamannya mendengar atau menyaksikan selama ikut serta

dalam kegiatan mengirik padi tersebut.

Menurut Pak Sinulingga (informan), cara belajar ahoi juga tidak memakai guru

dan tidak ada penilaian terhadap orang yang menyanyikan apakah bagus atau tidak,

karena lirik yang dinyanyikan biasanya memiliki tema-tema tersendiri yang dapat

berubah–ubah tergantung kebutuhan pengirik.

3.7 Cara Menyanyikan Ahoi

Menurut Aisyah (informan), cara pengirik menyanyikan ahoi yaitu:

1. Sambil berdiri dan memijak tangkai padi, para pemuda menyanyikan ahoi.

2. Sambil menumbuk padi menjadi emping, para pemudi menyanyikan ahoi.

3.8 Tujuan Penyajian Ahoi

Dalam penyajiannya, ahoi ditujukan kepada dua hal, pertama untuk manusia dan

kedua untuk alam. Secara kronologis, ahoi yang ditujukan kepada manusia dimulai

dengan mengajak kerabat-kerabat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan mengirik

padi sehingga kegiatan tersebut menjadi lebih cepat selesai. Selain itu ahoi juga mampu

berfungsi sebagai media komunikasi verbal antara para pemuda dan pemudi yang

terlibat di dalam kegiatan itu. Ahoi yang ditujukan kepada alam merujuk kepada ucapan

syukur kepada alam karena memberikan hasil panen yang melimpah.

3.9 Penggunaan dan Fungsi Ahoi

Penggunaan musik menurut Alan P Merriam terbagi ke dalam lima bagian dan

fungsinya ke dalam 10 bagian. Dalam penggunaannya, ahoi digunakan pada saat

kegiatan mengirik padi dilakukan, yang tujuannya sebagai ungkapan syukur kepada

Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang melimpah.

Berbicara tentang fungsi, Alan P. Merriam mengemukakan sepuluh fungsi

musik, antara lain: (1) Fungsi pengungkapan emosional; (2) Fungsi penghayatan

estetika; (3) Fungsi hiburan; (4) Fungsi komunikasi; (5) Fungsi perlambangan; (6)

Fungsi reaksi jasmani; (7) Fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial; (8)

Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan; (9) Fungsi kesinambungan

kebudayaan; dan (10) Fungsi pengintegrasian (pemersatu) masyarakat. (1964:219-226)

Selanjutnya, dari sepuluh fungsi musik yang ditawarkan Alan P. Merriam di atas

akan dijadikan sebagai dasar untuk melihat bagaimana fungsi ahoi dalam konteks

mengirik padi pada Melayu Batang Kuis.

3.9.1 Fungsi Pengungkapan Emosional

Musik atau nyanyian mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk

mengungkapkan rasa emosi para penyanyi dan dapat menimbulkan emosi para

pendengarnya. Ahoi ini dinyanyikan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang

melimpah dan dengan melimpahnya hasil panen mereka dapat berbagi kebahagiaan

dengan cara mengirik dan menikmati hasil secara bersama-sama. Hal tersebut dapat

dilihat dari salah satu teks yang dinyanyikan dari Ahoi, yaitu:

Ambil upih tampungkan hujan,

Daun ubi di ikat ikat,

E....wak ahoooiii.....ahoooiii...

Terima kasih kepada Tuhan

Tahun ini bisa berzakat

E....wak ahoooiii.....ahoooiii...

Lirik di atas menceritakan bahwa mereka merasa berbahagia dan bersyukur

kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah, sehingga mereka dapat mengirik

bersama-sama dan hasilnya berupa emping dapat dinikmati secara bersama-sama.

Demikianlah salah satu bait teks ahoi sebagai ungkapan rasa emosional.

3.9.2 Fungsi Hiburan

Hiburan merupakan hal yang dibutuhkan ketika kegiatan mengirik padi

dilakukan agar pengirik tidak merasa terlalu capai, sehingga kegiatan mengirik dapat

berlangsung secara efektif. Dalam hal ini mereka mengisahkan apa maksud dan tujuan

mereka mengirik padi tersebut dan mengutarakan hal-hal apa saja yang mereka

harapkan di kemudian hari. Kesemuanya ini mereka utarakan untuk menghibur diri

mereka agar rasa letih yang mereka rasakan dapat berkurang. Hal itu dapat kita lihat

dari contoh lirik di bawah ini:

Padi tua buat kan bertih,

Buatkan emping si padi muda

E....wak ahoooiii.....ahoooiii...

Biar badan terasa letih ,

Tapi hati kita gembira.

E....wak ahoooiii.....ahoooiii...

Lirik yang dituliskan di atas dapat diartikan para pengirik dan pengemping

bernyanyi untuk menyenangkan hati walaupun badan letih. Karena bagi mereka, jika

hati gembira maka segala pekerjaan yang dikerjakan pasti akan terasa menjadi lebih

ringan.

3.9.3 Fungsi Komunikasi

Komunikasi merupakan suatu hubungan timbal-balik antara satu pihak dengan

pihak yang lain. Tanpa komunikasi segala sesuatu tidak akan dapat bberjalan seperti apa

yang diinginkan. Demikian juga halnya dengan Ahoi. Ahoi merupakan salah satu sarana

komunikasi di antara Masyarakat Melayu Batang Kuis pada waktu itu. Komunikasi

tersebut salah satunya adalah komunikasi di antara pemuda dan pemudi selama kegiatan

mengirik berlangsung. Berikut ini adalah salah satu contoh teks yang isinya sebagai

komunikasi antara pemuda dan wanita dalam kegiatan mengirik padi:

Kalau tuan mempunyai sapi

Enak dimasak denganlah rebung

E....wak ahoooiii.....ahoooiii...

Hati-hati menghembus api

Jangan sampai terbakar hidung

E....wak ahoooiii.....ahoooiii...

Teks di atas mengandung makna bahwa si pemuda menyatakan agar para wanita

yang sedang mengemping hati-hati ketika menghembus api untuk menggongseng padi,

agar jangan sampai hidung mereka jangan menjadi hitam karena terkena asap.

Pernyataan tersebut diterima oleh para wanita yang sedang mengemping dan mereka

membalasnya dengan nyanyian pula. Berikut adalah teks yang dinyanyikan para wanita

sebagai balasannya:

Kami memang punya rebung

Tidak dimasak dengan daging sapi

E...wak....ahooii.....ahooii.

Biarlah terbakar hidung

Asal sampai hajat di hati

E...wak....ahooii.....ahooii.

Teks nyanyian di atas mengandung makna bahwa para wanita menyatakan

bahwa mereka tidak memiliki masalah jika hidung mereka sampai menghitam karena

terkena asap pembakaran. Mereka sudah sangat senang apabila maksud atau tujuan

mereka kepada para pengirik tersampaikan.

Dari dua teks nyanyian di atas kita dapat melihat bahwa ada hubungan

komunikasi di antara pengirik dan pengemping.

3.9.4 Fungsi Yang Berkaitan Dengan Norma-Norma Sosial

Musik atau nyanyian juga mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk

mensosialisasikan norma-norma atau falsafah hidup suatu kebudayaan. Ahoi merupakan

salah satu nyanyian yang memiliki fungsi sebagai sarana untuk mensosialisasikan

norma-norma sosial yang terkandung di dalam kebudayaan Melayu. Hal tersebut dapat

dilihat dari contoh teks nyanyian berikut:

Asal atap darilah rumbia

Lalu semat denganlah bemban

E…wak….ahooii……ahooii

Akal tetap jadikan panglima

Biarkan nafsu jadi tawanan

E…wak….ahooii……ahooii.

Teks nyanyian Ahoi di atas menyiratkan makna bahwa sebagai seorang Melayu

yang baik hendaklah kita menjadikan akal sehat atau logika sebagai acuan dalam

melaksanakan segala sesuatunya, dan hendaklah kita untuk mengesampingkan

keinginan nafsu kita. Karena, jika manusia bertindak hanya berdasarkan nafsu belaka

maka hanya kehancuranlah yang akan di dapat.

3.9.5 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan

Fungsi Ahoi dalam proses kesinambungan kebudayaan dalam hal ini menjurus

kepada bagaimana nyanyian Ahoi memiliki peran sebagai salah satu sarana untuk

menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu. Hal ini dapat dilihat dari teks nyanyian di

bawah ini:

Pohon duku kayu nya keras

Pohon langsat buah nya lima,

E…wak….ahooii……ahooii

Jika melayu sudahlah bungkas

Maka terangkat lah marwah nya bangsa

E…wak….ahooii……ahooii.

Contoh 2

Marilah gelar menggelar tikar

Untuk tempat mengirik padi

E...wak....ahooii.....ahooii.

Biarlah zaman terus berputar

Takkan Melayu hilang di bumi

E...wak....ahooii.....ahooii.

Teks pertama menceritakan tentang keberadaan kebudayaan Melayu ditengah

kehidupan masyarakat. Ada keinginan untuk mengangkat kebudayaan Melayu menjadi

sebuah kebudayaan yang memiliki marwah yang tinggi. Hal itu dapat berarti pula ada

keinginan untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Melayu sehingga menjadi lebih

baik untuk ke depannya.

Pada contoh teks kedua terdapat pesan dan keinginan agar Kebudayaan Melayu

dapat bertahan ditengah perkembangan kebudayaan dunia.

3.9.6 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat

Ahoi sebagai salah satu sarana pemersatu bangsa dapat terlihat dari kebersamaan

masyarakat Desa Batang Hari, Kecamatan Batang Kuis dalam mengirik padi. Kegiatan

mengirik padi tidak akan bisa dikerjakan oleh satu orang saja, melainkan harus

dilakukan secara beramai-ramai dengan sistem gotong-royong. Dengan mengirik sambil

bernyanyi, para pengirik menjadi lebih bersemangat dan menimbulkan kekompakan

dalam mengirik sehingga pekerjaan dapat selesai pada waktu yang diharapkan. Dalam

hal ini tidak ada jarak atau gab di antara sesama anggota masyarakat.

BAB IV

STRUKTUR MUSIK NYANYIAN AHOI

4.1 Kajian Musikal

Kajian musikal ini bertujuan untuk keperluan analisis, sehingga dalam

proses ini penulis dapat mempelajari aspek-aspek musikal yang terdapat dalam

nyanyian ahoi dalam kegiatan mengirik padi pada masyarakat Batang Kuis. Sebelum

melakukan pentranskripsian, penulis terlebih dahulu mendengarkan rekaman ahoi

secara berulang-ulang dengan seksama serta mencoba menirukannya, menentukan

bagian strukturnya dan menulis notasi dengan suatu pola tertentu, menetapkan nada-

nada yang dihasilkan dan menuliskannya secara teliti, setelah pentranskripsian selesai

penulis melakukan pengecekan kembali.

Penulisan notasi dalam transkripsi ini penulis berorientasi kepada sistem

penulisan not balok (notasi balok barat) karena sampai saat belum ditemukan notasi

yang tepat dalam menuliskan musik Melayu. Di sisi lain notasi barat sudah lazim

dikenal di kalangan dunia musik maka secara umum telah dikenal masyarakat luas.

Alasan lain penulis memakai sistem notasi ini karena dalam penganalisaan penulis

memperoleh kemudahan seperti penulisan gerak melodi (kontur) baik naik ataupun

menurun penulis dapat melihat dengan jelas, begitu juga penganalisaan yang lain seperti

nada-nada modal, interval, dan frasa.

Untuk mengetahui musikal musik vokal ahoi penulis menggunakan pendapat

Bruno Nettl (1964 : 68) tentang dua pendekatan untuk menganalisis suatu musik yaitu,

(1) kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, (2) kita dapat

menulis diatas kertas apa yang kita dengar lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat.

Sebagai kebutuhan analisis pentranskripsian, penulis menggunakan pendekatan

deskriptif, yaitu bagaiamana suatu pertunjukan tersebut disajikan dari apa yang kita

dengar yang kemudian kita transkripsikan. Untuk mentranskripsikan musik vokal ahoi

penulis mengacu penulisan dalam bentuk notasi barat kedalam garis paranada.

Penggunaan notasi ini akan mempermudah dalam kerja analisis, sehingga dapat

menentukan tinggi rendahnya nada-nada yang dihasilkan. Garis paranada tersebut

mempunyai lima garis dan empat spasi serta satu garis pembantu dengan cleff (kunci)

yang disebut kunci G, seperti berikut ini :

\

Sebagai bentuk tanda istrahat yang tertera dibawah ini menandakan tidak ada

nada/melodi yang terdengar. Lamanya tanda istrahat sama nilainya dengan nada musik

barat.

Berikut keterangan tanda istrahat yang dihasilkan :

Berdasarkan acuan-acuan yang terdapat di atas, maka hasil transkripsi nyanyian

ahoi ketika mengirik padi adalah sebagai berikut.

4.2 Struktur Melodi Lagu

Untuk mengkaji sebuah musik vokal, ada beberapa teori yang dapat kita

terapkan. Dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori analisis melodi oleh William P

Malm yang meliputi 8 unsur. Adapun kedelapan unsur melodi yang akan dianalisis

meliputi:

(a) tangga nada

(b) nada pusat atau nada dasar;

(c) wilayah nada,

(d) jumlah nada-nada,

(e) interval yang digunakan;

(f) pola-pola kadensa;

(g) formula melodi ,dan

(h) kontur

Dengan berdasar kepada teori weighted scale, yang diaplikasikan untuk

menganalisis nyanyian ahoi ketika mengirik padi ini, maka hasil yang diperoleh adalah

sebagai berikut.

4.2.1 Tangga Nada

Setelah melakukan transkripsi terhadap nyanyian ahoi ketika mengirik padi,

maka langkah selanjutnya adalah menganalisis struktur melodinya. Pendekatan yang

penulis lakukan untuk menentukan tangga nada dan nada dasar dilakukan dengan

pendekatan weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh Bruno Nettl (1964:7).

Meskipun dapat saja pendekatan ini tidak sesuai dengan cara pandang masyarakat Desa

Bintang Meriah, Kecamatan Batang Kuis, namun teori ini dapat mendeskripsikan secara

umum keberadaan struktur melodi ahoi, terutama bagi para pemula yang

dilatarbelakangi pendidikan musik Barat yang selanjutnya lebih dapat menelusuri

konsep dan struktur sebenarnya ahoi ini.

Dari hasil transkripsi dua lagu sampel itu, maka struktur tangga nada yang

digunakan oleh lagu mengirik padi tersebut adalah sebagai berikut tersebut adalah

seperti berikut ini.

do – re – mi – fa – sol – la – si (Tangga Nada Diatonis)

4.2.2 Nada Pusat atau Nada Dasar

Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria

generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul Theory

and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh kriteria yang

ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu sebagai berikut.

(1) Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering

dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah komposisi

musik;

(2) Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada

dasar, walaupun jarang dipakai dalam keseluruhan komposisi musik tersebut.

(3) Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bahagian

tengah komposisi musik dianggap mempunyai fungsi penting dalam

menentukan tonalitas komposisi musik tersebut.

(4) Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah dianggap

penting.

(5) Interval-interval yang terdapat di antara nada , kadang-kadang dapat dipakai

sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam tangga nada pada

sebuah komposisi musik yangdigunakan bersama oktafnya.

(6) Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai patokan

tonalitas.

(7) Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang mempunyai

sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan keenam patokan di

atas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik adalah

berdasar kepada pengalaman akrab dengan gaya musik tersebut (terjemahan

Marc Perlman 1990).

Dengan mempergunakan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar ahoi ini dapat

diuraikan sebagai berikut ini.

(1) Nada yang paling sering dipakai adalah nada G

(2) Nada yang memiliki nilai ritmik paling besar dalam keseluruhan komposisi

musik ini adalah nada G

(3) Nada awal lagu ini dan paling sering digunakan adalah nada G

(4) Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah nada G

(5) Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf G

(6) Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada C

(7) Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik, kemungkinan

paling besar sebagai nada dasar lagu mengirik padi adalah nada C

Tabel 4.1

Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Ahoi

No Kriteria Nada

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

K1

K2

K31

K32

K33

K4

K5

K6

K7

G (84)

C

G (Oktaf rendah)

C

E

G (oktaf rendah)

G

C

C

Keterangan:

K1 = nada yang paling sering dipakai

K2 = nada yang memiliki nilai ritmis terbesar

K31 = nada awal yang paling sering dipakai

K32 = nada akhir yang paling sering dipakai (frase)

K33 = nada tengah yang paling sering dipakai

K4 = nada yang menduduki posisi paling rendah

K5 = nada dengan penggunaan duplikasi oktaf

K6 = nada yang mendapat tekanan ritmis

K7 = nada dasar sebagai ciri khas musik Melayu

4.2.3 Wilayah Nada

Dari tangga nada yang telah didapatkan pada melodi ahoi di atas, maka

selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi lagunya. Dengan

berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi frekuensinya dan jarak atau

interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada lagu ini

adalah nada G1 sampai ke nada G’

4.2.4 Jumlah Nada

Untuk menentukan jumlah nada-nada ada dua cara yang perlu dilakukan. Yang

pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat jumlah

durasinya secara kumulatif. Yang kedua adalah melihat kemunculannya dan sekaligus

menghitung durasi kumulatif. Karena durasi juga menentukan komposisi jumlah nada

dalam melodi. Dengan konsep tersebut, maka didapati jumlah nada dalam ahoi (lagu

mengirik padi) ini adalah berjumlah 828 nada.

4.2.5 Penggunaan Interval

Interval yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara satu nada

dengan nada lain yang dipergunakan di dalam sebuah komposisi musik. Ukuran interval

ini dapat menggunakan laras atau langkah dan sent.

Setelah memperhatikan interval-interval yang dipergunakan dalam lagu ini,

maka interval yang digunakan dalam komposisi ahoi ini adalah sebagai berikut.

Selengkapnya jumlah penggunaan interval-interval juga dapat dilihat sebagai berikut.

Interval Murni Mayor Minor Gambar

Prime Murni 350

Sekunda 200 10

Terst 5

Kwart 14

Oktaf 16

4.2.6 Pola-pola Kadensa

Pola-pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada-nada akhir pada

setiap frase melodi, namun pola kadensa ini ju/ga dapat diartikan sebagai nada-nada

akhir frase pada musik yang bentuknya harmoni empat suara atau sejenisnya. Pola-pola

kadensa dalam lagu mengirik padi adalah sebagai berikut.

Pada frase 1 di bar 3, yaitu :

Pada frase 2 di bar 7 ke 8, yaitu :

4.2.7 Formula Melodi

Formula melodi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah susunan melodi

berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga jenis

blok secara umum dari yang terbesar sampai yang terkecil, yaitu: (a) bentuk, (b) frase,

dan (c) motif melodi.

Bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar perulangan

bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi terdiri dari dua frase melodi atau

lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua

frase atau lebih, yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi

adalah bahagian melodi terkecil yang menjadi karakter perulangan seluruh komposisi

(lihat Nettl 1964).

Bentuk, frase, dan motif melodi ahoi (lagu mengirik padi) adalah seperti pada

analisis berikut ini.

a) Bentuk

Bentuk melodi nyanyian ahoi ini terbagi atas tiga bentuk, yaitu bentuk A, B dan

C. Contohnya dapat di lihat dari gambar di bawah ini.

1. Bentuk A melodi nyanyian dalam ahoi

2. Contoh bentuk B dalam nyanyian ahoi.

3. Contoh bentuk C dalam nyanyian ahoi

b) Frase

Ada 6 buah frase dalam melodi nyanyian ahoi ini, yaitu : A-B-C-D-E-F

c. Motif melody : A = a1, a2

B = b1,b2

Selain itu, menurut Malm (1964 :8) ada beberapa formula melodi yaitu (1)

repetitif yaitu bentuk nyanyian yang di ulang-ulang, (2) interactive yaitu bentuk

nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil yang kecenderungan pengulangan-

pengulangan keseluruhan nyanyian, (3) reverting yaitu bentuk nyanyian yang terjadi

pengulangan pada frase pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi,

(4) strophic yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi

melodi yang sama, (5) progresif yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan

menggunakan melodi yang berbeda. Jika dikaitkan dengan pendapat Malm tersebut,

maka bentuk nyanyian pada ahoi lebih cenderung pada bagian yang ketiga dan pertama

yaitu stropic dan repetitive

4.2.8 Kontur

Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian. Jenis-

jenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi:

(a) Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending;

(b) Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan disending;

(c) Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan pendulum

atau pendulous;

(d) Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced;

(e) Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini disebut

dengan statis (Malm 1977:17).

Melodi nyanyian ahoi memiliki berbagai jenis kontur melodi. Selengkapnya

dapat dilihat pada contoh berikut ini.

1. Pada bar 4 asending (menaik)

2. Pada bar 4 ke 5 desending (menurun)

3. Pada bar 11 ke 12 terraced (berjenjang)

4. Pada bar 11 ke 12 pendulum (melengkung)

5. Pada bar 2 statis (sejajar)

BAB V

KAJIAN TEKSTUAL AHOI

5.1 Pengantar

Lagu-lagu dalam musik Melayu lebih mengutamakan garapan teks dibandingkan

garapan melodi atau instrumentasinya. Hal ini dapat dilihat dari garapan teks yang terus

menerus berubah, sedangkan melodinya sama atau hampir sama, atau sering disebut

dengan istilah logogenik.

Struktur lagu Melayu kebanyakan dipengaruhi oleh pantun. Pantun banyak

mendapatkan peran utama dalam lagu-lagu musik Melayu. Teksnya berdasar kepada

pantun empat baris (kuatrin) yang terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris isi.

Lagu-lagu yang digarap berdasarkan pantun, teksnya selalu diubah terus menerus.

Perubahan teks tersebut menjadi karakteristik khas musik Melayu.

5.2 Tekstual Ahoi

Dalam mengkaji struktur dan isi tekstual ahoi, penulis mengacu pada teori yang

dikemukakan oleh Alan P. Merriam dalam bukunya The Antropology of Music (1964 :

187-189) mengatakan bahwa salah satu sumber dalam memahami tentang tingkah laku

manusia yang berhubungan dengan musik ialah teks dari nyanyian dimana dalam teks

tersebut dapat memberikan kesan kepada orang yang berada di saat dinyanyikan teks

nyanyian tersebut sehingga teks dalam sebuah nyanyian serta musik sangat perlu dan

saling mempengaruhi.

Untuk lebih mudah memahami tentang syair ahoi, penulis memberikan angka di

depan setiap bait syair ahoi agar dalam pembahasan berikutnya tidak membingungkan.

Berikut adalah beberapa teks nyanyian ahoi yang akan di analisis.

1. Bebirik batang bebirik

Batang bayam sandaran dulang

Mengirik kita mengirik

Kokok ayam kita pe pulang

2. Bukan batang sembarang batang

Batang padi di atas pedang

Maek kabar tuan yang datang

Mari mengirik sambil berdendang

3. Kalau tidak karena bulan

Mana bintang meninggi hari

Jika tidak karena tuan

Mana kami datang kemari

4. Kalau ada kaca di pintu

Kaca lama lah kami pecahkan

Kalau ada kata begitu lah sayang

Badan dan nyawa kami serahkan

5. Anyam pandan buatkan tikar

Untuk tempat menjemur padi

Biar zaman terus berputar

Tak Melayu hilang dibumi

6. Ambil upih tampungkan hujan,

Daun ubi di ikat ikat,

Terima kasih kepada Tuhan

Tahun ini bisa berzakat

7. Padi tua buatkan bertih

Buatkan emping si padi muda

Biar badan terasa letih

Tapi hati kita gembira

8. Kalau tuan mempunyai sapi

Enak dimasak denganlah rebung

Hati-hati menghembus api

Jangan sampai terbakar hidung

9. Kami memang punya rebung

Tidak dimasak dengan daging sapi

Biarlah terbakar hidung

Asal sampai hajat di hati

10. Asal atap darilah rumbia

Lalu semat denganlah bemban

Akal tetap jadikan panglima

Biarkan nafsu jadi tawanan

11. Pohon duku kayu nya keras

Pohon langsat buah nya lima

Jika Melayu sudahlah bungkas

Maka terangkat lah marwah bangsa

12. Kalau ada sumur di ladang

Bolehlah kami menumpang mandi

Kalau ada umur yang panjang

Boleh lah kita berjumpa lagi

63

5.3 Struktur Pantun Dalam Teks Lagu-Lagu Melayu

Untuk mengetahui bagaimana struktur pantun di dalam nyanyian ahoi, ada

baiknya dicari dulu apa pengertian pantun agar dapat dijadikan sebagai bahan acuan

dan bahan pertimbangan.

Menurut Harun Mat Piah sebagaimana yang dikutip oleh M. Takari dalam

bukunya Budaya Musik dan Tari Melayu (2008:139), pantun adalah sejenis puisi pada

umumnya, yang terdiri dari: empat baris dalam satu rangkap, empat perkataan sebaris,

mempunyai rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi dan kekecualian. Tiap-tiap

rangkap terbagi ke dalam dua unit, yaitu: pembayang (sampiran) dan maksud (isi).

Setiap rangkap melengkapi satu ide.

Pantun Melayu memiliki ciri-ciri tersendiri. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat

berdasarkan dua aspek penting, yaitu aspek eksternal dan aspek internal. Aspek

eksternal adalah dari segi struktur dan seluruh ciri-ciri visual yang dapat dilihat dan

didengar, yang termasuk dari hal-hal berikut ini.

1. Terdiri dari baris-baris yang sejajar dan berpasangan, 2,4,6,8,10, dan

seterusnya. Tetapi yang paling umum adalah empat baris (kuatrin)

2. Setiap baris mengandung empat kata dasar.

3. Adanya klimaks, yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata

atau perkataan ada dua kuplet maksud.

4. Setiap stanza(Footnote) terbagi kepada dua unit. Yaitu sampiran dan maksud

(isi); karena itu sebuah kuatrin mempunyai dua kuplet; satu kuplet sampiran

dan satu kuplet maksud.

5. Adanya skema rima yang tetap, yaitu rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit

variasi a-a-a-a. Mungkin juga terdapat rima internal, atau rima pada

64

perkataan-perkataan yang sejajar, tetapi tidak sebagai ciri penting. Selain

rima, asonansi juga merupakan aspek yang dominan dalam pembentukan

sebuah pantun.

6. Setiap stanza pantun, apakah itu dua, empat, enam, dan seterusnya,

mengandung satu pikiran yang bulat dan lengkap. Sebuah stanza dipandang

sebagai satu kesatuan.

Aspek-aspek internal adalah unsur-unsur yang hanya dapat dirasakan secara

subjektif berdasar pengalaman dan pemahaman pendengar, termasuk :

7. Penggunaan lambang-lambang yang tertentu berdasarkan tanggapan dan

dunia pandangan (world view) masyarakat.

8. Adanya hubungan makna antara pasangan pembayang dengan pasangan

maksud, baik itu hubungan konkrit atau abstrak atau melalui lambang-

lambang.

Dalam lagu-lagu Melayu Sumatera Utara, ciri-ciri pantun seperti yang

dikemukakan Harun Mat Piah terebut juga berlaku. Namun karena pantun ini diajikan

secara musikal, maka ada lagi beberapa ciri pantun lagu-lagu Melayu, yaitu:

1. Pantun biasanya disajikan berulang-ulang mengikuti ulangan-ulangan

melodi.

2. Walau prinsipnya teks lagu-lagu Melayu mempergunakan pantun, namun

tidak sembarangan pantun dapat dimasukkan.

3. Pantun dalam lagu Melayu juga dapat diulur dan dipadatkan sesuai dengan

kebutuhan melodi musik yang dimasukinya.

4. Pantun dalam lagu-lagu Melayu juga dapat disisipi oleh kata-kata seperti :

ala sayang, sayang, hai, lah, tuan, puan, abang, pak Ucok, Bang Ucok, juga

65

judul-judul lagu seperti Gunung Sayang, Dondang Sayang, Serampang Laut,

dan lain-lainnya di tempat awal, tengah, atau akhir baris.

5. Selain empat hal di atas, dalam satu baris tidak harus mutlak terdiri dari

empat kaya atau sepuluh suku kata. Tetapi bisa lebih melebar dari ketentuan

pantun secara umum. Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks tersebut

disampaikan secara melodis, bukan dalam gaya berpantun. Misalnya untuk

memperpanjang beat, dapat dipergunakan dengan teknik melismatik,

sebaliknya dengan teknik silabik dengan durasi yang relatif pendek.

Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, maka penulis akan

menganalisis struktur pantun yang menjadi teks dalam nyanyian ahoi dengan hasil

sebagai berikut.

1. Pantun dalam nyanyian ahoi terdiri dari rangkap-rangkap yang berasingan. Setiap

rangkap terdiri empat baris (kuatrin). Contoh dapat kita lihat pada pantun nomor 1:

Bebirik lah batang bebirik Baris 1

Batang bayam sandaran dulang Baris 2

Mengirik kita mengirik Baris 3

Kokok ayam kita pe pulang Baris 4

Selain pantun nomor 1, seluruh pantun-pantun lain yang dipakai dalam

nyanyian ahoi ini terdiri dari empat baris (Kuatrin)

2. Setiap baris dalam pantun yang dinyanyikan dalam nyanyian ahoi mayoritas

mengandung empat kata dasar. Contoh dapat kita lihat pada pantun nomor 3.

Kalau tidak karena bulan

Mana bintang meninggi hari

66

Jika tidak karena tuan

Mana kami datang kemari

3. Terdapat klimaks, yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau

perkataan ada dua kuplet maksud. Contohnya adalah pantun nomor 4

Kalau ada kaca di pintu

Kaca lama lah kami pecahkan

Kalau ada kata begitu lah sayang

Badan dan nyawa kami serahkan

4. Setiap stanza pantun dalam nyanyian ahoi terbagi kepada dua unit. Yaitu

pembayang (sampiran) dan maksud (isi). Contohnya adalah pantun nomor 2

berikut.

Bukan batang sembarang batang

Batang padi di atas pedang

Maek kabar tuan yang datang

Mari mengirik sambil berdendang

5. Dalam setiap pantun yang dinyanyikan dalam nyanyian ahoi ini, terdapat skema

rima yang tetap, yaitu rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi a-a-a-a.

a. Contoh pantun yang berima a-a-a-a terdapat pada pantun nomor 2 berikut.

Bukan batang sembarang batang a

Batang padi di atas pedang a

Maek kabar tuan yang datang a

Mari mengirik sambil berdendang a

Kuplet sampiran

Kuplet isi

67

b. Contoh pantun yang berima a-b-a-b adalah pantun nomor 8 berikut.

Kalau tuan mempunyai sapi a

Enak dimasak denganlah rebung b

Hati-hati menghembus api a

Jangan sampai terbakar hidung b

6. Setiap stanza pantun, apakah itu dua, empat, enam, dan seterusnya, mengandung

satu pikiran yang bulat dan lengkap. Sebuah stanza dipandang sebagai satu

kesatuan.

7. Pantun yang dinyanyikan dalam kegiatan mengirik padi ini disisipi oleh kata-kata

tambahan.

Contohnya dapat kita lihat pada pantun nomor 4, yaitu sebagai berikut

Kalau ada kaca di pintu

Kaca lama lah kami pecahkan

Kalau ada kata begitu (lah sayang)

Badan dan nyawa kami serahkan

Pantun di atas, tepatnya pada kuplet isi baris pertama jika dilihat dari

strukturnya seharusnya berhenti pada kata begitu. Namun dalam nyanyian ini, baris

tersebut ditambahi kata“lah sayang”

8. Pantun yang dinyanyikan dalam nyanyian ahoi ini tidak mutlak terdiri dari empat

kata atau sepuluh suku kata. Hal ini terjadi karena teks tersebut disampaikan secara

melodis, bukan dalam gaya berpantun.

68

5.4 Makna Teks Nyanyian Ahoi

Makna ialah sesuatu yang tersirat dibalik bentuk atau aspek isi dari suatu kata

atau teks kalimat. Teks atau syair yang terdapat pada nyanyian ahoi tersebut akan

menghasilkan makna. Ada dua jenis makna yang biasanya terkandung di dalam sebuah

nyanyian. Makna tersebut adalah makna konotatif , yaitu makna yang terkandung arti

tambahan, dan yang kedua adalah makna denotatif , yaitu makna yang tidak

mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna yang sebenarnya (Groce Kraft,

1991 : 25). Berikut akan dijelaskan apa saja makna yang tersirat di dalam beberapa teks

nyanyian ahoi yang mewakili nilai-nilai kehidupan sosial yang terdapat pada

masyarakat kebudayaan Melayu.

1. Bebirik batang bebirik

Batang bayam sandaran dulang

Mengirik kita mengirik

Kokok ayam kita pe pulang

Lirik di atas merupakan sebuah pantun yang terdiri dari dua baris sampiran dan

dua baris isi. Isi dari pantun di atas menyatakan sebuah pemberitahuan dan ajakan untuk

ikut dalam kegiatan mengirik seperti yang tertulis dalam baris ke tiga. Selain itu

diberitahukan juga tentang waktu pelaksanaannya sebagaimana yang tertulis dalam bait

ke empat, waktu yang dibutuhkan hanyalah satu malam dan ketika ayam berkokok,

padinya pasti sudah selesai diirik dan para pengirik boleh pulang.

2. Bukan batang sembarang batang

Batang kuis lah di deli serdang

Maye kabar tuan yang datang

Mari mengirik sambil berdendang

69

Makna yang terkandung di dalam pantun kedua ini sudah jelas terlihat. Dalam

pantun ini ada sapaan kepada semua pelaku kegiatan mengirik dan ajakan untuk

bernyanyi sambil mengirik.

3a. Kalau tidak karena bulan 3b. Kalau ada kaca di pintu

Mana bintang meninggi hari Kaca lama lah kami pecahkan

Jika tidak karena tuan Kalau ada kata begitu lah sayang

Mana kami datang kemari Badan dan nyawa kami serahkan

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kegiatan mengirik ini juga

dapat dijadikan sebagai ajang mencari jodoh antara si pengirik dan pengemping, karena

dalam kegiatan ini waktu untuk bertemu dan berkomunikasi cukup lama, yaitu selama

kegiatan mengirik berlangsung. Dua buah Lirik pantun yang ketiga tersebut

menyiratkan makna tentang perasaan salah seorang pengemping terhadap salah seorang

pengirik dengan menyatakan bahwa dia menaruh hati pada salah seorang pengirik dan

jika bukan karena si pengirik tersebut juga hadir disitu, dia pasti tidak akan hadir disitu.

Makna yang terkandung dalam pantun tersebut dimengerti oleh si pengirik dan

dibalas dengan pantun yang kedua. Makna yang terkandung di dalam pantun 3a di atas

adalah menyatakan bahwa si pengirik merasa terhormat dengan pernyataan si gadis

pengemping yang menyatakan bahwa dia menaruh hati pada dirinya, sehingga si

pengirik menyatakan bahwa dia siap memberikan seluruh jiwa raganya untuk

kebahagiaan si gadis.

4a. Kalau tuan mempunyai sapi

Enak dimasak denganlah rebung

Hati-hati menghembus api

Jangan sampai terbakar hidung

70

4b. Kami memang punya rebung

Tidak dimasak dengan daging sapi

Biarlah terbakar hidung

Asal sampai hajat di hati

Lirik di atas merupakan contoh dari pantun yang berbalasan antara pengirik dan

pengemping dalam ahoi. Pantun pertama menyiratkan tentang sindiran si pengirik

kepada si pengemping, agar ketika mengemping hati-hati menghembus apinya supaya

asapnya tidak terkena wajah dan membuat wajah menjadi hitam dan tidak enak

dipandang mata.

Para pengemping tidak mau kalah dan membalasnya dengan pantun b yang

maknanya menyatakan rayuan kepada para pengirik. Rayuannya adalah mereka tidak

mempermasalahkan walau hidung mereka menghitam karena terkena asap seperti yang

dikatakan si pengirik, asalkan hajat atau maksud di hati mereka tersampaikan, yaitu

hajat untuk bergaul dengan para pengirik.

Dalam pantun yang dinyanyikan dalam ahoi ini, ada juga pantun yang isi atau

maknanya adalah ucapan syukur dan terima kasih kepada Tuhan karena diberikan hasil

panen yang melimpah. Hal tersebut dapat kita lihat dalam pantun di bawah ini.

5. Ambil upih tampungkan hujan

Daun ubi di ikat ikat

Terima kasih kepada Tuhan

Tahun ini bisa berzakat

Dalam baris ke 3 dan ke 4 dinyatakan bahwa ada ucapan syukur kepada Tuhan

atas panen yang melimpah sehingga sebagian hasil panen tersebut bisa dibagi-bagi

71

kepada para tetangga dalam bentuk emping dan lemang yang dimasak ketika kegiatan

mengirik berlangsung dan juga bisa berzakat lebih.

6. Asal atap darilah rumbia

Lalu semat denganlah bemban

Akal tetap jadikan panglima

Biarkan nafsu jadi tawanan

Pantun di atas merupakan sebuah pantun nasihat. Makna yang terkandung di

dalam pantun tersebut menyatakan bahwa sebagai seorang pemuda-pemudi Melayu,

hendaklah menggunakan logika dalam menjalankan ataupun menyelesaikan segala

permasalahan hidup ini, bukan dengan menggunakan nafsu.

7.a Anyam pandan buatkan tikar

Untuk tempat menjemur padi

Biar zaman terus berputar

Tak Melayu hilang dibumi

7b. Pohon duku kayu nya keras

Pohon langsat buah nya lima

Jika Melayu sudahlah bungkas

Maka terangkat lah marwah bangsa

Pantun pertama menyiratkan tentang keberadaan kebudayaan Melayu di dalam

arus globalisasi dan modernisasi saat ini. Ada keyakinan dalam diri mereka bahwa

seperti apapun perkembangan zaman ini, kebudayaan melayu pasti dapat bertahan.

Pantun kedua menyiratkan makna bahwa kebudayaan suatu bangsa lah yang

membuat bangsa tersebut berharga. Kebudayaan Melayu merupakan salah satu

kebudayaan yang menyusun bangsa Indonesia ini, sehingga jika kebudayaan Melayu

72

melekat pada masyarakat, maka marwah bangsa Indonesia pun ikut terangkat dan

dikenal.

8a. Padi tua buatkan bertih

Buatkan emping si padi muda

Biar badan terasa letih

Tapi hati kita gembira

8b. Kalau ada sumur di ladang

Bolehlah kami menumpang mandi

Kalau ada umur yang panjang

Bolehlah kita berjumpa lagi

Pantun pertama berisi tentang ungkapan para pengirik ketika kegiatan sudah

hampir selesai yang menyatakan bahwa meskipun badan mereka letih setelah mengirik

padi, rasa letih tersebut seakan-akan hilang karena hati mereka bergembira. Hal tersebut

dikarenakan mereka melakukannya sambil bernyanyi dan berbalas pantun dengan lawan

jenis yang mereka sukai.

Sedangkan pantun yang kedua menyiratkan tentang keinginan di antara para

pengirik dan pengemping untuk dapat bertemu kembali dalam kegiatan mengirik

selanjutnya. Pada zaman itu, biasanya para pengirik dan pengemping yang hari ini

mengirik dan mengemping di salah satu rumah, mereka pula yang nantinya melakukan

hal yang sama di rumah yang lainnya. Pantun ini sebagai isyarat kepada lawan jenisnya

masing-masing agar jangan sampai tidak ikut dalam kegiatan mengirik selanjutnya, agar

dapat bertemu dan berkomunikasi kembali lewat nyanyian ahoi.

73

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya,

penulis akan membuat kesimpulan dari pembahasan dan hasil penelitian yang telah

penulis lakukan.

Ahoi merupakan sebuah nyanyian pada saat kegiatan mengirik padi dilakukan

dan disajikan para pemuda-pemudi yang diwakili oleh pengirik dari kaum laki-laki, dan

pengemping dari kaum perempuan.

Teks yang dinyanyikan dalam ahoi ini merupakan pantun-pantun yang

mengandung nilai-nilai yang berlaku di dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu

Batang Kuis. Pantun tersebut terdiri atas pantun-pantun yang sudah berlaku di dalam

kehidupan masyarakat, dan juga pantun yang diciptakan secara spontan oleh para

pengirik atau pengemping sesuai dengan kondisi atau topik yang sedang di bahas.

Pola pantun yang digunakan kebanyakan adalah pola a-b-a-b, namun ada juga

sebagian kecil yang menggunakan pola a-a-a-a.

Berdasarkan teori penggunaan dan fungsi musik oleh Alan P Merriam, ahoi

digunakan sebagai musik pengiring kerja, dan memiliki beberapa fungsi yaitu : fungsi

pengungkapan emosional, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi yang berhubungan

dengan nilai-nilai sosial, fungsi kesinambungan kebudayaan, dan fungsi pengintegrasian

masyarakat.

Dilihat dari sistem notasi musik barat, tangga nada yang terdapat dalam

nyanyian ahoi adalah tangga nada diatonis dengan nada dasar C.

74

6.2 Saran

Melayu adalah salah satu suku yang ada di nusantara yang sejak dahulu kaya

dengan aktifitas budayanya. Aktifitas tersebut dapat dilihat mulai dari siklus hidup,

mata pencaharian, dan lain-lain. Akan tetapi, dengan adanya pengaruh dari budaya

barat atau masuknya teknologi menyebabkan sebagian nilai-nilai budaya tersebut

hilang.

Dalam tulisan ini penulis mempunyai beberapa saran kepada pembaca

diluarbaik dari etnis Melayu maupun dari luar etnis Melayu, agar nyanyian ahoi ini

dapat dipertahankan eksistensinya meskipun kegiatan mengirik padi tidak dilakukan

lagi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengalih-fungsika ahoi dari sebuah

kesenian pengiring kerja menjadi sebuah seni pertunjukan. Ahoi merupakan salah satu

kekayaan budaya yang harus dijadikan milik bersama, sehingga setiap kebudayaan etnis

yang ada di seluruh Indonesia tetap hidup dan terus berkembang.

75

DAFTAR PUSTAKA

Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta : Kanisius

Bogdan, R. and Taylor, S.J. 1975. Introduction to Qualitative Research Methode. New

York : John Willey and Sons. Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. Ihromi, T.O. 1987. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia. Koentjaraningrat. 1973. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

1980. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1981. Pengantar Antropologi, Jakarta : Balai Pustaka. 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Malm, William P. 1977. Music Culture Of Pacific Music The Near East and Asia, New

Jersey : Prentice Hall, Inc. England Wood Cliffs. Terjemahan Rizaldi Siagian Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago, Northwestern University

Press. Muhammad Takari bin Jilil Syahrial. 2011. Tengku Luckman Sinar : Pemikirannya

Mengenai Melayu Sebagai Bingkai Kemajemukan Sumatera Utara Dan Aplikasinya Dalam Kesenian. Kumpulan Makalah Seminar Internasional Pemikiran Tengku Luckman Sinar Tentang Kemelayuan dan KeIndonesiaan. Medan.

Murgianto, Sal. 1996 Cakrawala Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas-batas dan Arti

Pertunjukan. MSPI Nainggolan, Kasiro. 2011. Studi Deskriptif Pertunjukan Makyong Cerita Putri Ratna

oleh Sinar Budaya Group Medan. Medan: Skripsi. Jurusan Etnomusikologi USU.

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. The Free Press of Glencoe.

New York Sinar Luckman T. 1996. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Malayu. Medan,

Perwira. 2007. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Malayu. Yayasan Kesultanan Serdang. Medan.

Sinar Luckman T, Syiafuddin Wan. 2002. Kebudayaan Melayu Sumatera Timur.

Medan, USU PRESS

76

Suhartono, Irawan. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung, Remaja Rosdak. Takari, M dan Heristina Dewi. 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara.

Medan: USU Press. Takari, Muhammad “Komunikasi dalam Seni Pertunjukan Melayu.” Dalam Jurnal

Etnomusikologi Vol 1 No.2 - September 2005 Zein, St. Muhammad. 1957. Kamus Modern Bahasa Indoensia. Jakarta : Balai Pustaka.

77

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Aisyah Mudatsir

Umur : 44 Tahun

Alamat : Jalan Ampera No.211 Desa Bintang Meriah Kec. Batang Kuis

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

2. Nama : Amiruddin

Umur : 58 Tahun

Alamat : Jalan Pancasila Batang Kuis

Pekerjaan :Pegawai Dinas Perhubungan

3. Nama : Drs. Muhamad Takari, M.Hum, Ph.D

Umur : 47 Tahun

Pekerjaan : Dosen

4. Nama : Drs. Fadlin, M.A

Umur : 49 Tahun

Pekerjaan : Dosen

5. Nama : Datuk Fauzi

Umur : 50 Tahun

Pekerjaan : Dosen

78

Peta Kecamatan Batang Kuis