BAB I PENDAHULUAN -...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem peradilan pidana dapat digam-barkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan, dapat diselesaikan dengan diaju-kannya si pelaku ke muka sidang pengadilan dan mendapat hukuman. Namun gambaran diatas bukanlah sebagai keseluruhan tugas dari sistem peradilan pidana itu karena sebagian tugas yang lain adalah bagaimana mencegah mereka yang sedang ataupun telah melakukan perbuatan pidana itu tidak mengulangi lagi perbuatan mereka yang melanggar hukum itu. Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu sistem yang terbuka, seperti yang dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interpendensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta subsistem-

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem peradilan pidana dapat digam-barkan

secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan

untuk menanggulangi kejahatan. Sistem ini dianggap

berhasil apabila sebagian besar dari laporan dan

keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi

korban dari suatu kejahatan, dapat diselesaikan

dengan diaju-kannya si pelaku ke muka sidang

pengadilan dan mendapat hukuman. Namun

gambaran diatas bukanlah sebagai keseluruhan tugas

dari sistem peradilan pidana itu karena sebagian tugas

yang lain adalah bagaimana mencegah mereka yang

sedang ataupun telah melakukan perbuatan pidana

itu tidak mengulangi lagi perbuatan mereka yang

melanggar hukum itu.

Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu

sistem yang terbuka, seperti yang dikemukakan oleh

Muladi, bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu

sistem pada dasarnya merupakan suatu open system,

dalam pengertian sistem peradilan pidana dalam

geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi,

interkoneksi dan interpendensi) dengan lingkungannya

dalam peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi,

politik, pendidikan dan teknologi serta subsistem-

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

2

subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri

(subsystem of criminal justice system)1

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem

tentunya memiliki subsistem-subsistem seperti

pendapat Sidik Sunaryo sebagai berikut:

Di dalam sistem peradilan pidana terkandung

gerak sistemik dari subsistem-subsistem

pendukungnya yakni kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan dan merupakan

satu kesatuan (totalitas) berusaha

mentransformasikan masukan menjadi luaran

yang menjadi tujuan sistem peradilan.2

Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai

salah satu subsistem peradilan pidana memiliki tugas

yang salah satu tugas tersebut adalah melakukan

penyidikan. Penyidikan sendiri diatur dalam Pasal 1

butir 1 dan 2 KUHAP bahwa penyidik adalah pejabat

polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

Undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam Undang-undang untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

1 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,

Semarang: BP Undip, hlm. 5 2 Sidik Sunaryo, 2005. Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM

Press, hlm. 256

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

3

Menurut Pasal 1 ayat (13) Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, yang dimaksud dengan

penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan

bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.

Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik

Indonesia sesuai dengan Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana

keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format

tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas

pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi,

mengayomi dan melayani masyarakat.3

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan

untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang

meliputi terpeliharanya keamanan dan ketetertiban

masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,

terselenggaranya perlindungan, penga-yoman dan

pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya

3 Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia hlm. 114

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

4

ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi

hak asasi manusia4.

Tindakan kepolisian adalah setiap tindakan atau

perbuatan kepolisian berdasarkan wewe- nangnya

dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan di

bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, pemberian perlindungan, pengayoman

dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan

hukum. Tindakan kepolisian memposisikan polisi

sebagai subyek hukum artinya sebagai drager van de

rechten en plichten atau pendukung hak-hak dan

kewajiban-kewajiban di mana kepolisian (sebagai

lembaga maupun fungsi) melakukan berbagai

tindakan yang bersifat tindakan hukum

(rechtelijkhandelingen) maupun tindakan yang

berdasarkan fakta/nyata (feitelijkhandelingen).

Di dalam melaksanakan tugas pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut

Kepolisian selalu melaksanakannya berdasarkan atas

hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

Tindakan hukum sendiri memiliki pengertian

sebagai berikut:

Tindakan hukum adalah suatu tindakan yang menimbulkan akibat hukum tertentu seperti

tindakan dalam rangka penegakan hukum

(penangkapan, pemeriksaan, penahanan,

penyitaan, penggeledahan dan lain-lain) atau

4 Kelik Pramudya, 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum,

Pustaka Yustisia, Jakarta. hlm. 52-53.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

5

tindakan penertiban masyarakat pemakai jalan,

unjuk rasa, pertunjukan dan lain-lain, sedangkan

tindakan berdasarkan fakta/nyata artinya tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya

dengan hukum, oleh karena itu, tidak

menimbulkan akibat-akibat hukum seperti

penyelenggaraan upacara, peresmian kantor atau

gedung-gedung kepolisian, dan lain-lain, yang

biasanya dilakukan oleh pejabat pemerintahan5.

Oleh karena itu, setiap tindakan yang dilakukan

kepolisian khususnya di dalam proses penyidikan

selalu menimbulkan akibat hukum tertentu, sehingga

segala tindakan kepolisian di dalam proses penyidikan

haruslah memiliki sandaran hukum atau peraturan

perundang-undangan yang mengaturnya.

Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian dalam

menangani kasus yang dilakukan oleh anak di

antaranya adalah diversi, di mana pengertian diversi

adalah:

Pemikiran tentang pemberian kewenangan kepada

aparat penegak hukum untuk mengambil

tindakan-tindakan kebijak-sanaan dalam

menangani atau menye-lesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan

formal antara lain menghentikan atau tidak

meneruskan /melepaskan dari proses peradilan

pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada

masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan

pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam semua tingkatan pemeriksaan

yaitu dari penyidikan, pe-nuntutan, pemeriksaan

pada sidang pe-ngadilan sampai pada tahap

pelaksanaan putusan. Penerapan ini dimaksudkan

5 Sadjijono, 2010, Memahami Hukum Kepolisian,

LaksBangPresindo, Yogyakarta, hlm. 140.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

6

un-tuk mengurangi dampak negative ke-terlibatan

anak dalam proses peradilan tersebut6.

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang

akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon

pemimpin bangsa di masa yang akan datang dan

sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu,

perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk

tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara

rohani, jasmani dan sosial. Perlindungan anak

merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan

masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan,

yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan

bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang

pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya,

maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.7

Sehingga upaya perlindungan anak perlu

dilaksanakan sedini mung-kin, yakni sejak dari janin

dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan

belas) tahun.8

6 Purniati, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk,

2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak (Juvenile Justice

System) di Indonesia, Departemen Kriminologi Universitas

Indonesia & UNICEF, hlm. 4.

7 Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum terhadap anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung;

Refika Aditama, hlm. 33 8 Penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

7

Pengertian anak dirumuskan di dalam Pasal 1

Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak

sebagai seseorang yang berlum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat (2)

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak meng-artikan Perlindungan Anak

sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.

Mengenai penanganan anak yang berkonflik

dengan hukum disebutkan dalam Pasal 16 ayat (3)

Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa

“penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara

anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum

yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terkhir”

Proses hukum formal merupakan jalan terakhir

dalam menangani Anak Konflik Hukum9. Dalam

penanganan Anak Konflik Hukum dikenal adanya

konsep Restorative Justice, yang merupakan konsep

penanganan Anak Konflik Hukum dengan melibatkan

9 Waluyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju,

Bandung, hlm.12

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

8

semua pihak, termasuk pelaku sendiri10. Polri tidak

sesegera mungkin untuk membawa kasus yang

kecil/ringan ke jalur penyidikan, namun lebih

memprioritaskan untuk menyelesaikan perma-salahan

tersebut dengan melibatkan pranata sosial yang ada di

masyarakat dengan mengedepankan prinsip kemitraan

(partnership) dan pemecahan masalah (Problem

solving).

Fiat justisia ruat coelum, pepatah Latin ini

memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus

ditegakkan”. Pepatah ini kemudian menjadi sangat

populer karena sering digunakan sebagai dasar

argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah

sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya,

adagium tersebut seolah-olah di-implementasikan

dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit

berdalih penegakan dan kepastian hukum. Dan

pendekatan Restorative Justice merupakan suatu

pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi

terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku

tindak pidana serta korbannya sendiri.

Sistem pemidanaan seakan tidak lagi

menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak

pidana,RumahTahanan dan Lembaga

Pemasyarakatan yang over capacity malah berimbas

pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam

10 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung:

Refika Aditama, hlm.23

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

9

lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah

tidak berimbang dengan banyaknya jumlah tahanan

narapidana. Lapas seolah tidak lagi menjadi tempat

yang tepat dalam memasyarakatkan kembali para

narapidana tersebut, malah seolah lapas telah

bergeser fungsinya se-bagai academy of crime, tempat

dimana para narapidana lebih “diasah”

kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana11.

Bagaimana dengan kepentingan korban dan

korban, apakah dengan dipidananya si pelaku,

kepentingan dan kerugian korban telah tercapai

pemenuhannya. Belum tentu hal itu dapat dipenuhi

dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku.

Dalam sebuah kasus misalnya, posisi pelaku dan

korban yang telah berdamai seakan tidak digubris

sebagai dasar penghentian perkara tersebut. Pihak

penegak hukum seakan tidak melihat kenyataan

bahwa pihak korban di sini telah menyatakan bahwa

tidak ada kepentingannya yang dilanggar karena yang

terjadi hanyalah sebuah kesalah pahaman yang

melibatkan para pelaku yang masih berusia anak-

anak. Proses formil tersebut harus terus digulirkan

karena sudah termasuk pada ranah hukum acara

pidana, kilah penegak hu-kum pada umumnya.

Pendekatan Restorative Justice dalam

penanganan terhadap tindak pidana yang dilakukan

oleh anak juga telah dikuatkan melalui Putusan

11 Ibid

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

10

Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 yang telah

memberikan "pencerahan baru" dalam upaya

memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak

terutama terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum (children in conflict with the law).

Uji materiil yang diajukan oleh Komisi

Perlindungan Anak Indonesia/KPAI dan Yayasan Pusat

dan Kajian Anak Perlindungan Medan atas Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak (Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal

5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan

Pasal 31 ayat (1) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah

Konstitusi.

Di dalam putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut mengamanatkan bahwa Terhadap Anak

Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tin-dakan

sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang

pengadilan Anak tidak ada perubahan kemudian

pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal

ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut menjelaskan bahwa pidana pokok yang dapat

dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: pidana penjara,

pidana kurungan, pidana denda atau pidana

pengawasan. Sedangkan pidana tambahan dapat

dijatuhkan yaitu berupa perampasan barang-barang

tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. (Ketentuan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

11

mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah)

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga

memutuskan bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan

kepada Anak Nakal ialah:

1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh;

2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau

3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan

kerja. Penjatuhan tersebut dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

Pendekatan Restorative Justice di dalam

penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana di

Polres Tegal salah satunya adalah di dalam proses

penyidikan terhadap tindak pidana penganiayaan

terhadap anak di bawah umur dengan Tersangka

Panggi bin Rasman atas Laporan Polisi Nomor

LP/B/259/VIII/2013/ Jateng/Res Tegal, di mana di

dalam uraian sing-kat kejadian disebutkan bahwa

benar pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 Pukul

16.30 WIB telah terjadi kekerasan terhadap anak di

mana kejadian berawal pada saat korban Samuel

Matahelumual bin Abraham Yosef Mata- helumual,

umur 12 tahun sedang bermain bersama teman-

temannya di belakang rumah Sdri. Surip, tiba-tiba

korban didatangi oleh Ter-sangka dari arah sungai dan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

12

langsung mendorong korban hingga terjengkang,

kemudian korban ditendang perutnya sebanyak 2

(dua) kali dan ditampar pipi sebelah kanan sebanyak 1

(satu) kali hingga merasakan sakit.

Atas perkara tersebut pihak Kepolisian Resor

Tegal menggunakan pendekatan Restorative Justice

terhadap Tersangka dengan berusaha menghubungi

korban dan perkara ini dapat diselesaikan melalui

pendekatan Restorative Justice.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,

maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti

dalam tesis ini sebagai berikut:

1. Mengapa dilakukan Restorative Justice dalam

penyelesaian tindak pidana anak oleh Polres

Tegal?

2. Apa kriteria yang digunakan dalam pendekatan

Restorative Justice dalam penye-lesaian tindak

pidana anak?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk menganalisis alasan-alasan diguna-

kannya pendekatan restorative justice system

dalam penyelesaian tindak pidana anak.

2. Menganalisis kriteria pendekatan restorative

justice dalam penyelesaian tindak pidana anak.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

13

C. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini bagi pihak-pihak terkait

adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu

hukum pidana pada umumnya dan khususnya

di dalam implementasi dan me-kanisme

penyelesaian perkara dengan restorative justice

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran bagi para

praktisi hukum pidana khususnya dalam

implementasi dan mekanisme penyelesaian

perkara dengan restorative justice.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan karya orisinil dari

penulis sebagai eksplorasi lebih dalam dan berbeda

dari penelitian-penelitian sebelumnya. Konsep

restorative justice dalam penanganan tindak pidana

anak pernah dikaji dalam penelitian sebelumnya oleh

beberapa penulis, namun pengkajiannya tersebut

belum sampai pada ranah untuk memahami apa saja

alasan-alasan digunakannya pendekatan restorative

justice di dalam penanganan tindak pidana anak

terutama di dalam proses penyidikan kepolisian.

Penelitian sebelumnya lebih mendeskripsikan

mengenai pelaksanaan restorative justice dan kendala-

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

14

kendalanya dalam penanganan tindak pidana anak di

dalam proses penyidikan.

E. Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan sebagai

pendekatan (approach) untuk menganalisis dan

menerapkan pendekatan restorative justice dalam

kasus penyelesaian tindak pidana anak adalah teori

keadilan restorative, teori hukum progresif dan teori

hukum kritis.

1. Teori Keadilan Restorasi

Jim Consedine, salah seorang pelopor keadilan

restoratif dari New Zealand berpendapat bahwa konsep

keadilan reributif dan restitutif yang berlandaskan

hukuman, balas dendam terhadap pelaku,

pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh

keadilan restoratif yang berlandaskan rekonsiliasi,

pemulihan korban, integrasi dalam ma-syarakat,

pemaafan dan pengampunan12. Nilai-nilai keadilan

memberikan perhatian yang sama terhadap korban

dan pelaku. Otoritas untuk menentukan rasa keadilan

ada di tangan para pihak bukan pada negara. Mereka

tidak mau lagi menjadi korban kedua kali oleh negara

dan menentukan derajat keadilan yang tidak sesuai

dengan keinginan mereka seperti dalam keadilan

retributif dan restitutif. Considine mendorong

12 Fatahillah A. Syukur, 2011, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia,

Mandar Maju, Bandung, hlm. 16

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

15

penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif yang

memi-nimalkan peran negara dan fokus pada

pemulihan korban dan pelaku.

Consedine mendefinisikan keadilan restoratif

sebagai:

Crime is no longer defined as an attack on the stage but rather an offence by one person against another. It is based on recognition of the humanity of both offender and victim. The goal of the restorative proccess is to heal the wounds of every person affected by the offence, including the victim and the offender, Option are explored that focus on repairing the damage.

(Tindak kriminal tidak lagi dianggap

sebagai serangan terhadap negara,

tetapi kejahatan yang dilakukan

seseorang terhadap orang lain. Keadilan restoratif berlandaskan pada

kemanusiaan kedua belah pihak,

pelaku dan korban. Tujuan dari proses

restoratif adalah untuk memulihkan

luka semua pihak yang disebabkan oleh kejahatan yang di-lakukan

termasuk korban dan penjahat.

Alternatif solusi dieksplorasi dengan fo-

kus untuk memperbaiki kerusakan

yang ditimbulkan)13

Munculnya keadilan restoratif sebagai alternatif

penyelesaian sengketa merupakan jawaban dari kritik

terhadap kelemahan sistem peradilan pidana yang ada

sekarang yakni:

13 Jim Consedine, 1995, Restorative Justice; Healing the Effects of crime, Lyttelton, Ploughshares Publications, hlm. 11

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

16

a. ketidakefektifan dan kegagalan untuk mencapai

tujuannya sendiri yakni perbaikan diri pelaku

dan pencegahan tindak kriminal;

b. mengambil pusat konflik dari para pihak dan

meminggirkan peran mereka;

c. kegagalan untuk membuat pelaku bertanggung

jawab secara tepat dan berguna dan kurang

tanggap terhadap kebutuhan korban;

d. ketergantungan pada penjatuhan hukum-an

sebagai balasan terhadap penderitaan akibat

kejahatan. Sebagai hasilnya pen-deritaan

dibalas dengan penderitaan lain yang

meningkatkan penderitaan dalam masyarakat,

bukan menguranginya;

e. terpisah secara waktu, ruang dan hubungan

sosial dari kejahatan yang dilakukan,

permasalahannya dan para individu yang

memperngaruhi terjadinya pengulangan

kejahatan;

f. ketergantungan terhadap kontrol sosial formal

bukan informal;

g. ketidaksensitifan terhadap keragaman budaya

dan etnis;

h. tidak efisien, terutama terkait dengan lamanya

waktu dalam memperoses per-kara; dan

i. biaya tinggi dalam makna sosial dan ekonomi.14

14 Adan Crawford and Tim Newburn, 2001, Youth Offending and Restorative Justice Implementing Reform in Youth Justice, Portland,

Willan Publishing, hlm. 20-12

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

17

2. Teori Hukum Progresif

Hukum progresif berupa mengubah paradigma

legalistik yang sudah terdogma dalam pikiran aparat

penegak hukum untuk tidak hanya berpedoman pada

teks hukum belaka15. Para penegak hukum harus

mengamati dan menyesuaikan dengan perubahan

sosial budaya yang terjadi di dalam masyarakat.

Gagasan hukum progresif bertolak dari dua

komponen basis dalam hukum yaitu hukum dan

perilaku. Jadi hukum sebagai peraturan dan hukum

sebagai perilaku. Peraturan akan membangun suatu

system hukum positif sedangkan perilaku atau

manusia akan menggerakan peraturan dan system

yang sudah dibangun. Sehingga dapat kita lihat ada

peraturan yang tidak berlaku (black letter law, law on

paper, law in the book), Hukum hanya menjadi janji-

janji dan akan menjadi kenyataan (in action) apabila.

ada campur tangan manusia. Hukum progresif

berkehendak agar hukum untuk manusia bukan

manusia untuk hukum. Hukum progresif bertumpu

pada manusia yang melakukan mobilisasi hukum,

maka penegak hukum menjadi faktor penentu bagi

lahirnya hukum yang berpihak pada keadilan,

ketertiban, kemanfaatan perdamaian. Oleh karena itu

perlu ada kebijakan terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum untuk mendapatkan perlindungan

hukum secara maksimal. Dalam artian apakah anak

15 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:

Penerbit Kompas, hlm. 154

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

18

apabila berhadapan dengan hukum mesti diproses

secara pidana atau tidak? Kalau diproses secara

pidana apa parameternya? Kalau tidak juga perlu

parametemya.Sesungguhnya apabila ada suatu kasus

maka Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Ke-polisian Republik Indonesia . memberikan we-

wenang kepada kepolisian untuk menge-luarkan

deskresi.

Nonet dan Selnick membedakan tiga keadaan

dasar mengenai hukum dasar ma-syarakat yaitu:

Pertama, Hukum represif, yaitu hukum sebagai alat

kekuasaan represif;

Kedua, Hukum otonom, yaitu hukum sebagai suatu

pranata yang mampu menetralisir represi dan

melindungi integritas hukum itu sendiri.

Ketiga, Hukum responsive, yaitu hukum sebagai

suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan

sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Hukum

responsive terbuka terhadap perubahan-perubahan

masyarakat dengan maksud untuk mengabdi pada

usaha meringankan beban kehidupan sosial dan

mencapai sasaran-sasaran kebijakan sosial, seperti

keadilan sosial, emansipasi kelompok-kelompok

sosial yang dikesampingkan dan diterlantarkan,

serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.

3. Teori Hukum Kritis

Teori hukum kritis juga bertujuan

meningkatkan kondisi sosial golongan yang lemah

(vulnerable) untuk mendapatkan akses keadilan,

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

19

termasuk perempuan dan anak. Beberapa konvensi

internasional mema-sukkan perempuan dan anak

sebagai ke-lompok yang lemah karena selalu

menghadapi banyak resiko dan rentan terhadap

bahaya dari kelompok lain.16

Menurut pandangan teori hukum kritis, hukum

di Indonesia hanya berpaku pada Undang-Undang

tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis.

Semestinya hukum tidak dapat berdiri sendiri tetapi

harus ditopang oleh faktor sosiologis. Penegakan

hukum di Indonesia tersandera oleh banyaknya aturan

hukum tanpa memperdulikan esensi hukum tersebut

untuk kepentingan masyarakat.

Hukum di Indonesia memenjarakan diri-nya

sendiri pada tujuan keadilan dan kepastian hukum

tanpa memerdulikan tujuan kemanfaatan. Bangsa ini

harus menyadari bahwa hukum dibuat untuk

manusia sehingga eksistensi hukum harus benar-

benar dimaknai untuk memberikan kemanfaatan bagi

seluruh manusia.

Penegakan hukum di Indonesia yang tanpa

didasari pemahamaman akan filosofi dari tujuan

pembuatan hukum itu sendiri menyebabkan

terjadinya disorientasi dalam penegakan hukum.

Disorientasi ini tampak dalam sistem pemidanaan

yang hanya mampu memenjarakan orang tetapi tidak

mampu mengembalikan keseimbangan dan persatuan

16 Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan: Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Bandung: Refika Aditama, hlm. 3

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

20

di tengah masyarakat yang terganggu akibat suatu

tindak pidana. Sudah saatnya pene-gakan hukum di

Indonesia dikembalikan kepada orientasi yang benar.

Orientasi yang didasarkan pada keseimbangan antara

faktor keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Pengembalian penegakan hukum di Indonesia pada

orientasi yang benar dapat diawali dengan penerapan

restorative justice atau prinsip keadilan restoratif.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk

menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan dalam

tesis ini yaitu yuridis sosiologis atau Sosio-Legal

research, karena permasalahan yang diteliti berkaitan

erat dengan realitas sosial dan tingkah laku nyata

manusia.17 Penelitian ini mencoba menelusuri secara

mendalam (indepth) dan nyata terhadap sebuah

fenomena penerapan hukum pidana dari konteks

sosial. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat

mengungkap sesuatu yang berkaitan erat dengan sifat

unit dari realitas sosial dan dunia tingkah laku

manusia, sehingga memperoleh gambaran yang jelas

yang terkait langsung dengan pendekatan restorative

justice dalam penyelesaian tindak pidana anak.

17 Ronny Hanintijo Soemitro, 1982. Metode Penelitian Hukum.

Ghalia Indonesia. Jakarta hlm. 16

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

21

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh

penulis dalam tesis ini, yaitu sebagai berikut :

a. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang

berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah

menjadi suatu putusan yang telah memiliki

kekuatan hukum tetap18. Kasus yang digunakan

oleh penulis adalah Berita Acara Pemeriksaan

terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak

di Polres Tegal yang diselesaikan melalui

pendekatan Resto-rative justice seperti tersebut di

dalam Latar Belakang Penelitian ini. Kajian pokok

di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi

atau reasoning yang merupakan referensi bagi

peneliti sebagai penyusunan argumentasi dalam

pemecahan isu hukum pendekatan restorative

justice dalam pe-nyelesaian tindak pidana anak.

b. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach)

Pendekatan Undang-undang dila-kukan

dengan menelaah semua Undang-undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan kasus yang

ditangani. Dalam hal ini penulis menelaah Undang-

undang yang berkaitan dengan pendekatan

restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana

anak seperti(a) Undang-undang Nomor 2 Tahun

18 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana,

Jakarta, hlm. 94

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

22

2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia; (b) Undang-undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak; (c) Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak sebagai Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak

c. Jenis Bahan Hukum

Berkaiatan dengan data yang digunakan dalam

penulisan tesis ini, maka bahan hukum yang

digunakan antara lain:

1) Bahan Hukum Primer

Berikut ini peraturan perundang-

undangan yang digunakan adalah:

(a)Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia; (b) Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (c)

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

sebagai Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak

Sedangkan Berita Acara Peme-riksaan

dalam tindak pidana yang di-lakukan oleh

anak yang diselesaikan melalui pendekatan

restorative justice digunakan juga sebagai

bahan hukum primer

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

23

2) Bahan Hukum Sekunder

Dalam penelitian ini penulis menggunakan

buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum dan

komentar atas putusan pengadilan yang

terkait dengan pendekatan restorative justice

dalam penyelesaian tindak pidana anak.

3. Metode Analisis

Data yang terkumpul akan dianalisis secara

yuridis-kualitatif. Analisis yuridis dilakukan karena

penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-

undangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan

analisis kualitatif yaitu menggunakan tahapan ber-

pikir sistematis guna menemukan jawaban atas

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini

yakni pendekatan restorative justice dalam

penyelesaian tindak pidana anak dalam perspektif

Sistem Peradilan Pidana Terpadu.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini akan dibahas

tentang latar belakang penelitian,

rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian,

keaslian penelitian, lan-dasan teori,

metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/2/T2_322012002_BAB I.pdfpengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan

24

Bab II Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang menjadi

acuan analisia penelitian adalah

me-ngenai Konsepsi Tindak Pidana

Yang Dilakukan Anak, Tugas

Kepolisian Negara Republik

Indonesia dan Pen-dekatan

Restorative Justice

Bab III Hasil Penelitian dan Analisis

Dalam Bab III ini, penulis akan

menjelaskan secara rinci mengenai

ha-sil penelitian yakni analisis

kriteria pertimbangan-

pertimbangan digunakannya

pendekatan restora-tive justice

system dalam penye-lesaian tindak

pidana anak oleh Polres Tegal dan

analisis mengenai kriteria

pendekatan restorative justice

system dalam penyelesaian tindak

pidana anak.

Bab IV Penutup

Pada Bab IV ini akan dipaparkan

mengenai kesimpulan dari analisis

dan saran atau masukan mengenai

pertimbangan-pertimbangan

diguna-kannya pendekatan

restorative justice dalam

penyelesaian tindak pidana anak.