BAB I PENDAHULUAN -...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan media massa saat ini telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat, karena media massa mempunyai
peranan menjadi penyampai informasi mengenai kejadian atau peristiwa
baik yang telah terjadi di dalam maupun di luar negeri. Menurut Effendi
(1993:24) ciri dari media massa adalah “kemampuannya untuk
menimbulkan keserempakan (simultaneity) pada pihak khalayak dalam
menerima pesan-pesan yang disebarkan. Pesan yang disampaikan oleh
media massa melalui majalah, koran, tabloid, buku, televisi, radio, internet,
dan film diterima secara serempak oleh khalayak luas yang jumlahnya
ribuan bahkan puluhan juta.”
Film berperan sebagai saran baru yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulunya serta
menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lain
kepada masyarakat umum. Menurut McQuail (1994:13) “kehadiran film
merupakan respon penemuan waktu luang secara hemat dan sehat bagi
seluruh anggota keluarga.” Film sebagai media massa memiliki kelebihan
antara lain dalam hal jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan
popularitas yang hebat. Menurut McQuail (1994:14) “film juga memiliki
kelebihan dalam segi kemampuannya menjangkau sekian banyak orang
2
dalam waktu singkat dan mampu memanipulasi kenyataan tanpa kehilangan
kredibilitas.”
Dewasa ini televisi sudah sangat diterima oleh masyarakat, dari
segala kalangan. Media audio visual yang menampilkan berbagai tayangan
ini telah menjadi sebuah kebutuhan, karena menyediakan dan memberikan
berbagai informasi dan hiburan yang mudah di dapat. Secara sepintas,
keberadaan televisi memang memiliki peran penting dalam kehidupan
masyarakat abad ke-21. Hampir semua informasi di berbagai kehidupan bisa
diakomodasikan dalam satu media yang bernama televisi. Mulai dari
peristiwa-peristiwa penting dalam dan luar negeri, bencana alam, analisis
dari para pakar, hingga fenomena kemiskinan dan ketidakbecusan kinerja
pemerintahan dapat diketahui masyarakat hanya dengan duduk-duduk dan
sambil menyeruput kopi hangat di depan televisi.1
Dari tahun ke tahun TV menjadikan remaja sebagai target penonton
yang penting. Ini terlihat dari maraknya program-program acara yang
membidik remaja sebagai segmennya. Mulai dari kuis, penayangan film,
video klip, infotainmen, reality show dan lain-lain. Diantara semuanya,
sinetron remaja tampak cukup menonjol. Saat ini terdapat 11 stasiun televisi
nasional. Siaran ini dapat dijangkau oleh rumah-rumah yang memiliki
televisi di Indonesia.
1 http://www.tftwindo.org/livingwords/SH132005/132005-9.htm
3
Apabila setiap stasiun setiap harinya siaran selama 20 jam sehari maka pada
saat ini setiap hari ditayangkan sekitar 220 jam acara telivisi nasional
maupun lokal. Sinetron menjadi jenis tayangan yang paling menonjol dan
paling tinggi frekuensi penayangannya dibandingkan acara lainnya.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya tayangan sinetron
yang ditampilkan hampir disetiap stasiun televisi swasta nasional.
Kebanyakan sinetron yang ditayangkan, menceritakan kehidupan remaja
yang kini menjadi andalan diberbagai stasiun nasional. Dengan
keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai maka beberapa stasiun televisi
merasa terdorong dengan menayangkan sinetron-sinetron remaja yang
dianggap menjadi idola bagi pemirsa.2
Komunikasi memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan bagi manusia.
Fungsi pemenuhan kebutuhan diantaranya : fungsi informasi, perdebatan
dan diskusi, pendidikan memajukan kebudayaan, hiburan (entertainment)
dan fungsi integrasi. Komunikasi dapat juga berfungsi seperti halnya yang
dikemukakan oleh Rakhmat (2000) dalam bukunya “Psikologi
Komunikasi”.
2 http://www.sinemart.com/new/Corporate.php
4
“Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian
menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan
pengetahuan dan melestarikan peradaban. Tetapi dengan komunikasi bisa
saja menyuburkan perpecahan, dan menghidupkan permusuhan,
menanamkan kebencian, merintangi kemajuan dan menghambat pemikiran
(Rakhmat 2000 : vii)”.
Dengan berkembangnya teknologi, sudah tentu akan menimbulkan
dampak positif dan negatif. Salah satu dampak negatif, besarnya biaya
yang harus dikeluarkan untuk menggunakan teknologi tersebut sedangkan
dampak positifnya, saat ini jarak bukanlah menjadi kendala lagi. Misalnya
dengan menggunakan telepon kita tidak perlu menempuh jarak jauh untuk
melakukan komunikasi. Perkembangan teknologi saat ini sangat
memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan menggunakan teknologi
itu sendiri.
Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan
saja untuk menghibur tetapi juga untuk informasi dan pendidikan. Dalam
ceramah-ceramah informasi atau pendidikan kini banyak digunakan film
sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan (Effendy, 1993 :
209). Saat ini film merupakan salah satu hiburan yang digemari oleh
masyarakat, terutama para remaja. Film-film jaman sekarang selalu
berusaha untuk memikat publik yang senang atau gemar film. Para
pembuat film menyadari bahwa remaja adalah golongan publik yang lebih
5
suka berkumpul bersama teman-teman sebayaknya. Namun demikian
dibuatlah film-film dengan cerita-cerita yang menarik para remaja.
Film dapat menyajikan pesan atau objek yang sebenarnya termasuk
dramatisir secara audio visual dan unsur gerak (live) dalam waktu
bersamaan (broadcast). Sifat yang audio visual tersebut menjadikan film
mampu menyampaikan pesan verbal dan non verbal yang dapat dinikmati
dalam suasana akrab, enak dan santai. Selain itu juga melalui sifat audio
visual yang dimiliki film, bisa membuat apa yang ditampilkan dan apa
yang didengar penonton dari sebuah cerita yang disajikan dalam setiap
film terasa nyata serta seolah-olah cerita yang ditampilkan terjadi di depan
mata para penonton.
Film atau sinetron yang tidak segan-segan menggambarkan
kebebasan pergaulan muda-mudi, adegan-adegan seks antara lawan jenis
yang tidak sepatutnya dilakukan oleh dua orang yang belum terikat tali
perkawinan serta ciuman yang dilakukan ditempat-tempat umum
memberikan wacana baru bagi budaya luhur bangsa kita. Dimana pada
zaman dulu digambarkan pergaulan muda-mudinya, untuk bertemu di
rumah saja membutuhkan prosedur yang sulit dari orang tua. Gambaran
semacam ini, sekilas menjadi sebuah tontonan yang menarik, namun sadar
ataupun tidak para penontonnya terutama para remaja yang menyaksikan
tayangan dari film tersebut sedikitnya mempunyai keinginan untuk meniru
apa yang dilihat.3
3 http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Sensor_Film
6
Film-film Indonesia yang sampai saat ini masih menggunakan
budaya “latah”, hingga kini belum bisa berhenti. Misalnya salah satu film
horor laku di pasaran, maka para pembuat film berlomba-lomba untuk
membuat film horor lainnya. Namun sayangnya “trend” tersebut banyak
segi negatifnya dari pada segi positifnya. Karena film yang sedang laku di
pasaran adalah film-film dengan bumbu kekerasan, seks dan moral. 4
Film-film yang hadir dibioskop-bioskop Indonesia serta yang
beredar luas di masyarakat bukan saja film produksi dalam negeri tapi juga
berasal dari luar negeri. Film-film impor yang notabene beredar juga
dinegara kita, juga tidak segan-segan mengekspos kebebasan seksual,
kecantikan identik dengan daya tarik fisikal dan seksualitas bukan tidak
mungkin melahirkan impresi dan persepsi simplistik terhadap budaya barat
sebagai biang keroknya kekosongan budaya adiluhung bangsa kita.
Sementara lewat pelaziman (conditioning) yang terus-menerus, produk
budaya barat dipandang masyarakat sebagai sesuatu yang sudah umum
berlaku. Masyarakat pun tanpa risih menerimanya.5 Protes masyarakat
menyangkut penayangan film-film yang dianggap tidak etis dan
bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran malah tidak bergeming,
4 http://layarfilm.com/2009/01/03/9-naga/5 http://www.kapanlagi.com/h/0000103506_print.html
7
karena itu tidak dapat diasingkan bila kehadiran film dan televisi
berperan dalam menjelma warna buram budaya masyarakat karena daya
simbolisme dari televisi telah berperan dalam menggiring manusia untuk
memahami “realitas” menjadi dunia khayalan dan sebaliknya dunia
khayalan seakan menjadi realitas. Menurut Esslin, film dan televisi berperan
dalam menjelma warna buram budaya masyarakat karena daya simbolisme
dari televisi dan film yang bisa mereduksi dan memanipulasi realitas
menjadi cermin retak atau fragmen-fragmen tak utuh dari kehidupan
(Fahmi, 1997:173). Lewat layar kecil yang berfungsi sebagai jendela dunia,
para pemirsanya diarahkan untuk mendefinisikan situasi dengan kehendak
elit pengelola informasi. Orang bertindak, mengambil keputusan, tidak
berdasarkan realitas, tetapi berdasarkan makna yang diberikan kepada
realitas itu (Mulyana dan Subandy, 1997:253).
Kisah dari suatu cerita dalam film memang menarik untuk
disaksikan tapi apakah isi dari tayangan tersebut sesuai atau tidak perlu juga
diperhatikan, sebab terkadang dalam tayangan film seringkali tersisip aspek
kekerasan, seks maupun mistis didalamnya. Hal inilah yang membuat film
saat ini banyak yang menuai kritik dari masyarakat yang pendahulu
terhadap masa depan para remaja Indonesia. Aspek kekerasan aspek
seksualitas dan aspek mistis merupakan aspek-aspek yang sering kali
terkandung dalam film di Indonesia. Aspek kekerasan misalnya seringkali
dalam tayangan yang ditampilkan memuat tayangan-tayangan kekerasan,
hal yang ditakutkan nantinya adalah tayangan seperti ini oleh khalayak
8
dapat dinilai sebagai pendidikan kekerasan. Hingga tidak jarang saat ini
seringkali ditemukan dalam lingkungan kita yang menirukan adegan
kekerasan tersebut.
Dalam hal ini, penulis ingin meneliti dan menelaah film yang
didalamnya mengandung unsur kekerasan yang ditampilkan dalam film
produksi Reload Pictures dan bekerja sama dengan Sinema Art Picture yang
berjudul “9 Naga”. Film yang disutradarai Rudi Soedjarwao ini
menceritakan tiga orang sahabat yang menjadi pembunuh bayaran. Tiga
orang sahabat ini mempunyai masalah perekonomian masing-masing.
Marwan sebagai kepala Gank yang selalu manawarkan pekerjaan sadis ini
kepada kedua temannya Leni dan Doni. Karena kedua sahabatnya
membutuhkan uang untuk keperluan sehari-hari, maka mereka ikut dengan
Marwan.
Singkat kata, salah satu sahabat mereka tertembak oleh sahabatnya
sendiri ketika terjadi perseturuan dengan polisi. Marwan mengira bahwa
yang ia tembak adalah polisi, ternyata temannya sendiri. Marwan dan Leni
langsung membuang mayat ke sungai yang biasanya mereka membuang
mayat. Esok harinya, Marwan dan Leni bingung harus bilang apa dengan
adiknya doni, Adi. Akhirnya Marwan memberanikan diri untuk datang ke
kontrakan adik Adi. Pada waktu Marwan menceritakan kejadian
sebenarnya, Adi marah dengan memukuli Marwan hingga babak belur.
Marwan yang merasa bersalah, berkata kepada Adi, semua kebutuhannya
akan ditanggung oleh Marwan.
9
Penulis memilih film “9 Naga” sebagai objek penelitian bertema
kekerasan ini memiliki audience yang kebanyakan remaja. Alur cerita yang
menjurus kepada kekerasan ini banyak dikritik dari para penontonnya.
Untuk itu penulis yang peduli akan isi dari sebuah film, akan melakukan
penelitian tentang isi film yang menyangkut kekerasan.
Penelitian ini dilakukan dengan mengamati secara intensif dan
melakukan perhitungan adegan kekerasan yang dimunculkan dalam film 9
Naga, lalu menganalisisnya dengan kategorisasi yang telah ditentukan.
Dengan penelitian ini, pembaca dapat mengetahui kekerasan apa saja yang
terdapat dalam film 9 Naga ini, frekuensi adegan kekerasan dan presentase
kekerasannya. Selain itu, pembaca juga dapat mengetahui apakah film ini
membawa pesan anti kekerasan ataukah mengumbar kekerasan. Dan kita
juga dapat mengetahui apakah film ini membawa dampak positif atau
negatif dilihat dari presentase adegan kekerasannya.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah merupakan penyimpangan dari apa yang seharusnya terjadi,
penyimpangan antara teori dengan praktek, penyimpangan antara aturan
dengan pelaksanaan, penyimpangan antara rencana dengan pelaksanaan, dan
penyimpangan antara pengalaman masa lampau dengan yang terjadi
sekarang. Berdasarkan latar belakang diatas penulis ingin menelaah tentang
isi film yang menyangkut kekerasan yang ditampilkan dalam film “9 Naga”.
Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
“Bagaimana Isi Unsur Kekerasan Dalam Film 9 Naga”
10
1.3 Persoalan Penelitian
1. Bagaimana kekerasan yang ditampilkan dalam film “9 Naga”?
2. Seberapa sering isi yang menyangkut kekerasan yang muncul dalam
film “9 Naga”?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan adegan kekerasan yang digambarkan dalam film “9
Naga”.
2. Mendeskripsikan seberapa sering isi adegan yang menyangkut
kekerasan yang ditampilkan dalam film “9 Naga”.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Memberikan informasi khususnya di dunia perfilman serta lebih lanjut
bermanfaat pula sebagai referensi dan bahan pembanding bagi peneliti
selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang lebih jelas
mengenai isi dan kualitas film “9 Naga”
1.6 Konseptualisasi dan Operasional Konsep
Konsep adalah abstraksi tentang obyek dan kegiatan (envent) yang
digunakan oleh peneliti untuk menggambarkan fenomena yang menarik
perhatiannya (Sofian Efendi 1995 : 95).
11
1.6.1 Aras Pengukuran Konsep
Aras pengukuran konsep yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1.6.1.1 Konsep yang digunakan
1. Kekerasan
Jika dalam film menampilkan adegan yang mengandung
kekerasan, maka dapat berdampak negatif bagi penontonnya,
terutama anak-anak dan remaja karena bukan tidak mungkin
bagi mereka untuk meniru apa yang dilihat didalam film
tersebut. Selain fungsinya sebagai media informasi, pendidikan,
dan hiburan, media massa diyakini merupakan salah satu agen
sosialiasi dari nilai-nilai. Nilai itu bisa berupa ideologi,
kapitalisme, demokratis, egaliter, maupun nilai-nilai yang
berkonotasi kekerasan.
Kekerasan menurut Wignyosoebroto (1997) adalah:
Suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah
orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat)
terhadap seseorang atau sejumlah orang yang lebih lemah (atau
yang tengah dipandang berada dalam keadaan lebih lemah),
berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior, dengan
kesenjangan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di pihak
yang tengah menjadi obyek kekerasan itu. Namun, tak jarang
pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian dari tindakan
12
manusia untuk tak lain dari pada melampiaskan rasa amarah
yang sudah tak tertahankan lagi olehnya.
Lain halnya menurut Jack. D. Douglas dan Frances Chaput
Walker (2002) yang mengartikan kekerasan sebagai:
“Serangan dengan memukul (assult and battery) merupakan
kategori hukum yang mengacu pada tindakan ilegal yang
melibatkan ancaman dan aplikasi aktual kekuatan fisik kepada
orang lain. Serangan dengan memukul dan pembunuhan secara
resmi dipandang sebagai tindakan individu meskipun tindakan
tersebut dipengaruhi oleh tindakan kolektif. Tindakan individu-
individu ini terjadi dalam konteks suatu kelompok, sebagaimana
kekerasan kolektif” (Santoso, 2002:24).
Menurut Yasraf Amir Piliang (2004:244), kekerasan juga
diartikan sebagai satu perlakuan dengan cara pemaksaan, maka
apa pun bentuk perlakuan di dalamnya melekat unsur-unsur
pemaksaan, maka dapat dikatakan sebagai pelaku kekerasan.
Kekerasan bisa dilakukan secara fisik seperti melukai,
membunuh dan sejenisnya, maupun hanya lewat kata-kata
seperti mengumpat dan menghina, sebagai luapan rasa marah
yang sudah mencapai puncaknya kepada orang lain atau obyek
kekerasan tersebut. Hal senada diungkapkan Kompas (1993)
dengan membagi kekerasan menjadi dua macam yaitu :
13
kekerasan berbentuk verbal (kata-kata) dan kekerasan berbentuk
fisik (Joseph I. R. 1996).
Robert Baron mendefinisikan “kekerasan sebagai tingkah
laku individu baik secara fisik maupun secara verbal yang
ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang
tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut, atau
terhadap obyek-obyek lain” (Koswara, 1988:5). Bagaimana
kekerasan bisa terbentuk, teori belajar observasional, yang
dikembangkan oleh Bandura dan kolega-koleganya cukup
mampu menjawab pertanyaan diatas.
Kekerasan adalah yang biasa diterjemahkan dari violence.
Violence berkaitan erat dengan gabungan kata latin “vis” (daya,
kekuatan) dan “latus” (yang berasal dari ferre, membawa)
kemudian yang berarti membawa kekuatan (Windhu, 1992 : 62).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan
Poerwadaminta (1986), kekerasan diartikan sebagai sifat atau
hal yang keras; kekuatan; paksaan. Sedangkan “paksaan” berarti
tekanan, desakan yang keras. Kata-kata ini bersinonim dengan
kata “memperkosa” yang berarti menundukan dengan
kekerasan; menggahai; memaksa dengan kekerasan. Jadi,
kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan.
Menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi bila manusia
dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan
14
mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Kata-
kata kunci yang perlu diterangkan yaitu : aktual (nyata) dan
potensial (mungkin), dibiarkan, serta diatasi atau disingkirkan.
Dengan kata lain, bila potensial lebih tinggi dari yang aktual,
ada kekerasan. Jadi, kekerasan disini didefinisikan sebagai
penyebab perbedaan antara potensial dan yang aktual. Tingkat
realisasi potensial ialah apa yang memang mungkin
direalisasikan sesuai dengan tingkat wawasan, sumber daya dan
kemajuan yang sudah dicapai pada jamannya.
Media massa diyakini sebagian besar kalangan telah
dijadikan sebagai alat transformasi kekerasan. Artinya, media
massa dapat mengajarkan kekerasan pada khalayaknya,
sehingga secara tidak langsung dapat menuntun mereka kepada
perilaku kekerasan sesungguhnya, yakni melalui imitasi dan
identifikasi tindakan agresif si tokoh pahlawan. 6
Menurut Windhu (1992 : 68) kekerasan dibagi dua hal yaitu:
a) Kekerasan Fisik
Kekerasan yang menyebabkan tubuh manusia tersakiti
secara jasmani bahkan bisa sampai pembunuhan. Disini
jelas bahwa kemampuan somatis korban atau hilang sama
sekali.
6 http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_di_media_massa
15
b) Kekerasan Psikologis
Kekerasan yang menyebabkan kemampuan jiwa (rohani)
berkurang. Sama halnya dengan kebohongan, indoktrinasi,
ancaman, tekanan yang dimaksudkan meredusir
kemampuan mental atau otak.
2. Kategorisasi Kekerasan
Untuk mempermudah dalam penelitian ini, dibutuhkan
suatu kategorisasi penelitian yang diambil dari definisi-definisi
kekerasan diatas, yaitu :
1. Kekerasan ringan adalah tindakan seperti mendorong
hingga jatuh, menyiku, menampar dan segala perbuatan
yang menyebabkan korban, tidak berdaya, termasuk
dalamnya perkelahian dalam latihan silat dan sejenisnya.
2. Ancaman dengan senjata tidak terbatas pada senjata tajam
ataupun senjata api, segala alat yang digunakan untuk
menakut-nakuti lawan dikategorikan sebagai senjata.
3. Penganiayaan berat disini diartikan penganiayaan pada
lawan sehingga menyebabkan lawan tidak berdaya,
berdarah, pingsan, hingga tewas.
4. Penembakan disini diartikan sebagai kegiatan baku
tembak, ataupun menembak tanpa pihak lain balas
menembak. Alat yang digunakan adalah senapan, pistol,
atau alat sejenisnya.
16
5. Pengerusakan barang-barang disini bukan sekedar
melempar sesuatu, tetapi termasuk akibat dari suatu yang
berakibat rusaknya barang-brang (misalnya peledakan,
kebakaran, membanting lawan pada meja sehingga
mejanya rusak, membenturkan lawan pada dinding kaca
sehingga kacanya pecah) dan lainnya.
6. Kekerasan dengan kata-kata disini bisa berbentuk
umpatan, olok-olok, hinaan, serta perkataan yang
menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi marah.
Kategori-kategori diatas digunakan untuk kategorisasi
dalam penelitian adegan kekerasan dalam film 9 Naga.7
7 http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan
17
Tabel 1.1
Operasional Konsep
1.6.1.2 Operasional Konsep
Variabel Dimensi Operasional
Jenis Kelamin Pria Tokoh yang secara visual mempunyai
karakteristik atau sebutan sebagai pria.
Wanita Tokoh yang secara visual mempunyai
karakteristik atau sebutan sebagai Wanita
Posisi Tokoh Utama Tokoh yang ambil bagian dalam sebagian besar
peristiwa dalam cerita, biasanya peristiwa-
peristiwa tersebut menyebabkan terjadinya
perubahan sikap terhadap diri tokoh atau
perubahan pandangan penonton terhadap tokoh
tersebut.
Pembantu Peran yang menggambarkan keberadaan
seseorang dalam suatu cerita hanya berfungsi
untuk membantu atau mendampingi keberadaan
tokoh utama.
Bentuk
Kekerasan
Fisik Memukul
Menampar
Mencekik
Menendang
Melempar barang ke tubuh
Menginjak
Melukai dengan tangan kosong/alat/senjata
Menganiaya
18
Membunuh
Psikologis Membentak
Menyumpah
Mengancam
Merendahkan
Memerintah
Melecehkan
Menguntit, dan
Memata-matai
Lain-lain Bentuk kekerasan lain diluar kekerasan psikologi
dan kekerasan fisik.
Ekspresi
kekerasan
Verbal Memaki
Menyindir
Sumpah serapah
Mengancam dan
Mengeluarkan kata-kata kasar
Non Verbal Memukul
Menendang
Merampas
Mendorong
Menjambak
Memperkosa
Membunuh
Menodong
Memalak
Mencekik
Melempar
Dijedotin
19
Sumber : YPMA, Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2009 (Hamantara)
Gabungan Gabungan kekerasan verbal dan non verbal.
Relasi antar
karakter
Bagaimana hubungan antar karakter yang terlibat
dalam peristiwa seperti teman, saudara / sibling,
orang tua - anak, kerabat, atasan, bawahan, dsb.