BAB I PENDAHULUAN -...

17
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perseroan Terbatas atau yang biasa disebut PT, di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dimana dalam Pasal 1 Ayat (1) UUPT dijelaskan bahwa PT adalah badan hukum (recht persoon) dimana memiliki hak, kewajiban, dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. Sebagai suatu artificial person, perseroan tidak mungkin memiliki kehendak sehingga juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri. 1 Agar dapat melakukan kegiatannya, maka diperlukan alat perlengkapan yang disebut organ perseroan yang terdiri dari tiga macam yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. 2 Dari ketiga organ tersebut dapat dilihat salah satu organ penting dalam PT adalah Direksi karena merupakan organ PT yang memiliki tugas mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar 3 , serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan (Pasal 1 Ayat ( 5) dan Pasal 92 Ayat (1) UUPT). 1 Gunawan Widjaja, Tanggung jawab direksi atas kepailitan perseroan, Ed. 1. Cet. 2, PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 2004, h. 2. 2 Gatot Supramono, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan Kelima, PT Penerbit Djambatan, Jakarta, Hal. 9. 3 M.Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama, cet.ke- 1, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, h.225.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perseroan Terbatas atau yang biasa disebut PT, di Indonesia diatur

dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas. Dimana dalam Pasal 1 Ayat (1) UUPT dijelaskan bahwa PT

adalah badan hukum (recht persoon) dimana memiliki hak, kewajiban, dan

harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. Sebagai suatu

artificial person, perseroan tidak mungkin memiliki kehendak sehingga

juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri.1 Agar dapat melakukan

kegiatannya, maka diperlukan alat perlengkapan yang disebut organ

perseroan yang terdiri dari tiga macam yaitu Rapat Umum Pemegang

Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris.2 Dari ketiga organ tersebut dapat

dilihat salah satu organ penting dalam PT adalah Direksi karena

merupakan organ PT yang memiliki tugas mewakili perseroan baik di

dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran

dasar3, serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk

kepentingan tujuan perseroan (Pasal 1 Ayat ( 5) dan Pasal 92 Ayat (1)

UUPT).

1 Gunawan Widjaja, Tanggung jawab direksi atas kepailitan perseroan, Ed. 1. Cet. 2, PT Raja

Grafindo persada, Jakarta, 2004, h. 2. 2 Gatot Supramono, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan Kelima, PT Penerbit Djambatan,

Jakarta, Hal. 9. 3 M.Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi

pertama, cet.ke- 1, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, h.225.

2

Agar dapat melakukan secara legal mandate pengelolaan perseroan

“harus dikelola oleh direksi.” Kewajiban tersebut dibebankan oleh UUPT

kepada direksi sebagai suatu organ sehingga setiap anggota direksi wajib

dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk

kepentingan perseroan.4 Hal ini karena direksi mempunyai kewenangan

yang diberi oleh undang-undang dalam menjalankan fungsi pengurusan

dan perwakilan perseroan terbatas sehingga tidak memerlukan kuasa dari

Perseroan.5 Apabila direksi dalam melakukan tindakan pengambilan

keputusan menyebabkan kerugian pada PT, direksi tidak

bertanggungjawab terhadap kerugian PT, berdasarkan business judgement

rule.

Doktrin Putusan Bisnis (Business Judgment Rule) berasal dari sistem

common law yang merupakan turunan dari Hukum Korporasi di Amerika

Serikat. Dalam hukum korporasi terdapat doktrin business judgment rule,

disamping prinsip duty of skills and care, yang harus dijalankan dalam

rangka memenuhi fiduciary duty oleh Direksi Perseroan Terbatas. Sejalan

dengan diundangkannya UUPT yang diperbaharui dari UUPT nomor 1

tahun 1995 menjadi UUPT nomor 40 tahun 2007, yang merupakan

transplantasi hukum Anglo Saxon ke dalam hukum Indonesia, doktrin-

4 Tanggung jawab kolegial masing-masing anggota direksi dalam organ direksi dijelaskan dalam

penjelasan Pasal 83 Ayat (1) UUPT dan diperjelas kembali dalam ketentuan Pasal 85 Ayat (1) jo.

Pasal 57 Ayat (1) UUPT dalam suatu RUPS Tahunan. 5 M.Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Edisi 1, Cetakan kedua, Sinar Grafika,

Jakarta, 2009, h. 349.

3

doktrin modern tersebut dalam corporate law juga seharusnya dikandung

dalam Pasal 85 UUPT.6

Dalam penerapannya doktrin ini mencegah pengadilan-pengadilan di

Amerika untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh

Direksi yang diambil dengan itikad baik, dalam arti direksi suatu

perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu

tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan direksi tersebut didasari

itikad baik dan sifat hati-hati. Doktrin business judgment rule, di negara

asalnya Amerika Serikat yang menggunakan sistem common law, dapat

melindungi direksi dari tuntutan hukum, jika ternyata keputusan bisnis

yang diambilnya membawa konsekuensi kerugian bagi korporasinya.

Perlindungan ini dapat diberikan, jika dalam mengambil keputusan

tersebut, direksi memenuhi sejumlah persyaratan. Persyaratan ini, antara

lain, adalah tidak adanya benturan kepentingan atau conflict of interest,

dan keputusan itu dibuat demi kepentingan korporasi semata atau „to the

best interest of the corporation‟. Namun, hal yang perlu dipastikan disini

adalah bahwa UUPT yang saat ini berlaku telah mengandung secara penuh

dan pasti doktrin business judgement rule ini.

Doktrin ini yang telah lama diterapkan untuk melindungi Direksi

dalam pertanggungjawaban hukum yang diambil dari keputusan-keputusan

bisnis mereka dan mengajarkan bahwa suatu putusan direksi mengenai

aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun

6 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum

Indonesia, Cetakan ke II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, h. 205.

4

putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan,

sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Putusan sesuai hukum yang berlaku;

2. Dilakukan dengan itikad baik;

3. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose);

4. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rational

basis);

5. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh

orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa;

6. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya (reason

able belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan.7

Jika prinsip tanggungjawab direksi tersebut dikaitkan dengan business

judgement rule maka seorang direksi suatu perusahaan tidak

bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan

pengambilan keputusan, apabila tindakan direksi sesuai dengan apa yang

telah dicantumkan pada Pasal 97 ayat (5) UUPT yang mengatur mengenai

syarat seorang direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas suatu

kerugian PT. Berbeda dengan doktrin lainnya, yaitu fiduciary duty, ultra

vires, corporate oportunity dan self dealing dan business judgement rule

dirumuskan secara samar-samar dalam UUPT.8

Dengan demikian, walaupun berbeda (tetap tidak bertentangaan)

dengan doktrin-doktrin lain yang lebih memberatkan direksi. Oleh karena

itu, doktrin putusan bisnis ini lebih memihak kepada direksi, tetapi masih

7 Ibid., h, 186.

8 Tri Budiyono, Desember 2009, Transplantasi Hukum, Harmonisasi dan Potensi benturan,

Cetakan pertama, Griya Media, Salatiga, Hal. 258.

5

dalam koridor hukum perseroan yang umum bahwa pengadilan dapat

melakukan scrunty (penilaian) terhadap setiap putusan dari direksi,

termasuk putusan bisnis yang sudah di setujui oleh RUPS, sepanjang

untuk memutuskan apakah putusan tersebut sesuai dengan hukum yang

berlaku atau tidak. Akan tetapi, doktrin putusan bisnis ini tidak untuk

menilai sesuai atau tidaknya dengan kebijaksanaan bisnis.9

Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai

landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap

korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan tidak mau

untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut.

Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di

pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan

pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi.10

Berikut adalah salah

satu kasus hukum korporasi yang penulis angkat sebagai studi kasus dalam

penulisan skripsi ini yang membelit direksi di perseroan di tanah air.

Kronologi singkat kasus PT. Merpati Nusantara Airlines dengan

Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), yang melibatkan direksi.

Direktur Utama bersama dengan para Direksi lainnya PT MNA melakukan

penambahan dua unit pesawat. perjanjian sewa pesawat antara MNA dan

TALG. Keduanya sepakat atas Lease of Aircraft Summary of Term

(LASOT). Untuk pengadaan dua pesawat tersebut, LASOT mewajibkan

Merpati menempatkan security deposit. Ternyata kedua pesawat Boeing

9 Munir Fuady I , Op.Cit. Hal. 206.

10 L.C Soesanto, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia,

http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf

6

yang dijanjikan tidak datang.11

MNA pun mengadukan LASOT ke

pengadilan Amerika Serikat. Akhirnya, pengadilan AS memutuskan

TALG bersalah dan harus mengembalikan uang yang diambil dari MNA.

Pada pengadilan Indonesia direktur PT MNA dianggap sebagai tersangka

dalam perkara korupsi. Pada awal 2013 Direktur dan General Manager

Merpati di vonis bebas oleh pengadilan TIPIKOR karena mereka tidak

terbukti melakukan tindak pidana korupsi.12

Sepintas tampaknya doktrin business judgment rule menyisihkan

kekuatan berlakunya doktrin-doktrin duty of care. Praktis semua

pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota direksi tidak harus

bertanggungjawab atas terjadinya kerugian perseroan apabila anggota

direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgment) dilakukan

dengan itikad baik. Namun kebanyakan dari pengadilan juga berpendapat

bahwa tidak seharusnya para anggota direksi itu bertindak sembrono atau

melakukan kelalaian yang berat. Bila demikian halnya, maka anggota

direksi yang bersangkutan harus bertanggungjawab atas kerugian

perseroan yang telah ditimbulkannya.13

Mengenai perbuatan-perbuatan dan pertimbangan bisnis apa saja yang

tidak dilindungi oleh business judgment rule, sangat penting untuk

diketahui oleh masyarakat dan hakim. Apabila kita mempelajari putusan-

putusan pengadilan Amerika Serikat, dapat diketahui bahwa ternyata

11

Hotasi Nababan, Jangan Pidanakan Perdata, Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati,

Cetakan Pertama, Q Communication, Pejompongan, Jakarta, 2012, h. 9. 12

http://news.detik.com/read/2013/03/07/031656/2188024/10/kejaksaaan-ajukan-kasasi-atas-

vonis-bebas-hotasi-nababan, dikunjungi pada tanggal 12 November 2013 pukul 19.59. 13

Robert Charles Clark dalam Sutan Remy Syahdeni, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti,

Jakarta, 2002, h. 430.

7

Pengadilan-pengadilan tidak seragam dalam merumuskan pengecualian-

pengecualian rule tersebut. Beberapa pengadilan berpendapat bahwa

pertimbangan (judgment) seorang anggota direksi tidak dapat diganggu

gugat kecuali apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan suatu

kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of

interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality).

Sedangkan beberapa pengadilan yang lain berpendapat bahwa seorang

direktur, yang dalam mengambil pertimbangan yang telah menimbulkan

kerugian bagi perseroan, tidak dilindungi oleh business judgment rule

apabila kerugian tersebut adalah sebagai akibat kelalaian berat (gross

negligence) dari anggota direksi yang bersangkutan.14

Ide dasar dari tidak berlakunya perlindungan business judgment rule

bagi anggota direksi perseroan dalam hal terdapat kecurangan (fraud) dan

terdapat benturan kepentingan (conflict of interest) sedangkan para

anggota direksi itu ternyata telah berupaya untuk mengedepankan

kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat

transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya adalah karena

judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat dikatakan sebagai

”discretionary exercises of power on behalf of the corporation” yang ingin

dilindungi dengan rule tersebut. Sedangkan ide yang berada dibelakang

pengecualian terhadap berlakunya business judgment rule apabila terdapat

perbuatan yang melanggar hukum (illegality exception) adalah karena

14

Robert Charles Clark dalam Sutan Remy Syahdeni, Op. Cit, h. 429.

8

”shareholders derivative suits can be a useful supplement to the

enforcement activities of public prosecutors and regulatory agencies”.15

Uraian kasus MNA tersebut di atas menunjukkan dengan jelas adanya

masalah dari segi hukum. Masalah hukum yang dimaksud adalah bahwa

tindakan pengambilan keputusan direksi yang merupakan tugas direksi

sehari-hari sebagai pelaksana dari perseroan yang merupakan wewenang

dan tanggung jawab Direksi yang juga diatur dalam UUPT jelas

menunjukkan adanya kesenjangan dari segi hukum. Sepintas tampaknya

doktrin business judgment rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin-

doktrin duty of care. Praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat

bahwa anggota direksi tidak harus bertanggungjawab atas terjadinya

kerugian perseroan apabila anggota direksi dalam mengambil suatu

pertimbangan (judgment) dilakukan dengan itikad baik. Namun

kebanyakan dari pengadilan juga berpendapat bahwa tidak seharusnya

para anggota direksi itu bertindak sembrono (act negligently) atau

melakukan kelalaian yang berat (act in a grossly negligently way). Bila

demikian halnya, maka anggota direksi yang bersangkutan harus

bertanggungjawab atas kerugian perseroan yang telah ditimbulkannya.16

Berkaitan dengan tindakan anggota direksi atau pejabat korporasi

yang mengambil tindakan untuk kepentingan dan keuntungan bagi

korporasi, doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi para direktur

yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori Business

15

Loc. Cit., 16

Ibid.,

9

Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk

menjamin keadilan, bagi para direktur yang mempunyai itikad baik.

Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai

keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam

melakukan suatu keputusan bisnis.

Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak

disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat

sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah:

1. Memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan

percaya bahwa informasi tersebut benar,

2. Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan

memutuskan dengan itikad baik,

3. Memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan

yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.

Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang

diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi

yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih

keuntungan sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata

tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan

pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi

pengurus (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada

korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan

apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyalty.

10

Lagi pula, hal ini adalah keputusan dari direksi perusahaan bahwa

pencarian penyebab dari tindakan berdasarkan dari peraturan yang sudah

sempurna adalah bukan hal yang terbaik bagi perusahaan. Pendapat ini,

seperti putusan bisnis yang lainnya, harus dibuat oleh direktur perusahaan

sebagai pelaksanaan business judgment nya. Efek dari konklusi bisnis ini,

tidak dapat dipengaruhi oleh pernyataan yang ilegal dari tindakan awal

yang timbul pada penyebab tindakan tersebut.17

Keputusan Direksi yang menimbulkan kerugian perseroan atas

kesalahan atau kelalaiannya, dalam kenyataannya penuntutan, kasus PT.

Merpati Nusantara Airlines yang sudah saya uraikan diatas tersebut

dilakukan dengan menggunakan UU Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (TIPIKOR). Law in book berbeda dengan law in action,

karena penerapan hukum yang tidak tepat pada suatu perkara, yaitu antara

hukum perdata dengan hukum pidana, atau secara khusus antara UUPT

dalam ranah hukum bisnis dengan UU Pemberantasan TIPIKOR dalam

hukum publik. Kesenjangan dalam bentuk lain adalah antara das sein

dengan das sollen, atau ketentuan mengenai Business Judgement Rule

dalam hukum korporasi.

Hal ini yang perlu dipastikan, karena unsur kerugian negara itu

merupakan titik tolak kasus MNA di atas yang dituntut melalui UU

Pemberantasan TIPIKOR. Titik persoalan untuk memperjelas garis batas

antara kerugian akibat tindakan kepengurusan sehubungan dengan resiko

bisnis yang wajar yang dikandung dalam tindakan kepengurusan itu

17

Cf. Miller v. American Telephone &Telegraph Co. 507, F.2d 759 (3d Cir.1974)

11

dengan kerugian untuk memperkaya diri atau orang lain perlu

diketemukan. Dalam kasus PT MNA, UUPT belum dapat menentukan

“standar direksi” seperti di negara lain yang menetapkan standar duty of

care dan duty of loyality dalam penetuan pengelolaan perseroan yang

salah, apabila direksi di dalam mejalankan kewenangannya harusnya tidak

melanggar prinsip fiduciary duty sesuai standar pelanggaran duty of care

dan duty of loyality, maka direksi dapat memanfaatkan business judgement

rule untuk pembelaan dirinya bila ia dipertanggungjawabkan dalam

pengelolaan perseroan. Pada kasus kedua ini hanya merupakan resiko

bisnis dan bukan tindak pidana umum yang diatur oleh KUH Pidana atau

UU Pemberantasan TIPIKOR.

Dengan demikian adanya kesalahan dan kelalaian dari Direksi dapat

dipertanggungjawabkan secara pribadi harus memenuhi syarat adanya

kerugian yang timbul dari kesalahan atau kelalaiannya. Adanya kesalahan

dan kelalaian dari Direksi dilihat dari tindakannya yang tidak sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar

perseroan. Dilihat dari substansinya tindakan tersebut tidak didasarkan

atas itikad baik dan prinsip kehati-hatian (duty to act in good faith, duty of

care, duty of loyalty) sehingga merugikan perseroan.

Dilihat dari tindakannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan sehingga dapat

merugikan perseroan. Yang mana menurut Pasal 97 UUPT tersebut, syarat

Direksi dapat dimintakan tanggung jawab penuh secara pribadi apabila

direksi melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugasnya,

12

yaitu tanpa itikad baik dan tidak bertanggungjawab serta tidak untuk

kepentingan dan usaha perseroan.18

Setelah melihat latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis

tertarik untuk menulis “PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI

BERKAITAN DENGAN BUSINESS JUDGEMENT RULE

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

TENTANG PERSEROAN TERBATAS”

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan

permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tanggungjawab direksi berkaitan dengan Business

Judgement Rule berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas?

2. Bagaimanakah penerapan Doktrin Business Judgement Rule dalam

kasus PT. Merpati Nusantara Airlines?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan uraian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk

mendapatkan data dan informasi atau keterangan guna:

18

Orinton Purba , Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan Terbatas agar

terhindar dari Jerat Hukum, Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Cimanggis, Depok, 2011,

h. 69.

13

1. Mengetahui pengaturan atas pertangungjawaban Direksi berkaitan

dengan Business Judgement Rule berdasarkan Undang-undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

2. Mengetahui penerapan dari doktrin Business Judgement Rule

tersebut dalam kasus PT. Merpati Nusantara Airlines.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat terhadap hukum

korporasi di Indonesia dan pembelajaran, di antaranya :

1. Manfaat Teoritik

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awal

guna mengetahui lebih lanjut tentang pertanggungjawaban Direksi

pada Perseroan Terbatas dikaitkan dengan Business Judgement,

yang selama ini masih salah kaprah dalam perlindungan direksi

dikaitkan dengan kerugian negara.

2. Manfaat Praktis

Dengan penelitian ini penulis dapat menambah wawasan ilmu

yang baru untuk memahami atau mengetahui pelaksanaan doktrin

Business Judgement Rule dalam pertanggungjawaban Direksi pada

Perseroan Terbatas yang disusun dalam bentuk skripsi sebagai

syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

14

E. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan salah satu cara yang tepat untuk

memecahkan masalah. Selain itu penelitian ini juga dapat digunakan

untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran. Apabila

di dalam penelitian tersebut menggunakan peraturan perundang-

undangan, yang harus dilakukan oleh peneliti adalah mencari peraturan

perunfang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu

tersebut.19

Penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian yuridis

normatif yang mengedepankan data sekunder untuk menjelaskan

masalah hukum yang diangkat.

1. Metode Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan dua

pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan

konsep.

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) adalah

pendekatan yang dilakukan dengan menelaah Undang-Undang

dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

ditangani. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji secara

mendalam tentang Analisis Yuridis Normatif terhadap

Pertanggungjawaban Direksi berkaitan dengan Business

19

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Surabaya, 2010, h. 194.

15

judgement Rule berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas.20

b. Pendekatan Konsep adalah pendekatan yang beranjak dari

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam

ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan

menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian

hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang

relevan dengan isu yang dihadapi. Dalam penelitian ini

pertanggungjawaban direksi berkaitan dengan business

judgement rule berdasarkan undang-undang nomor 40 tahun

2007 tentang perseroan terbatas.

2. Teknik Pengumpulan Data

Suatu penelitian membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini

dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai

validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Pengumpulan data

mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan

pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk

selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan

dengan hal tersebut, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode

kepustakaan dalam melakukan pengumpulan data yaitu dalam

menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi bahan

hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan dan

20

Ibid, h. 93.

16

bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka

yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, sebagai

contoh buku-buku, jurnal, majalah, buletin dan internet.

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer yaitu Peraturan Perundang-undangan

antara lain:

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas dimana merumuskan pasal 1 ayat (1), pasal 1 ayat (5),

pasal 92 ayat (1), pasal, 92 ayat (5) pasal 85, pasal 103, dan

pasal 97.

b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku teks yang

ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh pada jurnal-

jurnal hukum, pendapat para sarjana, yurisprudensi dan hasil-

hasil simposium mutakhir atau majalah hukum yang berkaitan

dengan permasalahan dalam penelitian ini. Bahan hukum

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terkait dengan

permasalahan yang dikaji yaitu berasal dari penjelasan

Undang-undang, buku-buku liberatur, artikel, internet dan

pendapat para ahli.21

c. Bahan Hukum Tersier, yang merupakan bahan-bahan hukum

yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

21

Ibid, h. 296.

17

hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Kamus Hukum dan Oxford Law Dictionary, dan

Black’s Law Dictionary.

4. Unit Analisis dan Unit Amatan

a. Unit Amatan

Unit amatan di dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya

yang ditempuh dalam penyelamatan kredit bermasalah

berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas .

b. Unit Analisis

Dalam Anailis ini untuk pengumpulan bahan hukum

dilakukan melalui Studi Kepustakaan (Library Research),

berupa dokumen-dokumen maupun Peraturan Perundang-

undangan yang berkaitan dengan Tanggung jawab direksi

berkaitan dengan business judgement.