BAB I PENDAHULUAN I. LATAR...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN I. LATAR...
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Dalam menjalankan tugasnya, public relations atau Humas harus
berhadapan dengan berbagai macam publik yang memiliki kepentingan
berbeda dan bermacam-macam. Untuk efektifnya komunikasi yang dilakukan
dalam membina hubungan dengan publik, para praktisi Humas umumnya
mengklasifikasikannya menjadi kelompok-kelompok tertentu, yaitu
masyarakat sekitar, pelanggan, instansi pemerintah, media, dan lain
sebagainya (Effendi, 1990:137).
Salah satu tujuan eksternal Humas adalah untuk mengeratkan hubungan
dengan orang-orang diluar badan atau instansi, hingga terbentuklah opini
publik yang sesuai dan positif terhadap badan itu. Bagi suatu perusahaan,
hubungan-hubungan dengan publik di luar perusahaan itu merupakan suatu
keharusan di dalam usaha-usaha untuk: memperluas langganan,
memperkenalkan produksi, mencari modal dan hubungan, memperbaiki
hubungan dengan serikat-serikat buruh, mencegah pemogokan-pemogokan,
memecahkan persoalan-persoalan atau kesulitan-kesulitan yang sedang
dihadapi, dan lain-lain (Abdurrachman, 1995:38).
Salah satu peran PR adalah untuk menangani konflik yang terjadi baik
internal maupun eksternal, baik itu konflik manifest maupun konflik laten.
Nicholson (1991:59) menyatakan bahwa “conflict resolution is the process
facilitating a situation where the actors no longer feel need to indulge in
conflict activity and feel that the distribution of benefits in social system is
acceptable.”
Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah konflik yang terjadi karena
pembangunan bandara baru di Yogyakarta, tepatnya di Kecamatan Temon,
Kabupaten Kulonprogo. Proyek besar yang diprakarsai oleh PT. Angkasa
2
Pura I ini menimbulkan konflik antara pihak penyelenggara (PT. Angkasa
Pura I dan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo) dengan warga Kecamatan
Temon yang terdampak pembangunan. New Yogyakarta International Airport
(NYIA) merupakan sebuah proyek besar pembangunan bandara utama
Yogyakarta yang nantinya akan menggantikan fungsi Bandara Internasional
Adisutjipto sebagai bandara utama di Yogyakarta. Direncanakan akan
dibangun diatas lahan seluas 627 hektar, pembangunan bandara ini ditetapkan
di lima desa yang berada di Kecamatan Temon1. Lima desa tersebut adalah
Desa Jangkaran, Sindutan, Palihan, Kebonrejo, dan Glagah, dengan jumlah
warga terelokasi sebanyak kurang lebih 2.465 orang.
Proyek besar bandara baru di Kulonprogo ini tentunya tidak terlepas dari
pro dan kontra. Warga terdampak proyek pembangunan yang menolak
menyatakan keberatan dengan berbagai alasan. Alasan utama mengapa
mereka menolak pembangunan Bandara ini adalah persoalan tanah dan lahan
yang akan dipakai merupakan kampung halaman mereka, tanah pusaka
warisan leluhur, serta sumber kehidupan saat ini maupun untuk anak cucu
mereka nanti. Warga yang menolak proyek pembangunan ini tergabung
dalam sebuah gerakan bernama WTT atau Wahana Tri Tunggal.
Persoalan mengenai lahan yang direncanakan akan digunakan sebagai
lokasi bandara baru di Kulonprogo tidak berhenti sampai dipersoalan bahwa
tanah tersebut merupakan tanah tempat tinggal dan sumber kehidupan warga.
Warga Kecamatan Temon yang tergabung dalam WTT menyatakan menolak
tanpa syarat soal proyek pembangunan bandara baru ini. Pasalnya,
pembangunan bandara ini berdasarkan pada Peraturan Daerah Kulonprogo
No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2001-2032
yang bertolakbelakang dengan peraturan-peraturan yang tingkatannya lebih
atas seperti Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRW
Nasional, Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2012 tentang RTRW Pulau
Jawa-Bali dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2
1 Dokumen pra-riset berbentuk PowerPoint dari PT. Angkasa Pura I
3
Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2009-2029. Dari ketiga peraturan tersebut tidak ada
satupun kalimat yang menerangkan tentang pembangunan bandara baru di
Kulonprogo2.
Dalam Perda DIY nomor 2 tahun 2010 tersebut dikatakan bahwa
Kabupaten Kulonprogo diklasifikasikan menjadi 2 bagian kawasan, yakni
kawasan budidaya seluas 184,56 km2 dan kawasan lindung seluas 397,9 km2.
Perda ini menjelaskan bahwa kawasan Kabupaten Kulonprogo diperuntukkan
untuk kawasan budidaya dan kawasan lindung. Hal inilah yang menjadi
senjata utama WTT secara legal untuk menentang proyek pembangunan
bandara baru supaya petani-petani serta warga Kecamatan Temon tetap
terjaga lumbung pangannya.
Walaupun menuai protes keras dari warga yang menolak, proses
pembangunan bandara baru tetap berjalan walaupun meleset dari perencanaan
awal. Sesuai dengan Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum, PT. Angkasa Pura I sebagai pemrakarsa
proyek menjalankan tiga tahap yang sudah dijelaskan dalam Undang-Undang
tersebut, yakni perencanaan, persiapan, dan pelaksanaan. Yang saat ini
proyek pembangunan masih dalam tahap persiapan pengadaan tanah. Pada
tahap ini PT. Angkasa Pura I bersama Pemerintah Provinsi Yogyakarta lewat
Pemerintah Kabupaten Kulonprogo melaksanakan pemberitahuan rencana
pembangunan, pendataan awal lokasi rencana pembangunan, dan konsultasi
publik rencana pembangunan.
Pemberitahuan rencana pembangunan yang dimaksud disampaikan kepada
masyarakat yang berada di lokasi rencana pembangunan, baik langsung
maupun tidak langsung. Pendataan awal lokasi rencana pembangunan
meliputi pengumpulan data awal dari pihak yang terdampak proyek
pembangunan. Dan konsultasi publik rencana pembangunan dilaksanakan
2 http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/08/20/160467/warga-kulonprogo-ajukan-judicial-
review-tata-ruang-bandara-ke-ma diakses tanggal 27 April 2016
4
untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencan pembangunan dari pihak atau
warga yang terdampak.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada tahap ini pihak PT.
Angkasa Pura I dan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo membutuhkan
sebuah bagian atau divisi Humas untuk berhubungan dengan warga dan
menjalankan tahap persiapan pengadaan tanah.
Sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Kulonprogo untuk
menangani konflik terkait rencana pembangunan tersebut, pihak PT. Angkasa
Pura I hanya bertanggung jawab mengganti lahan warga yang terkena
dampak proyek saja3. Hal tersebut senada dengan penuturan Gubernur DIY
Sri Sultan Hamengkubuwono X yang menyatakan bahwa pihak yang
berwenang untuk menyelesaikan masalah ini adalah Pemkab Kulonprogo
karena Pemprov DIY meyakini bahwa Pemkab Kulonprogo masih mampu
untuk menyelesaikan konflik ini. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
Pemerintah Kabupaten Kulonprogo membutuhkan divisi kehumasannya
untuk menangani pertentangan dan perselisihan dengan warga terkait proyek
pembangunan bandara baru di Kulonprogo.
Arus penolakan terhadap rencana pembangunan bandara baru ini terus
mengalir semenjak awal rencana ini dicetuskan. Berbagai bentuk protes sudah
dilayangkan oleh warga, mulai dari pemasangan spanduk serta tulisan-tulisan
mengenai penolakan proyek bandara, demonstrasi, sampai tahapan kekerasan
seperti penyegelan dan perusakan balai desa. Upaya-upaya untuk menangani
protes dan konflik ini pun selalu dikerahkan oleh Pemerintah Kabupaten
Kulonprogo melalui Humasnya, seperti berkoordinasi dengan awak media
untuk memberikan informasi kepada warga, mengadakan sosialisasi dengan
warga terdampak, melakukan “kulo nuwun” kepada warga terdampak,
melakukan “open house” bagi warga yang ingin sekedar bertanya atau
melayangkan ketidaksetujuannya atas pembangunan bandara baru, bahkan
3 Hasil wawancara pra riset dengan pihak PT. Angkasa Pura I yang diwakili oleh Humas PT.
Angkasa Pura I.
5
sampai tahapan membantu warga yang ingin pindah rumah atau pindah lahan
terlebih dahulu.
Fenomena ini menarik untuk dijadikan sebuah objek penelitian karena ada
begitu banyak kepentingan dan isu-isu besar di dalamnya, seperti kemunculan
Perda Kulonprogo nomor 1 Tahun 2012 yang bertolak belakang dengan
peraturan-peraturan yang tingkatannya lebih tinggi, hasil persidangan di
PTUN yang mendukung gugatan warga atas Izin Penetapan Lokasi (IPL)
proyek pembangunan bandara baru, dan isu-isu politik tentang pihak yang
menunggani WTT. Pemerintah Kabupaten Kulonprogo harus bekerja keras
melalui Humasnya untuk terus meyakinkan warga yang menolak bahwa
pembangunan bandara baru ini akan menaikkan taraf hidup serta
kesejahteraan warga Kecamatan Temon. Namun warga setempat tidak
berpendapat sedemikian rupa, mereka berpendapat bahwa hidup mereka
sudah baik-baik saja, cukup, tidak kesusahan tanpa perlu adanya
pembangunan bandara, justru karena pembangunan bandara membuat resah
warga karena merasa kehidupan mereka akan terancam keberlangsungannya.
Sudah menjadi tugas seorang Humas untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi antara pihak instansi dengan pihak luar tanpa mencederai salah satu
pihak. Sebuah tantangan besar bagi Humas Pemerintah Kabupaten
Kulonprogo untuk menemukan titik terang dari perang kepentingan seperti
yang terjadi dalam proyek pembangunan bandara baru ini. Maka dari itu
peneliti tertarik untuk melihat bagaimana komunikasi dan resolusi konflik
yang dilakukan Humas Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dalam menangani
konflik atas proyek pembangunan bandara baru ini. Karena jika konflik ini
dibiarkan berlarut, maka bukan tidak mungkin proyek besar ini akan berjalan
ditempat, bahkan dapat menimbulkan konflik yang lebih besar lagi
kedepannya yang bisa menimbulkan keriguan besar secara materil maupun
imateril.
6
II. RUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana
komunikasi dan resolusi konflik yang dilakukan oleh Humas Pemerintah
Kabupaten Kulonprogo terhadap warga kecamatan Temon Kabupaten
Kulonprogo yang menolak proyek pembangunan bandara baru atau New
Yogyakarta International Airport (NYIA).
III. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah peneliti ingin melihat dan mengetahui hal-hal
sebagai berikut:
1. Permasalahan serta konflik yang muncul antara warga dengan pihak
penyelenggara pembangunan bandara baru di Kulonprogo (NYIA).
2. Peranan Humas Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dalam proyek
pembangunan bandara baru di Kulonprogo (NYIA).
3. Komunikasi serta resolusi konflik yang dilakukan oleh Humas Pemerintah
Kabupaten Kulonprogo dalam menangani konflik dengan warga.
IV. MANFAAT PENELITIAN
Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kajian
akademis maupun praktis, yakni:
1. Dapat memberikan bahan pembelajaran dalam hal kehumasan khususnya
dalam hal resolusi konflik melalui perspektif kehumasan.
2. Dapat menjadi sebuah ilmu bagaimana praktek riil kehumasan yang terjadi
di lapangan untuk mempertemukan titik tengah diantara perang
kepentingan.
3. Menjadi bahan acuan dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
V. KERANGKA PEMIKIRAN
Untuk menjelaskan alur berpikir dalam penelitian ini, maka penulis
menyusun kerangka pemikiran dalam memudahkan pengidentifikasian
jawaban atas masalah yang penulis teliti. Untuk itu penulis menggunakan tiga
7
konsep atau teori dalam menganalisis bagaimana komunikasi dan resolusi
konflik yang dilakukan oleh Humas Pemerintah Kabupaten Kulonprogo
terhadap warga kecamatan Temon Kabupaten Kulonprogo yang menolak
proyek pembangunan bandara baru, yakni konsep peranan humas, resolusi
konflik, dan komunikasi dalam resolusi konflik.
5.1. Peranan Humas
Menurut Grunig & Hunt dalam Putra (2008) memfokuskan Humas
sebagai kegiatan komunikasi. Mereka mengemukakan pengertian Humas
sebagai “the management of communication between an organization and
its public.” Mereka melihat humas sebagai kegiatan pengelolaan
komunikasi antara sebuah organisasi dengan berbagai publiknya.
Batasan pengertian Humas menurut para ahli sampai saat ini belum
ada satu kesepakatan tegas, karena disebabkan hal-hal yaitu: pertama,
banyaknya definisi Humas yang telah dirumuskan oleh baik para pakar
atau ahli, maupun profesional humas yang satu sama lain saling berbeda
pendapat. Kedua, terjadinya perbedaan batasan pengertian tentang
PR/Humas tersebut diakibatkan adanya latar belakang yang berbeda,
misalnya definisi yang dilontarkan oleh kalangan akademisi/teoritis
perguruan tinggi tersebut akan lain bunyinya dengan apa yang
diungkapkan oleh kalangan praktisi. Dan ketiga, sesuatu yang
menunjukkan baik secara teoritis maupun praktisi bahwa kegiatan
PR/Humas itu bersifat dinamis dan fleksibel terhadap perkembangan
dinamika masyarakat yang mengikuti kemajuan zaman, khususnya
memasuki era globalisasi saat ini (Ruslan, 2002).
Perkembangan profesionalisme PR atau Humas yang berkaitan
dengan pengembangan peranan PR, baik sebagai praktisi maupun
profesional dalam suatu organisasi atau perusahaan, menurut Dozier
dalam Ruslan (2002), bahwa peranan praktisi PR atau Humas dalam
organisasi tersebut merupakan salah satu kunci untuk memahami fungsi
8
PR dan komunikasi organisasi, disamping itu juga merupakan kunci untuk
pengembangan peranan praktisi PR dan pencapaian profesional dalam PR.
Dozier dalam Ruslan (2002) mengemukakan bahwa peranan PR
atau Humas dibagi empat kategori dalam suatu organisasi, yaitu sebagai
berikut:
a. Expert prescriber
Sebagai praktisi ahli kehumasan yang berpengalaman dan memiliki
kemampuan tinggi dapat membantu untuk mencari solusi dalam
penyelesaian masalah hubungan dengan publiknya. Hubungan praktisi
ahli PR dengan manajemen organisasi seperti hubungan antara dokter
dan pasiennya, sehingga pihak manajemen bertindak pasif untuk
menerima atau mempercayai apa yang telah disarankan atau usulan
dari ahli PR yang memiliki pengalaman dan keterampilan tinggi
dalam memecahkan serta mengatasi persoalan Humas yang tengah
dihadapi oleh organisasi bersangkutan.
b. Communication facilitator
Dalam hal ini, praktisi PR bertindak sebagai komunikator atau
mediator untuk membantu pihak manajemen dalam hal untuk
mendengar apa yang diinginkan dan diharapkan oleh publiknya dari
organisasi bersangkutan, sekaligus harus mampu menjelaskan kembali
keinginan, kebijakan dan harapan organisasi kepada pihak publiknya.
Sehingga dengan komunikasi timbal balik tersebut yang
dilaksanakan oleh PR bersangkutan dapat tercipta saling pengertian,
mempercayai, menghargai dan toleransi yang baik dari kedua belah
pihak.
c. Problem solving process facilitator
Peranan praktisi PR dalam hal proses pemecahan persoalan PR ini,
merupakan bagian tim manajemen untuk membantu pimpinan
9
organisasi baik sebagai penasihat hingga mengambil tindakan
eksekusi dalam mengatasi persoalan atau krisis yang tengah dihadapi
secara rasional dan profesional. Biasanya dalam menghadapi suatu
krisis yang terjadi, maka dibentuk suatu tim posko yang dikoordinir
praktisi ahli PR dengan melibatkan berbagai departemen dan keahlian
dalam suatu tim khusus untuk membantu organisasi, perusahaan dan
produk yang tengah menghadapi atau mengatasi persoalan krisis
tertentu.
d. Communication technician
Berbeda dengan tiga peranan praktisi PR profesional sebelumnya
yang terkait erat dengan fungsi dan peranan manajemen organisasi.
Sedangkan dalam peranan communication technician ini sebagai
journalist in resident yang hanya menyediakan layanan teknis
komunikasi atau dikenal dengan method of communication in
organization dan sistem komunikasi dalam organisasi tergantung dari
masing-masing bagian atau tingkatan (level), yaitu secara teknis
komunikasi, baik arus maupun media komunikasi dipergunakan dari
tingkat pimpinan dengan bawahan akan berbeda dari bawahan ke
tingkat atasan. Begitu juga arus dan media komunikasi antara satu
level, misalnya komunikasi antar karyawan satu departemen dengan
lainnya.
Menurut Putra dalam Ruslan (2002:23) mengatakan apakah
praktisi PR tersebut berkembang menjadi atau memiliki kemampuan
sebagai “kemampuan manajerial” atau public relations manager, dan
memiliki kemampuan teknis dalam komunikasi. Dapat terjadi kedua
model peranan praktisi PR profesional tersebut harus dikuasai
sekaligus oleh praktisi PR bersangkutan dalam melaksanakan
fungsinya pada aktivitas dan operasional manajemen organisasi.
Menurut Ruslan (2002), peranan PR atau Humas tersebut
diharapkan menjadi “mata” dan “telinga” serta “tangan kanan” bagi
10
top manajemen dari organisasi, yang ruang lingkup tugasnya antara
lain meliputi aktivitas:
a. Membina hubungan ke dalam (publik internal)
Yang dimaksud dengan publik internal adalah publik yang
menjadi bagian dari organisasi itu sendiri. Dan mampu
mengidentifikasi atau mengenali hal-hal yang menimbulkan
gambaran negatif di dalam masyarakat, sebelum kebijakan itu
dijalankan oleh organisasi.
b. Membina hubungan ke luar (publik eksternal)
Yang dimaksud publik eksternal adalah publik umum atau
masyarakat, mengusahakan tumbuhnya sikap dan gambaran yang
positif dari publik terhadap lembaga yang diwakilinya.
5.1.1. Fungsi Humas Pemerintah
Fungsi pokok humas pemerintah dalam Ruslan (2001:110) pada
dasarnya sebagai berikut
a. Mengamankan kebijaksanaan dan program kerja
pemerintah yang diwakilinya.
b. Memberikan pelayanan, menyebarluaskan pesan-pesan dan
informasi mengenai kebijaksanaan, hingga mampu
mensosialisasikan program-program pembangunan, baik
secara nasional maupun daerah kepada masyarakat.
c. Menjadi komunikator sekaligus mediator yang proaktif
dalam upaya menjembatani kepentingan instansi
pemerintah di satu pihak dan menampung aspirasi atau
opini publik, serta memperhatikan keinginan-keinginan
masyarakat di lain pihak.
d. Berperan serta secara aktif dalam menciptakan iklim yang
kondusif dan dinamis demi mengamankan stabilitas dan
11
program pembangunan, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.
5.1.2. Peran Humas Pemerintah
Peran praktis dan strategis kehumasan pemerintah dalam Ruslan
(2001:110) menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
a. Secara taktis dalam jangka pendek, Humas/PR instansi
pemerintah berupaya memberikan pesan-pesan atau
informasi yang efektif kepada masyarakat sebagai khalayak
sasarannya. Kemampuan untuk melaksanakan komunikasi
yang efektif, memotivasi dan memiliki pengaruh terhadap
opini publik sebagai upaya “menyamakan persepsi” dengan
tujuan dan maksud dari instansi/lembaga yang
bersangkutan.
b. Secara strategis (jangka panjang) Humas/PR instansi
pemerintah berperan aktif dalam proses pengambilan
keputusan, dalam meberikan sumbangan saran, gagasan, ide
yang kreatif serta cemerlang untuk menyukseskan program
kerja lembaga bersangkutan, hingga mampu menunjang
keberhasilan pembangunan nasional jangka panjang serta
mendorong melalui kerjasama dan mendapat dukungan
masyarakat.
5.2. Resolusi Konflik
Nicholson menyatakan bahwa “conflict resolution is the process
facilitating a solution where the actors no longer feel the need to indulge
in conflict activity and feel that the distribution of benefits in social
system is acceptable”, (Nicholson, 1991:59). Ketika pihak yang
berkonflik merasa sudah tidak perlu untuk melanjutkan konflik yang ada,
resolusi konflik menjadi fasilitas bagi terciptanya suatu proses solusi.
Resolusi konflik merupakan suatu proses upaya untuk meredam atau
12
bahkan menyelesaikan suatu konflik. Sebagaimana Kriesberg (2006:107)
mendefinisikan resolusi konflik sebagai “conducting conflicts,
constructively, even creatively”. Hal itu berarti meminimalkan kekerasan
yang timbul akibat konflik, mengatasi permusuhan yang terjadi antara
pihak yang berkonflik, membuat suatu hasil yang saling dapat diterima
oleh para pihak berkonflik dan suatu penyelesaian yang dapat
dipertahankan.
Dalam proses penyelesaian konflik yang terjadi, para peneliti
menetapkan pendekatan konflik manajemen yang sangat beragam.
Menurut Littlejohn dan Domenici (2007:15) terdapat dua genre dalam
manajemen konflik yaitu adversial methods dan alternative dispute
resolution (ADR):
a. Adversial Method
Pendekatan ini memiliki kecenderungan lebih konfronsional, oleh
karena itu dipahami dalam tiga bentuk pendekatan:
1) Pengajuan perkara secara hukum (litigasi)
Ketika konflik tidak juga terselesaikan dalam- apa yang
disebut Littlejohn dan Domenici (2007:16) sebagai normal course
event- maka pihak yang berkonflik biasanya menyelesaikannya
dengan proses formal yakni mengajukan perkara konflik tersebut
ke pengadilan. Pihak yang berkonflik akan diwakili oleh
pengacara dan menghadapi konsekuensi bahwa mereka tidak dapat
mengontrol apa yang akan terjadi di pengadilan. Proses litigasi ini
merupakan win/lose process dimana masing-masing pihak
berkonflik saling berlawanan dan mencoba menjatuhkan satu sama
lain. Selain itu, proses ini sangat menguras waktu, tenaga juga
biaya.
13
2) Kecaman (diatribe)
Dalam proses resolusi konflik, terkadang salah satu pihak
merasa sangat frustasi akibat ketidakmampuan pihak lawan dalam
memahami posisi dan cara pandangnya yang berakibat munculnya
kecaman-kecaman yang keluar dari pihak tersebut. Kecaman ini
dapat berbentuk penyebutan nama secara kasar, mengejek,
berteriak, dan pelepasan kemarahan yang tidak pantas. Jenis
komunikasi ini biasanya tidak menyelesaikan masalah dan justru
berlanjut pada pemaksaan (force)
3) Pemaksaan (force)
Pemaksaan bsia menjadi suatu ancaman atau bahkan
kekerasan dalam situasi konflik. Meskipun telah menjadi suatu
yang biasa, kekerasan dalam pemaksaan justru menaikkan tensi
dari konflik itu sendiri. Karena sifatnya tersebut maka pemaksaan
bisa menjadi bentuk yang terburuk dari upaya resolusi konflik.
b. Alternative Dispute Resolution (ADR)
ADR merupakan suatu bentuk alternatif pilihan dalam melakukan
resolusi konflik yang biasanya disertai dengan metode partisipasi
pihak ketiga. ADR secara luas merujuk pada semua metode
nonadversial/yang digunakan dalam meresolusi konflik. Bentuk-
bentuk pendekatan ini adalah:
1) Negosiasi
Negosiasi dapat ditempuh dengan jalan formal atau
nonformal, secara privat atau terbuka, secara langsung atau
melalui perwakilan tertentu. Negosiasi yang berhasil
mensyaratkan pihak yang berkonflik untuk dapat mendefinisikan
isu dan kepentingan yang ada, berkomunikasi secara jelas,
14
mendengar dan memahami posisi pihak lain, dan bekerjasama
dalam membuat suatu jalan kesepakatan.
2) Mediasi
Mediasi memfasilitasi negosiasi untuk dapat bekerja
bersama mencari solusi terbaik dari perbedaan yang ada dengan
pihak ketiga yang netral. Mediasi biasanya dimengerti sebagai
perpanjangan dari negosiasi. Dalam proses mediasi, peran
mediator menjadi sangat krusial, maka mediator sebaiknya
memiliki karakteristik dapat membuka saluran komunikasi antar
dua pihak, menekankan pada hasil atau tujuan dari proses juga
bersifat menghargai masing-masing pihak.
3) Arbitrase
Bentuk partisipasi pihak ketiga lainnya adalah arbitrase
yang biasanya digunakan dalam resolusi konflik bisnis. Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun
1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
menyebutkan bahwa: “arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa.”
5.3. Komunikasi dalam Resolusi Konflik
Moore dan Wood dalam Fazzi (2011:88) menyatakan bahwa
“communication is the life blood of negotiation” dimana dalam mencapai
suatu kesepakatan, maka para pihak tidak hanya harus berkomunikasi dan
bertukar informasi, tapi juga harus mengitrepretasi secara akurat.
Komunikasi sangat berperan dalam tercapainya suatu penyelesaian dalam
konflik juga dalam proses negosiasi untuk tercapainya penyelesaian itu.
Negosiasi sebagai suatu proses timbul melalui komunikasi yang terjadi
15
antara para pihak yang berkonflik atau para aktor yang menjadi pihak
ketiga atau negosiatior. Pengertian negosiasi sangat beragam dan luas,
namun dalam penelitian ini, negosiasi dimaknai sebagai suatu proses.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Lax dan Sebenius negosiasi diartikan
sebagai “a process of potentially opportunistic interaction by which two
or more parties, with some apparent conflict, seek to do better through
jointly decided action than they could otherwise”, (Lax dan Sebenius
dalam Weingart dan Olenkalns, 2004:143).
Komunikasi pada umumnya memiliki model-model yang khas
dalam penjelasannya. Begitu pula dalam proses konflik, terdapat beberapa
model komunikasi yang dikenal, diantaranya (Abigail dan Cahn,
2011:10):
a. Model komunikasi linear
Model ini lebih berfokus pada hasil akhir dari konflik yakni
mendapatkan perubahan sikap atau perilaku dari pihak yang
berlawanan sehingga sesuai dengan apa yang diinginkan. Oleh karena
model ini lebih menitikberatkan pada hasil akhir saja, maka terkadang
proses komunikasi yang terjadi didalamnya tidak berlangsung dengan
baik. Para pihak yang berkonflik atau pihak yang terlibat dalam proses
resolusi konflik lebih sering menyalahkan pihak lawan atau pihak
yang tidak disenangi tanpa berpikir bahwa masing-masing pihak
sebenarnya berkontribusi terhadap keberlangsungan konflik.
Komunikasi yang terjadi dapat berwujud convincing, persuading,
controlling, atau dominating. Hal ini sebaiknya tidak terjadi karena
tentu akan berdampak buruk apda hubungan antara para pihak dan
justru menimbulkan konflik yang berlarut-larut.
b. Model komunikasi transaksional
Model komunikasi ini menekankan bahwa konflik bukan tentang
apa yang akan kita lakukan supaya pihak lain sesuai dengan posisi
16
kita, namun lebih kepada apa yang akan dilakukan bersama-sama
supaya konflik cepat selesai. Konflik dipahami sebagai proses
memberi dan menerima, saling merespon dari apa yang pihak lain
utarakan, bekerja bersama-sama dalam mencari solusi dan berdiskusi
hingga mendapatkan kesepakatan dan resolusi. Masing-masing pihak
yang berkonflik dan pihak yang berupaya menyelesaikan konflik
bertanggungjawab dalam menimbulkan sikap empati, menghindari
prasangka, menjaga pikiran tetap terbuka dan mewujudkan resolusi
yang terbaik.
Komunikasi yang terjadi dalam negosiasi pada umumnya
berdasarkan kerelaan masing-masing pihak untuk bersikap
akomodatif. Komunikasi yang akomodatif ini memberikan jalan bagi
para aktor dalam resolusi konflik dan para pihak yang berkonflik
untuk dapat berkomunikasi sesuai dengan situasi yang dihadapi
sekaligus akan menentukan bagaimana pola komunikasi didalam
konflik akan terbentuk. Pola-pola komunikasi yang dipilih oleh aktor
dalam penyelesaian konflik dipengaruhi oleh pilihan-pilihan para
aktor dalam merespon konflik yang ada. Secara umum aktor akan
merespon konflik dengan lebih menitik beratkan salah satu dari tiga
orientasi. Orientasi-orientasi tersebut, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Abigail dan Cahn (2011:45) dapat mempengaruhi sikap atau
komunikasi yang dipilih dalam menghadapi konflik. Orientasi dan
pilihan komunikasi dalam konflik tersebut adalah sebagai berikut:
a. Orientasi pada pihak lain (other-centered orientation)
Orientasi ini lebih mementingkan apa yang pihak lain
inginkan disbanding apa yang dirinya inginkan. Other-centered
orientation dapat menghasilkan pilihan sikap dalam menghadapi
konflik atau komunikasi yang dipilih dalam konflik yaitu non-
assertive communication.
17
1) Non-assertive communication
Pilihan komunikasi dalam konflik yang pertama ini
membantuk dua pendekatan perilaku: pertama; avoiding, yaitu
menghindar dari konflik atau bahkan tidak peduli dengan
konflik yang terjadi. Kedua; accommodating, yaitu ketika
salah satu pihak yang sebenarnya ingin menyampaikan apa
yang ia inginkan tetapi mudah menyerah dan memilih untuk
sepakat dengan pendapat lain tanpa memberikan pendapatnya
atau menyatakan complain.
b. Orientasi pada diri sendiri (self-centered orientation)
Sesuai dengan penyebutannya, orientasi ini lebih
menitikkan pada kepentingan diri daripada kepentingan orang lain.
Orientasi ini dapat melahirkan dua pilihan komunikasi konflik
yaitu:
1) Passive-aggressive communication
Ketika satu pihak memilih bentuk komunikasi ini, ia
cenderung tidak secara langsung atau terbuka mengemukakan
keinginan dan pendapatnya, namun ia justru menempuh jalan-
jalan yang licik seperti memfitnah atau sabotase.
2) Aggressive communication
Bentuk komunikasi ini didefinisikan sebagai kemampuan
memaksakan kehendak satu pihak kepada pihak lain dengan
tekanan atau bahkan kekerasan baik secara verbal ataupun
non-verbal.
c. Orientasi pada hubungan (relationship-centered orientation)
Orientasi yang terakhir ini, dapat dipahami bahwa baik
kepentingan diri dan kepentingan pihak lain adalah penting dan
keduanya dapat terwujud dengan seimbang. Pilihan yang
18
berorientasi pada hubungan antara dua pihak ini dapat
menghasilkan apa yang disebut sebagai assertive communication.
1) Assertive communication
Merupakan kemampuan dalam menyampaikan keinginan
dari satu pihak dengan tidak mengganggu kepentingan atau
hak pihak lain. Komunikasi ini dapat diwujudkan baik dengan
compromising maupun collaborating strategies.
Compromising merupakan strategi yang ada diantar forcing
dan accommodating serta biasanya sering dikatikan dengan
negosiasi. Compromise terjadi jika masing-masing pihak
merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk
memaksa pihak lain dan pertentangan yang memberikan
kemenangan sepihak tidak akan memberikan keuntungan.
Setelah mengetahui orientasi atau perspektif penyelesaian yang
digunakan oleh aktor-aktor, maka upaya komunikasi yang digunakan
dalam implementasi perspektif tersebut dapat dengan lebih jelas terlihat
sehingga pola komunikasi yang diinginkan dapat lebih mudah terlaksana.
Menurut Pruitt dan Rubin (2004:57) bentuk-bentuk komunikasi yang bisa
dilakukan dalam penyelesaian konflik yang dapat dipilih oleh aktor-aktor
dapat berupa contending, probem solving, yielding, inaction dan
withdrawing yang dijabarkan sebagai berikut:
1) Contending merupakan upaya menyelesaikan konflik dengan tanpa
memperhatikan kepentingan orang lain. Pihak yang menggunakan
strategi ini berupaya untuk membujuk pihak lain untuk menuruti
keinginannya dan bersikukuh dalam mempertahankan pendapatnya.
Taktik yang dapat digunakan dalam strategi ini dapat berupa
ancaman, menjatuhkan pinalti atau melakukan tindakan yang
mendahului pihak lain untuk menyelesaikan konflik tanpa
sepengetahuan pihak lawan.
19
2) Problem solving merupakan strategi yang berusaha mempertahankan
pendapatnya sendiri tapi sekaligus berusaha untuk mendapatkan cara
melakukan rekonsilitasi dengan pihak lain. Berbagai taktik dapat
digunakan dalam strategi ini misalkan mengirimkan penengah yang
dapat dipercaya oleh kedua belah pihak, berkomunikasi melalui
penghubung-penghubung tidak resmi, atau duduk bersama dalam
suatu negosiasi.
3) Yielding adalah strategi dimana salah satu pihak harus menurunkan
aspirasinya sendiri tapi juga bukan berarti penyerahan total pada
pihak lain. Biasanya strategi ini dimaksudkan untuk menurunkan
tensi konflik juga untuk mempermudah tercapainya kesepakatan.
Strategi ini bisa diikuti oleh penggunaan strategi lain secara
bersamaan, misalnya setelah melakukan yielding pihak tersebut
melakukan problem solving.
4) Inaction atau withdrawing adalah strategi yang mirip dimana
keduanya melibatkan penghentian usaha untuk mengatasi
kontroversi. Perbedaannya adalah withdrawing merupakan
penghentian yang bersifat permanen, sedangkan inaction merupakan
tindakan yang temporer yang tetap membuka kesempatan bagi upaya
penyelesaian.
5.3.1. Strategi Komunikasi dalam Resolusi Konflik
Kekuatan komunikasi sangatlah besar, dengan komunikasi
seseorang mampu membawa banyak teman untuk suara yang sama
atau mencereaiberaikan musuh, meyakinkan orang asing akan hal
yang baru atau bahkan menciptakan suatu mufakat dari perselisihan
yang tak kunjung selesai. Komunikasi mengizinkan komunikator
untuk mengirim pesan verbal dan non-verbal yang dapat membentuk
tingkah laku orang lain. Adler dan Proctor dalam Samovar (2010)
bahkan menyebutkan bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan sosial
dan membentuk identitas, komunikasi merupakan pendekatan yang
20
paling banyak digunakan untuk membuat orang bertingkah laku
sesuai dengan keinginan kita.
Tujuan komunikasi agar dapat mempengaruhi tingkah laku orang
lain agar dapat sesuai dengan yang kita harapkan itulah yang tentu
ingin dicapai oleh para aktor dalam penyelesaian konflik. Masing-
masing aktor berupaya agar para pihak berkonflik bisa tunduk dalam
kesepakatan yang dibuat bersama hingga konflik terselesaikan. Maka
perlu kiranya suatu strategi komunikasi yang digunakan oleh para
aktor agar tujuan tersebut tercapai.
Strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan dan
manajemen komunikasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang
telah ditetapkan. Strategi komunikasi mempunyai tujuan utama yaitu
to secure understanding, to establish acceptance, to motivate actions.
Yang menjadi tujuan adalah memastikan bahwa komunikan mengerti
pesan yang diterima, apabila telah dimengerti dan diterima,
penerimaannya harus dibina dan pada akhirnya kegiatan tersebut
dimotivasikan (Effendy, 2003:32). Sama halnya dengan merumuskan
suatu strategi komunikasi umum, strategi komunikasi konflik juga
sangat ditentukan oleh analisis target, pemilihan dan penyampaian
pesan, bagaimana penggunaan media yang dipilih serta penentuan
komunikan atau sumber sebagai faktor penting dalam keberhasilan
strategi komunikasi.
a. Analisis sasaran komunikasi
Sebelum melakukan aktivitas komunikasi, sangat penting
kiranya dalam menentukan atau memutuskan siapa-siapa saja
yang menjadi target atau komunikan dari komunikasi yang akan
dilakukan. Sasaran komunikasi perlu dipelajari secara
menyeluruh karena akan sangat menentukan pemilihan pesan,
media hingga komunikator juga penting dicocokkan dengan
tujuan dari komunikasi yang dilakukan, apakah sekadar
21
menginginkan khalayak untuk tahu (metode informatif) atau agar
khalayak melakukan tindakan tertentu sesuai keinginan
komunikator (metode persuasif atau instruktif).
Pengenalan terhadap komunikan juga diperlukan agar
komunikasi yang dilakukan tidak melupakan kepentingan
komunikan itu sendiri. Bauer dalam Depari (1988:57)
menyatakan bahwa, agar komunikasi dapat berjalan efektif maka
komunikator harus berorientasi pada apa yang menjadi
kepentingan khalayak, bukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan
model komunikasi transaksional, dimana proses transaksi akan
terjadi apabila komunikan menganggap barang yang ditawarkan
oleh komunikator sesuai dengan minat, kehendap dan dapat
dijangkaunya.
b. Pemilihan pesan dalam komunikasi
Aspek isi pesan memiliki kontribusi besar dalam
membangun kualitas konten. Beberapa hal yang terkait dengan isi
pesan harus diperhatikan, mulai dari materi pendukung,
visualisasi pesan, isi negatif pesan, pendekatan emosional,
pendekatan rasa takut, kreativitas dan humor, serta pendekatan
kelompok rujukan.
Para aktor dalam konflik perlu memikirkan cara terbaik
untuk membentuk pesan yang akan dikomunikasikan. Ada dua
bentuk pesan yang paling efektif adalah pesan langsung dan pesan
tidak langsung. Bentuk langsung artinya mengungkapkan secara
langsung poin utama terlebih dahulu, kemudian menjelaskan
mengapa hal itu penting. Sedangkan bentuk tidak langsung yaitu
menjelaskan mengapa pesan tersebut perlu, kemudian
mengungkapkan poin utamanya. Dengan pesan yang menarik,
akan dapat membangkitkan perhatian khalayak untuk mengetahui
isi pesan tersebut. Hal ini sesuai dengan AA.Procedure atau
22
Attention to Action Procedure, artinya membangkitkan perhatian
untuk selanjutnya menggerakkan seseorang atau orang banyak
melakukan kegiatan sesuai dengan tujuan yang dirumuskan
(Argenti, 2009:39).
Wilbur Schramm dalam Effendi (2002:57) menjelaskan
bahwa ada beberapa kondisi sukses dalam berkomunikasi yang
berhubungan dengan pesan komunikasi, yaitu:
1) Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian
rupa sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang
dimaksud.
2) Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju
kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan
komunikan sehingga sama-sama dapat dimengerti.
3) Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak
komunikan, dan menyarankan beberapa cara untuk
mendapatkan kebutuhan itu.
4) Pesan harus menyarankan suatu cara untuk memperoleh
kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok tempat
komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk
memberikan tanggapan yang dikehendaki.
c. Penggunaan media dalam komunikasi.
Pemilihan media atau saluran komunikasi memainkan
peranan penting dalam menyebarkan pesan ke target audiens.
Media sebagai alat penyampai informasi dan pesan adalah satu
faktor penting dalam keberhasilan program komunikasi.
Teknologi komunikasi baru banyak bermunculan sebagai hasil
dari usaha dari penyempurnaan secara terus-meneurs teknologi
yang sudah ada. Untuk itu, ada baiknya untuk menyusun strategi
media berupa bauran media lainnya agar pesan-pesan yang
disampaikan tepat sasaran.
23
Penggunaan media komunikasi yang beragam, serta
menggunakan komunikasi interpersonal menjadi hal yang dapat
menyukseskan pesan kampanye dapat sampai ke audiens,
sehingga mampu menumbuhkan rasa kesadaran adanya
perubahan perilaku sesorang. Komunikasi interpersonal dapat
dilakukan secara langsung (face to face) atau dengan
menggunakan media seperti e-mail, chatting atau menggunakan
media sosial lainnya sehingga lebih cepat mendapatkan umpan
balik.
VI. KERANGKA KONSEP
Melalui kerangka konsep, peneliti akan mengaplikasikan landasan teori
yang terkait sebagai sebuah instrument bagi penelitian ini. Hal tersebut
dilakukan untuk membatasi sekaligus menentukan indikator yang akan
menuntun peneliti ketika memaparkan analisis tentang bagaimana komunikasi
dan resolusi konflik yang dilakukan oleh Humas Pemerintah Kabupaten
Kulonprogo terhadap warga kecamatan Temon Kabupaten Kulonprogo yang
menolak proyek pembangunan bandara baru
Dari teori-teori yang sudah peneliti jabarkan sebelumnya, peneliti akan
mencari tahu terlebih dahulu strategi komunikasi yang dipakai dalam
penyelesaian konflik ini, seperti apa analisis sasaran yang dilakukan oleh
Humas Pemkab Kulonprogo, lalu pemilihan pesan yang akan disampaikan
seperti apa, dan proses pemilihan serta penentuan media yang akan digunakan
dalam penyampaian pesan tersebut.
Setelah mengetahui ketiganya, peneliti akan menentukan bagaimana
pendekatan komunikasi yang dipakai, apakah Adversial Method, atau
Alternative Dispute Resolution. Lalu peneliti juga bisa menentukan model
komunikasi yang digunakan, apakah model linear atau transaksional.
Orientasi Humas Pemkab Kulonprogo dalam menyelesaikan konflik juga
dapat peneliti ketahui setelah itu, apakah berorientasi pada diri sendiri, orang
lain, atau berorientasi pada hubungan. Lalu peneliti juga dapat menentukan
24
bentuk penyelesaian konflik yang dipilih oleh Humas Pemkab Kulonprogo,
apakah contending, problem solving, yielding, atau inaction.
VII. METODOLOGI PENELITIAN
7.1. Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Hal ini disebabkan karena
penelitian ini bertujuan untuk memaparkan proses dan negosiasi
komunikasi Humas pemerintah Kabupaten Kulonprogo dalam resolusi
konflik proyek pembangunan bandara baru di Kulonprogo, bukan
ditujukan untuk mencari atau menjelaskan hubungan serta tidak menguji
hipotesis atau membuat prediksi (Rahmat, 2001:24). Studi kasus juga
dipandang tepat sebagai metode penelitian karena menurut Yin (2002:8)
studi kasus lebih cocok bila pokok pertanyaan dalam penelitian ini adalah
Resolusi Konflik
Analisis Sasaran Pemilihan Media Pemilihan Pesan
Pendekatan
Model Komunikasi
Orientasi
Bentuk-bentuk
penyelesaian konflik
25
berkenaan dengan pertanyaan bagaimana atau mengapa, peneliti tidak
memiliki banyak peluang untuk mengontrol peristiwa yang akan diteliti
dan fenomena yang diteliti merupakan fenomena kontemporer bukan
historis.
Penelitian ini lebih menanyakan tentang bagaimana negosiasi
komunikasi dan resolusi konflik yang dilakukan oleh Humas Pemerintah
Kabupaten Kulonprogo dalam konflik yang terjadi, peneliti tidak dapat
berbuat banyak untuk mengontrol peristiwa yang terjadi dan meskipun
proyek ini sudah berlangsung sejak lama, namun penolakan serta konflik
karena proyek ini terus berlanjut hingga saat ini. Melihat hal tersebut
maka studi kasus dianggap menjadi strategi yang tepat dalam penelitian
ini.
7.2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah Pemerintah Kabupaten Kulonprogo
dengan fokusnya adalah bidang atau divisi Kehumasan Pemerintah yang
menangani konflik atas pembangunan New Yogyakarta International
Airport.
7.3. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber data
pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian (Bungin, 2011).
Dalam penelitian ini, sumber data primer adalah jawaban dari hasil
wawancara mendalam dengan perwakilan bidang kehumasan
Pemerintah Kabupaten Kulonprogo.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua dari
data yang dibutuhkan (Bungin, 2011). Data sekunder penelitian ini
adalah data-data yang didapat dari data kehumasan Pemerintah
26
Kabupaten Kulonprogo, seperti timeline, dokumentasi ataupun arsip-
arsip kegiatan yang sudah dilakukan untuk menangani konflik, data-
data statistik seperti angka fakta yang bersangkutan dengan konflik.
7.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menjadi langkah paling penting dalam
penelitian karena pada dasarnya tujuan utama dari penelitian adalah untuk
memperoleh data. Penelitian ini menempatkan peneliti sebagai pengamat
yang akan terjun ke lapangan untuk melakukan observasi, mengumpulkan
data, mengidentifikasi masalah, dan menentukan apa yang perlu
dilakukan untuk memperoleh data yang akurat. Observasi dilakukan untuk
lebih mendekatkan diri peneliti dengan objek penelitian yang sedang
dikaji. Peneliti akan menggunakan empat sumber data yang dirasa paling
relevan untuk penelitian, yaitu: wawancara, catatan arsip serta
dokumentasi.
a. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan mekanisme. Ciri utama dari wawancara adalah
kontak langsung dengan tatap muka (face to face) antara si pencari
informasi dengan informan (Sutopo, 2006:74). Wawancara akan
dilakukan secara langsung terhadap perwakilan dari bagian
kehumasan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo yang bertugas untuk
menangani konflik atas pembangunan New Yogyakarta International
Airport.
b. Dokumen arsip
Arsip dibuat oleh perusahaan dengan tujuan tertentu dan untuk
menjangkau target yang lebih spesifik. Arsip dapat digunakan untuk
mendukung penelitian studi kasus bersamaan dengan sumber
informasi lainnya jika memang relevan (Yin, 2009). Hal yang perlu
27
diperhatikan adalah tingkat kegunaan dokumen ini akan sangat
bervariasi dan belum tentu dapat digunakan untuk semua studi kasus.
Arsip pada umumnya tidak bisa dengan mudah diakses oleh pihak
eksternal perusahaan akrena menyangkut informasi-informasi penting
perusahaan.
c. Dokumentasi
Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode
observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif (Sugiyono,
2008:83). Dokumentasi memiliki koverasi yang luas dan dapat
mencakup banyak kejadian dalam jangka waktu yang panjang. Selain
itu, dokumentasi relatif bersifat stabil dan dapat ditinjau berulang kali.
Studi dokumen akan dilakukan peneliti pada dokumen-dokumen
berkaitan dengan resolusi konflik pembangunan bandara ini.
7.5. Teknik Analisis Data
Analisis data yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan
Miles dan Huberman dalam Pawito (2007:104) dengan istilah inactive
model, teknik terdiri dari tiga komponen yaitu:
a. Reduksi data, mempunyai tiga tahap, yakni tahap pertama: editing,
pengelompokkan dan meringkas data. Seluruh data mengenai konflik
proyek pembangunan Bandara Baru dan upaya komunikasi dalam
penyelesaian konflik dikumpulkan seluruhnya. Tahap kedua: peneliti
menyusun catatan atau memo yang berkenaan dengan proses
penelitian sehingga peneliti dapat menemukan tema, kelompok, dan
pola-pola data dari resolusi konflik yang dilakukan Humas Pemkab
Kulonprogo dalam resolusi konflik ini. Tahap ketiga: peneliti
menyusun rancangan konsep-konsep serta penjelasan berkenaan
dengan tema, pola atau kelompok-kelompok yang bersangkutan.
Peneliti berusaha terus mengerucutkan data-data yang ada sehingga
proses resolusi konflik juga dapat tergambarkan.
28
b. Penyajian data, melibatkan langkah-langkah mengorganisasikan data,
yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan kelompok data
yang lain, sehingga seluruh data benar-benar dilibatkan. Dalam tahap
ini, peneliti mulai menyajikan dan mengintrepetasikan temuan yang
didapat dari lapangan dan hasil wawancara dengan Humas Pemerintah
Kabupaten Kulonprogo ke dalam sebuah teks.
c. Pengujian kesimpulan, peneliti mengimplementasikan prinsip indukif
dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau
kecenderungan dari penyajian data yang dibuat. Analisis akan temuan
yang didapat kemudian dibuat kesimpulan-kesimpulan. Sehingga
peneliti dapat memaparkan kesimpulan dari sudut pandang peneliti
berdasarkan dari data yang telah direduksi dan disajikan.