BAB I PENDAHULUAN -...

23
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Candi Borobudur sebagai sebuah peninggalan bersejarah bagi bangsa Indonesia sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Salah satu bentuk antisipasi pencegahan kerusakan yang terjadi adalah dengan melakukan pemantauan stabilitas struktur Candi Borobudur terhadap kemungkinan terjadinya deformasi. Berdasarkan rekomendasi UNESCO, maka tim monitoring pemugaran Candi Borobudur, dalam hal ini Balai Konservasi Peninggalan Borobudur (BKPB) yang saat ini disebut Balai Konservasi Borobudur melakukan pemantauan stabilitas Candi Borobudur melalui pengukuran secara periodik setiap tahun sejak 1983 sampai dengan sekarang (Setyawan, 2011). Pengukuran tersebut menggunakan metode poligon untuk jaring kontrol horizontal dan metode sipat datar untuk jaring kontrol vertikal. Diharapkan dari kedua metode pengukuran tersebut diperoleh informasi geometrik berupa posisi titik-titik jaring kontrol deformasi dalam koordinat XYZ (3 dimensi) sehingga dapat dievaluasi perubahan yang terjadi baik secara horizontal (XY) maupun vertikal (Z). Permasalahannya adalah pengukuran yang selama ini dilakukan belum optimal, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap peralatan maupun metode pengukuran yang sudah digunakan. Pada proses pengukurannya, pengukuran Jaring Kontrol Horizontal (JKH) dipisahkan dengan pengukuran Jaring Kontrol Vertikal (JKV). JKH diukur dengan menggunakan alat ukur tanah seperti teodolit dan Total Station, sedangkan JKV diukur dengan menggunakan alat sipat datar atau waterpass. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan data JKH dan JKV yang teliti, serta untuk memudahkan proses hitungan. Pada kenyataannya proses pemisahan ini seringkali menjadi kendala, karena dihasilkannya dua buah data yang terpisah. Sipat datar diakui sebagai alat atau metode yang paling baik dan teliti. Disamping itu, prosedur pelaksanaan dan perhitungannya sederhana, namun untuk daerah yang tidak datar, seperti daerah Candi Borobudur yang berundak-undak,

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Candi Borobudur sebagai sebuah peninggalan bersejarah bagi bangsa Indonesia

sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Salah satu bentuk antisipasi

pencegahan kerusakan yang terjadi adalah dengan melakukan pemantauan stabilitas

struktur Candi Borobudur terhadap kemungkinan terjadinya deformasi. Berdasarkan

rekomendasi UNESCO, maka tim monitoring pemugaran Candi Borobudur, dalam

hal ini Balai Konservasi Peninggalan Borobudur (BKPB) yang saat ini disebut Balai

Konservasi Borobudur melakukan pemantauan stabilitas Candi Borobudur melalui

pengukuran secara periodik setiap tahun sejak 1983 sampai dengan sekarang

(Setyawan, 2011). Pengukuran tersebut menggunakan metode poligon untuk jaring

kontrol horizontal dan metode sipat datar untuk jaring kontrol vertikal. Diharapkan

dari kedua metode pengukuran tersebut diperoleh informasi geometrik berupa posisi

titik-titik jaring kontrol deformasi dalam koordinat XYZ (3 dimensi) sehingga dapat

dievaluasi perubahan yang terjadi baik secara horizontal (XY) maupun vertikal (Z).

Permasalahannya adalah pengukuran yang selama ini dilakukan belum optimal,

sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap peralatan maupun metode pengukuran

yang sudah digunakan.

Pada proses pengukurannya, pengukuran Jaring Kontrol Horizontal (JKH)

dipisahkan dengan pengukuran Jaring Kontrol Vertikal (JKV). JKH diukur dengan

menggunakan alat ukur tanah seperti teodolit dan Total Station, sedangkan JKV

diukur dengan menggunakan alat sipat datar atau waterpass. Hal ini dilakukan untuk

menghasilkan data JKH dan JKV yang teliti, serta untuk memudahkan proses

hitungan. Pada kenyataannya proses pemisahan ini seringkali menjadi kendala,

karena dihasilkannya dua buah data yang terpisah.

Sipat datar diakui sebagai alat atau metode yang paling baik dan teliti.

Disamping itu, prosedur pelaksanaan dan perhitungannya sederhana, namun untuk

daerah yang tidak datar, seperti daerah Candi Borobudur yang berundak-undak,

2

penggalan untuk pengukuran sipat datar harus dibuat dengan selisih jarak yang kecil,

sehingga alat sipat datar dapat membidik rambu. Semakin curam daerah pelaksanaan

pengukurannya, semakin banyak penggalan yang dibutuhkan. Hal ini juga menjadi

kendala terhadap pengukuran Jaring Kontrol Vertikal (JKV) untuk keperluan

pemantauan stabilitas Candi Borobudur.

Cara lain yang diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif dalam

pengukuran beda tinggi adalah dengan menggunakan alat Total Station, yaitu alat

ukur elektronik dengan teknologi digital. Total Station merupakan gabungan dari alat

ukur sudut (teodolit) dan alat ukur jarak elektronik (EDM) serta dilengkapi dengan

perangkat elektronis untuk menentukan koordinat dan ketinggian titik detail secara

otomatis digital menggunakan gelombang elektromagnetis serta dilengkapi piranti

untuk perekaman data (Muda, 2008). Pengukuran beda tinggi dengan menggunakan

Total Station menggunakan prinsip hitungan trigonometris. Prinsip perhitungan ini

akan meminimalisir banyaknya penggalan yang digunakan pada alat sipat datar. Alat

ukur Total Station tersebut juga dapat melakukan pengukuran horizontal dan vertikal

sekaligus dengan cepat. Dengan kemampuan Total Station tersebut, diharapkan dapat

menggantikan peran alat ukur sipat datar dan dapat menghemat waktu pengukuran.

Akan tetapi, jika dibandingkan dengan alat sipat datar, Total Station mempunyai

ketelitian yang lebih rendah dalam melakukan pengukuran beda tinggi. Hal ini

dikarenakan banyaknya besaran-besaran yang harus diukur dibandingkan dengan alat

sipat datar, sehingga memberikan konstribusi kesalahan yang lebih besar (Parseno,

1998).

Guna mengetahui kelayakan alat ukur Total Station untuk pengukuran Jaring

pemantau pergeseran vertikal di Candi Borobudur, maka perlu dilakukan kajian hasil

penentuan tinggi dengan Total Station yang dilaksanakan pada tahun 2012. Pada

rumus beda tinggi Total Station, terdapat empat variable ukuran yaitu slope distance

(SD), helling (h), tinggi alat (ti) dan tinggi reflektor (tr). SD dan h mengikuti

ketelitian alat yang digunakan, sedangkan ti dan tr diukur secara manual dengan

menggunakan pita ukur. Dalam kebanyakan pengukuran, ti dan tr seringkali diukur

dengan tidak teliti. Ketidaktelitian cara pengukuran ti dan tr, mendasari penelitian ini.

Pemberian koreksi terhadap ti dan tr ini diharapkan dapat meningkatkan ketelitian

penentuan tinggi yang dihasilkan oleh Total Station.

3

I.2. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini masalah yang dirumuskan adalah:

1. Berapa besar pengaruh ketelitian pengukuran tinggi alat (ti) dan tinggi reflektor

(tr

2. Berapa tingkat ketelitian jaring vertikal hasil pengukuran beda tinggi yang

diperoleh alat ukur Total Station?

) pada pengukuran beda tinggi Total Station terhadap ketelitian jaring

vertikal Total Station yang diperoleh?

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh ketelitian pengukuran tinggi alat (ti) dan tinggi

reflektor (tr

2. Untuk mengetahui ketelitan jaring vertikal hasil pengukuran beda tinggi yang

diperoleh dari alat Total Station.

) terhadap ketelitian jaring vertikal yang diukur menggunakan alat

Total Station.

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Dapat mengatasi keterbatasan yang ada pada pengukuran dengan alat ukur

Total Station sehingga dimungkinkan alat ukur Total Station dapat

menggantikan sipat datar dalam pekerjaan pengukuran beda tinggi.

2. Hasil studi akan bermanfaat untuk mengevaluasi metode dan peralatan

pengukuran untuk keperluan pemantauan stabilitas Candi Borobudur, guna

memperoleh ketelitian yang lebih baik.

3. Hasil studi akan bermanfaat untuk pengembangan ilmu di masyarakat terkait

pengaruh ketelitian variable pengukuran dengan ketelitian beda tinggi yang

dihasilkan Total Station.

4

I.5. Batasan Masalah

Pada penelitian ini masalah dibatasi pada:

1. Bahan penelitian yang digunakan berupa jaring vertikal sipat datar Candi

Borobudur tahun 2011 dan jaring vertikal Total Station Candi Borobudur tahun

2012.

2. Karena adanya perbedaan desain jaring antara jaring vertikal sipat datar Candi

Borobudur 2011 dan jaring vertikal Total Station Candi Borobudur 2012, titik-

titik yang dievaluasi adalah titik-titik sama yang terdapat pada kedua jaring

vertikal.

3. Untuk melihat adanya pengaruh tinggi alat (ti) dan tinggi reflektor (tr

4. Bobot pengamatan yang digunakan adalah bobot seperjarak untuk jaring

vertikal sipat datar sedangkan bobot sepervarian pengukuran digunakan untuk

jaring vertikal Total Station.

)

diasumsikan pengukuran slope distance (SD) dan helling (h) sudah masuk

toleransi.

I.6. Tinjauan Pustaka

Parseno dan Yulaikhah (2008), membandingkan beda tinggi hasil pengukuran

menggunakan alat sipat datar Leica SPRINTER-100 dan Total Station DTM-352

baik pada kondisi lapangan yang datar maupun yang bervariasi, untuk mengetahui

pola perbedaan beda tinggi hasil pengukuran kedua alat tersebut. Dari pola

perbedaan beda tinggi hasil pengukuran kedua alat tersebut dibuat sebuah model

kesalahannya dengan menggunakan argumen jarak, model matematika yang

digunakan adalah model linear yaitu y = 0,000126x + 0,0014 dimana y adalah selisih

beda tinggi sipat datar dan Total Station atau koreksi dan x adalah jarak. Analisis

dilakukan dengan membandingkan kesalahan penutup tinggi yang diperoleh. Beda

tinggi hasil pengukuran dengan Total Station dikoreksi dengan model linear yang

diperoleh. Selanjutnya membandingkan antara kesalahan penutup tinggi hasil Total

Station, sipat datar dan Total Station yang telah terkoreksi. Diketahui penggunaan

5

model koreksi tersebut dapat memperbaiki hasil pengukuran Total Station walaupun

tidak signifikan.

Fajri (2010), membandingkan ketelitian hasil pengukuran beda tinggi alat ukur

sipat datar Leica SPRINTER-100 dan alat ukur Total Station Nikon DTM-352.

Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran beda tinggi titik-titik kontrol

yang sudah tersebar di sekitar Fakultas teknik UGM dengan kondisi lapangan yang

bervariatif. Penelitian ini juga untuk membuktikan seberapa besar pengaruh koreksi

hasil pemodelan pola selisih beda tinggi trigonometri terhadap sipat datar yang telah

dilakukan Perwita (2009) untuk daerah yang relatif datar dengan jarak keseluruhan

loop yang relatif pendek yaitu kurang dari 1,5 km. Dalam penelitian ini, setelah

diberikan koreksi hasil pemodelan trigonometri kemudian dilakukan hitung perataan

metode parameter dan uji statistik. Hasil akhir yang diperoleh adalah berupa tingkat

ketelitian hasil ukuran sipat datar, trigonometri tanpa koreksi, dan trigonometri

terkoreksi.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini

bertujuan untuk mengevaluasi pengukuran beda tinggi menggunakan Total Station

pada jaring pemantau stabilitas Candi Borobudur. Dengan merujuk pada penelitian

dan latar belakang yang ada, penulis akan melakukan penelitian perbandingan

ketelitian jaring vertikal antara jaring vertikal yang diukur menggunakan alat sipat

datar Leica SPRINTER-100 dan alat ukur Total Station Nikon DTM-322.

Sebelumnya dilakukan koreksi pengukuran tinggi instrumen (ti) dan tinggi reflektor

(tr) terhadap pengukuran beda tinggi dengan Total Station. Tinggi yang diukur dari

tinggi instrumen (ti) dan tinggi reflektor (tr) biasanya tinggi dari sisi alat menuju

titik, hal ini kemungkinan menyebabkan tinggi yang diukur tidak sepenuhnya

vertikal. Koreksi harus dilakukan agar tinggi yang didapat benar-benar tinggi

vertikal, yaitu tinggi dari pusat alat menuju titik. Hasil akhir yang akan diperoleh

berupa tingkat ketelitian hasil ukur sipat datar, Total Station tanpa koreksi dan Total

Station dengan koreksi. Dari hasil perbandingan penelitian ini juga untuk

membuktikan seberapa besar pengaruh kesalahan pengukuran tinggi alat (ti) dan

tinggi reflektor (tr

) terhadap ketelitian jaring vertikal Total Station.

6

I.7. Landasan Teori

I.7.1. Jaring Kontrol Vertikal

Jaring kontrol vertikal (JKV) adalah sebaran titik kontrol geodesi vertikal yang

terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi. Pada definisi lain, jaring

kontrol vertikal merupakan kumpulan titik-titik yang telah diketahui atau ditentukan

posisi vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap rujukan ketinggian tertentu.

Ketelitian hasil pengukuran tinggi JKV dapat dilihat dari kesalahan penutup

hasil ukuran pergi-pulang dalam satu seksi ataupun dalam satu jalur pengukuran,

deviasi standar hasil perataan jaring terkendala minimal, dan deviasi standar hasil

perataan jaring terkendala penuh (BSN, 2004).

Toleransi kesalahan pengukuran pada jaring kontrol vertikal adalah sebagai

berikut:

T = ± K √𝐷𝐷 (I.1)

Dimana :

T : angka toleransi pada satu set pengukuran pergi-pulang

K : kesalahan menengah setiap kilometer sesuai dengan tingkat kelasnya

D : jarak antara dua titik jaring vertikal yang diukur pergi-pulang

I.7.2. Pengukuran Beda Tinggi

I.7.2.1. Metode sipat datar.

Pada gambar I.1, untuk menentukan beda tinggi antara titik A dan B yang

berjauhan, maka diantara kedua titik tersebut dibuat beberapa slag dengan titik-titik

Prinsip pengukuran beda tinggi dengan alat sipat

datar adalah menentukan beda tinggi antara dua titik dengan menghitung selisih

bacaan benang tengah rambu muka dan rambu belakang yang didirikan pada kedua

titik tersebut. Jika jarak antar titik kontrol pemetaan relatif jauh, pengukuran beda

tinggi dengan penyipat datar tak dapat dilakukan dengan satu kali berdiri alat. Oleh

karena itu antara dua buah titik kontrol yang berturutan dibuat beberapa slag dengan

titik-titik bantu pengukurannya dibuat secara berantai (differential levelling) (Basuki,

2006). Sipat datar berantai ini juga dilakukan ketika beda tinggi antar titik terlalu

terjal, karena tidak dimungkinkan untuk melakukan pengukuran beda tinggi dengan

sekali berdiri alat.

7

bantu yang pengukurannya dibuat secara berantai. Nilai beda tinggi antara titik A dan

B merupakan jumlah total beda tinggi pada tiap slag pengukuran sepanjang lintasan

antara kedua titik tersebut.

Keterangan :

A dan B : titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya

1, 2, 3, ... n : titik-titik bantu pengukuran

m1, m2, m3, ...mn

b

: bacaan rambu depan

1, b2, b3, ...bn

: bacaan rambu belakang

Dari pengukuran sipat datar berantai antara titik A dan titik B yang ditunjukkan

pada Gambar I.2, nilai pengukuran ΔhAB merupakan total Δh dari tiap slag dari i = 1

sampai n pada lintasan tersebut. Nilai ΔhAB

Δh

dapat ditentukan dengan persamaan:

AB = ΔhA1 + Δh12 + ... + ΔhnB

Δh

(I.2)

AB

= ∑ Δℎ𝑖𝑖𝑛𝑛𝑖𝑖=1 (I.3)

Sebelum digunakan alat ukur sipat datar harus memenuhi beberapa syarat

tertentu yaitu, garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo yang merupakan

syarat utama, garis arah nivo tegak lurus sumbu I, dan garis mendatar diafragma

tegak lurus sumbu I (Basuki, 2006) .

I.7.2.2. Metode trigonometri. Pengukuran beda tinggi dengan cara

trigonometri, adalah cara untuk memperoleh perbedaan tinggi dengan cara observasi

sudut elevasi. Untuk pekerjaan ini digunakan alat teodolit atau Total Station. Dengan

menggunakan alat Total Station jarak akan langsung diperoleh saat dilakukan

A

b1 m1

1 2

b2 m2

n

b3 m3

B

bn mn

Gambar I.1. Pengukuran sipat datar (Basuki, 2006)

8

pengukuran. Ketelitian hasil pengukuran beda tinggi metode trigonometri lebih

rendah dibanding pengukuran beda tinggi metode sipat datar. Hal ini dikarenakan

banyaknya besaran-besaran yang harus diukur dibanding dengan sipat datar,

sehingga memberikan konstribusi kesalahan yang lebih besar (Parseno, 1998).

Keterangan:

ti

HD : jarak datar antara titik A dan titik B

: tinggi alat

SD : jarak miring antara titik A dan titik B

V : SD sin h atau jarak vertikal

ΔhAB

h : helling atau sudut miring

: beda tinggi antara titik A dan titik B

tr

z : bacaan sudut zenit

: tinggi reflektor

Untuk menentukan tinggi dengan metode trigonometri antara dua buah titik

maka alat ukur Total Station harus didirikan di salah satu titik misalnya titik A

seperti pada gambar I.2 di atas, kemudian dirikan juga prisma atau reflektor di titik

B. Alat dibidikkan ke reflektor yang berada di titik B secara otomatis akan diperoleh

besarnya sudut helling atau zenith dan jarak miring AB, sehingga untuk beda tinggi

AB dapat dicari, yaitu:

Gambar I.2. Penentuan beda tinggi dan tinggi titik cara trigonometri

B SD

HD

tr

ΔhAB

A

z

ti

h

V

9

ΔhAB = SD sin h + ti – tr (I.4)

ΔhAB = HD tan h + ti – tr (I.5)

Maka:

HB = HA + SD sin h + ti – tr (I.6)

HB = HA + HD tan h + ti – tr

(I.7)

Pada kenyataannya pengukuran beda tinggi tidak terlepas dari tinggi alat dan

tinggi reflektor seperti yang ditunjukkan oleh persamaan (I.4) dan (I.5). Tinggi

instrumen didapat dengan melakukan pengukuran dari titik pengamatan ke instrumen

yang dipasang tepat di atas titik tersebut. Nilai tinggi instrumen yang diambil adalah

tinggi vertikal, namun demikian tidak menutup kemungkinan pengukuran tersebut

tidak vertikal sepenuhnya. Hal ini karena tidak bisa dilakukan pengukuran dari

sumbu II instrumen ke titik pengamatan, dengan demikian pengukuran dilakukan

melalui sisi samping alat. Pengukuran ini mengakibatkan penyimpangan hasil ukuran

dan harus dikoreksi. Untuk memperjelas, dapat dilihat dari gambar I.3 berikut ini:

Gambar I.3 Tinggi Instrumen

A B

C

1

2

3

A B

C

10

Keterangan :

1. Instrumen Alat TS Nikon 322

2. Statif

3. Titik pengamatan

AC : tinggi vertikal

BC : tinggi hasil pengukuran lapangan

AB : simpangan ukuran

Berdasarkan gambar I.3, nilai tinggi vertikal tidak didapatkan secara langsung.

Nilai tersebut dapat dicari berdasarkan hitungan 𝐴𝐴𝐴𝐴���� P

2 = 𝐵𝐵𝐴𝐴���� P

2 - 𝐴𝐴𝐵𝐵���� P

2

. Nilai AB

didapatkan dari jari-jari dan ukuran instrumen, sehingga tinggi vertikal instrumen

dapat diketahui. Nilai tinggi vertikal pada reflektor juga dapat dicari dengan

menggunakan rumus phitagoras seperti yang ditunjukkan oleh pada gambar I.3.

I.7.3. Kesalahan dalam Pengukuran

Pengukuran adalah pengamatan terhadap suatu besaran yang dilakukan dengan

menggunakan peralatan dalam suatu lokasi dengan beberapa keterbatasan yang

tertentu. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan tidak pernah lepas dari kesalahan-

kesalahan pengamatan (Basuki, 2006).

I.7.3.1. Kesalahan kasar atau blunder

. Kesalahan ini merupakan hasil dari

kekeliruan atau blunder yang terjadi akibat dari kurangnya kehati-hatian, kurangnya

pengalaman, atau kurang perhatian dari pengukur. Apabila diketahui adanya

kesalahan kasar maka dianjurkan untuk mengulang seluruh atau sebagian

pengukuran tersebut. Untuk menghindari terjadinya jenis kesalahan ini antara lain

dapat dilakukan pengukuran lebih dari satu kali, atau pengukuran dengan model dan

teknik tertentu (Basuki, 2006).

I.7.3.2. Kesalahan sistematik. Kesalahan sistematik umumnya disebabkan oleh

alat-alat ukur sendiri seperti panjang pita ukur yang tidak standar, pembagian skala

yang tidak teratur pada pita ukur dan pembagian skala lingkaran teodolit yang tidak

seragam. Kesalahan ini biasanya juga dapat terjadi karena cara-cara pengukuran yang

11

tidak benar. Sifat kesalahan ini jelas dan akibat kesalahan ini dapat dihilangkan

antara lain dengan cara:

1. melakukan kalibrasi alat sebelum digunakan untuk pengukuran,

2. melakukan pengukuran dengan cara tertentu, misal pengamatan biasa dan luar

biasa dan hasilnya dirata-rata,

3. memberikan koreksi pada data ukuran yang didapat, dan

4. koreksi pada pengolahan data.

I.7.3.3. Kesalahan acak.

Untuk menghilangkan pengaruh jenis kesalahan ini, dapat dilakukan dengan

beberapa cara, antara lain:

Kesalahan ini terjadi karena hal-hal yang tak terduga

sebelumnya, seperti adanya undulasi, kondisi tanah tempat berdiri alat ukur yang

tidak stabil, pengaruh kecepatan angin atau kondisi atmosfer, dan kondisi psikis

pengamat. Kesalahan ini baru terlihat apabila suatu besaran diukur berulang-ulang

dan hasilnya tidak selalu sama antara satu ukuran dengan ukuran yang lain dan dalam

jumlah yang besar distribusi dari nilai-nilai tersebut akan mengikuti kurva normal

dari gauss.

1. Pengaruh kesalahan ini dibuat sekecil mungkin dengan penyempurnaan alat

ukur yang digunakan (menggunakan alat presisi tinggi).

2. Dengan aturan tertentu dalam proses pengambilan data. Pengambilan data pagi

pukul 07.00 - 11.00 dan dilanjutkan pada waktu sore hari pukul 14.00 - 17.00,

dan alat ukur dipayungi apabila terkena sinar matahari langsung.

3. Dengan metode pengolahan data yang tertentu (grafis, bouwditch, perataan

kuadrat terkecil dan lain-lain). Dimana hasil pengamatan harus mengalami

koreksi dengan metode ilmu hitung perataan (adjusment) menurut ilmu hitung

kuadrat terkecil.

I.7.3.4. Kesalahan pada Total Station. Untuk alat Total Station dengan

menggunakan sistem pengukuran elektrik-optis dimana yang diukur adalah

perbedaan phase gelombang pembawa yang keluar (outgoing) dan masuk (incoming)

maka terdapat kesalahan yang berpengaruh pada hasil pengukuran jarak dan

sudutnya, diantaranya adalah (Widjajanti, Heliani, 2005):

12

1. Efek kesalahan nol yang disebabkan ketidakakuratan besarnya perbedaan pusat

elektrik instrumen dengan titik pusat pengukuran pada instrumen. Nilainya

konstan dan biasanya telah ditentukan oleh pabrik pembuat.

2. Kesalahan perioda perputaran yang disebabkan oleh electrik cross-talk dalam

instrumen. Hal ini dapat diselesaikan dengan pengukuran berulang dan

besarnya kesalahan dihitung dengan hitung kuadrat terkecil.

3. Kesalahan pengukuran phase yang disebabkan keterbatasan resolusi teknik

pengukuran yang digunakan. Untuk mengetahi kesalah sistematiknya maka alat

ukur harus dikalibrasi terlebih dahulu, agar harga koreksi kesalahannya dapat

dikoreksikan pada hasil ukuran.

4. Efek refraksi atmosfir dimana kecepatan perambatan gelombang

elektromagnetik di atmosfir tidak sama dengan kondisi ideal (ruang vakum).

hal ini menyebabkan perlambatan penjalaran gelombang.

Dalam pengukuran dengan menggunakan alat Total Station ini juga tidak lepas

dari kesalahan-kesalahan yang timbul karena faktor manusia, antara lain:

1. kelalaian dalam pengaturan alat,

2. kesalahan dalam mengukur tinggi alat,

3. kesalahan dalam mengukur tinggi reflektor,

4. penempatan alat maupun reflektor tidak tepat di atas titik, dan

5. kesalahan pencatatan data.

I.7.4. Perambatan Kesalahan

Besaran yang diukur pada setiap pengukuran umumnya digunakan untuk

menghitung besaran lain yang diperlukan. Dalam kasus ini besaran yang dihitung

dinyatakan sebagai fungsi matematik dari pengukuran. Bila di dalam pengukuran

terdapat kesalahan, maka tidak bisa dihindari bahwa besaran yang dihitung dari hasil

pengukuran akan mempunyai kesalahan. Evaluasi kesalahan dalam besaran yang

dihitung yang dinyatakan sebagai fungsi kesalahan dalam pengukuran disebut

perambatan kesalahan (Mikhail dan Gracie, 1981).

Apabila jumlah besaran yang diukur lebih besar daripada jumlah besaran yang

dihitung, maka akan diperlukan solusi hitungan khusus yang disebut hitungan

13

perataan. Suatu model matematik akan menghubungkan besaran yang diukur dan

besaran yang dihitung. Karena perambatan varian kovarian memerlukan hubungan

yang linear maka diperlukan linearisasi apabila model matematik tersebut belum

linear.

Linearisasi :

Y = f (x0

dalam hal ini Δx = x – x

) + �𝒅𝒅𝒅𝒅𝒅𝒅𝒅𝒅� Δx + higher order term (I.8)

0

Apabila ada suatu persamaan yaitu :

Y = Ax + B (I.9)

Dalam hal ini:

Y : parameter yang dicari

x : besaran yang diukur

A :hubungan linear antara parameter dan besaran ukuran (𝒅𝒅𝒅𝒅𝒅𝒅𝒅𝒅

, matriks jacobian)

B : konstanta

Dengan menambahkan harapan matematis yang yang dinotasikan dengan E(x), maka

didapatkan:

E (Y) = E (Ax) + B

= A E(x) + B (I.10)

Berikut adalah matriks varian kovarian:

E [ (x – μx) . (x – μx)T ] = Σxx

Dalam hal ini:

(I.11)

x : variabel random

μx

Σ

: rerata x

xx

dan

: matriks varian kovarian variabel random x

E [ (y – μy) . (y – μy)T ] = Σyy

Dalam hal ini:

(I.12)

y : variabel random

μy

Σ

: rerata y

yy : matriks varian kovarian variabel random x

14

Sehingga :

E [y] = A E[x] + B

dari persamaan (I-12) didapatkan:

Σyy = E [ (y – μy) . (y – μy)T

= E {(y – E[y])) (y – E[y])

] T

= E {(y – (A E[x] + B)) (y – (A E[x] + B))

} T

= E {(y – b – A E[x]) (y – b – A E[x])

} T

= E {(Ax – A E[x]) (Ax – A E[x])

} T

= A . E {(x – E[x]) (x – E[x])

} T} . A

= A . E [(x – μ

T

x) . (x – μx)T] . A

Σ

T

yy = A Σxx AT

Persamaan di atas disebut perambatan varian kovarian yang sering digunakan.

(I.13)

I.7.5. Hitungan Kuadrat Terkecil Metode Parameter

Hitungan perataan bertujuan mengestimasi harga-harga parameter berdasarkan

data pengamatan yang tersedia. Agar hasil estimasi benar, data yang digunakan

hanya mengandung kesalahan acak. Hitungan dapat dilakukan dengan berbagai

metode, salah satunya adalah dengan metode parameter. Pada metode ini besaran

pengamatan dinyatakan sebagai fungsi parameter (Hadiman, 1991).

Hubungan fungsional antara La dan X (persamaan observasi) dapat dituliskan

sebagai berikut:

La1 = A1,1 X1 + A1,2 X2 + ... ... A1,u Xu + A

La1,0

2 = A2,1 X1 + A2,2 X2 + ... ... A2,u Xu + A

La2,0

3 = A3,1 X1 + A3,2 X2 + ... ... a3,u Xu + A

... ... ... ... ... 3,0

Lan = An,1 X1 + An,2 X2 + ... ... An,u Xu + An,0

Dalam hal ini:

(I.14)

La1, La2, La3, ..., Lan

X

: besaran-besaran terkoreksi

1, X2, ..., Xu

A

: parameter-parameter yang ditentukan

1,1, A1,2, A2,1, A2,2, ..., An,u

A

: koefisien parameter

1,0, A2,0, A3,0, ..., An,0

: konstanta-konstanta linier

15

Apabila L merupakan besaran ukuran maka diasumsikan bahwa semua nilai L

mengandung kesalahan acak dan La besaran yang dicari maka perbedaan nilai L dan

La disebut dengan residual (V), maka hubungan dari ketiga besaran tersebut dapat

digambarkan dengan persamaan berikut:

L1 + V1 = La

L1

2 + V2 = La

L2

3 + V3 = La

... ... ... 3

Ln + Vn = La

Maka persamaan pengamatan L menjadi: n

La1 + V1 = A1,1 X1 + A1,2 X2 + ... ... A1,u Xu + A

La1,0

2 + V2 = A2,1 X1 + A2,2 X2 + ... ... A2,u Xu + A

La2,0

3 + V3 = A3,1 X1 + A3,2 X2 + ... ... A3,u Xu + A

... ... ... ... ... ... 3,0

Lan + Vn = An,1 X1 + An,2 X2 + ... ... An,u Xu + An,0

(I.15)

Dari persamaan (I.15) diperoleh persamaan yang disebut dengan persamaan koreksi,

yaitu:

V1 = A1,1 X1 + A1,2 X2 + ... ... A1,u Xu + A1,0 – La1

V

2 = A2,1 X1 + A2,2 X2 + ... ... A2,u Xu + A2,0 – La

V2

3 = A3,1 X1 + A3,2 X2 + ... ... A3,u Xu + A3,0 – La

... ... ... ... ... ... 3

Vn = An,1 X1 + An,2 X2 + ... ... An,u Xu + An,0 – Lan

Persamaan koreksi diatas dapat dituliskan juga dalam bentuk matriks (Hadiman,

1991), menjadi:

(I.16)

V = AX – F (I.17)

Keterangan:

V : koreksi (residual) pengamatan

A : matriks koefisien parameter

X : nilai parameter

F : faktor sisa

16

Jika dalam proses hitungannya menggunakan bobot pengukuran (P), maka

jumlah kuadrat residualnya (VT

V

PV) dapat dicari dengan persamaan berikut: T P V = ( A X – F )T

= (X

P ( A X – F ) T AT – FT

= X

) P (A X – F ) T AT P A X – XT AT PF – FT P A X – FT

V

P F T P V = XT AT P A X – 2 FT P A X – FT

P F (I.18)

Sesuai dengan teori kuadrat terkecil maka untuk mendapatkan nilai La terbaik

maka jumlah kuadrat residual (VT P V) harus minimum. Agar nilai VT P V minimum

maka turunan pertama VT

𝜕𝜕𝑉𝑉𝑇𝑇𝑉𝑉𝜕𝜕𝜕𝜕

= 0

P V terhadap koreksi parameter harus sama dengan nol.

untuk itu:

2 XT AT P A – 2 FT

X

P A = 0 T AT P A – FT

P A = 0 (I.19)

Karena PT

A

= P, maka persamaan (I.19) bila di-transpose akan menjadi: T P A X – AT

P F = 0 (I.20)

Selanjutnya untuk mencari nilai parameter estimasi terbaik, diperoleh dari:

X = (AT P A)-1 AT

P F (I.21)

Untuk mencari nilai besaran-besaran terkoreksi adalah:

La = L + V

= L + AX – F

= L + A (AT P A)-1 AT

P F – F (I.22)

Persamaan untuk mencari nilai ketelitian parameter ( Σxx ), matriks varian

kovarian besaran terkoreksi ( ΣLa ), dan matriks varian kovarian residu ( Σvv

Σ

) adalah

:

xx = 𝜎𝜎� Ro2 (AT P A) -1

Σ

(I.23)

La = 𝜎𝜎� Ro2 [A (AT P A)-1 AT] (I.24)

17

Σvv = 𝜎𝜎� Ro2 [P-1 (A (AT P A)-1 AT

𝜎𝜎� Ro

)] (I.25)

2

Dalam hal ini:

= 𝑉𝑉𝑇𝑇 𝑃𝑃 𝑉𝑉𝑛𝑛−𝑢𝑢

(I.26)

𝜎𝜎� Ro2

P : matriks bobot pengukuran

: varian aposteori

n : jumlah pengamatan

u : jumlah parameter

I.7.6. Bobot Pengukuran

Bobot suatu pengukuran merupakan perbandingan ketelitian antara besaran-

besaran yang diukur. Besaran pengukuran yang didapat dari suatu pengukuran

mempunyai tingkat ketelitian yang berbeda oleh karena itu dalam perhitungannya

harus diberikan suatu nilai besaran (bobot pengukuran) yang sesuai dengan harga

ketelitian dari suatu pengamatan (Hadiman, 1991). Bobot yang baik pada hitungan

kuadrat terkecil akan menghasilkan varian akhir ( 𝜎𝜎� Ro2) yang bersesuaian dengan

varian awalnya (σo2) (Mikhail dan Gracie, 1981). Sedangkan estimasi varian (σo

2

Bobot dari pengukuran tunggal dapat didefinisikan sebagai satuan yang

berbanding terbalik dengan varian pengukuran (σ

)

yang kurang tepat akan mengakibatkan estimasi bobot pengukuran yang kurang tepat

(Soeta’at, 1996).

x2

P = 𝑘𝑘𝜎𝜎𝑥𝑥2 (I.27)

), sehingga:

Dalam hal ini k adalah konstanta sebagai pembanding nilai pengamatan. Bila suatu

pengamatan mempunyai bobot yang sama dengan satu (P = 1) dan nilai varian

pengukuran sama dengan varian apriori (σo2

1 = 𝑘𝑘𝜎𝜎𝑜𝑜2 (I.28)

), maka:

Dari kedua persamaan di atas yaitu persamaan (I.27) dan persamaan (I.28) akan

diperoleh persamaan di bawah ini:

P = 𝜎𝜎𝑜𝑜2

𝜎𝜎𝑥𝑥2 (I.29)

18

Dalam hal ini:

σo2

σ

: varian apriori

x2

: varian pengukuran

Pada saat pengukuran tidak saling berkorelasi sehingga matriks varian kovarian

pengukuran merupakan suatu matriks diagonal, yaitu:

ΣL-1

Dalam hal ini:

=

⎣⎢⎢⎡1/σ1

2 0 0 00 1/σ2

2 … 0 …0

…0

…0

01/σn

2⎦⎥⎥⎤ (I.30)

ΣL

σ

: matriks varian kovarian pengukuran

x2

: varian pengukuran ke n

Dari persamaan (I.29) didapatkan hubungan bobot pengukuran dengan

pengukuran adalah:

P1 = σo2 / σ1

2, P2 = σo2 / σ2

2, ........., Pn = σo2 / σn

sehingga diperoleh matriks bobot P:

2

P = �

𝑃𝑃1 0 0 00 𝑃𝑃2 ⋯ 0⋯0

⋯0

⋯0

0𝑃𝑃𝑛𝑛

� (I.31)

Dari persamaan (I.31) akan menjadi :

P =

⎣⎢⎢⎡𝜎𝜎𝑜𝑜

2/𝜎𝜎12 0 0 0

0 𝜎𝜎𝑜𝑜2/𝜎𝜎22 ⋯ 0

⋯0

⋯0

⋯0 0

𝜎𝜎𝑜𝑜2/𝜎𝜎𝑛𝑛2⎦⎥⎥⎤

= σo2

Sehingga jika dituliskan dalam bentuk notasi persamaan akan menjadi :

⎣⎢⎢⎡1/σ1

2 0 0 00 1/σ2

2 ⋯ 0⋯0

⋯0

⋯0 0

1/σn2⎦⎥⎥⎤ (I.32)

P = σo2 ΣL

-1

(I.33)

19

Pada sipat datar, pengukuran beda tinggi dilakukan dengan membaca bacaan

rambu depan dan bacaan rambu belakang. Apabila pada setiap pengukuran

diterapkan prosedur pengaturan alat yang sama, maka dapat diasumsikan bahwa

kesalahan nivo pada arah rambu depan αa dan rambu belakang αb mempunyai

ketelitian yang sama yang dinyatakan dengan σα. Jika rambu depan dan rambu

belakang yang digunakan mempunyai jenis yang sama, maka diasumsikan

pembacaan rambu depan dan rambu belakang mempunyai ketelitian yang sama,

dengan ketelitian σβ

σ

. Dari penjelasan tersebut, selanjutnya bobot seperjarak

dikembangkan dari persamaan:

Δhn2 = nD2(σα

2+ σβ2

) (I.34)

Apabila menggunakan teknik sipat datar memanjang, dengan D adalah jarak

tiap slag pengamatan dan S adalah jarak antar titik, maka jumlah slag pengamatan n

dibuat sama dan prosedur pengaturan alat yang diterapkan sama. Dari penjelasan

tersebut, selanjutnya D(σα2+ σβ

2

σ

) dapat dianggap sebagai konstanta k bagi semua

pengukuran slag, sedangkan nD adalah panjang dari jumlah slag yang dapat diartikan

sebagai jarak antar titik S, sehingga:

n2 = σΔhn

2 = nD2(σα2+ σβ

2

) = nDk = Sk (I.35)

Untuk k = 1, σΔhn2

P = 1

𝜎𝜎𝛥𝛥ℎ𝑛𝑛 2 = 1S (I.36)

= S, maka:

Sehingga bobot seperjarak dapat ditulis:

P =

⎣⎢⎢⎢⎢⎡1

S1� 0 0 0

0 1S2� ⋯ 0

⋯0

⋯0

⋯0

⋯1

S𝑛𝑛� ⎦⎥⎥⎥⎥⎤

(I.37)

Dalam hal ini:

P : bobot pengukuran

Sn : jarak antara dua titik yang diukur beda tingginya

20

I.7.7. Hitung Perataan Terkendala Minimal

Suatu matriks yang mempunyai kekurangan rank (rank deficiency) akan

menyebabkan matriks tersebut menjadi singular. Dalam metode kuadrat terkecil,

harga X dapat diperoleh dari persamaan - X = (AT P A)-1 AT P F jika matriks (AT P A)

tidak singular, karena harga determinan matriks (AT P A) ≠ 0. Apabila matriks (AT P

A) mengalami kekurangan rank, maka matriks (AT

Kekurangan rank atau rank deficiency disebabkan oleh belum terdefinisinya

sistem koordinat. Pada sistem koordinat 1D, misalnya sipat datar, ada kekurangan

rank sebanyak satu, sehingga sistem koordinat 1D terdefinisi dengan menentukan

satu titik sebagai referensi (tinggi). Pada sistem koordinat 2D, misalnya kontrol

horizontal, ada kekurangan rank sebanyak empat, sehingga sistem koordiant 2D

terdefinisi bila ada empat unsur yang dipakai sebagai referensi. Sehingga yang

dimaksud dengan perataan dengan kendala minimal (minimal constraint adjusment)

adalah perataan dengan jumlah unsur yang diketahui (referensi) sebanyak

kekurangan rank-nya (Soeta’at, 1996)

P A) tersebut menjadi matriks

singular sehingga tidak dapat diinvers. Rank suatu matriks didefinisikan sebagai

dimensi tertinggi suatu matriks sehingga determinannya tidak nol (Soeta’at, 1996).

I.7.8. Uji Statistik untuk Evaluasi Hasil Hitung Perataan

Pengamatan besaran ukuran seperti sudut dan jarak secara berulang, akan

diperoleh data pengamatan yang bervariasi nilainya. Adanya variasi hasil

pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pengamatan mengandung kesalahan yang

secara alamiah terkandung di dalamnya. Untuk mengetahui bahwa hasil pengamatan

di lapangan tidak mengandung kesalahan tak acak maka nilai varian dan koreksi

ukuran hasil pengamatan dilakukan pengujian secara statistik untuk daerah

kepercayaan tertentu. Dalam penelitian ini uji statistik untuk hasil hitung perataan ini

dilakukan dengan menggunakan uji-τ (Pope’s tau).

Perbandingan koreksi pengukuran dengan simpangan baku pengukuran harus

mendekati hasil formula derajat kebebasan seperti pada persamaan (I.38) berikut ini

(Kuang,1991) :

21

τ(r)

Dalam hal ini :

= √𝑟𝑟 𝑡𝑡(𝑟𝑟−1)

�𝑟𝑟−1+ 𝑡𝑡(𝑟𝑟−1) (I.38)

r : derajat kebebasan

t : nilai tabel t

Pengujian ini adalah untuk memastikan bahwa besaran yang dimodelkan

benar-benar diterima secara statistik. Untuk menghitung nilai τi

𝜏𝜏𝑖𝑖 = 𝑣𝑣𝑖𝑖𝜎𝜎𝑣𝑣𝑖𝑖

(I.39)

(nilai hitung t) setiap

data pengamatan menggunakan persamaan (I.39) berikut ini :

Dimana :

𝑣𝑣𝑖𝑖 : Koreksi pengamatan ke-i

𝜎𝜎𝑣𝑣𝑖𝑖 : Simpangan baku koreksi ke-i (akar dari elemen diagonal matriks Σvv

)

Hipotesis nol (Ho) pada τ-tes mengasumsikan bahwa seluruh pengukuran telah

terdistribusi normal. Sehingga residual ekspektasi adalah nol, karena tidak ada

kesalahan kasar. Alternatif hipotesis adalah Ha, apabila Ho ditolak. Sehubungan

dengan hal tersebut, Ho

τ diterima berdasarkan nilai berikut ini :

(1-α/2) < τi < τ (α/2)

Penolakan H

(I.40)

o

dapat mengindikasikan adanya gross error atau kesalahan kasar pada

model ukuran.

Melalui uji τ, data snooping secara tidak langsung telah dilakukan, hal ini

dikarenakan dengan metode tersebut nilai residual masing-masing pengukuran

langsung diketahui.

I.7.9. Uji Statistik untuk Analisis Hasil

Apabila suatu besaran ukuran berulangkali diukur dengan menggunakan suatu

alat ukur tertentu dan kemudian proses yang sama dikenakan pada alat lain yang juga

dilakukan secara berulang-ulang, maka akan dihasilkan dua ketelitiandan dua

22

parameter hasil ukuran tersebut. Untuk menguji kesamaan dua kelompok sampel

tersebut dapat digunakan uji varian atau uji Fisher untuk menguji kesamaan

ketelitiannya, dan uji-τ untuk menguji kesamaan parameternya.

1.7.9.1. Uji perbandingan varian

F = 𝜎𝜎ℎ1

2

𝜎𝜎ℎ22 (I.41)

. Uji Fisher (F-test) dapat digunakan untuk

menguji kesesuaian varian antara dua kelompok sampel yang berdistribusi normal.

Dengan menggunakan distribusi F (Fisher) dapat dilakukan uji kesamaan antara rata-

rata varian tinggi hasil hitungan perataan kuadrat terkecil pertama 𝜎𝜎ℎ12 dengan rata-

rata varian tinggi hasil hitungan perataan kuadrat terkecil kedua 𝜎𝜎ℎ22 . Distribusi F

dapat dirumuskan sebagai berikut (Spiegel, Schiller, dan Srinivasan, 2004):

Pengujian dilakukan dengan nilai kesesuaian antara hasil hitungan dengan

suatu nilai yang diharapkan. Kriteria pengujiannya adalah Ho diterima jika nilai

berdasarkan nilai berikut : 1

Ff1,f2,α/2 < F < Ff1, f2,α/2

Dimana:

(I.42)

f1 : derajat kebebasan untuk pembilang

f2 : derajat kebebasan untuk penyebut

Apabila hipotesis diterima (Ho), menunjukkan bahwa titik tersebut mempunyai

ketelitian yang hampir sama atau tidak berbeda secara signifikan. Sebaliknya, apabila

hipotesis ditolak (Ha

) maka titik tersebut mempunyai ketelitian yang berbeda secara

signifikan.

1.7.9.2. Uji signifikansi tau (τ-tes) komparatif. Selain uji τ untuk satu pihak,

terdapat uji τ yang digunakan untuk menguji secara komparatif suatu parameter dari

dua metode hasil hitung perataan. Hipotesis nol diterima apabila dipenuhi besaran

kriteria pada persamaan (I.42) berikut ini (Soeprapto, 2005) :

23

𝜏𝜏𝑖𝑖 = 𝑥𝑥1𝑖𝑖− 𝑥𝑥2𝑖𝑖

�𝜎𝜎𝑥𝑥1𝑖𝑖2 + 𝜎𝜎𝑥𝑥2𝑖𝑖

2 (I.43)

Dalam hal ini :

𝑥𝑥1𝑖𝑖 : Nilai parameter metode satu

𝑥𝑥2𝑖𝑖 : Nilai parameter metode dua

𝜎𝜎𝑥𝑥1𝑖𝑖2 : Nilai varian dari parameter metode satu

𝜎𝜎𝑥𝑥2𝑖𝑖2 : Nilai varian dari parameter metode dua

Hiptesis nol ( Ho

τ ) diterima berdasarkan nilai berikut ini :

(1-α/2) < τi < τ (α/2)

Apabila hipotesis nol (H

(I.44)

o) diterima maka nilai parameter metode satu tidak

berbeda secara signifikan dengan parameter metode dua. Alternatif hipotesis adalah

Ha, apabila Ho

ditolak, yaitu nilai parameter metode satu berbeda secara signifikan

dengan parameter metode dua.

I.8. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah pemberian koreksi pada pengukuran tinggi

instrumen (ti) dan tinggi reflektor (tr) akan meningkatkan ketelitian penentuan tinggi

dengan alat Total Station secara sistematis. Ketelitian estimasi tinggi menggunakan

Total station adalah sama dengan ketelitian estimasi tinggi dengan menggunakan

sipat datar.