BAB I PENDAHULUAN -...

27
1 BAB I PENDAHULUAN “Kemiskinan tidak turun dari langit, kemiskinan mengudara dari struktur yang membatu di bumi” (Anonymous) A. Latar Belakang Permasalahan 1. Permasalahan Apa masalah terbesar yang pernah dimiliki oleh umat manusia? Pertanyaan ini sepertinya tidak akan pernah bisa habis dijawab oleh siapapun dan melalui cara apapun. Mungkin pertanyaan, “Masalah apa yang selalu dihadapi oleh setiap manusia dalam kehidupannya?” bisa menjadi sesuatu yang lebih mudah untuk dijawab. Meskipun pada kondisi praktisnya jawaban atas pertanyaan ini akan berujung juga pada keragaman. Sebagai sebuah wacana pembuka, kata “keadilan” mungkin bisa menunjukkan permasalahan induk manusia. Sebuah tradisi masalah yang telah muncul semenjak zaman awal peradaban manusia. Skema keadilan ini selalu mengibaratkan bahwa ada kaum yang lebih utama untuk menghadapi kaum yang lebih tertinggal, atau kaum yang lebih berharga menghadapi kaum yang tidak berharga. Pada tataran aksiologis, kedua kelompok ini berlawanan dalam dimensi atau taraf yang berbeda serta saling meng-atas-i dan mem-bawahi. Kondisi ini yang kemudian pada akhirnya menciptakan sebuah kontur baru dalam peradaban

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

“Kemiskinan tidak turun dari langit, kemiskinan mengudara dari struktur yang

membatu di bumi”

(Anonymous)

A. Latar Belakang Permasalahan

1. Permasalahan

Apa masalah terbesar yang pernah dimiliki oleh umat manusia?

Pertanyaan ini sepertinya tidak akan pernah bisa habis dijawab oleh siapapun dan

melalui cara apapun. Mungkin pertanyaan, “Masalah apa yang selalu dihadapi

oleh setiap manusia dalam kehidupannya?” bisa menjadi sesuatu yang lebih

mudah untuk dijawab. Meskipun pada kondisi praktisnya jawaban atas pertanyaan

ini akan berujung juga pada keragaman.

Sebagai sebuah wacana pembuka, kata “keadilan” mungkin bisa

menunjukkan permasalahan induk manusia. Sebuah tradisi masalah yang telah

muncul semenjak zaman awal peradaban manusia. Skema keadilan ini selalu

mengibaratkan bahwa ada kaum yang lebih utama untuk menghadapi kaum yang

lebih tertinggal, atau kaum yang lebih berharga menghadapi kaum yang tidak

berharga. Pada tataran aksiologis, kedua kelompok ini berlawanan dalam dimensi

atau taraf yang berbeda serta saling meng-atas-i dan mem-bawahi. Kondisi ini

yang kemudian pada akhirnya menciptakan sebuah kontur baru dalam peradaban

2

manusia pada masa selanjutnya. Istilah-istilah seperti perbudakan, dominasi

teritori, dan penjajahan merupakan domain masalah turunan dari keadilan. Namun

ada satu kata kunci yang juga kemudian muncul dalam sejarah kemanusiaan dan

sekaligus muncul sebagai core-problem dari semua istilah yang dikemukakan di

atas, terutama dalam menyikapi keadilan, kata itu yaitu “kemiskinan”.

Kata kemiskinan telah menjadi begitu akrab di telinga dan mata umat

manusia sejak lama. Peradaban manusia di pelbagai tempat dan zaman juga selalu

diikuti oleh kata ini. Apabila kata “kemiskinan” muncul, maka akan dengan

mudah terbayang sekelompok orang dengan sandang yang jauh dari kata mewah

bahkan mungkin jauh dari sekedar layak pakai, kondisi fisik yang

memprihatinkan baik dari segi kesehatan maupun kebersihan, kesedihan dan

kemuraman yang terpancar dari sorot mata mereka, dan gambaran miris lainnya.

Sekali lagi kondisi ini selalu muncul dalam peradaban yang telah dibangun oleh

manusia.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa kemiskinan selama ini seolah menjadi

bagian dari semua peradaban manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu

dimulai sebuah percakapan kritis filosofis mengenai sebab munculnya

kemiskinan. Jika ditinjau menurut perspektif ilmu-ilmu sosial, kemiskinan

bersumber dari berbagai faktor yang pada intinya merupakan konsekuensi

langsung atas berlakunya sebuah sistem sosial-ekonomi secara timpang dan tidak

adil yang berlaku terus menerus dan hampir tidak terkontrol (Mukhtasar, 2000: 1).

Adanya ketimpangan dan ketidakadilan sebagai salah satu faktor yang

menyebabkan kemiskinan ini, berakibat memunculkan dua kelompok yaitu yang

3

menguasai sistem serta mengambil keuntungan darinya, serta kelompok yang

tidak diuntungkan yang terdiri atas orang-orang tidak berdaya. Bukan saja tidak

memperoleh keuntungan, kelompok ini juga tidak pernah dilibatkan dalam segala

keputusan yang sesungguhnya menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup

mereka.

Kondisi tersebut di atas merupakan sebuah sistem yang dijalankan oleh

sekelompok orang dengan tidak adil dan merugikan, sehingga menciptakan

ketidakseimbangan dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya eksploitasi

dan penindasan. Sebagai amanah budaya dan sejarah, maka ketertindasan

sebetulnya bukanlah sebuah kondisi alamiah yang tercipta begitu saja. Penindasan

merupakan sebuah kondisi yang dihadirkan secara sengaja dan tersistem oleh

pihak tertentu. Untuk itu, ketertindasan sudah seharusnya tidak menjadi sebuah

hal yang harus dipasrahkan begitu saja kepada Tuhan apalagi bahkan kemudian

menjadi terbiasa dengannya, melainkan manusia harus selalu berusaha dengan

segala daya upaya untuk dapat bebas dari ketertindasan tersebut. Dengan

membebaskan diri dari ketertindasan, maka selanjutnya manusia dapat menolong

sesama untuk juga bebas dari ketertindasan.

Pemikiran semacam ini yang kemudian melahirkan berbagai upaya

manusia untuk membebaskan diri dan sesamanya dari ketertindasan. Masalah

keadilan yang kemudian mengerucut kepada timbulnya penindasan merupakan

awal munculnya sikap manusia dalam mengupayakan kebebasan dan pembebasan

ini. Kenyataan bahwa sebagian dari para manusia yang tertindas menjadikan

spiritualitas dan religusitas sebagai „obat‟ dari rasa menderita akibat penindasan,

4

dengan cara meyakini bahwa hal tersebut adalah takdir dari Sang Kuasa,

menjadikan religiusitas terkesan melemahkan manusia yang memilikinya.

Kepasrahan diri atas kondisi yang di-ada-kan kepadanya oleh sesama manusia,

pada akhirnya membuat situasi penderitaan dan penindasan yang tidak kunjung

berhenti di sebagian ruang kehidupan masyarakat.

Kondisi demikian disadari oleh para pihak yang ingin melakukan

perubahan. Apabila salah satu penyebab dari terjadinya situasi penderitaan dan

ketertindasan yang terus berputar adalah sikap pasrah atas nama religiusitas, maka

berarti pengaruh religiusitas terhadap kehidupan manusia sangatlah besar. Jika

semua di dunia ini memiliki dua sisi layaknya mata uang, maka yang

„melemahkan‟ dapat menjadi sama besarnya ketika „menguatkan‟. Religiusitas

yang mengandung kepasrahan apabila dibongkar kembali untuk fungsi lainnya,

dapat menjadi sebuah motivasi perjuangan. Religiusitas yang digabungkan dengan

kehendak membebaskan diri yang kemudian tercakup dalam sebuah disiplin

pemikiran yang disebut teologi pembebasan.

Teologi pembebasan merupakan sebuah perwujudan perjuangan manusia

untuk mengembalikan kodratnya sebagai makhluk yang bebas. Bebas dari segala

bentuk penindasan, eksploitasi, dan kemiskinan, sebagaimana semangat Religius

yang sesungguhnya sangat menjunjung kebebasan manusia dalam batas-batas

tertentu. Pada umumnya semangat religiusitas yang demikian kebanyakan

dipergunakan untuk persoalan-pesoalan sosial lainnya seperti problematika yang

berkenaan dengan hak dan kewajiban dalam gender, politik, dan pendidikan.

5

Sedangkan untuk permasalahan kemiskinan pada umumnya lebih banyak

dialihkan sebagai persoalan ekonomi.

Penelitian ini, oleh karena itu bermaksud untuk melihat kemiskinan dari

sudut pandang yang belum banyak disadari oleh berbagai pihak, karena

kemiskinan tidak hanya milik satu sudut pandang saja. Sebagaimana yang ditulis

Paul Polak (2008) dalam bukunya tentang pentingnya cara baru dalam berfikir

dan bertindak terhadap kemiskinan

“Development donors, multinational corporations, universities,

agriculture and irrigation research institutions, ordinary people

all over the world, and most importantly, poor people themselves

will need to adopt new ways of thinking about poverty and new

ways of acting in order to end it.”

(Polak, 2008: 183)

Hal di atas, sebagaimana disebutkan oleh Polak terjadi karena upaya-upaya

pengentasan kemiskinan hingga saat ini sepertinya belum mampu memberikan

hasil yang dapat dirasakan secara signifikan oleh kaum miskin di berbagai

Negara, khususnya negara-negara di Asia. Lalu apakah sesungguhnya yang

membuat orang menjadi miskin? Apa yang mampu dilakukan oleh umat manusia

terhadap kemiskinan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi salah satu bagian

yang berusaha dikaji dalam penelitian ini.

Untuk mendapatkan sebuah porsi yang ideal, terutama dalam membahas

masalah kemiskinan ini perlu dilakukan usaha pembidikan yang jeli dalam

menentukan aspek-aspek pentingnya. Aspek kewilayahan atau geografis yang

akan dijadikan sasaran kajian merupakan aspek pertama yang harus ditentukan.

Hingga saat ini, wilayah-wilayah yang masuk dalam teritori benua Asia masih

6

dianggap cukup mendesak untuk dikaji. Kemiskinan bahkan pada beberapa

kondisi telah dianggap identik dengan sebagian wilayah Asia, terutama di bagian

Selatan dan Tenggara. Untuk itu, penelitian ini akan mengambil dan membatasi

kajiannya pada wilayah-wilayah Asia Selatan dan Tenggara yang merupakan

wilayah di Asia dengan jumlah kemiskinan yang cukup banyak.

Aspek penting lainnya adalah mengenai kacamata teori yang akan

digunakan. Hal ini tentu saja akan melibatkan tokoh-tokoh yang memiliki

kontribusi yang jelas, di dalam bidang kemiskinan maupun teologi pembebasan.

Etnisitas tentu saja akan sangat mempengaruhi pemilihan tokoh yang akan

digunakan dalam mengkaji hal ini. Dengan membawa nama teologi tentu juga di

sisi lain akan mengungkit agama-agama yang berperan besar pada bentangan

sosio-geografis di Asia Selatan dan Tenggara. Maka, pada akhirnya nama Asghar

Ali Engineer dianggap tepat untuk dijadikan sebagai tokoh yang pemikirannya

akan digunakan dalam membaca masalah kemiskinan di Asia Selatan dan

Tenggara ini.

Hal lain yang juga cukup perlu diperhatikan adalah bentangan yang

muncul pada Asia Selatan dan Tenggara bukan hanya masalah geografis namun

juga sosial. Sehingga untuk mengatasi permasalahan sosio-religi yang tentu saja

akan muncul dalam penelitian ini, pemikiran tokoh teologi pembebasan lain yaitu

Aloysius Pieris rasanya tepat untuk dikomparasi dengan Asghar guna membaca

skema besar Teologi Pembebasan khususnya mengenai kemiskinan. Kedua tokoh

tersebut dinilai bisa untuk mengungkap permasalahan kemiskinan yang ada di

7

Asia Selatan dan Tenggara serta memiliki nama besar dalam bidang teologi

pembebasan, terutama dari sudut pandang Islam dan Katolik.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, dapat

dirumuskan beberapa permasalahan yang ingin diangkat sebagai berikut:

a. Apa makna kemiskinan struktural?

b. Bagaimana pemikiran Teologi Pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar

Ali Engineer?

c. Apa makna kemiskinan struktural dalam Teologi Pembebasan Aloysius

Pieris dan Asghar Ali Engineer?

d. Bagaimana relevansi Teologi Pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar

Ali Engineer dalam permasalahan kemiskinan di Indonesia?

3. Keaslian Penelitian

Pencarian hasil penelitian yang relevan dengan tema penelitian di

lingkungan Fakultas Filsafat, secara terpisah banyak yang meneliti tentang

teologi pembebasan dengan berbagai objek materi, seperti kemanusiaan,

keadilan, dan gender.

Sedangkan hasil pencarian terhadap penelitian mengenai kemiskinan

berdasarkan teologi pembebasan menemukan penelitian yang membahas

mengenai teologi pembebasan Asghar Ali Engineer. Peneliti menemukan Thesis

karya Mukhtasar Syamsuddin yang berjudul Teologi Pembebasan Menurut

8

Asghar Ali Engineer; Makna dan Relevansinya Dalam Konteks Pluralitas Agama

di Asia di tahun 2000. Penelitian ini membahas mengenai problematika pluralitas

agama di Asia berlandaskan Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer.

Sedangkan penelitian yang membahas mengenai pemikiran Aloysius

Pieris, ditemukan karya ilmiah berupa laporan penelitian berjudul Makna

Kemiskinan Dalam Konteks Teologi Pembebasan Aloysius Pieris oleh M.

Mukhtasar dan Farid (2000). Penelitian ini menggali pemikiran Aloysius Pieris

tentang kemiskinan dengan menggunakan kerangka filsafat sehingga ditemukan

makna kemiskinan menurut Aloysius Pieris. Penelitian tersebut menggunakan

landasan teori Filsafat Agama. Serta skripsi karya Eduard Ratu Dopo (1993) yang

berjudul Teologi Pembebasan dalam konteks Kemiskinan dan Pluri-Religi di

Asia Menurut Aloysius Pieris. Skripsi tersebut memiliki titik tekan pemikiran

pluri-religi khas Aloysius Pieris serta kaitannya dengan perkembangan kehidupan

umat Nasrani di Indonesia.

Sejauh pencarian yang dilakukan, belum ada penelitian filsafat yang

meneliti kemiskinan struktural berdasarkan hasil komparasi dari pemikiran

teologi pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer yang mengarah ke

sebuah solusi pembebasan kemiskinan di Indonesia. Sehingga penelitian ini dapat

dijamin keasliannya.

9

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab persoalan yang dipaparkan

dalam perumusan masalah di atas, yaitu:

1. Menganalisis penyebab timbulnya kemiskinan struktural di Asia

2. Menganalisa pandangan teologi pembebasan Asghar Ali Engineer dan

Aloysius Pieris.

3. Mencari makna kemiskinan struktural berdasarkan pemikiran Asghar Ali

Engineer dan Aloysius Pieris.

4. Merefleksikan dan menemukan relevansi praktis terhadap persoalan

kemiskinan dan upaya pembebasan kemiskinan di Indonesia.

C. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian akademis yang dilakukan harus memiliki manfaat bagi

banyak pihak. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Bagi Penelitian Filsafat

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan

pemikiran filosofis mengenai teologi pembebasa, terutama yang

berkaitan dengan salah satu permasalahan besar manusia di sepanjang

jaman, yaitu kemiskinan. Dengan sudut pandang teologi pembebasan,

diharapkan penelitian ini mampu menghasilkan wacana teologis filosofis

yang membebaskan.

10

2. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi serta

memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang persoalan kemiskinan,

baik untuk bidang sosial, teologi, bahkan ekonomi.

3. Bagi bangsa Indonesia

Diharapkan agar penelitian ini bisa memberikan pengetahuan baru bagi

masyarakat Indonesia, serta menstimulan agar masyarakat terbiasa untuk

berfikir secara filosofis dalam melihat permasalahan kemiskinan.

D. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kata „kemiskinan‟ bukanlah

suatu istilah yang terdengar asing. Namun ketika makna dan pengertian

kemiskinan harus dijabarkan hanya dalam sebuah definisi saja, maka tidak akan

pernah cukup untuk mewakili fakta tentang kemiskinan itu sendiri. Oleh karena

itu, muncul lah berbagai definisi tentang kemiskinan dari berbagai aspek.

Beragamnya definisi tentang kemiskinan tentu dapat dirasa semakin

memperjelas dalam memperoleh gambaran tentang kemiskinan.Sehingga

pengertian kemiskinan tidak menjadi sempit dan hanya berkutat pada satu sudut

pandang yang coba untuk dihias berbagai macam pengertian, namun

sesungguhnya tidaklah berbeda. Dalam penelitian ini akan dipaparkan beberapa

definisi kemiskinan yang dianggap dapat mewakili sudut pandang yang beraneka

ragam tersebut.

11

Beberapa mengartikan kemiskinan dalam lingkup yang luas dengan

memasukkan dimensi-dimensi sosial dan moral. Kemudian ada pula yang

mendefinisikan kemiskinan secara lebih spesifik pada kondisi ketidakmampuan

seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.

Wolf Scott (1979) mendefinisikan kemiskinan dalam tiga kesimpulan,

yaitu kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan yang diterima

seseorang dalam bentuk uang dan keuntungan-keuntungan non material.Sehingga

kemiskinan secara luas meliputi kekurangan pendidikan, kesehatan yang buruk,

serta kekurangan transportasi.

Kesimpulan kedua, yaitu tidak memiliki maupun kekurangan asset-aset

dalam bentuk tanah, emas, peralatan, dan lain sebagainya. Kesimpulan ini

berkaitan dengan kekurangan dalam hal materi maupun benda-benda penunjang

produksi. Yang terakhir, tidak memiliki atau kekurangan dalam segi kebebasan,

hak-hak atas kelayakan dalam pekerjaan, rumah tangga, dan kehidupan.Dengan

melihat definisi tersebut, maka kemiskinan tidak hanya berkutat di seputaran

kekurangan harta benda saja. Esensi kemiskinan adalah menyangkut probabilitas

orang atau keluarga miskin itu untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha

serta taraf kehidupannya (Suyanto, 2013: 2). Kemiskinan bukan lagi sekedar

kuantitas yang direpresentasikan dalam bentuk angka, namun juga meliputi

kualitas.

Menurut Muhammad Soekarni, kemiskinan secara umum dibagi menjadi

dua jenis, yakni kemiskinan mutlak (absolute poverty) dan kemiskinan relatif atau

relative poverty (Soekarni, 2005:124). Kemiskinan absolut dapat diketahui dari

12

hubungannya dengan garis kemiskinan atau poverty line. Seseorang dapat

dikatakan miskin secara mutlak apabila pendapatan dan pengeluarannya berada di

bawah ataupun tepat pada garis kemiskinan tertentu. Adapun tingginya garis

kemiskinan tersebut ditetapkan oleh pemerintah di tiap negara berdasarkan

kondisi obyektif yang ada. Kemiskinan absolut diartikan sebagai suatu keadaaan

di mana tingkat pendapatan absolut dari satu orang tidak mencukupi untuk

memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pemukiman, kesehatan dan

pendidikan (Suyanto, 2013:3).

Selanjutnya jenis yang kedua yaitu kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan

yang dihubungkan dengan tingkat pendapatan atau pengeluaran kelompok lain.

Kemiskinan ini ditentukan dari sebuah perbandingan pengeluaran atau pendapatan

antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Kelompok yang pendapatan atau

pengeluarannya lebih rendah dapat dikatakan relatif miskin. Bank dunia

memberikan kriteria perbandingan antara jumlah penduduk berpendapatan

terendah dengan prosentase yang meeka dapatkan dari perndapatan nasional,

sehingga dapat digolongkan menjadi ketidakmerataan yang sangat timpang,

sedang dan yang rendah (Suyatno, 2013: 3)

Penduduk miskin sangat erat dengan ketidakmampuan,

ketidakberdayaan, serta ketidakpunyaan. Emil Salim mendeskripsikan hal-hal

yang tidak dimiliki oleh penduduk miskin yaitu;

1.Mutu tenaga kerja yang tinggi

2.Jumlah modal usaha yang memadahi

3.Luas tanah dan sumber alam yang mencukupi

4.Keterampilan dan keahlian yang cukup tinggi

13

5.Kondisi fisik jasmaniah dan rohaniah yang cukup baik

6.Rangkuman hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan

Semakin dalam orang tenggelam dalam jurang kemiskinan, semakin

banyak dan meningkat pula mutu berbagai faktor-faktor ini diperlukan

keluar dari jurang kemiskinan.

(Emil Salim dalam Soemardjan, 1980:35)

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa semakin parah taraf

kemiskinan seseorang, maka semakin diperlukan peningkatan mutu terhadap

faktor yang justru tidak dimiliki penduduk miskin, untuk dapat bebas dari

kemiskinan. Atau dengan kata lain, kemiskinan berbanding lurus dengan

kebutuhan peningkatan mutu faktor yang tidak dimiliki. Namun sayangnya,

kebutuhan tidak selalu mudah terpenuhi, terutama bagi orang-orang yang dilanda

kemiskinan.

Persoalan kemiskinan juga melahirkan banyak sudut pandang

terhadapnya. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya ”Teologi Kemiskinan”,

membedakan pandangan terhadap kemiskinan menjadi lima pandangan, yaitu;

pandangan pengkultus kemiskinan, pandangan Jabariyah, pandangan penyeru

kesalehan individual, pandangan Kapitalisme, serta pandangan Sosialisme-Marxis

(Qaradhawi, 2002). Namun menurut Qaradhawi, pandangan-pandangan tersebut

memiliki banyak kelemahan sehingga tidak menghasilkan solusi yang dapat

menjawab problema kemiskinan.

Terjadinya kemiskinan juga disebabkan atau justru diperkuat oleh

pemanfaatan struktur budaya, etika politik, dan bahkan agama secara

keliru.Kemiskinan tidak lepas dari pengaruh kasta, ras, dan tradisi yang tidak lagi

14

manusiawi, semenetara politik melalui ideologi kapitalistiknya secara terang-

terangan mempertahanan sistem ekonomi dan struktur sosial budaya yang tidak

adil (Mukhtasar, 2000: 1).

Keadilan yang seharusnya terjadi di setiap lapisan masyarakat pada

kenyataannya tidak dapat terwujud.Sebut saja salah satu yang terkait langsung

dengan kesejahteraan yaitu keadilan ekonomi yang menjadi hak setiap

masyarakat. MacPherson mendefinisikan keadilan ekonomi sebagai sebuah aturan

main tentang hubungan ekonomi yang didasarkan prinsip-prinsip etika, yang

bersumber pada hukum-hukum alam, hukum Tuhan, atau pada sifat sosial

manusia (Mubyarto, 1990: 21).

Kemiskinan sudah menjadi masalah yang terstruktur, melibatkan semua

lapisan masyarakat. Struktur sendiri bersifat sosial sehingga hanya dapat diubah

jika seluruh kelompok sosial terlibat. Kemiskinan dalam kategori ekonomis

demikian itulah kiranya yang memicu munculnya gagasan dan aksi pembebasan

(Mukhtasar, 2000: 2).Secara historis gagasan ini dan aksi ini dirintis pertama kali

dari belahan dunia Amerika Latin, Amerika Utara, kemudian disusul Afrika serta

belahan dunia Asia.

Kemiskinan dalam konteks teologi pembebasan merupakan representasi

dari keadaan kemanusiaan yang tak lagi manusiawi dan karena itu segala praktek-

praktek manipulatif atas nilai-nilai etis dan agama harus disingkirkan (Mukhtasa,

2000:2).Agama khususnya telogi harus dapat ditransformasi untuk menata

kembali struktur sosial yang tidak adil.

15

Asia, yang sebagian besar Negara nya dimasukkan dalam golongan

Negara dunia ketiga, seringkali menjadi sasaran praktek eksploitasi dan

manipulasi yang terus menerus menyebabkan ketimpangan yang semakin besar

antara di Negara dunia ketiga. Sangat dimungkinkan bahwa ekonomi dunia akan

mencapai keseimbangannya jika ekonomi Barat menghapuskan pemborosan dan

pengerukan kekayaan dunia ketiga yang menyebabkan kemiskinan yang abadi.

Kemiskinan terparah di Asia berada di Asia selatan yang meliputi

Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka. Kendati demikian, sebuah

harapan baik terhadap kemajuan perekonomian Asia Selatan mulai muncul

sebagaimana yang dikatakan oleh Deepa Narayan dan Elena Glinskaya (2007):

“South Asia usd to make headlines as home to the largest number

of the world’s poor. While the region still has close to one-quarter

of all humanity and almost 40 per cent of the world’s poor people,

the dynamic economies of south Asia are increasingly in the news

for more positive reason”

(Narayan, 2007: 2)

Kemajuan yang terjadi hanya akan menjadi angin segar sesaat apabila

tidak berkelanjutan dalam prosesnya. Kemajuan pertumbuhan ekonomi Negara-

negara di Asia tidak lantas menjadi ukuran dari meratanya kemajuan dan

kemakmuran perekonomian inidvidu maupun kelompok masyarakatnya.Seperti

yang telah diketahui bahwa masih sangat banyak penduduk Asia yang hidup

dalam jeratan kemiskinan.

Masyarakat Asia yang masih kental dengan relijiusitas, tentu akan sangat

mudah untuk menerima solusi teologis terhadap permasalahan kemiskinan.

Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer, dua tokoh teologi pembebasan dari Asia

16

nampaknya telah melakukan upaya tersebut. Oleh karena itu perlu untuk digali

lebih dalam lagi pemikiran Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer guna

menemukan sebuah solusi yang filosofis dan mampu menjadi sebuah alternatif

baru.

E. Landasan Teori

Teologi pembebasan terdiri dari kata “teologi” dan “pembebasan”.Kata

„teologi‟ berasal dari istilah Yunani yang berarti pembicaraan tentang „tuhan-

tuhan‟ atau „Tuhan‟, khususnya secara legendaris atau filosofis (Mukhtasar, 2000:

17). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), „teologi‟ berarti

pengetahuan Ketuhanan (mengenai sifat dasar Allah, dasar kepercayaan kepada

Allah dan agama, terutama berdasar pada kitab suci), (KBBI, 2005: 1177). Dalam

Oxford Dictionary, Theology berati study of or system of religion; rasional

analysis of a religious faith.

Teologi pada dasarnya adalah usaha sadar dari orang Kristen untuk

mendengarkan bisikan wahyu-sabda yang dinyatakan oleh Tuhan dalam sejarah,

menyerap pengetahuan tentangnya dengan menggunakan metode-metode

keilmuan dan untuk merefleksikan tuntutan-tuntutan langkahnya pada tindakan

(Rehner dan Vorgrimler dalam Mukhtasar, 2000: 84).

Sementara itu di dalam Islam, teologi identik dengan ilmu-ilmu atau

sikap-sikap yang berhadapan dengan sebuah kepastian akan Tuhan. Tradisi Islam

menyebut teologi dengan beberapa istilah, nama yang paling populer adalah

17

Ushuluddin. Istilah ushuluddin merupakan gabungan dua kata yaitu ushul dan ad-

din yang bisa diartikan dengan pokok-pokok atau kumpulan pondasi agama

(Abdul dan Rosihin, 2011: 13). Maka bisa dikatakan istilah teologi atau

ushuluddin dalam tradisi Islam merupakan sikap yang berkaitan langsung dengan

agama dalam memahami ketuhanan.

Pengertian kata „pembebasan‟ adalah proses, cara, perbuatan

memerdekakan (tidak dijajah, diperintah, atau dipengaruhi oleh negara lain atau

kekuasaan asing), (KBBI, 2005: 118-119). Sebuah analisis historis tentang

munculnya istilah „pembebasan‟ menunjukkan bahwa pada awalnya merupakan

reaksi terhadap istilah „pembangunan‟ (development) yang dianggap oleh

kalangan teologi pembebasan dari Amerika Latin telah membawa misi sistem

ekonomi politik liberal dan kapitalis yang merusak kehidupan rakyat (Mukhtasar,

2000: 86). Nitiprawiro menyebutkan tiga macam isi arti pembebasan; pembebasan

dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik (Gutierrez), alienasi

kultural (Galilea), atau kemiskinan dan ketidakdilan (Munoz), dan dari ketiganya

yang hendak ditampilkan adalah kebebasan sebagai wujud nyata yang membentuk

rumusan konseptual Teologi Pembebasan (Mukhtasar, 2000: 86).

Teologi pembebasan bisa dipandang sebagai suatu usaha

kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di

sekitarnya. Dalam kasus kelahiran teologi pembebasan, masalah kongkret yang

dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.

Kelahiran teologi pembebasan di Amerika Latin pada awal tahun 1960-an juga

18

dilatarbelakangi oleh adanya kondisi yang menyengsarakan rakyat miskin pada

saat itu.

Michael Lowy memetakan ajaran dasar para teolog pembebasan yang

ditemukan dalam karya tulis mereka yang telah mampu membentuk pergeseran

dari ajaran tradisional mapan pada saat itu. Beberapa diantaranya yang terpenting

adalah tentang gugatan moral dan sosial terhadap sistem yang tidak adil,

perjuangan kaum miskin menuntut kebebasan, serta kecaman terhadap teologi

tradisional (Lowy, 1999).

Teologi pembebasan menggunakan agama sebagai sebuah dasar atau

landasan untuk bergerak. Paham ini hampir terdapat pada semua agama di dunia.

Michael Amaladoss dalam bukunya “Teologi Pembebasan Asia” menulis tentang

agama-agama di Asia yang identik dengan pembebasan, seperti agama Hindu,

Buddha, Kong Hu Cu, Kristiani, Islam, dan juga agama-agama kosmis

(Amaladoss, 2002).

Teologi pembebasan berbeda dengan teologi tradisional. Apabila teologi

tradisional bersifat tekstual, maka teologi pembebasan bersifat kontekstual,

sehingga memerlukan upaya yang kritis dan mendalam, radikal, sebagai suatu

upaya kontektualisasi. Dengan demikian, teologi pembebasan dapat dimasukan

sebagai suatu pemikiran filosofis, sehingga dapat dijadikan sebagai landasan

dalam penelitian kefilsafatan.

Pemikiran Aloysius Pieris tidak hanya menjadi satu-satunya pemikiran

yang akan menjadi landasan filosofis dalam penelitian ini, tawaran konsep yang

diberikan oleh Asghar Ali juga menjadi pemikiran filsafat yang memperkaya

19

penelitian ini. Jika dalam banyak penjelasan bahwa teologi pembebasan adalah

mengenai sikap anti-penindasan, maka tentu tindakan yang menjadi fokus utama

adalah keberpihakan kepada orang-orang yang tertindas. Asghar Ali menyatakan

bahwa semestinya di dalam kehidupan ini tidak ada penindasan yang dilakukan

oleh siapapun dan atas nama apapun.

Allah sendiri menegaskan bahwa keadilan merupakan ukuran tertinggi

suatu masyarakat. Secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran bahwa perintah

yang diberikan kepada nabi Muhammad adalah untuk selalu berbuat adil.

Sehingga bisa dikatakan bahwa ketakwaan sebagai simbol dari kondisi sosial

sempurna yang dimiliki manusia akan selalu berbarengan dengan keadilan. Maka,

pembebasan merujuk kepada tradisi keislaman adalah tentang segala bentuk usaha

untuk mencapai keadilan, salah satunya melalui kajian teologi pembebasan.

(Asghar, 2009: 7)

Asghar Ali dan Pieris mungkin boleh dikatakan sebagai figur sentral

dalam menyebarkan teologi pembebasan di wilayah Asia, khususnya Asia

Selatan. Kendati latar belakang kedua tokoh tersebut adalah wilayah Asia Selatan,

namun secara kultural pencapaian yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut di

atas nampaknya akan sangat bisa digunakan di Asia bagian Tenggara. Hal ini bisa

disimpulkan dari kesamaan bentuk kondisi-kondisi ketertindasan yang dimiliki

oleh Negara di Asia Tenggara. Semuanya dalam skema umum dan vital sangat

mirip, disebabkan faktor penyebab yang tidak terlalu jauh berbeda.

Kemiskinan, dalam hal ini dipersoalkan dan salah satunya dibahas dari

ketergantungan masyarakat di beberapa negara kepada sistem agama yang dianut.

20

Sehingga dibutuhkan sebuah masukan pemikiran baru dalam bentuk menarik

sebagai usaha menemukan solusi yang lebih efektif.

Perkembangan utama teologi Asia sebetulnya baru berlangsung sejak

beberapa dekade yang lalu karena kebanyakan upaya rintisan sebelumnya kandas

pada masalah sinkretisme (Rubianti dalam Mukhtasar 2000). Maka dapat

disimpulkan bahwa tidaklah mudah merumuskan konsep teologi pembebasan Asia

dengan kongkrit, lengkap, dan aplikatif. Diantara sekian banyak aneka teolog

Asia, adalah Pieris sendiri yang boleh dikatakan menyediakan kerangka paling

jelas untuk teologi pembebasan Asia (Mukhtasar, 2000). Pieris memandang Asia

sebagai tempat yang sangat kental dengan corak teologis, ia mengemukakan

kesimpulan bahwa semua agama „kitab-kitab suci‟ sedunia lahir di benua Asia

(Pieris, 1997:12)

Teologi pembebasan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk

Tuhan yang memiliki kebebasan. Bukan seperti doktrin yang berkembang dalam

teologi tradisional, bahwa ketundukan manusia kepada kehendak Tuhan

mengimplikasikan adanya penyerahan diri secara pasif kepada kemauan Tuhan

Yang Maha Kuasa. Metode dalam berteologi harus diperbaharui oleh tantangan

dunia ketiga sehingga mempunyai relevansi bagi Asia yang tidak dimiliki oleh

teologi klasik Ecumenical Association of Third World Theologians (Mukhtasar,

2000).

Pieris menyoroti teologi tradisional dari dunia Barat yang sudah mulai

diperbaharui sejak abad ke 19 dan mengalami terobosan besar dalam pikiran

teologis pada pertengahan abad ke 20 dengan puncaknya yaitu teologi modern

21

yang terbuka terhadap dunia, dengan pusat utama pembaharuan di lingkup yang

berbahasa Prancis dan Jerman (Pieris, 1997: 14-15).

Islam pada sisi lain, sebetulnya tidak memiliki sebuah kondisi yang

bertentangan apa yang disebarkan oleh Pieris. Melalui teologi pembebasannya,

Asghar berkali-kali mengungkapkan bahwa nabi Muhammad adalah pembebas

umat yang tertindas. Argumentasinya adalah orang-orang yang membantu nabi

Muhammad kebanyakan berasal dari kaum miskin dan lemah. Sosok Muhammad

sama dengan soso Musa yang muncul di tengah-tengah orang Yahudi. Mereka

merindukan sebuah kebebasan dan kemudian ada seseorang yang menawarkan

semua jalan menuju impian tertinggi mereka. Asia Selatan dan Tenggara yang

telah terlanjur dicap sebagai negara ketiga, tentu saja merasakan kesempitan ruang

sosial. Terutama paksaan untuk menerima sistem-sistem atau corak-corak yang

kebarat-baratan. Hal inilah yang ditentang oleh Pieris dan tentu saja hal yang

sama juga dilakukan oleh Asghar Ali.

Sebelumnya, bagi Pieris para teolog dari dunia pertama sesungguhnya

tidak sejalan dengan teolog dunia ketiga yang menekankan kebebasan manusia

sebagai titah Tuhan secara langsung untuk para manusia yang tertindas,

sebagaimana dikutip langsung;

“Many first world theologians committed to social justice follow

their pastoral magisterium in using the human rights language as

a theological discourse whose primarily addresses could only be

the wielders of power and the accumulators of wealth, including

the governments of rich nations. The third world theologians on

the contrary take human liberation as God’s specific language

22

primarily addressed to and easily understood by the poor and

oppressed”

(Pieris, 1988: 522)

Memang, sesungguhnya teologi pembebasan melakukan kritik atas

teologi tradisional yang banyak dipengaruhi unsur kepentingan. Namun fungsi

refleksif kritis teologi itu tidak menggantikan fungsi teologi yang lain, yang tetap

diandalkan dan diperlukan (Guiterez dalam Mukhtasar, 2000). Dalam konteks

sejarah konkrit, persfektif baru tentang pentingnya indigenisasi yang berarti

menghubungkan pola-pola pemikiran, budaya, simbolisme dan imajinasi, tradisi-

tradisi keagamaan dan kebudayaan setempat dengan inti pewartaan Kristiani

sedemikian sehingga dalam proses penyuburan silang lahirlah sesuatu yang dapat

berakar dan tumbuh dalam iklim setempat, telah muncul teologi Kristen dalam

konteks Asia (Mukhtasar, 2000).

Dalam beberapa kondisi khusus, terlebih yang berkaitan dengan

hubungan sosial masyarakat di Asia Tenggara, pengaruh Islam memang tidak bisa

ditinggalkan. Meskipun dalam realitas yang ada, teologi pembebasan adalah

produk yang telah dilekatkan kepada kaum Nasrani yang dalam hal ini didominasi

oleh orang-orang Katolik. Namun demikian, konsep pembebasan yang dipahami

oleh orang-orang Islam sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Muhammad Iqbal

seorang pujangga dan pemikir revolusioner Islam yang juga berasal dari tanah

Asia pernah mengungkapkan, bahwa Nabi Muhammad telah naik hingga langit

tertinggi, namun beliau kemudian turun lagi. (Iqbal, 2002: 204)

23

Pandangan yang disampaikan oleh Iqbal di atas atau yang memang

dipahami demikian oleh mayoritas ahli-ahli keislaman, merupakan patron prilaku

pembebasan yang diperkenalkan oleh Muhammad. Untuk itu tidak bisa dikatakan

bahwa teologi pembebasan atau mungkin dapat disebut juga dengan pengertian

usaha pembebasan yang didasarkan kepada wahyu Tuhan adalah sebuah tradisi

yang juga diperkenalkan oleh Islam. Dengan mengatakan seperti ini, sebagaimana

yang dipahami bahwa tradisi keagamaan adalah tradisi yang tidak bisa dilepaskan

dari efektifitas yang diberikan.

Untuk masyarakat Islam yang berada dalam sistem keagamaan Islami,

maka tentu pandangan teologi pembebasan yang lebih cocok adalah yang juga

diperkenalkan atau diajarkan oleh pemeluk kepercayaan yang sama. Beberapa

kemungkinan alasan yang mendasarinya seperti sumber keimanan yang sama,

dasar teologis yang sama, serta pemahaman-pemahaman yang berlandaskan

kesamaan agama yang lebih mudah untuk diterima oleh umat Islam. Maka,

penelitian ini juga menggunakan pandangan teologis milik Asghar Ali Engineer

sebagai yang akan disandingkan untuk kemudian diperbandingkan dengan

pandangan teologi Pieris dalam masalah kemiskinan di kawasan Asia Selatan dan

Tenggara.

24

F. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan mengenai

pemikiran tokoh dengan metode hermeneutika, yang di dalam proses

pembuatannya diupayakan pada tiga hal:

1. Bahan dan Materi Penelitian

Peneliti mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang relevan dengan

penelitian ini dari berbagai sumber. Pustaka yang digunakan diklasifikasikan

menjadi pustaka primer dan pustaka sekunder :

Kepustakaan primer adalah penelitian sosio-filosofis tentang kemiskinan

serta karya tulis Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer, baik berupa buku

maupun jurnal.

Kepustakaan sekunder berupa buku-buku dan data lainnya seperti

skripsi, tesis, ataupun penelitian sejenis lainnya yang berkaitan dengan tema dan

dapat menunjang jalannya penelitian ini.

2. Tahapan Penelitian

Adapun penelitian ini berjalan dalam tahap-tahap yang telah ditempuh

sebagai berikut :

a. Pengumpulan data, yaitu pencarian literatur yang berkaitan dengan tema

penelitian.

25

b. Pengolahan data, yaitu mengelompokkan data menurut keperluan

penelitian kemudian melakukan analisis terhadap data yang telah

terkumpul.

c. Penyusunan hasil penelitian, yaitu membuat laporan penelitian

berdasarkan data yang telah diperoleh melalui kedua tahap sebelumnya.

3. Analisis Data

Berdasarkan buku “Metodologi Penelitian Filsafat” karya Anton Bakker

dan Achmad Charis Zubair, penelitian ini menggunakan Metode Hermeneutik

dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut:

a. Interpretasi : Peneliti berusaha memahami isi dari data yang telah

ditemukan dan menguraikan makna dari data tersebut secara objektif.

b. Kesinambungan historis : mencari relasi pemikiran Asghar Ali Engineer

dan Aloysius Pieris dengan fenomena kemiskinan di Asia yang ada pada

saat ini.

c. Deskripsi : Peneliti menguraikan secara teratur konsepsi pemikiran Asghar

Ali Engineer dan Aloysius Pieris sesuai dengan masalah yang diteliti.

d. Komparasi : Peneliti melakukan analisis komparatif terhadap pemikiran

Asghar Ali Engineer dan Aloysius Pieris

e. Heuristika : Peneliti berusaha menemukan sebuah pemahaman baru.

26

G. Hasil Yang Dicapai

Hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini berdasarkan permasalahan

dan tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memperoleh pemahaman mengenai Kemiskinan struktural di Asia

2. Memperoleh pemahaman terhadap pandangan Teologi Pembebasan

Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer.

3. Menemukan konsep kemiskinan struktural berdasarkan pemikiran

Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer.

4. Menemukan relevansi terhadap persoalan kemiskinan dan upaya

pemebebasan kemiskinan di Indonesia, yang diharapkan dapat dilanjutkan

oleh penelitian-penelitian berikutnya sehingga dapat menjadi suatu solusi.

H. Sistematika Penelitian

Hasil penelitian ini akan dituliskan berdasarkan sistematika sebagai

berikut:

Bab I, berisi penjelasan secara umum mengenai penelitian yang dilakukan. Secara

berurutan terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,

landasan teori, metode penelitian, hasil telah dicapai, dan sistematika penelitian.

Bab II, berisi biografi dan pemikiran tokoh yang diangkat dalam penelitian yaitu

Asghar Ali Engineer dan Aloysius Pieris, berupa riwayat hidup dan karya-karya

27

yang berhubungan dengan teologi pembebasan, latar belakang pemikiran,

pandangan teologi pembebasan, serta pandangan khas kedua tokoh. Pada bab ini

juga dibahas komparasi pemikiran kedua tokoh tersebut.

Bab III, berisi penjelasan tentang kemiskinan di Asia Selatan dan Tenggara yang

terdiri dari gambaran umum berupadata kemiskinan di Asia secara global,

pandangan tokoh-tokoh besar tentang kemiskinan di Asia, serta permasalahan di

Asia yang timbul karena kemiskinan, terutama di kawasan Selatan dan Tenggara.

Bab IV, memaparkan hasil analisis berupa komparasi konsep pemikiran kedua

tokoh mengenai pandangan terhadap kemiskinan. Dalam bab ini juga dibahas

hasil akhir dari analisis terhadap pembebasan kemiskinan struktural berdasarkan

pemikiran kedua tokoh, yang kemudian direlevansikan dengan usaha pembebasan

kemiskinan struktural di Indonesia.

Bab V, merupakan bab penutup yang berisi rangkuman sejumlah kesimpulan

umum, dan mengusulkan beberapa saran oleh peneliti.