BAB I PENDAHULUAN -...

19
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Situs Manusia Purba Sangiran merupakan sebuah situs prasejarah yang mengandung temuan fosil yang sangat banyak jumlahnya, seperti fosil Hominid purba, fosil fauna dan flora, serta artefak batu. Adanya keragaman temuan dan jumlah temuan yang melimpah, menjadikan Situs Manusia Purba Sangiran memiliki peranan penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai evolusi manusia, budaya, dan alam. (Widianto dan Simanjuntak, 2009: 77; Widianto, 1986:1). Situs Manusia Purba Sangiran terletak ±12 km di sebelah utara Kota Surakarta dengan koordinat 110º48’36”-110º53’24” BT dan 7º24’34”-7º30’08” LS. (Hascaryo, 2007). Cakupan wilayah situs ini meliputi dua kabupaten yakni Kabupaten Sragen untuk sisi utara dan Kabupaten Karanganyar di sisi selatan. Luas wilayah Situs Manusia Purba Sangiran sampai dengan saat ini sebesar ± 59,21 km 2 , yang meliputi zona inti seluas ± 57,40 km 2 dan zona pengembangan terbatas seluas ± 1,81 km 2 (Kepmendikbud Nomor 173/M/1998). Wilayah Situs Manusia Purba Sangiran yang cukup luas tersebut memiliki empat bagian situs yakni Sektor Krikilan, Sektor Dayu, Sektor Ngebung, dan Sektor Bukuran. Keempat bagian situs dari Situs Manusia Purba Sangiran tersebut memiliki kekhasan sendiri-sendiri, seperti Sektor Krikilan yang awal mulanya tempat untuk mengumpulkan fosil hasil temuan warga pada Situs Sangiran mulai dikenal , Sektor Ngebung merupakan bagian situs Sangiran yang pertama kali diteliti oleh

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Situs Manusia Purba Sangiran merupakan sebuah situs prasejarah

yang mengandung temuan fosil yang sangat banyak jumlahnya, seperti fosil

Hominid purba, fosil fauna dan flora, serta artefak batu. Adanya keragaman

temuan dan jumlah temuan yang melimpah, menjadikan Situs Manusia Purba

Sangiran memiliki peranan penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya mengenai evolusi manusia, budaya, dan alam. (Widianto dan

Simanjuntak, 2009: 77; Widianto, 1986:1).

Situs Manusia Purba Sangiran terletak ±12 km di sebelah utara Kota

Surakarta dengan koordinat 110º48’36”-110º53’24” BT dan 7º24’34”-7º30’08” LS.

(Hascaryo, 2007). Cakupan wilayah situs ini meliputi dua kabupaten yakni

Kabupaten Sragen untuk sisi utara dan Kabupaten Karanganyar di sisi selatan.

Luas wilayah Situs Manusia Purba Sangiran sampai dengan saat ini sebesar ±

59,21 km2, yang meliputi zona inti seluas ± 57,40 km2 dan zona pengembangan

terbatas seluas ± 1,81 km2 (Kepmendikbud Nomor 173/M/1998). Wilayah Situs

Manusia Purba Sangiran yang cukup luas tersebut memiliki empat bagian situs

yakni Sektor Krikilan, Sektor Dayu, Sektor Ngebung, dan Sektor Bukuran.

Keempat bagian situs dari Situs Manusia Purba Sangiran tersebut memiliki

kekhasan sendiri-sendiri, seperti Sektor Krikilan yang awal mulanya tempat untuk

mengumpulkan fosil hasil temuan warga pada Situs Sangiran mulai dikenal ,

Sektor Ngebung merupakan bagian situs Sangiran yang pertama kali diteliti oleh

2

von Koenigswald, kemudian Sektor Bukuran yang merupakan situs dengan

temuan fosil Hominid terbanyak, serta Sektor Dayu yang mempunyai temuan

serpih berumur 1,2 juta tahun. Keempat bagian situs tersebut kini dalam proses

pembangunan museum lapangan (Hascaryo, 2007; Hidayat, 2007; Widianto dan

Simanjuntak, 2009).

3

Keterangan :

+ = Gunung Berapi

= Situs Fosil Manusia Prasejarah

= Situs Artefak Zaman Paleolitik

= Situs Sangiran

Peta 1.1 Keletakan Situs Manusia Purba Sangiran Diantara Situs Prasejarah Yang Lain

(tanpa skala)

(Sumber : FAÉ, 1996)

4

Pembentukan endapan satuan batuan di Situs Manusia Purba Sangiran

dimulai sejak 2,4 juta tahun sampai 250.000 tahun yang lalu. Dalam rentang

waktu tersebut, terdapat lima buah formasi tanah yang terbentuk berurutan dari

yang paling bawah yang merupakan formasi berumur paling tua sampai dengan

yang paling atas yang merupakan formasi berumur paling muda. Urutan formasi

tersebut yakni Formasi Kalibeng Atas, Formasi Pucangan, Lapisan Grenzbank,

Formasi Kabuh, dan Formasi Notopuro. Pengaruh adanya tenaga eksogen dan

tenaga endogen menyebabkan formasi-formasi tersebut membentuk suatu

kubah yang kemudian dikenal dengan nama Kubah Sangiran. Kubah tersebut

semakin lama mengalami proses deformasi seperti erosi, patahan dan longsor

yang akhirnya mengikis bagian atas sampai bagian bawah kubah, sehingga

membentuk cekungan besar di bagian tengah kubah. Cekungan besar yang

terbentuk memperlihatkan susunan formasi di Situs Manusia Purba Sangiran

yang akhirnya turut menyingkap temuan fosil dan artefak tinggalan manusia

(Sulistyanto, 2007).

Keberadaan Situs Manusia Purba Sangiran berawal dari hasil

penelitian yang dilakukan pada tahun 1860-an, misalnya tahun 1864, P.E.C

Schmulling melakukan survei permukaan dan menemukan fosil-fosil vertebrata

di Kalioso. Kemudian pada tahun 1896 R.D.M Verbeek dan R. Fennema

melakukan pendeskripsian secara menyeluruh terhadap kondisi geologis di

Sangiran. Setelah itu, Eugene Dubois tahun 1907 melakukan survei permukaan

di situs tersebut dan menemukan fosil-fosil vertebrata yang berjenis spesies

sama dengan temuan P.E.C Schmulling. Tahun 1927, seorang geolog bernama

Louis Jean-Chretien van Es melakukan pemetaan terhadap endapan-endapan

tanah di Sangiran secara menyeluruh ( Van Es, 1931 : 19).

5

Penelitian di Sangiran secara intensif baru dilakukan tahun 1934 oleh

G.H.R. von Koenigswald dengan melakukan penggalian di Ngebung. Hasil

penelitian tersebut berupa artefak batu seperti alat serpih-bilah berukuran kecil

dan berbahan baku batuan kalsedon ataupun rijang. Selain artefak batu,

ditemukan pula fosil fauna seperti jenis Bos (Bibos) palaesondaicus,

Bos(Bubalus) palaeokerabau, Axis lydekkeri, Muntiacus muntjak, dan Duboisa

Santeng. Jenis fauna yang ditemukan mempunyai kesamaan jenis spesies

dengan fauna yang ditemukan von Koenigswald di Trinil, Jawa Timur. Umur yang

diperkirakan untuk temuan-temuan tersebut adalah tidak lebih dari 400.000 tahun

atau pada Formasi Kabuh (Koenigswald, 1936 ; Heekeren, 1972 : 48 ).

Menurut von Koenigswald, kumpulan serpih dari Situs Manusia Purba

Sangiran memiliki ciri khas tersendiri, sehingga disebut sebagai Sangiran Flakes

Industry. Ciri khas itu terletak pada bahan baku yang memiliki kekerasan yang

cukup tinggi, berkisar antara 5-7 skala Mohs. Bahan baku serpih tersebut antara

lain kalsedon, rijang,lempung kersikan, jaspis, kuarsa, dan kuarsit. Selain itu, ciri

khas lain dilihat dari ukuran alat batu yang kecil, yakni berkisar 2-5 cm pada

panjang alat (Koenigswald, 1936).

Perkiraan umur yang diberikan von Koenigswald untuk temuan serpih

dan fauna yang ditemukan di Situs Ngebung tidak sama dengan pendapat yang

diutarakan oleh Teilhard de Chardin, de Terra, dan Movious. Pada tahun 1938,

de Chardin, de Terra, dan Movious melakukan peninjauan kembali di Sangiran.

Hasil kegiatan tersebut tidak memperoleh temuan serpih pada Formasi Kabuh,

tetapi serpih ditemukan di Formasi Notopuro, yang berada di atas Formasi

Kabuh, sehingga perkiraan umur artefak tidak lebih dari 200.000 tahun. Setelah

itu, pada tahun 1939, G.J. Bartstra melakukan pertanggalan absolut

6

menggunakan argon pada serpih yang ditemukan oleh von Koenigswald.

Menurut pertanggalan tersebut, umur untuk Sangiran Flakes Industry tidak lebih

dari 50.000 tahun (Heekeren, 1972 : 48).

H.R. Van Heekeren pada tahun 1952, 1953, 1955 dan 1968

melakukan penelitian di beberapa tempat di Sangiran seperti di Ngebung,

Pucung, Ngrawan dan Jagan. Pada penelitian tersebut, ditemukan serpih

berjumlah lebih 70 buah di Formasi Notopuro. Menurut van Heekeren, teknologi

yang digunakan dalam pembuatan serpih tersebut tidak terlalu berkembang.

Oleh karena itu, dalam teknologi pembuatannya, Sangiran Flakes Industry

dianggap lebih sederhana jika dibandingkan dengan teknologi pembuatan alat-

alat serpih zaman Paleolitik di kawasan Eropa, Afrika dan Asia (Heekeren, 1972 :

49).

Penelitian terhadap Sangiran Flakes Industry terus menerus dilakukan

sampai tahun 1990-an dan tahun 2000-an. Contohnya penelitian oleh tim dari

Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional bekerja sama dengan

tim dari Museum National d’Histoire Naturalle (Perancis) pada Situs Ngebung.

Lokasi penggalian terletak 250 meter sebelah timur lokasi penelitian Von

Koenigswald. Temuan yang didapat pada penelitian tersebut berupa artefak batu

insitu, fosil Hominid dan fosil fauna. Semua temuan berasal dari Formasi Kabuh

Bawah, sehingga untuk umur relatif temuan diperkirakan 700.000 tahun yang lalu

(Widianto dan Simanjuntak, 2009:77).

Penelitian - penelitian selanjutnya dilakukan oleh Tim Balai Arkeologi

Yogyakarta dan Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional

tahun 1996, 1997 dan 2004 serta oleh Tim Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Gadjah Mada tahun 2010. Lokasi penelitian yang menjadi

7

perhatian penelitian-penelitian tersebut adalah Sektor Dayu. Hasil penelitian

yang paling banyak ditemukan adalah serpih bagian dari Sangiran Flakes

Industry. Temuan serpih tersebut menyebar pada seluruh formasi tanah, yakni

mulai dari Formasi Notopuro yang paling muda sampai dengan Formasi

Pucangan yang paling tua. Berdasarkan hasil penelitian itu, dapat diketahui

bahwa budaya serpih sudah mencapai umur 1,2 juta tahun di Situs Manusia

Purba Sangiran (Widianto et al, 1996;1997;2005, Hascaryo, 2011).

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, muncul nama untuk artefak litik

yang ditemukan di Formasi Pucangan Atas di Sektor Dayu yakni Artefak Litik

Pucangan Dayu (ALPD). Artefak batu yang menjadi bagian utama dari ALPD

adalah kelompok serpih, sehingga disebut pula Pucangan Flakes. Serpih yang

ditemukan didominasi oleh serpih yang tidak menunjukkan ciri-ciri pengerjaan

atau pemakaian, selebihnya berupa alat serut yang ditunjukkan dengan

terdapatnya retus dengan bentuk yang khas, seperti misalnya cekung. Selain itu,

ciri-ciri Sangiran Flakes Industry seperti ukuran kecil dan bahan baku batuan

yang keras terdapat pada alat-alat batu di Formasi Pucangan tersebut (Widianto

et al, 2005).

Penelitian-penelitian terhadap Sangiran Flakes Industry di Situs

Manusia Purba Sangiran hanya dilakukan secara umum dan belum dilakukan

secara lebih mendalam. Menurut penulis, temuan serpih pada Formasi

Pucangan Atas di Sektor Dayu menarik untuk dijadikan bahan penelitian. Hal

tersebut dikarenakan adanya temuan serpih pada formasi tanah tersebut

menunjukan adanya budaya yang cukup tua untuk penggunaan alat batu

berukuran kecil. Selain itu, temuan-temuan artefak batu sangatlah penting bagi

8

kajian arkeologi dikarenakan dapat digunakan untuk mengetahui kemajuan

pembuatan dan penggunaan alat kaitannya dengan dinamika suatu budaya.

Penelitian terhadap alat-alat serpih pada umumnya baru berupa analisis

megaskopis untuk mengelompokan jenis-jenis alat serta untuk mengetahui

pertanggalannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis lebih lanjut

menggunakan analisis mikroskopis untuk melihat luka yang ada pada alat batu

tersebut. Analisis terhadap luka alat batu kemudian menjadi suatu cara analisis

yang baru untuk mengetahui tingkat pemanfaatan alat batu oleh manusia

sebagai pendukung kebudayaan. (Kamminga, 1982; Inizan, 1992; Shea dan

Klenck, 1993).

B. RUMUSAN MASALAH

Berbekal latarbelakang di atas, diajukanlah rumusan masalah

penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pola luka pada alat-alat serpih dari Formasi

Pucangan Atas di Sektor Dayu, Sangiran?

2. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pada

luka-luka tersebut?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penemuan alat-alat serpih komponen Sangiran Flakes Industry pada

Formasi Pucangan Atas dapat mengindikasikan adanya suatu budaya manusia

yang menggunakan alat batu sebagai pendukung. Penelitian kali ini

dimaksudkan untuk mengidentifikasi luka yang ada pada sisi-sisi tajaman

tersebut. Selain itu, penelitian ini bermaksud mencari tahu faktor-faktor penyebab

9

munculnya luka pada alat-alat serpih serta pola luka yang terjadi. Hasil analisis

terhadap faktor-faktor penyebab terbentuknya luka pada serpih di Sektor Dayu

diharapkan dapat memberikan gambaran tentang seberapa jauh pembuatan dan

pemanfaatan alat serpih oleh manusia pada masa itu, kaitannya dengan proses

perkembangan adaptasi yang mereka lakukan. Selain itu, pola luka yang terjadi

dapat digunakan untuk mengetahui ciri-ciri luka pada temuan serpih di Formasi

Pucangan.

D. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Ruang lingkup penelitian ini adalah analisis secara mikroskopis untuk

mengidentifikasi luka sehingga faktor-faktor penyebab luka dan pola luka dapat

diketahui. Objek penelitian yang digunakan adalah serpih berjumlah 63 buah.

Serpih tersebut merupakan temuan penelitian tahun 2004 dan 2012 oleh Balai

Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran pada Formasi Pucangan Atas di

Sektor Dayu. Temuan serpih yang digunakan sebagai objek penelitian berasal

dari kotak galian dan lokasi yang sama, yakni kotak TP 21, TP 22, TP 23, TP 24,

dan TP 25. Data penelitian tersebut disimpan di Balai Pelesatrian Situs Manusia

Purba Sangiran.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian terhadap Situs Manusia Purba Sangiran telah dilakukan

sejak akhir abad 19. Penelitian tersebut menghasilkan temuan fosil Hominid

purba, fosil fauna dan flora, serta artefak batu berupa alat batu, kelompok kapak

perimbas maupun kelompok alat serpih. Penelitian dilakukan secara personal

maupun oleh tim dari suatu lembaga penelitian. Penelitian yang dilakukan secara

10

personal misalnya penelitian P.E.C Schmulling (1864), Eugene Dubois (1907),

van Es (1920), von Koenigswald (1934), de Chardin (1938), de Terra (1938),

Movius (1938), van Heekeren (1952), G.J. Bartstra (1952), Teuku Jacob dan R.P

Soejono (1960-an) sampai Harry Widianto dan Harry Truman Simanjuntak (1990-

an). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh tim antara lain tim dari Balai

Arkeologi Yogyakarta (1995), tim Pusat Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi

Nasional (1990), tim Jurusan Arkeologi dan Jurusan Geologi, Universitas Gadjah

Mada (2010), dan tim dari Museum National d’Histoire Naturalle, Perancis

(1990).

Pada penelitian von Koenigswald tahun 1934 di bukit Ngebung,

menemukan serpih dalam jumlah yang banyak dan berasosiasi dengan temuan

fosil fauna. Temuan serpih tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Sangiran

Flakes Industry (Koenigswald, 1936). Pada tahun-tahun berikutnya, penelitian

terhadap Sangiran Flakes Industry semakin banyak dilakukan, seperti contohnya

penelitian oleh de Chardin tahun di 1938 sampai dengan penelitian oleh Harry

Widianto di tahun 2000-an. Penelitian tersebut tidak hanya dilakukan di

Ngebung, tetapi di sektor lain yang masih wilayah Situs Sangiran, seperti di

daerah Dayu dan Bukuran (Widianto dan Simanjuntak, 2009).

Selain penelitian-penelitian di atas, adapula beberapa skripsi yang

membahas mengenai alat batu di Situs Manusia Purba Sangiran seperti skripsi

milik Rusmulia T. Hidayat (1993) dan Widhi Cahya Prasmita (1999). Dalam

skripsinya, Rusmulia T. Hidayat (1993) menjelaskan mengenai tipologi dan

morfologi dari alat serpih Situs Manusia Purba Sangiran yang berada di Museum

Nasional. Sedangkan skripsi milik Widhi Cahya Prasmita (1999) yang berjudul

“Cakupan Situs Sangiran: Kajian Berdasarkan Alat Serpih” membahas mengenai

11

fungsi praktis dan fungsi teknis dari alat serpih di Situs Manusia Purba Sangiran

berdasarkan teori Lewis R. Binford (1985) dan Guy Gibbon (1984).

Penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap kumpulan serpih,

komponen dari Sangiran Flakes Industry, masih terbatas sampai pada tahap

tehnologi pembuatan, tipologi, serta morfologi dari alat batu tersebut. Selain itu,

metode analisis data yang digunakan masih sampai tahap analisis makroskopis

atau analisis secara “mata telanjang”. Berdasarkan hal tersebut, penulis dapat

menyimpulkan bahwa belum ada yang melakukan penelitian terhadap luka,

khususnya pola luka dan faktor-faktor penyebab munculnya luka pada temuan

serpih di Sektor Dayu.

F. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian dalam bidang arkeologi di Situs Manusia Purba Sangiran

telah banyak dilakukan, terutama mengenai alat-alat serpih. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Von Koenigswald tahun 1934, alat-alat serpih yang

ditemukan dikenal dengan nama Sangiran Flakes Industry yang berarti industri

alat serpih Sangiran. Penamaan yang dilakukan von Koenigswald berdasarkan

alasan adanya ciri khas dari alat batu tersebut. Ciri khas tersebut terletak pada

bahan baku batuan yang digunakan berupa batuan dengan kekerasan cukup

tinggi, yakni 6-7 skala mohs. Contoh bahan baku batuan yang dipakai antara lain

kalsedon, jaspis(jasper), rijang (chert), kuarsa, ataupun lempung kersikan. Selain

itu, ukuran panjang alat hanya berkisar antara 2-5 cm (Koenigswald, 1936). Pada

penelitian yang dilakukan oleh Harry Widianto, ciri khas lain yang juga tampak

pada Sangiran Flakes Industry yakni bentuk alat batu yang lebal, pendek, dan

tebal, dengan pengerjaan yang masih sederhana di bagian ventral atau bagian

12

depan alat. Pengerjaan yang dilakukan terhadap alat hanya sebatas

pemangkasan untuk mendapatkan tajaman sebanyak satu sampai dua kali

pangkas (Widianto , 1986 ; Widianto et al, 2005).

Komponen utama dari Sangiran Flakes Industry antara lain serpih, serut,

gurdi dan bilah (Koenigswald, 1936). Serpih merupakan tatal yang dilepaskan

dari batu inti dan langsung digunakan. Lain halnya dengan serut yang

merupakan tatal yang diambil dari batu inti untuk kemudian dilakukan

pengerjaan pada bagian ventral dan selanjutnya digunakan. Gurdi merupakan

serpih yang dibentuk seperti meruncing pada bagian ujungnya, sehingga

biasanya digunakan sebagai penusuk. Sedangkan bilah merupakan serpih yang

ukuran panjangnya dua sampai tiga kali lebih besar daripada lebarnya (Crabtree,

1972 : 64).

Penggunaan bermacam-macam jenis alat-alat serpih seperti yang telah

dijelaskan di atas, menunjukan bahwa ada aktivitas manusia kala itu tidak lepas

dari penggunaan alat untuk mendukungnya. Dari penggunaan alat batu tersebut

kemudian timbul luka yang menunjukan adanya aktivitas pemanfaatan alat batu

oleh manusia. Luka akan muncul pada suatu sisi tajaman alat apabila terjadi

persinggungan antara sisi tajaman alat dengan materi yang menjadi objek

pengerjaan (Kamminga, 1982 ; Shea dan Kleck, 1993). Luka akibat dipakai pada

suatu alat batu akan terlihat berbeda dengan luka akibat pemangkasan atau luka

akibat pecah atau patah. Bentuk dari luka yang muncul akan berbeda-beda pula,

seperti misalnya cekung, bulat, ataupun tidak beraturan. Selain itu, bahan baku

batuan yang digunakan untuk membuat alat batu turut mempengaruhi

terbentuknya luka dan bentuknya pada alat tersebut. Oleh karena itu, luka pada

alat batu dibedakan menjadi tiga, yakni :

13

1. Tajaman atau retus akibat akibat dipangkas, ditajamkan, atau

tindakan pengerjaan yang lain.

2. Luka akibat adanya aktivitas pemakaian pada sisi tajaman alat.

3. Luka yang terbentuk karena pecah atau patah saat alat batu

mengalami deposisi ( Inizan et al, 1992 ; Shea dan Klenck, 1993).

Luka pada suatu sisi tajaman alat batu kemungkinan akan membentuk

pola persebaran berbeda-beda. Persebaran luka tersebut dikelompokan menjadi

3, yakni persebaran pada sisi kanan alat, sisi kiri alat, dan sisi ujung alat (Inizan

et al, 1992). Pola persebaran tersebut menunjukan adanya penggunaan dengan

intensitas yang cukup tinggi pada suatu sisi alat. Munculnya pola persebaran

dipengaruhi penggunaan alat oleh manusia. Selain itu, persebaran luka dapat

dilihat dari keteraturan luka pada suatu bidang tajaman. Persebaran luka

dikelompokan menjadi dua yakni beraturan dan tidak beraturan. Dari

pengelompokan persebaran yang ada kemudian membentuk suatu penampang

pada bidang tajaman alat. Penampang yang muncul dapat digunakan untuk

mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan munculnya luka, seperti

penampang luka pada alat pemotong kayu akan berbeda dengan penampang

luka pada alat yang digunakan untuk menguliti binatang (Inizan et al, 1992; Shea

dan Klenk, 1993).

G. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yakni memberikan gambaran

data arkeologi sebagai data penelitian, baik itu secara ruang, waktu, dan bentuk

serta mengungkapkan hubungan antara variabel penelitian (Sukendar, 1999).

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penalaran induktif, yaitu

14

penalaran yang bergerak dari hal-hal khusus yang kemudian ditarik kesimpulan

berdasarkan pengamatan sampai penyimpulan, sehingga terbentuk suatu

generalisasi empirik (Sukendar, 1999).

Berdasarkan sifat penelitian di atas, tahapan-tahapan penelitian yang

dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Tahap Pengumpulan Data

Tahapan pengumpulan data pada penelitian kali ini meliputi data

lapangan dan data kepustakaan. Data lapangan yang digunakan adalah

alat-alat serpih pada Formasi Pucangan Atas, sejumlah 63 alat, yang

merupakan temuan penelitian tahun 2004 dan 2012. Sedangkan data

kepustakaan meliputi sumber referensi tentang luka pada alat batu,

khususnya luka pada alat serpih. Data kepustakaan tersebut akan

digunakan untuk membantu proses identifikasi luka.

2. Tahap Klasifikasi

Tahap klasifikasi dilakukan sebelum melakukan tahap analisis. Tahapan

ini bertujuan untuk mengelompokan alat batu secara megaskopis, agar

mempermudah dalam proses selanjutnya. Tahapan klasifikasi yang

dilakukan yakni :

a. Tahapan awal dalam klasifikasi alat batu non-masif adalah

memberikan nomor urut untuk setiap alat batu, yang dimulai dari

nomor urut 1, 2, 3 dan seterusnya hingga nomor 63.

b. Setiap alat batu non-masif ditentukan jenis bahan baku yang

digunakan, seperti batuan kalsedon, batuan rijang, batuan jaspis, dan

lain-lain.

15

c. Setiap alat batu diukur tiga dimensi meliputi panjang, tebal, dan lebar.

Dari pengukuran tersebut kemudian dikelompokan menjadi alat serpih

berukuran kecil, sedang, ataukah besar. Pengelompokan yang

dilakukan untuk mempermudah dalam tahapan pengelompokan

selanjutnya. Kriteria pengelompokan tersebut dibuat dengan melihat

ukuran panjang alat. Pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Alat batu non-masif berukuran besar apabila ukuran panjang

alat batu lebih dari 5 cm .

2. Alat batu non-masif berukuran sedang apabila ukuran panjang

alat batu lebih dari 2,1 cm sampai dengan 5 cm.

3. Alat batu non masif berukuran kecil apabila ukuran panjang

alat batu kurang dari 2 cm.

3. Tahap Analisis dan Identifikasi.

Analisis yang dilakukan berupa analisis mikroskopis menggunakan

mikroskop stereo. Mikroskop stereo yang digunakan mempunyai

perbesaran 8 hingga 20 kali (www.ipb.ac.id ). Melalui analisis ini, luka

pada sisi tajaman alat batu non-masif dapat terlihat jelas. Pengambilan

gambar perbesaran luka pada mikroskop dilakukan menggunakan optical

lab, yang menghubungkan mikroskop dengan komputer. Perbesaran

yang digunakan pada setiap alat batu adalah dari 8 kali hingga 10 kali,

tergantung besar alat batu (lihat foto 1.1) .

16

Foto1.1 Posisi Horizontal Sisi Tajaman Pada Alat Serpih.

(foto : Agustina Dyah Pramudika)

Tahapan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Pengelompokan alat serpih yang mempunyai luka pada sisi

tajaman dan alat batu yang tidak mempunyai luka, apabila dilihat

menggunakan mikroskop.

b. Tahapan selanjutnya adalah mencari kerapatan luka pada setiap

alat. Kerapatan adalah jumlah suatu benda pada setiap satuan

yang ditentukan (Wahyudi, 2012). Dalam menghitung kerapatan

luka, ditentukan jumlah luka pada setiap 1 cm (lihat foto 1.2).

Rumus menghitung kerapatan luka adalah :

Kerapatan = Jumlah luka yang ada 1cm

Pengambilan ketentuan 1 cm karena ukuran alat batu yang kecil-

kecil.

Posisi horizontal sisi

tajaman

17

Foto 1.2 Foto Ilustrasi Cara Menghitung Kerapatan Luka

(Foto : Agustina Dyah Pramudika)

c. Luka-luka yang tampak pada perbesaran mikroskop kemudian di

dokumentasi menggunakan aplikasi Image Raster dan diukur

panjang dan lebar luka, dalam satuan milimeter (lihat foto 1.3).

Selain itu, setiap luka diidentifikasi bentuknya, seperti misalnya

oval, bulat, ataupun tidak beraturan. Tebal luka tidak dihitung,

dikarenakan beberapa luka yang ada, sudah mengalami keausan

yang cukup tinggi, sehingga tebal luka tidak jelas terlihat dan sulit

untuk diukur.

Bagian

Ujung Atas

Bagian Tengah

Bagian Ujung

Bawah

1 cm pertama

1 cm ke empat

1 cm ketiga

1 cm kedua

18

Foto1.3 Foto Contoh Pengukuran Panjang Luka Pada Alat Serpih.

(Foto : Agustina Dyah Pramudika)

d. Ukuran luka dikelompokKan berdasarkan kriteria besar, sedang

dan kecil. Tahap awal pengelompokan dimulai dari menghitung

indeks ukuran luka dengan cara membandingkan panjang dan

lebarnya, sehingga didapatkan satu indeks angka. Rumus

tersebut dibuat sendiri oleh penulis untuk mempermudah

mengklasifikasi ukuran luka. Rumus indeks ukuran luka adalah

sebagai berikut :

Kriteria ukuran luka dibedakan menjadi tiga berdasarkan hasil

penghitungan indeks yakni :

1. Ukuran Kecil (0-4,99)

2. Ukuran Sedang (5-9,99)

3. Ukuran Besar (>10)

e. Rangkuman data pengelompokan di atas, dilakukan

menggunakan aplikasi pengolahan data bernama Microsoft Excel.

Indeks Ukuran Luka = Panjang Luka : Lebar Luka

19

Hasil dari pengelompokan kemudian digunakan sebagai

database atau data dasar sebelum analisis.

f. Langkah selanjutnya adalah identifikasi luka. Hasil

pengelompokan jumlah kerapatan dan ukuran luka, digunakan

untuk mengidentifikasi luka.Cara mengidentifkasi luka adalah

dengan mencocokan antara hipotesis jenis-jenis luka dengan luka

yang ada. Hipotesis jenis-jenis luka yang digunakan sebagai

dasar dalam mengidentikasi luka berupa pengertian dari masing-

masing jenis luka yang timbul dan contoh gambarnya, kemudian

dicocokan dengan objek penelitian. Hasil identifikasi luka

digunakan untuk mencari tahu faktor-faktor penyebab munculnya

luka dan pola luka tersebut.

4. Tahap Deskripsi dan Kesimpulan

Tahap merupakan tahap penjabaran hasil analisis mikroskopis dan

identifikasi luka. Penjabaran hasil analisis yang telah dilakukan pada

tahapan klasifikasi dan tahapan analisis digunakan untuk menjawab

pertanyaan mengenai faktor-faktor pembentuk luka dan pola luka yang

terjadi. Setelah itu, dapat ditarik kesimpulan yang menjadi bagian akhir

dari penelitian ini. Kesimpulan yang diperoleh yakni suatu gambaran

besar tentang pemanfaatan alat serpih oleh manusia. yang diperoleh

dengan mengetahui faktor-faktor pembentuk luka dan pola luka.