BAB I PENDAHULUAN -...
-
Upload
truongcong -
Category
Documents
-
view
254 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terong atau yang dikenal dengan nama latin Solanum melongena L.
adalah jenis tanaman yang hidup baik pada daerah tropis dan wilayah iklim
sedang. Di daerah tropis terong merupakan tanaman berumur pendek, sedangkan
di wilayah iklim sedang terong dibudidayakan sebagai tanaman tahunan
(Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Terong beradaptasi dengan baik pada suhu
panas yaitu 22oC sampai 30oC untuk siang hari dan optimum ketika suhu malam
hari tinggi yaitu 18oC sampai 24oC. Kultivar yang menghasilkan buah memanjang
cenderung lebih tahan terhadap suhu tinggi daripada kultivar yang menghasilkan
buah berbentuk telur atau bulat telur. Ada dua jenis terong yang biasa ditanam
yaitu Solanum melongena (terong biasa atau terong panjang) dan Solanum Sp.
(terong bulat) (Sutarya dan Grubben, 1995).
Di Asia, terong merupakan salah satu jenis sayuran penting dengan
produksi lebih dari 86% total produksi dunia. Cina menjadi negara produsen
terong terbesar yaitu sekitar 60% pasokan dunia (Rubatzky dan Yamaguchi,
1997). Jepang merupakan negara pengimport terbesar untuk sayuran beku
khususnya terong beku. Ini dikarenakan Jepang mengalami bencana gempa dan
tsunami sehingga banyak lahan perkebunan yang rusak. Oleh karena itu,
Indonesia menjadi produsen terong beku bagi Jepang. Sayuran beku khususnya
2
terong beku sangat diminati oleh masyarakat Jepang, ini dikarenakan terong beku
Indonesia lebih gurih dan manis, sesuai dengan selera konsumen Jepang
(Indrawan, 1997). Di Indonesia, terong menjadi salah satu jenis sayuran yang
selalu dihidangkan di rumah tangga maupun industri makanan, karena terong
memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, meliputi protein, kalsium, kalium,
fosfor, lemak, vitamin A, vitamin B, vitamin C dan juga harga jualnya relatif
murah.
Sebelum sampai ditangan konsumen, buah dan sayuran dalam konteks ini
terong masih memiliki perjalanan yang panjang mulai dari lapangan/kebun,
pengepul buah dan sayuran, pasar besar, pedagang kecil, dan akhirnya sampai ke
konsumen. Dengan perjalanan yang panjang, tentu saja akan terjadi kerusakan–
kerusakan yang nantinya bisa mengurangi kualitas baik secara fisik maupun mutu
dari buah dan sayuran itu sendiri. Jauh dekatnya jarak angkut buah dan sayuran
dari kebun ke konsumen, cepat lambatnya pengangkutan menjadi pengaruh
terjadinya kerusakan mekanis. Menurut Soesanto (2006), produk tanaman yang
diangkut dari jarak dekat akan cepat sampai dan akan memperkecil kerusakan
yang terjadi. Selain itu, fasilitas pengangkutan juga harus sesuai, seperti
kelengkapan pengatur kelembaban dan suhu di dalam pengangkutan, akan sangat
membantu mencegah cepatnya kerusakan pascapanen. Beberapa jenis kerusakan
pascapanen yaitu kerusakan mekanis yang disebabkan karena proses
pengangkutan, gangguan fisiologis, penyakit parasitik dan nonparasitik,
penanganan pascapanen yang kurang tepat.
3
Masalah kehilangan atau kerusakan pascapanen sudah menjadi masalah
umum bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pada tahun terakhir ini,
kehilangan pascapanen mencapai 10-30% dari produksi total tanaman. Bahkan
pada beberapa produk tanaman yang mudah rusak, kehilangan pascapanen dapat
lebih besar dari 50% (Soesanto, 2006). Umumnya kerusakan disebabkan karena
adanya jamur atau patogen saat penyerbukan tanaman.
Terong termasuk kelompok buah non klimakterik, dimana setelah buah
dipanen masih melakukan aktivitas metabolisme seperti respirasi, transpirasi dan
produksi etilen, hanya saja proses respirasinya berlangsung lambat. Aktivitas
tersebut akan mempercepat terjadinya penuaan, pelayuan dan juga pembusukan.
Sebagai buah non klimakterik, kenaikan pola respirasi terong dapat digunakan
sebagai acuan untuk menentukan waktu simpan. Untuk menghambat laju respirasi
yang terjadi setelah terong dipanen, beberapa penanganan pascapanen perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memperpanjang umur simpan terong, sehingga
terong masih tetap segar sampai di tangan konsumen.
Laju respirasi merupakan aktivitas metabolik jaringan yang sering
digunakan sebagai indikator untuk menentukan laju kemunduran mutu dan
kesegaran buah atau sayuran. Semakin cepat laju respirasi pascapanennya, maka
akan semakin cepat pula kemunduran mutunya (Apriyanti, 2013). Faktor-faktor
biologis lainnya yang dapat dihambat pada buah-buahan dan sayuran yaitu
produksi etilen, transpirasi dan faktor morfologis/anatomis. Selain itu, buah dan
sayuran harus dihindari dari suhu atau cahaya yang berlebihan.
4
Mengingat terong merupakan buah tropis yang mudah rusak, banyak
terong sebelum sampai di tangan konsumen telah mengalami beberapa penurunan
kualitas fisik seperti luka pada buah, beberapa bagian buah sudah lembek/layu,
pencoklatan (browning). Oleh karena itu, untuk memperlambat kerusakan ini
maka dilakukanlah precooling dan penyimpanan dingin pada terong. Pendinginan
awal (precooling) pada buah-buahan dan sayuran dapat memperpanjang
kesegarannya. Buah setelah dipanen segera disimpan di tempat yang dingin atau
sejuk, tidak terkena sinar matahari, agar panas yang terbawa dari kebun dapat
segera didinginkan dan mengurangi penguapan, sehingga kesegaran buah dapat
bertahan lebih lama. Setelah precooling, penyimpanan pada suhu rendah
dilakukan guna memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan dalam bahan
pangan karena aktivitas respirasi menurun dan menghambat aktivitas
mikroorganisme. Penyimpanan dingin tidak membunuh mikroba, tetapi hanya
menghambat aktivitasnya, oleh karena itu setiap bahan pangan yang akan
didinginkan harus dibersihkan lebih dahulu. Jha et al. (2002), menyatakan
penyimpanan dingin mengakibatkan terjadinya penurunan kadar air pada terong,
perubahan kadar antosianin dan nilai chroma pada warnanya (Concellon et al.
2006).
Selain itu juga harus diperhatikan suhu penyimpanan optimal agar jangan
terlalu rendah yang dapat mengakibatkan chilling injury. Kerusakan akibat
chilling injury bisa mengakibatkan terong dan produk pertanian lainnya tidak laku
di pasaran dan tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk terong sendiri hanya tahan
sampai suhu 7oC, dibawah suhu tersebut terong akan rusak (Salunkhe and Desai,
5
1984). Untuk terong Jepang dan terong Cina akan mengalami chilling injury jika
disimpan pada suhu 0-2,5oC selama 14 hari penyimpanan, dan jika disimpan pada
suhu 5oC selama 7-11 hari akan terjadi chilling injury untuk terong Jepang dan hal
ini tidak berlaku untuk terong Cina (Molinar et al. 1996). Karakter chilling injury
pada terong yaitu biji menghitam dan buah menjadi keras/tegar.
Telah banyak penelitian dilakukan untuk mempertahankan kesegaran
terong seperti penyimpanan suhu rendah (Paull, 1999; Fallik et al., 1995),
pengemasan dengan atmosfer termodifikasi, dan iradiasi gamma. Disamping itu,
penelitian mengenai kombinasi precooling dan penyimpanan dingin masih jarang
dilakukan mengingat pentingnya kedua perlakuan ini untuk menjaga kesegaran
dan memperpanjang umur simpannya. Ada beberapa metode precooling yaitu
room cooling, forced air cooling, vacuum cooling, hydrocooling, hydroair
cooling, hydrovacuum cooling, package icing atau contact ice cooling. Salah satu
metode yang paling mudah untuk dilakukan oleh para petani maupun industri
pertanian adalah hydrocooling karena prosedur yang sederhana dan biaya
peralatan juga relatif murah.
1.2. Permasalahan
Kegiatan pascapanen perlu dilakukan untuk menjaga dan memperpanjang
umur simpan produk pertanian seperti precooling dan penyimpanan dingin. Ini
diharapkan mampu memperlambat produk pertanian memasuki fase pembusukan.
Oleh karena itu, peneliti mengajukan permasalahan sebagai berikut:
6
1. Apakah precooling dan penyimpanan dingin mempengaruhi perubahan
laju respirasi dan kualitas fisik terong.
2. Apakah precooling dan penyimpanan dingin dapat memperpanjang umur
simpan terong.
3. Bagaimana kegiatan pascapanen yang disarankan agar kesegaran terong
tetap terjaga.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari pengaruh perlakuan
precooling dan suhu penyimpanan terhadap perubahan kualitas fisik serta laju
respirasi terong.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mempelajari pengaruh lama waktu precooling dan suhu penyimpanan
terhadap laju perubahan kekerasan, susut bobot, kadar air, warna dan
respirasi pada terong selama penyimpanan.
2. Memodelkan laju respirasi terong berdasarkan persamaan Michaelis
Menten dengan variasi lama waktu precooling dan suhu penyimpanan.
3. Menganalisis pengaruh suhu terhadap laju respirasi dengan menerapkan
persamaan Arrhenius.
4. Mengembangkan model persamaan kinetika perubahan untuk memprediksi
umur simpan terong.
7
5. Menentukan perlakuan precooling dan suhu penyimpanan terbaik yang
dapat mempertahankan kualitas fisik terong.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai perlakuan pascapanen yang sesuai
untuk menjaga kesegaran dan memperpanjang umur simpan terong. Dalam
konteks ini yaitu precooling dan penyimpanan dingin, dimana metode
precooling cocok dan relatif mudah untuk dilakukan oleh para petani dan
industri pertanian.
2. Model-model persamaan yang diperoleh pada penelitian ini dapat digunakan
dan dikembangkan untuk penelitian selanjutnya, dan diharapkan dapat
bermanfaat untuk kemajuan ilmu teknologi di bidang pascapanen produk
pertanian.
1.5. Batasan Masalah
Penelitian dilakukan dengan menggunakan terong berwarna ungu yang
berasal dari Pasar Pagi Demangan, dengan bobot rata-rata 180-200 gr dan volume
220 ml. Terong dianggap homogen mengingat bentuk dan ukuran terong
bervariasi. Penyimpanan terong dilakukan pada 3 suhu yang berbeda, untuk
mewakili kondisi penyimpanan pada suhu rendah, sedang dan tinggi (suhu ruang).
Pengamatan tentang perubahan kualitas fisik dan laju respirasi terong dilakukan
selama 10 hari penyimpanan, sedangkan perubahan lainnya seperti kandungan
gizi dan kimiawi tidak diamati dalam penelitian ini.