BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah · 2019-08-01 · 3 tetapi jajan pasar yang berupa...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah · 2019-08-01 · 3 tetapi jajan pasar yang berupa...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah bersih desa Masyarakat di Dusun Mangurejo menyebutnya dengan
dhekahan dhusun. Dalam tradisi dhekahan dhusun seluruh dusun Mangurejo ikut
terlibat. Dhekahan dhusun dilakukan sekali dalam setahun. Dalam melakukan
dhekahan dhusun seluruh masyarakat desa membersihkan diri dari kejahatan, dosa
dan segala yang menyebabkan kesengsaraan. Hal ini tercermin dari berbagai
aspek perayaan yang diselenggarakan dengan upacara yang mengandung unsur-
unsur simbolik untuk memelihara kerukunan warga masyarakat. Perayaan ini juga
menandakan adanya penghormatan terhadap roh nenek moyang.
Tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo, Desa Guli, Kecamatan
Nogosari, Kabupaten Boyolali merupakan tradisi yang dilakukan setiap tahun dan
dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang hingga sekarang. Tradisi
dhekahan dhusun dilaksanakan setelah panen raya yang terakhir pada hari Jumat
Pon pukul 13.00-15.00 WIB dan untuk bulannya tidak ditentukan, yang menjadi
patokan adalah sakbubare panen yen gabah wis ning senthonge dhewe-dhewe
„setelah panen jika padi sudah dilumbungnya sendiri-sendiri‟. Tempat untuk
pelaksanaan upacara tradisi dhekahan dhusun di rumah salah satu warga dusun
Mangurejo yaitu bapak Sudar.
Dalam pelaksanaan dhekahan dhusun, ada beberapa sesaji yang harus
disiapkan, di antaranya ambeng, panggang, sambel goreng, krupuk, tahu, tempe,
1
1
2
gedhang raja, jajan pasar, kembang setaman, wajib, sega asahan, dan lain
sebagainya.
Tradisi dhekahan dhusun diadakan dengan berbagai tujuan di antaranya,
(1) sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas keberhasilan
panen tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, (2) mendoakan para ahli waris yang
telah meninggal dunia agar diampuni segala dosanya, (3) menumbuhkan rasa
solidaritas sehingga dapat terjalin kerukunan dan rasa kepedulian terhadap
lingkungan, (4) melestarikan warisan nenek moyang dalam bentuk upacara adat
yang tidak bertentangan dengan kebudayaan bangsa.
Menurut peneliti, dalam tradisi dhekahan dhusun terdapat simbol-simbol
dan nilai-nilai budaya yang dapat diangkat sebagai kekayaan budaya lokal
sehingga menambah pengetahuan. Dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo
memiliki kekhasan upacara tradisional yang berbeda dengan dusun lain. oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut, dengan alasan, (1) dapat
menambah ilmu pengetahuan tentang kebudayaan Jawa khususnya tradisi
dhekahan dhusun, (2) peneliti ingin melestarikan budaya dalam masyarakat agar
tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali tetap diadakan secara turun-temurun sampai anak cucu nanti,
(3) peneliti ingin meneliti Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Dhekahan dhusun Di
Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali, melalui
makna kultural sesuai dengan budaya yang berlaku di masyarakat setempat, (4)
tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo memiliki keunikan tersendiri yaitu
rayahan „berebut‟ sega asahan dan jajanan pasar yang mungkin didaerah lain
tidak ada. Jajan pasar yang direbutkan bukan jajanan pasar ciki jaman sekarang,
3
tetapi jajan pasar yang berupa buah-buahan. Sega asahan yang direbutkan nasi
yang lengkap dengan lauknya. Mereka berebut karena ingin mendapatkan berkah
yang banyak.
Etnolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari tentang hal yang
berkaitan dengan masyarakat dan budaya yang mempunyai perbedaan atau
pembeda yang berupa leksikon antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain. Masyarakat bahasa adalah masyarakat yang hidup berdampingan dan
menggunakan bahasa yang sama dalam berkomunikasi atau setidak-tidaknya
dapat dipahami antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, mempelajari tentang
makna kata secara leksikal dan makna secara kultural.
Makna leksikal adalah makna sebuah kata yang sebenarnya atau makna
yang semua orang memiliki pandangan yang sama tentang kata tersebut. Makna
secara kultural adalah makna hanya dimengerti suatu lingkup terbatas yang
memiliki suatu pandangan tertentu tentang suatu kata, atau makna dari sebuah
kata atau sesuatu yang hanya ada dalam keyakinan mereka yang telah mendarah
daging secara turun temurun. Maka kultural ini yang dapat membedakan
masyarakat antar pelaku bahasa dan budaya disetiap daerah. Pada setiap wilayah
memiliki suatu ciri yang menjadi pembeda dengan lainnya, entah berupa apapun
itu. Makna leksikal dan makna kultural dalam tradisi dhekahan dhusun misalnya
ambeng. Makna leksikal dari kata ambeng adalah sega sarampadane kang
dikepoeng ing nalikane slametan (Poerwadarminta, 1939:8) „nasi seisinya yang
dikepung ketika selamatan. Makna kultural dari ambeng [amb|G] bagi masyarakat
Dusun Mangurejo adalah nasi yang berbentuk gunungan atau setengah lingkaran
yang ditaruh diatas tampah, ambeng sebagai simbol kerukunan antar warga Dusun
4
Mangurejo yang digambarkan seperti nasi yang nglumpuk dadi siji „berkumpul
menjadi satu‟ tanpa membedakan status sosial.
Etnolinguistik merupakan bagian dari bidang linguistik yang sangat
penting artinya. Maksudnya untuk mengetahui hubungan kebudayaan dengan
masalah bahasa alami maupun proses kreatif dari para pendukung kebudayaan itu
sendiri. Adapun penelitian sejenis yang pernah diteliti antara lain, (1) skripsi
Hidha Watari, 2008, yang berjudul “Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam Tradisi
Bersih Desa di Desa Gondang Kabupaten Sragen (Suatu Tinjauan
Etnolinguistik)”, yang mengkaji bentuk dan makna dari istilah-unsur-unsur sesaji
dalam tradisi bersih desa di Desa Gondang Kabupaten Sragen, (2) skripsi Iswati,
2004, yang berjudul “Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam Upacara Nyadran di
Makam Sewu Desa Wiji Rejo Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul”, yang
mengkaji tentang bentuk dan makna dari istilah unsur-unsur sesaji dalam upacara
nyadran di Makam Sewu Desa Wiji Rejo Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul,
(3) skripsi Andina Dyah Sitaresmi, 2009, yang berjudul “Istilah Perlengkapan
Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Kraton Surakarta Hadiningrat (Suatu
Kajian Etnolinguistik)”, yang mengkaji tentang bentuk dan makna dari istilah
unsur-unsur sesaji dalam jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Kraton Surakarta
Hadiningrat, (4) skripsi Witdayati, 2009, yang berjudul “Istilah-istilah Kesenian
Reog di Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik)”, yang mengkaji
tentang istilah dan makna dari istilah-istilah Kesenian Reog di Kabupaten
Boyolali. Keempat penelitian tersebut, dipakai peneliti sebagai bahan acuan
penulisan dan pembanding untuk mencari kekhasan dalam penelitian dhekahan
dhusun.
5
Berdasarkan empat penelitian di atas, tradisi dhekahan dhusun di Dusun
Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali berbeda dari
dhekahan dhusun di dusun yang lain. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
mengkaji: Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Dhekahan Dhusun di Dusun
Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk istilah-istilah sesaji yang terdapat dalam tradisi
dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali?
2. Bagaimanakah makna leksikal dan makna kultural bentuk sesaji dalam tradisi
dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali?
3. Apakah fungsi tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli
Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah sesaji yang terdapat dalam tradisi
dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali.
6
2. Mendeskripsikan makna leksikal dan makna kultural bentuk sesaji dalam
tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali.
3. Mendeskripsikan fungsi tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa
Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan
manfaat praktis.
1. Manfaat teoretis
Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada teori
linguistik, terutama teori etnolinguistik yang hubungannya dengan bahasa dan
budaya masyarakat, khususnya yang terkait dengan upacara tradisi dhekahan
dhusun.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
a. Sebagai usaha pelestarian budaya Jawa.
b. Memberi tambahan materi pengajaran bahasa dan budaya Jawa.
c. Menambah ilmu pengetahuan tentang dhekahan dhusun.
d. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
7
E. Landasan Teori
1. Istilah
Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat
mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang
tertentu (Kridalaksana, 1982:67). Di samping itu, dalam Poerwadarminta
(1976:388) menjelaskan bahwa istilah adalah perkataan yang khusus mengandung
arti tertentu di lingkungan suatu ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian.
Istilah adalah kata atau frasa yang mengandung arti tertentu dalam suatu
lingkup bahasan, serta dapat mengungkapkan konsep dan proses yang menjadi
kekhasan dalam bidang tertentu, yang dapat dibandingkan dalam makna di dalam
kosa kata umum. Dalam dhekahan dhusun, istilah digunakan untuk menyebutkan
setiap detail kata yang digunakan dalam tradisi dhekahan dhusun, terutama sesaji
yang digunakan.
2. Sesaji
Menurut Suyono (1985: 358) sesaji/sajian adalah suatu rangkaian
makanan kecil, benda-benda kecil, bunga-bunga serta barang hiasan yang
tentunya disusun menuruti konsepsi keagamaan sehingga merupakan lambang
(simbol) yang mengandung arti. Dengan mempersembahkan sesaji itu kepada
Tuhan, dewa, atau makhluk halus penghuni alam gaib lainnya manusia bermaksud
berkomunikasi dengan makhluk-makhluk halus.
Sesaji merupakan aktualitas dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku
untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji juga merupakan wahana
simbol yang digunakan sebagai sarana untuk spiritual kepada hal-hal gaib.
8
Dengan pemberian makan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan roh
tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia (Endraswara, 2006: 245).
Sesaji dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak
mengganggu manusia.
Pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sesaji (sajen)
merupakan implementasi hubungan antara manusia dengan makhluk halus,
dengan diberi sesaji makhluk halus akan merasa senang sehingga tidak
mengganggu kehidupan manusia/hidup manusia akan nyaman dan tentram.
Apabila sesaji tersebut tidak diberikan, dipercaya akan menimbulkan bencana atau
malapetaka. Adapun sesaji dapat berupa makanan kecil (yang sering dikonsumsi
oleh manusia), bunga setaman, dan lain-lain. Setiap sesaji tersebut mengandung
makna sendiri-sendiri tergantung dari tujuannya.
Sesaji yang digunakan oleh masyarakat Jawa selalu memiliki makna di
dalamnya, maka sesaji oleh masyarakat satu tempat dan tempat lain berbeda-beda
tergantung kesepakatan yang sudah ada secara turun-temurun atau yang disebut
makna kultural.
Dalam pelaksanaan tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa
Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali, memiliki sesaji yang telah
disepakati untuk makna masing-masing sesaji. Sehingga sesaji dalam tradisi
dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo adalah segala sesuatu yang disajikan
berupa makanan, bunga setaman, wajib dan beberapa jenis yang diambil dari hasil
alam desa setempat, yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar diberi
kelancaran dalam pelaksanaan upacara tradisi dhekahan dhusun dan persembahan
kepada dhanyang dusun agar desanya dijaga supaya tetap aman dan tenteram.
9
3. Tradisi
Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah
sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan
suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau
agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi
yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan,
karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Menurut Suyono (1985: 125) dijelaskan pengertian tradisi adalah
kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang
meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum kemudian menjadi suatu sistem
atau peraturan tradisional.
Dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah kebiasaan
yang bersifat religius pada suatu masyarakat yang berjalan turun-temurun dari
generasi ke generasi yang bersifat terus-menerus (kontinue).
4. Dhekahan Dhusun di Dusun Mangurejo
Dhekahan dhusun istilah lain yang dipakai masyarakat Dusun Mangurejo
Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali, untuk menyebut istilah
umumnya yaitu bersih desa. Upacara tradisi bersih desa ini masih melekat dalam
jiwa masyarakat Dusun Mangurejo untuk menunjukkan rasa syukur mereka
terhadap Tuhan Yang Mahaesa, melestarikan budaya nenek moyang masyarakat
setempat, dan untuk memberi penghormatan kepada penunggu Dusun Mangurejo
yang mereka sebut dhanyang dusun.
10
Upacara tradisi dhekahan dhusun ini dilakukan setiap tahun sekali secara
turun-temurun, karena masyarakat dusun setempat menganggap bahwa dhekahan
dhusun merupakan naluri dari nenek moyang mereka yang harus tetap lestari.
Naluri sendiri bagi masyarakat Dusun Mangurejo memiliki kepanjangan yaitu
nalar sing wus kawuri yang artinya sebuah nalar yang sudah melekat dalam benak
masyarakat Dusun Mangurejo. Karena itu dianggap sebagai naluri, maka tradisi
dhekahan dhusun itu harus tetap lestari, sebab mereka memiliki keyakinan bahwa
jika tidak dilaksanakan atau dilaksanakan namun tidak sesuai dengan
pelaksanaannya, maka akan ada musibah dalam dusun, baik masyarakatnya
ataupun keadaan alamnya.
Tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo ini dilaksanakan pada
waktu masyarakat usai panen raya. Tidak bergantung pada bulan apa, yang pasti
setelah panen raya dan dilaksanakan pada hari Jumat Pon pukul 13.00-1500 WIB.
Kelancaran upacara tradisi dhekahan dhusun ini juga tidak lepas dari dana yang
didapat dari warga setempat.
5. Bahasa dan Budaya
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia
untuk saling berkomunikasi atau berinteraksi, baik melalui tulisan, lisan, ataupun
gerakan (bahasa sikap), dengan tujuan menyampaikan maksud dari hati atau
kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Setiap anggota masyarakat dan
komunitas selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai
komunikator (pembicara/penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara,
penyimak, pendengar, atau pembaca) (Sumarlam, 2005: 1). Suatu kebudayaan
dapat diidentifikasikan dengan menggunakan bahasa yang dipakai.
11
Berkomunikasi dengan masyarakat akan dapat diketahui kebudayaan masyarakat
tersebut. Budaya tidak akan hidup tanpa komunikasi, dan komunikasi tidak akan
hidup tanpa budaya (Mulyana, 2000: 34). Kebudayaan adalah seluruh gagasan
manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi
dan karyanya (Koentjaraningrat, 1987: 9). Setiap bangsa memiliki kebudayaan
sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa lainnya yang membuktikan
bahwa peradaban suatu bangsa tidak akan sama antara bangsa yang satu dengan
bangsa lainnya. Begitu erat hubungan manusia dengan kebudayaannya, sehingga
manusia pada hakikatnya disebut makhluk budaya, demikian yang pernah
dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara (Herusatoto, 2008:11)
Menurut Koentjaraningrat (1987: 186) wujud kebudayaan ada tiga yaitu
(1) wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, norma-
morma, nilai-nilai, peraturan dan sebagainya; wujud ini berada pada alam pikiran
dari warga masyarakat atau dapat pula berupa tulisan-tulisan, karangan-karangan
warga masyarakat yang bersangkutan (2) wujud kebudayaan sebagai suatu
komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, wujud ini
berupa sistem sosial dalam masyarakat yang bersangkutan (3) wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia, ia berupa kebudayaan fisik yang
berbentuk nyata yang merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan.
Wujud kebudayaan sebagai aktivitas akan membentuk suatu tradisi
tertentu dalam masyarakat. Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan secara turun
temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu tradisi Jawa yang
sampai sekarang masih hidup dan dilestarikan keberadaannya adalah tradisi bersih
12
desa menurut Alwi (2002: 142) berarti membersihkan desa dari gangguan alam
dan sebagainya dengan upacara adat.
6. Etnolinguistik
a. Pengertian Etnolinguistik
Etnolinguistik berasal dari kata etnologi dan linguistik, yang lahir
karena penggabungan antara pendekatan yang bisa dilakukan oleh para
etnologi (sekarang antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik
(Ahimsa, 1997: 3). Etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang
hal yang berkaitan dengan masyarakat dan budaya yang mempunyai
perbedaan atau pembeda yang berupa leksikon antara masyarakat yang
satu dengan yang lain.
Menurut Sumarlam (2007: 64), hubungan antara bahasa dan
kebudayaan sangat erat. Bahkan sering sulit diidentifikasi karena
hubungan keduanya saling mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan
berdampingan. Bahasa berfungsi sebagai (1) sarana perkembangan
budaya,(2) jalur penerus kebudayaan, dan (3) inventaris ciri-ciri
kebudayaan.
Bahasa memiliki fungsi budaya, berarti bahasa selain membawa
pesan sekaligus juga merupakan pesan itu sendiri. Artinya bentuk bahasa
tertentu mengekspresikan masyarakat pemakainya (Sumarlam, 2007: 94).
13
b. Kajian Etnolinguistik
1) Linguistik untuk etnologi
Kajian tentang bahasa dengan maksud untuk mengetahui lebih
dalam kebudayaan suatu masyarakat yang tersimpan maka diperlukan
bahasa untuk mengungkapkannya. Salah satu kajian yang dapat
dilakukan adalah tentang studi pandangan hidup suatu masyarakat
adalah sebagaimana tercermin dari bahasa mereka. Bahasa dan
pandangan hidup masyarakat dapat dilihat dari ciri bahasa yang
mereka ucapkan.
2) Etnologi untuk linguistik
Salah satu bidang penting dalam studi bahasa adalah semantik
atau studi mengenai makna-makna yang ada dalam sebuah bahasa.
Para ahli bahasa seringkali mampu menyusun suatu kamus yang berisi
kata bahasa asing-nasional maupun lokal dengan lengkap, tetapi tidak
banyak yang mampu menyusun suatu kamus dengan kata-kata dan
makna yang lengkap karena suatu kata seringkali mempunyai makna
yang berbeda-beda, yang ditentukan oleh konteks dimana kata tersebut
muncul dengan konteks sosial budaya masyarakat pemilik bahasa
tersebut, sangat beraneka ragam, dan ahli bahasa tidak selalu mampu
menggali berbagai dimensi semantis karena memerlukan penelitian
lapangan dengan waktu yang cukup lama. Dalam konteks ini etnologi
dapat memberikan sumbangan pada linguistik (Ahimsa, 1997:1-15).
14
7. Makna
Makna adalah maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan
pada suatu bentuk kebahasaan (Alwi, 2002:703). Dalam penelitian ini, makna atau
arti dibedakan menjadi dua yaitu makna secara leksikal dan makna secara
kultural. Makna leksikal adalah sebuah kata yang sebenarnya atau makna yang
semua orang memiliki pandangan yang sama tentang kata tersebut. Makna
kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya
dengan budaya tertentu (Wakit, 1999: 3). Makna kultural ini yang dapat
membedakan masyarakat di satu daerah dengan daerah lain. Pada setiap daerah
memiliki suatu ciri yang menjadi pembeda dengan daerah lain, entah berupa
apapun itu. Dari makna leksikal dan makna kultural kita dapat mengetahui makna
daribentuk sesaji dalam tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli
Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Misalnya kata panggang [paGgaG]
makna leksikalnya adalah panggang. Makna kultural panggang [paGgaG] bagi
masyarakat Dusun Mangurejo adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan karena
telah memberi perlindungan dan kemakmuran bagi masyarakat desa. Dengan kata
lain panggang digunakan sebagai persembahan pada Tuhan yang telah
memberikan perlindungan dan kemakmuran selama hidup bermasyarakat.
Masyarakat percaya dengan memberikan sesaji panggang akan jauh dari
marabahaya dan musibah. Panggang iku ngalap gegadhuhipun raja kaya
maksudnya panggang itu sebagi korban persembahan kepada Tuhan Yang
Mahaesa. Panggang juga menjadi simbol bagi orang Jawa yakni dalam menjalani
kehidupan kita harus pasrah, pada saat keadaan diatas maupun dibawah.
13
15
8. Bentuk
a. Monomorfemis
Monomorfemis terjadi dari suatu morfem. Morfem (morpheme),
merupakan satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang
tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil, misalnya, (tulis,
jalan). Menurut Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan
menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang
terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri
dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna yang kategori jelas,
sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis.
Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah
menggolongkan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.
Pada dasarnya, semua kata yang tergolong pada kata dasar dapat
dikatakan morfem bebas dengan pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri
sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan. Dengan kata lain,
subyeknya belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat
tambahan apapun, belum diulang dan belum digabungkan atau dibentuk
menjadi kata majemuk.
b. Polimorfemis
Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang
berupa perangkaian morfem. Proses morfologis meliputi (a) pengimbuhan atau
afiksasi (penambahan afiks). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di
tengah, dan di belakang morfem dasar. Afiks yang ditambah di depan disebut
16
awalan atau prefiks, yang di tengah disebut sisipan atau infiks, yang di
belakang disebut akhiran atau sufiks, yang di depan dan di belakang disebut
sirkumfiks atau konfiks. (b) pengulangan atau reduplikasi, reduplikasi
(reduplication) adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat
fonologis atau gramatikal, dan (c) pemajemukan atau komposisi yaitu proses
morfologis yang membentuk satu kata dari dua (atau lebih dari dua) morfem
dasar atau proses pembentukan dua kata baru dengan jalan menggabungkan
dua kata yang telah ada sehingga melahirkan makna baru. Arti yang
terkandung dalam kata majemuk adalah arti keseluruhan bukan menuruti arti
yang terkandung pada masing-masing kata yang mendukungnya.
c. Frasa
Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua
kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk
klausa (Kentjono, 1982: 57). Frasa seperti dengan kata, frasa dapat berdiri
sendiri. Frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik
semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya, disebut frasa endosentrik,
dan frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya
disebut frasa eksosentris (Ramlan, 2001: 141).
F. MetodePenelitian
Metode adalah keseluruhan jalan yang ditempuh sejak penulis
merumuskan kerangka pikirannya mengenai bahasa atau mengenai segi tertentu
dari bahasa (Subroto, 1996: 5).
17
Metode penelitian adalah cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih
dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati dan
menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan
dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan hipotesis atau
perumusan masalah, penentuan populasi, penentuan sampel, data, teknik
pemerolehan data, dan analisis data (Subroto, 1992: 31).
Dalam metode penelitian akan dijelaskan mengenai tujuh hal, yaitu: (1)
jenis penelitian, (2) lokasi penelitian, (3) data dan sumber data, (4) alat penelitian,
(5) metode pengumpulan data, (6) metode analisis data, dan (7) metode penyajian
hasil analisis data.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Jenis penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Pemakaian penelitian deskriptif kulitatif supaya dapat
mengumpulkan segala aspek kebahasaan yang dipakai oleh masyarakat.
Pemakaian metode deskriptif kualitatif, akan dapat diketahui tentang segala
keadaan dan fenomena-fenomena yang ada dalam objek tersebut.
Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan secara
sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai
bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi dan kejadian.
Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud
mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari
implikasi. Contoh penelitian deskriptif yang paling popular adalah penelitian
survey (Azwar, 2007: 7).
18
Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang data-datanya berupa
kata-kata bukan angka. Deskriptif merupakan penggambaran yang nyata tentang
keadaan yang sebenarnya dari suatu peristiwa yang benar-benar terjadi. Kualitatif
merupakan penelitian yang nyata dan tanpa adanya rekayasa ataupun
menggunakan cara-cara seperti dalam statistik.
Jenis penelitian deskriptif kualitatif merupakan salah satu jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian lapangan, datanya konkret berupa kata-kata.
Pemakaian jenis penelitian ini, peneliti dapat menyajikan data yang mudah
dipahami oleh pembaca dalam situasi aslinya, yaitu situasi ketika tradisi dhekahan
dhusun berlangsung di Dusun Mangurejo.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Adapun lokasi
penelitian ini ada di wilayah Boyolali, yaitu lebih tepatnya di Dusun Mangurejo
Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Penulis mengambil lokasi
ini sebagai lokasi objek penelitian karena merupakan salah satu wilayah Jawa
yang masih melestarikan kebudayaan Jawa, terutama di bidang tradisi dhekahan
dhusun. Sehingga secara pasti pemilihan lokasi yang tepat juga sangat mendukung
dalam proses penelitian.
3. Data dan Sumber Data
Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 3). Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data lisan sebagai data utama yang akan diteliti, dan
data tulis sebagai data pembanding. Data lisan diperoleh dari informan, sedangkan
19
data tulis diperoleh dari buku-buku yang ada kaitannya dengan dhekahan dhusun
atau bersih desa.
Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari informan terpilih yang
memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Sumber yang berasal dari informan
berupa tuturan dan peristiwa penting yang mengandung perangkat sesaji yang
dipakai dalam dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan
Nogosari Kabupaten Boyolali. Adapun kriteria informan yang terpilih yaitu, (1)
penduduk asli Dusun Mangurejo, (2) mengerti betul tentang tradisi dekahan desa,
(3) mengerti betul tentang Dhusun Mangurejo, (4) usia informan 30 sampai 60
tahun, (5) sehat jasmani dan rohani, (6) memiliki alat ucap yang lengkap, (7)
memiliki waktu yang cukup untuk wawancara, (8) bisa berbahasa indonesia
secara aktif, (9) alat pendengaran yang normal. Adapun informan yang dimaksud
yaitu bapak Samlani (pemimpin doa), bapak Wakidi (sesepuh Dusun Mangurejo),
bapak Suyatno (petani), bapak Sutar (pedagang), bapak Jumadi (pedagang), ibu
Semi (ibu rumah tangga), ibu wartini (ibu rumah tangga).
4. Alat Penelitian
Alat penelitian dalam penelitian ini adalah semua barang yang digunaka
untuk mendukung penelitian, yang berguna dalam membantu pengumpulan data.
Alat penelitian dalam penelitian lapangan etnolinguistik ini yang utama adalah
peneliti sendiri. Peneliti dibantu dengan alat rekam dan kamera digital untuk
memudahkan peneliti dalam menganalisis data yang akan dirangkum dalam
sebuah tulisan, disertai pula alat tulis yang berupa buku dan bolpoin.
20
5. Metode Pengumpulan Data
Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisa, dan
menjelaskan suatu fenomena. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode simak atau penyimakan atau metode pengumpulan data
dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Teknik dasarnya
menggunakan teknik sadap yaitu menyadap tuturan informan yang mengandung
perangkat sesaji dalam dhekahan desa. Teknik lanjutannya berupa teknik rekam
dan catat. Teknik rekam yaitu merekam tuturan informan yang menjelaskan
tentang tradisi dhekahan dhusun, menggunakan alat rekam. Teknik catat yaitu
mencatat apa yang dituturkan informan mengenai tradisi dhekahan dhusun,
menggunakan alat tulis. Data yang berupa rekaman ditranskripsikan dan
dikumpulkan dengan data hasil mencatat, kemudian diklasifikasikan untuk
dianalisis.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah metode atau cara yang digunakan untuk
menyelidiki suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Metode
analisis data yang digunakan dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif ini
menggunakan metode distribusional dan metode padan.
a. Metode Distribusional
Teknik yang digunakan adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL).
Teknik ini digunakan untuk membagi satuan bagian yang langsung membentuk
satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Teknik Bagi Unsur
Langsung (BUL) digunakan untuk menganalisis bentuk perangkat sesaji dalam
21
tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali, apakah berbentuk monomorfemis, polimorfemis, atau frase.
Contoh penerapan metode distribusional:
a) Panggang [paGgaG]
Panggang [paGgaG] „ayam yang dipanggang‟ panggang merupakan bentuk
monomorfemis, berkatagori nomina (N).
b) Gedhang raja [g|DaG rOjO]
Merupakan pemajemukan dari kata gedhang „pisang‟ + raja gedhang
raja „jenis pisang yang rasanya paling enak dan bentuknya tidak terlalu
panjang.‟
gedhang raja merupakan kategori Nomina.
c) Jadah [jadah]
22
Jadah [jadah] „makanan yang terbuat dari beras ketan‟ jadah merupakan
monomorfemis berkategori nomina (N).
b. Metode Padan
Metode padan adalah metode analisis data yang penentunya di luar,
terlepas dan tidak menjadi bagian yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13).
Metode ini dipakai untuk menganalisis makna. Dalam penelitian ini analisis data
bersifat konstektual yaitu analisis data dengan mempertimbangkan konteks sosial
yang melatar belakangi penggunaan bahasa yaitu mengenai perangkat sesaji
dalam tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali.
Contoh penerapan metode padan:
1) Makna Leksikal:
a) Panggang [paGgaG] adalah panggang.
b) Gedhang raja [g|DaG rOjO] adalah pisang raja.
c) Jadah [jadah] adalah jadah.
2) Makna Kultural
d) Panggang [paGgaG] satu ekor ayam yang disembelih dan
dibersihkan bulunya serta kotoran yang ada didalamnya, bagian
dada ayam dibelah kemudian bagian tengahnya ditusuk
menggunakan kayu. Setelah itu dipanggang diatas mawa tanpa
dikasih bumbu. Bagi masyarakat Dusun Mangurejo adalah sebagai
rasa syukur kepada Tuhan karena telah memberi perlindungan dan
kemakmuran bagi masyarakat. Dengan kata lain panggang
23
digunakan sebagai persembahan pada Tuhan yang telah
memberikan perlindungan dan kemakmuran selama hidup
bermasyarakat. Masyarakat percaya dengan memberikan sesaji
panggang akan jauh dari marabahaya dan musibah. Panggang iku
ngalap gegadhuhipun raja kaya maksudnya panggang itu sebagi
korban persembahan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Panggang juga
menjadi simbol bagi orang Jawa yakni dalam menjalani kehidupan
kita harus pasrah, terkadang dibawah terkadang diatas.
a) Gedhang raja [g|DaG rOjO] jenis pisang yang sering digunakan
dalam sesajian. Pisang raja ini berwarna kuning dan rasanya paling
enak diantara pisang yang lain bentuknya tidak terlalu panjang.
Bagi masyarakat Dusun Mangurejo adalah sebagai simbol agar
pemimpin (raja) didukung oleh seluruh rakyatnya. Suatu
masyarakat akan hidup tentram dan bahagia jika antara pemimpin
dan rakyatnya akan saling mendukung dan saling melengkapi.
Pemimpin (raja) tidak semena-mena pada rakyatnya tetapi ngayomi
pada rakyatnya, sehingga kehidupan akan tentram, makmur, dan
bahagia.
b) Jadah [jadah] sejenis makanan yang terbuat dari beras ketan yang
di masak dengan cara dikukus (didang) yang dicampur dengan
parutan kelapa dan garam kemudian ditumbuk sampai halus,
rasanya gurih dan biasanya ditaruh dijajan pasar. Jadah bagi
masyarakat Dusun Mangurejo mempunyai simbol sebagai lambang
kebenaran dan kesucian untuk menjauhkan diri dari gangguan alam
24
gaib. Lambang kebenaran dan kesucian diambil dari warna jadah
yang putih. Makna sesuai cara membuatnya yaitu dalam
menumbuk harus sungguh-sungguh supaya hasilnya lembut, begitu
pula dalam memohon sesuatu keinginan harus mantap „madhep
mantep‟ dan dalam memohon harus bersungguh-sungguh supaya
keinginan dapat terkabulkan.
7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif
formal dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya
berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hidup
pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993: 62)
Metode informal yaitu metode penyajian hasil analisis data yang
menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis
metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman terhadap
setiap hasil penelitian. Metode formal yaitu metode penelitian data dengan
menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai lampiran.
Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar, bagan, tabel, grafik, dan
sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran gambar yaitu gambar
dokumentasi foto.
G. Sistematika Penulisan
Sehubungan dengan penelitian ini, sistematika penulisan meliputi tiga bab.
Ketiga bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
25
Bab I Pendahuluan, bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian
dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II Hasil analisis data, dan pembahasannya, bab ini merupakan hasil
analisis dari pembahasan bentuk dan makna dari istilah-istilah dalam tradisi
dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari
Kabupaten Boyolali serta fungsinya.
Bab III Penutup, bab ini berisi kesimpulan dan saran.