Berebut Berkah Tanah Kendeng

102

description

Laporan Investigasi Konflik Rembang Komune Rakapare

Transcript of Berebut Berkah Tanah Kendeng

Page 1: Berebut Berkah Tanah Kendeng

BEREBUT BERKAHTANAH KENDENG

Page 2: Berebut Berkah Tanah Kendeng
Page 3: Berebut Berkah Tanah Kendeng

BEREBUT BERKAHTANAH KENDENG

L A P O R A N I N V E S T I G A S I K O N F L I K R E M B A N G

Page 4: Berebut Berkah Tanah Kendeng

03

Laporan InvestigasiBerebut Berkah Tanah KendengCopyleft - Komune Rakapare

PENERBIT DIKARA KARSABale PareJl. Ir. H. Djuanda No. 109Bandung, Jawa Barat 40132Telepon : +6285624100833Email : [email protected] : rakapare.org

Cetakan pertama tahun 2015

Penyelia : Andi BhataraRedaksi : Husein Abdulsalam, Luthfi AnshariDesain Isi : Nayaka AnggerDesain Sampul : Andi Bhatara

Hak Cipta dilindungi Undang-UndangDilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, tanpa izin tertulis dari Penerbit

Page 5: Berebut Berkah Tanah Kendeng

04

EDITORIAL

Berjuang nampaknya menjadi sebuah kisah tersendiri yang digariskan dalam kala nyawa manusia, bahkan teruntuk mereka yang hanya menghendaki kehidupan sederhana. Bagaimana tidak, para petani di Rembang harus terkutuk letih berjuang dalam kemelut konflik pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia. Masalah ini mungkin terlampau berat dan berlarut untuk diperjuangkan oleh seorang petani yang seharusnya menggarap lahannya, menyuapi keluarganya sepiring nasi, ketimbang bertempur mempertahankan kemaslahatan tanahnya yang seharusnya dijaga oleh negara.

Namun, pembangunan juga tidak lagi menjadi sebuah mitos destruksi kultur ataupun ekologi. Pembangunan telah menjelma menjadi proses pendewasaan dan persiapan bangsa untuk perhelatan dunia yang tidak dapat dipungkiri. Konflik ini menjadi sebuah dilema yang menyadarkan kita bahwa segalanya bukan seperti yang terlihat. Nyatanya banyak sekali pihak dan berbagai kepentingan yang dipertemukan dalam friksi pada permasalahan ini, yang masing-masingnya tidak bisa disalahkan.

Lewat dokumen ini, Komune Rakapare mencoba mengguratkan berbagai cerita tentang konflik Rembang yang dikisahkan dari beberapa perspektif untuk menghindari ketimpangan sudut pandang. Laporan ini dibuat dan disusun sebelum survei besar kami ke Rembang, sebuah analisis awal tanpa data lapangan yang komprehensif, sehingga kekurangan akan senantiasa menghiasi. Semua yang tertulis di sini ditujukan untuk tujuan penelitian semata dan demi keadilan yang setegak-tegaknya.

Cerita ini kami harapkan menjadi sebuah risalah agar setiap perjuangan kawan-kawan kita di sana menjadi sebuah perjuangan yang layak diperjuangkan.

Nayaka Angger

Page 6: Berebut Berkah Tanah Kendeng

SENARAICERITA SELAYANG

PANDANG07

11BALADA SENGKETAREMBANG

23PUSARAN AKTORDI MEDAN POLITIK

35TELAAH KONTEKSTUALSOSIAL KULTURAL

43DAMPAK SOSIALDAN PSIKOLOGI

49POLEMIK SEMEN DANSUMBER DAYA ALAM

63SEMEN: MENILIK DARIKACAMATA EKONOMI

69PASANG SURUT HAMBUMI REMBANG

81REMBANG DALAMPERSPEKTIF HUKUM

89REMBANG DALAMBINGKAI MEDIA

95DAFTAR PUSTAKA /PROFIL PENULIS

BALADA SENGKETA REMBANG

05

Page 7: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Sebuah kolase oleh Senartogok

Page 8: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Dari kacamata sederhana, konflik ini adalah pertentangan antara masyarakat pertanian dan perusahaan pertambangan yang antara satu sama lainnya memiliki kepentingan masing-masing yang sama baik nilainya. Para petani tidak mau tanahnya diambil ataupun terganggu dengan adanya pembangunan pabrik semen, yang disinyalir akan berdampak terhadap sumber daya alam yang juga berpengaruh terhadap kegiatan pertanian. Sementara perusahaan ingin membangun pertambangan semen yang akan memanfaatkan sumber daya alam lokal dan memberikan sebuah lapangan kerja baru terhadap masyarakat setempat. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) manfaatnya jelas, meningkatkan produksi komoditas semen dalam negeri untuk dapat meningkatkan perekonomian Indonesia lewat segala aktivitas dalam medan pasar nasional maupun internasional.

Keduanya memiliki kontribusi yang baik terhadap nasib bangsa ini. Tapi sampai hari ini keduanya seperti air dan minyak yang tidak bisa akur dan melebur. Panggung konflik yang turut melibatkan kaum intelektual, institusi pendidikan, jaringan aktivis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media, Polri, dan TNI ini pun menciptakan kompleksitas tersendiri dalam dinamika konflik Rembang.

Oleh karena itu, kami, Komune Rakapare hendak mengurai koridor-koridor permasalahan yang menjadi kerangka kontekstual penyebab konflik yang terjadi. Berdasarkan survey kecil Operasi Rembang yang dilakukan pada 23-26 April 2015 di kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, tim Komune Rakapare telah merumuskan sejumlah level analisis permasalahan demi pemahaman holistik sekaligus pijakan untuk perumusan tindak lanjutan. Koridor permasalahan dikelompokkan menjadi Delapan Koridor, yaitu :

Sebagai salah satu negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat, pemerintah Indonesia kian gencar mendaraskan wacana pembangunan nasional. Semakin dekatnya tenggat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 pun turut mendorong pemerintah Indonesia untuk menciptakan iklim kondusif bagi bisnis dan investasi ekonomi yang dipercaya dapat menciptakan efek imbas (trickle-down effect) yang akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, pembangunan nasional merupakan frasa terminologis yang seringkali tidak diinterpretasikan secara seragam oleh aktor-aktor yang mengklaim (atau diklaim) sebagai subyeknya.

Dari sekian banyak sektor untuk mempercepat ekonomi, pertambangan dianggap sebagai salah satu sektor paling potensial untuk mendongkrak pertumbuhan dan pembangunan Indonesia. Agenda ini pun termanifestasi dalam instalasi situs-situs pertambangan di berbagai wilayah di Indonesia yang memang kaya akan mineral tambang, mulai dari Papua hingga Sumatera, termasuk pulau Jawa. Namun situs-situs pertambangan yang dibangun di area rural ini justru seringkali menjadi titik mula terperciknya konflik. Kasus-kasus konfliktual yang melibatkan protes masyarakat lokal atas didirikannya situs pertambangan di habitat mereka bukanlah cerita baru. PT Freeport di Papua misalnya, hanyalah sedikit contoh dimana masyarakat setempat resisten terhadap manifestasi investasi pembangunan yang menjelma kompleks tambang.

Akhir-akhir ini, konflik dengan topik serupa muncul di Rembang, Jawa Tengah. Rencana salah satu upaya PT. Semen Indonesia (SI) untuk mengeksplorasi kekayaan karst di Rembang mendapatkan perlawanan dari masyarakat setempat. Justifikasi akan pentingnya memenangkan kompetisi ekonomi global dan pembangunan nasional tak menyurutkan gelombang resistensi dan polemik kontroversial yang kini telah meluas di media daring.

07

SELAYANGPANDANG

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 9: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Dari kacamata sederhana, konflik ini adalah pertentangan antara masyarakat pertanian dan perusahaan pertambangan yang antara satu sama lainnya memiliki kepentingan masing-masing yang sama baik nilainya. Para petani tidak mau tanahnya diambil ataupun terganggu dengan adanya pembangunan pabrik semen, yang disinyalir akan berdampak terhadap sumber daya alam yang juga berpengaruh terhadap kegiatan pertanian. Sementara perusahaan ingin membangun pertambangan semen yang akan memanfaatkan sumber daya alam lokal dan memberikan sebuah lapangan kerja baru terhadap masyarakat setempat. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) manfaatnya jelas, meningkatkan produksi komoditas semen dalam negeri untuk dapat meningkatkan perekonomian Indonesia lewat segala aktivitas dalam medan pasar nasional maupun internasional.

Keduanya memiliki kontribusi yang baik terhadap nasib bangsa ini. Tapi sampai hari ini keduanya seperti air dan minyak yang tidak bisa akur dan melebur. Panggung konflik yang turut melibatkan kaum intelektual, institusi pendidikan, jaringan aktivis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media, Polri, dan TNI ini pun menciptakan kompleksitas tersendiri dalam dinamika konflik Rembang.

08

Oleh karena itu, kami, Komune Rakapare hendak mengurai koridor-koridor permasalahan yang menjadi kerangka kontekstual penyebab konflik yang terjadi. Berdasarkan survey kecil Operasi Rembang yang dilakukan pada 23-26 April 2015 di kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, tim Komune Rakapare telah merumuskan sejumlah level analisis permasalahan demi pemahaman holistik sekaligus pijakan untuk perumusan tindak lanjutan. Koridor permasalahan dikelompokkan menjadi Delapan Koridor, yaitu :

Sebagai salah satu negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat, pemerintah Indonesia kian gencar mendaraskan wacana pembangunan nasional. Semakin dekatnya tenggat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 pun turut mendorong pemerintah Indonesia untuk menciptakan iklim kondusif bagi bisnis dan investasi ekonomi yang dipercaya dapat menciptakan efek imbas (trickle-down effect) yang akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, pembangunan nasional merupakan frasa terminologis yang seringkali tidak diinterpretasikan secara seragam oleh aktor-aktor yang mengklaim (atau diklaim) sebagai subyeknya.

Dari sekian banyak sektor untuk mempercepat ekonomi, pertambangan dianggap sebagai salah satu sektor paling potensial untuk mendongkrak pertumbuhan dan pembangunan Indonesia. Agenda ini pun termanifestasi dalam instalasi situs-situs pertambangan di berbagai wilayah di Indonesia yang memang kaya akan mineral tambang, mulai dari Papua hingga Sumatera, termasuk pulau Jawa. Namun situs-situs pertambangan yang dibangun di area rural ini justru seringkali menjadi titik mula terperciknya konflik. Kasus-kasus konfliktual yang melibatkan protes masyarakat lokal atas didirikannya situs pertambangan di habitat mereka bukanlah cerita baru. PT Freeport di Papua misalnya, hanyalah sedikit contoh dimana masyarakat setempat resisten terhadap manifestasi investasi pembangunan yang menjelma kompleks tambang.

Akhir-akhir ini, konflik dengan topik serupa muncul di Rembang, Jawa Tengah. Rencana salah satu upaya PT. Semen Indonesia (SI) untuk mengeksplorasi kekayaan karst di Rembang mendapatkan perlawanan dari masyarakat setempat. Justifikasi akan pentingnya memenangkan kompetisi ekonomi global dan pembangunan nasional tak menyurutkan gelombang resistensi dan polemik kontroversial yang kini telah meluas di media daring.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 10: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Dari kacamata sederhana, konflik ini adalah pertentangan antara masyarakat pertanian dan perusahaan pertambangan yang antara satu sama lainnya memiliki kepentingan masing-masing yang sama baik nilainya. Para petani tidak mau tanahnya diambil ataupun terganggu dengan adanya pembangunan pabrik semen, yang disinyalir akan berdampak terhadap sumber daya alam yang juga berpengaruh terhadap kegiatan pertanian. Sementara perusahaan ingin membangun pertambangan semen yang akan memanfaatkan sumber daya alam lokal dan memberikan sebuah lapangan kerja baru terhadap masyarakat setempat. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) manfaatnya jelas, meningkatkan produksi komoditas semen dalam negeri untuk dapat meningkatkan perekonomian Indonesia lewat segala aktivitas dalam medan pasar nasional maupun internasional.

Keduanya memiliki kontribusi yang baik terhadap nasib bangsa ini. Tapi sampai hari ini keduanya seperti air dan minyak yang tidak bisa akur dan melebur. Panggung konflik yang turut melibatkan kaum intelektual, institusi pendidikan, jaringan aktivis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media, Polri, dan TNI ini pun menciptakan kompleksitas tersendiri dalam dinamika konflik Rembang.

Oleh karena itu, kami, Komune Rakapare hendak mengurai koridor-koridor permasalahan yang menjadi kerangka kontekstual penyebab konflik yang terjadi. Berdasarkan survey kecil Operasi Rembang yang dilakukan pada 23-26 April 2015 di kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, tim Komune Rakapare telah merumuskan sejumlah level analisis permasalahan demi pemahaman holistik sekaligus pijakan untuk perumusan tindak lanjutan. Koridor permasalahan dikelompokkan menjadi Delapan Koridor, yaitu :

09

Sebagai salah satu negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat, pemerintah Indonesia kian gencar mendaraskan wacana pembangunan nasional. Semakin dekatnya tenggat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 pun turut mendorong pemerintah Indonesia untuk menciptakan iklim kondusif bagi bisnis dan investasi ekonomi yang dipercaya dapat menciptakan efek imbas (trickle-down effect) yang akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, pembangunan nasional merupakan frasa terminologis yang seringkali tidak diinterpretasikan secara seragam oleh aktor-aktor yang mengklaim (atau diklaim) sebagai subyeknya.

Dari sekian banyak sektor untuk mempercepat ekonomi, pertambangan dianggap sebagai salah satu sektor paling potensial untuk mendongkrak pertumbuhan dan pembangunan Indonesia. Agenda ini pun termanifestasi dalam instalasi situs-situs pertambangan di berbagai wilayah di Indonesia yang memang kaya akan mineral tambang, mulai dari Papua hingga Sumatera, termasuk pulau Jawa. Namun situs-situs pertambangan yang dibangun di area rural ini justru seringkali menjadi titik mula terperciknya konflik. Kasus-kasus konfliktual yang melibatkan protes masyarakat lokal atas didirikannya situs pertambangan di habitat mereka bukanlah cerita baru. PT Freeport di Papua misalnya, hanyalah sedikit contoh dimana masyarakat setempat resisten terhadap manifestasi investasi pembangunan yang menjelma kompleks tambang.

Akhir-akhir ini, konflik dengan topik serupa muncul di Rembang, Jawa Tengah. Rencana salah satu upaya PT. Semen Indonesia (SI) untuk mengeksplorasi kekayaan karst di Rembang mendapatkan perlawanan dari masyarakat setempat. Justifikasi akan pentingnya memenangkan kompetisi ekonomi global dan pembangunan nasional tak menyurutkan gelombang resistensi dan polemik kontroversial yang kini telah meluas di media daring.

KOMUNIKASIPOLITIK

SOSIAL /KULTURAL

SOSIAL /PSIKOLOGI

MEDIA

EKOLOGI /GEOLOGI

EKONOMI

HAK ASASIMANUSIA

HUKUM

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 11: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Melalui reportase ini, Komune Rakapare bermaksud mengajak rekan-rekan mahasiswa, aktivis, kaum intelektual, karyawan, ilmuwan, seniman, dan siapapun yang peduli dengan kemanusiaan dan lingkungan untuk bergabung dalam penelitian lebih lanjut terkait konflik Rembang. Penelitian ini nantinya bertujuan untuk mendesak pemerintah agar menciptakan kerangka regulasi baru yang relevan agar konflik-konflik sama nan serupa tidak terus menerus berulang tanpa penyelesaian yang adil dan berkelanjutan. Apalah artinya pembangunan, jika dasarnya ternyata ketidak-adilan yang menyengsarakan.

Sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana.

/ Redaksi Komune Rakapare

10

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 12: Berebut Berkah Tanah Kendeng

BALADA SENGKETAREMBANG

ANDI BHATARA

KRONOLOGI

EKSPANSI PEMBANGUNAN SEMEN2006 - 2012

Sejarah konflik ini dimulai tahun 2006. Saat itu PT Semen Gresik (SG) hendak melakukan pembangunan pabrik semen di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Hal ini ditolak warga Samin karena takut pabrik semen merusak lingkungan dan mata air sehingga berdampak pada pertanian mereka. Masyarakat yang menolak lalu membawa persoalan ini ke pengadilan, sampai pada akhirnya warga Samin memenangi gugatan di Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN) dan Mahkamah Agung (MA) pada pertengahan 2009. Akhirnya PT SG terpaksa membatalkan investasinya dan angkat kaki dari Pati. Namun ternyata keputusan itu tidak menghentikan PT SG untuk membangun pabrik semen. Rencana tersebut dipindahkan ke Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.

Setahun setelahnya, pada tanggal 14 Oktober 2010, PT SG mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) melalui keputusan Bupati No. 545/68/2010 perihal pemberian WIUP eksplorasi kepada PT SG. Keputusan itu disambut Bupati dengan keputusan berikutnya di surat Kep. Bupati No. 591/40/2011 tentang pemberian izin lokasi eksplorasi kepada PT Semen Gresik. Setelah mengalami proses yang terbilang cukup singkat, keputusan berikutnya dikeluarkan oleh Bupati yaitu keputusan No. 591/40/2011 tentang pemberian izin lokasi kepada PT SG untuk pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya pada tanggal 18 November 2011. Pada tanggal 20 Desember 2012 PT Semen Gresik (Persero) Tbk. berganti nama menjadi PT Semen Indonesia (SI) (Persero) Tbk. Setelah PT SG berganti lama, tanggal 7 Juni 2012 dikeluarkan keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/17/2012 tentang izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT SI.

11

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 13: Berebut Berkah Tanah Kendeng

12

Page 14: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

04

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

13

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 15: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

14

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Aksi perlawanan warga

Page 16: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

04

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

15

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 17: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

16

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 18: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

04

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

17

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Aksi ketika acara jalan sehat memperingati ulang tahun PT SI

Page 19: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

18

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 20: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

19

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

Aksi warga di dekat tapak pabrik PT SI

Page 21: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

20

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

Page 22: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

04

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

21

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

Page 23: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

04

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

22

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

Aksi

par

a Ka

rtin

i Rem

bang

Page 24: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

KOMUNIKASI POLITIK

ANDI BHATARA / KHANZA AZIZAH

PUSARAN AKTORDI MEDAN POLITIK

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

23

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

Page 25: Berebut Berkah Tanah Kendeng

pendirian pabrik semen PT SI kepada pemerintah desa. Namun di akhir pertemuan jawaban yang diberikan masih sama, mereka masih tidak tahu menahu soal pendirian pabrik semen PT SI. Warga yang pulang dengan tangan hampa lalu mendapat kabar bahwa ternyata sebelum pertemuan sempat terjadi dialog di rumah salah seorang warga Tegaldowo, Adi Purwoto. Dari pihak yang kontra pembangunan pabrik semen, Muslihin dan Masduriantok-lah yang terlibat dengan dialog itu. Berdasarkan laporan, keduanya merasa terintimidasi karena diancam akan diculik. Dialog tersebut dihadiri bukan hanya oleh Adi Purwoto, tapi juga melibatkan Isroi seorang anggota TNI Koramil Gunem, Suwito yang menjabat ketua BPD Desa Tegaldowo, Supriyadi yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Tegaldowo, Bambang Pornadi yang bertugas sebagai Hansip Tegaldowo, Rakiman, Hendarsun dan Agus yang juga warga Tegaldowo. Menurut tuturan Muslihin dan Masduriantok ada juga orang yang tidak diketahui namanya oleh mereka, dicurigai berasal dari LSM yang berjumlah 2 orang dan seorang pihak PT SI berada di kediaman Adi. Intimidasi yang terjadi berupa himbauan agar mereka tidak menolak PT SI, tapi disarankan untuk membuat sesuatu acara atau kegiatan lalu meminta PT SI untuk mendanainya.

keamanan mendatangi rumah warga yang diduga pro terhadap kehadiran semen (pro-semen). Berita tersebut diketahui warga yang kontra, yang memutuskan supaya semua masjid sekitar desa menyuarakan "Tolak Pabrik Semen!" di masing-masing pengeras suaranya. Ketakutan, seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

Tanggal 23 September 2013, beberapa warga Tegaldowo dipanggil oleh Wakil Bupati, H. Abdul Hafidz di kediaman dinasnya. Wakil Bupati berusaha menenangkan warga dan mengajak bernegosiasi, di sana dikatakan olehnya "Bahwa PT SI tidak akan merusak lingkungan, kalaupun sampai merusak, seluruh kerusakan akan ditanggung pabrik semen, kalaupun ada kerusakan mungkin ngaritnya bisa pindah ke Purwodadi".

Konflik antara warga semakin membuncah tengah malam tanggal 24 September 2013, warga Desa Timbrangan, Suyasir dan Sofyan didatangi oleh pemilik Cafe Mamamia yang letaknya tidak jauh dari lokasi tapak pabrik semen, keduanya ditodong oleh pedang dengan tuduhan telah merusak spanduk milik orang pro-semen. Warga tidak patah arang, untuk meneguhkan suaranya mereka mengadakan pengajian istigosah selepas isya di makam Mbah Ronggodito, beliau merupakan leluhur desa Tegaldowo yang paling dihormati. Istigosah diadakan tanggal 4 Oktober 2013 dalam rangka melestarikan alam, dihadiri oleh warga Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan dan Pasucen dengan dipimpin oleh Ustadz Ubaidillah Ahmad dan Ustadz Gufron yang berasal dari Desa Sidorejo, Pamatan. Pada tanggal 22 Oktober 2013 istigosah dilakukan kembali di lapangan Desa Tegaldowo dalam rangka melestarikan pegunungan Kendeng Utara.

Tanggal 27 Oktober 2013, kembali terjadi perseteruan di Tegaldowo. PT Semen Gresik memasang umbul-umbul di sekitar calon tapak pabrik semen dalam rangka memperingati hari ulang tahun perusahaan. Ulang tahun tersebut diramaikan dengan serangkaian kegiatan jalan sehat yang dihadiri oleh Teguh Gunawarman (Camat Gunem) dengan peserta yang sebagian besar siswa sekolah dasar dan ibu-ibu dan berakhir di panggung yang berada di calon tapak pabrik. Acara tersebut didatangi dan dibubarkan oleh warga desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Pasucen dan Bitingan yang merasa acara tersebut tidak layak diadakan disana karena masih banyak warga yang belum setuju. Esoknya tanggal 28 Oktober 2013 warga kembali melakukan istigosah untuk melestarikan Pegunungan Kendeng Utara dihadiri dan dipimpin oleh Ustadz yang sama.

agar dapat dilihat oleh pihak PT SI. Pada pukul 09.00 tindakan kekerasan terjadi. Ibu-ibu yang ingin mendirikan tenda dihalang-halangi oleh preman, polisi dan tentara. Namun polisi dan tentara yang seharusnya melindungi dan mengayomi justru melempar ibu-ibu ke semak-semak hingga pingsan. Murtini, warga Timbrangan dan Suparmi, warga Tegaldowo yang menjadi korban tindakan tersebut. Beberapa warga yang mendokumentasikan aksi dari kejauhan dikejar dan ditangkap dengan tuduhan wartawan gadungan. Namun, beberapa ibu-ibu berhasil mendokumentasikan aksi kekerasan dan tindakan para polisi. Karena terdesak, warga memutuskan untuk mendirikan tenda di malam hari.

Siang harinya polisi berdatangan lagi dengan truk polisi. Polisi membawa surat penangkapan atas nama tiga orang: Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dengan tuduhan provokator dari Pati dan Joko Priyanto. Dua truk polisi masuk ke desa dan mencari ketiga orang tersebut, hanya Luthfi yang berhasil ditangkap. Sampai pada malam harinya warga berhasil mendirikan tenda dan diisi oleh ibu-ibu. Polisi yang melihat hal itu mengepung ibu-ibu dengan berbondong-bondong. Ibu-ibu yang ketakutan kemudian menangis dan melakukan wiridan. Mereka bersikeras tidak akan pergi apabila semua aktivitas PT SI tidak dihentikan. Aan, yang juga berasal dari LBH Semarang berhasil bernegosiasi dengan polisi sehingga polisi memutuskan untuk mundur.Semenjak hari itu, tenda perjuangan terus berdiri, meskipun banyak sekali desakan dari berbagai pihak agar tenda perjuangan ditinggalkan. Tanggal 22 Juni 2014 contohnya, Ustadz Ubaidillah menghampiri ibu-ibu yang ada di tenda perjuangan dan menghimbau untuk membubarkan diri karena menurutnya demo di bulan puasa itu tidak baik menurut hukum agama. Tanggal 26 Juni 2014, Teguh Gunawarman mendatangi tenda ibu-ibu dan menanyakan warga "Apakah ibu-ibu sudah membaca AMDAL atau belum?" Spontan Sukinah, salah seorang warga Tegaldowo, langsung menjawab "Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami".

Camat Gunem tersebut kemudian menanyakan kepada ibu-ibu kenapa mereka tidak memprotes keberadaan perusahaan tambang yang lain. Dengan lantang kemudian Yani juga yang tergabung bersama di tenda menjawab "Kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah

KEBANGKITAN PERLAWANAN MASYARAKAT2014 - 2015

Tangal 20 Februari 2014, warga masyarakat Tegaldowo menggelar acara dialog di Balai Desa Tegaldowo untuk menutup jalan tambang. Hal ini dilakukan seiring dengan perlawanan warga terhadap perusahaan tambang lain yang telah beroperasi, perusahaan tersebut adalah PT Bangun Artha (BA), PT Amir Hajar Kilsi (AKH), PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi. Warga memprotes perusahaan tersebut karena merasa terganggu lahan pertaniannya akibat armada kendaraan yang lalu lalang ke perusahaan menghasilkan debu-debu yang menutupi lahan dan tanaman mereka. Belum lagi kebisingan yang sangat mengganggu penduduk sekitar. Dialog yang direncanakan ternyata malah menjadi ajang keributan, preman bayaran datang dan membubarkan acara dialog. Disinyalir preman tersebut merupakan preman yang dibayar perusahaan. Warga merasa sangat tersinggung ketika mengetahui bahwa Wuryadi yang merupakan anggota BPD Tegaldowo sekaligus pekerja di PT BA melemparkan botol air mineral kepada Sumarno, salah satu warga di tengah-tengah acara.Karena lahan pertanian milik warga banyak yang hendak dijual kepada perusahaan, warga serempak melakukan aksi pasang patok terhadap lahan-lahan mereka dengan tulisan "Tanah ini tidak akan pernah dijual". Solidaritas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) pun bangkit membantu masyarakat sekitar dengan membuat surat tuntutan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Komnasham pada tanggal 12 Mei 2014. Tanggal 20 Mei 2014 warga melakukan istigosah di dalam calon lokasi pabrik semen. Kemudian tanggal 1 Juni warga mendirikan posko tolak pabrik semen sebagai bentuk perlawanan di Desa Tegaldowo.

Tanggal 15 Juni 2014 warga Tegaldowo yang bersikeras menolak pendirian pabrik harus sekali lagi kalang kabut. Warga melihat spanduk PT SI di sekitar calon tapak pabrik semen mengenai kabar peletakan batu pertama. Segera kabar tersebut dilayangkan pada warga setempat. Ketika berita tersebut sampai ke sesepuh desa, sontak mereka langsung membuat pertemuan pada pukul 19.30 untuk menentukan tindakan dan membagi peran bersama warga lainnya. Pukul 05.30, tanggal 16 Juni 2014, warga langsung berangkat dengan segala tindakan yang telah direncanakan. Ratusan ibu-ibu petani terlibat mengikuti aksi ini, warga berniat untuk berjajar di pinggiran jalan dan mendirikan tenda perjuangan

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

PERTUMBUHAN BIBIT PERLAWANAN2012 - 2013

Pada tahun 2012, kabar pendirian pabrik semen tersebut akhirnya sampai ke telinga warga, warga yang merasa tidak tahu menahu lantas mencari-cari kepastian soal rencana tersebut. Pada akhir tahun 2012, Sumarno, Supristianto, Kusrin, Abdullah dan Pamin (semuanya warga Tegaldowo) menanyakan kabar terkait rencana pendirian pabrik semen PT SI kepada Bapak Kepala Desa Tegaldowo, Suyanto. Namun, jawaban yang didapatkan oleh warga adalah bahwa pihak Kepala Desa pun tidak tahu menahu mengenai adanya rencana pendirian pabrik semen. Warga yang tidak puas dan masih merasa curiga pun memutuskan untuk menanyakan hal tersebut ke kantor Kecamatan Gunem. Warga sejumlah 8 orang, yaitu Joko Prianto, Sumarno, Abdullah, Supristianto, Parmin, Rusman, Joko, Zanjuli dan Nardi berdialog dengan pihak Camat Gunem, Teguh Gunawarman. Namun, ternyata jawaban tidak sesuai yang diharapkan. Teguh Gunawarman, selaku Camat Gunem, mengaku tidak tahu soal rencana pendirian pabrik semen PT SI di Rembang. Ia lalu menyarankan warga mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI.

Di saat bibit penolakan mulai tumbuh, 15 Februari 2013, Bupati Rembang mengeluarkan putusan no. 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI. Karena pembangunan akan diadakan di Desa Tegaldowo yang merupakan tempat tinggal mereka, warga menjadi semakin khawatir dengan kabar yang berkembang. Warga yang resah bingung hendak berbuat apa. Sampai tanggal 17 April 2013, warga akhirnya mencoba mengikuti saran dari Teguh Gunawarman untuk mengirim surat kepada pihak yang telah disebutkan dan meminta sosialisasi soal kebenaran kabar pendirian pabrik PT SI di Tegaldowo untuk disegerakan. Surat pun dikirim melalui kantor pos Rembang diiringi aksi teatrikal di halaman kantor pos dengan rombongan warga yang beranggotakan 19 orang.

Tak kunjung mendapatkan surat balasan, warga Tegaldowo pun berinisiatif mengadakan pertemuan di balai desa antara seluruh elemen desa (mulai dari Karang Taruna, pejabat desa dan tokoh masyarakat) pada tanggal 22 April 2013. Menggunakan momen tersebut, warga mengangkat kembali pertanyaan rencana

Warga yang semakin dibingungkan dengan laporan tersebut berencana untuk menemui kembali pemerintah desa. Namun karena kesibukan bertani, masyarakat akhirnya menjalani kegiatan yang sudah direncanakan sebelumnya, yaitu mendirikan Paguyuban Katentreman tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama dan pemupukan demi meningkatkan produktivitas desa. Naas, organisasi yang didirikan tanpa hubungan dengan konflik dituduh oleh pemerintah desa bahwa mereka berkelompok dan merencanakan untuk melawan pemerintah desa. Saat itu masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah desa karena merasa mereka sudah tidak lagi memihak pada kepentingan dan nasib rakyat.

Pada tanggal 22 Juni 2013, Pemerintah Daerah mengundang warga untuk melakukan sosialisasi pembangunan pabrik semen. Puluhan warga desa Tegaldowo berangkat mendatangi kantor Balai Desa Tegaldowo sekali lagi, namun dihadang oleh perangkat desa dan pihak keamanan. Beberapa diundang dan masuk ke dalam forum, mereka antara lain Sumarno, Supristianto, Sunardo dan Sujito. Warga yang merasa belum pernah dikabari oleh pemerintah setempat merasa tidak terima. Adu mulut pun terjadi dan berujung penyekapan keempat warga tersebut. Mereka mengaku diintimidasi oleh Suyanto, Suwito, Turmen yang merupakan Kepala Dusun, dan warga Tegaldowo lain yang di antaranya Jasmadi, Masudi, Badri, Rakiman, Nyono dan Jumadi. Dikemudian hari, menurut keterangan warga, forum ini selalu menjadi justifikasi telah berlangsungnya sosialisasi di Desa Tegaldowo oleh PT SI. Joko Priyanto yang merupakan salah satu tokoh dan pionir warga dikatakan telah menghadiri dan menyetujui hasil sosialisasi tersebut. Padahal di hari itu Priyanto tidak berada di kediaman karena sedang berada di Pontianak.

Warga yang semakin geram karena merasa keputusan tidak disepakati bersama-sama lalu menggeruduk gedung DPRD Rembang pada tanggal 18 September 2013. Warga menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak rencana pendirian Pabrik Semen PT SI. Warga meminta kepada DPRD Rembang untuk turut mendesak pemerintah mencabut surat izin prinsip dan surat izin pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pihak PT SI. DPRD Rembang kemudian menjanjikan warga untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun sampai sekarang Pansus tersebut tidak pernah ada. Keesokan harinya, tanggal 19 September 2013, Sunarto selaku Ketua DPRD Rembang, wakilnya Catur Winarto bersama Teguh Gunawarman selaku Camat Gunem, perangkat Desa Tegaldowo dan perangkat

ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang". Pada tanggal yang sama Alissa Wahid, putri kedua Gusdur datang ke tenda perjuangan untuk menengok ibu-ibu.

Esoknya tanggal 27 Juni 2014 Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah datang ke tenda. Ganjar ingin menyalami ibu-ibu tapi mereka tidak mau merespon ajakan jabat tangan itu karena merasa bahwa Ganjar sudah tidak bersama warganya. Ganjar kemudian mengalihkan kejadian tersebut dengan mengutarakan bahwa akan mempertemukan pihak semen dan warga dengan didampingi ahli masing-masing. Warga di sini diberi kesempatan seminggu untuk mencari ahli. Setelah warga siap dengan ahlinya, warga dipersilakan untuk mengiri surat kepada Gubernur mengabarkan kesiapannya. Joko Priyanto kemudian ditunjuk warga untuk mencari pakar, pada tanggal 28 Juni 2014 Priyanto bertemu Ardi Wibowo dari IPB dan Teguh dari UPN Veteran Yogyakarta. Tanggal 29 Juni 2014 pun warga langsung mengirim surat kepada Ganjar Pranowo menyatakan kesiapannya, tapi sampai sekarang, pertemuan seperti yang dijanjikan tidak pernah ada.

Tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah. Surono pun kemudian diundang ke pertemuan diskusi yang diadakan Gubernur bersama pihak semen dan warga pada tanggal 7 Juli 2014. Bersamaan di hari itu, solidaritas pendukung warga hendak melakukan aksi di kantor Gubernur. Namun oleh Naryo (salah seorang staff kantor DPRD), aksi tersebut disarankan untuk tidak digelar sebab alasan menuju pemilu. Warga pun mengalah. Di dalam, Surono dicecar dengan banyak argumen yang menjatuhkan argumennya. Pihak PT SI mengaku sudah disetujui warga sekitar untuk mendirikan pabrik semen di sana karena sudah melewati proses sosialisasi tanggal 22 Juni 2013. Pada akhirnya pertemuan tersebut tidak menghasilkan apapun.

Pada tanggal 19 Februari 2014, warga semakin konfrontatif karena merasa pihak bersangkutan tidak pernah merespon mereka dengan baik. Warga melakukan aksi kembali di depan DPRD Rembang sampai memblokir Pantura, massa yang diperkirakan sampai 400 orang menuntut untuk menghentikan semua aktivitas dan seluruh proses yang berkaitan dengan penambangan dan pembangunan pabrik semen PT SI dan mencabut dukungan dan persetujuan terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen yang ada di Rembang. Mereka meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watu Putih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Warga sempat berdorong-dorongan dengan pihak keamanan karena pihak DPRD tidak kunjung menemui warga di halaman gedung DPRD. Akhirnya DPRD bertemu dengan warga, dan dalam pertemuan tersebut pihak DPRD hanya menjelaskan hal-hal normatif yang menceritakan bahwa adanya tambang itu akan berdampak baik pada warga dan kemajuan desa.

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

24

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

Page 26: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

04

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

25

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

Page 27: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

26

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

Page 28: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

27

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Mural perlawanan di dinding warga Desa Tegaldowo

Page 29: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

28

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

Page 30: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

29

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

Pembangunan pabrik PT SI

Page 31: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Dari kronologi yang dipaparkan, terlihat jelas bahwa konflik yang terjadi di Rembang melibatkan banyak sekali aktor. Mulai dari perusahaan, masyarakat, aktivis, LSM dan media. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan bahwa konflik ini juga bukan hanya berawal dari ekologi, tapi juga berkaitan erat dengan aktor-aktor yang berpengaruh bersamanya. Sebagai contoh, perusahaan akhirnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan karena adanya izin dari pemerintah selaku penguasa dan pembuat kebijakan. Berbekal izin tersebut dibuatlah infrastruktur pertambangan yang kemudian memicu penolakan masyarakat karena merasa tidak terlibat dalam pemutusan kebijakan. Akibatnya, masyarakat pun menyimpulkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terjadinya penolakan oleh masyarakat, tampilnya pemerintah dengan citra yang naif, terlibatnya aktivis, LSM dan media terhadap penguatan konflik sebagai wacana dapat kita lihat sebagai suatu hal yang lumrah terjadi karena adanya komunikasi yang terputus di medan politik yang antar aktornya selalu memiliki kausalitas. Menunjukkan bahwa komunikasi politik ini memiliki peran yang sangat kuat dalam keberlangsungan konflik Rembang ini ke depannya. Namun sebelum lebih jauh memahami realita komunikasi politik di Rembang, harus dipahami dulu bahwa 'politik' sebagai satu hal fundamental dan 'aktor' sebagai instrumen pembangun keberjalanan fungsi fundamental tersebut sebagai salah satu penentu fluktuasi konflik.

Dalam medan politik yang sedang terjadi di Rembang, politik yang dipahami adalah politik sebagai salah satu kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum, yang melibatkan pertanyaan dalam kebijakan. Seperti, siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana? Atau dapat kita sebut politik sebagai fungsionalisme (Laswell, 1972). Politik fungsionalisme, sebagai penentu kebijakan melibatkan berbagai kelembagaan, dalam hal ini yaitu pemerintah

sebagai aktor utama penyelenggara dan penentu kebijakan, dengan kepentingannya untuk negara dan masyarakat. Masyarakat disini berperan sebagai pewujud kebijakan dan yang memastikan kebijakan dijalankan dengan baik dengan kepentingannya dari hal yang mikro (menyejahterakan diri dan kelompoknya) kemudian berhubungan dengan kesejahteraan makro yaitu negara. Berarti pemerintah dan masyarakat semestinya memiliki kepentingan yang sama, namun berbeda dalam mewujudkannya.Berdasar fungsionalitas tadi, maka medan politik Rembang ini dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro yaitu kepentingan pribadi yang subjektif berada di balik setiap aktor. Secara makro yaitu nilai-nilai yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama secara historis, yaitu nilai-nilai keadilan, demokrasi, persatuan dan kebebasan yang telah ada dalam rumusan negara Indonesia dalam wujud Pancasila. Nilai yang

mesti diwujudkan dalam memandang setiap aspek yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan.Dalam kasus ini, peran pemerintah sebagai aktor politik adalah sebagai penentu kebijakan yang memberikan izin kepada PT Semen Indonesia (SI) untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya. Izin diberikan berdasarkan instrumen pendukung kebijakan politik, yaitu lembaga politik dan administrasi kebijakan seperti Mahkamah Agung, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Pengadilan. Penentuan kebijakan ini dikeluarkan melalui administrasi kebijakan

Undang-Undang Minerba yang berdasar Undang-Undang Dasar RI berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin lokasi eksplorasi, izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen melalui keputusan Bupati dan keputusan Gubernur.

Kepentingan Pemerintah jelas, kebijakan politik ini diambil untuk meningkatkan produksi semen di dalam negara dan diharapkan implikasinya berdampak terhadap pembangunan ekonomi nasional, selain untuk memenuhi permintaan semen domestik demi pembangunan dalam negeri serta Internasional sebagai penguat daya saing dalam pasar dunia. Kepentingan itu lalu diwujudkan melalui kerjasama antara pengelola yaitu PT SI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbekal izin dari Pemerintah, PT SI sebagai aktor politik lalu menentukan kebijakan politis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah tersebut. PT SI lalu mengeluarkan Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui oleh Pemerintah sebagai restu pelaksanaan pembangunan yang terukur. Kebijakan yang dilakukan PT SI ini semata-mata untuk mewujudkan kepentingan nasional yang telah diemban dan diamanahkan oleh Pemerintah.

Dari sini mulai terlihat bahwa dalam medan politik, setiap aktor memiliki kekuasaan untuk melakukan suatu kebijakan, dan memilih kebijakan mana yang akan diambil. Aktor juga memiliki hak untuk memperoleh dan mempertahankan kuasanya akan sesuatu, mempengaruhi pihak lain, atau menentang pelaksanaan kebijakan. Tapi pada intinya, politik yang dijalankan adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membicarakan dan merencanakan kebijakan untuk mereka. Kebaikan bersama pun adalah kepentingan semua warga negara, baik itu pemerintah, pengusaha ataupun masyarakat pada umumnya (Aristotle, 1972). Agar tidak terjadi konflik kepentingan politik yang terjadi karena mempertahankan sumber ataupun nilai yang dianggap penting bagi tiap aktor, maka kondisi tersebut harus terpenuhi.

Namun konflik politik kemudian muncul justru karena kurangnya keterlibatan masyarakat sebagai aktor politik penentu terwujudnya kebijakan. Masyarakat yang mendengar kebijakan Pemerintah dan Perusahaan, melakukan tindakan perlawanan karena merasa tidak terlibat dalam keputusan kebijakan tersebut, selain itu pendirian pabrik semen di Rembang juga ditakutkan akan membuat kegiatan

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

30

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

pertanian yang selama ini akan menggangu dan merusak sumber daya utama mereka. Membuat warga lalu menginisiasi tindakan politisnya dengan menggugat PT SI terkait pembangunan pabrik semen kepada Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN).

Kepentingan masyarakat yang selama ini sudah ada akhirnya harus berwujud dalam tindakan perlawanan. Kepentingan masyarakat untuk mempertahankan sumber daya yang telah dimilikinya sejak lama, kepentingan generasi, kepentingan sosio-kultural, tradisi dan ekologi menjadi alasan utama tindakan politis tersebut. Meskipun kepentingan masyarakat termasuk dalam skala mikro, tapi hal ini harus tetap disorot karena dalam kebijakan politik yang terwujud dengan baik, berarti semua kepentingan harus terpenuhi dan nilai bersama tetap dipertahankan. Hal ini karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan politik merupakan kebijakan yang dibentuk untuk penyelenggaraan kebaikan bersama.

Sehingga terllihat, bahwa dalam dinamika medan politik Rembang perwujudan kebijakannya memiliki permasalahan yang pelik karena perbedaan kepentingan dan nilai antara aktor politik. Konflik tersebut juga akan mengganggu stabilitas politik baik secara makro ataupun mikro di antara seluruh aktor. Masing-masing akhirnya berlomba-lomba untuk menaikkan nilai tawar mereka supaya memenangkan perseteruan ini. Pihak perusahaan bersikeras telah melalui prosedur permohonan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan telah berkekuatan hukum. Sedangkan masyarakat yang ingin Pemerintah mencabut izin tersebut, harus memiliki kekuatan yang sama dengan memenuhi syarat penguatan gugatan melalui proses hukum.

KONFLIK POLITIK REMBANG

BERAWAL JARAK, BERAKHIR KEBUNTUAN

Karena ketiga aktor tersebut tidak menemukan pemecahan terhadap konflik politik ini, berita-berita miring yang menyalahkan ketiga pihak tidak dapat dihindari dan terus bermunculan. Koherensi antara ketiganya sebagai aktor politik pun terpisah semakin jauh akibat adanya jarak yang terjadi akibat pertentangan ini. Terlibatnya media, aktivis, intelektual, universitas dan aparat turut memperkeruh polemik politik. Pemerintah sebagai pemangku utama kebijakan, belum melakukan tindak-tanduk yang jelas

saling bertentangan. Padahal, dalam pengambilan keputusan politik, harus bisa melibatkan dan menyeimbangkan tiga hal.

Secara ekstratif (penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat), distributif (alokasi sumber-sumber kepada masyarakat), dan regulatif (pengaturan perilaku anggota masyarakat). Tindakan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat adalah bukti nyata adanya keputusan politik yang justru memecah belah masyarakat sebagai satu kesatuan. Peran pemerintah yang dianggap tidak responsif dan solutif seperti apa yang dilakukan Ganjar Pranowo dalam menanggapi konflik ini justru menguatkan keyakinan masyarakat, bahwa Pemerintah sudah tidak lagi bersama masyarakatnya sehingga mereka memutuskan untuk bertindak sendiri. Maka dari itu dianggap wajar mengapa masyarakat melakukan aksi perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahnya sendiri.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola negara sekali lagi diuji kekuatannya sebagai instrumen politik terbesar dalam konflik Rembang ini. Karena asal mula kekacauan bukan berasal dari pihak Perusahaan ataupun masyarakat, melainkan dari Pemerintah itu sendiri. Yang jelas, apabila tidak ada inisiatif yang seragam dari ketiga pihak untuk menyelesaikan persoalan, niscaya tidak akan ada ujungnya dan hanya akan terjadi pertumpahan darah dan instabilitas politik yang semakin besar.

Politik sebagai cita-cita keputusan akan kebaikan bersama seluruh pihak tidak akan pernah tercapai. Melainkan akan semakin memberi jarak yang sangat tegas antara siapa subjek dan objek politik sesungguhnya, siapa aktor yang paling mempunyai kuasa dan dilemahkan, siapa yang paling diuntungkan dan dikorbankan.

Politik semestinya menjadi alat ideal untuk mendamaikan kepentingan segala pihak. Sebab politik adalah hal-hal yang menyangkut interaksi pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Politik yang merupakan "the art of possible" nyatanya di lapangan hanya merupakan pemecahan yang semu, sebab kebijakan tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Kemudian, berangkat dari keruhnya medan politik Rembang ini, apa yang sebenarnya menjadi pemicu konflik antara tiga aktor utama tersebut? Dari pengertian politik tadi, ada hal yang sangat krusial yang menjadi faktor utama berjalannya sebuah kebijakan politik, interaksi. Atau lebih popular disebut sebagai 'komunikasi politik'.

dalam memunculkan upaya mendamaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, Gubernur dan Kepala Desa justru malah berpihak dan mempertahankan kepentingan mereka yang dikedoki kepentingan nasional demi terbangunnya pabrik semen. Di lapangan, terlihat pembangunan tidak kunjung berhenti meskipun masyarakat yang dibantu aktivis dan LSM terus berkoar menuntut diberhentikannya pendirian pabrik.

Konflik politik skala mikro tidak terelakkan, pertentangan horizontal dalam internal masyarakat sendiri pada akhirnya menghambat terjadinya solusi. Dengan terang-terangan spanduk bertuliskan "Warung Pro Semen" dipasang bersebelahan dengan mural "Tolak Pabrik Semen" di pemukiman warga. Ibu-Ibu Rembang pun terus menggalang kekuatan demi terdukungnya kepentingan mereka untuk mempertahankan sumber daya alam yang mereka punya. Sayangnya, dalam skala makro, kelompok dominan dalam penentu kebijakan justru belum juga adil dalam proses pendistribusian dan pengalokasian kebijakan kepada kelompok yang lemah. Pemerintah mengalokasikan kebijakannya hanya pada Perusahaan, sehingga masyarakat merasa tidak terayomi.Upaya penegakkan pelaksanaan keputusan politik masih jauh dari kata berimbang. Hal ini karena dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik Pemerintah dan Pengusaha kurang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan partisipatif. Bisa dilihat dari tumbuhnya dua kubu berbeda dalam masyarakat yang

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

Page 32: Berebut Berkah Tanah Kendeng

04

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

31

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Page 33: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

32

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Page 34: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

04

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

33

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Page 35: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

34

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Page 36: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

SOSIAL / KULTURAL

ANDI BHATARA / FIRZA ALFAJR

TELAAH KONTEKSTUALSOSIAL KULTURAL

Konflik serupa semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Rembang saja, namun sudah meluas dan mulai dianggap lumrah terjadi oleh banyak pihak, termasuk masyarakat. Gejolak perlawanan semacam ini mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara yang sedang berkembang. Saking seringnya, aksi perlawanan pun sudah menjadi suatu budaya yang kental dan melekat dan menjadi norma baru di masyarakat yang menyesuaikan diri dengan era modern dan hiper-industrialisasi. Konflik biasa terjadi dengan alasan pembangunan dan selalu bersinggungan dengan elemen fundamental pembangunan, yaitu tanah dan manusia.

Tanah adalah hal paling sensitif dan sumber penghidupan manusia. Ia memiliki banyak sekali potensi baik yang ada di atas ataupun di bawahnya. Maka dari itu, klaim kepemilikan tanah seringkali mengundang konflik. Karena hal tersebut, para pembangun harus bersinggungan dengan pemilik tanah yang bersangkutan. Manusia yang hidup dan memiliki klaim atas tanah tersebut, mau tidak mau harus berkonfrontasi langsung dengan para pihak pembangun.

Pilihannya hanya dua, apabila ia setuju tanah tersebut diserahkan kepada pihak pembangun, penghidupannya yang berasal dari tanah sebelumnya harus berubah dan tergantung terhadap apa yang dibangun di atas tanah. Pilihan kedua, apabila pemilik tanah tersebut tidak setuju dengan tawaran si pembangun, ia harus siap menghadapi upaya pembangun demi menyukseskan pembangunan. Dalam pilihan ini, hanya akan terjadi dua kemungkinan, menang atau dikalahkan dalam pertarungan.

35

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Sayangnya, pola hidup seperti itu dianggap sebuah keterbelakangan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kini. Menjadi petani bukanlah sebuah modal sosial yang baik dan disandingkan dengan istilah 'orang kampung', berpendidikan rendah dan harus diubah menjadi lebih baik seperti hidup kebanyakan orang di kota. Sempit memang. Tapi yang patut dipertanyakan adalah, dari mana sebenarnya pola pikir ini berasal? Apa hubungannya dengan konflik yang ada di Rembang?

Dalam konsep pembangunan (development), pembangunan adalah proses untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik agar masyarakat mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Acapkali pembangunan diberi pengertian sebagai proses perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (planned social change) untuk membuat suasana serta sistem baru (Subangun, 1994). Jadi, secara definitif pembangunan semestinya ditafsirkan sebagai perbaikan tata hidup secara terus menerus yang melingkupi seluruh sistem kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Konsep pembangunan melahirkan cara, gaya dan pola pikir pembangunan (Developmentalisme). Maka dari itu ideologi normatif di atas biasanya bergeser di beberapa negara.

Developmentalisme sendiri lahir dari mazhab historis pemikiran ekonomi, antara lain perspektif pemikiran klasik, neo-klasik, sosialisme, dan semacamnya. Developmentalisme biasanya didasarkan pada dua jenis, yaitu culture specific (didasarkan pada negara mana yang melaksanakan) atau time specific (didasarkan pada waktu melaksanakan) (Katz, 1966). Indonesia sebagai mantan negara koloni, dikategorikan sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara Berkembang. Label tersebut diberikan karena Indonesia dianggap sebagai sebuah negara yang memiliki keterbelakangan dalam pertumbuhan ekonomi dan laju pembangunan. Konsep ini biasanya dikenalkan oleh Negara Maju atau Negara Dunia Pertama. Sayangnya dengan hubungan seperti ini, laju pembangunan Dunia Ketiga selalu dicampur tangani dan didominiasi oleh Negara Pertama. Jadi kita tahu betul bahwa sebenarnya hubungan antara Dunia Pertama dan Ketiga memang sengaja diciptakan. Dunia Ketiga dikategorikan sebagai negara miskin dan terbelakang, sementara Dunia Pertama diberi label negara industri maju. Hubungan semacam ini sejatinya mengacu pada hubungan imperialistis (Mueller, 1987).

yang kita punya, semakin mampulah kita untuk membangun infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, jembatan, jalan aspal, dan lain sebagainya. Pertumbuhan GDP yang baik juga akan mendatangkan investor. Semakin banyak investor, semakin bertambah juga proyek-proyek yang bisa dilakukan, modal-modal baru untuk sebuah perusahaan, serta kekuatan untuk bersaing dalam kancah perekonomian internasional. Pola pikir inilah yang mendasari niatan PT. SI untuk membangun pabrik semen di Rembang.

Developmentalisme dalam negara Dunia Ketiga menjadi sebuah konsep dan alternatif yang mau tak mau harus diselenggarakan. Konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standar hidup: ia harus hadir sebagai sarana memperkuat negara, terutama melalui proses industrialisasi yang mengikuti pola seragam dari negara satu ke negara lainnya. Dalam hal ini, realitas pembangunan berkaitan erat dengan peran penting pemerintah sebagai penyelenggara. Pandangan seperti inilah yang kemudian memposisikan pemerintah sebagai subjek pembangunan dan memperlakukan rakyat sebagai objek, resipen, klien dan partisipan pembangunan.

Di balik pemerintah, bermain pula kepentingan investasi dan bisnis yang diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Nampaknya konsepsi ini diterima begitu saja oleh Indonesia tanpa kritik dan koreksi yang serius dan mendalam. Jika masyarakat mengganggu pembangunan dengan pertanyaan maupun perlawanan, niscaya pentungan akan mendarat ke kepala atau suara tersebut tidak didengarkan sama sekali.

Di Rembang, hal tersebut terlihat dengan sangat transparan. Dengan dalih pembangunan untuk negara dan masyarakat, pembangunan pabrik semen harus diprioritaskan. Pabrik semen dibangun demi menumbuhkan kepentingan regional, sektoral dan nasional yang akan meningkatkan pendapatan dan kekayaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesempatan kerja. Masyarakat yang melakukan perlawanan setahun belakangan telah berusaha melakukan pendekatan terhadap pemerintah, namun hasilnya nihil. Alih-alih ditanggapi atau didengarkan, ibu-ibu malah dikenai jotos dan tindak kekerasan oleh oknum aparat yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah.

Sekarang di Rembang, pembangunan terus berjalan dan masyarakat telah menetapkan pilihannya, yakni untuk berhadapan langsung dengan segala daya upaya menghentikan pembangunan. Kondisi ambang ini sebenarnya adalah kondisi yang sangat tidak menentu dan dihindari dalam konsep pembangunan. Pembangunan sejatinya dimaknai sebagai segala upaya untuk menciptakan proses perubahan sosial (social change) dari kondisi tertentu ke kondisi lain yang lebih baik. Dari fenomena ini saja, makna konsep pembangunan sudah dinafikan sama sekali. Masyarakat yang mengalami konflik dan tidak diperhatikan oleh pihak pembangun merupakan sebuah bukti bahwa pembangunan bukan ditujukan untuk masyarakat, tapi untuk pihak pembangun semata.

Ini adalah konsep yang sudah salah kaprah dan jelas-jelas memiliki kepentingan lain di baliknya. Secara logika, dalam hakikat konsep pembangunan bukankah masyarakat semestinya menjadi subjek? Apabila masyarakat Rembang digebuk seperti kini, bukankah ini artinya mereka hanya menjadi objek? Lalu dengan kondisi perpecahan antara pihak pembangun dan masyarakat seperti sekarang, apa yang sebenarnya menjadi faktor utamanya? Berangkat dari ide pembangunan yang membicarakan soal perubahan sosial, maka harus ditarik lebih jauh dan mengakar lagi hal-hal yang mempengaruhi dan menumbuhkan sebuah institusi sosial; yaitu budaya dan pola pikir masyarakat yang digunakan dan sedang berkembang. Faktor-faktor inilah yang menjadi inti dari perpecahan dan merupakan suatu kunci perbaikan di Rembang.

MITOS DEVELOPMENTALISMEDI REMBANGPola pikir suatu kelompok atau bangsa adalah manifestasi dari budaya yang berasal dari pola hidup dan interaksi sehari-hari dengan lingkungannya. Di sini, Rembang adalah sebuah daerah dengan manusia yang memiliki pola hidup agraris dimana sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Hal ini juga berarti bahwa masyarakatnya sangat dekat dengan alam dan memiliki ikatan batin terhadap tanahnya. Pertanian dipandang bukan hanya persoalan perut, namun juga urusan spiritual. Ia merupakan sumber pelajaran kehidupan tentang bagaimana seorang bisa menuntun dan menata hidupnya lebih baik. Pola hidup ini sudah meresap di benak setiap masyarakat dan sudah menjadi hal yang digeluti sehari-hari.

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Berdasarkan hal tersebut, terciptalah tiga metode pembangunan dalam Negara Ketiga, yakni Modernisasi, Dependensi dan Pasca-Dependensi. Dalam konteks ini, negara tersebut mesti bergantung pada negara luar dan melibatkan manusia dan budayanya dalam sebuah proses pembangunan. Ketergantungan tersebut berada dalam format "neo-kolonialisme" yang diterapkan oleh negara maju terhadap negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara tersebut (Budiman, 1995). Posisi penting konsep pertumbuhan ekonomi dalam skala makro serta konsep stabilitas ekonomi dan politik secara nasional adalah turunan dari konsep tersebut.

Seperti yang terjadi di Rembang, wacana developmentalisme menjadikan pendapatan nasional sebagai tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Angka yang awam digunakan adalah angka Produk domestik bruto (GDP). Oleh karena itu peningkatan GDP sering disamakan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini logis jika dilihat secara makroskopis, dimana jika GDP meningkat maka produksi barang atau jasa dalam suatu wilayah meningkat. Produksi kemudian dikaitkan dengan keuntungan atau pertambahan devisa negara. Dengan semakin bertambahnya uang

Page 37: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

Konflik serupa semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Rembang saja, namun sudah meluas dan mulai dianggap lumrah terjadi oleh banyak pihak, termasuk masyarakat. Gejolak perlawanan semacam ini mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara yang sedang berkembang. Saking seringnya, aksi perlawanan pun sudah menjadi suatu budaya yang kental dan melekat dan menjadi norma baru di masyarakat yang menyesuaikan diri dengan era modern dan hiper-industrialisasi. Konflik biasa terjadi dengan alasan pembangunan dan selalu bersinggungan dengan elemen fundamental pembangunan, yaitu tanah dan manusia.

Tanah adalah hal paling sensitif dan sumber penghidupan manusia. Ia memiliki banyak sekali potensi baik yang ada di atas ataupun di bawahnya. Maka dari itu, klaim kepemilikan tanah seringkali mengundang konflik. Karena hal tersebut, para pembangun harus bersinggungan dengan pemilik tanah yang bersangkutan. Manusia yang hidup dan memiliki klaim atas tanah tersebut, mau tidak mau harus berkonfrontasi langsung dengan para pihak pembangun.

Pilihannya hanya dua, apabila ia setuju tanah tersebut diserahkan kepada pihak pembangun, penghidupannya yang berasal dari tanah sebelumnya harus berubah dan tergantung terhadap apa yang dibangun di atas tanah. Pilihan kedua, apabila pemilik tanah tersebut tidak setuju dengan tawaran si pembangun, ia harus siap menghadapi upaya pembangun demi menyukseskan pembangunan. Dalam pilihan ini, hanya akan terjadi dua kemungkinan, menang atau dikalahkan dalam pertarungan.

Sayangnya, pola hidup seperti itu dianggap sebuah keterbelakangan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kini. Menjadi petani bukanlah sebuah modal sosial yang baik dan disandingkan dengan istilah 'orang kampung', berpendidikan rendah dan harus diubah menjadi lebih baik seperti hidup kebanyakan orang di kota. Sempit memang. Tapi yang patut dipertanyakan adalah, dari mana sebenarnya pola pikir ini berasal? Apa hubungannya dengan konflik yang ada di Rembang?

Dalam konsep pembangunan (development), pembangunan adalah proses untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik agar masyarakat mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Acapkali pembangunan diberi pengertian sebagai proses perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (planned social change) untuk membuat suasana serta sistem baru (Subangun, 1994). Jadi, secara definitif pembangunan semestinya ditafsirkan sebagai perbaikan tata hidup secara terus menerus yang melingkupi seluruh sistem kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Konsep pembangunan melahirkan cara, gaya dan pola pikir pembangunan (Developmentalisme). Maka dari itu ideologi normatif di atas biasanya bergeser di beberapa negara.

Developmentalisme sendiri lahir dari mazhab historis pemikiran ekonomi, antara lain perspektif pemikiran klasik, neo-klasik, sosialisme, dan semacamnya. Developmentalisme biasanya didasarkan pada dua jenis, yaitu culture specific (didasarkan pada negara mana yang melaksanakan) atau time specific (didasarkan pada waktu melaksanakan) (Katz, 1966). Indonesia sebagai mantan negara koloni, dikategorikan sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara Berkembang. Label tersebut diberikan karena Indonesia dianggap sebagai sebuah negara yang memiliki keterbelakangan dalam pertumbuhan ekonomi dan laju pembangunan. Konsep ini biasanya dikenalkan oleh Negara Maju atau Negara Dunia Pertama. Sayangnya dengan hubungan seperti ini, laju pembangunan Dunia Ketiga selalu dicampur tangani dan didominiasi oleh Negara Pertama. Jadi kita tahu betul bahwa sebenarnya hubungan antara Dunia Pertama dan Ketiga memang sengaja diciptakan. Dunia Ketiga dikategorikan sebagai negara miskin dan terbelakang, sementara Dunia Pertama diberi label negara industri maju. Hubungan semacam ini sejatinya mengacu pada hubungan imperialistis (Mueller, 1987).

yang kita punya, semakin mampulah kita untuk membangun infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, jembatan, jalan aspal, dan lain sebagainya. Pertumbuhan GDP yang baik juga akan mendatangkan investor. Semakin banyak investor, semakin bertambah juga proyek-proyek yang bisa dilakukan, modal-modal baru untuk sebuah perusahaan, serta kekuatan untuk bersaing dalam kancah perekonomian internasional. Pola pikir inilah yang mendasari niatan PT. SI untuk membangun pabrik semen di Rembang.

Developmentalisme dalam negara Dunia Ketiga menjadi sebuah konsep dan alternatif yang mau tak mau harus diselenggarakan. Konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standar hidup: ia harus hadir sebagai sarana memperkuat negara, terutama melalui proses industrialisasi yang mengikuti pola seragam dari negara satu ke negara lainnya. Dalam hal ini, realitas pembangunan berkaitan erat dengan peran penting pemerintah sebagai penyelenggara. Pandangan seperti inilah yang kemudian memposisikan pemerintah sebagai subjek pembangunan dan memperlakukan rakyat sebagai objek, resipen, klien dan partisipan pembangunan.

Di balik pemerintah, bermain pula kepentingan investasi dan bisnis yang diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Nampaknya konsepsi ini diterima begitu saja oleh Indonesia tanpa kritik dan koreksi yang serius dan mendalam. Jika masyarakat mengganggu pembangunan dengan pertanyaan maupun perlawanan, niscaya pentungan akan mendarat ke kepala atau suara tersebut tidak didengarkan sama sekali.

Di Rembang, hal tersebut terlihat dengan sangat transparan. Dengan dalih pembangunan untuk negara dan masyarakat, pembangunan pabrik semen harus diprioritaskan. Pabrik semen dibangun demi menumbuhkan kepentingan regional, sektoral dan nasional yang akan meningkatkan pendapatan dan kekayaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesempatan kerja. Masyarakat yang melakukan perlawanan setahun belakangan telah berusaha melakukan pendekatan terhadap pemerintah, namun hasilnya nihil. Alih-alih ditanggapi atau didengarkan, ibu-ibu malah dikenai jotos dan tindak kekerasan oleh oknum aparat yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah.

Sekarang di Rembang, pembangunan terus berjalan dan masyarakat telah menetapkan pilihannya, yakni untuk berhadapan langsung dengan segala daya upaya menghentikan pembangunan. Kondisi ambang ini sebenarnya adalah kondisi yang sangat tidak menentu dan dihindari dalam konsep pembangunan. Pembangunan sejatinya dimaknai sebagai segala upaya untuk menciptakan proses perubahan sosial (social change) dari kondisi tertentu ke kondisi lain yang lebih baik. Dari fenomena ini saja, makna konsep pembangunan sudah dinafikan sama sekali. Masyarakat yang mengalami konflik dan tidak diperhatikan oleh pihak pembangun merupakan sebuah bukti bahwa pembangunan bukan ditujukan untuk masyarakat, tapi untuk pihak pembangun semata.

Ini adalah konsep yang sudah salah kaprah dan jelas-jelas memiliki kepentingan lain di baliknya. Secara logika, dalam hakikat konsep pembangunan bukankah masyarakat semestinya menjadi subjek? Apabila masyarakat Rembang digebuk seperti kini, bukankah ini artinya mereka hanya menjadi objek? Lalu dengan kondisi perpecahan antara pihak pembangun dan masyarakat seperti sekarang, apa yang sebenarnya menjadi faktor utamanya? Berangkat dari ide pembangunan yang membicarakan soal perubahan sosial, maka harus ditarik lebih jauh dan mengakar lagi hal-hal yang mempengaruhi dan menumbuhkan sebuah institusi sosial; yaitu budaya dan pola pikir masyarakat yang digunakan dan sedang berkembang. Faktor-faktor inilah yang menjadi inti dari perpecahan dan merupakan suatu kunci perbaikan di Rembang.

MITOS DEVELOPMENTALISMEDI REMBANGPola pikir suatu kelompok atau bangsa adalah manifestasi dari budaya yang berasal dari pola hidup dan interaksi sehari-hari dengan lingkungannya. Di sini, Rembang adalah sebuah daerah dengan manusia yang memiliki pola hidup agraris dimana sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Hal ini juga berarti bahwa masyarakatnya sangat dekat dengan alam dan memiliki ikatan batin terhadap tanahnya. Pertanian dipandang bukan hanya persoalan perut, namun juga urusan spiritual. Ia merupakan sumber pelajaran kehidupan tentang bagaimana seorang bisa menuntun dan menata hidupnya lebih baik. Pola hidup ini sudah meresap di benak setiap masyarakat dan sudah menjadi hal yang digeluti sehari-hari.

36

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Berdasarkan hal tersebut, terciptalah tiga metode pembangunan dalam Negara Ketiga, yakni Modernisasi, Dependensi dan Pasca-Dependensi. Dalam konteks ini, negara tersebut mesti bergantung pada negara luar dan melibatkan manusia dan budayanya dalam sebuah proses pembangunan. Ketergantungan tersebut berada dalam format "neo-kolonialisme" yang diterapkan oleh negara maju terhadap negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara tersebut (Budiman, 1995). Posisi penting konsep pertumbuhan ekonomi dalam skala makro serta konsep stabilitas ekonomi dan politik secara nasional adalah turunan dari konsep tersebut.

Seperti yang terjadi di Rembang, wacana developmentalisme menjadikan pendapatan nasional sebagai tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Angka yang awam digunakan adalah angka Produk domestik bruto (GDP). Oleh karena itu peningkatan GDP sering disamakan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini logis jika dilihat secara makroskopis, dimana jika GDP meningkat maka produksi barang atau jasa dalam suatu wilayah meningkat. Produksi kemudian dikaitkan dengan keuntungan atau pertambahan devisa negara. Dengan semakin bertambahnya uang

Page 38: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Konflik serupa semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Rembang saja, namun sudah meluas dan mulai dianggap lumrah terjadi oleh banyak pihak, termasuk masyarakat. Gejolak perlawanan semacam ini mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara yang sedang berkembang. Saking seringnya, aksi perlawanan pun sudah menjadi suatu budaya yang kental dan melekat dan menjadi norma baru di masyarakat yang menyesuaikan diri dengan era modern dan hiper-industrialisasi. Konflik biasa terjadi dengan alasan pembangunan dan selalu bersinggungan dengan elemen fundamental pembangunan, yaitu tanah dan manusia.

Tanah adalah hal paling sensitif dan sumber penghidupan manusia. Ia memiliki banyak sekali potensi baik yang ada di atas ataupun di bawahnya. Maka dari itu, klaim kepemilikan tanah seringkali mengundang konflik. Karena hal tersebut, para pembangun harus bersinggungan dengan pemilik tanah yang bersangkutan. Manusia yang hidup dan memiliki klaim atas tanah tersebut, mau tidak mau harus berkonfrontasi langsung dengan para pihak pembangun.

Pilihannya hanya dua, apabila ia setuju tanah tersebut diserahkan kepada pihak pembangun, penghidupannya yang berasal dari tanah sebelumnya harus berubah dan tergantung terhadap apa yang dibangun di atas tanah. Pilihan kedua, apabila pemilik tanah tersebut tidak setuju dengan tawaran si pembangun, ia harus siap menghadapi upaya pembangun demi menyukseskan pembangunan. Dalam pilihan ini, hanya akan terjadi dua kemungkinan, menang atau dikalahkan dalam pertarungan.

Sayangnya, pola hidup seperti itu dianggap sebuah keterbelakangan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kini. Menjadi petani bukanlah sebuah modal sosial yang baik dan disandingkan dengan istilah 'orang kampung', berpendidikan rendah dan harus diubah menjadi lebih baik seperti hidup kebanyakan orang di kota. Sempit memang. Tapi yang patut dipertanyakan adalah, dari mana sebenarnya pola pikir ini berasal? Apa hubungannya dengan konflik yang ada di Rembang?

Dalam konsep pembangunan (development), pembangunan adalah proses untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik agar masyarakat mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Acapkali pembangunan diberi pengertian sebagai proses perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (planned social change) untuk membuat suasana serta sistem baru (Subangun, 1994). Jadi, secara definitif pembangunan semestinya ditafsirkan sebagai perbaikan tata hidup secara terus menerus yang melingkupi seluruh sistem kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Konsep pembangunan melahirkan cara, gaya dan pola pikir pembangunan (Developmentalisme). Maka dari itu ideologi normatif di atas biasanya bergeser di beberapa negara.

Developmentalisme sendiri lahir dari mazhab historis pemikiran ekonomi, antara lain perspektif pemikiran klasik, neo-klasik, sosialisme, dan semacamnya. Developmentalisme biasanya didasarkan pada dua jenis, yaitu culture specific (didasarkan pada negara mana yang melaksanakan) atau time specific (didasarkan pada waktu melaksanakan) (Katz, 1966). Indonesia sebagai mantan negara koloni, dikategorikan sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara Berkembang. Label tersebut diberikan karena Indonesia dianggap sebagai sebuah negara yang memiliki keterbelakangan dalam pertumbuhan ekonomi dan laju pembangunan. Konsep ini biasanya dikenalkan oleh Negara Maju atau Negara Dunia Pertama. Sayangnya dengan hubungan seperti ini, laju pembangunan Dunia Ketiga selalu dicampur tangani dan didominiasi oleh Negara Pertama. Jadi kita tahu betul bahwa sebenarnya hubungan antara Dunia Pertama dan Ketiga memang sengaja diciptakan. Dunia Ketiga dikategorikan sebagai negara miskin dan terbelakang, sementara Dunia Pertama diberi label negara industri maju. Hubungan semacam ini sejatinya mengacu pada hubungan imperialistis (Mueller, 1987).

37

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

yang kita punya, semakin mampulah kita untuk membangun infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, jembatan, jalan aspal, dan lain sebagainya. Pertumbuhan GDP yang baik juga akan mendatangkan investor. Semakin banyak investor, semakin bertambah juga proyek-proyek yang bisa dilakukan, modal-modal baru untuk sebuah perusahaan, serta kekuatan untuk bersaing dalam kancah perekonomian internasional. Pola pikir inilah yang mendasari niatan PT. SI untuk membangun pabrik semen di Rembang.

Developmentalisme dalam negara Dunia Ketiga menjadi sebuah konsep dan alternatif yang mau tak mau harus diselenggarakan. Konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standar hidup: ia harus hadir sebagai sarana memperkuat negara, terutama melalui proses industrialisasi yang mengikuti pola seragam dari negara satu ke negara lainnya. Dalam hal ini, realitas pembangunan berkaitan erat dengan peran penting pemerintah sebagai penyelenggara. Pandangan seperti inilah yang kemudian memposisikan pemerintah sebagai subjek pembangunan dan memperlakukan rakyat sebagai objek, resipen, klien dan partisipan pembangunan.

Di balik pemerintah, bermain pula kepentingan investasi dan bisnis yang diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Nampaknya konsepsi ini diterima begitu saja oleh Indonesia tanpa kritik dan koreksi yang serius dan mendalam. Jika masyarakat mengganggu pembangunan dengan pertanyaan maupun perlawanan, niscaya pentungan akan mendarat ke kepala atau suara tersebut tidak didengarkan sama sekali.

Di Rembang, hal tersebut terlihat dengan sangat transparan. Dengan dalih pembangunan untuk negara dan masyarakat, pembangunan pabrik semen harus diprioritaskan. Pabrik semen dibangun demi menumbuhkan kepentingan regional, sektoral dan nasional yang akan meningkatkan pendapatan dan kekayaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesempatan kerja. Masyarakat yang melakukan perlawanan setahun belakangan telah berusaha melakukan pendekatan terhadap pemerintah, namun hasilnya nihil. Alih-alih ditanggapi atau didengarkan, ibu-ibu malah dikenai jotos dan tindak kekerasan oleh oknum aparat yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah.

Sekarang di Rembang, pembangunan terus berjalan dan masyarakat telah menetapkan pilihannya, yakni untuk berhadapan langsung dengan segala daya upaya menghentikan pembangunan. Kondisi ambang ini sebenarnya adalah kondisi yang sangat tidak menentu dan dihindari dalam konsep pembangunan. Pembangunan sejatinya dimaknai sebagai segala upaya untuk menciptakan proses perubahan sosial (social change) dari kondisi tertentu ke kondisi lain yang lebih baik. Dari fenomena ini saja, makna konsep pembangunan sudah dinafikan sama sekali. Masyarakat yang mengalami konflik dan tidak diperhatikan oleh pihak pembangun merupakan sebuah bukti bahwa pembangunan bukan ditujukan untuk masyarakat, tapi untuk pihak pembangun semata.

Ini adalah konsep yang sudah salah kaprah dan jelas-jelas memiliki kepentingan lain di baliknya. Secara logika, dalam hakikat konsep pembangunan bukankah masyarakat semestinya menjadi subjek? Apabila masyarakat Rembang digebuk seperti kini, bukankah ini artinya mereka hanya menjadi objek? Lalu dengan kondisi perpecahan antara pihak pembangun dan masyarakat seperti sekarang, apa yang sebenarnya menjadi faktor utamanya? Berangkat dari ide pembangunan yang membicarakan soal perubahan sosial, maka harus ditarik lebih jauh dan mengakar lagi hal-hal yang mempengaruhi dan menumbuhkan sebuah institusi sosial; yaitu budaya dan pola pikir masyarakat yang digunakan dan sedang berkembang. Faktor-faktor inilah yang menjadi inti dari perpecahan dan merupakan suatu kunci perbaikan di Rembang.

MITOS DEVELOPMENTALISMEDI REMBANGPola pikir suatu kelompok atau bangsa adalah manifestasi dari budaya yang berasal dari pola hidup dan interaksi sehari-hari dengan lingkungannya. Di sini, Rembang adalah sebuah daerah dengan manusia yang memiliki pola hidup agraris dimana sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Hal ini juga berarti bahwa masyarakatnya sangat dekat dengan alam dan memiliki ikatan batin terhadap tanahnya. Pertanian dipandang bukan hanya persoalan perut, namun juga urusan spiritual. Ia merupakan sumber pelajaran kehidupan tentang bagaimana seorang bisa menuntun dan menata hidupnya lebih baik. Pola hidup ini sudah meresap di benak setiap masyarakat dan sudah menjadi hal yang digeluti sehari-hari.

Berdasarkan hal tersebut, terciptalah tiga metode pembangunan dalam Negara Ketiga, yakni Modernisasi, Dependensi dan Pasca-Dependensi. Dalam konteks ini, negara tersebut mesti bergantung pada negara luar dan melibatkan manusia dan budayanya dalam sebuah proses pembangunan. Ketergantungan tersebut berada dalam format "neo-kolonialisme" yang diterapkan oleh negara maju terhadap negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara tersebut (Budiman, 1995). Posisi penting konsep pertumbuhan ekonomi dalam skala makro serta konsep stabilitas ekonomi dan politik secara nasional adalah turunan dari konsep tersebut.

Seperti yang terjadi di Rembang, wacana developmentalisme menjadikan pendapatan nasional sebagai tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Angka yang awam digunakan adalah angka Produk domestik bruto (GDP). Oleh karena itu peningkatan GDP sering disamakan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini logis jika dilihat secara makroskopis, dimana jika GDP meningkat maka produksi barang atau jasa dalam suatu wilayah meningkat. Produksi kemudian dikaitkan dengan keuntungan atau pertambahan devisa negara. Dengan semakin bertambahnya uang

Page 39: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Konflik serupa semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Rembang saja, namun sudah meluas dan mulai dianggap lumrah terjadi oleh banyak pihak, termasuk masyarakat. Gejolak perlawanan semacam ini mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara yang sedang berkembang. Saking seringnya, aksi perlawanan pun sudah menjadi suatu budaya yang kental dan melekat dan menjadi norma baru di masyarakat yang menyesuaikan diri dengan era modern dan hiper-industrialisasi. Konflik biasa terjadi dengan alasan pembangunan dan selalu bersinggungan dengan elemen fundamental pembangunan, yaitu tanah dan manusia.

Tanah adalah hal paling sensitif dan sumber penghidupan manusia. Ia memiliki banyak sekali potensi baik yang ada di atas ataupun di bawahnya. Maka dari itu, klaim kepemilikan tanah seringkali mengundang konflik. Karena hal tersebut, para pembangun harus bersinggungan dengan pemilik tanah yang bersangkutan. Manusia yang hidup dan memiliki klaim atas tanah tersebut, mau tidak mau harus berkonfrontasi langsung dengan para pihak pembangun.

Pilihannya hanya dua, apabila ia setuju tanah tersebut diserahkan kepada pihak pembangun, penghidupannya yang berasal dari tanah sebelumnya harus berubah dan tergantung terhadap apa yang dibangun di atas tanah. Pilihan kedua, apabila pemilik tanah tersebut tidak setuju dengan tawaran si pembangun, ia harus siap menghadapi upaya pembangun demi menyukseskan pembangunan. Dalam pilihan ini, hanya akan terjadi dua kemungkinan, menang atau dikalahkan dalam pertarungan.

Sayangnya, pola hidup seperti itu dianggap sebuah keterbelakangan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kini. Menjadi petani bukanlah sebuah modal sosial yang baik dan disandingkan dengan istilah 'orang kampung', berpendidikan rendah dan harus diubah menjadi lebih baik seperti hidup kebanyakan orang di kota. Sempit memang. Tapi yang patut dipertanyakan adalah, dari mana sebenarnya pola pikir ini berasal? Apa hubungannya dengan konflik yang ada di Rembang?

Dalam konsep pembangunan (development), pembangunan adalah proses untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik agar masyarakat mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Acapkali pembangunan diberi pengertian sebagai proses perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (planned social change) untuk membuat suasana serta sistem baru (Subangun, 1994). Jadi, secara definitif pembangunan semestinya ditafsirkan sebagai perbaikan tata hidup secara terus menerus yang melingkupi seluruh sistem kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Konsep pembangunan melahirkan cara, gaya dan pola pikir pembangunan (Developmentalisme). Maka dari itu ideologi normatif di atas biasanya bergeser di beberapa negara.

Developmentalisme sendiri lahir dari mazhab historis pemikiran ekonomi, antara lain perspektif pemikiran klasik, neo-klasik, sosialisme, dan semacamnya. Developmentalisme biasanya didasarkan pada dua jenis, yaitu culture specific (didasarkan pada negara mana yang melaksanakan) atau time specific (didasarkan pada waktu melaksanakan) (Katz, 1966). Indonesia sebagai mantan negara koloni, dikategorikan sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara Berkembang. Label tersebut diberikan karena Indonesia dianggap sebagai sebuah negara yang memiliki keterbelakangan dalam pertumbuhan ekonomi dan laju pembangunan. Konsep ini biasanya dikenalkan oleh Negara Maju atau Negara Dunia Pertama. Sayangnya dengan hubungan seperti ini, laju pembangunan Dunia Ketiga selalu dicampur tangani dan didominiasi oleh Negara Pertama. Jadi kita tahu betul bahwa sebenarnya hubungan antara Dunia Pertama dan Ketiga memang sengaja diciptakan. Dunia Ketiga dikategorikan sebagai negara miskin dan terbelakang, sementara Dunia Pertama diberi label negara industri maju. Hubungan semacam ini sejatinya mengacu pada hubungan imperialistis (Mueller, 1987).

yang kita punya, semakin mampulah kita untuk membangun infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, jembatan, jalan aspal, dan lain sebagainya. Pertumbuhan GDP yang baik juga akan mendatangkan investor. Semakin banyak investor, semakin bertambah juga proyek-proyek yang bisa dilakukan, modal-modal baru untuk sebuah perusahaan, serta kekuatan untuk bersaing dalam kancah perekonomian internasional. Pola pikir inilah yang mendasari niatan PT. SI untuk membangun pabrik semen di Rembang.

Developmentalisme dalam negara Dunia Ketiga menjadi sebuah konsep dan alternatif yang mau tak mau harus diselenggarakan. Konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standar hidup: ia harus hadir sebagai sarana memperkuat negara, terutama melalui proses industrialisasi yang mengikuti pola seragam dari negara satu ke negara lainnya. Dalam hal ini, realitas pembangunan berkaitan erat dengan peran penting pemerintah sebagai penyelenggara. Pandangan seperti inilah yang kemudian memposisikan pemerintah sebagai subjek pembangunan dan memperlakukan rakyat sebagai objek, resipen, klien dan partisipan pembangunan.

Di balik pemerintah, bermain pula kepentingan investasi dan bisnis yang diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Nampaknya konsepsi ini diterima begitu saja oleh Indonesia tanpa kritik dan koreksi yang serius dan mendalam. Jika masyarakat mengganggu pembangunan dengan pertanyaan maupun perlawanan, niscaya pentungan akan mendarat ke kepala atau suara tersebut tidak didengarkan sama sekali.

Di Rembang, hal tersebut terlihat dengan sangat transparan. Dengan dalih pembangunan untuk negara dan masyarakat, pembangunan pabrik semen harus diprioritaskan. Pabrik semen dibangun demi menumbuhkan kepentingan regional, sektoral dan nasional yang akan meningkatkan pendapatan dan kekayaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesempatan kerja. Masyarakat yang melakukan perlawanan setahun belakangan telah berusaha melakukan pendekatan terhadap pemerintah, namun hasilnya nihil. Alih-alih ditanggapi atau didengarkan, ibu-ibu malah dikenai jotos dan tindak kekerasan oleh oknum aparat yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah.

Sekarang di Rembang, pembangunan terus berjalan dan masyarakat telah menetapkan pilihannya, yakni untuk berhadapan langsung dengan segala daya upaya menghentikan pembangunan. Kondisi ambang ini sebenarnya adalah kondisi yang sangat tidak menentu dan dihindari dalam konsep pembangunan. Pembangunan sejatinya dimaknai sebagai segala upaya untuk menciptakan proses perubahan sosial (social change) dari kondisi tertentu ke kondisi lain yang lebih baik. Dari fenomena ini saja, makna konsep pembangunan sudah dinafikan sama sekali. Masyarakat yang mengalami konflik dan tidak diperhatikan oleh pihak pembangun merupakan sebuah bukti bahwa pembangunan bukan ditujukan untuk masyarakat, tapi untuk pihak pembangun semata.

Ini adalah konsep yang sudah salah kaprah dan jelas-jelas memiliki kepentingan lain di baliknya. Secara logika, dalam hakikat konsep pembangunan bukankah masyarakat semestinya menjadi subjek? Apabila masyarakat Rembang digebuk seperti kini, bukankah ini artinya mereka hanya menjadi objek? Lalu dengan kondisi perpecahan antara pihak pembangun dan masyarakat seperti sekarang, apa yang sebenarnya menjadi faktor utamanya? Berangkat dari ide pembangunan yang membicarakan soal perubahan sosial, maka harus ditarik lebih jauh dan mengakar lagi hal-hal yang mempengaruhi dan menumbuhkan sebuah institusi sosial; yaitu budaya dan pola pikir masyarakat yang digunakan dan sedang berkembang. Faktor-faktor inilah yang menjadi inti dari perpecahan dan merupakan suatu kunci perbaikan di Rembang.

MITOS DEVELOPMENTALISMEDI REMBANGPola pikir suatu kelompok atau bangsa adalah manifestasi dari budaya yang berasal dari pola hidup dan interaksi sehari-hari dengan lingkungannya. Di sini, Rembang adalah sebuah daerah dengan manusia yang memiliki pola hidup agraris dimana sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Hal ini juga berarti bahwa masyarakatnya sangat dekat dengan alam dan memiliki ikatan batin terhadap tanahnya. Pertanian dipandang bukan hanya persoalan perut, namun juga urusan spiritual. Ia merupakan sumber pelajaran kehidupan tentang bagaimana seorang bisa menuntun dan menata hidupnya lebih baik. Pola hidup ini sudah meresap di benak setiap masyarakat dan sudah menjadi hal yang digeluti sehari-hari.

Berdasarkan hal tersebut, terciptalah tiga metode pembangunan dalam Negara Ketiga, yakni Modernisasi, Dependensi dan Pasca-Dependensi. Dalam konteks ini, negara tersebut mesti bergantung pada negara luar dan melibatkan manusia dan budayanya dalam sebuah proses pembangunan. Ketergantungan tersebut berada dalam format "neo-kolonialisme" yang diterapkan oleh negara maju terhadap negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara tersebut (Budiman, 1995). Posisi penting konsep pertumbuhan ekonomi dalam skala makro serta konsep stabilitas ekonomi dan politik secara nasional adalah turunan dari konsep tersebut.

Seperti yang terjadi di Rembang, wacana developmentalisme menjadikan pendapatan nasional sebagai tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Angka yang awam digunakan adalah angka Produk domestik bruto (GDP). Oleh karena itu peningkatan GDP sering disamakan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini logis jika dilihat secara makroskopis, dimana jika GDP meningkat maka produksi barang atau jasa dalam suatu wilayah meningkat. Produksi kemudian dikaitkan dengan keuntungan atau pertambahan devisa negara. Dengan semakin bertambahnya uang

38

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 40: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Konflik serupa semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Rembang saja, namun sudah meluas dan mulai dianggap lumrah terjadi oleh banyak pihak, termasuk masyarakat. Gejolak perlawanan semacam ini mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara yang sedang berkembang. Saking seringnya, aksi perlawanan pun sudah menjadi suatu budaya yang kental dan melekat dan menjadi norma baru di masyarakat yang menyesuaikan diri dengan era modern dan hiper-industrialisasi. Konflik biasa terjadi dengan alasan pembangunan dan selalu bersinggungan dengan elemen fundamental pembangunan, yaitu tanah dan manusia.

Tanah adalah hal paling sensitif dan sumber penghidupan manusia. Ia memiliki banyak sekali potensi baik yang ada di atas ataupun di bawahnya. Maka dari itu, klaim kepemilikan tanah seringkali mengundang konflik. Karena hal tersebut, para pembangun harus bersinggungan dengan pemilik tanah yang bersangkutan. Manusia yang hidup dan memiliki klaim atas tanah tersebut, mau tidak mau harus berkonfrontasi langsung dengan para pihak pembangun.

Pilihannya hanya dua, apabila ia setuju tanah tersebut diserahkan kepada pihak pembangun, penghidupannya yang berasal dari tanah sebelumnya harus berubah dan tergantung terhadap apa yang dibangun di atas tanah. Pilihan kedua, apabila pemilik tanah tersebut tidak setuju dengan tawaran si pembangun, ia harus siap menghadapi upaya pembangun demi menyukseskan pembangunan. Dalam pilihan ini, hanya akan terjadi dua kemungkinan, menang atau dikalahkan dalam pertarungan.

Sayangnya, pola hidup seperti itu dianggap sebuah keterbelakangan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kini. Menjadi petani bukanlah sebuah modal sosial yang baik dan disandingkan dengan istilah 'orang kampung', berpendidikan rendah dan harus diubah menjadi lebih baik seperti hidup kebanyakan orang di kota. Sempit memang. Tapi yang patut dipertanyakan adalah, dari mana sebenarnya pola pikir ini berasal? Apa hubungannya dengan konflik yang ada di Rembang?

Dalam konsep pembangunan (development), pembangunan adalah proses untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik agar masyarakat mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Acapkali pembangunan diberi pengertian sebagai proses perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (planned social change) untuk membuat suasana serta sistem baru (Subangun, 1994). Jadi, secara definitif pembangunan semestinya ditafsirkan sebagai perbaikan tata hidup secara terus menerus yang melingkupi seluruh sistem kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Konsep pembangunan melahirkan cara, gaya dan pola pikir pembangunan (Developmentalisme). Maka dari itu ideologi normatif di atas biasanya bergeser di beberapa negara.

Developmentalisme sendiri lahir dari mazhab historis pemikiran ekonomi, antara lain perspektif pemikiran klasik, neo-klasik, sosialisme, dan semacamnya. Developmentalisme biasanya didasarkan pada dua jenis, yaitu culture specific (didasarkan pada negara mana yang melaksanakan) atau time specific (didasarkan pada waktu melaksanakan) (Katz, 1966). Indonesia sebagai mantan negara koloni, dikategorikan sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara Berkembang. Label tersebut diberikan karena Indonesia dianggap sebagai sebuah negara yang memiliki keterbelakangan dalam pertumbuhan ekonomi dan laju pembangunan. Konsep ini biasanya dikenalkan oleh Negara Maju atau Negara Dunia Pertama. Sayangnya dengan hubungan seperti ini, laju pembangunan Dunia Ketiga selalu dicampur tangani dan didominiasi oleh Negara Pertama. Jadi kita tahu betul bahwa sebenarnya hubungan antara Dunia Pertama dan Ketiga memang sengaja diciptakan. Dunia Ketiga dikategorikan sebagai negara miskin dan terbelakang, sementara Dunia Pertama diberi label negara industri maju. Hubungan semacam ini sejatinya mengacu pada hubungan imperialistis (Mueller, 1987).

yang kita punya, semakin mampulah kita untuk membangun infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, jembatan, jalan aspal, dan lain sebagainya. Pertumbuhan GDP yang baik juga akan mendatangkan investor. Semakin banyak investor, semakin bertambah juga proyek-proyek yang bisa dilakukan, modal-modal baru untuk sebuah perusahaan, serta kekuatan untuk bersaing dalam kancah perekonomian internasional. Pola pikir inilah yang mendasari niatan PT. SI untuk membangun pabrik semen di Rembang.

Developmentalisme dalam negara Dunia Ketiga menjadi sebuah konsep dan alternatif yang mau tak mau harus diselenggarakan. Konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standar hidup: ia harus hadir sebagai sarana memperkuat negara, terutama melalui proses industrialisasi yang mengikuti pola seragam dari negara satu ke negara lainnya. Dalam hal ini, realitas pembangunan berkaitan erat dengan peran penting pemerintah sebagai penyelenggara. Pandangan seperti inilah yang kemudian memposisikan pemerintah sebagai subjek pembangunan dan memperlakukan rakyat sebagai objek, resipen, klien dan partisipan pembangunan.

Di balik pemerintah, bermain pula kepentingan investasi dan bisnis yang diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Nampaknya konsepsi ini diterima begitu saja oleh Indonesia tanpa kritik dan koreksi yang serius dan mendalam. Jika masyarakat mengganggu pembangunan dengan pertanyaan maupun perlawanan, niscaya pentungan akan mendarat ke kepala atau suara tersebut tidak didengarkan sama sekali.

Di Rembang, hal tersebut terlihat dengan sangat transparan. Dengan dalih pembangunan untuk negara dan masyarakat, pembangunan pabrik semen harus diprioritaskan. Pabrik semen dibangun demi menumbuhkan kepentingan regional, sektoral dan nasional yang akan meningkatkan pendapatan dan kekayaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesempatan kerja. Masyarakat yang melakukan perlawanan setahun belakangan telah berusaha melakukan pendekatan terhadap pemerintah, namun hasilnya nihil. Alih-alih ditanggapi atau didengarkan, ibu-ibu malah dikenai jotos dan tindak kekerasan oleh oknum aparat yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah.

39

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Sekarang di Rembang, pembangunan terus berjalan dan masyarakat telah menetapkan pilihannya, yakni untuk berhadapan langsung dengan segala daya upaya menghentikan pembangunan. Kondisi ambang ini sebenarnya adalah kondisi yang sangat tidak menentu dan dihindari dalam konsep pembangunan. Pembangunan sejatinya dimaknai sebagai segala upaya untuk menciptakan proses perubahan sosial (social change) dari kondisi tertentu ke kondisi lain yang lebih baik. Dari fenomena ini saja, makna konsep pembangunan sudah dinafikan sama sekali. Masyarakat yang mengalami konflik dan tidak diperhatikan oleh pihak pembangun merupakan sebuah bukti bahwa pembangunan bukan ditujukan untuk masyarakat, tapi untuk pihak pembangun semata.

Ini adalah konsep yang sudah salah kaprah dan jelas-jelas memiliki kepentingan lain di baliknya. Secara logika, dalam hakikat konsep pembangunan bukankah masyarakat semestinya menjadi subjek? Apabila masyarakat Rembang digebuk seperti kini, bukankah ini artinya mereka hanya menjadi objek? Lalu dengan kondisi perpecahan antara pihak pembangun dan masyarakat seperti sekarang, apa yang sebenarnya menjadi faktor utamanya? Berangkat dari ide pembangunan yang membicarakan soal perubahan sosial, maka harus ditarik lebih jauh dan mengakar lagi hal-hal yang mempengaruhi dan menumbuhkan sebuah institusi sosial; yaitu budaya dan pola pikir masyarakat yang digunakan dan sedang berkembang. Faktor-faktor inilah yang menjadi inti dari perpecahan dan merupakan suatu kunci perbaikan di Rembang.

MITOS DEVELOPMENTALISMEDI REMBANGPola pikir suatu kelompok atau bangsa adalah manifestasi dari budaya yang berasal dari pola hidup dan interaksi sehari-hari dengan lingkungannya. Di sini, Rembang adalah sebuah daerah dengan manusia yang memiliki pola hidup agraris dimana sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Hal ini juga berarti bahwa masyarakatnya sangat dekat dengan alam dan memiliki ikatan batin terhadap tanahnya. Pertanian dipandang bukan hanya persoalan perut, namun juga urusan spiritual. Ia merupakan sumber pelajaran kehidupan tentang bagaimana seorang bisa menuntun dan menata hidupnya lebih baik. Pola hidup ini sudah meresap di benak setiap masyarakat dan sudah menjadi hal yang digeluti sehari-hari.

Berdasarkan hal tersebut, terciptalah tiga metode pembangunan dalam Negara Ketiga, yakni Modernisasi, Dependensi dan Pasca-Dependensi. Dalam konteks ini, negara tersebut mesti bergantung pada negara luar dan melibatkan manusia dan budayanya dalam sebuah proses pembangunan. Ketergantungan tersebut berada dalam format "neo-kolonialisme" yang diterapkan oleh negara maju terhadap negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara tersebut (Budiman, 1995). Posisi penting konsep pertumbuhan ekonomi dalam skala makro serta konsep stabilitas ekonomi dan politik secara nasional adalah turunan dari konsep tersebut.

Seperti yang terjadi di Rembang, wacana developmentalisme menjadikan pendapatan nasional sebagai tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Angka yang awam digunakan adalah angka Produk domestik bruto (GDP). Oleh karena itu peningkatan GDP sering disamakan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini logis jika dilihat secara makroskopis, dimana jika GDP meningkat maka produksi barang atau jasa dalam suatu wilayah meningkat. Produksi kemudian dikaitkan dengan keuntungan atau pertambahan devisa negara. Dengan semakin bertambahnya uang

Page 41: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Konflik serupa semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Rembang saja, namun sudah meluas dan mulai dianggap lumrah terjadi oleh banyak pihak, termasuk masyarakat. Gejolak perlawanan semacam ini mulai bermunculan di berbagai daerah di Indonesia sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara yang sedang berkembang. Saking seringnya, aksi perlawanan pun sudah menjadi suatu budaya yang kental dan melekat dan menjadi norma baru di masyarakat yang menyesuaikan diri dengan era modern dan hiper-industrialisasi. Konflik biasa terjadi dengan alasan pembangunan dan selalu bersinggungan dengan elemen fundamental pembangunan, yaitu tanah dan manusia.

Tanah adalah hal paling sensitif dan sumber penghidupan manusia. Ia memiliki banyak sekali potensi baik yang ada di atas ataupun di bawahnya. Maka dari itu, klaim kepemilikan tanah seringkali mengundang konflik. Karena hal tersebut, para pembangun harus bersinggungan dengan pemilik tanah yang bersangkutan. Manusia yang hidup dan memiliki klaim atas tanah tersebut, mau tidak mau harus berkonfrontasi langsung dengan para pihak pembangun.

Pilihannya hanya dua, apabila ia setuju tanah tersebut diserahkan kepada pihak pembangun, penghidupannya yang berasal dari tanah sebelumnya harus berubah dan tergantung terhadap apa yang dibangun di atas tanah. Pilihan kedua, apabila pemilik tanah tersebut tidak setuju dengan tawaran si pembangun, ia harus siap menghadapi upaya pembangun demi menyukseskan pembangunan. Dalam pilihan ini, hanya akan terjadi dua kemungkinan, menang atau dikalahkan dalam pertarungan.

Sayangnya, pola hidup seperti itu dianggap sebuah keterbelakangan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia kini. Menjadi petani bukanlah sebuah modal sosial yang baik dan disandingkan dengan istilah 'orang kampung', berpendidikan rendah dan harus diubah menjadi lebih baik seperti hidup kebanyakan orang di kota. Sempit memang. Tapi yang patut dipertanyakan adalah, dari mana sebenarnya pola pikir ini berasal? Apa hubungannya dengan konflik yang ada di Rembang?

Dalam konsep pembangunan (development), pembangunan adalah proses untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik agar masyarakat mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Acapkali pembangunan diberi pengertian sebagai proses perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (planned social change) untuk membuat suasana serta sistem baru (Subangun, 1994). Jadi, secara definitif pembangunan semestinya ditafsirkan sebagai perbaikan tata hidup secara terus menerus yang melingkupi seluruh sistem kehidupan menuju kondisi yang lebih baik. Konsep pembangunan melahirkan cara, gaya dan pola pikir pembangunan (Developmentalisme). Maka dari itu ideologi normatif di atas biasanya bergeser di beberapa negara.

Developmentalisme sendiri lahir dari mazhab historis pemikiran ekonomi, antara lain perspektif pemikiran klasik, neo-klasik, sosialisme, dan semacamnya. Developmentalisme biasanya didasarkan pada dua jenis, yaitu culture specific (didasarkan pada negara mana yang melaksanakan) atau time specific (didasarkan pada waktu melaksanakan) (Katz, 1966). Indonesia sebagai mantan negara koloni, dikategorikan sebagai Negara Dunia Ketiga atau Negara Berkembang. Label tersebut diberikan karena Indonesia dianggap sebagai sebuah negara yang memiliki keterbelakangan dalam pertumbuhan ekonomi dan laju pembangunan. Konsep ini biasanya dikenalkan oleh Negara Maju atau Negara Dunia Pertama. Sayangnya dengan hubungan seperti ini, laju pembangunan Dunia Ketiga selalu dicampur tangani dan didominiasi oleh Negara Pertama. Jadi kita tahu betul bahwa sebenarnya hubungan antara Dunia Pertama dan Ketiga memang sengaja diciptakan. Dunia Ketiga dikategorikan sebagai negara miskin dan terbelakang, sementara Dunia Pertama diberi label negara industri maju. Hubungan semacam ini sejatinya mengacu pada hubungan imperialistis (Mueller, 1987).

yang kita punya, semakin mampulah kita untuk membangun infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, jembatan, jalan aspal, dan lain sebagainya. Pertumbuhan GDP yang baik juga akan mendatangkan investor. Semakin banyak investor, semakin bertambah juga proyek-proyek yang bisa dilakukan, modal-modal baru untuk sebuah perusahaan, serta kekuatan untuk bersaing dalam kancah perekonomian internasional. Pola pikir inilah yang mendasari niatan PT. SI untuk membangun pabrik semen di Rembang.

Developmentalisme dalam negara Dunia Ketiga menjadi sebuah konsep dan alternatif yang mau tak mau harus diselenggarakan. Konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standar hidup: ia harus hadir sebagai sarana memperkuat negara, terutama melalui proses industrialisasi yang mengikuti pola seragam dari negara satu ke negara lainnya. Dalam hal ini, realitas pembangunan berkaitan erat dengan peran penting pemerintah sebagai penyelenggara. Pandangan seperti inilah yang kemudian memposisikan pemerintah sebagai subjek pembangunan dan memperlakukan rakyat sebagai objek, resipen, klien dan partisipan pembangunan.

Di balik pemerintah, bermain pula kepentingan investasi dan bisnis yang diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Nampaknya konsepsi ini diterima begitu saja oleh Indonesia tanpa kritik dan koreksi yang serius dan mendalam. Jika masyarakat mengganggu pembangunan dengan pertanyaan maupun perlawanan, niscaya pentungan akan mendarat ke kepala atau suara tersebut tidak didengarkan sama sekali.

Di Rembang, hal tersebut terlihat dengan sangat transparan. Dengan dalih pembangunan untuk negara dan masyarakat, pembangunan pabrik semen harus diprioritaskan. Pabrik semen dibangun demi menumbuhkan kepentingan regional, sektoral dan nasional yang akan meningkatkan pendapatan dan kekayaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesempatan kerja. Masyarakat yang melakukan perlawanan setahun belakangan telah berusaha melakukan pendekatan terhadap pemerintah, namun hasilnya nihil. Alih-alih ditanggapi atau didengarkan, ibu-ibu malah dikenai jotos dan tindak kekerasan oleh oknum aparat yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah.

Sekarang di Rembang, pembangunan terus berjalan dan masyarakat telah menetapkan pilihannya, yakni untuk berhadapan langsung dengan segala daya upaya menghentikan pembangunan. Kondisi ambang ini sebenarnya adalah kondisi yang sangat tidak menentu dan dihindari dalam konsep pembangunan. Pembangunan sejatinya dimaknai sebagai segala upaya untuk menciptakan proses perubahan sosial (social change) dari kondisi tertentu ke kondisi lain yang lebih baik. Dari fenomena ini saja, makna konsep pembangunan sudah dinafikan sama sekali. Masyarakat yang mengalami konflik dan tidak diperhatikan oleh pihak pembangun merupakan sebuah bukti bahwa pembangunan bukan ditujukan untuk masyarakat, tapi untuk pihak pembangun semata.

Ini adalah konsep yang sudah salah kaprah dan jelas-jelas memiliki kepentingan lain di baliknya. Secara logika, dalam hakikat konsep pembangunan bukankah masyarakat semestinya menjadi subjek? Apabila masyarakat Rembang digebuk seperti kini, bukankah ini artinya mereka hanya menjadi objek? Lalu dengan kondisi perpecahan antara pihak pembangun dan masyarakat seperti sekarang, apa yang sebenarnya menjadi faktor utamanya? Berangkat dari ide pembangunan yang membicarakan soal perubahan sosial, maka harus ditarik lebih jauh dan mengakar lagi hal-hal yang mempengaruhi dan menumbuhkan sebuah institusi sosial; yaitu budaya dan pola pikir masyarakat yang digunakan dan sedang berkembang. Faktor-faktor inilah yang menjadi inti dari perpecahan dan merupakan suatu kunci perbaikan di Rembang.

MITOS DEVELOPMENTALISMEDI REMBANGPola pikir suatu kelompok atau bangsa adalah manifestasi dari budaya yang berasal dari pola hidup dan interaksi sehari-hari dengan lingkungannya. Di sini, Rembang adalah sebuah daerah dengan manusia yang memiliki pola hidup agraris dimana sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Hal ini juga berarti bahwa masyarakatnya sangat dekat dengan alam dan memiliki ikatan batin terhadap tanahnya. Pertanian dipandang bukan hanya persoalan perut, namun juga urusan spiritual. Ia merupakan sumber pelajaran kehidupan tentang bagaimana seorang bisa menuntun dan menata hidupnya lebih baik. Pola hidup ini sudah meresap di benak setiap masyarakat dan sudah menjadi hal yang digeluti sehari-hari.

Berdasarkan hal tersebut, terciptalah tiga metode pembangunan dalam Negara Ketiga, yakni Modernisasi, Dependensi dan Pasca-Dependensi. Dalam konteks ini, negara tersebut mesti bergantung pada negara luar dan melibatkan manusia dan budayanya dalam sebuah proses pembangunan. Ketergantungan tersebut berada dalam format "neo-kolonialisme" yang diterapkan oleh negara maju terhadap negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara tersebut (Budiman, 1995). Posisi penting konsep pertumbuhan ekonomi dalam skala makro serta konsep stabilitas ekonomi dan politik secara nasional adalah turunan dari konsep tersebut.

Seperti yang terjadi di Rembang, wacana developmentalisme menjadikan pendapatan nasional sebagai tolak ukur kesejahteraan masyarakat. Angka yang awam digunakan adalah angka Produk domestik bruto (GDP). Oleh karena itu peningkatan GDP sering disamakan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini logis jika dilihat secara makroskopis, dimana jika GDP meningkat maka produksi barang atau jasa dalam suatu wilayah meningkat. Produksi kemudian dikaitkan dengan keuntungan atau pertambahan devisa negara. Dengan semakin bertambahnya uang

40

Argumen pertumbuhan tersebut sebenarnya hanyalah sebuah bentuk dikte dari negara Dunia Pertama yang meletakkan paradigma pertumbuhan sebagai variabel penting dalam tujuan pembangunan. Kemudian oleh Pemerintah, dikte tersebut dibangun dalam negaranya sendiri—yang kemudian lebih dikenal dengan Developmentalisme ala Negara Dunia Ketiga. Jika kita menilik persoalan di Rembang, meskipun sudah ada 4 perusahaan dan industri pertambangan di Rembang seperti milik PT Bangun Artha, PT Amir Hajar Kilsi, PT United Tractors Semen Gresik dan PT Kurnia Artha Pratiwi, apakah Desa Tegaldowo, Pasucen, Bitingan, Suntri dan Timbrangan mengalami kemajuan dalam pembangunan desanya?

Nyatanya, ekonomi yang dijanjikan hanya dirasakan oleh segelintir pihak saja. Pekerjaan yang selalu mengimingi warga hanya bisa dirasakan oleh mereka yang lulusan SMA atau sederajat. Padahal sebagian besar warganya banyak yang tidak sekolah atau hanya lulus SD. Pekerjaan memang didapatkan, tapi hanya sebatas satpam dan pekerja konstruksi. Lalu apakah bekerja seperti itu berpenghasilan lebih besar daripada bertani? Apa untungnya apabila pertambangan semen dating dan menutupi lahan pertanian mereka? Lalu siapa yang paling diuntungkan dari pembangunan semen di Rembang ini?

Dengan mengaplikasikan developmentalisme ala Dunia Ketiga di Rembang, konsep Modernisasi, Dependensi, dan Pasca-Dependensi diterapkan ke dalam masyarakatnya sendiri. Dengan paradigma tersebut, wajar apabila masyarakat Rembang yang sebagian besar petani dilabeli sebagai 'masyarakat tradisional' yang harus dimodernisasi. Kemudian ia harus dikenalkan dengan sistem dan budaya industri. Tanahnya disulap menjadi industri besar-besaran dengan menawarkan pekerjaan sebagai ganti kerja cocok tanamnya. Sehingga masyarakat yang dari dulu menggantungkan hidupnya terhadap tanah menjadi dependen kepada pihak pembangun dan Pemerintah.

Telinga masyarakat Rembang tidak boleh bosan dengan suguhan pihak PT SI mengenai kesejahteraan ekonomi dan pernyataan "bahwa pertanian tidak memberikan kesejahteraan dibandingkan pertambangan". Misalnya seperti yang diungkapkan Budi Sulistyo, seorang pakar ITB yang menjadi peneliti untuk studi kelayakan operasional tambang PT SI di Rembang. Dalam tulisannya di Suara Merdeka, ia menyatakan, “Sebenarnya ada upaya lain yang juga cerdas, yakni mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan generasi muda, menjadi budaya industri yang

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 42: Berebut Berkah Tanah Kendeng

41

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

mengandalkan keahlian”. Kalimat tersebut memperlihatkan bahwa usaha pertanian memang dianggap tidak menjanjikan kesejahteraan dan merupakan cara tradisional untuk mendapatkan uang. Solusi mengentaskan kemiskinan memang paling baik disinyalir olehnya adalah lewat industri, dan dalam hal ini pertambangan semen yang akan dilakukan oleh PT SI di Rembang.

Kita tahu produksi semen domestik dapat pula memenuhi permintaan semen di pasar internasional. Dengan itu Indonesia bisa membeli produk-produk yang tidak ada di pasar domestik. Keterlibatan dalam perdagangan internasional dianggap kunci untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang bagi Indonesia. Melalui hal tersebut, konsep pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai alat ukur dan parameter keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan masyrakatnya. Developmentalisme ala Dunia Ketiga membuat legitimasi pembangunan pada mekanisme pasar, alih teknologi, angka Gross National Product (GNP), Gross Domestic Product (GDP), 'pembangunan demi negara' dan pembenaran tingkah laku serta gaya hidup modern. lewat industri besar seperti semen di Rembang , sukseslah Indonesia dalam memperlihatkan diri sebagai negara modern dan dipandang pasar internasional melalui produk semen domestik.

Diskusi dan istighosah warga

Page 43: Berebut Berkah Tanah Kendeng

42

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Pemerintah dan PT SI disini justru bertindak dengan pola pikir developmentalisme yang melenceng dari hakikatnya, sehingga menimbulkan perlawanan. Pola pikir pembangunan tak bisa disamakan dengan developmentalisme, karena prioritasnya sudah tentu beda, apalagi dengan developmentalisme ala Dunia Ketiga. Pembangunan semestinya dilakukan dengan pendekatan kepada faktor manusianya dan menciptakan kondisi yang bisa memungkinkan masyarakat menikmati kesejahteraan hidup yang lebih baik. Pembangunan justru seharusnya dapat menghasilkan solidaritas baru yang mengakar ke bawah. Ia memperhatikan keragaman budaya, lingkungan serta menjunjung tinggi martabat dan kebebasan manusia dan masyarakat.

Maka, jangan sampai developmentalisme melakukan pembangunan pertambangan semen untuk menyembunyikan hal yang lebih mendasar—apalagi menjadi biang keladi dan sumber masalah yang justru meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran. Sebab pembangunan yang sekarang sedang berjalan malah menciptakan masalah struktural dan konflik horizontal yang ada di masyarakat. Warga jadi sibuk berdemo, bukannya fokus kembali menghidupi diri untuk pertanian. Hasil pertanian mereka gunakan untuk membiayai kelompok menyuarakan suara pada pihak pembangun. Perseteruan antara warga dan hilangnya kesejahteraan bukan masalah ekonomi semata, tapi berkaitan dengan kesejahteraan lingkungan, psikologi, fiskal dan spiritual. Bukankah kasus Rembang ini menunjukkan bahwa pembangunan yang terjadi menafikan esensi pembangunan itu sendiri? Jangan sampai pembangunan pabrik semen di Rembang menjadi sebatas euforia jangka pendek demi mengikuti pasar internasional dan malah melupakan rakyat kita sendiri.

Page 44: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

SOSIAL / PSIKOLOGI

GIOVANNI DESSY

DAMPAK SOSIALDAN PSIKOLOGI

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, rencana pendirian situs tambang semen PT SI menimbulkan ketegangan karena kurangnya konsultasi partisipatoris dari perusahaan dan pemerintah terhadap masyarakat setempat terkait pembangunan dan operasional pabrik. Pertidaksetujuan yang berakar dari masalah akuisisi lahan hingga kegagalan PT SI untuk meyakinkan masyarakat terkait resiko-resiko instalasi menjadi kian tensional dengan kehadiran aparat keamanan dan penggunaan kekuatan (use of force) dalam aksi-aksi protes.

Ketegangan, ancaman, dan intimidasi yang mewarnai konflik tersebut menyebabkan dampak-dampak sosial-psikologis bagi masyarakat lokal. Situasi yang kian hari kian memanas ini merupakan akumulasi dari berbagai faktor, termasuk ketakutan karena adanya keterlibatan aparat keamanan, baik polisi, tentara, intelijen, maupun preman bayaran serta fragmentasi horizontal antara kelompok masyarakat pro tambang semen dan kelompok masyarakat yang melakukan perlawanan. Kondisi semacam inilah yang memperbesar ketidakpercayaan antar aktor sehingga intensi kooperasi dan resolusi menjadi tersendat. Dari sini kita akan berfokus pada penaksiran dampak sosial dan psikologi yang terjadi pada desa-desa Ring 1 pembangunan pabrik semen PT.SI di kecamatan Gunem.

43

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Page 45: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Hal tersebut mengindikasikan bahwa jawaban muncul karena adanya kepentingan mereka yang dirasa tidak didengarkan ataupun tidak terkomunikasikan dengan baik. Bagi beberapa yang setuju dengan pembangunan pabrik, mereka menjawab "Saya setuju dengan pembangunan, karena akan memajukan daerah saya dan memberi saya pekerjaan". Jawaban tersebut muncul beberapa kali dengan keseragaman, mengindikasikan bahwa mereka merasa pembangunan ini akan berdampak baik bagi dirinya maupun daerahnya.

Berbagai jawaban itu lalu umum disebut sebagai opini publik, tetapi kenapa opini tersebut tidak juga seragam? Justru berbeda-beda dengan kutub yang berlawanan? Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada beberapa masyarakat yang terfragmentasi dari kebijakan politik yang telah diputuskan dan terpisah dari informasi yang beredar secara kepentingan seharusnya. Masyarakat yang menolak ataupun tidak tahu menahu, berarti memang tidak terdidik dengan baik apabila disesuaikan dengan realitas fakta kepentingan yang ingin diwujudkan di Rembang, yaitu pembangunan pabrik semen yang lancar. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis oleh Pemerintah dan Pengusaha, maka akan terjadi proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commonness in meaning) tentang fakta dan kepentingan politik. Tidak lancarnya komunikasi tersebut mau tak mau melahirkan konsekuensi dan akibat politik yang mempengaruhi perilaku politik. Konflik, berdirinya lembaga perlawanan dan penyerangan terhadap institusi politik juga sekali lagi harus dimaklumi karena adanya cacat komunikasi politik baik oleh Pemerintah ataupun Pengusaha.

Apabila kebersamaan makna politik publik bisa dijaga, Pemerintah ataupun Perusahaan tidak akan terganggu kepentingannya, sayangnya hal ini sudah tidak bisa lagi menjadi antisipasi tindakan namun harus ditemukan solusi pemecahannya. Pemerintah pasti mengerti, bahwa komunikasi politik adalah sebagai bentuk penyampaian pesan yang disusun secara sengaja dan terencana untuk memperoleh pengaruh terhadap penyebaran atau penggunaan power (kekuasaan) di tengah masyarakat. Malangnya, pengertian itu tidak terlaksana di lapangan secara teknis. Masyarakat sekarang justru berperang dengan institusi politik Pemerintah dan Penguasa. Mereka yang seharusnya sebagai pihak pemegang Hegemonic Communication dilemahkan kuasanya akibat cara mereka sendiri (Laswell, 1935).

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

Komunikasi politik dari masyarakat terhadap Ganjar bahkan pernah secara terang-terangan dilakukan di hadapan Ganjar sendiri. Ketika ia hadir di tapak pabrik untuk bertemu dengan warga yang berdemo, beberapa warga tampak tidak mau bersalaman dengannya meskipun Ganjar sudah melonjorkan tangan tanda niat bersalaman. Di situ terlihat jelas bahwa warga menentukan sikap politiknya dan mengkomunikasikannya terhadap Ganjar, sebagai sinyal bahwa masyarakat berpisah dengan pemimpinnya. Hal serupa juga terjadi kepada Suyanto (Kepala Desa Tegaldowo) dan Teguh Gunawarman (Camat Gunem) yang memberikan jawaban seperti yang Ganjar berikan saat warga menanyakan perihal pembangunan pabrik semen. Aktor politik sisanya seperti H. Abdul Hafidz (Wakil Bupati) dan Sunarto (Ketua DPRD Rembang) yang mengkonfrontasi warga dengan saran agar mendukung pembangunan pabrik semen terhadap warga yang menolak hanya memperkeruh suasana politik dan memperluas jarak di antara mereka.

Sekarang sama dimengerti bahwa bentuk perlawanan dan terpisahnya masyarakat dari pemimpinnya adalah sebuah objek komunikasi politik yang dihasilkan (political outcomes) dari ketidak-berfungsinya sistem komunikasi politik. Padahal, dalam komunikasi politik sebagian besar kuncinya bukan saja permainan kata-kata, efektifitas komunikasi, dan bentuk penjelasan bahasa politik. Melainkan substansi informasi yang dihadirkan, sehingga menjadi sebuah setting dan makna yang sama ketika kebijakan politik dilaksanakan (Graber, 1981). Lalu apa substansi informasi yang dihadirkan di Rembang? Sebenarnya hampir tidak ada sama sekali, karena pihak Pemerintah dan Penguasa seakan menutup-nutupi informasi terhadap masyarakat luas, dan menyeleksi masyarakat yang akan bekerja sama menyukseskan kepentingan tersebut.

Dalam setiap pesan dari komunikasi politik yang dilakukan, dapat ditelaah sebuah makna yang merupakan wujud dari motif komunikasi: apa yang ia pikir dan rasakan tergantung pengalaman-pengalaman sebelumnya baik pesan verbal ataupun nonverbal (Vardiansyah, 2004). Melihat pola komunikasi Pemerintah dan Penguasa dengan menyeleksi masyarakat yang menerima pesannya, justru menyingkapkan motif mereka. Bahwa Pemerintah dan Penguasa membutuhkan keputusan yang diburu-buru, dan juga sebuah sikap takut atau traumatik terhadap penolakan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini bisa ditinjau dari pengalaman PT SI (yang sebelumnya PT Semen Gresik) di Pati yang

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

CACAT KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAH

PENGUSAHA VS MASYARAKAT

Setelah penguraian kerja politik dan implikasinya yang buruk, dipahami bahwa salah satu permasalahannya adalah dari komunikasi politik yang cacat dan memperburuk relasi antar aktor politik. Padahal, dalam pembangunan skala besar semestinya dilakukan komunikasi politik yang baik, sebab pada dasarnya konflik politik terjadi hanya karena adanya komunikasi yang terputus di antara aktor politik sehingga tidak terjadi keseragaman ataupun kesepakatan yang menjadi satu artikulasi kepentingan bersama.

Mengapa komunikasi politik dalam pembangunan sangat diperlukan? Karena pada dasarnya ia memiliki lima fungsi dasar: (1) memberikan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, (2) mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada, (3) menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk public opinion dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat, (4) Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan institusi politik, dan (5) membantu agar kebijakan dan program institusi politik dapat disalurkan (McNair, 1995). Namun dalam keberjalanan komunikasi politik yang ideal tersebu, malah cacat di tengah perjalanannya.

Contoh yang paling mudah adalah, setelah diambil beberapa sampel dari kelompok masyarakat, lalu ditanyakan hal yang sama: "Bagaimana tanggapan saudara terhadap pembangunan pabrik semen?" atau "Bagaimana anda dapat mengetahui adanya pembangunan pabrik semen?". "Tidak tahu" adalah jawaban yang sangat sering ditemukan, mengindikasikan bahwa ia tidak tahu menahu dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Atau beberapa masyrakat yang menolak dengan tegas mengatakan "Saya menolak pabrik semen, alasannya karena pertanian kami... nasib anak cucu kami... kami tidak pernah diberitahu akan ada pertambangan". Berbagai alasan lain pun bergulir dan banyak sekali macamnya.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

44

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Namun hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, pihak pemerintah atau institusi politik menyembunyikan beberapa informasi dengan memisah-misahkan receiver (penerima pesan) dalam jalur komunikasi politik. Kedua, medium penyampai pesan tidak menyesuaikan fakta yang ada dengan kebijakan politik yang dibuat sehingga pesan tidak transparan dan multiinterpretasi. Ketiga, bahasa komunikasi politik tidak menyesuaikan dengan para receiver, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan dan pesan yang diterima.

Sebagai contoh fakta di Rembang, Ganjar Pranowo dianggap sebagai seorang politis yang culas akibat komunikasi politiknya yang dianggap tidak efektif (Dwicipta, 2014). Ketika Ganjar dihujat beramai-ramai di media sosial Twitter ketika ia memberikan pernyataan dalam audiensi dengar pendapat di tapak pabrik semen. Ganjar secara innocent menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa sebelumnya soal Rembang, padahal secara logika kebijakan politik, surat tembusan haruslah melalui Ganjar. Ganjar juga diketahui menyeleksi orang yang akan melakukan audiensi dengannya. Ganjar dalam audiensi menanyai orang-orang yang ingin bertemu dia, kalau bukan warga asli Rembang ia tidak mau meladeni. Komunikasi politik yang coba dijalin menjadi tidak efektif, karena Ganjar seperti memisahkan para penerima pesan politiknya, sehingga wajarlah terjadi penolakan oleh beberapa warga ataupun masyarakat luas yang tidak menerima informasi tersebut.

sempat hengkang dari tapak pabriknya karena dikalahkan oleh gugatan warga yang menolak. Sehingga dalam proses politik yang terjadi di Rembang, Pengusaha tidak ingin hal serupa terulang, maka dari itu ia melakukan pola komunikasi politik yang tidak etis tersebut.

Masyarakat sendiri menolak karena didasari motif berupa pengalaman buruk terhadap perusahaan tambang skala kecil yang sebelumnya telah berada di kawasan mereka. Berkurangnya air, debu yang dihasilkan transportasi pabrik dan menutupi pertanian mereka dan menyebabkan rusaknya tanaman, melakukan aksi penolakan tapi tidak didengarkan oleh pihak perusahaan. Merupakan hasil akumulasi pengalaman yang menjadi motif mereka melakukan penolakan besar-besaran, berhubung perusahaan tambang yang didirikan berskala besar. Menyebabkan ketakutan masyarakat yang besar akan kerusakan yang terjadi di wilayah mereka.

Masyarakat yang pro terhadap pembangunan semen pun motifnya jelas, bahwa rata-rata dari mereka adalah pejabat desa ataupun warga yang selalu diseleksi sebelumnya dan memahami mengapa pembangunan pabrik semen perlu didirikan dan apa dampak terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani, kebanyakan tanahnya adalah tanah yang ditawari akan dibeli oleh perusahaan. Maka dengan ini, jelas pula motif dari aktor-aktor yang terlibat dalam komunikasi politik di Rembang.

Hal ini membuat menemukan bagaimana solusi pemecahan masalahnya secara politis pun sulit, karena sampai sekarang pihak Pemerintah dan Pengusaha masih belum mau turun tangan untuk membenahi tuntutan masyarakat. Masyarakat yang menolak juga seakan dipersulit untuk melakukan komunikasi karena mereka harus memiliki kekuatan hukum yang sama sebelumnya. Maka perseteruan ini hanyalah berujung di Pengadilan. Kubu-kubu ini haruslah mau bekerja sama dalam interaksi politik untuk dapat mempertemukan kepentingan mereka. Namun, hal ini memang benar-benar sulit dilakukan, berhubung komunikasi politik yang sebagian besar dilakukan oleh Pemerintah dan Pengusaha dari awalnya pun sudah tidak memiliki etika dalam berpolitik.

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Page 46: Berebut Berkah Tanah Kendeng

04

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

45

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Page 47: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

0446

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 48: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

04

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

47

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Page 49: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pada kenyataanya, kehadiran wacana pembangunan pabrik semen ini membagi komunitas menjadi fragmen-fragmen (belum lagi cerita tipikal tentang pejabat-pejabat lokal yang mengambil keuntungan dari konflik yang menciptakan wahana konflik tersendiri). Ada kelompok-kelompok yang menyetujui impian kemajuan dari modernisasi dan industrialisasi. Kelompok masyarakat pro-semen ini mendukung percepatan pembangunan pabrik agar lapangan pekerjaan baru segera terbuka. Namun di sisi lain, kelompok-kelompok kontra bermunculan. Perubahan paksa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat setempat karena dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis dan mencederai nilai-nilai kultural masyarakat. Pada tanggal 25 September 2014, misalnya massa beramai-ramai berdemonstrasi untuk mendukung pendirian PT. SI di depan Kantor Bupati Rembang, hanya berselang dua hari setelah massa anti pendirian semen melakukan aksi pada tanggal 23 September 2014 (Suara Merdeka, 2015). Dalam film Samin vs Semen (2015), nampak warung makan memajang spanduk besar bertuliskan “warung makan pro-semen”. Sementara di sudut lain nampak mural bertajuk “Tolak Pabrik Semen”.

PENAKSIRAN DAMPAK PSIKOLOGI

PSIKOLOGI - SOSIAL KONFLIK REMBANGMenurut tulisan C. Seymour (2003), dimensi-dimensi dalam dampak psikologi-sosial konflik adalah (1)sejarah, (2)persepsi, dan (3)identitas. Berdasarkan dimensi-dimensi ini, pengetahuan akan sejarah, pembangunan kesadaran dan empati, menyesuaikan legitimasi, dan memetakan ketakutan menjadi kunci-kunci resolusi konflik. Analisis mengenai dampak psikologi terhadap masyarakat dalam konflik Rembang akan pertama-tama dipaparkan melalui dimensi-dimensi ini.

Setelah mengetahui adanya rencana pembangunan pabrik semen, perbandingan terhadap kasus-kasus dalam sejarah konflik pertambangan pun muncul, misalnya kasus Freeport di Papua dan kasus PT.SI sendiri di Tuban. Sejarah konflik yang dimenangkan oleh perusahaan tambang menunjukkan bahwa pertambangan menggusur warga lokal. Janji-janji perusahaan untuk mempekerjakan warga setempat seringkali tidak terpenuhi karena warga pendatanglah yang kemudian dapat memenuhi kualifikasi formal yang dibutuhkan perusahaan. Selain permaasalahan ekonomi-sosial, pelajaran dari kasus-kasus lalu menunjukkan

Analisis selanjutnya adalah ketakutan yang meruap di masyarakat akibat wacana pendirian pabrik semen serta ketegangan akibat konflik. Analisis ini nantinya akan berkaitan dengan konsultasi non partisipatoris dan kegagalan prosedur penanganan keluhan (grievance-handling procedures) yang diselenggarakan oleh PT. SI dan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan dalam rekam kronologis, WIUP melalui Surat Keputusan Bupati tentang pemberian izin lokasi kepada PT.SI tidak dikonsultasikan terlebih dahulu dengan masyarakat setempat. Kepala desa dan pihak kecamatan yang didatangi oleh warga pun tidak memberikan jawaban yang pasti.

Kegagalan prosedur penanganan keluhan pun pada akhirnya memperburuk situasi. Konsultasi dan simposium yang diselenggarakan PT. SI tidak mampu meredam keluhan dan kekhawatiran pihak kontra karena masih berlandas pada pola pikir neoklasik modernis yang terbukti gagal dalam berbagai kasus di masa lalu. Di sisi lain, janji DPRD Rembang untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) demi menyelesaikan kasus tersebut belum juga terlaksana. Kedatangan warga untuk mengkonfirmasi dan mendiskusikan situasi tersebut pun seringkali ditanggapi dengan intimidasi hingga ancaman penculikan. Tuduhan dan intimidasi dari pemerintah desa terhadap Paguyuban Katentreman, misalnya, merupakan salah satu pemicu ketegangan sosial-psikologis. Paguyuban yang pada faktanya membahas tentang pengembangan pertanian, pemberantasan hama, pemupukan dan produktivitas desa dituduh mengorganisir perlawanan terhadap pemerintah desa. Upaya penangkapan polisi atas Luthfi dari LBH Semarang, Gun Retno dari Pati atas tuduhan provokator, dan Joko Priyanto pada 16 Juni 2014 merupakan contoh lain betapa keterlibatan aparat keamanan memperuncing ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah dan perusahaan. Tindakan polisi dalam pengepungan tenda ibu-ibu petani yang tengah melakukan protes juga menimbulkan ketakutan psikologis yang nampak dalam tangisan di tengah wiridan mereka.

Di sisi lain, warga kontra juga melakukan cara-cara intimidatif untuk menunjukkan perlawanan sehingga pihak PT.SI dan pro semen juga merasakan ancaman. Misalnya, pada tanggal 19 September 2013, Ketua DPRD Rembang, Sunarto beserta sang wakil Catur Winarto, perangkat desa Tegaldowo, serta perangkat keamanan yang mendatangi rumah terduga pro semen diketahui oleh warga. Semua masjid pun akhirnya menyuarakan “Tolak Pabrik Semen!” di masing-masing pengeras suaranya sehingga seluruh perangkat desa dan DPRD melarikan diri dari Desa Tegaldowo.

PENAKSIRAN DAMPAK SOSIAL

FRAGMENTASI KOMUNITAS

Dampak-dampak yang dialami oleh masyarakat situs proyek dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain situasi awal, rancangan proses pembangunan tambang, peranan pemerintah, dan perubahan sosial yang tengah berjalan (Joyce&MacFarlane, 2001). Sebagai gambaran situasi awal, masyarakat desa-desa di kecamatan Gunem sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Karenanya, struktur sosialnya terbentuk dalam paguyuban-paguyuban tani untuk berbagi pengalaman seputar pemupukan, pemberantasan hama, kesuburan tanah, dan hasil panen. Dinamika sosial ini mencerminkan tradisi agraris yang kental dalam kehidupan masyarakat setempat. Kearifan sosial masyarakat agraris juga terefleksi dalam aktivitas barter hasil panen.

Sebaliknya, logika PT SI dan pemerintah memproyeksikan bahwa dengan adanya kebangkitan ekonomi dan industrialisasi, masyarakat setempat akan mengalami pula kemajuan dinamika sosial. Kepala Biro Humas PT SI Abimanyu mengatakan bahwa usaha kuliner, kontrakan, atau kos-kosan terbilang prospektif menjelang berdirinya pabrik semen (mataairradio, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Budi Sulistyo: “...mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri yang mengandalkan keahlian (Ardianto, 2015). Paradigma semacam ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pertanian merupakan bidang yang tidak membutuhkan keahlian dan tidak menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup masyarakat industri.

48

bahwa reklamasi lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang tidak sebanding dengan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan. Warga Samin yang memiliki pengalaman penolakan pabrik semen PT.SI di Pati pun turut terlibat sebagai aktor ketika mendukung warga yang kontra terhadap tambang semen. Respon dan kekhawatiran akan adanya fakta-fakta historis kasus sebelumnya inilah yang menjadi latar belakang psikologi sosial masyarakat.

Interaksi masyarakat yang terbagi menjadi kutub-kutub ini tentunya membangun persepsi yang terbentuk karena nilai-nilai dan ancaman antar kelompok, distribusi kekuasaan, dan kontrol terhadap sumber daya. Jika elemen-elemen ini dipandang saling berhubungan dan akan melemahkan pihak tertentu, maka konflik akan mengeskalasi. Teori Citra Cermin menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat menciptakan citra paralel satu sama lain, dimana persepsi diri dianggap positif dan persepsi yang lain lebih banyak dianggap negatif. Kekerasan dan agresi diasosiasikan dengan pihak lain sementara kebajikan dan keadilan diasosiaikan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok sendiri. Dalam konflik Rembang, dimana pihak yang kalah tidak akan mendapatkan hak akan tanah yang akan digunakan sebagai pabrik semen. Masing-masing pihak pun menganggap dirinya mengemban tugas mulia. PT.SI dan kelompok pro PT.SI menganggap diri sebagai pihak yang hendak memajukan pembangunan ekonomi sekaligus kesejahteraan lokal. Sementara itu, pihak kontra menganggap diri sebagai pejuang keadilan sosial dan lingkungan.

Identitas dapat dideskripsikan sebagai norma, kepercayaan, praktik, dan tradisi dimana seseorang atau sebuah kelompok berinteraksi dalam suatu lingkungan. Persepsi diri mendasari pemikiran tentang identitas, komponen utama dalam analisis sosial-psikologis. Identitas dan persepsi diri ini nantinya menjadi lensa untuk meneropong dan memberikan kita kemampuan untuk memandang suatu hegemoni yang lain. Identitas bukanlah konsep yang kekal, melainkan sesuatu yang terus berubah bergantung pada momentum historis tertentu. Konsepsi identitas ini nantinya akan mempengaruhi proses-proses konflik. Dalam konflik Rembang ini, identitas tradisi yang dimiliki masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris dengan segala kearifan lokalnya memandang pihak pabrik semen sebagai “sang liyan” dengan segala nilai-nilai urban modernis.

Suas

ana

Des

a Te

gald

owo,

Rem

bang

Page 50: Berebut Berkah Tanah Kendeng

EKOLOGI / GEOLOGI

CHOIRUL MUT TAQIN

POLEMIK SEMEN &SUMBER DAYA ALAM

Di bagian ini, akan dipaparkan kajian potensi kawasan Pegunungan Kendeng lewat sudut pandang geologis dan geografis. Mengapa aspek ini begitu penting, karena pada kasus konflik di Rembang, Pegunungan Kendeng yang terbentang dari memanjang dari barat ke timur meliputi Kabupaten Pati bagian selatan, Kabupaten Grobogan bagian utara, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro bagian utara dan Kabupaten Lamongan bagian barat merupakan bentang alam karst yang menjadi titik mula konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal.

Penambangan yang dilakukan oleh PT Semen Indonesia akan mengoptimalkan karst sebagai bahan baku semen. Di sisi lain kawasan yang akan dieksploitasi ini juga merupakan kawasan imbuhan air. Warga lokal yang sebagian besar hidup sebagai petani memanfaatkan air sebagai sumber pengairan pertanian mereka. Dengan adanya pertambangan, warga takut sumber mata airnya akan rusak, bahkan habis. Penolakan besar-besaran masyarakat Rembang terhadap pembangunan pabrik dan tambang semen pun mencuat ke permukaan. Di saat itu pula pihak perusahaan tetap menjalankan rencananya untuk membuat pertambangan semen di kawasan tersebut. Penjelasan dalam bab ini akan banyak menyangkut aspek-aspek geomorfologi, struktur geologi, speleologi, dan hidrologi karst di wilayah konflik karst Rembang. Karena akan banyak muncul istilah geologi, untuk memudahkan pembaca, tersedia kamus istilah pada bagian akhir tulisan ini.

GEOMORFOLOGI PEGUNUNGANKENDENG

Karst merupakan topografi unik yang terbentuk akibat adanya aliran air pada bebatuan karbonat (biasanya berupa kapur dolomit atau marmer). Proses geologi ini terjadi selama ribuan tahun dan menghasilkan permukaan rupa bumi dari pembentukan lubang-lubang vertikal, sungai-sungai dan mata air bawah tanah, hingga gua dan sistem drainase bawah tanah yang kompleks (BPLHD Jawa Barat, 2009). Menurut Eko Haryono (2009) karst mempunyai ciri-ciri: cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan bentuk, di tempat ini langka atau tidak terdapat drainase/ sungai permukaan, dan adanya goa dari sistem drainase bawah tanah. Kawasan karst juga merupakan wilayah yang dapat menangkap dan menyimpan air hujan, sebagai habitat bagi beberapa spesies makhluk hidup khusus, dan berpotensi sebagai lokasi pertambangan karena fisiografi berbukit-bukit yang terbentuk dari batu gamping.

Bentang lahan karst memiliki peran yang sangat penting bagi lingkungan. Bentang lahan karst menyediakan jasa ekosistem seperti air bersih, bahan-bahan material, dan menjadi agen pengendali perubahan iklim (Brinkmann dan Jo Garren, 2011). Disamping sumberdaya air, kawasan karst memiliki berbagai sumber daya yang sangat potensial untuk dikembangkan seperti sumberdaya lahan, sumberdaya hayati, dan potensi bentang lahan baik permukaan ataupun bawah permukaan (Suryatmojo, 2006). Kawasan karst memiliki fungsi ekosistem yang serupa dengan hutan rimba yaitu sebagai pengatur tata air khususnya air bawah tanah dan penyimpan potensi karbon. Kerusakan lingkungan pada bentang lahan karst seperti akibat penambangan akan mengakibatkan matinya sumber air bawah tanah yang berlimpah.

Bagian selatan kabupaten Rembang terpapar pegunungan yang memanjang dari barat-timur, yang merupakan bagian dari pegunungan Rembang-Madura dan masih berada di kelurusan Pegunungan Karst Sukolilo atau yang lebih dikenal sebagai pegunungan Karst Kendeng Utara Kabupaten Rembang. Fenomena bentang alam karst Kendeng Utara tercermin melalui banyaknya bukit-bukit gamping kerucut, munculnya mata air pada rekahan batuan, dan mengalirnya sungai-sungai bawah tanah dengan lorong gua sebagai koridornya.

49

Zona Rembang membentang sejajar dengan zona Kendeng, dipisahkan oleh zona Randublatung. Zona Rembang merupakan zona patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang lebih dalam di selatan (zona Kendeng). Litologi penyusunnya campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam. Morfologi kawasan Pegunungan Rembang secara umum merupakan komplek perbukitan karst yang teletak pada struktur perbukitan lipatan.

Setelah perlipatan mengalami proses pelarutan, pada bagian puncak perbukitan karst di permukaan (eksokarst) ditemukan morfologi bukit-bukit kerucut (conical hills), cekungan-cekungan hasil pelarutan (dolina), lembah-lembah aliran sungai yang membentuk mulut gua (Sinkhole), mata air dan telaga karst ditemukan pada bagian bawah. Morfologi bawah permukaan (endokarst) kawasan karst tersebut terbentuk morfologi sistem perguaan dan sungai bawah tanah. Pada bagian Utara dan Selatan batas akhir batuan kapur / batu gamping merupakan dataran.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 51: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Di bagian ini, akan dipaparkan kajian potensi kawasan Pegunungan Kendeng lewat sudut pandang geologis dan geografis. Mengapa aspek ini begitu penting, karena pada kasus konflik di Rembang, Pegunungan Kendeng yang terbentang dari memanjang dari barat ke timur meliputi Kabupaten Pati bagian selatan, Kabupaten Grobogan bagian utara, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro bagian utara dan Kabupaten Lamongan bagian barat merupakan bentang alam karst yang menjadi titik mula konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal.

Penambangan yang dilakukan oleh PT Semen Indonesia akan mengoptimalkan karst sebagai bahan baku semen. Di sisi lain kawasan yang akan dieksploitasi ini juga merupakan kawasan imbuhan air. Warga lokal yang sebagian besar hidup sebagai petani memanfaatkan air sebagai sumber pengairan pertanian mereka. Dengan adanya pertambangan, warga takut sumber mata airnya akan rusak, bahkan habis. Penolakan besar-besaran masyarakat Rembang terhadap pembangunan pabrik dan tambang semen pun mencuat ke permukaan. Di saat itu pula pihak perusahaan tetap menjalankan rencananya untuk membuat pertambangan semen di kawasan tersebut. Penjelasan dalam bab ini akan banyak menyangkut aspek-aspek geomorfologi, struktur geologi, speleologi, dan hidrologi karst di wilayah konflik karst Rembang. Karena akan banyak muncul istilah geologi, untuk memudahkan pembaca, tersedia kamus istilah pada bagian akhir tulisan ini.

GEOMORFOLOGI PEGUNUNGANKENDENG

Karst merupakan topografi unik yang terbentuk akibat adanya aliran air pada bebatuan karbonat (biasanya berupa kapur dolomit atau marmer). Proses geologi ini terjadi selama ribuan tahun dan menghasilkan permukaan rupa bumi dari pembentukan lubang-lubang vertikal, sungai-sungai dan mata air bawah tanah, hingga gua dan sistem drainase bawah tanah yang kompleks (BPLHD Jawa Barat, 2009). Menurut Eko Haryono (2009) karst mempunyai ciri-ciri: cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan bentuk, di tempat ini langka atau tidak terdapat drainase/ sungai permukaan, dan adanya goa dari sistem drainase bawah tanah. Kawasan karst juga merupakan wilayah yang dapat menangkap dan menyimpan air hujan, sebagai habitat bagi beberapa spesies makhluk hidup khusus, dan berpotensi sebagai lokasi pertambangan karena fisiografi berbukit-bukit yang terbentuk dari batu gamping.

Bentang lahan karst memiliki peran yang sangat penting bagi lingkungan. Bentang lahan karst menyediakan jasa ekosistem seperti air bersih, bahan-bahan material, dan menjadi agen pengendali perubahan iklim (Brinkmann dan Jo Garren, 2011). Disamping sumberdaya air, kawasan karst memiliki berbagai sumber daya yang sangat potensial untuk dikembangkan seperti sumberdaya lahan, sumberdaya hayati, dan potensi bentang lahan baik permukaan ataupun bawah permukaan (Suryatmojo, 2006). Kawasan karst memiliki fungsi ekosistem yang serupa dengan hutan rimba yaitu sebagai pengatur tata air khususnya air bawah tanah dan penyimpan potensi karbon. Kerusakan lingkungan pada bentang lahan karst seperti akibat penambangan akan mengakibatkan matinya sumber air bawah tanah yang berlimpah.

Bagian selatan kabupaten Rembang terpapar pegunungan yang memanjang dari barat-timur, yang merupakan bagian dari pegunungan Rembang-Madura dan masih berada di kelurusan Pegunungan Karst Sukolilo atau yang lebih dikenal sebagai pegunungan Karst Kendeng Utara Kabupaten Rembang. Fenomena bentang alam karst Kendeng Utara tercermin melalui banyaknya bukit-bukit gamping kerucut, munculnya mata air pada rekahan batuan, dan mengalirnya sungai-sungai bawah tanah dengan lorong gua sebagai koridornya.

Zona Rembang membentang sejajar dengan zona Kendeng, dipisahkan oleh zona Randublatung. Zona Rembang merupakan zona patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang lebih dalam di selatan (zona Kendeng). Litologi penyusunnya campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam. Morfologi kawasan Pegunungan Rembang secara umum merupakan komplek perbukitan karst yang teletak pada struktur perbukitan lipatan.

Setelah perlipatan mengalami proses pelarutan, pada bagian puncak perbukitan karst di permukaan (eksokarst) ditemukan morfologi bukit-bukit kerucut (conical hills), cekungan-cekungan hasil pelarutan (dolina), lembah-lembah aliran sungai yang membentuk mulut gua (Sinkhole), mata air dan telaga karst ditemukan pada bagian bawah. Morfologi bawah permukaan (endokarst) kawasan karst tersebut terbentuk morfologi sistem perguaan dan sungai bawah tanah. Pada bagian Utara dan Selatan batas akhir batuan kapur / batu gamping merupakan dataran.

50

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 52: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Di bagian ini, akan dipaparkan kajian potensi kawasan Pegunungan Kendeng lewat sudut pandang geologis dan geografis. Mengapa aspek ini begitu penting, karena pada kasus konflik di Rembang, Pegunungan Kendeng yang terbentang dari memanjang dari barat ke timur meliputi Kabupaten Pati bagian selatan, Kabupaten Grobogan bagian utara, Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro bagian utara dan Kabupaten Lamongan bagian barat merupakan bentang alam karst yang menjadi titik mula konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal.

Penambangan yang dilakukan oleh PT Semen Indonesia akan mengoptimalkan karst sebagai bahan baku semen. Di sisi lain kawasan yang akan dieksploitasi ini juga merupakan kawasan imbuhan air. Warga lokal yang sebagian besar hidup sebagai petani memanfaatkan air sebagai sumber pengairan pertanian mereka. Dengan adanya pertambangan, warga takut sumber mata airnya akan rusak, bahkan habis. Penolakan besar-besaran masyarakat Rembang terhadap pembangunan pabrik dan tambang semen pun mencuat ke permukaan. Di saat itu pula pihak perusahaan tetap menjalankan rencananya untuk membuat pertambangan semen di kawasan tersebut. Penjelasan dalam bab ini akan banyak menyangkut aspek-aspek geomorfologi, struktur geologi, speleologi, dan hidrologi karst di wilayah konflik karst Rembang. Karena akan banyak muncul istilah geologi, untuk memudahkan pembaca, tersedia kamus istilah pada bagian akhir tulisan ini.

GEOMORFOLOGI PEGUNUNGANKENDENG

Karst merupakan topografi unik yang terbentuk akibat adanya aliran air pada bebatuan karbonat (biasanya berupa kapur dolomit atau marmer). Proses geologi ini terjadi selama ribuan tahun dan menghasilkan permukaan rupa bumi dari pembentukan lubang-lubang vertikal, sungai-sungai dan mata air bawah tanah, hingga gua dan sistem drainase bawah tanah yang kompleks (BPLHD Jawa Barat, 2009). Menurut Eko Haryono (2009) karst mempunyai ciri-ciri: cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan bentuk, di tempat ini langka atau tidak terdapat drainase/ sungai permukaan, dan adanya goa dari sistem drainase bawah tanah. Kawasan karst juga merupakan wilayah yang dapat menangkap dan menyimpan air hujan, sebagai habitat bagi beberapa spesies makhluk hidup khusus, dan berpotensi sebagai lokasi pertambangan karena fisiografi berbukit-bukit yang terbentuk dari batu gamping.

Bentang lahan karst memiliki peran yang sangat penting bagi lingkungan. Bentang lahan karst menyediakan jasa ekosistem seperti air bersih, bahan-bahan material, dan menjadi agen pengendali perubahan iklim (Brinkmann dan Jo Garren, 2011). Disamping sumberdaya air, kawasan karst memiliki berbagai sumber daya yang sangat potensial untuk dikembangkan seperti sumberdaya lahan, sumberdaya hayati, dan potensi bentang lahan baik permukaan ataupun bawah permukaan (Suryatmojo, 2006). Kawasan karst memiliki fungsi ekosistem yang serupa dengan hutan rimba yaitu sebagai pengatur tata air khususnya air bawah tanah dan penyimpan potensi karbon. Kerusakan lingkungan pada bentang lahan karst seperti akibat penambangan akan mengakibatkan matinya sumber air bawah tanah yang berlimpah.

Bagian selatan kabupaten Rembang terpapar pegunungan yang memanjang dari barat-timur, yang merupakan bagian dari pegunungan Rembang-Madura dan masih berada di kelurusan Pegunungan Karst Sukolilo atau yang lebih dikenal sebagai pegunungan Karst Kendeng Utara Kabupaten Rembang. Fenomena bentang alam karst Kendeng Utara tercermin melalui banyaknya bukit-bukit gamping kerucut, munculnya mata air pada rekahan batuan, dan mengalirnya sungai-sungai bawah tanah dengan lorong gua sebagai koridornya.

Zona Rembang membentang sejajar dengan zona Kendeng, dipisahkan oleh zona Randublatung. Zona Rembang merupakan zona patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang lebih dalam di selatan (zona Kendeng). Litologi penyusunnya campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam. Morfologi kawasan Pegunungan Rembang secara umum merupakan komplek perbukitan karst yang teletak pada struktur perbukitan lipatan.

Setelah perlipatan mengalami proses pelarutan, pada bagian puncak perbukitan karst di permukaan (eksokarst) ditemukan morfologi bukit-bukit kerucut (conical hills), cekungan-cekungan hasil pelarutan (dolina), lembah-lembah aliran sungai yang membentuk mulut gua (Sinkhole), mata air dan telaga karst ditemukan pada bagian bawah. Morfologi bawah permukaan (endokarst) kawasan karst tersebut terbentuk morfologi sistem perguaan dan sungai bawah tanah. Pada bagian Utara dan Selatan batas akhir batuan kapur / batu gamping merupakan dataran.

51

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 53: Berebut Berkah Tanah Kendeng

STRUKTUR GEOLOGI PEGUNUNGAN KENDENG

Lapisan batu-batuan di kulit bumi kawasan karst Kendeng Utara masuk ke dalam formasi bulu dengan batuan penysun (litologi) batu gamping masif yang mengandung koral, alga dan pelapisan batu gamping yang juga mengandung foram laut berupa koral, orbitoid dan alga. Sesekali diselingi oleh batu pasir kuarsa bersifat karbonatan.

Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java Basin) yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang – Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable Platform) dan Zona Depresi Randublatung. Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada umumnya berarah Barat – Timur, sedangkan struktur patahannya umumnya berarah Timur Laut – Barat Daya dan ada beberapa sesar naik berarah Timur – Barat. Kondisi struktur geologi ini menyebabkan batu gamping penyusun dasar dari karst di Rembang memiliki banyak rekahan. Rekahan-rekahan ini merupakan awal terbentuknya gua dan sistemnya di kawasan karst melalui proses pelarutan geologi.

Deformasi adalah perubahan bentuk, posisi, dan dimensi dari suatu benda (Kuang,1996). Deformasi pertama pada Zona Kendeng terjadi pada akhir Pliosen (Plio – Plistosen), deformasi merupakan manifestasi dari zona konvergen pada konsep tektonik lempeng yang diakibatkan oleh gaya kompresi berarah relatif utara – selatan dengan tipe formasi berupa ductile yang pada fase terakhirnya berubah menjadi deformasi fracture berupa pergeseran blok – blok dasar cekungan Zona Kendeng. Intensitas gaya kompresi semakin besar ke arah bagian barat Zona Kendeng yang menyebabkan banyak dijumpai lipatan dan sesar naik dimana banyak zona sesar naik juga merupakan kontak antara formasi atau anggota formasi.

52

Deformasi Plio – Plistosen dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: fase pertama berupa perlipatan yang mengakibatkan terbentuknya Geantiklin Kendeng yang memiliki arah umum barat – timur dan menunjam di bagian Kendeng Timur, fase kedua berupa pensesaran yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu pensesaran akibat perlipatan dan pensesaran akibat telah berubahnya deformasi ductile menjadi deformasi brittle karena batuan telah melampaui batas kedalaman plastisnya. Kedua sesar tersebut secara umum merupakan sesar naik bahkan ada yang merupakan sesar sungkup. Fase ketiga berupa pergeseran blok – blok dasar cekungan Zona Kendeng yang mengakibatkan terjadinya sesar – sesar geser berarah relatif utara – selatan.

Deformasi kedua terjadi selama kuarter yang berlangsung secara lambat dan mengakibatkan terbentuknya struktur kubah di Sangiran. Deformasi ini masih berlangsung hingga saat ini dengan intensitas yang relatif kecil dengan bukti berupa terbentuknya sedimen termuda di Zona Kendeng yaitu Endapan Undak.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 54: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Deformasi Plio – Plistosen dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: fase pertama berupa perlipatan yang mengakibatkan terbentuknya Geantiklin Kendeng yang memiliki arah umum barat – timur dan menunjam di bagian Kendeng Timur, fase kedua berupa pensesaran yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu pensesaran akibat perlipatan dan pensesaran akibat telah berubahnya deformasi ductile menjadi deformasi brittle karena batuan telah melampaui batas kedalaman plastisnya. Kedua sesar tersebut secara umum merupakan sesar naik bahkan ada yang merupakan sesar sungkup. Fase ketiga berupa pergeseran blok – blok dasar cekungan Zona Kendeng yang mengakibatkan terjadinya sesar – sesar geser berarah relatif utara – selatan.

Deformasi kedua terjadi selama kuarter yang berlangsung secara lambat dan mengakibatkan terbentuknya struktur kubah di Sangiran. Deformasi ini masih berlangsung hingga saat ini dengan intensitas yang relatif kecil dengan bukti berupa terbentuknya sedimen termuda di Zona Kendeng yaitu Endapan Undak.

53

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 55: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping. Dengan sifat-sifat batuan penyusunnya, produktifitas akuifer pada daerah penyelidikan terdapat setempat dan umunya berupa akuifer produktif. Aliran air tanah pada sistem akuifer ini melalui zona celahan dan rekahan.

Mata air di wilayah CAT ini sebagian besar tersebar di luar wilayah konfigurasi CAT yang telah ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Mata air-mata air banyak dijumpai di bagian selatan, dan sebagian di bagian timur dan utara cekungan air tanah. Hanya ada dua mata air yang secara lokasi berada di wilayah cakupan cekungan Air Tanah, yaitu mata air Sendang Gondang dan mata air Sendang Ngandong yang berada di desa Pancuran.

perlapisan. Pola perkembangan lorong-lorong gua dikontrol oleh adanya struktur geologi yang ditunjukkan dengan kenampakan lorong memanjang terbentuk akibat pelarutan melalui rekahan-rekahan dan bidang-bidang patahan serta perkembangan dari pelarutan pada bidang-bidang perlapisan batuan yang terpengaruh oleh adanya rekahan-rekahan yang mengikuti pola perlapisan batuan. Sedangkan keberadaan mata air dan sumur banyak tersebar di formasi Paciran (merupakan Cekungan Air Tanah Watuputih), formasi Ngrayong dan formasi Wonocolo.

HIDROLOGI KARSTBerdasarkan hasil pendataan yang dilakukan terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial (berumur panjang) yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Dari pengamatan lapangan, zona jenuh air berada di sekitar Sumber Semen dan Mata air Brubulan berada pada ketinggian 150 mdpl, sedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Temuan sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan Pegunungan Watuputih, data ini yang menguatkan bahwa fungsi Pegunungan Watuputih adalah sebagai kawasan karst, dimana akuifer air masih berjalan dengan sangat baik, ini ditandai dengan mata air yang keluar melalui zona-zona rekahan pada setiap ketinggian, dan pembentukan sistem sungai bawah permukaan yang ditemukan dalam Gua Temu menunjukkan bahwa Pegunungan Watuputih merupakan pegunungan yang mengalami proses karstifikasi aktif sebagai bagian dari Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara yang berfungsi sebagai epikarst penyimpan air yang sangat besar bagi penyupali mata air yang ada disekitarnya.

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.

Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

.

SPELEOLOGI PEGUNUNGAN KENDENG

Eksplorasi dan deksripsi dari suatu gua dan siste, gua dan kelengkapannya merupkan fokus utama dari speleologi. Hasil penelitian Air Bawah Tanah di Gunung Watuputih oleh Dinas Pertambangan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998 dijelaskan bahwa Gunung Watuputih dan sekitarnya secara geomorfologis tergolong dalam tipe bentang alam karst. Terdapat fenomena alam unik dengan adanya gua-gua alam dan sungai bawah tanah. Hasil pendataan secara berkala yang dilakukan oleh Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang terdata 49 gua yang tersebar di sekitar wilayah Cekungan Air Tanah Watuputih dan 4 diantaranya merupakan gua yang memiliki sungai aktif. Proses karstifikasi di daerah Rembang dimulai sejak batugamping di daerah ini tersingkap di daratan sampai sekarang. Beberapa gua masih mengalami proses pelarutan. Proses karst di Rembang masih berlangsung dapat dilihat dari adanya lorong-lorong gua dan sungai bawah tanah yang masih aktif.

Dijumpai beberapa gua mulutnya terdapat di dasar lembah, seperti pada Gua Temu di Desa Bitingan, Kecamatan Sale, Rembang. Gua Manuk di Desa Wuni, Kecamatan Gunem, Rembang. Pada musim hujan mulut-mulut gua tersebut merupakan jalur sungai periodik yang masuk ke dalam gua dan juga sebagai sungai utama yang keluar dari dalam gua. Sebaran gua di kawasan karst Rembang tersebar di Desa Tegaldowo, Desa Suntri, Desa Dowan, Desa Timbrangan, Desa Pasuncen dan Desa Kajar pada formasi Paciran dan Ngrayon, mengikuti pola-pola patahan, rekahan, dan pola

54

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 56: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping. Dengan sifat-sifat batuan penyusunnya, produktifitas akuifer pada daerah penyelidikan terdapat setempat dan umunya berupa akuifer produktif. Aliran air tanah pada sistem akuifer ini melalui zona celahan dan rekahan.

Mata air di wilayah CAT ini sebagian besar tersebar di luar wilayah konfigurasi CAT yang telah ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Mata air-mata air banyak dijumpai di bagian selatan, dan sebagian di bagian timur dan utara cekungan air tanah. Hanya ada dua mata air yang secara lokasi berada di wilayah cakupan cekungan Air Tanah, yaitu mata air Sendang Gondang dan mata air Sendang Ngandong yang berada di desa Pancuran.

perlapisan. Pola perkembangan lorong-lorong gua dikontrol oleh adanya struktur geologi yang ditunjukkan dengan kenampakan lorong memanjang terbentuk akibat pelarutan melalui rekahan-rekahan dan bidang-bidang patahan serta perkembangan dari pelarutan pada bidang-bidang perlapisan batuan yang terpengaruh oleh adanya rekahan-rekahan yang mengikuti pola perlapisan batuan. Sedangkan keberadaan mata air dan sumur banyak tersebar di formasi Paciran (merupakan Cekungan Air Tanah Watuputih), formasi Ngrayong dan formasi Wonocolo.

HIDROLOGI KARSTBerdasarkan hasil pendataan yang dilakukan terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial (berumur panjang) yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Dari pengamatan lapangan, zona jenuh air berada di sekitar Sumber Semen dan Mata air Brubulan berada pada ketinggian 150 mdpl, sedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Temuan sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan Pegunungan Watuputih, data ini yang menguatkan bahwa fungsi Pegunungan Watuputih adalah sebagai kawasan karst, dimana akuifer air masih berjalan dengan sangat baik, ini ditandai dengan mata air yang keluar melalui zona-zona rekahan pada setiap ketinggian, dan pembentukan sistem sungai bawah permukaan yang ditemukan dalam Gua Temu menunjukkan bahwa Pegunungan Watuputih merupakan pegunungan yang mengalami proses karstifikasi aktif sebagai bagian dari Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara yang berfungsi sebagai epikarst penyimpan air yang sangat besar bagi penyupali mata air yang ada disekitarnya.

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping.

55

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.

Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

.

Page 57: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping. Dengan sifat-sifat batuan penyusunnya, produktifitas akuifer pada daerah penyelidikan terdapat setempat dan umunya berupa akuifer produktif. Aliran air tanah pada sistem akuifer ini melalui zona celahan dan rekahan.

Mata air di wilayah CAT ini sebagian besar tersebar di luar wilayah konfigurasi CAT yang telah ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Mata air-mata air banyak dijumpai di bagian selatan, dan sebagian di bagian timur dan utara cekungan air tanah. Hanya ada dua mata air yang secara lokasi berada di wilayah cakupan cekungan Air Tanah, yaitu mata air Sendang Gondang dan mata air Sendang Ngandong yang berada di desa Pancuran.

perlapisan. Pola perkembangan lorong-lorong gua dikontrol oleh adanya struktur geologi yang ditunjukkan dengan kenampakan lorong memanjang terbentuk akibat pelarutan melalui rekahan-rekahan dan bidang-bidang patahan serta perkembangan dari pelarutan pada bidang-bidang perlapisan batuan yang terpengaruh oleh adanya rekahan-rekahan yang mengikuti pola perlapisan batuan. Sedangkan keberadaan mata air dan sumur banyak tersebar di formasi Paciran (merupakan Cekungan Air Tanah Watuputih), formasi Ngrayong dan formasi Wonocolo.

HIDROLOGI KARSTBerdasarkan hasil pendataan yang dilakukan terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial (berumur panjang) yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Dari pengamatan lapangan, zona jenuh air berada di sekitar Sumber Semen dan Mata air Brubulan berada pada ketinggian 150 mdpl, sedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Temuan sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan Pegunungan Watuputih, data ini yang menguatkan bahwa fungsi Pegunungan Watuputih adalah sebagai kawasan karst, dimana akuifer air masih berjalan dengan sangat baik, ini ditandai dengan mata air yang keluar melalui zona-zona rekahan pada setiap ketinggian, dan pembentukan sistem sungai bawah permukaan yang ditemukan dalam Gua Temu menunjukkan bahwa Pegunungan Watuputih merupakan pegunungan yang mengalami proses karstifikasi aktif sebagai bagian dari Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara yang berfungsi sebagai epikarst penyimpan air yang sangat besar bagi penyupali mata air yang ada disekitarnya.

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.

Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

.

Dengan sifat-sifat batuan penyusunnya, produktifitas akuifer pada daerah penyelidikan terdapat setempat dan umunya berupa akuifer produktif. Aliran air tanah pada sistem akuifer ini melalui zona celahan dan rekahan.

Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial (berumur panjang) yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Dari pengamatan lapangan, zona jenuh air berada di sekitar Sumber Semen dan Mata air Brubulan berada pada ketinggian 150 mdpl, sedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Temuan sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan Pegunungan Watuputih, data ini yang menguatkan bahwa fungsi Pegunungan Watuputih adalah sebagai kawasan karst, dimana akuifer air masih berjalan dengan sangat baik, ini ditandai dengan mata air yang keluar melalui zona-zona rekahan pada setiap ketinggian, dan pembentukan sistem sungai bawah permukaan yang ditemukan dalam Gua Temu menunjukkan bahwa Pegunungan Watuputih merupakan pegunungan yang mengalami proses karstifikasi aktif sebagai bagian dari Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara yang berfungsi sebagai epikarst penyimpan air yang sangat besar bagi penyupali mata air yang ada disekitarnya.

56

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 58: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping. Dengan sifat-sifat batuan penyusunnya, produktifitas akuifer pada daerah penyelidikan terdapat setempat dan umunya berupa akuifer produktif. Aliran air tanah pada sistem akuifer ini melalui zona celahan dan rekahan.

Mata air di wilayah CAT ini sebagian besar tersebar di luar wilayah konfigurasi CAT yang telah ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Mata air-mata air banyak dijumpai di bagian selatan, dan sebagian di bagian timur dan utara cekungan air tanah. Hanya ada dua mata air yang secara lokasi berada di wilayah cakupan cekungan Air Tanah, yaitu mata air Sendang Gondang dan mata air Sendang Ngandong yang berada di desa Pancuran.

perlapisan. Pola perkembangan lorong-lorong gua dikontrol oleh adanya struktur geologi yang ditunjukkan dengan kenampakan lorong memanjang terbentuk akibat pelarutan melalui rekahan-rekahan dan bidang-bidang patahan serta perkembangan dari pelarutan pada bidang-bidang perlapisan batuan yang terpengaruh oleh adanya rekahan-rekahan yang mengikuti pola perlapisan batuan. Sedangkan keberadaan mata air dan sumur banyak tersebar di formasi Paciran (merupakan Cekungan Air Tanah Watuputih), formasi Ngrayong dan formasi Wonocolo.

HIDROLOGI KARSTBerdasarkan hasil pendataan yang dilakukan terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial (berumur panjang) yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Dari pengamatan lapangan, zona jenuh air berada di sekitar Sumber Semen dan Mata air Brubulan berada pada ketinggian 150 mdpl, sedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Temuan sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan Pegunungan Watuputih, data ini yang menguatkan bahwa fungsi Pegunungan Watuputih adalah sebagai kawasan karst, dimana akuifer air masih berjalan dengan sangat baik, ini ditandai dengan mata air yang keluar melalui zona-zona rekahan pada setiap ketinggian, dan pembentukan sistem sungai bawah permukaan yang ditemukan dalam Gua Temu menunjukkan bahwa Pegunungan Watuputih merupakan pegunungan yang mengalami proses karstifikasi aktif sebagai bagian dari Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara yang berfungsi sebagai epikarst penyimpan air yang sangat besar bagi penyupali mata air yang ada disekitarnya.

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.

Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

.

57

Salah satu mata air dari Pegunungan Kendeng

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 59: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping. Dengan sifat-sifat batuan penyusunnya, produktifitas akuifer pada daerah penyelidikan terdapat setempat dan umunya berupa akuifer produktif. Aliran air tanah pada sistem akuifer ini melalui zona celahan dan rekahan.

Mata air di wilayah CAT ini sebagian besar tersebar di luar wilayah konfigurasi CAT yang telah ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Mata air-mata air banyak dijumpai di bagian selatan, dan sebagian di bagian timur dan utara cekungan air tanah. Hanya ada dua mata air yang secara lokasi berada di wilayah cakupan cekungan Air Tanah, yaitu mata air Sendang Gondang dan mata air Sendang Ngandong yang berada di desa Pancuran.

perlapisan. Pola perkembangan lorong-lorong gua dikontrol oleh adanya struktur geologi yang ditunjukkan dengan kenampakan lorong memanjang terbentuk akibat pelarutan melalui rekahan-rekahan dan bidang-bidang patahan serta perkembangan dari pelarutan pada bidang-bidang perlapisan batuan yang terpengaruh oleh adanya rekahan-rekahan yang mengikuti pola perlapisan batuan. Sedangkan keberadaan mata air dan sumur banyak tersebar di formasi Paciran (merupakan Cekungan Air Tanah Watuputih), formasi Ngrayong dan formasi Wonocolo.

HIDROLOGI KARSTBerdasarkan hasil pendataan yang dilakukan terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial (berumur panjang) yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Dari pengamatan lapangan, zona jenuh air berada di sekitar Sumber Semen dan Mata air Brubulan berada pada ketinggian 150 mdpl, sedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Temuan sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan Pegunungan Watuputih, data ini yang menguatkan bahwa fungsi Pegunungan Watuputih adalah sebagai kawasan karst, dimana akuifer air masih berjalan dengan sangat baik, ini ditandai dengan mata air yang keluar melalui zona-zona rekahan pada setiap ketinggian, dan pembentukan sistem sungai bawah permukaan yang ditemukan dalam Gua Temu menunjukkan bahwa Pegunungan Watuputih merupakan pegunungan yang mengalami proses karstifikasi aktif sebagai bagian dari Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara yang berfungsi sebagai epikarst penyimpan air yang sangat besar bagi penyupali mata air yang ada disekitarnya.

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.

Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

.

58

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Kedua mata air ini mempunyai debit yang tidak terlalu besar, yaitu kurang dari 1 liter/detik. Mata air-mata air lainnya yang banyak tersebar di luar wilayah CAT mempunyai tersebar di Desa Tegaldowo, Desa Suntri, Desa Dowan, Desa Timbrangan, Desa Pasuncen dan Desa Kajar dengan debit yang bervariasi dari debit yang relatif kecil ( < 0.5 liter/detik ) sampai debit yang sangat besar, yang mencapai 600 liter/detik, Seluruh mata air yang ada dimanfaatkan untuk pertanian, kebutuhan sehari-hari, air minum, mencuci, peternakan, dan lain sebagainya.

Kawasan karst dan kawasan CAT tersebut adalah salah satu aspek ekologi yang mesti dilestarikan dan menjadi perhatian utama dalam menentukan keberlanjutan ekologi baik yang ada di luar maupun di dalamnya. Tindakan-tindakan yang sekiranya tidak mementingkan keberlangsungan ekologi secara keseluruhan harus diposisikan sebagai tindakan preventif. Sebab akan mempengaruhi pelestarian ekologi secara ruang dan keberjalanan di dalamnya. Pengelolaan mesti berorientasi pada prinsip pembangunan berkelanjutan apabila ingin terus memaksimalisasi potensi tersebut dan meminimalisir resiko bencana terhadap aset kehidupan dan penghidupan. Maka menjadi maklum apabila penolakan tersebut terjadi secara besar-besaran, karena perencanaan pertambangan yang akan berpengaruh terhadap hilangnya fungsi hidrologi akan menjadi bencana ekologis dan sosio-kultural yang besar terhadap peradaban yang berada di sekitar kawasannya.

CEKUNGAN AIR TANAH

BOLEHKAH DITAMBANG?Lokasi tambang PT SI di Kabupaten Rembang terletak di kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih, Pegunungan Kendeng Utara. Kawasan Watuputih ditetapkan menjadi kawasan Cekungan Air Tanah (CAT). Penetapan CAT Watuputih dimuat dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 2011 mengenai Penetapan Cekungan Air Tanah. Pada lampiran Keppres tersebut tercantum koordinat batas, luas, dan klasifikasi CAT Watuputih. CAT Watuputih dengan luas 31 km2 diklasifikasikan sebagai CAT B, yaitu CAT lintas kabupaten/kota karena CAT Watuputih melintasi Kabupaten Rembang dan Blora.

Page 60: Berebut Berkah Tanah Kendeng

59

Tapak pabrik PT SI

Page 61: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping. Dengan sifat-sifat batuan penyusunnya, produktifitas akuifer pada daerah penyelidikan terdapat setempat dan umunya berupa akuifer produktif. Aliran air tanah pada sistem akuifer ini melalui zona celahan dan rekahan.

Mata air di wilayah CAT ini sebagian besar tersebar di luar wilayah konfigurasi CAT yang telah ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Mata air-mata air banyak dijumpai di bagian selatan, dan sebagian di bagian timur dan utara cekungan air tanah. Hanya ada dua mata air yang secara lokasi berada di wilayah cakupan cekungan Air Tanah, yaitu mata air Sendang Gondang dan mata air Sendang Ngandong yang berada di desa Pancuran.

perlapisan. Pola perkembangan lorong-lorong gua dikontrol oleh adanya struktur geologi yang ditunjukkan dengan kenampakan lorong memanjang terbentuk akibat pelarutan melalui rekahan-rekahan dan bidang-bidang patahan serta perkembangan dari pelarutan pada bidang-bidang perlapisan batuan yang terpengaruh oleh adanya rekahan-rekahan yang mengikuti pola perlapisan batuan. Sedangkan keberadaan mata air dan sumur banyak tersebar di formasi Paciran (merupakan Cekungan Air Tanah Watuputih), formasi Ngrayong dan formasi Wonocolo.

HIDROLOGI KARSTBerdasarkan hasil pendataan yang dilakukan terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial (berumur panjang) yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Dari pengamatan lapangan, zona jenuh air berada di sekitar Sumber Semen dan Mata air Brubulan berada pada ketinggian 150 mdpl, sedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Temuan sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan Pegunungan Watuputih, data ini yang menguatkan bahwa fungsi Pegunungan Watuputih adalah sebagai kawasan karst, dimana akuifer air masih berjalan dengan sangat baik, ini ditandai dengan mata air yang keluar melalui zona-zona rekahan pada setiap ketinggian, dan pembentukan sistem sungai bawah permukaan yang ditemukan dalam Gua Temu menunjukkan bahwa Pegunungan Watuputih merupakan pegunungan yang mengalami proses karstifikasi aktif sebagai bagian dari Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara yang berfungsi sebagai epikarst penyimpan air yang sangat besar bagi penyupali mata air yang ada disekitarnya.

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.

Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

.

Sebagai CAT, CAT Watuputih memiliki potensi suplai air yang sangat besar sehingga menjadi sumber air terbesar bagi 14 kecamatan di Kabupaten Rembang. CAT merupakan kawasan konservasi yang perlu dilindungi dan dikelola. Hal tersebut dinyatakan pada pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) terdapat 49 goa di Kabupaten Rembang.Penataan ruang di Indonesia diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Undang-undang ini merupakan pembaruan UU Nomor 24 Tahun 1992. Untuk menjelaskan pasal 20 ayat 6 tentang RTRW Nasional, dibuat PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional. Di dalam PP tersebut, pasal 60 ayat 2 menyatakan semua bentang alam yang memiliki goa masuk ke dalam Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG). Masih dalam PP RTRW Nasional, KCAG termasuk kawasan lindung geologi (pasal 52 ayat 5) yang merupakan salah satu kawasan lindung nasional (pasal 51). Selain UU dan PP tersebut, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029 pasal 63 juga menyatakan bahwa kawasan CAT Watuputih dikategorikan sebagai kawasan imbuhan air yang termasuk kawasan lindung geologi.

Dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang dikeluarkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 menyatakan CAT Watuputih termasuk kawasan lindung geologi. Akan tetapi, pada peta RTRW Kabupaten Rembang tersebut menyatakan pula bahwa sebagian wilayah di kawasan CAT Watuputih merupakan kawasan pertambangan mineral dan batu bara.

Rencana tata ruang yang tercantum pada peta RTRW Kabupaten Rembang bertentangan dengan dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang sudah sejalan dengan RTRW Provinsi Jawa Tengah. Prosedur hirarki mengatur bahwa RTRW yang lebih tinggi merupakan landasan untuk menyusun RTRW lainnya, sehingga dalam hal ini Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten perlu berkoordinasi dengan Pemda provinsi maupun Pemda kabupaten lain yang turut terlibat. Adanya tumpang tindih antara dokumen dan peta RTRW Kabupaten Rembang menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam proses penyusunan RTRW.

60

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 62: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping. Dengan sifat-sifat batuan penyusunnya, produktifitas akuifer pada daerah penyelidikan terdapat setempat dan umunya berupa akuifer produktif. Aliran air tanah pada sistem akuifer ini melalui zona celahan dan rekahan.

Mata air di wilayah CAT ini sebagian besar tersebar di luar wilayah konfigurasi CAT yang telah ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Mata air-mata air banyak dijumpai di bagian selatan, dan sebagian di bagian timur dan utara cekungan air tanah. Hanya ada dua mata air yang secara lokasi berada di wilayah cakupan cekungan Air Tanah, yaitu mata air Sendang Gondang dan mata air Sendang Ngandong yang berada di desa Pancuran.

perlapisan. Pola perkembangan lorong-lorong gua dikontrol oleh adanya struktur geologi yang ditunjukkan dengan kenampakan lorong memanjang terbentuk akibat pelarutan melalui rekahan-rekahan dan bidang-bidang patahan serta perkembangan dari pelarutan pada bidang-bidang perlapisan batuan yang terpengaruh oleh adanya rekahan-rekahan yang mengikuti pola perlapisan batuan. Sedangkan keberadaan mata air dan sumur banyak tersebar di formasi Paciran (merupakan Cekungan Air Tanah Watuputih), formasi Ngrayong dan formasi Wonocolo.

HIDROLOGI KARSTBerdasarkan hasil pendataan yang dilakukan terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial (berumur panjang) yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Dari pengamatan lapangan, zona jenuh air berada di sekitar Sumber Semen dan Mata air Brubulan berada pada ketinggian 150 mdpl, sedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Temuan sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan Pegunungan Watuputih, data ini yang menguatkan bahwa fungsi Pegunungan Watuputih adalah sebagai kawasan karst, dimana akuifer air masih berjalan dengan sangat baik, ini ditandai dengan mata air yang keluar melalui zona-zona rekahan pada setiap ketinggian, dan pembentukan sistem sungai bawah permukaan yang ditemukan dalam Gua Temu menunjukkan bahwa Pegunungan Watuputih merupakan pegunungan yang mengalami proses karstifikasi aktif sebagai bagian dari Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara yang berfungsi sebagai epikarst penyimpan air yang sangat besar bagi penyupali mata air yang ada disekitarnya.

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.

Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

.

61

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 63: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping. Dengan sifat-sifat batuan penyusunnya, produktifitas akuifer pada daerah penyelidikan terdapat setempat dan umunya berupa akuifer produktif. Aliran air tanah pada sistem akuifer ini melalui zona celahan dan rekahan.

Mata air di wilayah CAT ini sebagian besar tersebar di luar wilayah konfigurasi CAT yang telah ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Mata air-mata air banyak dijumpai di bagian selatan, dan sebagian di bagian timur dan utara cekungan air tanah. Hanya ada dua mata air yang secara lokasi berada di wilayah cakupan cekungan Air Tanah, yaitu mata air Sendang Gondang dan mata air Sendang Ngandong yang berada di desa Pancuran.

perlapisan. Pola perkembangan lorong-lorong gua dikontrol oleh adanya struktur geologi yang ditunjukkan dengan kenampakan lorong memanjang terbentuk akibat pelarutan melalui rekahan-rekahan dan bidang-bidang patahan serta perkembangan dari pelarutan pada bidang-bidang perlapisan batuan yang terpengaruh oleh adanya rekahan-rekahan yang mengikuti pola perlapisan batuan. Sedangkan keberadaan mata air dan sumur banyak tersebar di formasi Paciran (merupakan Cekungan Air Tanah Watuputih), formasi Ngrayong dan formasi Wonocolo.

HIDROLOGI KARSTBerdasarkan hasil pendataan yang dilakukan terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial (berumur panjang) yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Dari pengamatan lapangan, zona jenuh air berada di sekitar Sumber Semen dan Mata air Brubulan berada pada ketinggian 150 mdpl, sedangkan zona peralihan pada ketinggian lebih kurang 190 mdpl. Temuan sebaran mata air berada pada zona ketinggian 100 – 350 mdpl tersebar di area CAT Watuputih dan di wilayah yang berada di sebelah barat daya, utara dan selatan Pegunungan Watuputih, data ini yang menguatkan bahwa fungsi Pegunungan Watuputih adalah sebagai kawasan karst, dimana akuifer air masih berjalan dengan sangat baik, ini ditandai dengan mata air yang keluar melalui zona-zona rekahan pada setiap ketinggian, dan pembentukan sistem sungai bawah permukaan yang ditemukan dalam Gua Temu menunjukkan bahwa Pegunungan Watuputih merupakan pegunungan yang mengalami proses karstifikasi aktif sebagai bagian dari Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara yang berfungsi sebagai epikarst penyimpan air yang sangat besar bagi penyupali mata air yang ada disekitarnya.

Berdasarkan peta Hidrogeologi, akuifer di CAT Watuputih dikategorikan sebagai akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan, dan saluran. Akuifer ini diperkirakan mempunyai produktifitas sedang dengan penyebaran luas. Kelompok akuifer ini merupakan penyusun utama di CAT Watuputih, berada di bagian tengah daerah penyelidikan. Akuifer ini terbentuk oleh batu gamping Formasi Paciran, yang terdiri dari batugamping pejal dan batu gamping napalan, dengan kelulusan sedang sampai tinggi tergantung derajat karstifikasi pada batugamping.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.

Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

.

62

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

KAMUS ISTILAH

Geomorfologi dikenal juga dengan fisiografi, struktur luar dari batu-batuan dalam hubungannya dengan perkembangan ciri topografis

Topografi keadaan muka bumi pada suatu kawasan atau daerah.

Dolomit batu kapur yang kemasukan ion magnesium sehingga unsur kalsiumnya diganti oleh magnesium, biasa ditemukan di bawah suatu bukit batu kapur (untuk bahan batu tahan api, keramik, dsb)

Marmer batu gamping yg telah mengalami metamorfosis, dan dapat dipakai untuk lantai, dinding, dsb; pualam.

Karbonat mineral hasil senyawa antara karbon (C), oksigen (O2), dan unsur lainnya, misalnya kalsit yg terdapat di dl batuan gamping berupa stalaktit dan stalagmit (Ca.CO3).

Litologi ilmu tentang batu-batuan yang berkenaan dengan sifat fisik, kimia, dan strukturnya

Klastika Batuan sedimen klastika (detritus, mekanik, eksogenik) adalah batuan sedimen yang terbentuk sebagai hasil pengerjaan kembali (reworking) terhadap batuan yang sudah ada. Proses pengerjaan kembali itu meliputi pelapukan, erosi, transportasi dan kemudian redeposisi (pengendapan kembali). Sebagai media proses tersebut adalah air, angin, es atau efek gravitasi (beratnya sendiri).

Lempung batuan berwarna, terutama terdiri atas butir halus silikat alumina berair sbg hasil pelapukan batuan felspar dan batuan silikat alumina lain;

Napal batuan yg terdiri atas lempung dan kalium-karbonat

Formasi Bulu suatu formasi batuan dengan ciri perselingan antara batugamping dengan kalkarenit, kadang – kadang dijumpai adanya sisipan batulempung

Pliosen zaman dalam sejarah perkembangan kulit bumi, kira-kira 16 juta sampai dng 4 juta tahun yanglalu

Deformasi Ketika suatu batuan dikenakan tekanan dengan besar tertentu, maka batuan itu akan mengalami tiga tahap deformasi, yaitu:

Elastic deformation adalah deformasi sementara / tidak permanen. dapat kembali kebentuk awal (reversible). Begitu stress hilang, batuan kembali kebentuk dan volume semula. Seperti karet yang ditarik akan melar tetapi jika dilepas akan kembali ke panjang semula. Elastisitas ini ada batasnya yang disebut elastic limit, yang apabila dilampaui batuan tidak akan kembali pada kondisi awal.

Ductile deformation merupakan deformasi dimana elastic limit dilampaui dan perubahan bentuk dan volume batuan tidak kembali.

Fracture tejadi apabila batas atau limit elastik dan ducktile deformasi dilampaui.

Akuifer lapisan kulit bumi berpori yang dapat menahan air dan terletak di antara dua lapisan yang kedap air.

Page 64: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pemerintah Desa pun ternyata tak lagi netral karena tercium gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena pada Juni 2013 warga desa Tegaldowo dihadang pihak keamanan dan perangkat desa ketika ada acara silaturahmi dengan Pemkab Rembang yang berisi sosialisasi tentang pembangunan pabrik semen.

Juni 2014 kembali warga melakukan aksi dengan mendirikan posko ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam di tenda dan bermalam melakukan istigosah sampai 30 hari berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini seperti Preman, TNI, dan Polisi yang mencoba membubar-paksakan aksi tersebut.

Dari serangkaian aksi penolakan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga Rembang sendiri mengingat sangat strategisnya semen untuk kepentingan negara dan industri.

Dalam isu ini, bahasan kita bisa dimulai dari argumen pemerintah dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan pabrik semen di Rembang berkontribusi dalam membawa kesejahteraan dengan meningkatnya taraf ekonomi warga, daerah, dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di Kecamatan Gunem, Rembang, terdapat dua desa yang bisa dijadikan sampel potret kondisi kesejahteraan warga sekitar yaitu Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa ini mayoritas penduduknya berpencaharian sebagai petani yang mengandalkan sawah, tegalan, sayur mayur dan tanaman palawija juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari karakter mata pencahariannya ini, terlihat bahwa air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi mata pencaharian warga Timbrangan dan Tegal Dowo, khususnya di daerah CAT Watuputih.

Jika melihat taraf hidup warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo sendiri, terdapat beberapa hasil yang didapat dari pemetaan Partisipatory Poverty Assesment untuk mengukur kesejahteraan

PT SI juga berencana untuk memperbesar ekspor dan ekspansi pabrik ke pasar ASEAN. Dan pembangunan pabrik di Rembang ini adalah salah satu yang nantinya dijadikan pemasok komoditas ekspor PT SI ke pasar ASEAN.

Maka kesimpulannya, pembangunan pabrik baru PT Semen Indonesia sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat Indonesia, apalagi warga Rembang. Dalih peningkatan PAD, pertambahan lapangan kerja dan landasan hukumnya yang bahkan menyalahi perundang-undangan yang berlaku sudah cukup bagi kita untuk melihat bahwa tujuan utama pembangunan pabrik semen di Rembang bukanlah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Rembang atau pemenuhan pasokan semen nasional dalam rangka pembangunan infrastruktur nasional MP3EI, tetapi sebagai bentuk dominasi dan ekspansi pasar dalam negeri dan agenda pengumpulan profit sebanyak-banyaknya dalam pemenuhan permintaan proyek property swasta.

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Triliun kekayaan alam dari tanah air yang menjadi penopang hidup berjuta hajat nyawa manusia di Gunem, Rembang akan terenggut oleh pembangunan pabrik semen dengan tujuan agung 'demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah sejahtera tanpa perlu adanya pabrik semen disekitar tempat tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya menghargai tanah leluhur warga Rembang.

Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro pembangunan pabrik semen adalah berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan pabrik.

EKONOMI

LUTHFI ANSHARI

SEMEN: MENILIK DARIKACAMATA EKONOMI

Penambangan karst yang akan mengambil lokasi di sekitar Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan banyak pro kontra, salah satunya datang dari Badan Geologi Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang apabila dilakukan penambangan didalamnya dan pasokan air hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan bahwa penambangan karst untuk produksi bahan baku semen tidak sebanding dengan harga hilangnya sumber mata air di Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) telah mengurus perizinan dan mengantongi izin pembangunan pabrik semen di Rembang sejak tahun 2010 dari pihak Kabupaten Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Pembangunan Pabrik) dan pada tahun 2012 dikeluarkan izin dari Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa jajaran aparat daerah setempat. Hasilnya malah dua warga, Muhlisin dan Masduriantok, mendapatkan intimidasi dari anggota TNI Koramil Gunem bernama Adi Purwoto.

63

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% warga di dua desa ini masuk kedalam kategori sedengan dimana memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2. Menurut hitung cepat yang dilakukan oleh Cahyono dan Kusnadi pada akhir tahun 2014 di Desa Timbrangan, satu desa di kecamatan Gunem mampu menghasilkan total penghasilan dari kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari yang telah melewati batas ambang standar kemiskinan menurut World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

Mari bandingkan dengan jatah corporate social responsibility yang akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk pembangunan pabrik dan program jangka panjangnya di sektor community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk masyarakat sekitar, malah cenderung tidak mampu menyelamatkan warga dari efek kerusakan alam adanya pabrik semen misal, kondisi sumber air menjadi langka semenjang gunung kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan lapangan kerja, pelatihan ketenagakerjaan dan bantuan sembako pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah petani yang terancam tidak dapat bertani lagi karena adanya upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan jumlah yang tak sebanding ini pun tidak mampu dijadikan tumpuan hidup bagi seluruh warga Ring 1 yang mata pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa pembangunan pabrik semen PT SI ini justru akan menambah pengangguran yang diakibatkan alih mata pencaharian ini.

Dari pendapatan desa yang berjumlah rata-rata 23 Milliar per tahun itu PPN atau PPh nya telah disumbangkan sebanyak 11% ke pemerintah, berarti setiap tahunnya Pemerintah Kabupaten Rembang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah atas alokasi pemasukan sebanyak 2,3 Milliar per tahunnya dari produksi pertanian satu desa di Kecamatan Gunem saja. Total 28 Desa di sekitar lokasi Pembangunan Pabrik Semen PT SI maka akan ada sekitar 60 milliar per tahun yang hilang apabila pabrik semen PT SI berdiri. Klaim PAD akan naik apabila adanya pembangunan pabrik telah terpatahkan.

Beralih ke pentingnya semen sebagai sektor pendukung agenda pembangunan negara yaitu Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pernyataan ini dijadikan dalil pada saat PT Semen Indonesia menang perkara di Pengadilan Tinggi Umum Negara pada 16 April kemarin. Dalil ini hanyalah justifikasi PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik di Rembang sebagai upaya melancarkan agenda ekspansi dan dominasi perusahaannya di pasar semen Indonesia, bukannya untuk mendukung kebutuhan semen nasional yang akan menunjang pembangunan industri nasional dibawah MP3EI. Buktinya adalah, Kementrian Perindunstrian, Panggah Susanto, menjelaskan bahwa MP3EI harus menyebar fokusnya tidak hanya di Jawa tetapi luar jawa sehingga ia ingin menggeser permintaan semen ke luar jawa. Hal ini dikarenakan keharusan ketersediaan semen di luar jawa untuk mendukung distribusi konstruksi proyek-proyek MP3EI di Indonesia, 73% tersebar di luar jawa.

Selain hal-hal yang telah dipaparkan, pembangunan pabrik semen PT SI di Rembang juga diselimuti oleh retorika nasionalis lainnya misalnya melindungi ketahanan pasar industri semen dari goncangan produk asing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung. Lagi-lagi adalah argumen yang tidak relevan. Kondisi kompetisi industri semen Indonesia (yang tidak sehat karena karakteristik pasar yang oligopolis) belakangan turun geliatnya di pasar industri semen karena PT SI sebagai share leader mematok harga terlalu tinggi sehingga terjadi persaingan tidak sehat sampai pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk merangkul perusahaan lain untuk masuk ke dalam kompetisi pasar semen sehingga pasar tidak melulu didominasi oleh PT Semen Indonesia.

Page 65: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pemerintah Desa pun ternyata tak lagi netral karena tercium gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena pada Juni 2013 warga desa Tegaldowo dihadang pihak keamanan dan perangkat desa ketika ada acara silaturahmi dengan Pemkab Rembang yang berisi sosialisasi tentang pembangunan pabrik semen.

Juni 2014 kembali warga melakukan aksi dengan mendirikan posko ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam di tenda dan bermalam melakukan istigosah sampai 30 hari berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini seperti Preman, TNI, dan Polisi yang mencoba membubar-paksakan aksi tersebut.

Dari serangkaian aksi penolakan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga Rembang sendiri mengingat sangat strategisnya semen untuk kepentingan negara dan industri.

Dalam isu ini, bahasan kita bisa dimulai dari argumen pemerintah dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan pabrik semen di Rembang berkontribusi dalam membawa kesejahteraan dengan meningkatnya taraf ekonomi warga, daerah, dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di Kecamatan Gunem, Rembang, terdapat dua desa yang bisa dijadikan sampel potret kondisi kesejahteraan warga sekitar yaitu Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa ini mayoritas penduduknya berpencaharian sebagai petani yang mengandalkan sawah, tegalan, sayur mayur dan tanaman palawija juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari karakter mata pencahariannya ini, terlihat bahwa air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi mata pencaharian warga Timbrangan dan Tegal Dowo, khususnya di daerah CAT Watuputih.

Jika melihat taraf hidup warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo sendiri, terdapat beberapa hasil yang didapat dari pemetaan Partisipatory Poverty Assesment untuk mengukur kesejahteraan

64

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

PT SI juga berencana untuk memperbesar ekspor dan ekspansi pabrik ke pasar ASEAN. Dan pembangunan pabrik di Rembang ini adalah salah satu yang nantinya dijadikan pemasok komoditas ekspor PT SI ke pasar ASEAN.

Maka kesimpulannya, pembangunan pabrik baru PT Semen Indonesia sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat Indonesia, apalagi warga Rembang. Dalih peningkatan PAD, pertambahan lapangan kerja dan landasan hukumnya yang bahkan menyalahi perundang-undangan yang berlaku sudah cukup bagi kita untuk melihat bahwa tujuan utama pembangunan pabrik semen di Rembang bukanlah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Rembang atau pemenuhan pasokan semen nasional dalam rangka pembangunan infrastruktur nasional MP3EI, tetapi sebagai bentuk dominasi dan ekspansi pasar dalam negeri dan agenda pengumpulan profit sebanyak-banyaknya dalam pemenuhan permintaan proyek property swasta.

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Triliun kekayaan alam dari tanah air yang menjadi penopang hidup berjuta hajat nyawa manusia di Gunem, Rembang akan terenggut oleh pembangunan pabrik semen dengan tujuan agung 'demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah sejahtera tanpa perlu adanya pabrik semen disekitar tempat tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya menghargai tanah leluhur warga Rembang.

Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro pembangunan pabrik semen adalah berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan pabrik.

Penambangan karst yang akan mengambil lokasi di sekitar Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan banyak pro kontra, salah satunya datang dari Badan Geologi Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang apabila dilakukan penambangan didalamnya dan pasokan air hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan bahwa penambangan karst untuk produksi bahan baku semen tidak sebanding dengan harga hilangnya sumber mata air di Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) telah mengurus perizinan dan mengantongi izin pembangunan pabrik semen di Rembang sejak tahun 2010 dari pihak Kabupaten Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Pembangunan Pabrik) dan pada tahun 2012 dikeluarkan izin dari Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa jajaran aparat daerah setempat. Hasilnya malah dua warga, Muhlisin dan Masduriantok, mendapatkan intimidasi dari anggota TNI Koramil Gunem bernama Adi Purwoto.

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% warga di dua desa ini masuk kedalam kategori sedengan dimana memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2. Menurut hitung cepat yang dilakukan oleh Cahyono dan Kusnadi pada akhir tahun 2014 di Desa Timbrangan, satu desa di kecamatan Gunem mampu menghasilkan total penghasilan dari kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari yang telah melewati batas ambang standar kemiskinan menurut World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

Mari bandingkan dengan jatah corporate social responsibility yang akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk pembangunan pabrik dan program jangka panjangnya di sektor community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk masyarakat sekitar, malah cenderung tidak mampu menyelamatkan warga dari efek kerusakan alam adanya pabrik semen misal, kondisi sumber air menjadi langka semenjang gunung kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan lapangan kerja, pelatihan ketenagakerjaan dan bantuan sembako pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah petani yang terancam tidak dapat bertani lagi karena adanya upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan jumlah yang tak sebanding ini pun tidak mampu dijadikan tumpuan hidup bagi seluruh warga Ring 1 yang mata pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa pembangunan pabrik semen PT SI ini justru akan menambah pengangguran yang diakibatkan alih mata pencaharian ini.

Dari pendapatan desa yang berjumlah rata-rata 23 Milliar per tahun itu PPN atau PPh nya telah disumbangkan sebanyak 11% ke pemerintah, berarti setiap tahunnya Pemerintah Kabupaten Rembang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah atas alokasi pemasukan sebanyak 2,3 Milliar per tahunnya dari produksi pertanian satu desa di Kecamatan Gunem saja. Total 28 Desa di sekitar lokasi Pembangunan Pabrik Semen PT SI maka akan ada sekitar 60 milliar per tahun yang hilang apabila pabrik semen PT SI berdiri. Klaim PAD akan naik apabila adanya pembangunan pabrik telah terpatahkan.

Beralih ke pentingnya semen sebagai sektor pendukung agenda pembangunan negara yaitu Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pernyataan ini dijadikan dalil pada saat PT Semen Indonesia menang perkara di Pengadilan Tinggi Umum Negara pada 16 April kemarin. Dalil ini hanyalah justifikasi PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik di Rembang sebagai upaya melancarkan agenda ekspansi dan dominasi perusahaannya di pasar semen Indonesia, bukannya untuk mendukung kebutuhan semen nasional yang akan menunjang pembangunan industri nasional dibawah MP3EI. Buktinya adalah, Kementrian Perindunstrian, Panggah Susanto, menjelaskan bahwa MP3EI harus menyebar fokusnya tidak hanya di Jawa tetapi luar jawa sehingga ia ingin menggeser permintaan semen ke luar jawa. Hal ini dikarenakan keharusan ketersediaan semen di luar jawa untuk mendukung distribusi konstruksi proyek-proyek MP3EI di Indonesia, 73% tersebar di luar jawa.

Selain hal-hal yang telah dipaparkan, pembangunan pabrik semen PT SI di Rembang juga diselimuti oleh retorika nasionalis lainnya misalnya melindungi ketahanan pasar industri semen dari goncangan produk asing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung. Lagi-lagi adalah argumen yang tidak relevan. Kondisi kompetisi industri semen Indonesia (yang tidak sehat karena karakteristik pasar yang oligopolis) belakangan turun geliatnya di pasar industri semen karena PT SI sebagai share leader mematok harga terlalu tinggi sehingga terjadi persaingan tidak sehat sampai pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk merangkul perusahaan lain untuk masuk ke dalam kompetisi pasar semen sehingga pasar tidak melulu didominasi oleh PT Semen Indonesia.

Page 66: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pemerintah Desa pun ternyata tak lagi netral karena tercium gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena pada Juni 2013 warga desa Tegaldowo dihadang pihak keamanan dan perangkat desa ketika ada acara silaturahmi dengan Pemkab Rembang yang berisi sosialisasi tentang pembangunan pabrik semen.

Juni 2014 kembali warga melakukan aksi dengan mendirikan posko ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam di tenda dan bermalam melakukan istigosah sampai 30 hari berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini seperti Preman, TNI, dan Polisi yang mencoba membubar-paksakan aksi tersebut.

Dari serangkaian aksi penolakan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga Rembang sendiri mengingat sangat strategisnya semen untuk kepentingan negara dan industri.

Dalam isu ini, bahasan kita bisa dimulai dari argumen pemerintah dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan pabrik semen di Rembang berkontribusi dalam membawa kesejahteraan dengan meningkatnya taraf ekonomi warga, daerah, dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di Kecamatan Gunem, Rembang, terdapat dua desa yang bisa dijadikan sampel potret kondisi kesejahteraan warga sekitar yaitu Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa ini mayoritas penduduknya berpencaharian sebagai petani yang mengandalkan sawah, tegalan, sayur mayur dan tanaman palawija juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari karakter mata pencahariannya ini, terlihat bahwa air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi mata pencaharian warga Timbrangan dan Tegal Dowo, khususnya di daerah CAT Watuputih.

Jika melihat taraf hidup warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo sendiri, terdapat beberapa hasil yang didapat dari pemetaan Partisipatory Poverty Assesment untuk mengukur kesejahteraan

PT SI juga berencana untuk memperbesar ekspor dan ekspansi pabrik ke pasar ASEAN. Dan pembangunan pabrik di Rembang ini adalah salah satu yang nantinya dijadikan pemasok komoditas ekspor PT SI ke pasar ASEAN.

Maka kesimpulannya, pembangunan pabrik baru PT Semen Indonesia sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat Indonesia, apalagi warga Rembang. Dalih peningkatan PAD, pertambahan lapangan kerja dan landasan hukumnya yang bahkan menyalahi perundang-undangan yang berlaku sudah cukup bagi kita untuk melihat bahwa tujuan utama pembangunan pabrik semen di Rembang bukanlah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Rembang atau pemenuhan pasokan semen nasional dalam rangka pembangunan infrastruktur nasional MP3EI, tetapi sebagai bentuk dominasi dan ekspansi pasar dalam negeri dan agenda pengumpulan profit sebanyak-banyaknya dalam pemenuhan permintaan proyek property swasta.

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Triliun kekayaan alam dari tanah air yang menjadi penopang hidup berjuta hajat nyawa manusia di Gunem, Rembang akan terenggut oleh pembangunan pabrik semen dengan tujuan agung 'demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah sejahtera tanpa perlu adanya pabrik semen disekitar tempat tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya menghargai tanah leluhur warga Rembang.

Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro pembangunan pabrik semen adalah berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan pabrik.

Penambangan karst yang akan mengambil lokasi di sekitar Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan banyak pro kontra, salah satunya datang dari Badan Geologi Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang apabila dilakukan penambangan didalamnya dan pasokan air hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan bahwa penambangan karst untuk produksi bahan baku semen tidak sebanding dengan harga hilangnya sumber mata air di Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) telah mengurus perizinan dan mengantongi izin pembangunan pabrik semen di Rembang sejak tahun 2010 dari pihak Kabupaten Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Pembangunan Pabrik) dan pada tahun 2012 dikeluarkan izin dari Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa jajaran aparat daerah setempat. Hasilnya malah dua warga, Muhlisin dan Masduriantok, mendapatkan intimidasi dari anggota TNI Koramil Gunem bernama Adi Purwoto.

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% warga di dua desa ini masuk kedalam kategori sedengan dimana memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2. Menurut hitung cepat yang dilakukan oleh Cahyono dan Kusnadi pada akhir tahun 2014 di Desa Timbrangan, satu desa di kecamatan Gunem mampu menghasilkan total penghasilan dari kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari yang telah melewati batas ambang standar kemiskinan menurut World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

Mari bandingkan dengan jatah corporate social responsibility yang akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk pembangunan pabrik dan program jangka panjangnya di sektor community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk masyarakat sekitar, malah cenderung tidak mampu menyelamatkan warga dari efek kerusakan alam adanya pabrik semen misal, kondisi sumber air menjadi langka semenjang gunung kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan lapangan kerja, pelatihan ketenagakerjaan dan bantuan sembako pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah petani yang terancam tidak dapat bertani lagi karena adanya upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan jumlah yang tak sebanding ini pun tidak mampu dijadikan tumpuan hidup bagi seluruh warga Ring 1 yang mata pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa pembangunan pabrik semen PT SI ini justru akan menambah pengangguran yang diakibatkan alih mata pencaharian ini.

65

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Dari pendapatan desa yang berjumlah rata-rata 23 Milliar per tahun itu PPN atau PPh nya telah disumbangkan sebanyak 11% ke pemerintah, berarti setiap tahunnya Pemerintah Kabupaten Rembang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah atas alokasi pemasukan sebanyak 2,3 Milliar per tahunnya dari produksi pertanian satu desa di Kecamatan Gunem saja. Total 28 Desa di sekitar lokasi Pembangunan Pabrik Semen PT SI maka akan ada sekitar 60 milliar per tahun yang hilang apabila pabrik semen PT SI berdiri. Klaim PAD akan naik apabila adanya pembangunan pabrik telah terpatahkan.

Beralih ke pentingnya semen sebagai sektor pendukung agenda pembangunan negara yaitu Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pernyataan ini dijadikan dalil pada saat PT Semen Indonesia menang perkara di Pengadilan Tinggi Umum Negara pada 16 April kemarin. Dalil ini hanyalah justifikasi PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik di Rembang sebagai upaya melancarkan agenda ekspansi dan dominasi perusahaannya di pasar semen Indonesia, bukannya untuk mendukung kebutuhan semen nasional yang akan menunjang pembangunan industri nasional dibawah MP3EI. Buktinya adalah, Kementrian Perindunstrian, Panggah Susanto, menjelaskan bahwa MP3EI harus menyebar fokusnya tidak hanya di Jawa tetapi luar jawa sehingga ia ingin menggeser permintaan semen ke luar jawa. Hal ini dikarenakan keharusan ketersediaan semen di luar jawa untuk mendukung distribusi konstruksi proyek-proyek MP3EI di Indonesia, 73% tersebar di luar jawa.

Selain hal-hal yang telah dipaparkan, pembangunan pabrik semen PT SI di Rembang juga diselimuti oleh retorika nasionalis lainnya misalnya melindungi ketahanan pasar industri semen dari goncangan produk asing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung. Lagi-lagi adalah argumen yang tidak relevan. Kondisi kompetisi industri semen Indonesia (yang tidak sehat karena karakteristik pasar yang oligopolis) belakangan turun geliatnya di pasar industri semen karena PT SI sebagai share leader mematok harga terlalu tinggi sehingga terjadi persaingan tidak sehat sampai pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk merangkul perusahaan lain untuk masuk ke dalam kompetisi pasar semen sehingga pasar tidak melulu didominasi oleh PT Semen Indonesia.

Page 67: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pemerintah Desa pun ternyata tak lagi netral karena tercium gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena pada Juni 2013 warga desa Tegaldowo dihadang pihak keamanan dan perangkat desa ketika ada acara silaturahmi dengan Pemkab Rembang yang berisi sosialisasi tentang pembangunan pabrik semen.

Juni 2014 kembali warga melakukan aksi dengan mendirikan posko ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam di tenda dan bermalam melakukan istigosah sampai 30 hari berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini seperti Preman, TNI, dan Polisi yang mencoba membubar-paksakan aksi tersebut.

Dari serangkaian aksi penolakan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga Rembang sendiri mengingat sangat strategisnya semen untuk kepentingan negara dan industri.

Dalam isu ini, bahasan kita bisa dimulai dari argumen pemerintah dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan pabrik semen di Rembang berkontribusi dalam membawa kesejahteraan dengan meningkatnya taraf ekonomi warga, daerah, dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di Kecamatan Gunem, Rembang, terdapat dua desa yang bisa dijadikan sampel potret kondisi kesejahteraan warga sekitar yaitu Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa ini mayoritas penduduknya berpencaharian sebagai petani yang mengandalkan sawah, tegalan, sayur mayur dan tanaman palawija juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari karakter mata pencahariannya ini, terlihat bahwa air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi mata pencaharian warga Timbrangan dan Tegal Dowo, khususnya di daerah CAT Watuputih.

Jika melihat taraf hidup warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo sendiri, terdapat beberapa hasil yang didapat dari pemetaan Partisipatory Poverty Assesment untuk mengukur kesejahteraan

PT SI juga berencana untuk memperbesar ekspor dan ekspansi pabrik ke pasar ASEAN. Dan pembangunan pabrik di Rembang ini adalah salah satu yang nantinya dijadikan pemasok komoditas ekspor PT SI ke pasar ASEAN.

Maka kesimpulannya, pembangunan pabrik baru PT Semen Indonesia sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat Indonesia, apalagi warga Rembang. Dalih peningkatan PAD, pertambahan lapangan kerja dan landasan hukumnya yang bahkan menyalahi perundang-undangan yang berlaku sudah cukup bagi kita untuk melihat bahwa tujuan utama pembangunan pabrik semen di Rembang bukanlah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Rembang atau pemenuhan pasokan semen nasional dalam rangka pembangunan infrastruktur nasional MP3EI, tetapi sebagai bentuk dominasi dan ekspansi pasar dalam negeri dan agenda pengumpulan profit sebanyak-banyaknya dalam pemenuhan permintaan proyek property swasta.

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Triliun kekayaan alam dari tanah air yang menjadi penopang hidup berjuta hajat nyawa manusia di Gunem, Rembang akan terenggut oleh pembangunan pabrik semen dengan tujuan agung 'demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah sejahtera tanpa perlu adanya pabrik semen disekitar tempat tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya menghargai tanah leluhur warga Rembang.

Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro pembangunan pabrik semen adalah berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan pabrik.

66

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Penambangan karst yang akan mengambil lokasi di sekitar Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan banyak pro kontra, salah satunya datang dari Badan Geologi Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang apabila dilakukan penambangan didalamnya dan pasokan air hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan bahwa penambangan karst untuk produksi bahan baku semen tidak sebanding dengan harga hilangnya sumber mata air di Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) telah mengurus perizinan dan mengantongi izin pembangunan pabrik semen di Rembang sejak tahun 2010 dari pihak Kabupaten Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Pembangunan Pabrik) dan pada tahun 2012 dikeluarkan izin dari Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa jajaran aparat daerah setempat. Hasilnya malah dua warga, Muhlisin dan Masduriantok, mendapatkan intimidasi dari anggota TNI Koramil Gunem bernama Adi Purwoto.

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% warga di dua desa ini masuk kedalam kategori sedengan dimana memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2. Menurut hitung cepat yang dilakukan oleh Cahyono dan Kusnadi pada akhir tahun 2014 di Desa Timbrangan, satu desa di kecamatan Gunem mampu menghasilkan total penghasilan dari kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari yang telah melewati batas ambang standar kemiskinan menurut World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

Mari bandingkan dengan jatah corporate social responsibility yang akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk pembangunan pabrik dan program jangka panjangnya di sektor community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk masyarakat sekitar, malah cenderung tidak mampu menyelamatkan warga dari efek kerusakan alam adanya pabrik semen misal, kondisi sumber air menjadi langka semenjang gunung kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan lapangan kerja, pelatihan ketenagakerjaan dan bantuan sembako pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah petani yang terancam tidak dapat bertani lagi karena adanya upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan jumlah yang tak sebanding ini pun tidak mampu dijadikan tumpuan hidup bagi seluruh warga Ring 1 yang mata pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa pembangunan pabrik semen PT SI ini justru akan menambah pengangguran yang diakibatkan alih mata pencaharian ini.

Dari pendapatan desa yang berjumlah rata-rata 23 Milliar per tahun itu PPN atau PPh nya telah disumbangkan sebanyak 11% ke pemerintah, berarti setiap tahunnya Pemerintah Kabupaten Rembang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah atas alokasi pemasukan sebanyak 2,3 Milliar per tahunnya dari produksi pertanian satu desa di Kecamatan Gunem saja. Total 28 Desa di sekitar lokasi Pembangunan Pabrik Semen PT SI maka akan ada sekitar 60 milliar per tahun yang hilang apabila pabrik semen PT SI berdiri. Klaim PAD akan naik apabila adanya pembangunan pabrik telah terpatahkan.

Beralih ke pentingnya semen sebagai sektor pendukung agenda pembangunan negara yaitu Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pernyataan ini dijadikan dalil pada saat PT Semen Indonesia menang perkara di Pengadilan Tinggi Umum Negara pada 16 April kemarin. Dalil ini hanyalah justifikasi PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik di Rembang sebagai upaya melancarkan agenda ekspansi dan dominasi perusahaannya di pasar semen Indonesia, bukannya untuk mendukung kebutuhan semen nasional yang akan menunjang pembangunan industri nasional dibawah MP3EI. Buktinya adalah, Kementrian Perindunstrian, Panggah Susanto, menjelaskan bahwa MP3EI harus menyebar fokusnya tidak hanya di Jawa tetapi luar jawa sehingga ia ingin menggeser permintaan semen ke luar jawa. Hal ini dikarenakan keharusan ketersediaan semen di luar jawa untuk mendukung distribusi konstruksi proyek-proyek MP3EI di Indonesia, 73% tersebar di luar jawa.

Selain hal-hal yang telah dipaparkan, pembangunan pabrik semen PT SI di Rembang juga diselimuti oleh retorika nasionalis lainnya misalnya melindungi ketahanan pasar industri semen dari goncangan produk asing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung. Lagi-lagi adalah argumen yang tidak relevan. Kondisi kompetisi industri semen Indonesia (yang tidak sehat karena karakteristik pasar yang oligopolis) belakangan turun geliatnya di pasar industri semen karena PT SI sebagai share leader mematok harga terlalu tinggi sehingga terjadi persaingan tidak sehat sampai pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk merangkul perusahaan lain untuk masuk ke dalam kompetisi pasar semen sehingga pasar tidak melulu didominasi oleh PT Semen Indonesia.

Page 68: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pemerintah Desa pun ternyata tak lagi netral karena tercium gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena pada Juni 2013 warga desa Tegaldowo dihadang pihak keamanan dan perangkat desa ketika ada acara silaturahmi dengan Pemkab Rembang yang berisi sosialisasi tentang pembangunan pabrik semen.

Juni 2014 kembali warga melakukan aksi dengan mendirikan posko ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam di tenda dan bermalam melakukan istigosah sampai 30 hari berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini seperti Preman, TNI, dan Polisi yang mencoba membubar-paksakan aksi tersebut.

Dari serangkaian aksi penolakan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga Rembang sendiri mengingat sangat strategisnya semen untuk kepentingan negara dan industri.

Dalam isu ini, bahasan kita bisa dimulai dari argumen pemerintah dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan pabrik semen di Rembang berkontribusi dalam membawa kesejahteraan dengan meningkatnya taraf ekonomi warga, daerah, dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di Kecamatan Gunem, Rembang, terdapat dua desa yang bisa dijadikan sampel potret kondisi kesejahteraan warga sekitar yaitu Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa ini mayoritas penduduknya berpencaharian sebagai petani yang mengandalkan sawah, tegalan, sayur mayur dan tanaman palawija juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari karakter mata pencahariannya ini, terlihat bahwa air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi mata pencaharian warga Timbrangan dan Tegal Dowo, khususnya di daerah CAT Watuputih.

Jika melihat taraf hidup warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo sendiri, terdapat beberapa hasil yang didapat dari pemetaan Partisipatory Poverty Assesment untuk mengukur kesejahteraan

PT SI juga berencana untuk memperbesar ekspor dan ekspansi pabrik ke pasar ASEAN. Dan pembangunan pabrik di Rembang ini adalah salah satu yang nantinya dijadikan pemasok komoditas ekspor PT SI ke pasar ASEAN.

Maka kesimpulannya, pembangunan pabrik baru PT Semen Indonesia sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat Indonesia, apalagi warga Rembang. Dalih peningkatan PAD, pertambahan lapangan kerja dan landasan hukumnya yang bahkan menyalahi perundang-undangan yang berlaku sudah cukup bagi kita untuk melihat bahwa tujuan utama pembangunan pabrik semen di Rembang bukanlah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Rembang atau pemenuhan pasokan semen nasional dalam rangka pembangunan infrastruktur nasional MP3EI, tetapi sebagai bentuk dominasi dan ekspansi pasar dalam negeri dan agenda pengumpulan profit sebanyak-banyaknya dalam pemenuhan permintaan proyek property swasta.

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Triliun kekayaan alam dari tanah air yang menjadi penopang hidup berjuta hajat nyawa manusia di Gunem, Rembang akan terenggut oleh pembangunan pabrik semen dengan tujuan agung 'demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah sejahtera tanpa perlu adanya pabrik semen disekitar tempat tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya menghargai tanah leluhur warga Rembang.

Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro pembangunan pabrik semen adalah berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan pabrik.

Penambangan karst yang akan mengambil lokasi di sekitar Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan banyak pro kontra, salah satunya datang dari Badan Geologi Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang apabila dilakukan penambangan didalamnya dan pasokan air hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan bahwa penambangan karst untuk produksi bahan baku semen tidak sebanding dengan harga hilangnya sumber mata air di Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) telah mengurus perizinan dan mengantongi izin pembangunan pabrik semen di Rembang sejak tahun 2010 dari pihak Kabupaten Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Pembangunan Pabrik) dan pada tahun 2012 dikeluarkan izin dari Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa jajaran aparat daerah setempat. Hasilnya malah dua warga, Muhlisin dan Masduriantok, mendapatkan intimidasi dari anggota TNI Koramil Gunem bernama Adi Purwoto.

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% warga di dua desa ini masuk kedalam kategori sedengan dimana memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2. Menurut hitung cepat yang dilakukan oleh Cahyono dan Kusnadi pada akhir tahun 2014 di Desa Timbrangan, satu desa di kecamatan Gunem mampu menghasilkan total penghasilan dari kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari yang telah melewati batas ambang standar kemiskinan menurut World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

Mari bandingkan dengan jatah corporate social responsibility yang akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk pembangunan pabrik dan program jangka panjangnya di sektor community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk masyarakat sekitar, malah cenderung tidak mampu menyelamatkan warga dari efek kerusakan alam adanya pabrik semen misal, kondisi sumber air menjadi langka semenjang gunung kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan lapangan kerja, pelatihan ketenagakerjaan dan bantuan sembako pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah petani yang terancam tidak dapat bertani lagi karena adanya upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan jumlah yang tak sebanding ini pun tidak mampu dijadikan tumpuan hidup bagi seluruh warga Ring 1 yang mata pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa pembangunan pabrik semen PT SI ini justru akan menambah pengangguran yang diakibatkan alih mata pencaharian ini.

Dari pendapatan desa yang berjumlah rata-rata 23 Milliar per tahun itu PPN atau PPh nya telah disumbangkan sebanyak 11% ke pemerintah, berarti setiap tahunnya Pemerintah Kabupaten Rembang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah atas alokasi pemasukan sebanyak 2,3 Milliar per tahunnya dari produksi pertanian satu desa di Kecamatan Gunem saja. Total 28 Desa di sekitar lokasi Pembangunan Pabrik Semen PT SI maka akan ada sekitar 60 milliar per tahun yang hilang apabila pabrik semen PT SI berdiri. Klaim PAD akan naik apabila adanya pembangunan pabrik telah terpatahkan.

Beralih ke pentingnya semen sebagai sektor pendukung agenda pembangunan negara yaitu Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pernyataan ini dijadikan dalil pada saat PT Semen Indonesia menang perkara di Pengadilan Tinggi Umum Negara pada 16 April kemarin. Dalil ini hanyalah justifikasi PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik di Rembang sebagai upaya melancarkan agenda ekspansi dan dominasi perusahaannya di pasar semen Indonesia, bukannya untuk mendukung kebutuhan semen nasional yang akan menunjang pembangunan industri nasional dibawah MP3EI. Buktinya adalah, Kementrian Perindunstrian, Panggah Susanto, menjelaskan bahwa MP3EI harus menyebar fokusnya tidak hanya di Jawa tetapi luar jawa sehingga ia ingin menggeser permintaan semen ke luar jawa. Hal ini dikarenakan keharusan ketersediaan semen di luar jawa untuk mendukung distribusi konstruksi proyek-proyek MP3EI di Indonesia, 73% tersebar di luar jawa.

Selain hal-hal yang telah dipaparkan, pembangunan pabrik semen PT SI di Rembang juga diselimuti oleh retorika nasionalis lainnya misalnya melindungi ketahanan pasar industri semen dari goncangan produk asing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung. Lagi-lagi adalah argumen yang tidak relevan. Kondisi kompetisi industri semen Indonesia (yang tidak sehat karena karakteristik pasar yang oligopolis) belakangan turun geliatnya di pasar industri semen karena PT SI sebagai share leader mematok harga terlalu tinggi sehingga terjadi persaingan tidak sehat sampai pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk merangkul perusahaan lain untuk masuk ke dalam kompetisi pasar semen sehingga pasar tidak melulu didominasi oleh PT Semen Indonesia.

67

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 69: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pemerintah Desa pun ternyata tak lagi netral karena tercium gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena pada Juni 2013 warga desa Tegaldowo dihadang pihak keamanan dan perangkat desa ketika ada acara silaturahmi dengan Pemkab Rembang yang berisi sosialisasi tentang pembangunan pabrik semen.

Juni 2014 kembali warga melakukan aksi dengan mendirikan posko ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam di tenda dan bermalam melakukan istigosah sampai 30 hari berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini seperti Preman, TNI, dan Polisi yang mencoba membubar-paksakan aksi tersebut.

Dari serangkaian aksi penolakan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga Rembang sendiri mengingat sangat strategisnya semen untuk kepentingan negara dan industri.

Dalam isu ini, bahasan kita bisa dimulai dari argumen pemerintah dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan pabrik semen di Rembang berkontribusi dalam membawa kesejahteraan dengan meningkatnya taraf ekonomi warga, daerah, dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di Kecamatan Gunem, Rembang, terdapat dua desa yang bisa dijadikan sampel potret kondisi kesejahteraan warga sekitar yaitu Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa ini mayoritas penduduknya berpencaharian sebagai petani yang mengandalkan sawah, tegalan, sayur mayur dan tanaman palawija juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari karakter mata pencahariannya ini, terlihat bahwa air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi mata pencaharian warga Timbrangan dan Tegal Dowo, khususnya di daerah CAT Watuputih.

Jika melihat taraf hidup warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo sendiri, terdapat beberapa hasil yang didapat dari pemetaan Partisipatory Poverty Assesment untuk mengukur kesejahteraan

PT SI juga berencana untuk memperbesar ekspor dan ekspansi pabrik ke pasar ASEAN. Dan pembangunan pabrik di Rembang ini adalah salah satu yang nantinya dijadikan pemasok komoditas ekspor PT SI ke pasar ASEAN.

Maka kesimpulannya, pembangunan pabrik baru PT Semen Indonesia sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat Indonesia, apalagi warga Rembang. Dalih peningkatan PAD, pertambahan lapangan kerja dan landasan hukumnya yang bahkan menyalahi perundang-undangan yang berlaku sudah cukup bagi kita untuk melihat bahwa tujuan utama pembangunan pabrik semen di Rembang bukanlah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Rembang atau pemenuhan pasokan semen nasional dalam rangka pembangunan infrastruktur nasional MP3EI, tetapi sebagai bentuk dominasi dan ekspansi pasar dalam negeri dan agenda pengumpulan profit sebanyak-banyaknya dalam pemenuhan permintaan proyek property swasta.

68

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Triliun kekayaan alam dari tanah air yang menjadi penopang hidup berjuta hajat nyawa manusia di Gunem, Rembang akan terenggut oleh pembangunan pabrik semen dengan tujuan agung 'demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah sejahtera tanpa perlu adanya pabrik semen disekitar tempat tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya menghargai tanah leluhur warga Rembang.

Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro pembangunan pabrik semen adalah berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan pabrik.

Penambangan karst yang akan mengambil lokasi di sekitar Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan banyak pro kontra, salah satunya datang dari Badan Geologi Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang apabila dilakukan penambangan didalamnya dan pasokan air hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan bahwa penambangan karst untuk produksi bahan baku semen tidak sebanding dengan harga hilangnya sumber mata air di Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) telah mengurus perizinan dan mengantongi izin pembangunan pabrik semen di Rembang sejak tahun 2010 dari pihak Kabupaten Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Pembangunan Pabrik) dan pada tahun 2012 dikeluarkan izin dari Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa jajaran aparat daerah setempat. Hasilnya malah dua warga, Muhlisin dan Masduriantok, mendapatkan intimidasi dari anggota TNI Koramil Gunem bernama Adi Purwoto.

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% warga di dua desa ini masuk kedalam kategori sedengan dimana memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2. Menurut hitung cepat yang dilakukan oleh Cahyono dan Kusnadi pada akhir tahun 2014 di Desa Timbrangan, satu desa di kecamatan Gunem mampu menghasilkan total penghasilan dari kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari yang telah melewati batas ambang standar kemiskinan menurut World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

Mari bandingkan dengan jatah corporate social responsibility yang akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk pembangunan pabrik dan program jangka panjangnya di sektor community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk masyarakat sekitar, malah cenderung tidak mampu menyelamatkan warga dari efek kerusakan alam adanya pabrik semen misal, kondisi sumber air menjadi langka semenjang gunung kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan lapangan kerja, pelatihan ketenagakerjaan dan bantuan sembako pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah petani yang terancam tidak dapat bertani lagi karena adanya upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan jumlah yang tak sebanding ini pun tidak mampu dijadikan tumpuan hidup bagi seluruh warga Ring 1 yang mata pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa pembangunan pabrik semen PT SI ini justru akan menambah pengangguran yang diakibatkan alih mata pencaharian ini.

Dari pendapatan desa yang berjumlah rata-rata 23 Milliar per tahun itu PPN atau PPh nya telah disumbangkan sebanyak 11% ke pemerintah, berarti setiap tahunnya Pemerintah Kabupaten Rembang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah atas alokasi pemasukan sebanyak 2,3 Milliar per tahunnya dari produksi pertanian satu desa di Kecamatan Gunem saja. Total 28 Desa di sekitar lokasi Pembangunan Pabrik Semen PT SI maka akan ada sekitar 60 milliar per tahun yang hilang apabila pabrik semen PT SI berdiri. Klaim PAD akan naik apabila adanya pembangunan pabrik telah terpatahkan.

Beralih ke pentingnya semen sebagai sektor pendukung agenda pembangunan negara yaitu Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pernyataan ini dijadikan dalil pada saat PT Semen Indonesia menang perkara di Pengadilan Tinggi Umum Negara pada 16 April kemarin. Dalil ini hanyalah justifikasi PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik di Rembang sebagai upaya melancarkan agenda ekspansi dan dominasi perusahaannya di pasar semen Indonesia, bukannya untuk mendukung kebutuhan semen nasional yang akan menunjang pembangunan industri nasional dibawah MP3EI. Buktinya adalah, Kementrian Perindunstrian, Panggah Susanto, menjelaskan bahwa MP3EI harus menyebar fokusnya tidak hanya di Jawa tetapi luar jawa sehingga ia ingin menggeser permintaan semen ke luar jawa. Hal ini dikarenakan keharusan ketersediaan semen di luar jawa untuk mendukung distribusi konstruksi proyek-proyek MP3EI di Indonesia, 73% tersebar di luar jawa.

Selain hal-hal yang telah dipaparkan, pembangunan pabrik semen PT SI di Rembang juga diselimuti oleh retorika nasionalis lainnya misalnya melindungi ketahanan pasar industri semen dari goncangan produk asing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung. Lagi-lagi adalah argumen yang tidak relevan. Kondisi kompetisi industri semen Indonesia (yang tidak sehat karena karakteristik pasar yang oligopolis) belakangan turun geliatnya di pasar industri semen karena PT SI sebagai share leader mematok harga terlalu tinggi sehingga terjadi persaingan tidak sehat sampai pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk merangkul perusahaan lain untuk masuk ke dalam kompetisi pasar semen sehingga pasar tidak melulu didominasi oleh PT Semen Indonesia.

Page 70: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Hak asasi yang dimaksud oleh Locke tentu saja merupakan hak alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia sedari lahir. Sebuah hak yang terberi (given) dari Tuhan. Hak itu merupakan hak atas kehidupan, hak kebebasan, dan hak untuk mencapai kebahagiaan. Hak-hak pada keadaan alamiah inilah yang kelak dikembangkan menjadi konsep yang dikenal sebagai HAM pada dunia modern dengan disahkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris. Melalui DUHAM, PBB seolah-olah ingin menekankan bahwa konsep HAM diasari oleh hukum kodrat alamiah yang dianggap lebih tinggi dari hukum negara, sehingga tidak dapat dihapuskan dan diganggu gugat (Alkatiri, 2010).

Sejatinya, Indonesia adalah sebuah bangsa yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hal ini terlihat pada tercantumnya prinisip-prinsip penegakan HAM pada dasar-dasar negara ini, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pancasila, ada dua sila yang dengan tegas menekankan penjaminan akan hak warganya, yaitu pada sila ke dua dan sila ke lima. Sedangkan pada UUD 1945, pasal-pasal penjaminan akan hak asasi warganya terdapat dalam pasal 28, dimana dalam pasal ini terkandung 27 materi tentang Hak Asasi Manusia (Asshidiqie, 2005).

Kedua dasar republik ini ternyata telah dirumuskan sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) atau lebih sering disingkat DUHAM yang dideklarasikan di Paris pada tahun 1948. Kini, DUHAM lah yang menjadi acuan bagi negara di seluruh dunia untuk mengenali dan mendefiniskan HAM. Seperti kita ketahui bersama, kedua asas dasar negara tersebut dilahirkan dari pergumulan panjang yang tidak saja dari prinsip kebebasan dunia internasional, melainkan juga digali dari mutiara-mutiara kebijaksanaan hidup bangsa kita sendiri. dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya manusia indonesia itu memiliki kebudayaan untuk menghargai hak asasi manusia.

Niatan baik pemerintah Indonesia dalam perlindungan HAM juga terlihat lebih serius pasca Reformasi 1998. MPR RI mengeluarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR 1998 tentang HAM untuk penegakan HAM di Indonesia. Melalui TAP ini, negara menghendaki agar pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lampau tidak lagi terjadi di masa reformasi ini dengan cara segera menyusun berbagai undang-undang terkait penegakan HAM ataupun melakukan ratifikasi terhadap berbagai instrumen HAM internasional.

HAK ASASI MANUSIA

OKIE FAUZI / GIOVANNI DESSY

PASANG SURUT HAMBUMI REMBANG

Di tengah situasi konflik, pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi poin krusial yang seringkali terabaikan. Padahal atmosfer konflik sosial memiliki dampak serius terhadap HAM masyarakat lokal. Kasus-kasus penggunaan kekerasan baik pada pihak kontra tambang maupun kelompok pro tambang harus diusut agar dampak-dampak negatif terhadap kemanusiaan yang setipe tidak terus menerus berulang. Demikian pula dengan kasus-kasus kriminalisasi terkait pihak kontra tambang dan pembela HAM. Stereotipe ideologis tanpa dasar seperti “komunis” dan “teroris” masih seringkali dilabelkan pada warga yang menolak adanya pabrik semen maupun aktivis untuk provokasi dan justifikasi praktik kekerasan.

Dalam konteks ini, negara berkewajiban untuk memastikan bahwa aparat keamanan beroperasi secara konsisten, sesuai dengan standar dan hukum HAM. Batasan-batasan mengenai tindakan aparat pada periode konflik dan aksi protes jelas tertuang dalam undang-undang nasional maupun perjanjian internasional. Hal ini menjadi menarik ketika negara malah membiarkan tindakan-tindakan pelanggaran HAM terjadi di dalam konflik Rembang.

KAUSALITAS HAM DAN NEGARASecara sejarah, konsep Hak Asasi Manusia atau HAM sendiri di dunia barat dikenal berakar dari pemikiran seorang filsuf bernama John Locke. Melalui karyanya yang fenomenal, yaitu Two Treatises of Civil Governement, John Locke menaruh dasar-dasar pemikiran mengenai konsep negara madani (civil government), dimana menurutnya tujuan suatu negara berdiri adalah untuk melindungi hak asasi dari warganya. Hal ini dikarenakan menurut Locke, asal-usul suatu negara merupakan hasil dari kontrak sosial antara warganya yang ingin agar hak asasi dari dirinya masing-masing dapat dilindungi.

69

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Salah satu instrumen HAM internasional yang menjadi sangat penting untuk diratifikasi adalah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture & Others Cruel, Inhuman or Degrading Punishment/ CAT), hal ini mengingat banyak sekali terjadi pelanggaran HAM dalam bidang ini di masa orde baru. Kedua perangkat HAM Internasional ini akhirnya diratifikasi oleh indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 dan UU No. 5 Tahun 1998.

Page 71: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Hak asasi yang dimaksud oleh Locke tentu saja merupakan hak alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia sedari lahir. Sebuah hak yang terberi (given) dari Tuhan. Hak itu merupakan hak atas kehidupan, hak kebebasan, dan hak untuk mencapai kebahagiaan. Hak-hak pada keadaan alamiah inilah yang kelak dikembangkan menjadi konsep yang dikenal sebagai HAM pada dunia modern dengan disahkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris. Melalui DUHAM, PBB seolah-olah ingin menekankan bahwa konsep HAM diasari oleh hukum kodrat alamiah yang dianggap lebih tinggi dari hukum negara, sehingga tidak dapat dihapuskan dan diganggu gugat (Alkatiri, 2010).

Sejatinya, Indonesia adalah sebuah bangsa yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hal ini terlihat pada tercantumnya prinisip-prinsip penegakan HAM pada dasar-dasar negara ini, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pancasila, ada dua sila yang dengan tegas menekankan penjaminan akan hak warganya, yaitu pada sila ke dua dan sila ke lima. Sedangkan pada UUD 1945, pasal-pasal penjaminan akan hak asasi warganya terdapat dalam pasal 28, dimana dalam pasal ini terkandung 27 materi tentang Hak Asasi Manusia (Asshidiqie, 2005).

Kedua dasar republik ini ternyata telah dirumuskan sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) atau lebih sering disingkat DUHAM yang dideklarasikan di Paris pada tahun 1948. Kini, DUHAM lah yang menjadi acuan bagi negara di seluruh dunia untuk mengenali dan mendefiniskan HAM. Seperti kita ketahui bersama, kedua asas dasar negara tersebut dilahirkan dari pergumulan panjang yang tidak saja dari prinsip kebebasan dunia internasional, melainkan juga digali dari mutiara-mutiara kebijaksanaan hidup bangsa kita sendiri. dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya manusia indonesia itu memiliki kebudayaan untuk menghargai hak asasi manusia.

Niatan baik pemerintah Indonesia dalam perlindungan HAM juga terlihat lebih serius pasca Reformasi 1998. MPR RI mengeluarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR 1998 tentang HAM untuk penegakan HAM di Indonesia. Melalui TAP ini, negara menghendaki agar pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lampau tidak lagi terjadi di masa reformasi ini dengan cara segera menyusun berbagai undang-undang terkait penegakan HAM ataupun melakukan ratifikasi terhadap berbagai instrumen HAM internasional.

70

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Di tengah situasi konflik, pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi poin krusial yang seringkali terabaikan. Padahal atmosfer konflik sosial memiliki dampak serius terhadap HAM masyarakat lokal. Kasus-kasus penggunaan kekerasan baik pada pihak kontra tambang maupun kelompok pro tambang harus diusut agar dampak-dampak negatif terhadap kemanusiaan yang setipe tidak terus menerus berulang. Demikian pula dengan kasus-kasus kriminalisasi terkait pihak kontra tambang dan pembela HAM. Stereotipe ideologis tanpa dasar seperti “komunis” dan “teroris” masih seringkali dilabelkan pada warga yang menolak adanya pabrik semen maupun aktivis untuk provokasi dan justifikasi praktik kekerasan.

Dalam konteks ini, negara berkewajiban untuk memastikan bahwa aparat keamanan beroperasi secara konsisten, sesuai dengan standar dan hukum HAM. Batasan-batasan mengenai tindakan aparat pada periode konflik dan aksi protes jelas tertuang dalam undang-undang nasional maupun perjanjian internasional. Hal ini menjadi menarik ketika negara malah membiarkan tindakan-tindakan pelanggaran HAM terjadi di dalam konflik Rembang.

KAUSALITAS HAM DAN NEGARASecara sejarah, konsep Hak Asasi Manusia atau HAM sendiri di dunia barat dikenal berakar dari pemikiran seorang filsuf bernama John Locke. Melalui karyanya yang fenomenal, yaitu Two Treatises of Civil Governement, John Locke menaruh dasar-dasar pemikiran mengenai konsep negara madani (civil government), dimana menurutnya tujuan suatu negara berdiri adalah untuk melindungi hak asasi dari warganya. Hal ini dikarenakan menurut Locke, asal-usul suatu negara merupakan hasil dari kontrak sosial antara warganya yang ingin agar hak asasi dari dirinya masing-masing dapat dilindungi.

Salah satu instrumen HAM internasional yang menjadi sangat penting untuk diratifikasi adalah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture & Others Cruel, Inhuman or Degrading Punishment/ CAT), hal ini mengingat banyak sekali terjadi pelanggaran HAM dalam bidang ini di masa orde baru. Kedua perangkat HAM Internasional ini akhirnya diratifikasi oleh indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 dan UU No. 5 Tahun 1998.

Page 72: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Hak asasi yang dimaksud oleh Locke tentu saja merupakan hak alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia sedari lahir. Sebuah hak yang terberi (given) dari Tuhan. Hak itu merupakan hak atas kehidupan, hak kebebasan, dan hak untuk mencapai kebahagiaan. Hak-hak pada keadaan alamiah inilah yang kelak dikembangkan menjadi konsep yang dikenal sebagai HAM pada dunia modern dengan disahkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris. Melalui DUHAM, PBB seolah-olah ingin menekankan bahwa konsep HAM diasari oleh hukum kodrat alamiah yang dianggap lebih tinggi dari hukum negara, sehingga tidak dapat dihapuskan dan diganggu gugat (Alkatiri, 2010).

Sejatinya, Indonesia adalah sebuah bangsa yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hal ini terlihat pada tercantumnya prinisip-prinsip penegakan HAM pada dasar-dasar negara ini, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pancasila, ada dua sila yang dengan tegas menekankan penjaminan akan hak warganya, yaitu pada sila ke dua dan sila ke lima. Sedangkan pada UUD 1945, pasal-pasal penjaminan akan hak asasi warganya terdapat dalam pasal 28, dimana dalam pasal ini terkandung 27 materi tentang Hak Asasi Manusia (Asshidiqie, 2005).

Kedua dasar republik ini ternyata telah dirumuskan sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) atau lebih sering disingkat DUHAM yang dideklarasikan di Paris pada tahun 1948. Kini, DUHAM lah yang menjadi acuan bagi negara di seluruh dunia untuk mengenali dan mendefiniskan HAM. Seperti kita ketahui bersama, kedua asas dasar negara tersebut dilahirkan dari pergumulan panjang yang tidak saja dari prinsip kebebasan dunia internasional, melainkan juga digali dari mutiara-mutiara kebijaksanaan hidup bangsa kita sendiri. dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya manusia indonesia itu memiliki kebudayaan untuk menghargai hak asasi manusia.

Niatan baik pemerintah Indonesia dalam perlindungan HAM juga terlihat lebih serius pasca Reformasi 1998. MPR RI mengeluarkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR 1998 tentang HAM untuk penegakan HAM di Indonesia. Melalui TAP ini, negara menghendaki agar pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lampau tidak lagi terjadi di masa reformasi ini dengan cara segera menyusun berbagai undang-undang terkait penegakan HAM ataupun melakukan ratifikasi terhadap berbagai instrumen HAM internasional.

Di tengah situasi konflik, pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi poin krusial yang seringkali terabaikan. Padahal atmosfer konflik sosial memiliki dampak serius terhadap HAM masyarakat lokal. Kasus-kasus penggunaan kekerasan baik pada pihak kontra tambang maupun kelompok pro tambang harus diusut agar dampak-dampak negatif terhadap kemanusiaan yang setipe tidak terus menerus berulang. Demikian pula dengan kasus-kasus kriminalisasi terkait pihak kontra tambang dan pembela HAM. Stereotipe ideologis tanpa dasar seperti “komunis” dan “teroris” masih seringkali dilabelkan pada warga yang menolak adanya pabrik semen maupun aktivis untuk provokasi dan justifikasi praktik kekerasan.

Dalam konteks ini, negara berkewajiban untuk memastikan bahwa aparat keamanan beroperasi secara konsisten, sesuai dengan standar dan hukum HAM. Batasan-batasan mengenai tindakan aparat pada periode konflik dan aksi protes jelas tertuang dalam undang-undang nasional maupun perjanjian internasional. Hal ini menjadi menarik ketika negara malah membiarkan tindakan-tindakan pelanggaran HAM terjadi di dalam konflik Rembang.

KAUSALITAS HAM DAN NEGARASecara sejarah, konsep Hak Asasi Manusia atau HAM sendiri di dunia barat dikenal berakar dari pemikiran seorang filsuf bernama John Locke. Melalui karyanya yang fenomenal, yaitu Two Treatises of Civil Governement, John Locke menaruh dasar-dasar pemikiran mengenai konsep negara madani (civil government), dimana menurutnya tujuan suatu negara berdiri adalah untuk melindungi hak asasi dari warganya. Hal ini dikarenakan menurut Locke, asal-usul suatu negara merupakan hasil dari kontrak sosial antara warganya yang ingin agar hak asasi dari dirinya masing-masing dapat dilindungi.

Salah satu instrumen HAM internasional yang menjadi sangat penting untuk diratifikasi adalah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture & Others Cruel, Inhuman or Degrading Punishment/ CAT), hal ini mengingat banyak sekali terjadi pelanggaran HAM dalam bidang ini di masa orde baru. Kedua perangkat HAM Internasional ini akhirnya diratifikasi oleh indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 dan UU No. 5 Tahun 1998.

71

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Aksi warga yang diwarnai penghadangan polisi

Page 73: Berebut Berkah Tanah Kendeng

PERAMPASAN HAK-HAK SIPIL DANPOLITIK OLEH APARAT

Fakta-fakta yang telah dikumpulkan tim Komune Rakapare melalui serangkaian riset di Rembang menemukan bahwa dalam mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pembangunan pabrik, masyarakat sekitar yang terdiri dari ibu-ibu telah mengalami dua kali tindak kekerasan. Pertama, pada tanggal 15 Juni 2014 ketika mereka melakukan penolakan terhadap peletakan batu pertama pembangunan pabrik semen. Kedua pada tanggal 26 November 2014, dimana ibu-ibu dihalau oleh pukulan preman hingga pingsan ketika melakukan pemblokiran jalan menuju lokasi PT SI. Pada kasus pertama, yang melakukan tindak kekerasan adalah aparat negara yang terdiri dari polisi dan tentara. Yang kedua, yang melakukannya adalah preman yang disinyalir bayaran dari PT SI. Namun tetap saja ketika aparat datang, yang mereka lakukan bukannya berperan sebagai wakil negara untuk melindungi hak-hak warga, melainkan membubarkan ibu-ibu yang sudah terluka seolah-olah ibu-ibu bukan merupakan pihak yang harus dilindungi. Dari kedua kasus ini, dapat kita lihat bahwa negara berada dibalik tindak kekerasan terhadap ibu-ibu Rembang.

Dari rekam jejak di atas, dapat kita lihat bahwa negara melalui aparatnya tidak lagi berperan sebagai pencegah tindak penyiksaan sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 dan pasal 16 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, melainkan bahkan bertindak sebagai pelaku kekerasan. Padahal sebagaimana yang tertuang pada pasal 10 konvensi yang sama, setiap negara seharusnya menjamin bahwa aparatnya telah mendapatkan pendidikan dan informasi mengenai pelarangan terhadap penyiksaan. Dengan demikian, negara telah merebut hak asasi ibu-ibu Rembang karena seharusnya sebagaimana tertuang pada pasal 7 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Hak Sipol), bahwa tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

72

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 74: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Melalui proses investigasi lebih lanjut, tim juga mendapatkan fakta bahwa telah terjadi:

1. Intimidasi dan ancaman penculikan dari aparat desa kepada dua orang warga pada pertemuan di balai desa Tegaldowo (22 april 2013),2. Penyekapan empat warga oleh aparatur desa saat sosialisasi pembangunan pabrik semen di kantor balai desa Tegal dowo pada (22 Juni 2013),3. Todongan dengan pedang dari preman terhadap dua orang warga di tengah malam (24 september 2013),4. Pembubaran acara dialog oleh preman di balai desa Tegaldowo (20 Februari 2014), dan pengepungan ibu-ibu yang sedang wiridan oleh polisi di tenda perjuangan (15 Juni 2014).5. Semenjak akhir tahun 2012 sampai dengan Juni 2013 warga tidak dapat mendapatkan informasi pasti mengenai proses pertambangan yang dilakukan di kawasan tempat hidup mereka. Padahal SK Bupati mengenai pemberian ijin Wilayah Ijin Usaha Pertambangan kepada PT SI telah keluar semenjak 2010.

Selain melakukan tindak kekerasan, pada konflik ini juga telah terjadi perampasan hak atas keamanan dan hak atas kebebasan informasi terhadap warga. Hal ini terlihat dari serangkaian tindakan intimidasi dan ancaman yang diterima warga, baik dari pihak aparat maupun preman selama proses pembangunan pabrik berlangsung.

Hal ini menjadi ironis karena seharusnya hak atas keamanan dan kebebasan informasi telah dijamin dalam Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan bersamaan dengan TAP MPRS Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Hak atas keamanan dan perlindungan dari rasa takut serta penyiksaan tercantum pada pasal 22 – 25. Sedangkan hak atas informasi yang dapat mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya tercantum pada pasal 20. Dengan demikian, negara sekali lagi telah abai dan mengulang kesalahannya yang telah dia lakukan selama Orde Baru, yaitu membiarkan hak-hak sipil dan politik warganya tercerabut.

Ketika kita menilik kasus yang terjadi di Rembang, yang terjadi seolah-olah negara tidak hadir sebagaimana mestinya sebagai penjamin HAM bagi warganya. Proses pembangunan Pabrik Semen yang dilakukan oleh PT SI, yang notabene merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), malah melahirkan berbagai tindak perampasan dan penghilangan hak asasi masyarakat lokal di

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

73

mengemukakan pendapat di depan umum hanya dapat berarti apabila diiringi dengan kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya secara maksimal. Dan itu hanya dapat dilakukan bila seorang manusia dapat dipenuhi kebutuhan dasarnya dalam bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Dengan diratifikasinya konvenan internasional hak-hak ekosob oleh pemerintah, maka dengan ini Indonesia mengakui bahwa bangsanya turut memberlakukan apa-apa yang tertulis dalam konvenan tersebut, sekaligus menghormati apa-apa saja yang menjadi prinsip dasarnya. Salah satu prinsipnya meletakan negara sebagai salah satu aktor utama penjamin tegaknya Hak Ekosob bagi warganya. Dalam salah stau prinsipnya, negara memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak ekosob warganya. Dengan demikian, posisi negara diletakan sebagai pemegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders) dalam mewujudkan hak-hak ekosob (Mihradi, 2006). Namun jika kita tilik apa yang terjadi di Rembang, negara seolah-olah telah lupa apa atas apa yang dia deklarasikan sepuluh tahun lalu.

sekitar pendirian pabrik. Dan yang menjadi menarik adalah usaha penghilangan hak tersebut seringkali dilakukan oleh aparat negara. Maka jika kita kembalikan konsepsi HAM kepada pemikiran John Locke, kewajiban untuk patuh terhadap peraturan-peraturan negara telah hilang manakala negara tidak lagi berperan sebagai pelindung hak-hak mereka.

ALAM DAN PERTANIAN SEBAGAI HAK EKOSOBHak ekosob merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa semua manusia berhak menikmati hak, kebebasan, dan keadilan sosial secara bersamaan. Berbeda dengan Hak Sipol, hak asasi yang termaktub di dalam hak ekosob sejatinya bermakna tidak saja sekedar kepemilikan, yang lebih sering diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh seseorang, melainkan juga hak sebagai pengakuan atas integritas manusia. Melalui hak ekosob, hak untuk bisa hidup, terhormat dan bisa mengembangkan dirinya, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama (komunal) dijamin (Mihradi, 2006)

Hak yang dikenal sebagai HAM generasi kedua ini berakar dari tradisi sosialis Saint-Simonians pada awal abad ke-19 di perancis. Generasi ini timbul sebagai bagian dari kritik terhadap perkembangan kapitalisme yang mengeksploitasi kelas pekerja dan masyarakat jajahan. Di dunia internasional, hak ini diwujudkan melaui kovenan internasional hak-hak ekosob (International Covenant on Economic, Social, and Cultural) pada tahun 1966. Semenjak 2005, Indonesia mengakui Hak Ekosob ini Melalui keputusan presiden nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, presiden mengamanatkan agar konvenan internasional tentang Hak Ekosob diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Dalam konvenan internasional hak-hak ekosob, telah diungkapkan bahwa hak yang dimiliki oleh semua manusia sedari lahir bukan saja terdiri dari hak untuk hidup bebas sebagaimana yang terkandung dalam konvenan internasional hak-hak sipol, melainkan juga penikmatan dari kebebasan dan kemelaratan, hanya dapat dicapai apabia diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial, secara bersamaan dengan hak-hak sipil dan politiknya. Oleh karena itu, kebebasan sipil dan politik seperti kebebasan berserikat dan

Dalam kovenan internasional hak-hak ekosob, disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, baik itu dalam bidang ekonomi yang berarti kebebasan untuk memilih pekerjaannya secara bebas, ataupun dalam bidang kebudayaan yang berarti melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan budaya yang mereka yakini. Hal ini tertuang dalam pasal 1, pasal 6, dan pasal 15 dari kovenan tersebut.

Masyarakat di lima desa yang akan terkena dampak dari pembangunan PT Semen Indonesia yaitu desa Tegaldowo, Pasucen, Timbrangan, Suntri, Bitingan memiliki mata pencaharian utama dalam bidang pertanian. Pembangunan pertambangan semen di lokasi CAT Watuputih tersebut kini akan mengancam eksistensi dari sumber utama ekonomi warga. Pasalnya, pertambangan yang dilakukan akan mengganggu sistem hidrologi dari karst tersebut dan pada akhirnya akan mengganggu pertanian warga.

Berdasarkan pendataan yang telah dilakukan, terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih, dan lebih dari 90% pemanfaatannya digunakan untuk pertanian. Berdasarkan seperti yang telah dipaparkan oleh Budi Brahmantyo, seorang pakar geologi karst dari ITB, bahwa pertambangan yang dilakukan tersebut akan menghilangkan sebagian dari fungsi karst sebagai penyimpan cadangan air. Dengan demikian, air yang dihasilkan dari serangkaian proses geologi CAT Watuputih akan berkurang, dan pertanian warga yang sumebr pengairannya bertumpu pada sumber air tersebut akan terganggu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertambangan yang akan dilakukan oleh PT SI tersebut akan mengganggu aktivitas ekonomi warga.

Selain menghilangkan hak atas kebebasan masyarakat dalam mengejar kemajuan secara ekonomi, pertambangan yang dilakukan di kawasan CAT Watuputih juga berpotesi besar untuk menghilangkan kebebasan masyarakat dalam berkebudayaan. Pasalnya Pegunungan Kendeng, sebutan bagi CAT Watuputih, tidak saja bermakna ekonomis, dalam artian berfungsi sebagai tempat bertani dan beternak bagi masyarakat sekitar, melainkan juga memiliki makna keindahan atau estetis. Makna estetis inilah pada akhirnya yang memberikan makna lebih bagi alam untuk masyarakat di sekitar gunung kendeng.

Page 75: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Melalui proses investigasi lebih lanjut, tim juga mendapatkan fakta bahwa telah terjadi:

1. Intimidasi dan ancaman penculikan dari aparat desa kepada dua orang warga pada pertemuan di balai desa Tegaldowo (22 april 2013),2. Penyekapan empat warga oleh aparatur desa saat sosialisasi pembangunan pabrik semen di kantor balai desa Tegal dowo pada (22 Juni 2013),3. Todongan dengan pedang dari preman terhadap dua orang warga di tengah malam (24 september 2013),4. Pembubaran acara dialog oleh preman di balai desa Tegaldowo (20 Februari 2014), dan pengepungan ibu-ibu yang sedang wiridan oleh polisi di tenda perjuangan (15 Juni 2014).5. Semenjak akhir tahun 2012 sampai dengan Juni 2013 warga tidak dapat mendapatkan informasi pasti mengenai proses pertambangan yang dilakukan di kawasan tempat hidup mereka. Padahal SK Bupati mengenai pemberian ijin Wilayah Ijin Usaha Pertambangan kepada PT SI telah keluar semenjak 2010.

Selain melakukan tindak kekerasan, pada konflik ini juga telah terjadi perampasan hak atas keamanan dan hak atas kebebasan informasi terhadap warga. Hal ini terlihat dari serangkaian tindakan intimidasi dan ancaman yang diterima warga, baik dari pihak aparat maupun preman selama proses pembangunan pabrik berlangsung.

Hal ini menjadi ironis karena seharusnya hak atas keamanan dan kebebasan informasi telah dijamin dalam Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan bersamaan dengan TAP MPRS Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Hak atas keamanan dan perlindungan dari rasa takut serta penyiksaan tercantum pada pasal 22 – 25. Sedangkan hak atas informasi yang dapat mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya tercantum pada pasal 20. Dengan demikian, negara sekali lagi telah abai dan mengulang kesalahannya yang telah dia lakukan selama Orde Baru, yaitu membiarkan hak-hak sipil dan politik warganya tercerabut.

Ketika kita menilik kasus yang terjadi di Rembang, yang terjadi seolah-olah negara tidak hadir sebagaimana mestinya sebagai penjamin HAM bagi warganya. Proses pembangunan Pabrik Semen yang dilakukan oleh PT SI, yang notabene merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), malah melahirkan berbagai tindak perampasan dan penghilangan hak asasi masyarakat lokal di

mengemukakan pendapat di depan umum hanya dapat berarti apabila diiringi dengan kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya secara maksimal. Dan itu hanya dapat dilakukan bila seorang manusia dapat dipenuhi kebutuhan dasarnya dalam bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Dengan diratifikasinya konvenan internasional hak-hak ekosob oleh pemerintah, maka dengan ini Indonesia mengakui bahwa bangsanya turut memberlakukan apa-apa yang tertulis dalam konvenan tersebut, sekaligus menghormati apa-apa saja yang menjadi prinsip dasarnya. Salah satu prinsipnya meletakan negara sebagai salah satu aktor utama penjamin tegaknya Hak Ekosob bagi warganya. Dalam salah stau prinsipnya, negara memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak ekosob warganya. Dengan demikian, posisi negara diletakan sebagai pemegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders) dalam mewujudkan hak-hak ekosob (Mihradi, 2006). Namun jika kita tilik apa yang terjadi di Rembang, negara seolah-olah telah lupa apa atas apa yang dia deklarasikan sepuluh tahun lalu.

sekitar pendirian pabrik. Dan yang menjadi menarik adalah usaha penghilangan hak tersebut seringkali dilakukan oleh aparat negara. Maka jika kita kembalikan konsepsi HAM kepada pemikiran John Locke, kewajiban untuk patuh terhadap peraturan-peraturan negara telah hilang manakala negara tidak lagi berperan sebagai pelindung hak-hak mereka.

ALAM DAN PERTANIAN SEBAGAI HAK EKOSOBHak ekosob merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa semua manusia berhak menikmati hak, kebebasan, dan keadilan sosial secara bersamaan. Berbeda dengan Hak Sipol, hak asasi yang termaktub di dalam hak ekosob sejatinya bermakna tidak saja sekedar kepemilikan, yang lebih sering diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh seseorang, melainkan juga hak sebagai pengakuan atas integritas manusia. Melalui hak ekosob, hak untuk bisa hidup, terhormat dan bisa mengembangkan dirinya, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama (komunal) dijamin (Mihradi, 2006)

Hak yang dikenal sebagai HAM generasi kedua ini berakar dari tradisi sosialis Saint-Simonians pada awal abad ke-19 di perancis. Generasi ini timbul sebagai bagian dari kritik terhadap perkembangan kapitalisme yang mengeksploitasi kelas pekerja dan masyarakat jajahan. Di dunia internasional, hak ini diwujudkan melaui kovenan internasional hak-hak ekosob (International Covenant on Economic, Social, and Cultural) pada tahun 1966. Semenjak 2005, Indonesia mengakui Hak Ekosob ini Melalui keputusan presiden nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, presiden mengamanatkan agar konvenan internasional tentang Hak Ekosob diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Dalam konvenan internasional hak-hak ekosob, telah diungkapkan bahwa hak yang dimiliki oleh semua manusia sedari lahir bukan saja terdiri dari hak untuk hidup bebas sebagaimana yang terkandung dalam konvenan internasional hak-hak sipol, melainkan juga penikmatan dari kebebasan dan kemelaratan, hanya dapat dicapai apabia diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial, secara bersamaan dengan hak-hak sipil dan politiknya. Oleh karena itu, kebebasan sipil dan politik seperti kebebasan berserikat dan

74

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Dalam kovenan internasional hak-hak ekosob, disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, baik itu dalam bidang ekonomi yang berarti kebebasan untuk memilih pekerjaannya secara bebas, ataupun dalam bidang kebudayaan yang berarti melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan budaya yang mereka yakini. Hal ini tertuang dalam pasal 1, pasal 6, dan pasal 15 dari kovenan tersebut.

Masyarakat di lima desa yang akan terkena dampak dari pembangunan PT Semen Indonesia yaitu desa Tegaldowo, Pasucen, Timbrangan, Suntri, Bitingan memiliki mata pencaharian utama dalam bidang pertanian. Pembangunan pertambangan semen di lokasi CAT Watuputih tersebut kini akan mengancam eksistensi dari sumber utama ekonomi warga. Pasalnya, pertambangan yang dilakukan akan mengganggu sistem hidrologi dari karst tersebut dan pada akhirnya akan mengganggu pertanian warga.

Berdasarkan pendataan yang telah dilakukan, terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih, dan lebih dari 90% pemanfaatannya digunakan untuk pertanian. Berdasarkan seperti yang telah dipaparkan oleh Budi Brahmantyo, seorang pakar geologi karst dari ITB, bahwa pertambangan yang dilakukan tersebut akan menghilangkan sebagian dari fungsi karst sebagai penyimpan cadangan air. Dengan demikian, air yang dihasilkan dari serangkaian proses geologi CAT Watuputih akan berkurang, dan pertanian warga yang sumebr pengairannya bertumpu pada sumber air tersebut akan terganggu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertambangan yang akan dilakukan oleh PT SI tersebut akan mengganggu aktivitas ekonomi warga.

Selain menghilangkan hak atas kebebasan masyarakat dalam mengejar kemajuan secara ekonomi, pertambangan yang dilakukan di kawasan CAT Watuputih juga berpotesi besar untuk menghilangkan kebebasan masyarakat dalam berkebudayaan. Pasalnya Pegunungan Kendeng, sebutan bagi CAT Watuputih, tidak saja bermakna ekonomis, dalam artian berfungsi sebagai tempat bertani dan beternak bagi masyarakat sekitar, melainkan juga memiliki makna keindahan atau estetis. Makna estetis inilah pada akhirnya yang memberikan makna lebih bagi alam untuk masyarakat di sekitar gunung kendeng.

Page 76: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Melalui proses investigasi lebih lanjut, tim juga mendapatkan fakta bahwa telah terjadi:

1. Intimidasi dan ancaman penculikan dari aparat desa kepada dua orang warga pada pertemuan di balai desa Tegaldowo (22 april 2013),2. Penyekapan empat warga oleh aparatur desa saat sosialisasi pembangunan pabrik semen di kantor balai desa Tegal dowo pada (22 Juni 2013),3. Todongan dengan pedang dari preman terhadap dua orang warga di tengah malam (24 september 2013),4. Pembubaran acara dialog oleh preman di balai desa Tegaldowo (20 Februari 2014), dan pengepungan ibu-ibu yang sedang wiridan oleh polisi di tenda perjuangan (15 Juni 2014).5. Semenjak akhir tahun 2012 sampai dengan Juni 2013 warga tidak dapat mendapatkan informasi pasti mengenai proses pertambangan yang dilakukan di kawasan tempat hidup mereka. Padahal SK Bupati mengenai pemberian ijin Wilayah Ijin Usaha Pertambangan kepada PT SI telah keluar semenjak 2010.

Selain melakukan tindak kekerasan, pada konflik ini juga telah terjadi perampasan hak atas keamanan dan hak atas kebebasan informasi terhadap warga. Hal ini terlihat dari serangkaian tindakan intimidasi dan ancaman yang diterima warga, baik dari pihak aparat maupun preman selama proses pembangunan pabrik berlangsung.

Hal ini menjadi ironis karena seharusnya hak atas keamanan dan kebebasan informasi telah dijamin dalam Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan bersamaan dengan TAP MPRS Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Hak atas keamanan dan perlindungan dari rasa takut serta penyiksaan tercantum pada pasal 22 – 25. Sedangkan hak atas informasi yang dapat mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya tercantum pada pasal 20. Dengan demikian, negara sekali lagi telah abai dan mengulang kesalahannya yang telah dia lakukan selama Orde Baru, yaitu membiarkan hak-hak sipil dan politik warganya tercerabut.

Ketika kita menilik kasus yang terjadi di Rembang, yang terjadi seolah-olah negara tidak hadir sebagaimana mestinya sebagai penjamin HAM bagi warganya. Proses pembangunan Pabrik Semen yang dilakukan oleh PT SI, yang notabene merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), malah melahirkan berbagai tindak perampasan dan penghilangan hak asasi masyarakat lokal di

04

mengemukakan pendapat di depan umum hanya dapat berarti apabila diiringi dengan kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya secara maksimal. Dan itu hanya dapat dilakukan bila seorang manusia dapat dipenuhi kebutuhan dasarnya dalam bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Dengan diratifikasinya konvenan internasional hak-hak ekosob oleh pemerintah, maka dengan ini Indonesia mengakui bahwa bangsanya turut memberlakukan apa-apa yang tertulis dalam konvenan tersebut, sekaligus menghormati apa-apa saja yang menjadi prinsip dasarnya. Salah satu prinsipnya meletakan negara sebagai salah satu aktor utama penjamin tegaknya Hak Ekosob bagi warganya. Dalam salah stau prinsipnya, negara memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak ekosob warganya. Dengan demikian, posisi negara diletakan sebagai pemegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders) dalam mewujudkan hak-hak ekosob (Mihradi, 2006). Namun jika kita tilik apa yang terjadi di Rembang, negara seolah-olah telah lupa apa atas apa yang dia deklarasikan sepuluh tahun lalu.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

75

sekitar pendirian pabrik. Dan yang menjadi menarik adalah usaha penghilangan hak tersebut seringkali dilakukan oleh aparat negara. Maka jika kita kembalikan konsepsi HAM kepada pemikiran John Locke, kewajiban untuk patuh terhadap peraturan-peraturan negara telah hilang manakala negara tidak lagi berperan sebagai pelindung hak-hak mereka.

ALAM DAN PERTANIAN SEBAGAI HAK EKOSOBHak ekosob merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa semua manusia berhak menikmati hak, kebebasan, dan keadilan sosial secara bersamaan. Berbeda dengan Hak Sipol, hak asasi yang termaktub di dalam hak ekosob sejatinya bermakna tidak saja sekedar kepemilikan, yang lebih sering diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh seseorang, melainkan juga hak sebagai pengakuan atas integritas manusia. Melalui hak ekosob, hak untuk bisa hidup, terhormat dan bisa mengembangkan dirinya, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama (komunal) dijamin (Mihradi, 2006)

Hak yang dikenal sebagai HAM generasi kedua ini berakar dari tradisi sosialis Saint-Simonians pada awal abad ke-19 di perancis. Generasi ini timbul sebagai bagian dari kritik terhadap perkembangan kapitalisme yang mengeksploitasi kelas pekerja dan masyarakat jajahan. Di dunia internasional, hak ini diwujudkan melaui kovenan internasional hak-hak ekosob (International Covenant on Economic, Social, and Cultural) pada tahun 1966. Semenjak 2005, Indonesia mengakui Hak Ekosob ini Melalui keputusan presiden nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, presiden mengamanatkan agar konvenan internasional tentang Hak Ekosob diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Dalam konvenan internasional hak-hak ekosob, telah diungkapkan bahwa hak yang dimiliki oleh semua manusia sedari lahir bukan saja terdiri dari hak untuk hidup bebas sebagaimana yang terkandung dalam konvenan internasional hak-hak sipol, melainkan juga penikmatan dari kebebasan dan kemelaratan, hanya dapat dicapai apabia diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial, secara bersamaan dengan hak-hak sipil dan politiknya. Oleh karena itu, kebebasan sipil dan politik seperti kebebasan berserikat dan

Dalam kovenan internasional hak-hak ekosob, disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, baik itu dalam bidang ekonomi yang berarti kebebasan untuk memilih pekerjaannya secara bebas, ataupun dalam bidang kebudayaan yang berarti melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan budaya yang mereka yakini. Hal ini tertuang dalam pasal 1, pasal 6, dan pasal 15 dari kovenan tersebut.

Masyarakat di lima desa yang akan terkena dampak dari pembangunan PT Semen Indonesia yaitu desa Tegaldowo, Pasucen, Timbrangan, Suntri, Bitingan memiliki mata pencaharian utama dalam bidang pertanian. Pembangunan pertambangan semen di lokasi CAT Watuputih tersebut kini akan mengancam eksistensi dari sumber utama ekonomi warga. Pasalnya, pertambangan yang dilakukan akan mengganggu sistem hidrologi dari karst tersebut dan pada akhirnya akan mengganggu pertanian warga.

Berdasarkan pendataan yang telah dilakukan, terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih, dan lebih dari 90% pemanfaatannya digunakan untuk pertanian. Berdasarkan seperti yang telah dipaparkan oleh Budi Brahmantyo, seorang pakar geologi karst dari ITB, bahwa pertambangan yang dilakukan tersebut akan menghilangkan sebagian dari fungsi karst sebagai penyimpan cadangan air. Dengan demikian, air yang dihasilkan dari serangkaian proses geologi CAT Watuputih akan berkurang, dan pertanian warga yang sumebr pengairannya bertumpu pada sumber air tersebut akan terganggu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertambangan yang akan dilakukan oleh PT SI tersebut akan mengganggu aktivitas ekonomi warga.

Selain menghilangkan hak atas kebebasan masyarakat dalam mengejar kemajuan secara ekonomi, pertambangan yang dilakukan di kawasan CAT Watuputih juga berpotesi besar untuk menghilangkan kebebasan masyarakat dalam berkebudayaan. Pasalnya Pegunungan Kendeng, sebutan bagi CAT Watuputih, tidak saja bermakna ekonomis, dalam artian berfungsi sebagai tempat bertani dan beternak bagi masyarakat sekitar, melainkan juga memiliki makna keindahan atau estetis. Makna estetis inilah pada akhirnya yang memberikan makna lebih bagi alam untuk masyarakat di sekitar gunung kendeng.

Page 77: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Melalui proses investigasi lebih lanjut, tim juga mendapatkan fakta bahwa telah terjadi:

1. Intimidasi dan ancaman penculikan dari aparat desa kepada dua orang warga pada pertemuan di balai desa Tegaldowo (22 april 2013),2. Penyekapan empat warga oleh aparatur desa saat sosialisasi pembangunan pabrik semen di kantor balai desa Tegal dowo pada (22 Juni 2013),3. Todongan dengan pedang dari preman terhadap dua orang warga di tengah malam (24 september 2013),4. Pembubaran acara dialog oleh preman di balai desa Tegaldowo (20 Februari 2014), dan pengepungan ibu-ibu yang sedang wiridan oleh polisi di tenda perjuangan (15 Juni 2014).5. Semenjak akhir tahun 2012 sampai dengan Juni 2013 warga tidak dapat mendapatkan informasi pasti mengenai proses pertambangan yang dilakukan di kawasan tempat hidup mereka. Padahal SK Bupati mengenai pemberian ijin Wilayah Ijin Usaha Pertambangan kepada PT SI telah keluar semenjak 2010.

Selain melakukan tindak kekerasan, pada konflik ini juga telah terjadi perampasan hak atas keamanan dan hak atas kebebasan informasi terhadap warga. Hal ini terlihat dari serangkaian tindakan intimidasi dan ancaman yang diterima warga, baik dari pihak aparat maupun preman selama proses pembangunan pabrik berlangsung.

Hal ini menjadi ironis karena seharusnya hak atas keamanan dan kebebasan informasi telah dijamin dalam Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan bersamaan dengan TAP MPRS Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Hak atas keamanan dan perlindungan dari rasa takut serta penyiksaan tercantum pada pasal 22 – 25. Sedangkan hak atas informasi yang dapat mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya tercantum pada pasal 20. Dengan demikian, negara sekali lagi telah abai dan mengulang kesalahannya yang telah dia lakukan selama Orde Baru, yaitu membiarkan hak-hak sipil dan politik warganya tercerabut.

Ketika kita menilik kasus yang terjadi di Rembang, yang terjadi seolah-olah negara tidak hadir sebagaimana mestinya sebagai penjamin HAM bagi warganya. Proses pembangunan Pabrik Semen yang dilakukan oleh PT SI, yang notabene merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), malah melahirkan berbagai tindak perampasan dan penghilangan hak asasi masyarakat lokal di

mengemukakan pendapat di depan umum hanya dapat berarti apabila diiringi dengan kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya secara maksimal. Dan itu hanya dapat dilakukan bila seorang manusia dapat dipenuhi kebutuhan dasarnya dalam bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Dengan diratifikasinya konvenan internasional hak-hak ekosob oleh pemerintah, maka dengan ini Indonesia mengakui bahwa bangsanya turut memberlakukan apa-apa yang tertulis dalam konvenan tersebut, sekaligus menghormati apa-apa saja yang menjadi prinsip dasarnya. Salah satu prinsipnya meletakan negara sebagai salah satu aktor utama penjamin tegaknya Hak Ekosob bagi warganya. Dalam salah stau prinsipnya, negara memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak ekosob warganya. Dengan demikian, posisi negara diletakan sebagai pemegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders) dalam mewujudkan hak-hak ekosob (Mihradi, 2006). Namun jika kita tilik apa yang terjadi di Rembang, negara seolah-olah telah lupa apa atas apa yang dia deklarasikan sepuluh tahun lalu.

sekitar pendirian pabrik. Dan yang menjadi menarik adalah usaha penghilangan hak tersebut seringkali dilakukan oleh aparat negara. Maka jika kita kembalikan konsepsi HAM kepada pemikiran John Locke, kewajiban untuk patuh terhadap peraturan-peraturan negara telah hilang manakala negara tidak lagi berperan sebagai pelindung hak-hak mereka.

ALAM DAN PERTANIAN SEBAGAI HAK EKOSOBHak ekosob merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa semua manusia berhak menikmati hak, kebebasan, dan keadilan sosial secara bersamaan. Berbeda dengan Hak Sipol, hak asasi yang termaktub di dalam hak ekosob sejatinya bermakna tidak saja sekedar kepemilikan, yang lebih sering diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh seseorang, melainkan juga hak sebagai pengakuan atas integritas manusia. Melalui hak ekosob, hak untuk bisa hidup, terhormat dan bisa mengembangkan dirinya, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama (komunal) dijamin (Mihradi, 2006)

Hak yang dikenal sebagai HAM generasi kedua ini berakar dari tradisi sosialis Saint-Simonians pada awal abad ke-19 di perancis. Generasi ini timbul sebagai bagian dari kritik terhadap perkembangan kapitalisme yang mengeksploitasi kelas pekerja dan masyarakat jajahan. Di dunia internasional, hak ini diwujudkan melaui kovenan internasional hak-hak ekosob (International Covenant on Economic, Social, and Cultural) pada tahun 1966. Semenjak 2005, Indonesia mengakui Hak Ekosob ini Melalui keputusan presiden nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, presiden mengamanatkan agar konvenan internasional tentang Hak Ekosob diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Dalam konvenan internasional hak-hak ekosob, telah diungkapkan bahwa hak yang dimiliki oleh semua manusia sedari lahir bukan saja terdiri dari hak untuk hidup bebas sebagaimana yang terkandung dalam konvenan internasional hak-hak sipol, melainkan juga penikmatan dari kebebasan dan kemelaratan, hanya dapat dicapai apabia diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial, secara bersamaan dengan hak-hak sipil dan politiknya. Oleh karena itu, kebebasan sipil dan politik seperti kebebasan berserikat dan

Dalam kovenan internasional hak-hak ekosob, disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, baik itu dalam bidang ekonomi yang berarti kebebasan untuk memilih pekerjaannya secara bebas, ataupun dalam bidang kebudayaan yang berarti melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan budaya yang mereka yakini. Hal ini tertuang dalam pasal 1, pasal 6, dan pasal 15 dari kovenan tersebut.

Masyarakat di lima desa yang akan terkena dampak dari pembangunan PT Semen Indonesia yaitu desa Tegaldowo, Pasucen, Timbrangan, Suntri, Bitingan memiliki mata pencaharian utama dalam bidang pertanian. Pembangunan pertambangan semen di lokasi CAT Watuputih tersebut kini akan mengancam eksistensi dari sumber utama ekonomi warga. Pasalnya, pertambangan yang dilakukan akan mengganggu sistem hidrologi dari karst tersebut dan pada akhirnya akan mengganggu pertanian warga.

Berdasarkan pendataan yang telah dilakukan, terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih, dan lebih dari 90% pemanfaatannya digunakan untuk pertanian. Berdasarkan seperti yang telah dipaparkan oleh Budi Brahmantyo, seorang pakar geologi karst dari ITB, bahwa pertambangan yang dilakukan tersebut akan menghilangkan sebagian dari fungsi karst sebagai penyimpan cadangan air. Dengan demikian, air yang dihasilkan dari serangkaian proses geologi CAT Watuputih akan berkurang, dan pertanian warga yang sumebr pengairannya bertumpu pada sumber air tersebut akan terganggu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertambangan yang akan dilakukan oleh PT SI tersebut akan mengganggu aktivitas ekonomi warga.

Selain menghilangkan hak atas kebebasan masyarakat dalam mengejar kemajuan secara ekonomi, pertambangan yang dilakukan di kawasan CAT Watuputih juga berpotesi besar untuk menghilangkan kebebasan masyarakat dalam berkebudayaan. Pasalnya Pegunungan Kendeng, sebutan bagi CAT Watuputih, tidak saja bermakna ekonomis, dalam artian berfungsi sebagai tempat bertani dan beternak bagi masyarakat sekitar, melainkan juga memiliki makna keindahan atau estetis. Makna estetis inilah pada akhirnya yang memberikan makna lebih bagi alam untuk masyarakat di sekitar gunung kendeng.

76

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 78: Berebut Berkah Tanah Kendeng

77

Namun, selain terhadap pemerintah, seharusnya permasalahan mengenai hak asasi manusia ini kita hadapkan juga terhadap perusahaan. Karena dalam perkembangannya, aktor yang turut serta hadir dalam permasalahan HAM adalah perusahaan. Hal inilah yang membawa perkembangan konsep HAM tidak saja mencapai generasi ketiga, melainkan telah menyentuh generasi empat hingga generasi kelima. Dalam perdebatan kontemporer ini, permasalahan HAM juga meliputi hubungan-hubungan horisontal sehingga mengalami perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya.

Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan (Asshiddiqie, 2005). Atas kesadaran penuh akan hal ini, bagaimana proses penegakan HAM dalam pusaran konflik Rembang akan ditegakan? Jawabannya seperti masih perlu kita cari tahu melalui jalan perjuangan.

Nahas, Indonesia sebagai sebuah negara yang telah meratifikasi kovenan internasional hak-hak ekosob seharusnya bertindak sebagai penjamin dan pelindung dari hak-hak ekosob yang dimiliki oleh warga. Namun dalam kasus Rembang ini, negara seolah-olah malah berbalik menjadi pelaku perampasan hak-hak dasar warga tersebut. hal ini dikarenakan penambangan yang terjadi di Rembang bisa terjadi akibat ijin penambangan yang diberikan oleh negara kepada pihak PT SI melalui keputusan Bupati No. 545/68/2010 perihal pemberian WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) eksplorasi. Dengan demikian negara telah menghianati kewajibannya sebagai penanggung jawab terlindunginya hak ekosob warganya.

NEGARA, PERUSAHAAN, DAN HAK MASYARAKATJika kita kembalikan sejatinya fungsi sebuah negara dalam pemikiran John Locke, maka negara tersebut ada hanya karena perjanjian masyarakatnya yang bersepakat membentuk suatu badan yang berfungsi untuk melindungi hak-hak kodratinya. Dalam hal ini, konsep hak dan negara yang dikemukakan oleh John Locke dapat kita temukan konsekuensi logisnya dengan sistem demokrasi. Lewat demokrasi, masyarakat yang bersepakat untuk membuat suatu mekanisme tadi akhirnya membuat suatu perjanjian yang saat ini kita kenal dengan istilah ‘hukum’. Melalui hukum tersebutlah suatu pemerintahan yang diberikan kekeuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan dibatasi dan diatur. Dengan demikian pemegang kekuasaan tertinggi tetap di tangan rakyat.

Namun melihat kondisi apa yang terjadi di Rembang, perwujudan negara sebagai sebuah entitas negara demokrasi tersebut seolah-olah kabur dan negara berubah menjadi sebuah entitas otoritarian yang mengikuti konsep negara milik Thomas Hobbes. Dalam salah satu magnum opusnya, Leviathan (1657), Thomas Hobbes mengkonseptualisasikan sebuah negara dimana pemimpinnya merupakan perwujudan penguasa tertinggi atas hak rakyatnya, sehingga sebuah negara dapat memerintah, mengatur, bahkan sampai merampas hak asasi warganya. Jika kondisi telah menjadi demikian, John Locke berpendapat bahwa masyarakat memiliki sebuah hak yang istimewa, yaitu hak revolusi. Hak revolusi dimiliki oleh masyarakat jika pemerintahnya tidak lagi bertindak untuk memperjuangkan warganya. Dari perspektif ini, perlawanan yang dilakukan masyarakat dalam menolak pabrik semen telah mendapatkan legitimasinya.

Hal ini dibutuhkan dan dimaknai dengan sangat dalam oleh masyarakat sekitar mengingat manusia sejatinya merupakan homo signans atau makhluk yang selalu mencari makna dari berbagai hal yang ada disekitarnya (Hoed, 2014). Dari makna inilah lahir apa yang dimaksud dengan kebudayaan. Dalam kebudayaan, manusia mengakui alam dalam arti seluas-luasnya sebagai ruang pelengkap untuk semakin memanusiakan dirinya, yang identik dengan kebudayaan alam. Ia tidak menguasai alam, melainkan mengetahuinya. Ia memberi cap manusia kepada alam dengan bersikap tuan dan abdi sekaligus (Bakker, 1984). Kebudayaan yang didapat dari proses pemaknaan terhadap alam itulah pada akhirnya yang melahirkan artefak berupa situs-situ budaya yang tersebar di sekitar gunung Kendeng seperti Gunung Percu, Patilasan dan Makam leluhur yang dikenal sebagai Mbah Dowo, Sumur Waru, Tanggulasi, dan masih banyak lagi seperti beragam candi yang tersebar di sekitar gunung kendeng.

Dengan masuknya alat berat ke dalam Gunung Kendeng, maka hal ini akan sangat berpotensi untuk merusak keindahan gunung kendeng dan menghancurkan berbagai situs budaya yang telah dibangun sebagai sebuah sistem pemaknaan budaya. Dapat kita katakan jika alam dan beragam situs kebudayaan sebagai basis dari sistem pemaknaan akan kebudayaan tersebut dirusak, maka kebudayaan masyarakat sekitar gunung kendeng pun telah dirusak. Dengan demikian hak kodrati yang melekat sebagai manusia berkebudayaan pada masyarakat skitar gunung kendeng telah dirampas. Atau dengan kata lain, telah terjadi perampasan akan proses kemanusiaan dari masyarakat.

Hak masyarakat lokal Rembang atas ekonomi dan kebudayaan mereka dirampas. Padahal dalam pasal 1 butir kedua kovenan tertulis dengan jelas bahwa “Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri”. Tentu saja yang dimaksud sebagai sumber penghidupannya disini tidak saja bermakna ekonomis, melainkan sosial juga budaya.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 79: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Namun, selain terhadap pemerintah, seharusnya permasalahan mengenai hak asasi manusia ini kita hadapkan juga terhadap perusahaan. Karena dalam perkembangannya, aktor yang turut serta hadir dalam permasalahan HAM adalah perusahaan. Hal inilah yang membawa perkembangan konsep HAM tidak saja mencapai generasi ketiga, melainkan telah menyentuh generasi empat hingga generasi kelima. Dalam perdebatan kontemporer ini, permasalahan HAM juga meliputi hubungan-hubungan horisontal sehingga mengalami perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya.

Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan (Asshiddiqie, 2005). Atas kesadaran penuh akan hal ini, bagaimana proses penegakan HAM dalam pusaran konflik Rembang akan ditegakan? Jawabannya seperti masih perlu kita cari tahu melalui jalan perjuangan.

Nahas, Indonesia sebagai sebuah negara yang telah meratifikasi kovenan internasional hak-hak ekosob seharusnya bertindak sebagai penjamin dan pelindung dari hak-hak ekosob yang dimiliki oleh warga. Namun dalam kasus Rembang ini, negara seolah-olah malah berbalik menjadi pelaku perampasan hak-hak dasar warga tersebut. hal ini dikarenakan penambangan yang terjadi di Rembang bisa terjadi akibat ijin penambangan yang diberikan oleh negara kepada pihak PT SI melalui keputusan Bupati No. 545/68/2010 perihal pemberian WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) eksplorasi. Dengan demikian negara telah menghianati kewajibannya sebagai penanggung jawab terlindunginya hak ekosob warganya.

NEGARA, PERUSAHAAN, DAN HAK MASYARAKATJika kita kembalikan sejatinya fungsi sebuah negara dalam pemikiran John Locke, maka negara tersebut ada hanya karena perjanjian masyarakatnya yang bersepakat membentuk suatu badan yang berfungsi untuk melindungi hak-hak kodratinya. Dalam hal ini, konsep hak dan negara yang dikemukakan oleh John Locke dapat kita temukan konsekuensi logisnya dengan sistem demokrasi. Lewat demokrasi, masyarakat yang bersepakat untuk membuat suatu mekanisme tadi akhirnya membuat suatu perjanjian yang saat ini kita kenal dengan istilah ‘hukum’. Melalui hukum tersebutlah suatu pemerintahan yang diberikan kekeuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan dibatasi dan diatur. Dengan demikian pemegang kekuasaan tertinggi tetap di tangan rakyat.

Namun melihat kondisi apa yang terjadi di Rembang, perwujudan negara sebagai sebuah entitas negara demokrasi tersebut seolah-olah kabur dan negara berubah menjadi sebuah entitas otoritarian yang mengikuti konsep negara milik Thomas Hobbes. Dalam salah satu magnum opusnya, Leviathan (1657), Thomas Hobbes mengkonseptualisasikan sebuah negara dimana pemimpinnya merupakan perwujudan penguasa tertinggi atas hak rakyatnya, sehingga sebuah negara dapat memerintah, mengatur, bahkan sampai merampas hak asasi warganya. Jika kondisi telah menjadi demikian, John Locke berpendapat bahwa masyarakat memiliki sebuah hak yang istimewa, yaitu hak revolusi. Hak revolusi dimiliki oleh masyarakat jika pemerintahnya tidak lagi bertindak untuk memperjuangkan warganya. Dari perspektif ini, perlawanan yang dilakukan masyarakat dalam menolak pabrik semen telah mendapatkan legitimasinya.

78

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Hal ini dibutuhkan dan dimaknai dengan sangat dalam oleh masyarakat sekitar mengingat manusia sejatinya merupakan homo signans atau makhluk yang selalu mencari makna dari berbagai hal yang ada disekitarnya (Hoed, 2014). Dari makna inilah lahir apa yang dimaksud dengan kebudayaan. Dalam kebudayaan, manusia mengakui alam dalam arti seluas-luasnya sebagai ruang pelengkap untuk semakin memanusiakan dirinya, yang identik dengan kebudayaan alam. Ia tidak menguasai alam, melainkan mengetahuinya. Ia memberi cap manusia kepada alam dengan bersikap tuan dan abdi sekaligus (Bakker, 1984). Kebudayaan yang didapat dari proses pemaknaan terhadap alam itulah pada akhirnya yang melahirkan artefak berupa situs-situ budaya yang tersebar di sekitar gunung Kendeng seperti Gunung Percu, Patilasan dan Makam leluhur yang dikenal sebagai Mbah Dowo, Sumur Waru, Tanggulasi, dan masih banyak lagi seperti beragam candi yang tersebar di sekitar gunung kendeng.

Dengan masuknya alat berat ke dalam Gunung Kendeng, maka hal ini akan sangat berpotensi untuk merusak keindahan gunung kendeng dan menghancurkan berbagai situs budaya yang telah dibangun sebagai sebuah sistem pemaknaan budaya. Dapat kita katakan jika alam dan beragam situs kebudayaan sebagai basis dari sistem pemaknaan akan kebudayaan tersebut dirusak, maka kebudayaan masyarakat sekitar gunung kendeng pun telah dirusak. Dengan demikian hak kodrati yang melekat sebagai manusia berkebudayaan pada masyarakat skitar gunung kendeng telah dirampas. Atau dengan kata lain, telah terjadi perampasan akan proses kemanusiaan dari masyarakat.

Hak masyarakat lokal Rembang atas ekonomi dan kebudayaan mereka dirampas. Padahal dalam pasal 1 butir kedua kovenan tertulis dengan jelas bahwa “Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri”. Tentu saja yang dimaksud sebagai sumber penghidupannya disini tidak saja bermakna ekonomis, melainkan sosial juga budaya.

Page 80: Berebut Berkah Tanah Kendeng

79

Namun, selain terhadap pemerintah, seharusnya permasalahan mengenai hak asasi manusia ini kita hadapkan juga terhadap perusahaan. Karena dalam perkembangannya, aktor yang turut serta hadir dalam permasalahan HAM adalah perusahaan. Hal inilah yang membawa perkembangan konsep HAM tidak saja mencapai generasi ketiga, melainkan telah menyentuh generasi empat hingga generasi kelima. Dalam perdebatan kontemporer ini, permasalahan HAM juga meliputi hubungan-hubungan horisontal sehingga mengalami perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya.

Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan (Asshiddiqie, 2005). Atas kesadaran penuh akan hal ini, bagaimana proses penegakan HAM dalam pusaran konflik Rembang akan ditegakan? Jawabannya seperti masih perlu kita cari tahu melalui jalan perjuangan.

Nahas, Indonesia sebagai sebuah negara yang telah meratifikasi kovenan internasional hak-hak ekosob seharusnya bertindak sebagai penjamin dan pelindung dari hak-hak ekosob yang dimiliki oleh warga. Namun dalam kasus Rembang ini, negara seolah-olah malah berbalik menjadi pelaku perampasan hak-hak dasar warga tersebut. hal ini dikarenakan penambangan yang terjadi di Rembang bisa terjadi akibat ijin penambangan yang diberikan oleh negara kepada pihak PT SI melalui keputusan Bupati No. 545/68/2010 perihal pemberian WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) eksplorasi. Dengan demikian negara telah menghianati kewajibannya sebagai penanggung jawab terlindunginya hak ekosob warganya.

NEGARA, PERUSAHAAN, DAN HAK MASYARAKATJika kita kembalikan sejatinya fungsi sebuah negara dalam pemikiran John Locke, maka negara tersebut ada hanya karena perjanjian masyarakatnya yang bersepakat membentuk suatu badan yang berfungsi untuk melindungi hak-hak kodratinya. Dalam hal ini, konsep hak dan negara yang dikemukakan oleh John Locke dapat kita temukan konsekuensi logisnya dengan sistem demokrasi. Lewat demokrasi, masyarakat yang bersepakat untuk membuat suatu mekanisme tadi akhirnya membuat suatu perjanjian yang saat ini kita kenal dengan istilah ‘hukum’. Melalui hukum tersebutlah suatu pemerintahan yang diberikan kekeuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan dibatasi dan diatur. Dengan demikian pemegang kekuasaan tertinggi tetap di tangan rakyat.

Namun melihat kondisi apa yang terjadi di Rembang, perwujudan negara sebagai sebuah entitas negara demokrasi tersebut seolah-olah kabur dan negara berubah menjadi sebuah entitas otoritarian yang mengikuti konsep negara milik Thomas Hobbes. Dalam salah satu magnum opusnya, Leviathan (1657), Thomas Hobbes mengkonseptualisasikan sebuah negara dimana pemimpinnya merupakan perwujudan penguasa tertinggi atas hak rakyatnya, sehingga sebuah negara dapat memerintah, mengatur, bahkan sampai merampas hak asasi warganya. Jika kondisi telah menjadi demikian, John Locke berpendapat bahwa masyarakat memiliki sebuah hak yang istimewa, yaitu hak revolusi. Hak revolusi dimiliki oleh masyarakat jika pemerintahnya tidak lagi bertindak untuk memperjuangkan warganya. Dari perspektif ini, perlawanan yang dilakukan masyarakat dalam menolak pabrik semen telah mendapatkan legitimasinya.

Hal ini dibutuhkan dan dimaknai dengan sangat dalam oleh masyarakat sekitar mengingat manusia sejatinya merupakan homo signans atau makhluk yang selalu mencari makna dari berbagai hal yang ada disekitarnya (Hoed, 2014). Dari makna inilah lahir apa yang dimaksud dengan kebudayaan. Dalam kebudayaan, manusia mengakui alam dalam arti seluas-luasnya sebagai ruang pelengkap untuk semakin memanusiakan dirinya, yang identik dengan kebudayaan alam. Ia tidak menguasai alam, melainkan mengetahuinya. Ia memberi cap manusia kepada alam dengan bersikap tuan dan abdi sekaligus (Bakker, 1984). Kebudayaan yang didapat dari proses pemaknaan terhadap alam itulah pada akhirnya yang melahirkan artefak berupa situs-situ budaya yang tersebar di sekitar gunung Kendeng seperti Gunung Percu, Patilasan dan Makam leluhur yang dikenal sebagai Mbah Dowo, Sumur Waru, Tanggulasi, dan masih banyak lagi seperti beragam candi yang tersebar di sekitar gunung kendeng.

Dengan masuknya alat berat ke dalam Gunung Kendeng, maka hal ini akan sangat berpotensi untuk merusak keindahan gunung kendeng dan menghancurkan berbagai situs budaya yang telah dibangun sebagai sebuah sistem pemaknaan budaya. Dapat kita katakan jika alam dan beragam situs kebudayaan sebagai basis dari sistem pemaknaan akan kebudayaan tersebut dirusak, maka kebudayaan masyarakat sekitar gunung kendeng pun telah dirusak. Dengan demikian hak kodrati yang melekat sebagai manusia berkebudayaan pada masyarakat skitar gunung kendeng telah dirampas. Atau dengan kata lain, telah terjadi perampasan akan proses kemanusiaan dari masyarakat.

Hak masyarakat lokal Rembang atas ekonomi dan kebudayaan mereka dirampas. Padahal dalam pasal 1 butir kedua kovenan tertulis dengan jelas bahwa “Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri”. Tentu saja yang dimaksud sebagai sumber penghidupannya disini tidak saja bermakna ekonomis, melainkan sosial juga budaya.

Page 81: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Namun, selain terhadap pemerintah, seharusnya permasalahan mengenai hak asasi manusia ini kita hadapkan juga terhadap perusahaan. Karena dalam perkembangannya, aktor yang turut serta hadir dalam permasalahan HAM adalah perusahaan. Hal inilah yang membawa perkembangan konsep HAM tidak saja mencapai generasi ketiga, melainkan telah menyentuh generasi empat hingga generasi kelima. Dalam perdebatan kontemporer ini, permasalahan HAM juga meliputi hubungan-hubungan horisontal sehingga mengalami perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya.

Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan (Asshiddiqie, 2005). Atas kesadaran penuh akan hal ini, bagaimana proses penegakan HAM dalam pusaran konflik Rembang akan ditegakan? Jawabannya seperti masih perlu kita cari tahu melalui jalan perjuangan.

80

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Nahas, Indonesia sebagai sebuah negara yang telah meratifikasi kovenan internasional hak-hak ekosob seharusnya bertindak sebagai penjamin dan pelindung dari hak-hak ekosob yang dimiliki oleh warga. Namun dalam kasus Rembang ini, negara seolah-olah malah berbalik menjadi pelaku perampasan hak-hak dasar warga tersebut. hal ini dikarenakan penambangan yang terjadi di Rembang bisa terjadi akibat ijin penambangan yang diberikan oleh negara kepada pihak PT SI melalui keputusan Bupati No. 545/68/2010 perihal pemberian WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) eksplorasi. Dengan demikian negara telah menghianati kewajibannya sebagai penanggung jawab terlindunginya hak ekosob warganya.

NEGARA, PERUSAHAAN, DAN HAK MASYARAKATJika kita kembalikan sejatinya fungsi sebuah negara dalam pemikiran John Locke, maka negara tersebut ada hanya karena perjanjian masyarakatnya yang bersepakat membentuk suatu badan yang berfungsi untuk melindungi hak-hak kodratinya. Dalam hal ini, konsep hak dan negara yang dikemukakan oleh John Locke dapat kita temukan konsekuensi logisnya dengan sistem demokrasi. Lewat demokrasi, masyarakat yang bersepakat untuk membuat suatu mekanisme tadi akhirnya membuat suatu perjanjian yang saat ini kita kenal dengan istilah ‘hukum’. Melalui hukum tersebutlah suatu pemerintahan yang diberikan kekeuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan dibatasi dan diatur. Dengan demikian pemegang kekuasaan tertinggi tetap di tangan rakyat.

Namun melihat kondisi apa yang terjadi di Rembang, perwujudan negara sebagai sebuah entitas negara demokrasi tersebut seolah-olah kabur dan negara berubah menjadi sebuah entitas otoritarian yang mengikuti konsep negara milik Thomas Hobbes. Dalam salah satu magnum opusnya, Leviathan (1657), Thomas Hobbes mengkonseptualisasikan sebuah negara dimana pemimpinnya merupakan perwujudan penguasa tertinggi atas hak rakyatnya, sehingga sebuah negara dapat memerintah, mengatur, bahkan sampai merampas hak asasi warganya. Jika kondisi telah menjadi demikian, John Locke berpendapat bahwa masyarakat memiliki sebuah hak yang istimewa, yaitu hak revolusi. Hak revolusi dimiliki oleh masyarakat jika pemerintahnya tidak lagi bertindak untuk memperjuangkan warganya. Dari perspektif ini, perlawanan yang dilakukan masyarakat dalam menolak pabrik semen telah mendapatkan legitimasinya.

Hal ini dibutuhkan dan dimaknai dengan sangat dalam oleh masyarakat sekitar mengingat manusia sejatinya merupakan homo signans atau makhluk yang selalu mencari makna dari berbagai hal yang ada disekitarnya (Hoed, 2014). Dari makna inilah lahir apa yang dimaksud dengan kebudayaan. Dalam kebudayaan, manusia mengakui alam dalam arti seluas-luasnya sebagai ruang pelengkap untuk semakin memanusiakan dirinya, yang identik dengan kebudayaan alam. Ia tidak menguasai alam, melainkan mengetahuinya. Ia memberi cap manusia kepada alam dengan bersikap tuan dan abdi sekaligus (Bakker, 1984). Kebudayaan yang didapat dari proses pemaknaan terhadap alam itulah pada akhirnya yang melahirkan artefak berupa situs-situ budaya yang tersebar di sekitar gunung Kendeng seperti Gunung Percu, Patilasan dan Makam leluhur yang dikenal sebagai Mbah Dowo, Sumur Waru, Tanggulasi, dan masih banyak lagi seperti beragam candi yang tersebar di sekitar gunung kendeng.

Dengan masuknya alat berat ke dalam Gunung Kendeng, maka hal ini akan sangat berpotensi untuk merusak keindahan gunung kendeng dan menghancurkan berbagai situs budaya yang telah dibangun sebagai sebuah sistem pemaknaan budaya. Dapat kita katakan jika alam dan beragam situs kebudayaan sebagai basis dari sistem pemaknaan akan kebudayaan tersebut dirusak, maka kebudayaan masyarakat sekitar gunung kendeng pun telah dirusak. Dengan demikian hak kodrati yang melekat sebagai manusia berkebudayaan pada masyarakat skitar gunung kendeng telah dirampas. Atau dengan kata lain, telah terjadi perampasan akan proses kemanusiaan dari masyarakat.

Hak masyarakat lokal Rembang atas ekonomi dan kebudayaan mereka dirampas. Padahal dalam pasal 1 butir kedua kovenan tertulis dengan jelas bahwa “Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri”. Tentu saja yang dimaksud sebagai sumber penghidupannya disini tidak saja bermakna ekonomis, melainkan sosial juga budaya.

Page 82: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Konflik hampir dialami seluruh negara di dunia ini. Aktor dan penyebabnya konflik ini juga beracam-macam. Mulai dari konflik internal dalam suatu organisasi, konflik antara perusahaan dengan warga lokal, konflik antar pemeluk agama, konflik antar suku dan daerah, dsb. Konflik yang sudah menjalar ke daerah dan melibatkan massa yang banyak dan mengarah kepada disintegrasi mengancam keutuhan bangsa. Konflik bisa menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana dan juga menyebabkan kondisi psikis yang tidak nyaman untuk hidup berdampingan.

Akhir-akhir ini Kabupaten Rembang ramai diperbincangkan karena adanya konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal. Warga Rembang yang daerahnya akan dibangun lokasi tambang batu gamping pabrik semen PT Semen Indonesia menolak rencana pembangunan tersebut karena mengancam kehidupan ekologis mereka. Perhatian mulai memusat diberikan ke Rembang setelah media memberitakan ibu – ibu yang yang mendirikan tenda sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen. Mereka mulai mendirikan tenda sejak 16 Juni 2014. Dan sampai sekarang penolakan tetap dilakukan warga, tenda masih tetap ada. Ibu-ibu ini yang kemudian dikenal sebagai “Sembilan Kartini Rembang” berkeliling ibukota mencari dukungan berbagai pihak.

atas pemberian izin PT Semen Indonesia oleh Gubernur Jawa Tengah. Dalam laporan yang dimuat dalam situs http://remotivi.or.id/meja-redaksi/rembang-dan-keberpihakan-media, Remotivi mengamati berita Jateng Pos Online berjudul “JMPPK Ilegal, Gugatan Cacat Hukum” yang dimuat pada 30 Januari 2015. Tertulis pada berita tersebut bahwa Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dianggap bukan organisasi resmi, sehingga gugatan atas izin lingkungan menjadi cacat secara hukum. Namun, untuk membuat kesimpulan ini, Jateng Pos hanya menggunakan sumber dari pengacara PT Semen Indonesia, dan kelompok warga yang menyebut dirinya sebagai Forum Pemuda Rembang (FPR).

Masih dalam laporan yang sama, berita Tribun Jateng Online berjudul “Warga Rembang yang Pro dan Kontra Pabrik Semen Audiensi dengan Komnas HAM” yang dimuat pada 12 April 2015 juga turut diamati. Berita tersebut menjelaskan tentang dua kelompok warga yang beraudiensi dengan Komnas HAM. Dalam berita ini wartawan Tribun Jateng menulis bahwa warga yang menolak pembangunan pabrik semen datang ke Jakarta dengan pesawat. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan oleh Remotivi, ibu-ibu ini datang dengan menggunakan mobil hasil iuran berbagai pihak.

Republika Online juga menurunkan berita berjudul “Semen Indonesia Edukasi Warga Rembang tentang Green Industry” pada 4 Maret 2015 dan Suara Merdeka Online menerbitkan berita berjudul “Ratusan Warga Rembang Kunjungi Pabrik Semen” 4 Maret 2015. Menurut laporan Remotivi, berita tersebut hanya bersumber dari satu pihak saja. Selain itu kedua berita tersebut menggambarkan pabrik semen akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi, pabrik semen yang akan dibangun dibingkai memiliki wawasan lingkungan, sehingga penambangan yang dilakukan tidak akan merusak lingkungan.

Media massa bukan sekedar sarana yang menampilkan kepada publik peristiwa politik secara apa adanya, tetapi tergantung kepada kelompok dan ideologi yang mendominasinya. Dengan demikian, apapun yang dihasilkan dan ditampilkan oleh media merupakan representasi dari ideologi media massa tersebut. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa, maka lembaga-lembaga politik seperti partai politik, organisasi pemerintah, kelompok kepentingan, serikat buruh, LSM, dan sebagainya, seringkali memanfaatkan media massa untuk tujuan-tujuan politik (Schramm, 1975: 468-486).

Konfrontasi antara yang pro dan yang kontra juga terjadi di media sosial twitter. Pihak yang kontra dengan pabrik semen mulanya mengusung hashtag #SaveRembang, namun kampanye ini disusupi pihak yang pro pabrik semen sehingga informasi yang dihadirkan menjadi bias. Hashtag #SaveRembang tidak bisa lagi dijadikan corong, pihak kontra pun mengusung hashtag #RembangMelawan. Di lain pihak, mereka yang pro semen mengangkat hashtag #RembangBersatu dan #RembangBangkit. Melalui perangkat yang disediakan topsy.com, kami mendapatkan bahwa hashtag #RembangBersatu digunakan terkait polemik pabrik semen ini paling awal oleh akun @Najma_hakiem tertanggal 3 April 2015 pukul 10:56.

Di sini terlihat bahwa konflik yang semula bersifat structural antara perusahaan-pemerintah dan warga setempat berkembang menjadi konflik horizontal antara yang pro pabrik semen dan kontra pabrik semen. Konflik horizontal ini termanifestasikan pada media-media, baik nyata maupun maya. Konflik horizontal ini bisa dipandang sebagai upaya pemecahbelahan masyarakat dan pembiasan informasi terkait pendirian pabrik semen.

Angka-angka pada grafik mencerminkan berapa banyak pencarian telah dilakukan untuk jangka waktu tertentu , relatif terhadap jumlah total penelusuran yang dilakukan di Google dari waktu ke waktu . Mereka tidak mewakili angka volume pencarian mutlak, karena data yang dinormalisasi dan disajikan dengan skala 0-100 . Setiap titik pada grafik dibagi dengan titik tertinggi dan dikalikan dengan 100. Ketika Google tidak memiliki data yang cukup , 0 ditampilkan.

Melihat data dari Google Trends, ternyata memang isu penolakan warga Rembang terhadap rencana pendirian pabrik semen belum menjadi perhatian banyak pihak sebelum pendirian tenda pada Juni 2014. Padahal jauh sebelum itu, sebuah akun You Tube bernama Zamroni Allief Billah mengunggah video berjudul “Merasa Ditipu Pabrik Semen, Warga Surati Presiden” pada tanggal 11 Mei 2013. Video dapat dilihat pada tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=23l5IDOV4XY. Kurang lebih video tersebut mendokumentasikan protes yang dilancarkan warga Tegaldowo akibat tidak diberikannya sosialisasi kepada mereka terkait rencana pendirian pabrik semen.

Mulai dari pendirian tenda itu, isu pendirian pabrik semen di Rembang yang ditolak warga setempat mulai menjadi perhatian media-media lokal dan nasional untuk diberitakan. Namun selama kasus ini berjalan, menurut pantauan yang dilakukan Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media di Indonesia, banyak media banyak media tidak memberikan informasi yang utuh dan lebih menunjukkan keberpihakan pada satu pihak saja, yakni pihak yang mendukung pembangunan pabrik semen.

Media komunikasi memiliki kekuatan dalam mempengaruhi masyarakat, teristimewa pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa (Effendy, 2003: 407). Media massa memiliki peran strategis, sebagai saluran yang menyampaikan informasi kepada publik secara serempak di antara khalayak yang sedang menggunakan media tersebut. Pada dasarnya, media massa memiliki fungsi penghantar dalam menyebar berbagai macam pengetahuan, menyelenggarakan kegiatan dalam lingkungan publik yang dapat dijangkau segenap anggota masyarakat secara bebas, sukarela, umum, dan murah, hubungan antara pengirim, dan penerima seimbang dan sama, serta mampu menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya (McQuail, 1987: 51).

Remotivi melakukan studi terhadap pemberitaan terkait Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan warga Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

berdasarkan pada UU Nomor 23 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup (LH) Nomor 11 Tahun 2006. Pada UU Nomor 23 Tahun 1997 pasal 1 ayat 1 menyatakan segala bentuk usaha yang dapat menimbulkan dampak besar dan penting wajib memiliki Amdal untuk memperoleh izin usaha. Menurut Majelis Hukum PTTUN Surabaya, izin eksplorasi tidak membutuhkan Amdal karena masih dalam tahap pencarian data dan informasi sehingga penentuan perlu atau tidaknya amdal seharusnya dilakukan setelah tahap eksplorasi.

Pada tanggal 27 Mei 2010, Mahkamah Agung (MA) menerima kasasi Walhi dengan mengeluarkan Putusan Nomor 103K/TUN/2010 mengenai pembatalan putusan PTTUN Surabaya Nomor 138/B/2009/PT.TUN.SBY. Mahkamah Agung melihat adanya ketidaksesuaian putusan dengan UU Nomor 23 Tahun 1997. Pada UU tersebut dinyatakan aspek selain lingkungan hidup yang harus diperhatikan dalam menerbitkan izin usaha, yaitu tata ruang, aspirasi masyarakat sekitar, dan pertimbangan atau rekomendasi pejabat yang berwenang. Dari segi lingkungan, terdapat kesalahan interpretasi UU Nomor 23 Tahun 1997 mengenai pernyataan tidak diperlukannya Amdal untuk memperoleh izin eksplorasi. Seharusnya, Amdal diperuntukan pula untuk penerbitan izin eksplorasi bagi usaha skala besar yang apabila berlanjut ke tahap eksploitasi dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.

Dari segi tata ruang, Kecamatan Sukolilo dan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Blora sudah ditetapkan sebagai kawasan karst dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 0398 K/40/MEM/2005 tentang penetapan kawasan karst Sukolilo. Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, kawasan bentang alam karst merupakan kawasan cagar alam geologi. Kawasan cagar alam geologi merupakan kawasan lindung geologi yang merupakan salah satu kawasan lindung nasional. Selain itu, aspirasi warga yang keberatan terhadap rencana pembangunan pabrik yang tidak dipertimbangkan juga menjadi titik kesalahan penerbitan izin usaha untuk PT SG tersebut.

Dengan dikeluarkannya Putusan MA Nomor 103K/TUN/2010, putusan PTTUN Surabaya dibatalkan dan Kepala KPPT diwajibkan untuk mencabut keputusan mengenai perubahan izin eksplorasi batu kapur. Putusan ini juga mengakhiri usaha PT SG untuk melakukan pembangunan pabrik semen di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.

HUKUM

DINDA PRIMAZEIRA

REMBANG DALAMPERSPEKTIF HUKUM

Usaha pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik (PT SG) bukan yang pertama kali dilakukan di kawasan Pegunungan Kendeng Utara. Pada tahun 2006, PT SG berencana melakukan pembangunan pabrik semen dan pertambangan di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, masih di kawasan Pegunungan Kendeng Utara. Akan tetapi warga setempat menolak rencana itu karena dikhawatirkan pembangunan pabrik semen dan pertambangan akan merusak lingkungan hidup.

Proses pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup atas rencana pembangunan pabrik semen juga dilakukan oleh Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Tuntuan Walhi mengacu pada kebijakan lingkungan hidup dan tata ruang.

Walhi melakukan penuntutan terhadap Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPPT) Nomor 540/52/2008. Putusan ini merupakan Perubahan Atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Nomor 540/40/2008 tentang izin pertambangan daerah eksplorasi bahan galian golongan C batu kapur. Penuntutan dilakukan berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal), dan PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional.Atas dasar asas inanimatif, yaitu obyek lingkungan hidup memiliki hak legal yang dapat diwakilkan oleh organisasi lingkungan hidup karena tidak dapat menggunakan haknya, perkara Nomor 04/G/2009/PTUN.SMG yang diajukan Walhi diterima sepenuhnya oleh PTUN Semarang pada tanggal 6 Agustus 2009.

Sekitar tiga bulan kemudian, yaitu pada tanggal 30 November 2009, Putusan PTUN Semarang dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya melalui Putusan Nomor 138/B/2009/PT.TUN.SBY. Pertimbangan putusan PTTUN Surabaya

81

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 83: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Konflik hampir dialami seluruh negara di dunia ini. Aktor dan penyebabnya konflik ini juga beracam-macam. Mulai dari konflik internal dalam suatu organisasi, konflik antara perusahaan dengan warga lokal, konflik antar pemeluk agama, konflik antar suku dan daerah, dsb. Konflik yang sudah menjalar ke daerah dan melibatkan massa yang banyak dan mengarah kepada disintegrasi mengancam keutuhan bangsa. Konflik bisa menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana dan juga menyebabkan kondisi psikis yang tidak nyaman untuk hidup berdampingan.

Akhir-akhir ini Kabupaten Rembang ramai diperbincangkan karena adanya konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal. Warga Rembang yang daerahnya akan dibangun lokasi tambang batu gamping pabrik semen PT Semen Indonesia menolak rencana pembangunan tersebut karena mengancam kehidupan ekologis mereka. Perhatian mulai memusat diberikan ke Rembang setelah media memberitakan ibu – ibu yang yang mendirikan tenda sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen. Mereka mulai mendirikan tenda sejak 16 Juni 2014. Dan sampai sekarang penolakan tetap dilakukan warga, tenda masih tetap ada. Ibu-ibu ini yang kemudian dikenal sebagai “Sembilan Kartini Rembang” berkeliling ibukota mencari dukungan berbagai pihak.

atas pemberian izin PT Semen Indonesia oleh Gubernur Jawa Tengah. Dalam laporan yang dimuat dalam situs http://remotivi.or.id/meja-redaksi/rembang-dan-keberpihakan-media, Remotivi mengamati berita Jateng Pos Online berjudul “JMPPK Ilegal, Gugatan Cacat Hukum” yang dimuat pada 30 Januari 2015. Tertulis pada berita tersebut bahwa Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dianggap bukan organisasi resmi, sehingga gugatan atas izin lingkungan menjadi cacat secara hukum. Namun, untuk membuat kesimpulan ini, Jateng Pos hanya menggunakan sumber dari pengacara PT Semen Indonesia, dan kelompok warga yang menyebut dirinya sebagai Forum Pemuda Rembang (FPR).

Masih dalam laporan yang sama, berita Tribun Jateng Online berjudul “Warga Rembang yang Pro dan Kontra Pabrik Semen Audiensi dengan Komnas HAM” yang dimuat pada 12 April 2015 juga turut diamati. Berita tersebut menjelaskan tentang dua kelompok warga yang beraudiensi dengan Komnas HAM. Dalam berita ini wartawan Tribun Jateng menulis bahwa warga yang menolak pembangunan pabrik semen datang ke Jakarta dengan pesawat. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan oleh Remotivi, ibu-ibu ini datang dengan menggunakan mobil hasil iuran berbagai pihak.

Republika Online juga menurunkan berita berjudul “Semen Indonesia Edukasi Warga Rembang tentang Green Industry” pada 4 Maret 2015 dan Suara Merdeka Online menerbitkan berita berjudul “Ratusan Warga Rembang Kunjungi Pabrik Semen” 4 Maret 2015. Menurut laporan Remotivi, berita tersebut hanya bersumber dari satu pihak saja. Selain itu kedua berita tersebut menggambarkan pabrik semen akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi, pabrik semen yang akan dibangun dibingkai memiliki wawasan lingkungan, sehingga penambangan yang dilakukan tidak akan merusak lingkungan.

Media massa bukan sekedar sarana yang menampilkan kepada publik peristiwa politik secara apa adanya, tetapi tergantung kepada kelompok dan ideologi yang mendominasinya. Dengan demikian, apapun yang dihasilkan dan ditampilkan oleh media merupakan representasi dari ideologi media massa tersebut. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa, maka lembaga-lembaga politik seperti partai politik, organisasi pemerintah, kelompok kepentingan, serikat buruh, LSM, dan sebagainya, seringkali memanfaatkan media massa untuk tujuan-tujuan politik (Schramm, 1975: 468-486).

Konfrontasi antara yang pro dan yang kontra juga terjadi di media sosial twitter. Pihak yang kontra dengan pabrik semen mulanya mengusung hashtag #SaveRembang, namun kampanye ini disusupi pihak yang pro pabrik semen sehingga informasi yang dihadirkan menjadi bias. Hashtag #SaveRembang tidak bisa lagi dijadikan corong, pihak kontra pun mengusung hashtag #RembangMelawan. Di lain pihak, mereka yang pro semen mengangkat hashtag #RembangBersatu dan #RembangBangkit. Melalui perangkat yang disediakan topsy.com, kami mendapatkan bahwa hashtag #RembangBersatu digunakan terkait polemik pabrik semen ini paling awal oleh akun @Najma_hakiem tertanggal 3 April 2015 pukul 10:56.

Di sini terlihat bahwa konflik yang semula bersifat structural antara perusahaan-pemerintah dan warga setempat berkembang menjadi konflik horizontal antara yang pro pabrik semen dan kontra pabrik semen. Konflik horizontal ini termanifestasikan pada media-media, baik nyata maupun maya. Konflik horizontal ini bisa dipandang sebagai upaya pemecahbelahan masyarakat dan pembiasan informasi terkait pendirian pabrik semen.

Angka-angka pada grafik mencerminkan berapa banyak pencarian telah dilakukan untuk jangka waktu tertentu , relatif terhadap jumlah total penelusuran yang dilakukan di Google dari waktu ke waktu . Mereka tidak mewakili angka volume pencarian mutlak, karena data yang dinormalisasi dan disajikan dengan skala 0-100 . Setiap titik pada grafik dibagi dengan titik tertinggi dan dikalikan dengan 100. Ketika Google tidak memiliki data yang cukup , 0 ditampilkan.

Melihat data dari Google Trends, ternyata memang isu penolakan warga Rembang terhadap rencana pendirian pabrik semen belum menjadi perhatian banyak pihak sebelum pendirian tenda pada Juni 2014. Padahal jauh sebelum itu, sebuah akun You Tube bernama Zamroni Allief Billah mengunggah video berjudul “Merasa Ditipu Pabrik Semen, Warga Surati Presiden” pada tanggal 11 Mei 2013. Video dapat dilihat pada tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=23l5IDOV4XY. Kurang lebih video tersebut mendokumentasikan protes yang dilancarkan warga Tegaldowo akibat tidak diberikannya sosialisasi kepada mereka terkait rencana pendirian pabrik semen.

Mulai dari pendirian tenda itu, isu pendirian pabrik semen di Rembang yang ditolak warga setempat mulai menjadi perhatian media-media lokal dan nasional untuk diberitakan. Namun selama kasus ini berjalan, menurut pantauan yang dilakukan Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media di Indonesia, banyak media banyak media tidak memberikan informasi yang utuh dan lebih menunjukkan keberpihakan pada satu pihak saja, yakni pihak yang mendukung pembangunan pabrik semen.

Media komunikasi memiliki kekuatan dalam mempengaruhi masyarakat, teristimewa pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa (Effendy, 2003: 407). Media massa memiliki peran strategis, sebagai saluran yang menyampaikan informasi kepada publik secara serempak di antara khalayak yang sedang menggunakan media tersebut. Pada dasarnya, media massa memiliki fungsi penghantar dalam menyebar berbagai macam pengetahuan, menyelenggarakan kegiatan dalam lingkungan publik yang dapat dijangkau segenap anggota masyarakat secara bebas, sukarela, umum, dan murah, hubungan antara pengirim, dan penerima seimbang dan sama, serta mampu menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya (McQuail, 1987: 51).

Remotivi melakukan studi terhadap pemberitaan terkait Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan warga Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

berdasarkan pada UU Nomor 23 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup (LH) Nomor 11 Tahun 2006. Pada UU Nomor 23 Tahun 1997 pasal 1 ayat 1 menyatakan segala bentuk usaha yang dapat menimbulkan dampak besar dan penting wajib memiliki Amdal untuk memperoleh izin usaha. Menurut Majelis Hukum PTTUN Surabaya, izin eksplorasi tidak membutuhkan Amdal karena masih dalam tahap pencarian data dan informasi sehingga penentuan perlu atau tidaknya amdal seharusnya dilakukan setelah tahap eksplorasi.

Pada tanggal 27 Mei 2010, Mahkamah Agung (MA) menerima kasasi Walhi dengan mengeluarkan Putusan Nomor 103K/TUN/2010 mengenai pembatalan putusan PTTUN Surabaya Nomor 138/B/2009/PT.TUN.SBY. Mahkamah Agung melihat adanya ketidaksesuaian putusan dengan UU Nomor 23 Tahun 1997. Pada UU tersebut dinyatakan aspek selain lingkungan hidup yang harus diperhatikan dalam menerbitkan izin usaha, yaitu tata ruang, aspirasi masyarakat sekitar, dan pertimbangan atau rekomendasi pejabat yang berwenang. Dari segi lingkungan, terdapat kesalahan interpretasi UU Nomor 23 Tahun 1997 mengenai pernyataan tidak diperlukannya Amdal untuk memperoleh izin eksplorasi. Seharusnya, Amdal diperuntukan pula untuk penerbitan izin eksplorasi bagi usaha skala besar yang apabila berlanjut ke tahap eksploitasi dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.

Dari segi tata ruang, Kecamatan Sukolilo dan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Blora sudah ditetapkan sebagai kawasan karst dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 0398 K/40/MEM/2005 tentang penetapan kawasan karst Sukolilo. Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, kawasan bentang alam karst merupakan kawasan cagar alam geologi. Kawasan cagar alam geologi merupakan kawasan lindung geologi yang merupakan salah satu kawasan lindung nasional. Selain itu, aspirasi warga yang keberatan terhadap rencana pembangunan pabrik yang tidak dipertimbangkan juga menjadi titik kesalahan penerbitan izin usaha untuk PT SG tersebut.

Dengan dikeluarkannya Putusan MA Nomor 103K/TUN/2010, putusan PTTUN Surabaya dibatalkan dan Kepala KPPT diwajibkan untuk mencabut keputusan mengenai perubahan izin eksplorasi batu kapur. Putusan ini juga mengakhiri usaha PT SG untuk melakukan pembangunan pabrik semen di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati.

82

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Usaha pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik (PT SG) bukan yang pertama kali dilakukan di kawasan Pegunungan Kendeng Utara. Pada tahun 2006, PT SG berencana melakukan pembangunan pabrik semen dan pertambangan di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, masih di kawasan Pegunungan Kendeng Utara. Akan tetapi warga setempat menolak rencana itu karena dikhawatirkan pembangunan pabrik semen dan pertambangan akan merusak lingkungan hidup.

Proses pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup atas rencana pembangunan pabrik semen juga dilakukan oleh Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Tuntuan Walhi mengacu pada kebijakan lingkungan hidup dan tata ruang.

Walhi melakukan penuntutan terhadap Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPPT) Nomor 540/52/2008. Putusan ini merupakan Perubahan Atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Nomor 540/40/2008 tentang izin pertambangan daerah eksplorasi bahan galian golongan C batu kapur. Penuntutan dilakukan berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal), dan PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional.Atas dasar asas inanimatif, yaitu obyek lingkungan hidup memiliki hak legal yang dapat diwakilkan oleh organisasi lingkungan hidup karena tidak dapat menggunakan haknya, perkara Nomor 04/G/2009/PTUN.SMG yang diajukan Walhi diterima sepenuhnya oleh PTUN Semarang pada tanggal 6 Agustus 2009.

Sekitar tiga bulan kemudian, yaitu pada tanggal 30 November 2009, Putusan PTUN Semarang dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya melalui Putusan Nomor 138/B/2009/PT.TUN.SBY. Pertimbangan putusan PTTUN Surabaya

Page 84: Berebut Berkah Tanah Kendeng

PT SEMEN GRESIK DIKABUPATEN REMBANGPutusan pencabutan izin di Kabupaten Pati tidak menyurutkan usaha PT SG untuk membangun pabrik semen. Pada tanggal 14 Oktober 2010, PT SG memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) melalui Keputusan Bupati Nomor 545/68/2010 tentang pemberian WIUP kepada PT SG. Keputusan itu disambut Bupati dengan keputusan berikutnya di surat Keputusan Bupati Nomor 545/04/2011 tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi kepada PT Semen Gresik pada tanggal 18 Januari 2011.

Setelah mengalami proses yang terbilang cukup singkat, keputusan berikutnya yang dikeluarkan oleh Bupati yaitu Keputusan Nomor 591/40/2011 tentang pemberian izin lokasi dengan luas sekitar 8.400.000 m2 kepada PT SG untuk pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya pada tanggal 18 November 2011. Izin lokasi merupakan tahap pertama untuk penilaian Amdal untuk selanjutnya mendapat keputusan kelayakan lingkungan.

Pada tanggal 30 April 2012, Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo mengeluarkan Keputusan Nomor 660.1/10/2012 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen oleh PT SG di Kabupaten Rembang. Kelayakan lingkungan hidup adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlandaskan Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Liingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang merupakan bagian dari Amdal. Menyusul pada tanggal 7 Juni 2012, Gubernur Jawa Tengah mengeluakan Keputusan No. 660.1/17/2012 tentang izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT SG. Pada tanggal 20 Desember 2012, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Perseroan, pihak perusahaan resmi mengganti nama dari PT Semen Gresik (Persero) Tbk, menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.

Keputusan demi keputusan yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dan Gubernur Jawa Tengah tidak dilakukan dengan sosialisasi kepada warga sekitar terlebih dahulu. Upaya beberapa warga Desa Tegaldowo yang merupakan salah satu desa yang berada pada zona ring 1, daerah yang berada paling dekat dengan tapak pabrik

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

83

semen PT Semen Indonesia (PT SI) , mencari tahu kebenaran kabar tersebut kepada Bapak Kecamatan Tegaldowo dan Camat Gunem pun nihil hasil. Warga belum memperoleh kepastian atas rencana pembangunan pabrik semen, Bupati Rembang sudah mengeluarkan Keputusan Nomor 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI pada tanggal 15 Februari 2013.

Kekhawatiran warga mengenai pembangunan dan penambangan disebabkan adanya kemungkinan kerusakan lingkungan yang besar akibat pembangunan pabrik semen dan penambangan. Terkait dengan hal itu, sebenarnya perusahaan juga tidak bisa seenaknya membangun pabrik atau melakukan penambangan tanpa disertai memerhatikan dampak pembangunannya terhadap lingkungan. Salah satu syarat lingkungan untuk memperoleh IUP, baik IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi, adalah PT SI harus sudah mematuhi perundang-undangan yang mengatur Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Hal ini sejalan dengan persyaratan penerbitan IUP eksplorasi dan IUP produksi yang terdapat pada PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.Untuk IUP operasi produksi memerlukan persyaratan tambahan yaitu persetujuan dokumen lingkungan hidup. IUP operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Pada kasus pembangunan PT SI di Kabupaten Rembang, persayaratan IUP operasi produksi telah dipenuhi oleh PT SI dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Jawa Tengah yang telah disebutkan sebelumnya tentang kelayakan lingkungan hidup. Dalam keputusan tersebut juga tercantum kewajiban yang seharusnya dilakukan PT SI, antara lain melakukan sosialisasi rencana kegiatan, mengutamakan musyawarah proses pengadaan lahan warga, dan memperbaiki kerusakan jalan akibat mobilisasi alat berat.

Selain itu, penetapan lingkungan hidup harus dilakukan berlandaskan Amdal. Hal ini tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang merupakan pembaruan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Masih dalam UU yang sama, pada pasal 26 dinyatakan Amdal harus memuat tanggapan warga yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Warga yang terkena dampak tidak dijelaskan secara rinci mengenai batas warga yang terkena dampak, namun dapat dinyatakan Desa Tegaldowo yang berada pada zona ring 1 merupakan salah satu desa yang akan terkena dampak ketara. Warga dapat melakukan pengajuan keberatan mengenai Amdal berkaitan dengan syarat penyusunan Amdal yang melibatkan warga.

Penyusunan Amdal pembangunan pabrik semen PT SI sebagai syarat memperoleh izin kelayakan lingkungan hidup tidak melibatkan warga sekitar. Warga mengaku tidak mengetahui adanya Amdal dan tidak merasa diajak untuk berpartisipasi dalam penyusunannya, bahkan tidak tahu-menahu soal Amdal. PT SI juga tidak kunjung melakukan sosialisasi yang menjadi kewajibannya sesuai dengan keputusan-keputusan pemerintah daerah terkait usaha pertambangan. Bahkan hingga izin penambangan dan pembangunan pabrik dikeluarkan, sosialisasi urung dilakukan.

Atas saran Camat Gunem, warga telah mencoba mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI. Namun, surat tersebut tak kunjung mendapat respon.Hingga akhirnya pada tanggal 22 Juni 2013, diadakan suatu forum yang dihadiri warga Tegaldowo, PT SI, pejabat desa. Forum inilah yang selalu diangkat sebagai forum sosialisasi pembangunan pabrik semen kepada warga. Pada forum tersebut juga dinyatakan Joko Priyanto, seorang warga Tegaldowo, hadir dan menyetujui hasil sosialisasi. Padahal pada saat itu, Joko priyanto selaku salah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) terdapat 49 goa di Kabupaten Rembang.Penataan ruang di Indonesia diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Undang-undang ini merupakan pembaruan UU Nomor 24 Tahun 1992. Untuk menjelaskan pasal 20 ayat 6 tentang RTRW Nasional, dibuat PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional. Di dalam PP tersebut, pasal 60 ayat 2 menyatakan semua bentang alam yang memiliki goa masuk ke dalam Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG). Masih dalam PP RTRW Nasional, KCAG termasuk kawasan lindung geologi (pasal 52 ayat 5) yang merupakan salah satu kawasan lindung nasional (pasal 51). Selain UU dan PP tersebut, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029 pasal 63 juga menyatakan bahwa kawasan CAT Watuputih dikategorikan sebagai kawasan imbuhan air yang termasuk kawasan lindung geologi.

Dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang dikeluarkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 menyatakan CAT Watuputih termasuk kawasan lindung geologi. Akan tetapi, pada peta RTRW Kabupaten Rembang tersebut menyatakan pula bahwa sebagian wilayah di kawasan CAT Watuputih merupakan kawasan pertambangan mineral dan batu bara.

satu tokoh warga sedang berada di Pontianak. Forum ini berujung adu mulut dan penyekapan empat orang warga Desa Tegaldowo. Keempat orang ini mengaku diintimidasi oleh beberapa pemerintah daerah dan sesama warga Desa Tegaldowo.

Pada tanggal 18 Septermber 2013, warga mendatangai kantor DPRD Rembang dengan menuntut pencabutan surat izin dan surat pinjam pakai hutan. Surat pinjam pakai hutan menurut Permen Kehutanan Nomor P.18/Menhut/II/2011 adalah surat izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Adanya bukti mengenai perubahan peruntukkan kawasan hutan atau fungsi kawasan yang bertentangan dengan undang-undang dapat berdampak pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh menteri, seperti yang tercantum pada Permen Kehutananan tersebut pasal 41.Selanjutnya pada tanggal 19 Februari 2014, warga meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watuputih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi kepada DPRD Rembang.

Lokasi tambang PT SI di Kabupaten Rembang terletak di kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih, Pegunungan Kendeng Utara. Kawasan Watuputih ditetapkan menjadi kawasan Cekungan Air Tanah (CAT). Penetapan CAT Watuputih dimuat dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 2011 mengenai Penetapan Cekungan Air Tanah. Pada lampiran Keppres tersebut tercantum koordinat batas, luas, dan klasifikasi CAT Watuputih. CAT Watuputih dengan luas 31 km2 diklasifikasikan sebagai CAT B, yaitu CAT lintas kabupaten/kota karena CAT Watuputih melintasi Kabupaten Rembang dan Blora.

Sebagai CAT, CAT Watuputih memiliki potensi suplai air yang sangat besar sehingga menjadi sumber air terbesar bagi 14 kecamatan di Kabupaten Rembang. CAT merupakan kawasan konservasi yang perlu dilindungi dan dikelola. Hal tersebut dinyatakan pada pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah.

Rencana tata ruang yang tercantum pada peta RTRW Kabupaten Rembang bertentangan dengan dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang sudah sejalan dengan RTRW Provinsi Jawa Tengah. Prosedur hirarki mengatur bahwa RTRW yang lebih tinggi merupakan landasan untuk menyusun RTRW lainnya, sehingga dalam hal ini Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten perlu berkoordinasi dengan Pemda provinsi maupun Pemda kabupaten lain yang turut terlibat. Adanya tumpang tindih antara dokumen dan peta RTRW Kabupaten Rembang menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam proses penyusunan RTRW.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

Page 85: Berebut Berkah Tanah Kendeng

PT SEMEN GRESIK DIKABUPATEN REMBANGPutusan pencabutan izin di Kabupaten Pati tidak menyurutkan usaha PT SG untuk membangun pabrik semen. Pada tanggal 14 Oktober 2010, PT SG memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) melalui Keputusan Bupati Nomor 545/68/2010 tentang pemberian WIUP kepada PT SG. Keputusan itu disambut Bupati dengan keputusan berikutnya di surat Keputusan Bupati Nomor 545/04/2011 tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi kepada PT Semen Gresik pada tanggal 18 Januari 2011.

Setelah mengalami proses yang terbilang cukup singkat, keputusan berikutnya yang dikeluarkan oleh Bupati yaitu Keputusan Nomor 591/40/2011 tentang pemberian izin lokasi dengan luas sekitar 8.400.000 m2 kepada PT SG untuk pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya pada tanggal 18 November 2011. Izin lokasi merupakan tahap pertama untuk penilaian Amdal untuk selanjutnya mendapat keputusan kelayakan lingkungan.

Pada tanggal 30 April 2012, Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo mengeluarkan Keputusan Nomor 660.1/10/2012 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen oleh PT SG di Kabupaten Rembang. Kelayakan lingkungan hidup adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlandaskan Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Liingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang merupakan bagian dari Amdal. Menyusul pada tanggal 7 Juni 2012, Gubernur Jawa Tengah mengeluakan Keputusan No. 660.1/17/2012 tentang izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT SG. Pada tanggal 20 Desember 2012, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Perseroan, pihak perusahaan resmi mengganti nama dari PT Semen Gresik (Persero) Tbk, menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.

Keputusan demi keputusan yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dan Gubernur Jawa Tengah tidak dilakukan dengan sosialisasi kepada warga sekitar terlebih dahulu. Upaya beberapa warga Desa Tegaldowo yang merupakan salah satu desa yang berada pada zona ring 1, daerah yang berada paling dekat dengan tapak pabrik

semen PT Semen Indonesia (PT SI) , mencari tahu kebenaran kabar tersebut kepada Bapak Kecamatan Tegaldowo dan Camat Gunem pun nihil hasil. Warga belum memperoleh kepastian atas rencana pembangunan pabrik semen, Bupati Rembang sudah mengeluarkan Keputusan Nomor 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI pada tanggal 15 Februari 2013.

Kekhawatiran warga mengenai pembangunan dan penambangan disebabkan adanya kemungkinan kerusakan lingkungan yang besar akibat pembangunan pabrik semen dan penambangan. Terkait dengan hal itu, sebenarnya perusahaan juga tidak bisa seenaknya membangun pabrik atau melakukan penambangan tanpa disertai memerhatikan dampak pembangunannya terhadap lingkungan. Salah satu syarat lingkungan untuk memperoleh IUP, baik IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi, adalah PT SI harus sudah mematuhi perundang-undangan yang mengatur Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Hal ini sejalan dengan persyaratan penerbitan IUP eksplorasi dan IUP produksi yang terdapat pada PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.Untuk IUP operasi produksi memerlukan persyaratan tambahan yaitu persetujuan dokumen lingkungan hidup. IUP operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

84

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Pada kasus pembangunan PT SI di Kabupaten Rembang, persayaratan IUP operasi produksi telah dipenuhi oleh PT SI dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Jawa Tengah yang telah disebutkan sebelumnya tentang kelayakan lingkungan hidup. Dalam keputusan tersebut juga tercantum kewajiban yang seharusnya dilakukan PT SI, antara lain melakukan sosialisasi rencana kegiatan, mengutamakan musyawarah proses pengadaan lahan warga, dan memperbaiki kerusakan jalan akibat mobilisasi alat berat.

Selain itu, penetapan lingkungan hidup harus dilakukan berlandaskan Amdal. Hal ini tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang merupakan pembaruan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Masih dalam UU yang sama, pada pasal 26 dinyatakan Amdal harus memuat tanggapan warga yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Warga yang terkena dampak tidak dijelaskan secara rinci mengenai batas warga yang terkena dampak, namun dapat dinyatakan Desa Tegaldowo yang berada pada zona ring 1 merupakan salah satu desa yang akan terkena dampak ketara. Warga dapat melakukan pengajuan keberatan mengenai Amdal berkaitan dengan syarat penyusunan Amdal yang melibatkan warga.

Penyusunan Amdal pembangunan pabrik semen PT SI sebagai syarat memperoleh izin kelayakan lingkungan hidup tidak melibatkan warga sekitar. Warga mengaku tidak mengetahui adanya Amdal dan tidak merasa diajak untuk berpartisipasi dalam penyusunannya, bahkan tidak tahu-menahu soal Amdal. PT SI juga tidak kunjung melakukan sosialisasi yang menjadi kewajibannya sesuai dengan keputusan-keputusan pemerintah daerah terkait usaha pertambangan. Bahkan hingga izin penambangan dan pembangunan pabrik dikeluarkan, sosialisasi urung dilakukan.

Atas saran Camat Gunem, warga telah mencoba mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI. Namun, surat tersebut tak kunjung mendapat respon.Hingga akhirnya pada tanggal 22 Juni 2013, diadakan suatu forum yang dihadiri warga Tegaldowo, PT SI, pejabat desa. Forum inilah yang selalu diangkat sebagai forum sosialisasi pembangunan pabrik semen kepada warga. Pada forum tersebut juga dinyatakan Joko Priyanto, seorang warga Tegaldowo, hadir dan menyetujui hasil sosialisasi. Padahal pada saat itu, Joko priyanto selaku salah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) terdapat 49 goa di Kabupaten Rembang.Penataan ruang di Indonesia diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Undang-undang ini merupakan pembaruan UU Nomor 24 Tahun 1992. Untuk menjelaskan pasal 20 ayat 6 tentang RTRW Nasional, dibuat PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional. Di dalam PP tersebut, pasal 60 ayat 2 menyatakan semua bentang alam yang memiliki goa masuk ke dalam Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG). Masih dalam PP RTRW Nasional, KCAG termasuk kawasan lindung geologi (pasal 52 ayat 5) yang merupakan salah satu kawasan lindung nasional (pasal 51). Selain UU dan PP tersebut, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029 pasal 63 juga menyatakan bahwa kawasan CAT Watuputih dikategorikan sebagai kawasan imbuhan air yang termasuk kawasan lindung geologi.

Dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang dikeluarkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 menyatakan CAT Watuputih termasuk kawasan lindung geologi. Akan tetapi, pada peta RTRW Kabupaten Rembang tersebut menyatakan pula bahwa sebagian wilayah di kawasan CAT Watuputih merupakan kawasan pertambangan mineral dan batu bara.

satu tokoh warga sedang berada di Pontianak. Forum ini berujung adu mulut dan penyekapan empat orang warga Desa Tegaldowo. Keempat orang ini mengaku diintimidasi oleh beberapa pemerintah daerah dan sesama warga Desa Tegaldowo.

Pada tanggal 18 Septermber 2013, warga mendatangai kantor DPRD Rembang dengan menuntut pencabutan surat izin dan surat pinjam pakai hutan. Surat pinjam pakai hutan menurut Permen Kehutanan Nomor P.18/Menhut/II/2011 adalah surat izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Adanya bukti mengenai perubahan peruntukkan kawasan hutan atau fungsi kawasan yang bertentangan dengan undang-undang dapat berdampak pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh menteri, seperti yang tercantum pada Permen Kehutananan tersebut pasal 41.Selanjutnya pada tanggal 19 Februari 2014, warga meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watuputih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi kepada DPRD Rembang.

Lokasi tambang PT SI di Kabupaten Rembang terletak di kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih, Pegunungan Kendeng Utara. Kawasan Watuputih ditetapkan menjadi kawasan Cekungan Air Tanah (CAT). Penetapan CAT Watuputih dimuat dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 2011 mengenai Penetapan Cekungan Air Tanah. Pada lampiran Keppres tersebut tercantum koordinat batas, luas, dan klasifikasi CAT Watuputih. CAT Watuputih dengan luas 31 km2 diklasifikasikan sebagai CAT B, yaitu CAT lintas kabupaten/kota karena CAT Watuputih melintasi Kabupaten Rembang dan Blora.

Sebagai CAT, CAT Watuputih memiliki potensi suplai air yang sangat besar sehingga menjadi sumber air terbesar bagi 14 kecamatan di Kabupaten Rembang. CAT merupakan kawasan konservasi yang perlu dilindungi dan dikelola. Hal tersebut dinyatakan pada pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah.

Rencana tata ruang yang tercantum pada peta RTRW Kabupaten Rembang bertentangan dengan dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang sudah sejalan dengan RTRW Provinsi Jawa Tengah. Prosedur hirarki mengatur bahwa RTRW yang lebih tinggi merupakan landasan untuk menyusun RTRW lainnya, sehingga dalam hal ini Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten perlu berkoordinasi dengan Pemda provinsi maupun Pemda kabupaten lain yang turut terlibat. Adanya tumpang tindih antara dokumen dan peta RTRW Kabupaten Rembang menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam proses penyusunan RTRW.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

Page 86: Berebut Berkah Tanah Kendeng

PT SEMEN GRESIK DIKABUPATEN REMBANGPutusan pencabutan izin di Kabupaten Pati tidak menyurutkan usaha PT SG untuk membangun pabrik semen. Pada tanggal 14 Oktober 2010, PT SG memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) melalui Keputusan Bupati Nomor 545/68/2010 tentang pemberian WIUP kepada PT SG. Keputusan itu disambut Bupati dengan keputusan berikutnya di surat Keputusan Bupati Nomor 545/04/2011 tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi kepada PT Semen Gresik pada tanggal 18 Januari 2011.

Setelah mengalami proses yang terbilang cukup singkat, keputusan berikutnya yang dikeluarkan oleh Bupati yaitu Keputusan Nomor 591/40/2011 tentang pemberian izin lokasi dengan luas sekitar 8.400.000 m2 kepada PT SG untuk pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya pada tanggal 18 November 2011. Izin lokasi merupakan tahap pertama untuk penilaian Amdal untuk selanjutnya mendapat keputusan kelayakan lingkungan.

Pada tanggal 30 April 2012, Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo mengeluarkan Keputusan Nomor 660.1/10/2012 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen oleh PT SG di Kabupaten Rembang. Kelayakan lingkungan hidup adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlandaskan Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Liingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang merupakan bagian dari Amdal. Menyusul pada tanggal 7 Juni 2012, Gubernur Jawa Tengah mengeluakan Keputusan No. 660.1/17/2012 tentang izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT SG. Pada tanggal 20 Desember 2012, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Perseroan, pihak perusahaan resmi mengganti nama dari PT Semen Gresik (Persero) Tbk, menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.

Keputusan demi keputusan yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dan Gubernur Jawa Tengah tidak dilakukan dengan sosialisasi kepada warga sekitar terlebih dahulu. Upaya beberapa warga Desa Tegaldowo yang merupakan salah satu desa yang berada pada zona ring 1, daerah yang berada paling dekat dengan tapak pabrik

semen PT Semen Indonesia (PT SI) , mencari tahu kebenaran kabar tersebut kepada Bapak Kecamatan Tegaldowo dan Camat Gunem pun nihil hasil. Warga belum memperoleh kepastian atas rencana pembangunan pabrik semen, Bupati Rembang sudah mengeluarkan Keputusan Nomor 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI pada tanggal 15 Februari 2013.

Kekhawatiran warga mengenai pembangunan dan penambangan disebabkan adanya kemungkinan kerusakan lingkungan yang besar akibat pembangunan pabrik semen dan penambangan. Terkait dengan hal itu, sebenarnya perusahaan juga tidak bisa seenaknya membangun pabrik atau melakukan penambangan tanpa disertai memerhatikan dampak pembangunannya terhadap lingkungan. Salah satu syarat lingkungan untuk memperoleh IUP, baik IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi, adalah PT SI harus sudah mematuhi perundang-undangan yang mengatur Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Hal ini sejalan dengan persyaratan penerbitan IUP eksplorasi dan IUP produksi yang terdapat pada PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.Untuk IUP operasi produksi memerlukan persyaratan tambahan yaitu persetujuan dokumen lingkungan hidup. IUP operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Pada kasus pembangunan PT SI di Kabupaten Rembang, persayaratan IUP operasi produksi telah dipenuhi oleh PT SI dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Jawa Tengah yang telah disebutkan sebelumnya tentang kelayakan lingkungan hidup. Dalam keputusan tersebut juga tercantum kewajiban yang seharusnya dilakukan PT SI, antara lain melakukan sosialisasi rencana kegiatan, mengutamakan musyawarah proses pengadaan lahan warga, dan memperbaiki kerusakan jalan akibat mobilisasi alat berat.

Selain itu, penetapan lingkungan hidup harus dilakukan berlandaskan Amdal. Hal ini tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang merupakan pembaruan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Masih dalam UU yang sama, pada pasal 26 dinyatakan Amdal harus memuat tanggapan warga yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Warga yang terkena dampak tidak dijelaskan secara rinci mengenai batas warga yang terkena dampak, namun dapat dinyatakan Desa Tegaldowo yang berada pada zona ring 1 merupakan salah satu desa yang akan terkena dampak ketara. Warga dapat melakukan pengajuan keberatan mengenai Amdal berkaitan dengan syarat penyusunan Amdal yang melibatkan warga.

Penyusunan Amdal pembangunan pabrik semen PT SI sebagai syarat memperoleh izin kelayakan lingkungan hidup tidak melibatkan warga sekitar. Warga mengaku tidak mengetahui adanya Amdal dan tidak merasa diajak untuk berpartisipasi dalam penyusunannya, bahkan tidak tahu-menahu soal Amdal. PT SI juga tidak kunjung melakukan sosialisasi yang menjadi kewajibannya sesuai dengan keputusan-keputusan pemerintah daerah terkait usaha pertambangan. Bahkan hingga izin penambangan dan pembangunan pabrik dikeluarkan, sosialisasi urung dilakukan.

Atas saran Camat Gunem, warga telah mencoba mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI. Namun, surat tersebut tak kunjung mendapat respon.Hingga akhirnya pada tanggal 22 Juni 2013, diadakan suatu forum yang dihadiri warga Tegaldowo, PT SI, pejabat desa. Forum inilah yang selalu diangkat sebagai forum sosialisasi pembangunan pabrik semen kepada warga. Pada forum tersebut juga dinyatakan Joko Priyanto, seorang warga Tegaldowo, hadir dan menyetujui hasil sosialisasi. Padahal pada saat itu, Joko priyanto selaku salah

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

85

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) terdapat 49 goa di Kabupaten Rembang.Penataan ruang di Indonesia diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Undang-undang ini merupakan pembaruan UU Nomor 24 Tahun 1992. Untuk menjelaskan pasal 20 ayat 6 tentang RTRW Nasional, dibuat PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional. Di dalam PP tersebut, pasal 60 ayat 2 menyatakan semua bentang alam yang memiliki goa masuk ke dalam Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG). Masih dalam PP RTRW Nasional, KCAG termasuk kawasan lindung geologi (pasal 52 ayat 5) yang merupakan salah satu kawasan lindung nasional (pasal 51). Selain UU dan PP tersebut, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029 pasal 63 juga menyatakan bahwa kawasan CAT Watuputih dikategorikan sebagai kawasan imbuhan air yang termasuk kawasan lindung geologi.

Dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang dikeluarkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 menyatakan CAT Watuputih termasuk kawasan lindung geologi. Akan tetapi, pada peta RTRW Kabupaten Rembang tersebut menyatakan pula bahwa sebagian wilayah di kawasan CAT Watuputih merupakan kawasan pertambangan mineral dan batu bara.

satu tokoh warga sedang berada di Pontianak. Forum ini berujung adu mulut dan penyekapan empat orang warga Desa Tegaldowo. Keempat orang ini mengaku diintimidasi oleh beberapa pemerintah daerah dan sesama warga Desa Tegaldowo.

Pada tanggal 18 Septermber 2013, warga mendatangai kantor DPRD Rembang dengan menuntut pencabutan surat izin dan surat pinjam pakai hutan. Surat pinjam pakai hutan menurut Permen Kehutanan Nomor P.18/Menhut/II/2011 adalah surat izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Adanya bukti mengenai perubahan peruntukkan kawasan hutan atau fungsi kawasan yang bertentangan dengan undang-undang dapat berdampak pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh menteri, seperti yang tercantum pada Permen Kehutananan tersebut pasal 41.Selanjutnya pada tanggal 19 Februari 2014, warga meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watuputih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi kepada DPRD Rembang.

Lokasi tambang PT SI di Kabupaten Rembang terletak di kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih, Pegunungan Kendeng Utara. Kawasan Watuputih ditetapkan menjadi kawasan Cekungan Air Tanah (CAT). Penetapan CAT Watuputih dimuat dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 2011 mengenai Penetapan Cekungan Air Tanah. Pada lampiran Keppres tersebut tercantum koordinat batas, luas, dan klasifikasi CAT Watuputih. CAT Watuputih dengan luas 31 km2 diklasifikasikan sebagai CAT B, yaitu CAT lintas kabupaten/kota karena CAT Watuputih melintasi Kabupaten Rembang dan Blora.

Sebagai CAT, CAT Watuputih memiliki potensi suplai air yang sangat besar sehingga menjadi sumber air terbesar bagi 14 kecamatan di Kabupaten Rembang. CAT merupakan kawasan konservasi yang perlu dilindungi dan dikelola. Hal tersebut dinyatakan pada pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah.

Rencana tata ruang yang tercantum pada peta RTRW Kabupaten Rembang bertentangan dengan dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang sudah sejalan dengan RTRW Provinsi Jawa Tengah. Prosedur hirarki mengatur bahwa RTRW yang lebih tinggi merupakan landasan untuk menyusun RTRW lainnya, sehingga dalam hal ini Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten perlu berkoordinasi dengan Pemda provinsi maupun Pemda kabupaten lain yang turut terlibat. Adanya tumpang tindih antara dokumen dan peta RTRW Kabupaten Rembang menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam proses penyusunan RTRW.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

Page 87: Berebut Berkah Tanah Kendeng

PT SEMEN GRESIK DIKABUPATEN REMBANGPutusan pencabutan izin di Kabupaten Pati tidak menyurutkan usaha PT SG untuk membangun pabrik semen. Pada tanggal 14 Oktober 2010, PT SG memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) melalui Keputusan Bupati Nomor 545/68/2010 tentang pemberian WIUP kepada PT SG. Keputusan itu disambut Bupati dengan keputusan berikutnya di surat Keputusan Bupati Nomor 545/04/2011 tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi kepada PT Semen Gresik pada tanggal 18 Januari 2011.

Setelah mengalami proses yang terbilang cukup singkat, keputusan berikutnya yang dikeluarkan oleh Bupati yaitu Keputusan Nomor 591/40/2011 tentang pemberian izin lokasi dengan luas sekitar 8.400.000 m2 kepada PT SG untuk pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya pada tanggal 18 November 2011. Izin lokasi merupakan tahap pertama untuk penilaian Amdal untuk selanjutnya mendapat keputusan kelayakan lingkungan.

Pada tanggal 30 April 2012, Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo mengeluarkan Keputusan Nomor 660.1/10/2012 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen oleh PT SG di Kabupaten Rembang. Kelayakan lingkungan hidup adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlandaskan Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Liingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang merupakan bagian dari Amdal. Menyusul pada tanggal 7 Juni 2012, Gubernur Jawa Tengah mengeluakan Keputusan No. 660.1/17/2012 tentang izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT SG. Pada tanggal 20 Desember 2012, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Perseroan, pihak perusahaan resmi mengganti nama dari PT Semen Gresik (Persero) Tbk, menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.

Keputusan demi keputusan yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dan Gubernur Jawa Tengah tidak dilakukan dengan sosialisasi kepada warga sekitar terlebih dahulu. Upaya beberapa warga Desa Tegaldowo yang merupakan salah satu desa yang berada pada zona ring 1, daerah yang berada paling dekat dengan tapak pabrik

semen PT Semen Indonesia (PT SI) , mencari tahu kebenaran kabar tersebut kepada Bapak Kecamatan Tegaldowo dan Camat Gunem pun nihil hasil. Warga belum memperoleh kepastian atas rencana pembangunan pabrik semen, Bupati Rembang sudah mengeluarkan Keputusan Nomor 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI pada tanggal 15 Februari 2013.

Kekhawatiran warga mengenai pembangunan dan penambangan disebabkan adanya kemungkinan kerusakan lingkungan yang besar akibat pembangunan pabrik semen dan penambangan. Terkait dengan hal itu, sebenarnya perusahaan juga tidak bisa seenaknya membangun pabrik atau melakukan penambangan tanpa disertai memerhatikan dampak pembangunannya terhadap lingkungan. Salah satu syarat lingkungan untuk memperoleh IUP, baik IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi, adalah PT SI harus sudah mematuhi perundang-undangan yang mengatur Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Hal ini sejalan dengan persyaratan penerbitan IUP eksplorasi dan IUP produksi yang terdapat pada PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.Untuk IUP operasi produksi memerlukan persyaratan tambahan yaitu persetujuan dokumen lingkungan hidup. IUP operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Pada kasus pembangunan PT SI di Kabupaten Rembang, persayaratan IUP operasi produksi telah dipenuhi oleh PT SI dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Jawa Tengah yang telah disebutkan sebelumnya tentang kelayakan lingkungan hidup. Dalam keputusan tersebut juga tercantum kewajiban yang seharusnya dilakukan PT SI, antara lain melakukan sosialisasi rencana kegiatan, mengutamakan musyawarah proses pengadaan lahan warga, dan memperbaiki kerusakan jalan akibat mobilisasi alat berat.

Selain itu, penetapan lingkungan hidup harus dilakukan berlandaskan Amdal. Hal ini tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang merupakan pembaruan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Masih dalam UU yang sama, pada pasal 26 dinyatakan Amdal harus memuat tanggapan warga yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Warga yang terkena dampak tidak dijelaskan secara rinci mengenai batas warga yang terkena dampak, namun dapat dinyatakan Desa Tegaldowo yang berada pada zona ring 1 merupakan salah satu desa yang akan terkena dampak ketara. Warga dapat melakukan pengajuan keberatan mengenai Amdal berkaitan dengan syarat penyusunan Amdal yang melibatkan warga.

Penyusunan Amdal pembangunan pabrik semen PT SI sebagai syarat memperoleh izin kelayakan lingkungan hidup tidak melibatkan warga sekitar. Warga mengaku tidak mengetahui adanya Amdal dan tidak merasa diajak untuk berpartisipasi dalam penyusunannya, bahkan tidak tahu-menahu soal Amdal. PT SI juga tidak kunjung melakukan sosialisasi yang menjadi kewajibannya sesuai dengan keputusan-keputusan pemerintah daerah terkait usaha pertambangan. Bahkan hingga izin penambangan dan pembangunan pabrik dikeluarkan, sosialisasi urung dilakukan.

Atas saran Camat Gunem, warga telah mencoba mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI. Namun, surat tersebut tak kunjung mendapat respon.Hingga akhirnya pada tanggal 22 Juni 2013, diadakan suatu forum yang dihadiri warga Tegaldowo, PT SI, pejabat desa. Forum inilah yang selalu diangkat sebagai forum sosialisasi pembangunan pabrik semen kepada warga. Pada forum tersebut juga dinyatakan Joko Priyanto, seorang warga Tegaldowo, hadir dan menyetujui hasil sosialisasi. Padahal pada saat itu, Joko priyanto selaku salah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) terdapat 49 goa di Kabupaten Rembang.Penataan ruang di Indonesia diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Undang-undang ini merupakan pembaruan UU Nomor 24 Tahun 1992. Untuk menjelaskan pasal 20 ayat 6 tentang RTRW Nasional, dibuat PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional. Di dalam PP tersebut, pasal 60 ayat 2 menyatakan semua bentang alam yang memiliki goa masuk ke dalam Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG). Masih dalam PP RTRW Nasional, KCAG termasuk kawasan lindung geologi (pasal 52 ayat 5) yang merupakan salah satu kawasan lindung nasional (pasal 51). Selain UU dan PP tersebut, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029 pasal 63 juga menyatakan bahwa kawasan CAT Watuputih dikategorikan sebagai kawasan imbuhan air yang termasuk kawasan lindung geologi.

Dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang dikeluarkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 menyatakan CAT Watuputih termasuk kawasan lindung geologi. Akan tetapi, pada peta RTRW Kabupaten Rembang tersebut menyatakan pula bahwa sebagian wilayah di kawasan CAT Watuputih merupakan kawasan pertambangan mineral dan batu bara.

satu tokoh warga sedang berada di Pontianak. Forum ini berujung adu mulut dan penyekapan empat orang warga Desa Tegaldowo. Keempat orang ini mengaku diintimidasi oleh beberapa pemerintah daerah dan sesama warga Desa Tegaldowo.

Pada tanggal 18 Septermber 2013, warga mendatangai kantor DPRD Rembang dengan menuntut pencabutan surat izin dan surat pinjam pakai hutan. Surat pinjam pakai hutan menurut Permen Kehutanan Nomor P.18/Menhut/II/2011 adalah surat izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Adanya bukti mengenai perubahan peruntukkan kawasan hutan atau fungsi kawasan yang bertentangan dengan undang-undang dapat berdampak pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh menteri, seperti yang tercantum pada Permen Kehutananan tersebut pasal 41.Selanjutnya pada tanggal 19 Februari 2014, warga meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watuputih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi kepada DPRD Rembang.

Lokasi tambang PT SI di Kabupaten Rembang terletak di kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih, Pegunungan Kendeng Utara. Kawasan Watuputih ditetapkan menjadi kawasan Cekungan Air Tanah (CAT). Penetapan CAT Watuputih dimuat dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 2011 mengenai Penetapan Cekungan Air Tanah. Pada lampiran Keppres tersebut tercantum koordinat batas, luas, dan klasifikasi CAT Watuputih. CAT Watuputih dengan luas 31 km2 diklasifikasikan sebagai CAT B, yaitu CAT lintas kabupaten/kota karena CAT Watuputih melintasi Kabupaten Rembang dan Blora.

Sebagai CAT, CAT Watuputih memiliki potensi suplai air yang sangat besar sehingga menjadi sumber air terbesar bagi 14 kecamatan di Kabupaten Rembang. CAT merupakan kawasan konservasi yang perlu dilindungi dan dikelola. Hal tersebut dinyatakan pada pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah.

86

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Rencana tata ruang yang tercantum pada peta RTRW Kabupaten Rembang bertentangan dengan dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang sudah sejalan dengan RTRW Provinsi Jawa Tengah. Prosedur hirarki mengatur bahwa RTRW yang lebih tinggi merupakan landasan untuk menyusun RTRW lainnya, sehingga dalam hal ini Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten perlu berkoordinasi dengan Pemda provinsi maupun Pemda kabupaten lain yang turut terlibat. Adanya tumpang tindih antara dokumen dan peta RTRW Kabupaten Rembang menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam proses penyusunan RTRW.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

Page 88: Berebut Berkah Tanah Kendeng

PT SEMEN GRESIK DIKABUPATEN REMBANGPutusan pencabutan izin di Kabupaten Pati tidak menyurutkan usaha PT SG untuk membangun pabrik semen. Pada tanggal 14 Oktober 2010, PT SG memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) melalui Keputusan Bupati Nomor 545/68/2010 tentang pemberian WIUP kepada PT SG. Keputusan itu disambut Bupati dengan keputusan berikutnya di surat Keputusan Bupati Nomor 545/04/2011 tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi kepada PT Semen Gresik pada tanggal 18 Januari 2011.

Setelah mengalami proses yang terbilang cukup singkat, keputusan berikutnya yang dikeluarkan oleh Bupati yaitu Keputusan Nomor 591/40/2011 tentang pemberian izin lokasi dengan luas sekitar 8.400.000 m2 kepada PT SG untuk pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya pada tanggal 18 November 2011. Izin lokasi merupakan tahap pertama untuk penilaian Amdal untuk selanjutnya mendapat keputusan kelayakan lingkungan.

Pada tanggal 30 April 2012, Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo mengeluarkan Keputusan Nomor 660.1/10/2012 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen oleh PT SG di Kabupaten Rembang. Kelayakan lingkungan hidup adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlandaskan Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Liingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang merupakan bagian dari Amdal. Menyusul pada tanggal 7 Juni 2012, Gubernur Jawa Tengah mengeluakan Keputusan No. 660.1/17/2012 tentang izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT SG. Pada tanggal 20 Desember 2012, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Perseroan, pihak perusahaan resmi mengganti nama dari PT Semen Gresik (Persero) Tbk, menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.

Keputusan demi keputusan yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dan Gubernur Jawa Tengah tidak dilakukan dengan sosialisasi kepada warga sekitar terlebih dahulu. Upaya beberapa warga Desa Tegaldowo yang merupakan salah satu desa yang berada pada zona ring 1, daerah yang berada paling dekat dengan tapak pabrik

semen PT Semen Indonesia (PT SI) , mencari tahu kebenaran kabar tersebut kepada Bapak Kecamatan Tegaldowo dan Camat Gunem pun nihil hasil. Warga belum memperoleh kepastian atas rencana pembangunan pabrik semen, Bupati Rembang sudah mengeluarkan Keputusan Nomor 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI pada tanggal 15 Februari 2013.

Kekhawatiran warga mengenai pembangunan dan penambangan disebabkan adanya kemungkinan kerusakan lingkungan yang besar akibat pembangunan pabrik semen dan penambangan. Terkait dengan hal itu, sebenarnya perusahaan juga tidak bisa seenaknya membangun pabrik atau melakukan penambangan tanpa disertai memerhatikan dampak pembangunannya terhadap lingkungan. Salah satu syarat lingkungan untuk memperoleh IUP, baik IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi, adalah PT SI harus sudah mematuhi perundang-undangan yang mengatur Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Hal ini sejalan dengan persyaratan penerbitan IUP eksplorasi dan IUP produksi yang terdapat pada PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.Untuk IUP operasi produksi memerlukan persyaratan tambahan yaitu persetujuan dokumen lingkungan hidup. IUP operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Pada kasus pembangunan PT SI di Kabupaten Rembang, persayaratan IUP operasi produksi telah dipenuhi oleh PT SI dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Jawa Tengah yang telah disebutkan sebelumnya tentang kelayakan lingkungan hidup. Dalam keputusan tersebut juga tercantum kewajiban yang seharusnya dilakukan PT SI, antara lain melakukan sosialisasi rencana kegiatan, mengutamakan musyawarah proses pengadaan lahan warga, dan memperbaiki kerusakan jalan akibat mobilisasi alat berat.

Selain itu, penetapan lingkungan hidup harus dilakukan berlandaskan Amdal. Hal ini tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang merupakan pembaruan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Masih dalam UU yang sama, pada pasal 26 dinyatakan Amdal harus memuat tanggapan warga yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Warga yang terkena dampak tidak dijelaskan secara rinci mengenai batas warga yang terkena dampak, namun dapat dinyatakan Desa Tegaldowo yang berada pada zona ring 1 merupakan salah satu desa yang akan terkena dampak ketara. Warga dapat melakukan pengajuan keberatan mengenai Amdal berkaitan dengan syarat penyusunan Amdal yang melibatkan warga.

Penyusunan Amdal pembangunan pabrik semen PT SI sebagai syarat memperoleh izin kelayakan lingkungan hidup tidak melibatkan warga sekitar. Warga mengaku tidak mengetahui adanya Amdal dan tidak merasa diajak untuk berpartisipasi dalam penyusunannya, bahkan tidak tahu-menahu soal Amdal. PT SI juga tidak kunjung melakukan sosialisasi yang menjadi kewajibannya sesuai dengan keputusan-keputusan pemerintah daerah terkait usaha pertambangan. Bahkan hingga izin penambangan dan pembangunan pabrik dikeluarkan, sosialisasi urung dilakukan.

Atas saran Camat Gunem, warga telah mencoba mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI. Namun, surat tersebut tak kunjung mendapat respon.Hingga akhirnya pada tanggal 22 Juni 2013, diadakan suatu forum yang dihadiri warga Tegaldowo, PT SI, pejabat desa. Forum inilah yang selalu diangkat sebagai forum sosialisasi pembangunan pabrik semen kepada warga. Pada forum tersebut juga dinyatakan Joko Priyanto, seorang warga Tegaldowo, hadir dan menyetujui hasil sosialisasi. Padahal pada saat itu, Joko priyanto selaku salah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) terdapat 49 goa di Kabupaten Rembang.Penataan ruang di Indonesia diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Undang-undang ini merupakan pembaruan UU Nomor 24 Tahun 1992. Untuk menjelaskan pasal 20 ayat 6 tentang RTRW Nasional, dibuat PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional. Di dalam PP tersebut, pasal 60 ayat 2 menyatakan semua bentang alam yang memiliki goa masuk ke dalam Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG). Masih dalam PP RTRW Nasional, KCAG termasuk kawasan lindung geologi (pasal 52 ayat 5) yang merupakan salah satu kawasan lindung nasional (pasal 51). Selain UU dan PP tersebut, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029 pasal 63 juga menyatakan bahwa kawasan CAT Watuputih dikategorikan sebagai kawasan imbuhan air yang termasuk kawasan lindung geologi.

Dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang dikeluarkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 menyatakan CAT Watuputih termasuk kawasan lindung geologi. Akan tetapi, pada peta RTRW Kabupaten Rembang tersebut menyatakan pula bahwa sebagian wilayah di kawasan CAT Watuputih merupakan kawasan pertambangan mineral dan batu bara.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

87

satu tokoh warga sedang berada di Pontianak. Forum ini berujung adu mulut dan penyekapan empat orang warga Desa Tegaldowo. Keempat orang ini mengaku diintimidasi oleh beberapa pemerintah daerah dan sesama warga Desa Tegaldowo.

Pada tanggal 18 Septermber 2013, warga mendatangai kantor DPRD Rembang dengan menuntut pencabutan surat izin dan surat pinjam pakai hutan. Surat pinjam pakai hutan menurut Permen Kehutanan Nomor P.18/Menhut/II/2011 adalah surat izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Adanya bukti mengenai perubahan peruntukkan kawasan hutan atau fungsi kawasan yang bertentangan dengan undang-undang dapat berdampak pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh menteri, seperti yang tercantum pada Permen Kehutananan tersebut pasal 41.Selanjutnya pada tanggal 19 Februari 2014, warga meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watuputih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi kepada DPRD Rembang.

Lokasi tambang PT SI di Kabupaten Rembang terletak di kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih, Pegunungan Kendeng Utara. Kawasan Watuputih ditetapkan menjadi kawasan Cekungan Air Tanah (CAT). Penetapan CAT Watuputih dimuat dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 2011 mengenai Penetapan Cekungan Air Tanah. Pada lampiran Keppres tersebut tercantum koordinat batas, luas, dan klasifikasi CAT Watuputih. CAT Watuputih dengan luas 31 km2 diklasifikasikan sebagai CAT B, yaitu CAT lintas kabupaten/kota karena CAT Watuputih melintasi Kabupaten Rembang dan Blora.

Sebagai CAT, CAT Watuputih memiliki potensi suplai air yang sangat besar sehingga menjadi sumber air terbesar bagi 14 kecamatan di Kabupaten Rembang. CAT merupakan kawasan konservasi yang perlu dilindungi dan dikelola. Hal tersebut dinyatakan pada pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah.

Rencana tata ruang yang tercantum pada peta RTRW Kabupaten Rembang bertentangan dengan dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang sudah sejalan dengan RTRW Provinsi Jawa Tengah. Prosedur hirarki mengatur bahwa RTRW yang lebih tinggi merupakan landasan untuk menyusun RTRW lainnya, sehingga dalam hal ini Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten perlu berkoordinasi dengan Pemda provinsi maupun Pemda kabupaten lain yang turut terlibat. Adanya tumpang tindih antara dokumen dan peta RTRW Kabupaten Rembang menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam proses penyusunan RTRW.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

Pembacaan putusan gugatan warga Rembang

Page 89: Berebut Berkah Tanah Kendeng

PT SEMEN GRESIK DIKABUPATEN REMBANGPutusan pencabutan izin di Kabupaten Pati tidak menyurutkan usaha PT SG untuk membangun pabrik semen. Pada tanggal 14 Oktober 2010, PT SG memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) melalui Keputusan Bupati Nomor 545/68/2010 tentang pemberian WIUP kepada PT SG. Keputusan itu disambut Bupati dengan keputusan berikutnya di surat Keputusan Bupati Nomor 545/04/2011 tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi kepada PT Semen Gresik pada tanggal 18 Januari 2011.

Setelah mengalami proses yang terbilang cukup singkat, keputusan berikutnya yang dikeluarkan oleh Bupati yaitu Keputusan Nomor 591/40/2011 tentang pemberian izin lokasi dengan luas sekitar 8.400.000 m2 kepada PT SG untuk pembangunan pabrik semen, lahan tambang bahan baku, dan sarana pendukung lainnya pada tanggal 18 November 2011. Izin lokasi merupakan tahap pertama untuk penilaian Amdal untuk selanjutnya mendapat keputusan kelayakan lingkungan.

Pada tanggal 30 April 2012, Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo mengeluarkan Keputusan Nomor 660.1/10/2012 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen oleh PT SG di Kabupaten Rembang. Kelayakan lingkungan hidup adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlandaskan Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Liingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang merupakan bagian dari Amdal. Menyusul pada tanggal 7 Juni 2012, Gubernur Jawa Tengah mengeluakan Keputusan No. 660.1/17/2012 tentang izin kegiatan pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT SG. Pada tanggal 20 Desember 2012, melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Perseroan, pihak perusahaan resmi mengganti nama dari PT Semen Gresik (Persero) Tbk, menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.

Keputusan demi keputusan yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dan Gubernur Jawa Tengah tidak dilakukan dengan sosialisasi kepada warga sekitar terlebih dahulu. Upaya beberapa warga Desa Tegaldowo yang merupakan salah satu desa yang berada pada zona ring 1, daerah yang berada paling dekat dengan tapak pabrik

semen PT Semen Indonesia (PT SI) , mencari tahu kebenaran kabar tersebut kepada Bapak Kecamatan Tegaldowo dan Camat Gunem pun nihil hasil. Warga belum memperoleh kepastian atas rencana pembangunan pabrik semen, Bupati Rembang sudah mengeluarkan Keputusan Nomor 545/230/2013 tentang pemberian IUP mengenai operasi produksi batuan tanah liat kepada PT SI pada tanggal 15 Februari 2013.

Kekhawatiran warga mengenai pembangunan dan penambangan disebabkan adanya kemungkinan kerusakan lingkungan yang besar akibat pembangunan pabrik semen dan penambangan. Terkait dengan hal itu, sebenarnya perusahaan juga tidak bisa seenaknya membangun pabrik atau melakukan penambangan tanpa disertai memerhatikan dampak pembangunannya terhadap lingkungan. Salah satu syarat lingkungan untuk memperoleh IUP, baik IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi, adalah PT SI harus sudah mematuhi perundang-undangan yang mengatur Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Hal ini sejalan dengan persyaratan penerbitan IUP eksplorasi dan IUP produksi yang terdapat pada PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.Untuk IUP operasi produksi memerlukan persyaratan tambahan yaitu persetujuan dokumen lingkungan hidup. IUP operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Pada kasus pembangunan PT SI di Kabupaten Rembang, persayaratan IUP operasi produksi telah dipenuhi oleh PT SI dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Jawa Tengah yang telah disebutkan sebelumnya tentang kelayakan lingkungan hidup. Dalam keputusan tersebut juga tercantum kewajiban yang seharusnya dilakukan PT SI, antara lain melakukan sosialisasi rencana kegiatan, mengutamakan musyawarah proses pengadaan lahan warga, dan memperbaiki kerusakan jalan akibat mobilisasi alat berat.

Selain itu, penetapan lingkungan hidup harus dilakukan berlandaskan Amdal. Hal ini tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang merupakan pembaruan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Masih dalam UU yang sama, pada pasal 26 dinyatakan Amdal harus memuat tanggapan warga yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Warga yang terkena dampak tidak dijelaskan secara rinci mengenai batas warga yang terkena dampak, namun dapat dinyatakan Desa Tegaldowo yang berada pada zona ring 1 merupakan salah satu desa yang akan terkena dampak ketara. Warga dapat melakukan pengajuan keberatan mengenai Amdal berkaitan dengan syarat penyusunan Amdal yang melibatkan warga.

Penyusunan Amdal pembangunan pabrik semen PT SI sebagai syarat memperoleh izin kelayakan lingkungan hidup tidak melibatkan warga sekitar. Warga mengaku tidak mengetahui adanya Amdal dan tidak merasa diajak untuk berpartisipasi dalam penyusunannya, bahkan tidak tahu-menahu soal Amdal. PT SI juga tidak kunjung melakukan sosialisasi yang menjadi kewajibannya sesuai dengan keputusan-keputusan pemerintah daerah terkait usaha pertambangan. Bahkan hingga izin penambangan dan pembangunan pabrik dikeluarkan, sosialisasi urung dilakukan.

Atas saran Camat Gunem, warga telah mencoba mengirim surat kepada pihak PT SI, DPRD Rembang, Bupati Rembang, Gubernur, MPR RI dan Presiden terkait permintaan sosialisasi pendirian pabrik PT SI. Namun, surat tersebut tak kunjung mendapat respon.Hingga akhirnya pada tanggal 22 Juni 2013, diadakan suatu forum yang dihadiri warga Tegaldowo, PT SI, pejabat desa. Forum inilah yang selalu diangkat sebagai forum sosialisasi pembangunan pabrik semen kepada warga. Pada forum tersebut juga dinyatakan Joko Priyanto, seorang warga Tegaldowo, hadir dan menyetujui hasil sosialisasi. Padahal pada saat itu, Joko priyanto selaku salah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) terdapat 49 goa di Kabupaten Rembang.Penataan ruang di Indonesia diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Undang-undang ini merupakan pembaruan UU Nomor 24 Tahun 1992. Untuk menjelaskan pasal 20 ayat 6 tentang RTRW Nasional, dibuat PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional. Di dalam PP tersebut, pasal 60 ayat 2 menyatakan semua bentang alam yang memiliki goa masuk ke dalam Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG). Masih dalam PP RTRW Nasional, KCAG termasuk kawasan lindung geologi (pasal 52 ayat 5) yang merupakan salah satu kawasan lindung nasional (pasal 51). Selain UU dan PP tersebut, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029 pasal 63 juga menyatakan bahwa kawasan CAT Watuputih dikategorikan sebagai kawasan imbuhan air yang termasuk kawasan lindung geologi.

Dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang dikeluarkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 menyatakan CAT Watuputih termasuk kawasan lindung geologi. Akan tetapi, pada peta RTRW Kabupaten Rembang tersebut menyatakan pula bahwa sebagian wilayah di kawasan CAT Watuputih merupakan kawasan pertambangan mineral dan batu bara.

satu tokoh warga sedang berada di Pontianak. Forum ini berujung adu mulut dan penyekapan empat orang warga Desa Tegaldowo. Keempat orang ini mengaku diintimidasi oleh beberapa pemerintah daerah dan sesama warga Desa Tegaldowo.

Pada tanggal 18 Septermber 2013, warga mendatangai kantor DPRD Rembang dengan menuntut pencabutan surat izin dan surat pinjam pakai hutan. Surat pinjam pakai hutan menurut Permen Kehutanan Nomor P.18/Menhut/II/2011 adalah surat izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Adanya bukti mengenai perubahan peruntukkan kawasan hutan atau fungsi kawasan yang bertentangan dengan undang-undang dapat berdampak pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh menteri, seperti yang tercantum pada Permen Kehutananan tersebut pasal 41.Selanjutnya pada tanggal 19 Februari 2014, warga meminta peninjauan ulang dan konsistensi pemerintah terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No 6 Tahun 2010 tentang RTRW dan Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Cekungan Watuputih adalah kawasan imbuhan air dan kawasan lindung geologi kepada DPRD Rembang.

Lokasi tambang PT SI di Kabupaten Rembang terletak di kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih, Pegunungan Kendeng Utara. Kawasan Watuputih ditetapkan menjadi kawasan Cekungan Air Tanah (CAT). Penetapan CAT Watuputih dimuat dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 2011 mengenai Penetapan Cekungan Air Tanah. Pada lampiran Keppres tersebut tercantum koordinat batas, luas, dan klasifikasi CAT Watuputih. CAT Watuputih dengan luas 31 km2 diklasifikasikan sebagai CAT B, yaitu CAT lintas kabupaten/kota karena CAT Watuputih melintasi Kabupaten Rembang dan Blora.

Sebagai CAT, CAT Watuputih memiliki potensi suplai air yang sangat besar sehingga menjadi sumber air terbesar bagi 14 kecamatan di Kabupaten Rembang. CAT merupakan kawasan konservasi yang perlu dilindungi dan dikelola. Hal tersebut dinyatakan pada pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada tanggal 1 Juli 2014, Dr. Surono sebagai Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia merekomendasikan agar tidak melakukan kegiatan penambangan di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih karena fungsinya sebagai daerah imbuhan air tanah.

Rencana tata ruang yang tercantum pada peta RTRW Kabupaten Rembang bertentangan dengan dokumen RTRW Kabupaten Rembang yang sudah sejalan dengan RTRW Provinsi Jawa Tengah. Prosedur hirarki mengatur bahwa RTRW yang lebih tinggi merupakan landasan untuk menyusun RTRW lainnya, sehingga dalam hal ini Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten perlu berkoordinasi dengan Pemda provinsi maupun Pemda kabupaten lain yang turut terlibat. Adanya tumpang tindih antara dokumen dan peta RTRW Kabupaten Rembang menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam proses penyusunan RTRW.

Penentuan lokasi usaha yang memerlukan Amdal untuk memperoleh izin lingkungan wajib memperhatikan RTRW. Apabila terdapat ketidaksesuaian lokasi usaha dengan RTRW, maka dokumen Amdal wajib dikembalikan. Hal tersebut tercantum dalam pasal 4 PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan yang merupakan penjelasan pasal 36 sampai dengan 40 UU PPLH.Sehubung dengan peraturan-peraturan yang menyatakan Kabupaten Rembang merupakan kawasan lindung geologi, izin lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Rembang dapat dipertanyakan kembali. Apabila lokasi yang dicantumkan pada izin lokasi terbukti tidak sejalan dengan RTRW, berdasarkan PP yang sama pula, seharusnya dokumen Amdal dikembalikan. Dengan dikemballikannya dokumen Amdal, maka seluruh izin berkaitan dengan usaha pertambangan tidak seharusnya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tumpang tindih RTRW Kabupaten rembang pun masih perlu dipertanyakan. Tidak seharusnya ada perbedaan dalam hal rencana penataan ruang sebuah wilayah pada periode yang sama.

88

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 90: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pemerintah Desa pun ternyata tak lagi netral karena tercium gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena pada Juni 2013 warga desa Tegaldowo dihadang pihak keamanan dan perangkat desa ketika ada acara silaturahmi dengan Pemkab Rembang yang berisi sosialisasi tentang pembangunan pabrik semen.

Juni 2014 kembali warga melakukan aksi dengan mendirikan posko ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam di tenda dan bermalam melakukan istigosah sampai 30 hari berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini seperti Preman, TNI, dan Polisi yang mencoba membubar-paksakan aksi tersebut.

Dari serangkaian aksi penolakan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga Rembang sendiri mengingat sangat strategisnya semen untuk kepentingan negara dan industri.

Dalam isu ini, bahasan kita bisa dimulai dari argumen pemerintah dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan pabrik semen di Rembang berkontribusi dalam membawa kesejahteraan dengan meningkatnya taraf ekonomi warga, daerah, dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di Kecamatan Gunem, Rembang, terdapat dua desa yang bisa dijadikan sampel potret kondisi kesejahteraan warga sekitar yaitu Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa ini mayoritas penduduknya berpencaharian sebagai petani yang mengandalkan sawah, tegalan, sayur mayur dan tanaman palawija juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari karakter mata pencahariannya ini, terlihat bahwa air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi mata pencaharian warga Timbrangan dan Tegal Dowo, khususnya di daerah CAT Watuputih.

Jika melihat taraf hidup warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo sendiri, terdapat beberapa hasil yang didapat dari pemetaan Partisipatory Poverty Assesment untuk mengukur kesejahteraan

PT SI juga berencana untuk memperbesar ekspor dan ekspansi pabrik ke pasar ASEAN. Dan pembangunan pabrik di Rembang ini adalah salah satu yang nantinya dijadikan pemasok komoditas ekspor PT SI ke pasar ASEAN.

Maka kesimpulannya, pembangunan pabrik baru PT Semen Indonesia sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat Indonesia, apalagi warga Rembang. Dalih peningkatan PAD, pertambahan lapangan kerja dan landasan hukumnya yang bahkan menyalahi perundang-undangan yang berlaku sudah cukup bagi kita untuk melihat bahwa tujuan utama pembangunan pabrik semen di Rembang bukanlah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Rembang atau pemenuhan pasokan semen nasional dalam rangka pembangunan infrastruktur nasional MP3EI, tetapi sebagai bentuk dominasi dan ekspansi pasar dalam negeri dan agenda pengumpulan profit sebanyak-banyaknya dalam pemenuhan permintaan proyek property swasta.

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Triliun kekayaan alam dari tanah air yang menjadi penopang hidup berjuta hajat nyawa manusia di Gunem, Rembang akan terenggut oleh pembangunan pabrik semen dengan tujuan agung 'demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah sejahtera tanpa perlu adanya pabrik semen disekitar tempat tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya menghargai tanah leluhur warga Rembang.

Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro pembangunan pabrik semen adalah berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan pabrik.

Penambangan karst yang akan mengambil lokasi di sekitar Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan banyak pro kontra, salah satunya datang dari Badan Geologi Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang apabila dilakukan penambangan didalamnya dan pasokan air hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan bahwa penambangan karst untuk produksi bahan baku semen tidak sebanding dengan harga hilangnya sumber mata air di Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) telah mengurus perizinan dan mengantongi izin pembangunan pabrik semen di Rembang sejak tahun 2010 dari pihak Kabupaten Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Pembangunan Pabrik) dan pada tahun 2012 dikeluarkan izin dari Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa jajaran aparat daerah setempat. Hasilnya malah dua warga, Muhlisin dan Masduriantok, mendapatkan intimidasi dari anggota TNI Koramil Gunem bernama Adi Purwoto.

MEDIA / BERITA

HUSEIN ABDULSALAM

REMBANG DALAMBINGKAI MEDIA

Konflik hampir dialami seluruh negara di dunia ini. Aktor dan penyebabnya konflik ini juga beracam-macam. Mulai dari konflik internal dalam suatu organisasi, konflik antara perusahaan dengan warga lokal, konflik antar pemeluk agama, konflik antar suku dan daerah, dsb. Konflik yang sudah menjalar ke daerah dan melibatkan massa yang banyak dan mengarah kepada disintegrasi mengancam keutuhan bangsa. Konflik bisa menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana dan juga menyebabkan kondisi psikis yang tidak nyaman untuk hidup berdampingan.

Akhir-akhir ini Kabupaten Rembang ramai diperbincangkan karena adanya konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal. Warga Rembang yang daerahnya akan dibangun lokasi tambang batu gamping pabrik semen PT Semen Indonesia menolak rencana pembangunan tersebut karena mengancam kehidupan ekologis mereka. Perhatian mulai memusat diberikan ke Rembang setelah media memberitakan ibu – ibu yang yang mendirikan tenda sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen. Mereka mulai mendirikan tenda sejak 16 Juni 2014. Dan sampai sekarang penolakan tetap dilakukan warga, tenda masih tetap ada. Ibu-ibu ini yang kemudian dikenal sebagai “Sembilan Kartini Rembang” berkeliling ibukota mencari dukungan berbagai pihak.

89

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% warga di dua desa ini masuk kedalam kategori sedengan dimana memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2. Menurut hitung cepat yang dilakukan oleh Cahyono dan Kusnadi pada akhir tahun 2014 di Desa Timbrangan, satu desa di kecamatan Gunem mampu menghasilkan total penghasilan dari kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari yang telah melewati batas ambang standar kemiskinan menurut World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

Mari bandingkan dengan jatah corporate social responsibility yang akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk pembangunan pabrik dan program jangka panjangnya di sektor community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk masyarakat sekitar, malah cenderung tidak mampu menyelamatkan warga dari efek kerusakan alam adanya pabrik semen misal, kondisi sumber air menjadi langka semenjang gunung kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan lapangan kerja, pelatihan ketenagakerjaan dan bantuan sembako pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah petani yang terancam tidak dapat bertani lagi karena adanya upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan jumlah yang tak sebanding ini pun tidak mampu dijadikan tumpuan hidup bagi seluruh warga Ring 1 yang mata pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa pembangunan pabrik semen PT SI ini justru akan menambah pengangguran yang diakibatkan alih mata pencaharian ini.

atas pemberian izin PT Semen Indonesia oleh Gubernur Jawa Tengah. Dalam laporan yang dimuat dalam situs http://remotivi.or.id/meja-redaksi/rembang-dan-keberpihakan-media, Remotivi mengamati berita Jateng Pos Online berjudul “JMPPK Ilegal, Gugatan Cacat Hukum” yang dimuat pada 30 Januari 2015. Tertulis pada berita tersebut bahwa Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dianggap bukan organisasi resmi, sehingga gugatan atas izin lingkungan menjadi cacat secara hukum. Namun, untuk membuat kesimpulan ini, Jateng Pos hanya menggunakan sumber dari pengacara PT Semen Indonesia, dan kelompok warga yang menyebut dirinya sebagai Forum Pemuda Rembang (FPR).

Masih dalam laporan yang sama, berita Tribun Jateng Online berjudul “Warga Rembang yang Pro dan Kontra Pabrik Semen Audiensi dengan Komnas HAM” yang dimuat pada 12 April 2015 juga turut diamati. Berita tersebut menjelaskan tentang dua kelompok warga yang beraudiensi dengan Komnas HAM. Dalam berita ini wartawan Tribun Jateng menulis bahwa warga yang menolak pembangunan pabrik semen datang ke Jakarta dengan pesawat. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan oleh Remotivi, ibu-ibu ini datang dengan menggunakan mobil hasil iuran berbagai pihak.

Republika Online juga menurunkan berita berjudul “Semen Indonesia Edukasi Warga Rembang tentang Green Industry” pada 4 Maret 2015 dan Suara Merdeka Online menerbitkan berita berjudul “Ratusan Warga Rembang Kunjungi Pabrik Semen” 4 Maret 2015. Menurut laporan Remotivi, berita tersebut hanya bersumber dari satu pihak saja. Selain itu kedua berita tersebut menggambarkan pabrik semen akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi, pabrik semen yang akan dibangun dibingkai memiliki wawasan lingkungan, sehingga penambangan yang dilakukan tidak akan merusak lingkungan.

Media massa bukan sekedar sarana yang menampilkan kepada publik peristiwa politik secara apa adanya, tetapi tergantung kepada kelompok dan ideologi yang mendominasinya. Dengan demikian, apapun yang dihasilkan dan ditampilkan oleh media merupakan representasi dari ideologi media massa tersebut. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa, maka lembaga-lembaga politik seperti partai politik, organisasi pemerintah, kelompok kepentingan, serikat buruh, LSM, dan sebagainya, seringkali memanfaatkan media massa untuk tujuan-tujuan politik (Schramm, 1975: 468-486).

Konfrontasi antara yang pro dan yang kontra juga terjadi di media sosial twitter. Pihak yang kontra dengan pabrik semen mulanya mengusung hashtag #SaveRembang, namun kampanye ini disusupi pihak yang pro pabrik semen sehingga informasi yang dihadirkan menjadi bias. Hashtag #SaveRembang tidak bisa lagi dijadikan corong, pihak kontra pun mengusung hashtag #RembangMelawan. Di lain pihak, mereka yang pro semen mengangkat hashtag #RembangBersatu dan #RembangBangkit. Melalui perangkat yang disediakan topsy.com, kami mendapatkan bahwa hashtag #RembangBersatu digunakan terkait polemik pabrik semen ini paling awal oleh akun @Najma_hakiem tertanggal 3 April 2015 pukul 10:56.

Di sini terlihat bahwa konflik yang semula bersifat structural antara perusahaan-pemerintah dan warga setempat berkembang menjadi konflik horizontal antara yang pro pabrik semen dan kontra pabrik semen. Konflik horizontal ini termanifestasikan pada media-media, baik nyata maupun maya. Konflik horizontal ini bisa dipandang sebagai upaya pemecahbelahan masyarakat dan pembiasan informasi terkait pendirian pabrik semen.

Dari pendapatan desa yang berjumlah rata-rata 23 Milliar per tahun itu PPN atau PPh nya telah disumbangkan sebanyak 11% ke pemerintah, berarti setiap tahunnya Pemerintah Kabupaten Rembang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah atas alokasi pemasukan sebanyak 2,3 Milliar per tahunnya dari produksi pertanian satu desa di Kecamatan Gunem saja. Total 28 Desa di sekitar lokasi Pembangunan Pabrik Semen PT SI maka akan ada sekitar 60 milliar per tahun yang hilang apabila pabrik semen PT SI berdiri. Klaim PAD akan naik apabila adanya pembangunan pabrik telah terpatahkan.

Beralih ke pentingnya semen sebagai sektor pendukung agenda pembangunan negara yaitu Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pernyataan ini dijadikan dalil pada saat PT Semen Indonesia menang perkara di Pengadilan Tinggi Umum Negara pada 16 April kemarin. Dalil ini hanyalah justifikasi PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik di Rembang sebagai upaya melancarkan agenda ekspansi dan dominasi perusahaannya di pasar semen Indonesia, bukannya untuk mendukung kebutuhan semen nasional yang akan menunjang pembangunan industri nasional dibawah MP3EI. Buktinya adalah, Kementrian Perindunstrian, Panggah Susanto, menjelaskan bahwa MP3EI harus menyebar fokusnya tidak hanya di Jawa tetapi luar jawa sehingga ia ingin menggeser permintaan semen ke luar jawa. Hal ini dikarenakan keharusan ketersediaan semen di luar jawa untuk mendukung distribusi konstruksi proyek-proyek MP3EI di Indonesia, 73% tersebar di luar jawa.

Selain hal-hal yang telah dipaparkan, pembangunan pabrik semen PT SI di Rembang juga diselimuti oleh retorika nasionalis lainnya misalnya melindungi ketahanan pasar industri semen dari goncangan produk asing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung. Lagi-lagi adalah argumen yang tidak relevan. Kondisi kompetisi industri semen Indonesia (yang tidak sehat karena karakteristik pasar yang oligopolis) belakangan turun geliatnya di pasar industri semen karena PT SI sebagai share leader mematok harga terlalu tinggi sehingga terjadi persaingan tidak sehat sampai pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk merangkul perusahaan lain untuk masuk ke dalam kompetisi pasar semen sehingga pasar tidak melulu didominasi oleh PT Semen Indonesia.

Angka-angka pada grafik mencerminkan berapa banyak pencarian telah dilakukan untuk jangka waktu tertentu , relatif terhadap jumlah total penelusuran yang dilakukan di Google dari waktu ke waktu . Mereka tidak mewakili angka volume pencarian mutlak, karena data yang dinormalisasi dan disajikan dengan skala 0-100 . Setiap titik pada grafik dibagi dengan titik tertinggi dan dikalikan dengan 100. Ketika Google tidak memiliki data yang cukup , 0 ditampilkan.

Melihat data dari Google Trends, ternyata memang isu penolakan warga Rembang terhadap rencana pendirian pabrik semen belum menjadi perhatian banyak pihak sebelum pendirian tenda pada Juni 2014. Padahal jauh sebelum itu, sebuah akun You Tube bernama Zamroni Allief Billah mengunggah video berjudul “Merasa Ditipu Pabrik Semen, Warga Surati Presiden” pada tanggal 11 Mei 2013. Video dapat dilihat pada tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=23l5IDOV4XY. Kurang lebih video tersebut mendokumentasikan protes yang dilancarkan warga Tegaldowo akibat tidak diberikannya sosialisasi kepada mereka terkait rencana pendirian pabrik semen.

Mulai dari pendirian tenda itu, isu pendirian pabrik semen di Rembang yang ditolak warga setempat mulai menjadi perhatian media-media lokal dan nasional untuk diberitakan. Namun selama kasus ini berjalan, menurut pantauan yang dilakukan Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media di Indonesia, banyak media banyak media tidak memberikan informasi yang utuh dan lebih menunjukkan keberpihakan pada satu pihak saja, yakni pihak yang mendukung pembangunan pabrik semen.

Media komunikasi memiliki kekuatan dalam mempengaruhi masyarakat, teristimewa pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa (Effendy, 2003: 407). Media massa memiliki peran strategis, sebagai saluran yang menyampaikan informasi kepada publik secara serempak di antara khalayak yang sedang menggunakan media tersebut. Pada dasarnya, media massa memiliki fungsi penghantar dalam menyebar berbagai macam pengetahuan, menyelenggarakan kegiatan dalam lingkungan publik yang dapat dijangkau segenap anggota masyarakat secara bebas, sukarela, umum, dan murah, hubungan antara pengirim, dan penerima seimbang dan sama, serta mampu menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya (McQuail, 1987: 51).

Remotivi melakukan studi terhadap pemberitaan terkait Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan warga Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Page 91: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Pemerintah Desa pun ternyata tak lagi netral karena tercium gelagat menutup-nutupi adanya pembangunan pabrik karena pada Juni 2013 warga desa Tegaldowo dihadang pihak keamanan dan perangkat desa ketika ada acara silaturahmi dengan Pemkab Rembang yang berisi sosialisasi tentang pembangunan pabrik semen.

Juni 2014 kembali warga melakukan aksi dengan mendirikan posko ‘Tolak Pabrik Semen’ di Tegaldowo sebagai pintu masuk area pendirian pabrik PT Semen Indonesia dengan ibu-ibu yang berdiam di tenda dan bermalam melakukan istigosah sampai 30 hari berikutnya. Pada November 2014, ibu-ibu Rembang kembali melakukan aksi blokir jalan masuk PT Semen Indonesia dan terjadilah pemukulan oleh aparat kepada ibu-ibu Rembang ini seperti Preman, TNI, dan Polisi yang mencoba membubar-paksakan aksi tersebut.

Dari serangkaian aksi penolakan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia ini, terdapat dimensi ekonomi politik dalam kontestasi kepentingan antara PT Semen Indonesia dan warga Rembang sendiri mengingat sangat strategisnya semen untuk kepentingan negara dan industri.

Dalam isu ini, bahasan kita bisa dimulai dari argumen pemerintah dan industri semen PT Semen Indonesia bahwa pembangunan pabrik semen di Rembang berkontribusi dalam membawa kesejahteraan dengan meningkatnya taraf ekonomi warga, daerah, dan nasional.

Melihat dari kondisi ekonomi-mikro warga desa sekitar lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia khususnya di Kecamatan Gunem, Rembang, terdapat dua desa yang bisa dijadikan sampel potret kondisi kesejahteraan warga sekitar yaitu Desa Timbrangan dan Desa Tegaldowo . Kedua desa ini berkonflik langsung dengan pihak PT Semen Indonesia karena desa ini akan dijadikan kawasan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kedua desa ini mayoritas penduduknya berpencaharian sebagai petani yang mengandalkan sawah, tegalan, sayur mayur dan tanaman palawija juga merupakan sumber penghidupan petani-petani tersebut. Dari karakter mata pencahariannya ini, terlihat bahwa air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi mata pencaharian warga Timbrangan dan Tegal Dowo, khususnya di daerah CAT Watuputih.

Jika melihat taraf hidup warga Desa Timbrangan dan Tegaldowo sendiri, terdapat beberapa hasil yang didapat dari pemetaan Partisipatory Poverty Assesment untuk mengukur kesejahteraan

PT SI juga berencana untuk memperbesar ekspor dan ekspansi pabrik ke pasar ASEAN. Dan pembangunan pabrik di Rembang ini adalah salah satu yang nantinya dijadikan pemasok komoditas ekspor PT SI ke pasar ASEAN.

Maka kesimpulannya, pembangunan pabrik baru PT Semen Indonesia sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat Indonesia, apalagi warga Rembang. Dalih peningkatan PAD, pertambahan lapangan kerja dan landasan hukumnya yang bahkan menyalahi perundang-undangan yang berlaku sudah cukup bagi kita untuk melihat bahwa tujuan utama pembangunan pabrik semen di Rembang bukanlah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Rembang atau pemenuhan pasokan semen nasional dalam rangka pembangunan infrastruktur nasional MP3EI, tetapi sebagai bentuk dominasi dan ekspansi pasar dalam negeri dan agenda pengumpulan profit sebanyak-banyaknya dalam pemenuhan permintaan proyek property swasta.

Hal ini membuktikan ketidakrelevannya fungsi pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia yang melenceng dari agenda pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Triliun kekayaan alam dari tanah air yang menjadi penopang hidup berjuta hajat nyawa manusia di Gunem, Rembang akan terenggut oleh pembangunan pabrik semen dengan tujuan agung 'demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat'. Warga Rembang sudah sejahtera tanpa perlu adanya pabrik semen disekitar tempat tinggal mereka. Justru Semen Indonesia lah yang seharusnya menghargai tanah leluhur warga Rembang.

Argumen lain yang seringkali dilemparkan oleh pihak pro pembangunan pabrik semen adalah berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah yang akan meningkat dengan adanya pembangunan pabrik.

Penambangan karst yang akan mengambil lokasi di sekitar Cekungan Air Tanah Watu Putih, Pegunungan Kendheng, Rembang diperkirakan akan mengancam 28 desa di 4 kecamatan yang berada di 2 Kabupaten, Rembang dan Blora.

Penambangan Cekungan Air Tanah Watu Putih menimbulkan banyak pro kontra, salah satunya datang dari Badan Geologi Kementrian ESDM yang mengatakan bahwa lokasi penambangan CAT Watu Putih adalah daerah resapan air yang harus dilindungi keberadaannya dan dilindungi oleh Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan daerah resapan air ini akan hilang apabila dilakukan penambangan didalamnya dan pasokan air hanya akan mengandalkan air hujan. Surono bahkan menegaskan bahwa penambangan karst untuk produksi bahan baku semen tidak sebanding dengan harga hilangnya sumber mata air di Pegunungan Kendeng tersebut.

PT Semen Indonesia (saat itu masih bernama PT Semen Gresik) telah mengurus perizinan dan mengantongi izin pembangunan pabrik semen di Rembang sejak tahun 2010 dari pihak Kabupaten Rembang (Keputusan Bupati No. 545/68/2010 soal WIUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 545/04/2011 tentang IUP Eksplorasi, Keputusan Bupati No. 591/40/2011 tentang Pemberian Izin Lokasi Pembangunan Pabrik) dan pada tahun 2012 dikeluarkan izin dari Gubernur Jawa Tengah lewat Keputusan Gubernur No. 660.1/17/2012 tentang pembangunan dan pengembangan pabrik semen oleh PT Semen Gresik.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013, sekelompok warga dari desa Tegal Dowo mencoba memverifikasi kebenaran adanya pembangunan pabrik oleh PT Semen Indonesia ke beberapa jajaran aparat daerah setempat. Hasilnya malah dua warga, Muhlisin dan Masduriantok, mendapatkan intimidasi dari anggota TNI Koramil Gunem bernama Adi Purwoto.

Konflik hampir dialami seluruh negara di dunia ini. Aktor dan penyebabnya konflik ini juga beracam-macam. Mulai dari konflik internal dalam suatu organisasi, konflik antara perusahaan dengan warga lokal, konflik antar pemeluk agama, konflik antar suku dan daerah, dsb. Konflik yang sudah menjalar ke daerah dan melibatkan massa yang banyak dan mengarah kepada disintegrasi mengancam keutuhan bangsa. Konflik bisa menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana dan juga menyebabkan kondisi psikis yang tidak nyaman untuk hidup berdampingan.

Akhir-akhir ini Kabupaten Rembang ramai diperbincangkan karena adanya konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal. Warga Rembang yang daerahnya akan dibangun lokasi tambang batu gamping pabrik semen PT Semen Indonesia menolak rencana pembangunan tersebut karena mengancam kehidupan ekologis mereka. Perhatian mulai memusat diberikan ke Rembang setelah media memberitakan ibu – ibu yang yang mendirikan tenda sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen. Mereka mulai mendirikan tenda sejak 16 Juni 2014. Dan sampai sekarang penolakan tetap dilakukan warga, tenda masih tetap ada. Ibu-ibu ini yang kemudian dikenal sebagai “Sembilan Kartini Rembang” berkeliling ibukota mencari dukungan berbagai pihak.

warga dari kategori Sugih Tenan, Sugih, Sedengan dan Mlarat. 75% warga di dua desa ini masuk kedalam kategori sedengan dimana memiliki sawah sekitar 0,5-1ha, sapi: 2-3 ekor, sepeda motor 1-2. Menurut hitung cepat yang dilakukan oleh Cahyono dan Kusnadi pada akhir tahun 2014 di Desa Timbrangan, satu desa di kecamatan Gunem mampu menghasilkan total penghasilan dari kekayaan sektor pertaniannya sebanyak 23 Miliar per tahun. Dengan rata-rata jumlah warga desa 1.500 orang, berarti warga Desa Timbrangan saja telah berpenghasilan Rp. 50.000,00 per hari yang telah melewati batas ambang standar kemiskinan menurut World Bank yaitu berpenghasilan US$2/hari atau Rp. 25.000,00 per harinya. Ini merupakan bukti riil bahwa desa Timbrangan sebagai salah satu sampel desa di Gunem telah bebas dari kemiskinan.

Mari bandingkan dengan jatah corporate social responsibility yang akan dilakukan PT SI lewat pembebasan tanah warga untuk pembangunan pabrik dan program jangka panjangnya di sektor community development. Belajar dari pengalaman sebelumnya yaitu pabrik PT Semen Indonesia yang juga berada di Jawa yaitu Tuban, Jawa Timur, ternyata program CSR dari PT SI yang hanya sebesar Rp. 12 juta per tahun. Jelas tidak begitu signifikan untuk masyarakat sekitar, malah cenderung tidak mampu menyelamatkan warga dari efek kerusakan alam adanya pabrik semen misal, kondisi sumber air menjadi langka semenjang gunung kapur ditambang. Bentuk CSR lainnya berupa penyediaan lapangan kerja, pelatihan ketenagakerjaan dan bantuan sembako pun ternyata mandeg. Pelatihan kerja baru sekali. Bantuan beras juga baru sekali, hanya 2,5 kilogram per keluarga. Itu pun setelah berkali-kali demo ke pabrik oleh Gerakan Pemuda Peduli Aspirasi Rakyat.

Selain itu menurut dokumen amdal, PT SI butuh 1751 pekerja dengan 1200 diantaranya adalah pekerja konstruksi dan PT SI pun berkewajiban untuk mempekerjakan 50% dari tenaga kerja non-skilled dari warga di kawasan Ring 1. Namun jika kita lihat populasi desa Tegaldowo saja, 4000 dari 5000 warganya adalah petani yang terancam tidak dapat bertani lagi karena adanya upaya pembebasan lahan. Ketersediaan lowongan kerja dengan jumlah yang tak sebanding ini pun tidak mampu dijadikan tumpuan hidup bagi seluruh warga Ring 1 yang mata pencahariannya hilang karena tanahnya yang dijual ke PT SI. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa pembangunan pabrik semen PT SI ini justru akan menambah pengangguran yang diakibatkan alih mata pencaharian ini.

atas pemberian izin PT Semen Indonesia oleh Gubernur Jawa Tengah. Dalam laporan yang dimuat dalam situs http://remotivi.or.id/meja-redaksi/rembang-dan-keberpihakan-media, Remotivi mengamati berita Jateng Pos Online berjudul “JMPPK Ilegal, Gugatan Cacat Hukum” yang dimuat pada 30 Januari 2015. Tertulis pada berita tersebut bahwa Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dianggap bukan organisasi resmi, sehingga gugatan atas izin lingkungan menjadi cacat secara hukum. Namun, untuk membuat kesimpulan ini, Jateng Pos hanya menggunakan sumber dari pengacara PT Semen Indonesia, dan kelompok warga yang menyebut dirinya sebagai Forum Pemuda Rembang (FPR).

Masih dalam laporan yang sama, berita Tribun Jateng Online berjudul “Warga Rembang yang Pro dan Kontra Pabrik Semen Audiensi dengan Komnas HAM” yang dimuat pada 12 April 2015 juga turut diamati. Berita tersebut menjelaskan tentang dua kelompok warga yang beraudiensi dengan Komnas HAM. Dalam berita ini wartawan Tribun Jateng menulis bahwa warga yang menolak pembangunan pabrik semen datang ke Jakarta dengan pesawat. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan oleh Remotivi, ibu-ibu ini datang dengan menggunakan mobil hasil iuran berbagai pihak.

Republika Online juga menurunkan berita berjudul “Semen Indonesia Edukasi Warga Rembang tentang Green Industry” pada 4 Maret 2015 dan Suara Merdeka Online menerbitkan berita berjudul “Ratusan Warga Rembang Kunjungi Pabrik Semen” 4 Maret 2015. Menurut laporan Remotivi, berita tersebut hanya bersumber dari satu pihak saja. Selain itu kedua berita tersebut menggambarkan pabrik semen akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi, pabrik semen yang akan dibangun dibingkai memiliki wawasan lingkungan, sehingga penambangan yang dilakukan tidak akan merusak lingkungan.

Media massa bukan sekedar sarana yang menampilkan kepada publik peristiwa politik secara apa adanya, tetapi tergantung kepada kelompok dan ideologi yang mendominasinya. Dengan demikian, apapun yang dihasilkan dan ditampilkan oleh media merupakan representasi dari ideologi media massa tersebut. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa, maka lembaga-lembaga politik seperti partai politik, organisasi pemerintah, kelompok kepentingan, serikat buruh, LSM, dan sebagainya, seringkali memanfaatkan media massa untuk tujuan-tujuan politik (Schramm, 1975: 468-486).

Konfrontasi antara yang pro dan yang kontra juga terjadi di media sosial twitter. Pihak yang kontra dengan pabrik semen mulanya mengusung hashtag #SaveRembang, namun kampanye ini disusupi pihak yang pro pabrik semen sehingga informasi yang dihadirkan menjadi bias. Hashtag #SaveRembang tidak bisa lagi dijadikan corong, pihak kontra pun mengusung hashtag #RembangMelawan. Di lain pihak, mereka yang pro semen mengangkat hashtag #RembangBersatu dan #RembangBangkit. Melalui perangkat yang disediakan topsy.com, kami mendapatkan bahwa hashtag #RembangBersatu digunakan terkait polemik pabrik semen ini paling awal oleh akun @Najma_hakiem tertanggal 3 April 2015 pukul 10:56.

Di sini terlihat bahwa konflik yang semula bersifat structural antara perusahaan-pemerintah dan warga setempat berkembang menjadi konflik horizontal antara yang pro pabrik semen dan kontra pabrik semen. Konflik horizontal ini termanifestasikan pada media-media, baik nyata maupun maya. Konflik horizontal ini bisa dipandang sebagai upaya pemecahbelahan masyarakat dan pembiasan informasi terkait pendirian pabrik semen.

Dari pendapatan desa yang berjumlah rata-rata 23 Milliar per tahun itu PPN atau PPh nya telah disumbangkan sebanyak 11% ke pemerintah, berarti setiap tahunnya Pemerintah Kabupaten Rembang mendapatkan Pendapatan Asli Daerah atas alokasi pemasukan sebanyak 2,3 Milliar per tahunnya dari produksi pertanian satu desa di Kecamatan Gunem saja. Total 28 Desa di sekitar lokasi Pembangunan Pabrik Semen PT SI maka akan ada sekitar 60 milliar per tahun yang hilang apabila pabrik semen PT SI berdiri. Klaim PAD akan naik apabila adanya pembangunan pabrik telah terpatahkan.

Beralih ke pentingnya semen sebagai sektor pendukung agenda pembangunan negara yaitu Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pernyataan ini dijadikan dalil pada saat PT Semen Indonesia menang perkara di Pengadilan Tinggi Umum Negara pada 16 April kemarin. Dalil ini hanyalah justifikasi PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik di Rembang sebagai upaya melancarkan agenda ekspansi dan dominasi perusahaannya di pasar semen Indonesia, bukannya untuk mendukung kebutuhan semen nasional yang akan menunjang pembangunan industri nasional dibawah MP3EI. Buktinya adalah, Kementrian Perindunstrian, Panggah Susanto, menjelaskan bahwa MP3EI harus menyebar fokusnya tidak hanya di Jawa tetapi luar jawa sehingga ia ingin menggeser permintaan semen ke luar jawa. Hal ini dikarenakan keharusan ketersediaan semen di luar jawa untuk mendukung distribusi konstruksi proyek-proyek MP3EI di Indonesia, 73% tersebar di luar jawa.

Selain hal-hal yang telah dipaparkan, pembangunan pabrik semen PT SI di Rembang juga diselimuti oleh retorika nasionalis lainnya misalnya melindungi ketahanan pasar industri semen dari goncangan produk asing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berlangsung. Lagi-lagi adalah argumen yang tidak relevan. Kondisi kompetisi industri semen Indonesia (yang tidak sehat karena karakteristik pasar yang oligopolis) belakangan turun geliatnya di pasar industri semen karena PT SI sebagai share leader mematok harga terlalu tinggi sehingga terjadi persaingan tidak sehat sampai pemerintah harus intervensi harga pasar semen untuk membujuk SI agar menurunkan harganya sebesar Rp. 3.000,00/sak sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,00/sak. Hal ini dilakukan untuk merangkul perusahaan lain untuk masuk ke dalam kompetisi pasar semen sehingga pasar tidak melulu didominasi oleh PT Semen Indonesia.

Angka-angka pada grafik mencerminkan berapa banyak pencarian telah dilakukan untuk jangka waktu tertentu , relatif terhadap jumlah total penelusuran yang dilakukan di Google dari waktu ke waktu . Mereka tidak mewakili angka volume pencarian mutlak, karena data yang dinormalisasi dan disajikan dengan skala 0-100 . Setiap titik pada grafik dibagi dengan titik tertinggi dan dikalikan dengan 100. Ketika Google tidak memiliki data yang cukup , 0 ditampilkan.

Melihat data dari Google Trends, ternyata memang isu penolakan warga Rembang terhadap rencana pendirian pabrik semen belum menjadi perhatian banyak pihak sebelum pendirian tenda pada Juni 2014. Padahal jauh sebelum itu, sebuah akun You Tube bernama Zamroni Allief Billah mengunggah video berjudul “Merasa Ditipu Pabrik Semen, Warga Surati Presiden” pada tanggal 11 Mei 2013. Video dapat dilihat pada tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=23l5IDOV4XY. Kurang lebih video tersebut mendokumentasikan protes yang dilancarkan warga Tegaldowo akibat tidak diberikannya sosialisasi kepada mereka terkait rencana pendirian pabrik semen.

Mulai dari pendirian tenda itu, isu pendirian pabrik semen di Rembang yang ditolak warga setempat mulai menjadi perhatian media-media lokal dan nasional untuk diberitakan. Namun selama kasus ini berjalan, menurut pantauan yang dilakukan Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media di Indonesia, banyak media banyak media tidak memberikan informasi yang utuh dan lebih menunjukkan keberpihakan pada satu pihak saja, yakni pihak yang mendukung pembangunan pabrik semen.

Media komunikasi memiliki kekuatan dalam mempengaruhi masyarakat, teristimewa pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa (Effendy, 2003: 407). Media massa memiliki peran strategis, sebagai saluran yang menyampaikan informasi kepada publik secara serempak di antara khalayak yang sedang menggunakan media tersebut. Pada dasarnya, media massa memiliki fungsi penghantar dalam menyebar berbagai macam pengetahuan, menyelenggarakan kegiatan dalam lingkungan publik yang dapat dijangkau segenap anggota masyarakat secara bebas, sukarela, umum, dan murah, hubungan antara pengirim, dan penerima seimbang dan sama, serta mampu menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya (McQuail, 1987: 51).

Remotivi melakukan studi terhadap pemberitaan terkait Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan warga Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

90

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Page 92: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Konflik hampir dialami seluruh negara di dunia ini. Aktor dan penyebabnya konflik ini juga beracam-macam. Mulai dari konflik internal dalam suatu organisasi, konflik antara perusahaan dengan warga lokal, konflik antar pemeluk agama, konflik antar suku dan daerah, dsb. Konflik yang sudah menjalar ke daerah dan melibatkan massa yang banyak dan mengarah kepada disintegrasi mengancam keutuhan bangsa. Konflik bisa menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana dan juga menyebabkan kondisi psikis yang tidak nyaman untuk hidup berdampingan.

Akhir-akhir ini Kabupaten Rembang ramai diperbincangkan karena adanya konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal. Warga Rembang yang daerahnya akan dibangun lokasi tambang batu gamping pabrik semen PT Semen Indonesia menolak rencana pembangunan tersebut karena mengancam kehidupan ekologis mereka. Perhatian mulai memusat diberikan ke Rembang setelah media memberitakan ibu – ibu yang yang mendirikan tenda sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen. Mereka mulai mendirikan tenda sejak 16 Juni 2014. Dan sampai sekarang penolakan tetap dilakukan warga, tenda masih tetap ada. Ibu-ibu ini yang kemudian dikenal sebagai “Sembilan Kartini Rembang” berkeliling ibukota mencari dukungan berbagai pihak.

atas pemberian izin PT Semen Indonesia oleh Gubernur Jawa Tengah. Dalam laporan yang dimuat dalam situs http://remotivi.or.id/meja-redaksi/rembang-dan-keberpihakan-media, Remotivi mengamati berita Jateng Pos Online berjudul “JMPPK Ilegal, Gugatan Cacat Hukum” yang dimuat pada 30 Januari 2015. Tertulis pada berita tersebut bahwa Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dianggap bukan organisasi resmi, sehingga gugatan atas izin lingkungan menjadi cacat secara hukum. Namun, untuk membuat kesimpulan ini, Jateng Pos hanya menggunakan sumber dari pengacara PT Semen Indonesia, dan kelompok warga yang menyebut dirinya sebagai Forum Pemuda Rembang (FPR).

Masih dalam laporan yang sama, berita Tribun Jateng Online berjudul “Warga Rembang yang Pro dan Kontra Pabrik Semen Audiensi dengan Komnas HAM” yang dimuat pada 12 April 2015 juga turut diamati. Berita tersebut menjelaskan tentang dua kelompok warga yang beraudiensi dengan Komnas HAM. Dalam berita ini wartawan Tribun Jateng menulis bahwa warga yang menolak pembangunan pabrik semen datang ke Jakarta dengan pesawat. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan oleh Remotivi, ibu-ibu ini datang dengan menggunakan mobil hasil iuran berbagai pihak.

Republika Online juga menurunkan berita berjudul “Semen Indonesia Edukasi Warga Rembang tentang Green Industry” pada 4 Maret 2015 dan Suara Merdeka Online menerbitkan berita berjudul “Ratusan Warga Rembang Kunjungi Pabrik Semen” 4 Maret 2015. Menurut laporan Remotivi, berita tersebut hanya bersumber dari satu pihak saja. Selain itu kedua berita tersebut menggambarkan pabrik semen akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi, pabrik semen yang akan dibangun dibingkai memiliki wawasan lingkungan, sehingga penambangan yang dilakukan tidak akan merusak lingkungan.

Media massa bukan sekedar sarana yang menampilkan kepada publik peristiwa politik secara apa adanya, tetapi tergantung kepada kelompok dan ideologi yang mendominasinya. Dengan demikian, apapun yang dihasilkan dan ditampilkan oleh media merupakan representasi dari ideologi media massa tersebut. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa, maka lembaga-lembaga politik seperti partai politik, organisasi pemerintah, kelompok kepentingan, serikat buruh, LSM, dan sebagainya, seringkali memanfaatkan media massa untuk tujuan-tujuan politik (Schramm, 1975: 468-486).

91

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Konfrontasi antara yang pro dan yang kontra juga terjadi di media sosial twitter. Pihak yang kontra dengan pabrik semen mulanya mengusung hashtag #SaveRembang, namun kampanye ini disusupi pihak yang pro pabrik semen sehingga informasi yang dihadirkan menjadi bias. Hashtag #SaveRembang tidak bisa lagi dijadikan corong, pihak kontra pun mengusung hashtag #RembangMelawan. Di lain pihak, mereka yang pro semen mengangkat hashtag #RembangBersatu dan #RembangBangkit. Melalui perangkat yang disediakan topsy.com, kami mendapatkan bahwa hashtag #RembangBersatu digunakan terkait polemik pabrik semen ini paling awal oleh akun @Najma_hakiem tertanggal 3 April 2015 pukul 10:56.

Di sini terlihat bahwa konflik yang semula bersifat structural antara perusahaan-pemerintah dan warga setempat berkembang menjadi konflik horizontal antara yang pro pabrik semen dan kontra pabrik semen. Konflik horizontal ini termanifestasikan pada media-media, baik nyata maupun maya. Konflik horizontal ini bisa dipandang sebagai upaya pemecahbelahan masyarakat dan pembiasan informasi terkait pendirian pabrik semen.

Angka-angka pada grafik mencerminkan berapa banyak pencarian telah dilakukan untuk jangka waktu tertentu , relatif terhadap jumlah total penelusuran yang dilakukan di Google dari waktu ke waktu . Mereka tidak mewakili angka volume pencarian mutlak, karena data yang dinormalisasi dan disajikan dengan skala 0-100 . Setiap titik pada grafik dibagi dengan titik tertinggi dan dikalikan dengan 100. Ketika Google tidak memiliki data yang cukup , 0 ditampilkan.

Melihat data dari Google Trends, ternyata memang isu penolakan warga Rembang terhadap rencana pendirian pabrik semen belum menjadi perhatian banyak pihak sebelum pendirian tenda pada Juni 2014. Padahal jauh sebelum itu, sebuah akun You Tube bernama Zamroni Allief Billah mengunggah video berjudul “Merasa Ditipu Pabrik Semen, Warga Surati Presiden” pada tanggal 11 Mei 2013. Video dapat dilihat pada tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=23l5IDOV4XY. Kurang lebih video tersebut mendokumentasikan protes yang dilancarkan warga Tegaldowo akibat tidak diberikannya sosialisasi kepada mereka terkait rencana pendirian pabrik semen.

Mulai dari pendirian tenda itu, isu pendirian pabrik semen di Rembang yang ditolak warga setempat mulai menjadi perhatian media-media lokal dan nasional untuk diberitakan. Namun selama kasus ini berjalan, menurut pantauan yang dilakukan Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media di Indonesia, banyak media banyak media tidak memberikan informasi yang utuh dan lebih menunjukkan keberpihakan pada satu pihak saja, yakni pihak yang mendukung pembangunan pabrik semen.

Media komunikasi memiliki kekuatan dalam mempengaruhi masyarakat, teristimewa pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa (Effendy, 2003: 407). Media massa memiliki peran strategis, sebagai saluran yang menyampaikan informasi kepada publik secara serempak di antara khalayak yang sedang menggunakan media tersebut. Pada dasarnya, media massa memiliki fungsi penghantar dalam menyebar berbagai macam pengetahuan, menyelenggarakan kegiatan dalam lingkungan publik yang dapat dijangkau segenap anggota masyarakat secara bebas, sukarela, umum, dan murah, hubungan antara pengirim, dan penerima seimbang dan sama, serta mampu menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya (McQuail, 1987: 51).

Remotivi melakukan studi terhadap pemberitaan terkait Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan warga Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Page 93: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Konflik hampir dialami seluruh negara di dunia ini. Aktor dan penyebabnya konflik ini juga beracam-macam. Mulai dari konflik internal dalam suatu organisasi, konflik antara perusahaan dengan warga lokal, konflik antar pemeluk agama, konflik antar suku dan daerah, dsb. Konflik yang sudah menjalar ke daerah dan melibatkan massa yang banyak dan mengarah kepada disintegrasi mengancam keutuhan bangsa. Konflik bisa menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana dan juga menyebabkan kondisi psikis yang tidak nyaman untuk hidup berdampingan.

Akhir-akhir ini Kabupaten Rembang ramai diperbincangkan karena adanya konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal. Warga Rembang yang daerahnya akan dibangun lokasi tambang batu gamping pabrik semen PT Semen Indonesia menolak rencana pembangunan tersebut karena mengancam kehidupan ekologis mereka. Perhatian mulai memusat diberikan ke Rembang setelah media memberitakan ibu – ibu yang yang mendirikan tenda sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen. Mereka mulai mendirikan tenda sejak 16 Juni 2014. Dan sampai sekarang penolakan tetap dilakukan warga, tenda masih tetap ada. Ibu-ibu ini yang kemudian dikenal sebagai “Sembilan Kartini Rembang” berkeliling ibukota mencari dukungan berbagai pihak.

Di sini terlihat bahwa PT Semen Indonesia berusaha membangun ideologi bahwa warga Rembang menerima keberadaan pabrik semen karena telah mengunjungi lokasi tambang Semen di Tuban yang menurut pembingkaian berita ramah lingkungan dan berdampak positif pada warga sekitar. Selain itu, citra tentang terbangun tentang warga dan juga LSM yang menolak pembangunan pabrik semen adalah oknum bayaran dan organisasi ilegal. Di sini media menampilkan konotasi negatif terhadap warga dan LSM yang menolak pabrik semen.

PRO DAN KONTRA

Tidak semua kontra dengan pabrik semen. Ada juga warga yang mendukung pendirian pabrik semen. Melalui pengamatan langsung di Kabupaten Rembang, baik yang pro dan yang kontra, sama-sama melancarkan infiltrasi ide melalui beragam media seperti mural di pinggir jalan, pendirian posko, aksi turun ke jalan dan juga pemasangan spanduk. Aksi turun ke jalan warga yang pro pabrik semen dapat dilihat pada video berikut https://www.youtube.com/watch?v=BKik_J_o5Lw. Sebuah akun Youtube bernama Rakyat Rembang banyak memuat video bertema warga Rembang mendukung pabrik semen.

92

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

atas pemberian izin PT Semen Indonesia oleh Gubernur Jawa Tengah. Dalam laporan yang dimuat dalam situs http://remotivi.or.id/meja-redaksi/rembang-dan-keberpihakan-media, Remotivi mengamati berita Jateng Pos Online berjudul “JMPPK Ilegal, Gugatan Cacat Hukum” yang dimuat pada 30 Januari 2015. Tertulis pada berita tersebut bahwa Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dianggap bukan organisasi resmi, sehingga gugatan atas izin lingkungan menjadi cacat secara hukum. Namun, untuk membuat kesimpulan ini, Jateng Pos hanya menggunakan sumber dari pengacara PT Semen Indonesia, dan kelompok warga yang menyebut dirinya sebagai Forum Pemuda Rembang (FPR).

Masih dalam laporan yang sama, berita Tribun Jateng Online berjudul “Warga Rembang yang Pro dan Kontra Pabrik Semen Audiensi dengan Komnas HAM” yang dimuat pada 12 April 2015 juga turut diamati. Berita tersebut menjelaskan tentang dua kelompok warga yang beraudiensi dengan Komnas HAM. Dalam berita ini wartawan Tribun Jateng menulis bahwa warga yang menolak pembangunan pabrik semen datang ke Jakarta dengan pesawat. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan oleh Remotivi, ibu-ibu ini datang dengan menggunakan mobil hasil iuran berbagai pihak.

Republika Online juga menurunkan berita berjudul “Semen Indonesia Edukasi Warga Rembang tentang Green Industry” pada 4 Maret 2015 dan Suara Merdeka Online menerbitkan berita berjudul “Ratusan Warga Rembang Kunjungi Pabrik Semen” 4 Maret 2015. Menurut laporan Remotivi, berita tersebut hanya bersumber dari satu pihak saja. Selain itu kedua berita tersebut menggambarkan pabrik semen akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi, pabrik semen yang akan dibangun dibingkai memiliki wawasan lingkungan, sehingga penambangan yang dilakukan tidak akan merusak lingkungan.

Media massa bukan sekedar sarana yang menampilkan kepada publik peristiwa politik secara apa adanya, tetapi tergantung kepada kelompok dan ideologi yang mendominasinya. Dengan demikian, apapun yang dihasilkan dan ditampilkan oleh media merupakan representasi dari ideologi media massa tersebut. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa, maka lembaga-lembaga politik seperti partai politik, organisasi pemerintah, kelompok kepentingan, serikat buruh, LSM, dan sebagainya, seringkali memanfaatkan media massa untuk tujuan-tujuan politik (Schramm, 1975: 468-486).

Konfrontasi antara yang pro dan yang kontra juga terjadi di media sosial twitter. Pihak yang kontra dengan pabrik semen mulanya mengusung hashtag #SaveRembang, namun kampanye ini disusupi pihak yang pro pabrik semen sehingga informasi yang dihadirkan menjadi bias. Hashtag #SaveRembang tidak bisa lagi dijadikan corong, pihak kontra pun mengusung hashtag #RembangMelawan. Di lain pihak, mereka yang pro semen mengangkat hashtag #RembangBersatu dan #RembangBangkit. Melalui perangkat yang disediakan topsy.com, kami mendapatkan bahwa hashtag #RembangBersatu digunakan terkait polemik pabrik semen ini paling awal oleh akun @Najma_hakiem tertanggal 3 April 2015 pukul 10:56.

Di sini terlihat bahwa konflik yang semula bersifat structural antara perusahaan-pemerintah dan warga setempat berkembang menjadi konflik horizontal antara yang pro pabrik semen dan kontra pabrik semen. Konflik horizontal ini termanifestasikan pada media-media, baik nyata maupun maya. Konflik horizontal ini bisa dipandang sebagai upaya pemecahbelahan masyarakat dan pembiasan informasi terkait pendirian pabrik semen.

Angka-angka pada grafik mencerminkan berapa banyak pencarian telah dilakukan untuk jangka waktu tertentu , relatif terhadap jumlah total penelusuran yang dilakukan di Google dari waktu ke waktu . Mereka tidak mewakili angka volume pencarian mutlak, karena data yang dinormalisasi dan disajikan dengan skala 0-100 . Setiap titik pada grafik dibagi dengan titik tertinggi dan dikalikan dengan 100. Ketika Google tidak memiliki data yang cukup , 0 ditampilkan.

Melihat data dari Google Trends, ternyata memang isu penolakan warga Rembang terhadap rencana pendirian pabrik semen belum menjadi perhatian banyak pihak sebelum pendirian tenda pada Juni 2014. Padahal jauh sebelum itu, sebuah akun You Tube bernama Zamroni Allief Billah mengunggah video berjudul “Merasa Ditipu Pabrik Semen, Warga Surati Presiden” pada tanggal 11 Mei 2013. Video dapat dilihat pada tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=23l5IDOV4XY. Kurang lebih video tersebut mendokumentasikan protes yang dilancarkan warga Tegaldowo akibat tidak diberikannya sosialisasi kepada mereka terkait rencana pendirian pabrik semen.

Mulai dari pendirian tenda itu, isu pendirian pabrik semen di Rembang yang ditolak warga setempat mulai menjadi perhatian media-media lokal dan nasional untuk diberitakan. Namun selama kasus ini berjalan, menurut pantauan yang dilakukan Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media di Indonesia, banyak media banyak media tidak memberikan informasi yang utuh dan lebih menunjukkan keberpihakan pada satu pihak saja, yakni pihak yang mendukung pembangunan pabrik semen.

Media komunikasi memiliki kekuatan dalam mempengaruhi masyarakat, teristimewa pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa (Effendy, 2003: 407). Media massa memiliki peran strategis, sebagai saluran yang menyampaikan informasi kepada publik secara serempak di antara khalayak yang sedang menggunakan media tersebut. Pada dasarnya, media massa memiliki fungsi penghantar dalam menyebar berbagai macam pengetahuan, menyelenggarakan kegiatan dalam lingkungan publik yang dapat dijangkau segenap anggota masyarakat secara bebas, sukarela, umum, dan murah, hubungan antara pengirim, dan penerima seimbang dan sama, serta mampu menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya (McQuail, 1987: 51).

Remotivi melakukan studi terhadap pemberitaan terkait Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan warga Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Sum

ber :

hal

uanm

erde

ka.c

om

Page 94: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Konflik hampir dialami seluruh negara di dunia ini. Aktor dan penyebabnya konflik ini juga beracam-macam. Mulai dari konflik internal dalam suatu organisasi, konflik antara perusahaan dengan warga lokal, konflik antar pemeluk agama, konflik antar suku dan daerah, dsb. Konflik yang sudah menjalar ke daerah dan melibatkan massa yang banyak dan mengarah kepada disintegrasi mengancam keutuhan bangsa. Konflik bisa menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana dan juga menyebabkan kondisi psikis yang tidak nyaman untuk hidup berdampingan.

Akhir-akhir ini Kabupaten Rembang ramai diperbincangkan karena adanya konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal. Warga Rembang yang daerahnya akan dibangun lokasi tambang batu gamping pabrik semen PT Semen Indonesia menolak rencana pembangunan tersebut karena mengancam kehidupan ekologis mereka. Perhatian mulai memusat diberikan ke Rembang setelah media memberitakan ibu – ibu yang yang mendirikan tenda sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen. Mereka mulai mendirikan tenda sejak 16 Juni 2014. Dan sampai sekarang penolakan tetap dilakukan warga, tenda masih tetap ada. Ibu-ibu ini yang kemudian dikenal sebagai “Sembilan Kartini Rembang” berkeliling ibukota mencari dukungan berbagai pihak.

atas pemberian izin PT Semen Indonesia oleh Gubernur Jawa Tengah. Dalam laporan yang dimuat dalam situs http://remotivi.or.id/meja-redaksi/rembang-dan-keberpihakan-media, Remotivi mengamati berita Jateng Pos Online berjudul “JMPPK Ilegal, Gugatan Cacat Hukum” yang dimuat pada 30 Januari 2015. Tertulis pada berita tersebut bahwa Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dianggap bukan organisasi resmi, sehingga gugatan atas izin lingkungan menjadi cacat secara hukum. Namun, untuk membuat kesimpulan ini, Jateng Pos hanya menggunakan sumber dari pengacara PT Semen Indonesia, dan kelompok warga yang menyebut dirinya sebagai Forum Pemuda Rembang (FPR).

Masih dalam laporan yang sama, berita Tribun Jateng Online berjudul “Warga Rembang yang Pro dan Kontra Pabrik Semen Audiensi dengan Komnas HAM” yang dimuat pada 12 April 2015 juga turut diamati. Berita tersebut menjelaskan tentang dua kelompok warga yang beraudiensi dengan Komnas HAM. Dalam berita ini wartawan Tribun Jateng menulis bahwa warga yang menolak pembangunan pabrik semen datang ke Jakarta dengan pesawat. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan oleh Remotivi, ibu-ibu ini datang dengan menggunakan mobil hasil iuran berbagai pihak.

Republika Online juga menurunkan berita berjudul “Semen Indonesia Edukasi Warga Rembang tentang Green Industry” pada 4 Maret 2015 dan Suara Merdeka Online menerbitkan berita berjudul “Ratusan Warga Rembang Kunjungi Pabrik Semen” 4 Maret 2015. Menurut laporan Remotivi, berita tersebut hanya bersumber dari satu pihak saja. Selain itu kedua berita tersebut menggambarkan pabrik semen akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi, pabrik semen yang akan dibangun dibingkai memiliki wawasan lingkungan, sehingga penambangan yang dilakukan tidak akan merusak lingkungan.

Media massa bukan sekedar sarana yang menampilkan kepada publik peristiwa politik secara apa adanya, tetapi tergantung kepada kelompok dan ideologi yang mendominasinya. Dengan demikian, apapun yang dihasilkan dan ditampilkan oleh media merupakan representasi dari ideologi media massa tersebut. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa, maka lembaga-lembaga politik seperti partai politik, organisasi pemerintah, kelompok kepentingan, serikat buruh, LSM, dan sebagainya, seringkali memanfaatkan media massa untuk tujuan-tujuan politik (Schramm, 1975: 468-486).

Konfrontasi antara yang pro dan yang kontra juga terjadi di media sosial twitter. Pihak yang kontra dengan pabrik semen mulanya mengusung hashtag #SaveRembang, namun kampanye ini disusupi pihak yang pro pabrik semen sehingga informasi yang dihadirkan menjadi bias. Hashtag #SaveRembang tidak bisa lagi dijadikan corong, pihak kontra pun mengusung hashtag #RembangMelawan. Di lain pihak, mereka yang pro semen mengangkat hashtag #RembangBersatu dan #RembangBangkit. Melalui perangkat yang disediakan topsy.com, kami mendapatkan bahwa hashtag #RembangBersatu digunakan terkait polemik pabrik semen ini paling awal oleh akun @Najma_hakiem tertanggal 3 April 2015 pukul 10:56.

Di sini terlihat bahwa konflik yang semula bersifat structural antara perusahaan-pemerintah dan warga setempat berkembang menjadi konflik horizontal antara yang pro pabrik semen dan kontra pabrik semen. Konflik horizontal ini termanifestasikan pada media-media, baik nyata maupun maya. Konflik horizontal ini bisa dipandang sebagai upaya pemecahbelahan masyarakat dan pembiasan informasi terkait pendirian pabrik semen.

93

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Angka-angka pada grafik mencerminkan berapa banyak pencarian telah dilakukan untuk jangka waktu tertentu , relatif terhadap jumlah total penelusuran yang dilakukan di Google dari waktu ke waktu . Mereka tidak mewakili angka volume pencarian mutlak, karena data yang dinormalisasi dan disajikan dengan skala 0-100 . Setiap titik pada grafik dibagi dengan titik tertinggi dan dikalikan dengan 100. Ketika Google tidak memiliki data yang cukup , 0 ditampilkan.

Melihat data dari Google Trends, ternyata memang isu penolakan warga Rembang terhadap rencana pendirian pabrik semen belum menjadi perhatian banyak pihak sebelum pendirian tenda pada Juni 2014. Padahal jauh sebelum itu, sebuah akun You Tube bernama Zamroni Allief Billah mengunggah video berjudul “Merasa Ditipu Pabrik Semen, Warga Surati Presiden” pada tanggal 11 Mei 2013. Video dapat dilihat pada tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=23l5IDOV4XY. Kurang lebih video tersebut mendokumentasikan protes yang dilancarkan warga Tegaldowo akibat tidak diberikannya sosialisasi kepada mereka terkait rencana pendirian pabrik semen.

Mulai dari pendirian tenda itu, isu pendirian pabrik semen di Rembang yang ditolak warga setempat mulai menjadi perhatian media-media lokal dan nasional untuk diberitakan. Namun selama kasus ini berjalan, menurut pantauan yang dilakukan Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media di Indonesia, banyak media banyak media tidak memberikan informasi yang utuh dan lebih menunjukkan keberpihakan pada satu pihak saja, yakni pihak yang mendukung pembangunan pabrik semen.

Media komunikasi memiliki kekuatan dalam mempengaruhi masyarakat, teristimewa pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa (Effendy, 2003: 407). Media massa memiliki peran strategis, sebagai saluran yang menyampaikan informasi kepada publik secara serempak di antara khalayak yang sedang menggunakan media tersebut. Pada dasarnya, media massa memiliki fungsi penghantar dalam menyebar berbagai macam pengetahuan, menyelenggarakan kegiatan dalam lingkungan publik yang dapat dijangkau segenap anggota masyarakat secara bebas, sukarela, umum, dan murah, hubungan antara pengirim, dan penerima seimbang dan sama, serta mampu menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya (McQuail, 1987: 51).

Remotivi melakukan studi terhadap pemberitaan terkait Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan warga Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Page 95: Berebut Berkah Tanah Kendeng

94

Konflik hampir dialami seluruh negara di dunia ini. Aktor dan penyebabnya konflik ini juga beracam-macam. Mulai dari konflik internal dalam suatu organisasi, konflik antara perusahaan dengan warga lokal, konflik antar pemeluk agama, konflik antar suku dan daerah, dsb. Konflik yang sudah menjalar ke daerah dan melibatkan massa yang banyak dan mengarah kepada disintegrasi mengancam keutuhan bangsa. Konflik bisa menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana dan juga menyebabkan kondisi psikis yang tidak nyaman untuk hidup berdampingan.

Akhir-akhir ini Kabupaten Rembang ramai diperbincangkan karena adanya konflik antara PT Semen Indonesia dan warga lokal. Warga Rembang yang daerahnya akan dibangun lokasi tambang batu gamping pabrik semen PT Semen Indonesia menolak rencana pembangunan tersebut karena mengancam kehidupan ekologis mereka. Perhatian mulai memusat diberikan ke Rembang setelah media memberitakan ibu – ibu yang yang mendirikan tenda sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen. Mereka mulai mendirikan tenda sejak 16 Juni 2014. Dan sampai sekarang penolakan tetap dilakukan warga, tenda masih tetap ada. Ibu-ibu ini yang kemudian dikenal sebagai “Sembilan Kartini Rembang” berkeliling ibukota mencari dukungan berbagai pihak.

atas pemberian izin PT Semen Indonesia oleh Gubernur Jawa Tengah. Dalam laporan yang dimuat dalam situs http://remotivi.or.id/meja-redaksi/rembang-dan-keberpihakan-media, Remotivi mengamati berita Jateng Pos Online berjudul “JMPPK Ilegal, Gugatan Cacat Hukum” yang dimuat pada 30 Januari 2015. Tertulis pada berita tersebut bahwa Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dianggap bukan organisasi resmi, sehingga gugatan atas izin lingkungan menjadi cacat secara hukum. Namun, untuk membuat kesimpulan ini, Jateng Pos hanya menggunakan sumber dari pengacara PT Semen Indonesia, dan kelompok warga yang menyebut dirinya sebagai Forum Pemuda Rembang (FPR).

Masih dalam laporan yang sama, berita Tribun Jateng Online berjudul “Warga Rembang yang Pro dan Kontra Pabrik Semen Audiensi dengan Komnas HAM” yang dimuat pada 12 April 2015 juga turut diamati. Berita tersebut menjelaskan tentang dua kelompok warga yang beraudiensi dengan Komnas HAM. Dalam berita ini wartawan Tribun Jateng menulis bahwa warga yang menolak pembangunan pabrik semen datang ke Jakarta dengan pesawat. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan oleh Remotivi, ibu-ibu ini datang dengan menggunakan mobil hasil iuran berbagai pihak.

Republika Online juga menurunkan berita berjudul “Semen Indonesia Edukasi Warga Rembang tentang Green Industry” pada 4 Maret 2015 dan Suara Merdeka Online menerbitkan berita berjudul “Ratusan Warga Rembang Kunjungi Pabrik Semen” 4 Maret 2015. Menurut laporan Remotivi, berita tersebut hanya bersumber dari satu pihak saja. Selain itu kedua berita tersebut menggambarkan pabrik semen akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi, pabrik semen yang akan dibangun dibingkai memiliki wawasan lingkungan, sehingga penambangan yang dilakukan tidak akan merusak lingkungan.

Media massa bukan sekedar sarana yang menampilkan kepada publik peristiwa politik secara apa adanya, tetapi tergantung kepada kelompok dan ideologi yang mendominasinya. Dengan demikian, apapun yang dihasilkan dan ditampilkan oleh media merupakan representasi dari ideologi media massa tersebut. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa, maka lembaga-lembaga politik seperti partai politik, organisasi pemerintah, kelompok kepentingan, serikat buruh, LSM, dan sebagainya, seringkali memanfaatkan media massa untuk tujuan-tujuan politik (Schramm, 1975: 468-486).

Konfrontasi antara yang pro dan yang kontra juga terjadi di media sosial twitter. Pihak yang kontra dengan pabrik semen mulanya mengusung hashtag #SaveRembang, namun kampanye ini disusupi pihak yang pro pabrik semen sehingga informasi yang dihadirkan menjadi bias. Hashtag #SaveRembang tidak bisa lagi dijadikan corong, pihak kontra pun mengusung hashtag #RembangMelawan. Di lain pihak, mereka yang pro semen mengangkat hashtag #RembangBersatu dan #RembangBangkit. Melalui perangkat yang disediakan topsy.com, kami mendapatkan bahwa hashtag #RembangBersatu digunakan terkait polemik pabrik semen ini paling awal oleh akun @Najma_hakiem tertanggal 3 April 2015 pukul 10:56.

Di sini terlihat bahwa konflik yang semula bersifat structural antara perusahaan-pemerintah dan warga setempat berkembang menjadi konflik horizontal antara yang pro pabrik semen dan kontra pabrik semen. Konflik horizontal ini termanifestasikan pada media-media, baik nyata maupun maya. Konflik horizontal ini bisa dipandang sebagai upaya pemecahbelahan masyarakat dan pembiasan informasi terkait pendirian pabrik semen.

Angka-angka pada grafik mencerminkan berapa banyak pencarian telah dilakukan untuk jangka waktu tertentu , relatif terhadap jumlah total penelusuran yang dilakukan di Google dari waktu ke waktu . Mereka tidak mewakili angka volume pencarian mutlak, karena data yang dinormalisasi dan disajikan dengan skala 0-100 . Setiap titik pada grafik dibagi dengan titik tertinggi dan dikalikan dengan 100. Ketika Google tidak memiliki data yang cukup , 0 ditampilkan.

Melihat data dari Google Trends, ternyata memang isu penolakan warga Rembang terhadap rencana pendirian pabrik semen belum menjadi perhatian banyak pihak sebelum pendirian tenda pada Juni 2014. Padahal jauh sebelum itu, sebuah akun You Tube bernama Zamroni Allief Billah mengunggah video berjudul “Merasa Ditipu Pabrik Semen, Warga Surati Presiden” pada tanggal 11 Mei 2013. Video dapat dilihat pada tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=23l5IDOV4XY. Kurang lebih video tersebut mendokumentasikan protes yang dilancarkan warga Tegaldowo akibat tidak diberikannya sosialisasi kepada mereka terkait rencana pendirian pabrik semen.

Mulai dari pendirian tenda itu, isu pendirian pabrik semen di Rembang yang ditolak warga setempat mulai menjadi perhatian media-media lokal dan nasional untuk diberitakan. Namun selama kasus ini berjalan, menurut pantauan yang dilakukan Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media di Indonesia, banyak media banyak media tidak memberikan informasi yang utuh dan lebih menunjukkan keberpihakan pada satu pihak saja, yakni pihak yang mendukung pembangunan pabrik semen.

Media komunikasi memiliki kekuatan dalam mempengaruhi masyarakat, teristimewa pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa (Effendy, 2003: 407). Media massa memiliki peran strategis, sebagai saluran yang menyampaikan informasi kepada publik secara serempak di antara khalayak yang sedang menggunakan media tersebut. Pada dasarnya, media massa memiliki fungsi penghantar dalam menyebar berbagai macam pengetahuan, menyelenggarakan kegiatan dalam lingkungan publik yang dapat dijangkau segenap anggota masyarakat secara bebas, sukarela, umum, dan murah, hubungan antara pengirim, dan penerima seimbang dan sama, serta mampu menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya (McQuail, 1987: 51).

Remotivi melakukan studi terhadap pemberitaan terkait Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan warga Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Page 96: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Alkatiri, Zeffry. 2010. Belajar Memahami Ham. Komunitas Bambu : Depok.Asshiddiqie, Jimly. 2005. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Dipresentasikan dalam 1st National Converence Corporate Forum for Community Development. Jakarta. 19 Desember 2005.

Ardianto, Hendra. 2015. “Mengapa Pertambangan, Bukan Pertanian?”, dalam #RembangMelawan: Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng. Yogyakarta: Literasi Press.

Aristotle. The Politics. Oxford Publisher. 1972.

Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Conn, Paul. Conflict and Decision Making. Harper & Row Publisher. 1971.

Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Cahyono, Eko dan Kusnadi, 2014, Kondisi Tenurial dan Kesejahteraan Desa-Desa di Sekitar Pabrik Semen Indonesia, Rembang, Jawa Tengah, Sajoyo Institute dan Serikat Hijau Indonesia : KLH, halaman 1

Cangara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2009.

Dwicipta & Ardianto, Hendra Try. #RembangMelawan: Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng. Literasi Press. 2015.

GeoMagz. Vol.5|no.1|Maret 2015

Graber, Doris A. Handbook of Political Communication. Newbury Park, CA: Sage. 1981.

Graber, Doris A. Political Communication. 1994.Mcnair, Brian. An Introduction to Political Communication (Communication and Society). Routledge Second. 1995.

Hoed, Benny. H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.

Joyce, Susan A. Dan MacFarlane, Magnus. 2001. Social Impact Assessment in the Mining industry: Current Situation and Future Directions. Warwick: International Institute for Environment and Development.

95

DAFTARPUSTAKA

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Katz, Saul M. 1996. Guide To Modernizing Administration For National Development. Graduate School of Public and International Affairs, University of Pittsburgh.Laswell, Harold D. Politics: Who Gets What, When, How. Meridian Books. 1935.

Mawardi, Gema. 2011. Pembingkaian Berita Media Online: Analisis Framing Berita Mundurnya Surya Paloh dari Partai Golkar di mediaindonesia.com dan vivanews.com Tanggal 7 September 2011. Skripsi. Depok: FISIP Universitas Indonesia.

Mihradi, R Muhammad. 2006. “Kontekstualisasi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya” dalam Buni Yani (Eds). Pengantar Memahami Hak Ekosob. Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) : Jakarta.Vardiansyah, Dani. Pengantar Ilmu Komunikasi. Ghalia Indonesia, Bogor. 2004.

Mueller, Dennis C. Maret 1987. The Growth of Government: A Public Choice Perspective. Staff Papers, IMF, vol.34, no.1.

Nasution, Zulkarimen. 2007. Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Setiadi, Elly M. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Pasar Edisi Kedua. Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group.

Sulistyo, Budi. 14 Juli 2014. Kawasan Kars dan Penambangan. Suara Merdeka.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan.Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan..Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006.Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah.Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengag 2009-2029.Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang 2011-2031.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut/II/2011.

Page 97: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Alkatiri, Zeffry. 2010. Belajar Memahami Ham. Komunitas Bambu : Depok.Asshiddiqie, Jimly. 2005. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Dipresentasikan dalam 1st National Converence Corporate Forum for Community Development. Jakarta. 19 Desember 2005.

Ardianto, Hendra. 2015. “Mengapa Pertambangan, Bukan Pertanian?”, dalam #RembangMelawan: Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng. Yogyakarta: Literasi Press.

Aristotle. The Politics. Oxford Publisher. 1972.

Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Conn, Paul. Conflict and Decision Making. Harper & Row Publisher. 1971.

Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Cahyono, Eko dan Kusnadi, 2014, Kondisi Tenurial dan Kesejahteraan Desa-Desa di Sekitar Pabrik Semen Indonesia, Rembang, Jawa Tengah, Sajoyo Institute dan Serikat Hijau Indonesia : KLH, halaman 1

Cangara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2009.

Dwicipta & Ardianto, Hendra Try. #RembangMelawan: Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng. Literasi Press. 2015.

GeoMagz. Vol.5|no.1|Maret 2015

Graber, Doris A. Handbook of Political Communication. Newbury Park, CA: Sage. 1981.

Graber, Doris A. Political Communication. 1994.Mcnair, Brian. An Introduction to Political Communication (Communication and Society). Routledge Second. 1995.

Hoed, Benny. H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.

Joyce, Susan A. Dan MacFarlane, Magnus. 2001. Social Impact Assessment in the Mining industry: Current Situation and Future Directions. Warwick: International Institute for Environment and Development.

Katz, Saul M. 1996. Guide To Modernizing Administration For National Development. Graduate School of Public and International Affairs, University of Pittsburgh.Laswell, Harold D. Politics: Who Gets What, When, How. Meridian Books. 1935.

Mawardi, Gema. 2011. Pembingkaian Berita Media Online: Analisis Framing Berita Mundurnya Surya Paloh dari Partai Golkar di mediaindonesia.com dan vivanews.com Tanggal 7 September 2011. Skripsi. Depok: FISIP Universitas Indonesia.

Mihradi, R Muhammad. 2006. “Kontekstualisasi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya” dalam Buni Yani (Eds). Pengantar Memahami Hak Ekosob. Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) : Jakarta.Vardiansyah, Dani. Pengantar Ilmu Komunikasi. Ghalia Indonesia, Bogor. 2004.

Mueller, Dennis C. Maret 1987. The Growth of Government: A Public Choice Perspective. Staff Papers, IMF, vol.34, no.1.

Nasution, Zulkarimen. 2007. Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Setiadi, Elly M. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Pasar Edisi Kedua. Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group.

Sulistyo, Budi. 14 Juli 2014. Kawasan Kars dan Penambangan. Suara Merdeka.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan.Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan..Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006.Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah.Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengag 2009-2029.Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang 2011-2031.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut/II/2011.

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

96

Page 98: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Giovanni D. Austriningrum lahir di Surabaya, 6 Desember 1992. Lulus dari Hubungan Internasional Universitas Airlangga pada akhir 2014 untuk mengetahui betapa degradatifnya praktik pragmatis hubungan internasional dan kemanusiaan secara general. Saat ini sedang berkarya paruh waktu di Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) (sebuah LSM Lingkungan di Bandung), bermain-main dengan ilustrasi, dan aktif di Komune Rakapare. Selain konflik Rembang, ia juga tengah menelusur fenomena TKW dan PSK di Indramayu. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Luthfi Anshari lahir di Bandung tahun 1993. Seorang mahasiswa Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan keahlian bidang fisika bumi. Masuk bangku perkuliahan pada tahun 2011 dan aktif pada pergerakan kemahasiswaan di Himpunan Mahasiswa Fisika ITB. Pernah juga menjadi Menteri Sosial Politik di Keluarga Mahasiswa ITB. Sekarang aktif sebagai pemimpin redaksi media Communia, dan juga analis ekonomi dan politik di Komune Rakapare. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Anggika Kurnia lahir di Tasikmalaya, 3 Februari 1995. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Hubungan Internasional Universitas Padjajaran. Aktif di Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjajaran dan sempat bergabung dalam relawan Museum Konperensi Asia-afrika, Bandung. Dia juga fokus pada bidang pendidikan dengan menggagas dan memimpin Gerakan Indonesia Pintar Jatinangor. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Choirul Muttaqin, adalah peneliti dari Komune Rakapare yang kini menekuni studi Rekayasa Kehutanan di Institut Teknologi Bandung. Selama kuliah dia juga aktif di Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera yang berfokus pada kajian peradaban dan pemikiran manusia. Lahir di Rembang dan tinggal di sana selama hidupnya menjadikan dia memiliki minat pada bidang kajian karst. Melakukan banyak penelitian dan penulisan aspek ekologi dan ekonomi rakyat kecil serta mengamati burung-burung di waktu senggang. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Khanza Azizah adalah mahasiswi program studi Keperawatan Universitas Padjajaran. Saat ini aktif berkarya sekaligus mengelola administrasi Komune Rakapare. Aktif menulis di blog pribadinya, dengan minat bidang kesehatan masyarakat, kemanusiaan dan politik.

ARTIKEL ONLINE

Al-Farizi, Suryo. 2012. Gagasan Dasar Developmentalisme. (Online), (http://pergerakan07.blogspot.com/2012/04/gagasan-dasar-developmentalisme.html , diakses 26 Mei 2015).

Giras Pasopati, 2015, Menko Sofyan Sebut Persaingan Usaha Industri Semen Tak Sehathttp://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150211131505-92-31291/menko-sofyan-sebut-persaingan-usaha-industri-semen-tak-sehat/

Herman, Achmad. 2010. Analisis Framing Pemberitaan Konflik Israel-Palestina dalam Harian KOMPAS dan Radar Sulteng. Jurnal Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Tadulako Palu. Institutional Journal UPN "Veteran" Yogyakarta. (Online), (http://eprints.upnyk.ac.id/3656/ , diakses 28 Mei 2015).

Kabar 24, 2015, Pabrik Semen Rembang, Warga Akui Ada Sosialisasi Amdal http://kabar24.bisnis.com/read/20150205/16/399444/pabrik-semen-rembang-warga-akui-ada-sosialisasi-amdal

Mata Air Radio. 31 Oktober 2014. “Pro-Kontra, Harga Tanah Sekitar Pabrik Semen Melambung”. http://mataairradio.com/berita-top/harga-tanah-pabrik-semen (diakses pada 24 Mei 2015)

Nuno Rohman, 2014, Kronologi Perjalanan Tolak Pendirian Pabrik Semen PT Semen Indonesia dan Tolak Pertambangan di Bumi Rembang, diunduh di http://issuu.com/nunorahman/docs/kronologi_tolak_penambangan_di_remb.

Omah Kendeng, 2014, Warga Rembang Dirikan Posko Tolak Pabrik Semen, http://omahkendeng.org/2014-06/2121/warga-rembang-dirikan-posko-tolak-pabrik-semen/

Redaksi. 2015. Rembang dan Keberpihakan Media. Meja Redaksi Remotivi. http://remotivi.or.id/meja-redaksi/rembang-dan-keberpihakan-media (diakses 28 Mei 2015)

Seymour, Claudia. September 2003. “Social Psychological Dimensions of Conflict.” Beyond Intractability. Eds. Guy Burgess and Heidi Burgess. Conflict Information Consortium, University of Colorado, Boulder.T http://www.beyondintractability.org/essay/social-psychological. (diakses pada 24 Mei 2015)

Suara Merdeka. 26 September 2014. “Pendukung Pabrik semen Gelar Demo”. http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/pendukung-pabrik-semen-gelar-demo/ (diakses pada 24 Mei 2015).

Surono, Kepala Badan Geologi Kementrian ESDM dalam Wuri Damaryanti Suparjo, 2014, Penambangan Karst di Rembang Melanggar Keppres, http://www.rri.co.id/post/berita/90285/ruang_publik/penambangan_karst_di_rembang_melanggar_kepres.html

Tommy Apriando, 2014, Blokir Alat Berat Masuk, Ibu-ibu Rembang Berhadapan dengan Aparat, http://www.mongabay.co.id/2014/11/27/blokir-alat-berat-masuk-ibu-ibu-rembang-berhadapan-dengan-aparat/

97

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Dinda Primazeira adalah pegiat pemberdayaan komunitas desa binaan Sunten Jaya, Kabupaten Bandung Barat. Seorang mahasiswi Perencanaan Wilayah dan Kota di Institut Teknologi Bandung. Mengikuti kegiatan penelitian di Komune Rakapare dengan konsentrasi bidang hukum dan tata ruang. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Muhammad Firza Alfajri, seorang mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung. Saat ini sedang aktif di Komune Rakapare sebagai peneliti di bidang konflik dan dampaknya terhadap kehidupan sosial merangkap juga sebagai kepala bagian keuangan. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Husein Abdulsalam S., lahir 1 Juli 1992 di Jakarta, adalah kepala Departemen Media Komune Rakapare. Sedang menekuni kuliah di program studi Matematika Institut Teknologi Bandung. Pernah menjabat sebagai pemimpin umum Pers Mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Di tahun 2014, mengikuti program Asia-Pacific Youth Training on Media and Civic Participation dan mejadi peserta Global Media Forum. Saat ini menjadi pemimpin umum sebuah rintisan perusahaan media Communia. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Andi Bhatara, adalah mahasiswa Kajian Seni dan Budaya, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Sekarang sedang aktif di Komune Rakapare sebagai koordinator dan penulis Communia, juga seorang aktivis kemanusiaan dan lingkungan. Sebelumnya aktif menjadi relawan peneliti di UNESCO Indonesia dalam kajian artefak dan kebudayaan. Sedang menekuni studi di bidang antropologi, politik, pendidikan, agraria, dan pedesaan. Pernah menjadi penulis lepas di Harian Kompas, Media Indonesia, media online dan beberapa media kampus. Berdomisili di Bandung dan dapat dikontak melalui [email protected].

Okie Fauzi Rachman lahir 1 September 1992 di Tasikmalaya, Jawa Barat, merupakan Koordinator Operasi dari Komune Rakapare. Saat ini sedang menempuh studi di departemen Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung. Kegiatannya pada saat mahasiswa telah mem-bawanya kepada bidang kajian atas efek-efek dari teknologi yang ditekunin-ya dalam kuliah. Pernah menjabat sebagai kepala Kelompok Studi Sejarah Ekonomi dan Politik ITB dan Menteri Kajian Strategis Kabinet KM-ITB. Saat ini sedang menekuni studi epistemologi dari pertentangan antara pembangu-nan berbasis teknologi dengan kebudayaan yang ada masyarakat. Berdomis-ili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Page 99: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Giovanni D. Austriningrum lahir di Surabaya, 6 Desember 1992. Lulus dari Hubungan Internasional Universitas Airlangga pada akhir 2014 untuk mengetahui betapa degradatifnya praktik pragmatis hubungan internasional dan kemanusiaan secara general. Saat ini sedang berkarya paruh waktu di Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) (sebuah LSM Lingkungan di Bandung), bermain-main dengan ilustrasi, dan aktif di Komune Rakapare. Selain konflik Rembang, ia juga tengah menelusur fenomena TKW dan PSK di Indramayu. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Luthfi Anshari lahir di Bandung tahun 1993. Seorang mahasiswa Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan keahlian bidang fisika bumi. Masuk bangku perkuliahan pada tahun 2011 dan aktif pada pergerakan kemahasiswaan di Himpunan Mahasiswa Fisika ITB. Pernah juga menjadi Menteri Sosial Politik di Keluarga Mahasiswa ITB. Sekarang aktif sebagai pemimpin redaksi media Communia, dan juga analis ekonomi dan politik di Komune Rakapare. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Anggika Kurnia lahir di Tasikmalaya, 3 Februari 1995. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Hubungan Internasional Universitas Padjajaran. Aktif di Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjajaran dan sempat bergabung dalam relawan Museum Konperensi Asia-afrika, Bandung. Dia juga fokus pada bidang pendidikan dengan menggagas dan memimpin Gerakan Indonesia Pintar Jatinangor. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Choirul Muttaqin, adalah peneliti dari Komune Rakapare yang kini menekuni studi Rekayasa Kehutanan di Institut Teknologi Bandung. Selama kuliah dia juga aktif di Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera yang berfokus pada kajian peradaban dan pemikiran manusia. Lahir di Rembang dan tinggal di sana selama hidupnya menjadikan dia memiliki minat pada bidang kajian karst. Melakukan banyak penelitian dan penulisan aspek ekologi dan ekonomi rakyat kecil serta mengamati burung-burung di waktu senggang. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Khanza Azizah adalah mahasiswi program studi Keperawatan Universitas Padjajaran. Saat ini aktif berkarya sekaligus mengelola administrasi Komune Rakapare. Aktif menulis di blog pribadinya, dengan minat bidang kesehatan masyarakat, kemanusiaan dan politik.

PROFILPENULIS

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

Dinda Primazeira adalah pegiat pemberdayaan komunitas desa binaan Sunten Jaya, Kabupaten Bandung Barat. Seorang mahasiswi Perencanaan Wilayah dan Kota di Institut Teknologi Bandung. Mengikuti kegiatan penelitian di Komune Rakapare dengan konsentrasi bidang hukum dan tata ruang. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Muhammad Firza Alfajri, seorang mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung. Saat ini sedang aktif di Komune Rakapare sebagai peneliti di bidang konflik dan dampaknya terhadap kehidupan sosial merangkap juga sebagai kepala bagian keuangan. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Husein Abdulsalam S., lahir 1 Juli 1992 di Jakarta, adalah kepala Departemen Media Komune Rakapare. Sedang menekuni kuliah di program studi Matematika Institut Teknologi Bandung. Pernah menjabat sebagai pemimpin umum Pers Mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Di tahun 2014, mengikuti program Asia-Pacific Youth Training on Media and Civic Participation dan mejadi peserta Global Media Forum. Saat ini menjadi pemimpin umum sebuah rintisan perusahaan media Communia. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Andi Bhatara, adalah mahasiswa Kajian Seni dan Budaya, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Sekarang sedang aktif di Komune Rakapare sebagai koordinator dan penulis Communia, juga seorang aktivis kemanusiaan dan lingkungan. Sebelumnya aktif menjadi relawan peneliti di UNESCO Indonesia dalam kajian artefak dan kebudayaan. Sedang menekuni studi di bidang antropologi, politik, pendidikan, agraria, dan pedesaan. Pernah menjadi penulis lepas di Harian Kompas, Media Indonesia, media online dan beberapa media kampus. Berdomisili di Bandung dan dapat dikontak melalui [email protected].

Okie Fauzi Rachman lahir 1 September 1992 di Tasikmalaya, Jawa Barat, merupakan Koordinator Operasi dari Komune Rakapare. Saat ini sedang menempuh studi di departemen Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung. Kegiatannya pada saat mahasiswa telah mem-bawanya kepada bidang kajian atas efek-efek dari teknologi yang ditekunin-ya dalam kuliah. Pernah menjabat sebagai kepala Kelompok Studi Sejarah Ekonomi dan Politik ITB dan Menteri Kajian Strategis Kabinet KM-ITB. Saat ini sedang menekuni studi epistemologi dari pertentangan antara pembangu-nan berbasis teknologi dengan kebudayaan yang ada masyarakat. Berdomis-ili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

98

Page 100: Berebut Berkah Tanah Kendeng

Giovanni D. Austriningrum lahir di Surabaya, 6 Desember 1992. Lulus dari Hubungan Internasional Universitas Airlangga pada akhir 2014 untuk mengetahui betapa degradatifnya praktik pragmatis hubungan internasional dan kemanusiaan secara general. Saat ini sedang berkarya paruh waktu di Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) (sebuah LSM Lingkungan di Bandung), bermain-main dengan ilustrasi, dan aktif di Komune Rakapare. Selain konflik Rembang, ia juga tengah menelusur fenomena TKW dan PSK di Indramayu. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Luthfi Anshari lahir di Bandung tahun 1993. Seorang mahasiswa Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan keahlian bidang fisika bumi. Masuk bangku perkuliahan pada tahun 2011 dan aktif pada pergerakan kemahasiswaan di Himpunan Mahasiswa Fisika ITB. Pernah juga menjadi Menteri Sosial Politik di Keluarga Mahasiswa ITB. Sekarang aktif sebagai pemimpin redaksi media Communia, dan juga analis ekonomi dan politik di Komune Rakapare. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Anggika Kurnia lahir di Tasikmalaya, 3 Februari 1995. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Hubungan Internasional Universitas Padjajaran. Aktif di Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjajaran dan sempat bergabung dalam relawan Museum Konperensi Asia-afrika, Bandung. Dia juga fokus pada bidang pendidikan dengan menggagas dan memimpin Gerakan Indonesia Pintar Jatinangor. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Choirul Muttaqin, adalah peneliti dari Komune Rakapare yang kini menekuni studi Rekayasa Kehutanan di Institut Teknologi Bandung. Selama kuliah dia juga aktif di Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera yang berfokus pada kajian peradaban dan pemikiran manusia. Lahir di Rembang dan tinggal di sana selama hidupnya menjadikan dia memiliki minat pada bidang kajian karst. Melakukan banyak penelitian dan penulisan aspek ekologi dan ekonomi rakyat kecil serta mengamati burung-burung di waktu senggang. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Khanza Azizah adalah mahasiswi program studi Keperawatan Universitas Padjajaran. Saat ini aktif berkarya sekaligus mengelola administrasi Komune Rakapare. Aktif menulis di blog pribadinya, dengan minat bidang kesehatan masyarakat, kemanusiaan dan politik.

Dinda Primazeira adalah pegiat pemberdayaan komunitas desa binaan Sunten Jaya, Kabupaten Bandung Barat. Seorang mahasiswi Perencanaan Wilayah dan Kota di Institut Teknologi Bandung. Mengikuti kegiatan penelitian di Komune Rakapare dengan konsentrasi bidang hukum dan tata ruang. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Muhammad Firza Alfajri, seorang mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung. Saat ini sedang aktif di Komune Rakapare sebagai peneliti di bidang konflik dan dampaknya terhadap kehidupan sosial merangkap juga sebagai kepala bagian keuangan. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Husein Abdulsalam S., lahir 1 Juli 1992 di Jakarta, adalah kepala Departemen Media Komune Rakapare. Sedang menekuni kuliah di program studi Matematika Institut Teknologi Bandung. Pernah menjabat sebagai pemimpin umum Pers Mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Di tahun 2014, mengikuti program Asia-Pacific Youth Training on Media and Civic Participation dan mejadi peserta Global Media Forum. Saat ini menjadi pemimpin umum sebuah rintisan perusahaan media Communia. Berdomisili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

Andi Bhatara, adalah mahasiswa Kajian Seni dan Budaya, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Sekarang sedang aktif di Komune Rakapare sebagai koordinator dan penulis Communia, juga seorang aktivis kemanusiaan dan lingkungan. Sebelumnya aktif menjadi relawan peneliti di UNESCO Indonesia dalam kajian artefak dan kebudayaan. Sedang menekuni studi di bidang antropologi, politik, pendidikan, agraria, dan pedesaan. Pernah menjadi penulis lepas di Harian Kompas, Media Indonesia, media online dan beberapa media kampus. Berdomisili di Bandung dan dapat dikontak melalui [email protected].

Okie Fauzi Rachman lahir 1 September 1992 di Tasikmalaya, Jawa Barat, merupakan Koordinator Operasi dari Komune Rakapare. Saat ini sedang menempuh studi di departemen Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung. Kegiatannya pada saat mahasiswa telah mem-bawanya kepada bidang kajian atas efek-efek dari teknologi yang ditekunin-ya dalam kuliah. Pernah menjabat sebagai kepala Kelompok Studi Sejarah Ekonomi dan Politik ITB dan Menteri Kajian Strategis Kabinet KM-ITB. Saat ini sedang menekuni studi epistemologi dari pertentangan antara pembangu-nan berbasis teknologi dengan kebudayaan yang ada masyarakat. Berdomis-ili di Bandung, dapat dikontak melalui [email protected].

I N V E S T I G A T I O N R E P O R T K O M U N E R A K A P A R E | R E M B A N G

99

Page 101: Berebut Berkah Tanah Kendeng
Page 102: Berebut Berkah Tanah Kendeng