BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
-
Upload
trankhuong -
Category
Documents
-
view
219 -
download
1
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya, setiap individu dapat memiliki perasaan negatif seperti kesedihan,
kemarahan, murung, dan merasa tidak memiliki harapan mengenai masa depan. Namun,
jika perasaan negatif tersebut terjadi secara terus menerus dan tidak segera diatasi, maka
dapat menimbulkan depresi (Hale, 1997). Depresi adalah gangguan suasana perasaan
berupa munculnya perasaaan negatif yang berlebihan dan dalam waktu yang lama. Beck
(1985) mengatakan bahwa penderita gangguan depresi masuk dalam keadaan yang
abnormal sehingga memiliki suasana hati yang murung, pesimis terhadap masa depan, dan
kehilangan perilaku spontanitas. Individu yang depresi memiliki emosi negatif yang
berlebihan dan dapat memicu dirinya untuk memiliki keinginan merusak diri sendiri
(Sue,Sue, Sue, & Sue, 2013). Banyak dijumpai bahwa individu yang mengalami depresi
tidak memiliki pandangan diri yang positif dan merasa tidak ada harapan pada hidup
mereka sehingga memicu munculnya pikiran untuk bunuh diri sebagai bentuk usaha untuk
mengakhiri hidup.
Individu yang menderita depresi disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya faktor
keturunan, lingkungan sekitar, permasalahan yang dihadapi, tekanan hidup, ekonomi, dan
sosial budaya. Hal tersebut juga dikatakan oleh Parker (2002) yang mengatakan bahwa
depresi dipengaruhi oleh faktor biologic, faktor psychological, dan faktor social. Menurut
Oltmans dan Emery (2013), depresi disebabkan karena adanya faktor genetik, kehilangan
teman atau keluarga, dan berbagai kejadian hidup yang memicu stress. Sue et al (2013)
mengemukakan bahwa penyebab individu dapat mengalami depresi adalah antara lain
2
pengangguaran, perceraian, kematian teman atau keluarga, dan beberapa hal yang memicu
stress (Sue et al., 2013).
Depresi dapat dialami oleh setiap individu wanita maupun pria. Simtom depresi yang
dialami oleh pria berbeda dengan yang dialami oleh wanita. Menurut National Institute
Mental Health (2011) mengungkapkan bahwa pria yang mengalami depresi cenderung
merasa mudah lelah, kehilangan minat untuk melakukan hal-hal yang mereka senangi,
adanya gangguan tidur, dan cepat marah. Berbeda dengan pria, perempuan yang depresi
lebih ditandai dengan munculnya perasaan-perasaan negatif, seperti munculnya perasaan
sedih, merasa bersalah, dan merasa dirinya tidak bernilai atau berharga.
Kondisi depresi yang dialami individu dapat semakin meningkat dengan kondisi
zaman yang semakin berkembang karena hal ini dipengaruhi semakin banyaknya tuntutan
dalam setiap aspek kehidupan, misalnya tuntutan baik dalam segi pendidikan maupun
sosial ekonomi. Menurut Andrade (2010, dalam Sue et al., 2013) depresi adalah satu dari
banyaknya prevalent psychiatric disorder dan penyebab utama disabilitas di dunia.
Berdasarkan data dari Moussavi (2007, dalam Oltmans & Emery, 2013) juga menunjukkan
bahwa penyebab utama disabilitas diseluruh dunia adalah depresi. Dalam data tersebut
menyatakan bahwa depresi menjelaskan hampir dari sepuluh persen dari seluruh
disabilitas. World Health Organization menyatakan bahwa gangguan depresi berada pada
urutan keempat penyakit di dunia (Depkes RI, 2007). Diperkirakan pada tahun 2020
depresi dapat dialami oleh generasi yang lebih muda sehingga jumlahnya dapat semakin
meningkat dan akan menempati urutan kedua penyakit di dunia (Depkes RI, 2007;
Oltmans & Emery, 2013). Berdasarkan data-data di atas dapat disimpulkan bahwa
gangguan depresi merupakan gangguan yang banyak diderita oleh banyak individu di
dunia. Salah satu individu yang rentan mengalami depresi adalah narapidana.
3
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang
pemsyarakatan Pasal 1 ayat 7 mengemukakan bahwa narapidana adalah terpidana yang
menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Individu yang sudah
melakukan tindak kriminal dan sudah terbukti bersalah akan dijatuhi hukuman berdasarkan
putusan pengadilan (Gunakarya, 1988 dalam Muntaha, 2003). Narapidana tersebut
kemudian akan masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Menurut Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995, Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Lapas adalah suatu tempat untuk
melaksanakan pembinaan terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara
(narapidana) berdasarkan keputusan pengadilan (Noorsifa, 2013). Sistem pemasyarakatan
adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina,
yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan
agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 2). Untuk
memenuhi tungas dan tanggungjawab, lapas dibuat dengan bangunan yang tertutup dengan
tembok yang tinggi dan kawat berduri dan dengan pengawasan yang ketat beserta
peraturan-peraturan yang harus ditaati.
Seiring dengan jumlah kriminalitas yang semakin meningkat, maka jumlah
narapidana di Indonesia juga semakin meningkat. Berdasarkan data dari
smslap.ditjenpas.go.id, jumlah narapidana di Indonesia sudah melebihi kapasitas yang
seharusnya (smslap.ditjenpas.go.id, 2014). Data pada tanggal 1 Oktober 2014, jumlah
narapidana di Indonesia mencapai 100.994 orang. Padahal, jumlah kapasitas tahanan dan
4
narapidana di Lapas di seluruh Indonesia hanya 100.794 orang sedangkan jumlah
narapidana di Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 902 orang dan khususnya di Lapas
Wirogunan Yogyakarta berjumlah kurang lebih 400 narapidana (320 narapidana pria dan
80 narapidana wanita (wawancara dengan staff Lapas Wirogunan Yogyakarta).
Terdapat berbagai macam sumber stressor pada narapidana antara lain, ketakutan
terhadap hukuman yang akan dijalani (Douglas, Plugge, dan Fitzpatrick, 2009), perasaan
tidak ada harapan, dan berbagai kesulitan selama di dalam penjara atau Lapas (Liebling,
1992 dalam Liebling, 1999). Narapidana yang ditahan di dalam Lapas memiliki
keterbatasan ruang gerak karena ketatnya penjagaan dan peraturan yang wajib untuk
dipatuhi. Di dalam Lapas, para narapidana harus tinggal bersama orang lain yang tidak
mereka kenal sebelumnya di dalam satu ruang (sel) dan hanya boleh keluar ke ruangan lain
dalam waktu tertentu dengan pengawasan ketat. Lapas di kelilingi oleh tembok yang
sangat tinggi dan kawat berduri di atas tembok. Selain itu, Lapas merupakan tempat yang
membuat narapidana akan kehilangan otonomi, menjalankan kehidupan yang terbatas, dan
berkumpul dengan orang baru yang tidak diinginkan sehingga secara kumulatif hal-hal
tersebut merupakan stressor yang menekan (Charlotte & Jane, 2012 dalam Noorsifa, 2013).
Keterbatasan untuk mengekspresikan diri dan ruang gerak membuat narapidana
dapat mengalami depresi. Setiap narapidana yang masuk ke dalam Lapas bukanlah hal
yang mudah untuk dihadapi. Ketika masuk ke dalam Lapas, narpidana harus melakukan
penyesuaian pada kondisi fisik, psikologis, dan sosial karena lingkungan di dalam Lapas
sangat berbeda dengan lingkungan yang ada di luar Lapas. Narapidana yang berada di
Lapas harus membiasakan diri untuk berada dalam ruangan sel, bangunan penjara yang
„mencekam‟, teman satu sel, sipir, tim medis, dan rohaniawan. Selain itu, narapidana tidak
diperbolehkan keluar dari Lapas dan adanya pembatasan untuk berkomunikasi dengan
orang lain yang berada di luar Lapas. Bahkan, ada beberapa Lapas yang memiliki
5
peraturan untuk tidak memperbolehkan narapidana berbicara dengan narapidana lain yang
lawan jenis.
Semua tekanan menjadi stressor sehingga narapidana di dalam Lapas dapat
mengalami beberapa penyakit fisik dan juga gangguan kesehatan mental (Smith, 1984).
Gangguan kesehatan mental tersebut meliputi kecemasan, depresi, dan gangguan
kepribadian. Gangguan tersebut ditandai dengan kondisi narapidana yang sering diam dan
melamun, mudah tersinggung, bersikap agresif dengan orang lain, dan bahkan adanya
keinginan untuk mengakhiri hidup. Menurut Prison Reform Trust (2005 dalam Wilkins,
2009) terdapat 90% narapidana yang menderita gangguan kesehatan mental. Gangguan
kesehatan mental mengakibatkan percobaan bunuh diri pada narapidana khususnya
narapidana pria. Narapidana pria memiliki percobaan bunuh diri lima kali lebih besar
daripada pria yang ada di luar lapas (Wilkins, 2009).
Berdasarkan Bureau of Justice Statistic yang ditulis oleh James dan Glaze (2006)
menyatakan bahwa banyak narapidana yang menderita gangguan mental berupa gangguan
psikotik, mania, dan depresi. Penelitian di Florida menyatakan bahwa depresi merupakan
salah satu masalah utama dalam penjara (Gussak, 2009 dalam Mukhlis, 2009). Hasil
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sebanyak 25% narapidana terindikasi menderita
depresi berat dan 30% menderita depresi ringan sampai sedang. Beberapa penelitian juga
mengungkapkan bahwa banyak narapidana yang menderita depresi. Hal ini diperkuat
dengan keterangan dari subjek berinisial N yang diwawancarai oleh peneliti ketika
observasi di Lapas Wirogunan Yogyakarta. Ia mengaku bahwa akhir-akhir ini mengalami
gangguan tidur dan sering sakit. Berikut cuplikan wawancara dengan subjek N :
“...mbak, saya akhir-akhir ini susah banget tidur. Kalau habis maghrib tidur bentar
trus nanti bangun. Trus saya gak bisa tidur sampai jam 3 pagi baru bisa tidur, trus saya
bangun lagi jam 5. Saya udah sering kayak gitu semenjak dipindah dari Grhasia ke Lapas.
Saya juga sering sakit mbak di sini. Kalau gak minum obat ya susah tidur. Sampai-sampai
teman saya prihatin lihat saya kok baru bisa tidur kalau udah minum obat...” (N, 18
Oktober 2014)
6
Depresi yang diderita oleh narapidana disebabkan oleh berbagai hal. Depresi juga
dapat muncul pada narapidana karena berbagai perubahan dalam hidup yang terjadi secara
tiba-tiba, menanggung rasa malu, kehilangan kepercayaan, harga diri menjadi rendah,
kehilangan pekerjaan, bertemu dengan orang-orang yang tidak diinginkan, dan berpisah
dengan keluarga. Menurut Ng, Shen, Sim, Sarri, Stoffregen, dan Shook (2011) dalam
jurnal “Criminal Behavior Mental Health” menunjukkan jika depresi dipicu karena
memenjarakan anak yang masih muda ke dalam penjara dewasa. Salah satu faktor yang
mempengaruhi depresi pada narapidana adalah kurangnya dukungan sosial. Hal tersebut
didukung oleh pernyataan dari Lindquist (2000) yang membuktikan bahwa kesehatan
mental narapidana dipengaruhi oleh dukungan sosial baik dari luar penjara maupun dari
dalam penjara. Muntaha (2003) juga mengatakan bahwa harga diri dan dukungan sosial
dapat memengaruhi tingkat depresi narapidana. Semakin tinggi harga diri dan dukungan
sosial, maka semakin rendah depresi narapidana. Namun, semakin rendah harga diri dan
dukungan sosial, maka semakin tinggi tingkat depresinya. Jenis dukungan yang paling
besar berpengaruh adalah dukungan penghargaan (2,5%) dan dukungan emosional (2,4%)
Berdasarkan hal tersebut, maka salah satu penyebab narapidana menderita gangguan
depresi adalah dukungan sosial yang rendah.
Dukungan sosial didefinisikan sebagai suatu sumber daya yang disediakan oleh
orang lain (Cohen & Syme, 1985). Dukungan sosial merupakan bentuk hubungan yang
memberikan bantuan kepada individu berupa perhatian emosi (perasaan suka, cinta, dan
empati), bantuan intrumental (berupa barang dan jasa), informasi, dan penghargaan (House
& Kahn, 1985). Setiap individu memerlukan dukungan sosial dalam setiap kehidupan
mereka. Namun, kebutuhan individu terhadap dukungan sosial juga berbeda-beda
tergantung pada persepsi (Cohen & Syme, 1985). Dukungan sosial dapat berdampak pada
kehidupan individu bila diberikan pada waktu yang tepat. Dukungan sosial melibatkan
7
proses sosial yang dapat memengaruhi kondisi mental (Cornwell, 2003). Dukungan sosial
yang berada dalam level tinggi serta tepat sasaran dapat berdampak positif terhadap
kondisi mental individu. Dukungan sosial tersebut dapat diperoleh dari keluarga, pasangan,
teman, dan orang lain disekitar (Dean, Kolody, & Wood, 1990; Jackson, 1992).
Berbagai tantangan dan proses adaptasi terhadap lingkungan Lapas yang berbeda
dari lingkungan di luar Lapas membuat setiap narapidana juga membutuhkan dukungan
sosial. Dukungan sosial tersebut berasal dari keluarga, teman di luar Lapas, teman di dalam
Lapas, sipir, dan juga masyarakat luas. Bentuk dukungan sosial tersebut bisa dengan
memberi bantuan barang berupa makanan dan minuman ketika berkunjung ke Lapas,
pemberian motivasi agar mampu bertahan menjalani masa hukuman, dan empati.
Salah satu bentuk dukungan sosial yang dapat memengaruhi depresi pada narapidana
adalah dukungan sosial dari lingkungan keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam
proses hidup seseorang karena pertama kali tempat individu bertumbuh dan berkembang
adalah di lingkungan keluarga. Narapidana yang masuk ke dalam Lapas, memiliki hak
untuk menerima kunjungan keluarga (Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 14
ayat 1). Namun, narapidana memiliki waktu yang sangat terbatas untuk dapat bertemu
dengan keluarga mereka. Padahal, dukungan keluarga merupakan salah satu hal yang
dibutuhkan oleh narapidana. Narapidana hanya boleh dikunjungi oleh keluarga dalam
jadwal kunjung yang sudah ditetapkan dan dengan waktu kunjung yang terbatas. Namun,
ada juga keluarga yang tidak peduli terhadap kondisi anggota keluarganya yang masuk ke
dalam Lapas. Alasan keluarga tidak mau mengunjungi anggota keluarganya yang berada di
Lapas misalnya karena malu memiliki anggota keluarga yang menjadi narapidana, rumah
yang berada jauh dengan lokasi Lapas, dan kesibukan lainnya yang menjadi prioritas
utama. Kurangnya dukungan dari keluarga dan dicampur berbagai masalah yang sedang
menjadi beban diri, membuat para narapidana menjadi semakin tertekan. Tekanan tersebut
8
menjadi stressor yang dapat memicu munculnya depresi. Pada awalnya, depresi yang dapat
dialami oleh narapidana biasanya dirasakan dengan munculnya keluhan pada kesehatan
dan merasa memiliki beban pikiran yang berat. Hal ini semakin diperkuat oleh pengakuan
dua subjek yang diwawancarai oleh peneliti yang mengatakan bahwa pertemuan mereka
dengan anggota keluarga sangat terbatas. Selain itu, ada juga subjek yang mengaku bahwa
ia jarang dikunjungi oleh keluarga. Berikut petikan wawancara dengan subjek berinisial ID
dan N ketika peneliti melakukan observasi untuk menemukan permasalahan :
“...iya mbak saya mumet rasane. Saya kangen sama anak dan suami. Barusan
ketemu suami saya tapi cuman bentar. Kasihan dia udah nunggu antrian buat
ketemu saja lebih dari satu jam trus cuman bisa ngobrol bentar. Trus tadi cepet-
cepet soalnya mau kerja..” (ID, 14 Oktober 2014)
“...wah kalau saya jarang dikunjungi mbak. Pernah dua tahun sekali dikunjungi
soalnya asli saya dari Jakarta tapi saya ditangkap waktu saya di bandara Jogja.
Nah, keluarga saya kan di Jakarta jadi ya jarang ngunjungin saya. Saya suka iri gitu
kalau lihat teman-teman saya dikunjungi...” (N, 18 Oktober 2014)
Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai tekanan yang
harus ditanggung oleh narapidana terutama narapidana di Lapas IIA Wirogunan
Yogyakarta. Narapidana dapat mengalami depresi dan salah satu pemicu munculnya
depresi tersebut adalah akibat kurangnya dukungan sosial terutama dukungan sosial dari
keluarga. Maka dari itu, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara
dukungan sosial keluarga dengan depresi pada narapidana tanpa mengesampingkan faktor-
faktor lain yang memengaruhi depresi.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris hubungan antara
dukungan sosial keluarga dengan depresi pada narapidana.
9
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan dan memperkaya
pengetahuan dan informasi berkenaan dengan ilmu psikologi terutama yang hubungan
antara depresi dan dukungan sosial keluarga pada narapidana.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat
atau kategori depresi dan dukungan sosial keluarga pada narapidana serta hubungan
antara dukungan sosial keluarga dengan depresi pada narapidana kepada pihak terkait
seperti Lembaga Pemasyarakatan dan keluarga narapidana. Selain itu, informasi
tersebut juga dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Depresi
1. Pengertian Depresi
Beberapa pengertian depresi antara lain :
a. Beck (1985) mengatakan bahwa depresi didefinisikan sebagai suatu perubahan yang
spesifik terhadap suasana perasaan, vegetatif, dan level kegiatan sehari-hari, konsep
diri yang negatif, dan adanya keinginan untuk menghukum diri sendiri. Individu
yang menderita gangguan depresi melihat bahwa diri mereka memiliki suasana
perasaan yang berada di bawah garis normal yang ditandai dengan suatu kesedihan,
kesendirian, tidak memiliki harapan, dan tidak sedang berbahagia. Maka dari itu,
depresi sering digunakan untuk menunjukkan bentuk kompleks dari penyimpangan
dalam perasaan, kognisi, dan perilaku.
b. Menurut Davison dan Neale (2001) depresi merupakan keadaan emosional yang
ditandai oleh kesedihan yang luar biasa, perasaan bersalah dan tidak berharga,
menarik diri dari orang lain, kesulitan untuk tidur, penurunan berat badan dan nafsu
seksual, serta adanya tekanan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
c. Depresi mengacu pada gangguan suasana perasaaan, yaitu kombinasi simtom
emosional, kognitif, dan perilaku. Ketika individu mengalami depresi, individu
tersebut dapat merasakan kekecewaan, keputusasaan, dan kesedihan yang mendalam
(Oltmans & Emery, 2013).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
depresi merupakan gangguan suasana perasaan yang ditandai dengan adanya perubahan
11
pada suasana perasaan, penurunan level aktivitas, kemampuan kognitif yang menurun
sehingga memunculkan pikiran untuk merusak diri. Individu yang mengalami depresi
menunjukkan penyimpangan yang kompleks dalam afeksi, kognisi, dan perilaku.
2. Simtom Depresi
National Institute of Mental Health (NIMH) mengemukakan bahwa gejala depresi
meliputi adanya kecemasan, kekosongan diri, perasaan sedih yang terus menerus,
pesimis, perasaan bersalah, mudah marah, mudah lelah, kekurangan energi, gangguan
tidur, gangguan makan, dan pemikiran untuk bunuh diri (NIMH, 2011). Judith Norman
(2004) mengategorikan depresi menjadi tiga gejala utama, yaitu :
a. Biological
Individu yang mengalami depresi ditandai dengan penurunan berat badan, gangguan
tidur, gerakan yang melambat dan perubahan aktivitas seksual.
b. Environmental
Individu yang mengalami depresi memiliki perubahan pada interaksi dengan
lingkungan sekitar, yaitu keinginan untuk menarik diri dari lingkungan dan
penurunan minat untuk berhubungan dengan orang lain ataupun melakukan berbagai
aktivitas.
c. Psychological
Individu yang mengalami depresi memiliki perubahan pada kognitif dan afektif
mereka. Secara kognitif individu yang depresi mengalami kesulitan untuk
berkonsentrasi dan munculnya pikiran-pikiran negatif dan pikiran untuk bunuh dri.
Secara afektif, individu yang depresi memiliki perasaan negatif yang meliputi
perasaan sedih yang mendalam, merasa bersalah, merasa tidak berguna, merasa tidak
berharga, dan merasa tidak memiliki harapan.
12
Gejala depresi dapat dikelompokkan menjadi beberapa simtom, yaitu simtom
emosional, simtom kognitif, simtom perilaku, dan simtom somatik (Nolen &
Hoeksema, 2001; Sue et al., 2013; Oltmans & Emery, 2013). Beck (1985)
menambahkan dua simtom depresi yaitu, adanya delusi dan halusinasi. Berikut adalah
penjelasan mengenai simtom-simtom tersebut:
a. Simtom emosional
Depresi erat kaitannya dengan emosi negatif. Simtom emosional yang dimiliki oleh
penderita gangguan depresi ditandai oleh adanya depressed mood (Sue et al., 2013).
Depressed mood meliputi kesedihan yang mendalam yang terjadi dalam waktu yang
lama, tidak memiliki harapan, putus asa, perasaan tidak berharga, harga diri rendah,
cemas, murung, dan masa bodoh. Simtom yang paling jelas adalah adanya suasana
perasaan dysphoric (tidak menyenangkan).
b. Simtom kognitif
Individu yang memiliki gangguan depresi cenderung memikirkan tentang dirinya
dan sekitarnya secara negatif. Oltmans dan Emery (2013) mengatakan bahwa
individu yang depresi memiliki pemikiran yang lambat, sulit berkonsentrasi, dan
mudah untuk terdistraksi. Memory dan decision making yang dimiliki juga menjadi
semakin buruk. Selain itu, mereka akan berpikir bahwa masa depan mereka suram,
menyalahkan diri sendiri terhadap berbagai hal yang terjadi dalam hidup mereka,
berpikir bahwa dirinya tidak mampu, dan pada akhirnya memiliki pemikiran untuk
bunuh diri yang dipicu karena kurangnya motivasi dan minat (Sue et al., 2013).
Keinginan untuk bunuh diri merupakan ide yang datang sebagai bentuk keinginan
untuk merusak diri pada individu yang depresi.
13
c. Simtom perilaku
Simtom perilaku yang paling terlihat jelas dimiliki oleh penderita gangguan depresi
adalah adanya psychomotor retardation (Oltmans & Emery, 2013). Depresi erat
kaitannya dengan gerakan yang melambat dalam pergerakan fisik maupun berbicara.
Penderita dapat merespon dengan kalimat-kalimat yang singkat. Psychomotor
retardation ini disebabkan oleh karena penderita merasa mudah lelah, lesu,
kurangnya motivasi, dan anhedonia. Anhedonia adalah berkurangnya minat karena
adanya tekanan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Davison & Neale, 2001).
Psychomotor retardation ini menyebabkan penurunan kinerja produktivitas dan tidak
memperhatikan penampilan diri.
d. Simtom somatik
Depresi yang dialami individu berkaitan dengan fungsi fisiologis. Terdapat berbagai
perubahan yang dapat terjadi seperti perubahan berat badan dan perubahan aktivitas
seksual (Sue et al, 2013). Perubahan berat badan dapat naik maupun turun karena
penderita yang depresi dapat makan lebih banyak dari biasanya atau tidak nafsu
makan sama sekali. Depresi juga dapat memengaruhi penuruan minat terhadap
aktivitas seksual.
Selain itu, depresi ditandai dengan adanya gangguan tidur. Gangguan tidur
berhubungan dengan kognitif (Oltmans & Emery, 2013). Individu yang depresi dapat
memikirkan berbagai hal yang membuat diri mereka khawatir dan tidak santai. Hal
tersebut menyebabkan kesulitan tidur dan dapat bangun lebih awal dari biasanya.
e. Delusi
Delusi berkaitan dengan adanya distorsi kognitif pada individu yang mengalami
depresi. Beck (1967) membagi delusi menjadi lima jenis, yaitu delusions of
wothlessness, crime and punishment, nihilistic delusions, somatic delusions, dan
14
delusions of poverty. Bentuk delusi yang dirasakan oleh penderita depresi seperti
adanya kepercayaan bahwa diri tidak berguna, merasa tidak mampu melakukan
berbagai hal, percaya bahwa diri sendiri merupakan iblis, adanya kepercayaan bahwa
sudah mati, merasa dunia kosong, kehilangan organ tubuh, merasa tubuh sudah
membusuk, memiliki kepercayaan bahwa memiliki penyakit yang fatal, dan percaya
bahwa sudah kehilangan berbagai barang.
f. Halusinasi
Halusinasi pada penderita depresi dibuktikan dengan kepercayaan mereka bahwa
mereka sudah bertemu dengan Tuhan, berbicara dengan Tuhan dan malaikat, serta
percaya bahwa ada orang yang berbicara melalui perut mereka.
Berdasarkan beberapa pernyataan mengenai gejala depresi, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat empat simtom utama pada depresi yaitu simtom emosional,
simtom kognitif, simtom perilaku, dan simtom somatis. Individu yang depresi memiliki
perasaan-perasaan negatif pada diri mereka, pemikiran diri yang negatif, perubahan
perilaku yang abnormal, serta munculnya keluhan-keluhan pada kesehatan mereka.
Selain itu, individu yang mengalami depresi juga dapat memiliki simtom tambahan
yaitu berupa delusi dan halusinasi pada diri mereka.
3. Tingkat Depresi
Menurut Diagnostic And Statistic Manual Of Mental Disorder Fifth Edition
(DSM-V) menunjukkan bahwa terdapat tiga tingkat atau level depresi yang terdiri dari
depresi ringan (mild), depresi sedang (moderate), dan depresi berat (severe). Pada level
depresi ringan, individu mengalami gejala distress namun masih dapat dikontrol dan
adanya penurunan aktivitas dan fungsi sosial. Individu yang mengalami depresi pada
level moderate, memiliki penurunan fungsi sosial dan aktivitas yang lebih intens
daripada individu pada depresi ringan. Individu yang memiliki depresi berat lebih
15
banyak mengalami distress dan semakin sulit untuk dikontrol. Selain itu, pada depresi
berat, individu memiliki gejala yang menyolok pada gangguan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari dan interaksi sosial.
Beck (1985) menunjukkan bahwa terdapat tiga level depresi, yaitu depresi ringan
(mild), depresi sedang (moderate), dan depresi berat (severe). Yang membedakan setiap
level depresi tersebut adalah simtom-simtomnya. Berikut simtom depresi berdasarkan
tingkat depresi (Beck, 1985) :
a. Depresi ringan (mild) memiliki simtom-simtom antara lain, perasaan sedih atau
tidak menyenangkan yang berubah-ubah dan masih dapat merespon hal-hal yang
bersifat humor; merasa kecewa dengan diri sendiri; merasa tidak sukacita terhadap
hidupnya namun masih bisa merasa bahagia kembali melalui rekreasi, relaksasi,
atau beristirahat; merasa tidak mendapatkan rasa cinta dari lingkungan sekitar dan
adanya ketergantungan; meningkatnya kecenderungan untuk menangis;
menunjukkan reaksi berlebihan pada kesalahan diri dan mudah untuk
memandangnya sebagai refleksi kekurangan atau ketidaksempurnaan serta
membandingkan diri dengan orang lain; mudah menyalahkan dan mengkritisi diri
sendiri karena standar yang perfect dalam diri; berpikir bahwa penampilan kurang
menarik dan bertambah gemuk; merasa makan tanpa nafsu dan kenikmatan; bangun
beberapa menit atau setengah jam atau satu jam lebih awal dari biasanya;
berkurangnya nafsu seksual yang spontan bahkan terhadap respon seksual. Namun,
dalam beberapa kasus nafsu seksual bisa meningkat dan mudah lelah dari biasanya.
b. Depresi sedang (moderate) memiliki simtom-simtom antara lain, perasaan yang
tidak menyenangkan cenderung lebih sering terucap; penderita sering merasa lebih
buruk pada pagi hari namun dapat cenderung merasa lebih baik pada siang hari;
perasaan yang kuat untuk tidak menyukai dan muak terhadap diri sendiri; merasa
16
bosan sepanjang waktu walaupun sudah melakukan berbagai hal yang disukai; rasa
bosan masih bisa diturunkan dengan liburan; merasa ada “dinding” antara diri
sendiri dengan orang lain sehingga membuat penderita tidak peduli terhadap orang
lain; menangis selama menceritakan masalah; humor atau lelucon hanya membuat
penderita tersenyum namun tidak terhibur karena penderita cenderung membuat
semuanya tampak serius; menilai masa depan tidak menjanjikan; mudah
memikirkan kekurangan dan mengidentifikasikan situasi yang normal sebagai
indikasi kekurangan mereka; suka mengkritik diri sendiri dengan keras dalam
beberapa aspek kepribadian atau perilaku; khawatir dengan penampilan, dan
terkadang mencari jalan melalui operasi plastik untuk dapat mengubah penampilan;
tidak ada lagi nafsu makan dan tanpa sadar adanya penurunan berat badan; bangun
satu jam atau dua jam lebih awal dari biasanya serta merasa tidur kurang
berkualitas; nafsu seksual berkurang banyak dan bisa tergugah bila stimulus dari
luar banyak; dan penderita merasa sudah lelah ketika bangun di pagi hari.
c. Depresi berat (severe) memiliki simtom antara lain, merasa sedih dan sengsara
sepanjang waktu; membenci diri sendiri; semua tampak membosankan dan tidak
memuaskan; penderita merasa kehilangan kelekatan (attachment) sehingga
membuat mereka merasa masa bodoh, mudah menangis dan munculnya “dry
depression”; tidak merespon humor atau lelucon dari orang lain dan terkadang
meresponnya dengan agresif dan merasa terlukai; menilai diri tidak berharga, tidak
layak, dan gagal total; melihat masa depan yang gelap, tidak ada harapan, masalah
tidak akan selesai, dan keadaan tidak semakin membaik; melihat kesalahan dan
mengkritik diri dengan lebih ekstrim sehingga memandang diri sebagai kriminal dan
menginterpretasikan stimulus dari luar sebagai celaan publik; berpikiran bahwa diri
tidak menarik, jelek, dan menjijikan sehingga berpikir orang lain menjauhi diri
17
mereka; penderita memaksa diri mereka makan namun setelah beberapa minggu
mereka kehilangan banyaknya berat tubuh; bangun 4 atau 5 jam lebih awal dan tidak
bisa tidur kembali; hilangnya respon terhadap stimulus seksual; dan sangat lelah
untuk melakukan berbagai hal.
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga tingkat
depresi yaitu depresi ringan, depresi sedang, dan depresi berat. Pada individu yang
mengalami depresi berat memiliki berbagai macam perasaan negatif yang lebih
kompleks yang disertai dengan kesulitan untuk melakukan berbagai macam kegiatan
serta keluhan-keluhan kesehatan lainnya yang lebih berat.
4. Faktor Penyebab Depresi
Depresi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, faktor keturunan (genetik),
biologis, lingkungan di sekitar, dan faktor psikologi (NIMH, 2011). Oltmans dan Emery
(2013) mengemukakan bahwa terdapat tiga penyebab depresi yaitu, faktor biologis,
psikologis, dan sosial. Selain ketiga faktor tersebut, terdapat faktor lain yang dapat
memengaruhi depresi, yaitu faktor sosiokultural (Sue et al, 2013). Berikut adalah
penjelasan setiap faktor penyebab depresi :
a. Faktor Biologis
Salah satu faktor biologis yang menyebabkan depresi adalah genetik (Lau & Eley,
2010 dalam Oltmans & Emery, 2013). Gen memainkan peran yang penting dalam
gangguan suasana perasaan. Gangguan suasana perasaan bersifat poligenik yang
artinya bahwa dipengaruhi oleh gen yang berbeda dan gen ini masing-masing hanya
mengubah resiko untuk gangguan sedikit saja. Genetik saling berkaitan dengan
kejadian stres yang dialami oleh penderita gangguan depresi. Dalam tubuh manusia
terdapat gen pengangkut serotonin (5-HTT) yang masing-masing terdapat dua allele
18
(panjang dan pendek) (Oltmans & Emery, 2013). Individu yang homozigus untuk
allele pendek berisiko tinggi terhadap depresi jika adanya peristiwa yang stressful.
Faktor biologis lain yang menyebabkan depresi adalah adanya disfungsi dalam
neurotransmission dalam otak, perbedaan struktur otak, gangguan tidur (REM), dan
level kortisol yang abnormal (Sue et al., 2013). Bagian otak yang berpengaruh
terhadap depresi adalah amigdala, striatum, hipokampus, dan korteks prefontal
(Pinel, 2009). Individu yang mengalami depresi memiliki metabolisme amigdala
yang tidak normal (Oltmans & Emery, 2013). Amigdala bertanggung jawab
terhadap sirkuit neural yang terlibat dalam emosi (Canli, 2009 dalam Oltmans &
Emery, 2013). Pinel (2009) mengatakan bahwa depresi berhubungan dengan
kurangnya aktivitas pada sinapsis-sinapsis serotogenik dan noradrenergik (teori
monoamin untuk depresi). Individu yang mengalami depresi memiliki serotonin dan
reseptor-reseptor noarepinefrin dalam jumlah yang banyak sehingga menyebabkan
pelepasan monoamin yang defisit. Hal tersebt membuat neurotransmitter dalam
jumlah yang tidak cukup dilepaskan di sebuah sinapsis.
b. Faktor psikologis
Depresi berkaitan dengan kejadian stressful yang terjadi dalam hidup yang
mengakibatkan perubahan terhadap kognitif. Kejadian yang menjadi sumber
stressor tersebut dapat memicu munculnya depresi karena tidak mendapatkan
coping yang tepat. Beberapa kejadian stressful menurut Lejuez, Hopko, Acierno,
Daughters, & Pagoto (2011 dalam Sue et al.,2013) adalah ketidakcukupan social
reinforcement karena pengangguran, cerai, kematian teman, dan keluarga. Kejadian
tersebut dapat memengaruhi kognitif individu karena individu akan memikirkan,
mempersepsi, dan mengingat berbagai peristiwa yang dapat memengaruhi suasana
perasaan. Pada umumnya, individu dapat mengingat berbagai peristiwa yang dapat
19
memunculkan emosi-emosi tertentu sehingga berkesan bagi individu tersebut. Teori
kognitif mengenai asal depresi menegaskan bahwa kegiatan kognitif akan berkaitan
dengan pengalaman yang melibatkan kehilangan, kegagalan, dan kekecewaan
(Oltmans & Emery, 2013). Perspektif kognitif mengemukakan bahwa pikiran
negatif yang pervasif dan persisten memainkan peran sentral dalam onset dan
maintenance depresi selanjutnya setelah pikiran ini diaktifkan oleh pengalaman
peristiwa hidup yang negatif (Gotlib & Joormann, 2010l Mathews & McLeod, 2005
dalam Oltmans & Emery, 2013). Gotlib dan Joorman (2010) menegaskan bahwa hal
tersebut menyebabkan penderita depresi yang memikirkan peristiwa yang tidak
menyenangkan dapat mengalami kesulitan untuk keluar dari pikiran tersebut (sulit
untuk dialihkan) (dalam Oltmans & Emery, 2013).
c. Faktor sosiokultur
Sue et al (2013) mengemukakan bahwa faktor sosiokultur yang memicu munculnya
depresi adalah rendahnya status ekonomi, perbedaan kultur, dan gender.
Lingkungan yang memicu individu dapat mengalami depresi adalah hidup di dalam
komunitas yang memiliki level kemiskinan yang tinggi dan gangguan sosial seperti
kenakalan yang tinggi dan penggunaan obat terlarang (Cutrona et al., 2005 dalam
Sue et al., 2013).
d. Faktor sosial
Faktor sosial yang dapat menyebabkan depresi adalah stres, kurangnya sumber
penghasilan, dan kurangnya dukungan sosial (Sue et al., 2013). Kebutuhan akan
semakin meningkat seiring dengan majunya perkembangan jaman sehingga
kurangnya sumber penghasilan dapat menjadi beban setiap individu. Dukungan
sosial berperan penting untuk melindungi individu ketika mengalami kejadian yang
stressful. Ketika individu mendapat dukungan sosial yang tepat, mereka merasa
20
mendapatkan bantuan dan dapat melakukan coping. Jika dukungan sosial rendah,
maka dapat memicu individu merasakan kurangnya bantuan untuk dapat
memecahkan masalah sehingga munculnya gejala depresi. Salah satu bentuk
dukungan sosial yang paling berperan adalah dukungan sosial dari keluarga karena
keluarga merupakan sumber utama terhadap perlindungan, perawatan, dan
dukungan (Fuhrmann, 1990). Dukungan sosial keluarga dapat membantu individu
untuk menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap stres yang dialami (Holahan &
Moos, 1991 dalam Sue et al., 2013).
Keempat faktor penyebab depresi tersebut saling berinteraksi. Faktor biologis,
psikologis, sosiokultural, dan sosial tidak dapat terpisahkan dan saling terkait. Interaksi
tersebut digambarkan melalui skema seperti dibawah ini :
Gambar
Multipath Model For Depression (Sumber: Sue, D., Sue, D.W., Sue, D., & Sue, S. 2013. Foundations of
Abnormal Behavior 10th Edition. Belmont: Wadsworth Publishing Company.)
Beberapa penelitian membuktikan bahwa depresi dapat dipengaruhi oleh faktor
biologis, psikologis, sosial, dan sosiokultural saling berinteraksi dalam jalur yang
Biological
Dimension
Sociocultural
Dimension
Social Dimension
Psychological
Dimension
DEPRESSION
21
kompleks (NIMH, 2011; Sue et al., 2013). Depresi dapat dialami oleh individu yang
dipengaruhi oleh interaksi dari genetik, kejadian yang stressful, kepribadian, dan
lingkungan yang kurang mendukung. Depresi dapat disebabkan karena adanya interaksi
antara gen dan lingkungan atau faktor lain (Tsuang & Faraone, 1990 dalam NIMH,
2011). Penelitian yang dilakukan oleh Cornwell (2003) yang membuktikan bahwa
lingkungan sosial berpengaruh terhadap depresi yang dialami oleh individu dewasa.
Maka dari itu, individu dewasa memiliki berbagai faktor yang lebih kompleks untuk
memicu depresi.
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa depresi dipengaruhi
oleh empat faktor, yaitu faktor biologis dan keturunan, faktor sosiokultural, faktor
psikologis, dan faktor sosial. Keempat faktor tersebut saling memengaruhi satu dengan
lainnya. Individu yang memiliki kerentanan terhadap depresi karena faktor biologis,
keturunan, serta kepribadian, dapat meningkatkan memungkinan untuk dapat
mengalami depresi jika lingkungan disekitarnya semakin tidak mendukung. Individu
yang mendapat dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dan dukungan
material dapat membantu individu mempertahankan kesehatan mentalnya dalam
menghadapi kejadian yang stressful (Lin, Ye, Ensel, 1999). Namun, jika individu tidak
dapat melakukan coping yang tepat terhadap stress dan tanpa dukungan dari lingkungan
seperti keluarga, teman, dan masyarakat sekitar, maka individu dapat mengalami
depresi. Maka dari itu, penelitian ini berfokus pada pengaruh antara dukungan sosial
keluarga dan depresi.
22
B. Dukungan Sosial Keluarga
1. Pengertian Dukungan Sosial
Beberapa pengertian dukungan sosial :
a. Cohen dan Syme (1985) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan suatu
sumber daya yang disediakan oleh orang lain. Dukungan sosial tersebut dapat
berdampak positif dan negatif sehingga memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan
tergantung pada ketepatan pemberian dukungan sosial. Penerimaan dukungan sosial
memiliki dampak positif yaitu meningkatkan self-esteem dan self-confidence
(Schilling, 1987).
b. Dukungan sosial merupakan suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk
membantu (House & Khan, 1985). Dukungan sosial melibatkan emosi, pemberian
bantuan berupa instrumen dan informasi, serta pemberian penilaian pada individu
yang sedang mengalami masalah.
c. Menurut Pearlin (1985) mengungkapkan bahwa dukungan sosial merupakan suatu
bentuk dukungan terhadap individu yang sedang menghadapi masalah yang meliputi
bentuk pemberian dan penerimaan dari orang lain. Dukungan sosial adalah bentuk
dari hubungan interpersonal yang memerlukan suatu interaksi antara pemberi
dengan penerima (Rudkin, 2003).
d. Smeth (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah suatu hubungan
interpersonal yang memiliki fungsi positif yaitu melindungi penerima dukungan
sosial terhadap konsekuensi dari stress.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial merupakan suatu sumber daya dengan memberikan bantuan dalam
bentuk apresiasi, emosi, informasi, material dan kenyamanan yang disediakan oleh
orang lain sehingga dapat memberi dampak positif dan melindungi individu terhadap
23
konsekuensi negatif dari stress. Dukungan sosial memerlukan interaksi antara pemberi
dengan penerima. Individu yang merasa mendapatkan dukungan sosial yang tepat
merasa dihargai dan diterima.
2. Jenis Dukungan Sosial
Menurut House dan Khan (1985) terdapat empat jenis dukungan sosial, yaitu :
a. Dukungan emosional (emotional support) meliputi empati, perlindungan, perhatian,
dan kepercayaan yang membuat individu merasa nyaman, dimiliki, dan dicintai.
b. Dukungan penghargaan (appraisal support) meliputi dukungan berupa penghargaan
dan feedback atas usaha yang telah dilakukan.
c. Dukungan informasi (informational support) meliputi pemberian nasehat, arahan,
pertimbangan, dan informasi.
d. Dukungan instrumental (instrumental support) meliputi dukungan yang berbentuk
barang atau jasa untuk mempermudah tujuan yang ingin dicapai. Bentuk dukungan
instrumental misalnya adalah waktu, uang, tenaga, pekerjaan, kesempatan, peluang,
dan modifikasi lingkungan.
Wills (1985) mengemukakan bahwa terdapat lima bentuk dukungan sosial
berdasarkan dengan fungsinya, yaitu :
a. Esteem support
Dukungan sosial diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan self-esteem pada
individu yang berperan sebagai penerima dukungan sosial. Dukungan sosial yang
tepat dapat menimbulkan perasaan diterima dan dihargai oleh orang lain sehingga
membuat penerima merasa percaya. Rasa percaya tersebut membuat individu yang
menerima dukungan sosial mampu bercerita tentang masalah yang dihadapi.
Bentuk dukungan yang dapat dilakukan seperti mendengarkan, refleksi atas
24
statement yang diceritakan, pemberian simpati, dan saling bercerita mengenai
pengalaman masing-masing.
b. Informational support
Individu yang sedang menghadapi masalah memerlukan berbagai informasi untuk
dapat memecahkan masalahnya. Dukungan informasi memerlukan proses antara
pemberi informasi dengan penerima informasi. Dalam proses pemberian dukungan
informasi, diperlukan tiga hal, yaitu provide, advice, dan guidance. Pemberi
dukungan sosial berperan sebagai penyedia informasi yang kemudian dapat
memberi nasehat serta membimbing.
c. Instrumental support
Pemberian dukungan instrumen dapat berupa pemberian bantuan barang, jasa,
uang, dan transportasi. Dukungan instrumen diberikan sesuai dengan bantuan yang
diperlukan oleh penerima dukungan.
d. Social companionship
Hubungan sosial dapat memberikan fungsi yang penting bagi penerima dukungan
sosial. Dengan adanya hubungan sosial yang baik dengan orang lain, maka individu
akan merasa diterima dan tidak memunculkan perasaan terkucilkan atau merasa
sendiri. Bentuk social companionship dapat berupa makan bersama, pergi ke suatu
tempat hiburan bersama, dan beberapa aktivitas lain yang dilakukan bersama orang
lain atau orang terdekat.
e. Motivational support
Setiap individu yang menghadapi masalah memerlukan dukungan yang dapat
memberi motivasi untuk dapat memecahkan masalah. Dukungan berupa pemberian
motivasi dapat membuat individu menjadi bersemangat untuk menghadapi
permasalahan.
25
Menurut Rudkin (2003) dukungan sosial dapat membantu individu untuk
melakukan coping terhadap stress melalui respon secara emosional, sehingga terdapat
dua jenis dukungan sosial yaitu emotional support dan tangiable support. Dukungan
emosional mengacu pada pemenuhan kebutuhan emosional setiap individu. Individu
yang memiliki hubungan sosial yang baik dengan orang lain dapat menerima dukungan
emosional sehingga individu tidak merasa sendiri. Gottlieb dan Todd (1985 dalam
Rudkin, 2003) mengemukakan bahwa ketika individu menerima dukungan emosional,
maka dapat memunculkan perasaan dipercayai dan dihargai oleh orang lain. Dampak
positif yang dapat dirasakan adalah meningkatnya kepercayaan diri, harga diri, serta
kemampuan untuk dapat menceritakan masalah yang sedang dihadapi. Selain dukungan
emosional, individu juga membutuhkan tangiable support (dukungan material dan
dukungan informasi). Dukungan material dapat berupa bantuan barang, jasa,
transportasi, dan tempat tinggal. Untuk melakukan coping terhadap stress, individu juga
membutuhkan berbagai macam informasi agar dapat memecahkan masalah secara tepat.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
jenis-jenis dukungan sosial meliputi, dukungan emosional, dukungan penghargaan,
dukungan informasi, dukungan instrumental, dan dukungan motivasi.
3. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial
Faktor yang dapat mempengaruhi dukungan sosial menurut Cohen dan Syme
(1985) antara lain :
a. Penyedia atau pemberi dukungan sosial
Dukungan sosial dapat diberikan oleh satu orang pemberi atau lebih. Setiap individu
dapat menerima dukungan sosial dari keluarga, teman, atau pasangan. Ketepatan
individu atau kelompok pemberi dukungan sosial tergantung pada permasalahan.
26
Misalnya, seorang pegawai dapat lebih termotivasi untuk bekerja jika dukungan
diberikan oleh atasan atau teman kantor daripada teman di luar kantor.
b. Jenis dukungan sosial yang diberikan
Terdapat beberapa jenis dukungan sosial, seperti dukungan emosional, dukungan
informasi, dukungan penghargaan, dan dukungan material. Jenis dukungan sosial
tersebut dapat diberikan berdasarkan kebutuhan yang diperlukan oleh penerima
dukungan sosial. Ketepatan pemberian jenis dukungan sosial tergantung pada situasi
dan person.
c. Penerima dukungan sosial
Dukungan sosial dipengaruhi oleh karakteristik penerima dukungan, seperti
kepribadian, sosial, dan budaya.
d. Permasalahan
Permasalahan setiap individu berbeda-beda sehingga membutuhkan dukungan sosial
yang tidak sama. Ketepatan pemberian dukungan sosial tergantung pada tipe
dukungan yang ditawarkan dan tipe masalah yang ditemui.
e. Waktu pemberian dukungan sosial
Ketepatan pemberian dukungan sosial tergantung pada waktu penerima
membutuhkan dukungan tersebut. Dukungan sosial dapat memberi efek yang
optimal namun dapat juga tidak berpengaruh terhadap penerima dukungan. Jika
pemberian dukungan tidak tepat waktu, maka dukungan tersebut tidak banyak
berpengaruh.
f. Jangka waktu pemberikan dukungan sosial
Terdapat dua jenis jangka waktu pemberian sosial, yaitu jangka waktu pendek dan
jangka waktu yang panjang.
27
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial
dipengaruhi oleh pemberi dukungan sosial, jenis dukungan sosial, penerima dukungan
sosial, permasalahan, dan waktu.
4. Dukungan Sosial Keluarga
Dukungan sosial dapat diperoleh melalui keluarga, teman, pasangan, dan
komunitas (Sarafino, 1998). Salah satu dukungan yang paling berpengaruh terhadap
hidup setiap individu adalah dukungan sosial keluarga. Keluarga merupakan suatu unit
terkecil yang tinggal di dalam satu atap, di dalamnya terdapat kepala keluarga dan
beberapa orang yang berkumpul dan saling membutuhkan satu sama lain. Pada
umumnya, di dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Fuhrmann (1990)
mengatakan bahwa keluarga merupakan sumber utama perlindungan, perawatan, dan
dukungan sehingga memiliki peran yang penting terhadap perkembangan individu.
Peran psikologis keluarga (Megawangi, 1995 dalam Faturochman, 2001) antara lain,
berperan dalam pengembangan personal, berperan sebagai arena menjalin hubungan
dan arena belajar untuk mengembangkan jaringan sosial, dan berperan untuk
mengorganisir, mengontrol, dan memelihara keberlangsungan hidup keluarga. Selain
itu, di dalam keluarga yang ideal terdapat suatu interaksi yang saling memberi feedback
antarnggota keluarga, adanya suatu perlindungan, terdapat penanaman nilai dan perilaku
(Rudkin, 2003). Rudkin (2003) juga mengatakan bahwa keluarga adalah tempat yang
dapat menjadi tujuan ketika individu merasa lelah, sedih, dan terluka. Ketika individu
merasa sedih dan mengalami kejadian yang stressful, mereka biasanya akan kembali
kepada keluarga, meminta bantuan pada keluarga, dan berbagi cerita dengan keluarga.
Dukungan sosial keluarga sangat penting dan bermanfaat karena keluarga
merupakan lingkungan pertama kali yang ditemui oleh individu untuk bertumbuh dan
berkembang. Dukungan sosial keluarga adalah suatu bentuk bantuan yang diberikan
28
oleh anggota keluarga yang lain sehingga akan memberikan kenyamanan fisik dan
psikologis pada individu yang dihadapkan pada situasi stres (Kusuma, 2011). Menurut
beberapa ahli, Brehm dan Kassin (1990) dukungan sosial memiliki pengaruh untuk
melindungi individu dari efek negatif stress, mendukung kesehatan fisik, dan
meningkatkan perasaan positif. Selain itu, Johnson dan Johnson (1991) juga
mengemukakan bahwa salah satu manfaat dukungan sosial adalah meningkatkan
kesejahteraan psikologis. Individu yang menerima dukungan sosial, terutama dukungan
sosial keluarga, merasa diri dihargai, diperhatikan, dicintai, dan merasa bahwa masuk
dalam bagian keluarga (Cobb, 1976 dalam Sarafino,1990). Individu yang memiliki
dukungan sosial yang tinggi dapat menghadapi kejadian yang stressful dengan baik
(Taylor, 1995). Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga
memiliki peran penting untuk membantu individu dalam coping dengan stress yang
dialami, meningkatkan perasaan positif, dan membantu individu untuk memelihara
kesehatan secara mental maupun fisik.
C. Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan
1. Pengertian Narapidana
Menurut Poernomo (1986) narapidana merupakan seorang anggota masyarakat
yang dipisahkan dari lingkungan induknya dalam waktu tertentu dengan sistem
pemasyarakatan. Selama berada pada sistem pemasyarakatan, narapidana berada dalam
lingkungan yang berbeda dengan lingkungan yang pernah dikenal sebelumnya. Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang pemsyarakatan
Pasal 1 ayat 7 mengemukakan bahwa narapidana adalah terpidana yang menjalani
pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Narapidana yang
ditahan di dalam Lapas memiliki keterbatasan ruang gerak karena ketatnya penjagaan
29
dan peraturan yang wajib untuk dipatuhi. Narapidana berbeda dengan tahanan walaupun
tidak sedikit ada tahanan yang juga tinggal di dalam Lapas. Tahanan adalah individu
yang belum diputuskan hukumannya, sehingga masih masih berada dalam proses
pengadilan (Nugrahenny, 1996). Ketika narapidana sudah menyelesaikan masa
hukuman dan melakukan berbagai proses di dalam Lapas, mereka akan kembali kepada
masyarakat yang harus taat pada hukum (Poernomo, 1986).
Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa narapidana
merupakan individu yang sudah terbukti melakukan tindak pidana yang kemudian
diproses secara hukum, dijatuhi hukuman, dan pidana oleh pengadilan.
2. Faktor Penyebab Pelanggaran Hukum
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku melanggar
hukum. Menurut Coleman & Cressey (1987) terdapat tiga penyebab utama individu
dapat melanggar hukum yaitu faktor biologis, faktor sosial, dan faktor kepribadian.
Secara biologis, individu dapat melakukan tindakan kriminal karena adanya faktor
keturunan dan jenis kromosom. Selain itu, faktor sosial yang memengaruhi adalah
faktor kelas sosial, struktur sosial, dan masalah budaya. Feldman (1993)
mengungkapkan bahwa terdapat empat penyebab individu dapat melakukan
pelanggaran hukum, yaitu :
a. Biological factors. Secara biologis, penyebab individu melanggar hukum
adalah perbedaan jenis kelamin, kromosom yang tidak normal (abnormal), dan
adanya faktor keturunan.
b. Individual differences. Penyebab individu dapat melakukan pelanggaran
hukum dipengaruhi oleh kepribadian, tingkat inteligensi, serta gangguan
mental yang sedang dialami.
30
c. Childhood development. Perkembangan masa kanak-kanak individu dapat
memengaruhi munculnya perilaku melanggar hukum. Hal yang dapat
memengaruhi semasa perkembangan kanak-kanak yaitu proses penanaman
moral, pelatihan dimasa perkembangan, proses selama bersekolah, pengaruh
teman sebaya, dan media massa yang mempertontonkan berbagai macam
perilaku kriminalitas.
d. Social economic factors. Faktor sosial dan ekonomi yang dapat memengaruhi
munculnya perilaku pelanggaran hukum adalah pegaruh budaya di tempat
tinggal, komunitas, etnis, dan keadaan ekonomi.
Menurut Nugrahenny (1996) terdapat tiga faktor yang menyebabkan timbulnya
perilaku melanggar hukum antara lain :
a. Faktor biologis
Faktor biologis yang dapat memengaruhi individu untuk melakukan
pelanggaran hukum adalah faktor keturunan atau hereditas. Hereditas
dikendalikan oleh kromosom yang ada dalam tubuh individu.
b. Faktor sosiologis
Faktor sosiologis yang memengaruhi individu melakukan pelanggaran hukum
adalah kondisi ekonomi yang menyebabkan kemiskinan, diskriminasi,
pengesampingan norma lama, dan hidup dalam lingkungan yang menganggap
bahwa pelanggaran hukum adalah hal yang biasa.
c. Faktor psikologis
Faktor psikologis yang memengaruhi individu melakukan pelanggaran
hukum adalah kepribadian. Kepribadian yang tidak adekuat dan adanya
gangguan moral tertentu memunculkan perilaku pelanggaran hukum.
31
Berdasarkan berbagai pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berbagai
faktor saling terkait sehingga memunculkan perilaku pelanggaran hukum. Faktor-faktor
yang dapat memengaruhi perilaku pelanggaran hukum yaitu faktor biologis, faktor
psikologis, faktor perkembangan semasa masih kanak-kanak, faktor sosial, dan faktor
ekonomi.
3. Lembaga Pemasyarakatan
Menurut Sahardjo (1963) mengemukakan bahwa pidana penjara memiliki tujuan
untuk menimbulkan rasa derita bagi terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak
dan membimbing narapidana semakin lebih baik (dalam Riyadin, 2012). Tujuan
dimasukannya individu yang melanggar hukum ke dalam penjara adalah untuk
mendapat bimbingan dan didikan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 2, sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai
arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan
masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.
Terdapat dua kategori penjara di Indonesia, yaitu Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan). Menurut Peraturan Pemerintahan No 27 Tahun
1983, Rutan merupakan tempat tersangka atau terdakwa yang ditahan selama proses
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Lapas adalah suatu
tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman
penjara (narapidana) berdasarkan keputusan pengadilan (Noorsifa, 2013). Lapas
32
merupakan tempat yang membuat narapidana akan kehilangan otonomi, menjalankan
kehidupan yang terbatas, dan berkumpul dengan orang baru yang tidak diinginkan
sehingga secara kumulatif (Charlotte & Jane, 2012 dalam Noorsifa, 2013).
Sistem pemasyarakatan memiliki tugas utama untuk membimbing dan membina
narapidana supaya dapat mencapai keberhasilan peranan negara mengeluarkan
narapidana kembali menjadi anggota masyarakat (Poernomo, 1986). Kegiatan
pembinaan yang dilakukan berupa bimbingan mental, sosial, ketrampilan, pemeliharaan
rasa aman dan damai, perawatan kesehatan, seni, dan budaya. Menurut Poernomo
(1986) terdapat dua arah bimbingan pokok yaitu :
a. Membina pribadi narapidana agar menaati hukum dan tidak melakukan
kejahatan.
b. Membina narapidana agar dapat masuk ke dalam lingkungan masyarakat dan
dapat diterima oleh masayarakat kembali.
Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) merupakan suatu tempat atau lingkungan untuk membina dan
mendidik narapidana supaya menjadi lebih baik, tidak mengulangi kesalahan, dan dapat
diterima kembali oleh masyarakat. Di dalam Lapas, narapidana diberi keterbatasan
ruang gerak serta terdapat pengawasan yang ketat sehingga lingkungan di dalam Lapas
jauh berbeda dengan lingkungan di luar Lapas.
4. Sumber Stressor pada Narapidana
Perubahan status menjadi narapidana bukan hal yang mudah untuk dijalani dan
terima. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana memiliki berbagai macam
stressor yang menekan. Stressor yang tidak mendapatkan coping secara tepat dapat
menimbulkan keadaan yang semakin memburuk sehingga membuat narapidana dapat
mengalami berbagai macam penyakit kesehatan mental, misalnya gangguan
33
kepribadian, efek dari ketergantungan pada obat terlarang/alkoho, kecemasan, depresi
(Skegg&Cox, 1993 dalam Liebling, 1999), dan gangguan tidur (Elger, 2004).
Alison Liebling (1999) menemukan bahwa depresi merupakan salah satu
penyebab narapidana dapat berpikir untuk bunuh diri sampai melakukan tindakan bunuh
diri. Selain itu, gangguan tidur yang dialami oleh narapidana juga berawal dari
penyalahgunaan obat terlarang, depresi, dan kecemasan (Elger, 2004). Berbagai
gangguan kesehatan mental dipicu oleh stress yang dialami oleh narapidana. Douglas,
Plugge, dan Fitzpatrick (2009) menemukan bahwa perubahan kondisi menjadi
narapidana membuat narapidana menjadi kaget dan ketakutan. Hal tersebut disebabkan
karena adanya ketakutan terhadap hukuman penjara yang akan mereka jalani. Hukuman
di penjara membuat narapidana jauh dari keluarga dan kehilangan kontrol terhadap
kehidupan mereka. Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan juga dapat menjadi sumber
stressor bagi narapidana karena efek dari kurangnya aktivitas dan isolasi (Nurse,
Woodcock, & Ormsby, 2003). Beberapa sumber stressor pada narapidana menurut
Alison Liebling (1992 dalam Liebling, 1999) antara lain :
a. Latar belakang yang dimiliki sebelum menjadi narapidana, misalnya
pengalaman yang tidak menyenangan sewaktu bersekolah (bullying), masalah
keluarga (kekerasan dalam keluarga dan perilaku menyakitkan dalam
keluarga), dan ketergantungan pada obat terlarang.
b. Pengalaman selama berada di penjara, misalnya tidak aktif di sel, tidak
mampu untuk mengurangi kejenuhan di dalam penjara, teman sesama
narapidana yang sedikit, kesulitan untuk berhubungan dengan narapidana lain,
tidak disiplin, masalah kesehatan, dan merasa tidak ada harapan.
34
c. Keterbatasan dalam berhubungan dengan keluarga dan orang lain, misalnya
jarang dikunjungi oleh keluarga atau orang lain, jarang menulis surat untuk
keluarga atau orang lain, serta kerinduan pada keluarga.
Terdapat beberapa perbedaan sumber stressor pada narapidana wanita dan pria.
Douglas, Plugge, dan Fitzpatrick (2009) menemukan bahwa narapidana wanita
memiliki ketakutan karena jauh dari keluarga dan teman, kekhawatiran terhadap
pengasuhan anak-anak, ketakutan terhadap bullying dan kekerasan dari narapidana lain,
kehilangan autonomi pada diri sendiri karena harus mengikuti berbagai peraturan
sebagai narapidana, dan kehilangan kontak dengan orang yang berada di luar penjara.
Selain itu, ketidakbersihan fasilitas juga dapat menjadi stressor bagi narapidana wanita.
Woolredge (1999 dalam Picken, 2012) menemukan bahwa terdapat tiga penyebab
utama narapidana dapat mengalami depresi, kecemasan, dan stress, yaitu penurunan
tingkat aktivitas, kunjungan dari keluarga atau orang lain yang sedikit disetiap
bulannya, dan menjadi korban penyerangan di penjara.
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
berbagai macam sumber stressor pada narapinda, yaitu perubahan lingkungan,
ketakutan terhadap status narapidana, ketakutan terhadap berbagai hal negatif yang
dapat terjadi secara tiba-tiba, aktivitas yang menurun, berada jauh dari keluarga, jarang
dikunjungi, dan kekhawatiran terhadap anggota keluarga lain.
D. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga
dengan Depresi pada Narapidana
Depresi dapat disebabkan karena terjadinya peristiwa yang stresful dan bertubi-tubi
dalam jangka waktu yang lama. Hale (1997) mengemukakan bahwa depresi muncul akibat
35
dari stressor yang tidak diatasi dengan tepat dan memunculkan emosi negatif yang terus
menerus. Sumber stressor tersebut meliputi lingkungan, perubahan hidup, keluarga,
penyakit, masyarakat, pekerjaan, keputusan, bentuk fisik, dan hukuman (Charlesworth &
Nathan dalam Schafer, 2000). Selain itu, Wills (1985) menemukan bahwa sumber stressor
meliputi kesulitan berhubungan dengan orang lain, adanya masalah dengan legal system,
pertikaian dengan orang lain, pekerjaan, penyakit serius, dan pendapatan yang rendah.
Stress memiliki beberapa konsekuensi yaitu rendahnya harga diri dan persepsi self-efficacy
yang rendah sehingga diperlukan dukungan sosial untuk mengurangi efek stres tersebut
(Wills, 1985).
Setiap individu dapat mengalami depresi. Salah satu individu yang rentan mengalami
depresi dan stress adalah narapidana (Birmingham, 2004; Gunter, 2004; Drapalski,
Youman, Stuewig, & Tangney, 2009; Lafortune, 2010 dalam Ahmad & Mazlan, 2014).
Penyebab narapidana dapat mengalami depresi adalah karena terdapat stressor yang berat.
Salah satu sumber stressor adalah menjalani suatu proses hukuman atau sedang dihukum
(Charlesworth & Nathan dalam Schafer, 2000). Bagi narapidana, proses dalam menjalani
suatu bentuk hukuman merupakan salah satu sumber stressor yang berat. Penyebab lain
yang menimbulkan depresi pada narapidana adalah merasakan dan menjalani berbagai
kejadian yang tidak diinginkan atau tidak menyenangkan. Hal tersebut dibuktikan oleh
hasil penelitian Dean, Kolody, dan Wood (1990) yang membuktikan bahwa salah satu
penyebab depresi adalah munculnya kejadian yang tidak menyenangkan atau tidak
diinginkan. Narapidana juga harus menjalani berbagai perubahan dan penyesuaian
terhadap lingkungan yang baru. Terdapat dua penyesuaian yang harus dilalui oleh
narapidana yaitu penyesuaian terhadap perubahan peran dan penyesuaian terhadap
perubahan lingkungan (Nugrahenny, 1996). Berbagai perubahan peran tersebut antara lain,
tersangka, tahanan, terdakwa, terpidana, dan narapidana. Perubahan lingkungan yang
36
dialami narapidana adalah perubahan dari lingkungan yang bebas tanpa banyaknya batasan
yang kemudian berubah menjadi lingkungan penajara yang memiliki banyak aturan dan
batasan sehingga menjauhkan narapidana dari dunia luar (Nugrahenny, 1996). Semua
bentuk perubahan lingkungan dan peran memicu munculnya stress dan depresi pada
narapidana. Hal tersebut diperkuat oleh hasil beberapa peneliti yang menunjukkan bahwa
perubahan kondisi lingkungan dan lingkungan yang stressful merupakan salah satu stressor
(Sehnert, 1981; Smeth, 1994 ). Nurse, Woodcock, dan Ormsby (2003) dalam penelitiannya
membuktikan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada narapidana adalah
isolasi, penurunan aktivitas, obat-obatan, hubungan yang negatif antara narapidana dengan
staff, bullying, dan menurunnya hubungan dengan keluarga.
Suto dan Arnaut (2010) melakukan penelitian pada 24 narapidana di United States
dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian tersebut adalah salah satu gangguan
mental yang dialami oleh narapidana adalah depresi. Simtom depresi yang paling banyak
dialami oleh narapidana antara lain, perasaan negatif, berpikiran depresi, merasa tidak
memiliki harapan, merasa sendiri, dan merasa malu atau bersalah pada tindak kriminal
yang telah dilakukan. Narapidana yang depresi cenderung murung dan putus asa terhadap
masa depan mereka. Keadaan terkurung dan jauh dari dunia luar membuat narapidana
merasa jauh dan susah berkomunikasi dengan banyak orang terutama dengan keluarga
(Suto & Arnaut, 2010).
Keller dan Nesse (2006) menemukan bahwa salah satu gejala depresi adalah
munculnya kebutuhan dukungan sosial yang tinggi. Ketika individu sedang mengalami
masalah, individu merasa membutuhkan orang lain untuk saling bercerita sehingga
diperlukan dukungan sosial yang tinggi dari lingkungan sekitar. Individu yang memiliki
faktor biologis dan psikologis yang rentan terhadap depresi dapat semakin dipicu dengan
permasalahan atau kejadian stressful (Oltmans & Emery, 2013). Maka dari itu, ketika
37
individu sedang mengalami kejadian yang stressful diperlukan dukungan sosial terutama
dukungan sosial keluarga. Sementara itu, dukungan sosial dapat memberi dampak positif
dan negatif (Cohen & Syme, 1985; Lindquist, 2000). Dukungan sosial yang tepat dapat
memberi dampak positif dan sebaliknya bila pemberian dukungan sosial tidak tepat dapat
memberi dampak negatif. Dukungan sosial penting untuk diberikan pada narapidana
karena menurut Schilling (1987) dukungan sosial yang diberikan secara langsung maupun
tidak langsung dapat melindungi individu dari gangguan kesehatan dan gangguan mental.
Smeth (1994) juga menunjukkan bahwa dukungan sosial yang tepat dapat memengaruhi
kesehatan dan melindungi dari efek negatif stressor yang berat. Narapidana yang menerima
dukungan sosial secara tepat dapat melihat situasi yang penuh stres bukan hal yang berat
karena mereka merasa bahwa ada orang lain yang akan membantu.
Dukungan sosial yang tepat juga diperlukan oleh narapidana karena berbagai
perubahan yang harus dilalui oleh narapidana. Penelitian yang dilakukan Muntaha (2003)
mengungkapkan bahwa dukungan sosial yang rendah dapat memicu depresi pada
narapidana. Menurut Suto dan Arnaut (2010) mengemukakan bahwa dukungan sosial yang
rendah berpengaruh terhadap peningkatan keinginan untuk bunuh diri pada narapidana.
Dukungan sosial yang rendah membuat narapidana merasa sendiri dan tidak memiliki
harapan karena merasa bahwa tidak ada yang dapat membantu segala permasalahan
mereka. Dukungan sosial tersebut bisa berasal dari keluarga, teman di luar penjara, teman
di dalam penjara, dan petugas di dalam penjara. Salah satu bentuk dukungan sosial yang
diperlukan oleh narapidana yang depresi adalah dukungan sosial keluarga. Hal tersebut
diperkuat dengan hasil penelitian Wetzel dan Redmond (1980) yang membuktikan bahwa
rendahnya dukungan sosial keluarga dapat menyebabkan depresi. Narapidana yang
kehilangan atau kekurangan suatu keintiman dengan keluarga dapat membuat narapidana
depresi berpikir untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri (Suto & Arnaut, 2010).
38
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah hubungan negatif antara
dukungan sosial keluarga dengan depresi pada narapidana. Semakin tinggi dukungan sosial
keluarga maka semakin rendah depresi pada narapidana. Sebaliknya, semakin rendah
dukungan sosial keluarga maka semakin tinggi depresi pada narapidana.
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel tergatung
(dependen) dan variabel bebas (independen). Kedua variabel tersebut yaitu :
Variabel tergantung : Depresi
Variabel bebas : Dukungan sosial keluarga
Definisi kedua variabel di atas adalah sebagai berikut :
1. Depresi adalah gangguan suasana perasaan yang ditandai dengan adanya perubahan
pada suasana perasaan, penurunan level aktivitas, kemampuan kognitif yang menurun
sehingga memunculkan pikiran untuk merusak diri. Depresi diukur dengan
menggunakan skala Beck Depression Inventory II. Beck (1967) mengatakan bahwa
depresi adalah suatu perubahan yang spesifik terhadap suasana perasaan, vegetatif, dan
level kegiatan sehari-hari, konsep diri yang negatif, dan adanya keinginan untuk
menghukum diri sendiri. Skala terdiri dari 21 kategori yang mencakup aspek afeksi,
kognitif, dan perilaku. Semakin besar skor total yang diperoleh maka menunjukkan
bahwa tingkat depresi yang dialami semakin tinggi. Sebaliknya, semakin kecil skor
yang diperoleh, maka menunjukkan semakin rendahnya tingkat depresi.
2. Dukungan sosial keluarga didefinisikan sebagai suatu bentuk bantuan yang diterima
dari lingkungan keluarga kepada individu (narapidana) yang berupa dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi.
40
Dukungan sosial keluarga diukur dengan menggunakan skala dukungan sosial yang
mengacu pada teori House dan Kahn (1985) yang memiliki aspek berupa dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan informatif, dan dukungan instrumental.
Skor yang diperoleh menunjukkan tinggi rendahnya dukungan sosial keluarga. Semakin
besar skor yang diperoleh menunjukkan tingkat dukungan sosial keluarga yang tinggi.
Sebaliknya, semakin kecil skor yang diperoleh maka semakin rendah tingkat dukungan
sosial keluarga.
B. Subjek Penelitian
Subjek pengukuran psikologi adalah manusia yang secara fitra memiliki kehendak
dan dapat memilih perilakunya (Azwar, 2012). Subjek pada penelitian ini adalah
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan IIA Wirogunan Yogyakarta. Subjek bukan
merupakan tahanan dan bukan narapidana kasus narkoba. Penetapan subjek ini
dikarenakan narapidana merupakan sekelompok individu yang rentan terhadap depresi
karena harus menjalani masa hukuman serta tidak dapat melakukan segala aktivitas secara
bebas. Pemilihan narapidana yang tidak berkasus narkoba karena narapidana yang
berkasus narkoba diasumsikan dapat melakukan faking good yang tinggi dan berada dalam
pengaruh obat terlarang daripada narapidana lainnya. Selain itu, peneliti berasumsi bahwa
narapidana jauh dari lingkungan dan jangkauan keluarga. Subjek juga minimal
berpendidikan SMP dan sudah menjalani minimal 2 bulan masa pidana.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Alat pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah menggunakan skala psikologi. Skala psikologi adalah
41
kumpulan aitem yang telah ditulis dengan mengikuti kaidah penulisan aitem dan telah
disusun berdasarkan indikator keperilakuan (Azwar, 2012). Menurut Azwar (2012) aitem
berasal dari bangunan konstrak teoretik yang telah diuraikan dalam beberapa indikator
perilakuan yang jelas identifikasi dan definisi secara operasional. Peneliti menggunakan
dua skala, yaitu skala Beck Depression Inventory II untuk mengukur depresi dan skala
dukungan sosial keluarga untuk mengukur tingkat dukungan sosial keluarga.
D. Instrumen Pengukuran
Dua skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Beck Depression Inventory II
Beck Depression Inventory disusun oleh Aaron Beck (Beck, 1967). Skala ini
digunakan untuk mengukur tingkat depresi individu yang dapat diidentifikasi
menjadi empat level depresi yaitu, normal, depresi ringan (mild), depresi sedang
(moderate), dan depresi berat (severe). BDI-II merupakan skala pengembangan
dari BDI-I. BDI-II dikembangkan pada tahun 1996 dan ada beberapa perbedaan
yaitu, pada BDI-II dicantumkan waktu (selama 2 minggu terakhir) dan mengacu
pada DSM-IV. Perbedaan lain juga terdapat pada aitem yang dihilangkan dan
ditambahkan (Groth-Marnat, 2010). Aitem yang ditambahkan adalah agitasi,
perasaan kurang berharga, kehilangan energi, dan sukar berkonsentrasi
sedangangkan aitem yang dihilangkan adalah penyimpangan citra tubuh,
kemunduran dalam bekerja, penurunan berat badan, dan preokupasi somatisasi.
Maka dari itu, aitem dalam skala ini berjumlah 21 yang terdiri dari beberapa
pernyataan yang bisa dipilih oleh subjek. Aitem-aitem tersebut merupakan 21
kategori simtom di dalam BDI yaitu kesedihan, pesimis, kegagalan masa lalu,
42
kehilangan gairah, perasaan bersalah, perasaan dihukum, tidak menyukai diri
sendiri, mengkritik diri sendiri, pikiran-pikiran atau keinginan bunuh diri,
menangis, gelisah kehilangan minat, sulit mengambil keputusan, merasa tidak
layak, kehilangan tenaga, perubahan pola tidur, mudah marah, perubahan selera
makan, sulit berkonsentrasi, capek atau kelelahan, dan kehilangan gairah seksual.
Skala ini tidak dilakukan uji coba karena merupakan skala yang sudah memiliki
reliabilitas yang tinggi. Skala BDI-I memiliki koefisien biserial dari Pearson
sebesar 0,65 pada penelitian pertama dan koefisien biserial dari Pearson sebesar
0,67 pada penelitian kedua (Beck, 1985). Uji reliabilitas BDI-I menggunakan
reliabilitas belah dua antara nomer genap dan ganjil yang menunjukkan koefisien
reliabilitas dengan Pearson sebesar 0,86 dan koefisiean reliabilitas Spearman-
Brown sebesar 0,93 (Beck 1985). Skala BDI-II yang digunakan dalam penelitian
ini adalah skala BDI-II versi bahasa Indonesia yang memiliki reliabilitas Alpha
dari Cronbach sebesar 0,90 (Ginting, Naring, Veld, Srisayekti, & Becker, 2013).
Skala BDI-II ini diadaptasi dari skala BDI-II versi Indonesia dari Hasanat (2015).
Skor dari pernyataan tersebut terdiri dari 0, 1, 2, dan 3. Pada beberapa pernyataan
terdapat label a dan b untuk menunjukkan pernyataan tersebut memiliki skor
yang sama. Skor-skor yang diperoleh kemudian dijumlahkan dan disesuaikan
dengan tingkat depresi. Berikut adalah tabel tingkat depresi BDI (Groth-Marnat,
2003) :
Tabel 1
Tingkat Depresi Beck Depression Inventory
Skor BDI Tingkat Depresi
0 – 13 Normal
14 – 19 Depresi Ringan (Mild)
20 – 28 Depresi Sedang (Moderate)
29 – 63 Depresi Berat (Severe)
< 4 Faking good atau kemungkinan untuk denial of
depression
43
b. Skala Dukungan Sosial Keluarga
Skala Dukungan Sosial Keluarga digunakan untuk mengkur tinggi dan rendahnya
dukungan sosial keluarga terhadap subjek. Skala ini mengacu pada konsep
dukungan sosial keluarga House dan Kahn (1985). Aspek-aspek pada skala
dukungan sosial keluarga berupa dukungan emosional, dukungan penilaian atau
umpan balik, dukungan instrumental, dan dukungan informasi. Dukungan
emosional meliputi empati, cinta, kasih sayang, perhatian, mendengarkan,
kepercayaan, dan penghargaan; dukungan penilaian meliputi penilaian pada
prestasi, umpan balik, dan peranan sosial; dukungan informasi meliputi
pemberian nasehat, arahan atau petunjuk untuk pemecahan masalah, dan saran;
dukungan instrumental meliputi dukungan berupa barang, jasa, uang dan waktu.
Berikut adalah tabel aspek dan indikator skala dukungan sosial keluarga :
Tabel 2
Blue Print Skala Dukungan Sosial Keluarga
No. Aspek Indikator Bobot
1. Dukungan Emosional a. Empati
b. Cinta dan kasih
sayang
c. Perhatian
d. Mendengarkan
e. Kepercayaan
f. Esteem
29,3 %
2. Dukungan Informasi a. Pemberian
nasehat dan
saran
b. Mendapat
informasi yang
dibutuhkan
c. Pemecahan
masalah
20,7 %
3. Dukungan Penilaian a. Penilaian pada
prestasi
b. Umpan balik
c. Peranan sosial
24,1 %
4. Dukungan Instrumental a. Barang dan
jasa
b. Waktu
25,9 %
Total 100 %
44
Skala ini terdiri dari 58 pernyataan yang setiap pernyataannya memiliki empat
pilihan jawaban yang sudah disediakan yaitu, sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak
sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Skor pada pilihan jawaban terdiri dari
4, 3, 2, dan 1. Pernyataan disajikan dalam bentuk pernyataan favorable dan
unfavorable. Pernyataan favorable yaitu suatu pernyataan yang memihak pada
objek ukur sedangkan pernyataan unfavorable ialah pernyataan yang tidak
memihak pada objek ukur (Azwar, 2013). Pada aitem favorable, jawaban SS
diberi skor 4, S diberikan skor 3, TS diberikan skor 2, dan STS diberikan skor 1.
Pada aitem unfavorable, jawaban SS diberikan skor 1, S diberikan skor 2, TS
diberikan skor 3, dan STS diberikan skor 4. Sebaran aitem Skala Dukungan Sosial
Keluarga yang akan diuji coba dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3
Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial Keluarga Sebelum Uji Coba
No
. Aspek
Aitem Jumla
h Favorable Unfavorable
1
Dukungan
Emosional
1,5,13,17,25,33,41,42,50,
53
9,21,29,37,43,47,5
6 17
2
Dukungan
Informasional 2,10,14,18,26,44 6,22,30,34,38,48 12
3
Dukungan
penilaian/ump
an balik 3,15,19,27,35,39,57
7,11,23,31,45,51,5
4 14
4
Dukungan
instrumental 4,8,20,28,36,46,49,55
12,16,24,32,40,52,
58 15
Jumlah 31 27 58
E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Validitas dan reliabilitas merupakan dua syarat yang harus dimiliki oleh sebuah alat
ukur. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan dan kecermatan sebuah
alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Azwar (2013) mengatakan bahwa alat ukur
memerlukan pengujian validitas untuk mengetahui apakah skala mampu menghasilkan
45
data yang akurat sesuai dengan tujuan alat ukur. Alat ukur dapat dikatakan sahih apabila
mampu mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan (Hadi, 1991). Validitas terbagi
menjadi beberapa macam, yaitu validitas isi, validitas konstrak, dan validitas berdasar
kriteria (Azwar, 2012). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi
(content validity), yaitu validitas yang diestimasi melalui analisis rasional atau profesional
judgement untuk melihat kelayakan atau relevansi isi tes (Azwar, 2012). Professional
judgement untuk Skala Dukungan Sosial Keluarga berasal dari dosen pembimbing
penelitian ini.
Reliabilitas diartikan sebagai suatu stabilitas alat ukur atau konsistensi. Menurut
Azwar (2013) pengertian reliabilitas mengacu pada konsistensi alat ukur yang mengandung
makna seberapa tinggi kecermatan pengukuran. Reliabilitas suatu alat ukur menunjukkan
bahwa alat ukur tersebut memiliki kemantapan, keajegan, atau stabilitas (Hadi, 1991). Uji
reliabilitas menggunakan koefisien Alpha dari Cronbach. Koefisien reliabilitas berada pada
rentang 0 sampai 1,00. Semakin angka koefisien mendekati 1,00 maka pengukuran
semakin reliabel (Azwar, 2013).
F. Metode Pengolahan Data
Metode analisis data penelitian ini menggunakan analisis statistik. Analisis statistik
yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan
depresi pada narapidana adalah dengan teknik korelasi product moment dari Pearson
karena data berbentuk skor dan mencari hubungan antara 2 variabel. Untuk memenuhi
syarat analisis, sebelum dilakukan uji hipotesisi, perlu dilakukan uji asumsi yang terdiri
dari uji normalitas dan uji linearitas. Keseluruhan pengolahan data pada penelitian ini
menggunakan program IBM SPSS (Statistical Package for Social Science ) 19.0 Statistic
for Windows.
46
BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL ANALISIS
A. Orientasi Kancah
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas
II A Yogyakarta yang berlokasi di Jalan Tamansiswa Nomor 6 Yogyakarta. Lembaga
Pemasyarakatan ini dikenal dengan LP Wirogunan. Jumlah narapidana yang ada dalam
Lapas Wirogunan sebanyak kurang lebih 400 orang. Jumlah tersebut dapat berubah
sewaktu-waktu karena setiap harinya terdapat narapidana yang masuk dan keluar sehingga
jumlah narapidana tidak selalu sama dan tetap dari waktu ke waktu.
Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan memiliki visi dan misi. Visi Lapas Wirogunan
adalah mengedepankan Lembaga Pemasyarakatan yang bersih, kondusif, tertib, dan
transparan dengan dukungan petugas yang berintegritas dan berkompeten dalam
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Warga Binaan Pemsyarakatan atau
WBP merupakan sebutan untuk narapidana di Lapas Wirogunan. Misi dari Lapas ini
adalah :
2. Mewujudkan tertib pelaksanaan tupoksi Pemasyarakatan secara konsisten dengan
mengedepankan penghormatan terhadap hukum dan HAM serta transparansi publik.
3. Membangun kerja sama dengan mengoptimalkan keterlibatan stake holder dan
masyarakat dalam upaya pembinaan WBP.
4. Mendayagunakan potensi sumber daya manusia petugas dengan kemampuan
penguasaan tugas yang tinggi dan inovatif serta berakhlak mulia.
47
Lapas Wirogunan memiliki 7 (tujuh) blok yaitu blok A, C, D, E, F, G, dan H. Blok A
diperuntukkan sebagai blok pengamanan bagi tahanan TNI dan Polri, blok C
diperuntukkan bagi narapidana wanita, blok D sampai G diperuntukkan narapidana
berkasus kriminal, sedangkan blok H diperuntukkan bagi narapidana dengan kasus korupsi.
Narapidana yang ditemui telah melakukan tindakan yang tidak mematuhi peraturan selama
di Lapas (misal, berkelahi dan membuat keributan) dapat dimasukkan ke dalam sel khusus
sehingga narapidana tersebut tidak diperbolehkan untuk keluar dan melakukan berbagai
aktivitas di luar sel dalam jangka waktu tertentu.
Terdapat 2 (dua) macam pembinaan pokok yang diberikan oleh Lapas Wirogunan,
yaitu pembinaan dalam hal kepribadian dan kemandirian. Pembinaan kepribadian meliputi
pembinaan secara jasmani, rohani, intelektual, dan kesehatan. Pembinaan kemandirian
terdiri dari dua hal pokok yaitu pembinaan bakat dan ketrampilan yang meliputi pelatihan
kerja, kegiatan yang menunjang produktivitas, serta pembekalan kerja. Pembinaan secara
jasmani terdiri atas perawatan kesehatan dan balai kesehatan. Pembinaan dalam bidang
kerohanian dengan menyediakan fasilitas ruang ibadah serta mendatangkan ahli agama.
Pelatihan kerja yang diberikan oleh Lapas Wirogunan meliputi pelatihan pembuatan
mebel, sablon, menjahit, membatik, membuat sepatu, membuat keset, dan merajut.
Terdapat lima sasaran utama terhadap pembinaan dan pembimbingan di Lapas
Wirogunan yaitu antara lain :
1. Meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Meningkatkan kualitas intelektual
3. Meningkatkan kualitas sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik
4. Meningkatkan ketrampilan dan profesionalisme
5. Meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani
48
Pembinaan-pembinaan diupayakan untuk diberikan kepada narapidana dengan harapan
dapat mencapai suatu tujuan yang positif serta dapat mempersiapkan narapidana agar dapat
diterima kembali di tengah masyarakat ketika sudah menyelesaikan masa hukuman.
Keberhasilan dari pembinaan tersebut dapat dilihat melalui dua sisi yaitu dari sisi
pembianaan dan keamanan. Keberhasilan dari sisi pembinaan ditunjukkan dengan
penurunan jumlah narapidana residivis sedangkan dari sisi keamanan ditunjukkan dengan
tidak adanya narapidana yang melarikan diri.
Pembinaan untuk narapidana ditunjang dengan berbagai fasilitas yang telah
disediakan oleh Lapas Wirogunan. Fasilitas-fasilitas tersebut meliputi ruang kesehatan,
dokter, perpustakaan, koperasi, tempat ibadah, lapangan, dapur, toilet, ruang bermusik, alat
musik, ruang konsultasi serta bengkel kerja. Walaupun sudah terdapat ruang konsultasi,
namun beberapa tahun terakhir Lapas Wirogunan belum memiliki Psikolog. Hal tersebut
disebabkan oleh Psikolog yang sebelumnya dimutasi ke luar Pulau Jawa.
Narapidana yang berada di Lapas Wirogunan memiliki kesempatan untuk dapat
dikunjungi oleh keluarga, teman, maupun orang lain. Jadwal layanan kunjungan di Lapas
Wirogunan adalah setiap hari Senin, Rabu, Kamis, dan Sabtu. Prosedur untuk berkunjung
adalah dengan mengambil nomor antrian dan daftar registrasi. Setelah mendapat panggilan
dari petugas, pengunjung harus melakukan pemeriksaan barang dan badan dan kemudian
dapat bertemu dengan narapidana yang ingin ditemui. Pertemuan antara narapidana dengan
keluarga diberi waktu selama 30 menit dengan pengawasan dari petugas keamanan yang
berjaga di ruang pertemuan.
49
B. Prosedur Penelitian
1. Persiapan Penelitian
a. Pengurusan Izin. Proses perizinan dimulai dengan pembuatan surat izin dari Dekan
Fakultas Psikologi UGM yang ditujukan kepada Kepala Biro Administrasi
Pembangunan Setda DIY, Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM
DIY, dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan IIA Wirogunan Yogyakarta. Setelah
mendapat tiga surat pengantar, peneliti memasukan surat pengantar beserta proposal
kepada Kepala Biro Administrasi Pembangunan Setda DIY yang berlokasi di
Komplek Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta. Kepala Biro Administrasi
Pembangunan Setda DIY memberikan surat ijin penelitian yang ditujukan kepada
Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM, Kepala Lembaga
Pemasyarakatan IIA Wirogunan Yogyakarta, serta Wakil Dekan Bidang Akademik
dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi Yogyakarta. Setelah itu, peneliti
mengantarkan surat perijinan dari Dekan Fakultas Psikologi UGM dan surat
perijinan dari Kepala Biro Administrasi Pembangunan Setda DIY kepada Kepala
Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM DIY. Tiga hari kemudian, peneliti
mendapat surat perijinan dari Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM
DIY dan menyerahkannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan IIA Wirogunan
Yogyakarta yang disertai surat ijin dari Kepala Biro Administrasi Pembangunan
Setda DIY dan surat ijin dari Dekan Fakultas Psikologi UGM. Empat hari kemudian,
peneliti datang ke Lapas IIA Wirogunan Yogyakarta dan dibawa ke BIMASWAT
(Bimbingan Pemasyarakatan dan Perawatan) untuk mendiskusikan penelitian
sebelum melakukan uji coba.
b. Pelaksanaan Uji Coba Alat Ukur. Dua hari sebelum dilakukan uji coba, peneliti
berdiskusi dengan staff lapas mengenai karakteristik subjek yang diperlukan untuk
50
penelitian. Untuk mempermudah penentuan subjek, staff memberikan ijin peneliti
untuk melihat data narapidana dan memilih narapidana yang akan ikut untuk
pengisian skala uji coba. Uji coba alat ukur berlangsung dalam satu hari dengan
meminta staff untuk “mengebon” 20 narapidana wanita dan 18 narapidana laki-laki
untuk mengisi skala. Uji coba alat ukur ini dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 2
April 2015 di koridor BIMASWAT pukul 09.30 – 12.00 WIB. Jumlah subjek yang
memenuhi karakteristik dan dapat dilakukan uji coba berjumlah 32 orang dari 38
subjek yang bersedia untuk mengisi skala.
c. Hasil Uji Coba Alat Ukur. Skala yang dianalisis adalah skala dukungan sosial
keluarga. Peneliti melakukan olah data uji coba untuk seleksi aitem dan mengetahui
koefisien reliabilitas skala dengan bantuan program IBM SPSS 19.0. Berikut adalah
hasil uji coba Skala Dukungan Sosial Keluarga :
1) Hasil uji coba Skala Dukungan Sosial Keluarga menghasilkan 58 aitem yang
dapat diterima sehingga tidak terdapat aitem yang gugur. Nilai koefisien korelasi
aitem-total bergerak dari 0,273 sampai 0,898. Terdapat 1 aitem yaitu aitem nomor
9 yang memiliki koefisien korelasi aitem-total 0,273 (< 0,30). Pengguguran aitem
tersebut tidak dilakukan karena aitem masih memiliki koefisien korelasi aitem-
total di atas 0,25. Azwar (2013) mengatakan bahwa aitem yang memiliki
koefisien korelasi aitem-total di atas 0,25 masih dapat dipertimbangkan. Selain
itu, pengaruh pengguguran aitem nomor 9 tidak banyak berpengaruh pada
reliabilitas sehingga semua aitem yang berjumlah 58 tetap dipakai.
2) Hasil uji reliabilitas menghasilkan nilai koefisien Alpha sebesar 0,976 sehingga
skala ini dianggap reliabel. Azwar (2013) mengatakan bahwa jika angka koefisien
mendekati 1,00 maka pengukuran semakin reliabel. Berikut adalah sebaran aitem
Skala Dukungan Sosial Keluarga setelah dilakukan uji coba :
51
Tabel 4
Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial Keluarga Setelah Uji Coba
No Aspek Aitem
Jumlah Favorable Unfavorable
1
Dukungan
Emosional
1,5,13,17,25,33,41,42,50
,53
9 (*)
,21,29,37,43,47,56 17
2
Dukungan
Informasional 2,10,14,18,26,44 6,22,30,34,38,48 12
3
Dukungan
penilaian/ump
an balik 3,15,19,27,35,39,57
7,11,23,31,45,51,5
4 14
4
Dukungan
instrumental 4,8,20,28,36,46,49,55
12,16,24,32,40,52,
58 15
Jumlah 31 27 58
2. Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data penelitian berlangsung selama tiga hari yaitu tanggal 8 April
2015 pukul 09.30 – 11.00 WIB, 15 April 2015 pukul 09.30 – 14.00 WIB, dan 16 April
2015 pukul 09.45 – 14.15 WIB. Penentuan subjek dilakukan oleh peneliti setelah
mendapat ijin untuk melihat data narapidana untuk memastikan narapidana yang
dijadikan subjek penelitian sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Pada hari
pertama, subjek yang datang dan bersedia untuk mengisi skala berjumlah 21 orang,
pada hari kedua berjumlah 31 orang, dan pada hari ketiga berjumlah 25 orang.
Pengambilan data dilakukan di koridor BIMASWAT dan ruangan konseling supaya
narapidana bisa dipantau oleh staff Lapas. Subjek datang ke lokasi pelaksanaan
penelitian satu per satu dan terkadang berkelompok (maksimal 3 orang) karena subjek
memiliki aktivitas yang berbeda-beda. Untuk menghemat waktu, peneliti melakukan
instruksi pada masing-masing subjek yang sudah datang secara satu per satu atau setiap
kelompok kecil. Dari 77 subjek yang berpartisipasi, hanya data dari 60 subjek yang
dapat dianalisis. Hal ini disebabkan karena terdapat 15 subjek yang tidak menjawab
lengkap semua aitem yang disajikan dan terburu-buru dalam mengerjakan. Selama
52
melakukan pengisian skala, tidak sedikit narapidana yang kemudian mendekati peneliti
dan bercerita singkat mengenai kehidupan sebelum menjadi narapidana dan setelah
menjadi narapidana.
C. Deskripsi Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan IIA
Wirogunan Yogyakarta yang berjumlah 60 orang. Narapidana yang menjadi subjek
penelitian terdiri atas narapidana wanita dan narapidana pria yang memiliki berbagai latar
belakang pendidikan, kota asal, usia, jenis pidana, dan lamanya masa pidana. Berikut
adalah perincian karakteristik subjek penelitian :
a. Jenis Kelamin Subjek
Tabel 5
Deskripsi Jenis Kelamin Subjek Penelitian
Jenis Kelamin Jumlah Presentase
Pria 52 86,6 %
Wanita 8 13,34 %
Total 60 100 %
Subjek dalam penelitian ini yang berjenis kelamin pria sebanyak 52 orang (86,8 %)
dan berjenis kelamin wanita sebanyak 8 orang (13,34%). Narapidana pria yang berada
di dalam Lapas Wirogunan memiliki jumlah yang lebih banyak daripada narapidana
wanita sehingga jumlah narapidana pria yang dapat menjadi subjek penelitian lebih
banyak daripada narapidana wanita.
b. Usia Subjek
Subjek dalam penelitian ini merupakan narapidana yang berusia 20 sampai 58
tahun. Narapidana pria yang berusia 18-21 tahun berjumlah 6 orang (10%), berusia 21-
40 tahun berjumlah 36 orang (60%), dan berusia 40-60 tahun berjumlah 10 orang
53
(16,6%). Narapidana wanita yang berusia 21-40 tahun berjumlah 4 orang (6,7%)
sedangkan yang berusia 40-60 tahun berjumlah 4 orang (6,7%). Jumlah paling banyak
adalah narapidana yang berusia 21-40 tahun yaitu berjumlah 40 orang narapidana.
Berikut adalah tabel subjek penelitian berdasarkan usia subjek :
Tabel 6
Deskripsi Usia Subjek Penelitian
Jenis
Kelamin
Usia Jumlah Presentase
Pria Remaja Akhir (18-21 tahun) 6 10 %
Dewasa Awal (21-40 tahun) 36 60 %
Dewasa Madya (40-60 tahun) 10 16,6 %
Wanita Remaja Akhir (18-21 tahun) 0 0 %
Dewasa Awal (21-40 tahun) 4 6,7 %
Dewasa Madya (40-60 tahun) 4 6,7 %
Total 60 100%
c. Pendidikan Terakhir Subjek
Subjek dalam penelitian ini memiliki pendidikan terakhir minimal SMP.
Pemilihan subjek dengan memiliki minimal pendidikan SMP karena individu yang
sudah menempuh pendidikan SMP diharapkan sudah mampu memahami setiap aitem
pada skala. Berdasarkan tabel di atas, subjek yang berpendidikan SMP sebanyak
21,67%, berpendidikan SMA 53,33%, dan Perguruan Tinggi sebanyak 25%. Subjek
yang paling banyak terlibat dalam penelitian ini adalah narapidana yang memiliki
pendidikan minimal SMA. Berikut adalah tabel deskripsi pendidikan subjek penelitian:
Tabel 7
Deskripsi Pendidikan Subjek Penelitian
Pendidikan Terakhir Jumlah Presentase
SMP 13 21,67 %
SMA 32 53,33 %
Perguruan Tinggi 15 25 %
Total 60 100
54
d. Kota Asal Subjek
Subjek dalam penelitian ini tidak hanya berasal dari Yogyakarta, namun juga ada
yang berasal dari luar provinsi. Subjek yang berasal dari luar provinsi DIY sebanyak
48,33% dan yang berasal dari provinsi DIY sebanyak 51,67%. Subjek yang berasal dari
luar provinsi DIY adalah subjek yang memiliki asal dari Tulungagung, Magelang,
Bekasi, Surabaya, Surakarta, Lampung, Jakarta, Salatiga, Ambon, Indramayu, Klaten,
Bandung, Bojonegoro, Temanggung, Purworejo, Pacitan, Demak, Pekalongan, Muntila,
dan Semarang. Lokasi Lapas yang jauh dari kota asal membuat sebagian keluarga
narapidana berada semakin jauh dengan narapidana.
Tabel 8
Deskripsi Kota Asal Subjek Penelitian
Kota Asal Jumlah Presentase
Dalam Provinsi DIY 31 51,67 %
Luar Provinsi DIY 29 48,33 %
Total 60 100 %
e. Jenis Tindak Pidana Subjek
Subjek penelitian terdiri dari berbagai jenis kasus yaitu antara lain, kasus penipuan,
pencurian, penggelapan, kekerasan, pembunuhan, pengedaran uang palsu, pencabulan,
perlindungan anak, korupsi, dan kasus lainnya. Kasus yang paling banyak dilakukan
oleh subjek penelitian adalah kasus pembunuhan sebesar 20 % dan kasus pencurian
sebesar 13,3%. Sebanyak 16,7% subjek masuk dalam kasus lain-lainnya karena subjek
tidak berkenan menuliskan jenis pidana. Berdasarkan pemilihan subjek, tidak ada
subjek yang terlibat dalam kasus narkoba. Berikut adalah tabel jenis pidana subjek
penelitian :
55
Tabel 9
Deskripsi Jenis Tindak Pidana Subjek Penelitian
Kasus Jumlah Presentase
Penipuan 5 8,3 %
Pencurian 8 13,3 %
Penggelapan 7 11,7 %
Kekerasan 3 5 %
Pembunuhan 12 20 %
Pengedaran uang palsu 4 6,7 %
Pencabulan 2 3,3 %
Perlindungan anak 5 8,3 %
Korupsi 4 6,7 %
Kasus lain-lain 10 16,7 %
Jumlah 60 100 %
f. Lama Masa Pidana Subjek
Subjek dalam penelitian ini memiliki masa pidana minimal 12 bulan dan sudah
menjalani 2 bulan masa pidana. Subjek yang paling banyak adalah narapidana yang
memiliki masa pidana antara satu hingga lima tahun. Berdasarkan tabel di atas,
narapidana yang memiliki antara satu hingga lima tahun masa pidana berjumlah 26
orang (sebesar 43,33%), yang memiliki antara lima hingga sepuluh tahun masa pidana
berjumlah 21 orang (sebesar 35%), dan yang memiliki lebih dari sepuluh tahun masa
pidana berjumlah 13 orang (sebesar 21,67%). Masa pidana yang harus dijalani subjek
penelitian paling rendah adalah 12 bulan dan yang paling tinggi adalah 240 bulan.
Berikut adalah tabel deskripsi lama masa pidana subjek penelitian:
Tabel 10
Deskripsi Lama Masa Pidana Subjek Penelitian
Lama Masa Pidana Jumlah Presentase
< 5 Tahun 26 43,33 %
5-10 Tahun 21 35 %
>10 Tahun 13 21,67 %
Total 60 100
56
D. Uji Asumsi
Uji asumsi merupakan uji yang harus dilakukan sebelum melakukan uji hipotesis
karena merupakan prasyarat dalam analisis Product Moment. Adapun uji asumsi yang
dilakukan ialah uji normalitas dan uji linearitas. Pengujian asumsi dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan program IBM SPSS 19.0.
1. Uji Normalitas
Tujuan dilakukannya uji normalitas adalah untuk mengetahui apakah distribusi data dari
variabel-variabel penelitian mengikuti kaidah kurva normal atau tidak. Variabel
tergantung dan variabel bebas dari data penelitian harus berdistribusi normal sehingga
memenuhi prasyarat analisis. Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan tes
Kolmogorov-Smirnov. Variabel yang memiliki disribusi normal ditunjukkan dengan
nilai p > 0,05. Jika p maka sebaran dianggap tidak normal. Berikut adalah tabel
hasil uji normalitas :
Tabel 11
Hasil Uji Normalitas
Variabel K-S Z Signifikansi Keterangan
Dukungan Sosial Keluarga 0,642 0,805 (p > 0,05) Distribusi Normal
Depresi 0,805 0,536 (p > 0,05) Distribusi Normal
Berdasarkan tabel tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel dukungan
sosial keluarga dan variabel depresi memiliki distribusi normal. Nilai K-S Z pada
variabel dukungan sosial keluarga sebesar 0.642 dengan p = 0,805(p > 0,05) sedangkan
nilai K-S Z pada variabel depresi sebesar 0,805 dengan p = 0,536(p > 0,05).
2. Uji Linearitas
Uji linearitas dalam penelitian bertujuan untuk melihat apakah kedua variabel
dalam penelitian ini berhubungan secara linear. Uji linearitas dilakukan dengan formasi
test for linearity dengan menggunakan teknik analisis varians (uji F). Variabel dapat
57
dikatakan linear jika memiliki taraf signifikansi linearitas dengan p < 0,05 dan taraf
signifikansi deviation from linearity dengan p > 0,05.
Uji Linearitas hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan depresi
menunjukkan Flinierity sebesar 17,333 dengan p < 0,05 dan Fdeviation from linearity sebesar
1,570 dengan p > 0,05. Berdasarkan hasil uji linearitas tersebut menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang linear antara dukungan sosial keluarga dengan depresi sehingga
analisis Product Moment dapat dilakukan.
E. Analisis Data
Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap-
tahap tersebut sebagai berikut :
1. Analisis Data Deskriptif
Analisis data deskriptif dilakukan untuk mengetahui tingkat dukungan sosial
keluarga dan tingkat depresi yang dimiliki subjek penelitian. Deskripsi data penelitian
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 12
Analisis Data Deskriptif
Variabel Skor Hipotetik Skor Empirik
Min. Maks. Mean Range Min. Maks. Mean SD
Depresi 0 63 31,5 63 4 40 22,08 10,044
Dukungan
Sosial
Keluarga
58 232 145 174 90 230 190,60 26,033
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa variabel depresi memiliki mean
hipotetik lebih besar daripada mean empirik. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata skor
hipotetik lebih tinggi daripada rata-rata skor subjek. Variabel dukungan sosial keluarga
58
memiliki mean hipotetik yang lebih kecil daripada mean empirik sehingga
menunjukkan bahwa rata-rata skor hipotetik lebih kecil daripada rata-rata skor subjek.
Deskripsi hasil penelitian tersebut dapat berfungsi untuk memudahkan
pangategorisasian skor subjek. Norma kategorisasi yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada kategorisasi dari Azwar (2013).
Pengategorisasian tersebut sebagai berikut :
Tabel 13
Norma Kategorisasi
Luas Interval Kategorisasi
X ( Sangat Rendah
( Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Berdasarkan skor empirik, maka kategorisasi skor dukungan sosial keluarga adalah
sebagai berikut :
Tabel 14
Kategorisasi Skor Dukungan Sosial Keluarga
Kategorisasi Komposisi
Luas Interval Kategorisasi Jumlah Presentase
Sangat Rendah 4 6,67 %
Rendah 12 20 %
Sedang 24 40 %
Tinggi 20 33,33 %
Sangat Tinggi 0 0 %
Berdasarkan tabel 13 di atas, dapat dilihat bahwa subjek yang tergolong memiliki
dukungan sosial keluarga yang sangat rendah sebersar 6,67%, subjek yang memiliki
dukungan sosial keluarga yang rendah sebesar 20%, 40% subjek memilki dukungan
59
sosial keluarga yang sedang, 33,33% subjek memiliki dukungan sosial yang tinggi, serta
sebesar 0% (tidak ada) subjek yang memiliki dukungan sosial yang sangat tinggi.
Penyusunan kategori depresi pada subjek penelitian dikategorisasikan berdasarkan
ketetapan yang telah disusun Beck (Groth-Marnat, 2003) yaitu sebagai berikut :
Tabel 15
Kategorisasi Skor Depresi
Kategorisasi Komposisi
Skor
BDI
Tingkat Depresi Jumlah Presentase
0 - 13 Normal 15 25 %
14 - 19 Depresi Ringan (Mild) 14 23,33 %
20 - 28 Depresi Sedang
(Moderate)
11 18,33 %
29 – 63 Depresi Berat (Severe) 20 33,34 %
< 4 Faking good atau
kemungkinan untuk
denial of depression
0 0 %
Berdasarkan tabel 14 di atas, maka dapat dilihat bahwa sebesar 33,34% subjek
memiliki depresi yang berat, 18,33% subjek memiliki depresi sedang, 23,33% subjek
memiliki depresi ringan, dan sebesar 25% subjek masih dalam kategori depresi yang
normal. Maka dari itu, kategori depresi yang paling banyak dialami oleh subjek
penelitian adalah kategori depresi berat.
2. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
dukungan sosial keluarga dengan depresi pada narapidana. Uji hipotesis menggunakan
teknik korelasi Product Moment dari Karl Pearson yang diolah dengan IBM SPSS 19.0.
Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui Product Moment diketahui bahwa
korelasi variabel dukungan sosial keluarga dengan variabel depresi sebesar r = -0,419
dengan p < 0,01. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang
signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan depresi. Semakin tinggi dukungan
60
sosial keluarga maka semakin rendah depresi pada narapidana. Sebaliknya, semakin
rendah dukungan sosial keluarga maka semakin tinggi depresi.
Koefisien determinasi dari korelasi tersebut adalah sebesar 0,176. Sumbangan
efektif atau kontribusi dukungan sosial keluarga terhadap depresi pada narapidana
adalah sebesar 17,6%. Hal tersebut menandakan bahwa sebesar 82,4% depresi pada
narapidana disebabkan oleh faktor-faktor lain selain dukungan sosial keluarga.
3. Analisis Tambahan
Dalam penelitian ini, didapatkan juga hasil penelitian yang tidak dihipotesiskan.
Hal-hal tersebut meskipun tidak dihipotesiskan namun masih erat kaitannya dengan
depresi sehingga hasil penelitian ini ingin mengetahui pula hubungan antara variabel
lain dengan depresi. Variabel tersebut yaitu jenis pidana narapidana, lama hukuman di
penjara, dan pendidikan. Analisis tambahan menggunakan One Way Anova, jika p <
0,05 maka terdapat perbedaan yang signifikan dan jika p > 0,05 maka tidak terdapat
perbedaan yang signifikan.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa:
1. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada depresi narapidana ditinjau dari jenis
pidana narapidana, koefisien F sebesar 0,871 (p > 0,05). Jenis pidana tersebut yaitu
pencurian, penipuan, penggelapan, kekerasan, pembunuhan, pengedaran uang palsu,
pencabulan, perlindungan anak, dan korupsi.
2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada depresi narapidana ditinjau dari lama
hukuman pidana, koefisien F sebesar 0,590 (p > 0,05). Terdapat tiga kategori lama
hukuman narapidana, yaitu kurang dari lima tahun, antara lima hingga sepuluh tahun,
dan lebih dari sepuluh tahun.
61
3. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada depresi narapidana ditinjau dari
pendidikan narapidana, koefisien F sebesar 1,852 (p > 0,05). Kategori pendidikan
tersebut adalah SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada depresi narapidana yang ditinjau dari pendidikan, jenis pidana, dan lama hukuman
pidana narapidana.
F. Kesimpulan Analisis
1. Dukungan sosial keluarga memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan
depresi (r = -0,419 dengan p < 0,01).
2. Sumbangan efektif dukungan sosial keluarga terhadap depresi sebesar 17,6 %
sementara 82,4 % dipengaruhi oleh faktor lainnya.
3. Berdasarkan data lapangan menunjukkan bahwa sebanyak 33,34% narapidana
memiliki tingkat depresi yang berat dan sebanyak 40% narapidana memiliki
tingkat dukungan sosial keluarga dalam kategori sedang.
4. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada depresi narapidana yang ditinjau
dari pendidikan, jenis pidana, dan lama hukuman pidana narapidana.
G. Pembahasan
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara
dukungan sosial keluarga dengan depresi pada narapidana Lembaga Pemasyarakatan IIA
Wirogunan Yogyakarta. Hasil analisis statistika dengan menggunakan teknik korelasi
Product Moment dari Karl Pearson menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi antara
dukungan sosial keluarga dengan depresi pada narapidana adalah r = -0,419 dengan p <
0,01. Hasil tersebut membuktikan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima, ada
62
hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan depresi pada
narapidana. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka
semakin rendah depresi pada narapidana dan semakin rendah dukungan sosial keluarga
maka semakin tinggi depresi pada narapidana.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti.
Wetzel dan Redmond (1980) melakukan penelitian pada subjek yang mengalami depresi
dan yang tidak mengalami depresi. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa salah
satu penyebab individu dapat mengalami depresi adalah kurangnya dukungan sosial
keluarga. Selain itu, dalam penelitian Muntaha (2003) membuktikan bahwa dukungan
sosial yang berasal dari keluarga, orang lain di luar Lapas, staff Lapas, dan teman sesama
narapidana dapat mempengaruhi depresi pada narapidana. Sue et al. (2013)
mengungkapkan bahwa dukungan sosial keluarga merupakan faktor sosial yang
berpengaruh pada depresi. Maka dari itu, hasil analisis untuk dua variabel pada penelitian
ini sejalan dengan tinjauan pustaka yang telah diulas pada Bab II bahwa dukungan sosial
keluarga berpengaruh terhadap depresi. Pentingnya dukungan sosial keluarga dinyatakan
oleh Furhmann (1990) yang mengatakan bahwa keluarga merupakan sumber utama
perlindungan, perawatan, dan dukungan sehingga berperan penting pada perkembangan
individu.
Narapidana yang menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki beberapa
karakteristik. Narapidana yang menjadi subjek penelitian berjumlah 60 orang yang terdiri
dari berbagai jenis pidana, lama hukuman, dan jenjang pendidikan. Jenis kasus yang
dimiliki oleh subjek antara lain kasus penipuan, pencurian, penggelapan, kekerasan,
pembunuhan, pengedaran uang palsu, pencabulan, perdagangan manusia, perlindungan
anak, korupsi, dan kasus lainnya. Subjek memiliki masa hukuman pidana di atas satu tahun
dan sudah menjalani dua bulan masa pidana. Tiga kategori pendidikan subjek penelitian
63
adalah SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Pemilihan pendidikan akhir minimal SMP
karena subjek yang memiliki pendidikan akhir SD terlihat kesulitan untuk membaca dan
memahami skala yang diberikan. Dengan melihat hasil analisis tambahan, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada depresi narapidana ditinjau dari pendidikan, jenis pidana,
dan lama hukuman pidana narapidana. Hal tersebut disebabkan karena narapidana merasa
pasrah terhadap jenis pidana dan lama hukuman yang harus mereka jalani. Untuk berubah
status menjadi narapidana merupakan waktu yang tidak pendek karena mereka harus
berubah status dari tersangka, tahanan, terdakwa, terpidana, dan narapidana sehingga
dalam waktu perubahan status tersebut, narapidana mengalami dinamika psikologis untuk
menerima hukuman yang harus dijalani di dalam Lapas. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Muntaha (2003) dan Nugraheny (1996) yang membuktikan
bahwa tidak terdapat hubungan antara lama hukuman narapidana terhadap depresi.
Hasil uji hipotesis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan sosial
keluarga memberikan sumbangan efektif sebesar 17,6 % sementara 82,4% dipengaruhi
oleh faktor-faktor lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa rendahnya dukungan sosial
keluarga dapat menjadi salah satu sumber stressor bagi narapidana yang dapat
menyebabkan depresi. Semakin tinggi dukungan sosial keluarga yang diterima oleh
narapidana maka semakin rendah depresi yang dialami oleh narapidana.
Berdasarkan hasil pengategorisasian, menunjukkan bahwa narapidana yang memiliki
tingkat depresi berat sebanyak 20 orang (33,34%), narapidana dengan depresi sedang
sebanyak 11 orang (18,33%), narapidana dengan depresi ringan sebanyak 14 orang
(23,33%), dan narapidana dengan depresi pada tingkat normal sebanyak 15 orang (25%).
Berdasarkan hasil kategorisasi tersebut menunjukkan bahwa kategori depresi yang paling
banyak dialami oleh narapidana adalah depresi berat. Hal ini mendukung pernyataan
beberapa ahli yang mengatakan bahwa sumber stressor yang tidak mendapatkan coping
64
yang tepat dan terjadi secara terus menerus dapat memicu munculnya gangguan kesehatan
mental, yaitu gangguan tidur (Elger, 2004), gangguan kepribadian, kecemasan, dan depresi
(Skegg & Cox, 1993 dalam Liebling, 1999). Terdapat beberapa sumber stressor pada
narapidana antara lain, latar belakang pada diri narapidana yang ditunjukkan dengan
pengalaman-pengalaman narapidana sebelum menjalani proses hukum, pengalaman selama
di penjara, dan keterbatasan berhubungan dengan keluarga maupun orang lain di luar
penjara (Alison Liebling, 1992 dalam Liebling, 1999). Subjek dalam penelitian ini terdiri
dari 52 narapidana pria dan 8 narapidana wanita yang memiliki rentang usia dari 20 hingga
58 tahun. Narapidana yang ikut serta dalam penelitian ini paling banyak adalah narapidana
yang berusia 21 hingga 40 tahun yang berjumlah 40 orang. Dari 8 subjek narapidana
wanita, yang memiliki kategori depresi berat sebanyak 5 orang dan kategori depresi ringan
berjumlah 3 orang. Dari 52 subjek narapidana pria, yang memiliki kategori depresi berat
sebanyak 15 orang, depresi sedang sebanyak 11 orang, dan depresi ringan sebanyak 11
orang. Berdasarkan umur, subjek yang paling banyak mengalami depresi berat adalah
subjek yang berusia 21 – 40 tahun (dewasa awal) sebanyak 13 orang dan subjek yang
berusia 40 – 60 tahun sebanyak 6 orang sedangkan subjek yang berusia 18-21 tahun
berjumlah 1 orang. Hal tersebut mendukung hasil peneitian Cornwell (2003) yang
membuktikan bahwa depresi yang dialami oleh individu dewasa lebih banyak disebabkan
oleh lingkungan sosial. Berdasarkan hasil di atas, maka depresi merupakan salah satu
gangguan mental yang dapat dialami oleh narapidana. Hal ini mendukung penelitian Suto
dan Arnaut (2010) yang dalam penelitiannya pada 24 narapidana juga membuktikan bahwa
salah satu gangguan mental yang dialami oleh narapidana adalah depresi.
Terdapat tiga hal utama yang menjadi stressor pada narapidana yaitu penurunan
tingkat aktivitas, kunjungan keluarga atau orang lain yang sedikit setiap bulannya, dan
menjadi korban bullying di dalam penjara (Woolredge, 1999 dalam Picken, 2012). Suto
65
dan Arnaut (2010) juga membuktikan bahwa hubungan yang tidak baik antara narapidana
dengan keluarga dan orang-orang di dalam lingkungan penjara dapat mengakibatkan
depresi. Permasalahan-permasalahan yang ditemui antara lain, permasalahan dengan
anggota keluarga atau pasangan, masalah dengan sesama narapidana, dan masalah dengan
staff penajara. Berdasarkan pernyataan tersebut, salah satu penyebab depresi pada
narapidana adalah rendahnya pertemuan dan komunikasi antara narapidana dengan
anggota keluarga. Padahal, dukungan sosial keluarga pada narapidana dibutuhkan untuk
membantu narapidana menjalani proses hukuman. Dengan banyaknya batasan yang
diberikan pada narapidana terutama keterbatasan untuk berkomunikasi dengan orang di
luar Lapas membuat narapidana semakin sulit untuk mendapatkan dukungan sosial. Maka
dari itu, waktu berkunjung yang diberikan oleh pihak Lapas untuk keluarga dan teman-
teman narapidana menjadi waktu yang dinanti-nantikan oleh setiap narapidana. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Rudkin (2003) yang mengatakan bahwa keluarga
merupakan tempat yang menjadi tujuan akhir individu ketika merasa sedih, lelah, dan
terluka. Namun, tidak sedikit narapidana yang kecewa dan merasa sedih karena
kesempatan berkunjung tersebut tidak dipergunakan dengan baik oleh orang terdekat
terutama keluarga narapidana. Dengan menyandang status sebagai narapidana dan harus
mengalami berbagai kejadian stressful dapat membuat narapidana menjadi sedih dan
berkeinginan untuk bercerita dengan orang lain padahal disatu sisi mereka merasa
kesulitan untuk berbagi cerita dengan keluarga dan orang terdekat lainnya.
Berdasarkan hasil pengategorisasian, dukungan sosial keluarga yang dimiliki oleh
narapidana dikategorikan dalam lima tingkat. Narapidana yang memiliki dukungan sosial
keluarga dalam kategori sangat rendah sebanyak 4 orang (6,67%), kategori rendah
sebanyak 12 orang (20%), kategori sedang sebanyak 24 orang (40%), kategori tinggi
sebanyak 20 orang (33,33%), dan tidak ada narapidana yang memiliki dukungan sosial
66
keluarga dalam kategori sangat tinggi. Berdasarkan hasil pengategorisasian tersebut,
kategori dukungan sosial keluarga yang paling banyak dimiliki oleh narapidana adalah
kategori dukungan sosial keluarga yang sedang. Dari 60 subjek penelitian, terdapat 7
narapidana yang mengaku bahwa keluarga tidak pernah mengunjungi selama berada di
Lapas. Selain itu, terdapat sebanyak 48,33% narapidana yang berasal dari luar provinsi
DIY sehingga sebagian besar keluarga berada di luar provinsi. Selama berada di Lapas,
narapidana mendapat kunjungan dari keluarga dengan bermacam-macam intensitas
pertemuan. Ada narapidana yang mendapat kunjungan setiap minggu, setiap bulan, satu
tahun sekali dan tidak pernah dikunjungi oleh keluarga. Pertemuan narapidana dengan
keluarga dibatasi dengan waktu 30 menit setiap berkunjung sehingga beberapa narapidana
mengaku mempergunakan waktu tersebut dengan sebaik-baiknya. Beberapa narapidana
juga mengatakan bahwa sangat merindukan keluarga dan menantikan waktu pertemuan
dengan keluarga. Banyaknya narapidana yang masuk dalam kategori sedang karena
mereka mengatakan bahwa walaupun hanya 30 menit bertemu, hal tersebut merupakan
pertemuan yang sangat berharga padahal jika dibandingkan dengan keadaan sebelum
masuk ke dalam Lapas, pertemuan selama 30 menit merupakan pertemuan yang jauh dari
cukup. Hal tersebut membuktikan pernyataan dari Cohen & Syme (1985) yang mengatakan
bahwa kebutuhan individu terhadap dukungan sosial berbeda-beda tergantung pada
persepsi masing-masing individu. Selain itu, Wetzel & Redmond (1980) juga
membuktikan bahwa penerimaan dukungan sosial keluarga dan lingkungan kerja
merupakan hal yang subjektif tergantung pada persepsi terhadap pengalaman masing-
masing individu.
Dukungan sosial keluarga yang diberikan untuk narapidana terdiri atas berbagai
macam bentuk. Bentuk-bentuk dukungan sosial keluarga tersebut antara lain, dukungan
emosional, dukungan berupa penghargaan atau feedback atas usaha yang telah dilakukan,
67
dukungan informasi, serta dukungan instrumental. Ketika keluarga berkunjung ke Lapas,
narapidana dapat menceritakan keluh kesah yang mereka alami selama di dalam Lapas,
menanyakan mengenai berbagai macam informasi yang dibutuhkan, menerima uang,
menerima makanan, serta menceritakan kemajuan yang telah mereka capai selama
mengikuti pembinaan. Terdapat beberapa narapidana yang bercerita pada peneliti bahwa
mereka masih diakui di dalam keluarga sehingga ketika berkunjung, terkadang anggota
keluarga yang mencurahkan isi hatinya kepada narapidana. Namun, ada juga narapidana
yang merasa keluarga tidak peduli sehingga tidak pernah datang untuk menjenguk dan
sebagai gantinya, teman dekat mereka yang datang berkunjung. Maka dari itu, dukungan
sosial sangat diperlukan bagi narapidana karena mereka harus menjalani kejadian yang
stressful selama di dalam Lapas. Hal tersebut membuktikan pernyataan Taylor (1995) yang
mengatakan bahwa dukungan sosial yang tinggi dapat membantu individu menghadapi
masalah dengan baik.
Hasil uji hipotesis ini membuktikan bahwa masih terdapat 82,4% faktor lain yang
dapat mempengaruhi depresi pada narapidana. Depresi dapat dipicu karena suatu kejadian
stressful yang terus menerus sehingga menimbulkan perasaaan negatif yang berulang-
ulang (Hale, 1997; Pinel, 2009). Sue et al. (2013) mengatakan bahwa depresi dipengaruhi
oleh empat faktor utama yaitu faktor biologis, psikologis, sosial, dan sosiokultural yang
saling berinteraksi. Faktor psikologis meliputi kepribadian individu yang ditunjukkan
dengan kemampuan melakukan coping (Billings & Moos, 1984) dan kognitif (Hammond
& Romney, 1994). Fu dan Parahoo (2008) dalam penelitiannya membuktikan bahwa
depresi penyebab ketidakmampuan di dunia yang disebabkan karena sosial dan budaya di
tempat asal, hubungan yang tidak baik dengan pasangan, konflik dalam keluarga,
perubahan hidup, dan pengalaman hidup ketika kanak-kanak. Selain itu, faktor biologis
yang dapat mempengaruhi depresi adalah keturunan, usia, dan jenis kelamin. Menurut
68
Davison dan Neale (2001) depresi disebabkan oleh faktor keturunan. Blazet (1994 dalam
Davison & Neale, 2001) mengungkapkan bahwa depresi dipengaruhi oleh usia individu.
Individu yang paling banyak mengalami depresi adalah individu yang berusia antara 15-24
tahun dan usia 35-44 tahun. Rentang usia tersebut merupakan rentang usia dimana individu
sedang menjalani masa perkembangan remaja awal, remaja akhir, dan dewasa awal.
Depresi juga dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa
depresi lebih banyak dialami oleh wanita daripada pria karena adanya pengaruh hormon
(Sue et al., 2013; Abel & Kulkarni, 2006). Maka dari itu, faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi depresi antara lain faktor biologis, psikologis, sosiokultural, kognitif, dan
coping terhadap stress.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial
keluarga dengan depresi pada narapidana di Lapas IIA Wirogunan Yogyakarta.
Semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka akan semakin rendah depresi pada
narapidana dan begitu sebaliknya. Sumbangan efektif atau kontribusi dukungan sosial
keluarga terhadap depresi narapidana sebesar 17,6 %. Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada depresi narapidana yang ditinjau dari pendidikan, jenis pidana, dan
lama hukuman pidana narapidana. Sebanyak 33,34% narapidana memiliki tingkat
depresi yang berat dan sebanyak 40% narapidana memiliki tingkat dukungan sosial
keluarga dalam kategori sedang.
B. Saran
Peneliti memperhatikan beberapa hal yang dapat menjadi catatan bagi peneliti
selanjutnya dan pihak Lapas berdasarkan proses penelitian yang telah dilakukan. Beberapa
hal tersebut terangkum dalam saran-saran berikut :
1. Bagi Lembaga Pemasyarakatan
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk Lembaga
Pemasyarakatan Wirogunan supaya dapat lebih memperhatikan kesehatan mental
narapidana, khususnya depresi.
70
b. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kurangnya dukungan sosial keluarga
dapat mempengaruhi kesehatan mental narapidana dan dapat mengakibatkan
depresi. Maka dari itu, keluarga narapidana diharapkan untuk dapat meningkatkan
dukungan sosial kepada narapidana.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
a. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa sumbangan efektif atau kontribusi
dukungan sosial keluarga terhadap depresi narapidana sebesar 17,6% sementara
82,6% dipengaruhi oleh variabel lainnya. Maka dari itu, dapat dilihat bahwa masih
banyak variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi depresi narapidana.
Variabel-variabel lain tersebut dapat meliputi faktor biologis, sosiokultural,
psikologis, coping terhadap stress, dan faktor kognitif yang dapat dijadikan bahan
kajian untuk penelitian selanjutnya.
b. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti variabel-variabel lain yang
belum diteliti dalam penelitian ini.