BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf ·...

123
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak manusia, yang melekat pada manusia, dimana manusia juga dikaruniai akal pikiran dan hati nurani. 1 Hak asasi manusia bersifat universal yang berarti melampaui batas- batas negeri, kebangsaan, dan ditujukan pada setiap orang baik miskin maupun kaya, laki-laki atau perempuan, normal maupun penyandang cacat dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaan spiritualitasnya. 2 Sebagai norma yang ditujukan bagi pengakuan hak semua orang, maka setiap orang baik sendiri-sendiri maupun kelompok perlu mengenali dasar-dasar hak asasi manusia dan selanjutnya menuntut peningkatan pelaksanaannya. Peletakkan rumusan tentang dasar-dasar hak asasi manusia merupakan bagian dari tujuan sosialisasi. 3 Adapun norma-norma yang mengatur hubungan antara negara dengan individu (warga) adalah seperti yang 1 Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia, PBHI, Jakarta, 2002, hlm. 7. 2 Soetandyo Wignjosoebroto, hak asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya dari Masa ke Masa, ELSAM, Jakarta, 2007, hlm. 1. 3 Suryadi Radjab, loc. Cit.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf ·...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak manusia, yang

melekat pada manusia, dimana manusia juga dikaruniai akal pikiran dan hati

nurani.1 Hak asasi manusia bersifat universal yang berarti melampaui batas-

batas negeri, kebangsaan, dan ditujukan pada setiap orang baik miskin

maupun kaya, laki-laki atau perempuan, normal maupun penyandang cacat

dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai

bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna

kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau

kepercayaan spiritualitasnya.2 Sebagai norma yang ditujukan bagi pengakuan

hak semua orang, maka setiap orang baik sendiri-sendiri maupun kelompok

perlu mengenali dasar-dasar hak asasi manusia dan selanjutnya menuntut

peningkatan pelaksanaannya.

Peletakkan rumusan tentang dasar-dasar hak asasi manusia merupakan

bagian dari tujuan sosialisasi.3 Adapun norma-norma yang mengatur

hubungan antara negara dengan individu (warga) adalah seperti yang

1 Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia, PBHI, Jakarta, 2002, hlm. 7. 2 Soetandyo Wignjosoebroto, hak asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya dari Masa ke Masa, ELSAM, Jakarta, 2007, hlm. 1. 3 Suryadi Radjab, loc. Cit.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

2

dijelaskan di dalam pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948.4

Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia membawa

konsekuensi negara-negara anggota PBB untuk menyatakan bahwa mereka

mengakui hak-hak setiap orang sebagai hak asasi yang harus dihormati, guna

mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi berbagai tindakan dan kebijakan

negara yang sewenang-wenang terhadap individu-individu warganya.

Berdasarkan deklarasi ini semua negara menyatakan kewajibannya untuk

menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil)

hak-hak asasi setiap warganya.5

Hak dalam hak asasi mempunyai kedudukan atau derajat utama dan

pertama dalam hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya

telah dimiliki, disandang dan melekat dalam pribadi manusia sejak saat

kelahirannya. Seketika itu pula muncul kewajiban dari manusia lain untuk

menghormatinya.6

Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan

menjadi cepat dicapai apabila diawali dari tertib politik dalam setiap negara.

Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan kemauan

4 Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia berbunyi, “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.” 5 Hendriati Trianita dalam Suryadi Radjab, op. Cit. Hlm. 7. 6 A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manuisa (HAKHAM), Ghalia Utama, Bogor, 2005, hlm. 8.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

3

untuk menegakkan hak asasi manusia dapat menjadi awal masalah.7 Salah

satunya adalah masalah pemenuhan hak-hak bagi penyandang cacat.

Penyandang cacat terdapat di semua bagian dunia dan pada semua

tingkatan dalam setiap masyarakat. Jumlah penyandang cacat di dunia ini

besar dan senantiasa bertambah, baik penyebab maupun akibat kecacatan di

dunia ini bervariasi.

Dunia internasional pada dasarnya telah sepakat bahwa permasalahan

penyandang cacat ataupun pemenuhan hak-hak penyandang cacat merupakan

suatu permasalahan yang sangat penting untuk dikaji, karena orang-orang

penyandang cacat juga merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dan

dipenuhi hak-haknya, oleh karena itu pada tahun 2006 anggota-anggota

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan suatu pertemuan dan

merundingkan yang kemudian menghasilkan suatu konvensi tentang hak-hak

penyandang cacat yaitu Convention on the Rights of Persons with Disabilities

(CRPD) 2006 atau sering disebut juga dengan Konvensi Hak Penyandang

Cacat.

Terdapat hak-hak penyandang cacat yang tercantum dalam konvensi

penyandang cacat tersebut, yaitu hak hidup, situasi beresiko dan darurat

kemanusiaan, pengaturan yang setara di hadapan hukum, akses atas peradilan,

kebebasan dan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam,

tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, kebebasan dan keamanan

seseorang, kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan,

7 Ibid, hlm. 127.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

4

perlindungan terhadap integritas seseorang, habilitasi dan rehabilitasi,

pekerjaan, standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial, partisipasi dalam

kehidupan politik dan publik, partisipasi dalam budaya, rekreasi, waktu luang

dan olah raga.

Namun demikian realisasi terhadap pemenuhan, pemajuan dan

perlindungan terhadap hak-hak penyandang cacat sebagai hak asasi manusia

masih banyak mendapat hambatan. Hambatan-hambatan tersebut adalah

kurangnya pengertian dan pemahaman hak-hak penyandang cacat sebagai

bagian dari hak asasi manusia baik dalam pengertian subtansi maupun

pengertian secara hukum.

Selama ini, para penyandang cacat masih menghadapi berbagai hambatan

dalam beraktivitas dan masih mengalami keterbatasan dalam berpartisipasi

sebagai anggota yang setara dalam masyarakat, serta masih mendapatkan

perlakuan diskriminasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di

segala aspek dalam lintas bidang kehidupan. Hambatan, keterbatasan dan

diskriminasi yang umumnya dihadapi para penyandang cacat adalah dalam

mengakses informasi, pendidikan, pekerjaan, transportasi serta sarana dan

layanan publik lainnya. Kondisi inilah yang membuat penyandang cacat

termasuk dalam kelompok miskin dan terpinggirkan.

Hak-hak penyandang cacat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia

(HAM) memperoleh pengaturan secara internasional dalam instrumen

internasional. Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang

dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional pada hakikatnya akan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

5

mengikat negara, apabila negara tersebut telah menyatakan diri untuk terikat

pada suatu perjanjian internasional.

Konvensi Hak Penyandang Cacat menandai akhir dari sebuah

perjuangan panjang oleh orang-orang penyandang cacat dan organisasi-

organisasi perwakilan mereka untuk diakuinya secara penuh sebagai isu hak

asasi manusia, yang dimulai kembali pada tahun 1981, dengan Tahun

Internasional Penyandang Cacat dan Program Aksi Dunia Cacat, diadopsi

sebagai hasil tahun itu. Pada tahun 1993, oleh Majelis Umum Peraturan

Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, laporan

Pelapor Khusus tentang Kecacatan dan Sub-Komisi tentang Pencegahan

Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Kaum Minoritas, dan serangkaian

resolusi oleh Komisi Hak Asasi Manusia pada tahun 1998, 2000, dan 2002

memberikan kontribusi signifikan untuk membuka jalan bagi pendekatan hak

asasi manusia.8

Konvensi Hak-Hak Penyandang cacat atau Convention on the Rights of

Persons with Disabilities merupakan sebuah pengakuan masyarakat

internasional terhadap hak Penyandang cacat untuk hidup setara dengan

warga masyarakat lainya. Konvensi ini disahkan Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang ke 61, 13 Desember 2006 lalu di Markas

Besar PBB di New York.. Selanjutnya ditandangani oleh sekitar 82 negara

termasuk Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamzah

8 Navanethem Pillay, “Monitoring the Convention on the Rights of Persons with Disabilities”, Guidance for human rights monitors, Halaman 12, www.ohchr.org, diakses tanggal 24 Oktober 2011.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

6

pada 30 Maret 2007 yang lalu.9 Pada saat upacara penandatanganan pada 30

Maret 2007, Indonesia merupakan negara urutan ke-9 dari 82 negara pertama

yang menandatangani Konvensi tersebut. Hingga saat ini sudah ada 152

negara yang sudah menandatangani dan 104 diantaranya telah meratifikasinya

termasuk Indonesia. Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas juga

memperkenalkan suatu paradigma baru yang sangat penting dalam pemajuan

hak penyandang disabilitas. Melalui Konvensi ini, penyandang disabilitas

tidak lagi dilihat sebagai obyek tetapi subyek penuh. Upaya pengembangan

penyandang disabilitas tidak lagi secara pemberian charity atau

penyembuhan, sarana medis, sedekah dan lainnya. Namun, penyandang

disabilitas dilihat dan dinilai sebagai pribadi penuh yang bisa mengklaim

haknya dan mandiri (autonomous individual) yang bisa memutuskan sendiri,

serta dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat pada

tanggal 18 Oktober 2011. Proses persiapan ratifikasi Konvensi Hak

Penyandang Cacat ini telah berjalan selama 4 tahun di tingkat antar

kementerian sejak 2007 hingga 2011, yang juga melibatkan perwakilan dari

organisasi kemasyarakatan penyandang disabilitas. Pengesahan Convention

on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak

Penyandang Disabilitas) dengan UU Nomor 19 Tahun 2011, konvensi ini

9 Agung Kuncahya B., Penyandang Cacat Harap Haknya Dipenuhi , www.jurnas.com, diakses pada tanggal 24 Oktober 2011.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

7

mengganti istilah “penyandang cacat” dengan “penyandang disabilitas” yang

dinilai lebih tepat dan manusiawi.10

Setelah meratifikasi konvensi negara harus melakukan tindakan-

tindakan seperti menghilangkan hambatan-hambatan fisik para penyandang

cacat, termasuk dalam hal ini adalah menetapkan kebijakan dan hukum yang

mengatur dan menjamin akses penyandang cacat terhadap perumahan,

gedung, transportasi publik, jalan dan semua lingkungan fisik lainnya. Negara

juga harus menjamin bahwa dalam perencanaan suatu bangunan, konstruksi,

dan desain fisik, utamanya yang bersifat publik, adalah mempertimbangkan

akses para penyandang cacat dan para perencana pembangunan haruslah

memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap penyandang

cacat (disability policy).

Atas dasar hal-hal yang telah diuraikan maka perlu untuk melakukan

penelitian mengenai kesiapan pemerintah Indonesia dalam menerapkankan

konvensi tersebut dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan

hukum internasional khususnya hukum dan hak asasi manusia. Oleh karena

itu, penulis menetapkan judul untuk penulisan ilmiah (skripsi) ini yaitu

PENGATURAN TENTANG PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG

CACAT BERDASARKAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS

WITH DISABILITIES TAHUN 2006 DI INDONESIA.

10 ----,” DPR RI Setujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, www.kemlu.go.id, diakses pada tanggal 24 Oktober 2011.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

8

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat

berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities tahun

2006?

2. Bagaimanakah penerapan Convention on the Rights of Person with

disabilities 2006 dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat di

Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat

berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities tahun

2006.

2. Untuk mengetahui implementasi Convention on the Rights of Person with

Disabilities 2006 dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat di

Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritis

a. Menambah pengetahuan dan wawasan di bidang Hukum Perjanjian

Internasional khususnya dalam penerapan perjanjian internasional dan

hak asasi manusia dalam hukum nasional, sehingga hukum

Internasional dapat diterapkan dengan baik di Indonesia.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

9

b. Memperluas cakrawala berpikir penulis dan memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

2. Kegunaan praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan

Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman , Purwokerto.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi mereka

yang melakukan penelitian serupa.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hak Asasi Manusia dan Penyandang Cacat

1. Pengertian Hak Asasi Manusia dan Instrumen Hak Asasi Manusia

Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits

de l’homme dalam bahasa Perancis atau Human Rights dalam bahasa

Inggris, yang artinya “hak manusia”. Pengertian secara teoritis dari hak

asasi manusia adalah :

“hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat padanya sebagai

insan ciptaan Allah Yang Maha Esa, atau hak-hak dasar yang prinsip

sebagai anugerah Illahi. Berarti hak-hak asasi manusia merupakan hak-

hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat

dipisahkan dari hakekatnya, karena itu Hak Asasi Manusia bersifat luhur

dan suci.”11

Pengertian Hak Asasi Manusia yang diatur dalam hukum positif

Negara Indonesia yaitu diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai

berikut :

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

11 Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1983, hlm. 7-8

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

11

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tersebut sudah dijelaskan bahwa Hak Azasi

Manusia merupakan hak yang paling hakiki yang dimiliki oleh manusia

dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, oleh karena itu terhadap

hak azasi manusia negara sebagai pelingdung warganya diharapkan dapat

mengakomodir kepentingan dan hak dari warga negaranya tersebut.

Konsep hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan konsep

tertib dunia, karenanya tanpa memperhatikan konsep HAM tersebut, apa

yang dinamakan atau diusahakan manusia untuk mewujudkan tertib dunia

akan sulit dicapai. Demikian pula tujuan hukum dan tujuan ilmu-ilmu

lainnya yang bersama-sama berusaha mengangkat derajat manusia agar

lebih adil, makmur, sejahtera, aman, tertib, dan tenteram tidak akan mudah

diraih.12 Pengembangan dan perlindungan HAM untuk semua orang dan di

seluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah, mengingat

keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah,

kebudayaan, sosial, latar belakang politik, agama dan tingkat pertumbuhan

ekonomi. Perbedaan-perbedaan latar belakang ini menyebabkan timbulnya

perbedaan konsepsional dalam perumusan HAM.

Globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an bukan saja melanda

masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan

politik, hankam, iptek, sosial, budaya dan hukum. Globalisasi di bidang

12 A. Masyhur Effendy. Perkembangan dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). 2005. Hlm 127.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

12

politik tidak terlepas dari pergerakan tentang HAM, transparansi dan

demokratisasi. Adanya globalisasi dalam pergerakan HAM, maka

Indonesia harus menggabungkan instrumen-instrumen HAM internasional

yang diakui oleh negara-negara PBB ke dalam hukum positif nasional

sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia dengan memperkuat lembaga

masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan peran

dalam mempromosikan dan melindungi HAM terhadap kehidupan

masyarakat bangsa Indonesia. Penerapan instrumen HAM internasional

dalam hukum positif nasional, maka akan membatasi kekuasaan

pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat teologis,

filsafati, ideologis, atau moralistik, dengan kemajuan berbangsa dan

bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridik dan

politik, karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang

menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis.

Instrumen-instrumen tersebut akan membebankan kewajiban negara-

negara anggota PBB sebagian mengikat secara yuridis sebagian lagi

kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan

ratifikasi secara formal.13

Hak Asasi Manusia (HAM) dipercayai memiliki nilai yang

universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu,

nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk

13 H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsepdan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 6

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

13

hukum nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan

menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan nilai universal ini

dikukuhkan dalam instrumen internasional, termasuk perjanjian

internasional di bidang HAM, Namun kenyataan menunjukkan bahwa

nilai-nilai HAM yang universal ternyata dalam penerapannya tidak

memiliki kesamaan dan keseragaman.

Penerapan instrumen HAM internasional akan terkait dengan

karakteristik ataupun sifat khusus yang melekat dari setiap negara. Adalah

merupakan suatu fakta bahwa negara di dunia tidak memiliki kesamaan

dari berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, politik dan terpenting

sistem budaya hukum sebagai akibatnya terjadi ketidakseragaman dalam

pelaksanaan HAM di tingkat paling nyata di masyarakat. Ada empat

penyebab utama alasan perjanjian internasional di bidang HAM tidak

dapat ditegakkan oleh negara setelah diikuti, yaitu : Pertama, perancangan

dan pembentukan berbagai perjanjian internasional di bidang HAM yang

sangat terdeviasi (bias) oleh kerangka berfikir (framework of thinking) dari

perancangnya. Kedua, kendala pada saat perjanjian internasional

diperdebatkan. Ketiga, menyangkut tujuan pembentukan perjanjian

internasional di bidang HAM yang dibuat tidak untuk tujuan mulia

menghormati HAM melainkan untuk tujuan politis. Keempat, perjanjian

internasional di bidang HAM setelah diikuti kerap hanya mendapatkan

perhatian secara setengah hati oleh negara berkembang.14

14 Ibid, hlm. 70-71

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

14

2. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Dalam perkembangan hak asasi manusia, pemikiran mengenai hak

asasi manusia mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban

manusia, terutama dalam ikatan kehidupan masyarakat, berbangsa dan

bernegara. Pasang surut hak asasi manusia ini, sebenarnya mulai muncul

setelah manusia memikirkan dirinya dalam lingkungan semesta.

Pemikiran mengenai hak asasi manusia ini mulai mencapai titik paling

rendah setelah dikemukakannya konsep kedaulatan Tuhan yang

dilakukan didunia ini dilakukan oleh seorang Raja atau Paus (Pemimpin

Gereja sedunia). Kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh raja ataupun

Paus tersebut, menjadikan raja atau Paus mempunyai kekuasaan yang

maha dasyat, sehingga mengakibatkan hak-hak raja termasuk para

keturunannya dan Paus dapat terpenuhi secara optimal, sementara bagi

manusia kebanyakan sama sekali tidak memiliki hak apapun. Raja

ataupun Paus mampu melakukan itu semua, karena menganggap bahwa

apa yang dilakukan itu semata-mata adalah perintah Tuhan, dan

memperolah kuasa dari Tuhan. Kondisi yang demikian ini, maka hak

asasi manusia dapat diibaratkan merupakan suatu impian dan barang

impian dan barang komoditi yang sangat mahal harganya, sekaligus

langka keberadaannya.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

15

Perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia dapat

dijelaskan sebagai berikut:15

a. Abad XVII dan XVIII

Berdasarkan sejarah perkembangannya, dijumpai adanya

beberapa naskah yang dapat dikategorikan sebagai dokumentasi

perkembangan hak asasi manusia, yaitu:

a) Magna Charta (Piagam Agung 1215): Suatu dokumen yang

mencatat hak yang diberikan oleh Raja John Lackland dari

Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tutntutan

mereka. Dengan adanya naskah ini, sekaligus menimbulkan

konsekuensi terhadap pembatasan kekuasaan Raja John Lackland.

Hak yang diberikan kepada para bangsawan ini merupakan

kompensasi dari jasa-jasa kaum bangsawan dalam mendukung

Raja John di bidang keuangan.

b) Bill of Rights (UU Hak 1689): Suatu Undang-undang yang

diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun

sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James II,

dalam suatu revolusi gemilang. Dalam analisis Marxis, Revolusi

Gemilang tahun 1688 dan Bill of Rights yang melembagakan

adalah kaum borjuis yang hanya menegaskan naiknya kelas

bangsawan dan pedagang diatas monarki. Sementara rakyat dan

kaum pekerja tetap hidup tertindas.

15 Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, & Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Yogyakarta, 2003, hlm 266-267.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

16

c) Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Peryataan hak-

hak manusia dan warga negara 1789), yakni suatu naskah yang

dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis, sebagai

perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dari rezim lama.

d) Bill of Rights (UU Hak): suatu naskah yang disusun oleh rakyat

Amerika dalam tahun 1789 (sama dengan Deklarasi Perancis) dan

menjadi bagian dari UUD Amerika pada tahun 1791.

Berdasarkan naskah-naskah dokumentasi tersebut diatas, maka dapat

ditarik pemahaman bahwa perkembangan mengenai Hak Asasi Manusia

abad XVII dan XVIII muncul sebagai akibat adanya kesewenang-

wenangan penguasa. Naskah-naskah itu merupakan ekspresi perlawanan

terhadap penguasa yang dzalim. Hak-hak yang dirumuskan pada abad ini

sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai Hukum Alam (Natural Law)

oleh John Locke (1632-1714) dan JJ. Rousseau (1712-1778) yang hanya

terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan hak, hak

atas kebebasan, hak untuk memilih dan lainnya.

b. Abad XX

Dalam abad ini ditandai dengan terjadinya Perang Dunia II

yang memporak-porandakan kehidupan kemanusiaan. Perang dunia

ini disebabkan oleh ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak

demokratis, seperti Jerman oleh Hitler, Italia oleh Benito Mussolini,

dan Jepang oleh Hirohito. Berkaitan dengan hal ini, maka hak-hak

politik yang tertuang dalam naskah-naskah abad XVII dan XVIII

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

17

dianggap kurang sempurna dan perlu diperluas ruang lingkupnya.

Franklin D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II merumuskan

adanya 4 (empat) hak, yaitu:

a) Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (Freedom

of Speech).

b) Kebebasan beragama.

c) Kebebasan dari ketakutan.

d) Kebebasan dari kemelaratan.

Kemudian pada tahun 1946, Commision on Human Rights (PBB)

menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial,

disamping hak-hak politik. Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948

dengan disusun pernyataan sedunia tentang Hak-hak asasi manusia

(Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember

1948.

Dari penjelasan sejarah perkembangan tersebut diatas, maka nampak

bahwa pengertian hak asasi manusia mengalami peralihan yang cukup

signifikan, yakni dari semata-mata kepedulian akan perlindungan

individu-individu dalam menghadapi absolutisme kekuasaan negara,

beralih kepada penciptaan kondisi sosial ekonomi yang diperhitungkan

akan memungkinkan individu-individu mengembangkan potensinya

sampai maksimal.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

18

3. Macam-macam Hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi:16

a) Hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi kebebasan

menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan

bergerak, dan sebagainya.

b) Hak-hak asasi ekonomi atau property rights yaitu hak untuk memiliki

sesuatu, membeli, dan menjual serta memanfaatkannya.

c) Hak-hak asasi politik atau political rights yaitu hak untuk ikut serta

dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu

pemilihan umum), hak untuk mendirikan partai politik dan

sebagainya.

d) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum

dan pemerintahan atau rights of legalequality

e) Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights

yaitu hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan

kebudayaan dan sebagainya.

f) Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan

perlindungan atau procedural rights yaitu peraturan dalam penahanan,

penangkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya.

Pemenuhan hak asasi manusia dalam suatu negara, tidak lepas dari

adanya suatu kewajiban yang timbul baik oleh suatu negara atau

masyarakat dalam negara tersebut sehingga muncul suatu keharmonisan

16 Ramdlon Naning, Op.Cit, hlm. 17.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

19

yang berjalan secara selaras dan seimbang antara hak dan kewajiban

manusia.

B. Perjanjian Internasional

1. Pengertian dan Istilah-istilah Perjanjian Internasional

Berdasarkan bunyi Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah

Internasional disebutkan bahwa yang termasuk sumber hukum

internasional, yaitu:17

a. Perjanjian Internasional atau Traktat (International convention,

whether general or particular, establishing rules expressly

recognized by the contesting states).

Traktat dalam pengertian luas adalah perjanjian antara

pihak-pihak peserta atau negara-negara di tingkat internasional.18

Traktat memberikan pengaruh terhadap arah pembentukan suatu

kaidah hukum internasional. Pada dasarnya traktat memiliki dua

sifat, yaitu traktat yang membuat hukum (law making treaty) dan

traktat kontrak (treaty of contract).

b. Kebiasaan Internasional sebagai bukti dari praktik-praktik umum

yang dilakukan oleh negara dan diterima sebagai hukum

(International custom as evidence of a general practices accepted

as law).

17 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm. 33. 18 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 12.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

20

Kebiasaan merupakan hukum yang mengikat yang berasal

dari praktik-praktik yang telah dilakukan oleh negara-negara.19

Tidak setiap kebiasaan internasional merupakan kaidah hukum.

Agar suatu kebiasaan dapat diterima sebagai hukum kebiasaan

internasional, maka harus memenuhi unsur-unsur berikut: 20

a).Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, sehingga diperlukan suatu tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Tindakan tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional;

b). Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum, apabila negara-negara tidak menyatakan keberatan terhadapnya.

c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab

(The general principles of law recognized by civilized nations).

Asas-asas umum hukum adalah sekumpulan peraturan hukum

dari berbagai bangsa dan negara, yang secara universal

mengandung kesamaan.21

d. Keputusan Hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional

dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan

hukum (Judicial decisions and the teachings of the most highly

qualified publicists of the various nations, as subsidiary means

for the determination of rules of law).

Berbeda dengan sumber hukum lainnya, keputusan

hakim dan ajaran ahli hukum hanya merupakan sumber

tambahan, yang artinya keputusan hakim dan ajaran ahli hukum 19 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Intenasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 51. 20 Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Op.Cit, hlm. 144-145. 21 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit, hlm. 64.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

21

dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum

internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas

sumber primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan

internasional, dan asas-asas umum hukum.22

Pengertian perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :23

Dalam arti sempit pengertian Perjanjian Internasional disebutkan

dalam Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1986 (Vienna Convention on the

Law of Treaties) :

“Treaty means an internastional agreement concluded between States in written form and governed by international law, wether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular”

Artinya : Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dengan apapun nama yang diberikan.

Dalam arti sempit ini dimaksudkan bahwa perjanjian internasional adalah

perjanjian yang dibuat oleh negara saja.

Terdapat dua unsur pokok yang ada dalam definisi perjanjian internasional

diatas, yaitu :24

a. Adanya subjek hukum internasional

Negara adalah subjek hukum internasional, (par excellence) yang

mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian

internasional seperti yang tercantum dalam pasal 6 Konvensi Wina tahun

22 Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Op.Cit, hlm. 150-151. 23 I Wayan Parthiana,Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Penerbit Mandar Maju Bandung, 2002, hlm. 15. 24 Boer Mauna, Op.cit, hlm. 85

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

22

1969, namun pada saat ini organisasi-organisasi internasional juga

memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional, sebagai

contoh perjanjian antara UNESCO dengan Perancis tanggal 2 Juli 1954

tentang pendirian gedung dan status UNESCO di Perancis, selain itu

antara PPB dengan pemerintah Amerika Serikat tanggal 26 Juni 1947

tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York.

b. Adanya rejim hukum internasional

Suatu perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut diatur

oleh rejim hukum internasional. Perjanjian yang tunduk dan diatur oleh

rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk dalam definisi

perjanjian internasional (treaty).

Dalam arti luas pengertian perjanjian internasional adalah :

“Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai obyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.”

Berdasarkan pengertian secara luas tersebut terdapat unsur-unsur perjanjian

internasional, yaitu :25

a) Kata sepakat.

Kata sepakat merupakan unsur yang sangat esensial dari suatu

perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Kata sepakat adalah inti dari

perjanjian, tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan

ada perjanjian.

25 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, CV Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 16-18

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

23

b) Subjek – subjek hukum internasional.

Subjek-subjek hukum dalam hal ini adalah subjek-subjek hukum

internasional yang terikat pada perjanjian. Dalam perjanjian internasional

yang tertutup dan substansinya lebih bersifat teknis, misalnya dalam

perjanjian bilateral atau multilateral terbatas, pihak-pihak yang

melakukan perundingan (negotiating state) merupakan pihak yang terikat

pada perjanjian tersebut. Sedangkan pada perjanjian internasional yang

terbuka dan isinya mengenai masalah-masalah yang bersifat umum,

antara para pihak yang melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang

terikat pada perjanjian belum tentu sama. Subjek-subjek hukum

internasional yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan perjanjian

internasional adalah:

1) Negara;

Negara merupakan subjek hukum internasional yang memiliki

kapasitas penuh (full capacity) untuk mengadakan atau

berkedudukan sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional.

Kemampuan yang dimiliki negara untuk membuat suatu

perjanjian adalah sebagai implementasi dari kedaulatan negara

tersebut. Tidak ada batasan terhadap hak dari negara untuk

membuat suatu perjanjian, jika ada batasan hak bagi sebuah

negara untuk membuat suatu perjanjian biasanya lebih bersifat

politis bukan yuridis26.

26 Ibid,, hlm. 19

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

24

2) Negara bagian;

Dalam suatu negara federal, yang menjadi pengemban hak dan

kewajiban subjek hukum internasional adalah pemerintah federal.

Akan tetapi, ada kalanya konstitusi federal memungkinkan negara

bagian mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau

melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah federal27.

3) Tahta Suci atau Vatican;

Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu hukum dalam arti yang

penuh dan sejajar kedudukannya dengan negara. Hal ini terjadi

terutama setelah diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta

Suci pada tanggal 11 Februari 1929 (Lateran Treaty) yang

mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci dan

memungkinkan didirikannya negara Vatikan, yang dengan

perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui28. Oleh karena itu

Vatikan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara dan

dapat melakukan hubungan dengan luar negeri sebagai salah satu

masyarakat internasional juga membuka hubungan diplomatik

dengan negara-negara dan organisasi internasional.

4) Wilayah perwalian (Trusteeship Territory);

Wilayah perwalian adalah wilayah bekas jajahan dimana dulu

disebut dengan wilayah mandat dalam kerangka Liga Bangsa-

27 Oppenheim-Lauterpacht, Internasional Law, 8th, ed, London, Vol.I (peace), p.p. 489-490, pp. 252-254, dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 98 28 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 100

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

25

Bangsa (LBB). Wilayah perwalian merupakan wilayah yang

belum merdeka yang sedang diarahkan untuk menjadi negara

yang merdeka dan berdaulat penuh.

5) Organisasi internasional;

Organisasi internasional sebagai subjek dalam arti yang luas

dimaksudkan tidak saja menyangkut semua organisasi yang

dibentuk oleh negara-negara (public international organization),

tetapi juga yang dibentuk oleh badan-badan non-pemerintah

(private international organization) personalitas dari suatu subjek

hukum organisasi internasional, untuk melakukan tidakan-

tindakan sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam

instrument dasar yang dimilki oleh organisasi internasional

tersebut29.

6) Kaum Beligerensi;

Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh

kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent)

dalam beberapa keadaan tertentu30. Kaum beligerensi atau

kelompok yang sedang berperang memiliki kedudukan yang sama

dengan pemerintah yang berkuasa maupun dengan negara-negara

pada umumnya. Kaum beligerensi merupakan kelompok yang

memberontak kepada pemerintahan yang tengah berkuasa.

Namun, pemberontakan yang dilakukan bukan lagi dalam lingkup 29 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1990, hlm. 12 30 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op., Cit., hlm. 110

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

26

nasional negara tersebut melainkan sudah menjadi masalah

internasional31.

7) Bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.

Misalnya perjuangan bangsa Palestina dalam

memperjuangkan hak-haknya tanpa dibelenggu oleh bangsa

Yahudi Israel. Karena apa yang menjadi hak milik bangsa

Palestina hampir seluruhnya raib.

c) Berbentuk tertulis.

Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat yang

otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam

bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang

bersangkutan. Biasanya bahasa yang umum dipergunakan adalah bahasa

Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional.

d) Objek tertentu

Objek dari perjanjian internasional itu adalah objek atau hal yang

diatur didalamnya. Setiap perjanjian internasional perjanjian pasti

mengandung objek tertentu, tidak ada perjanjian yang tanpa objek yang

pasti. Objek itu sendiri secara langsung menjadi nama dari perjanjian

tersebut.

e) Tunduk dan diatur oleh hukum internasional.

Hukum internasional dalam unsur ini adalah baik hukum internasional

pada umumnya, maupun hukum internasional pada khususnya, seperti

31 I wayan Parthiana, Op., Cit.,, hlm. 24

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

27

yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap perjanjian melahirkan

hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para

pihak yang terikat pada perjanjian tersebut.

Sejak perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian,

pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul

serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya tunduk pada hukum

internasional. hal ini menunjukkan bahwa perjanjian itu memiliki sifat

internasional dan oleh karena itu termasuk dalam ruang lingkup hukum

internasional.

Boer Mauna memberikan pengertian bahwa melalui perjanjian

internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur

berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup

masyarakat itu sendiri. Perjanjian internasional yang pada hakekatnya

merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-

instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau

subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama,

mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya,

dan bersifat mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut.32

Dalam suatu praktik pembuatan perjanjian diantara negara-negara

dikenal dengan berbagai macam nama dan istilah. Suatu terminologi

perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur

32Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global Edisi ke-2 2005, PT. Alumni, Bandung, 2010. hlm. 82

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

28

dengan memperhatikan keinginan para pihak dalam perjanjian internasional

tersebut.

Dari uraian tersebut maka dapat ditarik ciri-ciri dari perjanjian

internasional, yaitu:

a) Dibuat oleh subjek hukum internasional.

Subjek hukum internasional yang mempunyai kemampuan untuk

mengadakan perjannjian internasional terdiri dari negara, negara bagian,

wilayah perwalian, tahta suci atau vatikan, kaum belligerensi, dan

organisasi internasional yang merupakan subjek buatan, serta bangsa

yang sedang memperjuangkan haknya.

b) Perbuatannya diatur oleh hukum internasional.

Dalam bukunya Boer Mauna menyebutkan, pada umumnya hukum

internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan

ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara

negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan

masyarakat internasional.33

c) Akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak (pacta sunt

servanda).

Sesuai dengan Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang

Perjanjian Internasional bahwa “Every treaty in force is binding upon the

parties to it and must be performed by them in good faith.” Negara yang

33 Ibid. hlm. 1

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

29

menjadi pihak kemudian harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian

tersebut dalam peraturan perundang-undangen nasional negaranya.

Perjanjian internasional mempunyai istilah-istilah yang sudah biasa

digunakan secara umum antara lain, traktat, konvensi, deklarasi, statuta,

piagam, kovenan, persetujuan, perjanjian, pakta, protokol, final act, agreed

minutes dan sumary record, memorandum of understanding, arrangement,

exchange of notes, process verbal, dan modus vivendi. Masing-masing dari

istilah tersebut mempunyai kriteria sendiri-sendiri.

1) Treaties (Traktat)

Traktat atau treaties merupakan perjanjian internasional yang

mencakup seluruh instrument yang dibuat oleh subjek hukum

internasional dan memiliki kekuatan mengikat menurut hukum

internasional. Traktat biasanya berisi materi perjanjian yang menyangkut

masalah penting, besar, dan sangat prinsipil.

2) Convention (Konvensi)

Convention atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan konvensi

dalam praktek internasional merupakan istilah dari perjanjian yang

mempunyai kedudukan paling tinggi salain treaties atau traktat. Konvensi

digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional multilateral yang

mengatur masalah yang sangat penting dan besar. Perjanjian yang dibuat

dengan menggunakan istilah konvensi biasanya dimaksudkan untuk

berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum

dan luas.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

30

3) Agreement (Persetujuan)

Persetujuan atau agreement merupakan perangkat perjanjian

internasional yang tingkatannya lebih rendah dari traktat atau konvensi.

Agreement mengatur masalah yang ruang lingkupnya lebih sempit dari

traktat atau konvensi. Biasanya agreement digunakan untuk perjanjian

bilateral atau multilateral terbatas.

4) Charter (Piagam)

Istilah charter biasanya digunakan untuk perjanjian yang merupakan

dasar pendirian sebuah organisasi internasional. Contohnya Piagam PBB

1945

5) Protocol (Protokol)

Istilah lain dari perjanjian internasional adalah protokol (protocol).

Protokol biasanya memuat perjanjian yang materinya lebih sempit

dibandingkan dengan traktat atau konvensi. Penggunaan protokol

memiliki berbagai macam keragaman, yaitu :

1. Protocol of Signature (Protokol Penandatanganan), Protokol penandatanganan merupakan perangkat tambahan suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh pihak-pihak yang sama pada perjanjian. Protokol tersebut umumnya berisikan hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran pasal-pasal tertentu pada perjanjian dan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan perjanjian.

2. Optional protocol (Protokol tambahan), Protokol tambahan memberikan tambahan hak dan kewajiban selain yang diatur dalam perjanjian internasional. Protokol tambahan memiliki karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari perjanjian induknya.

3. Protocol Based of Framework Treaty (Protokol Kerangka Perjanjian),

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

31

Protokol ini merupakan perangkat yang mengatur kewajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya.

4. Protokol untuk mengubah beberapa perjanjian Internasional, 5. Protokol yang merupakan pelengkap perjanjian sebelumnya.

6) Declaration (Deklarasi)

Merupakan suatu perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum

dimana pihak-pihak pada deklarasi berjanji untuk melaksanakan

kebijakan-kebijakan tertentu dimasa yang akan datang. Perbedaan

dengan konvensi ialah deklarasi isinya lebih ringkas dan padat serta

mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal

seperti surat kuasa (full powers), ratifikasi dan lain-lainnya.34 Deklarasi

dibagi menjadi empat macam, yaitu35;

1. Deklarasi sebagai suatu perjanjian dalam arti yang sejati atau sebenarnya.

2. Deklarasi sebagai suatu instrument yang tidak formal yang dilampirkan pada suatu perjanjian sebagai penafsiran atau penjelasan tentang ketentuan-ketentuan dari perjanjian tersebut.

3. Deklarasi sebagai persetujuan informal yang berhubungan dengan masalah-masalah yang tidak begitu penting.

4. Deklarasi sebagai sebuah resolusi yang dikeluarkan dalam suatu konferensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan tentang beberapa prinsip yang harus dihormati oleh semua negara.

7) Statute (Statuta)

Istilah statuta biasa digunakan untuk perjanjian internasional yang

dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional, organisasi

internasional yang menggunakan istilah statuta untuk piagamnya adalah

Mahkamah Internasional (Statute of International Court of Justice).36

34 Boer Mauna, Op.cit, hlm. 93-94 35 I Wayan Parthiana, Op., Cit,. hlm. 29 36 Ibid, hlm. 30-31

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

32

8) Agreement (Persetujuan)

Istilah agreement memiliki pengertian umum dan khusus, sama

halnya dengan convention, dalam pengertian umum Konvensi Wina 1969

menggunakan istilah agreement dalam artian luas. selain memasukkan

definisi treaty sebagai international convention, konvensi tersebut juga

menggunakan istilah international agreement bagi perangkat

internasional yang tidak memenuhi definisi treaty, dengan demikian

pengertian umum dari agreement mencakup seluruh perangkat

internasional yang biasanya mempunyai kedudukan lebih rendah dari

traktat atau konvensi.

Pengertian agreement secara khusus dalam bahasa Indonesia dikenal

dengan nama persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan umumnya

mengatur materi yang lebih kecil dibanding materi yang diatur pada

traktat. Isitilah persetujuan saat ini cenderung digunakan bagi perjanjian

bilateral dan terbatas pada perjanjian multilateral.37

9) Arrangement (Penetapan)

Digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang ditinjau

dari isinya lebih bersifat teknis dan administratif. Dalam hal ini

arrangement juga digunakan untuk melaksanakan proyek-proyek jangka

pendek yang betul-betul bersifat teknis. Istilah arrangement digunakan

untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam persetujuan-

persetujuan kerjasama teknis, persetujuan-persetujuan kerjasama teknik

37 Boer Mauna, Op.cit, hlm. 91-92

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

33

tersebut hanya menyebutkan bidang-bidang kerjasama saja sedangkan

pelaksanaan tiap-tiap bidang serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban para

pihak akan diatur dalam special arrangement.38

10) Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman).

Nota kesepahaman merupakan perjanjian yang mengatur

pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi

yang diatur bersifat teknis, nota kesepahaman dapat berdiri sendiri dan

tidak memerlukan adanya perjanjian ini. Jenis perjanjian ini umumnya

dapat segera berlaku setelah penandatangan tanpa memerlukan

pengesahan.39

11) Pact (Pakta).

Istilah pakta dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional

dalam bidang, militer, pertahanan dan keamanan, misalnya perjanjian

tentang organisasi kerjasama pertahanan dan keamanan Atlantik Utara

(North Atlantic Treaty Organization/NATO) disebut Pakta Atlantik.40

12) Exchange of Notes

Pertukaran nota atau exchange of notes merupakan perjanjian

internasional yang bersifat umum yang memiliki banyak persamaan

dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan

menukarkan dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak

pada masing-masing dokumen41.

38 ibid, hlm. 95 39Ibid, hlm 95 40 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 1, Op.cit, hlm. 33 41Ibid., hlm 95

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

34

13) Modus Vivendi

Modus Vivendi merupakan suatu perjanjian yang bersifat

sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang

tetap dan terperinci. Modus Vivendi tidak memerlukan

pengesahan42.

2. Macam-macam Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional selain mempunyai berbagai istilah juga terdapat

pengklasifikasian yang merupakan macam-macam perjanjian internasional

yang membedakan antara perjanjian internasional yang satu dengan yang lain.

Macam-macam perjanjian ini diltinjau dari sudut pendekatan yang ditempuh.

Macam-macam perjanjian, yaitu43;

1) Perjanjian internasional ditinjau dari jumlah peserta;

a. Perjanjian internasional bilateral

Perjanjian internasional bilateral merupakan perjanjian yang

disepakati oleh dua negara saja. Perjanjian tersebut hanya

mengikat kedua negara tersebut.

b. Perjanjian internasional multilateral.

Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang pihaknya

terdiri dari lebih dari dua negara.

42 Ibid., hlm 95 43 I Wayan Parthiana, Op., Cit,. hlm. 40-47

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

35

2) Perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan

kepada negara-negara untuk menjadi pihak

a. Perjanjian internasional khusus

Perjanjian internasional khusus disebut juga perjanjian

tertutup yaitu hanya mengikat bagi para pihak saja , sifatnya

tertutup hanya bagi yang ikut dalam perjanjian.

b. Perjanjian internasional terbuka

Perjanjian internasional terbuka merupakan perjanjian yang

bersifat terbuka bagi negara-negara yang tidak ikut dalam

perundingan untuk bergabung di dalam perjanjian tersebut.

3) Perjanjian internasional ditinjau dari kaidah hukumnya;

a. Perjanjian internasional yang berlaku khusus (Treaty

contract)

Perjanjian internasional yang hanya melahirkan kaidah

hukum bagi negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian

saja. Perjanjian ini bersifat tertutup.

b. Perjanjian internasional regional

Perjanjian internasional yang hanya melahirkan kaidah

hukum bagi negara-negara yang ada dalam satu kawasan saja

atau dalam satu regional. Mempunyai akibat hukum hanya bagi

negara-negara yang berada dalam satu kawasan tersebut.

c. Perjanjian internasional yang berlaku umum (Law making

treaty)

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

36

Perjanjian internasional ini melahirkan kaidah hukum yang

diharapkan menjadi sebuah kaidah yamg berlaku umum bagi

seluruh masyarakat internasional. Biasanya perjanjian ini

berkaitan dengan hal-hal atau masalah yang penting dan besar.

4) Perjanjian internasional ditinjau dari segi bahasanya;

a. Perjanjian yang dirumuskan dalam satu bahasa, biasanya bahasa

yang digunakan dalam perjanjian ini adalah bahasa Inggris

sebagai bahasa universal.

b. Perjanjian yang dirumuskan dengan dua bahasa, perjanjian ini

biasanya dituangkan dalam bahasa Inggris dan bahasa yang

sesuai dengan kesepakatan para pihak, tetapi hanya yang

dirumuskan dalam satu bahasa saja yang merupakan perjanjian

yang sah.

c. Perjanjian yang dirumuskan dengan tiga bahasa, semua

perjanjian tersebut sah dan otentik.

5) Perjanjian internasional ditinjau dari substansinya.

a. Perjanjian internasional yang seluruh pasalnya merupakan

perumusan dari kaidah hukum kebiasaan internasional dalam

bidang yang bersangkutan.

Perjanjian semacam ini tampaknya tidak ada lagi mengingat

perkembangan hukum internasional yang semakin pesat yang

mengakibatkan selalu ada unsur-unsur yang sama sekali baru

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

37

disamping kaidah-kaidah hukum yang sudah merupakan hukum

kebiasaan internasional.

b. Perjanjian internasional yang merupakan perumusan dan

melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional yang baru.

Perjanjian internasional semacam ini biasanya berkenaan

dengan masalah-masalah yang sama sekali baru dan kaidah

hukumnya sama sekali belum ada. Pada umumnya masalah-

masalah tersebut terjadi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi.

c. Perjanjian internasional yang merupakan perpaduan antara hukum

kebiasaan internasional dengan kaidah hukum internasional yang

baru.

Perjanjian semacam ini yang semakin banyak muncul, karena

masyarakat dan hukum internasional yang terus berkembang

dengan pesatnya, sehingga perumusannya dalam bentuk perjanjian

internasional, disamping harus menampung kaidah-kaidah hukum

yang sudah ada sebelumnya, juga harus dipadukan dengan kaidah-

kaidah hukum yang merupakan unsur-unsur baru sama sekali.

6) Perjanjian internasional ditinjau dari pemrakarsanya.

a. Perjanjian internasional yang diprakarsai oleh negara atau

negara-negara;

Perjanjian internasional ini diprakarsai oleh negara dengan

negara atau negara-negara dimana objek dalam perjanjian ini

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

38

merupakan kepentingan dari negara-negara saja. Untuk itu perjanjian

tersebut mengikat negara-negara yang mempunyai kepentingan.

Namun, perjanjian ini juga terbuka bagi negara-negara yang

mempunyai kepentingan yang sama untuk ikut terikat dengan

perjanjian tersebut meskipun tidak ikut dalam perundingan.

b. Perjanjian internasional yang diprakarsai oleh organisasi

internasional.

Organisasi internasional terutama organisasi internasional antar

negara atau antar pemerintah dapat memprakarsai dibentuknya suatu

perjanjian. Namun, perjanjian disini haruslah sesuai dengan objek

yang merupakan kegiatan, tujuan, dan maksud dari dibentuknya

organisasi internasional yang bersangkutan.

7) Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya.

Pada dasarnya macam-macam perjanjian internasional ini sama

dengan perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang

diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak atau peserta,

karena negara-negara yang telah menjadi pihak atau peserta

perjanjian internasional tersebut maka secara otomatis berlaku dalam

ruang lingkup negara-negara pesertanya, yang membedakan terletak

wilayah dan pemerintahnya, dalam hal ini berlaku asas teritorial dan

personalitas dari negara-negara yang mengikatkan diri dalam

perjanjian tersebut.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

39

3. Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional

Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional diatur dalam Pasal 6-10

Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian.44 Pembuatan perjanjian

internasional dapat melalui dua tahap atau lebih dari dua tahap, pembuatan

perjanjian internasional yang melalui dua tahap hanya terdiri dari proses

perundingan dan penandatangan.

Pembuatan perjanjian internasional yang terdiri dari lebih dua tahap jika

ditinjau dari isi atau materi dalam perjanjian yang dibuat pada umumnya

menyangkut hal-hal yang mengandung nilai yang penting atau prinsip bagi para

pihak terikat, hanya saja penentuan atau kriteria mengenai penting atau tidaknya

masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan.45

Berikut ini tahap-tahap dalam pembuatan perjanjian internasional :

1. Pendekatan Informal.

Pada zaman modern sekarang ini, pihak-pihak yang bermaksud untuk

membuat atau merumuskan suatu perjanjian internasional mengenai suatu

masalah tertentu, terlebih dahulu melakukan pendekatan-pendekatan, yang

bersifat informal dalam rangka mencapai kesepakatan untuk membuat suatu

perjanjian internasional yang mengatur suatu masalah tertentu.

Dalam perjanjian bilateral atau multilateral terbatas biasanya dengan

pendekatan antara dua pejabat negara yang berwenang dalam masalah yang

sama, sedangkan dalam perjanjian multilateral umum atau terbuka,

pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan melalui pertemuan-pertemuan

44 I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar..., Op.cit, hlm. 172 45Ibid, hlm. 171

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

40

informal antara para diplomat atau pejabat negara, baik secara bilateral-

bilateral untuk selanjutnya ditingkatkan dalam forum yang lebih resmi.

Kesepakatan-kesepakatan hasil pendekatan informal itulah nantinya akan

dilanjutkan dengan langkah-langkah formal untuk merumuskan suatu

perjanjian yang disebut perundingan (Negotiation).46

2. Perundingan (Negotiation).

Perundingan dalam suatu konferensi internasional baik yang bersifat

bilateral maupun multilateral umumnya dilakukan oleh utusan-utusan yang

ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri, pada perundingan-

perundingan untuk soal-soal tertentu terkadang Presiden atau Menteri Luar

Negeri atau Menteri lainnya sesuai dengan bidangnya masing-masing yang

memimpin delegasi.

Dalam praktek internasional utusan-utusan suatu negara dalam suatu

konferensi internasional biasanya dilengkapi dengan surat kuasa (full

powers), menurut Pasal 7 ayat (1) Konvensi Wina 1969,47 full powers

adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang

dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili

negaranya dalam berunding, menerima naskah atau membuktikan keaslian

46 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional 1, Op.cit, hlm. 93 47 Pengertian full powers dalam Konvensi Wina 1969 tercantum dalam Pasal 7, yang berbunyi : 1. A person is considering as representing a State for the purpose of adopting or authenticating

the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent to be bound by treaty if : (a) he produce appropriate full powers or; (b) it appears from the practice of the States concerned or from other circumstances that their

intention was to consider that person as representing the State for such purposes and to dispense with full powers.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

41

naskah atau melaksanakan perbuatan lainnya sehubungan dengan

perjanjian.48

Full powers tidak selalu merupakan satu-satunya dokumen yang

dimiliki oleh suatu delegasi dalam suatu konferensi bilateral maupun

multilateral, suatu delegasi yang menghadiri konferensi internasional dalam

kerangka suatu organisasi internasional biasanya dilengkapi dengan

credentials atau surat kepercayaan, Indonesia dalam prakteknya

memisahkan full powers dan credentials untuk menghadiri konferensi.

Delegasi RI yang dilengkapi dengan credentials hanya diberikan wewenang

untuk menghadiri konferensi dan bukan untuk menandatangani suatu

perjanjian, sedangkan full powers baru dikeluarkan bila suatu perjanjian

akan ditandatangani. Pengertian full powers dalam Konvensi Wina 1969

sudah termasuk pengertian credentials.49

3. Penerimaan Naskah (Adoption of the Text).

Setelah melalui proses perundingan antara wakil-wakil para pihak

ataupun perundingan melalui konferensi internasional sampai dengan

tercapainya kesepakatan antara para wakil yang melakukan perundingan

atas naskah perjanjian, maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu

penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian. Menurut Pasal 9 ayat (1)

Konvensi Wina 196950 penerimaan naskah suatu perjanjian internasional

48 Boer Mauna, Op.cit, hlm. 100 49 Ibid, hlm. 101-102 50 Ketentuan Pasal 9 Konvensi Wina 1969 berbunyi : 1. The adoption of the text of a treaty takes place by the consent of all the States participating in

its drawing except as provided in paragraph 2.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

42

dilakukan berdasarkan persetujuan dari semua negara yang berpartisipasi

dalam perumusan naskah perjanjian itu, kecuali penerimaan naskah

perjanjian yang lahir melalui suatu konferensi internasional seperti

ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2) konvensi ini. Pasal 9 ayat (2) tersebut

menegaskan bahwa penerimaan atau pengadopsian naskah suatu perjanjian

internasional yang dirumuskan melalui suatu konferensi internasional

dilakukan dengan persetujuan dua per tiga dari negara-negara yang hadir

dan memberikan suaranya, kecuali dengan suatu suara mayoritas yang sama

negara-negara itu menerapkan peraturan yang berbeda.51

4. Pengesahan Naskah (Authentication of the Text).

Pengesahan naskah suatu perjanjian internasional merupakan tahap

lanjutan dari penerimaan naskah perjanjian. Pengesahan naskah ini akan

meningkatkan status dari naskah yang sudah melewati tahap penerimaan

menjadi naskah yang final dan definitif, dengan status final dan definitif ini,

maka perjanjian itu tidak dapat diubah lagi, kecuali setelah perjanjian

tersebut sudah mulai berlaku, dapat diubah melalui proses amandemen

ataupun modifikasi sesuai dengan pengaturannya dalam perjanjian itu

sendiri atau jika perjanjian itu tidak mengaturnya, menurut prosedur seperti

yang dicantumkan dalam Bagian IV Pasal 39-41.52

2. The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by vote of two

thirds of the States present and voting, unless by the same majority they shall decide to apply a different rule.

51 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 1, Op.cit, hlm. 106-107 52 Ibid, hlm. 107

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

43

Menurut Pasal 10 Konvensi Wina 196953, pengesahan naskah suatu

perjanjian dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah

perjanjian-perjanjian itu sendiri, atau sesuai dengan apa yang diputuskan

bersama wakil-wakil yang ikut dalam konferensi, jika tidak ditentukan

sebelumnya maka pengesahan tersebut dapat dilakukan dengan

membubuhkan tanda tangan atau paraf dibawah naskah perjanjian atau

tanda tangan dalam suatu final act.54

5. Penandatanganan / Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian (Consent to

be Bound by Treaty)

Setelah naskah perjanjian resmi diterima sebagai naskah yang otentik,

perjanjian itu belum mengikat para pihak, dengan demikian belum memiliki

kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif, kecuali pada saat

pengesahan sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat

pada perjanjian. Agar perjanjian tersebut mengikat sebagai sumber hukum

internasional positif, maka negara-negara tersebut perlu menyatakan

persetujuan untuk terikat secara tegas pada perjanjian, jika negara tersebut

tidak menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian atau secara

tegas menolak untuk terikat, maka perjanjian tersebut tidak akan

mengikatnya. Persetujuan atau penolakan untuk terikat merupakan

53 Ketentuan Pasal 10 Konvensi Wina 1969 berbunyi sebagai berikut : “The text of a treaty is established as authentic and definitive : (a) by such procedur as may be provided for in the text or agreed upon by the States

participating in its drawing up; or (b) by failing such procedure by the signature, signature ad referendum or initialling by the

representatives of those States of the text of the treaty or of the Final Act of a conference incorporating the text”

54 Boer Mauna, Op.cit, hlm. 108

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

44

kedaulatan dari negara, setipa negara berdaulat tidak dapat dipaksa oleh

kekuatan apapun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya,

seperti menyatakan terikat pada perjanjian.

Menurut Pasal 11 Konvensi Wina 1969,55 ditegaskan beberapa cara

untuk menyatakan terikat persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian,

yaitu dengan penandatangan (signature), pertukaran istrumen yang

membentuk perjanjian (exchange of instruments constituting a treaty),

ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan atau aksesi

(approval or accession), atau dengan cara lain yang disepakati (or by any

other means if so agreed). Semua cara tersebut masing-masing diatur lebih

rinci dalam Pasal 12-17 Konvensi Wina 1969.

4. Akibat Hukum Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional mengikat para pihak (prinsip pacta sunt

servanda). Selanjutnya negara-negara pihak pada perjanjian harus menerapkan

ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangan

nasional. Sehubungan dengan itu, maka akibat dari perjanjian dibagi menjadi

tiga, yaitu;56

1. Akibat perjanjian terhadap negara-negara pihak;

Selain asas pacta sunt servanda yang digunakan, sesuai dengan

Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional

55 Ketentuan Pasal 11 Konvensi Wina 1969 berbunyi sebagai berikut : “The consent of a States to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instrument constitutinga treaty , acceptance, apporval or accession, or by any other means if so agreed” 56Boer Mauna, Op., Cit.,. hlm. 135

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

45

bahwa “Every treaty in force is binding upon the parties to it and

must be performed by them in good faith,” yang berarti bahwa negara-

negara yang terikat pada suatu perjanjian harus melaksanakan

kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam perjanjian internasional

yang telah disetujuinya dengan itikad baik. Negara yang terikat pada

perjanjian harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian.

2. Akibat perjanjian terhadap negara lain;

Perjanjian internasional selain berakibat pda negara-negara

dalam pihak perjanjian juga mempunyai akibat terhadap negara lain

Disini berlaku prinsip terkenal pacta tertiis nex nocent nec prosunt

yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan

kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga.57

Namun ada pengecualian terhadap prinsip tersebut, yaitu58;

a) Perjanjian yang mempunyai akibat kepada negara ketiga atas

persetujuan mereka.

Perjanjian ini memberikan hak kepada negara ketiga atas

persetujuan negara ketiga tersebut, hal ini dapat dilihat dalam

Pasal 35 Konvensi Wina 1969 tentang hukum Perjanjian yang

berbunyi;

Suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang berasal dari ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja oleh negara-negara pihak dan negara ketiga tadi menerima kewajiban tersebut dalam bentuk tertulis.

57 Ibid., hlm. 143 58 ibid., hlm. 144

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

46

b) Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga.

Klausula Most-Favoured Nation adalah suatu mekanisme yang

sering dipakai dalam hubungan ekonomi internasional. Klausula ini

berarti bahwa setiap keuntungan yang diperoleh suatu negara (negara

A), dalam kaintannya dengan suatu perjanjian di bidang tertentu

dengan negara lain (negara B), akan dinikmati pula oleh negara ketiga

(negara C).

c) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa

persetujuan mereka.

Pengecualian mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 (6)

Piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa PBB harus

memastikan negara-negara bukan anggota PBB bertindak sesuai

dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk

perdamaian dan keamanan internasional. Jadi, negara bukan anggota

PBB sepanjang mengenai perdamaian dan keamanan internasional

harus bertindak sesuai dengan asas dari piagam. 59

3. Implementasi perjanjian pada peraturan perundang-undangan nasional

Negara yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian berarti negara

tersebut sudah terikat dengan perjanjian untuk itu harus menerapkan

ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-

undangan nasional negaranya. Perjanjian internasional kemudian

harus dituangkan dalam perundang-undangan negara yang terikat

59 Ibid., hlm. 145

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

47

sebagai wujud pelaksanaan perjanjian secara nasional oleh negara

tersebut.

Jika, suatu negara menolak pelaksanaan perjanjian internasional

karena bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum nasional negaranya

padahal sudah terikat maka, tidak dapat dijadikan alasan bagi negara

tersebut untuk megalahkan perjanjian internasional dari hukum

nasionalnya karena terdapat asas pacta sunt servanda, sehingga tetap

perjanjian internasional yang dimenangkan. Sebab, sebelum terikatnya

negara dalam perjanjian internasional sudah melewati tahapan-tahapan

dalam penyesuaiannya dengan perjanjian internasional tersebut. Kecuali,

jika alasan yang digunakan adalah mengenai masalah yang sangat

mendasar dan fundamental bagi suatu negara.

Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian

internasional mengandung dua aspek, yaitu aspek eksternal dan aspek

internal. Aspek eksternalnya adalah keterikatan negara yang

bersangkutan terhadap perjanjian dalam hubungannya dengan negara

yang lain yang juga sama-sama terikat pada perjanjian itu. Sedangkan

aspek internalnya berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari negara

yang bersangkutan, misalnya organ yang manakah dari pemerintah

negara itu yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada

suatu perjanjian internasional, bagaimanakah mekanismenya sampai

dengan dikeluarkannya persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

48

perjanjian, serta konsekuensinya terhadap hukum nasional dari

keterikatan pada perjanjian60.

Suatu negara yang telah meratifikasi suatu perjanjian

internasional dan juga telah mengundangkan ke dalam hukum

nasionalnya, serta beberapa hal juga telah menjabarkan atau

mentransformasikan ke dalam hukum nasionalnya sendiri, dalam

pelaksanaannya di dalam wilayahnya, juga akan berhadapan dengan

hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain.

Dalam hal ini terdapat beberapa kemungkinan yang akan

dihadapi, yakni :

1. Substansi maupun isi dan jiwa dari perjanjian itu sendiri selaras dengan

hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain. Dalam

hal ini tentulah tidak ada atau amat sedikit masalah yang muncul

berkenaan dengan penerapan perjanjian internasional itu, baik secara

internal maupun eksternal.

2. Setelah diratifikasi dan diterapkan oleh negara yang bersangkutan baru

diketahui bahwa perjanjian tersebut terdapat beberapa isi atau

ketentuannya ternyata bertentangan dengan hukum atau peraturan

perundang-undangan nasionalnya.

Dalam hal kemungkinan kedua yang mungkin akan terjadi maka

demi memelihara dan mempertahankan tertib masyarakat internasional,

dan demi mempertahankan nilai-nilai dan tujuan luhur dari perjanjian-

60 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, CV Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 144-145

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

49

perjanjian internasional serta juga supaya negara-negara tidak mudah

menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk mengesampingkan

suatu perjanjian internasional, hal ini ditegaskan dalam Pasal 27 Konvensi

Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention

on the Law of Treaties 1986) yang berbunyi :

“A party may not invoke the provisions of its internal law as justification of its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46.” (Salah satu pihak tidak boleh menjadikan ketentuan dalam hukum nasionalnya sebagai pembenar atas kegagalannya dalam melaksanakan suatu perjanjian internasional. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk mengabaikan Pasal 46).

Maksud dari ketentuan ini adalah untuk membatasi penyalahgunaan

perjanjian atas alasan berdasarkan hukum nasional, yang kemudian akan

menimbulkan akibat / dampak buruk terhadap perjanjian internasional itu

sendiri maupun terhadap negara peserta lainnya.61

C. Penyandang Cacat

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1980 tentang Usaha

Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa penderita cacat

adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai

kelainan fisik atau mental yang oleh karenanya merupakan suatu

rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan

secara layak, terdiri dari: cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat

rungu wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis.

61 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2,CV Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 275 - 278

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

50

Kategori penyandang cacat tersebut disempurnakan dengan

keluarnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang

cacat yang mendefinisikan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang

yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu

atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan

kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik,

penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental.62

Undang-undang No. 4 tahun 1997 juga menegaskan bahwa penyandang

cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki

kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama. Mereka juga

mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek

kehidupan dan penghidupan.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pengertian Penyandang

Cacat dibagi dalam 3 hal :

1. Impairment diartikan sebagai suatu kehilangan atau

ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan

struktur atau fungsi anatomis.

2. Disability diartikan sebagai suatu ketidakmampuan melaksanakan

suatu aktivitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang

normal yang disebabkan oleh kondisi impairment tersebut.

3. Handicap diartikan kesulitan/ kesukaran dalam kehidupan pribadi,

keluarga dan masyarakat, baik di bidang sosial ekonomi maupun

62 Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

51

psikologi yang dialami oleh seseorangyang disebabkan

ketidaknormalan tersebut.

Dalam situs Wikipedia disebutkan disabilitas (penyandang cacat)

merupakan kelainan pada organ tubuh makhluk hidup yang seharusnya

tidak dimiliki oleh suatu organ tersebut. Macam-macam disabilitas antara

lain :

a. Tuna netra, yaitu keadaan dimana organ penglihatan tidak

berfungsi untuk melihat

b. Tuna rungu, yaitu keadaan dimana organ pendengaran tidak dapat

difungsikan untuk mendengar suara

c. Tuna wicara, yaitu keadaan dimana seseorang tidak mempunyai

kemampuan berbicara dikarenakan terjadi kelainan fisik,

d. Tuna daksa, yaitu keadaan seseorang yang mengalami kelainan

disebabkan oleh tidak dimilikinya tangan untuk melakukan

sesuatu, atau tidak memiliki kaki untuk berjalan.

e. Tuna laras, yaitu keadaan seseorang yang mengalami kelainan

dalam cara dan sikap berperilaku yang berbeda dari kebanyakan

orang pada umumnya.

f. Tuna grahita, yaitu keadaan dimana seseorang mempunyai

kelainan mental

g. Tuna ganda, yaitu keadaan dimana seseorang mempunyai kelainan

yang lebih dari satu. Tuna ganda dapat disebut juga keadaan

dimana seseorang memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

52

kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah

pendidikan yang serius, sehingga dia tidak hanya dapat diatasi

dengan suatu program pendidikan khusus untuk satu kelainan

saja, melaiankan harus didekati juga dengan variasi program

pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

53

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Yuridis Normatif, yaitu metode dalam proses penyelidikannya meninjau dan

membahas objek penelitian dengan menekankan pada aspek-aspek yuridis

terhadap aturan-aturan atau instrumen hukum internasional berkaitan

mengenai pengaturan mengenai pemenuhan hak-hak penyandang cacat

berdasarkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities tahun 2006

di Indonesia.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif

maksudnya bahwa penelitian ini menggambarkan keadaan atau gejala dari objek

yang akan diteliti secara menyeluruh dan sistematis tanpa bermaksud mengambil

kesimpulan yang berlaku umum. Analitis karena kemudian akan dilakukan

analisis terhadap berbagai aspek yang diteliti dengan asas hukum, kaidah hukum

dan berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penulisan mengingat jenis penelitian merupakan

penelitian kepustakaan, maka lokasi bertempat di Pusat Informasi Ilmiah

Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, Perpustakaan Pusat

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

54

Universitas Jendral Soedirman, Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyumas,

serta media internet dengan menelaah pustaka yang berkaitan dengan kajian

penelitian.

D. Sumber Data

Sumber data dalam penyusunan penelitian ini adalah

1. sumber data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan

(library research) yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer adalah semua peraturan hukum yang

merupakan sumber hukum internasional. Dalam penelitian ini,

bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan hukum

internasional yang terkait dengan Penyandang Cacat

1) Undang-undang Dasar 1945 setelah Amandemen

2) Konvensi tentang hak-hak penyandang cacat tahun 2006

(Convention on the Rights of Persons with Disabilities)

3) Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional

(Vienna Convention On The Law Of Treaties, 1969).

4) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia.

5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang

Cacat.

6) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan

Convention on the Rights of Persons with Disabilities.

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

55

7) Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan dan

Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari buku-

buku, literatur, jurnal, doktrin, dan hasil penelitian yang terkait

dengan permasalahan penelitian.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, mencakup63:

Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun

penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, yaitu; kamus

hukum, ensiklopedia, indeks komulatif, opini media yang diambil

melalui internet.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara melalui metode

kepustakaan, pengumpulan data sekunder dengan melakukan penelusuran

terhadap bahan pustaka (literatur, Perundang-undangan, Hasil Penelitian,

Majalah Ilmiah, Buletin Ilmiah, Jurnal Ilmiah, dan sebagainya).

F. Metode Penyajian Data

Bahan yang diperoleh akan disajikan secara deskriptif dalam

bentuk uraian yang disusun secara sistematis, yang didahului dengan

pendahuluan yang berisi latar belakang masalah. Tujuan penelitian,

tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diteruskan dengan analisa data

dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan. 63 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 185

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

56

G. Metode Analisa Data

Bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis secara normatif

kualitatif, normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-

peraturan yang ada sebagai norma hukum positif. Sedangkan kualitatif

yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan

hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang

akhirnya akan ditarik kesimpulan pada karya tulis ini.

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

57

BAB 1V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Manusia sebagaimana diakui hukum merupakan subyek hukum

(pendukung hak / kewajiban hukum), pada saat itu sebenarnya hukum secara

formal mengakui hak asasi manusia, sehingga persoalan hukum dan hak asasi

manusia adalah satu, dalam arti hukum yang memberi pengayoman, kedamaian

serta ketentraman manusia bermasyarakat dan bernegara. Hal ini berarti ada

hukum yang sekedar “ada” untuk menunjuk bahwa aturan hukum dipakai dalam

suatu negara.64

Menyadari sepenuhnya bahwa persoalan hukum dan menegakkan hukum

sebagaimana penulis sebutkan diatas, saat ini in proses baik dalam arti nasional

maupun dunia internasional, hal ini sama persoalannya dengan hak asasi manusia

yang juga in proses atau dalam perjuangan. Sejauh mana perjuangan menegakkan

hukum dan menegakkan hak asasi manusia berhasil, kiranya sangat tergantung

atau berhubungan dengan kesadaran umat manusia sendiri, terutama para

negarawan Nasional dan Internasional. Persoalan hak asasi manusia apabila dikaji

lebih lanjut maka akan sampai pada satu “daerah” atau area bidang politik tiap-

tiap negara yang terkadang sudut pandang masing-masing negara berbeda dengan

aplikasi yang berbeda pula. Hal ini disadari oleh para ahli hukum internasional,

64 A. Masyhur Effendi, 1980, Tempat Hak-hak Azasi Manusia dalam Hukum Internasional / Nasional, Penertbit Alumni, Bandung, hlm. 14.

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

58

karena itulah dengan cara perundingan terus-menerus diusahakan adanya satu

konsensus Internasional dalam menegakkan hak asasi manusia di seluruh dunia.65

Hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang harus tetap

dihormati oleh setiap orang dan dilindungi oleh negara, meskipun seseorang itu

memiliki kelainan fisik (penyandang cacat). Perlindungan hak asasi manusia

tersebut mutlak diberikan tanpa pengecualian dan tanpa perbedaan menurut

bangsa, suku, ras, agama, jenis kelamin, maupun status sosial dan status hukum

seseorang.

Konsensus internasional tersebut sudah dituangkan dalam satu perjanjian

internasional atau konvensi internasional yaitu dalam Vienna Convention on the

Law of Treaties tanggal 23 Mei 1969 yang diharapkan merupakan wadah atau

sarana semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengadakan

komunikasi dengan dasar itikad baik (Good Faith and Pacta Sunt Servanda),

sehingga setiap pihak yang menghadapi keperluan atau persoalan dapat

menyelesaikannya melalui perjanjian.

Perjanjian internasional dalam perkembangan hukum internasional

memang memiliki peranan yang sangat penting, karena selain sebagai sumber

hukum yang paling utama dari hukum internasional, perjanjian internasional juga

lebih banyak menciptakan kepastian hukum dibandingkan dengan sumber hukum

internasional yang lainnya. Masyarakat internasional memang tidak memiliki

penguasa yang berwenang untuk menetapkan dan memaksakan aturan hukum

seperti dalam lingkup hukum nasional, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh

65 Ibid., hlm 15

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

59

aturan hukum yang tertulis dalam masyarakat internasional merupakan hasil dari

kesepakatan yang dibentuk oleh para subjeknya guna mencapai suatu tujuan dan

akibat hukum tertentu.66

Dewasa ini dan pada masa-masa yang akan datang negara-negara

menampakkan kecenderungan untuk mengatur dan menuangkan hubungan-

hubungan hukum internasionalnya ke dalam bentuk perjanjian. Hal ini disebabkan

oleh karena perjanjian internasional, lebih memberikan jaminan kepastian hukum

bagi pihak-pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga. Contohnya pada isi,

maksud dan tujuan dari para pihak baik yang tersurat maupun yang tersirat dapat

diketahui dengan membaca dan memahami naskah perjanjian tersebut. Demikian

pula mengenai cara-cara pembuatan, pengikatan diri dan pengakhiran berlakunya,

sudah diatur secara baku yang diakui dan dihormati oleh negara-negara di dunia.

Salah satu bentuk perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara

yang berisikan tentang permasalahan yang ada dalam masyarakat internasional

dan juga menjadi perhatian serius masyarakat internasional adalah mengenai hak

asasi penyandang cacat atau disabilitas. Konvensi yang mengatur tentang hak-hak

penyandang cacat dibuat pada tahun 2006 dengan nama Convention on the Rights

of Persons with Disabilities / CRPD 2006 atau biasa dikenal dengan istilah

Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat / Disabilitas.

66 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 2, Op.cit., Hlm 50

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

60

A. HASIL PENELITIAN

1. Pengaturan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat berdasarkan

Convention on the Rights of Persons with Disabilities Tahun 2006

Pasal 1 Konvensi Penyandang Cacat 2006 diuraikan mengenai

tujuan dibentuknya konvensi ini, berbunyi sebagai berikut:

a. The purpose of the present Convention is to promote, protect and ensure the full and equal enjoyment of all human rights and fundamental freedoms by all persons with disabilities, and to promote respect for their inherent dignity.

b. Persons with disabilities include those who have long-term physical, mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with various barriers may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others.

Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat atau CRPD

mempunyai tujuan untuk memajukan, melindungi dan menjamin

penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara

penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat dan untuk

memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.

Orang-orang penyandang cacat termasuk mereka yang memiliki

kerusakan fisik, mental, intelektual atau sensorik jangka panjang yang

dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi

partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif

berdasarkan pada asas kesetaraan.

Pada isi CRPD tidak terdapat definisi mengenai pengertian

penyandang cacat itu sendiri, tetapi dalam pasal 2 CRPD terdapat definisi

mengenai “Diskriminasi atas dasar kecacatan”.

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

61

Article 2, Definitions

Discrimination on the basis of disability means any distinction, exclusion or restriction on the basis of disability which has the purpose or effect of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise, on an equal basis with others, of all human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field. It includes all forms of discrimination, including denial of reasonable accommodation.67

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi Internasional

Hak-Hak Penyandang Cacat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3,

meliputi :

a. (Respect for inherent dignity, individual autonomy including the freedom

to make one's own choices, and independence of persons) Penghormatan

atas martabat yang melekat, otoritas individual termasuk kebebasan

untuk menentukan pilihan dan kemandirian orang-orang;

b. (Non-discrimination) Nondiskriminasi;

c. (Full and effective participation and inclusion in society) Partisipasi dan

keterlibatan penuh dan efektif dalam masyarakat;

d. (Respect for difference and acceptance of persons with disabilities as

part of human diversity and humanity) Penghormatan atas perbedaan dan

penerimaan orang-orang penyandang cacat sebagai bagian dari

keragaman manusia dan rasa kemanusiaan;

e. (Equality of opportunity) Kesetaraan kesempatan;

67 “Diskriminasi atas dasar kecacatan” berarti pembedaan, eksklusi, atau pembatasan apa pun atas dasar kecacatan yang bertujuan untuk atau berdampak pada perusakan atau penghapusan terhadap pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar dalam hal politik, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya, berdasarkan kesetaraan dengan orang-orang lain. Hal ini termasuk segala bentuk diskriminasi, termasuk penyangkalan atas akomodasi yang layak.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

62

f. (Accessibility) Aksesibilitas;

g. (Equality between men and women) Kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan; dan

h.(Respect for the evolving capacities of children with disabilities and

respect for the right of children with disabilities to preserve their

identities) Penghormatan atas kapasitas yang berkembang dari anak-anak

penyandang cacat dan penghormatan atas hak anak-anak penyandang

cacat untuk melindungi identitas mereka.

Perlindungan hak-hak Penyandang Cacat dalam Konvensi ini

dimuat secara rinci dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 30 yang terdiri

dari ketentuan mengenai :

1. Kesetaraan dan nondiskriminasi (Equality and non-discrimination);

Semua orang adalah setara di hadapan hukum dan berhak

untuk mendapatkan perlindungan dan keuntungan yang sama dari

hukum tanpa adanya diskriminasi terutama bagi penyandang cacat.

Untuk itu dalam rangka memajukan kesetaraan dan menghapuskan

diskriminasi, negara-negara pihak selayaknya untuk menjamin

tersedianya akomodasi yang cukup bagi penyandang cacat.

2. Perempuan penyandang cacat (Women with disabilities);

Pada perempuan dan anak-anak perempuan penyandang cacat

sering mengalami adanya diskriminasi ganda. Diskriminasi ganda yang

dialami tidak hanya pada fasilitas publik tetapi juga pada lapangan

pekerjaan, padahal banyak diantaranya yang mampu dan mempunyai

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

63

keahlian kerja. Negara-negara pihak harus menagmbil langkah yang

layak untuk menjamin pembangunan, pengembangan, dan

pemberdayaan penuh perempuan dengan tujuan agar mereka dapat

melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia.

3. Anak-anak penyandang cacat (Children with disabilities);

Seperti halnya orang penyandang cacat, kelompok anak

dengan kecacatan juga mengalami diskriminasi, malahan dengan

derajat kerentanan yang lebih ketimbang orang dewasa. Situasi ini

menempatkan anak penyandang cacat menjadi tidak terlindungi dan

rentan menjadi korban. Negara-negara pihak harus menjamin agar

mereka berhak untuk menyatakan pendapat secara bebas dengan dasar

kesetaraan dengan anak-anak normal lainnya serta menjamin bantuan

yang disediakan selayaknya sesuai dengan kecacatan dan usia mereka

demi perwujuan hak tersebut.

4. Peningkatan kesadaran (Awareness-raising);

Kesadaran akan hak-hak penyandang disabilitas di kalangan

aparat penegak hukum masih amat kurang. Maka negara-negara pihak

harus segera meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat, memerango

praktik-praktik yang membahayakan bagi penyandang cacat dan

memajukan kesadaran akan kapabilitas dan kontribusi bagi

penyandang cacat dengan tujuan untuk peningkatan kesadaran dan

penghormatan terhadap hak-hak penyandang cacat.

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

64

5. Aksesibilitas (Accessibility);

Negara-negara pihak harus menjaminkan akses penyandang

cacat terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan

komunikasi termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi,

serta fasilitas dan pelayanan lainnya yang terbuka atau tersedianya

layanan publik baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan atas dasar

kesetaraan dengan orang-orang lainnya. Maka negara pihak harus

membangun, memajukan serta menyediakan aksesibiltas yang

memadai kemudahan kehidupan penyandang cacat.

6. Hak hidup (Right to life);

Setiap orang memiliki hak hidup yang melekat pada dirinya

dan berhak memperoleh penikmatan yang efektif.

7. Situasi-situasi beresiko dan darurat kemanusiaan (Situations of risk

and humanitarian emergencies);

Penjaminan terhadap penyandang cacat yang harus dilakukan

oleh negara-negara pihak dalam hal memberikan perlindungan dan

keamanan sesuai dengan kewajiban mereka dalam melindungi warga

negaranya.

8. Pengakuan yang setara di hadapan hukum (Equal recognition before

the law);

Penyandang cacat memiliki hak atas pengakuan di hadapan

hukum serta menikmati kapasitas legal dalam berbagai aspek

kehidupan, dalam hal ini negara pihak harus menyediakan akses

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

65

terhadap dukungan yang dibutuhkan oleh penyandang cacat dan

menyediakan jaminan yang layak dan efektif untuk mencegah adanya

pelanggaran hak asasi manusia internasional.

9. Akses atas peradilan (Access to justice);

Negara-negara pihak harus menjaminkan adanya akses efektif

bagi penyandang cacat, termasuk melalui akomodasi yang prosedural

yang sesuai dengan usia atau juga sebagai saksi-saksi dalam proses

peradilan termasuk ditingkat penyelidikan atau tingkat lainnya. Akses

keadilan terhadap penyandang cacat bahwa negara-negara perlu

memastikan agar penyandang disabilitas memiliki akses yang sama

terhadap sistem keadilan seperti orang-orang lainnya. Bila diperlukan,

negara-negara perlu mengubah cara-cara dilakukannya sesuatu untuk

memungkinkan penyandang disabilitas mengambil bagian di segala

tahap proses beracara secara hukum. Negara-negara juga harus

mendorong pelatihan bagi orang-orang yang bekerja dalam sistem

keadilan, seperti misalnya hakim, polisi, dan staf lembaga

pemasyarakatan.

10. Kebebasan dan keamanan seseorang (Liberty and security of the

person);

Negara-negara pihak harus menjaminkan kebebasan bagi

penyandang cacat dalam menikmati hak atas kebebasan dan keamanan

seseorang dan keamanan untuk tidak adanya perampasan hak secara

sewenang-wenang.

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

66

11. Kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang

kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (Freedom from

torture or cruel, inhuman or degrading treatment or punishment);

Negara-negara pihak harus menjamin untuk mencegah orag-

orang penyandang cacat menjadi subjek penyiksaan, perlakuan atau

penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan

martabatnya.

12. Kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan (Freedom

from exploitation, violence and abuse);

Negara-negara pihak harus melindungi, mencegah dan

menempatkan peraturan penyandang cacat dari segala bentuk

eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan serta mengambil langkah

dalam pemulihan fisik, kognitif, psikologis, rehabilitasi dan reintegrasi

sosial penyandang cacat yang menjadi korban.

13. Perlindungan terhadap integritas seseorang (Protecting the integrity of

the person);

Setiap penyandang cacat memiliki hak atas penghormatan

terhadap integritas fisik dan mentalnya.

14. Kebebasan bergerak dan kebangsaan (Liberty of movement and

nationality);

Negara-negara pihak menjamin para penyandang cacat

memiliki hak untuk bebas segala sesuatu yang berkaitan dengan hak

Page 67: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

67

kebangsaannya. Begitu pula dengan anak-anak penyandang cacat,

mereka juga mempunyai hak untuk mendapatkan kebangsaannya.

15. Hidup mandiri dan keterlibatan dalam masyarakat (Living

independently and being included in the community);

Negara-negara pihak menjamin bagi penyandang cacat untuk

berhak hidup didalam masyarakat dan menyediakan akses pelayanan

dan fasilitas umum di masyarakat yang memadai untuk mendukung

aktfitas penyandang cacat.

16. Mobilitas personal (Personal mobility);

Negara-negara pihak menjamin untuk memfasilitasi dan

menyediakan akses dan alat bantu guna mendukung mobilitas personal

penyandang cacat serta mendorong untuk adanya produksi alat bantu

mobilitas, peralatan dan teknologi pendukung mobilitas tersebut..

17. Kebebasan berekspresi dan berpendapat serta akses terhadap informasi

(Freedom of expression and opinion, and access to information);

Negara-negara pihak menjamin penyandang cacat untuk dapat

melaksanakan haknya secara bebas dalam berekspresi dan

berpendapat, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan

memberikan informasi atau ide-ide. Negara-negara perlu mengambil

langkah-langkah yang layak untuk memastikan agar penyandang

disabilitas berhak menyuarakan apa yang mereka pikirkan dan

mengagihkan gagasan-gagasan mereka seperti yang dilakukan orang-

orang lainnya. Hal ini termasuk kebebasan untuk meminta,

Page 68: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

68

mendapatkan, dan mengagihkan informasi dan gagasan melalui

penggunaan bahaa isyarat, aksara Braille, materi cetak berukuran besar

atau jenis-jenis komunikasi lainnya.

18. Penghormatan terhadap privasi (Respect for privacy);

Negara-negara pihak harus melindungi privasi atas informasi

personal, kesehatan dan rehabilitasi orang-orang penyandang cacat.

19. Penghormatan terhadap rumah dan keluarga (Respect for and the

family);

Negara pihak harus menghapuskan diskriminasi terhadap

penyandang cacat di semua bidang yang berkaitan dengan perkawinan,

keluarga, status orang tua, dan hubungan personal. Negara menjamin

hak dan tanggung jawab penyandang cacat dalam melaksanakan

tanggung jawab merawat anak-anak mereka. Negara-negara pihak juga

menjaminkan anak-anak penyandang cacat juga berhak atas haknya

yang setara pada kehidupan keluarganya, seorang anak tidak boleh

dipisahkan dari orang tuanya tanpa ijin dari orang tuanya, maka negara

pihak harus menyediakan informasi, pelayanan dan dukungan bagi

anak penyandang cacat. Bagi keluarga yang tidak mampu untuk

merawatnya maka negara harus melakukan segala upaya untuk

menyediakan perawatan alternatif bagi anak penyandang cacat.

20. Pendidikan (Education);

Suatu sistem pendidikan yang influsif di semua tingkatan dan

pembelajaran jangka panjang, agar dapat mengembangkan potensi

Page 69: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

69

manusia sepenuhnya,pengembangan personalitas, bakat dan kreatifitas

serta memampukan penyandang cacat untuk berpartisipasi aktif dalam

kehidupan masyarakat. Maka negara pihak harus menjaminkan

penyandang cacat harus dimasukkan dalam sistem pendidikan umum

atas dasar kecacatan, bagi anak penyandang cacat dapat mengakses

pendidikan dasar dengan gratis serta tersedianya sarana-sarana yang

mendukung.

21. Kesehatan (health);

Dalam upaya menjamin akses pelayanan kesehatan yang

memadai bagi penyandang cacat, maka negara-negara pihak harus

menjamin untuk menyediakan pelayanan dan program-program yang

layak, berkualitas dan bebas biaya serta menyediakan tenaga ahli yang

profesional untuk memberikan perawatan kepada penyandang cacat,

dan juga melarang atau mencegah adanya diskriminasi pada pelayanan

kesehatan apapun bagi penyandag cacat.

22. Habilitasi dan rehabilitasi (Habilitation and rehabilitation);

Dalam mencapai dan mempertahankan kemandirian yang

semaksimal mungkin di berbagai aspek kehidupan, negara-negara

pihak harus mengorganisir, memperkuat, dan memperluas pelayanan

dan program-program habilitasi dan rehabilitasi yang komprehensif

khususnya di bidang kesehatan, pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan

sosial.

Page 70: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

70

23. Pekerjaan (work and employment);

Negara-negara pihak harus menjamin dan memajukan

perwujudan hak atas pekerjaan, termasuk mereka yang mengalami

kecacatan pada saat melaksanakan pekerjaannya. Negara pihak harus

menjamin untuk adanya pelarangan diskriminasi dalam segala hal yang

berkaitan dengan pekerjaan, melindungi hak-hak penyandang cacat

atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, menjamin bahwa para

penyandang cacat juga mampu melaksanakan hak-hak ketenagakerjaan

dan serikat buruh, memampukan penyandang cacat untuk mendapatkan

akses efektif atas program-program panduan teknis dan kejuruan

umum, memajukan atas kesempatan pekerjaan dan pengembangan

karier bagi penyandang cacat, mempekerjakan penyandang cacat di

sektor publik maupun swasta, menjaminkan adanya akomodasi yang

layak, memajukan akuisisi pengalaman kerja, rehabilitasi kejuruan dan

profesional. Negara pihak juga harus menjamin adanya pelarangan dan

perlindungan bagi penyandang cacat yang diperbudak, kerja paksa atau

kerja wajib.

24. Standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial (Adequate standard

of living and social protection);

Negara-negara pihak harus menjamin akses terhadap

pelayanan, peralatan dan bantuan lainnyayang layak dan terjangkau

untuk kebutuhan yang berkaitan dengan kecacatan, khususnya bagi

Page 71: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

71

perempuan dan anak-anak penyandang cacatserta orang-orang tua

penyandang cacat diberikan program jaminan sosial dan program

pengentasan kemiskinan.

25. Partisipasi dalam kehidupan politik dan publik (Participation in

political and public life);

Pada kehidupan politik, Negara-negara pihak harus menjamin

bahwa penyandang cacat dapat berpartisipasi dalam kehidupan

politikdan publik secara penuh dan efektif, baik secara langsung

maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, termasuk hak

dan kesempatan bagi penyandang cacat untuk memilih dan dipilih.

Pada kehidupan publik, negara-negara pihak menjamin untuk

memajukan secara aktif lingkungan dimana penyandang cacat dapat

berpartisipasi penuh dan efektif dalam persoalan-persoalan publik.

26. Partisipasi dalam kehidupan budaya, rekreasi, waktu luang dan olah

raga (Participation in cultural life, recreation, leisure and sport).

Negara-negara pihak menjamin bagi penyandang cacat untuk

menikmati akses terhadap segala kehidupan dan pelayanan budaya

serta berhak untuk mendapatkan pengakuan terhadap budaya spesifik

serta identitas bahasa mereka, termasuk bahasa isyarat dan budaya tuna

rungu. Negara-negara pihak juga menjamin bahwa penyandang cacat

memiliki kesempatan yang sama dalam hal akses terhadap olah raga,

rekreasi dan turisme. Akses yang sama ada pada anak-anak

penyandang cacatuntuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan

Page 72: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

72

permainan, rekreasi, dan waktu luang, serta olah raga, termasuk

kegiatan dalam sistem sekolah.

Selain itu juga terdapat pengaturan didalam Optional Protocol to

the Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Protokol

Opsional Konvensi Hak Penyandang Cacat) yang dibuat pada bulan Mei

2008, yang memungkinkan perorangan atau kelompok yang merasa hak-

haknya dilanggar untuk melakukan pengaduan dengan mekanisme

internasional.

Terdapat 18 pasal dalam protokol opsional yang telah disepakati

oleh negara-negara pihak. Pada saat ini protokol opsional konvensi ini

telah ditandatangani oleh 90 negara dan telah diratifikasi oleh 63 negara.

Protokol opsional ini tidak memberikan hak tambahan pada negara-

negara yang telah mengakui, menandatangani dan/atau meratifikasi

konvensi penyandang cacat. Sebaliknya, protokol opsional ini

menetapkan prosedur untuk memperkuat dan melengkapi konvensi hak

penyandang cacat dalam mengimplementasikannya di setiap negara.

Prosedur-prosedur tersebut yaitu:

a. Prosedur komunikasi (a communication procedure)

Prosedur komunikasi memungkinkan untuk pengaduan

individu yang akan diajukan kepada komite dengan tuduhan

bahwa pihak negara telah melakukan pelanggaran kewajiban

dalam melaksanakan konvensi penyandang cacat, dimana

pengadu telah habis masa pemulihan domestik yang tersedia.

Page 73: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

73

b. Prosedur penyelidikan (an inquiry procedure)

Prosedur penyelidikan memungkinkan komite

melakukan untuk memulai penyelidikan sendiri dimana ada

informasi bahwa ada negara pihak yang telah terlibat melakukan

pelanggaran berat atau sistematika dari konvensi penyandang

cacat tersebut.68

2. Penerapan Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2006

dalam Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat di Indonesia

Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional dalam

kehidupan masyarakat internasional, ada interaksi antara hukum

internasional dan hukum nasional. Negara dalam hidup bermasyarakat

membentuk hukum internasional, sedangkan masing-masing negara

memiliki hukum nasional. Perjanjian yang di buat oleh negara masuk

dalam ruang lingkup hukum internasional, tetapi untuk

mengimplementasikan hukum internasional memerlukan perundang-

undangan nasional.

Ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional adalah

tahap yang paling penting dalam treaty making process. Pada tahap itulah

negara memberikan persetujuannya untuk diikat secara definitif. Ratifikasi

juga berarti menyerahkan sedikit kedaulatan negara kepada suatu

68 http://www.disabilityrightsnow.org.au, diakses pada tanggal 10 Januari 2012.

Page 74: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

74

perjanjian internasional. Proses ratifikasi bukanlah suatu hal yang mudah

karena menyangkut berbagai aspek kehidupan bangsa.69

Secara teori, ratifikasi merupakan persetujuan kepala negara atau

pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan

oleh kuasa penuhnya yang di tunjuk sebagaimana mestinya. Dalam praktik

modern, ratifikasi mempunyai arti lebih daripada sekadar tindakan

konfirmasi. Ratifikasi dianggap sebagai penyampaian pernyataan formal

oleh suatu negara mengenai persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian

internasional.

a). Pengaturan Hak Penyandang Cacat di Indonesia Sebelum Ratifikasi

Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2006

Indonesia telah meratifikasi Konfensi Hak Penyandang Cacat /

CRPD pada tanggal 18 Oktober 2011. Sebelum meratifikasi konfensi

tersebut, Indonesia dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan

dan memenuhi hak-hak penyandang cacat, Pemerintah Indonesia telah

membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur

perlindungan terhadap penyandang cacat. Berbagai peraturan perundang-

undangan tersebut antara lain:

a. Undang-undang Dasar 1945

Pasal 28A UUDNRI Tahun 1945 menjadi landasan konstitusional bagi

perlindungan hak-hak penyandang cacat.

Pasal 28A berbunyi:

69 Boer Mauna, Op., Cit, Hlm 186.

Page 75: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

75

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup

dan kehidupannya”.

Sama dengan Pasal 28A UUDNRI Tahun 1945, pengaturan hak asasi

manusia dalam hal untuk mendapatkan pengakuan, perlindungan, dan

kepastian hukum dapat ditemukan dalam Pasal 28D UUDNRI Tahun

1945.

Pasal 28D berbunyi:

2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;

3) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;

4) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah;

5) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Penyandang cacat merupakan setiap orang yang memiliki hak

untuk mendapatkan perlakuan khusus dari negara. Hal ini diatur

didalam Pasal 28H ayat (2) UUDNRI Tahun 1945. Pasal ini

menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang

sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Pasal 27 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 juga memuat tentang

kesamaan derajat bagi setiap orang dalam hukum dan pemerintahan,

yang biasa dikenal dengan sebutan equality before the law. Pasal ini

menegaskan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Page 76: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

76

b. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak

Pasal-pasal yang berkaitan dengan penyandang cacat meliputi:

Pasal 1 ayat (9) berbunyi:

“Anak cacat adalah anak yang mengalami hambatan rohani

dan atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan

perkembangannya dengan wajar.”

Pasal 7 berbunyi:

“Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk

mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas

kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan.”

Di samping anak-anak yang kesejahteraannya dapat terpenuhi

secara wajar,di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang

mengalami hambatan rohani, jasmani, dan sosial ekonomi dan

memerlukan pelayanan secara-khusus, yaitu:

1) Anak-anak yang tidak mampu.

2) Anak-anak terlantar.

3) Anak-anak yang mengalami masalah kelakuan

4) Anak-anak yang cacat rohani dan atau jasmani.

c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

UU No.4 tahun 1997 dan peraturan pelaksananya, Peraturan

Pemerintah No.43 tahun 1998 tentang Upaya-upaya Peningkatan

Page 77: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

77

Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat secara khusus memberikan

pengaturan terhadap penyandang disabilitas.

Definisi mengenai penyandang cacat di jelaskan dalam pasal 1 ayat

(1) yang berbunyi:

“Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari :

1) penyandang cacat fisik; 2) penyandang cacat mental; 3) penyandang cacat fisik dan mental.”

Mengenai hak dan kewajiban penyandang cacat dituangkan dalam

pasal 5 – 8 dalam undang-undang ini.

Pasal 5 berbunyi:

“Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang

sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.”

Pada pasal 6, setiap penyandang cacat berhak memperoleh :

1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;

2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya;

3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;

4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; 5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan

sosial; dan 6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampu-

an, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Pasal 7 ayat (1) berbunyi:

“Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Page 78: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

78

Pasal 8 berbunyi:

“Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan

terwujudnya hak-hak penyandang cacat.”

Pada pasal 16 dijelaskan mengenai upaya yang harus dilakukan

oleh pemerintah bersama masyarakat dalam memberikan perlindungan

dan pemenuhan hak penyandang cacat. Pasal ini berbunyi:

Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya :

1. rehabilitasi;

2. bantuan sosial;

3. pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia

Peraturan tentang perlakuan khusus bagi penyandang disabilitas

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, antara lain terdapat dalam pasal 41, 42 dan 54.

Pasal 41 berbunyi:

(1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk

hidup layak serta untuk perkembangan priadinya secara utuh.

(2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan

anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.

Pasal 42 berbunyi:

“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat

mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan

Page 79: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

79

bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak

sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri,

dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bemegara.”

Pasal 54 berbunyi:

“Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh

perawatan, pendidikan, pelatihan. dan bantuan khusus atas biaya negara.

untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,

meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan

bermasyarakat dan bemegara.”

e. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini

diatur didalam:

Pasal 1 ayat (7) berbunyi:

“Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami

hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan

perkembangannya secara wajar.”

Pasal 1 (15) berbunyi:

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan,

Page 80: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

80

anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 9 berbunyi:

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 12 berbunyi:

“Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,

bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.”

Pasal 46 berbunyi:

“Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar

anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan

hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.”

Pasal 51 berbunyi:

“Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan

kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan

biasa dan pendidikan luar biasa.”

Pasal 59 berbunyi:

“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Page 81: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

81

Pasal 62 berbunyi:

“Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui:

a. Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan

b. Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.”

f. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini

diatur didalam:

Pasal 27 berbunyi:

Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan

gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya

fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk

bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

Pasal 31 berbunyi:

1) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal.

2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan lingkungannya.

3) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

g. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Page 82: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

82

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU

ini diatur didalam:

Pasal 5 berbunyi:

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk

memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan

jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat

dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan

yang sama terhadap para penyandang cacat.

Pasal 19 berbunyi:

Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat

dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan

kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.

Pasal 67 berbunyi:

1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal 67 Ayat (1) berbunyi:

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya

penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri

yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 153 berbunyi:

Page 83: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

83

1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

h. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU

ini diatur didalam:

Pasal 5 berbunyi:

1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu.

2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,

intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan

khusus.

Pasal 32 berbunyi:

Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang

memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran

karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki

potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Page 84: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

84

i. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem

Keolahragaan Nasional

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU

ini diatur didalam:

Pasal 1 Ayat (16) berbunyi:

Olahraga penyandang cacat adalah olahraga yang khusus

dilakukan sesuai dengan kondisi kelainan fisik dan/atau mental

seseorang.

Pasal 30 berbunyi:

1) Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat dilaksanakan dan diarahkan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya diri, dan prestasi olahraga.

2) Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat dilaksanakan oleh organisasi olahraga penyandang cacat yang bersangkutan melalui kegiatan penataran dan pelatihan serta kompetisi yang berjenjang dan berkelanjutan pada tingkat daerah, nasional, dan internasional.

3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi olahraga penyandang cacat yang ada dalam masyarakat berkewajiban membentuk sentra pembinaan dan pengembangan olahraga khusus penyandang cacat.

4) Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat diselenggarakan pada lingkup olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi berdasarkan jenis olahraga khusus bagi penyandang cacat yang sesuai dengan kondisi kelainan fisik dan/atau mental seseorang.

Pasal 56 berbunyi:

1) Olahragawan penyandang cacat melaksanakan kegiatan olahraga

khusus bagi penyandang cacat.

2) Setiap olahragawan penyandang cacat sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berhak untuk:

Page 85: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

85

1. Meningkatkan prestasi melalui klub dan/atau perkumpulan olahraga penyandang cacat;

2. Mendapatkan pembinaan cabang olahraga sesuai dengan kondisi kelainan fisik dan/atau mental; dan

3. Mengikuti kejuaraan olahraga penyandang cacat yang bersifat daerah, nasional, dan internasional setelah melalui seleksi dan/atau kompetisi.

j. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU

ini diatur didalam:

Pasal 54 Ayat (1) berbunyi:

Stasiun kereta api untuk keperluan naik turun penumpang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a paling rendah

dilengkapi dengan fasilitas:

1. keselamatan; 2. keamanan; 3. kenyamanan; 4. naik turun penumpang; 5. penyandang cacat; 6. kesehatan; dan 7. fasilitas umum.

Pasal 131 Ayat (1) berbunyi:

Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib memberikan

fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil,

anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.

k. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU

ini diatur didalam:

Page 86: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

86

Pasal 42 berbunyi:

(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.

(2) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.

l. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU

ini diatur didalam:

Pasal 134 berbunyi:

(1) Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua

belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan

berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan

udara niaga.

(2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

1. Pemberian prioritas tambahan tempat duduk; 2. Penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari

pesawat udara; 3. Penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di

pesawat udara; 4. Sarana bantu bagi orang sakit; 5. Penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di

pesawat udara; 6. Tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan

penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan

7. Tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit.

Page 87: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

87

(3) Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan.

Pasal 239 berbunyi:

(1) Penyandang cacat, orang sakit, lanjut usia, dan anak-anak berhak

memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus

dari badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar

udara.

(2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

1. pemberian prioritas pelayanan di terminal; 2. menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat selama di

terminal; 3. sarana bantu bagi orang sakit; 4. menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi (nursery); 5. tersedianya personel yang khusus bertugas untuk melayani

atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia; serta

6. tersedianya informasi atau petunjuk tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan

dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.

m. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan

Sosial

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU

ini diatur didalam:

Pasal 5 Ayat (2) berbunyi:

Page 88: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

88

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan

yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah

sosial:

a. kemiskinan; b. ketelantaran; c. kecacatan; d. keterpencilan; e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Pasal 7 Ayat (1) berbunyi:

Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan

mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi

sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.

Pasal 9 Ayat (1) berbunyi:

Jaminan sosial dimaksudkan untuk:

Menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia

terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental,

eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah

ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi.

n. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan

Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib

dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:

1. Rambu Lalu Lintas;

Page 89: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

89

2. Marka Jalan; 3. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; 4. alat penerangan Jalan; 5. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; 6. alat pengawasan dan pengamanan Jalan; 7. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat;

dan 8. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.

Pasal 45 Ayat (1) berbunyi:

Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan meliputi:

1. Trotoar; 2. Mobil; 3. Lajur sepeda; 4. Tempat penyeberangan Pejalan Kaki; 5. Halte; dan/atau 6. Fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia

lanjut.

Pasal 93 Ayat (1) berbunyi:

Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk

mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas

dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan

Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Salah satunya dengan

memperhatikan pemberian kemudahan bagi penyandang cacat;

Pasal 242 berbunyi:

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan

Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia

lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.

Page 90: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

90

(2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

1. Aksesibilitas;

2. Prioritas pelayanan; dan

3. Fasilitas pelayanan.

Pasal 244 Ayat (1) berbunyi:

Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi kewajiban

menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang

cacat, manusia usia lanjut, anakanak, wanita hamil, dan orang sakit

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi

administratif berupa:

1. peringatan tertulis;

2. denda administratif;

3. pembekuan izin; dan/atau

4. pencabutan izin.

o. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU

ini diatur didalam:

Pasal 29 Ayat (1) berbunyi:

Masyarakat tertentu merupakan kelompok rentan, antara lain

penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban

Page 91: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

91

bencana alam, dan korban bencana sosial. Perlakuan khusus kepada

masyarakat tertentu diberikan tanpa tambahan biaya.

p. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU

ini diatur didalam:

Pasal 139 berbunyi:

(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.

(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.

Pasal 140 berbunyi:

Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan

penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal

139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau

masyarakat.

q. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir

Miskin

Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU

ini diatur didalam:

Pasal 1 ayat (2) berbunyi:

Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu,

dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah,

dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan

Page 92: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

92

pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi

kebutuhan dasar setiap warga negara.

Pasal 2 berbunyi:

Penanganan fakir miskin berasaskan:

a. Kemanusiaan; b. Keadilan sosial; c. Nondiskriminasi; d. Kesejahteraan; e. Kesetiakawanan; dan f. Kemberdayaan.

b). Pengaturan Hak Penyandang Cacat Setelah Ratifikasi

CRPD

Implementasi perjanjian pada peraturan perundang-

undangan nasional adalah membuat ketentuan-ketentuan untuk

menampung apa yang diatur didalam perjanjian yang telah diterima. Tanpa

adanya perundang-undangan nasional yang menampung ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian dimana Indonesia

telah menjadi pihak, perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan dan tidak ada

gunanya. Praktik yang dilakukan selama ini oleh Kementerian Luar Negeri

RI dalam rangka ratifikasi suatu perjanjian atau konvensi internasional

baik yang bersifat bilateral maupun yang bersifat multilateral adalah sesuai

dengan tugas pokok pemerintah di bidang politik dan hubungan luar

negeri, menurut pasal 2 Keppres No. 45 Tahun 1975.70

70 Ibid., Hlm 145.

Page 93: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

93

Menurut Undang-Undang no. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional, ratifikasi suatu perjanjian internasional yang berdampak

pada sosial, penganggaran dan politik perlu mendapat pengesahan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam bentuk undang-undang. Konvensi Hak-hak

Penyandang Cacat termasuk kategori tersebut.

Ratifikasi perjanjian ini oleh Indonesia membuatnya dijadikan

Undang-undang.71 Melalui pengesahan Konvensi ini pada tanggal 18

Oktober 2011, Indonesia memiliki kerangka hukum yang semakin

komprehensif dan kuat yang menjadi dasar bagi negara untuk semakin

menyejahterakan rakyatnya, khususnya para penyandang disabilitas yaitu

Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak

Penyandang Disabilitas.

RUU ini tetap bersifat peraturan nasional yang hak-haknya

mengadopsi dari hak-hak yang ada dalam konvensi hak penyandang cacat.

Didalamnya terdiri dari 46 pasal dan 17 bab yang lebih detail

pengaturannya dari UU No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat

sebelumnya. RUU tersebut merupakan peraturan baru sebagai akibat

hukum dari meratifikasi sebuah konvensi.

Menurut pasal 1 dijelaskan bahwa penyandang disabilitas adalah

mereka yang mempunyai kelainan fisik, mental dan intelektual, atau

sensorik secara permanen yang dalam interaksinya dengan berbagai

71 Pasal 18 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 tentang Perjanjian Internasional.

Page 94: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

94

hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara

penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan dengan orang lain.

Pada RUU ini hak-hak penyandang disabilitas dijabarkan secara

lebih mendetail. Pasal-pasal yang mengatur mengenai hak-hak penyandang

disabilitas terdapat dalam pasal 5 sampai dengan pasal 33, yang

ditengahnya terdapat pasal-pasal yang ditujukan pada pemerintah untuk

wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak penyandang

disabilitas.72

Hak-hak penyandang disabilitas tersebut terdiri dari:

a. Kesamaan kesempatan;

Negara menjamin bahwa penyandang disabilitas mempunyai

kesamaan kesempatan dalam berbagai bidang kehidupan dan

penghidupan.

b. Bebas dari penyiksaan;

Setiap penyandang disabilitas berhak untuk bebas dari

penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak

manusiawi atau merendahkan martabat.

c. Kebebasan bergerak dan berkebangsaan;

Pemerintah mengakui hak penyandang disabilitas atas

kebebasan bergerak, kebebasan untuk memiliki tempat tinggal dan

memiliki kebangsaan sendiri, atas dasar kesetaraan dengan orang-orang

lainnya.

72 Diatur dalam Bab III pada pasal 7 - 9 RUU tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Page 95: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

95

d. Standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial;

Pemerintah menyediakan standar kehidupan yang layak bagi

penyandang disabilitas dan keluarga serta harus mengambil langkah-

langkah yang layak untuk melindungi dan memajukan perwujudan ini

atas dasar kedisabilitasannya.

e. Partisipasi dalam kehidupan budaya, rekreasi, waktu luang dan

keolahragaan;

Pemerintah wajib memampukan penyandang disabilitas untuk

memiliki kesempatan mengembangkan dan menggunakan kreativitas,

potensi artistik dan intelektual mereka, tidak hanya bagi keuntungan

pribadi mereka tetapi juga bagi pengayaan masyarakat.

f. Hak atas aksesibilitas;

Pemerintah berkewajiban melakukan langkah-langkah yang

diperlukan untuk menjamin akses penyandang disabilitas terhadap

lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, termasuk

teknologi dan sistem informasi dan komunikasi, serta fasilitas dan

pelayanan lainnya yang terbuka atau sarana umum baik di daerah

perkotaan maupun pedesaan, atas dasar kesetaraan dimana dalamnya

harus termasuk identifikasi dan penghapusan semua hambatan terhadap

aksesibilitas.

g. Hak hidup;

Pemerintah menjamin dan melindungi hak hidup bagi setiap

penyandang disabilitas.

Page 96: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

96

h. Kesamaan di hadapan hukum;

Pemerintah menjamin penyandang disabilitas memiliki

kesamaan hak dihadapan hukum. Setiap penyandang disabilitas berhak

untuk bertindak secara hukum baik untuk diri sendiri maupun berindak

di depan hukum untuk mewakili orang lain hal ini dikecualikan kepada

penyandang disabilitas dalam keadaan tertentu.

i. Hak atas penghormatan terhadap privasi;

Pemerintah wajib melindungi privasi atas informasi personal,

kesehatan, dan rehabilitasi orang penyandang disabilitas atas dasar

kesetaraan dengan orang lain.

j. Hak atas pendidikan,

Pemerintah wajib memenuhi hak penyandang disabilitas atas

pendidikan tanpa diskriminasi dan atas dasar kesetaraan kesempatan.

k. Hak atas kesehatan;

Pemerintah wajib memenuhi hak penyandang disabilitas atas

pelayanan kesehatan yang setinggi mungkin dapat dicapai tanpa

diskriminasi atas dasar kedisabilitasan.

l. Hak atas pekerjaan

Pemerintah wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi

penyandang disabilitas, termasuk hak atas kesempatan untuk hidup

melalui pekerjaan yang dipilih secara bebas atau diterima di pasar

tenaga kerja serta lingkungan kerja yang terbuka, inklusif, dan dapat

diakses oleh orang-orang penyandang disabilitas.

Page 97: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

97

m. Penghormatan terhadap rumah tangga dan keluarga;

Pemerintah mengakui hak penyandang disabilitas untuk

berkeluarga dan meneruskan keturunan.

n. Hak atas hidup mandiri dan berbaur ditengah masyarakat;

Pemerintah mengakui hak yang setara bagi penyandang

disabilitas untuk memilih hidup dalam masyarakat dan keterlibatannya

dalam komunitas, dan harus mengambil langkah-langkah yang efektif

dan layak dalam memfasilitasi penikmatan penuh penyandang

disabilitas.

o. Hak berpolitik;

Pemerintah menjamin dan melindungi hak penyandang disabilitas

memiliki kesamaan hak berpolitik baik didalam hak untuk memilih dan

hak untuk dipilih dalam pemilu.

p. Rehabilitasi dan habilitasi

Pemerintah wajib menyelenggarakan upaya rehabilitasi dan

hebalitasi penyandang disabilitas.

q. Perlindungan khusus terhadap hak-hak perempuan penyandang cacat;

Pemerintah menjamin pembangunan, pengembangan, dan

pemberdayaan penuh perempuan disabilitas dengan tujuan memberikan

jaminan bagi mereka dalam melaksanakan dan menikmati hak asasi

manusia dan kebebasan mendasar.

r. Anak-anak penyandang cacat;

Page 98: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

98

Pemerintah berkewajiban untuk melakukan semua langkah

yang diperlukan dalam menjamin penikmatan hak asasi manusia dan

kebebasan mendasar anak disabilitas secara penuh atas dasar kesetaraan

dengan anak-anak lain.

s. Situasi berbahaya dan darurat.

Pemerintah memberikan prioritas dalam perlindungan dan

penyelamatan penyandang disabilitas dalam situasi berisiko, situasi

konflik bersenjata, darurat kemanusiaan dan bencana alam.

Pada RUU tersebut pemerintah juga mengikutsertakan warga

masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha memajukan dan

penghormatan terhadap penyandang disabilitas. Hal ini diatur dalam pasal

35 tentang partisipasi masyarakat. Pasal 35 berbunyi:

(1). Pemerintah menjamin keterlibatan masyarakat dalam usaha pemajuan

dan penghormatan terhadap penyandang disabilitas;

(2) Pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat atas

usahanya terlibat dalam usaha pemajuan dan penghormatan terhadap

penyandang disabilitas.

B. PEMBAHASAN

1. Pengaturan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Cacat berdasarkan

Convention on the Rights of Persons with Disabilities Tahun 2006

Konvensi dibentuk dengan adanya beberapa fakta yang terjadi

mengenai penyandang cacat, bahwa The World Health Organization

Page 99: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

99

WHO)/Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan sekitar 15% dari

populasi dunia (7 miliar orang) hidup dengan beberapa bentuk

keterbatasan fisik, dimana 2-4% diantaranya mengalami kesulitan dalam

melakukan kegiatannya sehari-hari. Perkiraan jumlah penyandang

disabilitas di seluruh dunia ini meningkat karena menuanya populasi dunia

dan penyebaran penyakit kronis yang cukup cepat, serta peningkatan

dalam metodologi yang digunakan untuk mengukur derajat

ketidakmampuan fisik. Kehidupan sehari-hari sekitar 25 persen dari

populasi dunia dipengaruhi oleh keterbatasan fisik yang dimilikinya.

Meskipun banyak diantara mereka bekerja dan berhasil serta berbaur

dengan baik dengan masyarakat, dan sebagai kelompok, para penyandang

disabilitas seringkali menghadapi kemiskinan dan pengangguran yang

cukup besar jumlahnya. Menurut PBB, delapan puluh persen dari

penyandang disabilitas hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar

dari mereka tinggal di daerah pedesaan dimana akses terhadap pelayanan

sangat terbatas.73

Terbentuknya CRPD oleh PBB banyak dipengaruhi oleh beberapa

intrument internasional yang telah berlaku sebelumnya, antara lain :

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948, Peraturan Standar

PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat Tahun

1993, UNESCO Tahun 1960 Konvensi Menentang Diskriminasi dalam

Dunia Pendidikan, Konvensi Hak Anak Tahun 1989, Deklarasi Dunia 73 Mempromosikan Pekerjaan Layak Bagi Semua Orang:Membuka Kesempatan pelatihan dan Kerja bagi Penyandang Disabilita, ILO, Reader Kit, www.ilo.org, diakses pada tanggal 5 Januari 2011.

Page 100: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

100

tentang Pendidikan untuk Semua Tahun 1990 serta Stavanger Tahun 2004

Menuju Kewarganegaraan yang Penuh.74

Usaha-usaha menuju pemenuhan hak-hak asasi manusia yang

menyandang kecacatan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) sudah dimulai sejak tahun 1971, dimana diadopsinya “Deklarasi

tentang Hak-hak Penyandang Cacat Mental Retardasi” (Declaration on the

Rights of Mentally Retarded Persons) yang berbicara tentang peningkatan

kehidupan komunitas penyandang cacat mental retardasi. Kemudian pada

tahun 2001, pada konferensi Durban di bulan September Meksiko

menegosiasikan kembali secara formal akan kebutuhan Konvensi, yang

ditindak lanjuti pada sidang umum PBB di bulan Desember, dikeluarkan

Resolusi No. 56/168 untuk pembentukan Ad Hoc Committee dengan

mandat ”...mempertimbangkan usulan sebuah Konvensi yang

komprehensif dan integral dalam rangka meningkatkan dan melindungi

Hak dan Martabat Penyandang cacat berdasarkan pendekatan secara

holistic dari pekerjaan yang telah dilakukan pada lingkup pengembangan

sosial, hak asasi manusia, dan non diskriminasi dengan memperhatikan

rekomendasi dari Komisi HAM, dan Komisi Pengembangan Sosial” dalam

Pedoman pembentukan komitte sejak awal sudah tergambar keterlibatan

seluruh pihak pemangku kepentingan yang relevan termasuk negara

anggota PBB, Peninjau PBB, Badan dan organisasi PBB terkait, Special

74 Serafina Shinta Dewi, Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Cacat (The Convention on The Rights of Persons with Disabilities ), http://www.kumham-jogja.info, diakses pada tanggal 5 Januari 2012.

Page 101: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

101

Raporteur untuk kecacatan, para lembaga HAM tingkat nasional,

organisasi non pemerintah termasuk organisasi kecacatan yang duduk

dalam satu suara yang dinamakan International Disability Caucus (IDC).75

Konvensi diadopsi Majelis Umum PBB pada tanggal 13 Desember

2006. Konvensi terdiri dari 50 pasal dan Optional Protocol Konvensi

Hak Penyandang Cacat. Konvensi memuat hak-hak sosial, ekonomi,

budaya, politik dan sipil secara komprehensif. Konvensi Hak-Hak

Penyandang Cacat menandai adanya perubahan besar dalam melihat

permasalahan kelompok masyarakat yang mengalami kerusakan atau

gangguan fungsional dari fisik, mental atau intelektual dan termasuk juga

mereka yang mengalami gangguan indera atau sensorik dalam kehidupan

sehari-hari yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan

lingkungannya.

Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat terbentuk

berdasarkan pada pertimbangan sebagaimana telah dinyatakan dalam

prinsip-prinsip Piagam PBB yang mengakui martabat dan harkat yang

melekat dan hak-hak yang setara dan tidak dapat dicabut dari semua

anggota umat manusia sebagai dasar dari kebebasan, keadilan dan

perdamaian di dunia. Dalam konvensi ini, PBB menegaskan kembali

tentang makna universalitas, sifat tidak terbagi-bagi, kesalingtergantungan

dan kesalingterkaitan antara semua hak asasi manusia dan kebebasan

mendasar dan kebutuhan orang-orang penyandang cacat untuk dijamin

75 PPCI, Sejarah Penyandang Cacat Menuju Hak-haknya di PBB, www.inklusi.com, diakses pada 5 November 2011.

Page 102: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

102

sepenuhnya penikmatan atas hak asasi manusia dan kebebasan mendasar

tersebut tanpa diskriminasi.76

Konvensi Penyandang Cacat mengakui pentingnya prinsip-prinsip

dan panduan-panduan kebijakan yang termuat dalam Program Aksi Dunia

tentang Penyandang Cacat dan dalam Peraturan Standar tentang

Penyetaraan Kesempatan bagi Penyandang Cacat yang mempengaruhi

pemajuan, pembentukan dan evaluasi kebijakan, perencanaan, program-

program dan aksi-aksi di tingkat nasional, regional dan internasional demi

memajukan penyetaraan kesempatan bagi penyandang cacat. Di dalam

pengaturannya, Konvensi menekankan pentingnya persoalan-persoalan

penyandang cacat sebagai bagian yang integral dalam strategi-strategi

pembangunan berkelanjutan dan mengakui bahwa diskriminasi terhadap

setiap orang atas dasar kecacatan adalah pelanggaran terhadap martabat

yang melekat dan harga diri setiap manusia. Konvensi Penyandang Cacat

juga mengakui pentingnya aksesibilitas terhadap lingkungan fisik, sosial,

ekonomi dan budaya terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan serta

terhadap informasi dan komunikasi untuk memampukan orang-orang

penyandang cacat agar dapat menikmati semua hak asasi manusia dan

kebebasan mendasar.77

Kelebihan kovensi penyandang cacat ini penting karena meskipun

seluruh konvensi yang berkaitan dengan HAM dapat digunakan untuk

penyandang cacat, namun tidak satupun yang menyebutkan penyandang

76 Serafina Shinta Dewi, Loc., Cit. 77 Lihat pasal 3 Konvensi Hak Penyandang Cacat / CRPD 2006.

Page 103: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

103

cacat secara eksplisit. Oleh karena itu Konvensi Penyandang Cacat

merupakan instrument hukum pertama yang mengikat dan berisi

perlindungan yang komprehensif terhadap hak-hak penyandang cacat.

Konvensi ini meminta pemerintah dari seluruh dunia menghormati

dan menjunjung hak-hak penyandang cacat, terutama melalui UU yang

mereka kembangkan ditingkat nasional. Namun demikian agar para

penyandang cacat dapat menikmati hak-hak mereka secara penuh konvensi

itu harus dihormati dan dipromosikan oleh semua anggota masyarakat,

salah satunya dengan melalui upaya ratifikasi yang dilakukan oleh negara.

Ratifikasi adalah pengesahan sebuah konvensi menjadi undang-

undang maka sesuai dengan UU No.24 Tahun 2000 tentang perjanjian

internasional, maka sebuah konvensi akan menjadi hukum nasional

apabila telah diratifikasi. Pada saat itulah secara internasional, negara yang

meratifikasi konvensi akan disebut sebagai negara pihak.

Implikasinya, setelah konvensi diratifikasi, Pemerintah akan

mereformasi peraturan perundangan yang ada sehingga sesuai dengan

kewajiban yang diamanahkan dalam Konvensi.

Pada pasal 1 konvensi ini disebutkan tentang tujuan.78 Dijelaskan

dalam pasal tersebut ‘Penyandang Disabilitas’ termasuk orang-orang yang

memiliki kelainan (impairment) fisik, mental, intelektual, atau sensoris

jangka panjang yang dapat menghambat mereka melakukan sesuatu atau

78 Tujuannya adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat, dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.

Page 104: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

104

menagihkan sesuatu di masyarakat dengan cara yang sama seperti yang

dilakukan oleh orang-orang lainnya.

Penyandang disabilitas termasuk orang-orang yang memiliki

kelainan (impairment) fisik, mental, intelektual, atau sensoris jangka

panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai penghalang dapat

menghambat partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam

masyarakat atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lainnya.’ Dari

perspektif ini, partisipasi penyandang disabilitas di masyarakat baik dalam

bentuk bekerja, bersekolah, mendatangi dokter, atau mencalonkan diri

dalam pemilu menjadi terbatas atau terpinggirkan bukan karena kelainan

yang mereka miliki, namun karena berbagai halangan, yang bisa berupa

halangan fisik, namun juga dalam beberapa hal bisa berupa peraturan dan

kebijakan.

Konvensi tidak melarang penggunaan definisi di peraturan

nasional, dan, pada kenyataannya, definisi bisa menjadi bagian penting di

beberapa sektor, seperti misalnya ketenagakerjaan atau jaminan sosial.

Akan tetapi penting bahwa agar definisi tersebut mencerminkan model

sosial terhadap disabilitas seperti yang tercantum dalam Konvensi, dan

perlunya merevisi definisi yang didasarkan pada daftar atau uraian

kelainan atau keterbatasan fungsi.79

Jika dilihat dari tujuan dan penjelasan mengenai penyandang cacat

yang dicantumkan di CRPD, maka konvensi tersebut telah sesuai dengan

79 Nicola Colbran, Op., Cit. Hlm 43.

Page 105: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

105

konsep HAM yang telah ada. HAM didasarkan pada prinsip bahwa setiap

orang dilahirkan setara dalam harkat dan hak-haknya. Semua HAM sama

pentingnya dan mereka tidak dapat dicabut dalam keadaan apapun.

Kesetaraan adalah prinsip dasar lainnya dari HAM. Kesetaraan

memastikan bahwa semua orang dilahirkan bebas dan setara. Kesetaraan

memastikan bahwa semua individu memiliki hak yang sama dan layak

menerima tingkat penghormatan yang sama. Nondiskriminasi adalah

bagian yang tak terpisahkan dari kesetaraan. Nondiskriminasi memastikan

bahwa tak seorangpun ditolak hak asasinya karena faktor seperti usia, etnis

asal, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Penerapan Convention on the Rights of Persons with Disabilities2006

dalam Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat di Indonesia

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan

fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan

dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya.

Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu:

a) Penyandang cacat fisik, meliputi:

a. Penyandang cacat tubuh (tuna daksa);

b. Penyandang cacat netra (tuna netra);

c. Penyandang cacat tuna wicara/rungu;

d. Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna

daksa lara kronis);

Page 106: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

106

b) Penyandang cacat mental, meliputi :

a. Penyandang cacat mental (tuna grahita);

b. Penyandang cacat eks prikotis (tuna laras);

c) Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda;

Upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap

kedudukan, hak, kewajiban dan peran para penyandang cacat, disamping

dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,

juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan,

antara lain peraturan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan

nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan,

perkeretaapian, pelayaran, penerbangan dan lainnya yang telah disebutkan

sebelumnya. Peraturan tersebut memberikan jaminan kesamaan

kesempatan terhadap ppenyandang cacat pada bidang-bidang yang

menjadi cakupannya, dan dalam rangka memberikan jaminan tersebut

kepada penyandang cacat diberikan kemudahan-kemudahan

(aksesibilitas).80

Pemberian aksesibilitas terhadap penyandang cacat di Indonesia

belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana diungkapkan dalam

penjelasan UU No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, bahwa upaya

perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan

jumlah penyandang cacat di masa depan.81

80 Uning Pratimaratri, 2005, Jaminan Aksesibilas bagi Penyandang Cacat, dalam Hak Asasi Manusia - hakekat, konsep dan implikasinya, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm 255. 81 “... upaya perlindungan saja belumlah memadai; dengan pertimbangan bahwa jumlah penyandang cacat akan meningkat pada masa yang akan datang, masih diperlukan lagi sarana dan

Page 107: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

107

Pada kenyataannya betapa sulit seorang penyandang cacat untuk

mendapatkan hak akses fasilitas-fasilitas publik, peran politik, akses

ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan, akses informasi

dan komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas jalan dan alat

transportasi umum di Indonesia tidak mudah diakses oleh penyandang

cacat dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya (wanita hamil dan

lansia). Seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan

menggunakan fasilitas penyeberangan jalan dengan undakan tangga yang

terlalu sempit. Seorang penyandang cacat netra akan merasa kesulitan

untuk menyimak marka-marka jalan dan papan informasi umum.82

Setiap perundang-undangan tertulis didalamnya terkandung suatu

misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perundang-

undangan tertulis baru merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan

yang diinginkan. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial

penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk

mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.83

Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk

menghormati, melindungi dan memajukan hak asasi manusia, dalam hal

ini adalah hak penyandang cacat. Kewajiban pemerintah tidak hanya

berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan perundang-

undangan) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan upaya lain terutama dengan penyediaan sarana untuk memperoleh kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, khususnya dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosialnya.” 82 Ibid., Hlm 260. 83 Ibid., Hlm 262.

Page 108: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

108

eksekutif. Aspek substansi hukum yang menjamin aksesibilitas bagi

penyandang cacat dari segi jumlah peraturan perundang-undangan di

Indonesia sudah cukup di memadai. Namun perumusannya lebih banyak

yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak bagi penyandang cacat.

Perumusan negatif ini antara lain jaminan hak penyandang cacat di bidang

kesejahteraan sosial, perkeretapian, lalu lintas jalan, penerbangan,

pelayaran, kesehatan dan pendidikan. Perumusan positif yaitu memberikan

aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan

perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran

atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi baik sanksi pidana maupun

sanksi administrasi.

Dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya

peraturan perundang-undangan yang telah ada menunjang bagi

perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat,

sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-

undangan belum dapat dilaksanakan. Maka peraturan yang telah ada pun

untuk pengaturan hak-hak penyandang cacat sebelum ratifikasi masih

belum sesuai dengan konsep HAM yang telah ada.

Indonesia ikut menandatangani konvensi pada tanggal 30 Maret

2007 pada waktu dibuka pertama kali penandatanganan dengan urutan ke-

9. Pada waktu itu Negara Indonesia diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar

Chamsyah dengan didampingi oleh Direktur Jenderal Pelayanan dan

Page 109: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

109

Rehabilitasi Sosial Makmur Sunusi dan ketua Umum Persatuan

Penyandang Cacat indonesia, Siswadi.84

Dalam upaya ratifikasi Konvensi Hak-hak penyandang cacat ini sesuai

dengan pasal 43 Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat, Indonesia

sebagai penandatangan Konvensi wajib meratifikasi (mengikat diri)

dengan Konvensi. Keinginan meratifikasi juga didorong oleh alasan

filosofis, sosiologis dan yuridis. Tujuan pengesahan Konvensi tersebut

adalah untuk memperkuat penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan

pemajuan hak-hak penyandang disabilitas di segala bidang.85

Sesuai dengan ketentuan pembuatan peraturan perundang-undangan,

Rancangan Undang-undang Pengesahan Konvensi dibuat dengan disertai

Naskah Akademis dan terjemahan resmi Konvensi ke dalam Bahasa

Indonesia. Upaya penterjemahan dimulai dengan meninjau ulang istilah

“penyandang cacat” yang selama ini berlaku di Indonesia pada pertemuan

yang dihadiri oleh berbagai instansi, organisasi penyandang cacat, Komnas

HAM dan ahli bahasa pada bulan Janauari 2009 di Cibinong Bogor.

Pertemuan ini digagas oleh Kementerian Sosial bekerjasama dengan

Komisi Hak Asasi Nasional. Pertemuan belum menyepakati secara penuh

istilah terjemahan persons with disabilities dalam bahasa Indonesia, tetapi

merekomendasi 6 usulan istilah untuk dibahas lebih lanjut.86

84 Kronologis Upaya Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas), Diakses pada tanggal 3 Januari 2012. 85 Ibid., Hlm 2. 86 Ibid., Hlm 2.

Page 110: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

110

Sementara itu, atas usulan berbagai instansi / lembaga / kementerian

dan organisasi sosial penyandang cacat, Kementerian Sosial didesak untuk

segera memulai proses ratifikasi. Menteri Sosial mengajukan proses

ratifikasi kepada Menteri Luar Negeri untuk selanjutnya meminta ijin

prakarsa kepada Presiden. Menteri Sosial memperoleh Persetujuan Izin

Prakarsa proses ratifikasi Konvensi ini melalui Surat menteri Sekretaris

Negara No. B-72/M.Sesneg/D-4/02/2009 tanggal 17 februari 2009. Proses

terjemahan terus berlangsung bersamaan dengan pembuatan Naskah

Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan

Convention on the rights of Persons with Disabilities dengan konsultasi

antar kementerian, lembaga dan organisasi penyandang cacat disertai pula

dengan sosialisasi isi Konvensi di tingkat pusat dan daerah baik itu

dilakukan oleh Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri,

Kementerian Hukum dan HAM, berbagai Organisasi penyandang cacat

maupun Komisi Nasional HAM serta instansi dan lembaga lainnya.

Upaya finalisasi terjemahan resmi naskah CRPD ke dalam bahasa

Indonesia kembali dilanjutkan dengan difasilitasi oleh Komisi Nasional

HAM dan Kementerian Sosial. Komisi Nasional HAM mengundang para

pakar di bidang filsafat, komunikasi, psikologi, hukum hak asasi manusia,

linguistik, bidang kecacatan, dan praktisi bidang kecacatan (disabilitas)

untuk mendapatkan satu terminologi terjemahan resmi person with

disability ke dalam bahasa Indonesia. Dalam proses ratifikasi konvensi ini,

Page 111: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

111

Indonesia mengajukan reservasi (persyaratan)87 dalam konvensi tersebut,

disability yang diterjemahkan menjadi istilah “penyandang cacat” yang

dipergunakan selama ini tidak lagi dikendaki dengan alasan :88

1. Dari aspek bahasa, kata cacat secara denotatif mempunyai arti yang bernuansa negatif, seperti penderita, kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik, cela, aib, dan rusak. Kata cacat juga mempunyai makna konotatif yang berupa rasa merendahkan atau negatif.

2. Kata cacat muncul karena adanya suatu kekuasaan (kelompok atau negara) yang memberikan kata tersebut sebagai identitas kepada sekelompok manusia yang dianggap cacat. Cacat sesungguhnya merupakan konstruksi sosial bukan realitas keberadaan seseorang.

3. Secara filosofis, tidak ada orang yang cacat. Manusia diciptakan Tuhan dalam keadaan yang paling sempurna dan dengan derajat yang setinggi-tingginya.

4. Dampak psikososial dari adanya istilah “penyandang cacat” antara lain: menciptakan jarak sosial, membuat subyek dan orang-orang terdekat merasa bersalah, orang yang disebut “penyandang cacat” mengkonstruksikan diri sebagai tidak lengkap, tidak mampu, tidak diharapkan, dan memposisikan sebagai korban.

5. Secara empirik, istilah “penyandang cacat” yang digunakan selama ini telah menimbulkan sikap dan perlakuan yang tidak baik kepada orang yang disebut sebagai penyandang cacat. Istilah “penyandang cacat” telah menimbulkan kekeliruan dalam memahami keberadaan (eksistensi) orang yang disebut “penyandang cacat”. Kecacatan dianggap sebagai identitas dari sesorang, yang lebih rendah daripada orang yang disebut tidak cacat. Padahal ke-‘cacat’-an bukanlah suatu keadaan yang menentukan kualitas terhadap yang tidak ‘cacat’. Ke-‘cacat’-an bukanlah ukuran suatu keterbatasan eksistensi manusia. Ke-‘cacat’-an hanyalah kondisi tertentu dari manusia yang mengantarkan dirinya kepada permasalahan ‘perbedaan cara’ di tingkatan realitas ketika menghadapi kehidupan itu sendiri, dibandingkan manusia lainnya.

Pada waktu itu ditetapkan kriteria yang termuat dalam terminologi baru

yang diinginkan sebagai berikut :89

87 Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, ketentuan mengenai pensyaratan ini secara terperinci diatur dalam pasal 19 sarnpai dengan pasal 23. Reservasi (reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. 88 Ibid., Hlm 4.

Page 112: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

112

a. Mendeskripsikan secara jelas subyek yang dimaksud dengan istilah tersebut (deskriptif maksimalis).

b. Mendeskripsikan fakta nyata. c. Tidak mereinkarnasikan atau melembagakan unsur negatif (tidak

melecehkan). d. Menumbuhkan semangat pemberdayaan. e. Memberikan inspirasi hal-hal positif (menonjolkan hal-hal positif). f. Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah kerancuan istilah g. Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian h. Dapat diserap dan dimengerti oleh pelbagai kalangan secara cepat i. Bersifat representatif-akomodatif-baku untuk kepentingan ratifikasi

Konvensi j. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung

unsur pemanis k. Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional l. Memperhatikan perspektif linguistik. m. Mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia n. Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan. o. Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan. p. Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat.

Istilah “penyandang disabilitas” yang disetujui dalam pertemuan para

pakar dalam perumusan terminologi istilah pengganti “penyandang cacat”

yang digagas Komisi Nasional HAM pada bulan Maret 2010 di Jakarta itu,

kemudian dibahas kembali dalam pembahasan Naskah Akademis dan RUU

pengesahan CRPD dari lintas kementerian negara, instansi, lembaga, serta

organisasi penyandang cacat, akademisi dan Komisi Nasional HAM di

Bandung, April 2010 yang difasilitasi Kementerian Sosial. Pertemuan di

Bandung menyepakati istilah “penyandang disabilitas” sebagai terjemahan

dalam bahasa Indonesia dari person with disability. Istilah “penyandang

disabilitas” yang disetujui dalam pertemuan para pakar dalam perumusan

terminologi istilah pengganti “penyandang cacat” yang digagas Komisi

Nasional HAM pada bulan Maret 2010 di Jakarta itu, kemudian dibahas

89 Ibid., Hlm 4-5.

Page 113: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

113

kembali dalam pembahasan Naskah Akademis dan RUU pengesahan CRPD

dari lintas kementerian negara, instansi, lembaga, serta organisasi

penyandang cacat, akademisi dan Komisi Nasional HAM di Bandung, April

2010 yang difasilitasi Kementerian Sosial. Pertemuan di Bandung

menyepakati istilah “penyandang disabilitas” sebagai terjemahan dalam

bahasa Indonesia dari person with disability.

Setelah terjemahan resmi naskah Konvensi disepakati dan Naskah

Akademis serta RUU Pengesahan dibuat, pada tanggal 31 Desember 2010

dilakukan proses harmonisasi perundang-undangan dengan menghadirkan

wakil dari berbagai kementerian di bawah koordinasi Kementerian Hukum

dan HAM. Pada waktu itu juga tersirat keinginan untuk meratifikasi semua

pasal CRPD kecuali Optional Protokol. Optional Protokol tidak dipilih

karena Indonesia tidak menganut sistem pengaduan individual pada Komisi

HAM Internasional. Pada tanggal 18 Oktober 2011, Sidang Paripurna DPR

RI menyetujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang

Disabilitas. Ini berarti Indonesia menjadi negara ke 107 yang meratifikasi

Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.90

Indonesia melakukan tindakan yang tepat dengan melakukan

penandatanganan dan ratifikasi terhadap konvensi hak penyandang cacat

jika dilihat dari beberapa peraturan sebelum adanya konvensi ini yang

kurang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan pengesahan konvensi

ini merupakan titik awal dari perjuangan panjang seluruh elemen bangsa,

90 Ibid., Hlm 7.

Page 114: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

114

untuk memajukan hak-hak penyandang cacat. Pelaksanaan Konvensi ini

akan mendorong seluruh pihak untuk melakukan langkah penyesuaian yang

mendasar dalam penanganan kelompok masyarakat penyandang cacat.

Sebuah perubahan yang memungkinkan untuk menciptakan kondisi yang

kondusif untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif bagi

penyandang cacat. Sebuah perubahan yang menjadikan Indonesia yang lebih

baik dan bermartabat yang senantiasa memiliki kepedulian terhadap hak-hak

penyandang cacat.

Dengan dilakukannya pengesahan konvensi ini maka terdapat dasar

hukum di Indonesia yang saat ini masih bersifat rancangan undang-undang,

yaitu RUU tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang

Cacat.

Dilihat dari definisi yang dicantumkan oleh RUU mengenai

penyandang cacat lebih lengkap dan jelas apabila dibandingkan dengan

CRPD atau UU tentang Hak Asasi manusia yang tidak memberikan definisi

mengenai penyandang cacat secara khusus serta UU tentang penyandang

cacat yang memberikan definisi yang dirasa kurang tepat.

Definisi yang dicantumkan dalam UU tentang Penyandang Cacat

bermasalah karena beberapa alasan. Pertama, orang yang mengaku dirinya

adalah penyandang disabilitas harus membuktikan bahwa mereka tidak

dapat ‘melakukan secara selayaknya’. Seseorang tidak perlu diharuskan

membuktikan hal ini, dan hubungan antara kedua konsep tersebut

membatasi penerapan peraturan nondiskriminasi. Dengan mengaitkan kedua

Page 115: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

115

konsep tersebut, seseorang yang telah menerima pengobatan/perawatan atas

kelainan yang dimilikinya dan kemudian dapat ‘melakukan secara

selayaknya’, namun masih menghadapi diskriminasi, tidak tercakup dalam

definisi ini. Demikian pula halnya dengan orang yang memiliki kelainan

namun tidak ‘mengganggu’ atau ‘merupakan rintangan dan hambatan’

karena kondisi tertentu (misalnya karena memiliki kekayaan).

Bila ‘penyandang cacat/disabilitas’ didefinisikan dalam suatu

peraturan, maka definisi ini harus mengadopsi pendekatan berbasis HAM

dan bahwa kelainan (fisik ataupun mental) orang tersebut harus memicu

mekanisme perlindungan seperti misalnya peraturan antidiskriminasi.

Definisi apapun yang didasarkan pada gagasan tentang kehidupan sehari-

hari, yang mengaitkan ketidakmampuan untuk melakukan kegiatan dengan

kelainan yang dimiliki, harus dicabut.

Kedua, pada praktiknya, definisi ‘penyandang cacat/disabilitas’ tidak

memasukkan orang dengan disabilitas psikiatris atau psikologis, dan oleh

karenanya orang tersebut tidak dianggap memiliki disabilitas.91

Selain itu, masih banyak ditemui ketidakefektifitas berlakunya

Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, terutama

untuk memenuhi hak penyandang cacat itu sendiri dalam mendapatkan

kesejahteraan sosial. Dengan ketidakefektivitas berlakunya UU tersebut

secara langsung dapat memberikan pandangan negatif kepada pemerintah,

bahwasanya pemerintah telah gagal dalam penanganan masalah

91 Nicola Colbran, Op., Cit. Hlm 48 -49.

Page 116: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

116

kesejahteraan sosial yang ada. Terutama masalah pemenuhan hak bagi

penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang

layak, yang merupakan tanggung jawab dari Kementerian sosial untuk

mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam

melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dimana prioritas dari

Penyelenggaraan kesejahteraan ditujukan kepada mereka yang memiliki

kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria

masalah sosial, salah satunya adalah penyandang cacat.

Pada RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang

Disabilitas mengenai hak-hak penyandang disabilitas dijabarkan secara

lebih mendetail bila dibandingkan dengan UU Hak Penyandang Cacat.

Meskipun UU No.4 Tahun 1997 memberikan beberapa perlindungan bagi

penyandang disabilitas, sulit untuk mendapatkan pemulihan hak, dan sanksi-

sanksi yang diberikan masih amat lemah. Hak-hak yang terdapat dalam UU

ini juga tidak mencakup semua hak yang harus dimiliki oleh penyandang

disabilitas, karena diatur dengan sangat sedikit dan tidak terperinci,

sehingga pelaksanaannya pun kurang memadai. Masih banyak ditemui

ketidakefektifitas berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang

penyandang cacat, terutama untuk memenuhi hak penyandang disabilitas itu

sendiri dalam mendapatkan kesejahteraan sosial. Dengan ketidakefektivitas

berlakunya UU tersebut secara langsung dapat memberikan pandangan

negatif kepada pemerintah, bahwasanya pemerintah telah gagal dalam

penanganan masalah kesejahteraan sosial yang ada. Terutama masalah

Page 117: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

117

pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan

dan penghidupan yang layak, yang merupakan tanggung jawab dari

Kementrian Sosial untuk mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta

dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dimana

prioritas dari Penyelenggaraan kesejahteraan ditujukan kepada mereka yang

memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki

kriteria masalah sosial, salah satunya adalah penyandang disabilitas.

Apabila dikaitkan dengan konsep HAM maka RUU Perlindungan

dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas telah memenuhi konsep HAM

tersebut dan telah bisa menutup kekurangan yang ada pada UU sebelumnya,

yaitu UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Konsep hak

asasi manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada

diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus

dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,

atau dirampas oleh siapapun, RUU ini telah sesuai dengan konsep tersebut

karena hak-hak yang diatur didalamnya telah sesuai dengan apa yang harus

dimiliki oleh penyandang disabilitas. Bahwa tujuan terbentuknya RUU

tersebut adalah perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang

disabilitas untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi

manusia dan kebebasan dasar secara penuh dan setara oleh semua

penyandang disabilitas, dan untuk menegakkan dan memajukan

penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.92

92 Diatur dalam pasal 4 RUU Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Page 118: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

118

Sebenarnya dengan adanya RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak

Penyandang Disabilitas adalah tindakan untuk menyatukan beberapa aturan

mengenai hak-hak penyandang cacat yang tercecer di beberapa peraturan

yang ada, sehingga terlihat bahwa UU penyandang cacat jauh dari sempurna

untuk bisa diimplementasikan di Indonesia. RUU ini adalah kesatuan dari

hak-hak penyandang cacat yang tercecer tersebut.

Implementasi Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat ini membawa

dampak yang cukup signifikant di Indonesia, berbagai produk hukum

maupun kebijakan di negeri ini memberikan pemahaman kecacatan sebagai

persoalan individu. Pada RUU telah sesuai dengan yang diharapkan,

diberikan suatu pernyataan mengenai kesetaraan dan non diskriminasi, yaitu

semua orang adalah setara sebagai manusia. Dengan demikian, tidak

seorangpun, harus menderita karena diskriminasi. Konsep dari RUU ini juga

mengacu pada perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia khususnya

bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

Page 119: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

119

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari bahasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat diatur didalam suatu

perjanjian internasional yaitu The Convention on the Rights of Persons

with Disabilities atau disingkat dengan CRPD tahun 2006. CRPD

mempunyai tujuan untuk memajukan, melindungi dan menjamin

penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara

penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat dan untuk

memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.

CRPD terdiri dari 26 pasal yang mengatur mengenai hak-hak penyandang

cacat yang wajib dilaksanakan oleh semua negara pihak.

2. Pada implementasinya, konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan,

perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi bagi setiap manusia,

terdapat dalam pasal 28 UUD 1945. Indonesia melalui UU Nomor 19

Tahun 2011 telah mengesahkan CRPD dan meratifikasinya dengan

Page 120: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

120

membuat RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang

Disabilitas, sebagai bentuk komitmen dan kepedulian seluruh elemen

bangsa bagi kemajuan hak asasi manusia khususnya terhadap kemajuan

penyandang cacat yang wajib mendapatkan perhatian dari seluruh

masyarakat Indonesia serta merupakan tanggung jawab Indonesia sebagai

bagian dari masyarakat dunia dalam melindungi dan memajukan hak asasi

manusia khususnya penyandang cacat.

B. Saran

Bagi pemerintah Indonesia, peraturan yang berkaitan dengan

kepentingan penyandang cacat seharusnya segera dilaksanakan serta

membentuk komite pengawas, berdasarkan CRPD dalam rangka pelaksanaan

konvensi yang telah diratifikasi.

Page 121: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

121

DAFTAR PUSTAKA

Brownlie, Ian. 1994. Dokumen-dokumen Pokok mengenai Hak Asasi Manusia. Jakarta: UI Press.

Colbran, Nicola. 2010. Akses terhadap Keadilan Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jakarta: AusAID.

Effendi, Masyhur. 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM), Bogor: Ghalia Indonesia.

----------------------------. 1980. Tempat Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional / Nasional. Bandung: PT. Alumni.

Irwanto, dkk. 2010. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia: Sebuah Desk Review. Jakarta: UI Press.

I Wayan Parthiana. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Bandung : Mandar Maju.

-----------------------------. 2005. Hukum Perjanjian Internasional Bagian II. Bandung : Mandar Maju.

Harahap, A. Bazar dan Nawangsih Sutardi. 2006. Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, Perhimpunan Cendekiawan Independen Republik Indonesia (Pecirindo). Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1982. Pengantar Hukum Internasional Bagian I. Jakarta: PT. Bina Cipta.

Mauna, Boer. 2010. Hukum Internasional Pengertian Pernanan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global Edisi ke-2 2005. Bandung: PT. Alumni.

Majda El Muhtaj. 2008. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai hak ekonomi, sosial, dan budaya. Jakarta: PT.RajaGrafindo.

Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama.

Naning, Ramdlon. 1983. Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta : Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.

Page 122: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

122

Piley, Navanethem. 2010. Monitoring the Convention on the Rights of Persons with Disabilities. New York and Geneva: United Nations.

Rudy, T. May. 2002. Hukum Internasional 2. Bandung: PT. Refika Aditama.

Schulze, Marianne. 2010. Understanding the UN Convention on the rights of Persons with Disabilities. 303 W56th Street, New York.

Sunggono, Bambang. 2010. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Suryokusumo, Sumaryo. 1990. Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Handoyo, Hestu Cipto. 2003. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-undang Dasar 1945 setelah Amandemen

Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Cacat 2006 : The Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2006.

Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional 1969 : Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Page 123: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/Skripsi Netty.pdf · Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

123

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin

Rancangan Undang-undang Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Sumber lain:

----. DPR RI Setujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 melalui: www.kemlu.go.id.

Antara. Negara Asean belum Ratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas. Diakses pada tanggal 5 Desember 2011 melalui: www.berita.yahoo.com.

Eva Kasim. Kronologis Upaya Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas), Diakses pada tanggal 3 Januari 2012 melalui: http://www.multiply.com/journal.

Kuncahya B, Agung. Penyandang Cacat Harap Haknya Dipenuhi. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 melalui: www.jurnas.com.

ILO. Mempromosikan Pekerjaan Layak Bagi Semua Orang:Membuka Kesempatan pelatihan dan Kerja bagi Penyandang Disabilit., Diakses pada tanggal 5 Januari 2011 melalui: www.ilo.org.

Pillay, Navathem. Monitoring the Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Guidance for human rights monitors. diakses tanggal 24 Oktober 2011 melalui: www.ohchr.org.

PPCI. Sejarah Penyandang Cacat Menuju Hak-haknya di PBB. Diakses pada 5 November 2011 melalui: www.inklusi.com.

Serafina Shinta Dewi. Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Cacat (The Convention on The Rights of Persons with Disabilities). Diakses pada tanggal 5 Januari 2012 melalui: http://www.kumham-jogja.info.