BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21870/4/Chapter... ·...

28
13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sumber kekayaan alam, dimana sumber daya alam tersebut menjadi modal pembangunan yang akan mensejahterakan rakyatnya. Salah satu sumber daya alam yang ada di Indonesia adalah minyak bumi dan gas bumi , minyak bumi dan gas bumi merupakan sumber utama pemakai energi didalam negeri. Segala sumber daya alam yang ada di bumi Indonesia sesuai dengan Undang – Undang pasal 33 UUD 1945, sepenuhnya dikuasai oleh Negara. Minyak bumi dan gas bumi merupakan salah satu sumber daya alam yang merupakan devisa negara yang penting dalam kegiatan pembangunan nasional, dimana pembangunan nasional tersebut dilaksanakan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat, saling menunjang dan saling melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur, yang merata dalam segi materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Minyak bumi dan gas bumi termasuk dalam golongan bahan galian yang strategis bagi negara. Penggolongan tersebut termuat dalam pengaturan mengenai bahan galian, yaitu PP nomor 27 tahun 1980 tentang Pengelolaan Bahan Galian, yang pada intinya membagi bahan galian menjadi tiga golongan, yaitu : Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21870/4/Chapter... ·...

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sumber kekayaan alam,

dimana sumber daya alam tersebut menjadi modal pembangunan yang akan

mensejahterakan rakyatnya. Salah satu sumber daya alam yang ada di Indonesia

adalah minyak bumi dan gas bumi , minyak bumi dan gas bumi merupakan sumber

utama pemakai energi didalam negeri. Segala sumber daya alam yang ada di bumi

Indonesia sesuai dengan Undang – Undang pasal 33 UUD 1945, sepenuhnya dikuasai

oleh Negara. Minyak bumi dan gas bumi merupakan salah satu sumber daya alam

yang merupakan devisa negara yang penting dalam kegiatan pembangunan nasional,

dimana pembangunan nasional tersebut dilaksanakan secara bersama-sama oleh

pemerintah dan masyarakat, saling menunjang dan saling melengkapi dalam satu

kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional yaitu

mewujudkan masyarakat adil dan makmur, yang merata dalam segi materiil maupun

spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Minyak bumi dan gas bumi termasuk dalam golongan bahan galian yang

strategis bagi negara. Penggolongan tersebut termuat dalam pengaturan mengenai

bahan galian, yaitu PP nomor 27 tahun 1980 tentang Pengelolaan Bahan Galian, yang

pada intinya membagi bahan galian menjadi tiga golongan, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

14

1. Golongan A : golongan bahan galian yang strategis

2. Golongan B : golongan bahan galian yang vital.

3. Golongan C : golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan bahan galian

A dan B.

Berdasarkan penggolongan bahan galian yang mengklasifikasikan minyak

bumi dan gas bumi sebagai kekayaan alam yang strategis bagi negara tersebut, maka

berdasarkan pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945, kemudian diatur lebih lanjut

dalam pasal 4 Undang Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

yang menyebutkan, Minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tidak

dapat diperbaharui yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan

Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.maka

penyelenggaraan kegiatan usaha minyak bumi dan gas bumi di Indonesia sepenuhnya

dilaksanakan oleh negara.

Salah satu tujuan dari penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi,

sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 3 huruf b Undang-Undang nomor 22 tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, adalah untuk menjamin efektivitas pelaksanaan

dan pengendalian usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga secara

akuntabel, yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,

sehat, dan transparan. Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha

minyak dan gas bumi tersebut, pemerintah melimpahkan kewenangannya kepada

PT.PERTAMINA (Persero) untuk melaksanakan kegiatan yang mencakup

Universitas Sumatera Utara

15

pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi, berikut pendistribusiannya ke

seluruh pelosok tanah air.

PERTAMINA adalah perusahaan minyak dan gas bumi yang dimiliki oleh

Pemerintah Indonesia (National Oil Company), yang berdiri sejak tanggal 10

Desember 1957 dengan nama PT. PERMINA. Pada tahun 1961 perusahaan ini

berganti nama menjadi PN. PERMINA dan setelah merger dengan PN. PERTAMIN

di tahun 1968, namanya berubah menjadi PN. PERTAMINA. Setelah bergulirnya

Undang Undang No. 8 Tahun 1971, sebutan perusahaan berubah menjadi

PERTAMINA. Sebutan ini tetap dipakai setelah PERTAMINA berubah status

hukumnya menjadi PT. PERTAMINA (Persero) pada tanggal 17 September 2003

berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi.1

PT. PERTAMINA (Persero) didirikan berdasarkan akta Notaris Lenny Janis

Ishak, SH. No. 20 tanggal 17 September 2003, dan disahkan oleh Menteri Hukum &

HAM melalui Surat Keputusan No. C-24025 HT.01.01 pada tanggal 09 Oktober

2003. Pendirian Perusahaan ini dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang

tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,

Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero), dan

Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2001 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah No. 12 tahun 1998, dan peralihannya berdasarkan PP No.31 Tahun 2003

1 PT.PERTAMINA(Persero),”Sejarah PERTAMINA”,diakses dari http://www.pertamina.com

tanggal 24 Desember 2008

Universitas Sumatera Utara

16

tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara

(PERTAMINA) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) .2

Sesuai dengan akta pendiriannya, maksud dari didirikannya PERTAMINA

adalah untuk menyelenggarakan usaha di bidang minyak dan gas bumi, baik di dalam

maupun di luar negeri serta kegiatan usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan

usaha di bidang minyak dan gas bumi tersebut.

Berdasarkan pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2003

tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara

(PERTAMINA) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), tujuan dari PT.

PERTAMINA adalah :

1. Mengusahakan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan Perseroan secara

efektif dan efisien.

2. Memberikan kontribusi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi untuk

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

PERTAMINA melaksanakan beberapa kegiatan usaha untuk mencapai

maksud dan tujuan tersebut. Kegiatan usaha tersebut meliputi:

1. Menyelenggarakan usaha di bidang minyak dan gas bumi beserta hasil olahan dan

turunannya.

2 PT.PERTAMINA (persero), “Tentang PERTAMINA”, diakses dari

http://www.pertamina.com tanggal 24 Desember 2008

Universitas Sumatera Utara

17

2. Menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang panas bumi yang ada pada saat

pendiriannya, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi PLTP) yang telah

mencapai tahap akhir negosiasi dan berhasil menjadi milik PERTAMINA.

3. Melaksanakan pengusahaan dan pemasaran Liquifield Natural Gas (LNG) dan

produk lain yang dihasilkan dari kilang LNG.

4. Menyelenggarakan kegiatan usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan

usaha sebagaimana dimaksud dalam nomor 1, 2, dan 3.

Berkaitan dengan salah satu kegiatan usaha yang dilakukan oleh

PERTAMINA, yaitu menyelenggarakan usaha di bidang minyak dan gas bumi

beserta hasil olahan dan turunannya, maka PERTAMINA memproduksi antara lain

produk-produk hasil olahan minyak dan gas bumi yang meliputi Bahan Bakar Minyak

(yang terdiri dari minyak bensin, minyak solar, minyak tanah, minyak diesel, dan

minyak bakar), Bahan Bakar Khusus (BBK), Non BBM, petrokimia, pelumas, dan

gas, yang terdiri dari LPG (Liqueifield Petroleum Gas), BBG (Bahan Bakar Gas), dan

Musicool (Pengganti CFC yang ramah lingkungan).

PERTAMINA kemudian melaksanakan pendistribusian dan pemasaran atas

keseluruhan produknya yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat Indonesia. Dalam kegiatan pendistibusian produk PERTAMINA,

khususnya BBM, PERTAMINA dituntut untuk melaksanakan pendistribusian ke

seluruh pelosok tanah air dalam jumlah yang cukup, waktu yang tepat, mutu yang

baik dengan harga yang layak (sesuai ketentuan yang berlaku).

Universitas Sumatera Utara

18

Luasnya wilayah yang harus dijangkau oleh PERTAMINA dalam

pendistribusian BBM mengharuskan PERTAMINA melakukan kerja sama dengan

pihak ketiga sebagai mitra kerja yang akan menyalurkan BBM dan BBK, serta

produk lain yang disediakan dan dijual oleh PERTAMINA. Pengusaha pemilik SPBU

(Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Umum) sebagai salah satu mitra kerja

PERTAMINA dalam kegiatan penyaluran BBM mengemban tugas dari

PERTAMINA untuk melayani kebutuhan masyarakat pemakai kendaraan bermotor

dengan cara yang mudah, cepat, tertib dan aman. Kehadiran SPBU sebagai lembaga

penyalur retail BBM, yang saat ini tersebar diseluruh Indonesia, lebih memberi

kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan BBM.

Setelah bergulirnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi, kegiatan usaha minyak dan gas bumi diserahkan kepada mekanisme

pasar, sehingga PERTAMINA tidak lagi menjadi satu-satunya perusahaan yang

memonopoli industri MIGAS. Menghadapi persaingan bebas tersebut, khususnya di

sektor retail BBM, PERTAMINA saat ini sedang berbenah untuk melakukan

transformasi di segala bidang, termasuk di fungsi Retail Outlet SPBU. Upaya yang

dilakukan dalam transformasi tersebut adalah pemberian standarisasi pelayanan

SPBU Pertamina. Pertamina berkomitmen memberikan pelayanan terbaik, dengan

istilah “Pertamina Way”, SPBU yang telah sukses menerapkan Pertamina Way

berhak mendapatkan Sertifikasi PASTI PAS3

3 “Program ‘Pertamina Way’ Tingkatkan Pelayanan SPBU”, Suara Merdeka, 17 April, 2007.

h. II

Universitas Sumatera Utara

19

Seperti telah dibahas diatas, dalam penyaluran BBM kerjasama pihak

Pertamina dengan pihak ketiga dapat berupa pengelolaan SPBU dalam pengadaan

bahan bakar secara bersama sesuai dengan prosedur yang ada. Oleh karena itu agar

tercipta keteraturan dalam ketertiban selama kerjasama tersebut, peran hukum diuji

kemampuan untuk dapat mengayomi kepentingan-kepentingan para pihak dalam hal

perjanjian kerjasama yang akan disepakati kelak.

Sebab jika kita kembali kepada proporsinya betapa hukum itu merupakan

suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu sebagai sarana

untuk melayani hubungan diantara sesama anggota masyarakat sehingga terdapat

kepastian hukum dalam lalu lintas hubungan tersebut.4

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Subekti, dan R.

Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) bahwa

mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana hal

tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan

kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.5

Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak,

tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/

kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain sebagai

berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

4 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa Bandung, 1980 hal.11

5 . R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata=Burgerlijk

Wetboek (terjemahan),” Cet. 28, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), hal. 323.

Universitas Sumatera Utara

20

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu

perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang

membuatnya. Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari

bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan

istilah overeenskomsrecht.6 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara dua

orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu

menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya,

perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau

kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum

antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak

menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk

memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian

adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber

perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum.

Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak

merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. hukum yang

terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.

6 Salim H.S,“Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,” Cet. II, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2004), hal. 3

Universitas Sumatera Utara

21

Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang

timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli

tahunan, dan lain sebagainya.

Saat ini di sektor bisnis retail BBM sedang marak dipromosikan pada berbagai

media adanya SPBU dengan sertifikasi PASTI PAS yang menjamin pelayanan

terhadap konsumen setaraf dengan standar kelas dunia, yang merupakan perwujudan

PERTAMINA dalam meningkatkan pelayanan terhadap konsumen. Sebagaimana

lazimnya suatu hubungan bisnis, tentunya kerjasama pengusahaan SPBU PASTI PAS

ini terbingkai dalam suatu perjanjian. Oleh karena perjanjian kerjasama ini tergolong

baru, melibatkan perusahaan besar yaitu PT.PERTAMINA (persero), serta banyak

melibatkan pengusaha SPBU sebagai pedagang perantara atau middle man, maka

karakteristik perjanjian tersebut perlu dikaji dari sudut pandang hukum

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka jelaslah bahwa peran

SPBU 14.201.103 Setia Budi Medan dalam perjanjian pengadaan bahan bakar dengan

PERTAMINA yang dituangkan dalam SURAT PERJANJIAN KERJASAMA

PENGUSAHAAN SPBU sangat penting.Permasalahan-permasalahan yang timbul

seputar pelaksanaan perjanjian kerjasama pengadaan bahan bakar seperti bentuk

wanprestasi yang dilakukan para pihak dan penyelesaiannya dapat diketahui,juga

untuk mengetahui sejauh mana perlindungan hukum dapat menjamin kepentingan

para pihak baik PERTAMINA maupun SPBU 14.201.103 Setia Budi Medan.

Maka dari itulah penulis terdorong untuk menguji dan meneliti permasalahan

tersebut dengan memberikan judul “ANALISIS TENTANG PERJANJIAN

Universitas Sumatera Utara

22

PENDIRIAN SPBU ANTARA PT.PERTAMINA DENGAN PENGUSAHA

SPBU 14.201.103 SETIA BUDI MEDAN ”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pokok permasalahan yang akan

menjadi dasar dalam penyusunan tesis ini. Perumusan masalah dalam suatu penelitian

sangat penting keberadaannya karena akan diteliti.7 Adapun pokok permasalahan

yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Apa yang menjadi karakteristik dari perjanjian pendirian SPBU antara

PT.Pertamina dan Pengusaha?

2. Bagaimana perlindungan konsumen dari Pihak SPBU 14.201.103 Setia

Budi Medan sebagai Pengelola terhadap masyarakat umum yang

menggunakan bahan bakar di SPBU tersebut?

3. Bagaimana upaya penyelesaian di dalam isi perjanjian kerjasama jika

terjadi sengketa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang

menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui karakeristik dari perjanjian pendirian SPBU antara

PT.Pertamina dengan Pengusaha.

7 Winarno Surakhman, Dasar dan Teknik Riset, Pengantar Metodologi Ilmiah, edisi ke-6,

tahun 1978 hal.33

Universitas Sumatera Utara

23

2. Untuk mengetahui bagaimana upaya penyelesaian yang tercantum di dalam isi

perjanjian kerjasama jika terjadi sengketa.

3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan konsumen dari Pihak SPBU

14.201.103 Setia Budi Medan sebagai Pengelola terhadap konsumen atau

masyarakat umum yang menggunakan bahan bakar di SPBU tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan penentu apakah penelitian itu berguna atau

tidak, mempunyai nilai atau tidak. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka

penulis menghendaki manfaat penelitian sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum

pada umumnya, dan hukum perdata pada khususnya.

b. Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.

c. Dapat digunakan untuk menambah referensi sebagai bahan acuan bagi

penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya dengan

yang penyusun teliti.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak yang berkepentingan

dalam penelitian ini.

b. Bagi masyarakat umum atau pelaku bisnis lainnya agar lebih mengetahui

dan memhami mengenai perjanjian kerjasama antara PERTAMINA

dengan pengelola SPBU sehingga bisa menjadi perbandingan atau pun

Universitas Sumatera Utara

24

referensi bagi semua pihak yang berkepentingan, sehingga bisa

memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sama.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik

terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan,

khususnya pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

belum ada penelitian yang menyangkut masalah, “ANALISIS TENTANG

PERJANJIAN PENDIRIAN SPBU ANTARA PT.PERTAMINA DENGAN

PENGUSAHA SPBU 14.201.103 SETIA BUDI MEDAN.

Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, dengan demikian maka penelitian ini

adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan konsepsi

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan segala spesifik untuk

proses tertentu terjadi8, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta – fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.9 Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau

permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam

penelitian.10

Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk

bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan

8 J.J.JM. Wuisaman dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu – Ilmu Sosial, Jilid 1,

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm.203. 9 Ibid,hlm.316

10 M.Solly Lubis, Filsafat ilmu dan Penelitian, Cetakan ke I, (Bandung : Mandar Maju), 1994,

hal.80

Universitas Sumatera Utara

25

menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.11

Sedang dalam kerangka

konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan

dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.12

Agar tidak menjadi perbedaan

pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini maka perlu

diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

Perjanjian kerjasama antara PERTAMINA dan pengelola SPBU ini

merupakan suatu perjanjian yang dilakukan antara PERTAMINA dengan pengusaha

swasta (SPBU), yang dalam hal ini melakukan kegiatan penyaluran dan pelayanan

bahan bakar minyak bagi masyarakat umum, sesuai ketentuan yang berlaku.

Perjanjian tersebut dinamakan Surat Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan

Penggunaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum.

Sektor migas sangat berperan penting dalam peningkatan pertumbuhan

ekonomi. Karena itu pemerintah membentuk Undang-undang Nomor 8

Tahun 1971 jo Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas,

yang pada intinya Pertamina sebagai BUMN mempunyai wewenang

untuk mengelola migas. Karena keterbatasan modal dan jangkauan wilayah Indonesia

yang sangat luas, pertamina menjalin kerjasama dengan pihak swasta seperti yang

11

Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke II, (Jakarta : Rineka Cipta), 2003,

hal.23 12

Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Edisi I cetakan ke 7, (Raja Grafindo Persada : Jakarta), 2003, hal.7

Universitas Sumatera Utara

26

telah dijelaskan sebelumnya. Salah satu bentuknya yaitu kerjasama pengelolaan

SPBU.13

Mengingat perjanjian tersebut merupakan perbuatan hukum, maka

perlindungan hukum bagi para pihak adalah sangat penting, agar kepentingan para

pihak dapat terlindungi.

Adapun pengertian Perjanjian pada umumnya dapat dilihat sebagai berikut

1. Pengertian Perjanjian.

Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai

berikut :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih “.

Para sarjana menyatakan bahwa rumus pasal 1313 KUH Perdata diatas

memiliki banyak kelemahan. Abdul Kadir Muhammad Menyatakan kelemahan pasal

tersebut adalah sebagai berikut :

a. Hanya menyangkut sepihak saja.

Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya pada satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan diri “ sifatnya hanya

datang dari satu pihak saja,tidak dari kedua belah pihak.Seharusnya dirumuskan

saling mengikatkan diri.jadi ada consensus antara pihak-pihak.

b. Kata “perbuatan”mencakup juga tanpa konsensus.

Pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa

kuasa,tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus. seharusnya

digunakan kata “persetujuan”

c. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga

pelangsungan perkawinan,janji kawin,yang yang diatur dalam lapangan hukum

keluarga. Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur dengan

debitor dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh

buku III KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan,

bukan perjanjian yang bersifat personal.

13

www.lib.atmajaya.ac.id

Universitas Sumatera Utara

27

d. Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak yang

mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.14

Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, Abdul Kadir Muhammad

merumuskan definisi perjanjian,yaitu persetujuan antara dua orang yang saling

mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.15

Dalam kehidupan sehari-hari istilah perjanjian sering juga disebut sebagai

persetujuan, hal ini dapt dilihat dari adanya persetujuan kedua belah pihak untuk

melakukan atau tidak untuk melakukan sesuatu. Dari pengertian tersebut dapat

dikatakan bahwa kata perjanjian dan persetujuan memliki arti yang sama.

Perkataan kontrak merupakan pengambilan-alihan dari perkataan bahasa latin

contactus,yang berarti perjanjian, Istilah kontrak yang semula hanya merupakan

padanan kata dari perjanjian tertulis.16

2. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukuman perjanjian dikenal adanya asas hukum yang berkaitan

dengan lahirnya perjanjian. Berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata, asas hukum

tersebut adalah :

1. Asas konsensualisme

Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata “konsensualisme”

berasal dari bahasa latin consensus berarti sepakat. Jadi yang dimaksud Asas

konsensualisme adalah bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata

14

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.78 15

Ibid, hal.79 16

P.J.Supratignyo, Metode dan Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Unika Soegiyapranata,

Semarang, 1997, hal.1

Universitas Sumatera Utara

28

sepakat/kehendak yang bebas dari para pihak yang membuat perjanjian mengenai

isi/pokok perjanjian.17

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menyebutkan bahwa : “ Semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya “. Didalam pasal tersebut dijumpai asas konsensualisme yang terdapat

pada kata “……….perjanjian yang dibuat secara sah……….” yang menunjukkan

pada pasal 1320 KUH Perdata,terutama butir 1 yaitu sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya.

Asas konsensulitas mengandung arti bahwa perjanjian dan perikatan yang

timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapai kesepakatan. Dengan

perkataan lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal pokok

dan tidaklah diperlukan suatu formalitas lain. Salah satu bentuk konsensulitas suatu

perjanjian adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak-pihak yang terlibat

dalam perjanjian yang dimaksud. Tanda tangan selain berfungsi sebagai wujud

kesepakatan, juga sebagai wujud persetujuan atas tempat dan waktu asas isi

perjanjian yang dibuat tersebut. Tanda tangan ini juga berhubungan dengan

kesengajaan para pihak untuk menbuat suatu kontrak sebagai suatu bukti atas suatu

peristiwa.18

2. Asas kekuatan mengikat

17

Wirjono Prodjodikoro, Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu, Sumur Bandung, 1982, hal.21 18

Ibid, hal.6

Universitas Sumatera Utara

29

Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya perjanjian bagi para pihak.

kita jumpai asas tersebut dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. dari kalimat

“berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya”. Perjanjian yang dibuat

secara sah , apabila telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam

pasal 1320 KUH pedata. Perjanjian tersebut mempunyai kekuatan yang mengikat

para pembuat dan pemakainya. Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata menentukan bahwa

:”pejanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak

atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu “.

Para pihak yang telah melakukan perjanjian berdasarkan kata sepakat harus

melaksanakan apa yang telah disepakatinya. Pelanggaran oleh salah satu pihak

terhadap isi perjanjian dapat diajukan oleh pihak lainnya atas dasar wanprestasi pihak

lawan.

3. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini behubungan denagn isi Perjanjian yang telah ditentukan oleh kedua

belah pihak. Asas ini terkandung dalam pasal 1338 ayat (1) KUH perdata dari kata “

semua perjanjian” , dalam pasal tersebut berarti meliputi semua perjanjian. Dengan

adanya asas ini, maka dapat disimpulkan bahwa system hukum perjanjian apa saja

meskipun belum diatur dalam KUH Perdata.19

4. Asas Itikad Baik

Dalam pembuatannya suatu perjanjian terdapat satu asas yang menghendaki

agar suatu perjanjian dilaksanakan dalam itikad baik sebagaimana yang tercantum

19

Purwahid Patrik, Diktat Hukum Perdata, Undip, Semarang, 1982, hal.11

Universitas Sumatera Utara

30

dalam pasal 1338 (3) KUH Perdata. Asas itikad baik ini dapat dipakai dalam menilai

sah tidaknya syarat eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku.

Dari keempat asas ini yang paling penting adalah asas kebebasan berkontrak,

yang dalam bahas asing disebut : Contract Vrijheid,Conyaceer Vrijheid,atau Partij

Autonomie.

Sesuai dengan pernyataan Asser Rutten dalam Purwahid Patrik : “Asas

kebebasan berkontrak tidak ditulis dengan kata-kata yang banyak didalam Undang-

Undang tetapi seluruh hukum Perdata kita didasarkan padanya.20

Dalam setiap perjanjian selalu diasumsikan bahwa kedudukan kedua belah

pihak membuat perjanjian adalah sama, baik dalam hal kekuatan maupun

pengetahuan para pihak tentang isi perjanjian, akan tetapi dalam kenyataannya tidak

selalu demikian. Sering terjadi dalam pembuatan suatu perjanjian salah satu puhak

memiliki kedudukan atau posisi yang jauh lebih kuat dibandingkan pihak yang lain.

Hal ini menyebabkan pihak yang lemah hanya memiliki dua pilihan,yaitu menerima

begitu saja syarat atau ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pihak yang lebih kuat

kedudukannya, atau menolaknya.

Pihak yang secara sepihak membuat kontrak standart pada hakekatnya

merupakan pembuat undang-undang swasta, sebab menurut pasal 1338 KUH Perdata

suatu perjanjian mengikat sebagai undang-undang ini disalah gunakan dengan

membebani suatu kontrak standar dengan syarat-syarat merugikan pihak lain

(konsumen).

20

Purwadid Patrik, Peranan Perjanjian Baku Dalam Masyarakat …, Op.cit. hal.12

Universitas Sumatera Utara

31

Asas kebebasan berkontrak ini berhubungan dengan isi perjanjian yang telah

dibuat oleh kedua belah pihak. Asas ini terkandung pada pasal 1338 ayat (1 ) KUH

Perdata.

Dengan adanya asas ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pembuatan

suatu perjanjian menganut sistem terbuka, artinya bahwa para pihak boleh

mengadakan perjanjian apa saja meskipun belum diatur dalam KUH Perdata.

Namun kebebasan itu tidak bersifat mutlak melainkan adanya batasannya seperti

yang diatur dalam pasal 1337 KUH Perdata, yaitu :

1. Tidak dilarang oleh Undang-Undang.

2. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

3. Tidak bertentangan dengan kesusilaan.21

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Oleh karena kontrak merupakan perjanjian yang dibuat secara tertulis,maka

syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata adalah

sebagai berikut :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab atau causa yang halal.22

21

Purwahid Patrik, Diktat Hukum Perdata…, Op.cit, hal.15 22

R.Setiawan, PokokPokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, 1999, hal.57

Universitas Sumatera Utara

32

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyeknya, sedangkan syarat ketiga

dan keempat mengenai obyeknya.Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan,

penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan mengakibatkan dapat

dibatalkannya persetujuan. Jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan

atau causanya tidak,halal persetujuannya adalah batal.23

3.1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan adanya kebebasan berkontrak yang

dinyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat para pihak mengikat sebagai

Undang-Undang. Artinya orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas

menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau

tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakai dalam perjanjian

tersebut. “Bahkan menurut Subekti, pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa

yang dinamakan hukum pelengkap,yang berarti bahwa pasal-pasal boleh disingkirkan

manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian, asalkan tidak

melanggar ketertiban umum dan kesusilaan”.24

Tetapi dalam perkembangannya, penerapan asas kebebasan berkontrak

semakin kabur. “Para pihak dalam perjanjian tidak lagi dapat membuat kesepakatan

sesuai dengan kehendak mereka sendiri berdasarkan asas keseimbangan (equal of

contract). Keadaan ini disebabkan karena dalam pembuatan sebuah perjanjian kedua

belah pihak tidak mempunyai kedudukan (bargaining position) yang seimbang.

23

Loc.cit 24

Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjajnjian Baku

(Standart), 1980, hal.58

Universitas Sumatera Utara

33

Sebab salah satu pihak memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan pihak yang

lain,dimana perbedaan kedudukan ini dimanfaatkan pihak yang mempunyai posisi

kuat untuk menekan pihak yang lemah, sehingga melahirkan suatu perjanjian yang

berat sebelah dan tidak adil. Keadaan yang semacam ini akan semakin memicu

munculnya perjanjian-perjanjian dalam bentuk baku yang dibuat secara berat

sebelah”.25

Dalam pembuatan sebuah akta kontrak atau perjanjian masing-masing pihak

pembuatnya harus mempunyai keinginan dan kehendak yang bebas untuk

mengikatkan dirinya,atau dengan kata lain para pihak pembuat kontrak harus sepakat

dalam bertindak atau mengenai hal-hal yang diatur dalam kontrak,artinya apa yang

menjadi kehendak salah satu pihak juga harus menjadi kehendak pihak lain.

3.2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan,harus dituangkan secara

jelas mengenai jati diri para pihak. Pasla 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa

orang-orang yang tidak cakap dalam membuat suatu perjanjian adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang,

dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

3.3. Suatu hal tertentu

25

Ibid, hal.59

Universitas Sumatera Utara

34

Prestasi dari persetujuan harus tertentu atau dapat ditentukan. Paling tidak

harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlah asal dapat ditentukan. Pasal 1332 KUH

Perdata menentukan bahwa hanya barang - barang yang dapat diperdagangkan yang

dapat menjadi obyek persetujuan. Selanjutnya pasal1334 KUH Perdata bahwa

barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek

persetujuan, kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.26

Kalau dihubungkan dengan pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan, salah

satu syarat sahnya perjanjian adalah “hal” yang tertentu dan kata “hal” ini berasal dari

kata Belanda onderwerp yang dapat juga diartikan pokok uraian atau pokok

pembicaraan (atau pokok persoalan), maka zaak lebih tepat ditejemahkan sebagai

pokok persoalan (arti nomor 4 dalam kamus Prof.Drs. S. Wojowasito ). Zaak dalam

pasal 1333 KUH Perdata lebih tepat diterjemahkan sebagai pokok persoalan karena

pokok atau obyek cari perjanjian dapat berupa benda/barang tetapi berupa jasa

misalnya perjanjian kerja.27

3.4. Suatu sebab atau causa yang halal

Menurut pasal 1320 KUH Perdata arti kata “sebab” bukan dalam arti yang

menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam

arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang ingin dicapai. Di

dalam pasal 1335 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu persetujuan atau perjanjian

yang dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, maka tidak akan

26

R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan…, Op.cit, hal.61-62 27

R.subekti, Hukum Perjanjian…, Op.cit, hal.13

Universitas Sumatera Utara

35

mempunyai kekuatan. Sedangkan yang dimaksud suatu sebab yang halal adalah

sesuatu yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban

umum.

Adapun istilah lain yang disebutkan di dalam perjanjian adalah perjanjian

baku. Di Indonesia istilah perjanjian baku yang sering digunakan antara lain :

Perjanjian Standar, Perjanjian Baku, kontrak standar dan kontrak baku. Dalam

beberapa makalah dan buku yang ditulis oleh para ahli hukum, seperti Mariam Darus

Badrulzaman, Abdul Kadir Muhammad, Sutan Remy Sjahdeini dan Johannes

Gunawan, istilah yang digunakan adalah perjanjian baku. Oleh karena pada umumnya

para ahli menggunakan istilah tersebut, maka dalam tesis ini penulis menggunakan

istilah perjanjian baku.

Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu

standart contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan

telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini ditentukan secara sepihak oleh

salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah.28

Sebagaimana halnya dalam pemakaian istilah yang tidak seragam tersebut diatas,

dijumpai pula adanya beberapa pengertian mengenai perjanjian baku, antara lain

adalah :

28

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, PT.Raja Grafindo

Perkasa, Jakarta, 2006, hal.145

Universitas Sumatera Utara

36

Pengertian menurut Mariam Darus Badrulzaman : “perjanjian baku adalah

perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.”29

Pengertian menurut Sutan Remy Sjahdeini : “Perjanjian baku adalah

perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya dan

pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang hanyalah beberapa hal

saja,misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah,.warna, tempat, waktu dan

beberapa hal lain nya yang spesifik dari obyjek yang diperjanjikan.Dengan kata lain

yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh

karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notarie, bila dibuat oleh notaris

dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah

dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai

peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu,maka

perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itupun adalah juga perjanjian baku.30

E.H. Hondius, menyatakan bahwa : perjanjian baku adalah syarat-syarat

konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang

jumlahnya tidak tertentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu.31

Pengertian menurut J. Satrio :” Perjanjian baku adalah perjanjian tertulis,yang

bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu,yang mengandung syarat-syarat

tetap, yang oleh salah satu pihak kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk

29

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumn, Bandung, 1994, hal.47-48 30

Sutan Remy Sjahdeini, dalam Salim HS, Op.cit, hal.146 31

E.H. Hondius, dalam Slim HS, Op.cit, hal.145

Universitas Sumatera Utara

37

disetujui (lawan janjinya) dan dimaksudkan untuk setiap kali digunakan pada

penutupan perjanjian seperti itu.32

Definisi diatas baru memberikan kerangka dari perjanjian baku yang tertulis

atau dalam bentuk formulir. Akan tetapi dalam prakteknya banyak terdapat perjanjian

baku yang tidak dapat dalam bentuk tertulis,misalnya tanda larangan parkir dipusat

perbelanjaan.

Perkembangan perjanjian baku dalam praktek kehidupan sehari-hari

merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari,hal ini disebabkan karena adanya

tuntutan kepentingan bisnis.Dalam dunia bisnis para pelakunya selalu mengutamakan

bagaimana cara memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,secara efektif dan

efesien baik dalam hal tenaga,waktu,maupun biaya.

Menurut Mariam Darulzaman, perjanjian baku dapat dikelompokkan menjadi

3 jenis, yaitu :

1. Perjanjian baku sepihak ;

Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam

perjanjian itu.

2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ;

Perjanjian baku yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah.

3. Perjanjian yang ditentukan dilingkungan Notaris/ advokat.

32

J.Satrio, Beberapa Segi Hukum Perjanjian Kredit Standar, Media Notariat Nomor : 30-31-

31-33, Januari-April-Juli-Oktober, 1994, hal.136-137

Universitas Sumatera Utara

38

Perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk

memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau

advokat yang bersangkutan.33

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang dipergunakan adalah penelitian pendekatan Yuridis

Sosiologis yaitu melakukan pembahasan terhadap kenyataan atau data yang

ada dalam praktik untuk selanjutnya dihubungkan dengan fakta yuridis.

Karena pendekatan ini mengkaji tentang unsur-unsur hukum SPBU, termasuk

asas-asas dan pengakuan dalam hukum. Selain itu juga mengkaji kenyataan

SPBU di dalam masyarakat.34

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan

konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan

penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian

ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah

33

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, 1994, hal.49-50 34

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia, 1997, hal.16

Universitas Sumatera Utara

39

lainnya yang berhubungan dengan masalah perjanjian pendirian SPBU

antara PERTAMINA dengan SPBU 14.201.103 Setia Budi di Medan.

b. Wawancara

Cara ini suatu metode pengumpulan data primer yang dilakukan dengan

cara mengadakan tanya jawab secara langsung untuk menciptakan data

yang lebih jelas mengenai objek yang diteliti dengan tujuan untuk

melengkapi data sekunder.

Adapun pihak yang akan diwawancarai dari pihak PERTAMINA adalah

1. Legal Area Manager UPMS I Medan.

2. Dari pihak Pengelola SPBU diwakili oleh salah satu pemilik SPBU

yaitu pemilik SPBU 14.201.103, sesuai judul yang diangkat penulis

3 . Konsumen pemakai jasa dan pemakai Bahan Bakar Minyak dari

SPBU 14.201.103 Setia Budi Medan.

3. Metode Analisis Penelitian

Pada tahap ini, data yang telah terkumpul kemudian penulis olah dengan

menggunakan metode analisa data kualitatif yaitu untuk mengungkapkan dan

memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pertanyaan

dalam penelitian. Hal ini dijelaskan oleh Soerjono Soekamto penelitian

dengan menggunakan metode analisa data kualitatif :

Universitas Sumatera Utara

40

“Penelitian yang menghasilkan data deskriptif artinya apa yang telah

dinyatakan oleh responden secara tertulis dan lisan serta prilaku nyata yang

dipelajari sebagai suatu yang utuh”.35

35

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, 1984, hal.43

Universitas Sumatera Utara