BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30789/4/Chapter...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari
kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis,
melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara
anak-anak tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna
(volwaardig).1
Perkawinan itu sendiri mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia,
karena didalamnya ada unsur-unsur hak dan kewajiban masing-masing pihak,
menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan
kewajiban suami isteri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak,
kekayaan, waris dan faktor kependudukan di dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat.
Bagi para pemeluk agama, perkawinan bersifat sakral yang mengandung
ajaran-ajaran agama bagi para pemeluknya. Ritual perkawinan tidak hanya
dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan
perkawinan antara suami dan isteri. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok
1 Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif, Perikatan Nikah, (Jakarta : PrestasiPustaka, 2007), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
2
dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih. Seorang
pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum,
namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri.
Ikatan yang ada diantara mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual dan
kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum terhadap diri
masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.
Pasangan seorang pria dan seorang wanita yang membentuk rumah tangga
atau keluarga dalam suatu ikatan perkawinan pada dasarnya merupakan naluri
manusia sebagai makhluk sosial guna melangsungkan kehidupannya.
Pengelompokan kehidupan manusia tersebut dalam realitanya dapat dilihat dengan
adanya berbagai bentuk kesatuan sosial di dalam kehidupan masyarakat.
Keluarga merupakan kesatuan sosial terkecil yang dibentuk atas dasar ikatan
perkawinan, yang unsur-unsurnya terdiri dari suami, isteri, dan anak-anaknya.
Sedangkan sifat-sifat keluarga sebagai suatu kesatuan sosial meliputi rasa cinta dan
kasih sayang, ikatan perkawinan, pemilikan harta benda bersama, maupun tempat
tinggal bagi seluruh anggota keluarganya.2 Keluarga merupakan satu unit
masyarakat terkecil, masyarakat keluarga yang akan menjelma menjadi suatu
masyarakat besar sebagai tulang punggung negara.
Dalam peristiwa perkawinan diperlukan norma hukum dan tata tertib yang
mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam peristiwa perkawinan terutama
2 Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya : Usaha Nasional, 1994),Hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
3
diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-
masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan
sejahtera.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah
satu wujud aturan tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh negara Indonesia
sebagai bangsa yang berdaulat dan negara hukum, dilengkapi dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan peraturan-peraturan lainnya
mengenai perkawinan, disamping aturan-aturan tata tertib pernikahan lainnya
seperti Hukum Adat dan Hukum Agama.
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai
golongan Warga Negara di Indonesia, yakni antara lain:3
1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukumagama yang telah diresepsi kedalam hukum adat. Pada umumnya, bagiorang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakanperkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai pria dengan wali darimempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telahmerupakan budaya hukum bagi orang Indonesia yang beragama Islamhingga sekarang.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat. Misalnyabagi orang Bali yang beragama Hindu dimana adat dan agama telahmenyatu, maka pelaksanaan perkawinannya dilaksanakan menuruthukum adat yang serangkai upacaranya dengan upacara agama Hindu-Bali yang dianutnya.
3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlakuhuwelijks ordonnantie christen indonesia (HOCI) S.1933 nomor 74.
3 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat,Hukum Agama, (Bandung : CV.Mandar Maju, 2007), hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
4
Aturan ini sekarang sejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi.
4. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesiaketurunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. Aturan ini sekarangsejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi.
5. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesiaketurunan asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka. Jadi bagiketurunan India, Pakistan, Arab dan lainnya, berlaku hukum adatmereka masing-masing yang biasanya tidak terlepas dari agama dankepercayaan yang dianutnya.
6. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropadan yang disamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-UndangHukum Perdata. Termasuk dalam golongan ini orang Jepang atau orang-orang lain yang menganut asas-asas hukum keluarga yang sama denganasas-asas hukum keluarga Belanda.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
merumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Substansi pasal tersebut
sangat jelas menunjukkan bahwa perkawinan tidak semata-mata merupakan
hubungan perdata saja, tetapi perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga atau
keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau
berdasarkan Hukum Agama.
Pengertian perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga yang
dilaksanakan secara adat dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak, saudara
Universitas Sumatera Utara
5
maupun kerabat.4 Sedangkan didalam hukum adat Tionghoa tidak ada memberikan
pengertian secara gamblang mengenai definisi dari perkawinan. Namun dalam adat
Tionghoa itu sendiri, perkawinan merupakan suatu sarana bagi seorang laki-laki dan
seorang wanita untuk hidup bersama, membentuk rumah tangga yang bahagia dan
mendapatkan keturunan yang pada akhirnya akan meneruskan marga dari sang
ayah.
Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat mempertahankan prinsip
kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan (darah), maka fungsi perkawinan adalah
merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan
silsilah dan kedudukan keluarga yang bersangkutan. Disamping itu ada kalanya
suatu perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan
kekerabatan yang telah jauh dan retak, ia merupakan sarana pendekatan dan
perdamaian antar kerabat dan begitu pula dengan perkawinan itu bersangkut paut
dengan masalah kedudukan, harta kekayaan dan masalah pewarisan.5 Melihat arti
dan fungsi perkawinan menurut hukum adat, maka pengertian perkawinan menurut
hukum adat lebih luas dari pengertian perkawinan menurut hukum perundang-
undangan.
Sebuah perkawinan menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, yang dipertegas dalam
4 Soerojo Wignjodipoero, Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung, 1988), hal. 55.5 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), (Bandung :
Penerbit Alfabeta, 2009), hal.222.
Universitas Sumatera Utara
6
Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tersebut, yakni bahwa “dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1)
ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud
dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk
ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini”. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan
pendeta/pastur/biksu telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang
non Muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan
kepercayaan masyarakat.
Bagir Manan berpendapat bahwa perkawinan menurut masing-masing agama
dan kepercayaan (syarat-syarat) merupakan syarat tunggal sahnya suatu
perkawinan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, Pasal 2 ayat (1) dengan tegas menyebutkan, “suatu perkawinan sahapabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dankepercayaannya itu”. Suatu rumusan yang sangat jelas (plain meaning),sehingga tidak mungkin ditafsirkan, ditambah atau dikurangi.Kedua, Penjelasan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, “Pencatatan tiap-tiapperkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwapenting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian.6
6 Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan antar orang Islam menurut UUNo. 1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluargadalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselenggarakanMahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari Sabtu, tanggal 1 Agustus 2009,hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
7
Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak
dicatatkan sebagaimana diamanatkan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
ketidaktahuan masyarakat7 mengenai hukum perkawinan Indonesia, sosialisasi
pencatatan perkawinan yang kurang dari Pemerintah, persyaratan dan prosedur
pencatatan perkawinan yang rumit dan berbelit-belit, serta mahalnya biaya
pencatatan perkawinan, baik resmi maupun tidak resmi, ataupun untuk
menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari
atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi Pegawai Negeri Sipil
dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Perkawinan yang tidak dicatatkan ini
dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah siri.8
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
menentukan: "tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang
berlaku", namun di dalam penjelasan tidak dijelaskan lebih lanjut tentang
pendaftaran ini. Harus diakui ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan
perkawinan kurang jelas, sehingga dalam praktik sering sekali menimbulkan
berbagai interpretasi, yang menyebabkan kepastian hukum menjadi taruhannya.
Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula
7 khususnya Masyarakat Tionghoa Indonesia.8 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta, Pentingnya Pencatatan Perkawinan,
diakses dari http://www.lbh-apik.or.id/fact-14%20penct.%20perkawinan.htm, pada tanggal 08 April2011.
Universitas Sumatera Utara
8
pencatatan perkawinan sekadar dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan
suatu peristiwa hukum.9 Akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan
satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan,
karena itu akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi
bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang menentukan keabsahan suatu
perkawinan adalah perkawinan menurut agama.10 Maka dengan demikian, alat bukti
perkawinan juga harus tidak bertentangan dengan agama.
Perkawinan bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan hanya menurut
ajaran agama dan kepercayaannya maupun adat, akan tetapi tidak dilakukan
pencatatan perkawinan sehingga tidak mempunyai bukti otentik dan tidak
mempunyai kekuatan hukum didalamnya.
Perkawinan yang dilakukan secara bawah tangan tersebut akan membawa
akibat hukum bagi pasangan suami istri, anak yang dilahirkan dan harta benda
dalam perkawinan, karena perkawinan yang dilakukan secara bawah tangan tersebut
tidak memiliki alat bukti yang otentik sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pencatatan perkawinan walaupun bukan menjadi rukun nikah, akan tetapi
merupakan hal yang sangat penting terutama sebagai alat bukti yang dimiliki
seseorang, apabila terjadi suatu permasalahan dikemudian hari.
9 Bagir Manan, Op.Cit, hal. 5.10 Ibid, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
9
“Pasangan yang berkahwin tanpa melalui aturan yang digariskan oleh adat
adalah tidak sah daripada pandangan orang Cina.”11 Dalam hal melaksanakan
perkawinan, masyarakat Tionghoa pada umumnya melaksanakan perkawinan hanya
berdasarkan adat-istiadat Tionghoa serta agama dan kepercayaan yang dianut saja,
sehingga sebagian besar perkawinan masyarakat Tionghoa tidak dicatatkan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Kantor Catatan Sipil.
Hal ini merupakan fenomena sosial yang banyak dijumpai pada masyarakat
Tionghoa dan merupakan salah satu masalah serius yang sampai saat ini masih
kerap terjadi dalam masyarakat Tionghoa. Hal tersebut bukan hanya dijumpai pada
kalangan masyarakat Tionghoa bergolongan ekonomi menengah ke bawah saja,
melainkan juga dijumpai pada masyarakat Tionghoa bergolongan ekonomi
menengah ke atas. Hal ini mempunyai makna bahwa tingkat ekonomi bukan
merupakan faktor mutlak yang mempengaruhi tidak dicatatnya perkawinan dalam
masyarakat Tionghoa.
Faktor utama yang menyebabkan perkawinan tidak dicatatkan pada
masyarakat Tionghoa lebih cenderung disebabkan oleh ketidaktahuan, keawaman,
dan cara berpikir masyarakat Tionghoa terhadap pentingnya pencatatan perkawinan,
fungsi dan akibat-akibat hukum yang timbul dikemudian hari. Masyarakat Tionghoa
yang memegang teguh adat istiadat berpendapat bahwa suatu perkawinan adalah sah
dan telah diakui oleh kedua belah pihak keluarga suami/isteri apabila perkawinan
11 Aan Wan Seng, Adat dan Pantang Larang Orang Cina, (Kuala Lumpur : Penerbit FajarBakti, 1994), hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
10
tersebut telah dilaksanakan menurut adat Tionghoa dan menjalani serangkaian ritual
keagamaan, maka perkawinan tersebut telah sah, tidak mempedulikan dicatat atau
tidak perkawinan tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagi keluarga mempelai yang mampu akan mengadakan suatu acara resepsi
pernikahan dengan mengundang segenap keluarga kedua belah pihak mempelai
suami/isteri, tetangga dan para sahabat. Acara resepsi pernikahan tersebut secara
tidak langsung juga berfungsi sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada
khalayak ramai bahwa telah terikatnya seorang laki-laki sebagai suami dan seorang
wanita sebagai isteri dalam suatu ikatan perkawinan. Namun perlu diingat bahwa
acara resepsi pernikahan ini bukan merupakan suatu acara yang mutlak harus
dilaksanakan, melainkan tergantung kepada tingkat kemampuan ekonomi suatu
keluarga yang melaksanakan perkawinan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari
adanya pelaksanaan nikah tamasya melalui pemberitahuan atau pengumuman di
surat kabar setempat tentang pelaksanaan nikah tamasya ini, yang memiliki tujuan
yang sama yakni memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa telah
dilaksanakannya pernikahan bersangkutan dan telah terikatnya dalam perkawinan
pasangan suami/isteri tersebut. Adat dan pandangan inilah yang dipegang teguh
oleh masyarakat Tionghoa Indonesia hingga saat ini.
Keengganan dan ketidaktahuan hukum masyarakat Tionghoa atas pencatatan
perkawinan tanpa disadari akan membawa kesulitan dan akibat hukum yang tidak
Universitas Sumatera Utara
11
diinginkan, baik bagi pasangan suami isteri tersebut, anak-anaknya dan juga kepada
familinya (keluarga-keluarganya). Fenomena ini sering dihadapi oleh Notaris dalam
menjalankan jabatannya sehari-hari serta menjadi masalah dan kendala yang
sepantasnya mendapat perhatian besar.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, timbul ketertarikan untuk
menelaah lebih lanjut mengenai ”TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
PENETAPAN PENGESAHAN PERKAWINAN ADAT TIONGHOA OLEH
HAKIM”.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas
secara lebih mendalam adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana akibat hukum dari perkawinan yang dilangsungkan menurut
hukum adat Tionghoa dan tidak dicatatkan?
2. Bagaimana prosedur permohonan penetapan pengesahan perkawinan yang
dilangsungkan menurut adat Tionghoa?
3. Apa akibat hukum yang timbul dari Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat
Tionghoa oleh hakim?
Universitas Sumatera Utara
12
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui akibat hukum dari perkawinan yang dilangsungkan
menurut hukum adat Tionghoa dan tidak dicatatkan.
2. Untuk mengetahui prosedur permohonan penetapan pengesahan perkawinan
yang dilangsungkan menurut adat Tionghoa.
3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari Penetapan Pengesahan
Perkawinan Adat Tionghoa oleh hakim.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini, akan menguatkan teori bahwa suatu norma hukum wajib
ditaati karena norma hukum itu sendiri dibentuk untuk kepentingan manusia.
Namun norma hukum itu akan menjadi bermanfaat apabila benar-benar diterapkan
atau dilaksanakan.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan masukan kepada
masyarakat, para praktisi hukum, dan pemerintah dalam mengembangkan
Universitas Sumatera Utara
13
pengetahuan Hukum Perkawinan, khususnya tentang pencatatan perkawinan dan
permohonan penetapan pengesahan perkawinan perkawinan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dan pemeriksaan yang telah
penulis lakukan, baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum,
maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan
ditemukan beberapa hasil penulisan yang menyangkut dengan Perkawinan Adat
Tionghoa, diantaranya :
1. Tesis berjudul “Kedudukan Anak Terhadap Harta Warisan Dari Orang Tuanya
Yang Perkawinannya Tidak Dicatatkan di Dinas Kependudukan: Pada
Masyarakat Tionghoa Kota Medan”, oleh Rehbana, NIM 017011052, Program
Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Mengapa etnis Tionghoa di Kota Medan tidak mencatatkan perkawinannya
di Dinas Kependudukan?
b. Bagaimana tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan?
c. Bagaimana hak anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan di
Dinas Kependudukan terhadap harta peninggalan dari orang tua
biologisnya?
Universitas Sumatera Utara
14
2. Tesis berjudul “Problematika Pencatatan Perkawinan Bagi Warga Negara
Indonesia Keturunan Tionghoa”, oleh Vincent, NIM 087011013, Program Studi
Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apakah yang menjadi problematika pencatatan perkawinan bagi Warga
Negara Indonesia keturunan Tionghoa?
b. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan bagi Warga Negara Indonesia
keturunan Tionghoa yang tidak dicatatkan?
c. Upaya apakah yang dilakukan dalam mengatasi masalah pencatatan
perkawinan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang belum
dicatatkan?
Namun demikian, dari keduanya tidak ada yang membahas permasalahan
yang sama dengan penelitian ini. Oleh karena itu, sejauh yang diketahui, penelitian
tentang “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGESAHAN
PERKAWINAN ADAT TIONGHOA OLEH HAKIM”, belum pernah dilakukan
sehingga penelitian ini adalah asli adanya. Artinya, secara akademik penulisan ini
dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan
penulisan yang sama dengan judul penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
15
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat
mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan dan pegangan teoritis. Kerangka teori merupakan susunan dari
beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan
yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,12
sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia
fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan
secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.13
Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang
dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat
ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyatan-pernyataan yang
saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan ini harus cukup
menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus
mengarahkan diri kepada unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain
langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan
maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan
menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukkan
kebenarannya.
12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,2004), hal. 72-73.
13 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV Bandar Maju, 1994), hal.27.
Universitas Sumatera Utara
16
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan
pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14
Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada, adapun teori yang akan
digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian
Hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum
yang bersifat umum itu, individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan
atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum merupakan fenomena psikologi
daripada hukum. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
Undang-Undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang
satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.15
Kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum.16
Menurut Hans Kelsen, setiap tata kaedah hukum merupakan suatu susunan
daripada kaedah-kaedah (stufenbau). Di puncak stufenbau tersebut terdapat
14 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002),hal. 35.
15 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Pranada Media Group,2008), hal. 158.
16 J.B. Daiyo, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : PT.Prennahlindo, 2001), hal. 120.
Universitas Sumatera Utara
17
”grundnorm” atau kaedah dasar atau kaedah fundamental, yang merupakan hasil
pemikiran secara yuridis.17
Tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtgerechtigheid),
kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid)18. Dalam hal
mewujudkan keadilan, menurut W. Friedman, suatu Undang-Undang haruslah
memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-
perbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut.19
Roscoe Pond dalam bukunya Scope and Purpose of Sociological
Jurisprudence,20 menyebutkan ada beberapa kepentingan yang harus mendapat
perlindungan atau dilindungi oleh hukum, yaitu Pertama, kepentingan terhadap
negara sebagai suatu badan yuridis; Kedua, kepentingan negara sebagai penjaga
kepentingan sosial; Ketiga, kepentingan terhadap perseorangan terdiri dari pribadi,
hubungan-hubungan domestik, kepentingan substansi.
Dari pendapat Roscoe Pond tersebut, dapat dilihat bahwa sangat
diperlukannya suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan perseorangan,
karena dengan adanya perlindungan hukum akan tercipta suatu keadilan.
Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka
Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Peraturan
17 Ibid, Hal. 12718 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : PT.
Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.19 W.Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori
Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 7.
20 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2000), hal.298.
Universitas Sumatera Utara
18
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, menghendaki setiap perkawinan dicatat oleh
petugas yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari
maraknya pernikahan siri atau pernikahan dibawah tangan yang terjadi di tengah
masyarakat.
Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan menurut Bagir Manan adalah
untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen
kepastian hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti
perkawinan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa
perkawinan itu menjadi jelas bagi yang bersangkutan, keluarga maupun bagi
masyarakat, misalnya kapan pihak yang satu menjadi ahli waris pihak yang lain,
kapan harta bersama dianggap mulai ada yang dapat dipertanggungjawabkan
terhadap hubungan perjanjian yang diadakan oleh mereka atau salah satu dari
mereka.21
Adapun akibat hukum dari tidak dicatatnya perkawinan adalah :
a. Perkawinan Dianggap tidak Sah.
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata
negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan
Agama atau Kantor Catatan Sipil.
21 Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dariSegi Hukum Islam, (Bandung : Alumni, 1976), hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
19
b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu.
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak
tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata
antara si anak dengan ayahnya tidak ada.
c. Anak dan ibunya Tidak Berhak Mendapatkan Waris dan Nafkah.
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri
maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak
menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Berhubungan dengan akibat yang sangat penting dari perkawinan inilah,
maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan untuk mengatur perkawinan yaitu:
syarat-syarat perkawinan, pelaksanaan perkawinan, kelanjutan dan terhentinya
perkawinan.22
2. Konsepsi
Konsep adalah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition.23 Pentingnya definisi operasional adalah
22 Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.23 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993),hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
20
untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari
suatu istilah yang dipakai.24
Dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau
definisi operasional sebagai berikut :
1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.25
2. Pencatatan Perkawinan adalah suatu tindakan dari instansi yang diberikan tugas
untuk mencatat perkawinan dan perceraian dalam buku register dan dilakukan
menurut ketentuan yang berlaku.26
3. Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau
mendaftar setiap peristiwa yang diamati oleh warga masyarakat, misalnya
perkawinan, dengan tujuan untuk mendapatkan data selengkap mungkin, agar
status perkawinan warga masyarakat dapat diketahui.27
4. Masyarakat Tionghoa adalah orang-orang keturunan Tionghoa yang lahir dan
menetap di Indonesia, hidup dan berbaur dengan masyarakat Indonesia lainnya
selama beberapa dasawarsa dan telah berkewarganegaraan Indonesia.
24 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan PutusanPengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, (Medan : PPs-USU, 2002), hal.35.
25 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.26 Arso Sastroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1974), hal. 31.27 Nico Ngani, Cara Untuk Memperoleh Catatan Sipil, (Yogyakarta : Liberty, 1984), hal.6.
Universitas Sumatera Utara
21
5. Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif,
meliputi peraturan hidup yang meskipun tidak dikitabkan oleh yang berwajib,
namun dihormati dan didukung oleh rakyat berdasar atas keyakinan
bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.28
6. Hukum adat Tionghoa adalah adat-istiadat / kebiasaan yang dilaksanakan oleh
masyarakat Tionghoa secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi
berikutnya dan berulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari.
7. Perkawinan Bawah Tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan
agama atau adat istiadat calon suami dan/atau calon isteri, dan pada dasarnya
secara agama dan adat perkawinan tersebut telah sah, akan tetapi secara hukum,
perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara.
8. Kumpul Kebo adalah hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa
adanya ikatan perkawinan secara sah berdasarkan undang-undang.29
9. Pengesahan Perkawinan adalah permohonan pengesahan Perkawinan yang
diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan tentang
sahnya Perkawinan agar bisa dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil.
10. Penetapan Hakim adalah suatu putusan yang mengandung penetapan atau
menetapkan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum atau
Undang-Undang.
28 Soepomo, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1981),hal. 20.
29 M.Marwan & Jimmy P, Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete Edition), (Surabaya :Reality Publisher, 2009), hal. 393.
Universitas Sumatera Utara
22
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yang dalam hal ini peneliti
dituntut untuk mengkaji kaedah hukum yang berlaku. Hasil dari kajian ini bersifat
deskriptif analisis. Seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa
penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat
gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.30
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif
(penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma
hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai
pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu
kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran
baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).
Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau
dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek
normatif.
30 Soerjono Soekamto, Metodologi Research, (Yogyakarta : Andi Offset, 1998), hal 3.
Universitas Sumatera Utara
23
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori
atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang
berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan
perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.
3. Sumber Data
Sumber data yang berupa bahan hasil penelitian kepustakaan diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perkawinan, Hukum
Perkawinan, Pencatatan Perkawinan dan sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang
bahan hukum primer, antara lain berupa buku atau literatur, tulisan atau
pendapat para pakar yang dituangkan dalam makalah-makalah (artikel)
tentang Hukum Perkawinan, Penetapan Pengadilan Pengesahan Perkawinan
Adat, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan pembahasan yang
akan ditulis, yang diperoleh dari instansi-instansi atau lembaga-lembaga
terkait baik secara langsung ke instansi atau lembaga tersebut, maupun
melalui website atau internet.
Universitas Sumatera Utara
24
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan
sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum.
4. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data
yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi segala jenis peraturan
perundang-undangan (hukum normatif) yang terkait dengan masalah yang
sedang diteliti. Bahan hukum sekunder meliputi pendapat para pakar hukum
yang bersumber pada buku-buku berisi teori yang ditulis oleh pakar hukum.
b. Wawancara (interview), yang dibantu dengan pedoman wawancara, yaitu
dengan mengadakan wawancara dengan narasumber atau informan yang
berhubungan dengan materi penelitian ini, seperti Pejabat/Staff Pengadilan,
Pengetua Adat Tionghoa dan/atau Notaris untuk mengetahui lebih mendalam
dan rinci tentang hal-hal yang tidak mungkin dijelaskan dan ditemukan
jawaban nantinya. Sehingga dengan adanya wawancara diharapkan dapat
memperoleh data yang lebih luas dan akurat.
Universitas Sumatera Utara
25
5. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.31
Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik,
kemudian diolah dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif, sehingga dapat
ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif.
Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang
terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah,
peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media
cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi
kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis
penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara
kualitatif, setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode deduktif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat
menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.
31 Lexy J. Moleong, Op.Cit., hal. 101.
Universitas Sumatera Utara