BAB I PENDAHULUAN · 2018-11-07 · Karya sastra merupakan salah satu genre dari sejumlah besar...
-
Upload
vuongnguyet -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN · 2018-11-07 · Karya sastra merupakan salah satu genre dari sejumlah besar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan salah satu genre dari sejumlah besar peradaban
manusia. Menurut Teeuw (dalam Pradopo, 2005: 106) karya sastra adalah
artefak yang merupakan benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi
objek estetik. Pemberi makna dalam suatu karya sastra adalah manusia.
Pemaknaan itu menjadikan suatu karya sastra bermedium bahasa. Hal ini
dikarenakan bahasa telah menjadi sebuah medium karya sastra. Selain itu,
bahasa sendiri juga mempunyai arti sebagai sistem tanda.
Menurut para ahli sejarah, kesusastraan Arab dibagi menjadi lima
periode, yaitu zaman jahiliyah, awal Islam dan zaman Umawiyyah, zaman
Abbasiyyah, zaman pemerintahan Turki, dan zaman modern (Wargadinata dan
Fitriani dalam Aunillah, 2014: 2). Kesusastraan Arab modern terbagi menjadi
tiga periode. Periode pertama dimulai dari tahun 1843 sampai tahun 1914,
periode tersebut disebut periode terjemahan dan adaptasi. Periode kedua yaitu
pada masa perang dunia pertama dan kedua. Periode tersebut digambarkan
sebagai masa romantisme dan nasionalisme. Periode ketiga dimulai sejak
berakhirnya perang dunia kedua sampai sekarang. Periode tersebut lebih
mudah disebut sebagai masa pertarungan ideology (Badawi, 1992: 16).
Berkaitan dengan penelitian ini, salah satu bentuk kesusastraan Arab yang
digunakan adalah syair.
Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang membutuhkan
pemaknaan dan pemahaman. Puisi sangat berkaitan dengan sistem tanda dan
2
makna. Sejak kelahirannya, puisi memiliki ciri khas tersendiri meski telah
mengalami perubahan dari tahun ke tahun (Waluyo: 1995). Syair merupakan
rekaman interpretasi pengalaman manusia yang penting digubah dalam bentuk
wujud yang paling berkesan (Pradopo, 1995: 7). Pengalaman dan peristiwa
penyair dapat diwujudkan dalam bentuk syair. Dengan demikian, syair
merupakan suatu bentuk ekspresi untuk membangkitkan perasaan yang
memengaruhi imajinasi panca indera. Syair dalam bahasa Arab disebut dengan
syair yang berasal dari kata sya’ara, yasy’uru yang berarti meraba, merasa,
merasakan, menyadari (Baalbaki, 2006: 513). Badr (1991: 139) menambahkan
bahwa, syair merupakan bentuk karya sastra yang menggambarkan kehidupan
sebagaimana yang dirasakan oleh penyair itu sendiri dengan mengaitkan suatu
peristiwa, perasaan, dan imajnasi.
Imajinasi diperlukan dalam menciptakan karya sastra, khususnya pada
syair. Dengan demikian, dalam sastra Arab dijelaskan bahwa imajinasi ini
tampak pada ungkapan yang berbentuk tasybi>h, majaz, istiʻa>rah, dan kinayah
(Muzakki, 2011: 82). Imajinasi merupakan daya pikir membayangkan
(berangan-angan) untuk menciptakan suatu gambaran dari suatu pengalaman
atau peristiwa (KBBI, 2008: 546). Imajinasi adalah bagian yang penting
sebagai bentuk keindahan syair. Imajinasi penyair dapat menuliskan kata-kata
indah yang dipadukan dengan penggunaan majas. Hal terpenting lainnya
adalah perasaan penyair yang diungkapkan dalam syair. Ungkapan perasaan
penyair tersebut dapat memengaruhi pembacanya, sehingga pembaca tertarik
untuk masuk ke dalam pengalaman dan keadaan penyair.
3
Syair Ra‘syatun fil-Ufuq karya Sweilem merupakan salah satu judul
utama yang terdapat dalam antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq. Judul tersebut
menjadi inti dari semua syair-syair yang telah dituliskan oleh penyair. Selain
itu, antologi syair tersebut merupakan suatu bentuk cerita yang ditulis
berdasarkan pengalaman penyair. Syair ini tidak berbentuk narasi atau prosa,
namun berbentuk rangkaian suatu peristiwa.
Achmad Sweilem adalah penyair generasi enam puluhan di Mesir. Dia
lahir pada tanggal 1 Juni tahun 1942 di Pella, provinsi Kafr El-Sheikh, Mesir.
Beliau memiliki kreativitas di berbagai daerah. Sweilem mendapatkan gelar
sarjana Departemen Perdagangan pada tahun 1966. Dia menjadi seorang
direktur dan bekerja sebagai dosen pengampu mata kuliah tentang pendidikan
anak-anak di Fakultas Pendidikan Universitas Khalwan. Selain itu, dia sangat
unggul dalam menulis sesuatu yang bertemakan anak-anak. Tokoh ini juga
menjadi dewan tertinggi dalam organisasi syair di bidang budaya, sebagai
dewan Writers Union, dan Federasi Serikat Manajemen Wartawan. Achmad
Sweilem mendapatkan piagam tertinggi di bidang seni dan sastra pada tahun
1965-1966. Dia mendapat gelar Honoris Causa di California dan juga
mendapatkan piagam penghargaan pada karya syairnya yang berjudul
“Andalus” pada tahun 1997 (albabtainprize.org; kutubpdf.net).
Karya Sweilem yang berupa syair cukup banyak. Beberapa karyanya
terbit sekitar tahun 2000-an yaitu jana<cha<n ila> al-jauza<‟ (2000) dan ra‘syatun
fil-ufuq (2002). Hasil karya yang ditulis oleh Sweilem banyak bercerita tentang
anak-anak. Beberapa karya Achmad Sweilem di antaranya adalah hikayat:
chika<ya<t min alfi lailah wa lailah (1980), qishasusy sya„riyah: busta<nu al-
4
chika<ya<t (1996), diwa<nu ath-thifli al-„arabiy (1997), dan syair: uchibbu „an
aku<na (2001). Dia juga menulis buku-buku pelajaran, beberapa di antaranya
yaitu al-Fikri al-islamiy fi< tsaqa<fati ath-thifli al-„arabiy (1997), machmu<d sa<mi
al-ba<rudi<y (1998), syu'ara<il al-„umru al-qashi<r (2000). Selain itu, beliau juga
menulis dalam bidang sastra klasik, di antaranya adalah ru„yatun asy-syi„riyah,
al-mar‟ah fi< syi„ri al-baya<ti<y, ath-fa<luna< fi< uyaini asy-syu„ara<‟, dan
muhammad harawiy.
Sweilem adalah seorang penyair yang handal. Hal ini dibuktikan melalui
syair-syairnya yang membahas perihal politik dan sosial. Dia tidak memiliki
latar belakang Sejarawan, namun syair-syair yang ditulis dalam bidang tersebut
terlihat nyata selayaknya sejarawan. Adapun karya-karyanya yang lain yaitu
at-thari<qu wa al-qalbu al-cha<‟in (1967), al-hijrah min al-juhha<tul arba„u
(1970), al-bachtsu an ad-da<„iratil wajhu<lah (1973), al-lailu wa dza<kiratu al-
‟aura<q (1977), al-khuru<j ila> an-nahri (1980), as-safaru wa al-‟ausamah (1985),
al-athsyu al-akbar (1986), asy-syauq fi< mada<nini al-„asyqi (1987), qira<‟atun fi<
kita<bi al-laili (1989), al-a„ma<lu asy-sya„riyah (1992), az-zamanu al-‟asha<
(1996), ar-rachi<lu ila> al-muduni as-sa<hirah (1997), lizu<miya<t (1997),
mukhta<ratun sya„riyah (1999), wa masrakhi<chiyatun sya„riyah: akhna<tu<n
(1982), syahraya<r (1983), antarah (1991), al-faris (1997) (Sweilem, 2002: 105-
107).
Salah satu karya Sweilem adalah syair dengan judul Ra‘syatun fil-Ufuq
dan ketiga syair yang digunakan, yaitu lahfah, ar-riha>n, dan Ra„syatun fil-
Ufuq. tiga syair tersebut berisikan pengalaman dan perasaan penyair tentang
kehidupan secara nyata. Pada syair tersebut terdapat beberapa tema dan tidak
5
senantiasa menggunakan satu tema saja. Adapun beberapa bentuk ekspresif
penyair yang disajikan di antaranya adalah kebahagiaan, kesedihan,
penyesalan, dan keputusasaan. Penelitian ini menggunakan tiga syair yang
menggambarkan suatu impian dan harapan. Ketiganya menjelaskan tentang
kehidupan penyair serta lika-liku hidup yang pernah dialaminya. Semua lika-
liku kehidupan penyair ini, akhirnya memunculkan rasa penyesalan dan
pengorbanan dalam mencapai segala mimpi dan harapan penyair.
Tiga syair yang digunakan beraliran romantisme yang merupakan salah
satu aliran sastra. Aliran romatisme merupakan aliran yang mendasarkan
ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan, yang ungkapannya dengan
menggambarkan realitas kehidupan dalam bentuk yang seindah-indahnya
(Ka>mil, 2009: 165). Tujuan utamaaliran tersebut yaitu agar pembaca mampu
tersentuh dan terbuai emosinya, sehingga setiap gejolak atau konflik yang
ditonjolkan biasanya disusun secara dramatis dan setuntas-tuntasnya. Selain
itu, aliran ini juga berkecenderungan menggambarkan keindahan alam, bunga,
sungai, tumbuhan, gunung, daun, dan bulan. Jika kesedihan ditampilkan, akan
membuat air mata pembaca terkuras, karena aliran romantik sering dikaitkan
dengan sifat yang sentimentil (Ka>mil, 2009: 165).
Penelitian ini berjudul “Makna Tiga Syair dalam Antologi Ra‘syatun fil-
Ufuq Karya Achmad Sweilem: Kajian Semiotika Michael Riffaterre".
Penelitian dengan menggunakan objek tiga syair tersebut merupakan jenis syair
modern. Dikatakan syair modern karena karakteristik yang terdapat pada tiga
syair tersebut benar-benar tidak terikat oleh satu qa>fiyah, satu bachr, dan satu
taf‘i>lah. Tiga syair tersebut diteliti dengan menggunakan teori semiotik
6
Michael Riffatere, karena dalam penelitian ini akan diungkapkan makna-
makna yang terkandung di dalamnya. Adapun teori ini telah banyak digunakan
oleh para peneliti sastra, baik itu skripsi, tesis, atau bentuk penelitian ilmiah
lain di bidang sastra. Adapun tinjauan pustaka yang ditemukan berdasarkan
kajian semiotika Michael Riffaterre sebagai berikut:
Pertama, yaitu Qodaria (2011) dengan skripsi yang berjudul “Syair 25
Wardatan fi Sya‘ri Balqis dalam al-A‘mal al-Kamilah Karya Nizar Qabbani:
Analisis Semiotik”. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi tersebut adalah
pemaknaan syair dengan memanfaatkan pembahasan pada teori semiotik
Michael Riffaterre. Berdasarkan hasil penelitiannya disimpulkan bahwa 25
(dua puluh lima) kutipan syair merupakan penggambaran seorang wanita
cantik bernama Balqis. Wanita cantik tersbut dideskripsikan oleh Qodaria
memiliki sifat baik hati, mulia, luhur, agung, memiliki kepercayaan yang
tinggi, memegang teguh prinsip, gigih dalam mencapai sesuatu dan mencintai
tanah airnya, sehingga bentuk kepribadiannya dapat memberikan inspirasi bagi
orang-orang di sekitarnya.
Kedua, yaitu Darajat (2015) dengan skripsi yang berjudul “Makna Syair
“Kam Marratan Yantahi Amruna” dalam Antologi Limaza Taraktu al-Hisana
Wahidan Karya Mahmud Darwisy: Analisis Semiotik Riffaterre”.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi tersebut yaitu makna yang
terkandung dalam syair dengan memanfaatkan teori semiotik Riffaterre.
Berdasarkan hasil penelitiannya, dapat diambil kesimpulan bahwa nasib orang-
orang Palestina yang meninggalkan tanah airnya, menjadikan mereka
kehilangan kehidupan yang layak dan damai.
7
Ketiga, yaitu Jatmiko (2014) dengan skripsi yang berjudul “Makna Syair
“Al-Bulbulu As-Sajinu” dalam Antologi Syair Al-Kha>ma>‘ilu Karya Iliyya>
Abu> Ma>di>: Analisis Semiotik Riffaterre”. Permasalahan yang dibahas dalam
skripsi tersebut yaitu makna yang terkandung di dalam syair Al-Bulbulu As-
Sajinu dengan memanfaatkan teori semiotik Riffaterre. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penyair menggambarkan
keadaan pemaknaan dari negara Lebanon yang sedang mengalami penjajahan
terus menerus oleh negara lain.
Keempat, yaitu Ahsin (2015) dengan skripsi yang berjudul “Makna
Puisi “Ya> Zama>nul-Huzni fi> Bairu>ta” dalam Antologi Puisi Syai'un Sayabqa>
Bainana> Karya Fa>ruq Juwaidah: Analisis Semiotik ”. Permasalahan yang
dibahas adalah makna puisi Ya> Zama>nul-Huzni fi> Bairu>ta dengan
memanfaatkan teori semiotik Michael Riffaterre. Kesimpulan yang dapat
diambil dalam penelitian tersebut adalah gambaran keadaan Beirut pada tahun
1975 hingga 1983 yang sedang diterpa tiga konflik besar. Adapun tiga konflik
yang disebutkan adalah perang saudara Lebanon antara Islam dan Kristen,
konflik antara Israel dan Lebanon, dan konflik antara Israel dengan Palestina di
Beirut. Konflik ini menyebabkan masyarakat Beirut hidup dalam ketakutan dan
kekhawatiran.
Kelima, yaitu Arofah (2016) dengan skripsi yang berjudul “Makna Puisi
Al-Qudsu Anti Karya Syihab Muhammad: Analisis Semiotik Riffaterre”.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi adalah makna yang terkandung
dalam syair Al-Qudsu Anti dengan memanfaatkan semiotik Michael Riffaterre
yaitu ketidaklangsungan ekspresi, heuristik, dan hermeneutik. Kesimpulan
8
yang terdapat dalam penelitian adalah tiga hal pokok yang diungkapkan
tentang keindahan dan kemuliaan Jerussalem, kerinduan, impian, dan harapan
penduduk Palestina serta penderitaan yang telah mereka alami. Kerinduan,
harapan, dan impian seluruh penduduk Palestina adalah Jerussalem kembali
berjaya sebagaimana sebelum datangnya zionis Israel, mendapatkan kehidupan
yang damai tanpa ada kekerasan dan kekejian. Selain itu, harapan mereka
memiliki kebebasan dalam beraktivitas dan kehidupan yang lebih baik.
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, pembahasan difokuskan pada
analisis semiotik Michael Riffaterre. Adapun penelitian yang membahas
pemaknaan syair dengan memanfaatkan teori semiotika Michael Riffterre telah
banyak digunakan. Akan tetapi, penelitian terhadap tiga syair Achmad
Sweilem dalam antologi syair Ra‘syatun fil-ufuq terdapat perbedaan yaitu
terletak pada objek syair yang digunakan dan penelitian tersebut belum pernah
dilakukan. Maka, tiga syair tersebut layak untuk diteliti untuk mengetahui
makna yang terkandung di dalamnya.
Penelitian tiga syair Achmad Sweilem dalam antologi Ra‘syatun fil-ufuq
dengan menggunakan teori semiotik. Semiotika (semiotics) adalah ilmu yang
mempelajari lambang-lambang dan tanda-tanda (Kridalaksana, 2011: 219).
Pengertian tanda ada prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai,
yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang
merupakan arti tanda (Pradopo, 2014: 123). Teori semiotik dalam penelitian
ini digunakan untuk mengartikan tanda-tanda atau simbol yang digunakan
dalam pengungkapan kata atau isyarat baik itu secara verbal maupun non
verbal. Semiotik juga digunakan untuk mempresentasikan makna-makna yang
9
dikodifikasikan (Danesi, 2011: 5). Seperti halnya satu kata yang digunakan
dalam ekspresi merupakan bahasa kiasan yang merujuk pada kondisi
emosional tanpa harus menyebutkan secara gamblang, pengungkapan hanya
menggunakan tanda atau simbol. Tanda merupakan segala sesuatu-warna,
isyarat, kedipan mata, objek, dan lain-lain yang mempresentasikan sesuatu
yang lain selain dirinya (Danesi, 2011: 6).
Adapun konsep dan teori yang digunakan oleh Riffaterre lebih
mengkhususkan pada pemaknaan syair secara semiotik, sehingga
memungkinkan adanya ruang untuk menginterpretasikan makna dalam
penelitian ini. Pemaknaan syair menurut Michael Riffaterre dalam bukunya
Semiotic of Poetry (1978) mengemukakan empat hal pokok dalam pemaknaan,
yaitu: pertama, syair merupakan bentuk ketidaklangsungan ekspresi yang
disebabkan beberapa hal, yaitu: a) penggantian arti (displascing of meaning);
b) penyimpangan arti (distoring of meaning); dan c) penciptaan arti (creating
of meaning). Kedua, pembacaan heuristik dan hermeneutik atau Retroaktif.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasar struktur kebahasaannya atau
secara semiotik adalah berdasarkan sistem semiotik tingkat pertama.
Pembacaan hermeneutik dipakai untuk mendapatkan arti yang sebenarnya
sesuai dengan yang dikehendaki oleh penyair atau berdasarkan konvensi
sastranya (Pradopo, dkk, 2001: 71, 80). Ketiga adalah matriks, hal ini
digunakan untuk mendapatkan makna syair secara lebih dalam dengan mencari
tema masalah yang terkandung dalam syair tersebut. Keempat, hipogram
adalah teks yang menjadi latar belakang terciptanya karya sastra tersebut
(transformasi dari teks lain) (Riffaterre dalam Pradopo, dkk, 2001: 78).
10
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi pembaca
dalam memahami syair Ra‘syatun fil-ufuq dan menambah wawasan penelitian
tentang kajian semiotika Michael Riffaterre. Kemudian pemaknaan terhadap
tiga syair Achmad Sweilem dalam antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq dapat
memberikan pengaruh kepada pembaca untuk memahami perasaan yang
sedang dialami oleh penyair.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang
dirumuskan dalam dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana struktur teks tiga syair dalam antologi syair Ra‘syatun fil-
Ufuq karya Achmad Sweilem menurut teori struktural model Farhud?
2. Bagaimana makna tiga syair dalam antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq
karya Achmad Sweilem menurut teori semiotika Michael Riffaterre?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan hasil penelitian yang
jelas, adapun tujuan yang ingin dicapai, di antaranya:
1. Menguraikan struktur teks tiga syair dalam antologi syair Ra‘syatun
fil-Ufuq karya Achmad Sweilem berdasarkan teori struktural model
Farhud.
2. Memaknai tiga syair dalam antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq karya
Achmad Sweilem berdasarkan teori semiotika Michael Riffaterre.
11
D. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ini dimaksudkan agar pembahasan lebih jelas dan
terarah, sehingga dalam penelitian ini tidak terdapat pembahasan yang meluas,
adapun pembatasan yang dikehendaki oleh peneliti, adalah sebagai berikut:
1. Struktur teks tiga syair dalam antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq karya
Achmad Sweilem.
2. Makna semiotik melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik
terhadap tiga syair dalam antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq karya
Achmad Sweilem.
E. Landasan Teori
1. Pengertian Puisi (Syair)
Puisi merupakan salah satu hasil karya sastra yang dapat dikaji dari segala
aspeknya, dan puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam
unsur. Adapun puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan
perubahan konsep estetiknya (Riffaterre dalam Pradopo, 2014: 12). Puisi
merupakan karya estetis yang bermakna, memiliki arti, dan bukan karya tanpa
makna (Pradopo, 2014: 3). Maka, dalam puisi digunakan kata-kata yang bukan
sebenarnya, dengan tujuan suatu hasil karya sastra yang paling utama adalah
untuk mencapai aspek keindahan dan estetikanya. Selain itu, pemaknaan
seharusnya dilakukan agar karya tersebut dapat dipahami dengan mudah apa
yang disampaikan oleh penyair.
Syair merupakan bagian dari kehidupan yang diceritakan oleh seorang
penyair dari perasaan-perasaan dan ide-idenya yang mengandung hikmah dan
12
pelajaran sebagai bentuk hiburan bagi pembaca (Dhoif, 1971: 9). Syair menjadi
salah satu seni dalam bentuk ucapan yang mengemas suatu kejadian atau
peristiwa dengan menggunakan majas (Kamil, 1984: 210). Oleh karena itu,
syair banyak dibuat dari bentuk-bentuk ucapan yang diaplikasikan dalam
bentuk tulisan dengan menggunakan gaya bahasa yang indah. Syair berasal
dari bahasa Arab yaitu syi„run merupakan bentuk masdar dari kata sya„ara,
yasy„uru yang berarti meraba, merasa, merasakan, menyadari (Baalbaki, 2006:
513). Syair juga menjadi salah satu bentuk karya sastra yang beraspek
keindahan dengan menggunakan bahasa kiasan. Maka, pembaca dapat
memberikan makna pada syair tersebut dan memahami isi syair yang berasal
dari pengalaman penyair.
Syair pada masa lampau memiliki pengertian yang lain yaitu suatu ucapan
atau perkataan yang harus memiliki wazan dan qafiyah (sajak) (Jami<„atul
Ima<m Muhammad Ibnu Su„u<d, 1990: 16). Dua hal tersebut menjadi ciri
pembeda yang dimiliki oleh syair dengan karya sastra yang lainnya. Menurut
Ahmad Sya>yib (dalam Kamil, 2009:10) syi‘r atau puisi Arab adalah ucapan
atau tulisan yang memiliki wazan atau bahr (mengikuti prosodi atau ritme
gaya lama) dan qa>fiyah (rima akhir atau kesesuaian akhir baris/satr) serta unsur
ekspresi rasa dan imajinasi yang lebih dominan dibanding prosa. Adapun hal-
hal khusus yang dimiliki oleh syair, di antaranya: (1) al-i>qa>‟ yaitu kata-kata
yang diatur dengan dentingan musik; (2) al-uslu<b yaitu gaya bahasa dalam
penulisannya yang disesuaikan dengan imajinasi. Selain itu dalam al-uslu<b atau
gaya bahasa terdapat istilah lughatusy syi‘ir (bahasa syair), bahasa tersebut
13
digunakan untuk mengungkapkan makna-makna yang ada di dalam hati
penyair (Badr, 1991: 139).
Berdasarkan sejarah syair, syair memiliki beberapa jenis, di antaranya: (1)
asy-syi„rul wijda<niy yaitu syair yang mengungkapkan pengalaman dan
perasaan penyair, jenis syair ini menjadi lebih indah jika terdapat perasaan
yang mendalam dari si penyair, penggambaran seni yang indah, kata-kata yang
jelas, ungkapan-ungkapan yang indah, dan irama yang menyentuh; (2) asy-
syi„rul qasha<siy yaitu syair yang menceritakan suatu kejadian atau peristiwa
sejarah (Badr, 1991: 147); (3) asy-syi„rut tamtsiliy yaitu syair yang memiliki
bentuk seperti drama dan unsur-unsurnya mirip unsur drama dengan
menambahkan irama syair di dalamnya; (4) asy-syi„rut ta„li<miy yaitu syair
yang memiliki unsur yang sama namun tidak ada unsur imajinasi dan perasaan.
Syair ini berkaitan dengan pengetahuan (Badr, 1991: 149).
Berdasarkan bentuknya, syair Arab dibagi menjadi 3 yaitu: (1) syi‘r
multazam, yaitu syair yang terikat dengan aturan wazan dan qa>fiyah; (2) Syi‘r
mursal, yaitu syair yang terikat dengan satuan rima (taf‘ila>t), tetapi tidak
terikat dengan aturan wazan dan qa>fiyah (Muzakki, 2011:56); dan (3) Syi‘r
churr, yaitu syair yang tidak sama sekali terikat dengan aturan wazan maupun
qa>fiyah (Muzakki, 2011:57). Syi‘r churr (syair bebas) adalah pusi yang tidak
terikat dengan prosodi gaya lama atau aru>d (wazan atau bachr) dan qa>fiyah,
yang secara bentuk terkadang mendekati gaya prosa sastra dan enjambemen
(susunan bait)-nya tidak dalam bentuk qasi>dah (dua bait sejajar), tetapi
tersusun ke bawah. Selain itu, Syi‘r churr sering disebut juga dengan sebutan
as-syi‘r al-mansu>r (syair yang diprosakan) atau al-qasi>dah an-natsariyyah
14
(sajak keprosa-prosaan) (Kamil, 2009: 16). Secara umum Syi‘r churr terbagi
menjadi tiga yaitu: (1) syair yang menggunakan satu bachr tertentu dalam satu
bait (satr)-nya sementara dalam bait yang lain menggunakan bachr lain (Kamil,
2009:16); (2) jenis syair yang menggunakan satu taf‘ilah (kaki sajak); dan (3)
syair yang memang benar-benar tidak lagi terikat sama sekali oleh satu
qa>fiyah, satu bachr, dan satu taf‘ilah sekalipun dalam bait-baitnya (Kamil,
2009: 17).
2. Pendekatan Struktural
Struktur berarti sebuah bentuk keseluruhan yang kompleks (complex
whole). Setiap objek atau peristiwa adalah pasti sebuah struktur, yang terdiri
dari berbagai unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Struktur
memiliki ide keseluruhan, struktur memilki ide transformasi, dan struktur
memiliki ide mengatur diri sendiri (Siswantoro, 2010: 13).
Strukturalisme merupakan suatu hal yang paling tuntas apabila yang
dianalisis adalah keseluruhan sajak, yang unsur-unsur atau bagian-bagiannya
saling berjalinan (Hawkes dalam Pradopo, 2005: 127). Salah satu aspek studi
sastra yaitu strukturalisme yang mengaplikasikan analisis dari peran pembaca
dalam memproduksi makna, sehingga dengan cara itu karya-karya sastra
memperoleh efek-efeknya dengan mempertahankan atau mematuhi harapan-
harapan pembacanya (Jonathan Culler dalam Kurniawan, 2001: 88).
Sebagaimana teori struktural yang akan diaplikasikan pada Tiga Syair
Achmad Sweilem dalam Syair Antologi Ra‘syatun fil-Ufuq menggunakan teori
struktural model Farhud. Objek berupa teks syair dalam penjabarannya dengan
15
menjadikan dalam bentuk prosa setiap paragraf atau bab, Badr dalam (Sangidu,
2008:300). Metode struktural merupakan suatu metode yang digunakan untuk
membongkar unsur-unsur intrinsik yang ada pada syair (Sangidu, 2008: 296).
Dengan demikian, metode struktural yang digunakan bertujuan untuk
mengetahui unsur-unsur intrinsik pada Tiga Syair Achmad Sweilem dalam
Antologi Syair Ra‘syatun fil-Ufuq.
3. Struktural Model Farhud
Teori struktural yang diaplikasikan berdasarkan model Farhud terdapat
beberapa kesamaan dengan teori-teori struktural syair pada umumnya. Adapun
unsur-unsur yang terdapat dalam teori model Farhud yaitu:
a.) Al-Maˈna (ide)
Syair diciptakan berdasarkan gagasan atau ide yang ada pada
penciptanya. Dalam syair dapat ditemukan satu atau beberapa gagasan
yang berada di dalam wadah gagasan yang lebih besar lagi. Seperti halnya
dalam satu qashidah mengandung satu gagasan yang merupakan jabaran
dari pokok keseluruhan qashidah. Gagasan-gagasan tersebut diungkapkan
secara eksplisit seperti dalam tulisan-tulisan yang diungkapkan melalui
kode-kode yang ada dalam syair (Farhud, 1981: 99).
b.) „A<thifah (Perasaan atau Emosi)
Perasaan ini adalah sekumpulan perasaan dan emosi yang muncul
di dalam teks, baik monoton dengan rasa tunggal: sedih, gembira, atau
marah, maupun beraneka ragam perasaan yang dipindahkan oleh penyair
yang berpindah dari satu rasa ke rasa yang lain setiap kali berpindah dari
16
satu tujuan ke tujuan yang lain atau terbagi pada peristiwa-peristiwa dan
tokoh-tokoh secara beruntun (Badr, 1991: 208).
c.) Khaya<l (Imajinasi)
Khaya<l (imajinasi) adalah penelusuran gambaran-gambaran imajinatif
yang diciptakan oleh penyair, baik itu dia menciptakannya secara kreatif
atau sekedar meniru dari sumber-sumber imajinasinya dan pengaruhnya
terhadap kejelasan makna. Penelusuran ini tidak terbatas pada teks syair
saja melainkan dari teks yang lainnya, seperti teks prosa. Sehingga penyair
dapat menggambarkan bentuk karakter tokoh yang dia tuliskan dalam teks
syairnya (Badr, 1991: 209).
d.) Lughatusy-syi„ir (Bahasa Syair, Gaya bahasa atau Ushlu<b)
Lughatusy-Syi„ir (bahasa syair) merupakan bahasa yang digunakan
dalam penulisan syair. Adapun di dalamnya mengandung: (a) Kosa kata
yaitu berada pada kefasihannya, keluwesannya, akurasi penunjukan
maknanya, tingkat popularitas di masa kita dan kesesuaiannya dengan
tema; (b) Struktur merupakan gaya konstruksinya, tingkat kesesuaiannya
dengan kaidah-kaidah klausa bahasa Arab, panjang pendeknya, dan
kelugasan indikasinya; (c) Ketrampilan bersastra yaitu kepiawaian
pengarang dalam memilih kata, meletakkannya dalam konteks yang
memberinya petunjuk tambahan atau mengubah maknanya; dan (d) Irama
merupakan wazan-wazan yang terdapat dalam syair, kemampuan penyair
dalam menundukkannya pada pikiran-pikiran, dan kecanggihannya dalam
merasakan getaran melodinya, selain itu irama-irama internal yang
ditimbulkan oleh sambung-menyambung huruf dan kata juga dipandang
17
bagus. Sementara itu Uslu<b yang digunakan meliputi (a) Kosa kata yaitu
digunakannya bahasa yang sederhana, mudah dipahami, dan lazim
digunakan; (b) Struktur, digunakan oleh penyair dalam membangun
struktur-struktur kata yang bersih dari cacat bahasa dan kesalahan
sintaksis, sehingga menjadikannya singkat, padat, luwes, dan kosong dari
kata-kata pengulangan yang tidak tepat; dan (c) Kemahiran bersastra
merupakan kepiawaian penyair tampak ketika ia menggunakan kosa kata
biasa untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya,
serta memberikan daya kepuitisan tersendiri (Badr, 1991: 209).
e.) Mu<syiqasy-Syi„ir (Rima atau Irama)
Rima atau irama merupakan salah satu unsur yang tidak boleh
ditinggalkan oleh penyair dalam penciptaan syair. Sebab Rima dan irama
menjadi unsur utama terbentuknya syair Arab, dan pola-pola itu disusun
sebagai Ilmu Arudl dan Qafiyah sebagai pola yang harus diikuti oleh
penyair (Farhud, 1981: 111-112). Irama dalam bahasa merupakan
pergantian turun naik, panjang, pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa
dengan teratur. Dalam irama terdapat dua macam yaitu (1) metrum adalah
irama yang tetap, yaitu pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu;
(2) ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian
bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku
kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma
penyairnya (Pradopo, 2014: 41).
18
Gambar 1. Skema Teori Struktural Model Farhud
4. Teori Semiotika Riffaterre
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotik
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti (Pradopo, dkk, 2001:67-68).
Hal yang penting dalam lapangan semiotik adalah sistem tanda yang
merupakan pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua
prinsip yaitu penanda (signifier) atau yang menandai yaitu bentuk tanda itu
sendiri, dan petanda (signified) yang merupakan arti tanda (Pradopo, 2005:
121).
Dalam pemaknaan syair tidak lepas dari konvensi-konvensi tanda-tanda
sastra, dalam konvensi itu adalah bahasa kiasan (symbolic extrapolation)
(Preminger dalam Pradopo, 2014: 215). Konvensi tambahan puisi bahwa puisi
menyatakan pengertian-pengertian atau hal-hal secara tidak langsung, yaitu
’Athifah (Perasaan
)
Khayyal (Imajinasi)
Lugatusy-Syi’ir
(Bahasa
Kosa Kata, Struktur,
Kemahiran bersastra
Teori struktural Model Farhud
Musyiqasy-Syi’ir (Irama atau Rima)
Al-Makna (Ide)
19
menyatakan sesuatu hal dan berarti yang lain (Riffaterre, 1978: 1). Dengan
demikian, bahasa syair memberikan makna lain dari pada bahasa biasa.
Adapun metode yang digunakan dalam analisis penelitian syair adalah
dengan memaknai bahasa syair yang digunakan memiliki makna lain.
Penelitian ini menggunakan empat langkah dari semiotika Riffaterre untuk
melahirkan makna syair. Sebagaimana hal tersebut diungkapkan oleh Riffaterre
di dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Petry (1978), yaitu (a)
ketidaklangsungan ekspresi (hlm: 2); (b) pembacaan heuristik dan hermeneutik
atau retroaktif (hlm: 4-5); (c) menentukan matriks atau kata kunci (hlm:12);
dan (d) menentukan hipogram (hlm:22).
a. Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketidaklangsungan ekspresi menurut Riffaterre disebabkan oleh tiga
hal (Riffaterre, 1978: 2), yaitu:
1) Penggantian Arti (displacing of meaning)
Pada umumnya penggantian disebabkan oleh penggunaan metafora
dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam
arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya, tidak
terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini
disebabkan bahwa metafora dan metonimi merupakan bahasa kiasan
yang penting hingga mengganti bahasa kiasan yang lain, seperti simile
(perbandingan), personifikasi, sinekdok, perbandingan epos, dan
alegori arti (Riffaterre, 1978: 2). Metafora merupakan bahasa kiasan
yang menyatakan sesuatu seharga dengan hal lain yang sesungguhnya
tidak sama (Altenbernd dalam Pradopo, 2014: 217). Adapun dalam
20
bahasa Arab penggantian arti identik dengan tasybi>h, isti‘a>rah, dan
maja>z (Melia, 2014:21). Pertama, tasybi>h merupakan penjelasan
bahwa suatu hal atau beberapa hal memiliki kesamaan sifat dengan hal
yang lain (Ja>rim, 2007: 25). Kedua, isti‘a>rah merupakan tasybi>h yang
dibuang salah satu tharaf-nya dan hubungan antara makna hakiki
dengan makna majazi> adalah musyabbahah selamanya (Ja>rim, 2007:
83). Ketiga, majaz (majaz lughawi) adalah lafaz yang digunakan
dalam makna yang bukan seharusnya karena adanya hubungan disertai
qarinah yang menghalangi pemberian makna hakiki (Ja>rim, 2007:
77). Dengan demikian, kedalaman imajinasi dan gaya bahasa (bahasa
kiasan) yang digunakan oleh penyair, memiliki hubungan yang erat
dengan gagasan yang disampaikan oleh penyair di dalam syair
(Muzakki, 2011: 180).
2) Penyimpangan Arti (distorting of meaning)
Dikemukakan oleh (Riffatere, 1978: 2) bahwa penyimpangan arti
terjadi apabila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun
nonsense. Dalam syair kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai
arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu (Pradopo, 2014:
217). Ambiguitas syair memberi kesempatan kepada pembaca untuk
memberikan arti sesuai dengan asosiasinya. Dengan demikian, setiap
kali sajak dibaca selalu memberikan arti baru, hal ini senada dengan
yang dikemukakan oleh Julia Kristeva (tokoh semiotik terkenal)
(Preminger dalam Pradopo, 2014: 220).
21
Kontradiksi merupakan salah satu cara menyampaikan maksud
secara berlawanan, berbalikan, menarik perhatian dengan cara
membuat pembaca berpikir, dan membuat orang tersenyum atau
membuat orang berbelas kasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan
(Pradopo, 2014: 220). Kontradiksi mengandung pertentangan yang
disebabkan oleh paradoks atau ironi. Ironi menyatakan suatu hal
secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu
keadaaan (Pradopo, dkk, 2001: 78).
Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak
mempunyai arti, sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense ini
menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi,
menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu
(Pradopo, 2014: 224).
3) Penciptaan Arti (creating of meaning)
Penciptaan arti terjadi apabila ruang teks (spasi teks) berlaku
sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar
dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak
ada artinya (Riffaterre, 1978: 2). Adapun bentuk penciptaan arti
tersebut adalah pembaitan, enjambemen, persajakan (rima), tipografi,
dan homologues (Pradopo, dkk, 2001: 75).
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur
kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem
semiotik tingkat pertama, pembacaannya dengan memberikan konvensi
22
sastranya (Pradopo, 2014: 227). Dengan demikian, puisi atau sajak dibaca
berdasarkan kebahasaannya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan
karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan
konvensi sastranya. Hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif)
dengan memberikan tafsiran sesuai dengan konvensi sastranya (Pradopo,
dkk, 2001: 80-81).
c. Matrix atau Kata Kunci
Matrix merupakan kata-kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang
dikonkretisasikan (Pradopo, 2014: 311). Dengan demikian, berdasarkan
adanya kata kunci itu sajak atau syair mudah untuk dipahami dan dapat
sampai pada pengungkapan pokok masalah pada temanya (Pradopo, 2014:
259). Matriks selalu terwujud dari varian-varian. Adapun bentuk varian-
varian tersebut ditentukan oleh wujud pertama, yaitu model. Matriks,
model, dan teks adalah varian-varian dari struktur yang sama (Riffaterre,
1978: 19).
d. Hipogram
Riffaterre mengemukakan bahwa hipogram merupakan teks yang
menjadi latar penciptaan teks lain atau sajak yang menjadi latar penciptaan
sajak lain (Riffaterre, 1978: 22). Adanya sebuah sajak atau syair baru
mendapatkan makna hakikinya bila dikontraskan (dijajarkan) dengan sajak
atau syair yang menjadi hipogramnya. Jadi, syair itu tidak dapat
dilepaskan dari hubungan kesejarahannya dengan syair sebelumnya
(Pradopo, 2014: 313).
23
Gambar 2. Skema Teori Semiotika Michael Riffatere
Dalam penelitian ini teori semiotika Michael Riffaterre dimanfaatkan
secara tidak keseluruhan. Hal ini dipandang cukup untuk mendapatkan makna
dari ketiga syair tersebut dengan hanya mengaplikasikan tiga poin
pembahasan, yaitu: Pertama, ketidaklangsungan ekspresi yang meliputi;
penyimpangan arti, pergantian arti, dan penciptaan arti. Penyimpangan arti,
pergantian arti, dan penciptaan arti. Kedua, pembacaan heuristik dan
hermeneutik. Penelitian yang dibahas ini secara rinci dapat dilihat pada gambar
3 (tiga) berikut ini:
Semiotika Michael Riffaterre
Gambar 3. Skema Pembahasan Penelitian
Semiotika Michael Riffatere
Matriks (Kata Kunci)
Penyimpangan Arti
Pergantian Arti
Penciptaan Arti
Heuristik dan Hermeneutik
Makna
Ketidaklangsungan Ekspresi
Hipogram
Ketidaklangsungan ekspresi
Heuristik dan Hermeneutik
Penyimpangan arti Penggantian arti Penciptaan arti
24
F. Data dan Sumber Data
1. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah Tiga Syair dalam Antologi
Ra‘syatun fil-Ufuq Karya Achmad Sweilem dengan memanfaatkan kajian
semiotika Michael Riffaterre.
2. Data
Data adalah sumber informasi yang akan diseleksi sebagai lahan
analisis. Data penelitian sastra merupakan data dalam bentuk verbal yaitu
berwujud kata, frasa, atau kalimat (Siswantoro, 2010: 70). Bentuk data
dalam penelitian ini berupa kata-kata, frasa, kalimat, atau wacana yang
terdapat pada Tiga Syair Achmad Sweilem dalam Antologi Ra‘syatun fil-
Ufuq.
3. Sumber Data
Sumber data adalah subjek penelitian dari mana data diperoleh
(Siswantoro, 2010: 72). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kepustakaan yang berupa buku, situs atau sumber internet, data
penelitian dan lain sebagainya yang diuraikan dengan perincian sebagai
berikut:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data utama yaitu data yang diseleksi
atau diperoleh langsung dari sumbernya tanpa perantara (Siswantoro,
2010: 70). Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teks Tiga Syair Achmad Sweilem dalam Antologi Syair Ra‘syatun fil-
Ufuq yang diterbitkan oleh Da<rusy-Syuru<q di Kairo pada tahun 2002.
25
Secara keseluruhan, di dalam antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq
terdapat 35 (tiga puluh lima) syair. Adapun tiga syair yang digunakan
adalah: (1) Lahfah; (2) Ar-Riha>n (3) Ra„syatun fil-Ufuq.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data senkunder adalah data yang diperoleh secara tidak
langsung atau lewat perantara, tetapi tetap bersandar pada kategori
atau parameter yang menjadi rujukan (Siswantoro, 2010: 71). Sumber
data sekunder dalam penelitian ini adalah data-data yang bersumber
dari buku-buku, karya tulis, hasil penelitian, dan website yang
berhubungan dan menunjang penelitian ini.
G. Metode dan Teknik Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang digunakan oleh peneliti di dalam usaha
memecahkan masalah yang diteliti (Siswantoro, 2010: 55-56). Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang perlu dilakukan seusai suatu masalah
diteliti secara kuantitatif dan hasil analisisnya berupa deskripsi dari gejala-
gejala yang diamati, yang tidak selalu berbentuk angka-angka atau
koefisien antar variabel (Subana dan Sudrajat, 2001: 19).
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses diperolehnya data dari sumber
data (Subana dan Sudrajat, 2001: 115). Dalam pengumpulan data
digunakan penguasaan teori atau konsep struktur, untuk mengambil data
26
yang dibutuhkan sesuai dengan parameter yang telah ditentukan
(Siswantoro, 2010: 74). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini
adalah membaca, memahami, mencatat hal-hal penting, dan memaknai
Tiga Syair Achmad Sweilem dalam Antologi Ra‘syatun fil-Ufuq dengan
melihat struktur dan isi teks sesuai dengan teori semiotika Michael
Riffaterre yang dapat melengkapi dan menunjang penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Berdasarkan judul penelitian yaitu “Makna Tiga Syair dalam Antologi
Ra‘syatun fil-Ufuq Karya Achmad Sweilem: Kajian Semiotika Michael
Riffaterre”, maka tahapan analisisnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, membaca dengan cermat tiga syair Achmad Sweilem yang
mengacu pada bahasa syair. Sebab bahasa yang digunakan syair bukanlah
bahasa yang sebenarnya, melainkan bahasa yang tidak sebenarnya
(kiasan). Sehingga dengan kecermatan bacaan tersebut dapat dimengerti
dan dipahami dengan mudah.
Kedua, memanfaatkan pembacaan secara semiotik yaitu dengan
pembacaan heuristik dan hermeneutik untuk memberikan makna pada
syair tersebut. Pembacaan heuristik dibaca berdasarkan konvensi bahasa
dengan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan
hermeneutik merupakan pengulangan bacaan untuk mendapatkan
pemahaman makna sastra yang terdapat dalam syair tersebut.
27
H. Sistematika Penulisan
Agar diperoleh suatu pembahasan yang jelas dan berkesinambungan
antara bab demi bab, maka sistematika penulisan penelitian ini sebagai
berikut:
Bab I Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Pembatasan Masalah, Landasan Teori, Data dan Sumber Data, Metode dan
Teknik Penelitian, Sistematika Penyajian.
Bab II struktur Tiga Syair Achmad Sweilem dalam Antologi Raʻsyatun
fil-Ufuq dengan menggunakan teori struktural Model Farhud.
Bab III pemaknaan Tiga Syair Achmad Sweilem dalam Antologi
Raʽsyatun fil-Ufuq dengan menggunakan teori semiotika Michael
Riffaterre melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik.
Bab IV simpulan dan saran.