KAJIAN SEMIOTIK RIFFATERRE DALAM KONSEP CINTA …
Transcript of KAJIAN SEMIOTIK RIFFATERRE DALAM KONSEP CINTA …
KAJIAN SEMIOTIK RIFFATERRE DALAM KONSEP CINTA SUFISME PADA KUMPULAN PUISI SYAIR LAUTAN JILBAB KARYA
EMHA AINUN NADJIB DAN PEMBELAJARANNYA DI SMP KELAS VIII
SKRIPSI
Disusun sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
BOGI ARYANTO NIM 082110087
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2013
MOTO DAN PERSEMBAHAN
MOTO
الصابرين مع الله إن ◌ والصلاة بالصبر استعينوا آمنوا الذين أيـها يا •
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS.
Al Baqoroh ayat 153)
• Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun
mendatang, kecuali dua hal: orang-orang disekeliling Anda dan buku-
buku yang Anda baca(William J. Siegel).
PERSEMBAHAN
Dengan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya,
skripsi ini penulis persembahkan kepada:
• Ayahdan ibuku tercinta, yang telah
melimpahkan doa, kasih sayang dan telah
berkorban segalanya.
• Kakak dan adiku tersayang yang senantiasa
dengan tulus mendoakan dan menyemangatiku.
• Para sahabat dan teman seperjuanganku: (Yomi,
Aji, Wiwid, Adit, Agus, Dias, Elang, Bayu,
Rima, Tesa, Isniyah, Kimmi), yang selalu
memberikan semangat dan membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
v
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. Atas limpahan
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya, skripsi yang berjudul “Kajian Semiotik Riffaterre
dalam Konsep Cinta Sufisme pada Kumpulan Puisi Syair Lautan Jilbab Karya Emha
Ainun Nadjib dan Pembelajarannya di SMP kelas VIII” dapat penulis selesaikan. Skripsi
ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Muhammadiyah Purworejo.
Penulis menyadari di dalam menyusun skripsi ini banyak mengalami kesulitan
dan hambatan. Namun, berkat bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak akhirnya
skripsi ini dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih
kapada:
1. Rektor Universitas Muhammadiyah Purworejo, yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menuntut ilmu di kampus Universitas Muhammadiyah
Purworejo.
2. Dekan FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo yang telah memberikan izin dan
rekomendasi kepada penulis untuk mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.
3. Drs. H. Bagiya, M. Hum., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah memberikan arahan dan motivasi sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
vi
ABSTRAK
Bogi Aryanto. “Kajian Semiotik Riffaterre dalam Konsep Cinta Sufisme pada Kumpulan Puisi Syair Lautan Jilbab Karya Emha Ainun Nadjib dan Pembelajarannya di SMP kelas VIII”. Skripsi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Universitas Muhammadiyah Purworejo. 2013.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menjelaskan kandungan makna dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib; (2) menjelaskan konsep cinta menurut sufisme dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib; (3) menjelaskan pembelajaran kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib di SMP kelas VIII.
Populasi penelitian ini yaitu tiga puluh tiga puisi dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab. Sampel penelitiannya yaitu lima puisi yang kemudian akan dianalisis dengan pendekatan semiotik Riffaterre adalah (1) “Tersungkur”, (2) “Kapak Ibrahim Hamba”, (3) “Mata Air Kesejatian”, (4) “Cahaya Aurat”, (5) “Seorang Gadis, Seekor Anjing”. Sampel penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sample. Puisi-puisi yang dijadikan sampel penelitian tersebut, dianggap mewakili populasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan metode membaca dan mencatat, riset kepustakaan, dan teknik deskripsi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah penelitian itu sendiri. Analisis data menggunakan metode deskriptif kaulitatif.
Hasil penelitian menunjukkan kandungan makna dalam puisi Syair Lautan Jilbab adalah; (1) a) Ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib yang ditunjukkan dengan adanya penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. b) Pembacaan heuristik dan hermeneutik dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib membuktikan bahwa secara arti dan makna masing-masing puisi yang dianalisis memiliki konsep cinta sufisme. c) Matriks, model, dan varian-varian dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib menunjukkan adanya keterkaitan tema dari masing-masing bait disetiap puisinya. d) Hipogram dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib adalah puisi Tuhan Kita Begitu Dekat, Doa, Padamu Jua , dan Hanya Satu. (2) Konsep cinta menurut sufisme dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib adalah; a) Tuhan adalah cinta dan di seberang cinta, b) dunia diciptakan oleh cinta, c) cinta menopang dunia, d) cinta dan keindahan: sejati dan imitasi, e) kebutuhan dan keinginan, f) agama cinta, g) cinta dan akal, h) kebingungan dan kegilaan. (3) Kajian semiotik dan konsep cinta sufisme dalam puisi Syair Lautan Jilbab telah dianalisis dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran pada SMP khususnya kelas VIII dengan menggunakan metode PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan).
Kata kunci: syair lautan jilbab, kajian semiotik, pembelajaran puisi
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii PERNYATAAN .................................................................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ v PRAKATA ............................................................................................................ vi ABSTRAK ............................................................................................................ viii DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1 B. Penegasan Istilah ....................................................................................... 9 C. Rumusan Masalah ..................................................................................... 11 D. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 12
b. Tujuan Sufisme ............................................................................. 21 ................................... 23
C.
g. Sumber Belajar .................................................................................... 77
E. Kegunaan Penelitian ................................................................................. 12 F. Sistematika Penulisan Skripsi ................................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 15 B. Kajian Teori .............................................................................................. 16
1. Pengertian dan Tujus Sufisme ............................................................. 17 a. Arti Kata Sufi dan Sufisme ........................................................... 17
2. Konsep Cinta Menurut Sufisme .......................3. Sastra Sufi ........................................................................................... 29 4. Puisi ..................................................................................................... 35 5. Unsur Pembangun Puisi ...................................................................... 38
a. Struktur Fisik ................................................................................. 38 b. Struktur Batin ................................................................................ 45
6. Semiotik .............................................................................................. 46 a. Pengertian Semiotik ...................................................................... 46 b. Tanda (Petanda dan Penanda) ....................................................... 48 c. Teori dan Metode Semiotik Michael Riffaterre ............................ 50
Pembelajaran Sastra di SMP ..................................................................... 60 a. Pengertian Pembelajaran Sastra .......................................................... 60 b. Fungsi Pembelajaran Sastra ................................................................ 61 c. Tujuan Pembelajaran Sastra ................................................................ 65 d. Bahan Pembelajaran Sastra ................................................................. 65 e. Model Pembelajaran Sastra ................................................................. 67 f. Langkah-langkah Pembelajaran .......................................................... 75
ix
x
BAB I
B.
F.
H.
J.
. Matriks, Model dan varian-varian dalam Puisi
ba”Karya Emha Ainun Nadjib.................... 126
h. Waktu .................................................................................................. 77 i. Evaluasi ............................................................................................... 78
II METODE PENELITIAN
A. Subjek Penelitian ....................................................................................... 83 Objek Penelitian ........................................................................................ 83
C. Fokus Penelitian ........................................................................................ 84 D. Sumber Data .............................................................................................. 84 E. Populasi Penelitian .................................................................................... 84
Sampel Penelitian ...................................................................................... 86 G. Instrumen Penelitian ................................................................................. 87
Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 87 I. Teknik Analisis Data ................................................................................. 88
TeknikPenyajian Data ............................................................................... 89 BAB IV PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN DATA
A. Penyajian Data .......................................................................................... 90 B. Pembahasan Data ...................................................................................... 95
1. Puisi “Tersungkur” Karya Emha Ainun Nadjib .................................. 95 a. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi dalam Puisi “Tersungkur”
Karya Emha Ainun Nadjib ............................................................ 96 b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik dalam Puisi
“Tersungkur”Karya Emha Ainun Nadjib ...................................... 98 c. Matriks, Model dan varian-varian dalam Puisi “Tersungkur”
Karya Emha Ainun Nadjib ............................................................ 106d. Hubungan Intertekstualitas Puisi“Tersungkur”Karya Emha
Ainun Nadjib ................................................................................. 107 e. Konsep Cinta menurut Sufisme dalam Puisi “Tersungkur”
Karya Emha Ainun Nadjib ............................................................ 1102. Puisi “Kapak Ibrahim Hamba” Karya Emha Ainun Nadjib................ 116
a. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi dalam Puisi “Kapak Ibrahim Hamba”Karya Emha Ainun Nadjib.................... 117
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik dalam Puisi “Kapak Ibrahim Hamba”Karya Emha Ainun Nadjib.................... 120
c“Kapak Ibrahim Ham
d. Hubungan Intertekstualitas Puisi“Kapak Ibrahim Hamba” Karya Emha Ainun Nadjib ............................................................ 127
e. Konsep Cinta menurut Sufisme dalam Puisi “Kapak Ibrahim Hamba”Karya Emha Ainun Nadjib.................... 131
3. Puisi “Air Mata Kesejatian” Karya Emha Ainun Nadjib .................... 137 a. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi dalam Puisi
“Air Mata Kesejatian” Karya Emha Ainun Nadjib ....................... 138b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik dalam Puisi
“Air Mata Kesejatian” Karya Emha Ainun Nadjib ....................... 136 c. Matriks, Model dan varian-varian dalam Puisi
xi
c. Matriks, Model dan varian-varian dalam Puisi
jib ................................. 160
un Nadjib ...... 180 d.
is,
............. 190 2. Tuj
194 5. Stra
................................ 221 10. Eva
BAB V PE
A. Simpul
DAFTLAMPIRAN
“Air Mata Kesejatian” Karya Emha Ainun Nadjib ....................... 144d. Hubungan Intertekstualitas Puisi “Air Mata Kesejatian”
Karya Emha Ainun Nadjib ............................................................ 144 e. Konsep Cinta menurut Sufisme dalam Puisi
“Air Mata Kesejatian” Karya Emha Ainun Nadjib ....................... 148 4. Puisi “Cahaya Aurat” Karya Emha Ainun Nadjib .............................. 154
a. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi dalam Puisi “Cahaya Aurat” Karya Emha Ainun Nadjib ................................. 154
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik dalam Puisi “Cahaya Aurat” Karya Emha Ainun Nadjib ................................. 156
“Cahaya Aurat” Karya Emha Ainun Nadd. Hubungan Intertekstualitas Puisi “Cahaya Aurat”
Karya Emha Ainun Nadjib ............................................................ 161e. Konsep Cinta menurut Sufisme dalam Puisi
“Cahaya Aurat” Karya Emha Ainun Nadjib ................................. 1645. Puisi “Seorang Gadis, Seekor Anjing” Karya Emha Ainun Nadjib.... 170
a. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi dalam Puisi “Seorang Gadis, Seekor Anjing” Karya Emha Ainun Nadjib ...... 171
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik dalam Puisi “Seorang Gadis, Seekor Anjing” Karya Emha Ainun Nadjib ...... 173
c. Matriks, Model dan varian-varian dalam Puisi “Seorang Gadis, Seekor Anjing” Karya Emha AinHubungan Intertekstualitas Puisi “Seorang Gadis, Seekor Anjing” Karya Emha Ainun Nadjib .............................................. 181
e. Konsep Cinta menurut Sufisme dalam Puisi “Seorang GadSeekor Anjing” Karya Emha Ainun Nadjib .................................. 184
C. Pembelajaran Puisi di SMP ....................................................................... 190 1. Pembelajaran Sastra ...............................................................
uan Pembelajaran Sastra ................................................................ 191 3. Materi Pembeajaran Sastra .................................................................. 192 4. Model Pembelajaran ...........................................................................
tegi Pembelajaran Sastra ............................................................... 210 6. SumberBelajar ..................................................................................... 217 7. Penilaian .............................................................................................. 219 8. Waktu .................................................................................................. 221 9. Langkah-LangkahPembelajaran ..........................
luasi ............................................................................................... 222
NUTUP an ................................................................................................... 226
B. Saran .......................................................................................................... 229 AR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Puisi Syair Lautan Jilbab Lampiran 2. Biografi Pengarang puisi Syair Lautan Jilbab Lampiran 3. Silabus Bahasa Indonesia Kelas VIII SMP Lampiran 4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Lampiran 5. Kartu Bimbingan
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai pendahuluan, berikut ini penulis paparkan latar belakang
masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Di bawah ini disajikan keenam
hal tersebut dalam subbab tersendiri.
A. Latar Belakang Masalah
Manusia hidup di dunia ini merupakan anugerah dari Tuhan yang
wajib disyukuri. Sebagai hamba Tuhan manusia dalam hidupnya
mempunyai ruang lingkup hubungan yang meliputi tiga macam, yaitu;
hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia, dan hubungan
dengan lingkungan. Sehubungan dengan hal tersebut hubungan dengan
Tuhan merupakan hal yang paling penting dan harus diutamakan. Manusia
harus mencintai Tuhannya karena cinta menjadi sangat penting dalam
kelangsungan hidup di dunia. Dalam ilmu tasawuf dijelaskan mengenai
cinta dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan alam sekitarnya. Jadi,
cinta merupakan posisi yang tertinggi dalam tasawuf sehingga dalam
memaknai puisi karya sufi harus benar-benar memahami konsep cinta.
Wachid B.S dalam Bisri, (2008:71) berpendapat cinta merupakan
sumber dari hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya, yakni manusia
dan alam semesta. Oleh karenanya, cinta menjadi tema penting di dalam
tasawuf, yang memang selalu mengungkap hubungan antarketiganya.
1
2
Pemahaman demikian diantaranya yang memposisikan cinta menjadi
peringkat tingkatan tertinggi didalam tasawuf. Oleh sebab itu, memaknai
perpuisian karya sufi (perpuisian sufisme) dan perpuisian sufistis haruslah
dipahami konsep cinta mereka.
Puisi merupakan simbol tanda, dan untuk memahami simbol tanda
itu diperlukan pemaknaan dari pembaca. Untuk memahami puisi harus
mampu memahami bahasa di dalam puisi sebagai sistem tanda yang
mempunyai arti karena, puisi bukanlah hanya sekadar karya sastra biasa
atau bahan bacaan biasa, tetapi puisi merupakan sebuah karya yang
diciptakan oleh pengarangnya dengan penuh ekspresi sehingga mampu
membangkitkan perasaan. Selain itu, puisi juga dapat memberikan
rangsangan imajinasi panca indera. Hal tersebut berarti panca indera dapat
memberikan sumbangan terhadap puisi apabila rangsangan panca indera
dan imajinasi pengarang lebih baik tentunya puisi yang dihasilkan akan
bernilai sastra yang tinggi.
Pradopo, (2007:7) mengatakan puisi sebagai karya estetis yang
bermakna, tentunya dari pemaknaan puisi tersebut akan diketahui tentang
bagaimana seorang penulis melakukan proses kreatifnya sehingga ia dapat
menciptakan karya yang indah. Puisi merupakan sebuah ekspresi yang
mampu membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera.
Dalam kaitannya dengan pemaknaan, pembacalah yang seharusnya
bertugas memberi makna karya sastra. Khusus pemaknaan terhadap puisi,
peroses pemaknaan itu dimulai dengan pembacaan heuristik, yaitu
3
menemukan meaning unsur-unsurnya menurut kemampuan bahasa yang
berdasarkan fungsi sebagai alat komunikasi tentang dunia luar (mimetic
function). Akan tetapi, pembacaan kemudian harus meningkatkannya ke
tataran pembacaan hermeneutik yang di dalamnya kode karya sastra
tersebut di bongkar (decoding) atas dasar significance-nya. Untuk itu
tanda-tanda dalam sebuah puisi memiliki makna setelah dilakukan
pembacaan dan pemaknaan terhadapnya (Riffaterre, 1978:4-6).
Riffaterre lebih jauh menjelaskan bahwa untuk melakukan
pemaknaan secara utuh terhadap sebuah puisi, pembacaan harus bisa
menemukan matriks, model dan varian-varian yang terdapat dalam karya
sastra itu. Selain itu, harus pula dilihat dalam hubungannya dengan teks
lain intertekstual (Riffaterre, 1978:6).
Para sastrawan dalam proses penciptaan tidak pernah menghindari
pengalaman dan tradisi sastra yang ada. Mereka dalam keterkaitan tersebut
mampu memasukkan pengalaman dan nilai-nilai baru dalam berbagai
variasi. Kondisi semacam ini menuntut kesungguhan dalam menghadapi
segala persoalan, orang-orangpun banyak merindukan nilai-nilai sufisme
dalam kehidupan ini. Pemahaman terhadap nilai-nilai sufisme di atas,
dibutuhkan adanya hubungan pendekatan diri dengan Tuhan, tak terkecuali
dalam dunia penciptaan karya sastra. Hal ini untuk mengangkat derajat
manusia agar memperkuat jati dirinya sehingga, para sastrawan Indonesia
menempatkan dirinya untuk menciptakan atau mewujudkan ide-idenya
4
yang dituangkan ke dalam karya sastra yang bernuansa sufisme, termasuk
ke dalam puisi.
Wachid, (2005:140) berpendapat sastra diciptakan oleh sastrawan
yang tidak lepas dari ideologi yang diyakini sastrawan, meskipun itu
mendapat inspirasi dari agama-langit, agama-bumi (agama-budaya),
maupun isme semacam kapitalisme, dan komunisme, atau sekedar
spiritualisme personal sastrawan (yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai
“lelaku”). Puisi sufi membawa imajinasi pembaca ke muara yang berujung
kepada ketuhanan. Pradopo (2007:51) berpendapat bahwa puisi mistik atau
sufistik memiliki kecenderungan mengemukakan kehidupan batin religius.
Lebih jauh Hadi (2004:123), berpendapat bahwa sastra atau puisi-puisi
sufi menekankan pada lapisan keindahan kedua, ketiga, dan terakhir,
sekalipun demikian tidak mengabaikan arti atau nilai dari keindahan lahir.
Tamsil-tamsil (ajaran yang terkandung dalam karya) bahkan diambil dari
alam syahadah tetapi diberi muatan simbolik sehingga dapat dijadikan
sebagai sarana transedensi atau tangga naik untuk menjelaskan keindahan
yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam terminologi sufi untuk
mengetahui seberapa jauh tingkatan ruhani yang dimiliki seseorang dapat
dirujuk pada bahasa simbolik yang diungkapkan (Hidayat, 2010).
Sekalipun kategori berkenaan dengan istilah puisi religi, puisi
religius, puisi mistik atau sufisme masih perlu dipertajam penggunaan
istilahnya. Namun demikian, dilihat dari konteks sastra sufi, semua
5
merujuk kepada Hamzah Fansuri. Transformasi pemikiran serupa juga
terdapat pada perpuisian Amir Hamzah.
Kurniawan, (2009:1) berpendapat dari sudut pandang Islam, jejak
sastra sufi telah ada dalam khasanah sastra Nusantara bersamaan dengan
perkembangan Islam di Nusantara. Kurniawan (2009:4) menambahkan
bahwa, setelah Amir Hamzah puisi-puisi sufi Indonesia pada periode tahun
1970-an sampai 1990-an, banyak ditulis dan diteruskan oleh penyair
Indonesia Modern. Pemikiran yang serupa pada tahun 1970-an ketika
Abdul Hadi W.M mengibarkan kebangkitan puisi sufisme, bersama
perdebatan konsepnya diharian umum Berita Buana. Bersama itu, muncul
pula Emha Ainun Nadjib, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, M. Fadloli
Zaini, Kuntowijoyo, Taufik Ismail, Hamid Jabbar, Mustofa Bisri, dan
Ahmadun Yosi Herfanda.
Dari sekian banyak nama pengarang di atas, yang paling produktif
menulis puisi sufi adalah Emha Ainun Nadjib, dengan menulis buku puisi
99 untuk Tuhanku, Seribu Masjid Satu Jumlahnya, Syair Lautan Jilbab,
Cahaya Maha Cahaya, dan Syair-syair Asmaul Husna (Wachid,2008:3-4).
Salam (2002:24) menyatakan, bahwa Emha Ainun Nadjib merupakan
salah satu penyair yang paling luas eksplorasinya. Emha Ainun Nadjib
adalah sosok penyair “liar” (mengambil istilah Prof. Dr. Noeng Muhadjir
dalam Jabrohim, 2003) dan sekaligus sosok yang tegar dalam menempuh
“kodrat” kesenimanan dengan berbagai risikonya. Akan tetapi, dilihat dari
karyanya, dibalik ke-“liar”-an dan ketegaran itu, Emha Ainun Nadjib
6
memiliki kelembutan, keterharuan, kepasrahan, dan cinta kepada “Yang di
Atas”, solidaritas, tanggung jawab, dan sebagainya. Hal tersebut terlihat
salah satunya pada puisinya yang berjudul “Lautan Jilbab”, sebuah puisi
mendadak yang ditulis ketika harus merespon dan tampil dalam acara
Pentas Seni Ramadhan, Jamaah Shalahuddin UGM tahun 1986 yang
banyak diminta kaum muda muslim dibacakannya di mana saja Emha
Ainun Nadjib muncul. Sebuah puisi yang kemudian diteaterikalkan di
berbagai tempat, yakni Yogyakarta, Madiun, Malang, Surabaya, Bandung,
Jakarta, Jember dan Ujung Pandang. Kemudian puisi tersebut mengalami
revisi dari 1 judul berkembang menjadi 33 judul (Jabrohim, 2003:30-31).
Selama lima tahun menggelandang di Malioboro antara 1970-1975
ketika belajar sastra kepada guru yang dihormatinya, Umbu Landu
Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi
perjalanan kehidupan Emha Ainun Nadjib. Kehidupan multi-kesenian
Yogyakarta bersama Halim HD, networker kesenian Sanggarbambu, aktif
di Teater Dinasti dan menghasilkan reportoar serta pementasan drama.
Lakon-lakon ini mencakup Geger Wong Ngoyak Macan, (1989 tentang
pemerintahan Raja Soeharto), Patung Kekasih tahun 1989, (tentang
pengkultusan), Keajaiban Lik Par (1980, tentang exsploitasi rakyat oleh
berbagai institusi modern), Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga
kepemimpinan modern).
Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-santri
Khidhir tahun 1990, di lapangan Gontor dengan seluruh Santri menjadi
7
pemain, serta bersama 35.000 penonton di alun-alun Madiun. Sekali lagi
ditahun 1990 Emha Ainun Nadjib menghasilkan Lautan Jilbab yang
dipentaskan secara massal di Yogyakarta, Surabaya, dan Makasar. Lakon
ini merupakan salah satu karya Emha Ainun Nadjib yang paling terkenal.
Pada tahun 1992 mementaskan Perahu Retak tentang Indonesia Orde Baru
yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai
buku yang diterbitkan oleh Garda Pustaka. Disamping itu pada tahun
1993 muncul Sunan Sableng, Baginda Faruq, Sidang Para Setan, Pak
Kanjeng, Duta Dari Masa Depan, dan lain-lainnya. Bersama dengan
buku-buku itu terbit 16 jilid puisi dan paling sedikit 30 koleksi esai (Betts,
2006:1-2).
Di Indonesia sekarang banyak sastrawan yang menghasilkan
karyanya untuk di nikmati masyarakat luas. Karya sastra sekarang ini
dijadikan sebagai bahan pembelajaran sastra di sekolah. Puisi Syair Lautan
Jilbab sebagai bahan pembelajaran sastra mengandung nilai-nilai kebaikan
yang bisa dijadikan contoh bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Pada umumnya kita sependapat, bahwa tujuan pokok pembelajaran
sastra ialah membina apresiasi sastra anak didik, yaitu membina agar anak
memiliki kesanggupan untuk memahami, menikmati, dan menghargai
suatu cipta sastra. Pembelajaran sastra merupakan penyajian karya sastra
dalam situasi belajar mengajar kelas yang bertujuan untuk menanamkan
sikap positif terhadap hasil karya sastra dalam wujud pemahaman
transformasi dari tekstual ke faktual (Jabrohim, 1994:141).
8
Pembelajaran sastra tidak terlepas dari pendidikan, karya sastra
khususnya puisi juga mempunyai peran yang sangat besar dalam
pembentukan dan pengembangan karakter anak didik. Kedudukan sastra
dalam kehidupan manusia tidak dapat diragukan lagi karena dengan
pemberian pembelajaran sastra dapat membantu siswa dalam memahami
dan mengekspresikan sebuah karya sastra dengan baik.
Pembelajaran sastra tidak terlepas dari kegiatan pendidikan. Ia
merupakan sebagian dari kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, segala
aspek pengajaran sastra seharusnya diarahkan pula demi terciptanya tujuan
pendidikan (Jabrohim, 1994:144).
Rahmanto (1988:15), mengatakan bahwa tujuan pembelajaran
sastra adalah untuk meningkatkan kemampuan apresiasi terhadap karya
sastra. Siswa diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai tentang
sastra dan sikap positif terhadap karya sastra. Pembelajaran sastra dapat
memberi sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah
yang cukup sulit dipecahkan.
Sastra diajarkan di sekolah dengan tujuan membentuk keterampilan
berbahasa, meningkatkan pengetahuan, mengembangkan cipta, rasa, serta
menunjang pembentukan watak (Rahmanto, 1988:16). Berdasarkan tujuan
tersebut sastra memang perlu diajarkan di sekolah. Sastra dapat berperan
sebagai media untuk mendidik moral peserta didik dan menggugah
perasaan untuk lebih peka terhadap kehidupan disekitarnya.
9
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik melakukan penelitian
dengan judul “Konsep Cinta Sufisme dalam Kumpulan Puisi Syair Lautan
Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dan Pembelajarannya di SMP kelas VIII;
Kajian Semiotik Riffaterre”, dengan alasan sebagai berikut: pertama, puisi
sangat erat hubungannya dengan pembelajaran di SMP kelas VIII ; kedua,
karena dari setiap manusia memiliki penafsiran yang berbeda-beda tentang
cinta, tak terkecuali cinta illahiah; ketiga, cinta merupakan tingkatan
tertinggi dalam sufisme; keempat, pada puisi-puisi dalam kumpulan puisi
Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib tersebut ditemukan ide dan
renungan yang merupakan pengejawantahan tentang cinta illahiah seorang
manusia kepada Allah; kelima, dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab
karya Emha Ainun Nadjib dengan dikaji makna dibalik tanda-tanda yang
ada dapat digunakan teori semiotik, dalam hal ini teori yang digunakan
teori semiotik Riffaterre; keenam, berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh peneliti belum ditemukan adanya kajian semiotik yang meneliti
tentang kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib.
B. Penegasan Istilah
Dalam skripsi ini penulis memilih judul “Konsep Cinta Sufisme
dalam Kumpulan Puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dan
Pembelajarannya di SMP kelas VIII; Kajian Semiotik Riffaterre”.
10
Adapun beberapa penjelasan yang akan penulis sampaikan agar
gambaran lebih jelas tentang batasan judul di atas, adapun istilah-istilah
yang perlu penulis jelaskan.
1. Kajian adalah hasil mengkaji, menghasilkan belajar, mempelajari,
memeriksa, menyelidiki, memikirkan (mempertimbangkan), menguji,
menelaah baik buruk suatu perkara (Depdiknas, 2007:491).
2. Pengertian puisi di sini adalah sintesis dari berbagai peristiwa bahasa
yang telah tersaring semurni-murninya dan berbagai proses jiwa yang
mencari hakikat pengalaman, tersusun dengan sistem korespondensi
dalam salah satu bentuk (Atar Semi, 1988:93).
3. Syair Lautan Jilbab adalah judul kumpulan puisi karya Emha Ainun
Nadjib yang diterbitkan oleh Sipress, Yogyakarta, pada bulan Maret
1994, cetakan ketiga, dengan tebal 57 halaman, yang terdiri dari 33
puisi.
4. Semiotik adalah ilmu mempelajari tentang tanda-tanda. Hoed
(2011:13) menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji
tanda dalam kehidupan manusia.
5. Sufisme adalah pengetahuan yang dengannya engkau bisa meluruskan
hati dan memperuntukkannya hanya bagi Tuhan, dengan menggunakan
pengetahuan dengan ajaran Islam khususnya tentang hukum dan
pengetahuan yang berkaitan, untuk meningkatkan dan menjaga tingkah
lakumu dalam ikatan-ikatan hukum Islam demi mencapai kearifa
(Syekh Ahmad Zarruq, w. 1949 H).
11
6. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-
unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang
saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pendidikan (Hamalik
2006:57).
7. Kelas VIII SMP adalah jenjang pendidikan Sekolah Menengah
Pertama.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan “Konsep Cinta
Sufisme dalam Kumpulan Puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun
Nadjib dan Pembelajarannya di SMP kelas VIII; Kajian Semiotik
Riffaterre, adalah tentang konsep cinta sufisme dalam kumpulan puisi
Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dengan kajian semiotik
Riffaterre dan pembelajarannya di SMP Kelas VIII.
C. Rumusan Masalah
Pentingnya melakukan penelitian terhadap Puisi Syair Lautan
Jilbab karya Emha Ainun Nadjib tersebut tidak hanya demi
mengembangkan sastra itu semata-mata, tetapi juga untuk menjawab
sejumlah masalah yang ada. Masalah pokok yang perlu diuraikan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. bagaimana kandungan makna dalam kumpulan puisi syair lautan
jilbab karya Emha Ainun Nadjib berdasarkan pembacaan heuristik dan
hermeneutik?
12
2. Bagaimana konsep cinta menurut sufisme dalam kumpulan puisi Syair
Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib?
3. Bagaimana pembelajaran kumpulan puisi syair lautan jilbab karya
Emha Ainun Nadjib di SMP kelas VIII?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, berikut ini disajikan
tujuan penelitian. Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. menjelaskan pembacaan heuristik dan hermeneutik dalam kumpulan
puisi syair lautan jilbab karya Emha Ainun Nadjib;
2. menjelaskankan konsep cinta menurut sufisme dalam kumpulan puisi
Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun nadjib;
3. menjelaskan pembelajaran kumpulan puisi syair lautan jilbab karya
Emha Ainun Nadjib di SMP kelas VIII.
E. Kegunaan Penelitian
a. Segi Teoretis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan
masukan dalam penelitian sastra, khususnya dalam penelitian puisi
utamanya kajian sufisme terhadap puisi karya Emha Ainun Nadjib.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang dapat
dipergunakan sebagai acuan untuk memperkaya konsep-konsep
ilmu sastra dan dapat mempermudah pemahaman pembaca
13
berkaitan dengan kajian sufisme terhadap puisi karya Emha Ainun
Nadjib.
b. Segi praktis
1. Bagi peneliti
Dapat mengembangkan wawasan dan pengalaman peneliti dalam
menganalisis karya sastra.
2. Bagi siswa
Dapat meningkatkan kemampuan dalam memahami karya sastra
dan memperluas ilmu pengetahuan tentang pendidikan sastra.
3. Bagi pembaca
Dapat membantu dalam mengungkapkan makna yang terkandung
dalam puisi tersebut.
4. Bagi guru
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk sebagai bahan masukan
dalam memberikan materi dan media pembelajaran puisi.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Agar pemahaman terhadap skripsi ini jelas dan logis, puisi
tersistematika sebagai berikut. Bagian awal skripsi ini terdiri atas halaman
judul, persetujuan pembimbing, lembar pengesahan, pernyataan, moto dan
persembahan, prakata, daftar isi, dan abstrak. Bagian pokok dalam skripsi
ini terbagi menjadi lima bab, yaitu:
14
Bab I pendahuluan, penulis menguraikan pendahuluan berisi latar
belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian dan sistematika skripsi.
Bab II, penulis menguraikan tinjauan pustaka dan kajian teoretis
yang berisikan tentang buku-buku apa yang menjadi referensi dan teori-
teori yang dijadikan landasan penulis sebelum melaksanakan penelitian
dan menjadi pedoman dalam pembahasan data hasil penelitian.
Bab III, metode penelitian berisi subjek penelitian, objek
penelitian, fokus penelitian, sumber data, populasi penelitian, sampel
penelitian, instrument penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data dan teknik penyajian data. Bab ini menjelaskan tentang metode yang
digunakan penulis untuk meneliti karya sastra.
Bab IV, penulis menguraikan penyajian dan pembahasan data.
Bagian ini berisi tentang penyajian data dan pembahasan data. Penyajian
data menyajikan data yang berhasil dikumpulkan, sedangkan pembahasan
data menguraikan cara-cara membahas dan menganalisis data berdasarkan
metode yang telah di tetapkan sebelumnya.
Bab V, berisi penutup. Pada bab ini penulis menyajikan simpulan
dan saran. Pada simpulan disajikan secara singkat mengenai hasil analisis
data dan simpulan terhadap masalah, sedangkan saran berisi tentang saran-
saran penulis.
15
Bagian akhir dalam skripsi ini meliputi daftar pustaka yang berisi
tentang daftar buku-buku yang menjadi referensi dan pedoman dalam
pembuatan skripsi, beserta lampiran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI
Bab ini berisi tinjauan pustaka dan kajian teori. Tinjauan pustaka
memaparkan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian
ini dan kajian teoretis berisi uraian-uraian teori-teori yang menjadi acuan
penelitian.
A. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui ke aslian suatu
penelitian. Penelitian tentang aspek religius dengan menggunakan tinjauan
semiotik pernah dilakukan oleh Aji Wicaksono (2007) berjudul “Aspek
religius puisi dalam mantra orang jawa karya Supardi Djoko Damono:
Tinjauan Semiotik”, yang menitikbertakan pada analisis struktur dalam
puisi yaitu metode puisi (diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif,
rima, dan ritma) dan hakikat puisi (tema, nada, perasaan dan amanat).
Dalam analisis aspek religius puisi tersebut peneliti menggunakan
teori yang dikemukakan oleh Riffaterre (pembacaan heuristik dan
hermeneutik), semiotika Barthes dalam mitos yang telah dijelaskan melalui
diagram dan semiotika Pierce (dengan ikon, indeks, dan simbol). Namun
yang membedakan dengan penelitian ini yaitu fokus penelitian. Wicaksono
membahas struktur dan hakikat puisi, sedangkan peneliti lebih spesifik lagi
yaitu membahas tentang konsep cinta sufisme.
16
17
Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Sekar Nugraheni
(UMS 2007) yang berjudul “Aspek sufistik dalam kumpulan cerpen
Setangkai Melati di Sayap Jibril karya Danarto: Tinjauan Semiotik”.
Penelitian tersebut membahas aspek sufistik dalam karya sastra dengan
tinjauan semiotik. Dalam analisisnya, untuk sampai pada pemaknaan
kumpulan cerpen, maka peneliti menggunakan teori Preminger yang
menyatakan semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda, semiotik yang
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda tersebut mempunyai arti. Namun yang membedakan
dengan penelitian ini adalah teori dan acuannya. Nugraheni menggunakan
teori Preminger sebagai kajiannya dan cerpen sebagai acuannya.
Sedangkan penelitian ini menggunakan teori Riffaterre sebagai kajiannya
dan puisi sebagai bahan acuannya.
B. Kajian Teori
Kajian teori merupakan penjabaran kerangka teori yang memuat
beberapa kumpulan materi terpilih dari berbagai sumber untuk dijadikan
sebagai acuan dalam membahas masalah yang teliti. Pada bagian ini akan
diuraikan pengertian dan tujuan sufisme, konsep cinta menurut sufisme,
sastra sufi, puisi, unsur pembangun puisi, dan semiotik.
18
1. Pengertian dan Tujuan Sufisme
a. Arti kata sufi dan sufisme
Sufisme (baca: Tasawwuf) yang menjadi popular dipakai
selama berabad abad dan seringkali dalam beragam makna, berasal
dari tiga huruf Arab sa, wa, fa (Haeri, 2003:3). Namun demikian Al-
Jilani (2005:88) berpendapat bahwa, istilah tasawwuf terdiri atas empat
huruf yaitu “ta’, sahad, waw, dan fa”. Berkenaan dengan istilah sufi
dan tasawuf itu sendiri, banyak versi yang meriwayatkan dari mana
istilah itu berasal. Nasution dalam Wachid, (2008:38) berpendapat
bahwa perkataan tasawuf berasal dari kata sufi (shufi) dan yang
pertama kali memakai istilah sufi adalah seorang zahid atau asketik,
Abu Hasyim al-Kufi dari Irak (wafat 150 H).
Ada beberapa pendapat mengenai atau etimologi kata sufi.
Pendapat-pendapat tersebut antara lain sebagai berikut, kata sufi
berasal dari kata shufi yaitu suci. Seorang sufi adalah orang yang
disucikan, dan kaum sufi adalah orang-orang yang telah menyucikan
dirinya melalui berbagai latihan lahir maupun batin. Nasution dalam
Wachid, (2008:38-39) berpendapat bahwa perkataan sufi berasal dari
kata shufa, yang digunakan sebagai nama surat ijazah orang naik haji.
Menurut sebagian pendapat kata ini diambil dari kata safa (shafa’)
yang memiliki makna kesucian (purity). Ada pula yang berpendapat,
kata itu diambil dari kata kerja dalam bahasa Arab safw yang berarti
“yang terpilih” (Haeri, 2003:3).
19
Pendapat lain menjelaskan bahwa kata sufi diambil dari kata
saff (shaff) yang berarti garis atau barisan, yang menunjukkan kepada
para muslim awal yang berdiri pada baris pertama dalam shalat, atau
permohonan, atau perang suci. Sebagian yang lain meyakini bahwa
tema sufisme berasal dari kata suffah yaitu serambi rendah yang
terbuat dari tanah liat dan agak sedikit ditinggikan di atas tanah yang
berada di luar masjid Nabi di Madinah, tempat berkumpulnya orang-
orang miskin yang berhati bersih yang mengikuti beliau. Beberapa
pendapat lain menyatakan bahwa akar kata sufisme berasal dari kata
suf (shuf) yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa
seseorang yang berminat untuk mendalami pengetahuan batin tidaklah
memperhatikan penampilan luar mereka dan seringkali hanya memakai
satu pakaian sepanjang tahun, yang terbuat dari bulu domba (Hamka,
1981: 81; Haeri, 2003:3-4).
Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari kata
shafw atau shafaa yang berarti bersih. Ada pendapat bahwa kata sufi
berasal dari theo yang berarti Tuhan dan sofos yang berarti hikmat,
kata Yunani yang menjadi “hikmat ke-Tuhanan” (al hikmatul
ilahiyah). Ada pendapat lagi selain pendapat di atas yakni sufi berasal
dari kata shaufanah yaitu sejenis buah kecil berbulu yang banyak
tumbuh di padang pasir, sebab sebagian pakaian orang sufi juga
berbulu-bulu (Hamka, 1981:81).
20
Pendapat-pendapat seperti tertulis di atas telah dikenal sejak
dahulu dan memiliki pengertian yang berbeda-beda. Namun demikian
dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah sufi dapat
dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek lahiriah dan batiniah. Dari aspek
lahiriah terlihat dari pernyataan yang menjelaskan bahwa orang yang
menjalani kehidupan tasawuf atau sufisme berada didalam masjid dan
mengenakan bulu domba (wool). Orang-orang semacam ini telah
dianggap meninggalkan kehidupan dunia dan hasrat jasmani serta
menggunakan benda-benda dunia secara seperlunya. Disisi lain, yang
melihat sufi dari sudut pandang ruhani sebagai orang yang mendapat
keistimewaan dihadapan Sang Pencipta nampak lebih menitikberatkan
pada aspek batiniahnya. Hafi dalam Hamka, (1981:82) berpendapat
bahwa seseorang sufi adalah yang telah bersih hatinya, semata-mata
untuk Allah Swt. Jadi sufi adalah seseorang yang menempuh jalan
sufisme yang telah disucikan hatinya oleh Allah Swt., dan menjalani
hubungan antara dia dengan Sang Pencipta juga dengan seksama
makhluk-Nya.
Mistisisme Islam yang diberi nama sufisme ini, pada
hakikatnya berarti mencari jalan untuk memperoleh cinta dan
kesempurnaan rohani kepada Sang Pencipta. Untuk mempertegas
pendapat tersebut berikut kutipan dari para guru sufi terkemuka:
Imam Junayd al-Bagdadi (w. 910 H.) mendefinisikan sufisme sebagai: “Mengambil segala sifat yang mulia dan meninggalkan segala sifat yang buruk”. Syekh Abu al-Hasan
21
asy-Syayili (w. 1258H.) seorang guru sufi di Afrika Utara mendefinisikan sufisme sebagai: Praktik (amaliah) dan penggemblengan diri melalui penghambaan dan penyembahan untuk mengembalikan diri ke jalan Allah”. Syekh Ahmad Zarruq (w. 1949 H.) dari Maroko mendefinisikan sufisme sebagai: “Pengetahuan yang dengannya engkau bisa meluruskan ‘hati’ dan memperuntukkannya hanya bagi Tuhan, dengan menggunakan pengetahuan dengan ajaran Islam khususnya tentang hukum dan pengetahuan yang berkaitan, untuk meningkatkan dan menjaga tingkah lakumu dalam ikatan-ikatan hukum Islam demi mencapai kearifa”.
Beliau juga menambahkan: “Fondasi sufi adalah pengetahuan tentang yang Satu, dan kemudian kamu memerlukan yang manisnya iman dan keyakinan, jika tidak maka kamu tidak akan bias memberikan penyembuhan yang dibutuhkan hati”. Merujuk pada Syekh Ibn.‘Ajibah (w. 1809): “Sufisme adalah sebuah ilmu (pengetahuan) yang dengannya kamu berperilaku demi menyatu dalam kehadiran Allah yang abadi melalui penyucian batinmu dan menjernihkan dengan perilaku yang baik”. Ajaran sufisme berawal dari sebuah pengetahuan, kemudian perilaku, dan akhirnya adalah anugerah-anugerah Ilahi. Syekh as-Suyuti berkata: “Seorang sufi adalah seseorang yang terus-menerus melakukan penyucian dalam hubungan dengan Allah dan berbuat baik kepada makhluk”. (Haeri, 2003:5)
Berdasarkan pendapat para tokoh sufi tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa sufisme adalah penyucian hati untuk mencapai
tujuan, maksudnya yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan melalui
penyucian hatinya. Chittick (2007:17) menjelaskan bahwa, untuk
menapaki jalan sufi, berarti harus menaati semua perintah dan larangan
Tuhan sesuai dengan apa yang telah disunnahkan Nabi:
“Sesungguhnya dalam diri Nabi terdapat teladan yang baik, bagi
mereka yang mengharap bertemu Tuhan dan hari kemudian, dan
senantiasa mengingat-Nya”. (Al Qur’an Surat Al Ahzab ayat 21).
“Katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian mencintai Tuhan, ikutilah
22
(sunnah)ku, maka Tuhan akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-
dosa kalian”(Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 31).
b. Tujuan sufisme
Sufisme atau tasawuf sebagaimana disebutkan di atas memiliki
tujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui menyucikan
hatinya. Secara luas hal ini diartikan sebagai proses untuk memperoleh
hubungan langsung dan didasari dengan Tuhan, sehingga disadari
benar bahwa seseorang dihadirat Tuhan.
Ghajali dalam Dasi, (1995:17) berpendapat bahwa ilmu
sufisme atau tasawuf merupakan tuntutan yang dapat menyampaikan
manusia dalam rangka mengenal Allah dengan sebenar-benarnya,
ma’rifat, dan oleh karena itu menjadi jalan atau tarekat yang sebaik-
baiknya, dengan akhlak yang seindah-indahnya jauh lebih baik
pengetahuan dan hikmah lahir semata-mata, karena segala ilmu dan
kelakuan sufi yang merupakan keyakinan batin itu terambil dari
rahasia kenabian, dan tidak ada sinar yang lebih benar selain sinar
kenabian itu.
Sufisme memberikan tujuan dalam memenuhi cita-cita yang
luhur tersebut. Tuhan telah membuka perjalanan dari yang lahir
menuju ke yang batin melalui wahyu yang dengan sendirinya
mencakup baik dimensi lahir maupun dimensi batin. Didalam islam
23
dimensi batin itu berhubungan dengan sufisme. Nasr dalam Dasi
(1995:19) berpendapat bahwa lebih jauh lagi, dari sudut pandang Islam
segala sesuatu yang berhubungan dengan sufisme hidup didalam
wahyu atau tradisi yang padu sesuai kodrat benda-benda.
Secara garis besar sufisme membangun dorongan-dorongan
terdalam manusia, yaitu dorongan untuk merealisasikan diri secara
menyeluruh sebagai makhluk yang secara hakiki adalah bersifat
keruhanian dan kekal. Potensinya sangat besar karena mampu
menawarkan pembebasan spiritual dan lebih dari pada mengasingkan
manusia dari dirinya sendiri, ia justru membawa manusia mengenal
kembali dirinya sendiri (Hadi, 1985:viii). Sultan Walad (putra
Jalaluddin Rumi) berpendapat bahwa tujuan dari paham sufisme
adalah mengenali cinta dalam seluruh bentuknya yang mulia,
mengenali setiap Nabi, setiap ibadah, setiap pemujaan, serta jalan
menuju cinta sejati (Rumi, 2003:20).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa tujuan sufisme adalah membawa manusia itu setingkat demi
setingkat kepada Tuhannya. Dengan demikian tujuan akhir sufisme
adalah memberi kebahagiaan kepada manusia baik di dunia maupun di
akhirat dengan puncak melihat dan memenuhi Tuhannya.
24
2. Konsep Cinta Menurut Sufisme
Cinta merupakan sumber dari hubungan antara Tuhan dengan
ciptaan-Nya. Wachid (2008:71) berpendapat bahwa, cinta menjadi
sangat penting dalam sufisme karena cinta adalah tingkatan tertinggi
dalam sufisme. Hadi (2004:182) menambahkan untuk memperoleh
pencerahan, seseorang harus mampu menempuh jalan cinta. Kalau hari
tidak singgah lagi kepada yang lain artinya negatif, niscaya ada
lekatnya, ada tempat terpautnya yang positif. Tadinya dia berupa
kepercayaan Tauhid, akhirnya dia menjadi cinta (Hamka, 1981:202).
Oleh sebab itu dalam memahami dan memaknai perpuisian sufi
haruslah memahami konsep cinta.
Cinta (mahabbah) berkembang sebagai gagasan keruhanian
setelah sufisme meninggalkan wujudnya sebagai gerakan keruhanian
yakni pada kehidupan asketisme (zuhud), dan tingkat keruhanian
(maqam) yang tertinggi ialah tawakkul (ketergantungan dan
kepercayaan penuh kepada Allah Swt) dan taqwa. Dalam hal ini,
Hamka menyatakan bahwa Tauhid mengakibatkan zuhud, dan zuhud
mengakibatkan cinta (1981:202). Di dalam Al Qur’an disinggung
mengenai mahabbah yang dimaksudkan sebagai cinta kepada Allah
secara maksimal atau mutlak: “Dia mencintai mereka, dan mereka
mencintai-Nya” (Al Qur’an Surat Al Ma’idah ayat 59). Allah Maha
Indah dan menyukai keindahan, dan pengalaman estetik bertalian
dengan keindahan yang spiritual dan supernatural. Ibnu ‘Arabi
25
menyatakan bahwa keindahan merupakan dasar dari cinta dan cinta
kepada Tuhan sentral sekali dalam ajaran sufi. Cinta Illahi menurut
Ibnul ‘Arabi, merupakan salah satu faktor penopang yang fundamental
dari pada manifestasi Hakekat Yang Esa, yaitu Tuhan. Cinta illahi
merupakan salah satu prinsip utama yang melatari segala penciptaan
yang muncul di alam semesta, sesuai dengan alam semesta, sesuai
dengan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang (al-rahman
dan al-rakhim) (Hadi, 1985:6-7).
Bagaimanakah bentuk cinta sejati hamba sufi? K.H. A. Mudjab
Mahalli menyatakan bahwa:
Cinta yang dalam tasawuf dikenai dengan istilah mahabah, adalah pilar utama bagi kehidupan seorang sufi, karena dasar setiap gerak dan diam adalah cinta. Tiada kehidupan tanpa cinta dan dengan cinta kehidupan tercipta. Dengan makna seperti inilah seorang pen-syarah tasawuf, Ahmad bin Muhammad bin Ujaibah al-Hasany menjelaskan bahwa telah tertulis pada kitab-kitab para nabi “Wahai hamba-Ku, Aku bagimu adalah Dzat yang mencintai, makna jadilah engkau hamba-hamba yang mencintai-Ku karena cintamu itu adalah hak-Ku atas kamu.”
Cinta Allah kepada seorang hamba ditujukan dengan kedekatan-Nya pada hamba itu, sedangkan cinta hamba kepada Allah ditujukan dengan taat melakukan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mempersembahkan kepasrahan total dihadapan-Nya. Ini baru sebatas pangkal cinta yang bersifat kasbiyah, bias dicapai dengan upaya-upaya manusiawi oleh siapapun.
Puncak cinta berakhir dengan disingkapnya hijab oleh Allah, dibuka pintu dan dipersilahkan seorang hamba masuk kehadirat Allah bersama para ahbab, para pecinta yang mempunyai maqam khusus dihadapan-Nya. Puncak ini bersifat wahabiyah, sebuah anugerah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya diantara para hamba yang telah melalui upaya-upaya kasbiyah. (Rumi, 2010:xxv).
26
Didalam estetika sufi, cinta mempunyai makna luas, cinta
bukan dimaknakan secara umum, melainkan lebih pada keadaan dan
tingkatan ruhani yang membawa seseorang mencapai pengetahuan
ketuhanan. Ibnul ‘Arabi membagi cinta menjadi tiga, yaitu cinta alami,
cinta keruhanian, dan cinta illahi. Cinta alami dan cinta keruhanian
merupakan jenis-jenis cinta illahi, sedangkan cinta illahi merupakan
cinta yang hakiki kepada Yang Esa, maksudnya cinta kekal yang
menjadi sumber dari jenis-jenis cinta yang lain (Hadi, 1985:7).
Dengan mencintai Allah, maka terbukalah rahasia ciptaan
Allah, baik yang nyata maupun yang gaib, yang di dunia maupun yang
di akhirat (cinta tingkat biasa, I). Dengan terbukanya rahasia itu,
seorang sufi dapat melihat cahaya kekuasaan dan keagungan Allah
(cinta tingkat orang sidiq, II). Selanjutnya, disaat cinta itu semakin
mendalam maka akan terbuka tabir antara manusia dengan Tuhannya,
sangat merindukan-Nya sebab telah melihat keindahan-Nya melalui
hati sanubari (ma’rifah sufi) (Wachid, 2008:75). Dalam hal ini
mahabbah dan ma’rifah saling meningkatkan keberadaannya. Rasa
kecintaan terhadap Allah akan terasa lebih mendalam sehingga
tercapai yang dinamakan ma’rifah.
Dalam pandangan Rumi, cinta sebagai dimensi pengalaman
ruhani, bukan dalam pengertian teoritis sepenuhnya “mengendalikan”
keadaan batin dan “psikologis” sufi. Ia tidak dapat diterangkan dengan
kata-kata, tetapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman. Dalam hal
27
ini Rumi menegaskan bahwa cinta tak terungkapkan. Kesimpulannya
adalah cinta tak terungkapkan melalui kata-kata. Ia adalah pengalaman
yang lebih nyata dari pada dunia dan segala yang ada didalamnya
(chittick, 2007:291).
Chittick (2007:293-345) yang bertumpu pada ajaran Rumi
memberikan penjelasan terkait dengan cinta dan membaginya menjadi
delapan ruang, yaitu:
1). Tuhan adalah Cinta dan di Seberang Cinta
Tuhan adalah mata air cinta, sebagaimana Dia adalah sumber segala yang ada. Tetapi apa makna “Tuhan adalah cinta?” menyatakan bahwa begitu banyak ayat Al Qur’an menyatakan cinta adalah sifat Tuhan. Karenanya, sering disebut-sebut dalam Al Qur’an Tuhan “mencintai” sesuatu. Para sufi biasa mengutip ayat yang berhubungan dengan hierarkis antara cinta Tuhan kepada manusia dan cinta manusia kepada-Nya, yang terakhir bermuara dari yang pertama: “Tuhan akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, dan keras terhadap orang-orang kafir, yang jihad di jalan-Nya dan tidak risau oleh celaan orang yang suka mencela” (Q.S 5:54).
Boleh kita mengatakan “Tuhan adalah cinta”? jawabnya sama manakala kita ditanya tentang sifat-sifat ketuhanan yang lainnya, ya dan tidak. Ketika muncul pertanyaan “apakah Tuhan adalah cinta” jawabnya ya, tetapi hanya menyangkut sifat, bukan dzat. Tuhan memiliki semuanya: wujud-Nya sama dengan semua sifat-Nya, namun kita tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tiada lain adalah kasih, Dia adalah “pengetahuan” dan bukan yang lainnya. Sebagai “pertentangan yang tiba-tiba”, sifat-sifat-Nya adalah mutlak, sedangkan dzat-Nya melampaui semua itu.
2). Dunia Diciptakan oleh Cinta
Cinta adalah hasrat dan kebutuhan, meski dalam esensi Tuhan tidak mengenal kebutuhan. Tetapi dalam sifat-sifat-Nya, Dia berkata “Aku ingin (cinta) untuk dikenal, maka kuciptakan
28
dunia”. Sebagaimana cintanya kepada Nabi, sehingga Tuhan berfirman, “jika bukan karena engkau, tidak akan Kuciptakan surga”.
Cinta Tuhan mengejawantahkan perbendaharaan yang tersembunyi melalui diri para Nabi dan orang-orang suci yang menjadi motivasi terciptanya alam semesta ini. Sebagai hasilnya, cinta mengalir keseluruh urat nadi dunia. Segala perbuatan dan gerakan berasal dari cinta, bentuk-bentuk dunia tiada lain ialah pantulan-pantulan keunikan realitasnya.
3). Cinta Menopang Dunia
Segala sesuatu mengambil bagian didalam cinta Tuhan, menggerakan kekuatan penciptaan, sehingga segalanya adalah para pencinta. Dengan kata lain, segala yang ada didorong oleh kebutuhan dan hasrat terhadap ada-ada yang lain dan berjuang untuk menyatu dengan mereka. Karenanya, setiap cinta individual adalah sumber perantara seluruh gerakan dan perbuatan.
4). Cinta dan Keindahan: Sejati dan Imitasi
Cinta manusia dapat dibagi menjadi dua: cinta sejati (isyq haqiqi) atau cinta pada Tuhan dan cinta imitasi (isyq majazi) atau cinta terhadap segalanya yang selain-Nya. Tapi dalam pengujian yang lebih dekat, orang melihat cinta sesungguhnya adalah cinta kepada Tuhan, karena segala sesuatu adalah pantulan dan bayang-bayang-Nya. Sedangkan adanya perbedaan antara dua jenis cinta tersebut karena orang memahami yang ada hanya Tuhan dan untuk-Nya semata, sementara yang lainnya meyakini adanya keterlepasan eksistensi dari segala objek keinginan dan mengarahkan cinta terhadapnya.
Cinta kepada selain-Nya tapi berasal dari-Nya, akan membawa orang kepada-Nya. Setiap Objek keinginan dari orang perorang akan menunjukkan kepalsuannya, dan orang akan mengalihkan cintanya. Namun, bagaimanapun juga setiap hasrat (cinta) tidak akan memenuhi kekasih sejati kecuali setelah kematian, manakala ia sudah terlambat untuk menutup jurang keterpisahan. Bagi seorang sufi, hanya ada satu Yang Tercinta; dia melihat bahwa semua cinta “palsu”, beku dan tidak nyata.
29
5). Kebutuhan dan Keinginan
Untuk menjadi buruan Tuhan, orang harus mampu meraih ridho-Nya. Dalam hal ini langkah awal yang harus dilakukan adalah mencari dan menginginkan-Nya. Karena Yang Tercinta memperhatikan hasrat dan pengabdian yang tulus.
6). Agama Cinta
Cinta pada Tuhan merupakan implikasi dari ilmu, amal, dan realisasi. Seorang pecinta mengetahui kekasih sejati melalui kekasih-kekasih “imitasi”. Ia memperluas pencarian dan kebutuhannya melalui disipin spiritual dibawah bimbingan seorang syekh, dan menegaskan segala sesuatu yang selain-Nya, termasuk dirinya sendiri, sehingga yang ada hanya Dia.
7). Cinta dan Akal
Sebagaimana telah kita ketahui, kata “akal” diluar konteks bersifat ambigu. Sebuah realitas yang memiliki banyak dimensi. Dalam tingkatan yang lebih rendah, erat hubungannya dengan nafs, tapi dalam tingkatan yang lebih tinggi, memiliki kesamaan substansi dengan para malaikat. Manusia harus berjuang melampaui akal persial, yang didominasi oleh nafs. Dia harus mencari bimbingan akal universal, yang mewujud didalam diri para Nabi dan orang-orang suci. Bahkan dia harus menemukan akal universal dalam dirinya sendiri dan mengutuhkan diri dibawah kendali watak kemalaikatnya.
Karena cinta mampu mengantarkan manusia antara fana dan baqa, ia melampaui akal yang dari sudut pandang ini dilihat sebagai rintangan di jalan cinta. Penyejajaran cinta dan akal mengambil peran penting dalam sebagian literature sufi, tak terkecuali dalam karya-karya Rumi. Bagaimanapun juga kritik-kritik Rumi terhadap pandangan bahwa akal sebagai sesuatu yang terpisah dari cinta, harus dipahami dalam seluruh konteks ajarannya yang didalamnya akan memainkan yang utama dan positif. Sebab, ia tidak lain merupakan sesuatu yang “niscaya” dalam menempuh jalan cinta dan penuntun bagi manusia menuju pintu gerbang pelataran Tuhan, seperti Jibril yang berperan sebagai pendamping Nabi ketika melakukan mi’raj. Tapi pada tahap akhir perjalanan, hanya dapat bertumpu pada kaki-kaki cinta dan peniadaan diri.
30
8). Kebingungan dan Kegilaan
Tanda seorang manusia “akal” adalah sabar dan tenang, baik dalam menghadapi keadaan dirinya sendiri maupun dunia sekelilingnya. Sedangkan seorang pecinta ditandai dengan kebingungan, kekacauan (pikiran), dan kegilaan.
Pengalaman pencinta dalam kemanunggalan Tuhan melampaui
semua bentuk ungkapan lain. Pada titik ini pula cinta diposisikan
sebagai bentuk akhir hubungan manusia dan Tuhan. Faktor prinsip
yang menjunjung cinta di atas keduniaan, yang berada diluar hasrat
ego diakui semenjak Rabi’ah al-adawiyah. Para sufi menyingkap
rahasia melalui karakteristik pengalaman batin mengalami keadaan
(ahwal) dan tingkatan (maqam) spiritual dan kekayaan kejiwaan
merekalah yang membedakan masing-masing pemahaman terhadap
cinta (Wachid, 2008:82). Hal itu menjadi penanda tentang kemajuan
para pelaku sufi sehingga menyatu dengan kekasihnya.
3. Sastra Sufi
Islam memiliki tradisi sastra yang dapat dikatakan berbeda
dengan berbagai macam karya lain diluarnya. Hal ini tidak lepas dari
dasar yang digunakan oleh pelaku-pelaku sastra tersebut. Dasar yang
mewarnai corak ragam seni dan sastra Islam antara lain; bertumpu
pada Al Qur’an, hadist, filsafah, dan estetika didalam Islam. Ada yang
membedakan sastra Islam dengan sastra lainnya. Pertama, majas
(figuratif). Kedua, tasbih (image atau citraan). Tiga, tamsil (simbol
perumpamaan). Dan yang terakhir, istiarah (metafora). Penulis pikir
31
sastra manapun memiliki hal itu, mesti tidak mutlak. Perbedaan
mendasar antara sastra Islam dan sastra lainnya dapat dikatakan
terletak pada kedekatan sastra Islam pada dunia sufisme.
Manusia cenderung melihat semuanya secara hitam putih.
Terkadang manusia tidak tahu bahwa apa yang manusia katakan benar
mungkin salah, dan apa yang manusia klaim salah mungkin saja benar.
Sastra sufi memberitahu manusia untuk mengetahui segala sesuatu
secara hakiki. Selain itu, dari sastra sufi manusia juga diajarkan untuk
hidup dalam damai, saling mengasihi, dan menghormati. Dalam
konteks keindonesiaan, seorang tokoh bernama Hamzah Fansuri telah
memulai tradisi damai tersebut.
Beraneka ragam fungsi sastra. Sebagai pembenar zaman
terkadang ia harus secara vulgar berpihak terhadap kepentingan
ideologi dimana ia merasa terpayungi. Konsistensi sastra
kontemporerpun menunjukkan betapa karyanya tujuan spesial dari
hamparan sastra diarea publik. Mulai dari sastra pesantren, sastra sufi,
sastra etnis, maupun sastra yang terpaksa lahir karena kepentingan
membela sebuah rezim tertentu. Arberry dalam Salam, (2004:12-13)
berpendapat bahwa sastra sufi, pada tataran nilai, bukan saja sebagai
wacana gerakan kesastraan, tetapi lebih luas dari itu adalah pula
wacana gerakan sosial, politik, dan di atas semua itu adalah wacana
gerakan kebudayaan.
32
Tapi, adakah yang berpikir fungsi sastra bagi kesehatan
kejiwaan manusia. Apakah inovasi kreatif terbaru sastra selain korelasi
sinergisnya dengan kepentingan publik selaras kesamaan logika sang
sastrawan. Secara fitriah, sastrapun dapat digunakan untuk
memperkaya bingkai kemanusiaan kita tentunya dengan sebuah syarat
mutlak, sastra yang menyehatkan mental adalah sastra yang
berketuhanan. Sastra yang lekat dengan kedaulatan humanistik yang
dikaruniakan Tuhan kepada manusia sejak zaman azali. Sastra yang
menurut Al-Qur’an diajarkan oleh penyair yang beriman dan beramal
shaleh dan banyak dzikrullah (Al-Qur’an Surat Asy Asyu’araa ayat
227).
Kosep tentang salah satu jalur tarikat yang bisa berarti langsung
perjalanan ke kesejatian batin dan Tuhan maupun sekaligus kontribusi
sosial serta atau sama sekali “tak berurusan dengan Tuhan” ditempu
melalui dunia kesusastraan, Emha Ainun Nadjib menjelaskan sebagai
berikut:
Sastra sekular secara subyektif mengorientasikan diri kedalam suatu kesadaran “kosmos tanpa Tuhan”, meskipun secara objektif ia tetap produk dari kenyataan alam dan kenyataan sosial, sehingga hasil karya sekular sama sekali tidak mustahil untuk juga bersifat religius.
Sastra diniah artinya sastra religius. Suatu kerja kesustraan yang sengaja atau tak sengaja mengaitkan diri dengan dimensi ketuhanan. Ia bisa lahir dari kosmos teologis agama-agama maupun diluar itu.
Sastra Islami adalah suatu kerja kesastraan dalam suatu kerangka kesadaran nilai keislaman baik formal maupun
33
informal, eksplisit maupun implisit: kerangka anatomi nilainya lebih “tertentu” dibanding sastra diniyah. Tetapi Islam yang saya maksud disini bukanlah sebuah agama yang kita bedakan dengan Budha dan Kristen, yang membuat kita bingung ketika sebuah karya seni bisa disebut “Islami” oleh orang Islam dan disebut “Kristiani” oleh orang Kristen, lantas kita simplifikasikan dengan memakai idiom universitas. Tetapi saya belum akan menguraikan masalah ini sehubungan dengan pemahaman naif tentang sara di negeri ini.
Sastra nubuwah adalah suatu jenis karya sastra yang selama ini disebut sastra profetik, yakni meletakan komitmen sosial sebagai substansi tematiknya. Target-tergetnya berada dalam lingkup sosiokultural.
Sastra thasawwufi atau bisa disebut juga ‘isyqy. Titik pandangnya hanya satu: Allah (Nadjib, 1995:57-58).
Dalam hal ini perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan
sastra (baca: puisi) sufi. Pemilihan kata sastra sufi sejauh ini karena
satra sufi dianggap sebagai karya sastra yang memiliki kriteria dan
identitas yang lebih spesifik dibandingkan dengan sastra religius atau
sastra islam (Salam, 2004:2). Dalam kriterianya secara umum karya
sastra baru dianggap memenuhi penyebutan sastra sufi jika karya itu
terutama dan pertama adalah karya satra yang mempersoalkan prinsip
tauhid (prinsip ke-Esa-an Tuhan), prisip ke-Ada-an Tuhan, prinsip
fana-baqa, prinsip penitrasi Tuhan dan kehendak bebas manusia serta
derivasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut (Nicholson,
1987; Lighs, 1987; Schimmel, 1986; Trimingham, 1971; Al-Kaabadzi,
1989; Burckhardt, 1984; Khan, 1987; Nasr, 1980; dalam Salam, 2004:
2-3). Artinya jika sebuah karya sastra tidak mengandung prinsip-
prinsip tersebut maka karya satra itu tidak termasuk sastra sufi. Dari
konsep ini dapat disimpulkan bahwa sastra sufi dipastikan berdimensi
34
religius dan islami, namun tidak berarti sastra religius berarti sastra
sufi.
Berhadapan dengan karya sastra (baca: sastra sufi) orang tidak
boleh hanya mengartikannya secara harfiah saja, tanpa menyelami
lebih dalam lagi. Diperlukan ketajaman persepsi dan kepekaan
apresiasi untuk bisa menghayatinya, selain pemahaman latar hidup
seorang penyair sufi (Zaini, 2000:42). Sebagaimana diakui oleh F.C
Happold dan Annemarie Schimmel (dalam Hadi; dalam Wachid, 2008:
64), sufisme menghasilkan himpunan penyair yang penglihatan
batinnya tentang Tuhan sebagai keindahan dan cinta mutlak, dan yang
kepadanya cinta kebumian membayangkan dan menyingkap keindahan
dan cinta illahi. Oleh sebab itu, sufisme tidak hanya menghasilkan
ahli-ahli mistik sejati, melainkan sekaligus penyair-penyair besar.
Dari hubungan pengalaman mistis dan pengalaman puitis itu,
dapat dinyatakan bahwa konsep puitik dalam puisi akan sangat
dipengaruhi oleh konsep mistik dari sufi penyairnya. Oleh sebab itu,
disamping tema cinta, makrifat, tauhid, dan persatuan dengan
(kehendak) Tuhan, karya sastra (puisi dan prosa) yang ditulis oleh para
sufi juga bertemakan sosial dan moral. Ditambah lagi dengan pendapat
Abdul Hadi W.M. (1985:viii), bahwa dimasukkannya sajak-sajak Amir
Hamzah bukan karya ia seorang sufi, namun karena pengaruh kuat
sastra sufi, termasuk sistem pencitraan dan perlambangan dalam sajak-
35
sajaknya. Hal itu terutama sekali dengan konsep dasar mistik yakni
“aspek ketuhanan sebagai keindahan” ( Wachid, 2008:65).
Bahasa sebagai realitas inderawi mempunyai keterbatasan
(Wachid, 2002:172) oleh sebab itu, tiada pengalaman religius yang
dapat diungkapkan selain melalui bahasa puisi atau setidaknya
simbolik. Demikian halnya dengan pengalaman syathiyyah yang
dialami oleh para sufi, yang pencapaian keadaan ruhani (ahwal)
tersebut memberi peluang kepadanya untuk menangkap suara yang
timbul dari kedalaman kalbunya berupa “ucapan-ucapan yang dalam”.
Hanya dalam keheningan kesadaran terdalam seseorang bisa
tersingkap dan mendapat pencerahan. Dan hanya dengan demikian
pula situasi eksistensial dirinya dapat direnungi dengan baik. Apapun
jenis puisi itu, sekedar lirik atau puisi sufistik, atau bahkan sajak-sajak
yang bercorak filosof dan kontemplatif akan baik (secara otentik), lahir
dalam keadaan-keadaan seperti itu (Hadi, 2006:xii). Dalam hal ini
Sultan Walad (putra Jalaluddin Rumi) menegakkan:
Keadaan batin inilah yang menguakkan tabir-tabir rahasia alam, yaitu peristiwa alam yang biasanya kita abaikan dan sempat kita tangkap dalam sekejap saja. Peristiwa keseharian yang sederhana. Sama saja dengan keseharian para penyair sufi. Keberhasilan mereka membaca yang tersirat dari yang tersuratlah yang membuat kata-kata mereka bertenaga dan berjiwa. Kata-kata yang menyimpan keikhlasan dan pesona keindahan surgawi. Puisi mereka merupakan refleksi dari keadaan jiwa yang tentram dan telah mencapai kesempurnaan (Rumi, 2000:7-8).
36
Dalam sudut pandang sufisme, keberadaan sastra yang orisinal
dalam segala bidang kehidupan manusia, merupakan perwujudan lain
dari dua sifat Tuhan, yaitu Maha Indah dan Maha Agung. Jika karya
sastra merupakan pernyataan keindahan diri manusia, maka juga berat
menampilkan ke-Mahaindah-an Tuhan. Jika seni (sastra) merupakan
pernyataan fenomena atau watak manusia, maka ia merupakan wujud
ke-Mahaagung-an Tuhan. Jadi, kesenian menghargai keorisinilan dan
mengandung pesan-pesan kebenaran. Menurut konsep sufisme seni
(sastra) diletakkan sebagai kegiatan yang diperlukan untuk
memperkokoh hubungan manusia dengan Tuhan melalui perantara
keindahan dan keagungan ciptaan-Nya.
4. Puisi
Puisi merupakan the most condensed and concentrated form of
literature (Perrine dalam Siswantoro, 2010:23), maksudnya adalah
puisi merupakan bentuk karya sastra yang paling padat dan
terkonsentrasi. Puisi merupakan sebuah ekspresi yang mampu
membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera dalam
susunan yang berirama (Pradopo, 2007:7). Perrine (dalam Siswantoro,
2010:23) mendefinisikan puisi sebagai jenis bahasa yang mengatakan
lebih banyak dan lebih intensif daripada apa yang dikatakan oleh
bahasa harian. Adapun menurut Aminuddin (1991:134), puisi adalah
salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media
penyampaian ilusi dan imajinasi, serta lukisan yang menggunakan
37
garis serta warna dalam menggambarkan gagasannya. Dengan begitu
dapat dikatakan puisi merupakan jenis sastra yang didalamnya
mengandung simbol tanda yang bermakna dengan bahasa sebagai
medium. Hanya saja bahasa puisi lebih memiliki ciri sendiri, yakni
pengungkapan yang lebih intensif dibanding bahasa yang digunakan
pada umumnya yang lebih bersifat informatif praktis. Oleh sebab itu
puisi dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi didalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya; yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar-pendengarnya”. Tentu saja batasan-batasan ini hanya batasan tentatif yang bertolak pada puisi-puisi konvensional. Karenanya, batasan itu pun belum tentu mampu mencakupi semua jenis puisi yang ada. Terlebih lagi jika disadari bahwa dalam perkembangannya, khazanah puisi modern selalu menunjukkan adanya inovasi dan eksperimentasi yang dilakukan oleh para penyair pembaharu yang melahirkan puisi-puisi inkonvensional” (Sayuti, 2008:3-4).
Lebih jauh Sayuti (2008:23-24) yang mendasarkan puisi
kepada karya-karya penyair yang terdapat dalam khasanah perpuisian
Indonesia modern yang dapat dijangkau, sebagai karya kreatif puisi
dapat dipertimbangkan: 1) sebagai sosok pribadi (pinjam istilah
Subagyo Sastrowardoyo); 2) sebagai dunia dalam kata (pinjam istilah
Dresden); 3) sebagai penciptaan kembali atau refleksi kenyataan; 4)
sebagai sesuatu yang dikhendaki untuk atau yang mampu mencapai
tujuan tertentu dalam diri audiens. Diantara empat pertimbangan
tersebut yang menjadi titik berat keterkaitannya adalah bahasa dan
38
maknanya. Puisi adalah karya sastra estetis yang memanfaatkan saran
bahasa secara khas. Hal ini sejalan dengan pandangan yang
mengungkapkan bahwa jika suatu ungkapan yang memanfaatkan
sarana bahasa itu bersifat “luar biasa” ungkapan itu disebut sebagai
ungkapan sastra atau bersifat sastrawi.
Puisi merupakan simbol tanda. Puisi sebagai sosok pribadi
penyair atau ekspresi personal berarti puisi merupakan luapan perasaan
atau sebagai produk imajinasi penyair yang beropsesi pada presepsi-
presepsinya (Sayuti, 2008:25). Ditegaskan Hadi (2009:47), bahwa
seorang penyair pada dasarnya menggunakan imaji-imaji visual atau
auditif untuk mengonkretkan ide-idenya. Persepsinya diuji dalam
ketepatannya menggunakan imaji konkret memiliki nilai spiritual dan
simbolik. Untuk memahami simbol tanda itu diperlukan pemaknaan
dari pembaca. Untuk memahami puisi harus mampu memahami bahasa
didalam puisi sebagai sistem tanda yang mampunyai arti. Didalam
puisi terdiri dari simbol unsur yang tersusun, dan setiap susunan
tersebut mempunyai makna yang saling berkaitan, maka didalam
pemaknaan puisi tidak boleh memaknai dengan semuanya sendiri
melainkan harus dengan kerangka simbol yaitu ilmu tentang tanda-
tanda.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa puisi selalu berkaitan dengan jiwa dan perasan, kehidupan lahir,
dan batin yang diekspresikan pengarang melalui bentuk paparan
39
bahasa yang mempunyai simbol dan mengandung makna yang
mendalam.
5. Unsur Pembangun Puisi
Puisi merupakan sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur
pembangun. Unsur itu dinyatakan secara terpadu karena tidak dapat
dipisahkan tanpa mengikat unsur yang lainnya. Unsur-unsur itu
bersifat fungsional dalam kesatuannya dan juga terhadap unsur
lainnya. Puisi dibangun oleh dua unsur pokok yakni struktur fisik dan
struktur batin (Waluyo, 1995:25-28).
a. Struktur fisik
Struktur fisik puisi adalah sesuatu yang dapat dilihat dari
bahasa puisi yang tampak. Waluyo (1987:71-97) menyebutkan
struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur
estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Struktur fisik
tersebut yakni sebagai berikut:
1. Diksi
Diksi merupakan salah satu unsur yang membangun
keberadaan puisi yang berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh
penyair untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan-perasaan
yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya (Sayuti, 2008:143).
Diksi atau pilihan kata mencakup pengertian kata-kata yang
40
dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana
membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat atau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang
paling baik digunakan dalam suatu situasi.
Sayuti (2008:160) berpendapat, tentang hal-hal yang harus
diperhitungkan penyair dalam puisinya: 1) kaitan kata tertentu
dengan gagasan dasar yang akan diekspresikan atau
dikomunikasikan; 2) wujud kosa kata; 3) hubungan antarkata
dalam membentuk susunan tertentu sebagai sarana retorik sehingga
tercitra kiasan-kiasan yang terkait dengan gagasan; 4)
kemungkinan efeknya bagi pembaca. Diksi dalam puisi
diorientasikan pada sifat-sifat hakiki puisi: a) secara emotif, kata-
kata pilihan disesuaikan dengan hal yang akan diungkapkan; b)
secara objektif, kata-kata disesuaikan dengan kata lain dalam
rangka membangun kesatuan tekstual puisi; c) secara imiatif atau
referensial, kata-kata diperhitungkan potensinya dalam
membangun imajinasi sehingga mampu menghimbau tanggapan
pembaca untuk mengaitkan dunia puitik dengan realis; d) secara
konatif, kata-kata diperhitungkan agar mampu memberikan efek
tertentu pada diri pembacanya.
41
2. Pengimajian/ Citraan
Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan,
pendengaran, dan perasaan. Wachid (2002:131) berpendapat,
bahwa dalam sajak pengimajian/ citraan umumnya digunakan
dalam dua pengertian, yakni sebagai pengalaman indera dan bentuk
bahasa yang dipergunakan untuk menyampaikan pengalaman
indera itu. Sebuah sajak yang baik senantiasa memperhitungkan
keutuhan antara bentuk dan isi, keutuhan penggambaran-
penggambaran imajinya sehingga mampu memberi nuansa
berimajinasi dan berpikir kepada pembaca.
Citraan merupakan kata-kata sebagai pendukung imaji.
Menurut Sayuti (2008:170) istilah citraan dalam puisi dipahami
melalui dua cara. Pertama, dipahami secara reseptif dari sisi
pembaca. Dalam hal ini citraan merupakan pengalaman indera
yang terbentuk dalam rongga imajinasi pembaca yang ditimbulkan
oleh sebuah kata atau oleh rangkaian kata. Kedua, dipahami secara
ekspresif, dari sisi penyair, yakni ketika citraan merupakan bentuk
bahasa (kata atau rangkaian kata) yang dipergunakan oleh penyair
untuk membangun komunikasi estetik atau untuk menyampaikan
pengalaman inderanya.
42
3. Kata Konkret
Kata konkret merupakan kata-kata yang digunakan
pengarang dalam sajaknya yang dapat menyaran kepada arti yang
menyeluruh. Kata yang diperkonkritkan erat hubungannya dengan
penggunanaan kiasan dan lambang.
4. Bahasa Figuratif/ Kiasan
Bahasa figuratif/kiasan adalah bahasa yang digunakan
penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa,
yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Untuk
memahami bahasa figuratif, pembaca harus menafsirkan kiasan
dan lambang yang dibuat penyair. Riffaterre dalam Wachid, (2002:
75) berpendapat bahwa puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak
langsung, yaitu menyatakan sesuatu yang berarti lain (dalam).
Jenis-jenis bahasa kiasan itu antara lain sebagai berikut:
a) Perbandingan (simile)
Perbandingan atau perumpamaan atau simile, adalah
bahasa kiasan yang tidak langsung. Artinya menyatakan satu
hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata seperti,
laksana, bagaikan, baik, dan kata-kata pendamping yang lain
(Pradopo, 2007:62). Simile merupakan perbandingan yang
bersifat eksplisit. Maksudnya adalah bahwa ia langsung
43
menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia
memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan
kesamaan itu (Keraf, 2008:138).
b) Metafora
Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang
dikiaskan itu tidak disebutkan. Dengan kata lain, metafora
adalah semacam analogi yang membandingkan dual hal secara
langsung, hanya saja tidak menggunakan kata-kata pembanding
(Pradopo, 2007:66). Altenbernd menyatakan, metafora
menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga
dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (dalam
Pradopo, 2007:66). Metafora sebagai perbandingan langsung
tidak mempergunakan kata: seperti, baik, bagai, bagaikan, dan
sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan
dengan pokok kedua (Keraf, 2008:139).
c) Personifikasi
Secara sederhana, personifikasi dapat diartikan sebagai
pemanusiaan (Sayuti, 2008:229). Personifikasi adalah kiasan
yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang
yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan
(Keraf, 2008: 140). Personifikasi sebagai kiasan yang banyak
yang digunakan oleh para penyair dari dulu hingga kini sering
44
digunakan karena membuat hidup lukisan, disamping itu
memberi kejelasan beberan, memberikan bayangan angan yang
konkret (Pradopo, 2007:75).
d) Allegori
Allegori adalah cerita kiasan atau lukisan kiasan. Cerita
kiasan atau lukisan kiasan ini menghiaskan hal lain atau
kejadian lain (Pradopo, 2007:71). Keraf (2008:140)
berpendapat, allegori merupakan cerita singkat yang
mengandung kiasan, makna kiasan ini harus ditarik dari bawah
permukaan ceritanya.
e) Metonimia
Metonimia adalah suatu gaya bahasa kiasan yang
mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain,
karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Keraf, 2008:
142). Altenbernd dalam Pradopo, (2008:77) berpendapat,
bahwa metonimia ini dalam bahasa Indonesia sering disebut
kiasan pengganti nama. Bahasa ini merupakan sebuah atribut
sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat
berhubungan dengannya untuk mengganti objek tersebut.
45
f) Sinekdok
Altenbernd dalam Pradopo, (2007:78) sinekdok adalah
bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting
dalam suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri.
5. Verifikasi (rima, ritme, dan metrum)
Verifikasi dalam puisi terdiri dari rima, ritme dan metrum.
Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk
membentuk musikalitas atau orkestrasi (Waluyo, 1987:90). Dalam
Siswanto berbeda dengan sajak, rima adalah persamaan bunyi pada
puisi, baik diawal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima terdiri
dari tiga macam, yaitu onomatope yang merupakan tiruan suatu
bunyi. Bentuk intern pola bunyi yang merupakan aliterasi,
asonansi, persamaan akhir dan awal, sajak berselang, sajak
berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi, dan sebagainya.
Pengertian ritme (rhytm) atau biasa disebut irama adalah
suatu gerak yang teratur, suatu rentetan bunyi berulang dan
menimbulkan variasi-variasi bunyi yang menciptakan gerak yang
hidup (Semi, 1993:120). Ritma berasal dari bahasa Yunani rheo
yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus menerus dan
tidak putus-putus (mengalir terus) (Waluyo, 1987:94).
46
Metrum menurut Ibid berupa pengulangan tekanan yang
tetap yang bersifat statis, sedangkan menurut M. Atar Semi,
metrum ialah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap
disebabkan jumlah suku kata yang sudah tetap, sehingga alun suara
menjadi tetap (Semi, 1993:121).
6. Tipografi (tata wajah)
Tipografi adalah penyusunan baris dan bait puisi. Tipografi
juga sering disebut sebagai ukuran bentuk, yang didalamnya
tersusun kata, frase, baris, bait, dan akhirnya menjadi puisi.
b. Struktur batin
Struktur batin puisi adalah medium untuk mengungkapkan
makna yang hendak disampaikan penyair. Richard dalam dalam
Waluyo (1987:106-130) menyebutkan dengan istilah hakikat puisi.
Ada empat unsur hakikat puisi, yakni:
1. Tema
Tema merupakan gagasan pokok atau subjeck-matter yang
dikemukakan oleh penyair.
2. Perasaan (feeling)
Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut
diekspresikan dan harus dihayati oleh pembaca.
47
3. Nada dan suasana
Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca. Dalam
menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap
pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati,
mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan
sesuatu kepada pembaca. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca
setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan
puisi terhadap pembaca.
4. Amanat (pesan)
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang dari sebuah karya sastra (baca: puisi). Amanat yang
hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita
memahami tema, rasa, dan nada puisi itu.
6. Semiotik
a. Pengertian semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti
tanda. Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Hoed
(2011:3) berpendapat bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji
tanda dalam kehidupan manusia. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Teori semiotik mengarahkan perhatiannya pada tanda,
48
yakni “sesuatu yang mewakili sesuatu”. Secara lebih khusus
dikemukakan bahwa sesuatu yang diwakili itu adalah “pengalaman
manusia”, baik pengalaman fisik maupun pengalaman mental (Hoed,
2011:155). Preminger dalam Pradopo, (2007:121) berpendapat bahwa
semiotik mempelajari sistem aturan dan konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai arti yang dalam lapangan kritik sastra
meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang
tergantung pada konvensi-konvensi tambahan dan yang meneliti ciri-
ciri yang memberi makna bermacam-macam cara wacana.
Ferdinand de Saussure dan dikutip Pilliang (2003: 256)
mendefinisikan semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai
bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit dalam definisi Saussure
ada prinsip bahwa semiotik sangat menyadarkan dirinya pada aturan
main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam
masyarakat sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang
hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang
tidak sama (tidak saling mempengaruhi). Tokoh semiotik itu adalah
seorang ahli linguistik berkebangsaan Swiss, Ferdinand de Saussure
(1857-1913) dan seorang ahli wilsafat Amerika, Charles Sanders
Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama
semiologi, sedangkan Peirce menyebutnya semiotik. Kedua istiah ini
mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah
49
satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran
pemakainya.
b. Tanda (petanda dan penanda)
Wardoyo (2005:1) mengatakan semiotics is the science of
signs. Masalahnya adalah bagaimana sebuah tanda (sign) dapat
diidentifikasikan. Untuk dapat mengidentifikasi sebuah tanda, terlebih
dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam
semiotik, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa
menghasilkan makna.
Dalam hubungannya dengan tanda, Saussure mempunyai
peranan penting dalam mengidentifikasikan sebuah tanda. Saussure
dalam Pilliang (2003:90) menjelaskan “tanda” sebagai kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar kertas,
yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau
ekspresi dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau
makna. Saussure meletakan tanda dalam konteks komunikasi manusia
dengan pemilahan antara penanda (signifier) dan petanda (signified).
Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah konsep yang
diwakli oleh penanda yaitu artinya. Contohnya “ayah” merupakan
tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti “orang tua laki-laki”.
Berkaitan dengan proses pertandaan seperti di atas, Saussure
menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention)
50
dikalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda.
Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan
sosial diantara komunitas pengguna bahasa (Pilliang, 2004:90).
Selanjutnya tanda kebahasaan menurut Saussure bersifat
arbitrair, atau semena-mena. Artinya tidak ada hubungan alami dari
petanda dan penanda. Sebagai contoh tentang ini bahwa orang tidak
dapat mengerti mengapa hewan yang selalu digunakan sebagai
kendaraan tunggangan tersebut bernama “kuda”. Tanda kebahasaan
tersebut tidak dapat dipikirkan sebabnya, tetapi semua orang dapat
mengerti bahwa itu “kuda”, tanpa harus memperdebatkannya. Inilah
semena-mena yang selalu tersepakati tanpa kesepakatan formal.
Mengingat hubungan petanda dan penanda bersifat arbitrair,
maka petanda dari sebuah penanda bisa berupa apa saja. Tidak ada
makna inti yang ada dalam petanda,yang membuatnya harus menjadi
petanda dari sebuah penanda inilah kesemena-menaan. Lalu apa yang
dapat menentukan bahwa penanda adalah penanda dan petanda adalah
petanda? Menurut Saussure penentu tersebut tidak lain adalah relasi.
Sebagai contoh, untuk mengerti tentang “akar”, maka dapat di bedakan
dengan “batang”. Hal ini tidak hanya terjadi pada tataran konsep,
namun juga pada tataran penanda. Misal suatu kata ‘panjang’ yang
diucapkan oleh penutur satu dengan penutur lainnya dapat berbeda bila
diamati cara ujaran atau warna suara, Volume suara. Namun walau
bervariasi cara pengucapannya, kata tersebut dapat saja dipahami
51
sebelum kata tersebut menjurus atau terdengar seperti kata “pancang”,
“panggang”, dan “pancung”. Dengan kata lain tanda dapat dipahami
atas pembedaannya dengan tanda yang lain. Hal ini memberi
pengertian bahwa unit kebahasaan adalah form bukan content ( isi ).
c. Teori dan metode semiotik Michael Riffaterre
Tahap pertama memahami puisi secara semiotik adalah dengan
menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-kata yang
secara referensial, menurut kemampuan bahasanya yang mendasarkan
fungsi bahasa sebagai alat komunikasi tentang gejala diluar fungsi
mimetiknya. Tahap ini oleh Riffaterre disebut tahap pembacaan
heuristik. Setelah itu pembacaan dan pemaknaan harus ditingkatkan
pada tahap semiotik yaitu dengan membongkar kode-kode sastra
secara struktural, atas dasar maknanya (significance); penyimpangan
dari kode bahasa dari makna biasa, yang oleh Riffaterre disebut
ungrammaticalities dengan latar belakang seluruh karya yang
disampingnya (intertekstualitasnya dengan karya-karya sebelumnya).
Tahap kedua inilah yang disebut sebagai tahap pemaknaan secara
retroaktif atau hermeneutik. Puisi dicari matrix atau kata kuncinya,
dapat juga ditambahkan bahwa puisi sebagai transformasi
ditransformasikan dengan hipogramnya.
Dalam pemaknaan puisi ada empat hal penting yang harus
diperhatikan dalam pemaknaan sastra, seperti yang terdapat dalam
52
buku Riffaterre, Semiotics of Poetry melalui Pradopo (2007:226)
sebagai berikut:
a. Ketidaklansungan ekspresi
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978-1) bahwa puisi itu dari
dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan
konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia
menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas
bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud lain.
Artinya puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang
digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi,
ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada
umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak
langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak
lagsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005: 124).
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:
2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displasing of
meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan
penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis
ketidaklangsungan ini jenis-jenis akan mengancam representasi
kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis. Landasan
mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada
tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu
53
diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk
menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).
a) Penggantian arti (displacing of meaning)
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh
penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra.
Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut
bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa
kiasan lainnya. Disamping itu, ada jenis bahasa kiasan yang
lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos
dan alegori.
Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau
mengganti suatu hal dengan tidak mempergunakan kata
pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya. Metonimi
merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai
nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan
hal yang bertautan dengannya.
Kata-kata kiasan merupakan pengganti arti sesuatu yang
lain. Sebagai salah satu contoh dalam kumpulan puisi syair
lautan jilbab, dalam puisi “Tersungkur”, kekasih diartikan
sebagai Allah Swt. “Kekasih” merupakan metafora dalam baris
ini yang berarti lain, yakni sebagai Allah Swt. yang sangat
dicintai oleh aku-lirik. Jadi, dalam pandangan aku-lirik karena
54
si aku sangat mencintai Allah Swt., maka menganggap Allah
Swt. sebagai kekasihnya. Dalam bait selanjutnya “anak-anak”
juga memiliki arti lain, yakni orang-orang yang merasa kecil
dan bodoh serta dihantui kerinduan tidak sabar ingin bertemu
dengan Allah Swt. sebagai kekasihnya.
b) Penyimpangan arti (distorting of meaning)
Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara
emotif dari bahasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan,
penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain.
Riffaterre (1978:2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti
disebabkan oleh tigal hal, yaitu pertama oleh ambiguitas, kedua
oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense. Pertama,
ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda
(polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu
dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase ataupun kalimat.
Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan
disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks merupakan
suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau
bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan
lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran,
sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan,
biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.
55
Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik
tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi,
tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi puisi nonsense itu
memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi
sastra, nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib
atau magis.
Arti yang ambiguitas yang terjadi dalam puisi “Mata
Air Kesejatian” ini adalah kosong dan bisu; diartikan sebagai
kekosongan bukan karena buta namun karena terlampau luas
cinta yang dilihat sehingga matanya tidak sanggup menampung
cinta itu. Bisu dalam hal ini bisu juga bukan berarti tidak bisa
berbicara namun karena hanya cinta yang diucapkannya maka
aku-lirik tidak bisa berkata selain kata cintanya kepada Allah
Swt sehingga dia dikatakan bisu. Arti yang muncul dalam kata
kosong dan bisu pada puisi “Mata Air Kesejatian” ini adalah
ambiguitas yakni memiliki arti ganda.
c) Penciptaan arti
Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement,
homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti
ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual
yang secara linguistik tidak mempunyai arti tetapi
56
menimbulkan makna didalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini
merupakan organisasi teks diluar linguistik.
b. Pembacaan heuristik dan hermeneutik
Untuk memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat
dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau
retroaktif (Riffaterre, 1978:5-6). Konsep ini akan diterapkan
sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkapkan makna
yang terkandung dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya
Emha Ainun Nadjib.
Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5)
merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna
secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan
pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara
utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang
sudah dibaca untuk kemudian memodifikasi pemahaman tentang
hal itu.
Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik
adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang
bersifat mimetic (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti
yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini
dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti
kebebasan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari
57
suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2005-135) memberi definisi
pembacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur
bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi
sistem semiotik tingkat pertama.
Pembacaan hermeneutik menurut Santosa (2004:234)
adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan
makna puisi secara utuh dan terpadu. Semantara itu, Pradopo
(2005:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai
pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua
(makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali
dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap
pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat
memodifikasi pemahaman dengan pemahaman yang terjadi dalam
pembacaan hermeneutik.
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat
struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur
kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun
dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari
berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak
secara bolak-balik dari satu bagian ke seluruh dan kembali ke
bagian yang lain seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada
interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan
matriks (Riffaterre, 1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan
58
oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai
berikut:
1. Membaca untuk arti bahasa.
2. Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dalam
mengiringi penafsiran mimetik yang biasa.
3. Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak
biasa dalam teks.
4. Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah
pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan
hipogram dalam teks.
c. Matriks, model dan varian-varian
Untuk memperjelas dan mendapatkan makna sajak karya
sastra lebih lanjut, maka dicari tema dan masalahnya dengan
mencari matriks, model, dan varian-variannya lebih dahulu.
Matriks itu harus diabstraksikan dari sajak atau karya sastra yang
dibahas. Matriks itu tidak dieksplisitkan dalam sajak karya sastra.
Matriks itu bukan kiasan, matriks ini adalah kata kunci (key word),
dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat
sederhana. Matriks ini “mengarah pada tema”. Jadi, matriks bukan
tema atau belum merupakan tema. Dengan ditemukan matriks,
nanti akan ditemukan tema. Matriks itu sebagai “hipogram” intern
59
yang ditransformasikan kedalam menjadi “model” yang berupa
kiasan. Matriks dan model ditransformasikan menjadi “varian-
varian”. Varian ini merupakan transormasi model pada setiap
satuan tanda; baris atau bait, bahkan juga bagian-bagian fiksi
(alinea, bab, yang merupakan wacana). Varian-varian ini, dapat
“disimpulkan” atau “diabstraksikan” tema sajak karya sastra.
Seringkali sajak itu dalam karya sastra merupakan
transformasi teks lain (teks sebelumnya) yang merupakan
hipogramnya yaitu teks yang menjadi latar belakang
penciptaannya. Menurut Julia Kristeva, dunia ini adalah teks. Jadi
teks bukan hanya tulisan, bahasa atau cerita lisan. Oleh karena itu,
masyarakat, adat, aturan-aturan adalah teks. Begitu pula benda-
benda alam adalah teks, seperti air, batu, pohon itu teks. Dengan
adanya hipogram itu, pemaknaan membuat makna sajak karya
sastra yang dimaknai dengan sajak karya sastra lain menjadi
hipogramnya.
d. Hubungan Intertekstual
Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak
lepas dari sejarah sastra. Artinya , sebelum karya sastra dicipta,
sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak
begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi
yang sudah ada. Disamping itu, ia juga berusaha menentang atau
60
menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada
dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama
dengan yang baru (Teeuw, 1980:12). Oleh karena itu, untuk
memberi makna karya sastra, maka prinsif kesejarahan itu harus
diperhatikan. Kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab misalnya, puisi
ini tidak terlepas dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain
yang turut menunjang keberadaannya.
Riffaterre (1978:11) berpendapat bahwa sebuah karya
sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungannya atau
pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip
intertekstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre. Prinsip
intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak
dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Teks dalam
pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks
tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat, kebudayaan, film, drama, dan
lain sebagainya secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena
itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar
penciptanya, baik secara umum maupun khusus.
Julia Kristeva dalam Pradopo (2005:132) berpendapat
bahwa tiap teks itu, termasuk teks sastra, merupakan mosaik
kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi
teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan
mentransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks
61
transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya
sastra digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan,
menjajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks transformasi dengan
hipogramnya. Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya dapat
dibaca dalam kaitannya dengan teks lain.
C. Pembelajaran Sastra di SMP
a. Pengertian pembelajaran sastra
Pembelajaran ialah upaya menyampaikan pengetahuan kepada
peserta didik. Pembelajaran juga mewariskan kebudayaan kepada
generasi muda melalui lembaga pendidikan sekolah dan upaya
mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi
peserta didik (Hamalik, 2007:71).
Jabrohim (1994:143-145) menjelaskan, pembelajaran sastra
meliputi satu bidang yang luas karena pengertian sastra menyangkut isi
yang beraneka ragam. Termasuk dalam pembelajaran sastra misalnya
puisi, drama, cerpen, dan yang lain. Pokok pembelajaran sastra ialah
membina apresiasi sastra anak didik, yaitu membina agar anak
memiliki kesanggupan untuk memahami, menikmati, dan menghargai
suatu cipta sastra. Pembelajaran sastra tidak terlepas dari kegiatan
pendidikan. Oleh karena itu, segala aspek pembelajaran sastra
seharusnya diarahkan pula demi tercapainya tujuan pendidikan. Ada
berbagai macam tujuan pendidikan berdasarkan tingkatan atau
62
hierarkinya, yaitu tujuan umum, tujuan pendidikan nasional, standar
kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator hasil belajar.
Jadi, secara umum pembelajaran sastra dapat disimpulkan,
bahwa pembelajaran sastra untuk membina apresiasi sastra dalam
rangka pembentukan kebulatan pribadi anak sesuai tujuan pendidikan
nasional.
b. Fungsi pembelajaran sastra
Rahmanto (1988:15) menjelaskan, apabila karya sastra
dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan, dan
memahami masalah-masalah dunia nyata, maka pembelajaran sastra
tidak ada gunanya atau fungsinya lagi untuk diadakan. Jika dapat
ditunjukan bahwa sastra mempunyai relevansi dengan masalah-
masalah dunia nyata, maka pembelajaran sastra harus dipandangi
sebagai sesuatu yang penting, dan jika pembelajaran sastra diakukan
dengan tepat, maka pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan
yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup
sulit untuk dipecahkan didalam masyarakat.
Masalah yang dihadapi adalah menentukan bagaimana
pembelajaran sastra dapat berfungsi maksimal untuk pendidikan secara
utuh. Menurut Rahmanto (1988:16-25) pembelajaran sastra dapat
berfungsi sebagai:
63
1) Membantu keterampilan berbahasa
Pembelajaran sastra dalam kurikulum akan membantu
siswa melatih keterampilan membaca, menyimak, wicara, dan
menulis yang saling berhubungan erat. Dalam pembelajaran sastra,
siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan
mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman atau
lewat pita rekaman. Siswa dapat meningkatkan keterampilan
membaca dengan membacakan puisi atau prosa cerita. Siswa juga
dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasil diskusi
sebagai keterampilan menulis.
2) Meningkatkan pengetahuan budaya
Pembelajaran sastra dapat mengenalkan siswa dengan
budaya yang dimiliki. Pembelajaran sastra juga dapat mengarahkan
siswa untuk mengetahui pribadi-pribadi dan pemikiran-pemikiran
besar didunia karena budaya-budaya di dunia kadang dihadirkan
melalui karya sastra dan budaya merupakan suatu pengetahuan
khusus yang harus selalu dipupuk dalam masyarakat.
3) Mengembangkan cipta dan rasa
Pembelajaran sastra perlu dikembangkan dalam kecakapan
yang bersifat indera, bersifat penalaran, yang bersifat efektif, dan
bersifat sosial. Pembelajaran sastra dilakukan dengan benar akan
64
dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan
kecakapan-kecakapan tersebut lebih apa yang disediakan oleh mata
pelajaran yang lain sehingga pembelajaran sastra tersebut dapat
lebih mendekati arah dan tujuan pembelajaran dalam arti yang
sesungguhnya.
Pembelajaran sastra yang bersifat kecakapan indera, dapat
digunakan untuk memperluas pengungkapan apa yang diperoleh
panca indera. Para pengarang sebenarnya manusia-manusia yang
peka dan berbudi halus dan berusaha menyampaikan kepada
pembaca apa yang mereka hayati kemudian mengungkapkan
makna kata-kata yang mereka hayati kemudian mengungkapkan
makna kata-kata yang mereka tafsirkan sehingga mampu
membedakan satu hal dengan yang lain, misalnya kuning dan
keemasan.
Pembelajaran sastra yang bersifat kecakapan penalaran,
yaitu membantu siswa dalam memecahkan masalah-masalah
dengan berpikir logis karena dalam pembelajaran sastra ini siswa
akan dapat memahami fakta-fakta, membedakan makna yang pasti
dan dugaan, kebiasaan, tradisi, dorongan, dan sebagainya.
Pembelajaran sastra yang bersifat kecakapan perasaan,
yaitu pembelajaran sastra dapat menghadirkan berbagai problem
atau situasi yang merangsang tanggapan perasaan atau tanggapan
65
emosional. Situasi dan problem diungkapkan dengan cara-cara
yang memungkinkan kita tergerak untuk menjelajahi dan
mengembangkan perasaan kita sesuai dengan kodrat manusia.
Pembelajaran sastra yang bersifat kecakapan sosial, yaitu
pembelajaran yang digunakan sebagai sarana untuk menumbuhkan
kesadaran pemahaman terhadap orang lain, menumbuhkan rasa
simpati pada masalah-masalah yang dihadapi orang gagal, kalah,
dan putus asa, maka dalam pembelajaran sastra bijaksana memilih
bahan pembelajaran dengan tepat agar membantu siswa memahami
dirinya dalam rangka memahami orang lain.
4) Menunjukkan pembentukan watak
Nilai dalam pembelajaran sastra ada dua tuntunan yang
dapat diungkapkan sehubungan dengan watak. Pertama,
pembelajaran sastra hendaknya dapat membina perasaan yang lebih
tajam. Sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk
mengantar kita mengenal seluruh rangkaian hidup manusia seperti
misalnya: kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kebanggaan diri
sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian,
perceraian, dan kematian. Mendalami berbagai karya sastra dapat
mempunyai perasaan lebih peka untuk menunjukkan hal-hal yang
bersifat pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang
lebih mendalam.
66
Kedua, pembelajaran sastra dapat memberikan bantuan
dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa
yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan
penciptaan.
c. Tujuan pembelajaran sastra
Jabrohim (1994:77) menjelaskan dua pokok tujuan
pembelajaran sastra, yaitu tujuan pertama merupakan penunjang
terbinanya apresiasi sastra subjek pendidikan dan yang kedua
tujuan tersebut harus dapat membekali subjek didik akan
pengetahuan sastra yang dapat dipergunakan untuk menghadapi
ujian akhir atau tes masuk ke lembaga pendidikan yang lebih
tinggi.
Jadi, tujuan pembelajaran sastra dapat mengarahkan siswa
memiliki wawasan yang memadai tentang sastra, berpikir positif
terhadap sastra serta mampu mengembangkan wawasan,
kemampuan, dan sikap positif terhadap pembelajaran sastra.
d. Bahan pembelajaran sastra
Rahmanto (1988:26-33) menjelaskan, pembelajaran sastra
disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya
pada satu tahapan pembelajaran tertentu.
67
Sesuai dengan tingkatan kemampuan para siswa, karya
sastra yang akan disajikan hendaknya juga diklasifikasikan
berdasarkan tingkat kesukaran dan kriteria-kriteria tertentu lainnya.
Untuk menentukan bahan pembelajaran sastra harus
memperhatikan dari sudut bahasa, kematangan jiwa (psikologi),
dan latar belakang kebudayaan siswa.
Dari aspek bahasa, penguasaan suatu bahasa akan tumbuh
dan berkembang melalui tahap-tahap yang nampak jelas pada
setiap individu. Aspek kebahasaan dalam sastra ini tidak hanya
ditentukan oleh masalah-masalah yang dibahas, tetapi juga faktor-
faktor lain, seperti cara penulisan yang disampaikan pengarang, ciri
karya sastra yang pada waktu penulisan karya itu, dan kelompok
pembaca yang ingin dijangkau pengarang. Oleh karena itu, bahan
pembelajaran sastra yang bahasanya sesuai dengan tingkat
penguasaan siswanya akan lebih berhasil.
Aspek psikologi dalam bahasa pembelajaran sastra sama
penting dengan pengetahuan kebahasaan. Dalam memilih bahan
pembelajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis ini
hendaknya diperhatikan karena tahapan ini sangat besar
pengaruhnya terhadap minat dan kegunaan anak didik dalam
banyak hal. Tahap perkembangan psikologis dalam pembelajaran
sastra sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemampuan
mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan
68
pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi. Tentu
saja, tidak semua siswa mempunyai tahapan psikologis yang sama,
tetapi menyajikan karya sastra yang setidak-tidaknya secara
psikologis dapat menarik minat untuk memahami bahan ajar yang
disajikan.
Dari segi latar belakang budaya karya sastra meliputi
hampir semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya.
Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra
dengan latar belakang yang cepat hubungannya dengan latar
belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu
menghadirkan tokoh-tokoh yang berasal dari lingkungan mereka,
dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau dengan orang-
orang disekitar mereka. Secara umum guru sastra hendaknya
memiliki bahan pembelajaran dengan menggunakan prinsip
mengutamakan karya-karya yang latar ceritanya dikenal oleh para
siswa. Meskipun demikian, pendidikan secara keseluruhan bukan
hanya menyangkut situasi dan masalah-masalah lokal saja. Sastra
merupakan salah satu bidang yang menawarkan kemungkinan cara-
cara terbaik bagi setiap orang yang ada dalam satu bagian dunia
untuk mengenal bagian-bagian dunia orang lain.
69
e. Model Pembelajaran Sastra
Di dalam penelitian ini, peneiliti mengkhususkan
keefektifan penggunaan pendekatan pembelajaran PAIKEM
(Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan)
sebagai alternatif pembelajaran sastra di SMP.
Peneliti menggunakan pendekatan pembelajaran yang
berjudul Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM
(Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan)
karangan dari SM. Ismail, 2009.
1) Pengertian PAIKEM
Pengertian PAIKEM, secara bahasa dan istilah dapat
dijelaskan secara singkat, PAIKEM merupakan singkatan dari
Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan.
a. Istilah Aktif maksudnya adalah sebuah proses aktif
membangun makna dan pemahaman dari informasi, ilmu
pengetahuan maupun pengalaman peserta didik sendiri.
Dalam proses pembelajaran guru dituntut mampu
menciptakan suasana yang memungkinkan peserta didik
secara aktif menemukan, memproses, dan mengkonstruksi
ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan baru.
70
b. Istilah Inovatif, dimaksudkan dalam proses pembelajaran
diharapkan muncul ide-ide baru atau inovasi-inovasi positif
yang lebih baik.
c. Istilah Kreatif, memiliki makna bahwa pembelajaran
merupakan sebuah proses pengembangan kreativitas peserta
didik, karena pada dasarnya setiap individu memiliki
imajinasi dan rasa ingin tahu yang tidak pernah berhenti.
d. Istilah Efektif, berarti bahwa model pembelajaran apapun
yang dipilih harus menjamin bahwa tujuan pembelajaran
akan tercapai secara maksimal. Ini dapat dibuktikan dengan
adanya pencapaian kompetensi baru oleh peserta didik
setelah proses belajar mengajar berlangsung.
e. Istilah Menyenangkan dimaskudkan bahwa proses
pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang
menyenangkan dan berkesan akan menarik minat peserta
didik untuk terlibat secara aktif sehingga tujuan
pembelajaran akan dapat tercapai secara maksimal.
Secara garis besar, gambaran PAIKEM adalah sebagai
berikut:
a) Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara
membangkitkan semangat, termasuk menggunakan
lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan
71
pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi
siswa.
b) Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan
bahan belajar yang lebih menarik.
c) Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif
dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
d) Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya
sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk
mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan siswa
dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
2) Yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAIKEM.
a. Memahami sifat peserta didik
Pada dasarnya peserta didik memiliki sifat rasa
ingin tahu dan berimajinasi. Kedua sifat ini merupakan
modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan
kreatif. Untuk itu kegiatan pembelajaran harus dirancang
menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya kedua sifat
tersebut.
b. Mengenal peserta didik secara perorangan
Peserta didik berasal dari latar belakang dan
kemampuan yang berbeda. Perbedaan individu harus
diperhatikan dan harus tercermin dalam pembelajaran.
72
Peserta didik yang memiliki kemampuan lebih dapat
dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah.
c. Memanfaatkan perilaku peserta didik dalam
pengorganisasian belajar
Peserta didik secara alami bermain secara
berpasangan atau kelompok. Perilaku yang demikian dapat
dimanfaatkan oleh guru dalam pengorganisasian kelas.
Dengan berkelompok akan memudahkan mereka untuk
berinteraksi atau bertukar pikiran.
d. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif
serta mampu memecahkan masalah.
Pada dasarnya hidup adalah memecahkan masalah,
untuk itu peserta didik perlu dibekali kemampuan berpikir
kritis dan kreatif untuk menganalisis masalah, dan kreatif
untuk melahirkan alternaitf pemecahan masalah, jenis
pemikiran tersebut sudah ada sejak lahir, guru diharapkan
dapat mengembangkannya.
e. Menciptakan ruangan kelas sebagai lingkungan belajar
yang menarik.
Ruang kelas yang menarik sangat disarankan dalam
PAIKEM. Hasil pekerjaan peserta didik sebaiknya dipajang
di dalam kelas, karena dapat memotivasi peserta didik
73
untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi
peserta didik yang lain.
f. Memanfaatkan lingkungan sebagai lingkungan belajar.
Lingkungan (fisik, sosial, budaya) merupakan
sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar peserta didik.
Lingkungan dapat berfungsi sebagai media belajar serta
objek belajar peserta didik.
g. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan
kegiatan.
Pemberian umpan balik dari guru kepada peserta
didik merupakan suatu interaksi antara guru dan peserta
didik. Umpan balik hendaknya lebih mengungkapkan
kekuatan dan kelebihan peserta didik daripada
kelemahannya. Umpan balik juga harus dilakukan secara
santun dan elegan sehingga tidak meremehkan dan
menurunkan motivasi.
h. Membedakan antara aktif fisik dengan aktif mental.
Dalam pembelajaran PAIKEM, aktif secara mental
lebih diinginkan dari pada aktif fisik. Karena itu, aktivitas
sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain,
mengemukakan gagasan merupakan tanda-tanda aktif
mental. (Ismail, 2009: 54-56)
3) Pelaksanaan pembelajaran PAIKEM di SMP
74
Dalam penerapan PAIKEM oleh pendidik atau guru
bisa dilihat dan dicermati berbagai indikasi yang muncul pada
saat proses belajar mengajar dilaksanakan. Kriteria ada atau
tidaknya pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan
menyenangkan dapat dilihat pada indikator berikut ini:
INDIKATOR
PROSES
PENJELASAN METODE
1. PEKERJAAN
PESERTA DIDIK
(Diungkapkan
dengan bahasa
peserta didik
sendiri).
PAIKEM
mengutamakan agar
peserta didik
mampu berpikir,
berkata-kata, dan
mengungkap
sendiri.
Guru membimbing
peserta didik dan
memajang hasil
karyanya agar dapat
saling belajar.
2. KEGIATAN
PESERTA DIDIK
(Peserta didik
banyak diberi
kesempatan untuk
mengalami atau
melakukan sendiri)
Bila peserta didik
mengalami atau
mengerjakan
sendiri, mereka
belajar meneliti
tentang apa saja.
Guru dan peserta
didik interaktif dan
hasil pekerjaan
peserta didik
dipajang untuk
meningkatkan
motivasi
3. RUANG KELAS
(Penuh pajangan
hasil karya peserta
didik dan alat
Banyak yang dapat
dipajang di kelas
dan dari pajangan
hasil itu peserta
Pengamatan ruangan
kelas dan dilihat apa
saja yang
dibutuhkan untuk
75
peraga sederhana
buatan guru dan
peserta didik)
didik saling belajar.
Alat peraga yang
sering digunakan
diletakan strategis.
dipajang, dimana
dan bagaimana
memajangnya.
4. PENATAAN
MEJA KURSI
(Meja Kursi
tempat belajar
peserta didik dapat
diatur secara
fleksibel)
Guru melaksanakan
kegiatan
pembelajaran
dengan berbagai
metode, misalnya
melalui kerja
kelompok, diskusi,
atau aktivitas
peserta didik secara
individual.
Diskusi, kerja
kelompok, kerja
mandiri, pendekatan
individual guru
kepada murid yang
prestasinya kurang
baik.
5. SUASANA
BEBAS (Peserta
didik memiliki
dukungan suasana
bebas untuk
menyampaikan
atau
mengungkapkan
pendapat)
Peserta didik dilatih
untuk
mengungkapkan
pendapat secara
bebas, baik dalam
diskusi, tulisan,
maupun kegiatan
lain.
Guru dan sesama
peserta didik
mendengarkan dan
menghargai
pendapat peserta
didik lain, diskusi,
dan kerja individual.
6. UMPAN BALIK
GURU (Guru
memberi tugas
yang bervariasi
dan secara
Guru memberikan
tugas yang
mendorong peserta
didik bereksplorasi
dan guru
Penugasan
individual atau
kelompok,
bimbingan langsung
dan penyelesaian
76
langsung memberi
umpan balik agar
peserta didik
segera
memperbaiki
kesalahan)
memberikan
bimbingan
individual atau
kelompok dalam
hal penyelesaian
masalah.
masalah.
7. SUDUT BACA
(Sudut kelas sangat
baik bila
diciptakan sebagai
sudut baca untuk
peserta didik)
Sudut baca di ruang
kelas akan
mendorong peserta
didik gemar
membaca. (Peserta
didik didekatkan
dengan buku-buku,
jurnal, koran, dan
lain-lain).
Observasi kelas,
diskusi dan
pendekatan terhadap
orang tua.
8. LINGKUNGAN
SEKITAR
(Lingkungan
sekitar sekolah
dijadikan media
pembelajaran)
Sawah, lapangan,
pohon, sungai,
kantor, dan lain-lain
dioptimalkan
pemanfaatannya
untuk
pembelajarannya.
Observasi lapangan,
eksplorasi, diskusi,
kelompok, tugas,
individual, dan lain-
lain.
77
f. Langkah-langkah pembelajaran
Langkah-langkah bukanlah strategi bagaimana mengejar
dengan mudah, praktis, dan dapat menyelesaikan bahan ajar tepat
waktunya, tetapi haruslah telah dipikirkan bahwa langkah-langkah
itu harus berorientasi kepada tingkat pemahaman dan pengalaman
peserta ajar atas bahan ajar yang dipersiapkan secara terencana dan
menggunakan metode yang telah dipilih oleh guru serta sesuai
dengan metode yang digunakan.
1) Tahap persiapan
a) Guru mempersiapkan perangkat mengajar yang akan
digunakan untuk mengajar, yang meliputi program satuan
pelajaran, rencana pembelajaran, lembar kerja siswa, dan
lembar penilaian.
b) Satu minggu sebelum kegiatan belajar mengajar, guru
memberi tugas kepada siswa untuk membaca puisi karya
Emha Ainun Nadjib yang sudah ditentukan judulnya
misalnya; “Tersungkur” dan “Kapak Ibrahim Hamba”.
2) Kegiatan belajar mengajar di kelas
Guru:
a) Mempersiapkan siswa membaca puisi karya Emha Ainun
Nadjib.
78
b) Menjelaskan tentang konsep cinta sufisme dan kajian
semiotik Riffaterre pada puisi tersebut.
c) Meminta semua siswa untuk membentuk kelompok dan
mendiskusikan pertanyaan guru.
Siswa:
a) Membaca puisi yang berjudul Tersungkur dan Kapak
Ibrahim Hamba karya Emha Ainun Nadjib
b) Menjawab pertanyaan-pertanyaan guru mengenai cinta
sufisme dan semiotik Riffaterre dalam puisi.
c) Membentuk kelompok untuk mendiskusikan pertanyaan-
pertanyaan guru dalam rangka menemukan jawaban yang
memuaskan dengan alasan yang kuat.
3) Menutup kegiatan belajar mengajar
Dalam menutup kegiatan belajar mengajar, guru
menyimpulkan materi yang telah disampaikan dan siswa
membuat kesimpulan.
g. Sumber belajar
Sumber belajar dapat berupa: 1) buku pelajaran yang
diwajibkan, buku yang sesuai, buku pelengkap, dan kamus. 2)
media cetak, surat kabar, majalah. 3) media elektronik; radio, dan
televisi, 4) lingkungan; alam, sosial, budaya. 5) nara sumber. 6)
79
pengalaman yang diperoleh peserta didik serta minat peserta didik.
7) hasil karya sastra.
h. Waktu
Penggunaan waktu dalam pembelajaran sastra dapat
menyesuaikan proses pembelajaran. Dengan adanya alokasi waktu
untuk materi yang akan disampaikan akan memudahkan dalam
menyusun urutan kegiatan maupun dalam pemilihan media dan
metode pembelajaran (Uno, 2007:64).
Jadi, seorang guru harus dapat mengatur dan menggunakan
waktu dalam keluasan materi serta kedalaman materi.
i. Evaluasi
Evaluasi atau penilaian adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara sistematis, yang mencakup penentuan tujuan,
perancangan, dan pengembangan instrumen, pengumpulan data,
analisis, dan penafsiran untuk menentukan suatu nilai dengan
standar penilaian yang telah ditentukan. Tujuan dilakukan evaluasi
atau penilaian adalah untuk menjawab apakah terdapat perbedaan
yang signifikan antara hasil yang diinginkan atau direncanakan
dengan kenyataan di lapangan (Uno, 2007:68).
Nurgiantoro (2001:25-75) mengatakan bentuk tes atau
evaluasi dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu ranah
80
kognitif, ranah afektif, ranah psikomotor, tes subjektif, dan tes
objektif.
1) Ranah Kognitif (Cognitive Domain)
Ranah kognitif berkaitan dengan aspek pengetahuan
dan kemampuan intelektual seseorang. Tujuan atau keluaran
belajar kognitif melibatkan siswa ke dalam proses berpikir
seperti mengingat, memahami, menganalisis, menghubungkan,
memecahkan masalah, dan sebagainya. Dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas, aspek kognitif inilah yang paling banyak
mendapat perhatian. Hal itu tampak baik pada perumusan
tujuan, pemilihan bahan pelajaran, pelaksanaan pengajaran,
maupun penilaian yang dilakukan.
Ranah kognitif terdiri dari enam bagian yang disusun
dari tingkatan yang lebih sederhana ke yang lebih kompleks,
dari aspek kognitif yang hanya menuntut aktivitas intelektual
sederhana ke yang menuntut kerja intelektual tingkat tinggi.
Keenam tingkatan yang dimaksud adalah ingatan, pemahaman,
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Perumusan tujuan,
pelaksanaan pengajaran, dan kegiatan penilaian yang dilakukan
guru di kelas seharusnya mencakup keenam tingkatan tersebut.
2) Ranah Afektif (Affective Domain)
Yang termasuk ke dalam ranah afektif ini adalah
perasaan, feeling, nada, emosi, dan variasi tingkatan penerima
81
dan penolakan terhadap sesuatu. Antara ranah kognitif dan
afektif mempunyai persamaan situasi, ranah kognitif berkaitan
dengan masalah isi dan proses orientasi, sedangkan ranah
afektif terutama berkaitan dengan masalah proses orientasi,
sedangkan ranah afektif terutama berkaitan dengan masalah
proses orientasi. Jangkauan tujuan afektif lebih bersifat
kesadaran melalui penerimaan dan kecondongan terhadap nilai-
nilai.
Sepertinya halnya ranah kognitif, ranah afektif juga
terdiri dari bagian-bagian, yaitu penerimaan, penanggapan,
valuing, pengorganisasi, dan karakterisasi niali-nilai. Dalam
kegiatan pengajaran di kelas, ranah afektif ini sering kurang
mendapat perhatian yang cukup sepertinya halnya ranah
kognitif. Padahal tingginya “kualitas” afektif akan merupakan
pendorong bagi dilakukannya kedua ranah yang lain. Keluaran
belajar afektif antara lain menyangkut perubahan sikap atau
pandangan, misalnya bagaimana sikap siswa terhadap sastra.
3) Ranah Psikomotor (Psychomotor Domain)
Secara singkat dapat dikatakan bahwa ranah psikomotor
berkaitan dengan keluaran belajar yang menyangkut gerakan-
gerakan otot psikomotor. Sebagai petunjuk bahwa siswa telah
memperoleh keterampilan (gerak otot) itu, siswa dapat
melakukan keterampilan-keterampilan tertentu yang disarankan
82
oleh tujuan. Misalnya, siswa dapat melakukan aktivitas tulis-
menulis, mengucapkan lafal bahasa, terampil menyiapkan
peralatan laboratorium bahasa, dan sebagainya. Seperti halnya
ranah afektif, dalam kegiatan belajar mengajar bahasa, ranah
psikomotor ini kurang mendapat perhatian. Hali ini juga
tampak pada tujuan, pelaksanaan pengajaran, dan juga alat
penilaian.
4) Tes Subjektif (Tes Esai)
Tes esai adalah suatu bentuk pertanyaan yang menuntut
jawaban siswa dalam bentuk uraian dengan mempergunakan
bahasa sendiri. Dalam tes bentuk esai siswa dituntut berpikir
tentang dan mempergunakan apa yang diketahui yang
berkenaan dengan pertanyaan yang harus dijawab. Tes bentuk
esai memberi kebebasan kepada siswa untuk menyusun dan
mengemukakan jawabannya sendiri dalam lingkup yang secara
realitif dibatasi. Tes esai disebut juga sebagai tes subjektif,
walau penamaan itu juga dikaitkan dengan kegiatan dengan
kegiatan penilaiannya yang juga bersifat subjektif.
5) Tes Objektif (Short Answer Test)
Tes objektif disebut juga sebagai tes jawaban singkat
(short answer test). Sesuai dengan namanya, tes jawab singkat
menuntut siswa hanya dengan memberikan jawaban singkat,
83
bahkan hanya dengan memilih kode-kode tertentu yang
mewakili alternatif-alternatif jawaban yang telah disediakan.
Jawaban terhadap tes objektif bersifat pasti, dan
dikhotomis, hanya ada satu kemungkinan jawaban yang benar.
Jika siswa tidak menjawab “seperti itu” dinyatakan salah, tidak
ada bobot atau skala terhadap jawaban suatu butir soal seperti
halnya pada tes esai. Oleh karena jawabannya bersifat pasti,
jawaban siswa yang benar terhadap suatu butir soal, akan
dinyatakan benar oleh korektor, entah siapapun korektornya.
Dengan demikian, terjadi kesepakatan di antara para korektor
tentang jawaban yang benar. Hasil pekerjaan siswa diperiksa
oleh siapapun akan menghasilkan skor yang kurang lebih sama.
Itulah sebabnya, tes ini disebut sebagai tes objektif.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bagian ini penulis menguraikan gambaran umum tentang
objek penelitian, fokus penelitian, sumber data, populasi penelitian,
sampel penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, dan
teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian.
A. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam skripsi ini adalah puisi Syair Lautan
Jilbab karya Emha Ainun Nadjib cetakan ketiga, bulan Maret 1994,
dengan tebal 57 halaman yang terdiri dari 33 puisi, diterbitkan oleh
Sipress, Jalan Malioboro 119 Yogyakarta.
B. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah apa saja yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian (Arikunto, 2006: 116). Objek penelitian dalam skripsi
ini adalah semiotik Riffaterre dalam konsep cinta sufisme pada puisi
Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib yang diterbitkan oleh
Sipress, Jalan Malioboro 119 Yogyakarta.
84
85
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah pusat dari objek penelitian tersebut.
Penelitian ini difokuskan pada analisis puisi karya Emha Ainun Nadjib
dengan metode semiotik Riffaterre dalam konsep cinta sufisme dan
pembelajarannya di SMP kelas VIII.
D. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh
(Arikunto, 2010: 129). Penulis menggunakan sumber data berupa
kumpulan puisi Syair lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib,
diterbitkan oleh Sipress, kota Yogyakarta, cetakan ketiga bulan Maret
1994, dengan tebal 57 halaman yang terdiri dari 33 puisi. Selain data
dari kumpulan puisi Emha Ainun Nadjib “Syair Lautan Jilbab”,
penulis juga menggunakan data berupa kutipan-kutipan baik langsung
maupun tidak langsung dan referensi lain yang berhubungan dengan
objek penelitian.
E. Populasi Penelitian
Populasi dimaksudkan sebagai himpunan terbesar dari orang
atau satuan lain yang diteliti (Semi, 1993: 40). Adapun yang menjadi
populasi dalam penelitian ini adalah seluruh puisi karya Emha Ainun
Nadjib yang terhimpun dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab.
86
Buku kumpulan puisi ini diterbitkan oleh Sipress, dengan tebal 57
halaman yang terdiri dari 33 puisi pada bulan Maret 1994 (cetakan
ketiga).
Adapun ke-33 puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Syair
Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib tersebut yakni: 1)
“Tersungkur”, 2) “Putih, Putih, Putih”, 3) “Kapak Ibrahim Hamba”, 4)
Penyangga ‘Arsy”, 5) “Bersemangat Laut, Berjiwa Telaga”, 6)
“Berwudlu Air Murni”, 7) “Tak Terpalsukan”, 8) “Orang-orang Yang
Mengusir”, 9) “Mata Air Kesejatian”, 10) “Aku Ruh Tunggal”, 11)
“Berparan di Bumi”, 12) “Imanmu Batu”, 13) “Badan Hanya
Alatku”, 14) “Bahasa Kambing Hitam”, 15) “Cahaya Aurat”, 16)
“Merawat Rahasia”, 17) “Surah Cahaya”, 18) “Di Awang Uwung”,
19) “Sujud Keberanian”, 20) “Terompet”, 21) “Menjelma Burung”,
22) “Komedi Kebingungan”, 23) “Tumbangnya Pepohonan”, 24)
“Sebidang Tanah”. Yang memiliki sampel penelitian adalah sebagian
dari populasi. Hal yang selalu diperhitungkan adalah sejauh mana
sampel-sampel yang diambil dari populasi itu dapat dipercaya atau
dapat dinilai representatifnya sesuai dengan tujuan penelitian. Satu
sampel akan dinilai representatif. 25) “Pencuri Tanah Liat”, 26)
“Saham Tuhan”, 27) “ Mutlak Kami Ditampar”, 28) “Kereta
Keabadian”, 29) “Negara dan Setan”, 30) “Hal Wanita Telanjang”,
31) “Satu-satunya Negeri”, 32) “Seorang Gadis, Seekor Anjing”, 33)
“Maka Inilah Jilbab”.
87
F. Sampel Penelitian
Sempel penelitian adalah sebagian dari populasi. Hal yang
selalu diperhitungkan adalah sejauh mana sampel-sampel yang diambil
dari populasi itu dapat dipercaya atau dapat dinilai representatifnya
sesuai dengan tujuan penelitian. Satu sampel akan dinilai
representatifnya apabila ia mencirikan populasinya (Semi, 1993: 41).
Sampel penelitian ini ditentukan dengan teknik purposive sample yaitu
pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan penelitian
(Siswantoro, 2010: 72-73). Puisi yang dipilih untuk sampel penelitian
adalah puisi yang memenuhi kriteria sebagai puisi-puisi yang
mendekripsikan konsep cinta dalam sufisme didalamnya.
Mempertimbangkan beberapa keterbatasan seperti telah
dijelaskan sebelumnya dan untuk lebih memahami penelitian ini, tidak
semua puisi dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha
Ainun Nadjib ini diteliti. Dari tiga puluh tiga puisi yang ada, diambil
lima puisi sebagai sampel. Lima puisi tersebut dianggap dapat
mewakili puisi-puisi yang lain dari segi kepadatan maknanya memiliki
kesamaan berdasarkan ciri-ciri sifat, karakteristik tertentu yang
merupakan ciri-ciri populasi sampel. Lima puisi yang kemudian akan
dianalisis dengan pendekatan semiotik Riffaterre adalah 1)
“Tersungkur”, 2) “Kapak Ibrahim Hamba”, 3) “Mata Air
Kesejatian”, 4) “Cahaya Aurat”, 5) “Seorang Gadis, Seekor Anjing”.
88
G. Instrumen Penelitian
Instrumen berarti alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan
data. Selama ini test, interview, observasi, dan angket dikenal umum
sebagai instrument penelitian. Namun demikian didalam penelitian
sastra, instrumennya adalah peneliti itu sendiri (Siswantoro, 2010: 73).
Hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Atar Semi (1993:
24), bahwa peneliti merupakan instrument kunci. Dalam hal ini,
peneliti yang mengarahkan segala kemampuan intelektual,
pengetahuan, dan keterampilan dalam mengumpulkan data dan
mencatat semua fenomena yang diamatinya.
Posisi peneliti sebagai instrument terkait dengan ciri peneliti
sastra yang berorientasi kepada teks, bukan kepada kelompok individu
yang menerima perlakuan tertentu (traitment). Data diperoleh secara
ilmiah dari teks berdasar parameter atau kriteria tertentu (Siswantoro,
2010: 73).
H. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik
pustaka, observasi dan teknik catat. Arikunto ( 2010: 265) teknik
pustaka yaitu penelitian yang mengkaji buku-buku yang bersangkutan
dengan penelitian. Teknik catat adalah yang digunakan untuk mencatat
data-data yang ditemukan ke dalam nota pencatat data yang tersedia.
89
Teknik observasi adalah penelitian dengan membaca secara kritis dan
teliti. Langkah-langkah yang ditempuh penulis dalam mengumpulkan
data adalah :
1. Mencari sumber penelitian.
2. Membaca keseluruhan puisi.
3. Menentukan sumber penelitian berupa kumpulan puisi Syair
Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib.
4. Mengelompokkan unsur-unsur semiotik Riffaterre dan mencari
konsep cinta sufisme dalam puisi.
5. Mencatat data-data yang diperoleh sesuai dengan objek penelitian.
I. Teknik Analisis Data
Penelitian yang penulis lakukan dalam kumpulan puisi Syair
Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib merupakan penelitian
kualitatif dengan teknik content analysis atau analisis isi. Analisis isi
merupakan teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara
objektif, sistematis, dan kualitatif tentang manifestasi komunikasi.
Analisis isi didasarkan pada teori Riffaterre yang membahas tentang:
ketidaklangsungan ekspresi, heuristik, hermeneutik , varian-varian,
intertekstual dan keterkaitannya dengan cinta sufisme.
Data yang telah terkumpul kemudian penulis analisis
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut.
90
1. Mengidentifikasi dan mengolah data sesuai dengan teori semiotik.
2. Pembahasan data.
3. Menganalisis data hasil penelitian.
4. Menyimpulkan hasil penelitian data secara menyeluruh.
J. Teknik Penyajian Data
Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif.
Teknik yang digunakan untuk mengkaji analisis data adalah teknik
penyajian informal. Teknik penyajian informal adalah perumusan
dengan menggunakan kata-kata biasa tanpa menggunakan angka dan
lambang (Sudaryanto, 1993: 145). Data yang sesuai dengan masalah-
masalah dibahas selanjutnya diambil dijadikan sebagai bahan dasar
pembahasan dalam penelitian ini.
91
BAB IV
PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN DATA
Pada bab ini, penulis menyajikan data dan membahasnya. Puisi yang
penulis teliti berjumlah lima, yaitu Tersungkur, Kapak Ibrahim Hamba, Mata Air
Kesejatian, Cahaya Aurat, dan Seorang Gadis Seekor Anjing karya Emha Ainun
Nadjib.
A. Penyajian Data
1. Konsep cinta sufisme
Konsep cinta sufisme yang dikaji disini ada delapan unsur yaitu;
Tuhan adalah cinta dan diseberang cinta, dunia diciptakan oleh cinta,
cinta menopang dunia, cinta keindahan sejati dan imitasi, kebutuhan dan
keinginan, agama cinta, cinta dan akal kebingungan dan kegilaan.
2. Unsur semiotik
Dalam skripsi ini ada empat hal penting yang harus diperhatikan
dalam pemaknaan sastra, seperti yang terdapat dalam buku Riffaterre
Semiotics of Poetry, yakni ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan
heuristik dan hermeneutik, matriks model dan varian, dan hubungan
intertekstual.
3. Pembelajaran puisi di SMP
Dalam proses belajar-mengajar metode dan strategi pembelajaran
mempunyai peranan penting. Penggunaan metode yang tepat akan banyak
91
92
berpengaruh terhadap berhasilnya pembelajaran. Oleh karena itu, penulis
akan menyajikan pembelajaran puisi di SMP kelas VIII.
Puisi-puisi yang menjadi objek analisis dalam skripsi ini dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut:
1) Tersungkur
Hanya satu dua kali Burung-burung Ababil menabur dari sunyi Hanya ketika hati Allah dilukai Atau tatkala cintaNya menetes ke jiwa yang sendiri Angkasa senyap Belantara pepohonan rebah ke bumi Dan gunung dan laut dan sungai Mengulang-ngulang sujud beribu kali Dan mereka bernyanyi: Kekasih, Ya Kekasih! Kalau mula dan akhir kita satu Kenapa harus begini lama berburu! Kalau dulu dan kelak kita sama Untuk apa bikin jarak yang maya Kalau Engkaulah asal-usul hamba Kenapa harus menantiMu sampai gila Anak-anak duka derita Tak sabar dikungkung rahasia Dendam rindu tak terkira Diri pecah menjadi beribu muka Kekasih, Ya Kekasih! Buat apa engkau berpisah dari diriMu sendiri Kekasih, Ya Kekasih! Ini tauhid minta seberapa darah dan nyeri Darah dan nyeri Kobaran api sembilanbelas matahari Baru alif sudah terserimpung kaki sendiri
93
Satu huruf saja dariMu, tak tertampung di rohani Anak-anak duka derita berdzikir Allah! Allah! Allah! Anak-anak rahasia tersungkur Allah! Allah! Allah!
2) Kapak Ibrahim hamba Di mana kapak Ibrahim hamba Di mana tongkat Musa hamba Di mana wajah Yusuf hamba Di mana dzikir Zakaria hamba Di mana hilang Isa hamba Di mana cahaya Muhammad hamba Takut, Kekasih, hamba takut! Kehidupan yang sungguh kehidupan Selama hidup hamba tinggalkan Ketika kemudian hamba tengok ke belakang Ia justru berada amat jauh di depan Hamba kehilangan ilmu Yang memang tak sanggup hamba memegang Hamba kehilangan Nur Tanpa pernah menemukan Hamba menanam sampah Di kota-kota peradaban Hamba menanam sampah Tanpa tahu hamba menanam sampah Hamba membangun Segala yang hakekatnya roboh Hamba mengejar kemandegan Hamba telusuri kebuntuan Takut, Kekasih, hamba Takut! Wahai Kekasih wahai telaga Mana teratai hamba!
94
3) Mata Air Kesejatian Mata air kesejatian Yang setiap saat dipalsukan Meneteskan merah darah cinta Yang tak bisa ditolak Dari balik hutan Dari lembah duka derita Dari gua kegelapan Lahir mutiara Lautan jilbab Lautan pergolakan Perjuangan gelombang Memendam cinta yang dijanjikan
Kosong matanya Bisu mulutnya Tapi bertanyalah siapa ia “Aku ruh yang tak pernah kalian sangkal!”
4) Cahaya Aurat Ribuan jilbab berwajah cinta Membungkus rambut, tubuh sampai ujung kakinya Karena hakekat cahaya Allah Ialah terbungkus di selubung rahasia Siapa bisa menemukan cahaya? Ialah suami, bukan asal manusia Jika aurat dipamerkan di koran dan di jalanan Allah mengambil kambali cahayaNya Tinggal paha mulus dan leher jenjang Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada Para lelaki yang memelototkan mata Hanya menemukan benda Jika wanita bangga sebagai benda
95
Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya Jika lelaki terbius oleh keayuan dunia Luntur manusianya, tinggal syahwatnya.
5) Seorang Gadis, Seekor Anjing
Sambil mengelus-elus anjing kesayangannya. Sang Bapak menghardik anak gadisnya, “Aku tak bisa tahan lagi Aku jijik melihatmu pakai baju kurung dan kerudung penutup kepala itu!” Dialah gadis yang lahir di batu. Dialah gadis yang tumbuh di batu. Disirami oleh air rahasia, hingga udara tak mengotorinya dan matahari tak melenggamkan wajahnya. Pada suatu hari tiba di ‘arsy taqwa. Melalui pemikiran yang tergodog dan hati yang diuji melawan sutera. Ia memutuskan untuk tak sekedar berikrar, sembahyang dan menutupi auratnya. Ia memutuskan untuk menjilbabi seluruh kehidupannya. Sujud demi sujud dipanjangkannya. Dan diusir! “Hanya anak durhaka yang pindah agama!” bentak kedua orang tuanya.
Si gadis menangis, tapi esoknya tak lagi Si gadis tersenyum, menyusuri jalanan sejati.
96
B. Pembahasan
1. Puisi “Tersungkur” karya Emha Ainun Nadjib
Tersungkur
Hanya satu dua kali Burung-burung Ababil menabur dari sunyi Hanya ketika hati Allah dilukai Atau tatkala cintaNya menetes ke jiwa yang sendiri Angkasa senyap Belantara pepohonan rebah ke bumi Dan gunung dan laut dan sungai Mengulang-ngulang sujud beribu kali Dan mereka bernyanyi: Kekasih, Ya Kekasih! Kalau mula dan akhir kita satu Kenapa harus begini lama berburu! Kalau dulu dan kelak kita sama Untuk apa bikin jarak yang maya Kalau Engkaulah asal-usul hamba Kenapa harus menantiMu sampai gila Anak-anak duka derita Tak sabar dikungkung rahasia Dendam rindu tak terkira Diri pecah menjadi beribu muka Kekasih, Ya Kekasih! Buat apa engkau berpisah dari diriMu sendiri Kekasih, Ya Kekasih! Ini tauhid minta seberapa darah dan nyeri Darah dan nyeri Kobaran api sembilanbelas matahari Baru alif sudah terserimpung kaki sendiri Satu huruf saja dariMu, tak tertampung di rohani Anak-anak duka derita berdzikir Allah! Allah! Allah!
97
Anak-anak rahasia tersungkur Allah! Allah! Allah! (Emha Ainun Nadjib, 1994. Syair Lautan Jilbab)
a. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi dalam Puisi “Tersungkur” karya
Emha Ainun Nadjib
1) Penggantian Arti
Kata-kata kiasan merupakan pengganti arti sesuatu yang lain.
Dalam puisi “Tersungkur”, kekasih diartikan sebagai Allah Swt.
“Kekasih” merupakan metafora dalam baris ini yang berarti lain, yakni
sebagai Allah Swt. yang sangat dicintai oleh aku-lirik. Jadi, dalam
pandangan aku-lirik karena si aku sangat mencintai Allah Swt. maka
menganggap Allah Swt. sebagai kekasihnya. Dalam bait selanjutnya
“anak-anak” juga memiliki arti lain, yakni orang-orang yang merasa kecil
dan bodoh serta dihantui kerinduan tak sabar ingin bertemu Allah Swt.
sebagai kekasihnya. Pada bait terakhir, kata “Tersungkur” juga
mengkiaskan hal lain yakni hati nurani aku-lirik yang terjatuh hingga
serendah-rendahnya di hadapan Allah Swt.
2) Penyimpangan arti
Ada tiga macam penyebab terjadinya penyimpangan arti, yang
pertama adalah ambiguitas, kedua adalah kontradiksi, dan ketiga adalah
nonsense. Ambiguitas yang terjadi dalam puisi “Tersungkur” ini adalah
ketika aku-lirik merasakan ketakutannya pada kesadarannya ketika Allah
98
Swt. akan mengirimkan burung-burung Ababil, ketika hati-Nya dilukai
dan ketika itu alam raya berujud karena ketakutannya, namun mengapa
ketakutan yang dilukiskan pada bait pertama dan kedua itu seketika
berbalik dengan sikap keberanian aku-lirik dengan mempertanyakan
keberadaan-Nya. Kesadaran tentang aku-lirik yang satu atau berawal dari
Allah Swt. Hal itu terjadi karena kesadaran cinta aku-lirik sehingga
menginginkan untuk segera bertemu dengan-Nya. Ambiguitas yang terjadi
dalam hal ini adalah sikap keragu-raguan aku-lirik ataukah sikap
kerinduan untuk segera bertemu. Itulah yang dipertanyakan aku-lirik,
dalam arti luas bahwa si aku ingin bertemu dengan “Kekasihnya” namun
belum tahu di mana tempatnya dan kapan waktunya.
Di samping arti yang ambigu, muncul pula arti yang kontradiksi.
Disampaikan bahwa ketika aku-lirik mempertanyakan bagaimana si aku
harus bertemu dengan “Kekasihnya” itu. Aku-lirik sudah merasa memiliki
tauhid sebagai bekal bertemu dengan Allah Swt., namun dalam bait
ketujuh disampaikan tentang aku-lirik yang “terserimpung alif” dan
menyadari bahwa “satu huruf saja tak tertampung oleh rohani” aku-lirik.
Dalam hal ini terjadi ironi yang akan membuat pembaca berpikir berkali-
kali untuk memahaminya.
3) Penciptaan Arti
“//Anak-anak duka derita berdzikir/ Allah! Allah! Allah!/ Anak-
anak rahasia tersungkur/ Allah! Allah! Allah!”. Karena ulangan-ulangan
99
yang berturut itulah orkestrasi bunyi musik (irama) terbentuk. Lirik yang
dimunculkan akan menjadi makna di luar kebahasaan. Dalam bait tersebut
persamaan posisi tampak penyejajaran bentuk yang menimbulkan
penyejajaran arti bahwa ketika manusia sebagai anak-anak yang tak tahu
apa-apa berdzikir mengagungkan asma Allah Swt., dan sekalipun itu yang
melakukan adalah anak-anak ataupun orang dewasa tetap saja
kedudukannya adalah serendah-rendahnya makhluk di hadapan Allah
Swt., karena di mata Allah Swt. semua manusia sama.
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik dalam Puisi “Tersungkur”
karya Emha Ainun Nadjib
1) Pembacaan Heuristik
Bait (1) - (2)
Hanya satu dua kali Burung-burung Ababil menabur dari sunyi Hanya ketika hati Allah dilukai Atau tatkala cintaNya menetes ke jiwa yang sendiri
Angkasa senyap Belantara pepohonan rebah ke bumi Dan gunung dan laut dan sungai Mengulang-ngulang sujud beribu kali
“//Hanya satu (hingga) dua kali/ (Allah) (menurunkan) burung-
burung Ababil (untuk) menabur (batu) ke (jiwa) (yang) sunyi/ Ketika hati
Allah hanya dilukai (oleh) (hambanya)/ (dan) Terkadang cintaNya
menetes(kan) (air mata) ke jiwa sendiri yang (sedang) (sedih)//”.
100
“//Angkasa (mulai) senyap (dan) (terdiam)/ Belantara pepohonan
rebah (dan) (berguguran) ke bumi/ (Hingga) gunung, sungai, dan laut/
Meminta-minta (maaf) sujud ribu kali (kepada) (Allah Swt.)//”.
Bait (3) - (4)
Dan mereka bernyanyi: Kekasih, Ya Kekasih! Kalau mula dan akhir kita satu Kenapa harus begini lama berburu! Kalau dulu dan kelak kita sama Untuk apa bikin jarak yang maya Kalau Engkaulah asal-usul hamba Kenapa harus menantiMu sampai gila
“//Mereka bernyanyi-(nyanyi)/ Kekasih, Ya Kekasih! (Ya Allah)/
Kalau mula (sampai) akhir kita (akan) (menjadi) satu/ Kenapa harus begini
lama berburu (menjalani) (kehidupan)//”.
“//Kalau dahulu dan (akhirnya) kelak kita (akan) (menjadi) sama/
Untuk apa (membuat) jarak yang (tidak) (nyata)/ Engkaulah (Ya Allah)
asal-usul (mula) hamba(Mu) (ini)/ Kenapa harus menantiMu (kembali)
sampai (aku) harus gila//”.
Bait (5) - (6)
Anak-anak duka derita Tak sabar dikungkung rahasia Dendam rindu tak terkira Diri pecah menjadi beribu muka Kekasih, Ya Kekasih! Buat apa engkau berpisah dari diriMu sendiri Kekasih, Ya Kekasih! Ini tauhid minta seberapa darah dan nyeri
101
“//Anak-anak berduka (dan) menderita/ Dikungkung rahasia (anak-
anak) tidak sabar (untuk) (bertemu) (Allah)/ Rindu tak terkira (ingin)
(sekali) (segera bertemu) (Allah)/ Beribu muka menjadi pecah (dan)
(menyesal) (karena) dirinya (belum) (bisa) (bertemu) (Allah)//”.
“//Kekasih, Ya Kekasih (Allah)!/ (Ya Allah) buat apa engkau
(harus) berpisah dari diriMu sendiri (Allah)/ Kekasih, Ya Kekasih!
(Allah)/ Minta seberapa darah dan nyeri ini(lah) tauhid (yang) (dipelajari)
(hamba)Mu ini//”.
Bait (7) - (8)
Darah dan nyeri Kobaran api sembilanbelas matahari Baru alif sudah terserimpung kaki sendiri Satu huruf saja dariMu, tak tertampung di rohani Anak-anak duka derita berdzikir Allah! Allah! Allah! Anak-anak rahasia tersungkur Allah! Allah! Allah!
“//(Merasakan) darah dan nyeri/ (dari) Sembilanbelas kobaran api
matahari (yang) (membakar) (diri) (aku)/ Alif baru sudah terserimpung
kaki(nya) sendiri/ (Setelah) satu huruf saja dariMu (Allah), (dan) tidak
(bisa) tertampung di(dalam) rohani//”.
“//Anak-anak berdzikir (dengan) (rasa) duka derita/ (dan) (dengan)
(memanggil-manggil) (asma) (Allah) Allah! Allah! Allah/ Anak-anak
tersungkur (dengan) (sejumlah) rahasia/ (dengan) (menyebut) (asma)
Allah! Allah! Allah//”.
102
2) Pembacaan Hermeneutik
Menurut KBBI (1997: 444), sungkur berarti jatuh hingga mukanya
kena tanah, jadi tersungkur berarti terjatuh hingga mukanya kena tanah.
Dari makna leksikal tersebut makna konotatifnya dapat diartikan
bersujudnya umat manusia karena menghadapi cobaan dari Allah.
Sajak “Tersungkur” merupakan kiasan manusia yang sedang
mengalami cobaan dari Allah hingga dirinya benar-benar terjatuh dalam
kehidupan. Bait pertama sajak di atas melukiskan makna cinta yang
mendalam dari Allah Swt. kepada “jiwa yang sendiri”, Cinta sebagai
metafora-pernyataan bahwa makhluk Allah Swt. yang dicintai oleh-Nya,
ketika dilukai itu sama saja melukai hati Allah. Maka hal ini menjadi
penting ketika membuat Allah Swt. murka dan menurunkan burung-
burung Ababil seperti ketika Mekkah diserang tentara bergajah yang
dipimpin oleh Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah, dan
peristiwa tersebut terjadi pada tahun ketika Nabi Muhammad Saw
dilahirkan. Dalam hal ini hati Allah Swt. merasa dilukai ketika Ka’bah
sebagai poros umat Islam dalam bersujud menyembah Allah Swt. akan
dihancurkan, juga pada tahun itu akan lahir ke dunia kekasih Allah Swt.
yakni Muhammad Saw. Itu menjadi bukti bagaimana Allah Swt. sangat
mencintai Nabi Muhammad Saw.
Bait kedua sajak di atas menggambarkan rasa takut yang teramat
sangat hingga mampu melukiskan perasaan tersebut dalam imajinasi. Rasa
103
takut kepada “Kekasih” melalui bahasa pemajasan yang tegas dengan
angkasa, belantara, gunung, laut, dan sungai ditampilkan sebagai
pencitraan alam tentang kesadaran makhluk yang takut kepada
“Kekasihnya” (Allah Swt.). Kesadaran itu sangat simbolik bagaikan
kesadaran manusia eksistensialis yang retak dan membubung ke langit-
langit imaji. Ketakutan, keretakan, bahkan kehilangan, dilukiskan dengan
berbagai dimensi dan suasana mistis melalui semangat ketakdziman
manusia sebagai makhluk Allah Swt. yang begitu rendah kedudukannya di
hadapan Allah Swt.
Bait ketiga sajak di atas menggambarkan rasa rindu yang mabuk
hingga muncul penghakiman kepada “Kekasih” melalui bahasa pemajasan
yang tajam. Bermula dengan mempertanyakan tentang “mula” dan “akhir”
pertemuan, yang secara keras di tampilkan sebagai pencitraan tentang
kesadaran manusia yang mendambakan untuk bertemu Allah Swt.
Kerinduan, ketakutan, bahkan keragu-raguan, dilukiskan dengan berbagai
dimensi dan suasana mistis melalui semangat rindu-dendam. Inilah fase
dalam hidup seorang sufi yang dilukiskan pengarang ketika ia mulai
mengarahkan seluruh imaji kata dan daya cintanya sampai kerinduan,
bahkan ketakutan bercampur aduk menjadi satu. Pengembaraan dari sunyi
diri sendiri seorang sufi menuju Allah Swt., sebagai “Kekasih” yang
menjadi awal dan akhir si aku. Keragu-raguan itu muncul bersamaan
dengan munculnya pertanyaan “Kenapa harus begini lama berburu” kalau
104
memang awal dan akhir manusia dengan Allah Swt. adalah satu. Bahasa
pengucapan dan kata-diksi puisi-puisi pengarang dapat dipahami secara
lahiriah tentang keragu-raguannya memperingatkan keterbatasan manusia
untuk bisa bertemu Tuhannya.
Wahdat al wujud seorang sufi terlukis dalam baris kedua bait
keenam “Buat apa engkau berpisah dari diriMu sendiri”. Kata “engkau”
dan “diriMu” menjadi metafora-pernyataan yang terbangun atas suatu
proposisi yang mempertanyakan mengapa harus “berpisah”. Dalam hal ini
“engkau” mewakili si aku sebagai bagian dari “Mu” (Allah) yang begitu
lama untuk bertemu, sampai dinyatakan “Ini tauhid minta darah dan
nyeri”. Tahuid si aku sebagai bagian dari Allah Swt., bahkan sebagai yang
satu dengan Allah Swt. ditekankan sebagai rasa rindu si aku kepada
Tuhannya Penyebut “Kekasih” berkali-kali mempertegas kerinduan yang
menggila dari si aku yang bercampur dengan rasa ketakutannya dan
keragu-raguannya. Hal ini menjadi wajar ketika hal ini dialami oleh orang
yang sedang dimabuk cinta, dalam hal ini mabuk cinta lahiah kepada
Allah Swt.
Bait ketujuh di atas menggambarkan sembilanbelas matahari
sebagai citra simbolik ini bisa pula dimaknakan sembilanbelas malaikat
penjaga neraka seperti firman Allah Swt. dalam Al Qur’an Surat Al
Muddatsir ayat 26-30, yang artinya: “Aku akan memasukkannya ke dalam
neraka Saqar (26). Tahukah kamu apa neraka Saqar itu? (27) Saqar itu
105
tidak meninggalkan dan tidak membiarkan (28). Neraka Saqar adalah
pembakar kulit manusia (29). Di atasnya ada sembilanbelas malaikat
penjaga (30). Di situ nampak si aku sadar bahwa satu alif saja berat
sehingga membuatnya “terserimpung” lalu bagimana aku-lirik akan
bertemu dengan kekasihnya. Bahkan neraka yang teramat panaspun
menjadi imajinasi yang terselip di dalam cintanya kepada Allah Swt.
Namun demikian, dalam Al Qur’an angka sembilanbelas juga memiliki
banyak keistimewaan. Hal ini menjadi penting untuk dimaknai ketika
melihat baris kalimat di bawahnya “//Baru alif sudah terserimpung kaki
sendiri/ Satu huruf saja dariMu, tak tertampung di rohani//”.
“Sembilanbelas matahari” bisa berarti keistimewaan Al Qur’an sebagai
cahaya pencerah nurani yang akan mempertemukan si aku dengan Allah
Swt. (Kekasihnya).
Setiap muslim pasti meyakini kebenaran Al Qur’an sebagai kitab
suci yang tidak ada keraguan sedikitpun, sebagai petunjuk bagi orang-
orang yang bertaqwa. Suatu kode matematik yang terkandung di dalamnya
didapati bukti-bukti, surat-surat/ ayat-ayat dalam Al Qur’an serba
berkelipatan angka sembilanbelas. Kaum sufi akan meyakini tentang
keistimewaan angka sembilanbelas dalam ilmu matematika yang dikenal
sebagai salah satu bilangan prima yakni bilangan yang tak habis dibagi
dengan bilangan manapun kecuali dengan bilangan itu sendiri.
Keistimewaan tersebut melambangkan bahwa sifat-Nya yang serba Maha
106
tidak dibagikan kepada siapapun juga kecuali bagi diri-Nya sendiri (Al
Qur’an Surat Al Ikhlas ayat 3). Angka 19 terdiri dari angka 1 dan 9,
dimana angka 1 merupakan bilangan pokok pertama dan angka 9
merupakan bilangan pokok terakhir dalam sistem perhitungan manusia.
Keistimewaan tersebut menunjukkan sifat Allah Swt., yakni Maha Awal
dan Maha. Angka 1 melambangkan sifat-Nya yang Maha Esa, sedangkan
angka 9 sebagai bilangan pokok terbesar melambangkan salah satu
sifatnya yaitu “Maha Besar”. Jelas bahwa makna “sembilanbelas
matahari” di sini sangatlah luas dan dalam.
Bait terakhir di atas, berfungsi sebagai atribusi-penjelasan atas “Ini
tauhid minta seberapa darah dan nyeri” pada bait keenam. Dalam hal ini
tauhid yang melambangkan ke-Esaan Allah Swt. menjadi pegangan hati
manusia utamanya kaum sufi. Rasa takut kepada Allah Swt. yang akan
murka kepada siapapun yang melukai hati Allah Swt., membuat si aku
yang merasa bahwa Allah Swt., adalah “Kekasihnya”. “Anak-anak” dalam
hal ini bermakna kekerdilan diri dan hati aku-lirik yang memberikan
kesadaran untuk senantiasa mengagungkan asma Allah Swt. dengan
berdzikir. Kerendahan hati si aku untuk bertemu dengan “Kekasih” yang
dirindukannya membuatnya yang kerdil sebagai “anak-anak” yang
“tersungkur” menjadikannya lebih rendah lagi ketika menyadari apakah
dirinya pantas menjadi kekasih Allah Swt. ketika si aku merasa masih
107
memiliki banyak salah dan dosa sehingga takut akan murka Allah. Maka
“Allah! Allah! Allah!” diserunya.
c. Matriks, Models dan Varian-varian dalam Puisi “Tersungkur” karya
Emha Ainun Nadjib
Matriks pada puisi “Tersungkur” adalah ketakutan atas dasar
kecintaan seorang hamba kepada Allah Swt. sebagai Sang Maha Cinta
yang akan mengirimkan azab-Nya kepada siapapun yang melukai-Nya dan
melukai (kekasih-Nya). Rasa cinta Allah Swt. itu ditransformasikan
menjadi varian-varian pada bait pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima,
keenam, ketujuh, dan kedelapan sebagai berikut: (1) Hanya satu dua kali
burung-burung Ababil menabur dari sunyi, (2) Angkasa senyap, (3)
Kekasih, Ya Kekasih!, (4) Kalau dulu dan kelak kita sama, (5) Anak-anak
duka derita, (6) Kekasih, Ya Kekasih!, (7) Kobaran api sembilanbelas
matahari, (8) Allah! Allah! Allah!.
Varian pertama “Hanya satu dua kali burung-burung Ababil
menabur dari sunyi” merupakan gambaran rasa takut aku-lirik kepada
Allah Swt. Varian kedua “Angkasa senyap” merupakan gambaran ketika
alam rayapun takut kepada Allah Swt., maka manusia hendaknya juga
demikian bahkan lebih takut. Varian ketiga “Kekasih, Ya Kekasih”,
gambaran dari rasa cinta yang mendalam kepada Allah Swt. Varian
keempat, “Kalau dulu dan kelak kita sama”, merupakan wahdat al wujud
108
aku-lirik terhadap Allah Swt. Aku-lirik mempertanyakan jarak yang
terjadi antara aku-lirik dengan Allah Swt. sebagai asal usul aku-lirik.
Varian kelima “Anak-anak duka derita”, varian tersebut
menggambarkan manusia sebagai anak-anak yang selalu menderita dan
tidak tahu apa-apa selayaknya anak-anak yang tak tahu sebab akibat ketika
berbuat. Varian keenam “Kekasih, Ya Kekasih!”, menjadi penekanan rasa
cinta aku-lirik kepada “Kekasihnya”. Varian ketujuh “Kobaran api
sembilanbelas matahari”, varian tersebut menggambarkan dari sebagian
kecil neraka yaitu matahari yang begitu panas dan menyakitkan bagi aku-
lirik. Namun demikian angka sembilanbelas ini bisa saja bermakna jumlah
malaikat penjaga neraka, juga angka yang istimewa dalam Al Qur’an
ketika dikaitkan dengan kalimat di bawahnya. Varian kedelapan “Allah!
Allah! Allah”, dipanggilinya nama “Kekasihnya” Allah Swt., dalam dzikir
aku-lirik sebagai sosok yang kerdil dan tidak tahu apa-apa serta sebagai
sosok yang selalu salah dan “tersungkur”.
d. Hubungan Intertekstualitas Puisi “Tersungkur”
Puisi “Tersungkur” yang ditulis Emha Ainun Nadjib pada tahun
1989, memiliki hubungan intertekstualitas dengan sajak “Tuhan, Kita
Begitu Dekat” karya Abdul Hadi WM, 1997. Di bawah ini dikutip sajak
“Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi WM, yang menjadi
hipogram aktual sajak “Tersungkur”.
109
Tuhan, Kita Begitu Dekat
Tuhan Kita begitu dekat Sebagai api dengan panas Aku panas dalam hatimu Tuhan Kita begitu dekat Seperti kain dengan kapas Aku kapas dalam kainmu Tuhan Kita begitu dekat Seperti angin dan arahnya Kita begitu dekat Dalam gelap Kini aku nyala Pada lampu padamu (Abdul Hadi WM, 1997. Tergantung Pada Angin)
Sajak “Tuhan, Kita begitu dekat” merupakan pelukisan adanya
citra kerinduan manusia terhadap Sang Khalik. Seperti halnya manusia
pengembara yang telah lama meninggalkan kampong halamannya. Pada
suatu saat manusia pengembara itu rindu terhadap kampung halamannya,
asal mulanya dahulu. Demikian juga manusia, hidup di dunia ini
merupakan petualangan setelah terusir dari kampong halamannya (surga,
firdaus), seperti yang tersirat pada kisah Adam dan Hawa yang terusir dari
surga (Hadi, 1999: 193). Pada bait pertama sajak tersebut, terdapat larik
“//Sebagai api dengan panas/ Aku panas dalam apimu//”, larik tersebut
menggambarkan bahwa manusia merupakan bagian dari Tuhan, dan
110
keberadaan manusia sangat tergantung pada keberadaan Tuhan. Dengan
demikian keberadaan Tuhan itu sendiri tanpa tergantung pada keberadaan
manusia. Tuhan adalah causa prima (penyebab pertama dan utama)
keberadaan manusia. Tuhan terlebih dahulu ada sebelum diciptakannya
manusia.
Bait kedua di atas menyatakan “//Seperti kain dengan kapas/ Aku
kapas dalam kainmu//”, lirik tersebut menunjukkan jalan bagi manusia
ketika manusia ingin meleburkan diri kedalam unsur ketuhanan. Manusia
harus dapat menghilangkan sifat-sifat yang melekat pada diri manusia
sebagai syarat finalnya. Hal ini dianalogikan dari kapas yang melebur
menjadi kain. Jika kapas ingin melebur menjadi kain, harus dihilangkan
sifat kekapasannya. Sifat kekapasan menunjukkan sifat lahir manusia
(badan wadag, jasmani), sedangkan kain menunjukkan sifat kerohanian
manusia (jasmani halus, phisikis). Kain dan kapas juga sebagai simbol,
sampai meninggal pun manusia tidak dapat meninggalkan kain (kafan) dan
kapas sebagai pembungkus jenazah.
Bait ketiga di atas “//Seperti angin dan arahnya//”, yang
mengimplikasikan hubungan dua unsur yang sulit untuk dipisahkan pula.
Angin merupakan unsur alam pertama selain api, air, dan tanah. Angin dan
arah memang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan angin karena
digerakkan menuju ke suatu arah tertentu. Arah selalu mengikuti angin
bergerak. Kemanapun angin bertiup, ke situlah arah mengikutinya.
Jawatan meteologi dan geofisika setiap hari memantau arah dan angin
111
bertiup sebagai ramalan cuaca menggambarkan hubungan antara manusia
dengan Tuhan yang menyatu (bertunggal) dan sulit untuk dipisahkan. Bait
di atas menunjukkan adanya paham kesatuan wujud (kebertunggalan),
keterjalinan hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan seperti
hubungan antara api dengan panas, kain dengan kapas, dan angin dan
arahnya.
Tema tentang kerinduan manusia terhadap Tuhannya yang terdapat
dalam sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi WM di atas
ditransformasikan dalam sajak “Tersungkur”. Dalam sajak “Tersungkur”,
tema tentang kerinduan manusia terhadap Tuhannya tersebut dilukiskan
dalam ungkapan “//anak-anak duka derita/ tak sabar dikungkung rahasia/
dendam rindu tak terkira/ diri pecah menjadi beribu muka//”.
e. Konsep Cinta menurut Sufisme dalam Puisi “Tersungkur” karya
Emha Ainun Nadjib
1) Tuhan adalah Cinta dan di Seberang Cinta
Cinta merupakan sifat Allah Swt. Dalam puisi “Tersungkur” ini
Allah Swt. adalah muara dari segala cinta, antara cinta-Nya kepada
manusia dan cinta manusia kepada-Nya. Hal ini terwujud dengan rasa
cinta Allah Swt. kepada kekasih-Nya dan rasa cinta manusia kepada Allah
Swt. sebagai “Kekasihnya”. Rasa rindu bisa saja berubah menjadi
ketakutan, bahkan bisa saja berubah menjadi keragu-raguan. Dalam puisi
112
“Tersungkur” ini demikianlah yang terjadi dan tauhidlah yang
menyelamatkan rohani si aku dalam hal ini.
“Kalau mula dan akhir kita satu/… Kalau dulu dan kelak kita
sama/… Kalau engkau asal-usul hamba” merupakan wujud Allah Swt.
sebagai cinta sehingga si aku meyakini bahwa si aku dan Allah Swt. satu
dan dipersatukan oleh cinta. Allah Swt. adalah “Kekasih” sebagai Sang
Maha Cinta. Allah Swt. memiliki semuanya: wujud-Nya sama dengan
semua sifat-Nya, namun kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah Swt.
tiada lain adalah “Kasih”, Dia adalah “pengetahuan” dan bukan yang
lainnya. Sebagai “pertentang yang tiba-tiba”, sifat-sifat-Nya adalah
mutlak, sedangkan dzat-Nya melampaui semua itu. Allah Swt. yang
menjadi poros atas semuanya, sehingga ketika Dia murka maka senyaplah
semua, robohlah semua, dan bersujud serta berdzikir beribu kali
mengagungkan nama-Nya.
2) Dunia Diciptakan oleh Cinta
Allah Swt. berkata “Aku ingin (cinta) untuk dikenal, maka
kuciptakan dunia”. Sebagaimana cintanya kepada Nabi, sehingga Allah
Swt. berfirman, “jika bukan karena engkau, tidak akan Kuciptakan surga”.
Dalam hal ini cinta Allah Swt. terbukti pada puisi “Tersungkur” bait
pertama, “Hanya satu dua kali/ Burung-burung Ababil menabur dari sunyi/
Hanya ketika hati Allah dilukai/ Atau tatkala cinta-Nya menetes ke jiwa
yang sendiri…” Bait pertama puisi tersebut ketika dikaitkan dengan Al
113
Qur’an Surat Al Fiil maka akan membuktikan kecintaannya kepada Nabi
Muhammad Saw. Surat Al Fiil menceritakan tentang pasukan bergajah
yang dipimpin oleh Abrahah dari Yaman akan menghancurkan Ka’bah,
maka ketika itu Allah Swt. mengutus burung-burung Ababi untuk
melempari pasukan bergajah itu dengan tanah yang menyala api neraka.
Pada tahun itu pula Nabi Muhammad Saw dilahirkan. Demikian bukti
bahwa Allah Swt. tidak mau kekasih-Nya yang menjadi sebab terjadinya
alam semesta ini disakiti.
Cinta Allah Swt. mengejawantahkan perbendaharaan yang
tersembunyi melalui diri para nabi dan orang-orang suci yang menjadi
motivasi terciptanya alam semesta ini. Tidak terkecuali kepada kaum sufi
yang menganggap tataran sufi tertinggi adalah cinta. Cinta makhluk-Nya
kepada Allah Swt., maupun cinta Allah Swt. kepada makhluknya. Sebagai
hasilnya, cinta mengalir ke seluruh urat nadi dunia.
3) Cinta Menopang Dunia
Segala sesuatu mengambil bagian di dalam cinta Allah Swt. Allah
menciptakan dunia seisinya ini dengan cinta. Tak salah kiranya jika Allah
Swt. akan murka ketika makhluk yang dicintainya disakiti. Nabi
Muhammad adalah kekasih Allah Swt., Allah Swt. menciptakan nur
Muhammad dengan penuh cinta-Nya, Allah Swt. menggerakkan kekuatan
penciptaan-Nya, sehingga segalanya adalah para pencinta.
114
Segala yang ada didorong oleh kebutuhan dan hasrat bertujuan
untuk menyatu dengan Allah Swt. Cinta merupakan sumber perantara
seluruh gerakan dan perbuatan di alam semesta ini. Kesadaran aku-lirik
tentang hal itu ditunjukkan dengan perkataan “Kekasih, Ya Kekasih!”.
Dalam hal ini aku-lirik memiliki dorongan dan kebutuhan cinta, sehingga
aku-lirik mempertanyakan tentang dirinya dan Allah Swt. yang satu.
4) Cinta dan Keindahan: Sejati dan Imitasi
Cinta manusia yang sejati dan cinta yang imitasi (cinta terhadap
segalanya yang selain-Nya) menjadi pilihan di mana seorang hamba akan
melabuhkan cintanya. Namun demikian hakikat cinta sejati merupakan
cinta kepada Allah Swt., karena segala sesuatu adalah satu yakin Allah
Swt., Tuhan pencipta alam semesta. Aku-lirik yang merasakan cinta
kepayang hingga dihantui rasa takut yang mendalam kepada Allah Swt.,
merasa bahwa aku-lirik dan Allah Swt., adalah satu. Dalam pengertian ini,
akan muncul ambiguitas makna ketika Allah Swt. tidak sama dengan
makhluknya.
Dalam hal ini, pernyataan tersebut bisa pula bermakna bahwa
segala yang diciptakan Allah Swt., hakikatnya adalah milik Allah Swt.,
dan ciptaan Allah Swt. Itu berarti segala yang ada di jagad raya ini satu,
dari Alla Swt. Pemaknaan cinta yang mendalam ketika “Anak-anak duka
derita” merasakan ketidak sabarannya untuk bertemu dengan
“Kekasihnya”. Ketika muncul pertanyaan-pertanyaan aku-lirik tentang
115
kesejatian cinta yang ditanamnya untuk Allah Swt., muncul keragu-raguan
dari diri aku-lirik. Dalam hal ini aku-lirik meyakini bahwa cinta kepada
selain-Nya tapi berasal dari-Nya, akan membawa orang kepada-Nya.
Kesadaran tentang pertemuan aku-lirik dalam setiap hasrat (cinta) yang
tidak akan menemukan kekasih sejati kecuali setelah mati. Bagi seorang
sufi hanya ada satu Yang Tercinta. Dia adalah Allah Swt. Aku-lirik
melihat bahwa semua cinta “palsu”, beku, dan tidak nyata kecuali Allah.
5) Kebutuhan dan Keinginan
Aku-lirik menyadari bahwa Yang Tercinta memperhatikan hasrat
dan pengabdian yang tulus. Ketika “Kekasih” menunjukkan rasa cinta-
Nya kepada kekasihnya maka apapun yang diridhoi-Nya akan terjadi,
tidak terkecuali murkanya ketika sesuatu yang dicintainya dilukai
sehingga melakukan hati-Nya. Alam raya semua diam bersujud penuh
ta’dzim menyaksikan keagungan Allah Swt. Aku-lirik yang senantiasa
membutuhkan Allah Swt. menyadari atas kebutuhannya itu bukan sebagai
keinginan semata yang tak abadi sebagai cinta.
6) Agama Cinta
Cinta kepada Allah Swt. merupakan perwujudan dari ilmu yang
dimiliki aku-lirik, amal yang dimiliki aku-lirik, dan realisasi kehidupan
aku-lirik. Pengetahuan tentang “Kekasih” melalui kejadian-kejadian yang
terjadi sehingga menjadikannya ilmu yang selanjutnya akan membawanya
116
kepada amal perbuatan yang dilakukan dalam realitas kehidupan nyata
aku-lirik sehingga yang ada hanya dia.
Kesadaran tentang kejadian ketika Allah Swt. murka karena hal
yang dicintainya dilukai, serta pembacaan terhadap ayat kauliyah dan ayat
kauniyah Allah Swt., menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin
hingga saat ini belum terjawab. Namun demikian aku-lirik dengan
keyakinannya mampu membuktikan bahwa hanya ada satu “Kekasih”
sejati di alam semesta yang luas tidak terhingga ini. “Allah! Allah! Allah!,
nama yang disebut-sebut aku-lirik sebagai kekasihnya atas dasar ilmu,
amal, dan realisasi kehidupan.
7) Cinta dan Akal
“Akal” sebagai hal yang bersifat ambigu dalam menghadapi
realitas yang memiliki banyak dimensi. Manusia dikarunia akal untuk
memilih antara yang nafs, yakni di tingkatan yang lebih rendah, tapi dalam
tingkatan yang lebih tinggi memiliki kesamaan substansi dengan para
malaikat. Ketika manusia tidak lagi berakal maka dia akan berbuat
semaunya tanpa memikirkan akibatnya bahkan bisa jadi perbuatannya itu
melukai hati Allah Swt.
Cinta yang mengantarkan manusia antara fana dan baqa, ia
melampaui akal yang dari sudut pandang ini dilihat sebagai rintangan di
jalan cinta.. Ketika Allah Swt. menunjukkan kecintaan-Nya kepada
117
hamba-hamba-Nya, lalu bagaimana manusia sebagai hamba-hamba-Nya
menunjukkan cinta kita kepada-Nya, itulah yang diresahkan oleh aku-lirik.
8) Kebingungan dan Kegilaan
Manusia diberikan kesabaran dan ketenangan, sebagai tanda dia
memiliki akal atau tidak. Ketika Allah Swt. disakiti hatinya lalu kemudian
dia murka, maka tidak hanya yang dimurkai yang merasakan takut, namun
alam semesta pun semua merasa takut dan tunduk kepada-Nya, begitu
juga dengan manusia yang dimurkai oleh Allah Swt. dengan ditandai
adanya kebingungan, kekacauan (pikiran), dan kegilaannya. Aku-lirik
mengalami ketakutan yang menggila. Dari kecintaannya dilanjutkan
ketakutannya, dan sampai pada titik keragu-raguannya terhadap
“Kekasihnya”. Apakah benar “Kekasih” itu ada? Namun tidak mengapa
tidak bertemu juga. Apakah benar “Kekasih” dan kita itu satu? Namun
mengapa tidak pernah bertemu. Dzikir untuk lebih mengingat Allah Swt.
dan dekat dengan Allah Swt. adalah jurus pamungkas supaya kita tidak
terpeleset ke jurang dalam keragu-raguan.
2. Puisi “Kapak Ibrahim Hamba”
Kapak Ibrahim Hamba
Di mana kapak Ibrahim hamba Di mana tongkat Musa hamba Di mana wajah Yusuf hamba Di mana dzikir Zakaria hamba Di mana hilang Isa hamba
118
Di mana cahaya Muhammad hamba Takut, Kekasih, hamba takut! Kehidupan yang sungguh kehidupan Selama hidup hamba tinggalkan Ketika kemudian hamba tengok ke belakang Ia justru berada amat jauh di depan
Hamba kehilangan ilmu Yang memang tak sanggup hamba memegang Hamba kehilangan Nur Tanpa pernah menemukan Hamba menanam sampah Di kota-kota peradaban Hamba menanam sampah Tanpa tahu hamba menanam sampah
Hamba membangun Segala yang hakekatnya roboh Hamba mengejar kemandegan Hamba telusuri kebuntuan Takut, Kekasih, hamba Takut! Wahai Kekasih wahai telaga Mana teratai hamba! (Emha Ainun Nadjib, 1994. Syair Lautan Jilbab)
a. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi dalam Puisi “Kapak Ibrahim
Hamba” Karya Emha Ainun Nadjib
1) Penggantian Arti
Kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain dalam puisi
“Kapak Ibrahim Hamba” metafora-pernyataan banyak dimunculkan.
Kapak Ibrahim diartikan sebagai keberanian Nabi Ibrahim untuk
menegakkan agama Allah Swt. dengan memenggal berhala-hala buatan
119
ayahnya yang kini keberanian itu telang hilang dari diri aku-lirik. Tongkat
Musa diartikan sebagai keyakinan perjuangan Nabi Musa menegakkan
agamanya kepada kaumnya.
Wajah mempesona Nabi Yusuf yang membuat semua wanita yang
melihatnya jatuh cinta telah membawa Nabi Yusuf diartikan sebagai
ketakdziman yang sebenarnya. Dzikir Zakaria sebagai kesetiaan kepada
kekasih yang hilang dari diri aku-lirik yang menunjukkan bahwa aku-lirik
telah lama meninggalkan ibadahnya kepada Allah Swt. dengan tidak
pernah mengagungkan asma Allah Swt. Aku-lirik yang ingin dirinya
diselamatkan dari kekejaman dunia dengan cinta Allah seperti hilangnya
Isa yang diselamatkan oleh Allah Swt. Penyesalan aku-lirik lebih
mendalam ketika aku-lirik kehilangan cahaya Muhammad sang kekasih
Allah Swt. yang diartikan sebagai pegangan hidup si aku.
2) Penyimpangan Arti
Dalam hal ini ada tiga macam penyebab terjadinya penyimpangan,
yang pertama adalah ambiguitas, kedua adalah kontradiksi, dan ketiga
adalah nonsense. Arti ambiguitas sekaligus kontradiksi yang terjadi dalam
puisi “Kapak Ibrahim Hamba” ini adalah ketika aku-lirik pada bait ketiga,
dia merasakan rasa penyesalan tentang apa yang telah dilakukannya
sehingga aku-lirik kehilangan ilmu pegangan hidup yang sejati. Namun
ilmu itu belum pernah dipegang oleh aku-lirik. Bagaimana sesuatu yang
belum pernah dimiliki bisa hilang, hal ini menjadikan arti kalimat tersebut
120
perlu dimaknai lebih mendalam. Juga ketika aku-lirik merasa kehilangan
“Nur” yang menerangi jalan hidupnya, di situ aku-lirik merasa tidak
pernah menemukannya. Pertanyaan yang sama akan muncul, bagaimana
aku-lirik bisa kehilangan kalau dia belum pernah memilikinya. Mungkin
jawabnya adalah dalam cinta aku-lirik kepada Allah Swt. membuatnya
gila dengan penyesalannya.
3) Penciptaan Arti
“Takut, Kekasih, hamba Takut! Lirik yang dimunculkan akan
menjadi makna dalam baris kalimat ini muncul di luar kebahasaan. Dalam
bait tersebut persamaan posisi tampak penyejajaran bentuk yang
menimbulkan penyejajaran arti: bahwa ketika rasa takut muncul, rasa takut
yang diungkap pertama memunculkan arti ketakutannya kepada kekasih
karena kesalahan yang dibuat aku-lirik. Ketakutan di sini muncul sebagai
ketakutannya kepada Allah Swt. Sedangkan takut yang kedua
memunculkan arti ketakutannya kepada hidupnya sehingga aku-lirik
memanggil kekasih untuk menemaninya. Muncul dua arti yang berbeda
dari kesejajaran bentuk dalam satu posisi.
121
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik dalam Puisi “Kapak Ibrahim
Hamba” karya Emha Ainun Nadjib
1) Pembacaan Heuristik
Bait (1) – (2)
Di mana kapak Ibrahim hamba Di mana tongkat Musa hamba Di mana wajah Yusuf hamba Di mana dzikir Zakaria hamba Di mana hilang Isa hamba Di mana cahaya Muhammad hamba Takut, Kekasih, hamba takut! Kehidupan yang sungguh kehidupan Selama hidup hamba tinggalkan Ketika kemudian hamba tengok ke belakang Ia justru berada amat jauh di depan
“//Di mana (keberadaan) kapak (Nabi) Ibrahim/ Di mana (letak)
tongkat (Nabi) Musa/ Di mana wajah (mempesona) (Nabi) Yusuf/ Di
mana (lantunan) dzikir Zakaria/ Di mana (keberadaan) hilang(nya) (Nabi)
Isa/ Di mana (pancaran) cahaya (Nabi) Muhammad/ Takut, Kekasih
(Allah), hamba takut!//”.
“//Kehidupan yang sesungguh(nya) kehidupan/ Selama hidup (di)
(dunia) hamba tinggalkan/ Kemudian ketika hamba tengok kebelakang
(untuk) (bertaubat)/ Justru (sudah) (tertinggal) jauh (dari) (teman-
temannya) (yang) (sudah) (di depan)//”.
Bait (3) - (5)
Hamba kehilangan ilmu Yang memang tak sanggup hamba memegang
122
Hamba kehilangan Nur Tanpa pernah menemukan Hamba menanam sampah Di kota-kota peradaban Hamba menanam sampah Tanpa tahu hamba menanam sampah
Hamba membangun Segala yang hakekatnya roboh Hamba mengejar kemandegan Hamba telusuri kebuntuan Takut, Kekasih, hamba Takut! Wahai Kekasih wahai telaga Mana teratai hamba!
“//Hamba (sudah) kehilangan (banyak) ilmu/ Hamba memang tak
sanggup (untuk) memegang(nya) (kembali) (ilmu) / (dan) Hamba (juga)
(sudah) kehilangan Nur (dan)/ Tidak (akan) pernah (Hamba) bisa
menemukan(nya) (kembali)//”.
“//Hamba (telah) menanam sampah (dalam) (diri)/ Di peradaban
kota-kota (besar) (yang) (penuh) (dengan) (kemaksiatan)/ Hamba (telah)
menanam sampah (dalam) (diri)/ (dan) Tanpa tahu sampah yang (kotor)
(ini) telah tertanam dalam diri (hamba)//”.
“//Hamba (berusaha) membangun(nya) (kembali)/ Segala yang
(telah) roboh dan (rusak)/ (Dengan) (cara) mengejar kemandegan/
(Setelah) di telusuri hamba ini (menemui) kebuntuan/ (Dan) (rasa) takut
(kepada) (Allah), Kekasih (Allah), hamba (ini) takut!/ Wahai Kekasih
wahai telaga/ (Di)mana teratai hamba (ini)//”.
123
2) Pembacaan Hermeneutik
Menurut KBBI (1997: 257), kapak berarti alat terbuat dari logam,
bermata, dan bertangkai panjang; beliung besar untuk menebang pohon
(membelah kayu), sedangkan Ibrahim berarti Nabi, dan hamba yang
berarti abdi. Dari makna leksikal tersebut, makna konotatifnya dapat
diartikan benda atau mukjizat yang dimiliki Nabi Ibrahim untuk
menghancurkan kezaliman.
Puisi Kapak Ibrahim Hamba merupakan kiasan sebuah kekuatan
yang dimiliki seorang dalam menghancurkan kemusyrikan dalam
kehidupan. Bait pertama, melukiskan sebuah kegelisahan yang muncul diri
aku-lirik. Aku-lirik memandang realitas yang terjadi pada dirinya selama
ini telah jauh menyimpang. Sebuah metafora-pernyataan yang menyatakan
aku-lirik sebagai makhluk Allah Swt. merasa telah kehilangan keberanian
Ibrahim untuk menegakkan agama Allah Swt. dengan memenggal berhala-
berhala buatan ayahnya sehingga Ibrahim dihukum dengan dibakar hidup-
hidup. Aku-lirik merasa perjuangannya menegakkan agama Islam belum
sampai pada tingkatan itu. Aku-lirik juga merasa kehilangan tongkat Musa
yang dapat menjelma ular juga dapat membelah lautan yang
menyelamatkan kaumnya dari kekejaman Raja Firaun seorang raja yang
mengaku dirinya adalah Tuhan dan akhirnya tenggelam di laut Merah
setelah laut yang terbelah atas ijin Allah Swt. menggunakan doa dan
tongkat Nabi Musa menutup kembali.
124
Begitu perjuangan Nabi Musa menegakkan agama Islam kepada
kaumnya yang sebelumnya Nabi Musa sempat dituduh sebagai ahli sihir
dengan tongkatnya itu oleh kaumnya. Wajah mempesona Nabi Yusuf yang
membuat semua wanita yang melihatnya jatuh cinta telah membawa Nabi
Yusuf kepada tauhid yang sebenarnya. Bagaimana Nabi Yusuf takut Allah
Swt. murka ketika Yulaiha, Ibu angkat Nabi Yusuf merayunya untuk
berhubungan badan. Ketika itu Nabi Yusuf menolaknya karena takut
kepada Allah Swt. Dzikir Zakaria yang hilang dari diri aku-lirik yang
menunjukkan bahwa aku-lirik telah lama meninggalkan ibadahnya kepada
Allah Swt. dengan tidak pernah mengagungkan asma Allah Swt. seperti
Zakaria yang karena cintanya kepada Allah Swt. selalu berdzikir. Aku-
lirik yang kehilangan diri, namun hal itu berbeda dengan hilangnya Isa
ketika disalib dan digantikan Yudas. Penyesalan aku-lirik lebih mendalam
ketika aku-lirik kehilangan cahaya alam semesta yakni cahaya Muhammad
sang kekasih Allah Swt., Tuhan semesta alam. Aku-lirik dalam hal ini
merasakan penyesalan mendalam sehingga dirinya takut dan sunguh-
sungguh takut. Dalam hal ini penyesalan dan ketakutan aku-lirik
bercampur karena langkahnya telah salah, salah dari jalan Allah Swt. yang
telah diwahyukan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
Bait kedua menggambarkan penyesalan aku-lirik ketika menyadari
bahwa dirinya telah jauh melenceng dari jalan yang telah digariskan Allah
Swt. Aku-lirik telah kehilangan “kehidupan yang sungguh kehidupan”
125
yakni kesadarannya tentang kehidupan akhirat yang lebih kekal dari
kehidupan dunia yang hanya sementara. Aku-lirik telah terbuai rayuan
nafsu duniawinya sehingga salah dalam melangkah. Hal tersebut
dipertegas ketika “kemudian hamba tengok kebelakang”, yang
dimaksudkan sebagai ketauhidan sejati kepada Allah Swt. yang telah
ditinggalkannya justru malah berada “jauh didepan” yakni sebagai tujuan
hidup setiap manusia bahkan setiap makhluk atas karunia yang diberikan
Allah Swt.
Bait ketiga di atas menjadi metafora-pernyataan bait di atasnya
yakni bait kedua. Aku-lirik yang terus diselimuti rasa penyesalan tentang
apa yang telah dilakukannya sehingga aku-lirik kehilangan ilmu pegangan
hidup yang sejati. Aku-lirik merasa kehilangan “Nur” yang menerangi
jalan hidupnya dan aku-lirik merasa tidak pernah menemukannya di dalam
cinta aku-lirik kepada Allah Swt. yang membuatnya gila dengan
penyesalannya.
Bait keempat di atas menggambarkan aku-lirik merasa dirinya
telah melakukan suatu hal yang teramat kotor dengan mengatakan
“Hamba menanam sampah” sebagai citra simbolik yang berarti akan
tumbuh dan semakin tinggi dan besar keburukan itu. “Di kota-kota
peradaban” menjadi penekanan yakni “kota-kota”, di mana bisa kita
rasakan bahwa ketika di kota waktu terasa sangat cepat. Hal inilah yang
membawa aku-lirik hanyut dalam “peradaban” yakni dari waktu ke waktu
126
yang lama namun dilalui dengan sia-sia. Aku-lirik juga menyadari tentang
dia yang sebelumnya tidak menyadari tentang hal itu dengan mengatakan
“Tanpa tahu bahwa hamba telah menanam sampah”.
Bait kelima semakin melukiskan penyesalan si aku-lirik tentang
dunia yang seakan habis dan tidak kekal. Tentang dunia aku-lirik kejar,
padahal sejatinya dia mengejar kemandegan. Sampai pada titik taubat aku-
lirik yang menyatakan “takut” atas segala perbuatannya. Kecintaannya
kepada Allah Swt. membuatnya sadar bahwa selama hidup aku-lirik telah
salah jalan. Maka dari itu aku-lirik ingin mengurangi “telaga”nya dengan
tauhid yang benar. Kalimat “wahai kekasih wahai telaga” ingin
menegaskan bahwa hakikat Allah Swt. sebagai kekasih adalah telaga yang
sangat luas dan perlu teratai yang menjadikan aku-lirik dapat berada di
dalam telaga itu. Dalam hal ini aku-lirik melakukan semacam tagihan
kepada Allah Swt. Dengan menyeru (bukan bertanya) ketika mengatakan
“mana teratai hamba”.
Idiom teratai ini mengingatkan pada bunga yang hidup di air,
pembacaan aku-lirik tentang teratai yang akan hidup di air bukan di tanah
menjelaskan tentang hidup aku-lirik yang seharusnya berada di jalan-Nya
yang lurus tidak berbelok dan tidak membelokkan. Hal ini di sadari aku-
lirik sebagai jalan yang akan membawanya kepada keabadian di akhirat
pada pelukan “Kekasihnya”.
127
c. Matriks, Model, Varian-varian dalam Puisi “Kapak Ibrahim Hamba”
karya Emha Ainun Nadjib
Matriks pada puisi “Kapak Ibrahim Hamba” adalah rasa takut dan
penyesalan tentang apa yang telah dilakukannya, ditranformasikan
menjadi varian-varian pada bait pertama, kedua, ketiga, keempat, dan
kelima, sebagai berikut: (1) Di mana kapak Ibrahim hamba, (2) Kehidupan
yang sungguh-sungguh kehidupan, (3) Hamba kehilangan Nur, (4) Hamba
menanam sampah, (5) Takut, Kekasih, hamba Takut!.
Varian pertama “Di mana kapak Ibrahim hamba” merupakan
gambaran rasa takut aku-lirik kepada Allah Swt. yang merasa kehilangan
mukjizat dan pegangan keimanan tauhid para Nabi dan Rasul. Varian
kedua “Kehidupan yang sungguh-sungguh kehidupan” berarti selama
hidup aku-lirik tidak menyadari tentang kehidupan yang lebih kekal dari
kehidupan dunia yakni kehidupan akhirat. Varian ketiga “Hamba
kehilangan Nur”, berarti kesadaran aku-lirik bahwa dia telah kehilangan
cahaya hidupnya dan selama ini aku-lirik berjalan pada jalan yang gelap
dan salah. Varian keempat, “Hamba menanam sampah”, merupakan
penekanan tentang penyesalan aku-lirik. Varian kelima, “Takut, Kekasih,
hamba Takut!”, aku-lirik melukiskan ketakutannya kepada Sang Kekasih
(Allah) atas jalan yang telah ditempuhnya.
128
d. Hubungan Intertekstualitas Puisi “Kapak Ibrahim Hamba”
Sajak “Kapak Ibrahim Hamba” yang ditulis Emha Ainun Nadjib
pada tahun 1989, memiliki hubungan intertekstualitas dengan sajak “Doa”
yang ditulis oleh Chairil Anwar. Sajak doa yang ditulis Chairil Anwar
pada tanggal 13 November 1943 menjadi hipogram aktual sajak “Kapak
Ibrahim Hamba”.
Doa
Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh Mengingat kau penuh seluruh cahayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku Aku hilang bentuk Remuk Tuhanku Aku mengembara di negeri dongeng Tuhanku Di pintuMu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling
(Chairil Anwar, 13 November 1943)
Ada beberapa alasan kuat mengapa puisi “Doa” karya Chairil
Anwar” bisa dikatakan hipogram dari “Kapak Ibrahim Hamba” karya
Emha Ainun Nadjib. Alasan yang pertama adalah bait kedua dan kelima
dari puisi Kapak Ibrahim Hamba berisi tentang penyesalan, ragu-ragu
serta kegalauan kehidupan yang dihadapi oleh si Aku. Pada saat-saat
129
demikian nyaris membuatnya lupa dengan Tuhan. Kata-kata yang
menggambarkan ini bisa dilihat pada bait kedua:
…. Kehidupan yang sungguh kehidupan Selama hidup hamba tinggalkan Ketika kemudian hamba tengok kebelakang Ia justru berada amat jauh di depan …..
Dari penggalan puisi di atas memberikan informasi betapa ragam
kehidupan yang dialaminya telah mengguncang kehidupan aku, sampai-
sampai ia bosan dan letih dengan itu semua untuk akhhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa ia sebenarnya merindukan Tuhan, meskipun hal itu
sulit baginya untuk dilalui. Fenomena yang dihadapi aku dalam puisi ini
persis sama dengan apa yang dirasakan aku dalam puisi Chairil Anwar.
Hal ini dapat dilihat pada penggalan puisinya sebagai berikut:
Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namamu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh …..
Dalam puisi karya Chairil Anwar ini digambarkan bahwa aku
mengalami misorientasi dalam kehidupannya, sehingga sampai-sampai
digambarkan dengan kondisi termangu. Tapi walau demikian susahnya
baginya untuk kembali karena ia sudah tertinggal amat jauh di depan, ia
tetap berusaha menyebut kembali nama Tuhannya. Menyebut nama Tuhan
bisa dimaknai dengan shalat, dzikir dan berdoa. Sama dengan apa yang
130
dirasakan dan dilakukan oleh aku pada puisi Kapak Ibrahim Hamba.
Intinya, kedua aku dalam puisi di atas sama-sama berangkat dari
problematika kehidupan yang sama, kemudia berusaha untuk merubah
sikap mereka, menjadi makhluk yang lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan, meskipun hal tersebut tidak mudah untuk mereka lakukan.
Masih terkait dengan kejenuhan dengan hidup yang tidak terarah
ini, gambaran tentang kondisi kedua aku dalam puisi di atas juga dapa
dilihat pada penggalan puisi berikut ini. Dalam puisi Chairil Anwar:
Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Dalam puisi Emha Ainun nadjib: Hamba membangun Segala yang hakekatnya roboh Hamba mengejar kemandegan Hamba telusuri kebuntuan …..
Dua puisi di atas sama-sama bercerita tentang kegalauan konsep
hidup mereka tanpa kedekatan dengan Tuhan. Chairil Anwar menyebut
aku sebagai seorang yang hilang bentuk, dan juga remuk. Hal ini adalah
deskripsi yang begitu kuat pada pencitraan seorang yang sepi dari
kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Begitu juga dengan maksud yang sama
penggalan puisi di atas Emha Ainun Nadjib mengambarkan dalam puisi
tentang seseorang yang begitu jauh dari munajat kepada Tuhan. “//Hamba
menanam sampah/ Di kota-kota peradaban//”, penggalan puisi tersebut
131
sama dengan penggalan puisi Chairil Anwar “//aku mengembara di negeri
asing//”, yang berarti Aku lirik mengakui bahwa selama ini dia telah
meninggalkan Tuhan dengan melakukan segala pelanggaran.
Alasan yang selanjutnya, mengapa kedua puisi disamakan adalah,
kedua puisi ini berujung pada terminal kesadaran aku yang
menyangkutkan dan mempasrahkan hidupnya kepada Tuhan, hal itu
tercermin dalam pengakuan dari kedua aku yang ada dalam kedua puisi
ini. Dalam puisi Chairil Anwar digambarkan bahwa aku tetap tegar
dengan mengetuk pintu Allah, dalam artian bermunajat kepada Allah,
menyerahkan diri secara totalitas kepada, dan akhirnya disanalah ia
mendapatkan ketenangan dan ia tidak tahu mau berpaling lagi. Hal itu bisa
dilihat pada kutipan berikut ini:
….. Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling …..
Begitu pula dengan aku pada puisi Emha Ainun Nadjib, si Aku
akhirnya menemukan sosok dirinya dengan kembali kepada Tuhan.
Berdoa dan bermunajat kepada Sang Pencipta melalui ungkapan “hamba
membangun segala yang hakekatnya roboh”.
132
e. Konsep Cinta Menurut Sufisme dalam Puisi “Kapak Ibrahim Hamba”
karya Emha Ainun Nadjib
1) Tuhan adalah Cinta dan di Seberang Cinta
Puisi “Kapak Ibrahim Hamba” menjadi salah satu puisi karya
Emha Ainun Nadjib yang menunjukkan kecintaan yang mendalam kepada
Allah Swt. Hal tersebut digambarkan dengan ketakutan aku-lirik ketika dia
memandang realitas yang terjadi pada dirinya selama ini telah jauh
menyimpang. Aku-lirik sebagai makhluk Allah Swt. merasa telah
kehilangan keberanian Ibrahim untuk menegakkan agama Allah Saw
dengan memenggal berhala-berhala buatan ayahnya. Aku-lirik merasa
perjuangannya untuk menegakkan agama Islam belum sampai pada
capaian itu. Aku-lirik juga merasa kehilangan tongkat Musa yang dapat
menjelma ular juga dapat membelah lautan yang menyelamatkan kaumnya
dari Raja Firaun seorang raja yang mengaku dirinya adalah Allah Swt. dan
akhirnya tenggelam di laut Merah setelah laut yang terbelah oleh tongkat
Nabi Musa menutup kembali.
Begitu perjuangan Nabi Musa menegakkan agamanya kepada
kaumnya yang sempat dituduh sebagai ahli sihir dengan tongkatnya itu
oleh kaumnya. Wajah Yusuf yang membuat semua wanita yang
melihatnya jatuh cinta telah membawa Yusuf kepada tauhid yang
sebenarnya. Dzikir Zakaria yang hilang dari diri aku-lirik yang
menunjukkan bahwa aku-lirik telah lama meninggalkan ibadahnya kepada
133
Allah Swt. dengan tidak pernah mengagungkan asma Allah Swt. seperti
Zakaria yang karena cintanya kepada Allah Swt. selalu berdzikir. Aku-
lirik yang kehilangan diri, namun hal itu berbeda dengan hilangnya Isa
ketika disalib dan digantikan Yudas. Penyesalan aku-lirik lebih mendalam
ketika aku-lirik kehilangan cahaya alam semesta yakni cahaya Muhammad
sang kekasih Allah Swt., Tuhan semesta alam. Aku-lirik dalam hal ini
takut yang mendalam.
Aku-lirik telah kehilangan “kehidupan yang sungguh kehidupan”
yakni kesadarannya tentang kehidupan akhirat yang lebih kekal dari
kehidupan dunia yang hanya sementara. Aku-lirik telah terbuai rayuan
nafsu duniawinya sehingga salah dalam melangkah. Aku-lirik yang terus
diselimuti rasa penyesalan tentang apa yang telah dilakukannya sehingga
aku-lirik kehilangan ilmu pegangan hidup yang sejati. Aku-lirik merasa
dirinya telah melakukan suatu hal yang teramat kotor. Aku-lirik sadar
bahwa dunia ini tidak kekal dan akan habis. Dengan demikian dunia yang
diacu adalah dunia yang benar-benar fana dan dari yang fana itu muncul
kesadaran bahwa yang sesungguhnya kekal dan nyata hanyalah cinta
Allah Swt.
2) Dunia Diciptakan oleh Cinta
Allah Swt. berfirman: “Aku ingin (cinta) untuk dikenal, maka
kuciptakan dunia”. Sebagaimana cintanya kepada Nabi, sehingga Allah
Swt berfirman: “Jika bukan karena engkau, tidak akan Ku ciptakan surga”.
134
Aku-lirik yang telah kehilangan “kehiduan yang sungguh kehidupan”
yakni kesadarannya tentang kehidupan akhirat yang lebih kekal dari
kehidupan dunia yang hanya sementara. Aku-lirik yang terus diselimuti
rasa penyesalan tentang apa yang telah dilakukannya sehingga aku-lirik
kehilangan ilmu pegangan hidup yang sejati. Aku-lirik merasa dirinya
telah melakukan suatu hal yang teramat kotor.
Cinta Allah Swt. mengejawantahkan perbendaharaan yang
tersembunyi melalui diri para nabi dan orang-orang suci yang menjadi
motivasi terciptanya alam semesta ini. Aku-lirik sadar bahwa dunia ini
tidak kekal dan akan habis. Dengan demikian dunia yang diacu adalah
dunia yang benar-benar fana dan dari yang fana itu muncul kesadaran
bahwa yang sesungguhnya kekal dan nyata hanyalah cinta Allah Swt.
Cinta makhluk-Nya kepada Allah Swt. maupun cinta Allah Swt. kepada
makhluknya menjadi bukti bahwa cinta mengalir keseluruh urat nadi
dunia.
3) Cinta Menopang Dunia
Cinta Allah Swt. adalah mutlak di dunia ini dan tidak bisa
ditandingi oleh apapun. Semua yang ada di dunia ini sesungguhnya
mengambil bagian di dalam cinta Allah Swt. Sebagaimana Allah Swt.
menciptakan Nabi dan Rasul dengan cahaya cinta-Nya. Bagaimana Allah
Swt. menurunkan keistimewaan-keistimewaan berupa mukjizat kepada
Nabi dan Rasul agar menjadikan kaum semakin bertambah tebal imannya.
135
Allah Swt. memberikan ketegasan mengenai segala yang ada didorong
oleh kebutuhan dan hasrat bertujuan untuk menyatu dengan Allah Swt.
Rasa takut, rasa penyesalan tentang apa yang telah dilakukannya di dunia
menjadi bagian dari rasa cinta seorang hamba kepada Allah Swt.
4) Cinta dan Keindahan: Sejati dan Imitasi
Cinta manusia yang sejati dan cinta yang imitasi (cinta terhadap
segalanya yang selain-Nya) menjadi pilihan di mana seorang hamba akan
melabuhkan cintanya. Aku-lirik sebagai makhluk yang sebelumnya telah
salah dalam melangkah sehingga dia lebih mencintai Tuhan imitasinya
yakni keindahan dunia yang sesungguhnya tidak sejati. Kesadaran tentang
hal itu menjadikan aku-lirik takut dan menyesal. Bagaimana dia sadar
bahwa dia telah kehilangan keberanian kapak Ibrahim, kenyataan tongkat
Musa, pesona wajah Yusuf, keyakinan dzikir Zakaria, kenyataan hilang
Isa, dan kesejatian cinta cahaya Muhammad. Namun demikian hakikat
cinta adalah cinta kepada Allah Swt., karena segala sesuatu adalah satu
yakni Allah Swt.
5) Kebutuhan dan Keinginan
Allah Swt Sang Maha Cinta memperhatikan hasrat dan pengabdian
yang tulus dari hambanya. Ketika aku-lirik berjalan di jalan buntu, ketika
aku-lirik menanam yang hakikatnya kotor, ketika aku-lirik meninggikan
136
yang hakikatnya roboh menunjukkan kesadaran bahwa rasa cinta-Nya
kepada kekasihnya tidak sedimikan itu. Aku-lirik yang senantiasa
membutuhkan Allah Swt. menyadari atas kebutuhannya itu bukan sebagai
keinginan semata yang tak abadi sebagai cinta. Hal itu menunjukkan
keinginan dunia tidak ada bandingannya dengan kebutuhan-kebutuhan
akhirat yang abadi.
6) Agama Cinta
Cinta kepada Allah Swt. merupakan perwujudan dari ilmu yang
dimiliki aku-lirik, amal yang dimilki aku-lirik, dan realisasi kehidupan
aku-lirik. Pengetahuan aku-lirik tentang kekeliruan jalan hidupnya dan
perasaan jauh dengan kekasihnya menjadikannya sadar tentang kejadian
ketika Allah Swt. bisa saja memurkainya. Aku-lirik dalam hal ini
merasakan penyesalan mendalam sehingga dirinya takut dan sungguh-
sungguh takut. Dalam hal ini penyesalan dan ketakutan aku-lirik
bercampur karena langkahnya telah salah, salah dari jalan Allah Swt. yang
telah diwahyukan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
7) Cinta dan Akal
“Akal” sebagai hal yang bersifat ambigu dalam menghadapi
realitas yang memiliki banyak dimensi. Manusia dikaruniai akal untuk
memilah antara yang nafs, yakni di tingkatan yang lebih rendah, tapi
dalam tingkatan yang lebih tinggi memiliki kesamaan substansi dengan
para malaikat. Ketika manusia tidak lagi berakal maka dia akan berbuat
137
semaunya tanpa memikirkan akibatnya bahkan bisa jadi perbuatannya itu
melukai hati Allah Swt. Kesadaran itulah yang membuat aku-lirik
merasakan penyesalan mendalam. Aku-lirik takut dan sungguh-sungguh
takut tentang apa yang telah dilakukannya selama ini. Dalam hal ini
penyesalan dan ketakutan aku-lirik bercampur karena langkahnya telah
salah, salah dari jalan Allah Swt. yang telah diwahyukan kepada Nabi dan
Rasul-Nya. Aku-lirik yang selama ini telah terbuai rayuan nafsu
duniawinya yang dipertegas dengan kalimat “kemudian hamba tengok
kebelakang” yang dimaksudkan sebagai kehidupan kekal akhirat yang
dianggapnya masih masa depan dan berada di kehidupan nanti justru
malah berada “jauh di depan” yakni sebagai tujuan hidupnya setiap
manusia. Itulah kesadaran cinta aku-lirik yang telah disadari dengan
akalnya.
8) Kebingungan dan Kegilaan
Seorang pecinta yang gila cinta akan kebingungan, kacau
(pikirannya), dan gila. Aku-lirik mengalami ketakutan yang menggila.
Dari kecintaannya itu muncul kesadaran yang dilanjutkan dengan
ketakutannya. Ketakutan karena telah jauh dari jalan Allah Swt. yang lebih
disampaikan-Nya melalui para Nabi dan Rasul. Hal itu ditunjukkan dari
jalan yang selama ini telah salah ditempuh oleh aku-lirik. Seseorang sufi
yang merasa telah salah melangkah akan merasa ketakutan yang menggila.
Dia akan memohon-mohon ampun atas ketakutannya itu. Kesadaran
138
tentang kekalnya cinta Allah Swt.-lah yang membuatnya kebingungan dan
gila cinta Allah Swt. tersebut.
Aku-lirik yang telah kehilangan “kehidupan yang sungguh
kehidupan” yakni kesadarannya tentang kehidupan akhirat yang lebih
kekal dari kehidupan dunia yang hanya sementara. Aku-lirik merasa
dirinya telah melakukan suatu hal yang teramat kotor karena terbuai nafsu
duniawinya sehingga salah dalam melangkah dank arena kesalahannya itu
dia terus diselimuti rasa penyesalan yang mendalam. Aku lirik sadar
bahwa dunia ini tidak kekal dan akan habis. Kesadaran bahwa yang
sesungguhnya kekal dan nyata hanyalah cinta Allah Swt. telah membawa
kebingungan dan kegilaan hati dan jiwanya. Itulah wujud nyata dari cinta
sejati kepada Allah Swt.
3. Puisi “Mata Air Kesejatian” karya Emha Ainun Nadjib
Mata Air Kesejatian
Mata air kesejatian Yang setiap saat dipalsukan Meneteskan merah darah cinta Yang tak bisa ditolak Dari balik hutan Dari lembah duka derita Dari gua kegelapan Lahir mutiara Lautan jilbab Lautan pergolakan Perjuangan gelombang
139
Memendam cinta yang dijanjikan Kosong matanya Bisu mulutnya Tapi bertanyalah siapa ia “Aku ruh yang tak pernah kalian sangkal!” (Emha Ainun Nadjib, 1994. Syair Lautan Jilbab)
a. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi dalam Puisi “Mata Air Kesejatian”
karya Emha Ainun Nadjib
1) Penggantian Arti
Lautan Jilbab: lautan adalah metafora dalam baris ini yang
memiliki arti lain, sesuatu yang berarti banyak jilbab yang berkumpul
menjadi satu dengan alasan (dasar) si pemakai jilbab yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lainnya, juga karena cinta kepada Allah Swt. dan
cinta Allah Swt. Dari ribuan jilbab yang berbarengan itu nampak luas
seperti gelombang ombak lautan. Dalam hal ini lautan tidak diartikan
sebagai tempat berkumpulnya air dari segala sumber melainkan tempat
berkumpulnya jilbab dari berbagai alasan mengapa mereka memakai
jilbab.
2) Penyimpangan Arti
Kosong dan bisu: diartikan sebagai kekosongan bukan karena buta
namun karena terlampau luas cinta yang dilihat sehingga matanya tak
sanggup menampung cinta itu. Bisu, dalam hal ini bisu juga bukan berarti
tidak bisa bicara namun karena hanya cinta yang diucapkannya maka aku-
140
lirik tidak bisa berkata selain kata cintanya kepada Allah Swt. sehingga dia
dikatakan bisu. Arti yang muncul dalam kata kosong dan bisu pada puisi
“Mata Air Kesejatian” ini adalah ambiguitas yakni memiliki arti ganda.
3) Penciptaan Arti
Puisi di atas memiliki keseimbangan (simetri), baik dalam hal rima
akhirnya, baris-baris dalam baitnya, maupun antara bait yang satu dengan
yang lain. Karena sejajar timbul makna baris seperti pada bait pertama:
“yang setiap saat dipalsukan” sejajar dengan “yang tak bisa ditolak”, maka
“yang setiap saat dipalsukan” selain bermakna (Allah) disekutukan dengan
makhluk lain juga bermakna kenyataan yang benar-benar tak bisa ditolak
kesejatiannya berusaha untuk dipalsukan. Jadi, yang setiap saat dipalsukan
itu adalah sesuatu yang tak bisa ditolak kesejatiannya.
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik dalam Puisi “Mata Air
Kesejatian” karya Emha Ainun Nadjib
1) Pembacaan Heuristik
Bait (1) – (2)
Mata air kesejatian Yang setiap saat dipalsukan Meneteskan merah darah cinta Yang tak bisa ditolak Dari balik hutan Dari lembah duka derita Dari gua kegelapan Lahir mutiara
141
“//(Sebuah) air mata (yang) sejati/ Setiap saat (dapat) dipalsukan
(keberadaannya)/ Merah (gejolak) darah cinta (yang) (akan) meneteskan
(air mata)/ (yang) tidak bisa ditolak (keberadaannya)//”.
“//Dari balik hutan/ (dan) dari lembah (yang) (merasakan) duka
derita/ Dari gua (yang) (penuh) kegelapan/ Lahir(lah) (sebuah) mutiara
(yang) (memancarkan) (cahaya)//”.
Bait (3) – (4)
Lautan jilbab Lautan pergolakan Perjuangan gelombang Memendam cinta yang dijanjikan Kosong matanya Bisu mulutnya Tapi bertanyalah siapa ia “Aku ruh yang tak pernah kalian sangkal!”
“//Ini(lah) lautan (yang) (dipenuhi) (air) (dan) (tertampung) (oleh)
(sebuah) jilbab/ Lautan (yang) (penuh) (dengan) pergolakan/ (Besarnya)
perjuangan (melawan) gelombang/ Memendam (rasa) cinta sejati yang
dijanjikan (dalam diri)//”.
“//Kosong matanya (pikirannya)/ (dan) (tidak) (dapat) (berbicara)
bisu mulutnya/ Tapi (masih) (bisa) bertanya (dalam) (hati) siapa ia/ Aku
ruh (dalam) (jiwa) yang kalian tak pernah (di) sangkal//”.
2) Pembacaan Hermeneutik
Menurut KBBI (1997: 332), mata berarti pancaindera yang
dipergunakan untuk melihat, air berarti cairan jernih tidak berwarna
142
sumber kehidupan yang muncul dari bumi, sedangkan kesejatian berarti
keadaan (perihal) sejati. Dari makna leksikal tersebut makna konotatifnya
dapat diartikan kesejatian cinta kepada Allah Swt. sebagai sumber
kehidupan yang Esa.
Puisi “Mata Air Kesejatian”, merupakan kiasan ungkapan rasa
cinta pada Allah karena Allah merupakan sumber kesejatian dan sumber
kehidupan. Bait pertama di atas, “mata air” sebagai sumber kehidupan di
bumi menjadi metafora-pernyataan yang bermakna luas. Makna-makna
yang dikembalikan ke dalam dunia menjadikan pemahaman tentang logika
ketuhanan sampai pada pembaca. “Yang setiap saat dipalsukan”, memiliki
makna bahwa Allah Swt. yang senantiasa disekutukan dengan ciptaan-
ciptaan Allah Swt. lainnya. Allah Swt. Sang Maha Cinta akan
“meneteskan merah darah cinta” ketika hati-Nya terlukai. Kesadaran aku-
lirik tentang hal tersebut membuat pemahaman baru tentang sedikitnya
kesadaran aku-lirik yang disadari oleh manusia pada umumnya.
Sedangkan aku-lirik yang sadar saja merasa takut jika Allah Swt. marah
karena disekutukan maka balasan-Nya tidak bisa ditolak. Semua sudah
jelas bahwa tidak ada ampunan bagi siapapun yang menyekutukan Allah.
Hal tersebut ditegaskan dengan kalimat pada baris terakhir bait pertama
“Yang tak bisa ditolak”, yang menjadi metafora pernyataan atas janji-janji
Allah Swt.
143
Bait kedua memperlihatkan satu konstruksi proposisi yang
terbangun atas identifikasi-singular “sesuatu” belum dijelaskan secara
eksplisit dan “lahir”, prediksi-universal “dari balik hutan”, “dari lembah
duka derita”, “dari gua kegelapan”, dan “mutiara” sebagai pelengkapnya.
Bait ini memberikan ide wacana yang berhubungan dengan bait pertama
yakni tentang citra simbolik “Mata air kesejatian”, di mana mata air akan
muncul di “hutan, di lembah dan di gua”. “Mutiara” diartikan sebagai
cinta atas endapan-endapan “kesejatian” Allah Swt. sebagai Sang Maha
Cinta.
Menurut kaum sufi hal ini menunjukkan peranan manusia di bumi,
dengan mengadakan hubungan-hubungan horizontal dan secara vertikal.
Manusia dituntut untuk menciptakan hubungan yang baik, baik dengan
sesama manusia, manusia dengan alam, bahkan manusia dengan Allah
Swt. Dalam mengarungi kehidupan diperlukan sumber kehidupan. Muara
dari semua itu adalah Allah Swt. Allah-lah sumber dari segala sumber
yang melahirkan “mutiara” cintaNya kepada alam semesta di kehidupan
ini.
Bait ketiga di atas menjadi subjek-pokok yang eksplisit sebagai
“lautan jilbab” yang “memendam cinta yang dijanjikan”. Hal ini tampak
adanya harapan dari kebutuhan cinta ilahiah. Seperti halnya kaum sufi
yang menganggap cinta sebagai ruh kehidupan penyepuh hati dan rasa
aman bagi umat manusia. Mereka mengatakan “Seandainya kasih sayang
144
mendominasi kehidupan, manusia tidak lagi memerlukan keadilan dan
undang-undang” citra simbolik “gejolak” yang digambarkan “lautan”
tidak akan terjadi.
Keteguhan hati para wanita yang membungkus auratnya karena
cintanya kepada Allah Swt., dan keteguhan hatinya yang bergejolak
menanti-nanti jawaban atas cintanya kepada Allah Swt. Kaum berjilbab
yang sungguh-sungguh ingin menutupi dirinya dari apapun dan siapapun
akan mempersembahkan dirinya sendiri untuk Allah Swt. sebagai cintanya
yang sejati. Kehidupan yang hakikatnya adalah kebaikan dan kebenaran
cinta yang mutlak dengan keikhlasan dan ketulusan hati yaitu sikap batin
yang murni dari jilbab.
Sebagai muara “mata air”, Allah Swt. yang tidak pernah bisa
disangkal keberadaannya membuat semua mata dibutakan cinta kepada-
Nya, membuat semua mulut dibisukan cinta kepada-Nya. Bait keempat
puisi di atas menjadi jawaban atas identifikasi-singular yang belum
dijelaskan pada bait kedua. Hubungan pernyataan pada bait pertama dan
kedua yang berkaitan pada bait empat ini terjawab. Dalam hal ini
penegasan tentang keagungan Allah Swt. sebagai sumber segala sumber
yang sejati.
145
c. Matriks, Model, Varian-varian dalam puisi “Mata Air Kesejatian”
karya Emha Ainun Nadjib
Matriks pada puisi “Mata Air Kesejatian” adalah kesejatian cinta
yang ditransformasikan menjadi varian-varian pada bait pertama, kedua,
ketiga, keempat, sebagai berikut: (1) Mata air kesejatian, (2) Dari balik
hutan, (3) Lautan jilbab, (4) “Aku ruh yang tak pernah kalian sangkal!”.
Varian-varian pertama “Mata air kesejatian” merupakan gambaran
Allah Swt. sebagai mata air yang sejati yang memberikan kehidupan di
alam raya ini. Varian kedua “Dari balik hutan” memberikan gambaran
bahwa sumber kehidupan itu ada pada alam semesta ini dan cinta Allah
Swt. juga ada disana karena Allah Swt. menciptakan alam raya ini dengan
cinta-Nya. Varian ketiga “lautan jilbab”, berarti cinta Allah Swt.
tertampung pada lautan jilbab yang sungguh-sungguh mencintai Allah
Swt. dan berbalas dengan dialiri cinta Allah Swt. Varian keempat, “Aku
ruh yang tidak pernah kalian sangkal!”, merupakan pernyataan yang
menegaskan bahwa kesejatian hanyalah milik Allah Swt.
d. Hubungan Intertekstualitas Puisi “Mata Air Kesejatian”.
Puisi “Mata Air Kesejatian” yang ditulis Emha Ainun Nadjib pada
tahun 1994, memiliki hubungan intertekstual dengan karya Amir Hamzah
"Padamu Jua", dan "Hanya Satu", menunjukkan adanya persamaan dan
hubungan. Ada gagasan dan ungkapan Amir Hamzah yang dapat ditulis
146
kembali dalam sajak Emha Ainun Nadjib. Namun ada beberapa perbedaan
masing-masing dalam cara mengekspresikan gagasan religisitas.
Religisitas ini menurut Paul Tilich, filusuf Profetik, disebut
sebagai "dimensi kedalaman". Menurutnya manusia menjadi religius
sebab dengan penuh kecintaan dan kerinduan kepada Tuhannya
menayakan tentang eksistensinya dan sangat menginginkan memperoleh
jawaban, sekalipun mungkin jawaban akan menyakitkan. Seorang religius
adalah mereka yang mencoba mengerti hidup dan kehidupan secara lebih
dalam dari pada batas lahiriah semata yang bergerak dalam dimensi
vertikal dari kehidupan ini dan mentransendensikan hidup.
Dalam sajak Amir Hamzah menyampaikan dimensi religisitas
yang penting, yakni manusia tidak mungkin menemukan dirinya tanpa
terlebih dahulu menemukan Tuhannya, pencipta yang menjadi sumber
keberadaanya. Segi lain religisitas adalah tolak ukurnya yang hakiki,
sebagai mana pernah diungkap oleh Roger Garaudy, yakni untuk
menyampaikan makna dari realitas yang tidak tampak, yang berbeda
dibalik gejala yang tampak (1984: 141-146). Hal ini terbukti dalam sajak
"Padamu Jua".
....... Dimana engkau Rupa tidak Suara sayup Hanya kata merangakai hati .......
147
Bahwa Amir Hamzah menemukan keberadaan Tuhan dalam
puisinya. Timbul gejolak jiwa yang dialami si aku dalam puisi Amir
Hamzah timbul keraguan akan adanya Tuhan namun hal itu terjawab
dengan sebagai berikut.
..... Kasihmu sunyi Menunggu seorang diri Lalu waktu-bukan giliranku Mati hari-bukan kawanku .....
Berdasarkan hal itu rupanya menurut si aku orang hanya
menemukan Tuhan secara langsung bila sudah mati. Si aku tetap tak
menemukan tuhan karena masih hidup. Sementara kehidupan di dunia ini
hanya cara kita berbuat baik untuk bertemu dengan Tuhan, mensyukuri
karunia dan kebesaran Tuhan. Hal ini dijelaskan dalam puisi "Hanya Satu"
Hanya Satu ...... Teriak riuh redam terbelam Dalam gagap gempita guruh Kilau kilat membelah gelap Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik juang bertudung Tempat berteduh nuh kekasihmu Bebas lepas lelang lapang Ditengah gelisah swara sentosa Bersemayam sempana dijemala gembala Juriat jelita bapaku ibrahim Keturunan intan dua cahaya Pancaran putra memungkinkan bunda Kini kami bertikai pangkai
148
Diantara dua, mana mutiara Jauhari anggota default menilai Lengah langsung melewat abad .....
Dalam sajak ini digambarkan betapa hebat kekuasan Tuhan. Ia
menurunkan hujan lebat dan membangkitkan badai menenggelamkan
bumi dan merusak, menghancurkan taman dunia yang indah. Betapa
dahsyatnya bencana yang ditimpakannya pada dunia. Ditengah alam dan
bencana yang dahsyat itu manusia hanya kecil saja, sia-sia tak berdaya
menghadapinya. Teriak manusia yang riuh menjadi lenyap dalam suara
guruh yang gegap gempita, dalam suasana yang menakutkan kilat
sambung menyambung melenyapkan kegelapan. Namun, Tuhan akan
melepaskan umat manusia yang percaya kepadanya dari bencana itu.
Dalam mencari keberadan Tuhan Amir Hamzah menemukan jalan
buntu karena semua permintaan dan pertanyaan tidak dijawab oleh Tuhan.
Tetapi, kemudian ia (si aku) merasa salah arah hingga hancur segala
harapannya. Si aku kemudian insyaf akan kedurhakannya terhadap tuhan.
Dengan demikian, ia mendengar suara merdu yang samar-samar (yaitu
tuhan yang terasa dihatinya) yang menghiburnya, karena cintanya yang
sejati ini menyebabkan si aku rindu bertemu dengan Tuhan. Kecintaan dan
kerinduan ini tampak dalam puisi Emha Ainun Nadjib “Mata Air
Kesejatian”.
149
…. Lautan Jilbab Lautan pergolakan Perjuangan gelombang Memendam cinta yang dijanjikan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa saja “Mata
Air Kesejatian” merupakan trnsformasi dari sajak “Padamu jua” dan
“Hanya satu”. Ide dari sajak “Padamu jua” dan “Hanya satu”
ditransformasikan ke dalam tema tentang kecintaannya sejati dalam
menjalani kehidupan dan kerinduannya terhadap Tuhannya dalam sajak
“Mata Air Kesejatian”.
e. Konsep Cinta Menurut Sufisme dalam Puisi “Mata Air Kesejatian”
karya Emha Ainun Nadjib
1) Tuhan adalah Cinta dan di Seberang Cinta
Allah Swt. adalah sumber kehidupan di dunia ini. Allah Swt.
sebagai sumber cinta di alam semesta dimaknai menjadi metafora-
pernyataan sebagaimana fungsi “mata air” sebagai sumber kehidupan di
bumi. Cinta sebagai sifat Allah Swt. dan Allah-lah muara dari segala cinta,
antara cinta-Nya kepada manusia dan cinta manusia kepada-Nya. Allah
Swt Sang Maha Cinta akan “meneteskan merah darah cinta” ketika hati-
Nya terlukai. Kesadaran aku-lirik tentang hal tersebut membuat
pemahaman baru tentang sedikitnya kesadaran aku-lirik yang disadari oleh
manusia pada umumnya. Sedangkan aku-lirik yang sadar saja merasa takut
150
jika Allah Swt. marah karena disekutukan maka balasan-Nya tidak bisa
ditolak. Semua sudah jelas bahwa tidak ada ampunan bagi siapapun yang
menyekutukan Allah Swt.
Dengan mengadakan hubungan-hubungan secara horizontal dan
secara vertikal manusia dituntut untuk menciptakan hubungan yang baik,
baik dengan sesama manusia, manusia dengan alam, bahkan manusia
dengan Allah Swt. Menurut kaum sufi hal ini menunjukkan peranan
manusia di bumi. Di dalam mengarungi kehidupan diperlukan sumber
kehidupan. Muara dari semua itu adalah Allah Swt. Keteguhan hati para
wanita yang membungkus auratnya karena cintanya kepada Allah Swt.
dan keteguhan hatinya yang bergejolah menanti-nanti jawaban atas
cintanya kepada Allah Swt. Kaum berjilbab yang sungguh-sungguh ingin
menutupi dirinya dari apapun dan siapapun akan mempersembahkan
dirinya sendiri untuk Allah Swt. sebagai cintanya yang sejati. Hal ini
menjadi penegasan tentang keagungan Allah Swt. sebagai sumber segala
sumber yang sejati.
2) Dunia Diciptakan oleh Cinta
Dunia diciptakan Allah dengan cinta. Sebelum Allah Swt.
menciptakan dunia, Allah menciptakan dulu nur Muhammad, Allah Swt.
berfirman, “jika bukan karena engkau (Muhammad) tidak akan Ku-
ciptakan surga”. Cinta Allah mengejawantahkan perbendaharaan yang
tersembunyi melalui diri para nabi dan orang-orang suci yang menjadi
151
motivasi terciptanya alam semesta ini. Tidak terkecuali kepada kaum sufi
yang menganggap tataran sufi tertinggi adalah cinta. Cinta makhluk-Nya
kepada Allah Swt. maupun cinta Allah Swt. kepada makhluknya.
Allah sebagai sumber dari segala sumber mengalirkan cinta-Nya
keseluruh urat nadi dunia. Maka lahirlah “mutiara” di dunia yang “hutan”,
yang “lemah”, dan yang “gua”. Keteguhan hati para wanita yang
membungkus auratnya karena cintanya kepada kepada Allah Swt. dan
keteguhan hatinya yang bergejolah menanti-nanti jawaban atas cintanya
kepada Allah Swt. Kaum berjilbab yang sungguh-sungguh ingin menutupi
dirinya dari apapun dan siapapun akan mempersembahkan dirinya sendiri
untuk Allah Swt. sebagai cintanya yang sejati. Allah Swt. sebagai “mata
air kesejatian”, yang tiada pernah bisa “disangkal” keberadaannya
membuat semua mata dibutakan dan mulut-mulut tidak bergeming karena
cinta kepada-Nya.
3) Cinta Menopang Dunia
Allah Swt. sebagai sumber segala sesuatu menciptakan dunia yang
bersumber dari cinta-Nya. Allah Swt. Sang Sumber Cinta akan
“meneteskan merah darah cinta” ketika hati-Nya terlukai. Kesadaran aku-
lirik tentang hal tersebut membuat pemahaman baru, sedikitnya kesadaran
tentang perasaan takut jika Allah Swt. murka karena disekutukan oleh
hamba-hamba-Nya. Allah Swt. akan memberikan balasan yang tidak bisa
152
ditolak. Semua sudah jelas bahwa tidak ada ampunan bagi siapapun yang
menyekutukan Allah Swt.
Seperti halnya kaum sufi yang menganggap cinta sebagai ruh
kehidupan penyepuh hati dan rasa aman bagi umat manusia. Segala yang
ada didorong oleh kebutuhan dan hasrat terhadap keinginan yang lain dan
berjuang untuk menyatu dengan mereka. Karenanya, setiap cinta
individual adalah sumber perantara seluruh gerakan dan perbuatan. Ketika
wanita menggunakan jilbab sebagai perantara cintanya kepada Allah Swt.,
maka keteguhan hati para wanita yang membungkus auratnya dan
keteguhan hatinyalah yang bergejolah menanti-nanti jawaban atas
cintanya kepada Allah Swt. Semua itu adalah untuk menyadari bahwa
Allah Swt. benar-benar tidak bisa “disangkal” sebagai sumber cinta sejati
di dunia ini.
4) Cinta dan Keindahan: Sejati dan Imitasi
Cinta sejati dan cinta imitasi. Allah-lah “mata air” cinta dan
keindahan sejati. Namun demikian cinta dan keindahan itu bisa saja
menjadi imitasi ketika manusia tidak tahu mana yang sejati dan mana yang
imitasi. Seperti dijelaskan pada puisi “Mata Air Kesejatian” bahwa Allah
Swt. akan “meneteskan merah darah cinta” ketika “dipalsukan”
(disekutukan). Namun demikian, cinta dan keindahan yang imitasipun
bersumber dari cinta dan keindahan yang sejati dari Allah Swt. Seorang
pecinta mengetahui kekasih sejati melalui kekasih-kekasih imitasi.
153
Berdasarkan atas pengujian yang lebih dekat, orang melihat cinta
sesungguhnya adalah cinta kepada Allah Swt., karena segala sesuatu
adalah pantulan dan bayang-bayang-Nya. Sedangkan adanya perbedaan
antara dua jenis cinta tersebut karena orang memahami yang ada hanya
Allah Swt. dan untuk-Nya semata, sementara yang lainnya meyakini
adanya keterlepasan eksistensi dari segala objek keinginan dan
mengarahkan cinta terhadapnya. Hanyalah “mata air yang sejati” yang
tidak bisa ditolak kemurniannya. Ketika mata air itu berasal dari “hutan”,
dari “lembah”, maupun dari “gua”, maka kesejatian cinta akan menjelma
menjadi “mutiara”. Hal inilah yang menjadikan cinta begitu dirindukan
oleh para wanita berjilbab. Namun demikian entah sejati ataukah hanya
imitasi yang jelas hanya Allah Swt. Sang Sumber Cintalah yang
mengetahui tentang dasar semua itu dan menentukan hal itu sebagai
“kepalsuan” atau tidak.
5) Kebutuhan dan Keinginan
Allah Swt. sebagai Yang Tercinta memperhatikan hasrat dan
pengabdian yang tulus. Ketika menjadi “mata air” itu bermakna Dia
“meneteskan merah darah cinta” ketika “dipalsukan”. Kebutuhan atas diri-
Nya menjadikan lahirnya “mutiara”. Allah Swt. menjanjikan cinta-Nya
kepada para wanita yang menjilbabi auratnya juga dunianya. Di “kosong
mata” kaum wanita akan melihat cinta-Nya dan di “bisu mulut” maka
154
kaum wanita akan berbicara tentang cinta-Nya. Dia-lah Allah Swt.,
sumber yang sejati dan “tak pernah bisa disangkal”.
6) Agama Cinta
Islam adalah agama cinta. Cinta pada Allah Swt. merupakan
implikasi dari ilmu, amal, dan realisasi dalam agama Islam. Allah Swt.
sebagai sumber dari kebenaran sejati dan tiada bisa dipalsukan. Kaum
wanita berjilbab yang dikaruniai cinta menanti janji cinta sejati-Nya.
Jilbab dalam Islam merupakan representasi dari nafs al-mu’minaat yang
telah dibersihkan (al-muththahharuun), cahaya iman yang telah diberikan
pakaian taqwa, dan karenanya jilbab juga merupakan representasi dari
akhlaq yang mulia yakni keikhsanan. Dalam hal ini penantian tentang
cinta Allah Swt. sebagai sumber segala sumber yang sejati.
7) Kebingungan dan Kegilaan
Tanda manusia sebagai seorang pecinta adalah kebingungan,
kekacauan (pikiran), dan kegilaan. Seperti halnya kaum berjilbab sebagai
manusia pecinta, yang gila atas cinta yang dijanjikan Allah Swt. kepada
mereka. Hal ini terkait dengan cinta sejati dan imitasi yang diterangkan di
atas. Bahwa Allah Swt. akan “meneteskan merah darah cinta” jika
dipalsukan kesejatiannya sebagai “mata air”. Namun demikian ketika
kaum wanita berjilbab dibutakan matanya dan dibisukan mulutnya maka
itu berarti mereka sungguh-sungguh dalam mencintai Allah Swt. sebagai
Sang Maha Cinta.
155
4. Puisi “Cahaya Aurat” karya Emha Ainun Nadjib
Cahaya Aurat
Ribuan jilbab berwajah cinta Membungkus rambut, tubuh sampai ujung kakinya Karena hakekat cahaya Allah Ialah terbungkus di selubung rahasia Siapa bisa menemukan cahaya? Ialah suami, bukan asal manusia Jika aurat dipamerkan di koran dan di jalanan Allah mengambil kambali cahayaNya Tinggal paha mulus dan leher jenjang Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada Para lelaki yang memelototkan mata Hanya menemukan benda Jika wanita bangga sebagai benda Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya Jika lelaki terbius oleh keayuan dunia Luntur manusianya, tinggal syahwatnya. (Emha Ainun Nadjib, 1994. Syair Lautan Jilbab)
a. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi dalam Puisi “Cahaya Aurat” karya
Emha Ainun Nadjib
1) Penggantian Arti
Kaum wanita yang “membungkus rambut, tubuh sampai ujung
kakinya” memiiki kesadaran tentang hakikatnya cahaya Allah Swt. yang
terbungkus rahasia. Arti dari jilbab yang sebenarnya hanya pembungkus
rambut sebagai aurat wanita telah bertambah fungsi sebagai pembungkus
156
jiwa yang rahasia. Metafora yang menyatakan sesuatu yang lain sebagai
sesuatu yang seharga namun tidak sama. Dalam bait ketiga baris ketiga
dan empat menjelaskan kepada para lelaki yang suka memandangi bahkan
menyukai juga ingin memiliki sesungguhnya mereka hanya akan
mendapatkan “benda”. Cahaya cinta Allah Swt. yang menyelubungi aurat
wanita akan dibuka ketika para wanita membuka dan memamerkan
auratnya. Metafora yang muncul adalah sebagai arti kiasan yang bermakna
wanita yang membuka auratnya sama saja sebagai benda yang tak ada
harganya. Penggantian arti di atas tadi adalah penyebab wanita tidak
berharga, karena diambil cahaya cintanya oleh Allah Swt.
2) Penyimpangan Arti
Ambiguitas terjadi pada penafsiran yang mengandung banyak arti
“//Siapa bisa menemukan cahaya?/ Ialah suami, bukan asal manusia/…”,
hal ini dapat ditafsirkan dengan arti ganda. Suami sebagai kekasih
“imitasi” karena kekasih sejati wanita itu adalah Allah Swt. Allah Swt.
yang mengaruniai cahaya cinta membiarkan cahayanya dibuka oleh suami
sebagai kekasih imitasinya. Hal tersebut karena kekasih “imitasinya”
tersebut adalah bagian dari cinta sejati Allah Swt. Namun demikian, hal
itu bisa ditafsirkan jika cahaya yang rahasia dari kaum wanita itu hanyalah
bisa dimiliki oleh lelaki yang menjadi suaminya. Jelas lelaki itu adalah
lelaki pilihan Allah Swt. yang juga dicintainya. Oleh karena itu cahaya
157
sebagai makna dari kecucian memang dikaruniakan Allah Swt. untuk
suaminya tersebut.
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik dalam Puisi “Cahaya Aurat”
karya Emha Ainun Nadjib
1) Pembacaan Heuristik
Bait (1) - (2)
Ribuan jilbab berwajah cinta Membungkus rambut, tubuh sampai ujung kakinya Karena hakekat cahaya Allah Ialah terbungkus di selubung rahasia Siapa bisa menemukan cahaya? Ialah suami, bukan asal manusia Jika aurat dipamerkan di koran dan di jalanan Allah mengambil kambali cahayaNya “//Ribuan (orang) berjilbab (memancarkan) wajah (penuh)
(dengan) cinta/ (Menutupi) rambut, tubuh sampai ujung kakinya/ Karena
(mendapat) (petunjuk) cahaya (dari) Allah (Swt.)/ Terbungkus (jilbab)
diselubung rahasia//”.
“//Siapa (yang) bisa menemukan (sebuah) cahaya?/ (Dialah) suami,
bukan asal (mula) manusia/ Jika aurat (sudah) dipamerkan di koran dan di
jalanan/ Allah (akan) mengambil kembali cahayaNya (yang) (telah)
(berikan) (hambanya)//”.
158
Bait (3) – (4)
Tinggal paha mulus dan leher jenjang Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada Para lelaki yang memelototkan mata Hanya menemukan benda Jika wanita bangga sebagai benda Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya Jika lelaki terbius oleh keayuan dunia Luntur manusianya, tinggal syahwatnya.
“//Tinggal leher jenjang dan paha mulus/ Warna buah dada dan
bentuk pinggul (yang) (dipertontonkan)/ (Hanya) para lelaki yang
melototkan matanya (untuk) (memandangnya)/ Menemukan benda yang
(berada) (pada) (wanita) (dipandanginya)”//.
“//Jika wanita bangga sebagai benda (untuk) (dipandanginya)/
Turun derajat ke tingkat (paling) (rendah) kemakhlukannya/ Jika lelaki
terbuai keayuan wanita (dan) dunia(nya)/ Luntur manusianya, (dan)
tinggal syahwatnya//”.
2) Pembacaan Hermeneutik
Menurut KBBI ( 1997: 85 ), cahaya berarti sinar/ terang (dari
sesuatu yang bersinar seperti matahari, bulan, lampu) yang mungkin mata
menangkap bayangan benda-benda sekitarnya, sedangkan aurat berarti
bagian tubuh yang tidak bisa terlihat. Dari makna leksikal tersebut, makna
konotatifnya dapat diartikan sebagai hal yang harus ditutup oleh tabir
sebenarnya terselubung cahaya Allah Swt.
159
Puisi Cahaya Aurat merupakan kiasan cahaya sebagai sesuatu
yang menyinari memberikan penerangan, pencerahan dan aurat sebagai
hal yang harus ditutup oleh tabir sebenarnya terselubung cahaya Allah
Swt. Bait pertama, “Ribuan jilbab berwajah cinta” adalah kata kunci. Dari
kata itulah dimulai pengembangan pikiran sajak. Kata “cinta” sebagai
kepemilikan sifat manusiawi. Kata tersebut menunjukkan adanya relasi
aku-lirik kepada Allah Swt. Ada simbol yang berkaitan dalam hal ini,
yakni kata “cinta” dan “cahaya. “Cinta” yang dimiliki oleh wajah ribuan
jilbab (wanita berjilbab) dan “cahaya” Allah Sang Maha Cahaya sebagai
cinta sejati. Wanita yang “membungkus rambut, tubuh sampai ujung
kakinya” memiliki kesadaran tentang hakekat cahaya Allah Swt. yang
terbungkus rahasia, itu artinya belum diketahui. “Selubung rahasia”
sendiri memiliki makna sebagai suatu hal yang ada namun disembunyikan.
Hal tersebut dijelaskan pada bait kedua sebagai berikut.
Sebuah pertanyaan yang membuat pernyataan pada bait pertama
muncul, “Siapa bisa menemukan cahaya” (dalam hal ini cahaya cinta para
wanita, bukan cahaya cinta Allah Swt.). Keberuntungan itu terjatuh pada
para suami dari wanita itu. Pada baris kedua bait kedua ini memberikan
jawaban bahwa wanita sebagai yang terselubung rahasia akan dibuka oleh
suami-suami mereka yang bukan asal manusia. Itu artinya cahaya Allah
Swt. yang masih dirahasiakan pada bait pertama sudah terbuka.
160
Namun demikian jika para wanita memamerkan auratnya di koran
dan di jalanan maka cahaya-Nya yang dikaruniakan kepada wanita-wanita
itu akan diambil kembali. Hal ini disebabkan para wanita-wanita itu akan
diambil kembali. Hal ini disebabkan para wanita tidak bisa merawat
cahaya-Nya yang rahasia. Aurat sebagai cahaya para wanita seharusnya
hanya diberikan kepada suaminya, suaminya itupun adalah manusia yang
“bukan asal manusia”. Ketika auratnya diumbar di mana-mana maka yang
kasihan tidak hanya auratnya si wanita namun juga para suami mereka
karena aurat istrinya sudah dijajakan di koran dan di jalanan. Hal tersebut
dijelaskan pada bait ketiga.
Bait ketiga ini memberikan penjelasan dari dua bait sebelumnya
sebagai identifikasi-singular. Penjelasan terhadap permasalahan yang
terjadi yakni aurat wanita yang diumbar ke mana-mana. Hal yang
dimunculkan pada bait ketiga ini memperjelas jawaban atas pernyataan
dan pertanyaan yang muncul. “//Tinggal paha mulus dan leher jenjang/
Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada//”, menjadi jawaban aku-
lirik yang menyatakan bahwa yang terjadi ketika aurat para wanita di buka
yang terjadi adalah bentuk benda karena cahaya-Nya telah diambil. Dua
baris selanjutnya menjelaskan kepada para lelaki yang suka memandangi
para wanita yang menampilkan auratnya. “Ketika para lelaki yang
melototkan mata hanya menemukan benda”.
161
Dengan demikian, bentuk makna tentang “cahaya aurat” dalam
puisi ini tersampaikan secara menyeluruh. Penyampaian kepada para
wanita yang diwajibkan untuk tidak memamerkan auratnya juga
penyampaian kepada para lelaki untuk tidak hanya melihat para wanitanya
dari bentuk fisiknya saja namun cahaya cinta Allah dalam dirilah yang
terpenting. Oleh karena itu, kesadaran aku-lirik untuk menjelaskan tentang
“cahaya aurat” dan “cahaya Allah” yaitu tentang dunia dan tubuh yang
bisa menjadi perangkap manusia dalam hidupnya. Maka dari itu, hidup
harus memiliki kesadaran tentang apa yang diinginkan dan tentang apa
yang dibutuhkan.
c. Matriks, Model, dan Varian-varian dalam Puisi “Cahaya Aurat”
karya Emha Ainun Nadjib
Matriks pada puisi Cahaya Aurat adalah hakikat cahaya aurat
kaum wanita yang dibuktikan dengan menutup auratnya yang
ditransformasikan menjadi varian-varian pada bait pertama, kedua, ketiga,
keempat, kelima sebagai berikut: (1) Karena hakekat cahaya Allah, (2)
Jika aurat dipamerkan di koran dan di jalanan, (3) Allah mengambil lagi
cahayanya, (4) Jika wanita bangga sebagai benda, (5) Turun ketingkat batu
derajat kemakhlukannya.
Varian pertama “Karena hakekat cahaya Allah” merupakan
penjelasan tentang sebab segala sebab adalah cahaya Allah Swt. Varian
162
kedua “Jika aurat dipamerkan di koran dan di jalan” merupakan sebab
tentang aurat yang dipamerkan maka akan menimbulkan beberapa hal
yang menjadi akibat. Varian ketiga “Allah mengambil kembali
cahayanya”, merupakan akibat yang tersebab dari para wanita dari wanita
yang memamerkan auratnya. Varian keempat, “Jika wanita bangga
sebagai benda”, merupakan penjelasan tentang pilihan kepada wanita,
apakah ia bangga dengan auratnya ataukah ia akan membungkus auratnya.
Varian kelima “Turun ketingkat batu derajat kemakhlukannya”,
merupakan penegasan tentang akibat jika wanita memamerkan auratnya.
d. Hubungan Intertekstualitas puisi “Cahaya Aurat”
Secara intertekstual, puisi “Cahaya Aurat” merupakan
transformasi ide dari pemahaman Ustz Hj. Herlini Amran dalam karyanya
“aurat wanita”, menurut Amran, aurat adalah bagian tubuh yang tidak
patut diperlihatkan kepada orang lain. Wanita itu aurat, maka bila ia keluar
rumah, setan terus memandanginya untuk menghias-hiasinya dalam
pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah. Yang namanya aurat berarti
membuat malu bila terlihat orang lain hingga perlu ditutupi dan dijaga
dengan baik. Karena wanita itu aurat, berarti mengundang malu bila
sampai terlihat lelaki yang bukan mahramnya. Sehingga tetap tinggal di
dalam rumah itu lebih baik bagi si wanita, lebih menutupi dirinya dan
lebih jauh dari fitnah (godaan/gangguan). Bila ia keluar rumah, setan
163
berambisi untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang-orang dengan
sebab dirinya.
Islam adalah agama universal yang memiliki makna menampakkan
ketundukan dan melaksanakan syariah serta menetapi apa saja yang
datang dari Rasulullah. Semakna dengan hal ini, Allah juga
memerintahkan umat Islam agar masuk ke dalam Islam secara
keseluruhan. Yakni, memerintahkan kaum muslimin untuk mengamalkan
syariat Islam dan cabang-cabang iman yang begitu banyak jumlah dan
ragamnya. Mengamalkan apa saja yang diperintahkan dan meninggalkan
seluruh yang dilarang semaksimal mungkin.
Namun, dewasa ini banyak nilai-nilai Islam yang ditinggalkan oleh
kaum muslimin. Salah satunya adalah dalam masalah jilbab. Hal ini
tampak dari banyaknya kaum muslimah yang tidak mempraktikkan syariat
ini dalam keseharian mereka. Akibatnya, mereka kehilangan identitas diri
sebagai muslimah sehingga sulit dibedakan mana yang muslimah dan non-
muslimah. Fenomena tersebut bisa disebabkan oleh ketidaktahuan,
keraguan, ataupun terbelenggu dalam hawa nafsu. Namun, yang lebih
bahaya dari itu semua adalah adanya usaha pengkaburkan bahwa jilbab
bukanlah sebuah kewajiban agama, melainkan produk budaya Arab.
164
Pengkaburan dari pemikiran yang benar ini telah dilakukan oleh beberapa
pihak, baik dari luar umat Islam maupun dari dalam umat Islam sendiri.
Sajak “Cahaya Aurat” dijajarkan dengan pemahaman Arman,
tampak adanya hubungan intertekstual. pemahaman Arman oleh penyair
ditransformasikan ke dalam bait pertama sampai keempat puisi “Chaya
Aurat” dalam rangka fungsi agar kita selalau memahami hakikat kecintaan
kaum wanita kepada Allah Swt. yang telah dibuktikan dengan menutup
auratnya.
Pemahaman Arman tentang memakai pakaian atau hijab yang
benar akan mendatangkan berbagai keutamaan dan kebaikan, terutama
pada sikap dan perilaku. Oleh karenanya, syari’at islam telah mengajarkan
untuk berakhlak yang baik dalam bergaul dan berpakaian yang sopan
dalam kehidupan sehari-hari. Menutup aurat mengisyaratkan bahwa
berpakaian rapih dan sopan sebagaimana yang dikehendaki agama dapat
memberi rasa tenang dalam jiwa pemakainya. Ketenangan batin itu
merupakan dampak yang dikehendaki oleh agama dan menutup aurat
menjadi sebuah tuntutan syari’at guna menjaga wanita dari segala
musibah.
Adanya persamaan antara puisi “Chaya Aurat” dengan
pemahaman Arman adalah tentang perintah Allah Swt. kepada kaum
wanita untuk menutupi auratnya. Jilbab sebagai penutup aurat
memancarkan “cahaya cinta”, juga hakekat Allah Swt. sebagai “cahaya
165
cinta” yang “terselubung rahasia”. Ketika kaum wanita memamerkan
auratnya yang seharusnya dirahasiakan dari pandangan mata para lelaki
yang belum tentu menjadi suaminya maka dia menjadi orang yang tidak
beruntung. Ketika hal itu terjadi maka tinggal benda yang ada pada diri
wanita itu. Allah Swt. bahkan akan menurunkan derajat kemanusiaan
wanita itu juga lelakinya ketika wanita itu memamerkan auratnya dan
lelaki itu memelototkan mata pada aurat kaum wanita. Seharusnya aurat
wanita itu hanya boleh diperlihatan kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-
putera saudara lelaki mereka, atau saudara-saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
e. Konsep Cinta Menurut Sufisme dalam Puisi “Cahaya Aurat” karya
Emha Ainun Nadjib
1) Tuhan adalah Cinta dan di Seberang Cinta
Kata cinta sebagai kepemilikan sifat manusiawi juga merupakan
sifat Allah. “Cinta” dan “Cahaya” memiliki keterkaitan dalam puisi
“Cahaya Aurat” ini. Jilbab sebagai pembungkus aurat memancarkan
“cahaya cinta”, juga hakikat Allah Swt., sebagai “cahaya cinta” yang
“terselubung rahasia”. Cinta yang mendalam dari ribuan wanita yang
166
berjilbab kepada Allah Swt. akan menerobos cahaya Allah yang masih
terbungkus rahasia (dalam arti masih belum diketahui).
Kaum wanita yang “terbungkus rahasia” maka cahayanya akan
diterobos oleh cinta sejati, dan cinta sejati itu dimiliki oleh “suami”
mereka yang “bukan asal manusia”. Dalam puisi “Cahaya Aurat” ini
dijelaskan bahwa Allah Swt. akan mengambil cahaya cinta-Nya sebagai
muara dari segala cinta, antara cinta-Nya kepada manusia dan cinta
manusia kepada-Nya. Jika kaum wanita memamerkan auratnya yang
seharusnya dirahasiakan dari pandangan mata para lelaki yang belum tentu
menjadi suaminya. Ketika hal itu terjadi maka tinggal benda yang ada
pada diri si wanita itu. Allah Swt. sebagai cahaya cinta bahkan akan
menurunkan derajat kemanusiaan si wanita juga lelakinya ketika si wanita
memamerkan auratnya dan si lelaki yang suka memelototi aurat wanita.
2) Dunia Diciptakan oleh Cinta
Dunia yang tak selebar daun kelor bagi Allah Swt. sesungguhnya
tercipta dari cinta Allah Swt. yang besarnya berlipat-lipat melebihi alam
semesta. Allah Swt. yang menciptakan nur Muhammad sebagai sebab
diciptakannya dunia. Hal tersebut menjadi dasar pengejawantahan cinta-
Nya kepada makhluk-Nya, dan sebagai hasilnya, cinta mengalir keseluruh
penjuru dunia. Pada “lautan” yang luas tak terhingga menjadi citraan imaji
dari “jilbab” yang menutupi aurat juga hati kaum wanita. Di penjuru dunia
juga di penjuru taqwa kaum wanita yang tulus mencinta maka akan
167
“bercahaya wajahnya” dengan “cinta sejati Allah”. Maka dari itu jangan
sampai Allah Swt. mengambil cahaya-Nya dari kaum wanita, karena
sejatinya cahaya Allah Swt. itu adalah kebutuhan bukan sekedar
keinginan. Oleh karena itu, jangan pernah bertanya jika kaum wanita
hanya akan menjadi benda ketika auratnya dipamerkan di mana-mana,
karena Allah Swt. sudah tentu akan mengambil “cahaya-Nya”.
3) Cinta Menopang Dunia
Segala sesuatu di dunia ini berasal dari cinta Allah Swt. Cinta pada
kutipan puisi “Cahaya Aurat” menunjukkan makna cinta yang mendalam
dari ribuan wanita berjilbab kepada Allah Swt. Makhluk Allah Swt. yang
mencintai Allah Swt. dengan tulus walaupun cahaya Allah masih
terbungkus rahasia, itu mereka (kaum wanita berjilbab) belum mengetahui
hakikat Allah namun mempercayai kesejatian Allah Swt.
Tak salah kiranya jika Allah Swt. mengaruniakan cahaya-Nya
kepada kaum wania berjilbab. Beruntunglah para lelaki sebagai manusia
pilihan “yang bukan asal manusia” ketika dia akan mendapati cahaya
Allah Swt. pada wanita yang menjilbabi auratnya juga hatinya. Namun
demikian celakalah bagi para wanita yang di dunia ini memamerkan
auratnya karena mereka akan diturunkan tingkatan manusianya menjadi
benda juga pada para lelaki yang melototkan matanya pada aurat wanita
karena mereka hanya menemukan benda. Segala yang ada didorong oleh
kebutuhan dan hasrat dan berjuang untuk menyatu dengan mereka.
168
Karenanya, setiap cinta individual adalah sumber perantara seluruh
gerakan dan perbuatan.
4) Cinta dan Keindahan: Sejati dan Imitasi
Bagi seorang sufi, hanya ada satu Yang Tercinta; dia melihat
bahwa semua cinta “palsu”, beku, dan tidak nyata. Cinta kaum berjilbab
dalam hal ini menunjukkan cintanya yang sejati kepada Allah Swt. Cahya
Allah yang indah adalah “sejati” dan selain itu adalah “imitasi”.
Kebutuhan kaum wanita mengenakan jilbab sebagai balutan kepada tubuh
dan hati sehingga cahaya cinta Allah Swt. akan tetap kekal sejati padanya.
5) Kebutuhan dan Keinginan
Untuk mendapatkan cahaya Allah Swt., manusia harus mampu
meraih ridho-Nya. Dalam hal ini langkah awal yang harus dilakukan
adalah mencari dan menginginkannya, karena Yang Tercinta
memperhatikan hasrat dan pengabdian yang tulus. Pengabdian yang tulus
itu diwajibkan oleh kaum wanita berjilbab dengan “membungkus rambut
sampai ujung kakinya” dengan dasar “karena hakekat cahaya Allah”.
Dalam hal ini mereka memiliki kesadaran tentang hakikat cahaya Allah
Swt. yang terbungkus rahasia.
Namun “keinginan” kaum wanita untuk memamerkan auratnya di
zaman sekarang ini telah melupakan mereka dari “kebutuhan” yang
sesungguhnya lebih kekal dan hakiki. Bahwa sesungguhnya wanita
sebagai makhluk yang diberikan karunia berupa cinta oleh Allah Swt.
169
bahwa cahayanya yang terselubung rahasia akan dibuka oleh suami-suami
mereka yang bukan asal manusia. Itu artinya cahaya Allah Swt. yang
masih dirahasiakan akan dibuka oleh Allah Swt. hanya kepada suaminya.
Sebelum itu, jika para wanita memamerkan auratnya pada lelaki yang
bukan suaminya maka Allah Swt. mengambil cahaya-Nya dari wanita itu.
6) Agama Cinta
Di dalam puisi “Cahaya Aurat” ini ada keterkaitan antara “cinta”
dan “cahaya”. Cinta Allah Swt. sebagai hakikat cahaya atas dasar
penciptaan segala yang ada di dunia ini adalah karena cinta, hal itu
menunjukkan kebutuhan manusia untuk memperluas pencarian dan
kebutuhannya membuat yang ada hanya Dia. Keterkaitan antara akal yang
dibagi menjadi ilmu, amal dan realisasinya memperihatkan (dalam
konteks kekinian) ketika unsur-unsur peradaban semakin kompleks dan
sistem kemasyarakatanpun mengarah kepada globalisasi, maka makna
jilbabpun berkembang. Manusia (kaum wanita berjlbab) tidak dapat tetap
bermoral dalam segenap makna kata tersebut, maupun menjaga proyek,
dan kreasi-kreasi kita yang salah satunya pertamakan kesungguhan moral
dalam bentuk apapun, tanpa di suatu tempat dibelakangnya terdapat
sebuah realitas religius yang dirasakan amat mendalam namun demikian
ketika konteks kekinian itu bercampur dengan budaya non-ketimuran
maka yang terjadi adalah pameran aurat di mana-mana oleh kaum wanita.
Hal ini akan menjadikan dilepaskannya pula “cahaya Allah” dari
170
aurat wanita yang sebelumnya “menyelubungi” bersama dengan jilbab dan
pakaiannya.
7) Cinta dan Akal
Cinta mampu mengantarkan manusia antara fana dan baqa, ia
melampaui akal yang dari sudut pandang ini dilihat sebagai rintangan di
jalan cinta. Cinta pada kutipan puisi di atas menunjukkan makna cinta
yang mendalam dari ribuan wanita yang berjilbab kepada Allah Swt.
Namun sebuah pertanyaan akan muncul, “siapa bisa menemukan cahaya”,
hal ini menjadi permasalahan ketika cahaya cinta Allah Swt. yang
diberikan kepada kaum wanita berjilbab yang hakikatnya untuk Allah Swt.
dipertanyakan tentang siapa yang bisa menemukan cahaya kaum wanita
itu. Jawaban dari pertanyaan itu adalah kaum lelaki sebagai suami. Suami
disini adalah orang yang benar-benar terpilih oleh Allah Swt. bukan hanya
lelaki yang mengandalkan akalnya adalah “wanita yang memamerkan
auratnya di koran-koran dan di jalanan”. Mengapa demikian, karena
kepada mereka Allah Swt. telah mencabut cahaya-Nya.
8) Kebingungan dan Kegilaan
Tanda seorang manusia (wanita) yang termasuk dalam “Ribuan
jilbab berwajah cinta” adalah kaum wanita yang benar-benar menjilbabi
auratnya. Kata “cinta” sebagai kepemilikan sifat manusiawi. Kata tersebut
menunjukkan adanya relasi aku-lirik kepada Allah Swt. Ada simbol yang
berkaitan dalam hal ini, yakni kata “cinta” dan “cahaya”. “Cinta” yang
171
dimiliki oleh wajah ribuan jilbab (wanita berjilbab) dan “cahaya” Allah
Swt. Sang Cahaya Maha Cahaya sebagai cinta sejati. Wanita yang
“membungkus rambut, tubuh sampai ujung kakinya” memiliki kesadaran
tentang hakikat cahaya Allah Swt. yang terbungkus rahasia.
Kegilaan cinta itu menunjukkan makna cinta yang mendalam dari
ribuan wanita yang berjilbab kepada Allah Swt. karena mereka tak mau
diturunkan derajat kemanusiaannya sebagai benda seperti kaum wanita
yang memamerkan auratnya. Makhluk Allah Swt. yang mencintai Allah
Swt. dengan tulus walaupun cahaya Allah Swt. masih terbungkus rahasia,
menunjukkan kegilaan seperti suatu pertanyaan yang belum diketahui
jawabannya. Itu artinya “selubung rahasia” yang membungkus cahaya
Allah Swt. yang memiliki makna sebuah rahasia tersembunyi. Dan kaum
berjilbab dengan cintanya meyakini hal itu akan terbuka untuk mereka
seperti halnya jilbab mereka akan terbuka untuk suami mereka yang
benar-benar mencintai mereka.
5. Puisi “Seorang Gadis, Seekor Anjing” karya Emha Ainun Nadjib
Seorang Gadis, Seekor Anjing Sambil mengelus-elus anjing kesayangannya. Sang Bapak menghardik anak gadisnya, “Aku tak bisa tahan lagi Aku jijik melihatmu pakai baju kurung dan kerudung penutup kepala itu!” Dialah gadis yang lahir di batu. Dialah gadis yang tumbuh di batu. Disirami oleh air rahasia,
172
hingga udara tak mengotorinya dan matahari tak melenggamkan wajahnya. Pada suatu hari tiba di ‘arsy taqwa. Melalui pemikiran yang tergodog dan hati yang diuji melawan sutera. Ia memutuskan untuk tak sekedar berikrar, sembahyang dan menutupi auratnya. Ia memutuskan untuk menjilbabi seluruh kehidupannya. Sujud demi sujud dipanjangkannya. Dan diusir! “Hanya anak durhaka yang pindah agama!” bentak kedua orang tuanya. Si gadis menangis, tapi esoknya tak lagi Si gadis tersenyum, menyusuri jalanan sejati.
a. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi “Seorang Gadis, Seekor Anjing”
karya Emha Ainun Nadjib
1) Penggantian Arti
Sutera: menjadikan jalan ketika si gadis sampai pada ‘arsy taqwa.
Kelembutan sutera itulah yang telah menggondongnya hingga
mendapatkan karunia cinta Allah Swt. Bentuk dari sutera itu adalah
hardikan dan cemooh dari kedua orang tua gadis itu. Disampaikan pada
awal tadi bahwa karena ketaqwaan si gadis, dia malah mendapat hardikan
dari ayahnya. Metafora yang dibangun adalah kekerasan batu yang
dilembutkan menjadi sutera sebagai hal yang bertolak belakang, yaitu
sebagai sesuatu hal yang sangat menyenangkan sehingga bisa membawa
gadis itu kepada kasih sayang Allah Swt.
173
2) Penyimpangan Arti
Ambiguitas terjadi pada penafsiran yang mengandung banyak arti.
Bait kedua berisi penjelasan aku-lirik bahwa “gadis” itu adalah gadis yang
lahir di “batu”. Sebuah kekerasan dalam hidup dengan berbagai
kemungkinan penyebabnya. Bisa jadi gadis itu hidup dalam himpitan
kemiskinan keluarganya sehingga gadis itu harus bekerja keras dalam
hidupnya untuk hidup. Namun demikian bisa pula ditafsirkan bahwa gadis
itu hidup dalam keluarga yang keras sehingga yang terjadi setiap hari
adalah pukulan dan perkataan kotor. Kemungkinan ketiga juga bisa
dimunculkan, yakni gadis itu hidup dan tumbuh pada keluarga kaya dan
kedua orang tuanya oleh Allah Swt. dijauhkan dari ilmu agama Islam. Hal
tersebut dijelaskan bahwa ilmu agama yang dimiliki gadis itu lebih
daripada kedua orang tuanya.
3) Penciptaan Arti
…. Si gadis menangis, tapi esoknya tak lagi Si gadis tersenyum, menyusuri jalanan sejati
Puisi di atas memiliki keseimbangan (simetri), baik dalam hal rima
akhirnya, baris-baris dalam baitnya, maupun antara bait yang satu dengan
yang lain. Karena sejajar timbul makna baris seperti pada bait pertama: “Si
gadis menangis, tapi esoknya tak lagi” sejajar dengan “Si gadis tersenyum,
menyusuri jalan sejati”, maka “Si gadis menangis, tapi esoknya tak lagi”
selain bermakna penyesalan tentang apa yang telah terjadi pada si gadis,
174
tentang apa yang telah dilakukan oleh kedua orang tuanya, juga tentang
apa yang telah di tuntunkan Allah Swt. kepadanya juga tangisan rasa
syukur karena berada di jalan yang benar yakni jalan Allah Swt. Jadi, si
gadis yang kemudian pada esoknya yang tak lagi menangis karena dia
sadar bahwa dia akan tersenyum menyusuri jalan sejati yang terang penuh
cahaya Allah Swt.
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik dalam Puisi “Seorang Gadis,
Seekor Anjing” karya Emha Ainun Nadjib
1) Pembacaan Heuristik
Bait (1) – (2)
Sambil mengelus-elus anjing kesayangannya. Sang Bapak menghardik anak gadisnya, “Aku tak bisa tahan lagi Aku jijik melihatmu pakai baju kurung dan kerudung penutup kepala itu!” Dialah gadis yang lahir di batu. Dialah gadis yang tumbuh di batu. Disirami oleh air rahasia, hingga udara tak mengotorinya dan matahari tak melenggamkan wajahnya.
“//(Bapaknya) (dengan) (senang) (hati) sambil mengelus-elus
(peliharaan) anjing kesayangannya/ Sang Bapak (sambil) menghardik
anak gadisnya/ Aku jijik melihatmu memakai baju tertutup dan kerudung
penutup kepala Aku tak bisa tahan lagi (melihatmu)//”.
175
“//Dialah gadis yang lahir(nya) di batu/ Dialah gadis yang tumbuh
(dan) (besar) di batu/ Disirami oleh air (sejumlah) rahasia/ Hingga udara
tak (mau) mengotorinya dan matahari tak melenggamkan wajahnya//”.
Bait (3) – (5)
Pada suatu hari tiba di ‘arsy taqwa. Melalui pemikiran yang tergodog dan hati yang diuji melawan sutera. Ia memutuskan untuk tak sekedar berikrar, sembahyang dan menutupi auratnya. Ia memutuskan untuk menjilbabi seluruh kehidupannya. Sujud demi sujud dipanjangkannya. Dan diusir! “Hanya anak durhaka yang pindah agama!” bentak kedua orang tuanya. Si gadis menangis, tapi esoknya tak lagi Si gadis tersenyum, menyusuri jalanan sejati.
“//Pada suatu hari tiba di ‘arsy taqwa/ Melalui pemikiran yang
(sedang) (marah) dan hati yang diuji melawan (lembutnya) sutera. Ia
memutuskan untuk tak sekedar berikrar (janji) (bersumpah), sembahyang
dan menutupi (seluruh) auratnya. Ia memutuskan untuk menutupi seluruh
kehidupannya (dengan) jilbab)//”.
“//Dipanjatkannya sujud demi sujud (oleh) (anak) (gadisnya)/ Dan
(dengan) (kemarahan) diusir (anak gadis) dari rumahnya/ Hanya anak
durhaka yang pindah agama!/ Bentak kedua orang tuanya//”.
“//Si gadis (lalu) menangis/ Tapi esok (harinya) tidak lagi
(menangis)/ Si gadis tersenyum (karena) jalan yang diambil adalah jalan
yang benar (dan) menyusuri jalan yang lurus terhadap (Allah Swt)//”.
176
2) Pembacaan Hermeneutik
Puisi yang berjudul “Seorang Gadis, Seekor Anjing”, menurut
KBBI( 1997: 334), Orang berarti makhluk Tuhan yang sempurna, berakal
dan berbudi sedangkan gadis berarti anak manusia yang berjenis kelamin
wanita, sedangkan seekor anjing adalah binatang ciptaan Allah Swt. yang
memiliki taring serta menjulurkan lidahnya keluar, najis, dan dagingnya
haram untuk dimakan. Dari makna leksikal tersebut, makna konotatifnya
dapat diartikan sebagai seorang gadis yang karena kecintaannya kepada
Allah Swt. rela terusir dari keluarganya bahkan kehidupan duniawinya.
Puisi “Seorang Gadis, Seekor Anjing” merupakan kiasan manusia
didalam sebuah keluarga nampak ketimpangan yang tidak wajar ketika
anak gadisnya tidak lebih disayang dibandingkan anjing peliharaannya
oleh bapaknya. Bait pertama, menggambarkan tentang kehidupan seorang
gadis yang sangat mencintai Allah Swt. dan dicintai Allah Swt. Bait
pertama puisi ini menunjukkan suatu ketimpangan yang terjadi disebuah
keluarga. Seorang gadis yang hakikatnya adalah anak manusia “dihardik”
dan kejadian itu terjadi bersamaan ketika si bapak sedang “mengelus-elus”
seekor anjing. Terlihat suatu hal yang sangat bertolak belakang. “Hardik”
menunjukkan pada pukulan tangan kebagian kepala atau wajah yang
sangat keras sehingga yang dihardik bisa tersungkur, sedangkan
“mengelus” menunjukkan pada belaian lembut. Hal yang sangat bertolak
belakang dan ironis dalam hal ini adalah tentang “hardikan” yang
177
dilakukan seorang bapak kepada anak gadisnya, sedangkan anjing sebagai
binatang yang diberikan kedudukan oleh Allah Swt. sebagai salah satu
binatang yang menduduki tempat dibawah serta diharamkan malah dielus-
elus dengan penuh belaian oleh si bapak karena dia adalah anjing
kesayangannya.
Titik temu ketimpangan antara anak gadis dari seorang bapak dan
anjing kesayangan dari bapak gadis tersebut dipahami sebagai suatu
realitas alam yang mungkin saja terjadi saat ini. Manusia memiliki hukum
sebab akibat, dalam hal ini yang menyebabkan si gadis dihardik adalah
karena dia “pakai baju kurung dan krudung penutup kepala”. Aku-lirik
sebagai manusia yang berakal sehingga ketika ia melihat realitas alam
yang terjadi di sekelilingnya maka dia akan menyadari tentang hukum
Tuhan. Dalam sebuah keluarga ketika bapak sebagai pimpinan keluarga
malah melakukan suatu hal yang salah. Ketika si anak gadis memakai baju
kurung dan menutupkan jilbab dikepalanya yang diterima si gadis malah
hardikan. Sedang anjing yang jelas binatang yang dinajiskan bahkan
diharamkan dagingnya malah “dielus-elus” penuh kasih sayang. Suatu hal
yang ironis telah terjadi. Seharusnya si bapak bangga kepada anak
gadisnya karena telah menutup auratnya tapi yang terjadi malah
sebaliknya. Harusnya yang dielus-elus penuh kasih sayang adalah anak
gadis itu bukan malah anjing sebagai binatang yang “hina”. Hal ini
menunjukkan bahwa telah terjadi kegilaan di dunia pada saat ini.
178
Bait kedua menjelaskan aku-lirik bahwa “gadis” itu adalah yang
lahir di “batu”. Sebuah kekerasan dalam hidup bisa dengan berbagai
kemungkinan penyebabnya. Bisa jadi gadis itu hidup dalam himpitan
kemiskinan keluarganya sehingga gadis itu harus bekerja keras dalam
hidupnya untuk hidup. Namun demikian, bisa pula gadis itu hidup dalam
keluarga yang keras sehingga yang terjadi setiap hari adalah pukulan dan
perkataan kotor. Kemungkinan selanjutnya adalah bisa jadi gadis itu
malah hidup dan tumbuh pada kaya yang oleh Allah Swt. dijauhkan dari
ilmu agama, namun demikian jelas bahwa ilmu agama yang dimiliki oleh
gadis itu lebih dari pada kedua orang tuanya.
Namun demikian gadis itu oleh Allah Swt. dikaruniai cinta. Dia
“disirami air rahasia” yang membuatnya tegar dan kuat. Hal ini
ditunjukkan pada baris ketiga dan keempat. Dituliskan bahwa “hingga
udara tak mengotorinya dan matahari tak melegamkan wajahnya” yang
menunjukkan tentang ketegaran yang membuat si gadis tidak “tergerogoti”
oleh “udara” dan cobaan tidak menjadikannya kuat seperti “wajah yang
tak legam” karena “terbakar matahari”. Cahaya Allah-lah yang
menjadikan gadis itu menjadi salah satu yang terpilih mendapatkan cinta
sejati Allah Swt.
Bait ketiga ini menggambarkan tentang hal yang dialami gadis itu
selama hidup menjadikannya “tergodog” dan mendapatkan cinta Allah
Swt. serta membawanya ke “arsy’ taqwa”. “Sutera” sebagai simbol dari
179
kelembutan menjelaskan tentang perlakuan ayahnya dengan “menghardik”
sesungguhnya dirasakan gadis itu sebagai belaian yang lebih halus dari
sutera karena gadis itu dengan ikhlas menerimanya. Hal itu lah yang
menjadikan Allah mengaruniai dia cinta sejati.
Gadis itu akhirnya menjadi benar-benar gadis yang tegar dan kuat.
Dia tak hanya “berikrar untuk sembahyang dan menutup auratnya”, namun
juga “menjilbabi seluruh kehidupannya” dan menyerahkan dirinya dan
hidupnya hanya untuk Allah Swt.
Hal yang pada bait pertama menunjukkan sebuah ketimpangan
menjadikan gadis itu benar-benar sadar tentang siapa yang benar. Aku-
lirik dalam hal ini menemukan kekuatan cinta mendalam gadis itu kepada
Allah Swt. Pertama, aku-lirik sebagai seorang yang selalu memikirkan
realitas alam itu datang dari realitas budaya yang memasuki realitas alam.
Realitas budaya yang dimaksudkan adalah tentang harkat hidup manusia,
adapun realitas alam diartikan sebagai realitas yang relatif karena realitas
antara seseorang yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Hal ini
menunjukkan ada yang mengatur tentang apa yang menjadi sebab dan apa
yang akan menjadi akibat.
Bait keempat puisi di atas menggambarkan suatu pilihan cinta si
gadis. Ketika si gadis “memanjangkan sujud demi sujudnya” untuk
mensyukuri karunia tauhid Allah Swt. Bentuk ketakdziman seorang
hamba kepada Tuhannya yang sekaligus “Kekasihnya” yang membuatnya
180
tidak berhenti beribadah dan menutupi auratnya. Namun apa yang terjadi
pada gadis itu, dia malah diusir oleh orang tuanya bahkan berkata “hanya
anak durhaka yang pindah agama”, hal ini menunjukkan bahwa kedua
orang tuanya tidak suka dengan apa yang dikerjakan dan diyakini oleh
gadis itu. Entah karena kedua orang tuanya beda paham, beda agama, atau
tak tahu sama sekali tentang agama namun si gadis yang telah sungguh-
sungguh beribadah kepada Allah Swt. malah dikatakan “durhaka” karena
“pindah agama”.
Muncul pertanyaan dalam hal in, apakah memang kedudukan
anaknya yang bersujud di jalan yang benar itu salah bahkan menjadi lebih
rendah dari pada anjing peliharaannya di mata kedua orang tuanya.
Bahkan mugkin anjing itu adalah gambaran jiwa kedua orang tua gadis itu
yang digambarkan oleh aku-lirik. Kejelasan tentang hal itu ditunjukkan
dengan “hardikan” pada bait pertama tadi dan “bentakkan” pada bait
keempat ini.
Bait kelima puisi di atas menunjukkan metafora pernyataan yang
menyatakan tentang perasaan si gadis. Si gadis yang merasakan
kesedihannya karena terusir oleh kedua orang tuanya bahkan yang lebih
mendalam adalah ketika dipahami “tangis” gadis itu sebagai kesedihan
karena kedua orang tuanya telah salah jalan. Namun demikian si gadis
akan merasa sangat bahagia karena dia mendapatkan cinta Allah Swt.
yang sejati dan aku-lirik dalam hal ini sebagai makhluk berakal percaya
181
bahwa gadis itu menyadari dengan senyumnya jika kedua orang tuanya
akan mendapatkan cinta Allah Swt. untuk sama-sama menyusuri jalan
sejati. Dengan demikian makna cinta sejati di sini ditunjukkan dengan
menggambarkan kehidupan si gadis pada keluarga yang kedua orang
tuanya belum memahami hakikat cinta Allah Swt. dan akhirnya si gadis
tersenyum bahagia dengan cinta sejatinya sendiri yaitu Allah Swt.
c. Matriks, Model, Varia-varian dalam Puisi “Seorang Gadis, Seekor
Anjing” karya Emha Ainun Nadjib
Matriks pada puisi “Seorang Gadis, Seekor Anjing” adalah seorang
gadis yang rela terusir dari rumah bahkan dunianya yang
ditransformasikan menjadi varian-varian pada bait pertama, kedua, ketiga,
keempat, dan kelima sebagai berikut: (1) sambil mengelus-elus anjing
kesayangannya, Sang Bapak menghardik anak gadisnya, (2) Dialah gadis
yang lahir dari batu, (3) Pada suatu hari tiba di ‘arsy taqwa, (4) Sujud
demi sujud dipanjangkan, (5) Si gadis menangis, tapi esoknya tak lagi.
Varian pertama “sambil mengelus-elus anjing kesayangannya,
sang bapak menghardik anak gadisnya” merupakan gambaran
perbandingan yang berseberangan sehingga menjadikannya timpang dan
ironis. Varian kedua “Dialah gadis yang lahir dari batu” merupakan
gambaran tentang kekerasan hidup si gadis. Varian ketiga “Pada suatu hari
tiba di ‘arsy taqwa”, yang berarti rasa cinta Allah Swt. terhadap gadis itu
182
dan rasa cinta gadis itu kepada Allah membawa gadis itu ke keimanan
yang tinggi di singgasana Allah Swt. Varian keempat, “Sujud demi sujud
dipanjangkan”, berarti ketakdziman atas kerendahan hati dan diri si gadis
di hadapan Allah Swt. membawa ketempat keimanan yang tinggi. Varian
kelima “Si gadis menangis, tapi esoknya tak lagi”, merupakan lukisan
perasaan hati kesedihan si gadis atas apa yang telah terjadi padanya dan
apa yang telah terjadi pada kedua orang tuanya.
d. Hubungan Intertekstualitas Puisi “Seorang Gadis, Seekor Anjing”
Secara intertekstualitas, sajak “Seorang Gadis, Seekor Anjing”
merupakan transformasi dari ide pemahaman Jean Paul Sartre tentang
kebebasan dan pilihan. Sartre melihat manusia sebagai pengada yang
bebas, sebagai pengada yang sadar akan dirinya dan yang lain. Ia
menegaskan manusia adalah kebebasan. Pandangan ekstrem ini
diungkapkannya karena tidak cukup kalau hanya mengucapkan manusia
memiliki kehendak bebas. Tidak cukup juga mengatakan bahwa
kebebasan adalah salah satu ciri yang dimiliki manusia. Bagi Sartre kalau
manusia lebih tepat dikatakan sebagai kebebasan itu sendiri.
Menurutnya kebebasan manusia itu mutlak. Tanpa kebebasan
eksistensi manusia menjadi absurd. Eksistensi merupakan suatu
keterbukaan yang tidak pernah selesai. Karena itu, meniadakan kebebasan
183
berarti menjadikan manusia esensi belaka. Dalam arti ini manusia tidak
berbeda dengan mahkluk lain. Kebebasan mutlak perlu bagi manusia
dalam mewujudkan diri terus-menerus, karena manusia seolah-olah
dilemparkan ke dalam faktum masa depan yang penuh misteri. Karena
itu, manusia harus bebas tanpa batas, tanpa suatu keterikatan atau
halangan apapun. Selain itu dalam kebebasan manusia harus memilih,
bahkan ketika manusia tidak memilih manusia pada dasarnya juga telah
memutuskan sebuah pilihan.
Pemahaman Sartre tentang kebebasan dan pilihan di atas
ditransformasikan dalam sajak “Seorang Gadis, Seekor Anjing” dalam
sosok tokoh yang mengalami kebimbangan dalam menentukan pilihannya,
antara memilih Tuhan sebagai konsekuensi pilihannya atau menuruti
ibunya yang telah mengikuti agama syirik dan melakukan perbuatan dosa
yang lainnya. Dalam Al qur’an Surat Luqman ayat 15 yang menerangkan
dalam hal tertentu, maka seorang anak dilarang menaati ibu bapaknya,
yaitu jika ibu bapaknya memerintahkan kepadanya mempersekutukan
Allah, yang dia sendiri memang tidak mengetahui bahwa Allah Swt.
mempunyai sekutu, karena memang tidak ada sekutu bagi-Nya. Maka
sepanjang pengetahuan manusia Allah memang tidak ada sekutu bagi-
Nya. Maka sepanjang pengetahuan manusia Allah Swt. tidak mempunyai
sekutu. Manusia menurut nalurinya mengesakan Allah Swt. Dan sebab
184
turunnya ayat ini diambil kesimpulan bahwa Saad tidak berdosa, karena
tidak mengikuti kehendak ibunya untuk kembali ke agama syirik. Hukum
ini berlaku pula untuk seluruh umat Nabi Muhammad yang tidak boleh
taat kepada orang tuanya mengikuti agama syirik dan perbuatan dosa yang
lain. Selanjutnya Allah Swt., memerintahkan agar seorang anak tetap
memperlakukan kedua ibu bapaknya dengan baik yang memaksanya
mempersekutukan Allah Swt. itu dalam urusan keduniawian, seperti
menghormati, menyenangkan hati, memberi pakaian, tempat tinggal yang
layak baginya, biarpun kedua orang tuanya itu memaksanya
mempersekutukan Allah Swt. atau melakukan dosa yang lain.
Pemahaman Sartre tentang kebebasan dan pilihan ini
ditransformasikan dalam sajak “Seorang Gadis, Seekor Anjing” karya
Emha Ainun Nadjib. Dalam sajak “Seorang Gadis, Seekor Anjing”, tema
tentang seorang gadis yang karena kecintaannya kepada Allah rela terusir
dari keluarganya bahkan kehidupan duniawinya, ia pun dihadapkan pada
satu pilihan yang tidak dapat dihindarinya, yaitu tetap dalam pendiriannya
dijalan yang benar dijalan Allah Swt., dalam proses kehidupan tersebut
dilukiskan dalam ungkapan “//Sujud demi sujud dpanjangkannya/ Dan
diusir! “Hanya anak durhaka yang pindah agama!” bentak kedua orang
tuanya/ Si gadis menangis, tapi esoknya tak lagi/ Si gadis tersenyum,
menyusuri jalan sejati”//.
185
e. Konsep Cinta Menurut Sufisme dalam Puisi “Seorang Gadis, Seekor
Anjing” karya Emha Ainun Nadjib
1) Tuhan adalah Cinta dan di Seberang Cinta
“Tuhan akan mendatangkan suatu kaum yang dia mencintai
mereka dan mereka mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap
orang mukmin, dan keras terhadap orang-orang kafir, yang jihad di jalan-
Nya dan tidak risau oleh celaan orang yang suka mencela” (Q.S. Al
Maaidah ayat 54). Ketika hamba Allah Swt. mendapatkan kekerasan dari
hamba Allah Swt. yang lain maka sesungguhnya dia mendapat balasan
“sutra” dari Allah Swt. Hal itu nampak pada puisi “Seorang Gadis, Seekor
Anjing”. Di sini terjadi suatu hal yang berlawanan dan ironis. Ketika “si
bapak menghardik anak gadisnya” dia sedang “mengelus-elus anjing
kesayangannya”.
Dalam hal ini sesame seperti ayat tersebut di atas bahwa hardikan
kepada gadis itu akan membawanya kepada kelembutan belaian Allah
Swt. Dialah gadis yang tegar dan kuat menghadapi masalah yang terjadi
karena dia tahu bahwa dia berada di jalan cinta Allah Swt. Dia telah
disirami air rahasia oleh Allah Swt. Gadis yang selama hidup mengalami
“kekerasan” karena cintanya kepada Allah Swt. menjadikannya
“tergodog” dan mendapatkan cinta Allah Swt. serta membawanya ke “arsy
taqwa”. “Sutera” sebagai simbol dari kelembutan menjelaskan tentang
perlakuan ayahnya dengan “menghardik” sesungguhnya dirasakan gadis
186
itu sebagai belaian yang lebih halus dari sutera karena gadis itu dengan
ikhlas menerimanya. Hal itulah yang menjadikan Allah Swt. mengaruniai
dia cinta sejati. “Sujud demi sujud dipanjangkan” hanya untuk Allah Swt.,
walaupun setelah itu dia diusir karena telah dianggap durhaka kepada
orang tuanya yang belum mendapatkan karunia cinta Allah Swt. Dengan
demikian dia merasakan kesedihan karena perlakuan orang tuanya dan
tentang apa yang terjadi pada orang tuanya, namun dia kembali
mengembangkan senyum karena dia sebenarnya telah berada di jalan cinta
Allah Swt. yang sejati.
2) Dunia Diciptakan oleh Cinta
Allah Swt. memberikan cintanya sebagai cahaya penerang dunia
ini. Seperti halnya cahaya penerang bagi kehidupan gadis kecil yang hidup
dalam kegelapan kedua orang tuanya juga dalam kekerasan “batu” yang
menjadikannya mendapatkan kelembutan dan kasih sayang Allah Swt.
Cinta Allah Swt. mengejawantahkan perbendaharaan yang tersembunyi
melalui diri orang-orang suci. Di antaranya adalah kepada kaum sufi yang
meyakini tataran sufi tertinggi adalah cinta. Cinta makhluk-Nya kepada
Allah Swt. maupun cinta Allah Swt. kepada makhluknya.
Bagaimana hardikan bisa mendarat di wajah gadis yang
menegakkan cinta Allah Swt. Bahkan dianggap “menjijikan” ketika gadis
itu mengenakan “baju kurung” juga “kerudung di kepalanya”. Dunia yang
diciptakan oleh cinta telah membawa kehidupan gadis itu dalam kekerasan
187
hidupnya. Namun demikian ketika gadis itu bahkan harus di usir dan
dianggap durhaka oleh kedua orang tuanya ketika dia panjangkan sujud
demi sujud kepada “kekasihnya” dia malah mendapat siraman “air
rahasia” yang menyejukan juga “ belaian selembut sutera” oleh Allah Swt.
Tangis kesedihanpun tidak lama dirasakannya karena selanjutnya adalah
senyuman “di jalan sejati Allah Swt”.
3) Cinta Menopang Dunia
Segala sesuatu mengambil bagian di dalam cinta Allah Swt. Dalam
puisi ini gadis yang dihardik menjadi bentuk bagimana dia menopang
dunianya dengan keyakinan cinta Allah Swt. Bagaimana dia
memperjuangkan “baju kurungnya” dan “kerudung di kepalanya” di dalam
keluarga yang merasa jijik melihat hal itu. Sampai dia di hardik sambil
mengelus anjing kesayangan ayahnya. Hal ini menunjukkan ironis dan
kerasnya perjuangan gadis itu menegakkan cinta Allah Swt. Ketika
“hardikan” menjadi “belaian Allah” maka kekerasan hatinya akan disirami
oleh “air rahasia Allah”. Ketika dia diusir maka sejatinya dia telah keluar
kejalan yang sejati.
4) Cinta dan Keindahan: Sejati dan Imitasi
Cinta manusia dapat dibagi menjadi dua: cinta sejati (isyq haqiqi)
atau cinta pada Allah Swt. dan cinta imitasi (isyq majazi) atau cinta
terhadap segalanya yang selain-Nya. Perbedaan antara dua jenis cinta
tersebut karena orang memahami yang ada hanya Allah Swt. dan untuk-
188
Nya semata, sementara yang lainnya meyakini adanya keterlepasan
eksistensi dari segala objek keinginan dan mengarahkan cinta
terhadapnya. Seorang gadis yang hakikatnya adalah anak manusia
“dihardik” oleh bapaknya sambil “mengelus” seekor anjing. Terlihat suatu
hal yang sangat berseberangan di sini. “Hardik” menunjukkan pada
pukulan tangan kebagian kepala (wajah) yang sangat keras sehingga yang
dihardik bisa tersungkur, sedangkan “mengelus” menunjukkan pada
belaian lembut. Namun demikian hal ini menjadi bukti ketulusan cinta
seseorang. Perlu diketahui bahwa dia gadis dihardik karena dia
menggenakan baju kurung dan menutup kepalanya dengan kerudung, dan
hal itu tidak disukai ayahnya.
Si gadis yang menyadari bahwa ayahnya tidak menyukainya, tapi
si gadis yakin bahwa Allah Swt. lebih menyukai hal itu. Kecintaan si gadis
kepada Allah Swt. yang tidak sekedar cinta biasa melainkan cinta sejati
dan bukan imitasi. Dengan “menutup auratnya”, dengan “menjilbabi
hidupnya”, dan dengan “memanjangkan sujud-sujudnya” dia (gadis itu)
mendapatkan cinta sejatinya dari Allah Swt.
5) Kebutuhan dan Keinginan
Untuk menjadi buruan Allah Swt., orang harus mampu meraih
ridho-Nya, itu lah yang telah dilakukan oleh si gadis dalam puisi ini.
Proses mencari dan menginginkan-Nya telah dilakukan oleh si gadis.
Gambaran tentang gadis yang mencintai Allah Swt. bahkan harus melalui
189
kekerasan hidup hingga sampai pada kemurnian hati karena telah disirami
air suci oleh Allah Swt. Ikrarnya untuk menutupi auratnya, dan menjilbabi
hidupnya membawanya kepada jalan cinta Allah Swt. yang sejati. Hal ini
tidak sekedar diinginkan oleh si gadis namun disadari sebagai
kebutuhannya.
6) Agama Cinta
Ilmua, amal, dan realisasi menjadi implikasi dari ilmu Allah Swt.
Seorang pencinta memperluas pencarian dan kebutuhannya melalui
disiplin spiritual yang tinggi. Tidak setiap anak manusia mengalami hal
yang sama seperti yang dialami si gadis. Ketika mengalami hal yang
samapun, belum tentu akan terjadi hal yang sama dengan yang dilakukan
gadis itu. Ketika hal itu dimasukkan ke dalam akal manusia, maka cinta
yang demikian itu tidak akan samapi oleh pemikiran manusia biasa.
Hanya manusia yang “disirami air rahasia” Allah-lah yang bisa sehingga
dikatakan bahwa “hingga udara tak mengotorinya dan matahari tak
melegamkan wajahnya”. Begitulah gambaran aku-lirik dengan
pandangannya terhadap fenomena yang terjadi tersebut.
7) Cinta dan Akal
Cinta mampu mengantarkan manusia antara fana dan baqa. Cinta
yang melampaui akal, dari sudut pandang ini dilihat sebagai rintangan di
jalan cinta Allah Swt. Penyejajaran cinta dan akal mengambil peran
penting dalam hidup manusia, tak terkecuali pada kehidupan si gadis pada
190
kekerasan kehidupannya yang batu. Jelas yang terjadi adalah suatu hal
yang melampaui akal ketika rintangan cinta yang dialami si gadis terjadi.
Dia berada pada titik yang menurut aku-lirik sudah mencapai kegilaan.
Pasalnya rintangan yang diberikan Allah Swt. adalah kedua orang tuanya
yang seharusnya mendidiknya tapi malah sebaliknya. Ketika si gadis
berada pada didikan Allah Swt. yang jelas kebenarannya orang tuanya
malah melakukan suatu hal yang mengotori kesejatian jalan Allah Swt.
8) Kebingungan dan Kegilaan
Titik temu kebingungan dan kegilaan yang terjadi digambarkan
pada kisah tentang anak gadis, seorang bapak, dan anjing kesayangan si
bapak yang dipahami sebagai suatu realitas alam yang mungkin saja
terjadi saat ini. Manusia memiliki hukum sebab akibat, dalam hal ini yang
menyebabkan si gadis dihardik adalah karena dia “pakai baju kurung dan
kerudung penutup kepala”. Aku-lirik sebagai manusia yang berakal
sehingga ketika ia melihat fenomena kegilaan pada realitas alam yang
terjadi disekelilingnya, maka dari situ dia mulai menyadari tentang hukum
Allah Swt.
Seorang gadis yang harus bekerja keras dalam hidupnya, kekerasan
itu digambarkan sebagai ilmu agama yang dimiliki oleh gadis itu lebih
dari pada kedua orang tuanya. Hal itulah yang menjadikan sebuah
kebingungan dan kegilaan. Namun demikian gadis itu oleh Allah Swt.
dikaruniai cinta. Dia “disirami air rahasia” yang membuatnya tegar dan
191
kuat. Dia tak hanya “berikrar untuk sembahyang dan menutupi auratnya”,
namun juga “menjilbabi seluruh kehidupannya” dan menyerahkan dirinya
dan hidupnya hanya untuk Allah Swt. Muncul pertanyaan dalam hal ini,
apakah memang kedudukan anaknya yang bersujud di jalan yang benar itu
salah bahkan menjadi lebih rendah dari pada anjing peliharaannya di mata
kedua orang tuanya. Bahkan mungkin anjing itu adalah gambaran jiwa
kedua orang tua gadis itu yang digambarkan oleh aku-lirik. Dengan
demikian makna cinta sejati disini ditunjukkan dengan mengambarkan
kehidupan si gadis pada keluarga yang kedua orang tuanya belum
memahami hakikat cinta Allah Swt. dan akhirnya si gadis tersenyum
bahagia dengan cinta sejatinya sendiri yaitu Allah Swt.
C. Pembelajaran Puisi di SMP
1. Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra bertujuan untuk memperoleh pengalaman dan
pengetahuan tentang sastra, yaitu memperoleh pengalaman dalam
mengapresiasikan dan berekspresi sastra, serta memperoleh pengetahuan
tentang sastra baik teori sastra, sejarah sastra, maupun kritik sastra.
Seorang guru dalam pembelajaran sastra tidak hanya mengajarkan
teori-teori sastra saja. Selain teori-teori sastra yang diajarkan, seorang guru
harus mengenalkan karya sastra dan menerapkan teori-teori tersebut untuk
mengapresiasi karya sastra. Dengan mengapresiasi karya sastra dapat
192
melatih siswa dalam mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal
serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.
Pengalaman siswa dapat mengapresiasi karya sastra akan berdampak
positif dan berpengaruh pada kepekaan dan nalar siswa. Misalnya adanya
nilai-nilai positif dalam karya sastra, siswa langsung membaca karya
sastra tersebut dan bukan membaca ringkasannya.
2. Tujuan Pembelajaran Sastra
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menggunakan kompetensi
dasar dan indikator hasil belajar sebagai ganti tujuan pembelajaran umum
dan khusus. Pembelajaran puisi bertujuan melatih siswa menemukan
kandungan makna semiotik Riffaterre berdasarkan pembacaan heuristik,
hermeneutik dan konsep cinta sufisme dalam puisi.
1) Kompetensi Dasar
Merefleksi isi puisi yang dibacakan
2) Indikator Hasil Belajar
Indikator hasil belajar untuk mengajarkan puisi di SMP, yaitu:
a) Siswa mampu menangkap kandungan unsur semiotik dalam puisi
dan mengungkapkan kandungan semiotik tersebut seperti
ketidaklangsungan ekspresi, heuristik, hermeneutik, matriks,
model, varian-varian dan hubungan intertekstual dalam puisi.
193
b) Siswa mampu mengungkapkan konsep cinta sufisme dalam puisi
seperti Tuhan adalah cinta dan diseberang cinta; dunia diciptakan
oleh cinta; cinta menopang dunia; cinta keindahan sejati dan
imitasi; kebutuhan dan keinginan; agama cinta; cinta dan akal;
kebingungan dan kegilaan.
c) Mampu mengaitkan kehidupan dalam puisi dengan kehidupan
nyata pada siswa.
3. Materi Pembelajaran Sastra
Puisi dalam pembelajaran sastra dapat digunakan sebagai bahan
pembelajaran sastra. Pemilihan puisi karya Emha Ainun Nadjib sebagai
bahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMP kelas VIII dapat
dilihat dari segi antara lain: 1) segi bahasa; 2) segi latar belakang budaya;
dan, 3) kematangan jiwa (psikologi).
1) Segi Bahasa
Puisi sebagai bahan pembelajaran bahasa dan sastra di SMP
kelas VIII, hendaknya puisi tersebut menggunakan bahasa yang mudah
dipahami siswa. Pada puisi karya Emha Ainun Nadjib bahasa yang
mudah dimengerti dan terdapat ungkapan-ungkapan baru, sehingga
menambah pengetahuan siswa dan menambah daftar kosakata siswa.
194
2) Segi Latar Belakang Budaya
Puisi karya Emha Ainun Nadjib mengungkapkan perjalanan
hidup seorang penyair yang keras dan muram. Puisi yang demikian
sangat membantu siswa membangkitkan semangat siswa. Dengan
demikian siswa dapat belajar dan mengambil nilai-nilai atau amanat
yang disampaikan pengarang melalui puisi tersebut.
3) Segi Kematangan Jiwa (Psikologi)
Bahan pembelajaran sastra hendaknya memperhatikan tahap-
tahap perkembangan psikologi siswa. Tahap perkembangan psikologi
sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat kecerdasan daya pikir, dan
kondisi kejiwaan siswa.
Puisi sebagai bahan pembelajaran sastra mengungkapkan
permasalahan hidup dan persoalan sosial masyarakat. Siswa dapat
dirangsang untuk menemukan persoalan dan mencari penyelesaian
tentang masalah kehidupan seperti yang terdapat dalam puisi.
Tingkat perkembangan jiwa siswa dapat mempengaruhi proses
belajar dalam kelas. Melalui tahap realistik yang dialami siswa, guru
dapat meningkatkan kemampuan dasar siswa untuk kesiapan bekerja
sama dan apresiasi sastra.
195
4. Model Pembelajaran
Di dalam penelitian ini, mengkhususkan keefektifan penggunaan
model PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan) sebagai alternatif pembelajaran sastra di SMP. Di bawah
ini diuraikan mengenai pengertian pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif,
Efektif, dan Menyenangkan; sistematika pembelajaran sastra berbasis
PAIKEM; hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan PAIKEM,
dan indikator pelaksanaan pembelajaran PAIKEM.
1) Pengertian Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan
Pengertian Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan (PAIKEM ) dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Aktif, dimaksud dalam pembelajaran merupakan suatu proses aktif
membangun makna dan pemahaman dari informasi, ilmu
pengetahuan maupun pengalaman peserta didik sendiri. Supaya
siswa lebih aktif, guru mempersiapkan materi pembelajaran, yaitu
puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dan
menjelaskan bagaimana pembelajarannya. Setelah itu, guru
membagi siswa ke dalam beberapa kelompok belajar. Selanjutnya,
guru menjelaskan tentang pokok-pokok materi sebagai pedoman
para siswa dalam mengkaji puisi tersebut. Selebihnya, siswa
dibimbing untuk aktif dalam pembelajaran. Apabila dalam
196
mengerjakan ada kesulitan atau kurang jelas, siswa dapat
menanyakan kepada guru. Dalam proses belajar, siswa dapat
mengembangkan kemampuan analisis serta mampu merumuskan
nilai-nilai baru yang diambil dari hasil analisis mereka sendiri.
Contohnya, siswa telah menemukan struktur bentuk dan struktur
isi dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dan
siswa dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam puisi
tersebut sebagai bentuk karakter pribadi tiap-tiap siswa dan dapat
diterapkan dalam kehidupan nyata.
b) Inovatif, maksudnya dalam pembelajaran diharapkan muncul ide-
ide baru/ inovasi-inovasi positif yang lebih baik. Peran guru supaya
pembelajaran inovatif, yaitu guru diharuskan dapat
mendeskripsikan materi pembelajaran yang diajarkan tersebut.
Dalam hal ini, puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib
sebagai sumber belajar yang akan dijelaskan. Siswa dalam proses
mempelajari puisi diharapkan mampu menyerap hal-hal positif dan
memunculkan ide-ide baru dalam menganalisis setelah membaca
puisi tersebut. Setelah siswa membaca puisi Syair Lautan Jilbab
karya Emha Ainun Nadjib, mereka dapat mengambil nilai-nilai
positif misalnya keimanan kapada Allah, ketaatan kepada Allah
(ibadah), kesabaran dan nilai-nilai lainnya.
197
c) Kreatif, memiliki makna bahwa pembelajaran merupakan sebuah
proses pengembangan kreatifitas siswa karena pada dasarnya
setiap individu memiliki imajinasi dan rasa ingin tahu yang tidak
pernah berhenti. Supaya pembelajaran kreatif berhasil, guru harus
dapat mengenali sifat dan karakter setiap siswa. Setiap siswa pasti
mempunyai karakter yang berbeda-beda. Guru harus bisa tahu apa
yang sebenarnya diinginkan oleh siswa. Kreatifitas siswa tampak
dari bagimana siswa menguraikan permasalahan dalam puisi, cara
mereka dalam mengolah data dan menyelesaikannya secara urut
dan runtut. Dari situlah, kreatifitas siswa akan muncul serta tidak
langsung sebagai rangkaian proses kreatif. Siswa dalam melakukan
pembelajaran memiliki imajinasi yang tinggi. Misalnya salah satu
siswa ingin menjadi tokoh dalam puisi tersebut yang selalu
mendasari setiap perbuatannya dengan tuntunan agama. Peran guru
di sini adalah harus bisa memotivasi siswa tersebut supaya
memiliki kepribadian yang tawakkal dan taat kepada Allah Swt.
d) Efektif, berarti pembelajaran akan tercapai secara maksimal. Peran
guru supaya pembelajaran efektif adalah guru harus bisa
memanfaatkan waktu yang telah ditetapkan agar pembelajaran
lebih efektif dan maksimal. Untuk itu, perlu dirancang kegiatan
belajar mengajar dengan suasana yang memungkinkan setiap siswa
memperoleh peluang yang sama untuk menunjukkan dan
198
mengembangkan potensinya. Selain itu, guru seyogianya
memberikan waktu kepada siswa untuk mempelajari puisi Syair
Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib yang telah ditentukan di
luar jam sekolah. Dalam pertemuan selanjutnya, misalnya guru
menyuruh siswa mempelajari materi yang sudah diajarkan dan
menyuruh siswa untuk mencari unsur-unsur pembangun puisi yang
ada dalam puisi Syair Lautan Jilbab.
e) Menyenangkan dalam pembelajaran dimaksudkan bahwa proses
pembelajaran harus berlangsung dengan suasana yang
menyenangkan dan mengesankan. Supaya pembelajaran
berlangsung dalam suasana yang menyenangkan, guru dalam
menyampaikan materi harus kreatif, misalnya dengan
menggunakan gerak tubuh dan mimik wajah. Gerak tubuh dalam
menyampaikan materi pembelajaran mempunyai fungsi sebagai
penarik minat siswa untuk memperhatikan materi pembelajaran
yang disampaikan. Apabila gerak tubuh guru dalam
menyempaikan materi monoton, minat siswa dalam
memperhatikan materi kurang. Mimik wajah juga mempunyai
manfaat penting dalam menyampaikan materi pembelajaran.
Apabila dalam menyampaikan materi mimik wajah guru datar-
datar saja, minat siswa dalam mengikuti pelajaran tersebut dapat
hilang dan bahkan cenderung bosen. Sebaliknya, apabila mimik
199
wajah guru dalam menyampaikan materi dengan ceria dan
semangat, maka minat siswa dalam mengikuti pelajaran akan
tinggi. Dalam proses pembelajaran, terdapat interaksi yang ketat
antara guru dengan siswa. Apabila antara guru dan siswa terjalin
hubungan yang baik, pembelajaran pun akan berlangsung dengan
baik pula. Selain itu, untuk mendukung pembelajaran yang
menyenangkan, proses pembelajaran dapat dilakukan di luar kelas,
seperti ruang laboratorium bahasa, halaman kelas, dan tempat
mana pun yang siswa dapat merasa nyaman untuk belajar.
Dalam pembelajaran puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha
Ainun Nadjib di SMP, hal yang menyenangkan yaitu pada saat:
a) guru menyuruh siswa membentuk kelompok, masing-masing
kelompok terdiri dari 5 siswa. Setiap kelompok memperbolehkan
kebebasan memberi nama kelompoknya. Misalnya nama kelompok
diambil dari nama judul puisi tersebut.
b) Setiap kelompok memperoleh tugas untuk mencari struktur bentuk
dan struktur isi dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun
Nadjib yang sudah ditentukan oleh guru disetiap kelompoknya dan
menyuruh setiap kelompok mempersentasikan hasil diskusi setiap
kelompok tersebut.
c) Pada saat diskusi berlangsung, terjalin interaksi pembelajaran
antara guru dan siswa. Siswa menyampaikan pendapatnya
200
mengenai pertanyaan yang telah diberikan oleh guru secara
bervariasi sehingga proses belajar menjadi menyenangkan.
d) Guru memberikan pujian kepada siswa yang telah
mempersentasikan hasil diskusi kelompoknya dan juga kepada
kelompok lain yang telah menanggapi sehingga pembelajaran
menjadi menyenangkan. Siswa merasakan keberhasilan didapatkan
dengan usaha bersama dan merasa lebih dihargai oleh guru dan
teman-temannya.
2) Sistematika Pembelajaran Sastra Berbasis PAIKEM
Sistematika pembelajaran keterampilan sastra berbasis
PAIKEM dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
a) Menjelaskan tujuan pembelajaran. Guru menjelaskan mengenai
tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajarannya, yaitu mampu
menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya
sastra dan karya sastra yang digunakan ada puisi Syair Lautan
Jilbab karya Emha Ainun Nadjib;
b) mempersiapkan media belajar. Guru mempersiapkan media
pembelajaran yang mendukung kegiatan pembelajaran seperti
kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dan
buku-buku pendukungnya;
c) guru menyuruh siswa membentuk kelompok. Setiap kelompok
terdiri dari 5 siswa;
201
d) masing-masing kelompok diberi tugas untuk mencari struktur
bentuk dan struktur isi dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya
Emha Ainun Nadjib yang sudah dibaca sebelumnya di rumah
sebagai PR;
e) setiap kelompok mempersentasikan hasil diskusi;
f) guru memberikan komentar mengenai jalannya diskusi pada tiap-
tiap kelompok;
g) guru memberikan kesimpulan mengenai materi pembelajaran yang
telah dibahas pada pertemuan saat itu.
3) Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Pelaksanaan PAIKEM
Dalam melaksanakan PAIKEM, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan. Di bawah ini diuraikan hal-hal tersebut.
a) Memahami Sifat Peserta Didik
Aktif dan pasif adalah sifat siswa. Kedua sifat ini
merupakan modal dasar bagi perkembangan sikap atau berpikir
kritis dan kreatif. Pada dasarnya peserta didik memiliki rasa ingin
tahuan berimajinasi. Untuk itu kegiatan pembelajaran harus
dirancang menjadi lahan yang subur bagi perkembangan kedua
sifat tersebut.
Guru menyuruh siswa untuk membaca puisi Syair Lautan
Jilbab karya Emha Ainun Nadjib terlebih dahulu sebelum
pembelajaran. Setelah itu guru menyuruh siswa untuk mencari
202
struktur bentuk dan struktur isi yang ada dalam puisi tersebut. Hal
ini dilakukan supaya siswa dapat mengembangkan sikap berpikir
kritis yang menjadikan siswa aktif dalam proses pembelajaran.
b) Mengenal Peserta Didik Secara Perorangan
Peserta didik berasal dari latar belakang dan kemampuan
yang berbeda. Perbedaan individu harus diperhatikan dan harus
tercermin dalam pembelajaran. Semua peserta didik dalam kelas
tidak harus selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan
berada sesuai dengan kecepatan belajarnya.
Untuk siswa yang mempunyai kemampuan menangkap
pelajaran cepat, guru memberikan materi yang lebih mendalam
tentang struktur bentuk dan struktur isi dalam puisi Syair Lautan
Jilbab karya Emha Ainun Nadjib, sedangkan siswa yang
mempunyai kemampuan menangkap pelajaran lambat, guru
menyuruh siswa yang mempunyai kemampuan yang menyerap
pelajaran cepat untuk membantunya. Dengan tutor sebaya,
pelajaran akan lebih mudah dipahami dan siswa tidak merasa takut
atau malu bertanya jika kurang memahami materi. Berbeda halnya
jika guru yang menerangkan. Terkadang siswa malu bahkan takut
untuk bertanya. Dengan begitu, hasil pembelajaran dapat tercapai
secara maksimal.
203
c) Memanfaatkan Perilaku Peserta Didik dalam Pengorganisasian
Belajar
Peserta didik secara alami bermain secara berpasangan atau
kelompok. Perilaku demikian dapat dimanfaatkan oleh guru dalam
pengorganisasian kelas. Dengan belajar kelompok, siswa akan
dimudahkan untuk berinteraksi atau bertukar pikiran.
Dalam proses belajar mengajar, terdapat dua sifat siswa
yaitu aktif dan pasif. Aktif yang dimaksud adalah aktif dalam
bertanya ataupun mengeluarkan pendapatnya sedangkan dengan
pasif yaitu sebaliknya. Tujuan guru membentuk kelompok adalah
agar siswa yang pasif terpancing oleh siswa yang aktif untuk
mengeluarkan pendapatnya. Dengan begitu akan terjadi pertukaran
pendapat yang mampu memecahkan suatu masalah. Misalnya
bagaimanakah struktur bentuk dan struktur isi dalam puisi Syair
Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib.
d) Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Serta
Mampu Memecahkan Masalah
Berpikir kritis kreatif adalah modal dasar bagi siswa untuk
memecahkan suatu masalah. Dalam proses belajar mengajar
terdapat siswa yang mempunyai kemampuan berpikir kritis dan
kreatif ada juga yang tidak mempunyai kemampuan berpikir kritis
dan kreatif yang cenderung menyontek pekerjaan siswa yang
204
mempunyai kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Dalam hal ini
guru menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Dalam
hal ini guru menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif
yaitu siswa dengan memberi tugas dan bimbingan. Tugas-tugas
yang diberikan guru tentang struktur bentuk dan struktur isi dalam
puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib. Untuk dapat
menyelesaikan tugas atau masalah yang diberikan guru, siswa
harus dapat berpikir secara kritis dan kreatif. Guru juga
memberikan arahan dan bimbingan yang jelas sehingga siswa
dapat menyelesaikan tugas mereka baik kepada siswa yang
mempunyai kemampuan berpikir kritis dan kreatif dan juga kepada
siswa yang tidak mempunyai kemampuan berpikir kritis dan
kreatif. Dengan seringnya guru memberikan tugas dan bimbingan,
maka siswa akan tumbuh berpikir secara kritis dan kreatif sehingga
dapat memecahkan masalah.
e) Menciptakan Ruang Kelas sebagai Lingkungan Belajar yang
Menarik
Ruang kelas yang menarik sangat disarankan dalam
PAIKEM. Hasil pekerjaan peserta didik sebaiknya dipajang di
dalam kelas karena dapat memotifasi peserta didik untuk bekerja
lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi peserta didik yang lain.
Selain itu pajangan dapat juga dapat dijadikan bahan ketika
205
membahas materi pelajaran yang lain. Selain itu pajangan dapat
juga dijadikan bahan ketika melaksanakan materi pelajaran yang
lain. Guru menata ruang kelas sebelum melakukan diskusi.
Kemudian membagi siswa dalam beberapa kelompok dan
menjalankan diskusi sesuai tempat masing-masing yang telah
diatur oleh guru sehingga memudahkan siswanya dalam
melakukan kegiatan diskusi tentang struktur bentuk dan struktur isi
dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib.
Sebagai hasil dari diskusi atau pekerjaan individual yang
mendapatkan nilai bagus dipajang di depan kelas untuk madding
supaya dapat memotivasi siswa lain yang kurang memahami tugas
tersebut.
f) Memanfaatkan Lingkungan sebagai Lingkungan Belajar
Lingkungan (fisik, sosial, budaya) merupakan sumber yang
sangat kaya untuk bahan belajar peserta didik. Lingkungan dapat
berfungsi sebagai media belajar serta objek belajar peserta didik.
Lingkungan sekitar kelas dapat membantu siswa dalam belajar.
Misalnya ketika dalam proses pembelajaran berlangsung diluar
kelas, siswa dapat berimajinasi untuk bermain peran. Seolah-olah
siswa menjadi tokoh dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha
Ainun Nadjib. Dengan pelajaran demikian, siswa akan lebih
tertarik untuk mempelajari karya sastra.
206
g) Memberikan Umpan Balik yang Baik
Memberi umpan balik dari guru kepada peserta didik
merupakan suatu interaksi antara guru dan peserta didik. Umpan
balik hendaknya lebih mengungkapkan kekuatan dan kelebihan
peserta didik daripada kelemahannya. Umpan balik juga harus
dilakukan secara santun dan elegan sehingga tidak meremehkan
dan menurunkan motivasi. Misalnya guru memberi pertanyaan
mengenai apa yang telah dibaca oleh siswa dan guru menyuruh
siswa untuk mencari struktur bentuk dan struktur isi dalam puisi
Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib. Guru juga harus
konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan
komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan
siswa lebih bermakna lagi pengembangan diri siswa daripada
sekedar angka.
h) Membedakan antara Aktif Fisik dengan Aktif Mental
Dalam pembelajaran PAIKEM, aktif secara mental lebih
diinginkan daripada aktif fisik. Oleh karena itu, aktivitas sering
bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan
mengemukakan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental.
Guru berusaha menyuruh siswanya supaya aktif bertanya
mengenai pelajaran yang telah diberikan tanpa ada perasaan takut
ditertawakan, takut disepelekan, ataupun takut dimarahi jika salah.
207
Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa
takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari
temannya. Berkembangnya rasa takut bertentangan dengan
PAIKEM yang menyenangkan. Hal ini dapat dimulai dengan guru
bertanya kepada siswanya mengenai hal-hal yang ada dalam puisi
yang telah dipelajari. Sebagai bukti bahwa siswa telah memahami
pertanyaan yang telah diberikan guru, siswa dapat menyebut
struktur bentuk dan struktur isi dalam puisi Syair Lautan Jilbab
karya Emha Ainun Nadjib .
4) Indikator Pelaksanaan Pembelajaran PAIKEM
Dalam penerapan PAIKEM, bisa dilihat dan dicermati indikasi
yang muncul pada saat proses belajar mengajar yang dilaksanakan.
Disamping itu, pendidik juga harus perlu memperhatikan berbagai
prinsip ketika menerapkannya. Kriteria ada atau tidaknya
pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan dapat
dilihat dari indikator pada table di bawah ini.
208
Tabel
Indikator Penerapan PAIKEM dalam Pembelajaran
Puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib
Indikator Proses 1. Pekerjaan siswa
Siswa membuat kelompok, tiap-tiap kelompok beranggotakan 5 orang dan mencari struktur bentuk dan struktur isi dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib
2. Kegiatan siswa
Setelah siswa menemukan struktur bentuk dan struktur isi dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib, kemudian siswa mampu menjelaskan unsur pembangun puisi dalam puisi tersebut.
3. Ruang Kelas
Hasil presentasi hendaknya dipajang di ruang kelas.
Penjelasan Dengan bimbingan guru, siswa mencari struktur bentuk dan struktur isi dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib. Disini diharapkan siswa lebih aktif berusaha untuk menentukan unsur pembangun puisi dalam puisi tersebut. Siswa mampu menyebutkan struktur bentuk dan struktur isi dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dan tiap kelompok dapat menjelaskan unsur pembangun puisi dalam puisi tersebut. Hasil presentasi hendaknya dipajang di ruang kelas supaya hasil presentasi
Metode Guru membimbing dan memotivasi siswa untuk berusaha menemukan struktur bentuk dan struktur isi dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib Guru bersama siswa menyimpulkan hasil persentasi tiap-tiap kelompok. Kemudian guru menyimpulkan persentasi. Pengamatan ruang kelas dan dilihat apa saja yang dibutuhkan untuk dipajang,
209
4. Penataan Meja Kursi Meja kursi tempat peserta didik siswa dapat diatur secara fleksibel dan berbentuk huruf U.
5. Suasana Bebas
Siswa memiliki dukungan suasana bebas untuk menyampaikan atau mengungkapkan pendapat.
dibaca oleh siswa dan memotivasi siswa untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan berbagai metode, misalnya melalui kerja kelompok, diskusi, atau aktifitas siswa secara individu. Guru mengatur tempat duduk siswanya supaya mudah dalam melakukan diskusi. Siswa dilatih mengungkapkan pendapat secara bebas, baik dalam diskusi, tulisan, maupun kegiatan lain. Misalnya setelah berdiskusi secara kelompok, kemudian masing-masing kelompok membacakan hasil diskusinya di depan kelas.
dimana dan bagaimana. Hal seperti ini dapat menjadikan ruang kelas menjadi menarik dan menyenangkan. Diskusi, kerja kelompok, kerja mandiri, pendekatan individual penulis kepada murid yang prestasinya kurang baik. Guru dan sesama siswa mendengarkan dan menghargai pendapat siswa lain, diskusi, dan kerja individual. Guru memberikan penjelasan jika dirasa siswa belum mampu mendiskusikan pekerjaannya dengan baik.
210
6. Umpan balik Guru Guru memberikan tugas yang bervariasi dan secara langsung memberi umpan balik agar peserta didik segera memperbaiki kesalahan dalam diskusi.
7. Sudut Baca
Sudut kelas sangat baik untuk diciptakan sebagai sudut baca untuk siswa.
8. Lingkungan Sekitar
Lingkungan sekitar sekolah dijadikan media pembelajaran
Guru memberikan tugas yang mendorong peserta didik bereksplorasi dan penulis memberikan bimbingan individual atau kelompok dalam hal penyelesaian masalah. Sudut baca di ruang kelas akan mendorong siswa gemar membaca dan menemukan hal-hal yang baru. Laboratorium bahasa, perpustakaan, lapangan sekitar sekolah dioptimalkan pemanfaatannya untuk pembelajarannya
Guru memberikan penugasan individual atau kelompok, bimbingan langsung dan penyelesaian masalah. Observasi kelas, diskusi dan pendekatan orang tua penting untuk perkembangan prestasi siswa. Observasi lapangan, diskusi, kelompok, tugas, individual, dan lain-lain.
211
5. Strategi Pembelajaran Sastra
Berikut ini disajikan strategi dalam pembelajaran sastra khususnya
puisi, yang meliputi beberapa tahapan antara lain:
a. Pelacakan Pendahuluan
Tahap pelacakan pendahuluan merupakan tahap awal yang
dilakukan dalam strategi pembelajaran puisi. Dalam tahap ini,
sebelumnya menyajikan pembelajaran puisi di depan kelas hendaknya
guru perlu mempelajari puisi yang akan diberikan kepada siswa
terlebih dahulu. Hal tersebut diharapkan dapat membantu guru untuk
memperoleh pemahaman awal tentang puisi yang akan disajikannya
sebagai bahan pembelajaran di kelas. Pemahaman ini sangat penting
terutama untuk dapat menentukan strategi yang tepat, menentukan
aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian khusus dari siswa dan
meneliti fakta-fakta yang masih perlu dijelaskan. Dalam membaca
puisi ini guru hendaknya juga mulai menganalisis atau berusaha
mencari struktur bentuk dan struktur isi yang terdapat dalam puisi.
Salah satu hal yang penting dalam pelacakan awal adalah
menemukan cara yang tepat dengan keadaan siswa dalam kelas. Dalam
tahap ini juga memberikan kesempatan kepada siswa dalam
mengaplikasikan karya sastra. Setelah guru mengadakan pelacakan,
maka siswa pun perlu mengadakan pelacakan terhadap puisi yang akan
dikaji tersebut. Hal ini dilakukan dengan membaca puisi sehingga
212
siswa dapat memberikan tanggapan awal tentang unsur pembangun
puisi yaitu tentang struktur bentuk dan struktur isi pada puisi. Siswa
hendaknya diberikan waktu yang relatif cukup sehingga diharapkan
hasil akan dicapai dapat lebih memuaskan.
b. Penentuan Sikap Praktis
Puisi yang akan disajikan di depan kelas hendaknya diusahakan
tidak terlalu panjang agar dapat dibahas sampai selesai dalam dua
pertemuan. Hendaknya perlu ditentukan lebih dahulu informasi apa
yang seharusnya dapat diberikan oleh guru khususnya untuk
mempermudah siswa memahami puisi yang disajikan, dalam hal ini
adalah puisi Tersungkur, Kapak Ibrahim Hamba, Mata Air Kesejatian,
Cahaya Aurat, dan Seorang Gadis Seekor Anjing. Dalam tahap
penentuan sikap praktis ini, guru juga menjelaskan bahwa puisi yang
akan dianalisis adalah lima jenis puisi karya Emha Ainun Nadjib yang
terdapat pada kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab Sipress Malioboro
119 Yogyakarta.
c. Introduksi
Banyak faktor yang mempengaruhi penyajian pengantar ini,
termasuk situasi dan kondisi pada saat materi disajikan. Pengantar ini
akan sangat tergantung pada setiap individu guru, keadaan siswa, dan
juga karakteristik puisi yang akan disajikan. Agar pembelajaran lebih
213
efektif dan efisien hendaknya guru merencanakan tahapan
pembelajaran yaitu, perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi.
1) Perencanaan
Tahapan perencanaan ini seorang guru harus merencanakan
langkah-langkah yang akan dilakukan, yaitu: (1) menyiapkan
perangkat pendukung pembelajaran, puisi yang akan disajikan,
lembar diskusi, daftar kelompok siswa, lembar soal kelompok, dan
lembar jawab kelompok; (2) menyiapkan instrumen penilaian; (3)
menyiapkan perangkat tes berupa lembar tes memahami struktur
bentuk dan struktur isi pada puisi yang disajikan.
2) Tindakan
Tindakan merupakan sebuah pelaksanaan rencana
pembelajaran yang telah disiapkan. Tindakan yang dilakukan
dalam proses pembelajaran memahami struktur bentuk dan struktur
isi dalam puisi merupakan wujud konkret dari rencana
pembelajaran yang telah disusun. Secara garis besar tindakan
dilakukan guru melaksanakan proses pembelajaran memahami
struktur bentuk dan struktur isi pada puisi dengan menggunakan
model pembelajaran kelompok. Tindakan ini dilakukan dalam
beberapa tahap, yaitu pendahuluan, isi pembelajaran dan penutup.
214
Tahapan pendahuluan guru mengkondisikan siswa untuk
siap melaksanakan proses pembelajaran dengan memberikan
apresiasi untuk mengarahkan siswa pada materi pembelajaran.
Pada inti pembelajaran guru menjelaskan materi memahami
struktur bentuk dan struktur isi pada puisi. Kemudian guru
menjelaskan model pembelajaran berkelompok dan membagi
kelompok serta pemberian penjelasan mengenai model
pembelajaran berkelompok. Penjelasan ini bertujuan memberikan
pengertian dan motivasi kepada siswa. Selanjutnya, guru
membentuk kelompok diskusi yang terdiri dari 3-4 anggota
kelompok. Kemudian guru membagi lembar diskusi siswa beserta
lembar jawabannya. Setelah kegiatan diskusi selesai, guru
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat kelompok dan
individual yang berguna sebagai pengukur kemampuan
pemahaman materi yang disampaikan.
Setelah kegiatan pembelajaran selesai, guru dan siswa
melakukan refleksi. Kegiatan refleksi berhubungan dengan hal-hal
yang telah siswa pelajari seperti mengkaji, melihat dan mengolah
hasil yang dilakukan siswa.
3) Observasi
Observasi merupakan pengamatan guru terhadap kegiatan
siswa selama pembelajaran berlangsung. Data yang perlu diamati
215
dalam kegiatan observasi meliputi: (1) aktivitas siswa selama guru
memberikan penjelasan, (2) aktivitas selama siswa diskusi, (3)
mengukur terhadap kemampuan pemahaman siswa terhadap
materi.
4) Refleksi
Refleksi dilakukan oleh guru setelah melaksanakan
pembelajaran. Kegiatan refleksi ini meliputi kegiatan mengkaji,
melihat dan mengolah hasil yang dilakukan siswa.
d. Penyajian
Guru dalam tahap penyajian ini hendaknya guru telah
menyiapkan daftar pertanyaan pemahaman di rumah. Guru dapat
menuliskan daftar pertanyaan di papan tulis atau dibacakan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, misalnya:
1) Siapa pengarang dari lima puisi tersebut?
2) Suasana apa yang digambarkan dari puisi Seorang Gadis Seekor
Anjing?
Setelah pertanyaan yang bersifat informatis itu terjawab, siswa
perlu diberi pertanyaan yang lebih mendalam, misalnya:
1) Vokal dalam puisi yang berjudul Kapak Ibrahim Hamba bersifat
berat dan kedudukan, coba jelaskan?
2) Bagaimana penyair menampilkan diksi dalam puisi yang berjudul
Mata Air Kesejatian?
216
3) Amanat apa yang disampaikan pada puisi Tersungkur dan puisi
Cahaya Aurat?
Pembelajaran puisi tentu memerlukan waktu yang relatif lama,
maka dari itu guru dapat melanjutkan pada pertemuan berikutnya atau
mungkin menjadikannya sebagai pekerjaan rumah bagi para siswa.
Dalam pembelajaran lebih lanjut jika sekiranya masih cukup waktu,
guru dapat menambahkan pertanyaan-pertanyaan lain secara lebih
rinci. Untuk mengisi waktu, guru dapat memancing debat tentang
masalah-masalah tertentu, meski tidak perlu terlalu mendalam. Hal ini
dapat dikembangkan menjadi karya tulis para siswa dalam bentuk esai
pendek. Jadi, guru hendaklah menggunakan cara yang bervariasi agar
puisi yang disajikan mampu menikmati puisi yang sedang dikaji.
e. Tugas-tugas Praktis
Selama proses pembelajaran puisi ini, setelah semua selesai
dibaca, guru dapat member tugas-tugas praktis di rumah, seperti:
1) Jelaskan secara rinci unsur-unsur yang terkandung dalam unsur
pembangun puisi!
2) Dari kelima puisi Syair Lautan Jilbab mana yang paling menarik
menurut Anda? Cobalah dikaji berdasarkan unsur pembangun
puisi!
217
f. Diskusi
Diskusi lebih lanjut perlu dilaksanakan di kelas untuk
memperdalam pemahaman puisi. Urutan masalah yang dibahas dalam
diskusi kelas ini akan banyak dipengaruhi oleh imajinasi guru,
kekhususan puisi yang dipilih dan tanggapan siswa di kalas.
Apabila siswa pada umumnya telah mampu memahami ide
(pemikiran) global dalam puisi yang disajikan, diskusi dapat beralih ke
hal-hal yang lebih rinci dan pemberian ini harus ada hubungannya
dengan pemikiran keseluruhan. Setelah pembahasan hal-hal rinci itu
dipadukan menjadi suatu kesatuan, kemudian diskusi dapat diarahkan
ke kesimpulan yang mengandung unsur-unsur penilaian.
Untuk mengakhiri pembelajaran puisi ini dapat dilakukan
dengan diskusi kelompok dan dipresentasikan baik secara lisan
maupun tertulis berdasarkan topik-topik yang dapat dipahami siswa.
Di bawah ini diberikan contoh panduan diskusi dalam bentuk
pertanyaan.
1) Bagaimana pendapat Anda terhadap amanat yang disampaikan
dalam lima puisi di atas?
2) Ungkapan baru yang disampaikan penyair untuk mengungkapkan
isi hati penyair berupa apa?
3) Bagaimana pendapat Anda gaya bahasa yang digunakan penyair?
218
6. Sumber Belajar
Sumber belajar atau media dalam pembelajaran apresiasi sastra
khusunya puisi, yaitu:
a. Buku pelajaran bahasa Indonesia yang diwajibkan
Buku bahasa Indonesia SMP yang terkait dengan struktur
bentuk dan struktur isi, khususnya tentang diksi, vokal, kata konkret,
gaya bahasa, bahasa figuratif, gaya bahasa, tipografi, tema, amanat,
nada dan suasana. Pemilihan buku-buku tersebut tentu harus
disesuaikan dengan kriteria pemilihan bahan. Penggunaan kosa kata,
tata bahasa, urutan penyampaian bahan, dan evaluasi harus memenuhi
standar bahan pembelajaran.
Adapun buku pelajaran bahasa Indonesia yang wajib dimiliki
siswa kelas VIII SMP, yaitu buku Pintar Berbahasa Indonesia kelas
VIII karangan Djoko Taringan yang diterbitkan oleh penerbit Balai
Pustaka.
b. Buku Pelengkap
Buku pelengkap bersifat sebagai pendukung buku acuan
materi belajar. Isi dari buku tersebut benar-benar mendukung materi
yang sedang dipelajari. Adapun buku pelengkap yang dapat
dipergunakan, antara lain:
219
Siswa:
1) LKS Kreatif Bahasa Indonesia untuk SMP kelas VIII semester
gasal yang diterbitkan oleh penerbit Viva Parakindo tahun 2008.
2) Mampu Berbahasa Indonesia SMP/MTS kelas VIII karangan Asul
Wiyoto yang diterbitkan oleh Grasindo.
Guru:
1) Bahasa dan Sastra Indonesia: Untuk SMP Kelas VIII Karangan
TIM Guru Lap School yang diterbitkan oleh penerbit Rajawali
Cilik 2007.
2) Buku Bahasa Indonesia untuk SMP Jilid I (KTSP) karangan
Nurhadi yang diterbitkan oleh penerbit Erlangga tahun 2007.
3) Buku Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib yang
diterbitkan oleh penerbit Sipress Yogyakarta tahun 1995
c. Hasil Karya Sastra
Sebagai sebuah hasil karya sastra, puisi sangat baik sebagai
sumber belajar apresiasi sastra. Puisi yang dianalisis diutamakan puisi
yang mempunyai kadar estetik (keindahan). Siswa dapat secara
langsung mengidentifikasi puisi secara keseluruhan, baik struktur
bentuk dan struktur isi puisi. Adapun puisi yang dianalisis dalam hal
ini adalah puisi Tersungkur, Kapak Ibrahim Hamba, Mata Air
Kesejatian, Cahaya Aurat dan Seorang Gadis Seekor Anjing Antologi
puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib.
220
7. Penilaian
Penilaian yang digunakan untuk memahami tingkat keberhasilan
pembelajaran memahami struktur bentuk dan struktur isi melalui model
berkelompok dalam pembelajaran ini adalah penilaian objektif.
Penilaian secara objektif ini adalah instrumen penilaian yang
berupa pertanyaan-pertanyaan yang berisi perintah untuk menentukan
struktur bentuk dan struktur isi pada puisi yang disajikan.
Berikut ini adalah pedoman penilaian kemampuan memahami
struktur bentuk dan struktur isi pada puisi.
No
1
2
3
4
5
Rentang Nilai
85-100
69-84
53-68
47-52
<46
Kategori
SangatBaik (SB)
Baik (B)
Cukup (C)
Kurang (K)
Sangat Kurang (SK)
Pembelajaran memahami struktur bentuk dan struktur isi pada
puisi dikatakan berhasil jika rata-rata siswa mencapai nilai 64 dengan
kategori cukup dengan rincian soal yang diberikan secara berkelompok
terhadap struktur bentuk dan struktur isi pada puisi.
221
No
1
2
3
4
Item
1
2, 3, 4, 5, 6
7, 8
9, 10
Aspek yang dinilai
Menentukan tema dari kelima puisi karya
Emha Ainun Nadjib yang disajikan
Mengenali struktur bentuk dan struktur isi
yang ada dalam puisi yang disajikan
Menjelaskan struktur bentuk dari diksi,
vokal, kata konkret, bahasa figuratif, gaya
bahasa, dan tipografi dari puisi yang
disajikan
.
Menjelaskan struktur isi dari tema,
amanat, nada, suasana, dan parafrasa dari
puisi yang disajikan.
Perhitungan nilai kelompok dirumuskan sebagai berikut:
NA = ∑ B X 2 X 100
30
Keterangan:
NA : penilaian kelompok
∑ : jumlah benar
222
8. Waktu
Waktu yang digunakan dalam pembelajaran dapat diatur sesuai
dengan keluasan dan kedalaman materi. Seorang guru harus bisa mengatur
dan menggunakan waktu yang tepat dengan keluasan dan kedalaman
materi. Misalnya, materi yang panjang dan memerlukan pedalaman perlu
diberi waktu yang lebih waktu. Dalam pembelajaran puisi, waktu yang
digunakan adalah dua kali pertemuan.
9. Langkah-langkah pembelajaran
a. Tahap persiapan
1) Guru mempersiapkan perangkat mengajar yang akan digunakan
untuk mengajar, yang meliputi program satuan pelajaran, rencana
pembelajaran, lembar kerja siswa, dan lembar penilaian.
2) Satu minggu sebelum kegiatan belajar mengajar, guru memberi
tugas kepada siswa untuk membaca puisi karya Emha Ainun
Nadjib yang berjudul Tersungkur, Kapak Ibrahim Hamba, Air
Mata Kesejatian, Cahaya Aurat, dan Seorang Gadis Seekor
Anjing.
b. Kegiatan belajar mengajar di kelas
Guru:
1) Mempersiapkan siswa membaca puisi karya Emha Ainun Nadjib.
223
2) Menjelaskan tentang struktur bentuk dan struktur isi pada puisi
tersebut.
3) Meminta semua siswa untuk membentuk kelompok dan
mendiskusikan pertanyaan guru.
Siswa:
1) Membaca puisi yang berjudul Tersungkur, Kapak Ibrahim Hamba,
Air Mata Kesejatian, Cahaya Aurat, dan Seorang Gadis Seekor
Anjing.
2) Menjawab pertanyaan-pertanyaan guru mengenai struktur bentuk
dan struktur isi dalam puisi.
3) Membentuk kelompok untuk mendiskusikan pertanyaan-
pertanyaan guru dalam rangka menemukan jawaban yang
memuaskan dengan alasan yang kuat.
c. Menutup kegiatan belajar mengajar, guru menyimpulkan materi yang
telah disampaikan dan siswa membuat keimpulan.
10. Evaluasi
Penilaian sebagai suatu proses merupakan suatu kegiatan yang
tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pembelajaran secara umum. Oleh
karena itu, penilaian harus dapat dipertanggung jawabkan. Penilaian
proses dan hasil belajar bahasa Indonesia mencakup pengetahuan, sikap,
dan keterampilan.
224
Penilaian kognitif berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam
menguasai isi bahan pengajaran dan kemampuan menjawab soal-soal
dengan benar. Penilaian secara afektif dapat dilihat dari berbagai tingkah
laku siswa seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi
belajar, menghargai guru dan teman, kebiasaan belajar, dan hubungan
sosial. Penilaian psikomotorik berkaitan dengan keterampilan atau
kemampuan bertindak setelah ia menerima pengalaman belajar.
Psikomotorik merupakan tahap lanjutan dari aspek afektif yang akan
tampak pada kecenderungan- kecenderungan untuk berperilaku.
Alat evaluasi yang paling tepat untuk memberikan penilaian adalah
bentuk tes esai karena tes esai tepat untuk menilai proses kemampuan
berpikir yang melibatkan aktivitas kognitif, sehingga siswa berusaha
menjawab pertanyaan dengan benar. Untuk mendapatkan jawaban yang
benar, siswa harus betul-betul memahami materi yang telah disampaikan.
Dengan demikian penilaian kognitif lebih dominan jika dibandingkan
dengan penilaian afektif dan psikomotorik karena guru dapat melihat
dengan jelas kemampuan siswa dalam menangkap materi pembelajaran
melalui jawaban-jawaban yang ditulis oleh siswa.
225
Kelebihan tes esai adalah:
1) peserta didik dapat mengorganisasikan jawaban dengan pendapatnya
seniri;
2) tes ini sangat cocok untuk mengukur dan mengevaluasi hasil suatu
proses yang kompleks yang sukar diukur dengan mempergunakan tes
objektif;
3) derajat ketepatan dan kebenaran dalam kata-kata dan kalimat sendiri,
sehingga ini dapat digunakan untuk menyusun kalimat dengan bahasa
yang baik dan benar.
Kelemahan tes esai adalah:
1) sukar dinilai secara tepat;
2) membutuhkan waktu untuk memeriksa hasilnya.
3) bahan yang diukur terlalu sedikit, sehingga agak sulit untuk mengukur
penguasaan siswa terhadap keseluruhan kurikulum.
Contoh soal bentuk tes esai:
1) Sebutkan struktur bentuk puisi Mata Air Kesejatian? Bagaimanakah
bentuk struktur di bawah ini!
Mata Air Kesejatian
Mata air kesejatian Yang setiap saat dipalsukan Meneteskan merah darah cinta Yang tak bisa ditolak
Dari balik hutan Dari lembah duka derita
226
Dari gua kegelapan Lahir mutiara Lautan jilbab Lautan pergolakan Perjuangan gelombang Memendam cinta yang dijanjikan Kosong matanya Bisu mulutnya Tapi bertanyalah siapa ia “Aku ruh yang tak pernah kalian sangkal!”
2) Buatlah struktur isi dari puisi tersebut!
a. parafrasa puisi
b. menentukan tema
c. amanat
d. nada dan suasana
3) Bagaimanakah hubungan isi puisi tersebut dengan kehidupan sehari-
hari, kemukakan pendapatmu?
BAB V
PENUTUP
Hal-hal yang dipaparkan dalam bab V ini adalah simpulan dan saran.
Simpulan berisi ulasan singkat hasil analisis data dari penelitian ini, sedangkan
saran berisi masukan peneliti yang berkaitan dengan materi penelitian.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan konsep cinta menurut
sufisme dan semiotik dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha
Ainun Nadjib, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut.
1. Berdasarkan kajian semiotik di dalam kumpulan puisi Syair Lautan
Jilbab karya Emha Ainun Nadjib terdapat makna yang menonjol yaitu
makna tentang kesadaran eksistensi manusia dihadapan sesuatu yang
absolut (Tuhan), pemahaman dan perjuangan hidup untuk memahami
kehidupannya yang absurd, rasa frustasi manusia dalam menjalani
kebebasan manusia untuk memilih jalan hidupnya sendiri, dan kesadaran
tentang kenyataan bahwa kebebasan manusia tidak dapat dimutiakkan
karena ada sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari, keterbatasan
kebebasan manusia dalam Syair Lautan Jilbab adalah sebuah kematian.
Kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab secara semiotik merupakan sebuah
model bagi yang menjadi hipogram bagi puisi-puisi yang terangkum
dalam kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab. Judul kumpulan puisi
tersebut merupakan tanda bahwa kehidupan manusia merupakan sebuah
227
228
perjalanan untuk merenungi ketidakpastian kehidupan atau jalan
kehidupan yang bias. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa unsur
pembentuk struktur dalam Syair Lautan Jilbab berfungsi secara terpadu
sebagai pendukung makna dengan memberikan efek kepuitisan
2. Konsep cinta sufisme dalam puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha
Ainun Nadjib yaitu: (1) Tuhan adalah cinta dan di seberang cinta yang
diwujudkan dengan rasa cinta Allah Swt. kepada kekasih-Nya dan rasa
cinta manusia kepada Allah Swt. sebagai kekasih-Nya, (2) Dunia
diciptakan oleh cinta yang diwujudkan dengan cinta Allah Swt.
mengejawantahkan perbendaharaan yang tersembunyi melalui diri para
nabi dan orang-orang suci yang menjadi motivasi terciptanya alam
semesta ini, (3) Cinta menopang dunia yang diwujudkan dalam Allah
Swt. sebagai sumber segala sesuatu menciptakan dunia yang bersumber
dari cinta-Nya, (4) Cinta dan keindahan (sejati dan imitasi) yang
terwujud dengan cinta manusia yang sejati dan imitasi cinta terhadap
segalanya yang selain-Nya menjadi pilihan dimana seorang hamba akan
melabuhkan cintanya, (5) Kebutuhan dan keinginan yang terwujud dalam
aku-lirik yang senantiasa membutuhkan Allah Swt. menyadari atas
kebutuhannya itu bukan sebagai keinginan semata yang tak abadi sebagai
cinta, (6) Agama Cinta yang diwujudkan dengan cinta pada Allah Swt.
merupakan implikasi dari ilmu, amal, dan realisasi dalam agama Islam,
(7) Cinta dan akal mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia,
(8) Kebingungan dan kegilaan.
229
3. Pembelajaran puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dalam
pembelajaran sastra di SMP kelas VIII menggunakan model PAIKEM
(Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif dan Menyenangkan).
Pembelajaran model PAIKEM terbagi menjadi dua tahapan yakni tahap
perencanaan dan pelaksanaan. Dalam tahap perencanaan, guru
memanfaatkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Dalam tahap
pelaksanaan, guru sebagai motivator dan fasilitator, sedangkan siswa
sebagai subjek pembelajaran. Dalam pembelajaran yang aktif, guru
menyampaikan materi pokok, selebihnya siswa yang aktif dalam
kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran yang inovatif, guru
meminta siswa mencermati latar belakang kehidupan pengarang puisi
Syair Lautan Jilbab khususnya pendidikannya. Dalam pembelajaran
yang kreatif, guru mengajak siswa secara langsung mengapresiasi karya
sastra melalui kegiatan berperan naskah puisi Syair Lautan Jilbab.
Dalam pembelajaran yang efektif, siswa dituntut untuk berpikir kritis dan
bertindak efisien melalui pemberian tugas oleh guru yang sudah
dialokasikan waktunya dengan efisien. Dalam pembelajaran yang
menyenangkan, guru menggunakan beragam metode yakni metode
ceramah, diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, dan pemanfaatan
teknologi (pemutaran film) sehingga siswa tidak merasa jenuh.
Pembelajaran puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib tepat
diimplementasikan dalam pembelajaran sastra di SMP kelas VIII.
230
B. Saran
1. Bagi Pembaca
Kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib di
dalamnya terdapat konsep cinta sufisme yang bermanfaat bagi pembaca,
oleh karena itu dapat dijadikan referensi bacaan yang bermutu.
2. Bagi Peneliti
Penelitian terhadap konsep cinta sufisme dalam kumpulan puisi
Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib dengan kajian semiotik
hendaknya terus dilakukan bagi peneliti selanjutnya agar diperoleh kajian
yang lebih mendalam, karena masih banyak konsep-konsep sufisme lain
yang masih tersimpan di dalamnya.
3. Bagi Guru
Bagi para guru hendaknya puisi dan hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan pengajaran puisi. Puisi ataupun hasil penelitian
ini dapat dijadikan sumber bacaan, contoh, ataupun sumber belajar dalam
pengajaran prosa di SMP maupun SMA.
4. Bagi Siswa
Para siswa hendaknya lebih kreatif dalam mengapresiasi puisi
Syair Lautan Jilbab. Bukan hanya mengapresiasi, tetapi siswa dapat
menganalisis puisi Syair Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib secara
sederhana.
228
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jilani, Syekh’ Abdul Al Qadir. 2005. Rahasia Sufi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Al-Qur’an dan terjemahannya. 1998. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur’an.
Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru dan YA3 Malang.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian (suatu pendekatan praktik). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Betts, Ian L. 2006. Jalan Surya Emha. Jakarta: Kompas.
Chittick, William C. 2007. Jalan Cinta Sang Sufi. Yogyakarta: Qalam.
Dasi, Ma’ruf S. 1995. Sufisme dalam Kumpulan Puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya karya Emha Ainun Nadjib. Skripsi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2001. Metode dan Teori Pembelajaran Sastra Berwawasan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Buana Pustaka.
Hadi W. M., Abdul 1985. Sastra Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
_______. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiositas. Yogyakarta: Matahari.
_______. 2006. Madura. Lurung Prabhang. Jakarta: Gresindo.
_______. Putu Arya Tirtawirya., Mustifa W., Hasyim. 2009. Berburu Kata, Mencari Tuhan Apresiasi Sajak Bambang Widiatmoko. Yogyakarta: Gama Madia.
Haeri, Syekh Fadhlalla. 2003. Dasar-dasar Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Hamalik, Oemar. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
229
Hamka. 1981. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam.
Hidayat, Arief. “Sastra Religi Masih Miskin Kritik”, Koran Merapi. 17 Oktober 2010: 7.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Ismail, SM. 2009. Strategi Pembelajaran Agama Islam berbasis PAIKEM. Semarang: RASAIL Medis Group.
Jabrohim, 1994. Pembelajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan FPBS IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.
_______. 2003. Aspek Kebahasaan 99 untuk Tuhanku Emha Ainun Nadjib. Yogyakarta: Debut Press bekerjasama dengan Pusat Aktifitas dan Stusi Seni Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
_______. 2003. Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pusat Aktifitas dan Stusi Sastra Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Kurniawan, Heru. 2009. Mistisisme Cahaya. Yogyakarta: Grafindo bekerjasama dengan STAIN Purwokerto Press.
Nadjib, Emha Ainun. 1994. Syair Lautan Jilbab. Yogyakarta: Sipress.
_______. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nugraheni, Sekar. 2007. “Aspek sufistik dalam kumpulan cerpen setangkai Melati di Sayap Jibril karya Danarto”. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta.
University Prof. Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana ess.
Uno, Hamzah B. 2007. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
230
Pradopo, Rahmad Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
_______. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
_______. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pembelajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI).
Rumi, Jalaluddin. 2000. Jalan Menuju Cinta. Terj. Asih Ratnawati. Yogyakarta: Terompah.
_______. 2010. Kisah Keajaiban Cinta. Bantul: Kreasi Wacana.
Salam, Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKIS.
Santosa, Puji. 1933. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.
Sayuti, Suminto A. 2008. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Ankasa.
Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
_______. 1982. Khazanah Kesastraan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
_______. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Wachid B. S. Abdul. 2002. Religiositas Alam: dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron. Yogyakarta: Gama Media.
_______. 2008. Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri Gandrung Cinta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wicaksono, Aji. 2007. “Aspek Religius Puisi dalam Mantra Orang Jawa karya Spardi Djoko Damono”. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 2
BIOGRAFI PENGARANG
PUISI SYAIR LAUTAN JILBAB
Emha Ainun Najib
Muhammad Ainun Nadjib biasa di kenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Menikah dengan Novia Kolopaking Anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Pendidikan: SD di Jombang (1965), SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya Teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984), Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat.
Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama Istrinya Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, maya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti yang berpangkalan di pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal," ujarnya. Karir: Pengasuh Ruang
Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (197,Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), Pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini penulis puisi dan kolumnis di beberapa media. Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater: Lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984), Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, Aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto), Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan), Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern), Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun).Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar), Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993). Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan. Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976), Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978), Sajak-Sajak Cinta (1978), Nyanyian Gelandangan (1982), 99 Untuk Tuhanku (1983), Suluk Pesisiran (1989), Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990), Cahaya Maha Cahaya (1991), Sesobek Buku Harian Indonesia (1993), Abacadabra (1994), Syair Amaul Husna (1994), Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006) Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).
Lampiran 3
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)
PPEERRAANNGGKKAATT PPEEMMBBEELLAAJJAARRAANN SSIILLAABBUUSS PPEEMMBBEELLAAJJAARRAANN
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Satuan Pendidikan : SMP/MTs. Kelas/Semester : VIII/1
Nama Guru : ........................... NIP : ........................... Sekolah : ...........................
SILABUS PEMBELAJARAN Sekolah : .................................. Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : VIII (Delapan) / 2 (Dua) Standar Kompetensi: Menulis 16. Mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas
Karakter siswa yang diharapkan : Dapat dipercaya ( Trustworthines) Rasa hormat dan perhatian ( respect ) Tekun ( diligence )
16.2 Menulis puisi bebas dengan memperhatikan unsur persajakan
Penulisan puisi bebas dengan memperhatikan unsur persajakan
o Membaca berbagai puisi untuk mendaftar topik yang akan diangkat sebagai puisi
o Bertanya jawab untuk menentukan puisi yang akan ditulis
o Mengamati objek dan mendata objek yang akan dipuisikan
o Mendeskripsikan objek dalam larik-larik yang bersifat puitis
o Menulis puisi dengan memperhatikan unsur persajakan
o Menyunting puisi yang ditulis sendiri
• Mampu mendata objek yang akan dijadikan bahan untuk penulisan puisi
• Mampu mendeskripsikan objek dalam larik-larik yang bersifat puitis
Portofolio Lembar penilaian protofolio
• Tulislah sebuah puisi dengan berdasarkan topik tertentu dengan persajakan yang tepat!
• Suntinglah puisimu sehingga menjadi lebih puitis!
• Cermatilah komentar gurumu dan atau temanmu , kemudian tuliskan perasaanmu atas proses penulisan puisi yang kamu lakukan!
2 X 40’ Buku Teks Gambar Foto Lingkungan
Karakter siswa yang diharapkan : Dapat dipercaya ( Trustworthines) Rasa hormat dan perhatian ( respect ) Tekun ( diligence ) Tanggung jawab ( responsibility )
Lampiran 4
RENCANA PROGRAM PEMBELAJARAN (RPP)
Tingkat Sekolah : SMP
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas/semester : VIII (delapan) / 2 (dua)
Program :
Alokasi waktu : 2 x 40 menit
Aspek pembelajaran : Menulis
1. Standar Kompetensi : Mengungkapkan pikiran, perasaan, dalam puisi bebas
2. Kompetensi dasar : Menulis puisi bebas dengan memperhatikan persajakan
3. Indikator : 1. Mampu mendata objek yang akan dianalisis pada
puisi.
2. Mampu mendeskripsikan puisi dengan metode
semiotik Riffaterre
3. Mampu menganalisis sendiri dengan metode
semiotik Riffaterre
4. Tujuan pembelajaran : Peserta didik mampu mengungkapkan struktur bentuk
dan struktur isi pada puisi.
5. Materi pokok : 1. Puisi karya Emha Ainun Najib yang berjudul Syair
Lautan Jilbab.
2. Penggunaan metode semiotik Riffaterre dalam
analisis puisi.
6. Metode pembelajaran : 1. Presentasi
2. Diskusi kelompok
3. Tanya jawab
4. Penugasan
7. Kegiatan pembelajaran
Pertemuan 1
Tahap Kegiatan pembelajaran Alokasi waktu
Pembukaan
(apersepsi)
Guru mengenalkan kepada peserta didik
mengenai struktur bentuk dan struktur isi pada
puisi.
10 menit
Inti 1. Peserta didik menyimak puisi yang disajikan.
2. Peserta didik mencoba menulis puisi dan
menganalisis puisi dengan metode semiotik
Riffaterre.
60 menit
Penutup Guru melakukan tanya jawab dengan peserta
didik mengenai struktur bentuk dan struktur isi
pada puisi.
10 menit
Pertemuan 2
Tahap Kegiatan pembelajaran Alokasi waktu
Pembukaan
(apersepsi)
Guru mengajak peserta didik mengingat kembali
materi pertemuan sebelumnya.
10 menit
Inti 1. Peserta didik mencoba menganalisis puisi 60 menit
dengan metode semiotik Riffaterre.
2. Peserta didik lain mengamati hasil analisis
yang disampaikan peserta didik lain.
Penutup Guru menanggapi dan menilai peserta didik
dalam menganalisis puisi.
10 menit
8. Kegiatan pembelajaran : 1. Buku paket
2. Puisi karya Emha Ainun Najib
9. Teknik dan bentuk : 1. Tes lisan
2. Tes tertulis
3. Observasi kinerja / demonstrasi
4. Pengungkapan sikap
5. Penilaian diri
10. Instrumen / soal : 1. Perintah kepada peserta didik untuk mengamati
puisi dengan metode semiotik dari puisi yang telah
disajikan.
2. Perintah kepada peserta didik untuk menuliskan
analisis puisi dengan metode semiotik dengan puisi
yang telah disajikan.