BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Autisme merupakan suatu kumpulan gejala (sindrom) yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf. Gejalanya sudah tampak sebelum anak
mencapai usia tiga tahun. Penyandang autisme menunjukkan gangguan
komunikasi yang menyimpang. Gangguan komunikasi tersebut dapat terlihat
dalam bentuk keterlambatan bicara, tidak bicara, bicara dengan bahasa yang
tidak dapat dimengerti (bahasa planet), atau bicara hanya dengan meniru saja
(ekolalia). Selain gangguan komunikasi, anak juga menunjukkan gangguan
interaksi dengan orang disekitarnya, baik orang dewasa maupun orang
sebayanya. (Maulana, 2007)
Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang
berat. Hampir pada seluruh kasus, autisme muncul saat anak lahir atau pada
usia tiga tahun pertama. Pada prinsipnya gangguan – gangguan yang terjadi di
otak tidak dapat disembuhkan. Jika anak autistik terlambat atau bahkan tidak
mendapat intervensi hingga dewasa, maka gejala autis bisa semakin parah.
Hal ini yang kemudian akan menyebabkan terjadinya banyak kasus anak autis
yang gagal dalam mengembangkan kemampuan sosial dan komunikasi.
Untuk itu, perlu dilakukan terapi secara dini, terpadu, dan intensif sehingga
anak mampu bergaul layaknya anak – anak yang lain yang tumbuh secara
normal.
Menurut penyelidikan di Amerika, autisme terjadi pada 10 anak
dari 10.000 kelahiran. Kemungkinan terjadinya empat kali lebih sering pada
bayi laki-laki dibanding bayi perempuan. Statistik bulan Mei 2004 di
Amerika menunjukkan, satu di antara 150 anak berusia di bawah 10 tahun
atau sekitar 300.000 anak-anak memiliki gejala autis. Dengan perkiraan
pertumbuhan sebesar 10-17 persen per tahun, para ahli meramalkan bahwa
pada dekade yang akan datang di Amerika akan terdapat 4 juta penyandang
2
autis. Autisme terjadi di belahan dunia manapun. Tidak peduli pada suku, ras,
agama, maupun status sosial. (Maulana, 2007)
Prevalensi anak autis semakin bertambah. Pertambahan di Kanada
dan Jepang mencapai 40% sejak tahun 1980. Di California, pada tahun 2002
ditemukan 9 kasus autis per harinya. Adanya metode diagnosis yang semakin
berkembang hampir di pastikan jumlah anak yang terdeteksi menyandang
autisme akan semakin besar. Jumlah tersebut sangat mengkhawatirkan,
mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi
bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia. (Judarwanto, 2008)
Di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan
jumlahnya akan mencapai lebih dari 400.000 anak yang menyandang autisme.
Menurut Maulana (2007), jumlah penyandang autisme akan semakin
meningkat menjadi 15 – 20 anak atau 1 per 500 anak tiga tahun yang akan
datang.
Berdasarkan data hasil survey dari beberapa Sekolah Luar Biasa
(SLB) di kota Semarang yang diperuntukkan bagi anak – anak berkebutuhan
khusus, SLB Negeri Semarang merupakan salah satu sekolah dengan jumlah
anak autis paling banyak. Hingga saat ini, jumlah keseluruhan siswa yang
menyandang autisme di sekolah tersebut berjumlah 50 siswa. Prevalensi
jumlah anak autis meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat sekitar 15% pada
tahun 2005 siswa menyandang autis dan mengalami peningkatan pada tahun
2006 hingga 20%. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan yang sangat
signifikan sekitar 40 % dan pada tahun 2009 meningkat hingga 60%.
Orangtua yang dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa anaknya
merupakan anak autis, banyak orangtua yang dengan terpaksa menerima
keadaan anaknya. Keberadaan anak autis dalam suatu keluarga membuat
orangtua pasrah atau sebaliknya, orangtua menganggap anak autis sebagai
suatu aib dalam keluarga. Kenyataan yang demikian ini dapat memberikan
pengaruh pada sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang autis.
(Safaria, 2005)
3
Setiap orangtua akan mengalami berbagai macam perasaan.
Banyak orangtua yang shock setelah mendengar diagnosa dari dokter bahwa
anaknya mengalami gangguan perkembangan yang termasuk dalam spektrum
autisme. Setiap orangtua pasti memiliki reaksi emosional serta sikap yang
berbeda – beda. Yang sering terjadi adalah perasaan tidak percaya, marah,
sedih dan bingung, serta tidak dapat menerima dengan harapan bahwa
diagnosis tersebut salah. Sebagian besar orangtua dapat menerima dengan
tabah kabar tersebut dan langsung mengupayakan untuk membantu
penyembuhan anaknya. Sayang, masih ada sebagian kecil orangtua yang
belum dapat menerima kenyataan bahwa anaknya di diagnosa mengalami
gangguan autisme. (Maulana, 2007).
Fenomena semakin meningkatnya jumlah prevalensi autisme, maka
akan semakin banyak pula orangtua yang mengalami konflik batin dalam
menerima keberadaan anaknya yang autis. Konflik ini dapat terjadi karena
adanya kesenjangan antara keinginan dan harapan orang tua yang tidak
terpenuhi untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam keluarga,
sehingga dapat mempengaruhi penerimaan orang tua yang memiliki anak
autis, khususnya ibu. Hal ini dibuktikan oleh wawancara dengan seorang ibu
yang menyekolahkan anaknya yang autis di SLB Negeri Semarang. Secara
umum, sekilas orangtua tersebut terlihat layaknya orangtua yang gembira
mengantar dan menanti kepulangan anaknya. Berbagai perasaan akan muncul
bila teringat akan kondisi anaknya yang autis. Konflik batin yang dialami
oleh ibu tersebut akan mempengaruhi keadaan psikologinya, yang kemudian
akan berdampak pada sikap atau perilaku yang ditunjukkan oleh orangtua
kepada anaknya yang autis tersebut.
Sehubungan dengan kondisi dan permasalahan tersebut, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana “Penerimaan orangtua
terhadap anak autis di SLB Negeri Semarang.”
4
1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
penerimaan orangtua terhadap anak autis.
1.3. Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan Umum:
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang
bagaimana penerimaan orangtua terhadap anak autis di SLB Negeri
Semarang.
I.3.2. Tujuan Khusus:
a. Mengidentifikasi reaksi awal orangtua ketika anaknya didiagnosa
autis.
b. Mendeskripsikan pendapat orangtua mengenai autisme.
c. Mendeskripsikan cara orangtua dalam merawat anaknya yang autis.
d. Mengidentifikasi kendala – kendala yang dihadapi orangtua dalam
merawat anaknya yang autis.
e. Mendeskripsikan tentang cara orangtua menghadapi kendala –
kendala dalam merawat anaknya yang autis.
f. Mendeskripsikan harapan orangtua sekarang terhadap anaknya yang
autis.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangan ilmiah dalam bidang psikologi keperawatan, khususnya
tentang pentingya penerimaan orang tua terhadap anak autis.
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Praktik Keperawatan
Fenomena / gambaran yang telah terungkap akan mempermudah
perawat dalam mengidentifikasi kemungkinan dampak yang akan
muncul pada diri orangtua, khususnya ibu dalam menerima
kondisi anaknya yang autis.
5
b. Peneliti
Memberikan pengalaman yang nyata dalam melaksanakan
penelitian sederhana dalam rangka mengembangkan diri melalui
teknik – teknik ilmiah.
c. Peneliti lain
Diharapkan hasil penelitian yang telah dilakukan ini dapat
dijadikan referensi untuk dilakukan penelitian selanjutnya yang
lebih mendalam dengan topik yang sama.