BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB...

16
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas beragam etnis, ras, dan budaya yang tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman etnis yang ada di Indonesia, terdapat etnis Tionghoa sebagai salah satu golongan kebudayaan dengan identitas yang khas, yang hidup dan berkembang bersama etnis pribumi lainnya di Nusantara. Hidup dan berkembangnya etnis dan kebudayaan Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari falsah hidup mereka yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya 1 . Kehadiran orang-orang beretnis Tionghoa sebagai golongan minoritas di Indonesia memunculkan berbagai pandangan dan respon yang dikonstruksi oleh orang-orang non-Tionghoa tentang identitas orang-orang beretnis Tionghoa. Salah satunya adalah terdapat stereotip umum perihal etnis Tionghoa dalam persepsi orang-orang “Pribumi”. Stereotip tersebut dapat diringkas sebagai berikut: Mereka (baca: orang-orang Tionghoa) adalah kelompok yang kaya karena menguras ekonomi kita. Mereka adalah kelompok yang homogen dan tidak berubah. Mereka merasa lebih hebat dan eksklusif. Kesetiaan mereka kepada Indonesia layak dipertanyakan. Mereka enggan berbaur 2 . Dalam pengamatan historis, dapat ditelusuri bahwa secara umum dalam pandangan orang- orang “Pribumi”, orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di Indonesia diidentikan atau dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi dan bisnis. Pandangan ini diperkuat dan didukung oleh penelitian yang dilakukan, yang mengungkapkan 1 Abdul Rani Usma, Etnis Cina Perantauan di Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 1. 2 Stereotip ini telah merupakan hal yang lazim dalam masyarakat Indonesia sejak zaman colonial. Ungkapan- ungkapan lazim seperti “sekali China, tetap China”; “Tionghoa yang 3% menguasai 70% ekonomi kita”;”Mereka mengira lebih hebat daripada kita”; “Mereka tidak perduli siapa yang menguasai sapi perah asal mereka bisa memerahnya”; dan “Mereka tidak ingin berbaur dengan kita”, menunjukan pandangan yang esensial tentag orang Tionghoa sebagai kelompok yang minoritas dan homogen (Copple 1983: 5-27)

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas beragam etnis, ras, dan budaya yang

tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman etnis yang ada di

Indonesia, terdapat etnis Tionghoa sebagai salah satu golongan kebudayaan dengan identitas yang

khas, yang hidup dan berkembang bersama etnis pribumi lainnya di Nusantara. Hidup dan

berkembangnya etnis dan kebudayaan Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari falsah hidup

mereka yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya1.

Kehadiran orang-orang beretnis Tionghoa sebagai golongan minoritas di Indonesia

memunculkan berbagai pandangan dan respon yang dikonstruksi oleh orang-orang non-Tionghoa

tentang identitas orang-orang beretnis Tionghoa. Salah satunya adalah terdapat stereotip umum

perihal etnis Tionghoa dalam persepsi orang-orang “Pribumi”. Stereotip tersebut dapat diringkas

sebagai berikut:

Mereka (baca: orang-orang Tionghoa) adalah kelompok yang kaya karena menguras ekonomi

kita. Mereka adalah kelompok yang homogen dan tidak berubah. Mereka merasa lebih hebat

dan eksklusif. Kesetiaan mereka kepada Indonesia layak dipertanyakan. Mereka enggan

berbaur2.

Dalam pengamatan historis, dapat ditelusuri bahwa secara umum dalam pandangan orang-

orang “Pribumi”, orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di Indonesia diidentikan atau

dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi dan bisnis.

Pandangan ini diperkuat dan didukung oleh penelitian yang dilakukan, yang mengungkapkan

1 Abdul Rani Usma, Etnis Cina Perantauan di Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 1.

2 Stereotip ini telah merupakan hal yang lazim dalam masyarakat Indonesia sejak zaman colonial. Ungkapan-

ungkapan lazim seperti “sekali China, tetap China”; “Tionghoa yang 3% menguasai 70% ekonomi kita”;”Mereka

mengira lebih hebat daripada kita”; “Mereka tidak perduli siapa yang menguasai sapi perah asal mereka bisa

memerahnya”; dan “Mereka tidak ingin berbaur dengan kita”, menunjukan pandangan yang esensial tentag orang

Tionghoa sebagai kelompok yang minoritas dan homogen (Copple 1983: 5-27)

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

2

bahwa di Indonesia, orang-orang Tionghoa walau hanya berjumlah 3-4% di negeri ini dari 210

juta jiwa ternyata berhasil menguasai 70% dari sektor swasta dalam perekonomian negeri ini3.

Berangkat dari data tersebut menurut Skiner orang Tionghoa membuktikan bahwa mereka

paling cocok untuk perkembangan ekonomi. Mereka menekankan sistem nilai yang

mementingkan kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri sendiri, semangat berusaha dan

ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali

disesuaikan dan digunakan4.

Sehingga tidak jarang kita dapat menemukan banyak dari orang-orang beretnis Tionghoa

di Indonesia, lebih memilih untuk berkerja hanya pada sektor ekonomi dengan menjadi pedagang,

pengusaha dan pembisnis. Sebaliknya, sangat jarang ditemukan orang-orang beretnis Tionghoa di

Indonesia, yang terlibat dalam sektor lain, selain sektor ekonomi. Dapat dilacak melalui

pengamatan sejarah bahwa yang menjadi salah satu penyebab terciptanya kondisi ini karena

sebelum masa reformasi, selama di Indonesia orang-orang beretnis Tionghoa dibatasi ruang

geraknya dibidang lain, seperti bidang pendidikan , politik dan agama. Bahkan bahasa Mandarin

pada masa orde baru tidak boleh diajarkan di sekolah umum5. Stereotip perihal orang-orang etnis

Tionghoa di Indonesia adalah hasil bentukan sejarah, yang pada mulanya dikonstruksikan oleh

Belanda dan kemudian diproduksi oleh rezim-rezim Indonesia pascakolonial selanjutnya, ternyata

merasuk begitu mendalam6.

Namun pasca rezim Orde Baru, ruang baru telah dibuka berkat kebijakan

multikulturalisme yang memungkinkan ketionghoaan terekspresikan secara bebas ke dalam semua

sektor kehidupan. Hasil yang paling berarti adalah pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan

3 Melly G. Tan. Etnis Tionghoa Di Indonesia: Kumpulan Tulisan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 274.

4 Melly G. Tan. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia. 1979), vii-xix.

5 Abdul Rani Usma, Etnis Cina Perantauan di Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 3.

6 Chang-Yau Hoon. Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto: Budaya, Politik, dan Media (Jakarta: Yayasan Nabil. 2012),

261.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

3

yang baru, yakni UU Nomor 12 tahun 2006, yang disetujui oleh Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono pada 1 Agustus 2006, yang mendefenisikan ulang istilah “Indonesia asli”

mencangkup semua warga negara yang tidak pernah mendapatkan kewarganegaraan asing atas

kehendak sendiri7. Dengan adanya pengesahan Undang-undang tersebut memungkinkan orang-

orang beretnis Tionghoa di Indonesia mulai memiliki akses dan membuka diri untuk terlibat aktif

di bidang lain selain dalam bidang ekonomi.

Dalam realita saat ini ditemukan salah satu keterlibatan orang-orang beretnis Tionghoa di

sektor lain, selain sektor ekonomi, terlihat dari keberadaan orang-orang beretnis Tionghoa yang

menjadi Pendeta jemaat dari sebuah gereja, terutama pada gereja-gereja aliran Pentakosta.

Kehadiran orang-orang beretnis Tionghoa di sektor lain selain sektor ekonomi, dengan memilih

menjadi pemimpin dalam sebuah institusi keagamaan seperti gereja, menjadi fakta yang melawan

stereotipe etnis Tionghoa sebagai “binatang ekonomi”8. Walaupun ruang baru telah dibuka berkat

kebijakan multikulturalisme yang memungkinkan ketionghoaan terekspresikan secara bebas,

tetapi hal ini tidak menjamin diterimanya kelompok minoritas ini secara penuh oleh mayoritas

non-Tionghoa. Orang-orang etnis Tionghoa masih terus dipandang sebagai orang asing di negeri

yang telah mereka angggap sebagai rumah sendiri9. Seiiring dengan pendapat tersebut maka

perlunya mengonseptualisasikan dan merekonstruksi ketinghoaan atau identitas Tionghoa di

Indonesia, salah satunya melalui studi tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa.

Selama ini keberadaan orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia yang berprofesi

sebagai pendeta belum pernah secara khusus tergambarkan dan terekam melalui sebuah penelitian

ilmiah. Dengan melakukan penelitian ilmiah, akan menghasilkan fakta yang berimplikasi dalam

upaya merekonstruksi kembali identitas orang-orang Tionghoa yang hidup di Indonesia. Hal ini

7 Ibid., 256.

8 Ibid., 257.

9 Ibid.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

4

dikarenakan stereotip yang telah lama melekat kuat tentang orang-orang beretnis Tionghoa di

Indonesia, yang dipandang hanya memiliki kemampuan dalam sektor ekonomi saja. Pandangan

yang telah berakar secara mendalam tersebut tidak cukup kuat dibongkar hanya dengan asumsi

atau pun opini semata.

Berkaitan dengan hal tersebut maka menarik untuk melihat keterlibatan orang-orang

beretnis Tionghoa di Indonesia dalam kepemimpinan mereka pada institusi keagamaan seperti

gereja, dalam hal ini peranan mereka sebagai Pendeta jemaat. Hal tersebut menjadi menarik bagi

peneliti karena pembahasan tentang kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting dalam sejarah

kehidupan manusia, bahkan menentukan dalam pencapaian suatu tujuan kelompok atau

organisasi, termasuk suatu jemaat. Tanpa ada pemimpin dan kepemimpinan yang baik dan benar,

suatu kelompok bahkan negara sekalipun akan kacau kerena tidak adanya sosok yang

mengarahkan dan mengatur orang-orang untuk mencapai tujuan10

.

Pembahasan mengenai kepemimpinan dan pemimpin bukanlah hal yang mudah. Hal ini

dikarenakan setiap pemimpin tentu mempunyai gaya atau tipe kepemimpinan yang tersendiri dan

berbeda antara yang satu dengan lainnya. Kondisi ini disebabkan karena adanya faktor eksternal

maupun internal yang turut mempengaruhi dan menentukan kepemimpinan seseorang. Salah satu

wujud dari faktor yang mempengharuhi kepemimpinan seseorang adalah berkaitan dengan kultur

dari pemimpin tersebut. Pengertian kultural atau budaya yang dimaksudkan mengacu pada

perilaku yang dipelajari yang menjadi karakter cara hidup secara total dari anggota suatu

kelompok masyarakat tertentu. Kebudayaan atau kultur membentuk perilaku, sikap, dan nilai

manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku manusia adalah hasil dari proses sosialisasi dan

10 Retnowati, “Kepemimpinan dan Perubahan Budaya:Refleksi Gaya Kepemimpinan di Era Global, Perpektif

Teori Kebudayaa” Jurnal Studi Agama dan Masyarakat(Vol. IV No.1, Oktober 2012), 37.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

5

sosialisasi selalu terjadi dalam konteks lingkungan etnik dan kultur tertentu11

. Kondisi ini

dikarenakan kultur atau budaya terdiri dari nilai-nilai umum yang dipegang dalam suatu kelompok

manusia; merupakan satu set norma, kebiasaan, nilai dan asumsi-asumsi yang mengarahkan

perilaku kelompok tersebut. Kultur juga mempengaruhi nilai dan keyakinan serta mempengaruhi

gaya kepemimpinan dan hubungan interpersonal seseorang12

.

Bagian yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukan betapa gereja-gereja sebagai salah

satu lembaga atau institusi keagamaan juga membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang

baik, tidak terkecuali bagi gereja-gereja beraliran Pentakosta. Dalam realita, berdasarkan tinjauan

dilapangan (pra penelitian) yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan banyak Pendeta beretnis

Tionghoa yang menjadi pemimpin jemaat atau gembala di gereja-gereja aliran Pentakosta. Dapat

diidentifikasi bahwa dibawah kepemimpinan mereka, gereja-gereja beraliran Pentakosta tersebut

dari segi kuantitas jemaat yang dipimpin mengalami pertumbuhan jumlah jemaat yang sangat

pesat dan gejala peningkatan tersebut berlangsung secara terus menerus. Gereja-gereja tersebut

berkembang dengan signifikan dan memperluas pelayanan mereka dengan membuka cabang-

cabang gereja diberbagai daerah yang telah menjadi gereja dewasa. Sehingga kemunculan gereja-

gereja aliran Pentakosta dipandang memiliki perkembangan paling spektakuler pada abad ini13

.

Gereja-gereja aliran Pentakosta yang sering dikenal sebagai gereja-gereja dengan corak

baru dan merupakan bagian dari Keristenan gelombang ketiga. Dalam menjalankan

kepemimpinan dan manajemen gereja-gereja aliran Pentakosta tidak terikat pada wadah-wadah

bersama seperti sinode. Kalau pun ada sinode, biasanya komitmennya sangat longgar. Setiap

gereja dalam hal ini pendeta yang merupakan pemimpin jemaat mempunyai kebebasan yang

sangat besar dalam hal mengatur gerejanya. Pemimpin memiliki ruang yang besar dan cenderung

11

Zakiyuddin Baidhaiwy. Pendidikan Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), 24.

12

A. Nahavandi. The art and science of leadership (2nd

Ed). New Jersey: Prentice Hall, 2000.

13

Jan S. Aritonang. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: Erlangga, 1995), 166.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

6

bebas dalam menentukan berbagai kebijakan dalam gereja, serta bisa mengembangkan

“teologi”nya sendiri. Hal tersebut memungkinkan munculnya sikap individual dari pemimpin

yang cenderung berlebihan sehigga tidak jarang membuat gereja-gereja aliran ini mudah

terpecah14

.

Selanjutnya, dengan mengacu kepada bagian yang diungkapkan di atas, maka identitas

kultural atau budaya yang khas, yang membentuk perilaku, karakter dan sistim nilai yang dimiliki

oleh pendeta beretnis Tionghoa akan mempengaruhi bagaimana kepemimpinannya dalam sebuah

jemaat. Pendeta beretnis Tionghoa termasuk dalam kelompok yang dikenal sebagai orang-orang

yang menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri

sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi

sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan. Sistem nilai, perilaku, karakter dalam kultur

yang dimiliki tersebut dimungkinkan menjadi bagian-bagian yang dapat mempengaruhi gaya atau

tipe dan karakter kepemimpinan.

Bertitiktolak dari permasalahan tersebut melalui tulisan ini peneliti berupaya melakukan

studi tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Dengan melihat bahwa kultur yang khas

yang membentuk perilaku, karakter dan sistem nilai yang kemudian dimiliki sebagai orang

Tionghoa, dihubungkan dengan kepemimpinan dalam peranannya sebagai Pendeta jemaat dalam

sebuah lembaga atau institusi keagamaan seperti gereja. Untuk mewujudkan hal tersebut, peneliti

melakukan penelitian pada gereja-gereja aliran pentakosta di kota Salatiga. Peneliti memilih

Gereja Bethel lndonesia (GBI) Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga sebagai lokasi penelitian.

Alasan pemilihan kedua gereja ini, karena kedua gereja tersebut termasuk gereja-gereja beraliran

Pentakosta dengan jumlah jemaat yang terbesar di daerah Salatiga. Selain itu kedua gereja

14 Rijn van Kooij dan Yam'ah Tsalatsa A. Bermain dengan Api: Relasi Antara Gereja-gereja Mainstream dan

Kalangan Kharismatik dan Pentakosta, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), xvi.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

7

tersebut dipimpin oleh Pendeta beretnis Tionghoa. Berdasarkan penjelasan di atas, maka

penelitian ini diberi judul: KEPEMIMPINAN PENDETA BERETNIS TIONGHOA (Studi

Kasus Pada Gereja-gereja Aliran Pentakosta di Kota Salatiga)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dari penelitian yang diungkapkan di atas, rumusan masalah

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana kepemimpinan Pendeta

beretnis Tionghoa dalam gereja-gereja aliran Pentakosta di kota Salatiga?

Rumusan masalah di atas dijabarkan dalam fokus penelitian sebagai berikut:

A. Gaya atau tipe kepemimpinan yang merujuk pada pemetaan, sbb: (a) Gaya

kepemimpinan yang menekankan pada relasi dan tugas, yang kemudian dijabarkan dan

dijelaskan dalam 4 (empat) gaya kepemimpinan dasar yang yaitu: (1) kekompakan

tinggi dan kerja rendah, (2) kerja tinggi dan kekompakan rendah, (3) kerja tinggi dan

kekompakan tinggi, (4) kerja rendah dan kekompakan rendah. (b) 3 (tiga) gaya

kepemimpinan utama dan 6 (enam) gaya kepemimpinan pelengkap. Gaya atau tipe

kepemimpinan yang dimaksud antara lain: (1) gaya atau tipe kepemimpinan otoriter,

(2) kepemimpinan bebas/Laissez Faire, (3) gaya atau tipe kepemimpinan demokratis,

serta beberapa tipe kepemimpinan pelengkap yang terdiri dari (4) gaya atau tipe

kepemimpinan kharismatik, (5) gaya atau tipe kepemimpinan simbol, (6) gaya atau

tipe pengayom, (7) gaya atau tipe pemimpin ahli, (8) gaya atau tipe kepemimpinan

organisatotoris dan administrator dan (9) gaya atau tipe kepemimpinan agitator.15

15 Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 1996, 94-109.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

8

(c) gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Harsey dan Blanchard,

(d) gaya kepemimpinan transformatif serta (e) gaya kepemimpinan transaksional16

.

B. Karakter kepemimpinan (Leadership Character) dari Pendeta beretnis Tionghoa

ditinjau dari konsep karakteristik pemimpin yang melayani (Characteristics of the

Servant-Leader).

C. Pengaruh kultur sebagai seorang etnis Tionghoa dalam proses kepemimpinan.

D. Kompetensi Pendeta beretnis Tionghoa sebagai pemimpin.

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini ialah mendekripsikan dan menganalisa kepemimpinan

Pendeta beretnis Tionghoa dalam Gereja-geeja aliran Pentakosta di Kota Salatiga. Tujuan umum

tersebut disesuaikan dengan fokus penelitian, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan yang

bersifat khusus sebagai berikut:

A. Gaya atau tipe kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa

B. Karakter Kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa ditinjau dari konsep karakteristik

pemimpin yang melayani (Characteristics of the Servant-Leader).

C. Pengaruh kultur sebagai seorang etnis Tionghoa dalam proses kepemimpinan.

D. Kompetensi Pendeta beretnis Tionghoa sebagai pemimpin.

16 Jony Oktavian Haryanto. KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI: Tinjauan Teoritis dan Contoh Penerapan

(Salatiga: Fakultas Ekonomi UKSW, 2004), 5-46.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

9

1.4. Manfaat Penelitian

Sebagai suatu karya ilmiah maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis, secara umum diharapkan pembahasan tentang

kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa akan memberikan sumbangan pemikiran untuk tipe dan

gaya kepemimpinan Kristen dan secara umum dapat mengembangkan secara konseptual dalam

bidang teologi kepemimpinan.

Selain itu penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada kegiatan praktis dalam pelaksanaan

kepemimpinan pendeta yang menjadi pemimpin jemaat. Bagi para pendeta beretnis Tionghoa,

sebagai masukan agar dengan menyadari pentingnya peran yang diemban sebagai pemimpin

jemaat, yang bersangkutan mampu mengembangkan sumber daya manusia dan mengelola gereja

yang dipimpin agar memiliki kualitas yang lebih. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

berkontribusi bagi upaya rekonstruksi identitas orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia, yang

selama ini hanya diidentikan mampu bergerak dalam sektor ekonomi saja.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan

kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang bagian yang dialami oleh subjek

penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain–lain secara holistik17

.

Pendekatan kualitatif menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-

angka. Dapat juga berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati18

.

17 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2002), 6.

18

Robert C. Bogdan & Sari Bikien, Quality Research for Education: An Introduction to Theory and Mathods

(Boston: Allyn and Bacon, 1985), 5.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

10

Berkaitan dengan karakteristik seorang peneliti kualitatif, menurut Bogdan & Biklen memiliki

5 aspek penting yaitu: (1) setting dalam pendekatan kualitatif merupakan suatu kondisi yang alami

dan peneliti merupakan instrument utama bagi pengumpulan dan analisa data, (2) penyusun

deskripsi, harus menekankan proses, makna dan pemahaman yang diperoleh melalui kata-kata

atau gambar, (3) lebih mengutamakan proses (aktivitas) dari pada out come atau produk, (4)

proses induktif, dalam arti peneliti membangun abstraksi, konsep, hipotesis dan teori dari hal-hal

yang detail di lapangang, (5) lebih menekankan pada penemuan makna; di samping itu benar-

benar terjun ke lapangan19

.

Dari ungkapan aspek-aspek yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

penelitian yang dilakukan ini membutuhkan pendekatan kualitatif karena memerlukan

pengamatan yang mendalam sesuai dengan latar belakang yang dihadapi. Di sini peneliti sebagai

intrumen utama, dan harus turun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data maupun

menganalisanya sesuai dengan pendapat Bogdan & Biklen tersebut.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan studi kasus (Case Study), yang merupakan upaya

penyelidikan yang sistematis atas suatu kejadian khusus dan berusaha memberikan penjelasan

yang jujur dan saksama tentang suatu kasus tertentu sedemikian rupa, sehingga memungkinkan

pembacanya untuk menembus ke dalam apa yang tampak di permukaan20

. Jadi dapat dikatakan

studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam

terhadap suatu organisme (individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang

sempit.

19 Ibid., 27-30

20 J. Nisbet & J. Watt, Studi Kasus (Sebuah Panduan Praktis) (Jakarta: PT. Grasindo dan Satya Wacana

University Press, 1994), 4.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

11

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara21

mendalam (depth interview) dengan para informan kunci yaitu Pendeta beretnis Tionghoa dan

beberapa informan pendukung. Selain itu untuk mengumpulkan data-data di lapangan, peneliti

juga menggunakan teknik observasi, sebagai teknik yang dilakukan dengan pengamatan secara

sistematik terhadap kejadian yang diteliti. Observasi dalam penelitian ini, dilakukan terutama

untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kepemimpinan pendeta beretnis Tionghoa. Dalam

penelitian ini peneliti menempatkan diri sebagai partisipan, dengan turut terlibat dalam kurun

waktu tertentu untuk mengamati bagaimana kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Observasi

partisipan ini dilakukan untuk menjaga mutu data dalam penelitian kualitatif.

1.5.2. Data Analisa

Data-data yang diperoleh melalui teknik wawancara, dan observasi lapangan tersebut kemudian

akan dijelaskan dan diuraikan dalam bentuk deskripsi dengan menggunakan landasan teori

sebagai alat bedah analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru dari hasil penelitian

ini

1.5.3. Unit Analisa, Unit Amatan dan Subjek Penelitian

Unit analisis adalah suatu unit tentangnya peneliti menghimpun atau mencari informasi

dan membuat kesimpulan terhadapnya. Sedangkan unit amatan adalah suatu unit yang darinya

informasi diperoleh guna menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisa22

. Berdasarkan

penjelasan ini, maka unit analisa dalam penelitian ini kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa.

21

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 90.

22

Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada, University Press, 1999), 29.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

12

Sedangkan unit amatannya adalah jemaat Gereja Bethel lndonesia (GBI) Salatiga dan jemaat

Gereja Bethany Salatiga.

Konsekwensi logis dari unit analisis dan unit amatan adalah penentuan informasi kunci

(subjek penelitian). Dalam penelitian ini subjek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-

variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya23

. Dalam penelitian ini sampling

menggunakan sample sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini

misalnya, orang tersebut dianggap memenuhi kriteria yang kita harapkan yang akan memudahkan

peneliti menjelajahi subjek atau permasalahan yang diteliti24

.

Untuk itu penentuan informan kunci dalam penelitian ini pertama-tama dipilih informan yang

memiliki pengetahuan khusus, mempunyai informasi memadai, dan dekat dengan situasi yang

menjadi fokus penelitian, di samping itu orang tersebut memiliki status tertentu. Untuk tujuan ini

maka yang menjadi informan kunci yang ditetapkan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah

subjek dengan karakteristik berikut ini:

a) Subjek adalah Pendeta yang beretnis Tionghoa, yang memimpin sebuah jemaat dari satu

gereja aliran Pentakosta.

b) Subjek adalah pendeta laki-laki maupun perempuan yang belum atau sudah menikah.

c) Subjek telah menduduki posisi sebagai pemimpin jemaat tidak kurang dari dua tahun.

d) Berdomisili di Salatiga.

1.5.4. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih oleh peneliti dalam penelitian ini adalah Gereja Bethel lndonesia

(GBI) Salatiga yang beralamat di Jalam Hasanudin 3B Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga yang

beralamat di Jalan Jenderal Sudirman 105 Salatiga. Mengapa peneliti memilih Gereja Bethel

23

Sudarwan Danim,. Menjadi Peneliti kualitatif (Bandung : Pustaka Setia, 2002), 55. 24

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D (Bandung: Alfabeta2007), 246-247.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

13

lndonesia (GBI) Salatiga dan Gereja Bethany Salatiga? Alasannya, kedua gereja tersebut

merupakan gereja yang memiliki jemaat terbesar di lingkungan gereja-gereja beraliran Pentakosta

se-Salatiga. Selain itu dalam melaksanakan tugas kepemimpianannya, GBI Salatiga dan Gereja

Bethany Salatiga memiliki Pendeta beretnis Tionghoa yang memenuhi kriteria untuk menjadi

informan kunci dalam penelitian ini.

1.6. Urgensi Penelitian

Yang menjadi urgensi dalam penelitian ini adalah adanya stereotip umum perihal etnis

Tionghoa bahwa orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di Indonesia selalu diidentikan atau

dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi dan bisnis.

Stereotip ini berdampak dalam menciptakan ruang gerak yang terbatas bagi orang-orang beretnis

Tionghoa di Indonesia untuk aktif terlibat dalam sektor lain. Sehingga dengan melakukan

penelitian ini, akan menghasilkan fakta yang berimplikasi dalam upaya merekonstruksi kembali

identitas orang-orang Tionghoa yang hidup di Indonesia, karena stereotip yang telah lama melekat

kuat tentang orang-orang beretnis Tionghoa di Indonesia, yang dipandang hanya memiliki

kemampuan dalam sektor ekonomi saja yang tidak cukup kuat dibongkar hanya dengan asumsi

atau pun opini semata. Inilah yang menjadi urgensi mengapa penelitian ini penting untuk

dilakukan.

1.7. Output

Dalam melakukan penelitian ini, output penelitian yang diharapkan untuk diperoleh adalah

dihasilkannya model dan gaya kepemimpinan yang khas dari Pendeta beretnis Tionghoa. Dengan

identitas kultural yang khas sebagai orang beretnis Tionghoa menjadi salah satu faktor yang akan

mempengaruhi bagaimana kepemimpinan seseorang. Orang-orang Tionghoa di Indonesia yang

telah membuktikan diri mereka sebagai golongan yang sukses dan cocok untuk perkembangan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

14

ekonomi karena menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengandalan

pada diri sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan ditambah pula dengan prinsip-prinsip

organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan, diharapkan juga memiliki

kualitas sebagai seorang pemimpin jemaat. Sehingga model dan gaya kepemimpinan yang

dihasilkan akan menjadi referensi bagi pemimpin-pemimpin jemaat lainnya.

1.8. Kajian Pustaka

Berdasarkan penelusuran literatur, maka peneliti tidak menemukan kajian yang secara khusus

membahas tentang kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa. Belum banyak peneliti yang tertarik

membahas tentang keterlibatan orang-orang etnis Tionghoa dalam sektor lain, selain sektor

ekonomi dan bisnis, dalam hal ini termasuk pembahasan tentang kepemimpinan Kristen.

Namun peneliti menemukan beberapa penelitian yang membahas tentang kepemimpinan

Kristen. Salah satunya dalam tesis yang ditulis oleh Eko Purwanto yang berjudul

KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI: Studi Tentang Pandangan Jemaat Terhadap Implementasi

Kepmimpinan Yang Melayani Oleh Majelis Jemaat di Gereja Indonesia (Salatiga). Perhatian

utama atau fokus dalam dalam penelitian ini pada karekter servant leadership yang meliputi

kesadaran diri sebagai pelayan, peran pemimpin dalam mentransformasikan pengaruh melalui

visi, kepercayaan, keteladanan, pemberdayaan SDM dan mentoring.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah secara keseluruhan konsep kepemimpinan yang

melayani telah diimplementasikan oleh Majelis Jemaat GKI Salatiga dengan sangat baik.

Kesimpulan ini didukung oleh pandangan atau jawaban mayoritas responden yang mencapai

sebanyak 90.4% pada kategori sedang sampai tinggi. Demikian juga untuk pandangan jemaat

terhadap aspek-aspek dari kepimpinan yang melayani menunjukan hasil bahwa Majelis GKI

Salatiga sudah mengimplementasikan aspek-aspek tersebut dengan baik.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

15

Penelitian lain yang ditulis dalam bentuk tesis oleh Icclesia Ratri Kurnia yang berjudul

KOSISTENSI PERAN PENDETA TERHADAP PANGGILANNYA: Studi Kasus Pendeta Gereja-

Gereja Kristen Jawa), tesis ini secara khusus menguaraikan tentang penilaian perihal konsistensi

peran pendeta gereja-gereja Kristen Jawa terhadap panggilan sebagai Pendeta Jemaat. Dalam

melihat dan mengetahui mengenai konsistensi peran pendeta gereja-gereja Kristen Jawa terhadap

panggilannya, penulis menggunakan teori dramaturgi dan konsistensi sebagai teori utama. Teori

ini dijadikan penulis sebagai alat ukur dalam melihat penilaian para pendeta Gereja-gereja Kristen

Jawa terhadap dirinya sendiri secara jujur. Teori dramaturgi dari Erving Goffman, yang

menjelaskan tentang gambaran seseorang yang memainkan peranan ganda sebagai bentuk

ketidakmampuan untuk menjadi diri sendiri, mampu menjadi teori patokan atau arahan sebagai

landasan berpikir bagi pembaca untuk memahami tesis ini. Sehingga dari penggunaan teori ini

dapat memberikan pengarahan dan perhatian agar tujuan penelitian terstruktur dengan baik.

Dalam kesimpulannya dijelaskan dengan terbuka dan lugas bahwa sebagian besar pendeta

GKJ dalam melakukan pelayanan dan kepemimpianan tidak memiliki konsistensi diri yang

mengakibatkan sebagaian besar pendeta mengalami kelelahan dan sering nampak konflik-konflik

yang terjadi antar pendeta dan jemaat

Selain itu terdapat banyak sekali studi yang membahas tentang identitas orang-orang

Tionghoa di Indonesia. Pembahasan yang paling mutahir terdapat dalam disertasi yang ditulis

oleh Chang Yau Hoon yang memilih Jakarta sebagai lokasi penelitian. Penelitian lapangan

dilakukan Hoon selama setahun di Jakarta pada tahun 2004. Disertasi ini kemudian dijadikan buku

dengan judul Identitas Tionghoa Pasca- Suharto: Budaya, Politik, dan Media. Buku ini membahas

perihal kebangkitan identitas etnis Tionghoa yang dimungkinkan terjadi karena berakhirnya

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/2/T2_752013029_BAB I.pdf · tersebar luas di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dalam keberagaman

16

pemerintahan otoriter Suharto, dan munculnya kembali demokrasi serta tumbuhnya civil society di

Indonesia.

Dalam buku ini, Hoon sampai kepada kesimpulan bahwa perlunya mengonseptualisasikan dan

mengkonstruksi kembali ketinghoaan atau identitas Tionghoa. Dijelaskan dalam buku ini bahwa,

stereotip etnis Tionghoa adalah hasil bentukan sejarah, yang pada mulanya dikontruksikan oleh

Belanda dan kemudian diproduksi oleh rezim-rezim Indonesia pascakolonial selanjutnya, ternyata

merasuk begitu dalam. Akar dari stereotip yang bertahan lama in terletak pada konsepsi yang

esensial tentang identitas. Walaupun ruang baru telah dibuka berkat kebijakan multikulturalisme

yang memungkinkan ketinghoaan terekspresikan secara bebas, tetapi hal ini tidak menjamin

diterimanya kelompok minoritas ini secara penuh oleh mayoritas non-Tionghoa. Dan jika wacana

yang esensial tentang identitas tidak dikonseptualisasikan kembali dan digugat, orang Indonesia

Tionghoa senangtiasa akan terus dipandang sebagai orang asing di negeri yang telah mereka

angggap sebagai rumah sendiri.

Selain itu disimpulkan bahwa kerusuhan anti-China pada Mei 1998 yang menghancurkan

bahwa kebijakan asimilasi rezim Suharto telah gagal mewadahi ketionghoaan di Indonesia. Proses

reformasi dan demokrasi dan demokratisasi pasca-Suharto membuka ruang artikulasi identitas

Tionghoa. Namun dijelaskan juga bahwa kejadian-kejadian anti-China masih hidup dan

terpelihara di Indonesia, buktinya dengan adanya kejadian Mei 2006, dimana ratusan mahasiswa

dilaporkan tengah mengancam akan melakukan oprasi penyisiran terhadap orang-orang Indonesia-

Tionghoa di Makasar, Sulawesi Selatan.