BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... -...

51
17 BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN GEREJA ALIRAN PENTAKOSTA Dalam kerangka teori ini, akan dijelaskan konsep-konsep yang relevan, yang akan digunakan sebagai alur berpikir untuk membedah masalah menuju pada temuan penelitian. Konsep yang akan dijelaskan dalam kerangka teoritis sebagai pisau analisa atas permasalahan dalam penelitian ini adalah konsep kepemimpinan meliputi gaya atau tipe dan karakter kepemimpinan, termasuk didalamnya akan dijelaskan juga tentang konsep kepemimpin yang melayani serta konsep tentang etnis Tionghoa. Selain itu, digunakan pula beberapa konsep pendukung yakni konsep tentang Pendeta sebagai pemimpin yang melayani dan penjelasan tentang gereja aliran pentakosta. Konsep-konsep tersebut diuraikan secara terperinci dan berurutan sebagai berikut: 2.1. KEPEMIMPINAN 2.1.1. Konsep Kepemimpinan Konsep kepemimpinan menjadi konsep yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan telah menjadi objek yang menarik untuk terus diteliti dan dipelajari. Bahkan studi mengenai kepemimpinan yang berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan, karakter pemimpin, pekerjaan, lingkungan kerja, motivasi, dan berbagai variabel-variabel lainnya menjadi sangat intensif. Kondisi tersebut menjadi sangat wajar dikarenakan terdapat sesuatu yang mengagumkan tentang kepemimpinan itu sendiri. Tercatat hampir setiap proses perubahan yang dramatis dalam sejarah manusia dicetuskan, dimotivasi, atau digerakan oleh seorang atau sekelompok pemimpin. Tidak heran kalau konsep dan topik kepemimpinan memiliki daya tarik magnetis yang begitu kuat bagi banyak orang. Kepemimpinan adalah sebuah konsep dan topik yang “mahaada” yang dijumpai dihampir semua

Transcript of BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... -...

Page 1: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

17

BAB II

KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN GEREJA ALIRAN

PENTAKOSTA

Dalam kerangka teori ini, akan dijelaskan konsep-konsep yang relevan, yang akan digunakan

sebagai alur berpikir untuk membedah masalah menuju pada temuan penelitian. Konsep yang

akan dijelaskan dalam kerangka teoritis sebagai pisau analisa atas permasalahan dalam penelitian

ini adalah konsep kepemimpinan meliputi gaya atau tipe dan karakter kepemimpinan, termasuk

didalamnya akan dijelaskan juga tentang konsep kepemimpin yang melayani serta konsep

tentang etnis Tionghoa. Selain itu, digunakan pula beberapa konsep pendukung yakni konsep

tentang Pendeta sebagai pemimpin yang melayani dan penjelasan tentang gereja aliran

pentakosta. Konsep-konsep tersebut diuraikan secara terperinci dan berurutan sebagai berikut:

2.1. KEPEMIMPINAN

2.1.1. Konsep Kepemimpinan

Konsep kepemimpinan menjadi konsep yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan

telah menjadi objek yang menarik untuk terus diteliti dan dipelajari. Bahkan studi mengenai

kepemimpinan yang berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan, karakter pemimpin,

pekerjaan, lingkungan kerja, motivasi, dan berbagai variabel-variabel lainnya menjadi sangat

intensif. Kondisi tersebut menjadi sangat wajar dikarenakan terdapat sesuatu yang mengagumkan

tentang kepemimpinan itu sendiri.

Tercatat hampir setiap proses perubahan yang dramatis dalam sejarah manusia dicetuskan,

dimotivasi, atau digerakan oleh seorang atau sekelompok pemimpin. Tidak heran kalau konsep

dan topik kepemimpinan memiliki daya tarik magnetis yang begitu kuat bagi banyak orang.

Kepemimpinan adalah sebuah konsep dan topik yang “mahaada” yang dijumpai dihampir semua

Page 2: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

18

disiplin ilmu yang terkait dengan manusia: Filosofi, psikologi, sosiologi, antropologi, bisnis,

politik dan teologi1. Bahkan kepemimpinan telah terbukti merupakan salah satu faktor kunci

yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi. Sebelum membahas

lebih lanjut maka pada bagian selanjutnya akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan

kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah perihal memimpin yang merupakan suatu seni tata cara atau

kemampuan untuk membimbing, menuntun seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan

tertentu. Dengan kata lain kemampuan mempengaruhi, menuntun, dan membimbing seseorang

atau kelompok dan mempunyai visi dalam pribadinya sebagai landasan berpijak untuk mencapai

cita-cita ataupun tujuan organisasi tersebut2.

Selanjutnya, menurut Roach dan Behling3, kepemimpinan adalah suatu proses

mempengaruhi dan mengorganisir kelompok terhadap pencapaian tujuan-tujuannya.

Kemudian dikemukakan pada bagian selanjutnya bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses

sosial mempengaruhi yang dibagikan di antara semua anggota-anggota grup. Oleh karena

itu kepemimpinan tidak dibatasi oleh penggunaan pengaruh seseorang dalam posisi atau

peran khususnya melainkan juga para pengikutnya adalah bagian dari proses

kepemimpinan itu juga.

Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh Northouse yang mendefeniskan

kepemimpinan adalah suatu proses di mana individu mempengaruhi kelompok untuk mencapai

1Sendjaya, Kepemimpinan Kristen: Menjadi Pemimpin Kristen yang Efektif di Tengah Tantangan Arus

Zaman (Yogyakarta: Kairos Books, 2004), 9. 2 Jahenos Saragih, Manajemen Kepemimpinan Gereja (Jakarta: Suara GKYE Peduli Bangsa, 2008), 7-8.

3 Richard L. Hughes, Rober C. Ginnet and Gordon J. Curphy, Leadership Enhancing The Lessons of

Experience, (Boston: Richard D, Irwin Inc, 1993), 8.

Page 3: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

19

tujuan umum.4 Pengertian ini dipertajam oleh Dubrin bahwa kepemimpinan itu adalah

kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota organisasi

untuk mencapai tujuan organisasi5

Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksudkan dengan kepemimpinan adalah suatu proses

dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang, baik itu pikiran, perasaan,

tingkah laku, untuk mencapai suatu tujuan bersama yang telah ditetapkan secara bersama-sama

pula.

2.1.2. Gaya Kepemimpinan (Leadership Style)

Dalam pembahasan tentang kepemimpinan maka tidak terlepas dari pembahasan

komponen seperti tipe atau gaya kepemimpinan. Setiap pemimpian memiliki tipe atau gaya

kepemimpinan. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut James A.F. Stoner dan R. Edward

Freeman, sebagaimana yang dikutip oleh Nawawi, mengatakan bahwa perilaku atau gaya

kepemimpinan memberikan kontribusi besar pada efektivitas kepemimpinan untuk

mengefektifkan sebuah organisasi6.

Gaya kepemimpinan dipahami oleh Pandji Anoragan sebagai “ciri seorang pimpinan

melakukan kegiatannya dalam membimbing, mengarahkan, mempengaruhi, menggerakkan para

pengikutnya dalam rangka mencapai tujuan”7. Pendapat yang tidak jauh berbeda diungkapkan

oleh Agus Dharma yang dikutip oleh Nawawi dalam tulisannya, yang mendefinisikan bahwa

4 P.G.Northouse, Leadership: Theory and Practice , Third Edition (New Delhi:Response Book, 2003), 3.

5 Dubrin, A. J. Leadership: Research Findings, Practices, and Skills, Third Edition. (Boston: Houghton

Mifflin Company. 2001), 3. 6 Hadari Nawawi, Manajemen Sumber Daya Manusia: Untuk Yang Kompetitif (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2006), 111. 7 Pandji Anoragan, Psikologi Kepemimpinan (Jakarta:PT Asdi Mahasatya, 2001),7.

Page 4: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

20

gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang ditunjukkan seseorang pada saat ia mencoba

mempengaruhi orang lain8.

Definisi yang sama juga dikemukakan oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard yang

mengungkapkan bahwa “gaya kepemimpinan adalah pola perilaku pada saat seseorang mencoba

mempengaruhi orang lain dan mereka menerimanya”9. Sejalan dengan pendapat yang telah

diungkapkan sebelumnya, Miftah Toha juga mengungkapkan hal yang sama. Ia berpendapat

bahwa “gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada

saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat”10

.

Dalam penelurusan beberapa literatur berkaitan dengan gaya kepemimpinan maka ditemukan

bahwa sebelumnya orang hanya mengenal adanya dua gaya kepemimpinan, yakni gaya

kepemimpinan yang berorientasi kepada relasi dan tugas terutama berkaitan dengan suasana

organisasi dan dalam pengambilan keputusan.

Menurut Hendayat Soetopo “Gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas, yaitu

kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada perilaku pemimpin yang mengarah pada

penyusunan rencana kerja, penetapan pola organisasi, adanya saluran komunikasi, metode

kerja, dan prosedur pencapaian tujuan yang jelas. Dan gaya kepemimpinan yang berorientasi

pada hubungan antar manusia, yaitu kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

perilaku pemimpin yang mengarah pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling

menghargai, dan penuh kehangatan hubungan antara pemimpin dengan stafnya.”11

Jadi, realitas dari relasi pemimpin dan orang yang dipimpin berkaitan erat dengan situasi atau

suasana kelompok, terutama jika pemimpin menekankan pada orientasi komunikasi dua arah dan

mendengarkan kebutuhan dari orang-orang yang dipimpin. Pada gilirannya akan tercipta adanya

kepercayaan dan penghormatan secara timbal balik. Sedangkan gaya kepemimpinan yang

8 Hadari Nawawi, Manajemen…, 115.

9 Ibid.

10 Miftah Toha, Perilaku Organisasi (Jakarta:PT Raja Grafindo Utama, 2007), 302

11 Hendayat Soetopo, Perilaku Organisasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), 232

Page 5: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

21

berorientasi kepada tugas, pemimpin lebih menekankan kepada tugas organisasi maupun

pencapaian prestasi yang tinggi dari orang yang dipimpin.

Pada perkembangan selanjutnya, Keating menjelaskan terdapat 4 (empat) gaya kepempinan

yang mendasar. 4 (empat) gaya tersebut berangkat dari dua dimensi tugas kepemimpinan yaitu

kepemimpinan yang berorentasi pada tugas (task oriented) dan kepemimpinan yang berorentasi

pada manusia (human relationship oriented). Dari dua dimensi tugas kepemimpinan tersebut

maka dikembangkan teori (4) gaya kepemimpinan dasar12

, antara lain:

a. “Kekompakan tinggi dan kerja lemah, merupakan gaya kepemimpinan yang berusaha

menjaga hubungan baik, keakraban dan kekompakan kelompok tetapi kurang

memperhatikan unsur tercapainya tujuan kelompok atau penyelesaian tugas bersama.

Dengan gaya kepemimpinan ini para anggota yang berminat pada hasil kerja bersama

akan kecewa, karena mereka mengira bahwa mereka berkumpul untuk mengerjakan

sesuatu, tetapi ternyata hanya untuk senang-senang. Suasana akrab tidak dapat lama

bertahan dan pertemuan akan bubar, karena tujuan kelompok tidak tercapai. Gaya

kemimpinan ini bermanfaat untuk mempengaruhi semangat kelompok, motivasi bersama,

dan rasa setia kawan.”

b. “Kerja tinggi dan kekompakan rendah, merupakan gaya kepemimpinan yang

menekankan segi penyelesaian tugas tercapainya tujuan kelompok. Gaya kepemimpinan

ini menampilkan gaya kepemimpinan yang amat direktif. Gaya kepemimpinan ini baik

untuk kelompok yang baru dibentuk, yang membutuhkan tujuan dan sasaran jelas, dan

kelompok yang telah kehilangan arah, tidak mempunyai lagi tujuan dan sasaran, tidak

mempunyai kriteria untuk meninjau hasil kerjanya, yang sudah kacau dan tidak berarti

lagi. Gaya kepemimpinan kerja tinggi dan kekompakan rendah dapat berguna jika

dipergunakan sesuai dengan situasi kelompok. Namun gaya kepemimpinan ini jarang

dapat berhasil jika dipergunakan untuk jangka waktu yang terlalu lama. Gaya

kepemimpinan ini dapat mendorong usaha kelompok. Tetapi jarang dapat menjaga

jalannya, kerena manusia membutuhkan dukungan, dorongan, dan pujian.”

12

Charles J Keating, Kepemimpinan….,11-15.

kekompakan tinggi

kerja rendah

kerja tinggi

kekompakan tinggi

kekompakan rendah

kerja rendah

kerja tingi

kekompakan rendah

Page 6: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

22

c. “Kerja tinggi dan kekompakan tinggi, merupakan gaya kepemimpinan yang menjaga

kerja dan kekompakan kepemimpinan tinggi cocok dipergunakan untuk membentuk

kelompok. Kelompok yang baru dibentuk membutuhkan kejelasan tujuan dan sasaran,

struktur kerja untuk mencapai tujuan dan sasaran itu, serta usaha untuk membina

hubungan antar para anggota. Waktu menggunakan gaya kepemimpinan ini untuk

membentuk kelompok, pemimpin perlu melengkapinya dengan contoh. Dalam gaya

kepemimpinan ini, pemimpin perlu menjadi model untuk kelompok dengan menunjukan

perilaku yang membuat kelompok efektif dan puas.”

d. “Kerja rendah dan kekompakan rendah, merupakan gaya kepemimpinan yang kurang

menekankan penyelesaian tugas dan kekompakan kelompok. Gaya kepemimpinan ini

cocok untuk kelompok yang sudah jelas akan tujuan dan sasarannya, gamblang akan cara

untuk mencapai tujuan dan sasaran itu, dan mengetahui cara menjaga kehidupan

kelompok selama mencapai tujuan dan sasaran. Gaya kepemimpinan ini lemah dan tidak

menghasilkan apa-apa.”

Selanjutnya dijelaskan bahwa “keempat gaya yang telah dijelaskan, tidak ada yang lebih baik

atau lebih buruk dibandingkan satu sama lain”13

. Tidak ada gaya yang baik atau buruk. Hal ini

tergantung dari macam kelompok yang dipimpin14

. Kepemimpinan yang baik tergantung dari

kemampuan untuk menilai keadaan kelompok dan memberikan kepemimpinan yang dibutuhkan

sesuai dengan tingkat perkembangan kelompok yang ada. “Perlu dicatat bahwa kelompok tidak

terus menerus ada dalam keadaan yang sama, dengan kata lain kelompok apapun dapat berubah

dengan alasan yang beribu macam. Maka suatu gaya kepemimpinan dikatakan tidak boleh

dipegang “mati-matian” terus menerus, tetapi selalu disesuaikan dengan keadaan kelompok.”15

Sehubungan dengan itu, dalam penjelasan Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, setidaknya

terdapat 9 tipe atau gaya kepemimpinan yang terdiri dari 3 (tiga) tipe atau gaya utama dan

6(enam) tipe atau gaya pelengkap dengan penjelasan yang khas dari setiap tipe atau gaya

kepemimpinan16

. Untuk keperluan penelitian, berikut akan dikemukakan penjelasan 3 (tiga) tipe

13

Ibid., 15 14

Ibid. 15

Ibid. 16

Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan yang…., 94-109.

Page 7: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

23

atau gaya kepemimpinan utama, diikuti dengan penjelasan singkat 6 (enam) tipe atau gaya

kepemimpinan pelengkap. Tipe atau gaya kepemimpinan yang dimaksud antara lain:

2.1.2.1. Gaya Kepemimpinan Otoriter

Seorang pemimpin yang otoriter adalah seseorang yang sangat egois. Egoisme yang sangat

besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang sebenarnya sehingga sesuai dengan

apa yang secara subjektif diinterpretasikan sebagai kenyataan. Egonya yang sangat besar

menumbuhkan dan mengembangkan persepsinya bahwa tujuan organisasi identik dengan tujuan

pribadinya dan oleh karenanya organisasi diperlakukannya sebagai alat untuk mencapai tujuan

pribadi tersebut. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan tipe ini merupakan kepemimpinan

yang bersifat sentralistis sebagai satu-satunya penentu, penguasa dan pengendali anggota

organisasi dan kegiatannya dalam usaha mecapai tujuan organisasi.

Menurut Nawawi dampak dari kepemimpinan otoriter ini adalah sebagai berikut:

a. Anggota organisasi cenderung pasif, bekerja menunggu perintah, tidak berani mengambil

keputusan dalam memecahkan masalah meskipun menyangkut masalah yang kecil17

.

b. Anggota organisasi tidak ikut berpartisipasi aktif bukan karena tidak memiliki

kemampuan, tetapi tidak mau atau enggan menyampaikan inisiatif, gagasan, ide,

kreativitas, saran, pendapat, kritik atau menciptakan kegiatan pekerjaan sendiri tanpa

menunggu perintah18

.

c. Kepemimpinan otoriter yang mematikan inisiatif, kreativitas, dan lain-lain, berdampak

pada kehidupan organisasi berlangsung statis dengan kegiatan rutin yang sama dari tahun

ke tahun sehingga organisasi tidak berkembang secara dinamis19

.

d. Pemimpin otoriter tidak membina dan tidak mengembangkan potensi kepemimpinan

anggota organisasinya, dalam arti pemimpin tidak melakukan kegiatan suksesi dan

pengkaderan, sehingga berakibat sulit memperoleh pemimpin pengganti diantara anggota

organisasi jika keadaan mengharuskan20

.

e. Disiplin, rajin dalam bekerja dan bersedia bekerja keras serta kepatuhan dilakukan secara

terpaksa dan cenderung berpura-pura, karena takut pada sanksi/hukuman dilakukan pada

saat pemimpin berada di tempat21

.

17

Hadari Nawawi, Manajemen…., 122. 18

Ibid. 19

Ibid. 20

Ibid. 21

Ibid.

Page 8: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

24

f. Secara diam-diam muncul kelompok penantang yang menunggu kesempatan untuk

melawan, menghambat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan

organisasi terutama pimpinan22

.

g. Pemimpin cenderung akan kehabisan inisiatif, kreativitas, gagasan, inovasi dan lain-lain

sedang anggota organisasi tidak diberi kesempatan untuk membantu akibatnya motivasi,

gairah, dan semangat kerja anggota organisasi menjadi rendah/turun23

.

h. Tidak ada rapat, diskusi atau musyawarah dalam bekerja karena dianggap membuang-

buang waktu24

.

i. Disiplin diterapkan secara ketat dan kaku sehingga iklim menjadi tegang, saling

mencurigai, dan saling tidak mempercayai antar anggota organisasi yang satu dengan

yang lainnya25

.

j. Pemimpin tidak menyukai perubahan, perbaikan, dan perkembangan organisasi, dan

selalu curiga pada orang luar yang terlihat akrab dengan anggota organisasi dengan

prasangka buruk akan menjadi pemicu timbulnya kelompok-kelompok yang akan

melakukan perubahan atau menantang kepemimpinannya. Pemimpin cenderung tidak

menyukai dan berusaha menghalangi terbentuknya organisasi (serikat pekerja) yang

dibentuk anggota organisasi, sebaliknya berusaha untuk membentuk organisasi yang

mendukung kepemimpinannya26

.

Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa gaya kepemimpinan otoriter cenderung diwujudkan

melalui gaya atau perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan hasil, yang secara

ekstrim harus seuai dengan keinginan pemimpin, yang tidak mustahil keluar dari tujuan

organisasi.

2.1.2.2. Gaya Kepemimpinan laissez faire (bebas)

Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya berpandangan bahwa anggota organisasinya mampu

mandiri dalam membuat keputusan atau mampu mengurus dirinya masing-masing, dengan

sedikit mungkin pengarahan atau pemberian petunjuk dalam merealisasikan tugas pokok masing-

masing sebagai bagian dari tugas pokok organisasi. Sehubungan dengan itu Jenning dan

Golembiewski menyatakan bahwa pemimpin membiarkan kelompoknya memantapkan tujuan

22

Ibid. 23

Ibid. 24

Ibid. 25

Ibid. 26

Ibid.

Page 9: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

25

dan keputusannya27

. Kontak yang terjadi antara pemimpin dan anggota kelompoknya terjadi

apabila pemimpin memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaannnya.

Pemimpin memberikan sedikit dukungan untuk melakukan usaha secara keseluruhan. Kebebasan

anggota kadang-kadang dibatasi oleh pimpinan dengan menetapkan tujuan yang harus dicapai

disertai parameter-parameternya, sedang yang paling ekstrim adalah pemberian kebebasan

sepenuhnya pada anggota organisasi untuk bertindak tanpa pengarahan dan kontrol kecuali jika

di minta.

Gaya kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari gaya kepemimpinan otoriter,

meskipun tidak sama atau kepemimpinan yang demokratis pada titik ekstrim yang paling rendah.

Kepemimpinan dijalankan tanpa memimpin atau tanpa berbuat sesuatu dalam mempengaruhi

pikiran, perasaan, sikap dan perilaku anggota organisasinya. Dalam keadaan seperti itu, apabila

ada anggota organisasi yang bertindak melakukan kepemimpinan, maka kepemimpinan yang

sebenarnya menjadi tidak berfungsi. Pemimpin seperti itu pada umumnya seorang yang berusaha

mengelak atau menghindar dari tanggung jawabnya, sehingga apabila terjadi kesalahan atau

penyimpangan, dengan mudah dan tanpa beban mengatakan bukan kesalahan atau bukan

tanggung jawabnya karena bukan keputusannya dan tidak pernah memerintahkan

pelaksanaannya.

2.1.2.3. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Pemimpin yang Demokratis biasanya memandang perannya selaku koordinator dan

integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu

totalitas. Karena itu pendekatannya dalan menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya adalah

pendekatan yang holistik dan integralistik. Seorang pemimpin yang demokratis biasanya

27

Ibid., 147.

Page 10: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

26

menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga

menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus

dilakukan demi tercapainya tujuan dan berbagai sasaran organisasi.

Dalam tipe ini pula dikatakan bahwa manusia ditempatkan sebagai faktor terpenting dalam

kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan mengutamakan orientasi pada hubungan dengan

anggota organisasi. Filsafat demokratis yang mendasari pandangan gaya kepemimpinan

demokratis ini adalah pengakuan dan penerimaan bahwa manusia merupakan makhluk yang

memiliki hatkat dan martabat yang mulia dengan hak asasi yang sama.

Nilai-nilai demokratis dalam kepemimpinan tampak dari kebijakan pemimpin yang

orientasinya pada hubungan manusiawi, berupa pengakuan yang sama dan tidak membeda-

bedakan anggota organisasi atas dasar warna kulit, ras, kebangsaan, agama, status sosial

ekonomi, dan lain-lain. Pengimplementasian nilai-nilai demokratis di dalam kepemimpinan

dilakukan dengan memberikan kesempatan yang luas pada anggota organsasi untuk

berpartisipasi dalam setiap kegiatan sesuai dengan posisi dan wewenang masing-masing.

Selain 3 (tiga) tipe atau gaya kepemimpinan utama tersebut terdapat 6 (enam) tipe atau gaya

kepemimpinan pelengkap yang terdiri dari28

:

2.1.2.4. Gaya kepemimpinan kharismatik, diartikan kemampuan menggerakan orang lain

dengan mendayagunakan keistimewaan atau kelebihan dalam sifat/aspek kepribadian

yang dimiliki pemimpi, sehingga menimbulkan rasa hormat , segan dan kepatuhan pada

orang-orang yang dipimpinnya. Tipe kepemimpinan simbol, merupakan tipe

kepemimpinan yang menempatkan seseorang pemimpin sekedar sebagai lambing atau

simbol, tanpa menjalankan kegiatan kepemimpinan yang sebenarnya.

2.1.2.5. Gaya pengayom, menempatkan seseorang sebagai Kepala pada dasarnya berfungsi

sebagimana layaknya seorang kepala keluarga. Kepemimpinan dijalankan dengan

melakukan kegiatan kepeloporan, kesediaan berkorban, pengabdian, melindungi, dan

selalu melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah perseorangan atau kelompok.

28

Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan…., 103-109.

Page 11: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

27

Pemimpin ibarat ayah yang berfungsi mengayom anggotanya ibarat anak-anak dan

anggota keluarganya yang lain.

2.1.2.6. Gaya pemimpin ahli (Expert), tipe kepemimpinan ini bertolak dari asumsi bahwa

kegiatan yang menjadi bidang garapan suatu organisasi/kelompok, hanya akan

berlangsung efektif dan efisien, bilamana dipimpin oleh seseorang yang memiliki

keahlian dalam bidang tersebut. Kepemimpinan harus dijalankan oleh seseorang yang

memiliki ketrampilan atau keahlian tertentu yang sesuai dengan bidang garapan atau

yang dikelola oleh organisasi /kelompok.

2.1.2.7. Gaya kepemimpinan organisatotoris dan administrator, tipe ini dijalankan oleh

para pemimpin yang senang dan memiliki kemampuan mewujudkan dan membina kerja

sama, yang pelaksanaannya berlangsung secara sistematis dan terarah pada tujuan yang

jelas. Pemimpin bekerja secara berencana, bertahap dan tertib.

2.1.2.8. Gaya kepemimpinan agitator, tipe kepemimpinan yang diwarnai dengan kegiatan

pemimpin dalam bentuk tekanan-tekanan, adu domba, memperuncing perselisihan,

menimbulkan dan memperbesar perpecahan/pertentangan dan lain-lain dengan maksud

untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.

James Mc. Gregor, seperti yang dikutip oleh Sedarmayanti menyatakan bahwa terdapat 2 (dua)

gaya kepemimpinan29

, yaitu:

2.1.2.9. Gaya Kepemimpinan Transaksional, merupakan gaya kepemimpinan dimana

seseorang memimpin cenderung memberikan arahan kepada bawahan, serta

memberikan imbalan dan hukuman kepada bawahan. Kepemimpinan transaksional

lebih menekankan kepada transaksi antara pemimpin dan bawahan. Pada kepemimpinan

transaksional memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan

dengan cara reward dengan kinerja tertentu, dengan kata lain sebuah transaksi bawahan

dijanjikan mendapatkan reward atau penghargaan bila bawahan mampu menyelesaikan

tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama30

.

Jadi bertolak dari penjelasan tersebut, maka dapat diringkas gaya kepemimpinan transaksional

adalah gaya kepemimpinan yang bercirikan adanya pengorbanan individu terhadap oganisasi

dikarenakan adanya kepentingan pribadi.

2.1.2.10. Gaya Kepemimpinan Transformasional, merupakan gaya kepemimpinan bagi

seorang pemimpin yang cenderung memberi motivasi kepada bawahan untuk

melakukan tindakan yang lebih baik dan menitik beratkan pada perilaku

membantu/transformasi antar individu dengan organisasi. Kepemimpinan

transformasional pada hakikatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu

29

Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpianan Masa Depan

(Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), 184-185. 30

Ibid.

Page 12: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

28

memotivasi bawahannya untuk melakukan tanggung jawab lebih dari apa yang

diharapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan,

mengkomunikasikan dan mengartikulasi visi organisasi dan bawahan harus menerima

dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.

Sedangkan Nair mendefenisikan gaya kepemimpinan transformasional dalam kaitannya

dengan “kemauan pemimpin untuk mempengaruhi nilai-nilai, sikap, kepercayaan dan perilaku

dari pihak lain dengan berkerja bersama mereka dengan tujuan untuk mencapai misi dan tujuan

oranisasi.”31

Sementara itu Blac dan Porter mendefenisikan gaya kepemimpinan

transformasional sebagai “kepemimpinan yang memotivasi para pengikut yang ada untuk

mengabaikan kepentingan pribadi mereka dan bekerja untuk kepentingan organisasi untuk

mencapai hasil yang signifikan; bertitik beratkan pada pengartikulasian visi yang meyakinkan

bawahan untuk melakukan perubahan besar”32

.

Menurt Sanusi, selain gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional, terdapat 2 (dua)

gaya kepemimpinan lainnya yang termasuk dalam gaya kepemimpinan abad ke-2133

, yaitu:

2.1.2.11. Gaya Kepemimpinan Situasional, yaitu gaya kepemimpinan yang mencoba

mengidentifikasi karakteristik situasi dan keadaan sebagai faktor penentu utama yang

membuat seorang pemimpin berhasil melakukan tugas-tugas organisasi secara efektif

dan efisien. Kepemimpinan situasional menekankan bahwa keefektifan kepemimpinan

seseorang bergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat dalam

menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa bawahan.

Harsey dan Blanchard seperti yang dikutip oleh Thoha, mengembangkan gaya kepemimpinan

situasional efektif dengan memadukan tingkat kematangan jiwa bawahan dengan pola perilaku

31 Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI…., 6.

32 Ibid.

33 Achmad Sanusi, Kepemimpinan Sekarang dan Masa Depa (Bandung:Prospect, 2009), 22.

Page 13: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

29

yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Ada 4 (empat) perilaku dasar kepemimpinan situasional34

,

yaitu:

a. Perilaku Direktif

Perilaku direktif adalah perilaku yang diterapkan apabila pemimpin dihadapkan pada

tugas yang rumit dan bawahan belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk

mengerjakan tugas tersebut, atau pemimpin berada di bawah tekanan waktu penyelesaian,

maka pemimpin akan menjelaskan apa yang perlu dikerjakan. Perilaku ini ditandai

dengan komunikasi satu arah dan pembatasan peran bawahan. Pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan semata-mata menjadi wewenang pemimpin, serta adanya

pengawasan yang ketat oleh pemimpin.

b. Perilaku Konsultatif

Perilaku konsultatif adalah perilaku yang diterapkan ketika bawahan telah termotivasi

dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Dalam hal ini pemimpin hanya perlu

memberi penjelasan yang lebih terperinci dan membantu bawahan untuk mengerti dengan

meluangkan waktu membangun hubungan yang baik dengan mereka. Pada perilaku ini

pemimpin masih memberikan instruksi yang cukup besar serta penetapan keputusan-

keputusan dilakukan oleh pemimpin, namun dengan adanya komunikasi dua arah dan

memberikan dukungan terhadap bawahan serta mau mendengar keluhan dan perasaan

mereka, keputusan yang diambil tetap ada pada pemimpin.

c. Perilaku Partisipatif

Perilaku partisipatif diterapkan apabila bawahan telah mengenal teknik-teknik yang

dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang dekat dengan pemimpin. Pemimpin

meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan bawahan untuk lebih melibatkan

mereka dalam pengambilan keputusan. Pemimpin mendengarkan saran dan masukan dari

bawahan mengenai peningkatan kerja. Keikutsertaan bawahan dalam memecahkan

masalah dan mengambil keputusan berdasarkan pemimpin yang berpendapat bahwa

bawahan juga memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup luas untuk

menyelesaikan tugas.

d. Perilaku Delegatif

Perilaku delegatif diterapkan apabila bawahan sepenuhnya paham dan efisien dalam

kinerja tugas, sehingga pemimpin dapat melepaskan mereka untuk menjalankan tugasnya

sendiri.

Jadi, gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Harsey dan Blanchard berangkat

dari keyakinan dan nilai tentang orang yaitu: Orang dapat dan ingin dikembangkan;

Kepemimpinan adalah kemitraan; Orang berkembang dalam keterlibatan dan komunikasi. Hal

34

Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 71-73.

Page 14: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

30

utama dalam gaya kepemimpinan ini adalah bagaimana pemimpin dapat mengembangkan

semaksimal mungkin kemampuan pengikut mereka sesuai dengan gaya dan tahapan dari

pengikut yang ada.35

2.1.2.12. Gaya Kepemimpinan Visioner, yaitu pola kepemimpinan yang ditujukan untuk

memberi arti pada kerja dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para

anggota organisasi dengan cara memberikan arahan dan makna pada kerja, dan usaha

yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas. Kepemimpinan visioner memerlukan

kompetensi tertentu.

Pemimpin visioner setidaknya harus memiliki 4 (empat) kompetensi sebagaimana yang

dikemukakan oleh Burt Nanus, seperti yang dikutip oleh Sanusi36

, yaitu:

a) Seorang pemimpin visioner harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara

efektif dengan manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi.

b) Seorang pemimpin visioner harus memahami lingkungan luar dan memiliki kemampuan

bereaksi secara tepat atas segala ancaman dan peluang.

c) Seorang pemimpin visioner harus memegang peran penting dalam membentuk dan

mempengaruhi praktek organisasi, prosedur, produk dan jasa. Seorang pemimpin dalam

hal ini harus terlibat dalam organisasi untuk menghasilkan dan mempertahankan

kesempurnaan pelayanan, sejalan dengan mempersiapkan dan memandu jalan organisasi

ke masa depan.

d) Seorang pemimpin visioner harus memiliki atau mengembangkan ceruk untuk

mengantisipasi masa depan. Ceruk ini merupakan sebuah bentuk imajinatif, yang

berdasarkan atas kemampuan data untuk mengakses kebutuhan masa depan

konsumen,tekhnologi dan lain sebagainya. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatur

sumber daya organisasi guna mempersiapkan diri menghadapi kemunculan kebutuhan

dan perubahan.

Dari penjelasan dari berbagai literatur berkaitan dengan gaya kepemimpinan maka dapat

disimpulkan bahwa setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memahami situasi sehingga dapat

menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan situasi yang ada. Gaya kepemimpinan seorang

pemimpin sangat mempengaruhi keberhasilannya dalam memimpin kelompoknya, karena

dengan cara tersebut ia akan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang pemimpin.

35

Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI….,31. 36

Achmad Sanusi, Kepemimpinan Sekarang dan Masa Depa….,21.

Page 15: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

31

2.1.3. Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership)

Istilah servant leadership dipakai untuk pertama kalinya oleh seorang eksekutif perusahaan

telekomunikasi AT&T bernama Robert K. Greenleaf pada tahun 1970, dalam tulisannya yang

berjudul The Servant as Leader37

. Ide ini kemudian muncul di ruang publik menjadi sebuah

gerakan baru pada bidang manajemen38. Ide tulisan The Servant as Leader muncul setelah

Greenleaf membaca sebuah cerita mitos dalam buku yang berjudul Journey to the East karangan

Hermann Hesse.39

Greenleaf melihat cerita novel yang ia baca menyampaikan pesan sentral

terkait pendekatannya sendiri terhadap kepemimpinan, bahwa pemimpin-pemimpin besar adalah

mereka yang melayani orang-orang lain. Kemudian dalam mendefinisikan servant leadership,

Greenleaf menulis:

The servant-leader is servant first. It begins with the natural feeling that one wants to

serve. Then conscious choice brings one to aspire to lead. The best test is: do those served

grow as persons; do they, while being served, be come healthier, wiser, freer, more autono-

mous, more likely themselves to be come servants? And, what is the effect on the least

privileged in society? Will they benefit, or at least not be further deprived?40

Berdasarkan kutipan tersebut Greenleaf menjelaskan bahwa kepemimpinan yang melayani

adalah orang yang mula-mula menjadi pelayan, dalam pernyataannya di atas ia mengatakan

bahwa “Kepemimpinan yang melayani ini dimulai dengan perasaan alami bahwa orang ingin

melayani, meyani lebih dahulu. Kemudian pilihan sadar membawa orang untuk berkeinginan

memimpin. Perbedaan ini memanifestasikan diri dalam keperdulian yang diambil oleh pelayan

yang mula-mula memastikan bahwa kebutuhan prioritas tertinggi orang lain adalah dilayan.

37

Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership: Developments in Theory and

Research (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 12. 38

Fons Trompenaars dan Ed Voerman. Servant-Leadership Across Cultures: Harnessing the strength of the

world's most powerful leadership philosophy (New York: Infinite Ideas Limited. 2009), 3. 39

Larry C. Spears and Michele Lawrence (Editor), FOCUS ON LEADERSHIP: Servant-Leadership for the

Twenty-First Century (New York: John Wiley & Sons, Inc, 2002), 19 40

Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership…., 11.

Page 16: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

32

Ujian terbaik dalam kepemimpinan ini adalah: apakah mereka yang dilayani tumbuh sebagai

pribadi, atau apakah mereka yang dilayani, menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas,

lebih mandiri, dan lebih memungkinkan diri mereka menjadi pelayan?.” Jadi kepemimpinan

yang melayani menurutnya dimulai dari kesadaran seorang pemimpin adalah pelayan.

Berkaitan dengan itu, Neuschel41

menyebut yang melayani adalah seorang pemimpin

dengan pengikut yang ia bantu untuk berkembang dalam reputasi, kemampuan atau dalam

sejumlah hal memberi kontribusi untuk membangun mereka menjadi orang yang lebih

berguna dan bahagia. Pemimpin yang melayani mengembangan kemampuan para

pengikutnya untuk memberi kontribusi bagi organisasi. Pemimpin yang melayani membuat

para bawahannya berkembang dalam kemampuan mereka untuk berproduksi. Dapat dikatakan

bahwa kepemimpinan transformasional dan servant leadership, keduanya berfokus pada

proses antara pemimpin dan pengikut. Hubungan antara pemimpin dan pengikutnya

menekankan proses antara keduanya yaitu visi, pengaruh, kredibilitas, kepercayaan dan

pelayanan. Servant leadership muncul dari prinsip yang dianut oleh pemimpin, nilai-nilai dan

kepercayaan. Melayani pihak lain berarti pemimpin memfasilitasi bawahannya untuk

mencapai tujuan yang diharapkan. Pemimpin yang melayani merasa bahwa begitu

arahannya jelas, peranannya adalah membantu bawahannya mencapai sasaran.42

Itulah sebabnya pemimpin yang melayani terus menerus mencoba menemukan hal-hal

yang diperlukan orang-orang mereka untuk berhasil. Pemimpin yang melayani memiliki rasa

kemanusian yang tinggi karena dia melayani orang-orang bukan untuk memperoleh lebih

banyak dari mereka; melainkan karena ingin meningkatkan harga diri mereka dan

41

Robert P. Neuschel, PEMIMPIN YANG MELAYANI: Mengerahkan Kekuatan Orang-orang Anda

(Jakarta: Academia, 2008), 107. 42

Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI….,45.

Page 17: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

33

kebanggaan orang-orang itu. Hal ini semata-mata bukan hanya melayani untuk

mendapatkan hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya.

Menurut Greenleaf ada beberapa hal yang ditemukan dalam Servant Leadership sebagai

berikut: 43

a) Sesuatu diawali dari inisiatif individu. Pikiran, sikap dan tindakan dari setiap

orang diawali dari konsep individu yang lahir dari inspirasi. Pemimpin yang

melayani membutuhkan lebih dari inspirasi. Pemimpin yang berinisiatif membangun ide

dan struktur dan mampu menanggung resiko kegagalan dalam perjalanan menuju

sukses.

b) Mimpi adalah konsep visioner menggerakkan dan menjadikan kepemimpinan

mencapai gol sehingga sekalipun resiko tinggi, bawahan dapat menerima dan

mengikuti pemimpin.

c) Visi, adalah sebuah tindakan untuk melihat objek eksternal, yaitu kemampuan untuk

melihat, penglihatan; Visi lebih sempurna dan akurat pada hewan daripada manusia.

Dapat juga dikatakan visi sesuatu yang diimpikan untuk dilihat, kadang-kadang tidak

nyata dan masih bersifat abstrak. Visi memberikan semangat dan mengubah tujuan

menjadi tindakan nyata. Oleh karena itu visi merupakan sebuah realita yang belum

nyata dan lebih dari sekedar mimpi. Seorang pemimpin haruslah seseorang yang

memiliki visi, pandangan dan mampu untuk mengetahui cara berpikir dari pihak lain.

Banyak penulis teori kepemimpinan menekankan pentingnya visi untuk

menginspirasikan pihak lain, untuk memotivasi tindakan, untuk bergerak dengan

harapan untuk masa depan. Penjelasan yang lebih jauh visi merefleksikan pengertian

mendalam yang memungkinkan seseorang mendeteksi pola dan trend yang selama

43

Robert K. Greenleaf, Servant leadership….,45 – 55.

Page 18: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

34

ini dipegang sehingga dapat menuntun pemimpin untuk masa kini dan masa yang

akan datang. Untuk itu seorang pemimpin haruslah pertama sekali mengembangkan

semangat dan mental positif dalam mencapai harapan yang dikehendaki. Mental

positif ini yang disebut visi atau kadang juga disebut sebagai tujuan dari misi.

Kemudian Haryanto dapat menyimpulkan visi, yaitu44

: (1)Visi yang profetik (2) Indera

untuk mengetahui hal yang tidak belum diketahui, (3) Melihat apa yang tidak terlihat.

d) Mendengar dan Memahami

Seorang pemimpin yang benar-benar pelayan secara alami merespon dengan

spontan setiap masalah dengan lebih dahulu mendengar. Pemimpin yang secara

alami membutuhkan displin belajar mendengar sehingga dapat mendengar dengan

benar dan mampu membangun kekuatan bagi orang lain. Oleh karena itu jangan

takut diam, sebab dengan diam kita dapat mengembangkan apa yang ada dalam

pikiran kita.

e) Pengaruh

Pengaruh memiliki peranan yang sangat penting dalam hubungan antara pemimpin yang

dipimpin, terutama dalam pemenuhan tujuan mereka. Oleh sebab itu pengaruh

merupakan hal yang vital untuk memperoleh kerjasama dari pihak lain untuk

memenuhi tujuan grup dan organisasi.

f) Kredibilitas

Hal yang sangat penting lainnya dalam memahami dan menerapkan servant

leadership adalah kredibilitas. Kredibilitas adalah sesuatu yang pemimpin impikan.

Seorang pemimpin haruslah mengkomunikasikan kredibilitas kepada mereka yang

diinginkannya untuk menjadi bawahan atau pengikutnya. Kredibilitas pemimpin yang

44

Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan Yang Melayani….,9.

Page 19: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

35

melayani didasarkan pada ketergantungan dan kepercayaan antara atasan dan bawahan.

Kredibilitas pemimpin terjadi ketika pemimpin mendemonstrasikan keahlian dan

kompetensinya dan menunjukkan pengetahuan berkaitan dengan tehnologi dan

pengembangan baru dalam bidangnya. Pemimpin yang memiliki kredibilitas akan

senantiasa belajar dan menciptakan situasi pembelajaran didalam organisasi mereka.

Pemimpin juga menginspirasikan harapan dan keberanian pada pihak lain dengan

memberikan keyakinan, dengan memfasilitasi citra yang positif, dan dengan

memberikan bantuan kepada pihak lain.

g) Kepercayaan

Kepercayaan adalah faktor yang sangat penting mempengaruhi hubungan

antara pemimpin dan pengikutnya. Kepercayaan adalah akar dari kepemimpinan

yang melayani dan pengambilan keputusan. Integritas dipandang sebagai integral

dari hubungan kepercayaan. Tanpa integritas, kepercayaan tidak akan pernah dapat

diperoleh. Pemimpin yang terbaik adalah yang transparan, melakukan apa yang

mereka katakan dan bertindak dalam nilai-nilai yang benar. Kepercayaan sangat

penting dalam mengembangkan hubungan interpersonal, terutama dalam proses

komunikasi interpersonal. Kepercayaan adalah pusat dari hubungan kemitraan yang

diwakili melalui ide dari persahabatan dan kepercayaan dengan pihak lain. Ada 4

komponen yang membangun kepercayaan yaitu: (a) kompetensi (b) keterbukaan (c)

keprihatinan (d) reliability.

Page 20: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

36

2.1.4. Karakteristik Pemimpin yang Melayani (Characteristics of the Servant-Leader)

Karakter merupakan fondasi kemampuan kepemimpinan45

. Pemahaman mendasar

berkaitan dengan karakter biasanya berhubungan dengan sifat-sifat yang ditunjukan oleh seorang

pemimpin. Dalam kelompok apa pun, seorang pemimpin akan muncul karena ia memiliki

kekuatan karakter dan kepribadian yang diinginkan dan bukan semata karena kapasitas

intelektual atau IQ dalam jumlah tertentu46

. Karakter yang dimiliki seorang pemimpin lebih

penting daripada kecerdasan dalam diri seorang pemimpin. Kecerdasan bukanlah faktor terkuat

yang mempengaruhi dan memotivasi orang yang menikutinya. Daya tarik kualitatif dari sifat,

seperti integritas, kematangan, konsistensi, antusiasme, dan keuletan membuat orang berbaris di

belakang pemimpin47

.

Selanjutnya dijelaskan bahwa citra pemimpin bukan pada tampilan luar dirinya,

melainkan lebih merupakan seluruh sistem nilai yang ditunjukan terus menerus. Ketika

manifestasi ini jelas dan konsisten serta merefleksikan suatu karakter integritas pribadi, citra

inilah yang akan menjadi instrument yang efektif dalam mempengaruhi pengikutnya48

. Jadi

kepempinan tidak hanya bergantung pada kecerdasan intelektual, tetapi yang harus diakui adalah

kekuatan dari karakter yang dimiliki oleh pemimpin menjadi faktor yang penting dan mendasar

dalam kepemimpinan.

45

Robert P. Neuschel, PEMIMPIN YANG MELAYANI..., 40. 46

Ibid.,39 47

Ibid., 37 48

Ibid.

Page 21: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

37

Dalam tulisannya yang berjudul Servant Leadership and Robert K. Greenleaf Legacy49

,

Spears menyebutkan sepuluh karakteristik seorang servant-leader yang dapat diindentifikasikan

olehnya dari karya Robert Greenleaf. Sepuluh karakteristik yang dikemukakan, antara lain:

a. Mendengarkan (Listening) Para pemimpin secara tradisional dinilai berkaitan dengan keterampilan mereka dalam

hal berkomunikasi dan pengambilan keputusan. Memang dua hal ini merupakan

keterampilan-keterampilan yang penting untuk dimiliki oleh seorang servant-leader,

namun harus diperkuat dengan komitmen mendalam untuk secara intens mendengarkan

orang-orang yang berbicara kepadanya. Seorang servant-leader senantiasa berupaya

untuk mengetahui kehendak kelompoknya, dan dia mencoba untuk mengklarifikasi

kehendak itu. Dia berupaya untuk mendengarkan apa saja yang dikatakan dan tidak

dikatakan oleh orang-orang lain kepadanya. Seorang pendengar yang baik juga selalu

mendengarkan suara di dalam batinnya, dan berupaya untuk memahami komunikasi yang

disampaikan orang-orang lain lewat bahasa tubuh mereka, seperti ekspresi wajah dlsb.

Upaya mendengarkan harus disertai refleksi secara teratur demi tercapainya pertumbuhan

sang servant-leader itu sendiri50

.

b. Empati (Empathy). Seorang servant-leader senantiasa berupaya untuk memahami dan berempati dengan

orang-orang lain. Orang-orang mempunyai kebutuhan untuk diterima dan diakui untuk

semangat mereka yang istimewa dan unik. Seorang servant-leader harus mengandaikan

adanya niat-niat baik dari orang-orang yang dilayaninya dan tidak menolak mereka

sebagai pribadi-pribadi manusia, walaupun dia terpaksa harus menolak perilaku atau

prestasi kerja mereka. Para servant-leader yang paling sukses adalah mereka yang

menjadi sangat terampil sebagai para pendengar yang penuh empati51

.

c. Penyembuhan (healing). Belajar untuk menyembuhkan adalah suatu kekuatan hebat terciptanya transformasi dan

integrasi. Satu dari kekuatan-kekuatan dahsyat servant-leadership adalah dimilikinya

potensi untuk menyembuhkan diri sendiri dan orang-orang lain. Banyak orang menderita

karena berbagai macam luka emosional. Walaupun ini adalah suatu bagian dari

keberadaan kita sebagai manusia, seorang servant-leader melihat hal ini sebagai suatu

kesempatan untuk menolong orang lain yang dijumpai agar dapat menjadi seorang

pribadi yang utuh52

.

49

Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership….,11. 50

Ibid.,17. 51

Ibid. 52

Ibid.

Page 22: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

38

d. Kesadaran (Awareness).

Kesadaran umum, dan terutama kesadaran-diri akan memperkuat diri seorang servant-

leader. Membuat komitmen untuk memperkuat kesadaran dapat menjadi menakutkan,

karena kita tidak pernah tahu apa yang akan kita alami! Kesadaran juga membantu sang

servant-leader dalam memahami isu-isu yang menyangkut etika dan nilai-nilai.

Kesadaran akan memampukan sang servant-leader untuk memandang kebanyakan situasi

yang dihadapi dari posisi yang lebih terintegrasi dan holistik sifatnya. Kesadaran memang

mempunyai risiko-risiko, namun kesadaran membuat hidup ini menjadi lebih menarik;

yang jelas kesadaran ini memperkuat keefektifan seseorang sebagai seorang pemimpin.

Apabila seseorang senantiasa sadar, hal ini berarti lebih daripada sekadar berjaga-jaga

yang biasa, dan sang pemimpin juga berkontak secara lebih intens dengan situasi yang

langsung dihadapi53

.

e. Persuasif atau bujukan (Persuasion). Seorang servant-leader menggunakan persuasi, bukannya menggunakan otoritas karena

posisinya, dalam meyakinkan orang-orangnya terkait pengambilan keputusan-keputusan

dalam sebuah organisasi. Seorang servant-leader berupaya untuk menyakinkan orang-

orangnya, bukan dengan memaksakan mereka untuk taat kepada perintahnya. Unsur yang

satu ini menunjukkan satu perbedaan paling jelas antara model tradisional yang

menekankan otoritas dan servant-leadership. Seorang servant-leader itu efektif dalam

membangun konsensus di dalam kelompok-kelompok54

.

f. Konseptualisasi (Conceptualization). Seorang servant-leader berupaya memelihara kemampuannya untuk “memimpikan

mimpi-mimpi besar” (to dream great dreams). Kemampuan untuk melihat sebuah

masalah (atau sebuah organisasi) dari perspektif konseptualisasi berarti seseorang harus

berpikir melampaui realitas-realitas sehari-hari. Para manajer tradisional dikuasai oleh

pemikiran untuk mencapai tujuan operasional yang bersifat jangka pendek. Namun

seorang manajer yang juga ingin menjadi seorang servant-leader harus merentangkan

pemikirannya agar dapat mencakup pemikiran konseptual yang berbasis lebih luas.

Seorang servant-leader dipanggil untuk berupaya memelihara keseimbangan antara

pemikiran konseptual dan pendekatan yang terfokus dari hari ke hari55

.

g. Kemampuan meramalkan (Foresight).

Yang dimaksudkan dengan foresight adalah kemampuan di atas rata-rata untuk

memprakirakan apakah yang akan terjadi dan di manakah terjadinya hal tersebut di masa

depan. Kemampuan ini erat terkait dengan “konseptualisasi” yang dikemukakan dalam

butir 6 di atas: sulit untuk didefinisikan namun mudah untuk diidentifikasikan. Kita

mengetahuinya ketika kita melihatnya. Foresight adalah suatu karakteristik yang

memampukan seorang servant-leader memahami pelajaran-pelajaran dari masa lalu,

realitas-realitas hari ini, dan konsekuensi-konsekuensi yang dimungkikan dari sebuah

keputusan berkaitan dengan masa depan. Foresight juga berakar secara mendalam dalam

pikiran yang intuitif. Ada ahli-ahli yang mengatakan bahwa foresight ini adalah

53

Ibid. 54

Ibid., 18. 55

Ibid.

Page 23: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

39

karakteristik bawaan sejak lahir dari seorang pribadi, sedangkan karakteristik-

karakteristik lainnya dapat dikembangkan lewat pelatihan dan studi. Yang jelas foresight

ini belum merupakan pokok yang banyak diselidiki dan ditulis oleh para ahli

kepemimpinan56

.

h. Kepengurusan (Stewardship).

Peter Block, pengarang “Stewardship and The Empowered Manager) mendefinisikan

stewardship ini sebagai memegang/mengurus sesuatu untuk orang lain atas dasar

kepercayaan”. Menurut pandangan Robert Greenleaf, semua lembaga adalah tempat di

mana CEO, para pekerja dll. Semua memainkan peranan yang signifikan dalam

mengurus lembaga-lembaga mereka atas dasar kepercayaan demi kebaikan masyarakat

yang lebih besar. Servant-leadership, seperti juga stewardship pertama-tama dan

terutama mengandaikan suatu komitmen untuk melayani kebutuhan-kebutuhan orang

lain. Hal tersebut juga menitik-beratkan penggunaan keterbukaan dan persuasi, bukan

pengendalian (kontrol)57

.

i. Komitmen terhadap pertumbuhan orang-orang (Commitment to the growth of

people). Seorang servant-leader percaya bahwa pribadi-pribadi memiliki nilai intrinsik

yang melampaui kontribusi-kontribusi mereka yang kelihatan sebagai pekerja-pekerja

dalam perusahaan (dalam hal dunia bisnis). Dengan demikian sang servant-leader

memiliki komitmen mendalam berkaitan dengan pertumbuhan setiap individu dalam

lembaganya. Sang servant-leader di sini mengakui tanggung-jawab yang besar sekali

untuk melakukan segala sesuatu di dalam kekuasaannya untuk memelihara pertumbuhan

pribadi, pertumbuhan profesional dan pertumbuhan spiritual. Dalam prakteknya, hal ini

dapat mencakup (namun tidak terbatas pada) tindakan-tindakan konkret seperti

menyediakan dana yang diperlukan untuk pengembangan pribadi dan pengembangan

profesional, menaruh perhatian pribadi sang pemimpin pada ide-ide dan usul-usul dari

setiap orang, mendorong serta menyemangati keterlibatan orang yang dipimpinnya dalam

proses pengambilan keputusan, dan secara aktif membantu para karyawan yang terkena

PHK supaya mendapat pekerjaan baru58

.

j. Membangun komunitas (Building community). Seorang servant-leader merasakan

bahwa masyarakat modern telah kehilangan banyak dalam sejarah manusia – teristimewa

akhir-akhir ini – karena adanya pergeseran dari komunitas-komunitas lokal kepada

lembaga-lembaga besar sebagai pembentuk utama kehidupan manusia. Kesadaran ini

menyebabkan sang servant-leader berupaya untuk mengidentifikasikan beberapa cara

untuk membangun komunitas di antara mereka yang bekerja dalam sebuah lembaga

tertentu. Servant-leadership menyarankan bahwa komunitas sejati dapat diciptakan di

antara mereka yang bekerja dalam bisnis dan lembaga-lembaga lain. Greenleaf sendiri

mengatakan, bahwa apa yang diperlukan untuk membangun kembali komunitas sebagai

bentuk kehidupan yang dapat hidup terus bagi orang-orang yang berjumlah banyak,

adalah agar ada cukup banyak servant-leaders untuk menunjukkan jalannya, tidak

dengan gerakan-gerakan massal, melainkan oleh masing-masing servant-leader yang

56

Ibid.,18-19. 57

Ibid.,19. 58

Ibid.

Page 24: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

40

mendemonstrasikan kewajibannya sendiri yang tak terbatas untuk melayani kelompok

khusus yang terkait komunitas59

.

Sebenarnya sepuluh karakteristik servant-leadership masih dapat disempurnakan lagi. Akan

tetapi diharapkan bahwa sepuluh karakteristik ini dapat mengkomunikasikan kekuatan dan janji

yang ditawarkan oleh konsep kepemimpinan ini, teristimewa bagi segala pihak yang bersedia

membuka diri terhadap undangannya dan berbagai tantangannya60

.

Pendapat lain berkaitan pembahasan tentang karakteristik kepemimpinan yang melayani diungkapkan

oleh Patterson. Patterson (2003) melihat Servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah suatu

teori mengenai kebajikan atau kesalehan (Virtuous Theory). Kebajikan atau kesalehan adalah

karakteristik kualitatif yang merupakan bagian dari karakter seseorang, sesuatu yang ada di dalam diri

seseorang yang bersifat internal, atau yang lebih ditekankan disini yakni bersifat spritual atau rohaniah

atau batiniah. Teori kebijakan atau kesalehan (Virtue Theory) menunjukan ide dalam melakukan

hal-hal yang tepat dengan fokus pada karakter moral, dan mencari hal-hal yang tepat dilakukan

dalam situasi tertentu. Kesalehan atau kebajikan berharga bagi kepemimpinan karena berfokus pada

kebaikan bersama, bukan pada maksimal keuntungan, karena itu mendapat tempat dalam

kepemimpinan61

. Model teoritis yang dibuat oleh Patterson (2003) mengenai servant leadership

(kepemimpinan melayani), terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan62

, yaitu:

(a) Kasih yang murni atau Agape (Agape Love), menurut Patterson merupakan landasan

hubungnan kepemimpinan dan pengikut adalah Kasih Agape. Menurut Dennis dan Bocarnea

(2006) kasih agape artinya mengasihi dalam arti sosial atau moral. Menurutnya Kasih ini

menyebabkan pemimpin untuk menggap setiap orang tidak hanya sebagai alat untuk

mencapai tujuan, tetapi sebagai orang pelengkap antara kebutuhan dan keinginan. Lebih

lanjut menurutnya ”lakukan kepada orang lain seperti yang anda inginkan kepada orang

tersebut lakukan kepadamu” terapkan untuk semua. Servant leadership (kepemimpinan

melayani) benar-benar peduli untuk orang lain dan tertarik dalam kehidupan pengikutnya63

.

59

Ibid., 19-20. 60

Ibid., 20. 61

Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership…., 67-76. 62

Ibid.,170. 63

Ibid.,171.

Page 25: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

41

(b) Kerendahan Hati (Humility), menurut Sandage dan Wiens (2001) dalam tulisan

Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa kemampuan untuk menjaga sebuah sebuah

prestsi dan talenta dalam prespektif. Ini berarti berlatih penerimaan diri, tetapi selanjutnya

meliputi praktek kerendahan hati yang sejati, yang berarti tidak menjadi berfokus pada diri

sendiri melainkan berfokus pada orang lain. Swindoll (1981) dalam tulisan Dennis dan

Bocarnea (2006) berpendapat bahwa kerendahan pelayan tidak boleh disamakan dengan

miskin harga diri, melainkan bahwa kerendahan hati adalah sejalan dengan ego yang sehat.

Dengan kata lain, kerendahan hati bukan berarti memiliki rendahnya pandangan terhadap

diri sendiri atau nilai diri seseorang, melainkan berarti melihat sesorang tidak lebih baik

atau buru daripada yang lainnya. Servant leadership (kepemimpinan melayani) melihat

kerendahan hati sebagai cerminan akurat dari penilain diri dan karena itu, memelihara

fokus pada rendah diri (Tangney: 2000)64

.

(c) Mengutamakan orang lain (altruism), tulisan Kaplan (2000) menyatakan bahwa altruism

adalah membantu orang lain tanpa pamrih, yang melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun

tidak ada keuntungan pribadi. sementara Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip tulisan

Eisenberg (1986) mendefenisikan perilaku altruistik sebagai perilaku sukarela yang

dimaksudkan untuk menguntungkan pihak lain dan tidak dimotivasi oleh harapan eksternal yakni

penerimaan imbalan atau pahala. Bagi Johnson (2001) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea

(2006) yang berpendapat bahwa altruism merupakan perspektif etika. Menerapkan teori

kognisi sosial untuk menjelaskan altruism, yang berfokus pada faktor-faktor identitas, persepi

diri, cara pandangan, dan empati. Lebih lanjut Monroe (1994) mengutip pendapat yang

dikemukakan oleh Dennis dan Bocarnea (2006) mendefenisikannya sebagai perilaku yang

dimaksukan untuk mendatangkan keuntungan yang lain, bahkan melakukannya mungkin

beresiko atau memerlukan pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain65

.

(d) Visi (Vision), Blanchard (2000) mendefinisikan visi sebagai ”Gambaran masa depan

yang menghasilkan gairah”, selanjutnya dijelaskan bahwa visi diperlukan untuk

kepemimpinan yang baik. Demikian Laub (1999) menemukan bahwa visi bersama membangun

orang lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan orang lain (melayani mereka).

Menurut Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa servant leadership (kepemimpinan

melayani) harus bermimpi sambil tetap berada di masa lalu dan fokus pada masa depan,

karena ini memungkinkan pemimpin untuk mengambil keuntungan dari peluang masa kini.

Berkaitan visi dan kerendahan hati Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip pendapat yang

dikemukakan oleh Buchan (2002) menyatakan bahwa kepemimpinan yang melayani tidak

mementingkan diri sendiri, memungkinkan ego pemimpin dengan mendapatkan cara

kemampuannya dalam membayangkan masa depan organisasi66

.

(e) Percaya (Trust), kepercayaan adalah karakteristik penting dari servant leadership

(kepemimpinan melayani). Model tersebut kebenaran servant leadership (kepemimpinan

melayani) dalam cara melatih, memberdayakan dan mempengaruhi. Kepercayaan ini ada

sebagai elemen dasar untuk suatu kepemimpinan sejati. Menurut Russell (2001) dalam

tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) dinyatakan bahwa nilai-nilai integritas dan kejujuran

membangun kepercayaan interpersonal, organisasi dan menyebabkan kredibilitas; kepercayaan

ini sangat penting dalam servant leadership (kepemimpinan melayani), dan selalu hadir sebagai

faktor penting yang merupakan pusat kepemimpinan. Selain itu Melrose (1998)

sebagaimana dikutip dalam Dennis dan Bocarnea (2006) menyatakan bahwa para pemimpin

melakukan apa yang dikatakan, yang menimbulkan kepercayaan. Keterbukaan seorang

64

Ibid. 65

Ibid. 66

Ibid.

Page 26: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

42

pemimpin untuk menerima masukan dari orang lain meningkatkan kepercayaan pada

seorang pemimpin. Pengikut lebih cenderung mengikuti pemimpin dengan perilaku yang

konsisten, dapat dipercaya dan dapat langsung terhubung dengan aspirasi pengikutnya67

.

(f) Pemberdayanaan (Empowerment), Pemberdayaan adalah mempercayakan kekuasaan

kepada orang lain, dan untuk servant leadership (kepemimpinan melayani) menyangkut

mendengarkan secara efektif, membuat orang merasa penting, menempatkan penekanan

pada kerja sama tim, menghargai cinta dan kesetaraan (Russell dan Stone, 2002). Covey

(2002) berpendapat bahwa pemimpin berfungsi sebagai contoh untuk memberdayakan orang

lain dan untuk menilai perbedaan pengikutnya. Mcgee-Cooper dan Trammell (2002)

sebagaimana dikutip dalam Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa memahami

asumsi dasar dan latar belakang informasi tentang isu-isu penting pemberdayakan masyarakat

untuk menemukan makna lebih dalam pekerjaan dan untuk berpartisipasi lebih lengkap

dalam pengambilan keputusan yang efektif. Bass (1990) sebagaimana dikutip dalam Dennis

dan Bocarnea (2006) mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan

dengan pengikut dalam perencanaan dan pengambilan keputusan68

.

(g) Pelayanan (Service). Tindakan melayani meliputi misi tanggung jawab kepada orang

lain (Dennis dan Bocarnea: 2006). Pemimpin memahami bahwa pelayanan adalah pusat

servant leadership (kepemimpinan melayani). Model servant leadership (kepemimpinan

melayani), melayani sesamanya dalam perilaku, sikap, dan nilai-nilai. Menurut Block

(1993) sebagaimana dikutip dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006), pelayanan adalah

segalanya. Orang-orang bertanggung jawab kepada siapa yang dilayani apakah itu bawahan

atau pengikutnya. Greenleaf (1996) mengemukakan bahwa bagi para pemimpin untuk

melayani orang lain, harus memiliki rasa tanggungjawab69

.

Patterson (2003) menjadikan kasih sebagai karakteristik dari Servant leadership

(kepemimpinan melayani) yang paling mendasar atau utama, dan diakhiri dengan pelayanan. Model

yang dibuat Patterson, sesuai dengan ajaran Yesus, yaitu hukum yang kedua, yang sama

pentingnya dengan hukum yang terutama, adalah mengasihi sesama manusia. Sebagai orang yang

mengasihi sesama manusia dengan baik dan penuh kasih. Dalam kerangka karakteristik ini diawali

dengan Kasih sebagai karakteristik dasar servant leadership (kepemimpinan melayani), dan diakhiri

dengan motivasi untuk melayani sesama, sebagai akibat yang timbul dari sikap mengasihi tersebut70

.

Patterson memakai teori Maslow bahwa, salah satu kebutuhan manusia adalah dikasihi atau

dicintai. Kasih dapat memberikan dorongan yang kuat pada diri sesorang untuk berbuat sesuatu. Jadi

servant leadership (kepemimpinan melayani) juga perlu memimpin bahwahannya dengan Kasih atau

67

Ibid., 172 68

Ibid. 69

Ibid. 70

Ibid., 67-76

Page 27: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

43

cinta. Sebetulnya dasar dari konsep servant leadership (kepemimpinan melayani), adalah konsep

kasih atau cinta kepada sesama, khususnya kepada para bawahannya. Hal ini perlu ditumbuhkan

pada para pemimpin, agar seorang pemimpin menumbuhkan potensi yang ada pada bawahannya

dengan lebih baik lagi, yaitu dengan mengasihi, mengembangkan dan melayani bawahan-nya, serta

mengajar bawahannya untuk kembali mengasihi orang lain dan mau mengembangkan serta

melayani orang lain dengan lebih baik lagi71

.

Pendapat lain datang dari Sendjaya72

, yang mendeskripsikan karakter pemimpin yang perlu

dimiliki oleh seorang pemimpin yang melayani dan secara konseptual dikelompokkan dalam

enam dimensi, antara lain:

a) Kesadaran Diri sebagai Pelayan (Voluntary Subordination), Pemimpin

memprioritaskan kepentingan dan kebutuhan individu lain diatas kebutuhan diri sendiri.

Seorang pemimpin pelayan memiliki kencederungan untuk melayani orang lain daripada

dilayani. Dengan memandang dirinya sebagai pelayan, maka para pemimpin pelayan

melayani orang lain tanpa pandang latar belakang. Kepemimpinan yang melayani

menggunakan kuasa untuk melayani orang lain bukan ambisinya sendiri, sebab

kekuasaan dipandang hanyalah ala untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Kekuasaan

bukan tujuan, tetapi pada prinsipnya, kekuasaan, dalam pengertian jabatan formal, tidak

menjadi sangat menentukan bagi krdibilitas seorang pemimpin. Ia dapat melayani dalam

posisi apapun, namun kesempatan melayani dari posisi kekuasaan yang lebih tinggi

memberikan kesadaran padanya untuk melayani dengan kualitas yang lebih baik.

Pemimpin melayani dengan menunjukkan rasa keperduliannya melalui tindakan

konkrit sebagai seorang pelayan.

71

Ibid. 72

Ibid., 40-42.

Page 28: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

44

b) Pribadi yang Otentik (Authentic Self), Pemimpin melakukan setiap tindakan

didasarkan pada kerendahan hati. Pemimpin memiliki pandangan ke depan,

sehingga pemimpin telah mempertimbangkan setiap konsekuensi untuk setiap

perencanaan. Diri yan otentik di sini berhubungan dengan transparansi yaitu keterbukaan

diri yang otentik tentang perasaan, keyakinan, dan tindakan seorang pemimpin kepada

para pengikutnya, sehingga muncul kerendahan hati yang memungkinkan integritas,

dapat dipercaya, bertanggungjawab dan dapat diandalkan.

c) Covenantal Relationship, dalam hal hubungan dengan individu lain, pemimpin

mampu menerima individu lain sebagaimana dirinya, dengan kelebihan serta

kekurangan dari individu tersebut. Pemimpin memperlakukan individu lain sebagai rekan

kerja dibandingkan bawahan. Pemimpin memberikan waktu untuk membangun

hubungan secara profesional dengan individu lain. Pemimpin melibatkan individu

lain dalam setiap keputusan serta perencanaan. Dimensi ini ditandai dengan adanya sikap

penerimaan, keseimbangan, kebergunaan, dan kolaborasi.

d) Responsible Morality, pemimpin membawa individu lain untuk bekerja dengan

adanya tujuan moral, sehingga individu memiliki rasa kepemilikan atas apa yang ia

kerjakan. Pemimpin mengajak individu untuk bekerja dengan cara yang benar,

bukan hanya dengan cara yang terlihat baik. Dalam dimensi ini pemimpin yang

melayani tidak bersifat memperbolehkan, tetapi selalu menetapkan standar tinggi dalam

keberadaan dan perbiatan.

Page 29: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

45

e) Trancendent Spirituality, pemimpin melakukan hal dengan suatu tujuan yang lebih

dari sekedar pencapaian pribadi, melainkan untuk Tuhan dan individu lain.

Pemimpin membantu para pengikut untuk menemukan tujuan hidup selain dari

menyelesaikan suatu pekerjaan dengan baik. Pemimpin membantu individu lain

untuk menemukan rasa kebermaknaan dari kehidupan sehari-hari pada pekerjaan.

Pemimpin memberikan suatu nilai kepada para pengikut yang tidak berfokus pada

materi dan diri sendiri.

f) Transforming Influence, pemimpin akan memastikan setiap individu dalam

organisasi memegang visi yang dibagikan bersama. Pemimpin mengijinkan para

pengikut untuk mengekspresikan diri dan menuangkan kreativitas, tanpa harus

memaksa mereka mengikuti cara dari pemimpin dan tidak merasa takut untuk

mencoba. Pemimpin menjadi teladan dari pengaruh yang dibawa. Pemimpin

memberikan timbal balik kepada para pengikut atas peforma dari individu.

6 dimensi karakter dari pemimpin yang melayani, yang telah dijelaskan di atas, secara ringkas

diuraikan dalam gambar berikut ini:

Page 30: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

46

Gambar 2.1. Enam Dimensi Karakter Pemimpin yang Melayani

Being a servant Voluntary

subordination

Acts of servive

Humility

Authentic self Integrity

Security

Accountability

Vulnerability

Availability

Acceptance

Covenantal

relationship Equality

Collaboration

Moral action

Responsible

morality

Moral reasoning

Religiousness

Transcendental

spirituality Sense of mision

Interconnectedness

Wholeness

Vision

Transforming

influence Mentoring

Modelling

Trust

Empowerment

Page 31: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

47

2.2. PENDETA

2.2.1. Pendeta sebagai Pemimpin yang Melayani

Kata pendeta diambil dari kata “Pasteur, Pastor” (bahasa latin dari kata gembala). Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendeta didefinisikan sebagai orang pandai, pertapa

(dalam cerita-cerita kuno), pemuka, pemimpin atau guru agama73

. Kata ‟Pendeta” sendiri tidak

ditemukan dalam Alkitab. Alexander Strauch menyebutkan bahwa kata Pendeta diambil

dari luar kekristenan untuk memberikan nama kepada seorang gembala tunggal atau senior

yang berkuasa74

. Jadi secara umum, berdasarkan pemahaman tersebut maka pendeta dipahami

sebagai sebutan bagi pemimpin agama.

Walaupun Pendeta adalah pemimpin, namun menurut pernyataan LCA (Gereja Lutheran

di Australia), jabatan kependetaan tidak berarti bahwa mereka yang memegangnya mempunyai

kuasa yang sewenang-wenang atas orang Kristen lainnya75

. Disamping pendeta sebagai

pemimpin dalam jabatan gerejawi, namun jabatan kependetaan seharusnya tidak dipandang dan

dihayati hanya sebagai jabatan pribadi yang dimiliki pendeta tanpa memperdulikan makna tugas

pelayan yang diemban di dalamnya.

Menurut Dahlenburg, posisi pendeta dalam jemaat sesungguhnya adalah pelayan yang

tidak lebih tinggi dari pada kaum awam, dengan kata lain Pedeta adalah pelayan di antara

pelayan-pelayan lain76

. Hal tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa panggilan sebagai

seorang Kristen adalah panggilan untuk melayani. Walaupun ada pelbagai karunia yang berbeda,

73

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 747 74

Alexander Strauch, Manakah Yang Alkitabiah: Kepenatuaan atau Kependetaan (Yogyakarta: Andi,

1992), 179 75

G.D.Dahlenburg, Siapakah Pendeta Itu (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 10. 76

Ibid., 9.

Page 32: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

48

namun karunia itu bukanlah alat pengukur tingkat dan status umat Allah, karena di hadapan

Allah derajat semua umat-Nya sama77

.

Selanjutnya dijelaskan bahwa pelayanan kependetaan adalah suatu pelayanan yang umum

dan resmi. Luther menyatakan bahwa, “Kalau kita orang Kristen, maka kita semua adalah

pendeta. Tetapi pendeta-pendeta yang kita panggil adalah pelayan-pelayan yang kita panggil

untuk melayani atas nama kita dan jabatan mereka sebagai pendeta merupakan suatu pelayan

saja.”78

Karena tidak semua orang mampu dan boleh berkhotbah, mengajar, memimpin,

maka harus ada orang yang dipercayakan dan diutus dengan doa dan penumpangan tangan di

hadapan Tuhan dan jemaatnya yang kemudian memegang jabatan sebagai pendeta. Dalam

menjalankan tugasnya bukan untuk kepentingan jabatan tersebut melainkan untuk melayani

semua anggota yang lain79

. Lebih lanjut ditegaskan oleh Dahlenburg bahwa pendeta itu harus

berbicara sebagai seorang pelayan kepada pelayan-pelayan lain; sebagai seorang berdosa kepada

orang-orang berdosa80

.

Penekanan yang terpenting dari pemahan-pemahan yang berkaitan dengan jabatan

kependetaan yang telah dijelaskan adalah pendeta seharusnya menjadi pemimpin yang melayani.

Pendeta tanpa menyadari posisinya sebagai pelayan maka itu bukan pendeta, karena pada

hakikatnya jabatan kependetaan adalah suatu pelayanan kepada Tuhan melalui sesama dan bukan

jabatan pribadi yang dimiliki pendeta. Jabatan kependetaan bukan semata tentang posisi sebagai

pemimpin, melainkan lebih dari itu fungsi sebagai pemimpin yang melayani. Jadi seorang

pendeta adalah seorang pelayan. Ketika dia melayani dan tidak berorentasi pada kepentingan

pribadi maka dia disebut pemimpin yang melayani.

77

Ibid.,8. 78

Ibid., 9. 79

Ibid. 80

Ibid.,10.

Page 33: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

49

2.3. ETNIS TIONGHOA

2.3.1. Konsep tentang Etnis dan Kelompok Etnis

Dalam pemahaman tentang etnis (ethinic) akan ditemukan adanya hubungan dengan

kelompok sosial dalam kelompok sistem sosial atau kebuadayaan yang mempunyai arti atau

kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama bahasa, dan seterusnya81

. Etnis diartikan

sebagai seuatu yang terkait pada segolongan rakyat atau suku atau suatu bangsa yang dianggap

masih ada hubungan biologis. Etnis juga digunakan untuk menendai suatu golongan atau suku

atau bangsa yang merupakan bagian keseluruhan umat manusia di dunia82

.

Selain itu terdapat pendapat dari Smith, yang mendefenisikan etnis (ethinic) sebagai berikut:

Ethinics are in turn defined as named units of population with common ancestry myths and

historical memories, element of shared culture, some link with a historic territory and some

measure of solidarity, at least among their elites83

. (Etnis pada gilirannya didefenisikan

sebagai unit yang bernama populasi dengan mitos nenek moyang yang sama dan kenangan

sejarah yang sama, unsur budaya bersama, adanya keterkaitan yang sama dengan wilayah

bersejarah, dan beberapa ukuran solidaritas, setidaknya di antara elite mereka).

Dari defenisi di atas dapat dipahami adanyapenekanan Smith pada keseragaman tipologi

masyarakat secara universal dengan kesamaan yang berlatar belakang mitos tentangf kesamaan

nenek moyang dan sejarah, kesamaan budaya, adanya keterkaitan sejarah mendiami wilayah

yang sama, serta adanya rasa solidaritas terhadap sesame mereka yang setidak-tidaknya setia

terhadap pemimpin/tokoh mereka. Berkaitan dengah hal tersebut, terdapat juga pengertian dari

kelompok etnis yang dijelaskan oleh Schermerhorn. Ia menjelaskan pengertian kelompok etnis

sebagai berikut:

81

Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 2005), 309. 82

Pringgodigdo, Ensiklopedia Umum (Yogyakarta: Kanisius,1973), 316. 83

Anthony D. Smith, Nation and Nationalism in a Global Era (Cambridge United Kingdom: Polity Press, 1995),57.

Page 34: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

50

Suatu kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang mempunyai atau

digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah yang

sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya di dalam satu atau beberapa elemen

yang simbolik itu seperti pola keluarga, ciri-ciri fisik, afiliasi agama dan kepercayaan,

bentuk dialek atau bahasa, afiliasi kesukuan, nasionaitas, atau kombinasi dari sifat-sifat

yang tersebut di atas. Pada dasarnya di dalam kelompok tersebut terdapat sejenis tali

pengikat antar anggotanya sebagai suatu kelompok84

.

Tentang defenisi kelompok etnis penulis juga merujuk defenisi yang dijelaskan oleh Smith

berikut ini:

An ethnic group (or ethnicity) is group of people whose members identify with each other,

through a common heritage, consisting of a common language a common culture (often

including a shared religion) and a tradition of common ancestry (corresponding to a history

of endogamy). Members of an ethnic group are conscious of belonging to an ethnic group:

moreover ethnic identity is further marked by the recognition from others of a group’s

distinctiveness85

. (Sebuah kelompok etnis (atau etnis) adalah sekelompok orang yang

anggotanya mengidentifikasi satu sama lain, melalui warisan bersama, yang terdiri dari bahasa

yang sama, sebuah kebudayaan umum (sering termasuk kesamaan agama) dan tradisi nenek

moyang sama ( yang berhubngan dengan sejarah endogami). Anggota kelompok etnis sadar

bahwa memiliki kelompok etnis yang sama, apalagi identitas etnis lebih lanjut ditandai oleh

pengakuan dari orang lain dari kekhasan suatu kelompok itu).

Bedasarkan defenisi tersebut maka dapat dipahami bahwa kelompok etnis menjadi

identitas pada tiap-tiap kelompok etnis yang satu dengan yang lain sekaligus menjadi faktor

pembeda yang kontras. Dengan begitu, apabila ada satu individu dari kelompok etnis yang satu

masuk ke dalam kelompok etnis yang lain maka akan sangat kelihatan perbedaan secara kontras

karena kelompok etnis sebagai identitas selamanya melekat pada individu. Pendapat lain dari

seorang sosiolog terkenal dari Jerman yang bernama Max Weber mendefenisikan kelompok etnis

sebagai berikut:

84

H.A.R. Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia (Jakarta:Rineka Cipta, 2007), 5. 85

Smith, 1987; Marcus Banks, Ethnicity: Antropological Constructions (London: 1996), 151.

Page 35: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

51

Those human groups that entertain a subjective belief in their common descent because

of similarities of physical type pr of customs or both, or because of memories of

colonization and migration; this belief must be important for group formation;

furthermore it does not matter whether an objective blood relationship exists86

.

(Kelompok manusia yang memelihara keyakinan subyektif dalam keturunan bersama

mereka karena kesamaan tipe fisik atau kebiasaan atau keduanya, atau karena kenangan

kolonisasi dan migrant; selanjutnya tidak perduli apakah ada tujuanhubungan darah atau

tidak, namun kepercayaan ini harus dikedepankan untuk pembentukan kelompok).

Berdasarkan defenisi tersebut maka, kelompok etnis dapat didefenisikan kembali yaitu

kelompok etnis adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang dianggap

masih ada hubungan biologis maupun hubungan antar anggota suatu kelompok atau suku

(dominasi atau penguasaan, subordinasi atau sikap tunduk, persahabatan, saingan, dan

sebagainya) dan sifat lain menyangkut kelompok itu secara menyeluruh (besarnya kelompok,

masuk tidaknya, rasa kekitaan, rasa setia kawan dan sebagainya), yang semuanya memberikan

ciri-ciri khas pada kelompok itu dalam hubungannya dengan kelompok lain87

.

2.3.2. Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia

Istilah Tionghoa (untuk orangnya) dan Tiongkok (untuk negaranya) mulai digunakan

oleh etnis Tionghoa sendiri dan kemudian istilah tersebut diikuti oleh kelompok lain. Istilah ini

juga diterima oleh pers dan pemerintah Indonesia sampai munculnya Orde Baru88

. Tan Chee

Beng menyatakan bahwa identitas etnis dan kultur orang Tionghoa di Asia Tenggara telah

dibentuk oleh berbagai pengalaman lokal di negara tempat mereka tinggal dalam suatu proses

86

Max Weber, Economy and Society eds. Guenther Roth and Claus Wittich, Trans. Ephraim Fischof, Vol.

2 Bekeley: University of California Press, 1978, 389. 87

M.D. La Ode, ETNIS CINA INDONESIA DALAM POLITIK: Politik Etnis Cina Pontianak dan

Singkawang di Era Reformasi 1998-2008 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), 38. 88

Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia: sebuah bunga rampai, 1965-2008

(Jakarta: Kompas, 2010),193.

Page 36: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

52

yang disebut lokalisasi89

. Identitas orang Indonesia-Tionghoa berlapis-lapis sesuai dengan

tingkat adaptasi dan akulturasi mereka dengan kondisi-kondisi setempat90

. Manifestasi

ketionghoaan yang berlainan dalam periode pemerintahan yang berbeda menunjukan bahwa

identitas itu tidak statis, tetapi dinamis dan bisa diubah serta didefenisikan kembali91

.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dalam kaitannya dengan keberadaan orang-

orang etnis Tionghoa di Indonesia, sejak proklamasi Republik Indonesia, orang-orang etnis

Tionghoa yang hidup di Indonesia dianggap senangtiasa menimbulkan “masalah”: tetapi

“masalahnya” tidak selalu sama. Mula-mula pada zaman kolonial mereka diangap pro-Belanda

dan antinasionalisme Indonesia, eksklusif dan kerjanya hanya mencari keuntungan, kemudian

dianggap unsur komunis atau simpatisan komunis. Terakhir mereka dianggap sebagai kapitalis

dan konglomerat yang mengeruk kekayaan negara tanpa perasaan patriotisme. Indonesia telah

merdeka selama lebih dari setengah abad, tetapi masalah Tionghoa masih tidak kunjung selesai92

.

Selama rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998), etnis Tionghoa memperoleh hak-hak

istimewa untuk mengembangkan ekonomi Indonesia (dan kekayaan mereka sendiri), tetapi

anehnya mereka dipinggirkan dan didiskriminasi dalam semua wilayah sosial: budaya, bahasa,

politik, hak masuk ke perguruan tinggi negeri, hak atas pelayanan publik dan hak untuk menjadi

pegawai negeri93

. Diskriminasi yang disengaja dan berkelanjutan ini membuat etnis Tionghoa

terus menerus merasa sebagai orang asing dan berada dalam posisi rentan untuk dimusuhi secara

kelas dan etnis94

.

89

Chang-Yau Hoon. Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto: Budaya, Politik, dan Media (Jakarta: Yayasan

Nabil. 2012), 23. 90

Ibid. 91

Ibid. 92

Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa….,184. 93

Ariel Heryanto, “Rape, Race and Reporting” dalam Arief Budiman, Barbara Hatley dan Damien

Kingsbury (eds), Reformasi: Chrisis and Change ini Indonesia (Clayton:Monash Asia Instite, Monash University,

1999), 326. 94

Chang-Yau Hoon. Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto…., xxxi.

Page 37: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

53

Etnis Tionghoa yang hidup di Indonesia secara stereotipikal digambarkan sebagai

makhluk ekonomi dan pembisnis kaya95

. Orang-orang etnis Tionghoa yang hidup di Indonesia

diidentikan atau dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang

ekonomi dan bisnis. Pandangan ini diperkuat dan didukung oleh penelitian yang dilakukan, yang

mengungkapkan bahwa di Indonesia, orang-orang Tionghoa walau hanya berjumlah 3-4% di

negeri ini dari 210 juta jiwa ternyata berhasil menguasai 70% dari sektor swasta dalam

perekonomian negeri ini96

.

Secara kultural, menurut Skiner orang Tionghoa membuktikan bahwa mereka paling

cocok untuk perkembangan ekonomi. Mereka menekankan sistem nilai yang mementingkan

kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan

ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan

digunakan97

.

Kelompok etnis Tionghoa di Indonesia sesungguhnya bukan merupakan kelompok yang

homogen. Secara konvensional, dari sudut budaya, orang Tionghoa terbagi atas dua kelompok

utama, yakni peranakan dan totok. Peranakan adalah orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di

Indonesia dan umumnya sudah “terbaur”. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-

hari dan bertingkah laku seperti pribumi. Sedangkan totok adalah pendatang baru, umumnya

baru tinggal di negeri ini selama satu sampai dua generasi dan masih mengusai bahasa

Tionghoa98

. Kelompok totok berorientasi ke Tiongkok, dan biasanya juga lahir di negeri

Tiongkok.

95

Ibid., xxxvii.

96

Melly G. Tan, Etnis Tionghoa Di Indonesia: Kumpulan Tulisan, ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2008), 274.

97

Idem, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia. 1979), vii-xix. 98

Ibid., 183

Page 38: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

54

Dalam perkembangannya, dikotomi totok dan peranakan tidak lagi relevan dalam

merumuskan identitas etnis Tionghoa. Terutama yang harus dipertanyakan menurut Tan

adalah eksistensi Tionghoa totok. Dikotomi identitas tersebut dibentuk oleh fakta sejarah

emigrasi orang-orang Tionghoa yang terpaksa bercampur dengan penduduk lokal karena

minimnya wanita-wanita dari Cina yang beremigrasi ke Indonesia. Gelombang demi

gelombang emigrasi yang kemudian masuk, serta perkembangan politik Indonesia pra

kemerdekaan membentuk identitas Tionghoa dalam dua identitas yang saling

berseberangan.99

Oleh karena itu, identitas etnis Tionghoa perlu didefinisikan di luar

dikotomi totok dan peranakan. Pertanyaannya: apakah mungkin memunculkan satu identitas

Tionghoa yang sama sekali lepas dari dua istilah dasar tersebut?

Di Indonesia, untuk mengenal orang-orang etnis Tionghoa sendiri sering ditandai dengan

ciri fisik yang sangat mudah diidentifikasi, misalnya melalui wajah, mata, dan warna kulit100

.

Penampilan fisik yang berbeda seperti warna kulit lebih terang, bermata sipit, berambut lurus,

bertulang pipi lebih menonjol dibandingkan dengan kaum Pribumi,101

sering menjadi dasar

stereotip.

Dalam penemuan Lasiyo, dijelaskan bahwa etnis Tionghoa tidak dapat melepaskan diri

dari warisan leluhur mereka, terutama dalam hal orientasi agama. Meski menganut agama

baru, namun orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia masih mempraktikkan agama asli

mereka. Penerimaan agama baru bagi mereka hanyalah bentuk adaptasi dengan lingkungan

sekitar102

.

99

Melly G. Tan. Etnis Tionghoa Di Indonesia…,166. 100

Menurut Rahoyo (2010:138), dari ciri fisik sebenarnya cukup mudah untuk mengidentifikasi

seseorang apakah Tionghoa atau bukan. 101

Gondomono, Membanting Tulang Menyembah Arwah: Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina

(Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996),1. 102

Situasi ini menurut Tan (1991:123) dipertegas oleh sebuah riset di Solo yang menunjukkan bahwa

Page 39: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

55

Senada dengan temuan tersebut, Tjhin mengatakan bahwa kesuksesan orang-orang

Tionghoa memang sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah mereka, terutama nilai-

nilai sosial kultural yang berakar pada konfusianisme, tanggung jawab terhadap keluarga,

dan pemanfaatan sumber daya dan akumulasi modal. Situasi ini menurut Thjin menjadi

faktor penting yang mempengaruhi bisnis etnis Tionghoa. Orientasi kekerabatan etnis

Tionghoa sebagai simbol familisme dijaga dengan kuat sehingga tidak mengherankan jika

mereka loyal terhadap negeri leluhur mereka103

.

Pedapat lain dari Suryadinata, cara utama yang digunakan olehnya, dalam membahas

identitas etnis Tionghoa adalah bagaimana mengidentifikasi etnis Tionghoa dengan memperjelas

istilah-istilah utama yang selama ini banyak dipergunakan. Kategori-kategori identifikasi

etnis Tionghoa yang lazim digunakan seperti ras, bahasa, dan agama dikritik oleh

Suryadinata karena menurutnya tidak relevan dengan kenyataan bahwa banyak orang

Tionghoa Indonesia yang memiliki latar belakang ras campuran, tidak dapat berbahasa Cina, dan

bukan penganut agama Cina. Kategori identifikasi diri misalnya dengan cara mengidentifikasi

nama keluarga Tionghoa menurut Suryadinata juga tidak relevan karena adanya kebijakan resmi

negara untuk mewajibkan orang-orang Tionghoa mengganti nama menjadi khas Indonesia104

.

Analisis yang selama ini dianggap paling memadai mengenai identitas etnis

Tionghoa adalah analisis Gungwu 105

. Gungwu106

mengatakan bahwa identitas Tionghoa saling

totok lebih banyak menjadi muslim ketimbang orang-orang peranakan. Ketika orang-orang peranakan ditanya

mengenai fenomena ini, umumnya mereka mengatakan bahwa konversi agama orang-orang totok ke Islam hanya

untuk mempermudah urusan bisnis mereka. 103

Tjhin, Christine Susanna, 2007. The Chinese Indonesians‟ Role in Substantiating Sino-Indonesia

Strategic Partnership dalam The Indonesian Quarterly, Jurnal CSIS Vol. 35 No. 4 Fourth Quarter 2007, 335. 104

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Diterjemahkan oleh Wilandari Supardan, ( Jakarta.

Grafiti Press 1984), xvii. 105

Mely G. Tan, The Ethnic Chinese in Indonesia: Issues of Identity dalam Ethnic Chinese as

Southeast Asians, Editor Leo Suryadinata, Institute of Southeast Asian Studies dan Allen & Unwin, Pasir

Panjang dan New South Wales. 1997, 39.

Page 40: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

56

tumpang tindih, berubah dari waktu ke waktu, saling menyilang, dan selalu tidak bisa dilepaskan

dari pencampuran identitas. Menurut Gungwu 107

, ada tujuh identitas etnis Tionghoa yang

dapat diidentifikasi, yaitu:

a. Identitas sejarah

Berkaitan dengan sejarah masa lalu orang-orang Tionghoa dan terbentuk umumnya

sebelum perang dunia kedua. Identitas ini membungkus konsep dengan identitas budaya.

b. Identitas nasionalis China

Berkaitan dengan orientasi sebagian kelompok terhadap nasionalisme di China yang

bangkit pada awal tahun 1900-an. Identitas ini menurut Gungwu sudah sangat tipis

untuk tidak mengatakannya sudah tidak ada.

c. Identitas komunal

Identitas ini bersifat jejaring kuat dan menurut Gungwu dapat dijumpai di Malaysia.

Identitas ini dapat berubah menjadi identitas etnis.

d. Identitas nasional (lokal)

Identitas ini berkaitan dengan identitas diri sebagai warganegara dimana mereka

berada. Identitas ini umumnya dipegang oleh orang-orang yang berada di wilaya Asia

Tenggara.

e. Identitas budaya

Identitas ini diserap dari tradisi identitas sejarah dan merupakan identitas yang paling

lentur.

106

Wang Gungwu, The Study of Chinese Identities in Southeast Asia dalam Changing Identities of

The Southeast Asian Chinese since World War II, Editor Jennifer Cushman dan Wang Gungwu, (Hong Kong

,Hong Kong University Press, 1988),1-16. 107

Ibid., 9.

Page 41: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

57

f. Identitas etnis

Identitas etnis pada dasarnya mengoreksi identitas budaya dalam hal orisinalitas ras

dan lebih spesifik menyangkut gagasan dari tujuan politik dalam rangka mencapai

legitimasi hak-hak minoritas. Konsep ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari

dunia luar.

g. Identitas kelas

Identitas ini sangat tergantung pada persilangan batas-batas etnis yang tumbuh

sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan dalam waktu yang lama. Pada titik ini, menurut

Gungwu, identitas menjadi sangat tergantung dengan keadaan, termasuk elemen di luar

Tionghoa itu sendiri

2.4. GEREJA ALIRAN PENTAKOSTA

Gerakan keagamaan aliran Pentakosta108

muncul pada awal abad XX, di Amerika Serikat.

Gerakan keagamaan ini disebut aliran pentakosta, sebab kelahirannya dilatarbelakangi oleh

kerinduan orang-ornag Kristen untuk memperoleh pengalaman rohani seperti yang terjadi dalam

peristiwa pentakosta yang tertulis dalam Kisah Para Rasul khususnya pasal 2 (dua).

Baptis Roh Kudus, menjadi penting dan mendapat perhatian lebih besar. Pengalaman

rohani melalui baptis Roh Kudus dan kepenuhan Roh Kudus dengan tanda berbicara dalam

bahasa Roh menjadi penting. Disamping perhatian pada karya Roh Kudus melalui baptisan dan

kepenuhan Roh Kudus, indolator lainnya yang menunjukan bahwa suatu gereja termasuk dalam

kelompok aliran pentakosta adalah suasana kebaktian. Suasana kebaktian aliran pentakosta

108

Istilah yang digunakan dalam Tesis ini adalah pentakosta, bukan pantekosta Pemakaian istilah

pentakosta, menurut penulis lebih sesuai dengan bunyi kata aslinya yaitu pentakoste, yang berarti hari kelimapuluh.

Namun untuk menyebut nama gereja, istilah pentakosta digunakan. Bdk. Tapilatu, Gereja-Gereja Pentakosta di

Indonesia (Jakarta, Tesis Magister Teologi, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1982), vi-vii.

Page 42: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

58

berbedadengan suasana kebaktian dalam gereja Roma Katolik maupun Gereja Protestan.

Nyanyian dinyayikan dengan penuh semangat dan diulang berkali-kali, penuh kegemebiraan dan

emosional, diiring dengan musik yang meriah, senangtiasa disertai sorakan dan teriakan

haleluya, tepuk tangan yang meriah mengiringi lagu pujian, serta doa yang dinaikan dengan

suara keras dan nyaring dan diikuti oleh seluruh anggota jemaat.

Setengah abad kemudian, muncul gerakan keagamaan yang memiliki cirri khas yang

hampir sama dengan gerakan pentakosta, sehingga disebut aliran Pentakosta baru, kemudian

lebih dikenal aliran Kharismatik. Maksud dan tujuan gerakan ini adalah “memberikan kepada

anggota-anggota jemaat suatu penghayatan iman yang intensif atau, seperti yang dikatakan oleh

pengikut-pengikutnya suatu penghayatan iman yang lebi intensif atau seperti yang dikatakan

oleh pengikut-pengikutnya suatu penghayatan baru dari peristiwa pentakosta”109

.

Dalam perkembangan selanjutnya aliran pentakosta maupun pentakosta baru,

berkembang bersama saling menyatu, sehingga pada saat ini cukup sulit untuk membedakan.

Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan gereja aliran pentakosta adalah gereja yang angota

terdiri dari penganutnya aliran pentakosta maupun pentakosta baru (kharismatik)

2.4.1. Ciri-ciri Gereja Aliran Pentakosta

Embrio aliran Pentakosta adalah gerakan kesucian. Gerakan kesucian muncul di dalam gereja

dan menjadi bagian dari gereja. Dalam perkembangan selanjtnya, aliran pentakosta berkembang,

dan memisahkan diri dari gereja, dengan membentuk suatu dominasi gereja. Aliran pentakosta

mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:

109

Abineno, Gerakan Pntakosta dan Gerakan Pentakosta Baru, dalam Gerekan Kharismatik Apakah Itu,

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 290.

Page 43: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

59

a. Pandangan terhadap Alkitab Biblisistis, Fragmentaris dan Fundamentalis.

Sebagai geraka yang mewarisi semangat revivalis, maka aliran pentakosta cenderung untuk

mempergunakan Alkitab sebagai satu-satunya sumber, termasuk dalam menggunakan pandangan

teologinya”110

. Pemikiran dan pandangan teologinya dari bapak-bapak gereja, tradisi gereja dan

sejarah gereja kurang mendapat perhatian. Injil dipahami sesuai dengan apa yang tertulis, dan

menghindari segala macam bentuk penafsiran terhdap Alitab dengan bantuan berbagai macam

hasil penemuan dari hasil penelitian. Dalam bentuk yang lebih ekstrem, misalnya dalam ibadah,

usaha yang dilakukan adalah meniru seperti apa yang tertulis dalam Alkitab111

. Alkitabiah

dipahami sebagai usaha melakukan suatu tindakan yang sama persis yang tertulis dalam Alkitab.

Alkitab dipahami tidak secara menyeluruh dan komprehensif. Pemahaman yang dilakukan

cenderung menekankan bagian ayat/perikop Alkitab, yang mendukung pandangan ajaran serta

norma-norma yag dianggap palig benar. Bagian Alkitab yang mendapat tekanan dan pokok

perhatian misalnya masalah kepenuhan Roh Kudus dan manifestasinya karunia-karuania Roh

Kudus, mujizat-mujizat, pembenaran, penyucian, dan eskatologis112

.

Pandangan terhadap Alkitab termasuk fundamentalis. Aliran pentakosta berusaha menolak

setiap bentuk kritik terhadap Alkitab. “ Alkitab adalah Firman Allah yang diIlhami dan isinya

merupakan penyataan ilahi yang sempurna. Oleh sebab itu Alkitab tidak mungkin salah atau

keliru”113

. Maka aliran pentakosta menolak bentuk kritik teks. Menurut golongan aliran

110

M. Tapila, Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia, Thesis, Program Pascasarjana, STT Jakarta, Jakarta 1982, 13. 111

Ibid. 112

Ibid. 113

Ibid.,14.

Page 44: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

60

pentakosta, kritik teks, berarti “menyangkali kebenaran-kebenaran fundamental yang merupakan

kebenaran-kebenaran yang menentukan sekaligus merupakan keunikan Kristen114

.

Yang dimaksudkan kebenaran-kebearan tersebut antara lain: “ketidak-salahan Alkitab, ke-

Allahan dari Yesus, kelahiran Yesus dari anak dara, imbalan atas pertobatan, kebangkitan daging

dan kedatangan Kristus kembali dalam tubuh yang utuh115

”. Alkitab sudah sangat jelas, sehingga

tidak perlu dipahami dengan menggunakan penafsir, apa yang tertulis, yang harus dipercayai,

demikian menurut pandangan aliran pentakosta.

b. Bentuk Ibadah bebas, tanpa liturgi yang ketat.

Ibadah yang dilakukan oleh aliran pentakosta tidak diatur dengan litugi yang ketat seperti

yang dilakukan dalam gereja-gereja aliran utama. Maka, “suasana di dalam ibadah nampaknya

lebih bebas, misalnya dalam liturginya situasi selama ibadah, pakaian pendeta dan lain-lain”116

.

Pemimpin ibadah dan pemimpin pujian-pujian, tidak memimpin berdasarkan liturgi tertentu,

tetapi sesuai dengan kebutuhan. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa “Roh Kudus yang

akan bekerja dan menentukan sepenuhnya di dalam ibadah117

.

Demikian juga pendeta yang berkhotbah. Pendeta berkhotbah sesuai dengan keinginan Roh

Kudus, sehingga dapat terjadi pendeta khotbah tidak sesuai dengan nats yang dipersiapkan.

Persiapan yang matang dan tertib “secara keseluruhan maupun tidak langsung akan membatasi

pemimpin Roh Kudus kepada pengkhotbah terutama tentang apa yang akan dikatakan. Bahkan

kadang-kadang khotbah tidak perlu dipersiapkan sama sekali terlebih dahulu”118

. Pada akhirnya

114

Ibid. 115

Ibid. 116

Ibid.,105. 117

Ibid.,12. 118

Ibid., 109.

Page 45: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

61

ibadah sering disertai dengan tantangan terhadap jemaat yang mengalami berbagai masalah, baik

sakit penyakit, masalah keuangan, masalah pekerjaan, masalah keluaga dan kadang disertai

dengan altar call119

.

c. Kebaktian Kebangunan Rohani

Sebagai pewaris dari kegiatan revival, kegiatan kebangunan rohani merupakan kegiatan yang

sangat menonjol gereja aliran pentakosta. Kabaktian kebangunan rohani diselenggarakan secara

berkala oleh jemaat-jemaat lokal, ada yang tiap tiga bulan sekali, bahkan ada yang setiap bulan

sekali”120

.

Disamping kebangunan rohani diselenggarakan oleh gereja lokal, juga ada kebangunan

rohani yang diselenggarakan secara bersama-sama dengan menggunakan tempat umum

misalnya, lapangan olahraga, restoran, hotel , tempat-tempat pertemuan yang lain. Program

kegiatan kebangunan rohani sangat menonjol dalam gereja aliran pentakosta disebabkan karena,

“kebangunan rohani dilihat sebagai suatu yang terbaik untuk pembangunan umat121

”.

d. Menekankan Kesucian Hidup

Kesucian hidup iman jemaat menjadi masalah yang penting. Pertobatan dan kesucian harus

seangtiasa dilakukan. “Kesucian merupakan buah dari kelahiran baru, sehingga kesucian

merupakan satu-sautunya jalan bagi orang yang sudah dilahirkan kembali”122

. Kegiatan-kegiatan

ibadah rutin di gereja maupun dalam bentuk kebaktian kebangunan rohani, merupakan cara yang

dilakukan jemaat untuk hidup dalam kesucian. Kegiatan yang dianggap tidak rohani, sehingga

kurang mendapat perhatian. Kesucian yang dipraktekkan kadang sampai dalam bentuk yang

119

Ibid., 110. 120

Ibid., 15. 121

Ibid. 122

Ibid., 171.

Page 46: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

62

sangat eksterm , misalnya anti segala macam barang-barang seni untuk koleksi, tidak mau

terlibat dalam suatu kegiatan adat istiadat masyarakat maupun bentuk-bentuk budaya lainnya.

Kesucian hidup dalam aliran pentakosta menjadi penting karena pandangan tentang

kesucian didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

1. Ada berkat rohani yang akan dirasakan sesudah pertobatan.

2. Seseorang harus mencari pemimpin Roh Kudus dalam setiap aspek kehidupan

3. Kebangunan Rohani diadakan dengan maksud untuk memenangkan jiwa dan untuk

memajukan kehidupan rohani.

4. Orang percaya harus mempertahankan pengharapan kedatangan Kristus kembali dengan

segera.

5. Seseorang harus meninggalkan kahidupan duniawi dan semua yang berbau keduniawian

seperti: hiburan, kemewahan, pemakaian kosmetik dan perhiasan123

.

e. Menekankan Bahasa dan karunia Roh Kudus.

Pengalaman dibaptis dan dipenuhi Roh Kudus merupakan pengalaman penting dan sangat

diharapka dalam aliran pentakosta. Hal ini didasarkan pada, pertama, “baptisan Roh Kudus

merupakan perintah dan perjanjian Tuhan bagi setiap orang percaya”124

. Sedangkan kedua,

“Baptissan Roh itu harus ada di dalam kehidupan orang percaya. Bahwa orang percaya harus

berusaha berusaha memperolehnya”125

. Dipenuhi Roh Kudus akan disertai dengan tanda

berbahasa Roh/bahasa asing serta mendapatkan karunia-karunia Roh Kudus, seperti yang tertulis

dalam Alkitab. Dalam pemahaman orang-orang pentakosta, berbahasa Roh mempunyai fungsi;

“Pertama, berkata-kata dengan bahasa asing sebagai salah satu dari karunia-karunia Roh”126

.

Maka berbahasa Roh merupakan fenomena yang penting. Menurut golongan pentakosta, terdapat

123

Stevan H. Talumewo, Sejarah Gerakan Pentakosta (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1988), 5. 124

M. Tapilatu….,178. 125

Ibid., 179. 126

Ibid., 183

Page 47: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

63

beberapa syarat yang harus dipenuhi, agar seseorang dapat mengalami baptis Roh Kudus, antara

lain: “penyerahan kepada kehendak Allah, doa yang berapi-api dan bertekun iman”127

.

f. Kesembuhan Ilahi

Kesembuhan ilahi merupakan salah satu pokok pengakuan iman yang penting dalam aliran

pentakosta. Allah sebagai pencipta, Dia juga sebagai pemelihara Allah menciptakan manusia

dengan sempurna, tanpa cacat dan kelemahan. Apabila ada yang mengalami kelemahan dan sakit

penyakit, dalam pandangan aliran pentakosta, disebabkan karena orang tersebut masih dalam

belenggu dosa”128

. Pandangan ini disadarkan prinsip “Kalau kejatuhan manusia membawa

penyakit, maka penebusan Kristus haruslah membawa penyembuhan”129

.

Maka apabila dosa telah diampuni maka sakit penyakit tidak aka nada. Darah-Nya yang

tercurah “mempunyai kuasa untuk menyucikan hati manusia dari segala dosa, begitupun

bilurnya, mempunyai kuasa untuk menyembuhkan tubuh manusia dari segala penyakit (Yesaya

53: 5,1, I Petrus 2:24)130

. Maka dalam suatu kebaktian baik kabaktian umu setiap hari minggu

maupun dalam kebaktian kebangunan rohani, kesaksian tentang kesembuhan ilahi maupun

undangan untuk menerima kesembuhan ilahi menjadi hal yang penting. Karena kuatnya

kepercayaan tentang Tuhan Yesus sebagai tabib/ahli obat131

dan penyembuh, maka pada tingkat

tertentu menebabkan penganut pentakosta anti obat-obatan dan dokter. Minum obat dan pergi ke

dokter menunjukan tanda kurang beriman.

127

Ibid., 186. 128

Ibid., 210. 129

Stevan H. Talumewo…., 9. 130

M. Tapilatu…., 210. 131

Muler Kruger, Gerakan-gerakan Pentakosta, 30, menyebutkan bahwa salah satu kepercayaan dari gereja

pentakosta adalah Yesus adalah ahli obat bagi segala penyakit dan cacat.

Page 48: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

64

g. Tema-tema Khotbah lebih bersifat praktis dan mengarah dunia “sana”

Pemahaman Alkitab yang biblisistis, fragmentaris serta fundamentalis, menyebabkan

khotbah-khotbah yang disampaikan sangat bersifat praktis. Alkitab ditafsirkan secara alegoris132

,

da seperti apa yang tertulis, merupakan cir yang menonjol dalam khotbah-khotbah di gereja

aliran pentakosta. Khotbah-khotbah yang dogmatis sistematis, pengajaran serta etis kurang

disukai. “Khotbah yang disampaikan biasanya dalam bahasa yang sederhana, panjang dan penuh

emosi”133

. Khotbah yang disertai cerita kesaksian merupakan hal-hal yang sangat disukai. Dalam

khotbah tersebut juga censerng mengajak umat untuk masuk dalam dunia dan pengalaman

rohani, dunia yang jauh dari realitas, dnia sana.

h. Kegiatan sosial hanya untuk kalangan sendiri.

Mementingkan hal-hal yang bersifat rohani, berusaha mencapai pengalaman kepenuhan Roh

Kudus dengan segala manifestasi dan karunianya, serta pengjaran-pengajaran yang

mementingkan dunia sana; menyebabkan jemaat kurang memperhatikan dalam masalah-masalah

sosial disekitarny. Masalah-masalah sosial kurang mendapat perhatian secara serius. Jika

memaruh perhatian pada masalah sosial hanya bersifat incidental misalnya, “dalam rangaka

penanggulangan benca alam (banjir) yang menimpa masyarakat di lingkungannya dan kerja bakti

membersihkan lingkungan dimana mereka berada”134

.

Disamping kegiatan yang insidental, juga terlibat dalam kegiatan sosial yang terstruktur dan

terprogram, misalnya dalam bentuk lembaga pelayanan sosial, yang berbentuk yayasan.

Lembaga pelayanan sosial yang diselenggarakan tersebut misalnya: “panti asuhan dan panti

132

M. Tapilatu…., 108. 133

Ibid., 12. 134

Ibid., 128.

Page 49: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

65

wreda (perumahan jompo), poliklinik dan sekolah”135

. Lahirnya lembaga pelayana sosial, apabila

diperhatikan dan diteliti, ternyata kegiatan yang diadakan itu lebih ditunjukan kedalam

lingkungan gereja gereja pentakosta sendiri.

i. Kerjasama dengan gereja lain hanya pada aras praktis .

Kebutuhan praktis, merupakan faktor yang mendorong gereja aliran pentakosta untuk

bekerjasama dengan gereja lain baik dalam kelompok alira pentakosta maupun dengan gereja

aliran utama. “Hubungan kerjasama yang diadakan dibatasi pada kebersamaan dalam progam

kesaksian dan pelayanan saja. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh kemudahan-

kemudahan dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas-tugas pelayanan dan kesaksian

gereja”136

. Ini mungkin merupakan ciri pentakosta yang tidak dibangun dari suatu dasar yang

dirumuskan secara sistematis, tetapi berdasarkan pada hal-hal yang praktis, sehingga

kerjasamapun lebih untuk kepentingan sasaat dan sangat pragmatis. Maka aliran pentakosta lebih

cenderung bekerja sama dalam lembaga-lembaga yang tidak mengikat dan juga menangani

berbagai persoalan praktis misalnya di “badan musyawarah antar gereja, Persekutuan Injili

Indonesia (PPI)dan Persekutuan umat Kristen Oikumene (PUKO)137

.

2.4.2. Kepemimpinan, Tata Gereja dan Tata Tertib Gereja dalam Gereja Aliran

Pentakosta.

Gereja aliran Pentakosta pada awalnya merupakan sautu gerakan, sehingga masalah

organisasi kurang mendapat perhatian bahkan dilihat secara negatif. Organisasi gereja tidak

diperlukan, disebabkan karena: Kristus akan segera datang pada kali yang kedua, Roh Kudus

sendirilah yang akan memimpin gereja sehingga manusia tidak perlu ikut campur organisasi

135

Ibid. 136

Ibid., 250. 137

Ibid., 251.

Page 50: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

66

mengandung unsur keduniawian138

. Pengharapan akan kedatangan Krstus yang kedua kali

ternyata masih tertunda, sehinga mau tidak mau gerakan pentakosta harus menata diri dalam

bentuk organisasi. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai organisasi, Gereja-gereja aliran

pentakosta memerlukan tata gereja dan tata tertib gereja.

Tata Gereja dan tata tertib gereja merupakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, tata gereja memuat pokok-pokok peraturan

dasar maupun prosedur pelaksanaan peraturan, struktur kepemimpinan dan jabatan serta

prosedur pengambilan keputusan, maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah

organisasi. Sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga , tata gereja dan tata tertib gereja,

menjadi dasar/acuan dalam membuat kebijakan dan menjadi sumber peraturan yang dapat

dipakai untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam oraganisasi, dibawah Alkita.

Namun dalam kenyataan , tata gereja dan tata tertib gereja lebih merupakan suatu aturan formal

dan dokumen tertulis yang dapat diabaikan. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari

kebijakan pemimpin setempat lebih mempunyai wibawa daripada tata gereja dan tata tertib

gereja. Kurang efektifnya pelakasanaan tata gereja dan tata tertib gereja, seperti yang sudah

dilansir di atas, disebabkan karena dalam organisasi gereja aliran pentakosta, peran pemimpin

sangat dominan.

Hal ini tidak dipisahkan dari sejarahnya. Sebagai gerakan yang bersifat revival,

pemimpin gereja aliran pentakosta mendapat wewenang sebagai pemimpin dari kharisma yang

dimiliki seseorang. Meskipun sudah merupakan sebagai organisasi, masalah kharisma

merupakan hal penting yang harus dimiliki seorang pemimpin gereja aliran pentakosta. “Jabatan

atau kepemimpinan yang diperoleh seseorang dalam gereja adalah berdasarkan kharisma yang

dimiliki. Atau dengan kata lain, kepemimpinan yang terdapat di dalam gereja-gereka aliran

138

M. Tapilatu…., 78.

Page 51: BAB II KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN ... - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8898/3/T2_752013029_BAB II.pdf · kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada

67

pentakosta adalah kepimpinan kharismatis, yaitu kepemimpinan yang diterima karena

kharisma”139

. Pentingnya kharisma, dalam kepemimpinan jemaat, juga ditunjukan syarat yang

harus dimiliki oleh seseorang calon pendeta di lingkungan gereja-gereja aliran pentakosta. Dalam

persyaratan untuk menjadi calon pendeta disebutkan:

1. Tamatan sekolah Alkitab atau lulusan kursus kependetaan yang diselenggarakan oleh

badan gerejawi yang ditunjuk untuk itu, misalnya Badan Pekerja Harian.

2. Sudah menerima Baptis Roh Kudus dengan salah satu manifestasi karunia dan terlihat

Buah Roh Kudus dalam kehidupannya.

3. Merasa dan menerima panggilan Tuhan untuk bekerja di lading-Nya.

4. Kehidupan pribadi yang kehidupan rumah tangga sesuai dengan Firman Tuhan.

5. Menghayati dan mengamalkan azaz pengajaran dan pengakuan iman gerejanya.

6. Taat pada tata gereja dan tata tertib gereja, atau anggaran dasar dan anggaran rumah

tangga140

.

Meskipun sudah ada aturan persyaratan menjadi seorang pendeta seperti tersebut di aas,

namun dalam pelaksanannya, ternyata persyaratan yang paling penting adalah “faktor kesucian

hidup sebagai perwujudan dari kelahiran baru, penerima Baptis Roh Kudus dan karunia-

karuniaRoh dan [yang tampak dalam] kehidupan sehari-hari141

. Tipe kepemimpinan kharismatik,

serta hak otonomi gereja lokal, menyebabkan pesan pemimpin lokal sangat kuat dalam gereja.

Gembala Sidang sebagai pemimpin tunggal.

Hal ini menyebabkan jemaat, taat dan tunduk kepada segala keputusan Gembala Sidang

maupun pengajaran-pengajaran yang disampaikan. Gembala Sidang sebagai pemimpin, sebagai

bapak menjadi teladan yang harus dituruti dan diikuti. Ia sebagai teladan, dalam perilaku dan

kehidupan. Dengan orentasi gembala sidang hanya dalam kehidupan jemaat lokal dan diri sendiri

serta kurang dibekalinya dengan pengetahuan umum, menyebabkan jemaat hanya

mengorientasikan dirinya untuk kehidupan sendiri, kurang menaruh perhatian pada masalah-

masalah lain di luar gereja, misalnya persoalan sosial masyarakat.

139

Ibid., 84. 140

Ibid., 81. 141

Ibid., 82.