BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16557/1/T2_322015024_BAB...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16557/1/T2_322015024_BAB...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini hendak mengkritisi ratio legis, legislative
policy atau kebijakan Undang-undang dengan studi kasus terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak. (Selanjutnya disingkat Perppu No. 1 Tahun 2016). Materi
utama Perppu No. 1 Tahun 2016 tersebut yaitu Pasal 81 dan Pasal
82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak adalah yang isinya sebagai berikut:
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
2
kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Alasan utama perubahan terhadap ketentuan Pasal 81 dan Pasal 82
dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tampak
dalam Konsideran Menimbang Perppu No. 1 Tahun 2016 yang
berbunyi:
bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan
efek jera dan belum mampu mencegah secara
komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak, sehingga perlu segera mengubah Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak;
Pada bagian Penjelasan Umum Perppu No. 1 Tahun 2016
di tegaskan pentingnya diterbitkan Perppu tersebut yaitu:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
3
2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur
sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap
anak namun penjatuhan pidana tersebut belum
memberikan efek jera dan belum mampu mencegah
secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual
terhadap anak.
Untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual
terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku,
dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak, Pemerintah perlu menambah pidana pokok
berupa pidana mati dan pidana seumur hidup, serta
pidana tambahan berupa pengumuman identitas
pelaku. Selain itu, perlu menambahkan ketentuan
mengenai tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan
alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
Konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum Perppu No.
1 Tahun 2016 diatas merupakan ratio legis, legislative policy atau
kebijakan Undang-undang dari pembentuk undang-undang (dalam
hal ini pembentuk Perppu). Hal inilah yang menjadi sumber
permasalahan dalam penelitian ini. Pada prinsipnya, sanksi yang
ada dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dianggap belum memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan
seksual terhadap anak sehingga diterbitkan Perppu No. 1 Tahun
2016. Tujuan pemberian efek jera melalui sanksi pidana tambahan
tersebut, secara filosofis mengandung masalah internal yang
sangat serius. Efek jera tersebut sebagai dasar pembentukan
peraturan perundang-undangan dapat ditafsirkan sebagai upaya
4
untuk menakut-nakuti masyarakat; sama halnya negara meneror
masyarakat melalui legislasinya.
Berdasarkan Perppu tersebut, maka isi ketentuan Pasal 81
ayat (6) dan (7), Perppu No. 1 Tahun 2016, berbunyi sebagai
berikut:
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5),
pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa
kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi
elektronik.
Penjelasan dari isi pasal tersebut adalah untuk mengatasi
fenomena kekerasan seksual terhadap anak, pemerintah perlu
menambah pidana pokok berupa pidana mati dan pidana seumur
hidup, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas
pelaku. Selain itu, perlu menambahkan ketentuan mengenai
tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi
elektronik, dan rehabilitasi.
Pemerintah menambah ancaman pidana kepada pelaku
kejahatan seksual terhadap anak, menurut penulis tidak menjawab
masalah sesungguhnya. Artinya, bahwa alasan utama pemerintah
untuk dapat mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap anak
5
dengan memberikan sanksi pidana yang berat kepada pelaku, hal
ini telah menunjukkan sebuah kelemahan pemerintah yang tidak
bekerja dan tidak mampu dalam menata pemerintahan yang baik
(good governance). Seharusnya, Pemerintah konsisten dengan UU
No. 23 Tahun 2002 yang sudah jelas mengatur tentang pemberatan
hukuman kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak, tanpa
harus menerbitkan Perppu yang justru melanggar Hak Asasi
Manusia. Sedangkan permasalahan utama sehingga terjadinya
desakan besar-besaran dari sejumlah Lembaga Swadaya
Masyarakat dan Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat
Peduli Korban Seksual adalah gagalnya sistem hukum pidana
dalam mengadili dan menghukum pelaku secara efektif.
Dalam kerangka asas negara hukum, rakyat atau warga
negara harus dilindungi dari kekuasaan perintahnya, terutama
penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang,1 seyogianya
pemerintah memberikan keadilan hukum dan tidak boleh membuat
atau menciptakan rasa takut terhadap masyarakat, walaupun tujuan
pemerintah adalah melindungi korban.
1 Andriaan Bedner,”An Elementary Approach to the Rule of law” Hague
jornal on the Rule of law, Vol.2, 2010, hlm.50. Pengertian ini merefresentasikan
pegertian universal dari asas negara hukumatau the Rule of law.
6
Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan
suatu negara adalah pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, harmonis, dan mudah di terapkan dalam masyarakat,2
yang di atur berdasarkan sistem hukum nasional. Indonesia adalah
sebagai negara hukum dalam konteks demikian maka tujuan
hukum adalah untuk memenuhi baik kebutuhan aspek fisik
maupun aspek eksistensial manusia dalam hidup bermasyarakat
yang dinyatakan dalam konsep keadilan.3 Sehingga dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. Apakah itu melalui
prosedur maupun materi muatan semua di atur berdasarkan
hukum. Hukum yang mengatur tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia adalah Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Selanjutnya disingkat UU No. 12 Tahun 2011). Atas dasar
Undang-undang tersebut, pembentukan Perppu No. 1 Tahun 2016
ini dapat di uji atau di nilai kebenarannya, khusus konsideran
2 Maria Faridah Indriati S, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,
Yogjakarta, 2007, hlm.1. 3 Peter Mahmud Marzuki menyatakan: “tidak semua aliran dalam ilmu
hukum membahas tujuan hukum. Perbincangan mengenai tujuan hukum
merupakan karakteristik aliran hukum alam. Yang demikian ini disebabkan
hukum alam berkaitan dengan hal-hal yang bersifat transenden dan metafisis di
samping hal-hal yang membumi.” Peter Mahmut Marzuki, Pengantar Ilmu
Hukum, Kencana, 2008. hlm.97.
7
Menimbang sebagai pertimbangan (ratio legis) ketentuan Pasal 81
ayat (6) dan (7) pada Perppu tersebut.
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan asas atau prinsip hukum dalam materi muatan
pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang
telah diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 yaitu Asas
Pengayoman, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kekeluargaan,
Kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, Keadilan, kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan
kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
Seperti yang telah diuraikan di atas, penelitian ini hendak
mengkritik pertimbangan efek jera sebagai dasar penerbitan
Perppu No. 1 Tahun 2016. Pertimbangan efek jera tersebut menjadi
masalah dan lanyak untuk dikritisi karena bertentangan dengan
asas/prinsip hukum di dalam UU No. 12 Tahun 2011 yaitu asas
pengayoman, asas kemanusiaan, dan asas keadilan.
Studi ini secara spesifik difokuskan pada asas kemanusiaan
untuk menguji konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum
Perppu No. 1 Tahun 2016, yang mengatakan bahwa sanksi pidana
8
yang ada belum mampu memberikan efek jera. Untuk itu studi ini
hendak berargumen bahwa konsideran menimbang untuk
menciptakan efek jera dengan memberikan sanksi pidana yang
lebih keras (kebiri) kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak
adalah pengabaian terhadap asas kemanusiaan di mana asas
tersebut seyogianya berlaku sama untuk semua orang. Yang
dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.4
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka
perlu untuk meneliti konsideran Menimbang Perppu No. 1 Tahun
2016 dalam tesis dengan judul: “Ratio Legis Pembentukan
Undang-Undang: (Studi Terhadap Konsideran Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).”
4 Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka
dirumuskan permasalahan: Apakah pertimbangan efek jera sebagai
Ratio Legis Pembentukan Perppu No. 1 Tahun 2016 telah sesuai
dengan asas kemanusiaan sebagai salah satu asas materi muatan
peraturan perundang-undangan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah
dipaparkan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini sebagai
berikut:
1. Untuk menjelaskan makna asas kemanusiaan
berdasarkan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
2. Untuk menjelaskan bahwa konsep kemanusiaan dapat
dimaknai secara lebih konkrit sebagai pertimbangan
berdasarkan Hak Asasi Manusia.
3. Untuk memberikan argumentasi bahwa efek jera sebagai
konsideran peraturan perundangan-undangan tidak sejalan
10
dengan asas kemanusiaan, dalam hal ini pertimbangan Hak
Asasi Manusia.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
kepentingan akademis maupun kepentingan praktis dalam
perkembangan dan pembangunan hukum dimasa kini dan masa
yang akan datang.
a. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan
ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum
tata negara, khususnya dalam pembentukan perundang-
undangan di Indonesia.
b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
membuka cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan
pemikiran bagi pemerintah dalam pembentukan
perundang-undangan yang baik dan benar, yang pada
gilirannya dapat menjadi solusi dalam penyelesaian
masalah yang timbul dalam masyarakat.
11
E. Kerangka Teori
Kerangka teori ini membahas tentang dasar teoritis
pembatasan pembentukan Undang-undang. Pembahasan ini
menjelaskan bahwa ratio legis pembentukan Undang-undang
dibatasi oleh hukum dengan bertumpu pada dua pengertian penting
yaitu: (1) Pembentukan Undang-undang dibatasi oleh hukum
dimana sebagai implikasinya, bahwa hukum harus menjadi batasan
etis atau moral dalam pembentukan Undang-undang; (2) Ratio
legis dibatasi oleh Undang-undang No. 12 Tahun 2011,
Berdasarkan kaidah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011. Maka, setiap
proses pembentukan perarturan perundang-undangan termasuk
ratio legisnya harus berdasarkan asas/prinsip hukum yang menjadi
cerminan pembentukan peraturan undang-undang.
Atas dasar itu maka alur pembahasan kerangka teori ini
adalah sebagai berikut. Pertama, pembahasan tentang
pembentukan Undang-undang dibatasi oleh hukum dengan dasar
pemikiran bahwa hukum adalah keadilan yang berfungsi sebagai
landasan etis dan bersifat moral yang membatasi Pembentukan
Undang-undang. Kedua, pembahasan tentang ratio legis dibatasi
12
oleh hukum sebagaimana yang di manifestasikan dalam UU No.
12 Tahun 2011 dan secara spesifik difokuskan pada asas
kemanusiaan sebagai salah satu asas materi muatan dalam Pasal 6
UU No. 12 Tahun 2011 untuk menguji konsideran Menimbang dan
Penjelasan Umum Perppu No. 1 Tahun 2016.
1. Pembentukan Undang-undang dibatasi oleh
Hukum.
Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal
bahwa Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau
bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena
konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan
otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan
perundang-undangan lainnya. Sehingga peraturan-peraturan yang
tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat
berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Konstitusi
selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H.
Hamilton menyatakan “Constitutionalism is the name given to the
trust which men repose in the power of words engrossed on
13
parchment to keep a government in order.”5 Untuk tujuan to keep
a government in order itu diperlukan pengaturan yang sedemikian
rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan
dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya.
Dahlan Thaib sebagaimana dikutip Astim Riyanto dimana
istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis, yaitu constituer
berarti membentuk, yang dimaksud ialah membentuk suatu negara,
6 dalam bahasa Inggris dipakai istilah constitution yang dalam
bahasa Indonesia disebut konstitusi, dalam praktek dapat berarti
lebih luas dari pada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada
juga yang menyamakan dengan Undang-Undang Dasar.7
Lebih lanjut dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan
gabungan dari dua kata, yaitu cume adalah sebuah reposisi yang
berarti bersama dengan…., dan statuere berasal dari kata sta yang
membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar
5 Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social
Sciences, Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson, eds., 1931, hlm. 255. 6 Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, 2000, hlm. 17 7 Perkembangan Konstitusi Di Indonesia, di unduh dari
file:///C:/Users/user/ Downloads/ 1016 -18502-1-PB. Pdf dikunjugi pada
tanggal 3 Juli 2017 pukul 18.00
14
itu maka kata statuere mempunyai arti membuat sesuatu agar
berdiri atau mendirikan/menetapkan.8
Pengertian konstitusi bisa dimaknai secara sempit maupun
secara luas. Konstitusi dalam arti sempit hanya mengandung
norma-norma hukum yang membatasi kekuasaan yang ada dalam
negara. Sedangkan Konstitusi dalam arti luas adalah keseluruhan
dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar, baik yang
tertulis ataupun tidak tertulis maupun campuran keduanya tidak
hanya sebagai aspek hukum melainkan juga “non-hukum”.9 Para
penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menganut arti konstitusi
lebih luas dari pada Undang-Undang Dasar, sebab Undang-
Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya
dasar negara itu. Undang-Undang Dasar adalah hukum yang
tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar berlaku juga
hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara,
meskipun tidak tertulis.
8 Ibid., 9 A. Himmawan Utomo, “Konstitusi”, Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Kewarganegaran, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 2.
15
Dahlan Thalip sebagaimana dikutif Umbu Rauta
menyebutkan bahwa kajian tentang ruang lingkup paham
konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari: (a) Anatomi kekuasaan
(kekuasaan politik) tunduk pada hukum. (b) Jaminan dan
Perlindungan hak-hak asasi manusia. (c) Peradilan yang bebas dan
mandiri. (d) Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas
publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.10
Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu
membatasi kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa sehingga
penyelenggara kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.
Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam Undang-Undang
Dasar yang merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum
yang tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat, tetapi
oleh pemerintah serta penguasa sekalipun. Sehingga dengan
demikian idealnya, suatu konstitusi dibuat untuk memenuhi
kebutuhan, yaitu terciptanya hubungan kekuasaan yang seimbang
antara cabang-cabang kekuasaan yang ada.
10 Umbu Rauta, Konstitusionaltas Pengujian Peraturan Daerah, Genta,
Yogyakarta, 2016, hlm. 21.
16
Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 memberikan
kewenangan sepenuhnya kepada DPR memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama. Hal ini, kekuasaan penuh yang diberikan
oleh UUD tersebut tidak berarti bahwa pembentuk undang-undang
berlaku sewenang-wenang membentuk undang-undang. Tetapi
dalam pembentukan undang-undang ada pembatasan yaitu hukum
yang menjadi dimensi etis atau moral sehingga undang-undang
tidak jatuh dari kesewenang-wenangan.
Mengacu kepada hukum sebagai dasar pembatasan
pembentukan undang-undang, Roscoe Pound menyatakan:
What we have to bear in mind is that law has to goven
life and that the essence o life is growth and change. In
establishing an ordered society men have used two
fundamental ideas, one moral, an idea taken from
ethics. And the other political, an idea taken from
political science. From the one we develop the idea of
reasoned adjusment of relation and ordering of
conduct in accord with principles. From the other we
develop the idea of sanctioned rules imposed and
enforces by a sovereign political authority. The one
gives us law. The other gives us rules of law or laws.11
11 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi Kajian Teori Hukum, Genta,
Yogyakarta, 2016, hlm.12.
17
Pernyataan Pound di atas menegaskan tentang hakikat makna
hukum yang bersifat moral; yang berbeda dengan makna hakikat
Undang-undang yang bersifat politik atau kekuasaan. Adapun
perbedaan lain yaitu perbedaan analitik antara konsep hukum dan
konsep undang-undang dapat dijumpai secara etimologis dalam
pengunaan istilah “ius atau law” (hukum) atau “lex atau laws”
(undang-undang).12 Jika kedua istilah tersebut dipahami maka
orang dapat membedakan dengan mudah konsep hukum dan
undang-undang. Tentang perbedaan tersebut Roscoe Pound
menjelaskan:
Law is a body of ideals, principles, and precepts for the
adjusment of the relations of human beings and the
ordering of their conduct in sociaty. Law seeks to guide
decision as laws seek to constrain action. Law is
needed to achieve and maintain justice. Laws are
needed to keep the peace-to maintain order. Law is
experience developed by reason and corrected by
further experince. Its immediate task is the
administration of justice; the attainment of full and
equal justice to all. The task of laws is one of policing,
of mainteining the surface of order.13
Sesuai dengan pernyataan tersebut maka perbedaan antara
hukum dan undang-undang sangat tajam dan hakiki. Pemahaman
12 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi ..., Ibid., hlm. 10 13 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi ..., Ibid.,
18
yang dikemukakan Roscoe Pound pengertian hukum yang penting
dari pendapatnya adalah tuntutan keadilan yang harus lebih
diutamakan dari pada undang-undang yang orientasinya lebih
kearah membatasi tindakan subjek hukum dalam rangka
pembentukan undang-undang.
Konsep hukum memiliki cakupan makna yang bersifat
universal. Dari penjelasan berikut ini nampak bahwa
keberadaannya bersifat sudah ada sebelumnya (a priori), dan
nampak bahwa maknanya cenderung bersifat filosofis karena
disejajarkan dengan akal budi sebagai sumbernya. Sementara
undang-undang bersifat a posteriori, dibuat oleh penguasa dengan
oriantasi situasi kondisi lokal atau setempat, Pound menjelaskan
bahwa:
Law is found; laws are made. Law is governed by
principles, starting points for reasoned decision, found
by application of reason to experience and corrected
by experience as the process of development of society
goes on. It deals with general conditions and
situations, and seek to deal with them in universal
rather than local terms. Where there are local
conditions and situations rules become necessary. But
a rule may express a locally applicable principle.
Although rules frequently are arbitrary, they are not so
always of necessity. Rules are prescribed by sovereign
political authority.14
14 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi ..., Ibid., hlm.11.
19
Penjelasan tersebut nampak bahwa hukum berfungsi
sebagai landasan etis yang membatasi Undang-undang. Undang-
undang yang tidak berdasarkan hukum dapat dinilai sewenang-
wenang.15 Dengan cara pandang demikian maka pembentuk
undang-undang harus berdasarkan hukum yang bersifat moral.
2. Ratio Legis dibatasi oleh Hukum.
Ratio legis pembentukan undang-undang seharusnya
berdasarkan asas-asas materi muatan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh
karena itu tesis ini di fokuskan pada salah satu dari asas tersebut
adalah asas kemanusiaan untuk menguji konsideran Menimbang
dan Penjelasan Umum Perppu No. 1 Tahun 2016. Secara formal
kemanusiaan adalah hukum dan secara substansi kemanusiaan
adalah asas materi muatan sebagai cerminan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana yang
diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 yang membatasi kebijakan
legislasi dalam membentuk undang-undang. Yang dimaksud
15 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi ..., Ibid.,
20
dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.16
Kemanusiaan merupakan sebuah sikap universal yang
harus dimiliki setiap umat manusia di dunia yang dapat melindungi
dan memperlakukan manusia sesuai dengan hakikat manusia yang
bersifat manusiawi. Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yakni
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki potensi,
pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia dapat
menempati kedudukan dan martabatnya yang tinggi.
Studi ini berpegang pada pendirian bahwa ratio legis di
batasi oleh undang-undang sesuai dengan asas kemanusiaan
berdasarkan pertimbangan HAM sebagai hukum yang di atur
dalam UU No. 12 Tahun 2011 serta menjadi tolok ukur untuk
menguji konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum Perppu
No. 1 Tahun 2016.
16 Penjelasan Pasal 6 ayat (1) hurup b UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
21
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian hukum (legal research).
Menurut Morris L. Cohen sebagaimana dikutip dari Piter Mahmud
Marzuki, Legal Research is the process of finding the law that
governs activities in human society.17 Dengan demikian, penelitian
ini hendak menjelaskan makna asas kemanusiaan berdasarkan
pertimbangan Hak Asasi Manusia dan memberikan argumentasi
bahwa efek jera sebagai konsideran Menimbang Perppu No 1
Tahun 2016 bertentangan dengan asas kemanusiaan. Adapun yang
hendak dikemukakan dalam tesis ini adalah konsideran
Menimbang Perppu yang menyatakan: bahwa sanksi pidana yang
dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum
memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara
komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak,
sehingga perlu segera mengubah Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana
Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 57.
22
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak;18
2. Jenis pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
pendekatan perundang-undangan /statute aprroach dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani19 secara
khusus disini menelaah konsideran Menimbang dan Penjelasan
Umum Perrpu No.1 Tahun 2016 serta pendekatan
konsep/conceptual approach20 yang digunakan untuk mengkaji
konsep maupun teori perundang-undangan yang ada dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia terhadap ratio legis pembentukan Perrpu
No. 1 Tahun 2016.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum terdiri atas dua bagian. Pertama, bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas. Kedua, bahan hukum sekunder
18 Konsideran Menimbang poin c, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian ..., Op.Cit., hlm. 133. 20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian ..., Ibid., hlm. 177.
23
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi.
a. Bahan hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang
terdapat dalam unit amatan, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
2) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
3) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
4) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-
Undang
b. Bahan hukum sekunder, yakni yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Misalnya
publikasi tentang hukum meliputi: buku-buku teks,
24
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar
-komentar atas putusan pengadilan.
4. Unit Analisa
Yang menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah
mengenai tidak terpenuhinya asas kemanusiaan dalam Perppu No.
1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.