BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16557/1/T2_322015024_BAB...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini hendak mengkritisi ratio legis, legislative policy atau kebijakan Undang-undang dengan studi kasus terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Selanjutnya disingkat Perppu No. 1 Tahun 2016). Materi utama Perppu No. 1 Tahun 2016 tersebut yaitu Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah yang isinya sebagai berikut: Pasal 81 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16557/1/T2_322015024_BAB...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini hendak mengkritisi ratio legis, legislative

policy atau kebijakan Undang-undang dengan studi kasus terhadap

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak. (Selanjutnya disingkat Perppu No. 1 Tahun 2016). Materi

utama Perppu No. 1 Tahun 2016 tersebut yaitu Pasal 81 dan Pasal

82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak adalah yang isinya sebagai berikut:

Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)

tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00

(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan

sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian

2

kebohongan, atau membujuk anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan

atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu

muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk

anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling

sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Alasan utama perubahan terhadap ketentuan Pasal 81 dan Pasal 82

dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tampak

dalam Konsideran Menimbang Perppu No. 1 Tahun 2016 yang

berbunyi:

bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku

kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan

efek jera dan belum mampu mencegah secara

komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap

anak, sehingga perlu segera mengubah Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak;

Pada bagian Penjelasan Umum Perppu No. 1 Tahun 2016

di tegaskan pentingnya diterbitkan Perppu tersebut yaitu:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

3

2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur

sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap

anak namun penjatuhan pidana tersebut belum

memberikan efek jera dan belum mampu mencegah

secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual

terhadap anak.

Untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual

terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku,

dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap

anak, Pemerintah perlu menambah pidana pokok

berupa pidana mati dan pidana seumur hidup, serta

pidana tambahan berupa pengumuman identitas

pelaku. Selain itu, perlu menambahkan ketentuan

mengenai tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan

alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.

Konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum Perppu No.

1 Tahun 2016 diatas merupakan ratio legis, legislative policy atau

kebijakan Undang-undang dari pembentuk undang-undang (dalam

hal ini pembentuk Perppu). Hal inilah yang menjadi sumber

permasalahan dalam penelitian ini. Pada prinsipnya, sanksi yang

ada dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

dianggap belum memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan

seksual terhadap anak sehingga diterbitkan Perppu No. 1 Tahun

2016. Tujuan pemberian efek jera melalui sanksi pidana tambahan

tersebut, secara filosofis mengandung masalah internal yang

sangat serius. Efek jera tersebut sebagai dasar pembentukan

peraturan perundang-undangan dapat ditafsirkan sebagai upaya

4

untuk menakut-nakuti masyarakat; sama halnya negara meneror

masyarakat melalui legislasinya.

Berdasarkan Perppu tersebut, maka isi ketentuan Pasal 81

ayat (6) dan (7), Perppu No. 1 Tahun 2016, berbunyi sebagai

berikut:

(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5),

pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa

pengumuman identitas pelaku.

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa

kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi

elektronik.

Penjelasan dari isi pasal tersebut adalah untuk mengatasi

fenomena kekerasan seksual terhadap anak, pemerintah perlu

menambah pidana pokok berupa pidana mati dan pidana seumur

hidup, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas

pelaku. Selain itu, perlu menambahkan ketentuan mengenai

tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi

elektronik, dan rehabilitasi.

Pemerintah menambah ancaman pidana kepada pelaku

kejahatan seksual terhadap anak, menurut penulis tidak menjawab

masalah sesungguhnya. Artinya, bahwa alasan utama pemerintah

untuk dapat mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap anak

5

dengan memberikan sanksi pidana yang berat kepada pelaku, hal

ini telah menunjukkan sebuah kelemahan pemerintah yang tidak

bekerja dan tidak mampu dalam menata pemerintahan yang baik

(good governance). Seharusnya, Pemerintah konsisten dengan UU

No. 23 Tahun 2002 yang sudah jelas mengatur tentang pemberatan

hukuman kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak, tanpa

harus menerbitkan Perppu yang justru melanggar Hak Asasi

Manusia. Sedangkan permasalahan utama sehingga terjadinya

desakan besar-besaran dari sejumlah Lembaga Swadaya

Masyarakat dan Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat

Peduli Korban Seksual adalah gagalnya sistem hukum pidana

dalam mengadili dan menghukum pelaku secara efektif.

Dalam kerangka asas negara hukum, rakyat atau warga

negara harus dilindungi dari kekuasaan perintahnya, terutama

penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang,1 seyogianya

pemerintah memberikan keadilan hukum dan tidak boleh membuat

atau menciptakan rasa takut terhadap masyarakat, walaupun tujuan

pemerintah adalah melindungi korban.

1 Andriaan Bedner,”An Elementary Approach to the Rule of law” Hague

jornal on the Rule of law, Vol.2, 2010, hlm.50. Pengertian ini merefresentasikan

pegertian universal dari asas negara hukumatau the Rule of law.

6

Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan

suatu negara adalah pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik, harmonis, dan mudah di terapkan dalam masyarakat,2

yang di atur berdasarkan sistem hukum nasional. Indonesia adalah

sebagai negara hukum dalam konteks demikian maka tujuan

hukum adalah untuk memenuhi baik kebutuhan aspek fisik

maupun aspek eksistensial manusia dalam hidup bermasyarakat

yang dinyatakan dalam konsep keadilan.3 Sehingga dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan. Apakah itu melalui

prosedur maupun materi muatan semua di atur berdasarkan

hukum. Hukum yang mengatur tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan di Indonesia adalah Undang-Undang No. 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(Selanjutnya disingkat UU No. 12 Tahun 2011). Atas dasar

Undang-undang tersebut, pembentukan Perppu No. 1 Tahun 2016

ini dapat di uji atau di nilai kebenarannya, khusus konsideran

2 Maria Faridah Indriati S, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,

Yogjakarta, 2007, hlm.1. 3 Peter Mahmud Marzuki menyatakan: “tidak semua aliran dalam ilmu

hukum membahas tujuan hukum. Perbincangan mengenai tujuan hukum

merupakan karakteristik aliran hukum alam. Yang demikian ini disebabkan

hukum alam berkaitan dengan hal-hal yang bersifat transenden dan metafisis di

samping hal-hal yang membumi.” Peter Mahmut Marzuki, Pengantar Ilmu

Hukum, Kencana, 2008. hlm.97.

7

Menimbang sebagai pertimbangan (ratio legis) ketentuan Pasal 81

ayat (6) dan (7) pada Perppu tersebut.

Pembentukan peraturan perundang-undangan harus

mencerminkan asas atau prinsip hukum dalam materi muatan

pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang

telah diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 yaitu Asas

Pengayoman, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kekeluargaan,

Kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, Keadilan, kesamaan

kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan

kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan.

Seperti yang telah diuraikan di atas, penelitian ini hendak

mengkritik pertimbangan efek jera sebagai dasar penerbitan

Perppu No. 1 Tahun 2016. Pertimbangan efek jera tersebut menjadi

masalah dan lanyak untuk dikritisi karena bertentangan dengan

asas/prinsip hukum di dalam UU No. 12 Tahun 2011 yaitu asas

pengayoman, asas kemanusiaan, dan asas keadilan.

Studi ini secara spesifik difokuskan pada asas kemanusiaan

untuk menguji konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum

Perppu No. 1 Tahun 2016, yang mengatakan bahwa sanksi pidana

8

yang ada belum mampu memberikan efek jera. Untuk itu studi ini

hendak berargumen bahwa konsideran menimbang untuk

menciptakan efek jera dengan memberikan sanksi pidana yang

lebih keras (kebiri) kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak

adalah pengabaian terhadap asas kemanusiaan di mana asas

tersebut seyogianya berlaku sama untuk semua orang. Yang

dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi

Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat

dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional.4

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka

perlu untuk meneliti konsideran Menimbang Perppu No. 1 Tahun

2016 dalam tesis dengan judul: “Ratio Legis Pembentukan

Undang-Undang: (Studi Terhadap Konsideran Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).”

4 Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka

dirumuskan permasalahan: Apakah pertimbangan efek jera sebagai

Ratio Legis Pembentukan Perppu No. 1 Tahun 2016 telah sesuai

dengan asas kemanusiaan sebagai salah satu asas materi muatan

peraturan perundang-undangan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah

dipaparkan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini sebagai

berikut:

1. Untuk menjelaskan makna asas kemanusiaan

berdasarkan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

2. Untuk menjelaskan bahwa konsep kemanusiaan dapat

dimaknai secara lebih konkrit sebagai pertimbangan

berdasarkan Hak Asasi Manusia.

3. Untuk memberikan argumentasi bahwa efek jera sebagai

konsideran peraturan perundangan-undangan tidak sejalan

10

dengan asas kemanusiaan, dalam hal ini pertimbangan Hak

Asasi Manusia.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

kepentingan akademis maupun kepentingan praktis dalam

perkembangan dan pembangunan hukum dimasa kini dan masa

yang akan datang.

a. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan

ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum

tata negara, khususnya dalam pembentukan perundang-

undangan di Indonesia.

b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

membuka cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan

pemikiran bagi pemerintah dalam pembentukan

perundang-undangan yang baik dan benar, yang pada

gilirannya dapat menjadi solusi dalam penyelesaian

masalah yang timbul dalam masyarakat.

11

E. Kerangka Teori

Kerangka teori ini membahas tentang dasar teoritis

pembatasan pembentukan Undang-undang. Pembahasan ini

menjelaskan bahwa ratio legis pembentukan Undang-undang

dibatasi oleh hukum dengan bertumpu pada dua pengertian penting

yaitu: (1) Pembentukan Undang-undang dibatasi oleh hukum

dimana sebagai implikasinya, bahwa hukum harus menjadi batasan

etis atau moral dalam pembentukan Undang-undang; (2) Ratio

legis dibatasi oleh Undang-undang No. 12 Tahun 2011,

Berdasarkan kaidah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

yang diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011. Maka, setiap

proses pembentukan perarturan perundang-undangan termasuk

ratio legisnya harus berdasarkan asas/prinsip hukum yang menjadi

cerminan pembentukan peraturan undang-undang.

Atas dasar itu maka alur pembahasan kerangka teori ini

adalah sebagai berikut. Pertama, pembahasan tentang

pembentukan Undang-undang dibatasi oleh hukum dengan dasar

pemikiran bahwa hukum adalah keadilan yang berfungsi sebagai

landasan etis dan bersifat moral yang membatasi Pembentukan

Undang-undang. Kedua, pembahasan tentang ratio legis dibatasi

12

oleh hukum sebagaimana yang di manifestasikan dalam UU No.

12 Tahun 2011 dan secara spesifik difokuskan pada asas

kemanusiaan sebagai salah satu asas materi muatan dalam Pasal 6

UU No. 12 Tahun 2011 untuk menguji konsideran Menimbang dan

Penjelasan Umum Perppu No. 1 Tahun 2016.

1. Pembentukan Undang-undang dibatasi oleh

Hukum.

Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal

bahwa Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau

bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena

konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan

otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan

perundang-undangan lainnya. Sehingga peraturan-peraturan yang

tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat

berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh

bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Konstitusi

selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H.

Hamilton menyatakan “Constitutionalism is the name given to the

trust which men repose in the power of words engrossed on

13

parchment to keep a government in order.”5 Untuk tujuan to keep

a government in order itu diperlukan pengaturan yang sedemikian

rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan

dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya.

Dahlan Thaib sebagaimana dikutip Astim Riyanto dimana

istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis, yaitu constituer

berarti membentuk, yang dimaksud ialah membentuk suatu negara,

6 dalam bahasa Inggris dipakai istilah constitution yang dalam

bahasa Indonesia disebut konstitusi, dalam praktek dapat berarti

lebih luas dari pada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada

juga yang menyamakan dengan Undang-Undang Dasar.7

Lebih lanjut dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan

gabungan dari dua kata, yaitu cume adalah sebuah reposisi yang

berarti bersama dengan…., dan statuere berasal dari kata sta yang

membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar

5 Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social

Sciences, Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson, eds., 1931, hlm. 255. 6 Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, 2000, hlm. 17 7 Perkembangan Konstitusi Di Indonesia, di unduh dari

file:///C:/Users/user/ Downloads/ 1016 -18502-1-PB. Pdf dikunjugi pada

tanggal 3 Juli 2017 pukul 18.00

14

itu maka kata statuere mempunyai arti membuat sesuatu agar

berdiri atau mendirikan/menetapkan.8

Pengertian konstitusi bisa dimaknai secara sempit maupun

secara luas. Konstitusi dalam arti sempit hanya mengandung

norma-norma hukum yang membatasi kekuasaan yang ada dalam

negara. Sedangkan Konstitusi dalam arti luas adalah keseluruhan

dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar, baik yang

tertulis ataupun tidak tertulis maupun campuran keduanya tidak

hanya sebagai aspek hukum melainkan juga “non-hukum”.9 Para

penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menganut arti konstitusi

lebih luas dari pada Undang-Undang Dasar, sebab Undang-

Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya

dasar negara itu. Undang-Undang Dasar adalah hukum yang

tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar berlaku juga

hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang

timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara,

meskipun tidak tertulis.

8 Ibid., 9 A. Himmawan Utomo, “Konstitusi”, Mata Kuliah Pengembangan

Kepribadian Pendidikan Kewarganegaran, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 2.

15

Dahlan Thalip sebagaimana dikutif Umbu Rauta

menyebutkan bahwa kajian tentang ruang lingkup paham

konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari: (a) Anatomi kekuasaan

(kekuasaan politik) tunduk pada hukum. (b) Jaminan dan

Perlindungan hak-hak asasi manusia. (c) Peradilan yang bebas dan

mandiri. (d) Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas

publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.10

Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu

membatasi kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa sehingga

penyelenggara kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.

Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam Undang-Undang

Dasar yang merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum

yang tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat, tetapi

oleh pemerintah serta penguasa sekalipun. Sehingga dengan

demikian idealnya, suatu konstitusi dibuat untuk memenuhi

kebutuhan, yaitu terciptanya hubungan kekuasaan yang seimbang

antara cabang-cabang kekuasaan yang ada.

10 Umbu Rauta, Konstitusionaltas Pengujian Peraturan Daerah, Genta,

Yogyakarta, 2016, hlm. 21.

16

Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 memberikan

kewenangan sepenuhnya kepada DPR memegang kekuasaan

membentuk Undang-undang dan Presiden untuk mendapat

persetujuan bersama. Hal ini, kekuasaan penuh yang diberikan

oleh UUD tersebut tidak berarti bahwa pembentuk undang-undang

berlaku sewenang-wenang membentuk undang-undang. Tetapi

dalam pembentukan undang-undang ada pembatasan yaitu hukum

yang menjadi dimensi etis atau moral sehingga undang-undang

tidak jatuh dari kesewenang-wenangan.

Mengacu kepada hukum sebagai dasar pembatasan

pembentukan undang-undang, Roscoe Pound menyatakan:

What we have to bear in mind is that law has to goven

life and that the essence o life is growth and change. In

establishing an ordered society men have used two

fundamental ideas, one moral, an idea taken from

ethics. And the other political, an idea taken from

political science. From the one we develop the idea of

reasoned adjusment of relation and ordering of

conduct in accord with principles. From the other we

develop the idea of sanctioned rules imposed and

enforces by a sovereign political authority. The one

gives us law. The other gives us rules of law or laws.11

11 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi Kajian Teori Hukum, Genta,

Yogyakarta, 2016, hlm.12.

17

Pernyataan Pound di atas menegaskan tentang hakikat makna

hukum yang bersifat moral; yang berbeda dengan makna hakikat

Undang-undang yang bersifat politik atau kekuasaan. Adapun

perbedaan lain yaitu perbedaan analitik antara konsep hukum dan

konsep undang-undang dapat dijumpai secara etimologis dalam

pengunaan istilah “ius atau law” (hukum) atau “lex atau laws”

(undang-undang).12 Jika kedua istilah tersebut dipahami maka

orang dapat membedakan dengan mudah konsep hukum dan

undang-undang. Tentang perbedaan tersebut Roscoe Pound

menjelaskan:

Law is a body of ideals, principles, and precepts for the

adjusment of the relations of human beings and the

ordering of their conduct in sociaty. Law seeks to guide

decision as laws seek to constrain action. Law is

needed to achieve and maintain justice. Laws are

needed to keep the peace-to maintain order. Law is

experience developed by reason and corrected by

further experince. Its immediate task is the

administration of justice; the attainment of full and

equal justice to all. The task of laws is one of policing,

of mainteining the surface of order.13

Sesuai dengan pernyataan tersebut maka perbedaan antara

hukum dan undang-undang sangat tajam dan hakiki. Pemahaman

12 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi ..., Ibid., hlm. 10 13 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi ..., Ibid.,

18

yang dikemukakan Roscoe Pound pengertian hukum yang penting

dari pendapatnya adalah tuntutan keadilan yang harus lebih

diutamakan dari pada undang-undang yang orientasinya lebih

kearah membatasi tindakan subjek hukum dalam rangka

pembentukan undang-undang.

Konsep hukum memiliki cakupan makna yang bersifat

universal. Dari penjelasan berikut ini nampak bahwa

keberadaannya bersifat sudah ada sebelumnya (a priori), dan

nampak bahwa maknanya cenderung bersifat filosofis karena

disejajarkan dengan akal budi sebagai sumbernya. Sementara

undang-undang bersifat a posteriori, dibuat oleh penguasa dengan

oriantasi situasi kondisi lokal atau setempat, Pound menjelaskan

bahwa:

Law is found; laws are made. Law is governed by

principles, starting points for reasoned decision, found

by application of reason to experience and corrected

by experience as the process of development of society

goes on. It deals with general conditions and

situations, and seek to deal with them in universal

rather than local terms. Where there are local

conditions and situations rules become necessary. But

a rule may express a locally applicable principle.

Although rules frequently are arbitrary, they are not so

always of necessity. Rules are prescribed by sovereign

political authority.14

14 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi ..., Ibid., hlm.11.

19

Penjelasan tersebut nampak bahwa hukum berfungsi

sebagai landasan etis yang membatasi Undang-undang. Undang-

undang yang tidak berdasarkan hukum dapat dinilai sewenang-

wenang.15 Dengan cara pandang demikian maka pembentuk

undang-undang harus berdasarkan hukum yang bersifat moral.

2. Ratio Legis dibatasi oleh Hukum.

Ratio legis pembentukan undang-undang seharusnya

berdasarkan asas-asas materi muatan pembentukan peraturan

perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh

karena itu tesis ini di fokuskan pada salah satu dari asas tersebut

adalah asas kemanusiaan untuk menguji konsideran Menimbang

dan Penjelasan Umum Perppu No. 1 Tahun 2016. Secara formal

kemanusiaan adalah hukum dan secara substansi kemanusiaan

adalah asas materi muatan sebagai cerminan dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana yang

diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 yang membatasi kebijakan

legislasi dalam membentuk undang-undang. Yang dimaksud

15 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi ..., Ibid.,

20

dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat

dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional.16

Kemanusiaan merupakan sebuah sikap universal yang

harus dimiliki setiap umat manusia di dunia yang dapat melindungi

dan memperlakukan manusia sesuai dengan hakikat manusia yang

bersifat manusiawi. Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yakni

makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki potensi,

pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia dapat

menempati kedudukan dan martabatnya yang tinggi.

Studi ini berpegang pada pendirian bahwa ratio legis di

batasi oleh undang-undang sesuai dengan asas kemanusiaan

berdasarkan pertimbangan HAM sebagai hukum yang di atur

dalam UU No. 12 Tahun 2011 serta menjadi tolok ukur untuk

menguji konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum Perppu

No. 1 Tahun 2016.

16 Penjelasan Pasal 6 ayat (1) hurup b UU No 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

21

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian hukum (legal research).

Menurut Morris L. Cohen sebagaimana dikutip dari Piter Mahmud

Marzuki, Legal Research is the process of finding the law that

governs activities in human society.17 Dengan demikian, penelitian

ini hendak menjelaskan makna asas kemanusiaan berdasarkan

pertimbangan Hak Asasi Manusia dan memberikan argumentasi

bahwa efek jera sebagai konsideran Menimbang Perppu No 1

Tahun 2016 bertentangan dengan asas kemanusiaan. Adapun yang

hendak dikemukakan dalam tesis ini adalah konsideran

Menimbang Perppu yang menyatakan: bahwa sanksi pidana yang

dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum

memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara

komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak,

sehingga perlu segera mengubah Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan

17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana

Media Group, Jakarta, 2015, hlm. 57.

22

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak;18

2. Jenis pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

pendekatan perundang-undangan /statute aprroach dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani19 secara

khusus disini menelaah konsideran Menimbang dan Penjelasan

Umum Perrpu No.1 Tahun 2016 serta pendekatan

konsep/conceptual approach20 yang digunakan untuk mengkaji

konsep maupun teori perundang-undangan yang ada dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia terhadap ratio legis pembentukan Perrpu

No. 1 Tahun 2016.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum terdiri atas dua bagian. Pertama, bahan

hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,

artinya mempunyai otoritas. Kedua, bahan hukum sekunder

18 Konsideran Menimbang poin c, Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian ..., Op.Cit., hlm. 133. 20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian ..., Ibid., hlm. 177.

23

berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi.

a. Bahan hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang

terdapat dalam unit amatan, yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

2) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia.

3) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

4) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-

Undang

b. Bahan hukum sekunder, yakni yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Misalnya

publikasi tentang hukum meliputi: buku-buku teks,

24

kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar

-komentar atas putusan pengadilan.

4. Unit Analisa

Yang menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah

mengenai tidak terpenuhinya asas kemanusiaan dalam Perppu No.

1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.