BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
-
Upload
duongxuyen -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Dengan bahasa, manusia mampu menyampaikan pesan, tujuan, kehendak,
gagasan, informasi, dan sebagainya dari seorang manusia kepada manusia lainnya.
Dalam mengkomunikasikan pesan melalui bahasa, terlihatlah bahwa terdapat
struktur bahasa (lexico-grammar) yang dipergunakan berdasarkan fungsi bahasa di
masyarakat, yaitu “memaparkan atau menggambarkan, mempertukarkan,
merangkai atau mengorganisasikan, dan pengalaman” (Halliday, 1994, p. xiv).
Sebagai sarana untuk merangkai pengalaman dan informasi, bahasa mempunyai
peranan penting dalam membentuk konstruksi sosial. Pembentukan konstruksi
sosial ini pun tidak jauh dari pengaruh berkembangnya media baik media cetak,
eletronik maupun online di masyarakat.
Sifat penyebaran informasi media massa yang meluas, membuat media massa
menjadi alat yang efektif untuk mengkontruksi identitas sosial. Sayangnya,
pembentukan identitas sosial ini tidak dapat terlepas dari masing masing ideologi
media massa tersebut. Seperti yang diutarakan oleh Fairclough bahwa ideologi
tertananam pada setiap wacana yang diciptakan dan berperan untuk
mempertahankan atau mengubah relasi kuasa di masyarakat (1992, p. 91).
Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah
pada terbentuknya hegemoni dan stereotipe – stereotipe yang berkembang di
masyarakat (Fairclough, 1992, p. 93). Salah satu bentuk hegemoni yang turut
diciptakan oleh media massa adalah hegemoni budaya patriarki dan stereotipe
gender yang timpang. Hegemoni ini menganggap bahwa laki – laki mempunyai
posisi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Proses konstruksi sosial tentang
gender ini akhirnya mengacu pada perbedaan fisik yang melekat pda pria dan
wanita. Bentuk kontruksi ini lebih banyak menempatkan wanita pada posisi yang
lemah. Oleh karena itu munculah pergerakan para wanita yang dikenal dengan
pergerakan feminis.
Perjuangan feminis dalam merekonstruksi gender juga dilakukan melalui
penggunaan bahasa. Terkait stereotipe gender dan karakteristik bahasa ini, Lakoff
(1973) turut menggarisbawahi bahwa konstruksi gender turut dibetuk oleh
penggunaan bahasa. Lakoff meyakini perbedaan linguistik ini disebabkan oleh
peran konstruksi budaya yang mengukuhkan prosisi laki-laki sebagai pihak yang
mendominasi. Hal ini dibuktikan oleh Lakoff yang menemukan bahwa perempuan
lebih sering menggunakan tag question contohnya isn’t it?. Menurut Lakoff
seringnya para wanita menggunakan bentuk tag question ini dikarenakan mereka
mengganggap diri mereka lemah. Alasan ini mendorong mereka untuk
mendapatkan pengakuan dari lawan bicara dan merasa perlu untuk meyakinkan
orang lain ketika menyampaikan pesan kepada orang lain. Namun, penelitian
Lakoff ini terbatas pada bahasa lisan. Beberapa penelitian lain yang membahas
tentang stereotipe feminity dan masculinity pun masih terbatas pada bentuk
percakapan, wacana dalam majalah, penceritaan novel, dan representasi pada lagu
(Lakoff, 1973; McKluskie, 1983; Eliasoph, 1987; Flynn, 1988; Young, 2000,
Rizwan, 2010). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti salah satu media
massa feminis terkenal di Amerika Serikat yakni Ms. Magazine dalam
menyampaikan pesan pergerakan mereka melalui bahasa formal. Ms. Magazine
sebagai sebuah media massa yang bernaung dibawah Yayasan Feminis di Amerika
ini merupakan salah satu majalah feminis yang cukup aktif dalam menyuarakan
perlawanannya terhadap hegemoni dan diskrimasi gender yang ada di masyarakat.
Ms. Magazine memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk menyebarluaskan
pesan perubahan ini pada seluruh wanita di dunia dengan membawa ideologi
feminis liberal. Ms. Magazine ini berbeda dengan media feminis lainnya. Walaupun
masih dipublikasikan dalam bentuk majalah, Ms. Magazine mempunyai satu kolom
dimana mereka menuliskan berita secara formal layaknya sebuah koran. Topik-
topik yang diangkat oleh Ms. Magazine selalu berhubungan dengan isu
ketidakadilan pada perempuan baik itu di dunia kerja, pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan ekonomi maupun emosi. Oleh karena itu, Ms. Magazine dipilih
menjadi media massa feminis utama pada penelitian ini.
Untuk melihat pergerakan feminis melalui bahasa, penelitian ini
membandingkan penggunaan bahasa pada Ms. Magazine dengan koran – koran
non-feminis lainnya seperti New York Times, BBC, Sunday Times, USA Today dan
The Independent. Penelitian ini menitikberatkan pada perbedaan cara penyampaian
berita antara feminis dan non feminis ketika mengulas isu yang sama. Penelitian ini
meliputi delapan isu-isu sosial dan politik.
Sebagai dugaan awal, peneliti mengambil satu contoh berita terkait
penahanan terhadap seorang aktivis, Narges Mohammadi uang dimuat oleh Ms.
Magazine dan New York Times . Terlihat perbedaan penggunaan bahasa dalam
pembingkaian judul antara tulisan feminis dan bukan tulisan feminis, yang terlihat
pada data berikut:
1. Iranian Women’s Rights Activist is Given 16-year Sentence (New York
Times, 28 September 2016)
2. Iranian Women’s Rights Activist Sentenced (Ms. Magazine, 4 Oktober
2016)
Dari kedua judul diatas terlihat jelas perbedaan bahasa yang dipilih. Pada
judul pertama kata yang dipilih adalah is given... sentence. Sedangkan pada judul
kedua menggunakan kata sentenced. Sentenced dan is given .... sentence
mempunyai arti yang sama yakni ‘dihukum’. Pada is given ... sentence terbingkai
sebuah relasi kuasa. Melalui bentuk pasif is given, judul berita ini mengukukuhkan
posisi pemerintah yang berwenang. Hal ini tidak tergambar pada penggunaan kata
sentenced. Walaupun keduanya menggunakan bentuk kalimat pasif, interpretasi
yang dihasilkan akan berbeda.
Selain perbedaan pembingkaian bahasa, perbedaan lain juga terlihat pada
banyaknya kalimat kompleks subordinasi pada kedua koran tersebut. Jumlah
kalimat kompleks yang memilliki lebih dari dua klausa pada Ms. Magazine adalah
7 dari 10 kalimat, sedangkan pada New York Times adalah 6 dari 18 kalimat.
Berikut ini adalah contoh dari beberapa kalimat kompleks pada Ms.
Magazine:
3. Mohammadi, who has been in and out prison for the past 15 years, was
convicted of spreading propaganda against the system and colluding to
commit crimes against national security through her work as Vice president
of the Centre of Human Rights Defenders in Iran and her campain to abolish
the death penalty through her organization in Legam.
4. This 16 year sentence cites her meeting with Catherine Ashton, a European
Union High Representative of Foreign Affairs and Security Policy, as
evidence of jeopardizing national security, despite Iranian official’s recent
attempts to open up a dialogue with the European Union.
5. The harsh prison conditions and repeated refusal of government officials to
let her communicate with her family living abroad in France led her to a
hunger strike, which led to “eased restrictions” after a social media
campaign raised awareness of her protest.
Contoh kalimat kompleks pada The New York Times adalah sebagai berikut:
6. The activist, Narges Mohammadi, 44, a human right lawyer, has been in
and out of jail over the past 15 years and has had a several confrontations
with Iran’s hard-line dominated and judiciary.
7. Her arrest in 2015 and conviction a year later were severe blows to Iran’s
small and embattled community of women’s right activist, highlightening
the severe pressure they face.
Jika mengacu pada penelitian Lakoff beberapa contoh diatas dikategorikan
sebagai salah satu karakter bahasa wanita yang cenderung ingin menyampaikan
semua informasi dalam satu kalimat sehingga kalimat cenderung lebih menumpuk
(1973, p. 52-55). Hal ini kemudian akan dibuktikan kembali pada pembahasan lebih
lanjut.
Perbedaan lain terletak pada pembingkaian ‘aktor’ yang dapat dilihat dari
transitivitas (Halliday, 1994, p. 109). ‘Aktor’ di The New York Times adalah
organisasi yang dimiliki oleh Narges Mohammadi, dan Narges Mohammadi.
Sedangkan ‘aktor’ di Ms. Magazine adalah pemerintah Iran, Narges Mohammadi,
dan wanita. Pembingkaian ‘aktor’ ini memunculkan posisi ‘korban’. Pada The New
York Times korban dari kasus ini adalah pemerintahan Iran, sedangkan pada Ms.
Magazine korbannya adalah Narges, dan organisasi yang didirikan oleh Narges.
Berdasarkan perbedaan awal yang ditemukan ini, peneliti berhipotesis bahwa
perbedaan ini didasari oleh perbedaan ideologi yang mereka sisipkan pada berita.
Ideologi ini tidak hanya mengacu kepada individu peneliti melainkan paham
kolektif sebuah institusi yang menaungi media masa tersebut (Richardson, 2007;
Fairclough, 1995a)
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka beberapa rumusan
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apa perbedaan penggunaan bahasa yang ditemukan pada media massa
feminis Ms. Magazine dan koran umum non-feminis?
b. Mengapa terjadi perbedaan penggunaan bahasa antara media massa feminis
dan non-feminis?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai oleh peneliti dari penelitian ini adalah:
a. Mendeskripsikan perbedaan pada Ms. Magazine dan koran umum.
b. Mendiskripsikan alasan – alasan yang menyebabkan terjadinya perbedaan
penggunaan bahasa dari media massa feminis dan non – feminis.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan sekurang-kurangnya dapat memberikan dua
manfaat sebagai berikut:
Pertama, manfaat teoretis. Baik langsung maupun tidak langsung, penelitian
ini dapat menambah khazanah perkembangan ilmu bahasa melalui variasi – variasi
bahasa yang digunakan. Lebih khusus lagi penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih teori pada perkembangan bahasa yang terkait dengan bahasa, gender
dan wacana.
Kedua, manfaat praktis. Secara praktis, penelitian ini memberi sumbangsih
terhadap dunia linguistik. Hasil penelitian ini mengarah pada alasan alasan yang
menyebabkan terbentuknya bahasa dan identitas sosial tertentu.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Peneliti membatasi ruang lingkup penelitian pada aspek substansi penelitian
dan aspek metode penelitiannya. Peneliti membatasi substansi penelitian pada
analisis kosakata, analisis tata bahasa dan analisis struktur teks. Ketiga analisis
tersebut merupakan penggambaran perbedaan umum pada penggunaan eufimisme,
pengulangan kata, metefora, dan kata dengan penanda gender, transitivitas,
modalitas, kalimat langsung dan tidak langsung, kalimat aktif dan pasif,
nominalisasi, isi dari teks yang dianalisis, dan alasan kebudayaan apa yang
mempengaruhi terbentuknya perbedaan tersebut.
Peneliti membatasi aspek metode penelitian yang dilakukan hanya pada
metode simak. Metode ini akan lebih menitikberatkan pada penafsiran budaya
melalui analisis wacana sebagai bentuk dari konstruksi sosial masyarakat yang
didukung dengan tinjauan pustaka terkait pergerakan feminis di Amerika.
1.6. Tinjauan Pustaka
Peneliti merangkum beberapa penelitian yang sesuai dengan topik yang
dipilih pada penelitian ini terkait analisis wacana kritis, gender, perempuan, dan
media. Berikut adalah beberapa penelitian yang telah dirangkum:
Penanaman ideologi gender pada koran menjadi masalah yang menarik untuk
diteliti. Penelitian terkait ideologi gender pada koran ini dilakukan oleh Ahmad
Sirulhaq (2008). Penelitan ini menganalisis bagaimana koran Samarinda Pos
merepresentasikan perempuan dengan kajian analisis wacana kritis Van Djik.
Penelitian ini menemukan bahwa koran merepresentasikan konstruksi sosial yang
terjadi di masyarakat. Konstruksi sosial itu tercermin pada penyampaian berita
tentang perempuan yang lemah, dan penokohan pria yang lebih utama.
Penelitian representasi gender lainnya adalah penelitian Urszula Paleczek
(2010) yang menitikberatkan pada ilmu terjemahan. Penelitian ini menemukan
bahwa setiap bahasa mempunyai cara yang berbeda beda dalam menyampaikan
representasi tentang perempuan. Dalam kajian ini Paleczek menganalisis kesalahan
yang timbul dalam penerjemahan yang berhubungan dengan perempuan pada novel
feminis.
Sejalan dengan penelitian diatas yang berkaitan dengan feminis, Raili
Marling (2010) melakukan penelitian terkait representasi feminis di media cetak
Estonia. Penelitian ini menggunakan metode linguistik korpus dengan
mengumpulkan entry kata ‘feminis’ pada media cetak dari tahun 1996 – 2005.
Penelitian tersebut menemukan bahwa kata ‘feminis’ selalu diasosiakan dengan hal
yang buruk. Sehingga tidak heran, dalam masyarakat feminis selalu berkonotasi
negatif.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian terkait ideologi patriarki oleh Indah
Arvianti (2011) yang mengangkat tentang praktek patriarki yang tercermin pada
teks tata wicara pernikahan dalam budaya Jawa. Penelitian ini berhasil
membuktikan bahwa teks teresbut bias gender tetapi tetap diikuti secara tidak sadar
oleh masyarakat. Teks tersebut sarat pula dengan ideologi superioritas laki-laki.
Penelitian terkait representasi perempuan dan laki –laki pun diteliti oleh
Snobra Rizwan (2011). Penelitian menganalisis bagaimana lagu di India sangat
kental dengan ideologi patriarki yang tersampaikan melalui lirik-lirik lagu tersebut.
Rizwan menemukan bahwa lagu India memposisikan wanita sebagai pemuas hasrat
seksual pria. Pada lirik – lirik lagu juga tergambarkan bagaimana seharusnya wanita
bersikap sebagai gambaran dari stereotipe wanita di India.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian tentang representasi wanita pada
majalah Cosmo. Penelitian ini dilakukan oleh Marthinus Conradie (2011) dengan
menggunakan analasis wacana kritis feminis. Pada penelitian ini ditemukan bahwa
majalah Cosmopolitan membentuk identitas wanita melalui iklan dan artikel –
artikel yang berkaitan dengan kehidupan wanita. Sehingga secara tidak langsung
turut membentuk pembaca majalah tersebut, yang mayoritasnya adalah wanita.
Analisis wacana kritis feminis pun ditemukan pada penelitian yang dilakukan
oleh Hayat Aoumeur (2014) yang berjudul Gender Representation in Three School
Textbook untuk membuktikan bahwa terdapat perlakuan yang berbeda antara laki –
laki dan perempuan. Perbedaan ini terlihat dari posisi perempuan dan laki – laki
yang berbeda dalam penceritaan, dan jenis pekerjaan yang berbeda pada buku yang
diteliti. Penelitian ini menyimpulkan bahwa konstruksi sosial patriarki yang
memang menjadi status quo di negara tersebut mendasari stereotipe gender
tersebut.
Analisis wacana kritis feminis pun dapat diaplikasikan pada penelitian
tentang interpetasi sebuah iklan. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 oleh
Megan Edwards & Tommaso M. Milani menganalisis representasi wanita pada
pamflet herbal di Johannesburg. Wanita yang dijadikan sebagai tokoh pada pamflet
tersebut mencerminkan sosok perempuan ideal di mata para pria. Hal ini mengarah
pada kebutuhan biologis pria sebagai pemuas hasratnya. Ditemukan juga
pemakaian bahasa yang memposisikan wanita sebagai objek pemuas nafsu pria.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa stereotipe gender juga
terlihat dari penggunaan bahasa seperti yang diteliti oleh M. Etik Rahayuningsih
(2014) terkait perbedaan kesantunan pria dan wanita pada rubrik pembaca. Hasil
penelitian tersebut membuktikan bahwa pria dan wanita memiliki tingkat kesantuan
yang berbeda. Rahayuningsih mendapatkan dua hasil utama dari penelitian ini
yakni: 1) pria mendominasi jumlah kutipan, 2) pria mendominasi pelanggaran
kesantuan.
Lebih lanjut lagi, stereotipe gender juga merupakan produk dari sistem
patriarki. Penelitian terkait patriarki dilakukan oleh Muhammad Muhajir (2016)
yang mengangkat judul “Nilai Ideologis Wacana Politik Perempuan dalam Kolom
Perempuan di harian Suara Merdeka” Penelitian dengan analisis wacana kritis
Fairclough ini mengamati bagaiamana para penulis di kolom perempuan tersebut
mempresentasikan isu-isu terkait perempuan dan mengamati ideologi-ideologi dari
tulisan tersebut. Muhajir menemukan bahwa masih banyak terjadi ketidakadilan
gender yang disebabkan oleh ideologi patriarki.
Selanjutnya, terkait penelitian feminis dan bahasa, penulis menemukan satu
penelitian menarik yang membuktikan bahwa terdapat perbedaan bahasa yang
digunakan oleh para feminis. Penelitian yang dilakukan oleh Jean Bethke Elsthain
(1982) berhasil mengelompokan bahasa feminis seusai dengan ideologinya.
Elsthain menemukan bahwa feminis liberal cenderung akan menggunakan bahasa
yang berhubungan dengan peran perempuan, dan konteks sosial. Berbeda halnya
dengan feminis marxism yang lebih menggunakan kosakata yang berhungan
dengan kapital, dan pembagian sistem kerja. Feminis psychoanalysis pun
mempunyai penggunaan bahasa yang berbeda pula. Feminis ini cenderung
menggunakan bahasa yang terkait dengan mimpi liar, hasrat, dan pembagian kerja
berdasarkan memori masa kecil.
Berdasarkan beberapa penelitian diatas, terlihat bahwa bahasa berperan
penting dalam mempertahankan identitas sosial yang secara tidak langsung
identitas sosial tersebut membawa masyarakat pada penanaman ideologi.
1.7. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis Fairclough dan feminis
Lazar untuk menganalisis penggunaan bahasa yang digunakan pada media massa
feminis dan non-feminis. Selain kedua teori ini, Linguistik Sistemik Fungsional
juga digunakan untuk mendukung analisis fitur –fitur bahasa.
Disamping pembahasan teori wacana kritis, untuk memperdalam interpretasi
feminis, peneliti membahas feminis khususnya feminis liberal sebagai dasar pijakan
teori dalam analasis wacana majalah Ms. Magazine ini.
1.7.1. Analisis Wacana dan Analisis Wacana Kritis
Wacana merupakan unsur kebahasaan yang kompleks. Satuan pendukung
kebahasaannya mencakup kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan
utuh (Halliday, 1994, xxviii). Kajian wacana berkaitan dengan tindakan manusia
yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal) (Fairclough,
1995a, p. 35).
Dalam perkembangan kajian wacana, terdapat perbedaan mendasar pada
analisis wacana dan analisis wacana kritis. Ditemukan tiga pandangan mengenai
bahasa dalam analisis wacana menurut A.S. Hikam yang dikutip dalam Eriyanto
(2001). Pandangan pertama disebut “positivisme-empiris yang melihat bahasa
sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-
pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui
penggunaan bahasa tanpa ada kendali atau distorsi,” (A.S. Hikam dalam Eriyanto
2001, p. 4). Menurut pandangan pertama ini, analisis wacana hanya sebatas pada
hubungan antara kalimat tanpa melihat konteks yang mendasari.
Pandangan kedua, dikenal sebagai konstruktivisme. Pandangan kedua ini
menolak pandangan positivisme-empiris. Menurut pandangan konstruktivisme,
“konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan
wacana serta hubungan-hubungan sosialnya, . . . subjek memiliki kemampuan
melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.” (A.S.
Hikam dalam Eriyanto 2001, p. 5). Sehingga, analisis wacana pandangan kedua ini
mulai melihat pada analisis tujuan atau maksud dari penulis.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis yang merupakan cikal
bakal dari analisis wacana kritis. A.S. Hikam (lihat Eriyanto, 2001, p. 6),
memandang bahwa pandangan konstruktivisme masih belum dapat menganalisi
wacana secara mendalam. Pandangan kritis menawarkan analisis wacana yang
tidak hanya melihat bentuk dan maksud tetapi juga menmbongkar relasi kuasa yang
dapat terlihat dari “proses produksi dan reproduksi makna” (A.S. Hikam dalam
Eriyanto, 2001, p. 6).
Pengertian analisis wacana juga terdapat pada Georgakopoulou dan Goutsos
(1997, p. 3) yang juga memenyebutkan bahwa analisis wacana melibatkan analisis
praktek semiotik, penggunaan bahasa tertentu, dan makna yang terbentuk. Lebih
lanjut dijelaskan oleh Brown dan Yule (1983) dalam Georgakopoulou dan Goutsos
(1997, p. 15), analisis wacana adalah interpretasi umum tentang apa yang
didengarkan dan dilihat oleh manusia. Namun, interpretasi ini juga harus
melibatkan hubungan konteks dan penggunaan bahasa. Pendapat ini sejalan dengan
pandangan konstruktivisme A.S. Hikam dalam Eriyanto (2001).
Sedangkan analisis wacana kritis Eriyanto (2001, p. 8) mempunyai empat
prinsip analisis yakni 1) tindakan, 2)konteks, 3) historis, 4) kekuasaan, dan 5)
ideologi yang dengan jelas membedakan analisis wacana dan analisis wacana kritis.
Kelima prinsip ini merupakan elemen penyusun analasis wacana kritis yang bisa
diamati melalui proses produksi dan konsumsi teks tersebut. Fairclough, Wodak,
dan Van Djik adalah beberapa ahli analisis wacana kritis yang membawa prinsip
ini dalam analisisnya (Eriyanto, 2001, p. 8)
1.7.2. Teori Sistemik Fungsional Linguistik
Teori Linguistik Fungsional Sistemik dipelopori oleh Profesor M.A.K.
Halliday. Teori ini meyakini bahwa bahasa atau teks selalu berada pada konteks
pemakaiannya (1994, p. xvii). Systemic Functional Linguistics (SFL) mempunyai
dua fungsi umum yakni menjelaskan bagaimana setiap individu menggunakan
bahasa dan bagaimana bahasa tersebut digunakan. Sehingga dalam
perkembangannya, SFL mempunyai nama lain yakni functional semantic
approach. Dalam SFL dikenal pula penjelasan bahwa bahasa adalah metafungsi.
Makna metafungsi adalah makna yang terbangun dari tiga fungsi bahasa yaitu
makna ideasional, fungsi interpersonal dan fungsi tekstual. Penelitian ini hanya
terbatas pada fungsi ideasional yang berfungsi untuk mengungkapkan interpretasi
bahasa dan realitas bahasa dalam kehidupan nyata (Eggins, 2004, p. 206). Makna
ideasional memiliki dua komponen makna yakni makna eksperensial dalam sebuah
klausa dan makna logis dalam klausa kompleks. Makna ekperensial ini dapat dilihat
dari penggunaan transitivitas. Transitivitas adalah penggambaran tipe proses yang
melibatkan peran pelaku pada proses tersebut sehingga dapat melihat dengan jelas
makna dibalik penggunaan gramatikal (Eggins, 2004, p. 206). Transitivitas
direpresentasikan dalam enam proses yakni proses material (material process),
verbal (verbal process), mental (mental process), relasional (relational process),
perilaku (behavioural process) dan wujud (existensial process) (Halliday, 1994;
Eggins, 2004).
a. Proses material adalah proses yang melibatkan kegiatan fisik. Proses material
mempunyai dua partisipan utama yaitu aktor dan gol. Proses material ini
memberikan dampak kepada ‘si penerima’ tindakan.
b. Proses verbal. Proses ini melibatkan penyampaian informasi seperti berkata,
bertanya, menyapa, dan lain – lain. Partisipan dalam proses verbal adalah
penyampai, pesan, target dan penerima.
c. Proses mental adalah proses yang berkaitan dengan indera, kognisi, emosi,
dan persepsi misalnya melihat, mencintai, dan berpikir.
d. Proses relasional adalah proses yang melibatkan variasi bentuk be yang
terdapat dalam Bahasa Inggris.
e. Proses perilaku (behavioural process) merupakan tingkah laku dari proses
fisiologis dan psikologis manusia, contohnya melihat, bernapas, bermimpi,
dan lain – lain.
f. Proses wujud (existensial process) menunjukan keberadaan satu entitas yang
biasaya ditandai dengan kata there dalam Bahasa Inggris.
Pada penelitian ini, transitivitas menjadi salah satu alat penting untuk
menganalisis makna dari bentuk gramatikal yang tersusun pada sebuah berita.
1.7.3. Analisis Wacana Kritis Fairclough
Analisis Norman Fairclough berusaha membangun suatu model analisis
wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia
mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih
luas (Fairclough, 1992, p. 26 ).
Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse
practice, dan sociocultural practice (1989; 1992; 1995a; 1995b). Dimensi teks
Fairclough melibatkan analisis kosakata, semantik dan tata kalimat. Ia juga
memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut
digabung sehingga membentuk pengertian. Discourse practice merupakan dimensi
yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks, sedangkan
sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar
teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi yakni konteks
dari praktek institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat
atau budaya dan politik tertentu.
Tahapan analisis Fairclough (1989, p. 26) dibagi menjadi tiga yakni:
a. Description. Tahap description merupakan tahap mengidentifikasi dan
melabeli unit-unit linguistik yang akan diteliti.
b. Interpretation. Tahap interpretation ini merupakan proses kognisi yang
melibatkan persepsi pembaca atau peneliti. Proses ini dikatakan sebagai
proses interaksi dalam sebuah teks.
c. Explanation. Tahap explanation adalah penjelasan mengenai hubungan
bahasa dan praktek sosial.
Pada tahap description, peneliti akan mendeskripsikan (1) pemilihan kosa
kata yang digunakan, (2) grammar, dan (3) textual structures
Pada tahap interpretation akan mengikuti empat tahap (Fairclough, 1989, p.
142) yakni (1) surface of utterance. Tahap paling awal dari interpretasi adalah
melihat hubungan yang terjadi pada kata, frasa, dan kalimat yang telah ditemukan
pada tahap description, (2) meaning of utterance. Interpretasi ini meliputi aspek
semantik, respresentasi makna dari setiap kata, (3) local coherence. Pada tahap
ketiga ini melibatkan hubungan antara kalimat dan koherensi antar kalimat, (4) text
structure and point. Tahap terakhir ini merupakan interpretasi terhadap keseluruhan
teks.
Tahap explanation merupakan tahap akhir yang menjelaskan bagaimana
sebuah teks dapat menggambarkan praktek sosial dan teks merupakan produksi dari
praktek sosial tersebut. Pada tahap ini penulis akan menggabungkan dengan analisis
wacana kritis feminis untuk menjelaskan lebih detail tentang bahasa dalam praktek
sosial.
1.7.4. Analisis Wacana Kritis Feminis
Analisis wacana kritis feminis ini dikembangkan oleh Lazar yang terinspirasi
oleh analisis wacana kritis Fairclough dan Wodak (Lazar, 2005, p. 7). Sehingga
metode analisis pun tidak akan jauh berbeda dan tetap menitikberatkan pada
pengaruh ideologi dalam sebuah wacana. Alasan yang mendasari munculnya
analisis wacana kritis dengan label feminis adalah 1) tidak ada analisis wacana yang
khusus menyoroti gender, 2) melalui analisis wacana feminis, para feminist dapat
mengekspresikan pemikiran mereka (Lazar, 2005, p. 3). Terlihat bahwa analisis
wacana kritis feminis mengutamakan hubungan antara praktek sosial dan wacana.
Sehingga penggabungan antara feminis dan analisis wacana kritis ini dapat
menghasilkan kontribusi yang besar pada perkembangan feminisme.
Analisis wacana kritis feminis ini berfokus pada bagaimana ideologi gender
dan relasi kuasa mengkonstruksi pemahaman gender. Berpijak dari pemahaman
bahwa teks tidak bisa terpisahkan dari penerapan ideologi tertentu, analisis kritis
feminis yakin bahwa praktek ketimpangan gender sebagai produk patriarki tertuang
pada sebuah teks sehinga kajian wacana dianggap sangatlah penting. Seperti halnya
yang dikatakan oleh Lazar (2005, p. 4) tentang feminist:
“From a feminist perspective, the pervailing conception of genderis understood
as an ideological structure that divides people into two classes, men and women, based on hierarchical relation of domination and subordination,
respectively”
1.7.5. Feminis
Memahami konsep feminis diawali dengan konsep gender yang tentu perlu
dibedakan antara pengertian gender dengan pengertian seks atau jenis kelamin.
Perbedaan antara gender dan seks muncul pada gelombang feminis kedua di awal
abad ke 17 (Talbot, 2010, p. 7). Seks diartikan sebagai perbedaan biologis antara
pria dan wanita, sedangkan gender adalah sesuatu yang dipelajari. Dapat dikatakan
bahwa gender adalah hasil dari konstruksi sosial (Fakih, 1996; Jackson & Jones,
eds, 1998; Tong, 1998; Eckert & McConnell-Ginnet, 2003; Sunderland, 2004;
Ehrlich et al, eds, 2014). Seperti yang Segal (1994) dalam Talbot (2010) katakan
bahwa “the biologocial alone is . . . never wholly determining of experience and
behaviour” (p. 9). Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat jelas bahwa gender
sangat berbeda dengan seks, dimana seks adalah pemberian yang tidak bisa
disangkal sedangkan gender adalah perilaku yang tidak bisa dikaitkan dan
dikelompokan menjadi kelompok biner.
Seks dikaitkan dengan “jenis kelamin yang merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu” (Fakih, 1996, p. 7-8). Fakih menjelaskan lebih
lanjut bahwa secara biologis, hal tersebut tidak dapat ditentang dan dipisahkan dari
pria ataupun wanita. Pernyataan ini turut diperjelas oleh Mosse dengan mengatakan
“gender berbeda dari jenis kelamin biologis” (2007, p. 2).
Namun dalam prakteknya, definisi gender dan seks menjadi kabur. Gender
yang dianggap sama dengan seks yang bermakna sangat politis dalam perannya
menentukan status sosial dalam masyarakat, peran pria dan wanita dalam keluarga
serta dominasi pria terhadap wanita yang dianggap hal wajar. Fenomena ini disebut
sebagai gender stereotipe (Moore, 1988; Fakih, 1996; Eckert & McConnell-Ginnet,
2003; Talbot 2010). Stereotipe gender seperti ini telah dibentuk dari semasa bayi
yang dimulai dengan penempelan atributif gender seperti nama yang berbeda antara
anak laki – laki dan perempuan, warna pakaian yang digunakan. Dalam pergaulan,
stereotipe gender kembali dipertegas segregasi gender. Anak laki-laki akan berbeda
aktivitas atau permainannya dengan anak perempuan. Pemahaman gender seperti
ini berkembang hingga anak tersebut memasuki heterosexual market di masyarakat.
(Eckert & McConnell-Ginnet, 2003, p. 18).
Ketidakadilan akibat stereotipe gender ini, membuat para perempuan
melakukan gerakan untuk melawan hegemoni gender tersebut yang dikenal dengan
Feminis. Gerakan feminis ini mempunyai tujuan tujuan yang berbeda dalam setiap
kemunculannya. Tujuan ini didasari oleh kondisi sosial para wanita pada masa itu.
Gerakan feminis dimulai dari gelombang pertama dimulai pada abad ke-18
(Jackson & Jones, eds, 1998; Tong, 1998). Pergerakan ini muncul karena
banyaknya pembatasan hak-hak wanita dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan
dan politik dan lain-lain. Feminis gelombang kedua dikatakan sebagai “daya dorong
bagi pertumbuhan pesat dalam pemikiran feminis” (Jackson & Jones, 1998, p. 5).
Gelombang kedua ini dimulai dengan berakhirnya perang dunia kedua.
Para feminis menyakini bahwa gender merupakan bentuk konstruksi yang
disengaja oleh pihak tertentu, seperti yang dikatakan oleh Sunderland (2004) bahwa
gender itu “constructed, performed, represented, and indexed” (p. 23). Kesadaran
ini menimbulkan pemikiran bahwa konstruksi gender juga terdapat dalam sebuah
kata. Oleh karena itu, para feminis mulai melakukan kajian mengenai ketimpangan
gender dalam praktek berbahasa. Seperti halnya gagasan Herlinger dan Bubmann
(2003) menemukan reperesentasi gender dalam sebuah teks. Representasi gender
terlihat melalui empat kategori yakni grammatikal, leksikal, referensial dan sosial
(p. 4-13). Melalui empat kategori ini terlihat bahwa perempuan lebih banyak
menjadi pihak yang ‘ditandai’ daripada pria.
Feminis Liberal pada Ms. Magazine muncul pada gelombang pertama yang
menyoroti tentang bagaimana perempuan berjuang melawan ketidakadilan yang
dirasakan dalam kehidupan bermasyarakat. Para perempuan pada masa itu tidak
dapat mengenyam pendidikan seperti layaknya pria. Sedangkan para feminis liberal
mempercayai bahwa untuk keluar dari diskriminasi tersebut, para perempuan harus
mempunyai pendidikan yang layak sehingga dapat meningkatkan kualitas
perempuan itu sendiri. (Tong, 1998, 15-66)
Berdasarkan pembahasan sebelumnya terkait pergerakan feminis, terlihat
jelas bahwa feminis mempunyai pengaruh yang besar pada perubahan kehidupan
wanita. Pada era modern, Feminis yang terus menerus berjuang menyuarakan hak
– hak perempuan pun memanfaatkan media dan bahasa sebagai alat untuk
menyampaikan tuntutan – tuntutan mereka.
1.8.Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah
sebuah metode yang menganalisis data berdasarkan realitas faktual. Metode
penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini adalah metode simak. Berikut
penjelesan mengenai teknik pengumpulan data, analasis data dan penyajian data
1.8.1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang akan dilakukan oleh penulis adalah metode
simak.
Metode simak ini peneliti lakukan dengan cara observasi tidak langsung.
Penulis mengumpulkan artikel berita dari koran umum non-feminis dan Ms.
Magazine yang mempunyai topik yang sama. Sehingga koran umum non-feminis
yang dipilih pun bervariasi disesuaikan dengan topik berita tersebut.
1.8.2. Metode Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam mengalaisis data ini adalah teknik analisis
wacana kritis dengan analisis wacana kritis Fairclough (1989) dan analisis wacana
kritis feminis Lazar (2005) yang terbagi menjadi tiga tahap: 1) description, 2)
interpretation, dan 3) explanation. Tahap deskripsi dimulai dengan analisis
kosakata, dilanjutkan dengan analisis tata bahasa dan analisis teks. Selanjutnya
peneliti akan ke tahap description dan explanation dibantu dengan analisis
diskursus feminis. Hasil dari tahap interpretasi dan penjelasan ini akan menjadi
landasan untuk menjawab pertanyaan kedua mengenai alasan ditemukannya
perbedaan pada koran umum non-feminis dan Ms. Magazine.
1.9.Metode Penyajian data
Penyajian kaidah penggunaan bahasa secara verbal adalah penyajian kaidah
penggunaan bahasa dengan kata-kata atau kalimat-kalimat. Peneliti akan
mendeskripsikan bagaimana karakter berbahasa turut dipengaruhi oleh konstruksi
budaya.
1.9.1. Sistematika Penyajian
Penelitian tentang bahasa, identitas sosial dan media ini akan disajikan dalam
empat bab, yakni:
Bab pertama adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori, metode penelitian, sistematika penyajian, dan jadwal penelitian.
Bab kedua mendeskripsikan tentang perbedaan penggunaan bahasa untuk
membingkai sebuah wacana antara Ms. Magazine dan koran umum non- feminis.
Bab ketiga menjelaskan alasan – alasan yang mengakibatkan terbentuknya
perbedaan tersebut.
Bab keempat merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian, dan
saran untuk penelitian-penelitian selanjutnya.