BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan bahasa, manusia mampu menyampaikan pesan, tujuan, kehendak, gagasan, informasi, dan sebagainya dari seorang manusia kepada manusia lainnya. Dalam mengkomunikasikan pesan melalui bahasa, terlihatlah bahwa terdapat struktur bahasa (lexico-grammar) yang dipergunakan berdasarkan fungsi bahasa di masyarakat, yaitu memaparkan atau menggambarkan, mempertukarkan, merangkai atau mengorganisasikan, dan pengalaman (Halliday, 1994, p. xiv). Sebagai sarana untuk merangkai pengalaman dan informasi, bahasa mempunyai peranan penting dalam membentuk konstruksi sosial. Pembentukan konstruksi sosial ini pun tidak jauh dari pengaruh berkembangnya media baik media cetak, eletronik maupun online di masyarakat. Sifat penyebaran informasi media massa yang meluas, membuat media massa menjadi alat yang efektif untuk mengkontruksi identitas sosial. Sayangnya, pembentukan identitas sosial ini tidak dapat terlepas dari masing masing ideologi media massa tersebut. Seperti yang diutarakan oleh Fairclough bahwa ideologi tertananam pada setiap wacana yang diciptakan dan berperan untuk mempertahankan atau mengubah relasi kuasa di masyarakat (1992, p. 91). Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan

manusia. Dengan bahasa, manusia mampu menyampaikan pesan, tujuan, kehendak,

gagasan, informasi, dan sebagainya dari seorang manusia kepada manusia lainnya.

Dalam mengkomunikasikan pesan melalui bahasa, terlihatlah bahwa terdapat

struktur bahasa (lexico-grammar) yang dipergunakan berdasarkan fungsi bahasa di

masyarakat, yaitu “memaparkan atau menggambarkan, mempertukarkan,

merangkai atau mengorganisasikan, dan pengalaman” (Halliday, 1994, p. xiv).

Sebagai sarana untuk merangkai pengalaman dan informasi, bahasa mempunyai

peranan penting dalam membentuk konstruksi sosial. Pembentukan konstruksi

sosial ini pun tidak jauh dari pengaruh berkembangnya media baik media cetak,

eletronik maupun online di masyarakat.

Sifat penyebaran informasi media massa yang meluas, membuat media massa

menjadi alat yang efektif untuk mengkontruksi identitas sosial. Sayangnya,

pembentukan identitas sosial ini tidak dapat terlepas dari masing masing ideologi

media massa tersebut. Seperti yang diutarakan oleh Fairclough bahwa ideologi

tertananam pada setiap wacana yang diciptakan dan berperan untuk

mempertahankan atau mengubah relasi kuasa di masyarakat (1992, p. 91).

Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

pada terbentuknya hegemoni dan stereotipe – stereotipe yang berkembang di

masyarakat (Fairclough, 1992, p. 93). Salah satu bentuk hegemoni yang turut

diciptakan oleh media massa adalah hegemoni budaya patriarki dan stereotipe

gender yang timpang. Hegemoni ini menganggap bahwa laki – laki mempunyai

posisi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Proses konstruksi sosial tentang

gender ini akhirnya mengacu pada perbedaan fisik yang melekat pda pria dan

wanita. Bentuk kontruksi ini lebih banyak menempatkan wanita pada posisi yang

lemah. Oleh karena itu munculah pergerakan para wanita yang dikenal dengan

pergerakan feminis.

Perjuangan feminis dalam merekonstruksi gender juga dilakukan melalui

penggunaan bahasa. Terkait stereotipe gender dan karakteristik bahasa ini, Lakoff

(1973) turut menggarisbawahi bahwa konstruksi gender turut dibetuk oleh

penggunaan bahasa. Lakoff meyakini perbedaan linguistik ini disebabkan oleh

peran konstruksi budaya yang mengukuhkan prosisi laki-laki sebagai pihak yang

mendominasi. Hal ini dibuktikan oleh Lakoff yang menemukan bahwa perempuan

lebih sering menggunakan tag question contohnya isn’t it?. Menurut Lakoff

seringnya para wanita menggunakan bentuk tag question ini dikarenakan mereka

mengganggap diri mereka lemah. Alasan ini mendorong mereka untuk

mendapatkan pengakuan dari lawan bicara dan merasa perlu untuk meyakinkan

orang lain ketika menyampaikan pesan kepada orang lain. Namun, penelitian

Lakoff ini terbatas pada bahasa lisan. Beberapa penelitian lain yang membahas

tentang stereotipe feminity dan masculinity pun masih terbatas pada bentuk

percakapan, wacana dalam majalah, penceritaan novel, dan representasi pada lagu

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

(Lakoff, 1973; McKluskie, 1983; Eliasoph, 1987; Flynn, 1988; Young, 2000,

Rizwan, 2010). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti salah satu media

massa feminis terkenal di Amerika Serikat yakni Ms. Magazine dalam

menyampaikan pesan pergerakan mereka melalui bahasa formal. Ms. Magazine

sebagai sebuah media massa yang bernaung dibawah Yayasan Feminis di Amerika

ini merupakan salah satu majalah feminis yang cukup aktif dalam menyuarakan

perlawanannya terhadap hegemoni dan diskrimasi gender yang ada di masyarakat.

Ms. Magazine memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk menyebarluaskan

pesan perubahan ini pada seluruh wanita di dunia dengan membawa ideologi

feminis liberal. Ms. Magazine ini berbeda dengan media feminis lainnya. Walaupun

masih dipublikasikan dalam bentuk majalah, Ms. Magazine mempunyai satu kolom

dimana mereka menuliskan berita secara formal layaknya sebuah koran. Topik-

topik yang diangkat oleh Ms. Magazine selalu berhubungan dengan isu

ketidakadilan pada perempuan baik itu di dunia kerja, pendidikan, kesehatan dan

kesejahteraan ekonomi maupun emosi. Oleh karena itu, Ms. Magazine dipilih

menjadi media massa feminis utama pada penelitian ini.

Untuk melihat pergerakan feminis melalui bahasa, penelitian ini

membandingkan penggunaan bahasa pada Ms. Magazine dengan koran – koran

non-feminis lainnya seperti New York Times, BBC, Sunday Times, USA Today dan

The Independent. Penelitian ini menitikberatkan pada perbedaan cara penyampaian

berita antara feminis dan non feminis ketika mengulas isu yang sama. Penelitian ini

meliputi delapan isu-isu sosial dan politik.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

Sebagai dugaan awal, peneliti mengambil satu contoh berita terkait

penahanan terhadap seorang aktivis, Narges Mohammadi uang dimuat oleh Ms.

Magazine dan New York Times . Terlihat perbedaan penggunaan bahasa dalam

pembingkaian judul antara tulisan feminis dan bukan tulisan feminis, yang terlihat

pada data berikut:

1. Iranian Women’s Rights Activist is Given 16-year Sentence (New York

Times, 28 September 2016)

2. Iranian Women’s Rights Activist Sentenced (Ms. Magazine, 4 Oktober

2016)

Dari kedua judul diatas terlihat jelas perbedaan bahasa yang dipilih. Pada

judul pertama kata yang dipilih adalah is given... sentence. Sedangkan pada judul

kedua menggunakan kata sentenced. Sentenced dan is given .... sentence

mempunyai arti yang sama yakni ‘dihukum’. Pada is given ... sentence terbingkai

sebuah relasi kuasa. Melalui bentuk pasif is given, judul berita ini mengukukuhkan

posisi pemerintah yang berwenang. Hal ini tidak tergambar pada penggunaan kata

sentenced. Walaupun keduanya menggunakan bentuk kalimat pasif, interpretasi

yang dihasilkan akan berbeda.

Selain perbedaan pembingkaian bahasa, perbedaan lain juga terlihat pada

banyaknya kalimat kompleks subordinasi pada kedua koran tersebut. Jumlah

kalimat kompleks yang memilliki lebih dari dua klausa pada Ms. Magazine adalah

7 dari 10 kalimat, sedangkan pada New York Times adalah 6 dari 18 kalimat.

Berikut ini adalah contoh dari beberapa kalimat kompleks pada Ms.

Magazine:

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

3. Mohammadi, who has been in and out prison for the past 15 years, was

convicted of spreading propaganda against the system and colluding to

commit crimes against national security through her work as Vice president

of the Centre of Human Rights Defenders in Iran and her campain to abolish

the death penalty through her organization in Legam.

4. This 16 year sentence cites her meeting with Catherine Ashton, a European

Union High Representative of Foreign Affairs and Security Policy, as

evidence of jeopardizing national security, despite Iranian official’s recent

attempts to open up a dialogue with the European Union.

5. The harsh prison conditions and repeated refusal of government officials to

let her communicate with her family living abroad in France led her to a

hunger strike, which led to “eased restrictions” after a social media

campaign raised awareness of her protest.

Contoh kalimat kompleks pada The New York Times adalah sebagai berikut:

6. The activist, Narges Mohammadi, 44, a human right lawyer, has been in

and out of jail over the past 15 years and has had a several confrontations

with Iran’s hard-line dominated and judiciary.

7. Her arrest in 2015 and conviction a year later were severe blows to Iran’s

small and embattled community of women’s right activist, highlightening

the severe pressure they face.

Jika mengacu pada penelitian Lakoff beberapa contoh diatas dikategorikan

sebagai salah satu karakter bahasa wanita yang cenderung ingin menyampaikan

semua informasi dalam satu kalimat sehingga kalimat cenderung lebih menumpuk

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

(1973, p. 52-55). Hal ini kemudian akan dibuktikan kembali pada pembahasan lebih

lanjut.

Perbedaan lain terletak pada pembingkaian ‘aktor’ yang dapat dilihat dari

transitivitas (Halliday, 1994, p. 109). ‘Aktor’ di The New York Times adalah

organisasi yang dimiliki oleh Narges Mohammadi, dan Narges Mohammadi.

Sedangkan ‘aktor’ di Ms. Magazine adalah pemerintah Iran, Narges Mohammadi,

dan wanita. Pembingkaian ‘aktor’ ini memunculkan posisi ‘korban’. Pada The New

York Times korban dari kasus ini adalah pemerintahan Iran, sedangkan pada Ms.

Magazine korbannya adalah Narges, dan organisasi yang didirikan oleh Narges.

Berdasarkan perbedaan awal yang ditemukan ini, peneliti berhipotesis bahwa

perbedaan ini didasari oleh perbedaan ideologi yang mereka sisipkan pada berita.

Ideologi ini tidak hanya mengacu kepada individu peneliti melainkan paham

kolektif sebuah institusi yang menaungi media masa tersebut (Richardson, 2007;

Fairclough, 1995a)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka beberapa rumusan

permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apa perbedaan penggunaan bahasa yang ditemukan pada media massa

feminis Ms. Magazine dan koran umum non-feminis?

b. Mengapa terjadi perbedaan penggunaan bahasa antara media massa feminis

dan non-feminis?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai oleh peneliti dari penelitian ini adalah:

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

a. Mendeskripsikan perbedaan pada Ms. Magazine dan koran umum.

b. Mendiskripsikan alasan – alasan yang menyebabkan terjadinya perbedaan

penggunaan bahasa dari media massa feminis dan non – feminis.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan sekurang-kurangnya dapat memberikan dua

manfaat sebagai berikut:

Pertama, manfaat teoretis. Baik langsung maupun tidak langsung, penelitian

ini dapat menambah khazanah perkembangan ilmu bahasa melalui variasi – variasi

bahasa yang digunakan. Lebih khusus lagi penelitian ini dapat memberikan

sumbangsih teori pada perkembangan bahasa yang terkait dengan bahasa, gender

dan wacana.

Kedua, manfaat praktis. Secara praktis, penelitian ini memberi sumbangsih

terhadap dunia linguistik. Hasil penelitian ini mengarah pada alasan alasan yang

menyebabkan terbentuknya bahasa dan identitas sosial tertentu.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Peneliti membatasi ruang lingkup penelitian pada aspek substansi penelitian

dan aspek metode penelitiannya. Peneliti membatasi substansi penelitian pada

analisis kosakata, analisis tata bahasa dan analisis struktur teks. Ketiga analisis

tersebut merupakan penggambaran perbedaan umum pada penggunaan eufimisme,

pengulangan kata, metefora, dan kata dengan penanda gender, transitivitas,

modalitas, kalimat langsung dan tidak langsung, kalimat aktif dan pasif,

nominalisasi, isi dari teks yang dianalisis, dan alasan kebudayaan apa yang

mempengaruhi terbentuknya perbedaan tersebut.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

Peneliti membatasi aspek metode penelitian yang dilakukan hanya pada

metode simak. Metode ini akan lebih menitikberatkan pada penafsiran budaya

melalui analisis wacana sebagai bentuk dari konstruksi sosial masyarakat yang

didukung dengan tinjauan pustaka terkait pergerakan feminis di Amerika.

1.6. Tinjauan Pustaka

Peneliti merangkum beberapa penelitian yang sesuai dengan topik yang

dipilih pada penelitian ini terkait analisis wacana kritis, gender, perempuan, dan

media. Berikut adalah beberapa penelitian yang telah dirangkum:

Penanaman ideologi gender pada koran menjadi masalah yang menarik untuk

diteliti. Penelitian terkait ideologi gender pada koran ini dilakukan oleh Ahmad

Sirulhaq (2008). Penelitan ini menganalisis bagaimana koran Samarinda Pos

merepresentasikan perempuan dengan kajian analisis wacana kritis Van Djik.

Penelitian ini menemukan bahwa koran merepresentasikan konstruksi sosial yang

terjadi di masyarakat. Konstruksi sosial itu tercermin pada penyampaian berita

tentang perempuan yang lemah, dan penokohan pria yang lebih utama.

Penelitian representasi gender lainnya adalah penelitian Urszula Paleczek

(2010) yang menitikberatkan pada ilmu terjemahan. Penelitian ini menemukan

bahwa setiap bahasa mempunyai cara yang berbeda beda dalam menyampaikan

representasi tentang perempuan. Dalam kajian ini Paleczek menganalisis kesalahan

yang timbul dalam penerjemahan yang berhubungan dengan perempuan pada novel

feminis.

Sejalan dengan penelitian diatas yang berkaitan dengan feminis, Raili

Marling (2010) melakukan penelitian terkait representasi feminis di media cetak

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

Estonia. Penelitian ini menggunakan metode linguistik korpus dengan

mengumpulkan entry kata ‘feminis’ pada media cetak dari tahun 1996 – 2005.

Penelitian tersebut menemukan bahwa kata ‘feminis’ selalu diasosiakan dengan hal

yang buruk. Sehingga tidak heran, dalam masyarakat feminis selalu berkonotasi

negatif.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian terkait ideologi patriarki oleh Indah

Arvianti (2011) yang mengangkat tentang praktek patriarki yang tercermin pada

teks tata wicara pernikahan dalam budaya Jawa. Penelitian ini berhasil

membuktikan bahwa teks teresbut bias gender tetapi tetap diikuti secara tidak sadar

oleh masyarakat. Teks tersebut sarat pula dengan ideologi superioritas laki-laki.

Penelitian terkait representasi perempuan dan laki –laki pun diteliti oleh

Snobra Rizwan (2011). Penelitian menganalisis bagaimana lagu di India sangat

kental dengan ideologi patriarki yang tersampaikan melalui lirik-lirik lagu tersebut.

Rizwan menemukan bahwa lagu India memposisikan wanita sebagai pemuas hasrat

seksual pria. Pada lirik – lirik lagu juga tergambarkan bagaimana seharusnya wanita

bersikap sebagai gambaran dari stereotipe wanita di India.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian tentang representasi wanita pada

majalah Cosmo. Penelitian ini dilakukan oleh Marthinus Conradie (2011) dengan

menggunakan analasis wacana kritis feminis. Pada penelitian ini ditemukan bahwa

majalah Cosmopolitan membentuk identitas wanita melalui iklan dan artikel –

artikel yang berkaitan dengan kehidupan wanita. Sehingga secara tidak langsung

turut membentuk pembaca majalah tersebut, yang mayoritasnya adalah wanita.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

Analisis wacana kritis feminis pun ditemukan pada penelitian yang dilakukan

oleh Hayat Aoumeur (2014) yang berjudul Gender Representation in Three School

Textbook untuk membuktikan bahwa terdapat perlakuan yang berbeda antara laki –

laki dan perempuan. Perbedaan ini terlihat dari posisi perempuan dan laki – laki

yang berbeda dalam penceritaan, dan jenis pekerjaan yang berbeda pada buku yang

diteliti. Penelitian ini menyimpulkan bahwa konstruksi sosial patriarki yang

memang menjadi status quo di negara tersebut mendasari stereotipe gender

tersebut.

Analisis wacana kritis feminis pun dapat diaplikasikan pada penelitian

tentang interpetasi sebuah iklan. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 oleh

Megan Edwards & Tommaso M. Milani menganalisis representasi wanita pada

pamflet herbal di Johannesburg. Wanita yang dijadikan sebagai tokoh pada pamflet

tersebut mencerminkan sosok perempuan ideal di mata para pria. Hal ini mengarah

pada kebutuhan biologis pria sebagai pemuas hasratnya. Ditemukan juga

pemakaian bahasa yang memposisikan wanita sebagai objek pemuas nafsu pria.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa stereotipe gender juga

terlihat dari penggunaan bahasa seperti yang diteliti oleh M. Etik Rahayuningsih

(2014) terkait perbedaan kesantunan pria dan wanita pada rubrik pembaca. Hasil

penelitian tersebut membuktikan bahwa pria dan wanita memiliki tingkat kesantuan

yang berbeda. Rahayuningsih mendapatkan dua hasil utama dari penelitian ini

yakni: 1) pria mendominasi jumlah kutipan, 2) pria mendominasi pelanggaran

kesantuan.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

Lebih lanjut lagi, stereotipe gender juga merupakan produk dari sistem

patriarki. Penelitian terkait patriarki dilakukan oleh Muhammad Muhajir (2016)

yang mengangkat judul “Nilai Ideologis Wacana Politik Perempuan dalam Kolom

Perempuan di harian Suara Merdeka” Penelitian dengan analisis wacana kritis

Fairclough ini mengamati bagaiamana para penulis di kolom perempuan tersebut

mempresentasikan isu-isu terkait perempuan dan mengamati ideologi-ideologi dari

tulisan tersebut. Muhajir menemukan bahwa masih banyak terjadi ketidakadilan

gender yang disebabkan oleh ideologi patriarki.

Selanjutnya, terkait penelitian feminis dan bahasa, penulis menemukan satu

penelitian menarik yang membuktikan bahwa terdapat perbedaan bahasa yang

digunakan oleh para feminis. Penelitian yang dilakukan oleh Jean Bethke Elsthain

(1982) berhasil mengelompokan bahasa feminis seusai dengan ideologinya.

Elsthain menemukan bahwa feminis liberal cenderung akan menggunakan bahasa

yang berhubungan dengan peran perempuan, dan konteks sosial. Berbeda halnya

dengan feminis marxism yang lebih menggunakan kosakata yang berhungan

dengan kapital, dan pembagian sistem kerja. Feminis psychoanalysis pun

mempunyai penggunaan bahasa yang berbeda pula. Feminis ini cenderung

menggunakan bahasa yang terkait dengan mimpi liar, hasrat, dan pembagian kerja

berdasarkan memori masa kecil.

Berdasarkan beberapa penelitian diatas, terlihat bahwa bahasa berperan

penting dalam mempertahankan identitas sosial yang secara tidak langsung

identitas sosial tersebut membawa masyarakat pada penanaman ideologi.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

1.7. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis Fairclough dan feminis

Lazar untuk menganalisis penggunaan bahasa yang digunakan pada media massa

feminis dan non-feminis. Selain kedua teori ini, Linguistik Sistemik Fungsional

juga digunakan untuk mendukung analisis fitur –fitur bahasa.

Disamping pembahasan teori wacana kritis, untuk memperdalam interpretasi

feminis, peneliti membahas feminis khususnya feminis liberal sebagai dasar pijakan

teori dalam analasis wacana majalah Ms. Magazine ini.

1.7.1. Analisis Wacana dan Analisis Wacana Kritis

Wacana merupakan unsur kebahasaan yang kompleks. Satuan pendukung

kebahasaannya mencakup kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan

utuh (Halliday, 1994, xxviii). Kajian wacana berkaitan dengan tindakan manusia

yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal) (Fairclough,

1995a, p. 35).

Dalam perkembangan kajian wacana, terdapat perbedaan mendasar pada

analisis wacana dan analisis wacana kritis. Ditemukan tiga pandangan mengenai

bahasa dalam analisis wacana menurut A.S. Hikam yang dikutip dalam Eriyanto

(2001). Pandangan pertama disebut “positivisme-empiris yang melihat bahasa

sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-

pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui

penggunaan bahasa tanpa ada kendali atau distorsi,” (A.S. Hikam dalam Eriyanto

2001, p. 4). Menurut pandangan pertama ini, analisis wacana hanya sebatas pada

hubungan antara kalimat tanpa melihat konteks yang mendasari.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

Pandangan kedua, dikenal sebagai konstruktivisme. Pandangan kedua ini

menolak pandangan positivisme-empiris. Menurut pandangan konstruktivisme,

“konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan

wacana serta hubungan-hubungan sosialnya, . . . subjek memiliki kemampuan

melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.” (A.S.

Hikam dalam Eriyanto 2001, p. 5). Sehingga, analisis wacana pandangan kedua ini

mulai melihat pada analisis tujuan atau maksud dari penulis.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis yang merupakan cikal

bakal dari analisis wacana kritis. A.S. Hikam (lihat Eriyanto, 2001, p. 6),

memandang bahwa pandangan konstruktivisme masih belum dapat menganalisi

wacana secara mendalam. Pandangan kritis menawarkan analisis wacana yang

tidak hanya melihat bentuk dan maksud tetapi juga menmbongkar relasi kuasa yang

dapat terlihat dari “proses produksi dan reproduksi makna” (A.S. Hikam dalam

Eriyanto, 2001, p. 6).

Pengertian analisis wacana juga terdapat pada Georgakopoulou dan Goutsos

(1997, p. 3) yang juga memenyebutkan bahwa analisis wacana melibatkan analisis

praktek semiotik, penggunaan bahasa tertentu, dan makna yang terbentuk. Lebih

lanjut dijelaskan oleh Brown dan Yule (1983) dalam Georgakopoulou dan Goutsos

(1997, p. 15), analisis wacana adalah interpretasi umum tentang apa yang

didengarkan dan dilihat oleh manusia. Namun, interpretasi ini juga harus

melibatkan hubungan konteks dan penggunaan bahasa. Pendapat ini sejalan dengan

pandangan konstruktivisme A.S. Hikam dalam Eriyanto (2001).

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

Sedangkan analisis wacana kritis Eriyanto (2001, p. 8) mempunyai empat

prinsip analisis yakni 1) tindakan, 2)konteks, 3) historis, 4) kekuasaan, dan 5)

ideologi yang dengan jelas membedakan analisis wacana dan analisis wacana kritis.

Kelima prinsip ini merupakan elemen penyusun analasis wacana kritis yang bisa

diamati melalui proses produksi dan konsumsi teks tersebut. Fairclough, Wodak,

dan Van Djik adalah beberapa ahli analisis wacana kritis yang membawa prinsip

ini dalam analisisnya (Eriyanto, 2001, p. 8)

1.7.2. Teori Sistemik Fungsional Linguistik

Teori Linguistik Fungsional Sistemik dipelopori oleh Profesor M.A.K.

Halliday. Teori ini meyakini bahwa bahasa atau teks selalu berada pada konteks

pemakaiannya (1994, p. xvii). Systemic Functional Linguistics (SFL) mempunyai

dua fungsi umum yakni menjelaskan bagaimana setiap individu menggunakan

bahasa dan bagaimana bahasa tersebut digunakan. Sehingga dalam

perkembangannya, SFL mempunyai nama lain yakni functional semantic

approach. Dalam SFL dikenal pula penjelasan bahwa bahasa adalah metafungsi.

Makna metafungsi adalah makna yang terbangun dari tiga fungsi bahasa yaitu

makna ideasional, fungsi interpersonal dan fungsi tekstual. Penelitian ini hanya

terbatas pada fungsi ideasional yang berfungsi untuk mengungkapkan interpretasi

bahasa dan realitas bahasa dalam kehidupan nyata (Eggins, 2004, p. 206). Makna

ideasional memiliki dua komponen makna yakni makna eksperensial dalam sebuah

klausa dan makna logis dalam klausa kompleks. Makna ekperensial ini dapat dilihat

dari penggunaan transitivitas. Transitivitas adalah penggambaran tipe proses yang

melibatkan peran pelaku pada proses tersebut sehingga dapat melihat dengan jelas

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

makna dibalik penggunaan gramatikal (Eggins, 2004, p. 206). Transitivitas

direpresentasikan dalam enam proses yakni proses material (material process),

verbal (verbal process), mental (mental process), relasional (relational process),

perilaku (behavioural process) dan wujud (existensial process) (Halliday, 1994;

Eggins, 2004).

a. Proses material adalah proses yang melibatkan kegiatan fisik. Proses material

mempunyai dua partisipan utama yaitu aktor dan gol. Proses material ini

memberikan dampak kepada ‘si penerima’ tindakan.

b. Proses verbal. Proses ini melibatkan penyampaian informasi seperti berkata,

bertanya, menyapa, dan lain – lain. Partisipan dalam proses verbal adalah

penyampai, pesan, target dan penerima.

c. Proses mental adalah proses yang berkaitan dengan indera, kognisi, emosi,

dan persepsi misalnya melihat, mencintai, dan berpikir.

d. Proses relasional adalah proses yang melibatkan variasi bentuk be yang

terdapat dalam Bahasa Inggris.

e. Proses perilaku (behavioural process) merupakan tingkah laku dari proses

fisiologis dan psikologis manusia, contohnya melihat, bernapas, bermimpi,

dan lain – lain.

f. Proses wujud (existensial process) menunjukan keberadaan satu entitas yang

biasaya ditandai dengan kata there dalam Bahasa Inggris.

Pada penelitian ini, transitivitas menjadi salah satu alat penting untuk

menganalisis makna dari bentuk gramatikal yang tersusun pada sebuah berita.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

1.7.3. Analisis Wacana Kritis Fairclough

Analisis Norman Fairclough berusaha membangun suatu model analisis

wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia

mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih

luas (Fairclough, 1992, p. 26 ).

Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse

practice, dan sociocultural practice (1989; 1992; 1995a; 1995b). Dimensi teks

Fairclough melibatkan analisis kosakata, semantik dan tata kalimat. Ia juga

memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut

digabung sehingga membentuk pengertian. Discourse practice merupakan dimensi

yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks, sedangkan

sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar

teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi yakni konteks

dari praktek institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat

atau budaya dan politik tertentu.

Tahapan analisis Fairclough (1989, p. 26) dibagi menjadi tiga yakni:

a. Description. Tahap description merupakan tahap mengidentifikasi dan

melabeli unit-unit linguistik yang akan diteliti.

b. Interpretation. Tahap interpretation ini merupakan proses kognisi yang

melibatkan persepsi pembaca atau peneliti. Proses ini dikatakan sebagai

proses interaksi dalam sebuah teks.

c. Explanation. Tahap explanation adalah penjelasan mengenai hubungan

bahasa dan praktek sosial.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

Pada tahap description, peneliti akan mendeskripsikan (1) pemilihan kosa

kata yang digunakan, (2) grammar, dan (3) textual structures

Pada tahap interpretation akan mengikuti empat tahap (Fairclough, 1989, p.

142) yakni (1) surface of utterance. Tahap paling awal dari interpretasi adalah

melihat hubungan yang terjadi pada kata, frasa, dan kalimat yang telah ditemukan

pada tahap description, (2) meaning of utterance. Interpretasi ini meliputi aspek

semantik, respresentasi makna dari setiap kata, (3) local coherence. Pada tahap

ketiga ini melibatkan hubungan antara kalimat dan koherensi antar kalimat, (4) text

structure and point. Tahap terakhir ini merupakan interpretasi terhadap keseluruhan

teks.

Tahap explanation merupakan tahap akhir yang menjelaskan bagaimana

sebuah teks dapat menggambarkan praktek sosial dan teks merupakan produksi dari

praktek sosial tersebut. Pada tahap ini penulis akan menggabungkan dengan analisis

wacana kritis feminis untuk menjelaskan lebih detail tentang bahasa dalam praktek

sosial.

1.7.4. Analisis Wacana Kritis Feminis

Analisis wacana kritis feminis ini dikembangkan oleh Lazar yang terinspirasi

oleh analisis wacana kritis Fairclough dan Wodak (Lazar, 2005, p. 7). Sehingga

metode analisis pun tidak akan jauh berbeda dan tetap menitikberatkan pada

pengaruh ideologi dalam sebuah wacana. Alasan yang mendasari munculnya

analisis wacana kritis dengan label feminis adalah 1) tidak ada analisis wacana yang

khusus menyoroti gender, 2) melalui analisis wacana feminis, para feminist dapat

mengekspresikan pemikiran mereka (Lazar, 2005, p. 3). Terlihat bahwa analisis

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

wacana kritis feminis mengutamakan hubungan antara praktek sosial dan wacana.

Sehingga penggabungan antara feminis dan analisis wacana kritis ini dapat

menghasilkan kontribusi yang besar pada perkembangan feminisme.

Analisis wacana kritis feminis ini berfokus pada bagaimana ideologi gender

dan relasi kuasa mengkonstruksi pemahaman gender. Berpijak dari pemahaman

bahwa teks tidak bisa terpisahkan dari penerapan ideologi tertentu, analisis kritis

feminis yakin bahwa praktek ketimpangan gender sebagai produk patriarki tertuang

pada sebuah teks sehinga kajian wacana dianggap sangatlah penting. Seperti halnya

yang dikatakan oleh Lazar (2005, p. 4) tentang feminist:

“From a feminist perspective, the pervailing conception of genderis understood

as an ideological structure that divides people into two classes, men and women, based on hierarchical relation of domination and subordination,

respectively”

1.7.5. Feminis

Memahami konsep feminis diawali dengan konsep gender yang tentu perlu

dibedakan antara pengertian gender dengan pengertian seks atau jenis kelamin.

Perbedaan antara gender dan seks muncul pada gelombang feminis kedua di awal

abad ke 17 (Talbot, 2010, p. 7). Seks diartikan sebagai perbedaan biologis antara

pria dan wanita, sedangkan gender adalah sesuatu yang dipelajari. Dapat dikatakan

bahwa gender adalah hasil dari konstruksi sosial (Fakih, 1996; Jackson & Jones,

eds, 1998; Tong, 1998; Eckert & McConnell-Ginnet, 2003; Sunderland, 2004;

Ehrlich et al, eds, 2014). Seperti yang Segal (1994) dalam Talbot (2010) katakan

bahwa “the biologocial alone is . . . never wholly determining of experience and

behaviour” (p. 9). Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat jelas bahwa gender

sangat berbeda dengan seks, dimana seks adalah pemberian yang tidak bisa

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

disangkal sedangkan gender adalah perilaku yang tidak bisa dikaitkan dan

dikelompokan menjadi kelompok biner.

Seks dikaitkan dengan “jenis kelamin yang merupakan pensifatan atau

pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang

melekat pada jenis kelamin tertentu” (Fakih, 1996, p. 7-8). Fakih menjelaskan lebih

lanjut bahwa secara biologis, hal tersebut tidak dapat ditentang dan dipisahkan dari

pria ataupun wanita. Pernyataan ini turut diperjelas oleh Mosse dengan mengatakan

“gender berbeda dari jenis kelamin biologis” (2007, p. 2).

Namun dalam prakteknya, definisi gender dan seks menjadi kabur. Gender

yang dianggap sama dengan seks yang bermakna sangat politis dalam perannya

menentukan status sosial dalam masyarakat, peran pria dan wanita dalam keluarga

serta dominasi pria terhadap wanita yang dianggap hal wajar. Fenomena ini disebut

sebagai gender stereotipe (Moore, 1988; Fakih, 1996; Eckert & McConnell-Ginnet,

2003; Talbot 2010). Stereotipe gender seperti ini telah dibentuk dari semasa bayi

yang dimulai dengan penempelan atributif gender seperti nama yang berbeda antara

anak laki – laki dan perempuan, warna pakaian yang digunakan. Dalam pergaulan,

stereotipe gender kembali dipertegas segregasi gender. Anak laki-laki akan berbeda

aktivitas atau permainannya dengan anak perempuan. Pemahaman gender seperti

ini berkembang hingga anak tersebut memasuki heterosexual market di masyarakat.

(Eckert & McConnell-Ginnet, 2003, p. 18).

Ketidakadilan akibat stereotipe gender ini, membuat para perempuan

melakukan gerakan untuk melawan hegemoni gender tersebut yang dikenal dengan

Feminis. Gerakan feminis ini mempunyai tujuan tujuan yang berbeda dalam setiap

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

kemunculannya. Tujuan ini didasari oleh kondisi sosial para wanita pada masa itu.

Gerakan feminis dimulai dari gelombang pertama dimulai pada abad ke-18

(Jackson & Jones, eds, 1998; Tong, 1998). Pergerakan ini muncul karena

banyaknya pembatasan hak-hak wanita dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan

dan politik dan lain-lain. Feminis gelombang kedua dikatakan sebagai “daya dorong

bagi pertumbuhan pesat dalam pemikiran feminis” (Jackson & Jones, 1998, p. 5).

Gelombang kedua ini dimulai dengan berakhirnya perang dunia kedua.

Para feminis menyakini bahwa gender merupakan bentuk konstruksi yang

disengaja oleh pihak tertentu, seperti yang dikatakan oleh Sunderland (2004) bahwa

gender itu “constructed, performed, represented, and indexed” (p. 23). Kesadaran

ini menimbulkan pemikiran bahwa konstruksi gender juga terdapat dalam sebuah

kata. Oleh karena itu, para feminis mulai melakukan kajian mengenai ketimpangan

gender dalam praktek berbahasa. Seperti halnya gagasan Herlinger dan Bubmann

(2003) menemukan reperesentasi gender dalam sebuah teks. Representasi gender

terlihat melalui empat kategori yakni grammatikal, leksikal, referensial dan sosial

(p. 4-13). Melalui empat kategori ini terlihat bahwa perempuan lebih banyak

menjadi pihak yang ‘ditandai’ daripada pria.

Feminis Liberal pada Ms. Magazine muncul pada gelombang pertama yang

menyoroti tentang bagaimana perempuan berjuang melawan ketidakadilan yang

dirasakan dalam kehidupan bermasyarakat. Para perempuan pada masa itu tidak

dapat mengenyam pendidikan seperti layaknya pria. Sedangkan para feminis liberal

mempercayai bahwa untuk keluar dari diskriminasi tersebut, para perempuan harus

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

mempunyai pendidikan yang layak sehingga dapat meningkatkan kualitas

perempuan itu sendiri. (Tong, 1998, 15-66)

Berdasarkan pembahasan sebelumnya terkait pergerakan feminis, terlihat

jelas bahwa feminis mempunyai pengaruh yang besar pada perubahan kehidupan

wanita. Pada era modern, Feminis yang terus menerus berjuang menyuarakan hak

– hak perempuan pun memanfaatkan media dan bahasa sebagai alat untuk

menyampaikan tuntutan – tuntutan mereka.

1.8.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah

sebuah metode yang menganalisis data berdasarkan realitas faktual. Metode

penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini adalah metode simak. Berikut

penjelesan mengenai teknik pengumpulan data, analasis data dan penyajian data

1.8.1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan dilakukan oleh penulis adalah metode

simak.

Metode simak ini peneliti lakukan dengan cara observasi tidak langsung.

Penulis mengumpulkan artikel berita dari koran umum non-feminis dan Ms.

Magazine yang mempunyai topik yang sama. Sehingga koran umum non-feminis

yang dipilih pun bervariasi disesuaikan dengan topik berita tersebut.

1.8.2. Metode Analisis Data

Teknik yang digunakan dalam mengalaisis data ini adalah teknik analisis

wacana kritis dengan analisis wacana kritis Fairclough (1989) dan analisis wacana

kritis feminis Lazar (2005) yang terbagi menjadi tiga tahap: 1) description, 2)

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/117068/potongan/S2-2017...Konstruksi ideologi yang dibawa oleh media massa ini ini kemudian akan mengarah

interpretation, dan 3) explanation. Tahap deskripsi dimulai dengan analisis

kosakata, dilanjutkan dengan analisis tata bahasa dan analisis teks. Selanjutnya

peneliti akan ke tahap description dan explanation dibantu dengan analisis

diskursus feminis. Hasil dari tahap interpretasi dan penjelasan ini akan menjadi

landasan untuk menjawab pertanyaan kedua mengenai alasan ditemukannya

perbedaan pada koran umum non-feminis dan Ms. Magazine.

1.9.Metode Penyajian data

Penyajian kaidah penggunaan bahasa secara verbal adalah penyajian kaidah

penggunaan bahasa dengan kata-kata atau kalimat-kalimat. Peneliti akan

mendeskripsikan bagaimana karakter berbahasa turut dipengaruhi oleh konstruksi

budaya.

1.9.1. Sistematika Penyajian

Penelitian tentang bahasa, identitas sosial dan media ini akan disajikan dalam

empat bab, yakni:

Bab pertama adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan

teori, metode penelitian, sistematika penyajian, dan jadwal penelitian.

Bab kedua mendeskripsikan tentang perbedaan penggunaan bahasa untuk

membingkai sebuah wacana antara Ms. Magazine dan koran umum non- feminis.

Bab ketiga menjelaskan alasan – alasan yang mengakibatkan terbentuknya

perbedaan tersebut.

Bab keempat merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian, dan

saran untuk penelitian-penelitian selanjutnya.