BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

32
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun 2000 Radio Republik Indonesia beralih status menjadi perusahaan jawatan (PERJAN) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2000 Tentang Pendirian Perusahaan Jawatan Radio Republik Indonesia, di dalam peraturan pemerintah ini Radio Republik Indonesia berada di dalam ruang lingkup Departemen Keuangan. Perusahaan jawatan memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi yaitu, pelayanan publik dan tidak semata-mata mencari keuntungan, modal perusahaan tidak dipisahkan artinya modal semua dimiliki oleh pemerintah dan tidak terbagi atas saham-saham. Status sebagai perusahaan jawatan membuat Radio Republik Indonesia melakukan perubahan mendasar dalam visi dan misinya yang tercantum dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2000 yang berbunyi “Maksud dan tujuan PERJAN adalah menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio sesuai dengan prinsip-prinsip radio publik yang independen, netral, madiri dan program siarannya senantiasa berorentasi kepada kepentigan masyarakat, serta tidak semata-mata mencari keuntungan”. Radio Republik Indonesia Banjarmasin merupakan salah satu stasiun penyiaran publik yang berada di daerah, tepatnya di kota Banjarmasin provinsi Kalimantan Selatan dan berdiri sejak tahun 1950. Radio Republik Indonesia Banjarmasin merupakan salah satu radio publik berjaringan dengan induk atau Radio Republik Indonesia pusat di Jakarta dan stasiun-stasiun penyiaran di daerah- daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta perwakilan Radio Republik Indonesia di luar negeri atau koresponden. Radio Republik Indonesia di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebut sebagai lembaga penyiaran publik, hal ini termaktub dalam pasal 14 ayat (2) yang berbunyi “Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota Negara

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 2000 Radio Republik Indonesia beralih status menjadi perusahaan

jawatan (PERJAN) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2000

Tentang Pendirian Perusahaan Jawatan Radio Republik Indonesia, di dalam

peraturan pemerintah ini Radio Republik Indonesia berada di dalam ruang lingkup

Departemen Keuangan. Perusahaan jawatan memiliki tanggungjawab sosial yang

tinggi yaitu, pelayanan publik dan tidak semata-mata mencari keuntungan, modal

perusahaan tidak dipisahkan artinya modal semua dimiliki oleh pemerintah dan

tidak terbagi atas saham-saham. Status sebagai perusahaan jawatan membuat Radio

Republik Indonesia melakukan perubahan mendasar dalam visi dan misinya yang

tercantum dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2000 yang

berbunyi “Maksud dan tujuan PERJAN adalah menyelenggarakan kegiatan

penyiaran radio sesuai dengan prinsip-prinsip radio publik yang independen, netral,

madiri dan program siarannya senantiasa berorentasi kepada kepentigan

masyarakat, serta tidak semata-mata mencari keuntungan”.

Radio Republik Indonesia Banjarmasin merupakan salah satu stasiun

penyiaran publik yang berada di daerah, tepatnya di kota Banjarmasin provinsi

Kalimantan Selatan dan berdiri sejak tahun 1950. Radio Republik Indonesia

Banjarmasin merupakan salah satu radio publik berjaringan dengan induk atau

Radio Republik Indonesia pusat di Jakarta dan stasiun-stasiun penyiaran di daerah-

daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta perwakilan Radio

Republik Indonesia di luar negeri atau koresponden.

Radio Republik Indonesia di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002

tentang Penyiaran disebut sebagai lembaga penyiaran publik, hal ini termaktub

dalam pasal 14 ayat (2) yang berbunyi “Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi

Republik Indonesia yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota Negara

2

Republik Indonesia”. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

hanya mengatur kelembagaan radio publik secara garis besar atau general, sehingga

diperlukan aturan di bawah undang-undang untuk menjabarkan secara lebih rinci

tentang kelembagaan Radio Republik Indonesia dalam bentuk aturan yang lebih

rendah yakni peraturan pemerintah. Pada tahun 2005, Pemerintah menerbitkan

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik

Radio Republik Indonesia.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 dan

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005, hingga sekarang masih ada beberapa

isi dalam kedua kebijakan tersebut yang belum dilaksanakan secara optimal seperti

aspek kelembagaan, dan program di Radio Republik Indonesia Banjarmasin, di

mana kedua aspek tersebut sangat penting dalam melihat perkembangan Radio

Republik Indonesia Banjarmasin sebagai lembaga penyiaran publik.

Dari aspek kelembagaan, dalam undang-undang penyiaran pasal 14 ayat (5)

yang berbunyi “Dewan pengawas ditetapkan oleh presiden bagi Radio Republik

Indonesia dan Televisi Republik Indonesia atas usul Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia; atau oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota bagi Lembaga

Penyiaran Publik lokal atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, setelah melalui

uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas masukan dari pemerintah dan/atau

masyarakat”. Isi pasal tersebut bertentang dengan pasal 13 ayat (2) yang berbunyi

“Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh : a.

Lembaga Penyiaran Publik; b. Lembaga Penyiaran Swasta; c. Lembaga Penyiaran

Komunitas; dan d. Lembaga Penyiaran Berlangganan”. Hal ini menjadi

ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan, ketika dalam satu

peraturan memuat lembaga baru (lembaga penyiaran publik lokal) yang tidak ada

di dalam pasal sebelumnya dalam undang-undang penyiaran. Definisi lembaga

penyiaran publik lokal tidak terdefinisikan dalam undang-undang tersebut dan di

dalam penjelasan undang. Sebagai lec spesialis bidang penyiaran, undang-undang

penyiaran harus menjadi acuan bagi peraturan lain di bidang penyiaran.

3

Pengawasan lembaga penyiaran publik dalam amanah undang-undang

penyiaran dilakukan oleh DPR dan DPRD seperti bunyi pasal 14 ayat (9) “Lembaga

penyiaran publik di tingkat pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia dan Lembaga Penyiaran Publik di tingkat daerah diawasi oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah”. ayat dalam pasal ini bersifat ambigu, sebagai lembaga

penyiaran publik RRI seharusnya bebas dari tekanan pemerintah dan politik.

Dengan pasal ini pemerintah memberikan hak pengawasan ke ranah politik (DPR),

sedangakan dalam undang-undang penyiaran lembaga penyiaran publik Radio

Republik Indonesia memilik dewan pengawas yang dipilih oleh DPR untuk tingkat

pusat.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan aturan

lebih teknis dari undang-undang penyiaran, tidak ada disebutkan tentang lembaga

penyiaran publik lokal dan pengawasan lembaga penyiaran publik lokal oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Definsi tentang lembaga penyiaran

lokal ini menjadi ambigu, apa setiap stasiun penyiaran RRI di daerah disebut LPP

lokal ataukah lembaga penyiaran yang didirikan oleh pemerintah daerah. Apabila

yang dimaksud pasal 14 ayat (3), (5), (6), dan ayat (9) adalah lembaga penyiaran

yang didirikan pemerintah daerah, padahal lembaga penyiaran publik lokal dapat

didirikan di daerah yang tidak mendapatkan atau tidak terjangkau siaran lembaga

penyiaran publik.

Sumber daya berkaitan dengan anggaran, di mana Radio Republik Indonesia

Banjarmasin menurut undang-undang penyiaran pasal 15 dan Peraturan Pemerintah

Nomor 12 Tahun 2005 pasal 34 ayat (1) point b sumber pendanaan berasal dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD), APBD melalui dana hibah pemerintah provinsi

Kalimantan Selatan. Dana hibah ini, setiap tahunnya berbeda-beda besaran

nominalnya tergantung dari pemerintah provinsi Kalimantan Selatan. Dengan

sumber pendanaan ini seharusnya Radio Republik Indonesia Banjarmasin dapat

berkembang menjadi lembaga penyiaran publik yang sesuai dengan amanah dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005, akan tetapi hal ini membuat Radio

Republik Indonesia Banjarmasin tidak dapat menjalankan amanah dalam pasal 38

4

yang berbunyi “Dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun

anggaran, Radio Republik Indonesia wajib memberikan laporan keuangan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diumumkan

melalui media massa”. Hal tersebut merupakan bentuk tanggungjawab Radio

Republik Indonesia Banjarmasin kepada publik karena dana APBN dan APBD

yang digunakan dalam kegiatan penyiaran di Radio Republik Indonesia

Banjarmasin adalah dana publik sehingga penggunaan dana tersebut harus

dipublikasikan secara transparan.

Dari aspek program, Radio Republik Indonesia Banjarmasin dituntut untuk

dapat netral, independen, tidak komersial dan berorentasi publik, di mana hal ini

diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 pasal 1 ayat (3)

yang berbunyi “Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia yang

menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio, bersifat independen, netral, tidak

komersil, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat”.

Independen yang dimaksud adalah tidak bergantung pada dan tidak dipengaruhi

oleh pihak lain. Independen merupakan hal yang penting, karena tanpa sifat tersebut

Radio Republik Indonesia akan rentan ditunggangi kepentingan pihak-pihak yang

tidak bertanggungjawab. Sejarah pernah membuktikan ketika Radio Republik

Indonesia berada di bawah Departemen Penerangan, Radio Republik Indonesia

dijadikan alat propaganda pembangunan bagi pemerintah saat itu. Oleh Karena itu,

Radio Republik Indonesia Banjarmasin yang telah berubah menjadi Lembaga

Penyiaran Publik harus dapat menyajikan siaran yang mengakomodasi kepentingan

publik.

Netral artinya tidak memihak kepada kepentingan salah satu pihak yang

berbeda pendapat. Dalam program acaranya Radio Republik Indonesia

Banjarmasin tidak boleh bersifat pilih kasih atau mendukung terhadap golongan

tertentu akan tetapi bersifat netral. Yang dimaksud dengan sifat tidak komersil

adalah tidak semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga lebih mengutamakan

peningkatan layanan masyarakat. Walupun dalam pasal 34 ayat (1) point d, Radio

Republik Indonesia memiliki sumber pendanaan yang berasal dari siaran iklan salah

satunya tetapi dibatasi agar Radio Republik Indonesia Banjarmasin tidak semata-

5

mata mengejar keuntungan tetapi dapat lebih optimal sebagai radio publik yang

mengakomodir dan melayani kepentingan publik bukan kepentingan penguasa atau

pemerintah dan pengusaha.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, serta dengan mencermati

perkembangan Radio Republik Indonesia Banjarmasin dalam

mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, dengan segala permasalahan

yang dihadapinya, maka penelitian ini diarahkan untuk mendeskripsikan dan

menganalisis keberhasilan dan hambatan Radio Republik Indonesia Banjarmasin

dalam mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia. Hal ini penting dilakukan

karena Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran

Publik Radio Republik Indonesia telah delapan tahun disahkan sehingga sudah bisa

dinilai ataupun dianalisis pelaksanaannya. Selain itu, hasilnya nanti dapat melihat

faktor pendukung dan penghambat dari salah satu produk kebijakan komunikasi

tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana Radio Republik Indonesia Banjarmasin mengimplementasikan

kebijakan komunikasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di tahun 2013 ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan dan menganalisis

pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga

Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio Republik Indonesia

(RRI) Banjarmasin di tahun 2013.

Menjelaskan faktor-faktor penghambat dan pendukung implementasi

kebijakan tersebut di Radio Republik Indonesia Banjarmasin di tahun 2013.

Memberi rekomendasi kepada Radio Republik Indonesia Banjarmasin

dalam mengatasi kendala dan masalah yang dihadapi Radio Republik

Indonesia Banjarmasin sebagai lembaga penyiaran publik.

6

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian untuk memberikan masukan ke pemerintah

berkaitan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio Republik

Indonesia Banjarmasin.

1.4. Kerangka Pemikiran

1.4.1. Peraturan Pemerintah No 12 Tahun 2005 sebagai Kebijakan

Komunikasi

Menurut UNESCO ilmu komunikasi memandang kebijakan

komunikasi sebagai kumpulan prinsip-prinsip dan norma-norma yang sengaja

diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi (dalam Abrar, 2008;

3). Untuk menjamin kelancaran sistem komunikasi maka peraturan tentang

semua proses komunikasi harus dibuat. Bagaimanapun semua proses itu

berbeda satu sama lain. Maka, idealnya kebijakan komunikasi itu cukup

banyak (Abrar, 2008; 15). Sehingga kebijakan terhadap media cetak dan

elektronik akan berbeda dan setiap kebijakan komunikasi menjadi lec

spesialis dan tidak tumpang tindih dalam isi nya. Karena kebijakan

komunikasi merupakan studi tentang keputusan dan tindakan yang dilakukan

pemerintah yang berkaitan dengan persoalan komunikasi (Abrar, 2008; 12).

Jadi dapat dipahami bahwa kebijakan komunikasi meliputi undang-undang,

peraturan pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan

menteri, peraturan daerah yang berkaitan dengan bidang komunikasi.

Menurut Abrar (2008; 13) Sebagai kebijakan publik, kebijakan

komunikasi memiliki paling tidak lima kriteria, yaitu: Memilik tujuan

tertentu; Berisi tindakan pejabat pemerintah; Memperlihatkan apa yang akan

dilakukan pemerintah; Bisa bersifat positif atau negatif; dan Bersifat

memaksa (otoritatif). Oleh karena itu kebijakan komunikasi sebagai

kebijakan publik yang mempengaruhi masyarakat secara umum harus

dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan,

pelaksanaan dan pengawasan kebijakan tersebut.

7

Dalam bahasa Paula Chakravartty dan Katharine Sarikakis (2006; 7),

kebijakan komunikasi selalu memilik konteks, domain dan paradigma (dalam

Abrar, 2008; 4). Maka dengan ketiga ciri tersebut, akan diketahui arah

kebijakan dari suatu produk hukum seperti undang-undang, peraturan

pemerintah dan peraturan daerah. Sedangkan Masduki (2007; 44)

menyebutkan ciri-ciri konseptual dari kebijakan komunikasi :

a. Kebijakan komunikasi merupakan perangkat norma sosial yang

dibentuk untuk memberi arah bagi perilaku sistem komunikasi.

b. Kebijakan komunikasi biasanya dirumuskan oleh para pemimpin

politik yang benar-benar dilaksanakan melalui pembatasan-

pembatasan legal dan institusional untuk memberi arah bagi

perilaku sistem komunikasi.

c. Kebijakan komunikasi nasional meliputi keputusan-keputusan

mengenai institusional media komunikasi dan fungsi-fungsinya.

d. Kebijakan tersebut juga mengharuskan diterapkannya kontrol

guna menjamin operasi institusi-institusi tersebut terbawa ke arah

kemaslahatan umum

Menurut Wahyuni (2000; 15) sebuah kebijakan komunikasi, biasanya

dilandasi oleh proposisi-proposisi sebagai berikut: Pertama, bila media massa

jatuh ke tangan yang salah, dapat disalahgunakan untuk merusak keserasian

sosial dan stabilitas politik masyarakat. Kedua, media massa dengan arahan

yang tepat, dapat memainkan peranan yang konstruktif dalam pembinaan

bangsa, terutama di negara-negara sedang berkembang, oleh sebab itu operasi

media massa harus dikontrol secara tepat oleh pemerintah.

Dari sisi politik, kebijakan komunikasi, memiliki tujuan untuk

melanggengkan kekuasaan para aktor perumus kebijakan. Hal ini terbukti

banyak pasal-pasal tidak jelas yang pada akhirnya dapat diputarbalikan

sesuai dengan keinginan para pembuat kebijakan. Karena tidak dapat

dipungkiri bahwa dalam pembuatan suatu kebijakan komunikasi seringkali

disusupi berbagai muatan politis yang pada akhirnya kebijakan komunikasi

8

tersebut tidak mencerminkan kepentingan masyarakat, akan tetapi lebih

mengakomodasi kepentingan penguasa.

Salah satunya tercermin dari benturan-benturan yang terjadi antara

Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-

Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dalam hal penentuan siapa yang

menjadi pemegang otoritas izin penyiaran. Dalam undang-undang penyiaran

menyatakan otoritas izin penyiaran berada pada pemeritah. Sedangkan

undang-undang otonomi daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

2000 menyatakan pemerintah daerah berhak mengatur frekuensi di daerahnya

(Sudibyo, 2004; 52). Ketidaksingkronan kebijakan tersebut tersebut

menandakan ketidakteraturan peraturan perundang-undangan di negara

Indonesia sehingga ketika undang-undang tersebut diturunkan kedalam

bentuk peraturan pemerintah ataupun peraturan daerah, kebanyakan hasilnya

jadi ambigu.

Setelah dibubarkannya Departemen Penerangan, Radio Republik

Indonesia mengalami kegamangan dalam bentuk badan hukumnya. Di tahun

2002 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran, di dalam pasal 14 membahas tentang lembaga penyiaran publik.

Untuk mengatur lembaga penyiaran publik lebih kompleks perlu dibuat

aturan di bawah undang-undang tersebut berkaitan dengan lembaga

penyiaran publik. Pada tahun 2005, pemerintah membuat dan mengesahkan

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran

Publik Radio Republik Indonesia. Undang-Undang No 32 tahun 2002 dan

Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2005 merupakan salah satu bentuk

kebijakan komunikasi.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 di pasal 6 ayat

(1) disebutkan organisasi Radio Republik Indonesia terdiri dari Dewan

pengawas; Dewan direksi; Stasiun penyiaran; Satuan pengawasan intern; dan

Pusat dan perwakilan dari struktur organisasi Radio Republik Indonesia

diatas, Radio Republik Indonesia Banjarmasin menempati posisi stasiun

penyiaran. Maka sebagai stasiun penyiaran, Radio Republik Indonesia

9

Banjarmasin harus tundak dan patuh pada ketentuan yang dibuat oleh Radio

Republik Indonesia pusat. Sehingga penyiaran di Radio Republik Indonesia

Banjarmasin tidak berbeda jauh dengan Radio Republik Indonesia pusat.

Seharusnnya Radio Republik Indonesia Banjarmasin bisa mengeksplorasi

hal-hal yang tidak tercover oleh Radio Republik Indonesia pusat.

Pada pasal 4 bahwa tugas Radio Republik Indonesia adalah

memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol

dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan

seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran radio yang

menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disinilah

Radio Republik Indonesia Banjarmasin harus menguatkan perannya sebagai

lembaga penyiaran publik di daerah.

Dalam pasal 1 ayat (3) lembaga penyiaran publik Radio Republik

Indonesia adalah lembaga penyiaran publik yang menyelenggarakan kegiatan

penyiaran radio, bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi

memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.

Dari faktor komunikasi keempat point itu harus di transmisikan secara

jelas agar dapat diterima oleh para pegawai Radio Republik Indonesia

Banjarmasin. Transmisi tersebut berkaitan dengan petunjuk-petunjuk umum

dan khusus yang harus dipatuhi oleh para agen pelaksana kebijakan. Karena

kesalahan menyampaikan petunjuk atau memberikan arahan akan

berimplikasi pada terhambatnya implementasi kebijakan. Hambatan itu dapat

berupa lambatnya proses perubahan yang terjadi di dalam sebuah lembaga

atau organisasi.

Di lihat dari faktor Sumber daya, maka dapat dikatakan bahwa

fasilitas yang ada di Radio Republik Indonesia Banjarmasin belum

sepenuhnya optimal menunjang kegiatan penyiaran publik karena

infrastruktur yang dimiliki Radio Republik Indonesia Banjarmasin memilik

kesulitan dalam pemeliharan peralatan pemancar dan studio. Faktor

sumberdaya manusianya juga masih jauh dari harapan karena kepegawaian

Radio Republik Indonesia terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS), pegawai

10

bukan pegawai negeri sipil (PBPNS), dan kontrak atau honor serta kurangnya

rekruitmen pegawai tetap untuk regenerasi kepegawaian di Radio Republik

Indonesia Banjarmasin.

Disamping itu tumpang tindih aturan mengenai lembaga penyiaran

publik mengakibatkan susahnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005

di implementasikan karena ada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005

tentang Kebijakan Penyiaran Publik, idealnya menurut undang-undang

penyiaran hanya ada empat peraturan pemerintah yang dibuat pemerintah

yaitu Lembaga penyiaran publik, Lembaga penyiaran swasta, Lembaga

penyiaran komunitas, dan Lembaga penyiaran berlangganan sesuai pasal 13

ayat 2 Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.

Faktor struktur birokrasi juga memiliki peranan penting. Karena aspek

tersebut menyangkut pada standar operasional prosedur (SOP) dan juga

fragmentasi yang berkaitan dengan koordinasi. Dengan berubahnya status

Radio Republik Indonesia dari perusahaan jawatan (PERJAN) ke lembaga

penyiaran publik maka standar operasional prosedurnya juga berubah. Hal ini

tentu disesuaikan dengan visi dan misi organisasi yang baru. Selain

perubahan pada SOP, koordinasinya juga berubah.

Sehingga dapat dinyatakan, bahwa posisi Radio Republik Indonesia

Banjarmasin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 belum

signifikan. Hal ini dikarenakan sistem kerja yang ada di Radio Republik

Indonesia Banjarmasin masih terpusat pada Radio Republik Indonesia pusat

sehingga sedikit peluang Radio Republik Indonesia Banjarmasin untuk

menentukan kebijakan penyiaran versi Radio Republik Indonesia

Banjarmasin. Masalah sumber daya berkaitan dengan dana menjadi masalah

pokok karena dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat tidak cukup

untuk memenuhi kebutuhan penyiaran dan masalah sumber daya manusia.

11

1.4.2. Anatomi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia

Kebijakan komunikasi merupakan bagian dari kebijakan publik. Salah

satu produk kebijakan komunikasi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 12

Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia.

Peraturan tersebut mengatur tentang Radio Republik Indonesia sebagai

lembaga penyiaran publik, peraturan pemerintah tersebut merupakan aturan

turunan dari undang-undang penyiaran yang mengatur lembaga penyiaran

publik secara garis besar saja. Lembaga penyiaran meminjam frekuensi yang

jumlahnya terbatas dari pemerintah, karena frekuensi merupakan milik

publik. Sehingga diperlukan aturan yang ketat untuk pemanfataannya.

Untuk mengatur pemanfaatan frekuensi untuk penyiaran publik

pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, yang terdiri dari 11

bab dan 47 pasal. Dalam bab I memuat ketentuan umum terdiri dari satu (1)

pasal; Bab II menjelaskan mengenai bentuk, kedudukan, tugas dan fungsi

terdiri dari empat (4) pasal; Bab III mengatur tentang struktur organisasi

terdiri dari dua belas (12) pasal; Bab IV memuat tentang kepangkatan,

pengangkatan, dan pemberhentian terdiri dari delapan (8) pasal; Bab V berisi

tentang tata kerja terdiri dari tujuh (7) pasal; Bab VI menjelaskan tentang

kekayaan dan pendanaan terdiri dari empat (4) pasal; Bab VII menjelaskan

tentang rencana kerja dan anggaran terdiri dari dua (2) pasal; Bab VIII berisi

tentang pertanggungjawaban terdiri dari dua (2) pasal; Bab IX mengatur

tentang kepegawaian terdiri dari tiga (3) pasal; Bab X memuat mengenai

ketentuan peralihan terdiri dari dua (2) pasal; Sedangkan Bab XI memuat

tentang ketentuan penutup terdiri dari dua (2) pasal.

Untuk mengetahui konsep dari Peraturan Pemerintah Nomor 12

Tahun 2005, maka penulis harus mengetahui sifat dari Peraturan Pemerintah

tersebut. Adapun sifat dari lembaga penyiaran publik Radio Republik

Indonesia tercantum dalam pasal 3 ayat (1) ketiga sifat tersebut juga

menggambarkan karakteristik penyiaran publik di Indonesia. Selain itu, sifat

12

tersebut sejalan dengan definisi mengenai lembaga penyiaran publik Radio

Republik Indonesia yang terdapat dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi

“Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia adalah Lembaga

Penyiaran Publik yang menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio, bersifat

independen, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk

kepentingan masyarakat”.

Adapun tugas dari lembaga penyiaran publik Radio Republik

Indonesia sesuai dalam pasal 4 adalah memberikan pelayanan informasi,

pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan prekat sosial, serta melestarikan

budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui

penyelenggaraan penyiaran radio yang menjangkau seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan fungsi Radio Republik Indonesia yang terdapat dalam

pasal 5 adalah berkaitan dengan perumusan kebijakan umum dan pengawasan

di bidang penyelenggaraan penyiaran radio publik, Pelaksanaan dan

pengendalian kegiatan penyelenggaran penyiaran radio publik, Pembinaan

dan pelaksanaan administrasi serta sumber daya Radio Republik Indonesia.

Untuk melaksanakan kegiatan operasional dan administrasi maka

diperlukan sumber daya yang handal dan menguasai bidang pekerjaannya.

Sumber daya tersebut terbagi dalam susunan organisasi yang memiliki tugas

dan fungsi masing-masing. Susunan organisasi tersebut terdapat dalam pasal

6 ayat (1) terdiri atas: Dewan pengawas, Dewan direksi, Stasiun penyiaran,

Satuan pengawasan intern, dan Pusat dan perwakilan.

Adapun tugas dari dewan pengawas yang sesuai dengan pasal 7 adalah

Menetapkan kebijakan umum, rencana induk, kebijakan penyiaran, rencana

kerja dan anggaran tahunan, kebijakan pengembangan kelembagaan dan

sumber daya, serta mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut sesuai dengan

arah dan tujuan penyiaran; Mengawasi pelaksanaan rencana kerja dan

anggaran serta independensi dan netralitas siaran; Melakukan uji kelayakan

dan kepatutan secara terbuka terhadap calon anggota dewan direksi;

mengangkat dan memberhentikan dewan direksi; Menetapkan salah seorang

13

anggota dewan direksi sebagai direktur utama; Menetapkan pembagian tugas

setiap direktur; Melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden dan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Sedangkan tugas dari dewan direksi terdapat pada pasal 11 adalah

Melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh dewan pengawas yang

meliputi kebijakan umum, rencana induk, kebijakan penyiaran, rencana kerja

dan anggaran tahunan, serta kebijakan pengembangan kelembagaan dan

sumber daya; Memimpin dan mengelolah Radio Republik Indonesia sesuai

dengan tujuan dan senantiasa berusaha meningkatkan daya guna dan hasil

guna; Menetapkan ketentuan teknis pelaksanaan operasional lembaga dan

operasional penyiaran; Mengadakan dan memelihara pembukuan serta

administrasi sesuai dengan peraturan yang berlaku; Menyiapkan laporan

tahunan dan laporan berkala; Membuat laporan keuangan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; mewakili lembaga di

dalam dan di luar pengadilan; Menjalin kerjasama dengan lembaga lain baik

di dalam maupun di luar negeri.

Selanjutnya, dalam pasal 12 ayat (1) disebutkan bahwa stasiun

penyiaran adalah penyelenggara kegiatan penyiaran Radio Republik

Indonesia yang berlokasi di ibukota negara, provinsi, kabupaten/kota

sedangkan satuan pengawasan intern yang dimaksud sesuai pasal 1 ayat (7)

pengawasan intern adalah pengawasan administrasi, keuangan dan

operasional di dalam lembaga penyiaran publik yang memiliki tugas yang

termaktub dalam pasal 15 ayat (1) bertugas melakukan pengawasan intern

keuangan dan operasional lainnya serta melaporkan temuannya kepada

dewan direksi.

Untuk melaksanakan kegiatan di Radio Republik Indonesia maka

sumber daya saja tidak cukup. Hal ini harus didukung dengan anggaran dana

yang memadai. Dalam pasal 34 ayat (1) sumber pendanaan Radio Republik

Indonesia berasal dari : Iuaran penyiaran; Anggaran pendapatan dan belanja

negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD);

Sumbangan masyarakat; Siaran iklan; Usaha lain yang sah yang terkait

14

dengan penyelenggaraan penyiaran. tetapi hingga saat ini pengelolaan dana

yang ada di Radio Republik Indonesia belum sepenuhnya transparan karena

publik belum sepenuhnya aktif terlibat.

Dalam pasal 38 dalam waktu paling lambat tiga (3) bulan setelah

berakhirnya tahun anggaran, Radio Republik Indonesia wajib memberikan

laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan diumukan melalui media massa.

Sesuai dengan peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005

seharusnya Radio Republik Indonesia Banjarmasin dapat memiliki

karakteristik berikut : Pertama, bersifat independen adalah tidak bergantung

pada dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain; Kedua, Netral adalah tidak

memihak kepada kepentingan salah satu pihak yang berbeda pendapat;

Ketiga, tidak komersial adalah tidak semata-mata mencari keuntungan, tetapi

juga lebih mengutamakan peningkatan layanan masyarakat dan memberikan

layanan untuk kepentingan masyarakat.

Sebagai produk hukum Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005

tidak memiliki sanksi yang akan dikenakan jika Radio Republik Indonesia

Banjarmasin tidak melaksanakan hal-hal apa saja yang telah diamanahkan

dalam Peraturan Pemerintah tersebut.

1.4.3. Implementasi Kebijakan Publik

Menurut Nugroho (2012; 173), pembagian pertama kebijakan publik

dijabarkan dalam makna kebijakan publik, yaitu pertama hal-hal yang

diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan

pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan. Pembagian jenis kebijakan

publik yang kedua adalah bentuknya. Kebijakan publik dalam arti luas dapat

dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kebijakan dalam bentuk peraturan-

peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangan dan

peraturan-peraturan yang tidak tertulis namun disepakati, yang disebut

konvensi-konvensi. Peraturan tertulis mudah diamati dan dipahami.

Kebijakan publik merupakan kontrak sosial dari pemerintah kepada rakyat

atau warga negaranya.

15

Menurut Nugroho (2012; 176), Kebijakan publik yang tertinggi dibuat

oleh legislatif berupa konstitusi dan ketetapan MPR. Kebijakan publik yang

hanya dibuat oleh eksekutif. Lembaga eksekutif dapat membuat kebijakan

publik berupa turunan dari kebijakan publik di atasnya. Kebijakan publik

yang dibuat eksekutif berupa peraturan pemerintah, keputusan presiden,

peraturan presiden, keputusan menteri, hingga keputusan kepala daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 merupakan salah satu contoh

peraturan pemerintah yang tertulis yang dibuat oleh pihak eksekutif atau

pemerintah untuk mengatasi permasalahan di bidang penyiaran publik dan

merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002

tentang Penyiaran. Dan kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjsama

antara lembaga legislatif dan eksekutif. Kebijakan publik yang tertulis perlu

di implementasikan.

Menurut Nugroho (2012; 674), impelementasi kebijakan pada

prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan publik dapat mencapai

tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan

kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung

mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi

kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Implementasi kebijakan merupakan tahapan dari proses kebijakan, di

mana kebijakan yang telah ditetapkan akan di implementasikan, kebijakan

tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan

presiden, peraturan menteri, dan peraturan daerah.

Menurut Lester dan Stewart (2000), implementasi adalah sebuah

tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses

politik. Kalimat tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa implementasi lebih

bermakna non politik, yaitu administratif (dalam Kusumanegara, 2010; 97).

Implementasi sebagai kegiatan administrasi memiliki konsekuensi dalam

pelaksanaannya dan memiliki dampak terhadap aktor-aktor yang terlibat

dalam implementasi kebijakan tersebut.

16

Hal ini sejalan dengan kamus webster, dalam Wahab (2012; 135),

secara lexicografis merumuskan bahwa istilah to implement

(mengimplementasikan) itu berarti to provide the means for carrying out

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to

(menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu. Hal ini berarti implementasi

kebijakan merupakan proses melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan.

Kebijakan yang telah ditetapkan harus dilaksanakan atau kebijakan itu

akan sekedar menjadi mimpi dari pembuat kebijakan bila tidak dilaksanakan

seperti diungkapkan oleh pakar kebijakan asal Afrika, Udoji (1981; 32) dalam

wahab (2008; 59), dengan tegas pernah mengatakan bahwa “the execution of

policies is as important if not more important than policy-making. Policies

will remain dreams or blue print in file jakets unless they are implemented”

(pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh

lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan

sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip

kalau tidak diimplementasikan). Kebijakan yang dibuat memiliki tujuan

tertentu dan harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Akan tetapi

tidak semua kebijakan yang dibuat dapat dilaksanakan dan mencapai

tujuannya, karena setiap kebijakan memiliki resiko untuk gagal. Seperti yang

dikemukakan oleh Hogwood dan Gunn (1986) dalam Wahab (2012; 129).,

kegagalan kebijakan (policy failure) ini dalam dua kategori besar, yaitu :

a. Non-implementation (tidak terimplementasikan)

Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu

kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena

pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau

bekerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja

setengah hati, atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai

permasalahan, atau mungkin permasalahan yang digarap di luar

jangkauan kekuasaan, sehingga betapapun gigih usaha mereka,

hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi.

Akibatnya, implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi.

17

b. Unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil)

Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi ketika suatu

kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun

mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan-semisal

tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan (coup de’ tat),

bencana alam, dan lain sebagainya, kebijakan tersebut tidak berhasil

dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.

Biasanya, kebijakan yang memiliki risiko untuk gagal itu disebabkan

oleh faktor berikut: pelaksanaannya jelek (bad execution),

kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy), kebijakan itu

memang bernasib jelek (bad luck).

Kegagalan atau berhasilnya kebijakan tergantung dari tindakan-

tindakan dari aktor pelaksananya, seperti yang dikemukakan oleh Van Meter

dan Van Hom (1975), merumuskan proses implementasi sebagai “those

actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the

achievement of objective set fort in prior policy decision” (tindakan-tindakan

yang di lakukan baik oleh individual/pejabat-pejabat atau kelompok

pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang

telah digariskan dalam keputusan kebijakan) (dalam wahab, 2012; 135).

Untuk mengkaji keberhasilan kebijakan tersebut bisa dilakukan dengan salah

satu model implementasi yang dikemukakan oleh Goerge C. Edwards III.

Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C.

Edwards III, dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan

mengajukan buah pertanyaan, yakni: prakondisi-prakondisi apa yang

diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil, dan hambatan-

hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards

berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan membiacarakan

empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik.

Faktor-faktor tersebut adalah (Winarno, 2008; 174-208) :

18

1. Komunikasi

Berkaitan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi

dan/atau publik dan sikap serta tanggapan dari pihak yang terlibat

(Nugroho, 2012; 693).

a. Transmisi

Merupakan faktor pertama yang berpengaruh terhadap

komunikasi kebijakan adalah transmisi. Transmisi memprioritaskan

pada penguatan pendapat diantara aktor pelaksana kebijakan, agar

tidak terjadi hambatan dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut.

Pertentangan terhadap kebijakan-kebijakan ini aka n menimbulkan

hambatan-hambatan atau distorsi seketika terhadap komunikasi

kebijakan.

b. Kejelasan

Instruksi-instruksi yang diberikan kepada para pelaksana

kebijakan harus jelas sehingga tidak mengaburkan pesan awal dari

kebijakan tersebut. Selain itu kurangnya kejelasaan dapat

menimbulkan perubahan kebijakan yang tidak diharapkan (Winarno,

2008; 177). Dalam mengimplementasikan kebijakan, setiap instruksi

yang diberikan harus di informasikan dengan jelas.

c. Konsistensi

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka

perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas (Winarno,

2008; 177). Ketidakkonsistenan dapat menyebabkan tujuan dari

kebijakan tersebut tidak akan tercapai.

2. Sumber daya

Sumber daya berkaitan dengan ketersediaan sumber daya

pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan

kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk melaksanakan kebijakan

secara efektif (Nugroho, 2012; 693). Sumber daya tersebut dapat

berwujud sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Sumberdaya

19

meliputi sumber daya manusia (staf) yang memadai serta keahlian-

keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang

dan fasilitas-fasilitas (Winarno, 2008; 181).

a. Staf

Staf merupakan sumber yang paling penting dalam melaksanakan

kebijakan. Ada satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak

selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan, tetapi

profesionalitas dan kompetensi merupakan faktor yang mendukung

efektifitas proses pelaksanaan kebijakan.

b. Informasi

Informasi merupakan sumber penting yang kedua dalam

implementasi kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk, yaitu

informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan dan

data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-

peraturan pemerintah (Winarno, 2008; 183-185). Informasi mengenai

kebijakan baru perlu disosialisasikan kepada pelaksana kebijakan

untuk dipahami dan dilaksanakan sesuai peraturan, agar tidak terjadi

kesalahan komunikasi diantara pelaksana kebijakan.

c. Wewenang

Wewenang dalam satu organisasi akan berbeda dengan organisasi

lain dalam melaksanakan suatu program kebijakan. Wewenang pada

umumnya bersifat formal, agar perintah dapat dilaksanakan secara

efektif.

d. Fasilitas

Fasilitas fisik bisa pula merupakan sumber-sumber penting dalam

implementasi. Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang

memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan

mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi

tanpa fasilitas yang memadai pelaksanaan kebijakan akan terganggu.

20

3. Disposisi (Kecenderungan-kecenderungan)

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh

implementor, seperti komitment, kejujuran, sifat demokratis (Subarsono,

2011; 91). Dengan kata lain, disposisi merupakan kesedian dari pelaksana

kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

a. Dampak dari disposisi (kecenderunga-kecenderungan)

Jika pelaksana kebijakan mendukung dan berkomitmen terhadap

kebijakan tersebut, maka implementasi kebijakan akan berjalan

dengan lancar, tetapi apabila pelaksana kebijakan tidak berkomitmen

terhadap kebijakan tersebut maka akan terjadi hambatan dalam

pelaksanaan kebijakan.

b. Beberapa Insentif

Menurut Edrwads, salah satu teknik yang disarankan untuk

mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan

memanipulasi insentif-insentif. Oleh karena pada umumnya orang

bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi

insentif-insentif oleh para pembentuk kebijakan tingkat tinggi besar

kemungkinan mempengaruhi tindakan-tindakan para pelaksana

kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan-keuntungan atau

biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi faktor pendorong yang

membuat para implementor melaksanakan perintah dengan baik

(Winarno, 2008; 198). Pemberian insentif ini berdasarkan kriteria

tertentu agar hasilnya tidak menyimpang.

4. Struktur birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan

secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara

sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk

kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial

dalam kehidupan modern. Pada dasarnya, para pelaksana kebijakan

mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup

21

keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya. Tetapi dalam

pelaksanaannya mungkin mereka masih dihambat oleh struktur-struktur

organisasi di mana mereka menjalankan kegiatan tersebut.

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni

prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai

Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi, seperti

dijelaskan di bawah ini.

a. Standar Operasional Prosedur (SOP)

Salah satu dari aspek-aspek struktual paling dasar dari suatu

organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya Standard

Operating Procedures (SOP). Dengan menggunakan SOP, para

pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP

juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam

organisasi-organisasi yang kompleksitas dan tersebar luas, yang pada

gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat

dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan

kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan.

Organisasi-organisasi dengan Standard Operating Procedures (SOP)

yang luwes dan kontrol yang besar atas program-program yang luwes

mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggungjawab yang baru

ketimbang birokrasi-birokrasi tanpa menpunyai Standard Operating

Procedures (SOP).

b. Fragmentasi

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam

melaksanakan kebijakan adalah fragmentasi organisasi.

Tanggungjawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara

beberapa organisasi, seringkali pula terjadi desentralisasi kekuasaan

tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan

kebijakan. Kelompok-kelompok kepentingan juga akan mempunyai

pengaruh dalam mendorong fragmentasi. Sifat multi dimensi dari

banyak kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi.

22

Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah

usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasan-

alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, mendorong para

birokrat ini untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan lain.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengadopsi model yang

dikemukakan oleh George C. Edwards III dalam dalam mengkaji

keberhasilan dan hambatan implementasi kebijakan Peraturan Pemerintah

Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik

Indonesia di Radio Republik Indonesia Banjarmasin tahun 2013 dengan

menggunakan indikator komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur

birokrasi yang dilihat dari aspek kelembagaan, anggaran, dan program.

Dimana keempat indikator tersebut dapat dilihat pada skema di bawah ini :

Gambar 1. Proses Implementasi Kebijakan Model Edwards III

Komunikasi

Sumber Daya

implementasi

Disposisi

Struktur Birokrasi

23

1.4.4. Lembaga Penyiaran Publik

Lembaga penyiaran publik sejalan dengan pemikiran Habermas pada

abad ke-17 di Eropa tentang ruang publik (public sphere) yang terletak antara

komunitas ekonomi dan negara, di mana publik melakukan diskusi yang

rasional, membentuk opini mereka, serta menjalankan pengawasan terhadap

pemerintah (Habermas, 1993; 43).

Ruang publik menurut Habermas adalah wilayah kehidupan sosial

yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik. Mereka sebetulnya

adalah orang-orang privat, bukan dengan kepentingan bisnis atau

professional, tetapi dalam percakapan mereka membentuk suatu publik,

sebab bukan soal-soal pribadi yang dipercakapkan melainkan kepentingan

umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Baru dalam hal seperti ini orang

privat menjadi publik. Lebih lanjut Habermas menekankan bahwa lembaga

penyiaran publik adalah akar dari pencerahan bangsa.

Prinsip-prinsip penyiaran publik menurut UNESCO meliputi empat

hal, yaitu :

a. Universality

Tujuan dari penyiaran publik adalah egalitier dan demokratis

dengan menepatkan semua warga negara pada pijakan yang sama.

Penyiaran publik harus dapat diakses oleh setiap warga negara di

seluruh negeri. Dengan membuat program yang dapat diakses

oleh seluruh penduduk.

b. Diversity (Keragaman)

Penyiaran publik harus memiliki keragaman setidaknya dalam

tiga cara yaitu : gaya atau aliran program yang ditawarkan, target

pendengar dan subyek yang dibahas. Penyiaran publik harus

mencerminkan keragaman kepentingan umum dengan

menawarkan berbagai jenis program.

c. Independence (Independen)

Penyiaran publik harus lepas atau bebas dari tekanan komersial

dan pengaruh politik.

24

d. Distinctiveness (Kekhasan)

Penyiaran publik harus memiliki kekhasan atau berbeda dengan

lembaga penyiaran yang lain. Program penyiaran publik harus

mampu mengidentifikasikan apa yang menjadikan mereka

memiliki ke khasan atau membedakan mereka dari layanan

lembaga penyiaran lainnya.

Pembiayaan lembaga penyiaran publik harus independen dari tekanan

komersial dan politik. Pembiayaan lembaga penyiaran publik bisa dibiayai

negara melalui pajak ijin penyiaran atau pendapat negara yang tidak terkait

dengan kondisi pemerintahan dan fluktuasi ekonomi.

Sedangkan menurut Eric Barendt (dalam Mendel, 2000; 33), Lembaga

penyiaran publik menurut harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. General geographical availability (Siaran harus menjangkau

seluruh wilayah geografi yang ada),

b. Concern for national identity and culture (Menaruh perhatian

pada identitas nasional dan budaya),

c. Indepedence from both the state and commercial interest (Netral

terhadap kekuasaan negara dan kepentingan komersial),

d. Impartiality of programmes (Seimbang dalam program siaran),

e. Range and variety of programmes (Program siarannya bervariasi

dan memenuhi seluruh lapisan masyarakat),dan

f. Substantials financing by general charge on users (Keuangan

yang kuat dimana dibiayai oleh publik).

Terinspirasi oleh Lasswell (1946), Sendjaja (2001; 1) dalam Mufid

(2010; 79) menguraikan fungsi sosial media penyiaran publik yang cukup

signifikan, yaitu sebagai berikut :

a. Pengawas sosial (social surveillance), yaitu merujuk pada upaya

penyebaran informasi dan interpretasi yang obyektif mengenai

berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan

sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang

tidak diinginkan.

25

b. Korelasi sosial (social correlation), merujuk pada upaya

pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu

kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu

pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai

konsensus.

c. Sosialisasi (socialization), merujuk pada upaya pewarisan nilai-

nilai dari satu generasi kegenerasi lainnya, atau dari satu

kelompok ke kelompok lainnya.

Menurut McQuail, Senjaja (2001; 3) dalam Mufid (2010; 80),

menguraikan urgensi media penyiaran publik adalah untuk menjunjung nilai-

nilai yang banyak ditinggalkan oleh media komersial, seperti independensi,

solidaritas, keanekaragaman (opinin dan akses), objektivitas, dan kualitas

informasi.

Lembaga penyiaran publik dalam menjalankan fungsinya

mewujudkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar (right

to know) dan hak masyarakat untuk mengekspresikan diri (right to

expression).

Lembaga penyiaran publik menyelenggarakan siaran sesuai dengan

apa yang menjadi perhatian publik dan meningkatkan kualitas dengan

memberdayakan individu dan kelompok sosial untuk berpartisipasi secara

penuh dan wajar untuk bangsa. Penyelenggaraan siaran ditujukan

memantapkan identitas nasional dan masyarakat serta untuk menggerakan

masyarakat dan merubahnya dengan akses yang universal tetapi tetap

memberikan perhatian pada kaum minoritas. Dana diperoleh dari publik dan

negara dan penyelenggara siaran tetap menjaga jarak dengan kelompok

kepentingan tertentu.

1.5. Konsep Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan kerangka pemikiran yang telah

disampaikan sebelumnya, peneliti membuat konsep aspek kelembagaan

dengan mengadaptasi model implementasi kebijakan George C. Edward III

yakni, komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi, dan konsep

26

aspek program menggunakan prinsip-prinsip penyiaran publik sebagai kajian

subtansi dari implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005

tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di lembaga

penyiaran publik RRI Banjarmasin. Konsep tersebut dapat dilihat dalam tabel

di bawah ini :

Tabel 1.

Konsep Penelitian

No Konsep Makna Indikator

1.

Aspek

kelembagaan

penyiaran publik

di lihat dari :

a. Komunikasi

b. Sumber daya

Bagaimana kebijakan

dikomunikasikan

kepada organisasi dan

sikap serta tanggapan

dari pihak yang terlibat.

Ketersedian sumber

daya pendukung dan

sumber daya manusia

yang berkompeten di

bidangnya untuk

melaksanakan

kebijakan tersebut

Pelaksana kebijakan

mengetahui isi

kebijakan tersebut.

Terlaksananya

koordinasi dalam unit

dan antar unit dalam

organisasi LPP RRI

Banjarmasin.

Tercukupinya

kebutuhan sumber daya

manusia, anggaran, dan

sarana prasarana dalam

mendukung

pelaksanaan PP No.12

Tahun 2005 di RRI

Banjarmasin

27

c. Disposisi

d. Struktur

Birokrasi

Komitmen para pejabat

terhadap implementasi

PP No 12 Tahun 2005

meliputi sikap dan

pemahaman para

pejabat

Bagaimana struktur

birokrasi, norma-

norma, dan pola

hubungan yang terjadi

dalam birokrasi di

dalam

mengimplementasikan

PP No 12 Tahun 2005

Adanya Komitmen

pimpinan terhadap

pelaksanaan PP No 12

Tahun 2005.

Adanya SOP dalam

pembagian tugas dan

kegiatan.

Pendelegasian

wewenang dalam LPP

RRI Banjarmasin

Adanya koordinasi

yang baik dalam

penyelenggaran siaran

publik

2. Aspek program

siaran dilihat dari

:

Prinsip-prinsip

penyiaran publik

Sebagai media yang

menjaga integritas

nasional dan nilai-nilai

lokal masyarakatnya

serta untuk

mewujudkan hak

masyarakat untuk

mendapatkan informasi

yang benar (right to

know), dan

mengekspresikan diri

(right to expression).

Universality,

Keragaman dan akses

publik,

Independensi,

Kekhasan,

Obyektifitas, dan

Jangkauan siaran

28

1.6. Metodologi Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini jenis deskriptif

kualitatif. Karena jenis deskriptif kualitatif memang diarahkan untuk

mengetahui kondisi suatu objek pada masa kini. Jenis penelitian ini cocok

digunakan untuk mendeskripsikan dan menilai Implementasi Peraturan

Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 di Radio Republik Indonesia Banjarmasin

Tahun 2013 beserta aspek-aspek terkait.

1.6.2. Metode Penelitian

Creswell (1998) dalam Herdiansyah (2010; 76) menyatakan bahwa

studi kasus (case study) adalah suatu model yang menekankan pada

eksplorasi dari suatu bounded system pada satu kasus atau beberapa kasus

secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang

melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks. Salah satu

ciri khas dari studi kasus adalah adanya bounded system. Yang dimaksud

dengan bounded system adalah adanya batasan dalam hal waktu dan tempat

serta batasan batasan dalam hal kasus yang diangkat. Ciri lainnya dari studi

kasus adalah keunikan dan kekhasan dari kasus yang diangkat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus,

sesuai dengan 7 Tipe penelitian dalam kebijakan komunikasi yaitu melihat

daya guna suatu kebijakan. Selain itu, studi kasus juga dapat digunakan untuk

memahami fenomena dalam implementasi kebijakan. Penggunaan metode ini

tentu sesuai dengan kebutuhan penulis yang ingin mendapatkan jawaban atas

rumusan masalah yang telah diajukan.

1.6.3. Fokus Penelitian

Fokus penelitiannya pada analisis keberhasilan dan hambatan

pelaksanaan kebijakan komunikasi (Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun

2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di Radio

Republik Indonesia Banjarmasin Tahun 2013).

29

1.6.4. Objek Penelitian

Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah pegawai Radio

Republik Indonesia Banjarmasin terkait dengan implementasi Peraturan

Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio

Republik Indonesia.

1.6.5. Lokasi Penelitian

Di stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Banjarmasin di kota

Banjarmasin JL. Jend. A. Yani KM 3,5 No. 7 Banjarmasin 70234,

Kalimantan Selatan.

1.6.6. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara

Pengamatan langsung atau observasi, wawancara mendalam dan analisis data

sekunder.

1.6.6.a. Observasi

penulis melakukan observasi di lapangan sesuai dengan

lokasi penelitian yang di tentukan. Observasi di lakukan terhadap

kegiatan dan proses kegiatan implemetasi penyiaran publik di LPP

RRI Banjarmasin. Data yang dikumpulkan dan dicatat berupa perilaku

pelayanan, kondisi bangunan, dukungan sarana dan prasarana serta

jaringan infrastruktur yang digunakan dalam implementasi penyiaran

LPP RRI Banjarmasin.

1.6.6.b. Wawancara Mendalam

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam

terhadap informan guna mendapatkan informasi yang lebih jelas dan

mendalam tentang berbagai hal yang diperlukan dalam hubungannya

dengan implementasi LPP di RRI Banjarmasin. Sedangkan teknik

wawancara bersifat terbuka dengan tujuan agar responden dapat

memberikan jawaban dan pandangan seluas-luasnya. Agar

wawancara tetap berada dalam konteks penelitian maka wawancara

disertai pedoman wawancara yang dapat berkembang sesuai dengan

30

kebutuhan penulisan tesis ini. Adapun yang menjadi informan dalam

penelitian ini adalah :

a. H. La Sirama, S.Sos, MM sebagai Kepala Stasiun Radio Republik

Indonesia Banjarmasin,

b. Nauval Sahupala, S.Sos, MM sebagai Kepala Bidang Layanan dan

Pengembangan Usaha Radio Republik Indonesia Banjarmasin,

c. Bahriansyah, S.Sos sebagai Kepala Bidang Teknologi Media Baru

Republik Indonesia Banjarmasin,

d. Dra.Sjahbanah Bahdar, M.Si sebagai Kepala Bidang Pemberita

Radio Republik Indonesia Banjarmasin,

e. Drs. Said Abdillah Sebagai Kepala Bidang Program Siaran

Republik Indonesia Banjarmasin, dan

f. Drs. Abu Bakar, M.AP Kepala Bagian Tata Usaha Radio Republik

Indonesia Banjarmasin.

g. Noorsyarifah, SH Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi Program

Radio Republik Indonesia Banjarmasin

h. Hj.Gt.Rasyidah, S.AB Kasub. Bag Keuangan Radio Republik

Indonesia Banjarmasin

i. Rusdiah, Staf seksi SDM Radio Republik Indonesia Banjarmasin

j. Fakhri Wardhani, S.Sos Wakil Ketua KPID Kalimantan Selatan

k. Fachrian Noor, Pengurus Forum Pemerhati Radio Republik

Indonesia Banjarmasin

Dipilihnya pejabat-pejabat tersebut dengan asumsi pejabat-

pejabat ini sangat relevan dengan maksud dan tujuan penelitian ini

dilakukan.

1.6.6.c. Analisis Data Sekunder

Analisis data sekunder dilakukan dengan meninjau

dokumen-dokumen yang mencakup kebijakan lembaga penyiaran

publik di Radio Republik Indonesia (RRI) Banjarmasin dan dokumen

lain berupa laporan-laporan atau literatur kepustakaan yang relevan

dengan tujuan penelitian.

31

1.6.7. Teknik Analisis Data

1.6.7.a. Penyajian Data

Alur yang digunakan dalam penyajian data, menurut

Matthew dan Michael dalam Miles dan Huberman (1992; 20) dibagi

tiga, yakni:

a. Reduksi data. Reduksi data dalam penelitian ini diartikan sebagai

proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,

pengabstrakan, dan transformasi data dari hasil penelitian di

lapangan. Pada tahap ini reduksi data merupakan bagian dari

analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,

memilah data yang diperlukan dan yang tidak, mengorganisasi

data dengan cara yang spesifik hingga dapat menarik kesimpulan

dan memverifikasi kesimpulan tersebut.

b. Penyajian data. Penyajian data kualitatif yang dimaksud adalah

sekumpulan informasi yang disusun untuk memberi

kemungkinan ada penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan.

c. Kesimpulan dan verifikasi. Bagian terakhir dalam penyajian data

kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Penarikan

kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan berupa deduksi

suatu konfigurasi. Pembuktian kembali atau verifikasi dilakukan

untuk mencari pembenaran dan persetujuan sehingga validitas

dapat tercapai

1.6.7.b. Analisis Data

Data primer yang diperoleh dari wawancara dan observasi

serta data sekunder yang sudah diolah dan disajikan kemudian akan

dianalisis dengan kerangka konsep yang sudah digambarkan dalam

penelitian ini (tabel 1). Selanjutnya akan dianalisis dan dimaknai

dengan menggunakan perspektif kebijakan komunikasi, khususnya

tentang lembaga penyiaran publik di Indonesia.

32

1.6.8. Batasan Penelitian

Deskripsi tentang implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12

Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia di

Radio Republik Indonesia Banjarmasin Tahun 2013 dilihat dari aspek

kelembagaan penyiaran publik meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi,

struktur birokrasi dan aspek program siaran berdasarkan prinsip penyiaran

publik.

1.6.9. Perspektif Penelitian

Agar data dalam penelitian memilik sebuah makna, maka diperlukan

perspektif untuk memaknainya. Sehingga dalam penelitian ini, akan

digunakan beberapa perspektif yang salah satunya adalah perspektif

administrasi publik yang dirumuskan oleh Charles Edward III tentang

Implementation problems approach yang meliputi faktor pendukung dan

penghambat suatu kebijakan publik.

1.6.10. Sistematika Tesis

Bab I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, konsep

penelitian, metodologi penelitian, teknik analisis data, batasan

penelitian, perspektif penelitian dan sistematika tesis.

Bab II : Tinjauan Umum Objek Penelitian berisi tentang Profil RRI

Banjarmasin dan uraian tata kerja LPP RRI Banjarmasin

Bab III : Hasil Penelitian, berisi tentang Implementasi Peraturan Pemerintah

Nomor 12 Tahun 2005 (aspek kelembagaan penyiaran publik

meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi dan

aspek program siaran berdasarkan prinsip penyiaran publik),

Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2005,

dan Faktor pendukung dan penghambat.

Bab IV : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran