BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdf · (Human Development Report/HDR)...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I.pdf · (Human Development Report/HDR)...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan manusia senantiasa berada di baris terdepan dalam
perencanaan pembangunan. Karena hakekat pembangunan adalah pembangunan
manusia, maka perlu diprioritaskan alokasi belanja untuk keperluan pembangunan
manusia dalam penyusunan anggaran (Fhino, 2009). Perbaikan prioritas ini juga
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan ukuran untuk melihat dampak
kinerja pembangunan wilayah, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu
wilayah dalam hal harapan hidup, intelektualitas dan standar hidup layak. Saat
perencanaan pembangunan, IPM juga berfungsi memberikan tuntunan
menentukan prioritas dalam merumuskan kebijakan dan menentukan program
(Budiriyanto, 2011).
Selain itu IPM juga digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah
negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang (United
Nations Development Program/UNDP, 1996). IPM atau disebut juga Human
Development Index (HDI) merupakan sebuah indeks komposit (gabungan) dari
indeks pendidikan, kesehatan, dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur
tingkat keberhasilan pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk
yang berpendidikan, sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta
2
mempunyai pendapatan untuk layak hidup (Badan Pusat Statistik/BPS,
2012a:18).
Terkait dengan pembangunan, paradigma yang sedang berkembang saat ini
adalah pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan pembangunan manusia, dapat
dilihat melalui tingkat kualitas hidup manusia di tiap-tiap negara. Sejak tahun
1990 perkembangan tingkat kualitas hidup manusia (indeks HDI) di seluruh dunia
diteliti dan laporannya diterbitkan dalam buku laporan pembangunan manusia
(Human Development Report/HDR) oleh UNDP.
Laporan tahunan UNDP pada tahun 2013 menginformasikan bahwa IPM
Indonesia membaik yaitu berada pada peringkat 108/187 negara, dari peringkat
121/185 negara pada tahun 2012. Kajian seksama masih perlu tetap dilakukan
mengingat IPM Indonesia ternyata masih berada di bawah Negara-negara
Regional Asociation of Southeast Asian Nations (ASEAN) yaitu Malaysia yang
menempati peringkat 62, Singapura peringkat 9, Thailand pada peringkat 89, dan
Brunei Darussalam di posisi 30. IPM Indonesia hanya lebih baik bila
dibandingkan dengan IPM Myanmar yang menduduki posisi 150, Filiphina 117,
Kamboja 136, dan Timor Leste pada posisi 128.
Hal tersebut menunjukkan masih diperlukannya upaya keras untuk
memperbaiki kualitas manusia Indonesia di tengah-tengah persaingan dengan
masyarakat internasional. Upaya meningkatkan IPM Indonesia tentunya tidak
dapat dilepaskan dari usaha simultan untuk meningkatkan IPM kabupaten/kota di
Indonesia. Salah satunya adalah Provinsi Bali, perkembangan IPM kabupaten/kota
Provinsi Bali pada tahun 2008-2013 dapat dilihat pada Tabel 1.1.
3
Tabel 1.1Perkembangan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Periode 2008-2013
No Kab/KotaIndeks Pembangunan Manusia (IPM)
2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 Jembrana 72.02 72.45 72.69 73.18 73.62 74.29
2 Tabanan 73.73 74.26 74.57 75.24 75.55 76.19
3 Badung 74.12 74.49 75.02 75.35 75.69 76.37
4 Gianyar 72.00 72.43` 72.73 73.43 74.49 75.025 Klungkung 69.66 70.19 70.54 71.02 71.76 72.25
6 Bangli 69.72 70.21 70.71 71.42 71.8 72.28
7 Karangasem 65.46 66.06 66.42 67.07 67.83 68.478 Buleleng 69.67 70.26 70.69 71.12 71.93 72.549 Denpasar 77.18 77.56 77.94 78.31 78.8 79.41
Bali 71.51 71.52 72.28 72.90 73.49 74.11
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (data diolah)
Data IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dari tahun 2008-2013 seperti
ditunjukkan pada Tabel 1.1 mengalami peningkatan, yaitu dari 71,51 pada tahun
2008 menjadi 74,11 pada tahun 2013. Namun jika dilihat lebih seksama
peningkatan IPM Provinsi Bali cenderung menurun jika dibandingkan dengan
tahun 2010, dimana peningkatan IPM Provinsi Bali tahun 2009 ke 2010 sebesar
0,76 sedangkan peningkatan IPM Provinsi Bali tahun 2012 ke 2013 sebesar 0,62.
Jika dibandingkan dari tahun ke tahun, peningkatan IPM Provinsi Bali ternyata
tidak konsisten.
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa penerimaan yang dimiliki
pemerintah Provinsi Bali belum optimal digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan IPM. Peningkatan IPM, salah
satunya ditentukan oleh kemampuan keuangan daerah yaitu antara lain
Pendapatan Asli Daerah/PAD. PAD seharusnya dikelola dengan baik oleh
pemerintah daerah serta pemanfaatannya benar-benar untuk anggaran yang
4
produktif dan dapat dirasakan oleh masyarakat seperti sektor pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur.
Salah satu komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Bali adalah
Pajak Daerah. Dari tahun 2012 s.d. 2014 Provinsi Bali mempunyai rasio pajak di
atas rata-rata nasional. Bahkan pada tahun 2012 dan 2014 Provinsi Bali adalah
sebagai Provinsi dengan rasio pajak dan rasio pajak per kapita tertinggi di
Indonesia (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan/DJPK, 2014). Ini dapat
dimaknai bahwa semakin meningkatnya rasio-rasio tersebut berarti pemerintah
kabupaten/kota memiliki dana yang cukup untuk mendukung berbagai upaya
peningkatan IPM, namun kenyatannya alokasi dana untuk belanja publik relatif
rendah sehingga menyebabkan pelayanan publik tidak memadai bagi masyarakat.
Terjadinya peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat
(social welfare), merupakan bentuk indikasi dari keberhasilan penerapan
desentralisasi fiskal. Seperti pernyataan Lin dan Liu (2000), bahwa desentralisasi
fiskal menyebabkan peningkatan investasi modal di China. Tujuan dari
desentralisasi fiskal adalah untuk memberikan otonomi penuh kepada pemerintah
daerah dalam pengeluaran dan mengelola pendapatan mereka. Pemerintah daerah
memiliki kewenangan untuk mengeksplorasi dan mengumpulkan PAD baik
melalui upaya pajak (tax effort) maupun melalui ruang fiskal (fiscal space). Upaya
pajak adalah perbandingan antara jumlah penerimaan pajak aktual (jumlah
penerimaan pajak sebenarnya) dengan kapasitas atau kemampuan penduduk untuk
membayar pajak (Wibowo, 2013). Sedangkan ruang fiskal adalah ketersediaan
ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya
5
tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan
posisi keuangan pemerintah (Heller, 2005). Sehingga dengan penerapan
desentralisasi fiskal diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang diukur dengan IPM.
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar
anggaran digunakan untuk belanja rutin (belanja pegawai). Oleh karena itu bagi
pemerintah daerah yang memiliki ruang fiskal terbatas, perlu mengidentifikasi dan
menyusun strategi dalam mengalokasikan belanja pada kegiatan-kegiatan yang
sesuai prioritas daerah, dan mempunyai daya ungkit (leverage) tinggi bagi
perekonomiannya (DJPK, 2014), sehingga pada akhirnya akan dapat
meningkatkan IPM. Ruang fiskal diperoleh dari pendapatan umum setelah
dikurangi pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta
belanja yang sifatnya mengikat seperti belanja pegawai dan belanja bunga.
Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini telah banyak
dilakukan, namun hasilnya tidak konsisten. Diantaranya penelitian Gembira
(2011) menunjukkan bahwa secara simultan variabel Pendapatan Asli Daerah,
Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil (Pajak dan Bukan Pajak) berpengaruh
Positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. secara parsial, hanya variabel
Dana Alokasi Umum (DAU) yang berpengaruh terhadap IPM. Sedangkan
variabel lain berupa variabel Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan
Dana Bagi Hasil (Pajak dan Bukan Pajak) tidak berpengaruh signifikan terhadap
Indeks Pembangunan Manusia. Artinya bahwa setiap bertambahnya anggaran
pendidikan dan anggaran kesehatan akan meningkatkan IPM, ceteris Paribus. Di
6
sisi lain Mirza, 2012 dalam penelitiannya menemukan bahwa kemiskinan
mempunyai pengaruh negatif dan signifikan pada IPM. Hasil penelitian Firda dan
Purbadharmaja (2014) diperoleh informasi bahwa secara simultan kemandirian
keuangan daerah dan keserasian alokasi belanja berpengaruh signifikan terhadap
IPM, secara parsial, kemandirian keuangan daerah dan keserasian alokasi belanja
berpengaruh positif dan signifkan terhadap IPM.
Sementara itu hasil penelitian yang kontradiktif ditemukan oleh Harahap
(2010) yang menemukan bahwa secara parsial Dana Alokasi Umum/DAU dan
Dana Alokasi Khusus/DAK tidak berpengaruh terhadap IPM. Titin (2012) yang
menyatakan bahwa belanja langsung tidak dapat memprediksi indeks
Pembangunan Manusia Kabupaten Kota di Sumatera Selatan. Sementara
penelitian Setiawan dan Hakim (2013) menunjukkan bahwa Produk Domestik
Bruto/PDB dan Pajak Pertambahan Nilai/PPN berpengaruh terhadap IPM dalam
jangka panjang maupun jangka pendek. Estimasi model Error Correction Model
(ECM), menemukan bahwa krisis ekonomi tahun 2008 berpengaruh terhadap
IPM, sementara krisis tahun 1997 dan desentralisasi pemerintahan tidak
berpengaruh terhadap IPM.
Ketidakkonsistenan hasil penelitian terdahulu, menyebabkan penelitian
tentang IPM semakin menarik dan penting untuk dikaji khususnya faktor-faktor
yang diduga memiliki kontribusi terhadap peningkatan IPM. Salah satunya adalah
kinerja keuangan daerah yang meliputi : rasio pajak (tax ratio), pajak per kapita
(tax per capita), upaya pajak (tax effort) dan ruang fiskal (fiscal space). Dan
adanya dugaan bahwa kinerja keuangan daerah tidak serta merta meningkatkan
7
IPM, sehingga memungkinkan adanya pengaruh variabel moderating dalam
mengidentifikasi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Veriabel moderating ini digunakan untuk menyelesaikan perbedaan hasil dari
penelitian-penelitian tersebut, yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kontinjensi. Pendekatan ini secara sistematis mengevaluasi berbagai kondisi atau
variabel yang dapat memengaruhi hubungan antara kinerja keuangan daerah
dengan IPM. Teori kontinjensi dalam hal ini dapat digunakan untuk menganalisis
variabel moderating yang dapat memperkuat ataupun memperlemah hubungan
antara kinerja keuangan daerah dengan IPM, salah satu diantaranya adalah alokasi
belanja modal.
Belanja modal secara umum dialokasikan untuk sarana dan prasarana publik,
dalam bentuk asset tetap yakni peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap
lainnya, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk
fasilitas publik (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Peningkatan layanan publik ini
diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di
daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila ada upaya serius pemerintah
dengan memberikan berbagai fasilitas pendukung (investasi). Konsekuensinya
pemerintah perlu untuk memberikan alokasi belanja modal yang lebih besar untuk
tujuan tersebut (Harianto dan Hadi, 2007). Semakin tinggi investasi modal
diharapkan mampu meningkatkan pelayanan publik sehingga dapat menunjang
peningkatan IPM.
Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa dalam era otonomi, pemerintah daerah
harus semakin mendekatkan diri pada berbagai pelayanan dasar masyarakat. Oleh
8
karena itu, alokasi belanja modal memegang peranan penting guna peningkatan
pelayanan. Sejalan dengan peningkatan pelayanan ini (yang ditunjukkan dengan
peningkatan belanja modal) diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pembangunan manusia. Oleh karena itu, besarnya belanja modal suatu daerah
diduga dapat memperkuat atau memperlemah hubungan kinerja keuangan daerah
yang meliputi rasio pajak, pajak per kapita, upaya pajak dan ruang fiskal pada
IPM. Dua rasio pertama (rasio pajak dan pajak per kapita) menyoroti pajak daerah
sebagai sumber utama PAD yang diperbandingkan dengan PDRB dan jumlah
penduduk, sedangkan dua rasio yang terakhir menyoroti pengelolaan pendapatan
daerah untuk memenuhi kebutuhan belanjanya, serta kemampuan daerah dalam
menghasilkan pendapatan daerah dengan tidak tergantung dari pihak eksternal
(Sudarwanto, 2013).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pokok permasalahan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Apakah alokasi belanja modal memoderasi pengaruh rasio pajak pada IPM?
2) Apakah alokasi belanja modal memoderasi pengaruh pajak per kapita pada
IPM?
3) Apakah alokasi belanja modal memoderasi pengaruh upaya pajak pada IPM?
4) Apakah alokasi belanja modal memoderasi pengaruh ruang fiskal pada IPM?
9
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk memperoleh bukti tentang kemampuan alokasi belanja modal
memoderasi pengaruh rasio pajak pada IPM.
2) Untuk memperoleh bukti tentang kemampuan alokasi belanja modal
memoderasi pengaruh pajak per kapita pada IPM.
3) Untuk memperoleh bukti tentang kemampuan alokasi belanja modal
memoderasi pengaruh upaya pajak pada IPM.
4) Untuk memperoleh bukti tentang kemampuan alokasi belanja modal
memoderasi pengaruh ruang fiskal pada IPM.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil peneltian ini adalah:
1). Manfaat Teoritis: penelitian ini berusaha untuk menunjukkan bahwa
pengambilan kebijakan keuangan dapat menimbulkan konflik kepentingan
antara masyarakat yang di wakili oleh DPRD dan pemerintah sebagai akibat
dari adanya keinginan kedua belah pihak untuk memaksimalkan utilitasnya
sesuai dengan yang dipaparkan dalam teori keagenan. Hasil penelitin ini
diharapkan mampu untuk memperluas kasanah teori keagenan, khususnya
dalam menjelaskan konflik antara masyarakat dengan pemerintah mengenai
kebijakan keuangan yang dapat memengaruhi kebijakan upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan IPM. Penelitian ini juga
10
diharapkan dapat memperjelas bahwa masalah keagenan akan semakin
berkurang jika ada pihak ketiga yang mampu meyakinkan prinsipal bahwa
apa yang dilaporkan oleh agent adalah benar.
2) Manfaat Praktis : hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi kepada Pemerintah Daerah sekaligus sebagai referensi untuk
menentukan strategi yang tepat guna menggali pendapatan daerah dengan
sumber daya yang dimiliki agar dapat meningkatkan alokasi belanja modal
demi peningkatan kualitas pelayanan publik.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah
kontrak dimana satu atau lebih (prinsipal) melimpahkan wewenang kepada orang
lain (agen) untuk kepentingan mereka. Permasalahan hubungan keagenan ini
mengakibatkan terjadinya informasi asimetris dan konflik kepentingan (Jensen
dan Meckling, 1976).
Teori keagenan berusaha mendeskripsikan hubungan antara agen dan
prinsipal dengan menggunakan mekanisme suatu kontrak. Teori keagenan
menggunakan penekanan pada penyelesaian dua masalah yaitu: a) masalah
keagenan yang muncul ketika keinginan/tujuan antara agen dan prinsipal
bertentangan, dan sulit bagi prinsipal memverifikasi hasil kerja agen yang
sesungguhnya. b) masalah pembagian resiko (risk sharing) yang terjadi ketika
prinsipal dan agen mempunyai preferensi dan sikap yang berbeda terhadap suatu
resiko.
Fokus teori keagenan (Eisenhardt, 1989) adalah penentuan kontrak yang
paling efesien mengatur hubungan antara prinsipal dan agen dengan asumsi
bahwa: a) manusia mempunyai sifat mementingkan kepentingan diri sendiri,
rasionalitas terbatas (Bounded rationality), keengganan resiko (risk aversion); b)
organisasi meliputi konflik kepentingan antar anggotanya, dan c) informasi
merupakan suatu komoditi dan dapat dibeli.
11
12
Teori keagenan dijadikan acuan utama dalam penelitian ini untuk
menjelaskan konflik yang terjadi antara pemerintah daerah dan masyarakat yang
diwakili oleh DPRD, berkaitan dengan kebijakan keuangan Daerah. Hal ini terjadi
akibat adanya perbedaan kepentingan kedua belah pihak yang terikat dalam suatu
kontrak. Dalam kontrak tersebut pemerintah di samping ingin memuaskan
prinsipal juga bertujuan untuk memaksimalkan kepentingannya.
Kaitan teori keagenan dalam penelitian ini dapat dilihat melalui hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan juga hubungan
masyarakat dengan pemerintah daerah. Hubungan antara masyarakat dengan
pemerintah adalah seperti hubungan antara principal dan agent. Masyarakat yang
diwakili oleh DPRD adalah principal dan pemerintah adalah agent. Agent
diharapkan dalam mengambil kebijakan keuangan menguntungkan principal.
Principal memiliki wewenang pengaturan kepada agent, dan memberikan
sumberdaya kepada agen dalam bentuk pajak, retribusi, dana perimbangan, hasil
pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat, wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah
pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Bila
keputusan agen merugikan bagi principal maka akan timbul masalah keagenan.
Karena tidak mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan oleh agen (assymetric
information) maka principal membutuhkan pihak ketiga yang mampu
meyakinkan prinsipal bahwa apa yang dilaporkan oleh agent adalah benar.
13
2.2 Teori Kontijensi
Hakikat teori kontijensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang dapat
digunakan dalam semua keadaan (situasi) lingkungan. Masuknya pengaruh
variabel lingkungan dalam analisis organisasi diawali dengan kemunculan
pendekatan sistem (system approach) dalam analisis organisasi. Pendekatan teori
kontijensi mengidentifikasi bentuk-bentuk optimal pengendalian organisasi di
bawah kondisi operasi yang berbeda dan mencoba untuk menjelaskan bagaimana
prosedur operasi pengendalian organisasi tersebut.
Penelitian akuntansi keperilakuan pada awalnya dirancang dengan
pendekatan Universalistic approach. Secara umum teori ini menyatakan bahwa
perancangan dan penggunaan desain system pengendalian tergantung
karakteristik organisasi dan kondisi lingkungan dimana sistem tersebut akan
diterapkan. Berdasarkan teori kontinjensi maka terdapat faktor situasional lain
yang mungkin akan saling berinteraksi dalam suatu kondisi tertentu.
Berbagai penelitian yang menggunakan pendekatan kontijensi dilakukan,
dengan tujuan mengidentifikasi berbagai variabel kontijensi yang memengaruhi
perancangan dan penggunaan sistem pengendalian. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan antara satu peneliti dengan peneliti
lainnya sehingga para peneliti berkesimpulan bahwa ada variabel lain yang
memengaruhinya. Govindarajan (1986) dalam Husnatarina dan Nor (2007)
mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan perbedaan dari hasil temuan
tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontijensi (Contijency
approach).
14
Pendekatan kontijensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel
yang dapat bertindak sebagai moderating dan intervening. Murray (1990)
dalam Husnatarina dan Nor (2007) menjelaskan bahwa variabel moderating
adalah variabel yang memengaruhi hubungan antara dua variabel. Dalam
penelitian ini, pendekatan kontijensi akan digunakan untuk mengevaluasi
keefektifan hubungan antara kinerja fiskal daerah dengan IPM. Berdasarkan
pendekatan di atas ada dugaan alokasi belanja modal akan memoderasi
hubungan antara kinerja fiskal daerah dengan IPM.
2.3 Desentralisasi dan Federalisme Fiskal
Secara umum, desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara
teoritis ada beberapa tipe desentralisasi, yaitu desentralisasi politik,
desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Osoro, 2003 dalam
Khusaini, 2006).
Berdasarkan Undang-Undang Nommor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004, tujuan dari desentralisasi fiskal di Indonesia adalah:
1) Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dalam konteks ekonomi makro.
2) Mengoreksi vertical imbalance, yaitu mereduksi ketimpangan antara
keuangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan
dengan memperbesar taxing power daerah.
3) Mengoreksi horizontal imbalance, yaitu memperkecil disparitas antar
daerah dengan mekanisme block grant/transfer dan memperbesar
15
kewenangan daerah untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan sumber daya yang dimiliki.
4) Mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat.
5) Meningkatkan akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi dalam rangka
peningkatan kinerja daerah.
6) Meningkatkan kualitas pelayanan publik.
7) Memperbesar partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor
publik.
Teori federalisme fiskal merupakan teori yang menjelaskan tentang
bagaimana hubungan desentralisasi dengan perekonomian, pelayanan publik,
dan kesejahteraan masyarakat. Dalam berbagai kajian tentang federalisme
fiskal (fiscal federalism), terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan
dampak ekonomi dari desentralisasi, yaitu traditional theories (first
generation theories) dan new perspective theories (second generation
theories). Traditional theories menyatakan terdapat dua keuntungan dari
desentralisasi, yaitu:
1) Hayek (1945) dalam Khusaini (2006) mengemukakan tentang penggunaan
“knowledge in society”, di mana menurut Hayek pengambilan keputusan
yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang
efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya.
2) Tiebout (1956) dalam Khusaini (2006) mengungkapkan terdapat dimensi
persaingan dalam pemerintah daerah dan ia berpandangan bahwa kompetisi
antar pemerintah daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan
16
masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan
selera dan keinginan mereka. Hal ini tidak akan terjadi dalam
pemerintahan sentralistik jika pemerintah pusat menyediakan barang dan
jasa publik secara seragam.
Teori fiscal federalism menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan
tercapai dengan desentralisasi fiskal melalui pelaksanaan otonomi daerah. Dimana
desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan terkait dengan pengambilan
keputusan kepada pemerintah tingkat rendah (Akai and Sakata, 2002) yang
berfungsi untuk meningkatkan efisiensi sektor publik jangka panjang (Faridi,
2011). Aristovnik (2012) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal dapat dibagi
menjadi dua luas kategori yaitu: (i) otonomi fiskal pemerintah daerah, dan (ii)
pentingnya fiskal pemerintah daerah. Dengan menerapkan sistem pemerintahan
terdesentralisasi, pemerintah daerah akan dikejar untuk meningkatkan usahanya
dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik di wilayahnya
(Suhardjanto,dkk., 2009).
Federalisme fiskal menampilkan model normatif yang menggambarkan
pemerintah pusat sebagai penafsir arif aspirasi masyarakat, yang memberikan
arahan dalam aturan-aturan kelembagaan antar pemerintahan untuk menjamin
lembaga-lembaga pemerintah daerah bertindak sesuai keinginan pusat (dengan
asumsi sesuai keinginan seluruh rakyat). Bahkan kalaupun tak semua pemerintah
pusat tidak sedemikian arif, aturan-aturan ini mungkin masih dapat memberikan
rujukan yang bermanfaat dalam hubungan fiskal antar pemerintahan (Bird, 1993
dalam Bird, 1998).
17
2.4 Anggaran Berbasis Kinerja
Anggaran adalah hasil dari perencanaan yang berupa daftar mengenai
bermacam-macam kegiatan terpadu, baik menyangkut penerimaannya maupun
pengeluarannya yang dinyatakan dalam bentuk uang dalam jangka waktu
tertentu (Syamsi, 1994 dalam Hanafi dan Nugroho, 2009). Senada dengan itu,
Mardiasmo (2004) juga menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan
mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu
tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran
adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Anggaran
pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif
dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan
pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja
tersebut atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan defisit atau
surplus.
Anggaran yang disusun oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah akan
disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan yaitu untuk memberikan pelayanan
dan kesejahteraan bagi rakyat. Sesuai amanat UU No. 17 Tahun 2003,
penyusunan anggaran daerah atau sering disebut dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan pendekatan anggaran
berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja merupakan teknik penganggaran
yang mengikuti pendekatan New Public Management. New Public Management
berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan
kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management menimbulkan
18
beberapa konsekuensi bagi pemerintah, di antaranya adalah tuntutan untuk
melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetensi
tender (Hanafi dan Nugroho, 2009). New Public Management memberikan
perubahan manajemen sektor publik yang cukup drastis dari sistem
manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi
model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar.
Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan sederhana, melainkan telah
mengubah peran pemerintah, terutama dalam hal hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat.
2.5 APBD Dalam Era Otonomi Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menurut Mamesah (1995:20)
dalam Halim (2007: 16) adalah rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah,
di mana di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya
guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun
anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan
sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran
dimaksud.
Era pasca reformasi, bentuk APBD mengalami perubahan cukup mendasar.
Bentuk APBD yang baru didasari pada peraturan-peraturan mengenai Otonomi
Daerah terutama UU No. 22/1999 yang telah diubah menjadi UU No. 32/2004
yang telah diubah menjadi UU No. 33/2004, PP No. 105/2000. Akan tetapi,
karena untuk menerapkan peraturan yang baru diperlukan proses, maka untuk
19
menjembatani pelaksanaan keuangan daerah pada kedua era tersebut dikeluarkan
Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.903/2375/SJ tanggal 17
November 2001. Peraturan tersebut dikeluarkan untuk mengakomodasi transisi
dari UU No. 5/1974 ke UU No. 22/1999 yang kini telah diubah menjadi UU No.
32/2004.
Peraturan-peraturan di era reformasi keuangan daerah mengisyaratkan agar
laporan keuangan makin informatif. Untuk itu, dalam bentuk yang baru, APBD
diperkirakan tidak akan terdiri dari dua sisi dan akan dibagi menjadi tiga bagian
yaitu Penerimaan, Pengeluaran dan Pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori
yang baru yang belum ada di era pra reformasi. Adanya pos pembiayaan
merupakan upaya agar APBD makin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari
pendapatan daerah.
2.6 Kinerja Keuangan Daerah (Fiskal)
Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu
hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja
daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu
kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran.
Bentuk keuangan tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur
Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD.
Terkait dengan pentingnya kinerja, maka yang perlu diperhatikan selanjutnya
adalah pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja berfungsi untuk menilai sukses
atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan. Pengukuran kinerja
20
diperlukan untuk menilai tingkat besarnya penyimpangan antara kinerja aktual
dengan kinerja yang diharapkan. Dengan mengetahui penyimpangan tersebut,
dapat dilakukan upaya perbaikan dan peningkatan kinerja (Rai, 2008). Dalam
lingkup perusahaan, pengukuran kinerja perusahaan yang ditimbulkan sebagai
akibat dari proses pengambilan keputusan manajemen merupakan persoalan yang
lebih kompleks dan lebih sulit, karena akan menyangkut masalah efektivitas
pemanfaatan modal, efisiensi dan rentabilitas dari kegiatan perusahaan dan
menyangkut nilai serta keamanan dari berbagai tuntutan dari pihak ketiga
(Helfert, 1982).
Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator
keuangan (Sularso dan Restianto, 2011). Analisis kinerja keuangan pada dasarnya
dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis
sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-
potensi kinerja yang akan berlanjut. Karena menggunakan indikator keuangan,
maka alat analisis yang tepat untuk mengukur kinerja keuangan adalah analisis
keuangan.
Penggunaan analisis rasio sebagai alat analisis keuangan secara luas
telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, namun pada
lembaga publik, khususnya pemerintah daerah, masih sangat terbatas. Hal
tersebut dikarenakan adanya keterbatasan penyajian laporan keuangan pada
pemerintah daerah yang sifat dan cakupannya berbeda dengan penyajian laporan
keuangan oleh perusahaan yang bersifat komersil. Di samping itu, penilaian
keberhasilan APBD sebagai penilaian pertanggungjawaban pengelolaan
21
keuangan daerah lebih ditekankan pada pencapaian target, sehingga kurang
memperhatikan bagaimana perubahan yang terjadi pada komposisi ataupun
struktur APBD (Halim, 2007).
Secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan
kaidah pengukuran dalam analisis rasio terhadap organisasi sektor publik,
khususnya APBD. Namun demikian, analisis terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah tetap harus dilakukan dalam rangka pengelolaan keuangan
daerah yang transparan, efektif, efisien dan akuntabel (Halim, 2007). Beberapa
rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja fiskal daerah di antaranya: Rasio
Pajak, pajak per kapita, upaya pajak, dan ruang fiskal.
2.6.1 Rasio Pajak
Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan
jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara
dalam satu tahun. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara
jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio pajak dapat digunakan
untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, mengukur
kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki. PDRB sangat erat
kaitannya dengan pajak daerah karena dapat menggambarkan kegiatan ekonomi
masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi daerah baik tentunya akan menjadi
potensi penerimaan pajak di wilayah tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam
analisis ini adalah PDRB atas dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah
barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun.
22
Nilai PDRB ini pada umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur
ekonomi yang terjadi di suatu wilayah.
Negara menggunakan GDP sebagai salah satu tolak ukur yang dapat
digunakan untuk mengetahui jumlah pendapatan suatu negara. Produk domestik
bruto (Gross Domestic Product) adalah jumlah produk berupa barang dan jasa
yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara
(domestik) selama satu tahun. Pertumbuhan ekonomi adalah proses peningkatan
produksi barang dan jasa dalam keadaan ekonomi masyarakat suatu
perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat ekonomi yang
dicapai tahun tertentu lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Sehingga tingkat
kenaikan GDP yang dapat menyebabkan perubahan rasio pendapatan negara
karena GDP merupakan pembilang dari perhitungan Tax Ratio (Sumitro dalam
Danny 2013).
2.6.2 Pajak Per Kapita
Pajak per kapita memang belum banyak digunakan dalam menghitung
tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber pendapatan daerah. Namun, pajak
per kapita dapat digunakan sebagai alternatif alat hitung efektifitas
pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan perbandingan antara
jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah
penduduknya. Pajak per kapita menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada
pajak daerah. Semakin tinggi pajak per kapita akan meningkatkan PAD, akan
semakin tinggi dana yang tersedia untuk dialokasikan (salah satunya alokasi ke
23
belanja modal) sehingga semakin tinggi stimulus peningkatan indeks
pembangunan manusia.
Gregory dalam DJPK (2013) menekankan bahwa rasio pajak per PDB
merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun, semakin tinggi tingkat
persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga
ukuran tersebut dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu, seperti statistik yang
lebih baik, pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan. Pajak per kapita
dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita, sehingga dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Pajak PDRB Pajak Per Kapita = X X 100% ……….(1)
PDRB Jumlah Penduduk
2.6.3 Upaya Pajak
Upaya pajak merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan
dengan kinerja keuangan daerah. Upaya pajak didefinisikan sebagai rasio antara
penerimaan aktual di dalam juridiksi yang dihasilkan dengan menerapkan tarif
pajak terhadap apa yang dapat ditingkatkan dengan menerapkan tarif pajak
standar. Upaya pajak berhubungan dengan indeks kinerja fiskal yang
menunjukkan apabila indeks kinerja fiskal yang semakin tinggi menunjukkan
bahwa daerah yang bersangkutan memiliki upaya pajak yang semakin besar yang
berarti pula memiliki posisi fiskal yang semakin kuat. Dengan demikian posisi
fiskal dapat dihitung atau didefinisikan sebagai : (1) rasio antara kapasitas fiskal
24
dengan kebutuhan fiskal dan atau (2) rasio antara tingkat kinerja fiskal dengan
upaya fiskal (Nanga, 2005).
Sedangkan menurut Adi (2006), upaya pajak dapat digunakan untuk
menganalisis posisi fiskal suatu daerah yaitu dengan membandingkan
penerimaan pajak terhadap kapasitas fiskal. Dengan demikian posisi fiskal
sama dengan upaya pengumpulan pajak. Nilai upaya pajak yang diperoleh dari
perbandingan penerimaan pajak terhadap kapasitas fiskal tersebut berkisar 0-
1. Untuk menentukan fiskal di suatu daerah apakah lemah atau kuat
tergantung standar yang digunakan. Secara sederhana disebutkan, bila upaya
fiskal mendekati satu maka dapat dikatakan posisi fiskal suatu daerah kuat,
dan bila mendekati 0 posisi fiskal lemah.
Upaya pajak dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan pajak dengan
kapasitas atau kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang
digunakan untuk mengetahui kemampuan membayar masyarakat adalah produk
domestik regional bruto. Dalam mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah
dari sisi pendapatan secara makro upaya pajak diukur dengan
membandingkan realisasi PAD terhadap PDRB. Indikator ini mengukur
sejauh mana pemerintah daerah menciptakan pendapatan (generating income)
berdasarkan kapasitas dan potensi lingkungan ekonomi di daerahnya
(BAPPENAS). Upaya pajak dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Realisasi PADUpaya pajak = x 100% ………………………… (2)
PDRB
25
Upaya pajak merupakan aspek relevan bila dikaitkan dengan tujuan otonomi
daerah, yaitu peningkatan kemandirian daerah. Kemandirian daerah seringkali
diukur dengan menggunakan PAD, dimana pajak daerah dan retribusi daerah
menjadi komponen PAD yang memberikan kontribusi yang sangat besar.
2.6.4 Ruang Fiskal
Ruang fiskal merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang
dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai
kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki
suatu daerah maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh
pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan
yang menjadi prioritas daerah seperti pembangunan infrastruktur daerah.
Perhitungan ruang fiskal daerah yaitu total Pendapatan Daerah dikurangi
dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya
(earmarked), dan belanja yang sifatnya mengikat yaitu Belanja Pegawai dan
belanja bunga, kemudian dibagi dengan total pendapatannya (DJPK, 2013).
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian
besar anggaran digunakan untuk belanja rutin (belanja pegawai). Memperbesar
ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat
menjadi stimulus perekonomian daerah (DJPK, 2013) dan pada akhirnya dapat
meningkatkan daya saing daerah. Pemerintah Daerah diharapkan dapat membuat
kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Studi
Fajar dan Ghozali (2013) menemukan bahwa rasio ruang fiskal tahun lalu
26
berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya
dengan arah hubungan yang positif.
Ruang fiskal merupakan bagian yang harus mendapat perhatian serius. Ruang
fiskal dapat diciptakan dengan meningkatkan pendapatan asli daerah dan
meningkatkan efisiensi anggaran. Ruang fiskal yang tercipta tahun lalu dapat
dijadikan tolok ukur untuk merancang ruang fiskal tahun berikutnya, bagaimana
cara meningkatkannya, menggunakan strategi apa, dan di sektor apa saja efisiensi
harus ditingkatkan. Dengan demikian, alokasi belanja, terutama belanja modal,
dapat direncanakan sesuai dengan prioritas pembangunan di daerah (Hidayat
2013).
Tinjauan dari sisi teori keagenan, pengelolaan ruang fiskal daerah dapat
menyebabkan munculnya masalah-masalah keagenan, terutama pada upaya
memperbesar ruang fiskal melalui efisiensi belanja. Sebagaimana telah umum
diketahui bahwa potensi penyelewengan keuangan daerah melalui belanja cukup
besar selama ini yang diindikasikan oleh banyaknya kasus korupsi terkait dengan
belanja-belanja daerah. Upaya efisiensi belanja tentu akan menimbulkan konflik
di antara pihak-pihak yang mempunyai kepentingan di dalamnya, dalam hal ini
eksekutif dan legislatif. Jika demikian, maka usaha untuk memperbesar ruang
fiskal akan menemui tantangan berat sehingga akan membawa dampak pada
kebijakan pengalokasian belanja, khususnya belanja modal (Hidayat 2013).
Perhitungan ruang fiskal daerah yaitu total Pendapatan Daerah dikurangi
dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya
27
(earmarked), dan belanja yang sifatnya mengikat yaitu Belanja Pegawai dan
Belanja Bunga, kemudian dibagi dengan total pendapatannya (DJPK, 2013).
Kebijakan fiskal terdiri dari kinerja fiskal yang meliputi sejumlah konsep
yang saling berhubungan. Konsep-konsep tersebut adalah kapasitas fiskal (fiscal
capacity), kebutuhan fiskal (fiscal need), upaya fiskal (fiscal effort), dan tingkat
kinerja fiskal (fiscal performance level). Dalam hal ini, kemampuan suatu daerah
(jurisdiksi) untuk menjalankan tugas fiskalnya sangat ditentukan oleh posisi fiskal
dari daerah tersebut, dimana posisi fiskal ditentukan oleh kapasitas fiskal relatif
terhadap kebutuhan fiskalnya yakni besarnya pengeluaran yang diperlukan untuk
menyediakan layanan publik (Nanga, 2005).
Kapasitas fiskal dapat diartikan sebagai kemampuan dari suatu juridiksi
untuk meningkatkan penerimaan untuk membiayai pengeluaran atau layanan
publik yang menjadi tanggungannya. Kebutuhan fiskal mengukur besarnya
pengeluaran di daerah yang diperlukan untuk menjamin tingkat kinerja atau
layanan standar. Nilai ini dihitung dari jumlah penduduk yang menjadi sasaran
dengan biaya yang diperlukan untuk menyediakan tingkat layanan standar.
Konsep kebutuhan fiskal menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah
dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pembangunan
daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Secara teori
kebutuhan fiskal bukan ditentukan oleh penerimaan daerah namun justru
sebaliknya, yaitu penerimaan daerahlah yang dipengaruhi oleh kebutuhan daerah
(Rindayati, 2009).
28
Upaya fiskal merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan
dengan kinerja keuangan daerah. Upaya fiskal didefinisikan sebagai rasio antara
penerimaan aktual di dalam juridiksi yang dihasilkan dengan menerapkan
tarifpajak terhadap apa yang dapat ditingkatkan dengan menerapkan tarif pajak
standar. Upaya fiskal berhubungan dengan indeks kinerja fiskal yang
menunjukkan apabila indeks kinerja fiskal yang semakin tinggi menunjukkan
bahwa daerah yang bersangkutan memiliki upaya fiskal yang semakin besar yang
berarti pula memiliki posisi fiskal yang semakin kuat. Dengan demikian posisi
fiskal dapat dihitung atau didefinisikan sebagi : (1) rasio antara kapasitas fiskal
dengan kebutuhan fiskal dan atau (2) rasio antara tingkat kinerja fiskal dengan
upaya fiskal (Nanga, 2005).
Kemandirian fiskal daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi
dan lain-lain. Karena itu otonomi daerah dan pembangunan daerah bisa
diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti
bahwa pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap
pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD
seperti pajak, retribusi dan sebagainya. Untuk mengukur derajat kemandirian
fiskal daerah/derajat otonomi fiskal daerah yaitu menggunakan rasio antara PAD
dengan total penerimaan APBD pada tahun yang sama, tidak termasuk transfer
dari pemerintah pusat (Radianto, 1997; Thesaurianto, 2007).
Keadaan fiskal daerah yang terdiri atas penerimaan dan pengeluaran daerah
akan memengaruhi kinerja perekonomian daerah berupa PDRB, penyerapan
29
tenaga kerja serta produksi, dan ketahanan pangan. Kinerja perekonomian akan
memengaruhi ketahanan pangan. Kondisi ketahanan pangan akan memengaruhi
kinerja fiskal karena kapasitas fiskal daerah akan dipengaruhi oleh kondisi
masyarakatnya. Keadaan masyarakat dengan daya beli rendah akan menghasilkan
pendapatan pajak daerah yang rendah pula sehingga akan menghasilkan kinerja
fiskal yang rendah (Situmorang, 2009).
2.7 Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ekonomi
Kebijakan Fiskal diberlakukan pemerintah sebagai sarana fasilitasi dalam
penstabilan anggaran keuangan. Kebijakan fiskal berperan dalam memacu laju
pertumbuhan daerah sebagai dasar pembangunan nasional. Kebijakan fiskal
sebagai sarana menggalakkan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan
berikut : 1) untuk meningkatkan laju investasi; 2) untuk mendorong investasi
optimal secara sosial; 3) meningkatkan kesempatan kerja; 4) untuk meningkatkan
stabilitas ekonomi ditengah ketidakstabilan internasional; 5) untuk
menanggulangi inflasi; dan 6) untuk meningkatkan dan mendistribusikan
pendapatan nasional (Rindayati, 2009). Dalam hal ini kebijakan fiskal merujuk
kepada ukuran-ukuran fiskal yang komplek seperti pajak, subsidi dan pengeluaran
pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dengan mengontrol antara
15 sampai 50 persen dari GDP, pemerintah merupakan kekuatan utama dalam
menggerakkan perekonomian dibanyak negara berkembang. Jadi berdasarkan
volume, kebijakan fiskal berpengaruh secara substansial pada semua lingkaran
ekonomi. Kebijakan fiskal memengaruhi kegiatan perekonomian melalui : 1)
30
alokasi dari sumber anggaran terhadap berbagai kegiatan yang merupakan
pengeluaran publik, 2) bentuk-bentuk pembiayaan dalam pengeluaran pemerintah
dan 3) keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah (Todaro,
2000; Musgrave and Peggy, 1989; Jhingan, 2000; Rindayati, 2009).
Tantangan dalam penerapan desentralisasi fiskal tidak hanya dalam
penentuan strategi pembiayaan yang tepat tetapi juga kepada masalah
pengendalian defisit anggaran. Defisit anggaran merupakan penyebab utama
ketidakseimbangan makroekonomi, dan mengurangi defisit anggaran merupakan
komponen utama pada kebanyakan program penyesuaian. Secara prinsip
pengurangan defisit anggaran dapat dilakukan melalui dua hal : 1) dapat dikurangi
melalui pengeluaran anggaran, dan 2) peningkatan pendapatan pemerintah.
Walaupun kedua pendekatan tersebut digunakan secara bersamaan,
penekanan diberikan kepada pendekatan pertama karena alasan sebagai berikut :
1) Pengurangan pengeluaran anggaran lebih mudah, lebih substansial dan lebih
cepat pengurangannya dibandingkan meningkatkan pajak serta peningkatan pajak
pendapatan sering memerlukan perubahan dalam sistem pajak dan aturan
mengenai pajak yang memakan waktu. 2) Tujuan utama dari program
penyesuaian secara struktural adalah dalam arti luas mengurangi aturan negara
dalam perekonomian dan menyiapkan insentif untuk meningkatkan produksi serta
peningkatan pajak untuk mengelola tingkat pengeluaran yang ada akan
bertentangan dengan tujuan dari program penyesuaian struktural (Jhingan, 2000;
Todaro, 2000).
31
Dampak dari pengurangan defisit anggaran dan pengaruhnya terhadap
ketahanan pangan dapat dikaji lebih lanjut melalui : 1) pengurangan tenaga kerja
di sektor publik dan upah, 2) pengurangan investasi publik, 3) pengurangan
subsidi dan 4) pengurangan/pemotongan pelayanan publik. Kebijakan fiskal
dengan pengurangan pengeluaran publik akan mempengaruhi ekonomi pangan
dan ketahanan pangan melalui pengaruh pada harga dan volume dari penawaran
dan permintaan tenaga kerja, kredit, komoditi yang dipasarkan dan menyebabkan
perubahan dalam infrastruktur sosial dan ekonomi. Penekanan khusus pada
pendapatan rumah tangga, permintaan pangan dan produksi pangan. Arah dan
intensitas dari pengaruh tersebut tergantung pada pendekatan terhadap
pengeluaran untuk publik, kondisi sosial dan ekonomi suatu negara, kerangka
waktu dan pada suksesnya program penyesuaian yang menyebabkan pertumbuhan
ekonomi (FAO, 1997 ; Rindayati, 2009).
2.8 Belanja Modal
Belanja modal merupakan salah satu komponen belanja langsung yang
digunakan untuk membiayai kebutuhan investasi. Belanja modal yaitu
pengeluaran yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan dapat menambah
aset pemerintah yang selanjutnya meningkatkan biaya pemeliharaan (Mardiasmo,
2004).
Pengertian belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang
memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya
32
adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau
menambah masa manfaat, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas asset
(Standar Akuntansi Pemerintah/SAP) Dalam SAP, belanja modal dapat
dikategorikan ke dalam 5 (lima) kategori utama antara lain, belanja modal tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, serta
belanja modal fisik lainnya.
Halim, (2007) membagi belanja modal menjadi 2 (dua) bagian : 1) Belanja
publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh
masyarakat umum. Contoh belanja publik: pembangunan jembatan dan jalan raya,
pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans. 2) Belanja
aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh
masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur, seperti pembelian
kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan dan pembangunan rumah
dinas.
Belanja Modal memiliki peran yang sangat penting guna meningkatkan
infrastruktur publik, sehingga dapat mendukung peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Mardiasmo (2009:93) menyatakan bahwa secara normatif semakin
tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan
publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik
terhadap pembangunan.
Pembangunan sarana dan prasarana oleh pemerintah daerah berpengaruh
positif pada pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2004). Peningkatan pelayanan
sektor publik secara berkelanjutan akan meningkatkan sarana dan prasarana
33
publik, investasi pemerintah juga meliputi perbaikan fasilitas pendidikan,
kesehatan, dan sarana penunjang lainnya. Syaratan fundamental untuk
pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang
seimbang dengan pertambahan penduduk. Pembentukan modal tersebut harus
didefinisikan secara luas sehingga mencakup semua pengeluaran yang
sifatnya menaikan produktivitas (Ismerdekaningsih dan Rahayu, 2002).
Dengan ditambahnya infrastruktur dan perbaikan infrastruktur yang ada oleh
pemerintah daerah, diharapkan akan memacu pertumbuhan perekonomian di
daerah (Harianto dan Adi, 2006). Daniel (2014) menemukan bahwa keserasian
belanja daerah berpengaruh positif dan signifikan pada variabel daya saing. Ini
berarti semakin tinggi alokasi belanja modal semakin tinggi daya saing daerah.
2.9 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
IPM merupakan sebuah indeks komposit (gabungan) dari indeks pendidikan,
kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan
pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk yang berpendidikan,
sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta mempunyai pendapatan untuk
hidup layak. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata
sederhana dari indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks
harapan hidup, dan indeks standar hidup layak. IPM digunakan sebagai alat ukur
keberhasilan pembangunan di suatu tempat pada suatu waktu dan dapat digunakan
sebagai salah satu petunjuk untuk melihat apakah pembangunan yang telah
dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. Selain itu, IPM juga sebagai alat
34
pemantau yang bisa memberikan perbandingan antar wilayah serta perkembangan
antar waktu sehingga dapat memperlihatkan dampak pembangunan yang
dilakukan pada periode sebelumnya. Sebelum menghitung IPM, setiap komponen
IPM harus dihitung indeksnya. (BPS, 2012a:19). Formula yang digunakan dalam
perhitungan indeks komponen IPM adalah sebagai berikut:
Indeks X(i) = …………………………………… (3)
Keterangan : X(i) = Komponen IPM ke-iX(min) = Nilai minimum dari komponen IPM ke-iX(maks) = Nilai maksimum dari komponen IPM ke-i
Untuk menghitung indeks masing-masing komponen IPM digunakan batas
maksimum dan minimum seperti terlihat dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1Nilai Maksimum dan Minimum dari Setiap Komponen IPM
Komponen IPM Maksimum Minimum Keterangan
1. Angka Harapan Hidup (Tahun) 85 25 Standar UNDP
2. Angka Melek Huruf (Persen) 100 0 Standar UNDP
3. Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 15 0
4. Daya Beli (Rupiah PPP) 732.720a 300.000 (1996)360.000b (1999,dst)
Pengeluaran per Kapita RillDisesuaikan
Keterangan:a) Perkiraan maksimum pada PJP II tahun 2018b) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru
Selanjutnya nilai IPM dapat dihitung sebagai berikut:
IPM j = ………………………………………… (4)
Sumber: BPS, 2012b
35
Keterangan: Indeks X(i,j) = Indeks komponen IPM ke I untuk wilayah ke-j
I = 1,2,3 (urutan komponen IPM)J = 1,2 ……….k (wilayah)
Rumus yang digunakan dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia
menurut Badan Pusat Statistik, 2012 adalah sebagai berikut :
IPM = 1/3 (Indeks X1+Indeks X2+Indeks X3) …………………….. (5)
Dimana : X1 : lamanya hidup X2 : tingkat pendidikan X3 : standar hidup layak yang menggunakan indikator kemampuan
daya beli
Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari
pembangunan dan bukan alat dari pembangunan. Ini sependapat dengan Anand
dan Sen (2000) yang mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk primer dan
sarana utama dalam pembangunan.
UNDP telah melaksanakan penelitian dan menerbitkan buku Laporan
Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) yang berisi mengenai
perkembangan indeks HDI di seluruh dunia dan pembahasan komprehensif
mengenai suatu aspek pembangunan manusia yang menjadi permasalahan dan
kepedulian global. IPM ini merupakan indeks komposit atas 3 indeks, yaitu :
1) Indeks harapan hidup, sebagai perwujudan dimensi umur panjang dan sehat
(longevity)
2) Indeks pendidikan, sebagai perwujudan dimensi pengetahuan (knowledge)
3). Indeks standar hidup layak, sebagai perwujudan dimensi hidup layak (decent
living)
36
1) Indeks harapan hidup
Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam perhitungannya, yaitu Anak
Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Besarnya nilai maksimum
dan minimumnya telah disepakati oleh semua Negara (175 negara) sebagai
standar UNDP, yakni 85 tahun sebagai batas atas dan 25 tahun sebagai batas
terendah.
2) Indeks pendidikan
Perhitungannya menggunakan dua indikator, yaitu : angka melek huruf (Lit)
dan rata-rata lama sekolah (Man Years School [MYS]). Angka melek huruf adalah
persentase dari penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis
dalam huruf latin atau huruf lainnya. Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata
jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh
jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani atau sedang menjalani. Indikator
ini dihitung dari variabel pendidikan yang tertinggi yang ditamatkan dan tingkat
pendidikan yang sedang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang diduduki.
Pendidikan dan kesehatan yang baik akan meningkatkan kapasitas serta
berperan membuka peluang yang lebih besar untuk memperoleh pendapatan yang
lebih tinggi (Lanjouw dkk, 2001). Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap
tingkat kesejahteraan dan kualitas pembangunan manusia.
3) Indeks standar hidup layak
Perhitungan UNDP menggunakan Produk Domestik Bruto riil yang
disesuaikan, sedangkan BPS menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil
yang disesuaikan dengan formula Atkinson. Agar dapat melihat perkembangan
37
tingkatan dan status IPM UNDP membedakan tingkat IPM berdasarkan empat
klasifikasi yakni: low (IPM kurang dari 50), lower-medium (IPM antara 50 dan
65,99), upper-medium (IPM antara 66 dan 79,99) dan high (IPM 80 ke atas).
Perlu dicatat bahwa IPM mengukur tingkat pembangunan manusia secara
relatif, bukan absolut. Pengukuran IPM telah mengalami beberapa perubahan
sejak pertama kali dicetuskan dan yang terpenting adalah indeks tersebut telah
disederhanakan sehingga sekarang IPM dihitung secara langsung.
2.10 Penelitian Terdahulu
Fhino dan Priyo (2009) meneliti tentang hubungan antara dana alokasi
umum, belanja modal dan kualitas pembangunan manusia, Penelitian ini
mengambil daerah penelitian kabupaten/kota di Jawa Tengah, dengan data DAU,
Belanja Modal, dan Human Development Index (HDI). Jumlah kabupaten dan
kota yang datanya memenuhi syarat untuk diteliti adalah 29 kabupaten dan 6 kota
di Jawa Tengah. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis statistik inferensia
dengan menggunakan regresi sederhana (simple regression). Hasil penelitiannya
adalah belanja modal berpengaruh terhadap IPM atau Human Development Index
(HDI). Hal ini menunjukkan besarnya alokasi belanja modal akan menentukan
pengalokasian dana bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari
tingkat IPM.
Denni (2012) meneliti tentang Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan
Ekonomi, Dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa
Tengah Tahun 2006-2009. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
38
data sekunder yang bersumber pada laporan badan pusat statistik (BPS Jateng)
khususnya data tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Populasi merupakan
keseluruhan subjek penelitian (studi sensus) Hasil penelitiannya menunjukan
perkembangan IPM mengalami peningkatan dengan kategori IPM menengah
selama periode tahun 2006-2009 hingga mampu mencapai target IPM yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan hasil regresi panel menunjukan
kemiskinan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IPM. Pertumbuhan
ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM dan Belanja modal
berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM.
Titin (2012) meneliti tentang Pengaruh Alokasi Belanja Langsung Terhadap
Kualitas Pembangunan Manusia (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Kota
di Sumatera Selatan). Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa data realisasi belanja langsung pemerintah Kabupaten dan Kota di
Sumatera Selatan pada tahun 2010. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis
statistik inferensial dengan menggunakan regresi sederhana (simple regression).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa belanja langsung tidak dapat
memprediksi indeks Pembangunan Manusia.
Lilis dan Yohana (2012) meneliti tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
DAU, DAK, PAD terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal sebagai Variabel Intervening. Populasi yang diamati
dalam Penelitian ini adalah pemerintah Kabupaten dan kota sejawa tengah,
pengambilan sampel dilakukan berdasarkan metode purposive sample. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa Pertumbuhan Ekonomi (PE) terbukti tidak
39
berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM), Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbukti
berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM) dan Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal (PABM) yang diproksikan dengan belanja modal (BM) terbukti
berpengaruh positif terhadap terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Hendarmin, (2012) meniliti tentang Pengaruh Belanja Modal Pemerintah
Daerah dan Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja
dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Barat,
hasil penelitiannya menyatakan bahwa terhadap pertumbuhan ekonomi, hanya
variabel investasi swasta yang memiliki pengaruh signifikan namun koefisiennya
berslope negatif (bertolak belakang dengan teori ekonomi); sementara variabel
belanja modal pemerintah daerah walaupun memiliki slope positif (sesuai dengan
teori ekonomi) namun tidak signifikan. Terhadap kesempatan kerja, hanya
variabel belanja modal yang memiliki pengaruh signifikan dan memiliki koefisien
yang positif (sesuai teori); sementara variabel investasi swasta walaupun memiliki
slope positif (sesuai teori) namun tidak signifikan. Terhadap kesejahteraan
masyarakat, pengaruh belanja modal pemerintah daerah dan investasi swasta
melalui jalur pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja, kedua variabel
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja berpengaruh signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat, namun slope dari pertumbuhan ekonomi menunjukkan
nilai yang negatif (tidak sesuai teori). Secara umum, untuk meningkatkan
40
kesejahteraan di Kalimantan Barat jalur yang dapat digunakan adalah peningkatan
belanja modal pemerintah daerah sehingga dapat memperluas kesempatan kerja,
yang selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Nana dan Dwirandra (2012) meneliti tentang Pengaruh Kinerja Keuangan
Daerah Pada Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Dan Kemiskinan Kabupaten
Dan Kota. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode sampling
jenuh dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
analisis regresi linier berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan Kinerja
keuangan yang terdiri dari rasio kemandirian menunjukan bahwa berpengaruh
positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio
efektivitas, rasio efisiensi, dan pertumbuhan pendapatan tidak berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya antara kinerja keuangan
terhadap pengangguran, menunjukkan bahwa kinerja keuangan berupa rasio
kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, dan pertumbuhan pendapatan tidak
berpengaruh signifikan terhadap pengangguran, sedangkan antara kinerja
keuangan terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa rasio kemandirian
berpengaruh positif secara signifikan terhadap kemiskinan, dan rasio efektivitas,
rasio efisiensi, serta pertumbuhan pendapatan tidak berpengaruh signifikan
terhadap kemiskinan.
Nur (2013) meneliti tentang Pengaruh Pengangguran, Pertumbuhan
Ekonomi, dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pembangunan Manusia
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2011, hasil penelitiannya
menyatakan bahwa pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran
41
pemerintah baik secara parsial maupun bersama-sama berpengaruh secara
signifikan terhadap IPM. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah menggunakan analisis regresi data panel. model efek tetap (FEM) dengan
metode Generalized Least Square (GLS).
Setiawan dan Hakim (2013) meneliti tentang Indeks Pembangunan Manusia
Indonesia. Penelitian ini menganalisis perilaku Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Data-data yang digunakan adalah data sekunder dari berbagai sumber
data, yakni buku laporan, dokumen, dan catatan-catatan yang berkaitan dengan
judul penelitian dari Badan Pusat Statistik. Dengan menggunakan Error
Correction Model (ECM), paper ini menemukan bahwa PDB dan PPN
berpengaruh terhadap IPM dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Estimasi model ECM menemukan bahwa krisis ekonomi tahun 2008
berpengaruh terhadap IPM, sementara krisis tahun 1997 dan desentralisasi
pemerintahan tidak berpengaruh terhadap IPM.
Swandewi (2014) meneliti tentang pengaruh dana perimbangan dan
kemandirian keuangan daerah terhadap keserasian anggaran dan kesejahteraan
masyarakat kada Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, hasil penelitiannya
menyatakan bahwa dana perimbangan dan kemandirian keuangan daerah
berpengaruh positif terhadap keserasian anggaran, namun dana perimbangan tidak
signifikan pada tingkat signifikansi 5 persen. Kemandiriaan keuangan daerah,
dana perimbangan, dan keserasian keuangan daerah berpengaruh positif terhadap
kesejahteraan masyarakat. Dana perimbangan tidak berpengaruh signifikan secara
tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui keserasian anggaran,
42
sedangkan kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan secara tidak
langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui keserasian anggaran,
penelitiannya menggunakan metode analisis jalur yang merupakan pengembangan
dari metode regresi.
Selanjutnya Amalia dan Purbadharmaja (2014) dalam penelitiannya yang
berjudul Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah Dan Keserasian Alokasi
Belanja Terhadap Indeks Pembangunan Manusia, menyatakan bahwa kemandirian
keuangan daerah dan keserasian alokasi belanja secara simultan berpengaruh
signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi
Bali tahun 2008-2012. Kemandirian keuangan daerah secara parsial berpengaruh
positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di
Provinsi Bali tahun 2008-2012. Keserasian alokasi belanja secara parsial
berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia
kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2008-2012. Berdasarkan hal tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan alokasi belanja pemerintah dalam pelayanan
publik terutama di bidang kesehatan dan pendidikan berpengaruh terhadap indeks
pembangunan manusia. Teknik analisis yang digunakan adalah rasio keuangan
yang digunakan untuk mengetahui kemandirian keuangan daerah dan keserasian
alokasi belanja serta regresi linear berganda.
43
BAB III
RERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Rerangka Berpikir
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
alokasi belanja modal dalam memoderasi hubungan kinerja keuangan daerah
pada Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan latar belakang yang sudah
diuraikan sebelumnya, maka peneliti dapat merumuskan permasalahan yang akan
diteliti, kemudian membangun hipotesis berdasarkan kajian teori dan penelitian
sebelumnya. Untuk mengetahui apakah hipotesis diterima atau ditolak, peneliti
melakukan moderated regression analysis terhadap data-data yang telah
dikumpulkan. Akhirnya peneliti menarik simpulan dari hasil analisis yang
dilakukan. Rerangka berpikir dalam penelitian ini tersaji pada Gambar 3.1.
3.2 Konsep Penelitian
Konsep penelitian merupakan hubungan logis dari landasan teoritis dan
kajian empiris yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan
kerangka berpikir penelitian yang juga telah dijelaskan pada bagian sebelumnya
maka dapat dikembangkan model penelitian seperti tersaji pada Gambar 3.2.
43
44
Kajian Teori:1. Teori Keagenan2. Teori Kontijensi
Gambar 3.1. Rerangka Berpikir
Kajian Empiris:1. Fhino dan Priyo (2009)2. Agus Kurniawan (2011)3. Denni (2012) 4. Titin (2012) 5. Lilis dan Yohana (2012)6. Hendramin (2012)7. Nana dan Dwirandra (2012)8. Nur (2013)9. Setiawan & Hakim (2013)10. Amalia dan Purbadharmaja
(2014)11. Swandewi (2014)12. Oates, W.E. 197213. Helfert, Erich A. 198214. Chenhall, Robert H. and Peter
Brownell. 198815. Eisenhardt K.198916. Bland, Robert dan Samuel, Nunn.
199217. Bird, Richard M. 199318. Haq, Mahbub ul .199519. Lin, J.Y., and Liu, Z. 200020. Lanjouw, P. M. 200121. Akai, N. and Sakata, M. 200222. Heller Peter S. 200523. Alexiou, Constantinous. 2009. 24. Bodman, P., Kelly Ana Heaton
and Andrew Hodge. 200925. Faridi, M. Z. 201126. Aristovnik, A. 201227. Bataineh, Ibrahem M.A. 201228. Felix, Olurankinse. 2012
Uji Statistik
Rumusan Masalah
Hipotesis
Hasil dan Pembahasan
Simpulan dan Saran
Kemampuan Alokasi Belanja Modal Memoderasi Pengaruh
Kinerja Keuangan Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia
45
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, kajian teori yang relevan, dan penelitian
terdahulu, berikut ini dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut:
1) Kemampuan Alokasi Belanja Modal Memoderasi Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Berupa Rasio Pajak (Tax Ratio), pada IPM
Secara sederhana, kinerja seseorang atau organisasi dikatakan baik apabila
hasil yang dicapai sesuai dengan target yang direncanakan. Apabila pencapaian
melebihi target, maka kinerja dikatakan sangat baik, sedangkan apabila lebih
rendah dari target maka dapat dikatakan bahwa kinerjanya buruk. Kinerja adalah
pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi
(Sularso dan Restianto, 2011).
Bhakti dan Hakim, 2013, dalam penelitiannya menemukan bahwa PDB dan
PPN berpengaruh terhadap IPM dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Estimasi model ECM menemukan bahwa krisis ekonomi tahun 2008
ALOKASI BELANJA MODAL
(X5)
KINERJA KEUANGAN DAERAH
- Rasio pajak (Tax ratio) (X1)
- Pajak per Kapita (Tax per Capita) (X2)
- Upaya pajak (Tax Effort ) (X3)
- Ruang fiskal (Fiscal Space) (X4)
Gambar 3.2 Konsep Penelitian
INDEKS PEMBANGUNAN
MANUSIA(Y)
ALOKASI BELANJA MODAL
(X5)
KINERJA KEUANGAN DAERAH
- Rasio pajak (Tax ratio) (X1)
- Pajak per Kapita (Tax per Capita) (X2)
- Upaya pajak (Tax Effort ) (X3)
- Ruang fiskal (Fiscal Space) (X4)
ALOKASI BELANJA MODAL
(X5)
46
berpengaruh terhadap IPM, sementara krisis tahun 1997 dan desentralisasi
pemerintahan tidak berpengaruh terhadap IPM.
Tingginya rasio pajak menggambarkan tingginya sumber penerimaan daerah
dari pajak. Sedangkan rendahnya rasio pajak menggambarkan rendahnya potensi
ekonomi di daerah yang bersangkutan dalam penerimaan pajak daerah. Rasio
pajak ini juga dapat menggambarkan sumber potensi pada sektor ekonomi pada
suatu daerah (Sudarwanto, 2013).
Berdasarkan bukti-bukti empiris dan kajian teoritis tersebut di atas,
diindikasikan bahwa alokasi belanja modal mampu memoderasi kinerja keuangan
daerah berupa rasio pajak (tax ratio) pada Indeks Pembangunan Manusia.
Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1 : Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa rasio pajak pada IPM.
2) Kemampuan Alokasi Belanja Modal Memoderasi Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Berupa Pajak Per Kapita (Tax Per Capita), pada IPM
Pajak Per Kapita menyoroti pajak daerah sebagai sumber utama PAD yang
diperbandingkan dengan PDRB dan jumlah penduduk. Pajak Per Kapita memang
belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai
sumber Pendapatan Daerah. Namun, pajak Per Kapita dapat digunakan
sebagai alternatif alat hitung efektifitas pemungutan pajak daerah. Pajak Per
Kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang
dihasilkan suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Pajak Per Kapita
menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah. Semakin tinggi pajak
Per Kapita akan meningkatkan PAD, akan semakin tinggi dana yang tersedia
47
untuk dialokasikan (salah satunya alokasi ke belanja modal) sehingga semakin
tinggi stimulus peningkatan IPM.
Sumardjoko, 2013, hasil penelitiannya membuktikan bahwa dana otonomi
khusus dan belanja modal berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan
manusia, baik pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap indeks
pembangunan manusia melalui intervening belanja modal pada tahun 2002-2012.
Penelitian ini mununjukkan bahwa belanja modal berperan sebagai variabel
intervening antara dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia
daerah Papua dan Papua Barat.
Penyediaan infrastruktur di berbagai bidang baik jaringan, jalan, sarana
pendidikan dan juga pembangunan fasilitas kesehatan diharapkan mendorong
kualitas hidup dan tingkat kecerdasan masyarakat. Belanja modal daerah seperti
penyediaan gedung, sarana dan prasarana sekolah menciptakan kenyamanan
pendidikan yang selanjutnya mendorong kualitas pembangunan manusia (Christy,
2009).
Berdasarkan bukti-bukti empiris dan kajian teoritis tersebut di atas,
diindikasikan bahwa alokasi belanja modal mampu memoderasi Kinerja
Keuangan Daerah berupa pajak Per Kapita (tax per capita) pada Indeks
Pembangunan Manusia. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut:
H2 : Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa rasio pajak Per Kapita pada indeks pembangunan manusia.
48
3) Kemampuan Alokasi Belanja Modal Memoderasi Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Berupa Upaya Pajak (Tax Effort), pada IPM
Upaya Pajak adalah rasio antara penerimaan pajak dengan kapasitas atau
kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk mengetahui daya bayar masyarakat adalah Produk domestic
Regional bruto (PDRB). Jika PDRB suatu daerah meningkat maka kemampuan
daerah dalam membayar (ability to pay) juga akan meningkat dan ini berarti
bahwa administrasi penerimaan daerah dapat meningkatkan upaya pajaknya agar
penerimaan pajak meningkat (Mardiasmo dan Makhfatih, 2000: 5)
Mulyanto (2007) menyatakan bahwa upaya fiskal atau tax effort adalah
jumlah pajak yang sungguh-sungguh dikumpulkan oleh kantor pajak dan
dilawankan dengan potensi pajak (tax capacity potensial). Usaha pajak dapat
diartikan sebagai rasio antara penerimaan pajak dengan kapasitas atau
kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang digunakan
untuk mengetahui kemampuan membayar masyarakat adalah produk domestik
regional bruto (PDRB). Jika PDRB suatu daerah meningkat, maka
kemampuan daerah dalam membayar (ability to pay) pajak juga akan
meningkatkan dana yang berhasil di pupuk untuk mendanai belanja daerah.
Martini dan Dwirandra 2015, dalam penelitiannya menyatakan bahwa
kinerja keuangan yang terdiri dari rasio ketergantungan berpengaruh negatif dan
signifikan pada alokasi belanja modal, rasio efektivitas PAD berpengaruh positif
namun tidak signifikan pada alokasi belanja modal, rasio tingkat pembiayaan
SiLPA berpengaruh negatif dan signifikan pada alokasi belanja modal, rasio ruang
fiskal berpengaruh positif dan signifikan pada alokasi belanja modal, rasio
49
efisiensi berpengaruh negatif dan signifikan pada alokasi belanja modal, dan rasio
kontribusi BUMD berpengaruh positif namun tidak signifikan pada alokasi
belanja modal.
Berdasarkan uraian di atas disusun hipotesis sebagai berikut:
H3 : Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa upaya pajak pada IPM
4) Kemampuan Alokasi Belanja Modal Memoderasi Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Berupa Ruang Fiskal (Fiscal Space), pada IPM
Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah maka akan
semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk
mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas
daerah seperti pembangunan infrastruktur daerah. Penting bagi pemerintah
daerah untuk menaruh perhatian yang lebih besar terhadap kinerja pengelolaan
keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan secara ekonomis,
efisien, dan efektif atau memenuhi prinsip value for money serta partisipatif,
transparansi, akuntabilitas dan keadilan akan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi serta kemandirian suatu daerah. Dengan demikian maka suatu daerah
yang kinerja keuangannya dinyatakan baik berarti daerah tersebut memiliki
kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah. Alokasi
belanja modal pada infrastruktur dan fasilitas publik yang produktif akan
meningkat sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan
kerja yang pada akhirnya mampu meningkatkan indeks pembangunan manusia.
Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting
karena dapat menjadi stimulus perekonomian daerah. Selain itu, efektifitas dan
50
efisiensi penggunaan anggaran di daerah juga dapat mendukung terciptanya ruang
fiskal (DJPK, 2014), dan pada akhirnya dapat meningkatkan Indeks
Pembangunan Manusia.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin, (1985)
dalam Darwanto (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat
antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas disusun hipotesis sebagai berikut:
H4 : Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa ruang fiskal pada IPM.
51
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan pedoman berisi langkah-langkah yang akan
diikuti dalam melakukan penelitian, atau rancangan penelitian menjelaskan
rencana dari struktur riset yang mengarahkan proses dan hasil penelitian sedapat
mungkin menjadi valid, obyektif, efesien dan efektif (Jogiyanto, 2007).
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya peneliti
merumuskan permasalahan yang akan diteliti, kemudian peneliti membangun
hipotesis sesuai teori yang melandasi dan kajian empiris dari penelitian
sebelumnya.
Berdasarkan hipotesis penelitian terdapat tiga variabel, yaitu variabel kinerja
keuangan daerah (seperti :rasio pajak, pajak per kapita, upaya pajak, ruang fiskal)
sebagai variabel independen, alokasi belanja modal sebagai variabel pemoderasi
dan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel dependen.Variabel tersebut
diperoleh melalui kajian teoritis dan empiris yang dilakukan oleh peneliti.
Hipotesis diuji dengan Moderated Regression Analysis (MRA), yang
terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik terhadap data-data yang dikumpulkan
untuk selanjutnya dilakukan analisis. Setelah diperoleh hasil analisis kemudian
diinterprestasikan berdasarkan kajian teoritis dan empiris untuk menjawab pokok
permasalahan dalam penelitian ini dan sebagai bahan untuk mengkonfirmasi teori
dan penelitian empiris terdahulu. Sehingga dapat ditarik simpulan dan kemudian
51
52
dibuat saran bagi penelitian berikutnya. Rancangan penelitian dapat dilihat pada
Gambar 4.1.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten/Kota Provinsi Bali dengan
sampel penelitiannya adalah data keuangan untuk 6 tahun terakhir (dalam rentang
Hipotesis
Pembahasan Hasil Penelitian
Pengolahan Data
Hipotesis
Kemampuan Alokasi Belanja Modal Memoderasi Pengaruh Kinerja Keuangan DaerahPada Indeks Pembangunan Manusia
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
Rumusan Masalah
Variabel Penelitian: Kinerja Keuangan Daerah, Alokasi Belanja Modal, IPM
Kajian TeoritisKajian Empiris
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
53
waktu Tahun 2008 s/d 2013), dengan pertimbangan karena lebih mencerminkan
kondisi kekinian.
4.3 Penentuan Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berasal dari dokumen-dokumen yang terdapat pada Biro Keuangan Provinsi Bali
seperti Laporan Realisasi APBD Tahun 2008-2013 dan Tabel Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2008-2013 yang dikeluarkan Badan Pusat
Statistik Provinsi Bali.
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data laporan realisasi APBD
tahun 2008-2013 dan data Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Bali tahun
2008-2013 kabupaten/kota di Provinsi Bali.
4.3.2 Sampel
Metode penentuan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan sampel
jenuh. Sugiyono (2010:122) menyatakan sampel jenuh adalah teknik penentuan
sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat di identifikasi sebagai
berikut :
54
1) Variabel dependen/endogen/terikat merupakan variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010:59).
Variabel terikat/bebas dalam penelitian ini adalah IPM (Y).
2) Variabel eksogen/independen/bebas merupakan variabel yang memengaruhi
atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
dependen/terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kinerja keuangan
(X) berupa: Tax Ratio (X1), Ratio Per Capita (X2), Tax Effort (X3), dan
Fiscal Space (X4). Kinerja keuangan daerah yang dimaksud adalah kinerja
keuangan daerah pada tahun t1, sedangkan alokasi belanja modal adalah pada
tahun t0.
3) Variabel moderasi merupakan variabel independen yang berfungsi
menguatkan atau melemahkan hubungan antara variabel independen terhadap
variabel dependen. Salah satu ciri yang penting adalah bahwa variabel ini
tidak dipengaruhi variabel penjelas (Lie, 2009). Variabel moderasi dalam
penelitian ini adalah alokasi belanja modal (X5).
Sharma (1981) dalam Ghozali (2011) mengelompokkan variabel moderator
menjadi tiga kelompok seperti terlihat pada Tabel 4.1 di bawah ini :
Tabel 4.1 Jenis-Jenis Variabel Moderator
Berhubungan dengan kriterion dan atau predictor
Tidak berhubungan dengan kriterion dan
prediktorTidak berinteraksi dengan
predictorIntervening, exogen, antesedent,
prediktor Moderator (Homologizer)
Berinteraksi dengan predictor
Moderator (Quasi Moderator) Moderator (Pure Moderator)
Sumber : Ghozali, (2011)
55
Solimun, (2010) mengklasifikasikan variabel moderasi menjadi 4 (empat)
jenis yaitu pure moderasi (moderasi murni), quasi moderasi (moderasi semu),
homologiser moderasi (moderasi potensial) dan Predictor moderasi (moderasi
sebagai predictor). Masing-masing klasifikasi moderasi dapat diidentifikasi
sebagaimana contoh berikut, jika X adalah variabel predictor, Y variabel
tergantung dan M variabel moderasi maka persamaan regresi yang dapat dibentuk
sebagai berikut :
(1) Ŷ1 = b0 + b1X 1 tanpa melibatkan variabel moderasi
(2) Ŷ1 = b0 + b1X 1+ b2 M1 melibatkan variabel moderasi
(3) Ŷ1 = b0 + b1X 1+ b2 M1 + b3 X1*M1 melibatkan variabel moderasi dan
Interaksi
Secara singkat, 4 jenis klasifikasi variabel moderasi dapat dilihat pada tabel
berikut
Tabel 4.2 Klasifikasi Variabel Moderasi
No. Tipe Moderasi Koefesien
1 Moderasi murni (Pure Moderasi) b2 non significantb3 significant
2 Moderasi semu (Quasi Moderator) b2 significantb3 significant
3 Moderasi potensial (Homologiser Moderasi) b2 non significantb3 non significant
4 Moderasi sebagai predictor (Predictor Moderasi)
b2 significantb3 non significant
Sumber : Solimun (2010)
56
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
Menghindari perbedaan pengertian dan memberikan batasan yang tegas pada
variabel yang diteliti, maka definisi operasional terhadap masing-masing
variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Belanja Modal
Belanja modal adalah jumlah realisasi seluruh belanja pembangunan
seperti infrastruktur, investasi baik belanja langsung maupun belanja tidak
langsung. Belanja modal meliputi belanja tanah, gedung dan bangunan, belanja
peralatan dan mesin, belanja jalan, irigasi dan jaringan dan belanja aset tetap
lainnya. Belanja modal yang dimaksud adalah belanja modal pada t0 karena
dampak realisasi belanja modal pada tahun berjalan baru dirasakan di tahun
berikutnya.
2) Kinerja Keuangan
Definisi operasional dan pengukuran variabel masing-masing komponen
kinerja keuangan seperti: rasio pajak (tax ratio), pajak per kapita (tax per capita),
upaya pajak (tax effort), dan ruang fiskal (fiscal space), adalah sebagai berikut:
(1) Rasio Pajak (Tax Ratio)
Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan
jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara
dalam satu tahun. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara
jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio pajak dapat digunakan
untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, mengukur
kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki.
57
(2) Pajak Per Kapita (Tax per Capita)
Gregory dalam DJPK (2013) menekankan bahwa rasio pajak per PDB
merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun, semakin tinggi tingkat
persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga
ukuran tersebut dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu, seperti statistik yang
lebih baik, pajak perkapita (tax per personal) dapat digunakan.
Pajak PDRB
Tax Per Capita = X X 100% ……… (6)
PDRB Jumlah Penduduk
(3) Upaya Pajak (Tax Effort)
Upaya pajak dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan pajak dengan
kapasitas atau kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator
yang digunakan untuk mengetahui kemampuan masyarakat membayar pajak
adalah produk domestik regional bruto. Dalam mengukur kinerja keuangan
pemerintah daerah dari sisi pendapatan secara makro upaya pajak diukur
dengan membandingkan realisasi PAD terhadap PDRB. Indikator ini
mengukur sejauh mana pemerintah daerah menciptakan pendapatan
(generating income) berdasarkan kapasitas dan potensi lingkungan ekonomi di
daerahnya (BAPPENAS).
Realisasi PADUpaya pajak = x 100% ……………………………..(7)
PDRB
58
(4) Ruang Fiskal (Fiscal Space )
Perhitungan ruang fiskal daerah yaitu total Pendapatan Daerah dikurangi
dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya
(earmarked), dan belanja yang sifatnya mengikat yaitu Belanja Pegawai dan
Belanja Bunga, kemudian dibagi dengan total pendapatannya (DJPK, 2013).
Pendapatan Daerah-Pendapatan Hibah-Belanja Pegawai-Belanja BungaRuang Fiskal = x100%…(8)
Pendapatan Daerah
5) Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia adalah proses yang meningkatkan aspek
kehidupan masyarakat. Aspek terpenting kehidupan ini dilihat dari usia yang
panjang dan hidup sehat, tingkat pendidikan yang memadai, dan standar hidup
yang layak. Empat elemen utama dalam pembangunan manusia, yaitu
produktivitas (productivity), pemerataan (equity), keberlanjutan (sustainability),
dan pemberdayaan (empowerment).
IPM ini merupakan indeks komposit atas 3 indeks, yaitu :
(1) Indeks harapan hidup, sebagai perwujudan dimensi umur panjang dan sehat
(longevity)
(2) Indeks pendidikan, sebagai perwujudan dimensi pengetahuan (knowledge)
(3) Indeks standar hidup layak, sebagai perwujudan dimensi hidup layak (decent
living)
Rumus yang digunakan dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (Badan
Pusat Statistik, 2012) adalah sebagai berikut:
59
IPM = 1/3 (Indeks X1+Indeks X2+Indeks X3)……………………………….... (9)
Dimana : X1 : lamanya hidup X2 : tingkat pendidikan X3 : standar hidup layak yang menggunakan indikator kemampuan
daya beli
4.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang
terdapat dalam penelitian ini adalah Moderated Regression Analysis (MRA).
Tahap analisis yang dilakukan adalah uji asumsi klasik, perumusan model
Moderated Regression Analysis (MRA), koefesien determinasi, uji kelayakan
model (uji f), uji parsial (uji t) dan uji hipotesis yang dijelaskan sebagai berikut:
4.5.1 Uji Asumsi Klasik
Hasil estimasi regresi yang dilakukan harus benar-benar bebas dari adanya
gejala multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas maka dilakukan
suatu pengujian yang disebut sebagai uji asumsi klasik.
1) Uji Normalitas
Utama (2009:89), menyatakan uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah
dalam residual dari model regresi yang dibuat berdistribusi normal ataukah tidak.
Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi residual yang normal atau
mendekati normal, jika tidak normal, maka prediksi yang dilakukan dengan data
tersebut akan tidak baik, atau dapat memberikan hasil prediksi yang menyimpang.
Untuk menguji apakah data berdistribusi normal atau tidak, dapat dilakukan
dengan uji Kolmogorov—Smirnov, apabila sig (2-tailed) lebih besar dari α =0,05,
maka data tidak berdistribusi normal.
60
2) Uji Autokorelasi
Utama (2009:92) menyatakan uji autokorelasi dilakukan untuk melacak
adanya korelasi auto atau pengaruh data dari pengamatan sebelumnya dalam
model regresi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang
waktu berkaitan satu sama lainnya. Uji autokorelasi dapat dilakukan dengan Uji
Durbin-Watson, dengan kriteria sebagai berikut:
du < d < 4-du berarti tidak ada auto korelasi
dl > d > 4-dl berarti ada auto korelasi
dl ≤ d ≤ du atau 4-du ≤ d ≤ 4-dl berarti tidak ada keputusan
Salah satu metode untuk mengobati autokorelasi adalah dengan merubah data
mentah variabel-variabel yang digunakan menjadi bentuk logaritma natural
(Ghozali, 2001:125).
3) Uji Multikolineritas
Utama (2009:94) menyatakan bahwa uji multikolinearitas bertujuan untuk
menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel
bebas, karena model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara
variabel bebas. Untuk mendeteksi hal ini dapat dilihat dengan menganalisis matrik
korelasi variabel-variabel independen. Jika antar variabel independen ada korelasi
yang cukup tinggi (umumnya di atas 0,90), maka hal ini merupakan indikasi
adanya multikolinearitas. Cara lainnya adalah dengan melihat nilai VIF dan
tolerance. Agar bebas multikolinearitas, nilai VIF harus lebih kecil dari 10 dan
nilai tolerance harus dibawah 0,1 (Ghozali, 2011:105). Jika data mengandung
61
gejala multikolinearitas, transformasi variabel dapat dilakukan dalam bentuk
logaritma natural (Ghozali, 2011:110).
4) Uji Heteroskedastisitas
Utama (2009:94) menyatakan bahwa uji heteroskedastisitas bertujuan
menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual
satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah yang
tidak mengandung gejala heteroskedastisitas atau mempunyai varians yang
homogen. Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
umeregresi nilai absolute residual dari model yang diestimasi terhadap variabel
bebas, jika tidak ada satupun variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap
absolute residual atau nilai signifikansinya lebih besar dari α = 0,05, maka tidak
terjadi gejala heteroskedastisitas. Untuk mengatasi gejala heteroskedastisitas,
transformasi data dalam bentuk logaritma sering mampu mengurangi
heteroskedastisitas (Ghozali, 2011:145).
4.5.2 Moderated Regression Analysis (MRA)
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menguji apakah suatu variabel
merupakan variabel moderating yakni dengan melakukan uji interaksi. Regresi
dengan melakukan uji interaksi antarvariabel disebut dengan Moderated
Regression analysis (Utama, 2009). MRA merupakan aplikasi khusus regresi
berganda liniear dimana dalam persamaan regresinya mengandung unsur
interaksi (perkalian dua atau lebih variabel independen) (Liana, 2009).
62
Model analisis regresi moderasian menguji hipotesis dengan tingkat
keyakinan 5% dapat dilakukan dengan bantuan program SPSS. Model regresi
dilakukan dengan uji t. Apabila tingkat signifikansi t ≤ α 0,05 maka hipotesis
diterima atau sebaliknya jika tingkat signifikansi t > 0,05 maka hipotesis ditolak.
Analisis regresi moderasi digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel-
variabel yang diteliti, utamanya apakah variabel moderasi alokasi belanja modal
memperkuat atau memperlemah pengaruh kinerja keuangan daerah pada indeks
pembangunan manusia (Ghozali, 2006).
Model persamaan regresi yang akan diuji adalah sebagai berikut:
Y=α+b1X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + b5 X5 + e ..……………………………(10)
Y=α+b1X1+b2X2+b3X3+b4.X4+b5X5+b6X1.X5+b7X2.X5+b8X3.X5+b9X4.X5 +e..(11)
Keterangan:Y = Variabel Indeks Pembangunan ManusiaX1 = Variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa tax ratioX2 = Variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa Rasio tax per capitaX3 = Variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa Rasio tax effortX4 = Variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa Rasio fiscal spaceX5 = Variabel Alokasi Belanja Modal X1.X5 = Interaksi antara variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa tax ratio
dengan Alokasi Belanja Modal X2.X5 = Interaksi antara variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa Rasio
tax per capita dengan Alokasi Belanja Modal X3.X5 = Interaksi antara variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa tax
effort dengan Alokasi Belanja Modal X4.X5 = Interaksi antara variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa fiscal
space dengan Alokasi Belanja Modal α = Konstantab = Koefesien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)e = Nilai residu
Variabel perkalian antara X1, X2, X3, X4 dengan X5 atau X1.X5, X2.X5, X3.X5, X4.X5
merupakan variabel moderating karena menggambarkan pengaruh moderasi
variabel X5 terhadap hubungan X dan Y.
63
Persamaan regresi 10 digunakan untuk uji asumsi klasik seperti uji
normalitas, uji autokorelasi, uji multikolineritas, uji heteroskedastisitas.
Sedangkan persamaan regresi 11 digunakan untuk uji kelayakan model (uji F,
Koefisien determinasi) dan uji hipotesis.
4.5.3 Uji Kelayakan Model (model fit)
1) Uji F
Sebelum dilakukan uji hipotesis, perlu diperhatikan kelayakan model
penelitian (model fit) yang dilakukan dengan uji F (F test). Uji ini digunakan
untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel
dependen. Uji model fit ini dimaksudkan untuk melihat kelayakan model
digunakan dalam uji regresi. Langkah-langkah uji ini sebagai berikut:
(1) Menentukan taraf nyata sebesar 5%
(2) Menentukan besarnya p-value yang diperoleh dari hasil pengujian dengan
program SPSS 17.
(3) Kriteria pengujian:
a. Bila nilai P-value dari F ≥ α sebesar 5%, maka artinya model penelitian ini
tidak layak untuk digunakan.
b. Bila nilai P-value dari F < α sebesar 5%, maka artinya model penelitian ini
layak untuk digunakan.
2) Koefisien Determinasi (R2)
Uji koefesien determinasi (R2) digunakan untuk menentukan persentase total
variasi variabel terikat yang diterangkan oleh variabel bebas. Nilai koefesien
determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai (R2) yang kecil berarti kemampuan
64
variabel bebas dalam menjelaskan variabel terikat amat terbatas dan jika
mendekati satu berarti variabel bebas memberikan hampir semua informasi yang
dibutuhkan untuk memprediksi variabel terikat (Ghozali, 2006).
3) Uji Parsial (Uji t)
Uji parsial (uji t) dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen
secara parsial berpengaruh terhadap variabel dependen. Langkah-langkah dalam
uji t adalah sebagai berikut:
(1) Merumuskan hipotesis
H0 : β1 = 0, artinya tidak ada pengaruh variabel independen secara parsial
terhadap variabel dependen.
H1: β1 > 0, artinya ada pengaruh positif variabel independen secara parsial
terhadap variabel dependen.
(2) Menentukan taraf nyata sebesar 5%
(3) Menentukan besarnya p-value yang diperoleh dari hasil pengujian dengan
SPSS 17.
(4) Kriteria pengujian:
Bila nilai p-value dari t ≥ α, maka H0 diterima dan H1 ditolak, artinya
secara individual dari setiap variabel independen tidak berpengaruh
signifikan terhadap variabel dependen.
Bila nilai p-value dari t < α, maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya
secara individual dari setiap variabel independen berpengaruh
signifikan terhadap variabel dependen.
65
4.5.4 Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan uji interaksi
Moderated Regression Analysis (MRA), dengan model persamaan 11.
Hipotesis 1, 2, 3 dan 4 ditolak apabila nilai probabilitas signifikansi t lebih
besar dari α = 0,05, dan sebaliknya hipotesis 1, 2, 3 dan 4 diterima apabila nilai
signifikansi t lebih kecil dari α = 0,05.
66
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Provinsi Bali
Provinsi Bali terdiri atas beberapa pulau-pulau kecil, yaitu Pulau Bali, Pulau
Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Serangan,
dan Pulau Menjangan. Ibukota Provinsi Bali adalah di Denpasar, penduduk di
Provinsi Bali sebagian besar memeluk agama Hindu. Provinsi Bali
merupakansalah satu destinasi pariwisata dunia. Bali yang dikenal juga dengan
sebutan Pulau Dewata dan menjadi tujuan kunjungan turis mancanegara maupun
turis lokal Indonesia karena Bali memiliki keindahan dan kekayaan budaya yang
kental dan melekat pada penduduknya.
Tabel 5.1 Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
No. Kabupaten/Kota Ibukota Luas Wilayah (km2)
1. Kab. Jembrana Negara 841.80
2. Kab. Tabanan Tabanan 839.33
3. Kab. Badung Mangupura 418.52
4. Kab. Gianyar Gianyar 368.00
5. Kab. Klungkung Semarapura 315.00
6. Kab. Bangli Bangli 520.81
7. Kab. Karangasem Amlapura 839.54
8. Kab. Buleleng Singaraja 1 365.88
9. Kota Denpasar Denpasar 127.78
Jumlah 5 636.66
Sumber: Bali dalam angka 2014
66
67
Salah satu provinsi di Indonesia yang menerapkan kebijakan Otonomi Daerah
adalah Provinsi Bali.Provinsi Bali diberlakukan Otonomi Daerah mulai 1 Januari
2001.Otonomi Daerah memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk
mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan di daerah dengan arah dan
tujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, peningkatan
pelayanan publik, peningkatan daya saing, peningkatan peran serta masyarakat.
Berlakunya Otonomi daerah di Provinsi Bali menuntut Pemerintah Daerah
agar dapat menggali potensi-potensi daerah yang dapat menghasilkan pendapatan
asli daerah yang lebih tinggi, misalnya yang bersumber dari pajak. Hal tersebut
bertujuanagar Pemerintah Daerah Provinsi Bali mampu mengurangi
ketergantungan pada Pemerintah Pusat dalam menjalankan aktivitas pemerintahan
dan memenuhi pelayanan publik, sehingga perekonomian daerah serta
kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan IPM dapat terwujud. Peningkatan
PAD, pendapatan pajak Daerah dan IPM Provinsi Bali disajikan pada Tabel 5.2
sebagai berikut:
Tabel 5.2 PAD, Pendapatan Pajak Daerah dan IPM Provinsi Bali Tahun 2008-2013
Tahun PAD (Rp) Pendapatan Pajak Daerah (Rp) IPM
2008 1.055.454.263.032,84 1,564,929,457,797 70,98
2009 1.163.795.305.571,54 1,063,690,090,865 71,52
2010 1.393.730.257.045,34 1,226,038,010,287 72,28
2011 1.723.807.095.831,05 1,905,196,937,188 72,84
2012 2.042.091.095.774,66 2,425,191,348,718 73,49
2013 2.529.976.146.703,70 2,725,757,533,752 74,11
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi Bali dan BPS Provinsi Bali
68
IPM Provinsi Bali dari tahun 2008 sampai tahun 2013 semakin membaik.
Membaiknya IPM Provinsi Bali mencerminkan semakin meningkatnya tingkat
kesejahteraan penduduk Provinsi Bali. Realisasi PAD di Provinsi Bali pada tahun
bersangkutan yang mengalami peningkatan merupakan salah satu pendukung
meningkatnya IPM Provinsi Bali.
5.2 Hasil Penelitian
5.2.1 Deskripsi Data Hasil Penelitian
Penelitian ini mencakup 9 kabupaten/kota di Provinsi Bali yang terdiri dari
8 kabupaten dan 1 kota. Penelitian ini menggunakan pooled data atau data panel,
yang digunakan dari periode 2008 hingga 2013. Jumlah data yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 9 kabupaten/kota x 6 tahun = 54 amatan.
Berdasarkan 54 data penelitian, dilakukan uji asumsi klasik.Uji asumsi klasik
dilakukan untuk mengetahui apakah data terdistribusi secara normal, model
regresi tidak mengandung multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.
5.2.2 Hasil Uji Asumsi Klasik
1) Uji Normalitas Residual
Uji normalitas residual bertujuan untuk menguji apakah residual dalam
model regresi penelitian ini mempunyai distribusi normal atau tidak normal.
Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji statistic Kolmogorov-
Smirnov (K-S). Hasil pengujian normalitas residual terhadap 54 amatan dapat
dilihat pada Tabel 5.3 sebagai berikut:
69
Tabel 5.3 Hasil Uji Normalitas Residual
Keterangan Unstandardized Residual
N 54
Kolmogorov-Smirnov Z 1.334
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,057
Sumber: Lampiran 2 Hasil Uji Normalitas
Berdasarkan Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa nilai Kolmogorov-Smirnov (K-
S) adalah 1.334 dan nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,057. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa secara statistik nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari
0,05 yang berarti data terdistribusi secara normal.
2) Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk melacak adanya korelasi auto atau
pengaruh data dari pengamatan sebelumnya dalam model regresi.Uji autokorelasi
dilakukan dengan Uji Durbin-Watson. Hasil pengujian autokorelasi dapat dilihat
pada Tabel 5.4 sebagai berikut:
Tabel 5.4 Hasil Uji Autokorelasi
Model Durbin-Watson
1 2,212
Sumber: Lampiran 2 Hasil Uji Autokorelasi
70
Berdasarkan hasil pada Tabel 5.4, nilai Durbin-Watson yang diperoleh
sebesar 2,212. Nilai dU untuk jumlah sampel 54 dengan lima variabel bebas
adalah 1,7684 dan nilai dL 1,3669. Nilai Durbin-Watson sebesar 2,212 terletak
diantara dU(1,7684) dan 4-dU (4-1,7684) sehingga hasil uji autokorelasinya
adalah dU< DW <4-dU yaitu 1,7684<2.212<4-1,7684 (tidak ada autokorelasi). Ini
berarti d-hitung berada pada daerah bebas autokorelasi (Lampiran 4).
3) Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk mengetahui apakah pada model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas atau tidak.Model regresi
yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas. Pengujian ini
dilakukan dengan melihat nilai tolerance value dan variance inflation factor
(VIF). Jika nilai tolerance lebih besar dari 10% (0,1) dan VIF kurang dari 10,
maka model dikatakan bebas dari gejala multikolinearitas. Hasil pengujian
multikolinearitas dapat dilihat pada Tabel 5.5 sebagai berikut:
Tabel 5.5 Hasil Uji Multikolinearitas
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF
Rasio Pajak (X1) 0,402 2,486
Rasio Pajak Per Kapita (X2) 0,207 4,833
Upaya pajak (X3) 0,238 4,207
Ruang Fiskal (X4) 0,229 4,369
BM (X5) 0,681 1,469
Sumber: Lampiran 2
71
Berdasarkan Tabel 5.5, dapat dilihat bahwa untuk variabel Rasio Pajak
nilai tolerance adalah 0,402 (> 0,1) dan nilai VIF sebesar 2,486 (< 10). Untuk
variabel Rasio Pajak Per Kapita, nilai tolerance adalah 0,207 (> 0,1) dan nilai VIF
sebesar 4,833 (< 10). Untuk variabel Upaya pajak, nilai tolerance adalah 0,238 (>
0,1) dan nilai VIF sebesar 4,207 (< 10). Untuk variabel Ruang Fiskal, nilai
tolerance adalah 0,229 (> 0,1) dan nilai VIF sebesar 4,369 (< 10). Untuk variabel
BM, nilai tolerance adalah 0,681 (> 0,1) dan nilai VIF sebesar 1,469 (< 10). Hasil
ini menunjukkan bahwa nilai tolerance untuk seluruh variabel lebih besar dari
10% (0,1) dan VIF semua variabel lebih kecil dari 10, sehingga dapat disimpulkan
bahwa data dalam penelitian ini tidak terjadi gejala multikolinearitas.
Namun menurut Jogiyanto (2007:150) menyatakan bahwa
multikolinearitas tidak menjadi masalah ketika menerapkan Moderated
Regression Analysis.
4) Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui
apakah dalam modelregresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain.Pada penelitian ini, untuk menguji apakah
model regresi mengandung gejala heteroskedastisitas atau tidak, dilakukan dengan
menggunakan uji Glejser. Agar model regresi bebas dari gejala
heteroskedastisitas, maka nilai signifikan variabel bebas terhadap absolute
residual harus lebih besar dari α = 0,05. Hasil pengujian Heteroskedastisitas dapat
dilihat pada Tabel 5.6 sebagai berikut:
72
Tabel 5.6 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Modal T Sig. Keterangan
(Constant) 0,194 0,847 NH
TR (X1) 0,554 0,583 NH
TPC (X2) -0,667 0,508 NH
TE (X3) -1,156 0,254 NH
FS (X4)
BM (X5)
TRBM (X1.X5)
TPCBM (X2.X5)
TEBM (X3.X5)
FSBM (X4.X5)
1,462
0,329
-0,395
0,201
1,437
-1,562
0,151
0,744
0,695
0,841
0,158
0,125
NH
NH
NH
NH
NH
NH
Sumber: Lampiran 2
Keterangan:TR = Tax RatioTPC = Tax Per CapitaTE = Tax EffortFS = Fiscal SpaceBM = Belanja ModalTRBM = Interaksi Rasio Pajak dengan Belanja ModalTPCBM = Interaksi Pajak Per Kapita dengan Belanja ModalTEBM = Interaksi Upaya Pajak dengan Belanja ModalFSBM = Interaksi Ruang Fiskal dengan Belanja ModalNH = tidak terjadi Heteroskedastisitas (No Heteroskedastisitas)
Berdasarkan tabel 5.6, dapat dilihat bahwa nilai sig. dari masing-masing
variabel adalah di atas 0,05. Hal ini menandakan bahwa seluruh variabel tersebut
dapat dikatakan bebas dari heteroskedastisitas.
5.3 Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif untuk mendeskripsikan data dalam penelitian meliputi
jumlah amatan, nilai minimum dan maksimum, nilai rata-rata, serta standar
deviasi. Nilai minimum adalah nilai paling rendah dari suatu distribusi data,
73
sedangkan nilai maksimum adalah nilai tertinggi dari suatu distribusi data.
Pengukuran mean (rata-rata) merupakan cara yang paling umum digunakan untuk
mengukur nilai sentral dari suatu distribusi data. Simpangan baku (standard
deviation) merupakan rata-rata penyimpangan nilai data yang diteliti dari nilai
rata-ratanya (Wirawan, 2002:135).
Hasil statistik deskriptif dapat dilihat pada Tabel 5.7 sebagai berikut:
Tabel 5.7 Hasil Statistik Deskriptif
Variabel N Min. Mak. Mean Standar Deviasi
IPM (Y) 54 65,5 79,41 72,63 3,22
TR (X1) 54 0 28,04 3,57 6,17
TPC (X2) 54 0 341.350.467 33.799.310 72.004.878
TE (X3) 54 0 31,78 5,59 6,45
FC (X4) 54 0 97.49 42.43 15,34
BM (X5) 54 42.555 627.705.700.00 123.286.774.24 106.332.771
TRBM (X1.X5) 54 0 17.600.867.828 945.347.213 2.754.838.361
TPCBM (X2.X5) 54 0 214.267.633.833 100.796.026.181 327.834.396.736
TEBM (X3.X5) 54 0 19.948.487.146 1.204.548.888 3.065.930.739
FCBM (X4.X5) 54 0 42.414.074.149 5.875.799.948 7.358.767.085
Valid N
(listwise)
54
Sumber: Lampiran 3 Hasil Statistik DekriptifKeterangan:
TR = Tax RatioTPC = Tax Per CapitaTE = Tax EffortFS = Fiscal SpaceBM = Belanja ModalTRBM = Interaksi Rasio Pajak dengan Belanja ModalTPCBM = Interaksi Pajak Per Kapita dengan Belanja ModalTEBM = Interaksi Upaya Pajak dengan Belanja ModalFSBM = Interaksi Ruang Fiskal dengan Belanja ModalRasio Pajak, Rasio Pajak Per Kapita, Upaya Pajak, Ruang Pajak dan BM (dalam jutaan rupiah).
74
Berdasarkan Tabel 5.7 di atas, dapat dijelaskan hasil sebagai berikut:
1) Variabel rasio pajakdengan nilai terendah adalah Kabupaten Buleleng,
Kabupaten Jembrana, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung sebesar
0,00 sedangkan dengan nilai tertinggi adalah Badung sebesar 28.04 dengan
nilai rata-rata sebesar 3.57 Standar deviasi untuk rasio pajak sebesar 6,17
Artinya terjadi penyimpangan nilai Rasio Pajak yang diteliti terhadap nilai
rata-rata sebesar 6,17.
2) Variabel pajak per kapita dengan nilai terendah adalah Kabupaten Buleleng,
Kabupaten Jembrana, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung sebesar
0,00sedangkan nilai tertinggi adalah Kabupaten Badung sebesar
341.350.467,00 dengan nilai rata-rata sebesar 33.799.310,18 Standar deviasi
untuk Pajak per kapita sebesar 72.004.878,37 artinya terjadi penyimpangan
nilai pajak per kapita yang diteliti terhadap nilai rata-rata sebesar
72.004.878,37.
3) Variabel upaya pajak dengan nilai terendah adalah Kabupaten Buleleng,
Kabupaten Jembrana, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung sebesar
0.00, sedangkan dengan nilai tertinggi adalah Kabupaten Badung sebesar
31,78 dengan nilai rata-rata sebesar 5,59. Standar deviasi untuk upaya pajak
sebesar 6,45. Artinya terjadi penyimpangan nilai upaya pajak yang diteliti
terhadap nilai rata-rata sebesar 6,45.
4) Variabel ruang pajak dengan nilai terendah adalah Kabupaten Buleleng,
Kabupaten Jembrana, dan Kabupaten Klungkung sebesar 0,00 sedangkan
75
dengan nilai tertinggi adalah Kabupaten Gianyar sebesar 97,49 dengan nilai
rata-rata sebesar 42,43. Standar deviasi untuk ruang pajak sebesar 15,34.
Artinya terjadi penyimpangan nilai ruang pajak yang diteliti terhadap nilai
rata-rata sebesar 15,34.
5) Variabel BM dengan nilai terendah Kabupaten Klungkung sebesar
42.555.098 sedangkan dengan nilai tertinggi adalah Kabupaten Badung
sebesar 627.705.700 dengan nilai rata-rata sebesar 123.286.774,24 Standar
deviasi untuk BM sebesar 106.332.771,80 Artinya terjadi penyimpangan nilai
BM yang diteliti terhadap nilai rata-rata sebesar 106.332.771,80.
6) Variabel IPM dengan nilai terendah Kabupaten Karangasem sebesar 65,46
sedangkan dengan nilai tertinggi adalah Kota Denpasar sebesar 79,41 dengan
nilai rata-rata sebesar 72,63. Standar deviasi untuk IPM sebesar 3,22. Artinya
terjadi penyimpangan nilai BM yang diteliti terhadap nilai rata-rata sebesar
3,22.
5.4 Uji Kelayakan Model (Uji F) dan Koefisien Determinasi (R2)
Uji Kesesuaian Model (uji F) dimaksudkan dalam rangka mengetahui
apakah dalam penelitian ini model yang digunakan layak untuk digunakan atau
tidak sebagai alat analisis untuk menguji pengaruh variabel independen pada
variabel dependennya. Hasil pengujian disajikan dalam Tabel 5.8 sebagai berikut:
76
Tabel 5.8Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F)
ModelSum of Squares df
Mean Squere F Sig.
1 Regression 212.393 9 23.599 7.164 .000a
Residual 144.944 44 3.294
Total 357.338 53
Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan Tabel 5.8 dapat dilihat bahwa p-value sebesar 0,000 lebih
kecil dari nilai α = 0,05 menunjukkan model penelitian ini layak untuk digunakan
sebagai alat analisis untuk menguji pengaruh variabel independen dan moderasi
pada variabel dependen. Hal ini dapat dikatakan bahwa variabel kinerja keuangan
daerah (seperti rasio pajak, pajak per kapita,upaya pajak, dan ruang fiskal) yang
dimoderating alokasi belanja modal berpengaruh terhadap variabel dependennya
yaitu IPM.
Analisis koefisien determinasi dilakukan untuk mengukur seberapa besar
variabel bebas mampu menjelaskan perubahan variabel terikatnya. Pada penelitian
ini koefisien determinasi dilihat melalui nilai R2 yang terlihat pada Tabel 5.10
sebagai berikut:
Tabel 5.9 Hasil Koefisien Determinasi (R2)
Model R R SquareAdjusted RSquare
Std. Error of the Estimate
1 0,771a 0,594 0,511 1,8150
Sumber: Lampiran 5
77
Berdasarkan Tabel 5.9 dapat dilihat bahwa nilai R2 sebesar 0,594 yang
memiliki arti bahwa 59,4% variasi perubahan IPM dapat dijelaskan oleh variabel
kinerja keuangan daerah (seperti: rasio pajak, pajak per kapita, upaya pajak, dan
ruang fiskal) yang dimoderating alokasi belanja modal. Sedangkan sisanya 40,6%
dipengaruhi oleh variabel lain di luar model.
5.5 Moderated Regression Analysis (MRA)
Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel
merupakan variabel pemoderasi adalah dengan melakukan uji interaksi. Regresi
dengan melakukan uji interaksi antar variabel disebut dengan Moderated
Regression Analysis (MRA). Analisis MRA diolah dengan bantuan program
SPSS. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 5.10 sebagai berikut:
Tabel 5.10 Hasil Moderated Regression Analysis
VariabelUnstandardized Coefficients
Standardized Coefficients T Sig.
B Std. Error Beta(Constant)
TR (X1)
TPC (X2)
TE (X3)
FS (X4)
BM (X5)
TRBM (X1.X5)
TPCBM (X2.X5)
TEBM (X3.X5)
FSBM (X4.X5)
70,2703456012
1,815689323424
0,000000015586
-3,5118808794
0,000000000058
-0,000000017020
-0,000000033364
0,000000000000
0,000000038964
0,000000000000
4,3127834206
1,09822806735
0,000000219954
1,1778917490
0,000000000023
0,000000039306
0,000000013493
0,000000000000
0,000000012718
0,000000000000
-
1,048
0,083
-2,501
-2,099
-0,193
-2,454
0,864
4,252
-2,987
16,294
1,653
0,071
-2,981
2,557
-0,433
-2,473
0,668
3,064
-2,182
0,000
0,165
0,944
0,005
0,014
0,667
0,017
0,508
0,004
0,034
R2
F HitungSig. F
0,5947,1640,000
Sumber: Lampiran 6 data diolah (2014)
78
Persamaan regresi yang dihasilkan melalui Moderated Regression Analysis
(MRA) adalah sebagai berikut:
Y = 70,2703456012+1,815689323424 X1+ 0,000000015586 X2 -
3,5118808794 X3 + 0,000000000058 X4 - 0,000000017020 X5 -
0,000000033364 X1X5+0,000000000000X2X5 +0,000000038964 X3X5
+ 0,00000000000 X4 X5 + e………………………………………….(12)
Keterangan:TR = Tax RatioTPC = Tax Per CapitaTE = Tax EffortFS = Fiscal SpaceBM = Belanja ModalTRBM = Interaksi Rasio Pajak dengan Belanja ModalTPCBM = Interaksi Pajak Per Kapita dengan Belanja ModalTEBM = Interaksi Upaya Pajak dengan Belanja ModalFSBM = Interaksi Ruang Fiskal dengan Belanja Modale = Nilai Residu
Berdasarkan persamaan regresi di atas dapat diketahui bahwa:
1) Nilai konstanta 70,2703456012 memiliki arti apabila rasio pajak, pajak per
kapita, upaya pajak ruang fiskal dan belanja modal besarnya 0 satuan, maka
besaran IPM adalah 70,2703456012 satuan.
2) Nilai koefisien regresi rasio pajak sebesar 1,815689323424 memiliki arti
apabila rasio pajak bertambah sebesar satu satuan, maka IPM meningkat
sebesar 1,815689323424 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan
(cateris paribus).
3) Nilai koefisien regresi rasio pajak per kapita sebesar 0,000000015586
memiliki arti apabila rasio pajak per kapita bertambah sebesar satu satuan,
79
maka IPM naik sebesar 0,000000015586 satuan dengan asumsi variabel
lainnya konstan (cateris paribus).
4) Nilai koefisien regresi upaya pajak sebesar - 3,5118808794 memiliki arti
apabila upaya pajak meningkat sebesar satusatuan, maka mengakibatkan
penurunan IPM sebesar 3,5118808794 satuan dengan asumsi variabel
lainnya konstan (cateris paribus).
5) Nilai koefisien regresiruang pajak sebesar 0,000000000058 memiliki arti
bahwa apabila ruang pajak bertambah sebesar satu satuan, maka IPM
meningkat sebesar 0,000000000058 satuan dengan asumsi variabel lainnya
konstan (cateris paribus).
6) Nilai koefisien regresi BM sebesar -0,000000017020 memiliki arti bahwa
apabila BM meningkat sebesar satu satuan, maka mengakibatkan penurunan
IPM sebesar 0,000000017020 satuan dengan asumsi variabel lainnya
konstan (cateris paribus).
7) Nilai koefisien moderat rasio pajak BM (X1.X5) sebesar –0,000000033364
mengindikasikan bahwa setiap interaksi rasio pajak dengan belanja modal
meningkat satu satuan akan menurunkan IPM sebesar 0,000000033364
satuandengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
8) Nilai koefisien moderat rasio pajak per kapita BM (X2.X5) sebesar
0,000000000000 mengindikasikan bahwa setiap interaksi rasio pajak per
kapita dengan belanja modal bertambah satu satuan maka IPM meningkat
sebesar 0,000000000000 satuandengan asumsi variabel lainnya konstan
(cateris paribus).
80
9) Nilai koefisien moderat upaya pajak BM (X3.X5) sebesar 0,000000038964
mengindikasikan bahwa setiap interaksi upaya pajak BM dengan belanja
modal bertambah satu satuan maka IPM meningkat sebesar
0,000000038964 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris
paribus).
10) Nilai koefisien moderat ruang pajak ABM (X4.X5) sebesar 0,000000000000
mengindikasikan bahwa setiap interaksi ruang pajak dengan belanja modal
bertambah satu satuan maka IPM meningkat sebesar 0,000000000000
satuandengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
5.6 Uji t
Uji statistik t pada dasarnya dilakukan untuk menunjukkan seberapa jauh
pengaruh satu variabel independen dan variabel moderasi secara individual dalam
menerangkan variasi variabel dependen. Uji statistik t dilakukan dengan
membandingkan hasil nilai signifikansi dengan α = 0,05 dan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Pengujian Hipotesis Pertama (H1)
Pengujian hipotesis pertama dilakukan untuk mengetahui kemampuan
belanja modal dalam memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah berupa rasio
pajak pada IPM. Pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan uji interaksi atau
Moderated Regression Analysis (MRA). Hasil pengujian hipotesis pertama dapat
dilihat pada Tabel 5.11.
81
Tabel 5.11 Hasil Uji Hipotesis Pertama
Model Unstandardized Coefficients
T Sig
BRasio Pajak (X1) 1,815689323424 1.653 0,165
BM (X5) -0,000000017020 -0,433 0,667
Rasio Pajak*BM (X1X5) -0,000000033364 -2,473 0,017
Sumber: Lampiran 6 data diolah (2014)
Hasil pengujian menunjukkan nilai signifikansi (Sig.t) koefisien sebesar
0,017 lebih kecil dari α = 0,05 artinya belanja modal memoderasi pengaruh rasio
pajak pada IPM, sehingga H1 diterima. Semakin meningkat belanja modal, maka
semakin menurun pengaruh rasio pajak padaIPM.
2) Pengujian Hipotesis Kedua (H2)
Pengujian hipotesis kedua dilakukan untuk mengetahui kemampuan
belanja modal dalam memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah berupa rasio
pajak per kapita pada IPM. Pengujian hipotesis kedua dilakukan dengan uji
interaksi atau Moderated Regression Analysis (MRA). Hasil pengujian hipotesis
kedua dapat dilihat pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12 Hasil Uji Hipotesis Kedua
Model Unstandardized Coefficients
t Sig
B
Rasio Pajak Per Kapita (X2) 0,000000015586 0,071 0,944
BM (X5) -0,000000017020 -0,433 0,667
Rasio Pajak Per kapita*BM (X2X5) 0,000000000000 0,668 0,508
Sumber: Lampiran 6 data diolah (2014)
82
Hasil pengujian menunjukkan nilai signifikansi (Sig.t) koefisien sebesar
0,508 lebih besar dari α = 0,05 artinya belanja modal tidak memoderasi pengaruh
rasio pajak per kapita pada IPM, sehingga H2 ditolak. Belanja modal
memperkuat pengaruh rasio pajak per kapita pada IPM, hal ini terlihat dari
unstandardized coefficients variabel rasio pajak yang bernilai positif serta
unstandardized coefficients interaksi rasio pajak per kapita dengan belanja modal
yang bernilai positif.
3) Pengujian Hipotesis Ketiga (H3)
Pengujian hipotesis ketiga dilakukan untuk mengetahui kemampuan
belanja modal dalam memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah berupa
upaya pajak pada IPM. Pengujian hipotesis ketiga dilakukan dengan uji interaksi
atau Moderated Regression Analysis (MRA). Hasil pengujian hipotesis ketiga
dapat dilihat pada Tabel 5.13.
Tabel 5.13 Hasil Uji Hipotesis Ketiga
Model Unstandardized Coefficients
T Sig
B
Upaya Pajak (X3) -3,5118808794 -2,981 0,005
BM (X5) -0,000000017020 -0,433 0,667
Upaya Pajak *BM (X3X5) 0,000000038964 3,064 0,004
Sumber: Lampiran 6 data diolah (2014)
Hasil pengujian menunjukkan nilai signifikansi (Sig.t) koefisien sebesar
0,004 lebih kecil dari α = 0,05 artinya belanja modal memoderasi pengaruh upaya
83
pajak pada IPM, sehingga H3 diterima. Belanja modal memperlemah pengaruh
upaya pajak pada IPM, hal ini terlihat dari unstandardized coefficients variabel
upaya pajak yang bernilai negatif serta unstandardized coefficients interaksi upaya
pajak dengan belanja modal yang bernilai positif.
4) Pengujian Hipotesis Keempat (H4)
Pengujian hipotesis keempat dilakukan untuk mengetahui kemampuan
belanja modal dalam memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah berupa ruang
fiskal pada IPM. Pengujian hipotesis keempat dilakukan dengan uji interaksi atau
Moderated Regression Analysis (MRA). Hasil pengujian hipotesis keempat dapat
dilihat pada Tabel 5.14.
Tabel 5.14 Hasil Uji Hipotesis Keempat
Model Unstandardized Coefficients
T Sig
B
Ruang Fiskal (X4) 0,000000000058 2,557 0,014
BM (X5) -0,000000017020 -0,433 0,667
Ruang Fiskal *BM (X4X5) 0,000000000000 -2,182 0,034
Sumber: Lampiran 6 data diolah (2014)
Hasil pengujian menunjukkan nilai signifikansi (Sig.t) koefisien sebesar
0,034 lebih kecil dari α = 0,05 artinya belanja modal memoderasi pengaruh ruang
fiskal pada IPM, sehingga H4 diterima. Belanja modal memperkuat pengaruh
ruang fiskal pada IPM, hal ini terlihat dari unstandardized coefficients variabel
84
ruang fiskal yang bernilai positif serta unstandardized coefficients interaksi ruang
fiskal dengan belanja modal yang bernilai positif.
5.7 Pembahasan
Subbab ini menyajikan pembahasan tiap-tiap hipotesis penelitian yang
sudah dianalisis pada subbab sebelumnya.
5.7.1 Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa rasio pajak pada IPM.
Hasil pengujian untuk hipotesis pertama menunjukkan bahwa hipotesis
pertama diterima yang berarti alokasi belanja modal memiliki pengaruh atau
memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah (dengan parameter rasio pajak)
pada IPM. Hal ini sangat wajar karena semakin besar pendapatan pajak yang
dialokasikan pada belanja modal akan meningkatkan kualitas dan kuantitas
layanan publik untuk menunjang peningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan,
kesehatan dan daya beli masyarakat yang ketiganya merupakan faktor pembentuk
IPM.
Koefesien TR (X1) pada penelitian ini menunjukkan nilai koefesien yang
tidak signifikan, sedangkan koefesien interaksi moderasi TR dan BM (X1.X5)
signifikan. Hal ini berarti bahwa belanja modal merupakan variabel moderasi
murni (pure moderation). Pure moderation merupakan variabel yang memoderasi
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dimana variabel
moderasi ini berinteraksi dengan variabel independen tanpa menjadi variabel
independen (Ghozali, 2006).
85
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Christy
(2009), Setyowati dan Suparwati (2012), yang menyatakan bahwa PAD, DAU,
dan DAK terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia
melalui pengalokasian anggaran belanja modal. Hasil ini juga sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sumardjoko (2013), yang menyatakan bahwa
dana otonomi khusus berpengaruh seginifikan positif terhadap belanja modal
APBD Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat periode tahun 2002-2012.
5.7.2 Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah berupapajakper kapita pada IPM.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa Alokasi belanja modal memoderasi
pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa pajak per kapita pada IPM. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa alokasi belanja modal tidak mampu memoderasi
pengaruh kinerja keuangan daerah berupa pajak per kapita pada IPM. Hal ini
diduga disebabkan karena pendapatan pajak yang dialokasikan pada belanja
modal dalam rangka menunjang program peningkatkan kuantitas dan kualitas
pendidikan, serta kesehatan masyarakat jumlahnya belum cukup untuk memenuhi
besarnya jumlah penduduk yang membutuhkan layanan pendidikan dan
kesehatan. Pada kenyataannya proporsi belanja modal kabupaten/kota di Provinsi
Bali selama enam tahun terakhir rata-rata 123.286.774,24 atau berkisar antara
42.555.098,00 dan 6.277.057,00.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai koefisien TPC (X2) tidak
signifikan, sedangkan koefesien interaksi moderasi TPC dan BM (X2.X5) juga
tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa belanja modal merupakan variabel
86
moderasi potensial (homologiser moderation). Homologiser moderation
merupakan variabel yang potensial menjadi variabel moderasi yang memengaruhi
kekuatan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
Variabel ini tidak berinteraksi dengan variabel independen dan tidak mempunyai
hubungan yang signifikan dengan variabel dependen (Ghozali, 2006).
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Lilis (2012), yang
menemukan bahwa pembangunan Indonesia yang pendanaannya bersumber dari
pendapatan pajak per kapita kurang mendukung pengembangan sumber daya
manusia secara optimal.
Kondisi ini juga diduga disebabkan karena dalam proses penyusunan
anggaran belanja modal yang melibatkan pihak eksekutif dan legislatif
memungkinkan terjadinya distorsi pengalokasian belanja modal sebagai dampak
kecenderungan untuk memaksimalkan utilitas dari pihak-pihak yang terlibat
dalam proses penyusunan anggaran sesuai dengan preferensinya, sebagaimana
diungkapkan Magner dan Johnson dalam Suryarini (2012).
Selain itu, belanja modal tidak selalu berhubungan langsung dengan
pelayanan publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan
yang sepenuhnya dinikmati oleh aparatur (birokrasi) atau satuan kerja yang tidak
berhubungan langsung dengan fungsi pelayanan publik. Sebagai contoh adalah
belanja modal untuk pembangunan kantor Bappeda (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah) atau inspektorat daerah yang tidak langsung dimanfaatkan
oleh publik (seperti gedung kantor pemerintahan). Hal ini menyebabkan alokasi
belanja modal tidak dapat menunjang kesejahteraan masyarakat.Kurang
87
maksimalnya pengelolaan dan pemanfaatan aset tetap yang dihasilkan dari alokasi
belanja modal yang bersinggungan langsung dengan pelayanan publik atau
dipakai oleh masyarakat (seperti jalan, jembatan, trotoar, gedung olah raga,
stadion, jogging track, halte, dan rambu lalu lintas), sehingga banyak proyek
investasi publik yang tidak tepat sasaran, juga tentunya tidak akan dapat
menunjang kesejahteraan masyarakat.
Eisenhardt (1989) yang mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia salah
satunya yaitu manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest),
sehingga pemerintah akan lebih mementingkan kepentingan aparatur atau dirinya
sendiri daripada mementingkan kepentingan masyarakat, salah satunya lebih
memperioritaskan besarnya belanja pegawai daripada belanja modal, dimana
belanja modal digunakan untuk fasilitas umum masyarakat, belanja pegawai
digunakan untuk gaji dan tunjangan pegawai.
Berdasarkan hasil pengujian ini juga dapat diketahui hubungan antara Pajak
Per Kapita sebagai salah satu sumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan Belanja Modal diklasifikasikan dalam kategori lemah. Dengan demikian,
hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Hoover and Sheffrin (1992) dalam
Fahri (2013) yang secara empiris menemukan bahwa sesudah tahun 1960-an pajak
tidak berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Kebijakan alokasi wajib
(earmarking) yang termuat dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diharapkan dapat 'memaksa' daerah dan
meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan
di bidang tertentu.
88
Hasil ini juga konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Vegirawati
(2012) yang menunjukkan bahwa belanja langsung tidak dapat memprediksi
indeks Pembangunan Manusia.
5.7.3 Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa upaya pajak (tax effort) pada IPM.
Berdasarkan hasil pengujian dapat dinyatakan bahwa hipotesis ketiga
diterima yang berarti bahwa belanja modal memoderasi pengaruh kinerja
keuangan daerah yang berupa upaya pajak pada Indeks Pembangunan Manusia.
Upaya pajak merupakan aspek relevan bila dikaitkan dengan tujuan otonomi
daerah, yaitu peningkatan kemandirian daerah. Semakin meningkatnya upaya
pajak daerah yang dilakukan Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, maka kapasitas
fiskalpun akan meningkat. Sehingga akan meningkatkan pengeluaran belanja
modal, melalui peningkatan belanja modal akan dapat meningkatkan pelayanan
publik karena hasil dari pengeluaran belanja modal adalah meningkatkan aset
tetap daerah yang merupakan prasyarat dalam memberikan pelayanan publik oleh
pemerintah daerah. Hal ini berarti alokasi anggaran publik lebih diperuntukkan
pada kepentingan publik, misalnya dalam hal belanja modal publik. Sehingga
kesejahteraan masyarakat Daerah Provinsi Bali dapat meningkat.
Nilai koefisien TE (X3) sesuai uji MRA menunjukkan hasil yang signifikan,
sedangkan koefesien interaksi moderasi TE dan BM (X3.X5) juga menunjukkan
hasil yang signifikan. Hal ini berarti bahwa belanja modal merupakan variabel
moderasi semu (quasi moderator). Quasi moderation merupakan variabel yang
memoderasi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen di mana
89
variabel moderasi semu berinteraksi dengan variabel independen sekaligus
menjadi variabel independen (Ghozali, 2006).
Penelitian ini sejalan dengan argumentasi yang dikemukakan (Uhise, 2013)
bahwa pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan
Pemerintah Daerah (Pemda) untuk meningkatkan kepercayaan publik yang dapat
dilakukan dengan peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap yakni;
peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya.
5.7.4 Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa ruang fiskal pada IPM.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belanja modal memiliki pengaruh
atau memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah berupa ruang fiskal pada
IPM. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dengan ruang fiskal yang
diperoleh dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan penurunan
kewajiban pembayaran utang serta dari efektivitas penggunaan anggaran di
Kabupaten/Kota Provinsi Bali dapat menunjang terciptanya ruang fiskal yang
cukup memberi ruang untuk alokasi belanja modal. Karena belanja modal
merupakan belanja pemerintah yang bersifat produktif dan dapat digunakan untuk
mendongkrak pertumbuhan ekonomi di daerah, yang pada gilirannya diharapkan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah Provinsi Bali.
Ini juga berarti Pemerintah daerah sudah memiliki terobosan untuk
memanfaatkan ruang fiskal yang ada, ruang fiskal mampu berperan mendorong
pembangunan dan penyediaan infrastruktur daerah Propinsi Bali sehingga
90
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan
peningkatan IPM.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa FC (X4) nilai koefisiennya
signifikan sedangkan koefesien interaksi moderasi FC dan BM (X4.X5) juga
signifikan. Hal ini berarti bahwa belanja modal merupakan variabel moderasi
semu (quasi moderator).
Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Alexiou (2009) dan
Rahayu (2004) yang menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk investasi
publik menghasilkan dampak positif yang signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat.
91
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1) Alokasi belanja modal menurunkan pengaruh kinerja keuangan daerah (rasio
pajak) pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten/Kota
Provinsi Bali. Belanja Modal merupakan variabel moderasi murni (pure
moderation).
2) Alokasi belanja modal meningkatkan pengaruh kinerja keuangan daerah
(upaya pajak, ruang fiskal) pada IPM, dalam hal ini belanja modal merupakan
variabel moderasi semu (quasi moderator). Namun Alokasi belanja modal
tidak memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah (pajak per kapita) pada
IPM Kabupaten/Kota di Propinsi Bali, dalam hal ini alokasi belanja modal
merupakan variabel moderasi potensial (homologiser moderation).
6.2 Keterbatasan dan Saran
Penelitian ini masih memiliki keterbatasan sehingga masih perlu untuk
disempurnakan. Saran-saran yang dapat disampaikan terkait dengan keterbatasan
penelitian adalah sebagai berikut:
1) Pemerintah Daerah diharapkan mampu lebih menggali dan mengembangkan
potensi-potensi dan sektor-sektor ekonomi daerah yang dapat meningkatkan
92
pendapatan pajak sehingga Pemerintah Daerah lebih mandiri dalam mendanai
seluruh aktivitas pemerintahan dan tidak selalu tergantung terhadap dana
transfer dari pemerintah pusat.
2) Pemerintah daerah diharapkan dapat memanfaatkan dana yang bersumber dari
pajak per kapita untuk pengembangan sumber daya manusia secara lebih
optimal, membangun infrastruktur publik dan sarana penunjang lainnya yang
memang dibutuhkan oleh masyarakat. Sebelum membangun suatu fasilitas
publik, hendaknya melakukan studi kelayakan dan analisis investasi publik
agar proyek tersebut dapat dimanfaatkan sesuai tujuan yang telah ditetapkan.
Memperhatikan, menjaga, dan mengelola fasilitas publik yang dibangun
dengan baik, agar kualitas fasilitas dan pelayanan publik tetap terjaga.
Memperhatikan permasalahan sumber daya manusia yang ditugaskan untuk
mengelola operasional dari fasilitas yang dibangun, agar tujuan dari
dibangunnya fasilitas publik tersebut dapat tercapai.
3) Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan variabel non
keuangan, sebab Darwanto dan Yustikasari (2007), menyatakan bahwa
variabel non keuangan misalnya kebijakan pemerintah daerah dapat
menjelaskan dengan baik seberapa besar tingkat pengadaan modal
pembangunan yang seimbang dengan pertumbuhan ekonomi daerah setempat
dalam mengutamakan kesejahteraan masyarakat, serta mencari data yang
terbaru yaitu tahun 2014.
4) Berdasarkan hasil uji Moderated Regression Analysis (MRA) menunjukkan
bahwa nilai koefesien β dari interaksi antara variabel independen dengan
93
variabel pemoderasi sangat kecil, peneliti selanjutnya dapat
mempertimbangkan menggunakan variabel lain yang lebih sesuai untuk
menjelaskan dan memediasi IPM.