BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitiandigilib.uinsgd.ac.id/717/4/4_bab1sd4.pdf ·...

53
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Energi listrik merupakan energi primer, yang saat ini keberadaannya belum dapat digantikan oleh energi yang lain. Di Indonesia, kebutuhan energi listrik masih banyak dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan lain-lain. Penggunaan bahan bakar fosil tersebut berpotensi menyebabkan masalah baru dalam lingkungan, yaitu pencemaran lingkungan dan memicu pemanasan global. Selain itu, di wilayah Indonesia masih banyak daerah yang belum mendapat pasokan listrik. Tercatat baru sekitar 65% wilayah Indonesia yang sudah mendapatkan pasokan listrik, dan sisanya masih menggunakan energi alam. [1] Dengan demikian, diperlukan suatu solusi yang efektif dan efisien baik secara aspek lingkungan maupun aspek ekologi yang dapat memberikan nilai positif bagi kelestarian lingkungan tanpa menyebabkan kerusakan di muka bumi ini. [2],[3] Allah SWT sendiri melarang hambanya untuk membuat kerusakan di muka bumi ini melalui firmannya dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 56 – 58 yang artinya : Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu Telah membawa awan mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu, Maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah kami membangkitkan orang-orang yang Telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS Al A’raf : 56-58)

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitiandigilib.uinsgd.ac.id/717/4/4_bab1sd4.pdf ·...

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Energi listrik merupakan energi primer, yang saat ini keberadaannya belum

dapat digantikan oleh energi yang lain. Di Indonesia, kebutuhan energi listrik

masih banyak dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti

minyak bumi, batu bara, dan lain-lain. Penggunaan bahan bakar fosil tersebut

berpotensi menyebabkan masalah baru dalam lingkungan, yaitu pencemaran

lingkungan dan memicu pemanasan global. Selain itu, di wilayah Indonesia masih

banyak daerah yang belum mendapat pasokan listrik. Tercatat baru sekitar 65%

wilayah Indonesia yang sudah mendapatkan pasokan listrik, dan sisanya masih

menggunakan energi alam.[1]

Dengan demikian, diperlukan suatu solusi yang efektif dan efisien baik

secara aspek lingkungan maupun aspek ekologi yang dapat memberikan nilai

positif bagi kelestarian lingkungan tanpa menyebabkan kerusakan di muka bumi

ini.[2],[3]

Allah SWT sendiri melarang hambanya untuk membuat kerusakan di

muka bumi ini melalui firmannya dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 56 – 58

yang artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah

(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak

akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat

dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan dialah yang meniupkan angin

sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan);

hingga apabila angin itu Telah membawa awan mendung, kami halau ke suatu

daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu, Maka kami

keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah

kami membangkitkan orang-orang yang Telah mati, Mudah-mudahan kamu

mengambil pelajaran.Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur

dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya

tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami)

bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS Al A’raf : 56-58)

Solusi yang diperlukan adalah solusi berupa inovasi yang bersifat ramah

lingkungan, tidak membahayakan mahluk hidup, dan tidak menimbulkan masalah

baru agar kelestarian alam dapat terjaga. Sel surya merupakan sebuah teknologi

ramah lingkungan yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan akan

kebutuhan energi listrik di Indonesia.

Sel surya cocok dikembangkan di Indonesia karena Indonesia merupakan

negara yang memiliki iklim tropis dengan durasi penyinaran matahari yang cukup

sepanjang tahunnya. Sel surya tersensitasi zat warna (Dye Sensitized Solar Cell,

DSSC) merupakan salah satu generasi sel surya yang telah mendapatkan perhatian

dunia sejak tahun 1991. DSSC merupakan perangkat sel surya yang sangat

menarik karena beberapa keunggulan.[4]

Keunggulan yang dimiliki oleh DSSC

diantaranya adalah biaya produksi yang rendah dan memiliki efisiensi yang tinggi.

Saat ini, sel surya tersensitasi zat warna merupakan sel surya yang paling efisien

dan paling stabil.[5]

Dalam perkembangannya, sel surya mengalami banyak perubahan untuk

mendapatkan sel surya dengan performance yang lebih baik. Generasi pertama

dari sel surya adalah sel surya yang menggunakan bahan silikon (Si). Pada sel

surya yang menggunakan silikon, efisiensi yang dihasilkan sel surya tersebut

berkisar 20%. Kelemahan dari sel surya generasi pertama ini adalah bahan silikon

yang digunakan relatif sulit untuk didapatkan, sehingga produksi sel surya

generasi pertama tidak ekonomis karena ketersediaan silikon di alam relatif

sedikit. Pada sel surya generasi kedua, digunakan polimer semikonduktor. Pada

sel surya generasi kedua ini menggunakan perhitungan numerik yang rumit

dengan menggunakan program SCAPS, dimana program ini merupakan program

yang sama dalam proses karakterisasi sel surya dengan CdTe dan CIGS sebagai

bahan dasarnya.[6]

Kelemahan dari sel surya generasi kedua ini adalah proses

produksinya memerlukan teknologi yang relatif canggih dan biaya produksi yang

relatif tinggi.

Untuk mengatasi kelemahan pada sel surya generasi pertama dan kedua,

maka dikembangkan DSSC yang memiliki beberapa keunggulan jika

dibandingkan dengan sel surya generasi pertama dan generasi kedua. DSSC

merupakan sel surya generasi ketiga, pengembangan dari sel surya generasi

pertama dan generasi kedua yang mana menggunakan bahan-bahan utama yang

relatif sulit didapatkan dan proses produksinya relatif kurang ekonomis. Kinerja

DSSC dipengaruhi oleh sifat dari sintesizer yang digunakan, seperti spektrum

absorpsi, dan sifat redoks. Kelebihan dari DSSC dibandingkan kedua sel surya

yang dikembangkan sebelumnya adalah cost performance yang lebih baik.

Kelemahan yang dimiliki oleh DSSC pada saat ini adalah efisiensi yang lebih

kecil dibandingkan sel surya generasi pertama dan generasi kedua. Efisiensi yang

kecil ini, salah satunya disebabkan oleh zat warna sensitizer yang digunakan, yang

mana masih harus dicari zat warna sensitizer yang lebih baik.

Studi komputasi dapat digunakan untuk memprediksi struktur dan sifat

suatu sistem kimia dengan relatif cepat. Keunggulan dari metode ini dapat

memprediksikan sifat molekul yang kompleks dengan hasil perhitungan yang

dapat dikorelasikan dengan hasil eksperimen. Selain itu, studi komputasi dapat

menghemat biaya, sebab hasil eksperimen dapat diramalkan sebelum eksperimen

dimulai sehingga dapat meminimalisir kegagalan saat eksperimen dilakukan.[1]

Dengan keunggulan studi komputasi, diharapkan output yang dihasilkan dari

penelitian ini merupakan output dengan performa yang relatif lebih baik.

Creutz et al berhasil mengkarakterisasi ikatan turunan katekol (4-metil

katekol, 4-t-butil katekol, dan dopamin) ke TiO2 berukuran 1 nm dan 4,7 nm

menggunakan Spektroskopi UV-Vis.[7]

Namun, dalam penelitian tersebut tidak

dijelaskan secara detail mengenai sifat elektronik dari molekul-molekul tersebut.

Pada penelitian ini akan dilakukan studi komputasi untuk mempelajari sifat

elektronik senyawa dopamin, dan metil katekol, serta senyawa organik dopamin

dan metil katekol yang terabsorpsi pada permukaan TiO2 cluster. Diharapkan hasil

studi komputasi yang akan dilakukan pada penelitian ini dapat melengkapi hasil

penelitian Creutz et al yang tidak dapat dijelaskan secara eksperimen.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Bagaimana menghitung perbedaan pita energi HOMO/LUMO, dan sifat

elektronik berupa spektrum serapan UV-Vis dari senyawa organik dopamin, metil

katekol, serta senyawa zat warna organik dopamin dan metil katekol yang

terabsorpsi pada senyawa TiO2 cluster?

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Density

Functional Theory (DFT), dan metode Time Dependent Density Functional

Theory (TDDFT). Perhitungan pada studi komputasi ini dihitung dengan

menggunakan perangkat lunak Firefly, dan Gaussian 03. Kemudian output yang

dihasilkan dianalisis lebih lanjut. Hasil studi komputasi ini diharapkan dapat

melengkapi hasil eksperimen Creutz et al dengan hasil yang dapat dikorelasikan

dengan hasil eksperimen. Kajian pada penelitian ini terbatas pada senyawa

organik dopamin dan metil katekol, serta senyawa organik dopamin dan metil

katekol yang terabsorpsi pada senyawa TiO2 cluster.

Pada penelitian ini, prediksi sifat-sifat dari senyawa organik dopamin dan

metil katekol, serta senyawa organik dopamin dan metil katekol yang terabsorpsi

pada senyawa TiO2 cluster dibatasi pada perbedaan pita energi HOMO/LUMO,

dan sifat elektronik berupa spektrum serapan UV-Vis.

1.4 Tujuan Penelitian

Untuk menentukan perbedaan pita energi HOMO/LUMO, dan sifat

elektronik berupa spektrum serapan UV-Vis dari senyawa zat warna organik

dopamin dan metil katekol, serta senyawa zat warna organik dopamin dan metil

katekol yang teradsorpsi pada senyawa TiO2 cluster sehingga dapat melengkapi

penelitian Creutz et al yang tidak dapat dijelaskan secara eksperimen.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kemampuan zat warna dalam menangkap foton dapat mempengaruhi

efisiensi DSSC. Creutz et al, dalam penelitiannya tidak menyertakan data panjang

ikatan, grafik spektrum UV-VIS, osilator strength, dan beberapa data lainnya,

sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk melengkapi eksperimen Creutz et al.

Untuk itu, dilakukan studi komputasi dengan menggunakan metode DFT, dan

TDDFT untuk memprediksi sifat elektronik dari senyawa zat warna organik

dopamin dan metil katekol, serta senyawa zat warna organik dopamin dan metil

katekol yang terabsorpsi pada senyawa TiO2 cluster sehingga dapat melengkapi

hasil penelitian Creutz et al yang tidak dapat dijelaskan secara eksperimen.

2.1 Energi Matahari

Matahari adalah bintang yang paling dekat dengan bumi, sehingga

penelitian tentang bintang ini lebih mudah dari pada bintang lainnya. Matahari

memiliki jarak 150 juta kilometer dari bumi, dan dia menyediakan energi yang

dibutuhkan oleh kehidupan di bumi ini secara berkesinambungan. Matahari

membebaskan energi setiap detiknya menurut perhitungan para ahli, adalah

ekuivalen dengan konversi massa hidrogen yang besarnya adalah 4,2 × 106

ton/detik, yang ekuivalen dengan 1,2 × 1016

KW. [8]

Energi yang diradiasikan terbentuk akibat transformasi hidrogen menjadi

helium dalam reaksi fusi yang kemudian menghasilkan energi. Sebagian energi

tersebut ditransmisikan ke bumi dengan cara radiasi gelombang elektromagnetik.

Kecepatan pancaran radiasinya sebesar 3 × 108 m/s dengan panjang gelombang

yang berbeda - beda sehingga radiasi yang dipancarkan dapat menembus ruang

hampa udara, dan ahirnya dapat mencapai permukaan bumi. Peristiwa

pemancaran gelombang ini baru akan terhenti ketika hidrogen dalam reaksi inti

habis.[8]

Radiasi yang dihasilkan dari reaksi fusi inilah yang disebut dengan energi

surya.

Matahari juga merupakan sumber energi utama yang sangat penting bagi

kehidupan mahluk hidup baik di daratan maupun di perairan, karena cahaya

matahari memiliki peranan penting dalam proses biologis maupun fisis mahluk

hidup. Permukaan bumi menerima energi surya yang dipancarkan matahari dalam

bentuk paket-paket energi yang disebut foton. Radiasi yang dihasilkan dapat

memancarkan energi mendekati 1026

kalori/detik, dan lapisan teratas atmosfir

bumi hanya dapat menerima 2 kalori/menit.[9]

Tidak semua cahaya matahari yang mencapai permukaan bumi dapat dilihat

oleh mata manusia, hal ini diakibatkan karena tidak semua spektrum cahaya yang

dipancarkan merupakan spektrum cahaya tampak (visible light) yang mampu

dilihat oleh mata manusia. Sinar yang dipancarkan matahari merupakan gabungan

dari beragam cahaya yang memiliki panjang gelombang dan spektrum warna yang

berbeda-beda, tergantung warna yang dipancarkan. Berikut ini merupakan tabel

panjang gelombang dari beberapa cahaya tampak :

Panjang gelombang Warna

400 – 440 nm Violet

440 – 480 nm Biru

480 – 560 nm Hijau

560 – 590 nm Kuning

590 – 630 nm Jingga

630 – 700 nm Merah

Tabel 2.1 Penampakan Warna dari Panjang Gelombang Cahaya Tampak

yang Berbeda-beda[9]

2.2 Sel surya

Sel surya atau sel fotolistrik, adalah sebuah alat semikonduktor yang terdiri

dari sebagian besar dioda p-n junction dan dengan adanya cahaya matahari

mampu menghasilkan energi listrik. Menurut Culp et al, sel surya merupakan

suatu perangkat yang mampu mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik

melalui efek fotolistrik. Prinsip operasi dari efek fotolistrik dengan menggunakan

selenium, telah ditemukan oleh Adam dan Day pada tahun 1876. Kemudian pada

tahun 1941 semikonduktor yang digunakan pada fotolistrik dikembangkan oleh

Ohl, sehingga dihasilkan sambungan p-n pada dua semi konduktor.[10]

Berdasarkan jenis dan bentuk susunan atom-atom penyusunnya, sel surya

dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Sel surya Monokristal (Mono-crystalline)

Sel surya monokristal merupakan panel yang paling banyak digunakan dan

efisien, serta menghasilkan daya listrik persatuan luas yang paling tinggi. Sel

surya monokristal dirancang untuk penggunaan yang memerlukan konsumsi

listrik besar pada tempat-tempat yang beriklim ekstrim dan dengan kondisi

alam yang memiliki suhu sangat tinggi. Efisiensi yang dihasilkan mencapai

14 - 18%. Kelemahan dari panel jenis ini adalah tidak akan berfungsi baik

ditempat yang intensitas cahaya mataharinya kurang (teduh), sehingga

efisiensinya akan turun drastis dalam cuaca berawan.[11]

Gambar 2.1 Penampang Panel Sel surya Monokristal

2. Sel surya Polikristal (Poly-crystaline)

Sel surya polikristal merupakan sel surya yang menggunakan kristal dengan

susunan atom-atom yang tidak teratur karena dibuat dengan proses casting.

Tipe ini memerlukan luas permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan

jenis monokristal untuk menghasilkan daya listrik yang sama. Panel surya

jenis ini memiliki efisiensi lebih rendah dibandingkan tipe monokristal,

sehingga memiliki harga yang cenderung lebih rendah. Proses produksi sel

surya jenis ini relatif lebih cepat dan memerlukan biaya yang relatif kecil.[11]

Gambar 2.2 Penampang Panel Sel surya Polikristal

3. Sel Surya Silikon Amorf

Sel surya silikon amorf mengacu pada objek yang memiliki bentuk pasti dan

berasal dari bahan non-kristal. Tidak seperti silikon kristal, di mana susunan

atomnya yang teratur, silikon amorf pengaturan atomnya tidak teratur. Pada

silikon amorf, aktivitas timbal balik antara foton dan silikon cenderung lebih

sering terjadi. Keunggulan kristal amorf dibandingkan dengan kristal silikon

adalah cahaya yang mampu diserap lebih banyak. Dengan demikian, sebuah

film silikon amorf yang sangat tipis dengan ketebalan kurang dari 1μm dapat

diproduksi dan digunakan untuk pembangkit listrik. Selain itu, dengan

memanfaatkan logam atau plastik sebagai substratnya, sel surya fleksibel juga

dapat diproduksi. Sel surya jenis amorf adalah sel surya yang dibentuk

dengan mendoping material silikon di belakang lempeng kaca. Dinamakan

amorphous atau tanpa bentuk karena material silikon yang membentuknya

tidak terstruktur atau tidak mengkristal. Sel surya jenis ini biasanya berwarna

coklat tua pada sisi yang menghadap matahari dan keperakan pada sisi

konduktifnya. Pada sel surya jenis ini terdapat garis-garis tipis pararel di

permukaannya, garis-garis ini merupakan lapisan n dan p dari substrat silikon

dan menjadi batas-batas individu sel surya dalam panel. Sel surya jenis ini

biasanya tanpa titik hook-up atau kabel yang jelas, sehingga penggunaannya

sedikit lebih rumit.[12]

Saat ini, sel surya telah berkembang menjadi sumber daya energi yang

bersih dan juga biaya produksi yang relatif rendah. Kekurangan yang dimiliki oleh

sel surya konvensional salah satunya adalah kinerjanya yang bergantung pada

intensitas sinar matahari. Oleh karena itu, dalam penggunaannya diperlukan

perangkat lain yang mampu menyimpan energi listrik sehingga energi listrik yang

dihasilkan dapat digunakan walaupun sel surya sedang tidak mendapatkan sinar

matahari.[10]

Faktor utama yang sangat berpengaruh pada kinerja sel surya terutama

berasal dari faktor lingkungan sistem. Sel surya akan memberikan kinerja

maksimal jika temperatur sel berada pada temperatur ruangan, yaitu sekitar 25°C.

Kenaikan temperatur sel surya akan melemahkan tegangan yang dihasilkan.

Intensitas radiasi matahari di setiap wilayah tentunya berbeda-beda, hal ini

tentunya akan mempengaruhi pada kinerja sel surya. Selain itu, posisi atau tata

letak dari sel surya itu sendiri juga akan mempengaruhi kinerja dari sel surya.

Posisi sel surya yang tegak lurus dengan arah datang sinar matahari merupakan

posisi terbaik penempatan sel surya, karena energi yang dihasilkan oleh sel surya

tersebut akan maksimal.[13]

2.3 Sel Surya Tersensitasi Zat Warna

Sel surya tersensitasi zat warna (Dye Sensitized Solar Cell, DSSC)

merupakan salah satu generasi sel surya yang telah mendapatkan perhatian dunia

sejak tahun 1991. DSSC merupakan perangkat sel surya yang sangat menarik

karena beberapa keunggulan. Keunggulan yang dimiliki oleh DSSC diantaranya

adalah biaya produksi yang relatif rendah dan memiliki efisiensi yang relatif

tinggi. Saat ini, sel surya tersensitasi merupakan sel surya yang paling efisien dan

paling stabil.[14]

Sel surya tersensitasi zat warna merupakan alat yang mampu mengkonversi

sinar matahari menjadi energi listrik.[1]

Sel surya generasi pertama menggunakan

bahan silikon sebagai sensitizer-nya, dan memiliki efisiensi yang tinggi yaitu

sebesar 20%.[10]

Mengingat bahan silikon yang berperan sebagai sensitizer

tersedia dalam jumlah yang relatif sedikit, mengakibatkan sel surya generasi

pertama ini memiliki biaya produksi yang relatif tinggi. Pada generasi kedua,

digunakan semikonduktor polikristalin pada proses produksinya. Kekurangan

pada sel surya generasi ini adalah proses produksinya membutuhkan teknologi

yang relatif canggih, dan biaya yang relatif mahal. Untuk mengatasi kelemahan

pada sel surya generasi pertama dan generasi kedua, maka dikembangkan DSSC

yang memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan sel surya generasi

sebelumnya. DSSC merupakan sel surya generasi ketiga, pengembangan dari sel

fotolistrik konvensional generasi sebelumnya. Fotolistrik merupakan perangkat

yang bekerja berdasarkan konsep pemisahan muatan pada masing-masing

interface dari kedua material yang berbeda mekanisme konduksinya. DSSC

memiliki kelebihan dibandingkan sel surya generasi pertama dan generasi kedua,

yaitu memiliki biaya produksi yang rendah. Artinya, biaya dalam memproduksi

DSSC relatif lebih rendah namun menghasilkan performa yang relatif tinggi.

Akan tetapi, DSSC yang terbaik saat ini masih memiliki kelemahan, salah satunya

adalah efisiensi yang lebih kecil dibandingkan dengan sel surya generasi pertma

dan kedua yaitu 12%. Efisiensi yang kecil ini diakibatkan oleh beberapa faktor,

salah satunya adalah pengaruh sensitizer yang digunakan.[15]

Sel surya tersensitasi zat warna memiliki potensi yang besar sebagai sumber

energi alternatif pengganti bahan bakar fosil yang ramah lingkungan karena tidak

menimbulkan polusi. DDSC juga bersifat dapat digunakan berulang kali selama

bahan yang digunakan dalam keadaan baik, sehingga dapat menekan jumlah

sampah. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan penggunaan batu baterai

konvesional, karena sifatnya yang sekali pakai. Proses pembuatannya yang tidak

harus menggunakan teknologi canggih dan bahan yang sulit ditemukan sehingga

dapat menekan biaya produksinya. Mekanisme kerja DSSC meniru sistem

fotosintesis yang terjadi di alam. DSSC terdiri dari bagian elektroda, elektrolit

(iodide dan triodide (I-/I3

-), semikonduktor (nanokristal titanium dioksida (TiO2),

dan sensitizer.[16]

2.4 Mekanisme Transfer Elektron untuk Produksi Arus pada DSSC

Pada DSSC, sensitizer berperan sebagai sumber injeksi elektron ketika

sensitizer menerima foton dari cahaya matahari. Senyawa yang mampu

menangkap cahaya matahari dengan rentang panjang gelombang yang lebar, dan

dapat teroksidasi saat terkena cahaya matahari merupakan syarat sensitizer yang

baik. Pengertian teroksidasi disini yaitu elektron pada orbital HOMO (Highest

Occupied Molecular Orbital) sensitizer (D*/D), berpindah lagi menuju LUMO

(Lowest Unoccupied Molecular Orbital) sensitizer. Kemudian dari LUMO

sensitizer berpindah menuju pita konduksi (ECB) semi konduktor dengan bantuan

energi cahaya matahari.

Elektron yang telah mencapai semikonduktor kemudian akan diteruskan

oleh anoda menuju katoda melalui kaca konduktif ITO, sehingga akan

menghasilkan arus listrik. Elektron dari katoda akan diterima oleh elektrolit,

kemudian elektrolit akan mereduksi kembali sensitizer, dan seterusnya reaksi

terjadi secara berulang. Prinsip kerja DSSC terlihat pada Gambar 2.3.[17]

Gambar 2.3 Skema Prinsip Kerja DSSC[17]

Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa elektron dari zat warna berputar

ketika terkena foton dan cahaya matahari, sehingga DSSC dapat terus digunakan

selama zat warna menerima foton dari cahaya matahari dan komponen dari DSSC

dalam keadaan baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya energi

yang dihasilkan DSSC adalah kemampuan sensitizer dan intensitas cahaya yang

diterima.

2.5 Zat Warna Organik Dopamin dan Metil Katekol

Zat warna terbagi menjadi dua, yakni zat warna alami dan zat warna sintetik

atau buatan. Zat warna alami dapat berasal dari bahan-bahan alami seperti

tumbuhan, hewan, maupun mineral. Sedangkan zat warna sintetis merupakan zat

warna yang disintesis dari penyulingan minyak bumi atau yang dikenal dengan zat

warna buatan atau sintetik. Zat warna sintetik yang banyak digunakan pada DSSC

umumnya menggunakan senyawa organik logam berbasis rutenium kompleks,

namun memiliki biaya produksi yang cukup mahal. Untuk mengatasi masalah

penggunaan zat warna yang mahal, maka dapat digunakan juga zat warna organik

yang berasal dari tumbuhan. Keunggulan dari penggunaan zat warna organik

alami adalah mudah didapatkan, dan biaya pembuatannya yang relatif mudah. Zat

warna alami ini dapat disintesis dari tumbuh-tumbuhan, dan tidak memerlukan

teknologi yang canggih dalam pengolahannya.[1]

Zat warna merupakan gabungan zat organik tidak jenuh, kromofor, dan

auksokrom. Zat organik tidak jenuh yang dimaksud disini adalah suatu molekul

dengan senyawa aromatik yang terdiri dari hidrokarbon aromatin, fenol, dan

senyawa yang mengandung nitrogen. Zat warna adalah salah satu bahan yang

dapat menyerap sinar tampak pada panjang gelombang tertentu. Zat warna yang

digunakan pada DSSC akan memberikan pengaruh besar terhadap arus listrik

yang dihasilkan. Dengan demikian, zat warna yang dipilih haruslah memiliki

kemampuan menyerap panjang gelombang dengan rentang yang lebar agar

semakin baik kinerja zat warna tersebut.

Pada percobaan yang telah dilakukan oleh Creutz et al, digunakan senyawa

organik dopamin dan metil katekol sebagai sensitizer-nya dimana senyawa ini

merupakan senyawa turunan katekol. Dopamin merupakan molekul zat warna

yang dapat di sintesis dari buah pisang, terutama pada daging dan kulitnya yang

memberikan warna kuning pudar. Zat warna katekol yang umum digunakan dalam

penelitian didapatkan dari daun teh, dalam bentuk catechin. Zat warna ini

menghasilkan warna tampak ungu hingga kekuningan.

Dalam percobaannya, digunakan kompleks katekol yang diamati dengan

electrospray ionization mass spectrometry (ESI-MS).[7]

Fungsi zat warna pada

DSSC adalah sebagai penangkap foton dari radiasi matahari yang digunakan

untuk mengeksitasi elektron pada orbital HOMO zat warna tersebut, dan

kemudian ditransfer ke pita konduksi semikonduktor TiO2.

Gambar 2.4 Struktur Senyawa Katekol

Gambar 2.5 Struktur Senyawa Dopamin

Gambar 2.6 Struktur Senyawa Metil katekol

Gambar 2.7 Struktur Senyawa Dopamin yang Teradsorpsi Pada TiO2

Cluster

Gambar 2.8 Struktur Senyawa Metil Katekol yang Teradsorpsi Pada TiO2

Cluster

2.6 Titanium Dioksida (TiO2)

Titanium dioksida merupakan kristal yang berwarna putih dengan indeks

bias yang sangat tinggi, begitupun titik leburnya. Titik lebur yang dimiliki oleh

senyawa ini adalah 1855 °C. Kristal TiO2 bersifat asam, tidak larut dalam air,

asam klorida, asam sulfat encer dan alkohol. Namun, TiO2 ini larut dalam larut

dalam campuran asam sulfat pekat dan asam florida.

TiO2 mempunyai 3 bentuk struktur kristal yaitu rutil, anatase dan brookite.

Rutil dan anatase mempunyai struktur tetragonal dengan tetapan kisi kristal dan

sifat fisika yang berbeda. Struktur rutil lebih stabil pada temperatur tinggi,

sedangkan anatase lebih stabil pada temperatur rendah. Brookite mempunyai

struktur ortorombik yang sulit dibuat dan jarang ditemukan. Titanium dioksida

relatif melimpah dalam kulit bumi yaitu sekitar 0,6 %. Mineral TiO2 yang utama

adalah FeTiO3 (ilmenite) dan CaTiO3 (perovskit).

TiO2 dapat dipergunakan antara lain sebagai pigmen dalam industri cat,

pemutih pada industri kosmetik, dan fotokatalis. TiO2 dapat berfungsi sebagai

fotokatalis yaitu mempercepat reaksi yang diinduksi oleh cahaya karena

mempunyai struktur semikonduktor yaitu struktur elektronik yang dikarakterisasi

oleh adanya pita valensi (valence band; vb) terisi dan pita konduksi (conduction

band; cb) yang kosong. Kedua pita tersebut dipisahkan oleh celah yang disebut

energi celah pita (band gap energy; Eg). Energy gap TiO2 jenis anatase sebesar

3.2 eV dan jenis rutil sebesar 3.0 eV, sehingga jenis rutil lebih fotoreaktif daripada

jenis rutil.[18]

Dalam penelitian ini, TiO2 yang digunakan adalah berjenis anatase.

Gambar 2.9 Model Kristal TiO2 Anatase[18]

2.7 Komputasi Kimia

Masyarakat Indonesia sebagian besar beranggapan bahwa eksperimen kimia

harus dilakukan didalam laboratorium, dan melibatkan bahan-bahan kimia baik

berbentuk cair maupun padatan. Eksperimen yang dilakukan di dalam

laboratorium umumnya memiliki kendala utama, yaitu keterbatasan alat dan

bahan. Namun, dengan eksperimen secara komputasi kendala tersebut dapat

diminimalisir. Eksperimen komputasi merupakan metode yang ramah lingkungan,

relatif ekonomis, memungkinkan seorang peneliti untuk memprediksi penentuan

struktur, sifat, atau sistem kimia dengan waktu yang lebih singkat. Selain itu,

Oksigen

Titanium

eksperimen secara komputasi juga dapat memprediksikan sifat molekul yang

kompleks dengan hasil perhitungan yang berkorelasi dengan hasil eksperimen.[19]

Metode yang umum digunakan dalam studi komputasi adalah metode

Density Functional Theory (DFT), dan Time Dependent Density Functional

Theory (TDDFT). Kelemahan yang dimiliki oleh metode DFT adalah tidak dapat

menghitung spektrum absorpsi dan sifat elektro kimia, sementara TDDFT dapat

mengatasi kelemahan tersebut. Dalam perhitungan komputasi harus menggunakan

basis set sebagai baris perintah yang akan diterjemahkan oleh program komputer,

basis set yang umum digunakan adalah 3-21G, 6-31G*.[1]

2.8 Metode Density Functional Theory (DFT), dan Metode Time Dependent

Density Functional Theory (TDDFT)

Metode DFT mulai berkembang sejak tahun 1980 dan 1990, dan hanya

mampu menghitung secara global energi elektronik total dan distribusi kerapatan

elektron dari suatu senyawa. Metode DFT berbeda dengan metode Hartre-Fock,

dimana dalam metode Hartre-Fock perhitungannya menggunakan fungsi

gelombang tunggal yang perhitungannya benar-benar menghitung seluruh N atau

jumlah elektron dalam suatu molekul dalam fungsi gelombang. Pada metode DFT,

energi elektronik total berhubungan dengan total kerapatan elektron. Metode DFT

digunakan untuk menentukan prediksi sifat optik, dan juga sifat elektronik dari

senyawa organik. Metode TDDFT melibatkan potensial luar, namun pada metode

DFT tidak dapat menentukan sifat optik maupun sifat elektronik senyawa organik

yang digunakan dalam penelitian ini.[1]

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Model Molekul

3.1.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Perangkat keras (hardware)

Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer

pribadi.

b. Perangkat lunak (software)

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah program

Avogadro 1.1.0, Chemcraft 1.6, Firefly 8 RC 40, Gabedit, dan Gaussian

03.

3.1.2 Model Molekul

Model molekul yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Molekul zat warna organik dopamin.

b. Molekul zat warna organik dopamin yang berikatan dengan TiO2 cluster.

c. Molekul zat warna organik metil katekol.

d. Molekul zat warna organik metil katekol yang berikatan dengan TiO2

cluster.

3.2 Metode Penelitian

Molekul zat warna organik dopamin, dopamin yang berikatan dengan TiO2,

metil katekol, dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2 digambar

menggunakan perangkat lunak Avogadro untuk mendapatkan data koordinat

struktur dalam format cartesian, kemudian dilakukan optimasi molekular mekanik

struktur. Optimasi dilakukan beberapa kali sampai mendapatkan bentuk struktur

yang optimum untuk mempercepat proses perhitungan. Koordinat atom – atom

pada molekul yang sudah di optimize, selanjutnya digunakan sebagai input file

untuk perhitungan menggunakan perangkat lunak Firefly, dan Gaussian 03.

Seluruh input file senyawa dopamin, dopamin yang berikatan dengan TiO2,

metil katekol , dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2 dihitung

menggunakan program Firefly , dan Gaussian yang dijalankan dalam sistem

Windows. Perhitungan pertama merupakan perhitungan dengan menggunakan

metode DFT (Density Functional Theory), dan output yang dihasilkan akan diolah

lebih lanjut dengan perangkat lunak yang sama dengan menggunakan metode

TDDFT (Time Dependent Density Functional Theory).

Untuk lebih jelas mengenai baris perintah yang digunakan dalam

perhitungan, dapat dilihat sebagai berikut :

1. Perhitungan DFT Firefly

$BASIS GBASIS=N31 NGAUSS=6 NDFUNC=1 NPFUNC=1 $END

$CONTRL SCFTYP=RHF RUNTYP=OPTIMIZE DFTTYP=B3LYP

ICHARG=0 MULT=1 $END

$P2P P2P=.T. DLB=.T. $END

$p2p mxbuf=2048 $end

$contrl nzvar=1 $end

2. Perhitungan TDDFT Firefly

$CONTRL SCFTYP=RHF DFTTYP=B3LYP CITYP=TDDFT

ICHARG=0 MULT=1 $END

$SYSTEM TIMLIM=3000 MEMORY=40676483 $END

$BASIS GBASIS=N31 NGAUSS=6 NDFUNC=1 NPFUNC=1 $END

$TDDFT NSTATE=70 $END

$P2P P2P=.T. DLB=.T. $END

$scf dirscf=.t. $end

$DATA

3. Perhitungan DFT Gaussian

#p B3LYP/6-31G(d,p) Opt gfinput pop=full iop(6/7=3)

4. Perhitungan TDDFT Gaussian

#p B3LYP/6-31G(d,p) SP TD(Nstates=70) gfinput pop=full iop(6/7=3)

Perangkat lunak Gabedit akan mengolah file dengan ekstensi .out, output

dari masing-masing perangkat lunak yang digunakan. Analisis dengan Gabedit ini

dilakukan untuk mengetahui energi band gap HOMO/LUMO, dan juga spektrum

UV dari senyawa dopamin, dopamin yang berikatan dengan TiO2, metil katekol,

dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2. Berikut ini adalah flow chart

keseluruhan proses studi komputasi senyawa dopamin, dopamin yang berikatan

dengan TiO2, metil katekol, dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2 yang

akan dilakukan pada penelitian ini :

Start

Gambar dan optimasi struktur

(Avogadro)

Koordinat struktur (Avogadro)

Data output perhitungan

Metode DFT

Gabedit 2.4.6

Senyawa dopamin, dopamin

yang berikatan dengan TiO2,

metil katekol , dan metil

katekol yang berikatan dengan

TiO2

Input

Proses

Perhitungan Firefly, dan

Gaussian

Metode TDDFT Perhitungan Firefly, dan

Gaussian

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perlakuan Komputasi

Perhitungan ini dilakukan menggunakan metode DFT (Dependent

Functional Theory) dan TDDFT (Time Dependent Functional Theory) dengan

menggunakan beberapa perangkat lunak, diantaranya adalah dengan

menggunakan Firefly 8 RC40, dan Gaussian 03. Mengikuti percobaan yang

dilakukan oleh Sanchez et al, percobaan ini dilakukan dalam beberapa tahapan

namun dengan menggunakan metoda dan basis set yang berbeda.[20]

Penggambaran geometri senyawa dilakukan terlebih dahulu dengan menggunakan

perangkat lunak Avogadro 1.1.0, penggambaran ini dilakukan untuk mendapatkan

koordinat dari atom-atom dalam senyawa tersebut. Dari koordinat yang

didapatkan, kemudian dibuat input file untuk masing-masing perangkat lunak.

Dalam masing-masing input file yang dibuat, keseluruhan menggunakan basis set

6-31G (d,p) dengan menggunakan metode B3LYP. Untuk perhitungan DFT,

dilakukan optimasi geometri, sedangkan untuk perhitungan TDDFT hanya

menggunakan single point calculation. Pada perhitungan TDDFT, digunakan

Energi band gap

HOMO/LUMO

Spektrum absorpsi UV - VIS Output

Gambar 3.1. Diagram Alir Studi Komputasi Senyawa Dopamin, Dopamin yang Berikatan dengan

TiO2 , Metil katekol, dan Metil katekol yang Berikatan dengan TiO2 dengan Metode DFT dan

TDDFT

keadaan eksitasi sebesar 70. Hasil perhitungan DFT akan diproses lebih lanjut lagi

menggunakan metode TDDFT. Dari hasil perhitungan TDDFT tersebut dapat

diketahui spektrum UV-Vis dan perbedaan pita energi HOMO – LUMO masing-

masing senyawa. Output hasil perhitungan digunakan untuk melengkapi hasil

experimen.

4.1.1 Struktur Model Molekul

Molekul zat warna yang digunakan dalam penelitian ini merupakan molekul

zat warna organik yang digunakan oleh Creutz et al, dan dapat disintesis dari

alam. Model molekul yang digunakan dalam kajian studi komputasi ini

diantaranya adalah dopamin, dopamin yang berikatan dengan TiO2, metil katekol,

dan metil katekol yang berikatan dengan TiO2, dimana TiO2 dalam perhitungan

ini menggunakan model cluster Ti(OH)2-zat warna. Dibawah ini merupakan

gambar model molekul yang digunakan dalam studi komputasi dalam bentuk tiga

dimensi sesudah dilakukan optimasi geometri secara molecular mechanic dan juga

hasil optimasi geometri dengan metode DFT.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4.1 (a) Model Molekul Dopamin Hasil Optimasi Geometri Secara

Mekanika Molekuler, (b) Molekul Dopamin Hasil Optimasi Geometri

Menggunakan Firefly, dan (c) Molekul Dopamin Hasil Optimasi Geometri

Gaussian.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4.2 (a) Model Molekul Dopamin yang Berikatan dengan TiO2 Hasil

Optimasi Geometri Secara Mekanika Molekuler, (b) Molekul Dopamin yang

Berikatan dengan TiO2 Hasil Optimasi Geometri Menggunakan Firefly, dan (c)

Molekul Dopamin yang Berikatan dengan TiO2 Hasil Optimasi Geometri

Menggunakan Gaussian.

(a)

(c)

Gambar 4.3 (a) Model Molekul Metil Katekol Hasil Optimasi Geometri Secara

Mekanika Molekuler, (b) Model Molekul Metil Katekol Hasil Optimasi Geometri

Menggunakan Firefly, dan (c) Model Molekul Metil Katekol Hasil Optimasi

Geometri Menggunakan Gaussian.

(b)

(a)

(b)

(c)

Gambar 4.4 (a) Model Molekul Metil Katekol yang Berikatan dengan TiO2

Hasil Optimasi Geometri Secara Mekanika Molekuler, (b) Molekul Metil

Katekol yang Berikatan dengan TiO2 Hasil Optimasi Geometri

Menggunakan Firefly; dan (c) Molekul Metil Katekol yang Berikatan

dengan TiO2 Hasil Optimasi Geometri Menggunakan Gaussian

4.2 Sifat Elektronik Dopamin Bebas dan Dopamin yang Teradsorpsi Pada

TiO2

4.2.1 Kurva Adsorpsi UV-Vis

Dari hasil perhitungan masing-masing perangkat lunak, didapatkan dua jenis

kurva spektrum UV-Vis. Dari masing-masing kurva spektrum, terdapat beberapa

perbedaan. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan akurasi hasil optimasi

perangkat lunak yang digunakan, selain itu perbedaan ini dapat diakibatkan juga

oleh batas toleransi yang dimiliki oleh perangkat lunak perhitungan. Namun jika

dilihat dari pola spektrum UV-Visnya, kedua spektrum tersebut tidak terlalu

berbeda.

Gambar 4.5 Spektrum UV-Vis Dopamin Bebas Hasil Perhitungan

Komputasi

Kekuatan osilator sebanding dengan intensitas spektrum, yang mejelaskan

besarnya probabilitas elektron yang tereksitasi. Dalam senyawa dopamin bebas,

terdapat beberapa puncak dengan intensitas yang berbeda-beda. Puncak paling

tinggi dihasilkan pada energi 6,884 eV dengan kekuatan osilator sebesar 0,642,

dimana puncak paling tinggi ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari H-2→L+1

sebanyak 16%, H-1→L+1 sebanyak 56%, dan H→Lsebanyak 16%. Selain itu,

puncak tertinggi ini juga dihasilkan dari kontribusi minor dari eksitasi elektron H-

3→L sebanyak 2%, H-2→L sebanyak 2%, dan H-1→L sebanyak 4% yang

mengindikasikan pada panjang gelombang tersebut terdapat paling banyak

elektron yang tereksitasi. Puncak tertinggi kedua dihasilkan pada energi 6,663 eV

dengan kekuatan osilator sebesar 0,311, dimana pada puncak paling tinggi ini

dihasilkan dari eksiatasi elektron dari H-2→L sebanyak 12%, H-1→L sebanyak

49%, dan H→L+1 sebanyak 26%. Pucak tertinggi ketiga dihasilkan pada energi

9,289 dengan kekuatan osilator sebesar 0,093, dimana pada puncak paling tinggi

ini dihasilkan dari eksitasi elektron dari H-2→L+7 sebesar 15%, H-2→L+8

sebesar 26%, dan H-1→L+8 sebesar 19%. Tabel 4.1 memperlihatkan probabilitas

eksitasi elektron secara lengkap pada molekul zat warna dopamin hasil

perhitungan TDDFT menggunakan perangkat lunak Firefly.

Tabel 4.1 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Dopamin Bebas Hasil

Perhitungan Firefly (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO)

No Kekuatan

osilator

Energi

(eV) Kontribusi Utama Kontribusi Minor

1 0,642 6,884

H-2→L+1 (16%),

H-1→L+1 (56%),

H→L (16%)

H-3→L (2%), H-2→L (2%), H-1→L (4%)

2 0,311 6,66 H-2→L (12%),

H-1→L (49%),

H→L+1 (26%)

H-2→L+1 (7%)

3 0,093 9,289

H-2→L+7 (15%),

H-2→L+8 (26%),

H-1→L+8 (19%)

H-8→L (8%), H-7→L (4%), H-6→L (2%),

H-6→L+1 (4%), H-2→L+5 (6%),

H-2→L+6 (4%), H-2→L+10 (2%),

H-1→L+6 (2%),H→L+9 (2%)

4 0,067 5,790 H-1→L(25%),

H→L+1 (68%) H-2→L (3%), H→L (3%)

5 0,061 5,002 H-1→L+1 (16%),

H→L (77%) H-2→L+1 (3%), HOMO→L+1 (2%)

6 0,049 9,173 H-7→L (80%) H-8→L (2%), H-1→L+7 (2%), H-1→L+8

(6%), H→L+9 (3%), H→L+10 (2%)

7 0,046 7,917 H-3→L (95%)

8 0,043 10,629

H-5→L+3 (33%),

H-4→L+3 (17%),

H→L+14 (23%),

H→L+15 (12%)

H-6→L+3 (3%), H→L+13 (3%)

9 0,033 8,397 H-3→L+1 (71%),

H→L+8 (13%) H-2→L+4 (4%), H→L+7 (3%)

10 0,031 9,815

H-7→L+1 (25%),

H-5→L+2 (21%),

H-4→L+2 (22%),

H-2→L+9 (16%)

H-8→L+1 (2%), H-2→L+11 (2%)

Hasil dari perhitungan perangkat lunak Gaussian dengan menggunakan

metoda TDDFT memberikan sedikit perbedaan dibandingkan hasil perhitungan

menggunakan perangkat lunak Firefly, namun tidak terlalu signifikan. Puncak

paling tinggi sama-sama dihasilkan pada energi 6,784 eV dengan kekuatan

osilator sebesar 0,628, dimana puncak tertinggi ini dihasilkan oleh eksitasi

elektron dari H-2→L+1 sebanyak 26%,

H-1→L+1 sebanyak 35%, dan oleh eksitasi elektron dari H→L sebanyak 11%.

Selain itu, puncak tertinggi ini juga dihasilkan oleh kontribusi minor eksitasi

elektron dari H-3→L sebanyak 3%. Puncak tertinggi kedua dihasilkan pada energi

6,632 eV dengan kekuatan osilator sebesar 0,305, dimana pada puncak tertinggi

ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari H-2→L sebanyak 25%, eksitasi elektron

dari orbital H-1→L sebanyak 33%, dan eksitasi elektron dari orbital H→L+1

sebanyak 14%. Puncak tertinggi ketiga sama-sama dihasilkan oleh eksitasi

elektron dari H-7→L sebanyak 87%. Selain itu, puncak tertinggi ketiga ini

dihasilkan dari kontribusi minor eksitasi elektron dari H-8→L sebanyak 3%.

Energi yang dihasilkan pada puncak tertinggi ketiga ini sebesar 9,119 eV, dengan

kekuatan osilator sebesar 0,109. Tabel 4.2 memperlihatkan prediksi eksitasi

elektron dari molekul zat warna dopamin hasil perhitungan TDDFT dengan

menggunakan perangkat lunak Gaussian.

Seperti yang terlihat pada tabel hasil perhitungan senyawa dopamin diatas,

pada senyawa zat warna dopamin bebas eksitasi elektron dominan bersal dari

eksitasi H-2, H-1 dan L+1 (Tabel 4.1 dan Tabel 4.2). Nilai berkorelasi dengan

hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sanchez et al

namun dengan fungsi berbeda (PW91).[20]

Orbital H-2 dan H-1 berasal dari orbital

π pada seluruh gugus hidroksil. Elektron bebas pada gugus hidroksil memiliki

kontribusi yang sangat tinggi pada orbital ini. Sementara itu, elektron bebas dari

gugus hidroksil kemudian terdistribusi ke seluruh cincin molekul.

Tabel 4.2 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Dopamin Bebas Hasil

Perhitungan Gaussian (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO)

No Kekuatan

osilator

Energi

(eV) Kontribusi Utama Kontribusi Minor

1 0,627 6,784

H-2→L+1 (26%),

H-1→L+1 (35%),

H→L (11%)

H-3→L (3%)

2 0,305 6,632

H-2→L (25%),

H-1→L (33%),

H→L+1(14%)

3 0,109 9,119 H-7→L (87%) H-8→L (3%)

4 0,098 10,653

H-6→L+3 (12%),

H-5→L+3 (24%),

H-4→L+4 (32%)

H-6→L+2 (8%), H-4→L+3 (3%),

H-2→L+11 (4%), H-1→L+11 (3%)

5 0,085 5,725 H-1→L (14%), H-2→L (7%)

H→L+1 (66%)

6 0,078 10,297

H-5→L+2 (34%),

H-4→L+3 (11%),

H-2→L+10 (11%),

H-1→L+10 (24%)

H-7→L+2 (3%), H-3→L+5 (2%)

7 0,068 7,980 H-3→L (84%)

8 0,058 4,978 H-1→L+1 (15%),

H→L (73%) H-2→L+1 (9%)

9 0,052 9,410 H-2→L+8 (33%),

H-1→L+8 (40%)

H-3→L+2 (3%),H-2→L+6 (6%),

H-2→L+7 (3%),H-1→L+6 (3%),

H→L+10 (2%)

10 0,047 10,530 H-6→L+2 (16%),

H-5→L+3 (27%)

H-5→L+2 (9%),H-5→L+4 (7%),

H-4→L+2 (7%),H-4→L+3 (4%),

H-4→L+4 (3%),H-2→L+11 (8%),

H-1→L+11 (5%)

Diagram penyebaran elektron dominan pada perhitungan senyawa dopamin

dengan menggunakan dua perangkat lunak perhitungan komputasi menghasilkan

data yang sama persis, diagram penyebaran elektron dapat dilihat di Gambar 4.6.

Hal ini dikarenakan dalam perhitungan tersebut menggunakan metoda dan basis

set yang sama. Perbedaan hanya dihasilkan pada persentase dari masing-masing

kontribusi elektron, hal ini dikarenakan perbedaan tingkat akurasi yang dimiliki

oleh perangkat lunak perhitungan yang digunakan.

a b c

Gambar 4.6 Diagram Penyebaran Elektron Hasil Perhitungan Komputasi

Senyawa Dopamin Bebas (a) Pada Orbital H-2, (b) Pada Orbital H-1, (c) Pada

Orbital L+1, (d) Pada Orbital HOMO, dan (e) Pada Orbital LUMO.

Untuk senyawa zat warna yang teradsorpsi pada TiO2 dilakukan pendekatan

yang hampir sama dengan senyawa zat warna bebas, dimana TiO2 yang digunakan

adalah cluster Ti(OH)2-zat warna. Hasil perhitungan dari senyawa dopamin yang

teradsorpsi pada cluster TiO2, menunjukan perbedaan yang tidak terlalu

signifikan. Gambar 4.7 memperlihatkan spektrum UV-Vis dari senyawa dopamin

yang teradsorpsi pada cluster TiO2 dari hasil perhitungan menggunakan perangkat

lunak Gaussian dan Firefly, dimana dari gambar tersebut dapat diketahui jumlah

puncak yang diperoleh dari masing-masing hasil perhitungan.

Pada perhitungan pertama yang menggunakan perangkat lunak Firefly,

puncak tertinggi dengan kekuatan osilator 0,650 yang dihasilkan pada energi

6,828 eV, dimana puncak tersebut hanya berbeda sebesar 0,056 eV jika

dibandingkan dengan molekul zat warna bebas. Puncak tersebut dihasilkan oleh

kontribusi utama eksitasi elektron dari orbital H-2→L+8 sebanyak 55%, dan

eksitasi elektron H→L+6 sebanyak 11%. Sementara kontribusi minor dihasilkan

oleh eksitasi elektron H-9→LUMO sebanyak 3%, H-5→L+4 sebanyak 3%, H-

4→L+3 sebanyak 4%, H-3→L+2 sebanyak 2%, H-3→L+4 sebanyak 2%, H-

2→L+7 sebanyak 3%, H-1→L+8 sebanyak 2%, dan H→L+7 sebanyak 3%.

d e

Gambar 4.7 Spektrum UV-Vis Dopamin yang Teradsorpsi pada TiO2 Hasil

Perhitungan Komputasi

Puncak tertinggi kedua dihasilkan oleh kontribusi utama eksitasi elektron

dari orbital H-3→L+2 sebanyak 77%, sementara kontribusi minor dihasilan oleh

eksitasi elektron dari H-8→L+2 sebanyak 2%, H-5→L+4 sebanyak 7%, dan H-

2→L+8 sebanyak 4%. Puncak tertinggi ketiga dihasilkan oleh kontribusi utama

eksitasi elektron dari orbital H-3→L+4 sebanyak 17%, H-2→L+6 sebanyak 22%,

dan H-2→L+7 sebanyak 35%. Selain itu, puncak tertinggi ketiga ini dihasilkan

dari kontribusi minor eksitasi elektron H-5→L+2 sebanyak 2%, H-4→L+1

sebanyak 2%, H-2→L+3 sebanyak 2%, H-2→L+8 sebanyak 2%, H-1→L+6

sebanyak 2%, dan H→L+8 sebanyak 7%. Tabel 4.3 memperlihatkan probabilitas

eksitasi elektron secara lengkap dari molekul dopamin yang teradsorpsi pada TiO2

cluster hasil perhitungan TDDFT perangkat lunak Firefly.

Tabel 4.3 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Dopamin yang

Teradsorpsi pada TiO2 Hasil Perhitungan Firefly (Keterangan : H = HOMO, L =

LUMO)

No Kekuatan

osilator

Energi

(eV) Kontribusi Utama Kontribusi Minor

1 0,650 6,828 H-2→L+8 (55%),

H→L+6 (11%)

H-9→L (3%), H-5→L+4 (3%),H-4→L+3

(4%), H-3→L+2 (2%),H-3→L+4 (2%), H-

2→L+7 (3%),H-1→L+8 (2%), H→L+7 (3%)

2 0,147 6,659 H-3→L+2 (77%) H-8→L+2 (2%), H-5→L+4 (7%),

H-2→L+8 (4%)

3 0,139 6,757

H-3→L+4 (17%),

H-2→L+6 (22%),

H-2→L+7 (35%)

H-5→L+2 (2%), H-4→L+1 (2%),H-2→L+3

(2%), H-2→L+8 (2%),H-1→L+6

(2%),H→L+8 (7%)

4 0,116 5,153 H-2→L+8 (13%),

H→L+6 (75%)

H-2→L+1 (2%), H-2→L+3 (2%),

H-1→L+8 (2%)

5 0,080 4,381

H-3→L (11%),

H-2→L+1 (16%),

H→L+3 (58%),

H→L+4 (10%)

H→L+6 (2%)

6 0,066 6,963 H-7→L+3 (16%),

H-3→L+4 (47%)

H-5→L+2 (2%), H-4→L+1 (2%),H-2→L+6

(4%), H-2→L+8 (2%),H-1→L+9 (7%),

H→L+8 (4%)

7 0,048 4,970 H-3→L (76%) H-8→L (2%), H-2→L+1 (2%),H-2→L+3

(2%), H-1→L+3 (3%),H→L+3 (8%)

8 0,032 6,250

H-8→L (16%),

H-7→L+1 (39%),

H-1→L+7 (10%)

H-11→L (4%), H-11→L+2 (2%),H-10→L

(2%), H-4→L+1 (4%),H-2→L+6 (5%),

H-2→L+7 (5%),H-2→L+8 (4%)

9 0,031 7,140

H-13→L+1 (18%),

H-7→L+3 (17%),

H-5→L+4 (16%)

H-12→L+1 (4%), H-11→L+2 (5%),

H-7→L+4 (5%), H-6→L+2 (3%),

H-6→L+3 (2%), H-4→L+3 (7%),

H-3→L+4 (3%),

10 0,030 6,090 H-1→L+8 (81%) H-7→L+1 (2%), H-2→L+6 (5%),

H-2→L+8 (4%), H-1→L+7 (2%)

Perhitungan zat warna dopamin yang teradsorpsi pada TiO2 dengan

menggunakan perangkat lunak Gaussian menghasilkan spektrum UV-Vis yang

hampir serupa dengan Firefly, dimana pada hasil kedua perhitungan tersebut

sama-sama menghasilkan tiga pola puncak pada panjang gelombang dengan

perbedaan yang tidak signifikan. Puncak tertinggi pertama dengan kekuatan

osilator 0,675, dengan energi sebesar 6,833 eV. Puncak ini dihasilkan oleh

eksitasi elektron dari H-2→L+8 sebanyak 44%, sementara kontribusi minor

dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-11→L sebanyak 3%, H-6→L+3

sebanyak 2%, H-4→L+3 sebanyak 5%, H-2→L+6 sebanyak 2%, H-2→L+7

sebanyak 2%, H-1→L+8 sebanyak 2%, H→L+6 sebanyak 6%, dan H→L+7

sebnyak 2%.

Puncak tertinggi kedua memiliki kekuatan osilasi sebesar 0,122, dengan

energi sebesar 5,170 eV. Puncak tertinggi kedua ini dihasilkan oleh eksitasi

elektron dari

H-2→L+8 sebanyak 20%, dan oleh eksitasi elektron dari H→L+6 sebanyak 72%.

Puncak energi ketiga dihasilkan oleh kontribusi utama eksitasi elektron dari

orbital

H-3→L+4 sebanyak 29%, H-2→L+6 sebanyak 17%, dan H-2→L+7 sebanyak

27%. Sementara itu, kotribusi yang dihasilkan adalah H-2→L+8 sebanyak 2%,

dan H→L+8 sebanyak 5%. Probabilitas eksitasi elektron hasil perhitungan

TDDFT dari molekul dopamin yang teradsorpsi TiO2 menggunakan perangkat

lunak Gaussian secara lebih rinci diperlihatkan pada Tabel 4.4.

No

Kekuatan

Osilator

Energi

(eV) Kontribusi Utama Kontribusi Minor

1 0,675 6,833 H-2→L+8 (44%)

H-11→L (3%), H-6→L+3 (2%), H-4→L+3

(5%), H-2→L+6 (2%), H-2→L+7 (2%),

H-1→L+8 (2%), H→L+6 (6%), H→L+7 (2%)

2 0,122 5,170 H-2→L+8 (20%),

H→L+6 (72%)

3 0,101 8,064

H-3→L+4 (29%),

H-2→L+6 (17%),

H-2→L+7 (27%)

H-2→L+8 (2%), H→L+8 (5%)

4 0,088 4,333

H-3→L (13%),

H-2→L+1 (11%),

H→L+3 (66%)

5 0,085 6,940

H-11→L (12%),

H-10→L (11%),

H-8→L+1 (10%),

H-7→L+3 (12%),

H-3→L+4 (23%)

H-14→L (3%), H-2→L+6 (3%),

H-2→L+8 (4%), H→L+8 (2%)

6 0,084 6,623 H-5→L+2 (20%),

H-3→L+2 (62%) H-5→L+4 (7%)

7 0,071 6,966 H-11→L (36%), H-14→L (5%), H-8→L+1 (3%),

Tabel 4.4 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Dopamin Yang Teradsorpsi

pada TiO2 Hasil Perhitungan Gaussian (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO)

H-10→L (13%),

H-7→L+3 (12%)

H-3→L+4 (9%), H-2→L+6 (2%)

8 0,055 4,937 H-3→L (75%) H-2→L+3 (2%), H→L+3 (7%)

9 0,046 7,103

H-13→L+1 (32%),

H-12→L+2 (10%),

H-5→L+4 (25%)

H-7→L+3 (3%), H-6→L+3 (7%),

H-4→L+3 (9%)

10 0,038 6,618 H-5→L+2 (58%),

H-3→L+2 (17%)

H-10→L (2%), H-9→L (3%),

H-9→L+2 (2%), H-3→L+4 (3%),

H-2→L+7 (3%)

Gambar 4.8 menunjukan diagram penyebaran elektron pada senyawa zat

warna dopamin yang teradsorpsi pada TiO2. Dalam keadaan teradsorpsi pada

TiO2, senyawa zat warna menunjukan lebih banyak elektron yang terdistribusi

pada seluruh sistem zat warna. HOMO dan LUMO yang dihasilkan hampir

menyerupai molekul zat warna bebasnya. Namun ada hal lain yang harus

diperhatikan, yakni pada eksitasi elektron yang dihasilkan oleh atom Ti. Terutama

pada L+2 dan seterusnya dimana pada keadaan eksitasi ini terdapat orbital d yang

berasal dari atom Ti. Atom Ti memiliki peran penting pada terbentuknya orbital d.

Pada sistem zat warna yang memiliki beberapa atom titanium, fungsi gelombang

elektronik dapat tersebar ke seluruh sistem zat warna. Pada sistem tersebut, fungsi

dari atom titanium adalah untuk menstabilkan sistem zat warna secara

keseluruhan.

c d

b a

Gambar 4.8 Diagram Penyebaran Elektron Hasil Perhitungan Komputasi

Senyawa Dopamin yang Teradsorpsi pada TiO2 (a) Pada Orbital H-2, (b) Pada

Orbital L+8,

(c) Pada Orbital HOMO, dan (d) Pada Orbital L+6.

Setelah teradsorpsi pada TiO2, gabungan senyawa zat warna dan cluster

memiliki distribusi densitas elektron lebih banyak. Pengurutan distribusi densitas

elektron ini dilakukan oleh perangkat lunak perhitungan dengan melihat seberapa

dekat tingkatan energi yang ada pada elektron yang menempati orbital dan orbital

virtual yang ada.

4.3 Sifat Elektronik Metil Katekol Bebas dan Metil Katekol yang

Teradsorpsi padaTiO2

4.3.1 Kurva Absorpsi UV-Vis

Sama seperti perhitungan senyawa dopamin sebelumnya, pada hasil

perhitungan senyawa metil katekol juga didapatkan beberapa perbedaan pola

spektrum UV-Vis. Namun, perbedaan pola spektrum UV-Vis tersebut tidak terlalu

signifikan. Kekuatan osilator akan sebanding dengan intensitas spektrum yang

menjelaskan besarnya probabilitas elektron yang tereksitasi.

Gambar 4.9 Spektrum UV-Vis Metil Katekol Hasil Perhitungan Komputasi

Dari hasil perhitungan menggunakan perangkat lunak Firefly, puncak

tertinggi pertama dengan kekuatan osilator 0,426 mempunyai energi sebesar 6,873

eV. Puncak tertinggi ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari H-1→L+7 sebanyak

30%, dan H-1→L+9 sebanyak 20%. Kontribusi minor yang dihasilkan berasal

dari eksitasi elektron dari H-11→L+1 sebanyak 6%, H-10→L sebanyak 2%, H-

8→L sebanyak 5%, H-5→L+2 sebanyak 5%, H-3→L+2 sebanyak 2%, H-1→L+6

sebanyak 2%, dan H→L+6 sebanyak 8%.

Puncak tertinggi kedua dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-

11→L+1 sebanyak 20%, dan eksitasi elektron dari orbital H-1→L+7 sebanyak

25%. Kontribusi minor yang dihasilkan pada puncak ini adalah H-10→L

sebanyak 2%, H-9 → L sebanyak 7%, H-8→L sebanyak 9%, H-7→L sebanyak

2%, H-3→L+3 sebanyak 7%, H-3→L+5 sebanyak 2%, H-2→L+3 sebanyak 2%,

H-1→L+8 sebanyak 3%, dan H→L+6 sebanyak 4%. Puncak tertinggi ketiga

dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-2→L+2 sebanyak 19%, H-1→L+6

sebanyak 17%, dan H-1→L+8 sebanyak 33%. Selain itu, puncak ini juga

dihasilkan dari kontribusi minor H-10→L sebanyak 3%, H-8→L sebanyak 4%,

H-3→L+2 sebanyak 2%, H-2→L+3 sebanyak 2%, H-2→L+5 sebanyak 4%, dan

H→L+7 sebanyak 7%. Tabel 4.5 memperlihatkan probabilitas eksitasi elektron

secara lengkap pada molekul zat warna metil katekol hasil perhitungan TDDFT

menggunakan perangkat lunak Firefly.

Perhitungan menggunakan perangkat lunak Gaussian menghasilkan hasil

yang sedikit berbeda dibandingkan hasil perhitungan TDDFT Firefly, namun tidak

terlalu signifikan. Puncak tertinggi pertama yang dihasilkan memiliki kekuatan

osilator sebesar 0,372, dan memiliki energi sebesar 6,821 eV. Puncak tertinggi

pertama ini dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-11→LUMO sebanyak

11%, dan H-1→L+8 sebanyak 40%. Kontribusi minor yang dihasilkan berasal

dari orbital molekul H-10→L+1 sebanyak 2%, H-9→L sebanyak 9%, H-5→L+3

sebanyak 2%, H-4→L+3 sebanyak 4%, dan H→L+6 sebanyak 8%.

Puncak tertinggi kedua dihasilkan pada energi 6,703 eV, dengan kekuatan

osilator sebesar 0,171. Puncak ini sama-sama dihasilkan oleh eksitasi elektron dari

orbital

H-2→L+4 sebanyak 34%, dan H-1→L+6 sebanyak 17%. Sementara itu,

kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi dari orbital H-8→L sebanyak 2%, H-

7→L sebanyak 3%, H-4→L+1 sebanyak 3%, H-3→L+2 sebanyak 7%, H-

1→L+7sebanyak 8%, dan H→L+8 sebanyak 8%. Puncak tertinggi ketiga yang

dihasilkan memiliki kekuatan osilator sebesar 0,137, dengan energi yang

dihasilkan sebesar 6,964 eV. Puncak tertinggi ketiga ini dihasilkan oleh eksitasi

elektron dari orbital H-11→L sebanyak 16%, H-9→L sebanyak 10%, H-6→L+3

sebanyak 29%, dan H-2→L+4 sebanyak 12%. Tabel 4.6 memperlihatkan

probabilitas eksitasi elektron secara lengkap pada molekul zat warna metil katekol

hasil perhitungan TDDFT menggunakan perangkat lunak Gaussian.

Tabel 4.5 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Metil Katekol Bebas Hasil

Perhitungan Firefly (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO)

No Kekuatan

osilator

Energi

(eV) Kontribusi Utama Kontribusi Minor

1 0,426 6,873 H-1→L+7 (30%),

H-1→L+9 (20%)

H-11→L+1 (6%), H-10→L (2%), H-8→L

(5%), H-5→L+2 (5%), H-3→L+2 (2%),

H-1→L+6 (2%), H→L+6 (8%)

2 0,206 6,7045 H-11→L+1 (20%),

H-1→L+7 (25%)

H-10→L (2%), H-9→L (7%), H-8→L

(9%), H-7→L (2%), H-3→L+3 (7%), H-

3→L+5 (2%),H-2→L+3 (2%), H-1→L+8

(3%), H→L+6 (4%)

3 0,119 6,589

H-2→L+2 (19%),

H-1→L+6 (17%),

H-1→L+8 (33%)

H-10→L (3%), H-8→L (4%), H-3→L+2

(2%), H-2→L+3 (2%), H-2→L+5 (4%),

H→L+7 (7%)

4 0,090 5,166

H-1→L+3 (11%),

H-1→L+7 (16%),

H→L+6 (63%)

H-1→L+5 (5%)

5 0,066 6,855

H-1→L+8 (11%),

H-1→L+9 (42%)

H-11→L+1 (8%), H-10→L (4%),H-9→L

(3%), H-5→L+2 (4%), H-2→L+5 (6%),

H-1→L+6 (2%), H-1→L+7 (4%),

H-1→L+10 (3%)

6 0,065 6,803

H-9→L (18%),

H-8→L (11%),

H-1→L+8 (11%),

H-1→L+9 (18%)

H-11→L+1 (4%), H-7→L (6%),

H-5→L+2 (7%), H-1→L+6 (9%),

H-1→L+10 (4%), H→L+7 (2%)

7 0,052 7,001

H-5→L+2 (13%),

H-5→L+3 (10%),

H-4→L+2 (12%)

H-11→L+1 (5%), H-10→L (3%),

H-10→L+1 (7%), H-9→L+1 (7%),

H-8→L+2 (2%), H-7→L+1 (4%),

H-7→L+2 (2%), H-6→L+2 (2%),

H-4→L+3 (5%), H-3→L+2 (2%),

H-2→L+2 (2%), H-2→L+5 (3%),

H-1→L+6 (2%), H-1→L+7 (3%),

H→L+7 (2%)

8 0,050 6,925 H-8→L+1 (10%),

H-3→L+2 (11%)

H-11→L+1 (4%), H-10→L (3%), H-9→L

(5%), H-9→L+1 (4%), H-5→L+3 (6%),

H-5→L+5 (2%), H-4→L+2 (6%),

H-4→L+5 (2%), H-3→L+3 (9%),

H-2→L+5 (8%), H-1→L+6 (5%),

H-1→L+7 (2%), H-1→L+8 (4%),

H-1→L+9 (2%), H→L+7 (3%)

9 0,046 3,672 H-1→L+1 (93%) H→L+5 (2%)

10 0,046 7,974 H-3→L+6 (78%) H-15→L (2%)

Tabel 4.6 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Metil Katekol Bebas

Hasil Perhitungan Gaussian (Keterangan : H = HOMO, L = LUMO)

No Kekuatan

osilator

Energi

(eV) Kontribusi Utama Kontribusi Minor

1 0,372 6,821 H-11→L (11%),

H-1→L+8 (40%)

H-10→L+1 (2%), H-9→L (9%),

H-5→L+3 (2%), H-4→L+3 (4%),

H→L+6 (8%)

2 0,171 6,703 H-2→L+4 (34%),

H-1→L+6 (17%)

H-8→L (2%), H-7→L (3%),

H-4→L+1 (3%), H-3→L+2 (7%),

H-1→L+7(8%), H→L+8 (8%)

3 0,137 6,964

H-11→L (16%),

H-9→L (10%),

H-6→L+3 (29%),

H-2→L+4 (12%)

H-5→L+3 (2%), H-1→L+6 (3%),

H-1→L+8 (6%), H→L+8 (2%)

4 0,135 6,909

H-11→L (23%),

H-9→L (11%),

H-2→L+4 (22%)

H-8→L (7%), H-6→L+3 (9%),

H-4→L+3 (5%), H-1→L+8 (5%),

H→L+8 (2%)

5 0,088 6,630 H-2→L+2 (78%) H-3→L+4 (9%)

6 0,085 7,153 H-6→L+3 (43%),

H-2→L+4 (20%)

H-10→L+3 (6%), H-4→L+3 (3%),

H→L+8 (5%)

7 0,064 5,275 H-1→L+8 (27%),

H→L+6 (66%) H→L+7 (2%)

8 0,058 4,355 H-2→L (13%),

H→L+3 (69%) H-1→L+1 (5%), H→L+4 (7%)

9 0,052 6,603 H-3→L+2 (81%) H-1→L+6 (5%), H-1→L+7 (4%)

10 0,049 4,955 H-2→L (67%) H-3→L (4%), H-1→L+3 (9%),

H→L+3 (7%)

Dalam senyawa zat warna metil katekol, terdapat beberapa penyebaran

elektron yang dominan. Diantaranya adalah eksitasi elektron dari orbital H-1

menuju L+7, L+8, dan L+9. Orbital molekul ini terdselokalisasi melalui seluruh

sistem zat warna, dengan katekolat sebagai kontribusi utamanya. Hasil

perhitungan dengan perangkat lunak Gaussian memperoleh hasil berbeda dengan

dihasilkannya H-11, orbital ini merupakan orbital virtual sebelum transisi menuju

orbital molekul H-1. Hasil perhitungan komputasi untuk senyawa metil katekol ini

ditunjukan pada Gambar 4.10.

Gambar 4.11 Merupakan spektrum UV-Vis hasil perhitungan dari senyawa

metil katekol yang terabsorpsi pada TiO2 cluster, menunjukan adanya sedikit

perbedaan walau tidak signifikan. Pada senyawa ini, metil katekol terabsorpsi

pada TiO2 dimana atom Ti sebagai atom pusatnya dan dihitung menggunakan dua

perangkat lunak perhitungan komputasi yang berbeda.

a

d e

b c

Gambar 4.10 Diagram Penyebaran Elektron Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa

Metil Katekol Bebas (a) Pada Orbital H-1, (b) Pada Orbital L+7, (c) Pada Orbital L+8,

(d) Pada Orbital L+9,dan (e) Pada Orbital LUMO.

Gambar 4.11 Spektrum UV-Vis Metil Katekol yang Teradsorpsi pada TiO2 Hasil

Perhitungan Komputasi

Pada perhitungan pertama yang menggunakan perangkat lunak Firefly,

puncak tertinggi pertama yang dihasilkan memiliki energi sebesar 6,873 eV

dengan kekuatan osilator sebesar 0,426. Puncak ini sama-sama dihasilkan oleh

eksitasi elektron dari orbital H-1→L+7 sebanyak 30%,dan H-1→L+9 sebanyak

20%. Sementara kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-

11→L+1 sebanyak 6%, H-10→L sebanyak 2%, H-8→L sebanyak 5%, H-5→L+2

sebanyak 5%, H-3→L+2 sebanyak 2%, H-1→L+6 sebanyak 2%, dan H→L+6

sebanyak 8%.

Puncak tertinggi kedua memliki kekuatan osilator sebesar 0,206, dengan

energi yang dihasilkan sebesar 6,704 eV. Pada puncak ini sama-sama dihasilkan

oleh eksitasi elektron dari orbital H-11→L+1 sebanyak 20%, dan H-1→L+7

sebanyak 25%. Kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-

10→L sebanyak 2%, H-9→L sebanyak 7%, H-8→L sebanyak 9%, H-7→L

sebanyak 2%, H-3→L+3 sebanyak 7%, H-3→L+5 sebanyak 2%, H-2→L+3

sebanyak 2%, H-1→L+8 sebanyak 3%, dan H→L+6 sebanyak 4%.

Puncak tertinggi ketiga dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-

2→L+2 sebanyak 19%, H-1→L+6 sebanyak 17%, dan H-1→L+8 sebanyak 33%.

Sementara itu, kontribusi minor dihasilkan oleh eksitasi elektron dari orbital H-

10→L sebanyak 3%, H-8→L sebanyak 4%, H-3→L+2 sebanyak 2%, H-2→L+3

sebanyak 2%, H-2→L+5 sebanyak 4%, dan H→L+7 sebanyak 7%. Tabel 4.7

memperlihatkan probabilitas eksitasi elektron secara lengkap pada molekul zat

warna metil katekol yang teradsorpsi pada TiO2 hasil perhitungan TDDFT

menggunakan perangkat lunak Firefly.

Hasil perhitungan molekul zat warna metil katekol yang teradsorpsi pada

TiO2 dengan menggunakan perangkat lunak Gaussian menghasilkan spektrum

UV-Vis yang hampir serupa dengan Firefly, dimana hasil perhitungan tersebut

sama-sama menghasilkan tiga puncak pada panjang gelombang dengan perbedaan

yang tidak signifikan. Puncak tertinggi pertama yang dihasilkan mempunyai

energi sebesar 6,821 eV, dengan kekuatan osilator sebesar 0,372. Puncak tertinggi

ini dihasilkan oleh kontribusi utama eksitasi elektron dari orbital H-11→L

sebanyak 11%, dan H-1→L+8 sebanyak 40%. Kontribusi minor dihasilkan oleh

eksitasi elektron dari orbital H-10→L+1 sebanyak 2%, H-9→L sebanyak 9%, H-

5→L+3 sebanyak 2%, H-4→L+3 sebanyak 4%, dan H→L+6 sebanyak 8%.

Puncak tertinggi kedua memiliki kekuatan osilator sebesar 0,171, dengan

energi sebesar 6,703 eV. Puncak tertinggi kedua ini sama-sama dihasilkan oleh

eksitasi elektron dari orbital H-10→L+1 sebanyak 2%, H-9→L sebanyak 9%, H-

5→L+3 sebanyak 2%, H-4→L+3 sebanyak 4%, dan H→L+6 sebanyak 8%.

Sementara itu, kontribusi minor yang dihasilkan berasal dari eksitasi elektron

orbital H-8→L sebanyak 2%, H-7→L sebanyak 3%, H-4→L+1 sebanyak 3%, H-

3→L+2 sebanyak 7%,

H-1→L+7 sebanyak 8%, dan H→L+8 sebanyak 8%.

Puncak tertinggi ketiga sama-sama dihasilkan oleh eksitasi elektron dari

orbital

H-11→L sebanyak 16%, H-9→L sebanyak 10%, H-6→L+3 sebanyak 29%, dan

H-2→L+4 sebanyak 12%. Sementara itu, kontribusi minor dihasilkan oleh

eksitasi elektron dari orbital H-5→L+3 sebanyak 2%, H-1→L+6 sebanyak 3%, H-

1→L+8 sebanyak 6%, dan H→L+8 sebanyak 2%. Pada puncak ini, energi yang

dimiliki sebesar 6,964 eV dengan kekuatan osilator sebesar 0,137. Tabel 4.8

memperlihatkan probabilitas eksitasi elektron secara lengkap pada molekul zat

warna metil katekol yang teradsorpsi pada TiO2 hasil perhitungan TDDFT

menggunakan perangkat lunak Gaussian.

Tabel 4.7 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Metil Katekol yang

Teradsorpsi pada TiO2 Hasil Perhitungan Firefly (Keterangan : H = HOMO,

L = LUMO)

No Kekuatan

osilator

Energi

(eV) Kontribusi Utama Kontribusi Minor

1 0,426 6,873 H-1→L+7 (30%),

H-1→L+9 (20%)

H-11→L+1 (6%), H-10→L (2%), H-8→L

(5%), H-5→L+2 (5%), H-3→L+2 (2%),

H-1→L+6 (2%), H→L+6 (8%)

2 0,206 6,704 H-11→L+1 (20%),

H-1→L+7 (25%)

H-10→L (2%), H-9→L (7%), H-8→L (9%),

H-7→L (2%), H-3→L+3 (7%), H-3→L+5

(2%), H-2→L+3 (2%), 1→L+8(3%),

H→L+6 (4%)

3 0,119 6,589

H-2→L+2 (19%),

H-1→L+6 (17%),

H-1→L+8 (33%)

H-10→L (3%), H-8→L (4%), H-3→L+2

(2%), H-2→L+3 (2%), H-2→L+5 (4%),

H→L+7 (7%)

4 0,090 5,166

H-1→L+3 (11%),

H-1→L+7 (16%),

H→L+6 (63%)

H-1→L+5 (5%)

5 0,066 6,855 H-1→L+8 (11%),

H-1→L+9 (42%)

H-11→L+1 (8%), H-10→L (4%), H-9→L

(3%), H-5→L+2 (4%), H-2→L+5 (6%),

H-1→L+6 (2%), H-1→L+7 (4%),

H-1→L+10 (3%)

6 0,065 6,803

H-9→L (18%),

H-8→L (11%),

H-1→L+8 (11%),

H-1→L+9 (18%)

H-11→L+1 (4%), H-7→L (6%), H-5→L+2

(7%), H-1→L+6 (9%), H-1→L+10 (4%),

H→L+7 (2%)

7 0,052 7,001 H-5→L+2 (13%), H-11→L+1 (5%), H-10→L (3%), H-10→L+1

H-5→L+3 (10%),

H-4→L+2 (12%)

(7%), H-9→L+1 (7%), H-8→L+2 (2%), H-

7→L+1 (4%), H-7→L+2 (2%), H-6→L+2

(2%), H-4→L+3 (5%), H-3→L+2 (2%), H-

2→L+2 (2%), H-2→L+5 (3%), H-1→L+6

(2%), H-1→L+7 (3%), H→L+7 (2%)

8 0,051 6,925 H-8→L+1 (10%),

H-3→L+2 (11%)

H-11→L+1 (4%), H-10→L (3%), H-9→L

(5%), H-9→L+1 (4%), H-5→L+3 (6%),

H-5→L+5 (2%), H-4→L+2 (6%), H-4→L+5

(2%), H-3→L+3 (9%), H-2→L+5 (8%),

H-1→L+6 (5%), H-1→L+7 (2%),

H-1→L+8 (4%), H-1→L+9 (2%),

H→L+7 (3%)

9 0,046 3,672 H-1→L+1 (93%) H→L+5 (2%)

10 0,046 7,974 H-3→L+6 (78%) H-15→L (2%)

Tabel 4.8 Tabel Probabilitas Eksitasi Elektron Senyawa Metil Katekol yang

Teradsorpsi pada TiO2 Hasil Perhitungan Gaussian (Keterangan : H = HOMO,

L = LUMO)

No Kekuatan

osilator

Energi

(eV) Kontribusi Utama Kontribusi Minor

1 0,372 6,821 H-11→L (11%),

H-1→L+8 (40%)

H-10→L+1 (2%), H-9→L (9%),

H-5→L+3 (2%), H-4→L+3 (4%), H→L+6

(8%)

2 0,171 6,703 H-2→L+4 (34%),

H-1→L+6 (17%)

H-8→L (2%), H-7→L (3%), H-4→L+1

(3%), H-3→L+2 (7%), H-1→L+7 (8%),

H→L+8 (8%)

3 0,137 6,964

H-11→L (16%),

H-9→L (10%),

H-6→L+3 (29%),

H-2→L+4 (12%)

H-5→L+3 (2%), H-1→L+6 (3%),

H-1→L+8 (6%), H→L+8 (2%)

4 0,135 6,909

H-11→L (23%),

H-9→L (11%),

H-2→L+4 (22%)

H-8→L (7%), H-6→L+3 (9%),

H-4→L+3 (5%), H-1→L+8 (5%),

H→L+8 (2%)

5 0,088 6,630 H-2→L+2 (78%) H-3→L+4 (9%)

6 0,085 7,153 H-6→L+3 (43%),

H-2→L+4 (20%)

H-10→L+3 (6%), H-4→L+3 (3%),

H→L+8 (5%)

7 0,064 5,275 H-1→L+8 (27%),

H→L+6 (66%) H→L+7 (2%)

8 0,058 4,355 H-2→L (13%),

H→L+3 (69%) H-1→L+1 (5%), H→L+4 (7%)

9 0,052 6,603 H-3→L+2 (81%) H-1→L+6 (5%),

H-1→L+7 (4%)

10 0,049 4,955 H-2→L (67%) H-3→LUMO (4%),

H-1→L+3 (9%), H→L+3 (7%)

Gambar 4.12 Diagram Penyebaran Elektron Hasil Perhitungan Komputasi

Senyawa Metil Katekol yang Teradsorpsi pada TiO2, (a) Pada Orbital H-1, (b)

Pada Orbital L+7, (c) Pada Orbital L+9, (d) Pada Orbital L+6, (e) Pada Orbital H-

11, dan

(f) Pada Orbital L+8.

Untuk model zat warna dengan ukuran kecil seperti metil katekol, walaupun

telah mengabsorbsi TiO2 dan menggunakan beberapa perangkat lunak perhitungan

yang berbeda, juga melakukan beberapa kali pengulangan perhitungan, namun

akan menghasilkan data yang sangat mirip. Selain itu, hanya intensitas yang lebih

tinggi untuk energi band terendah yang dapat diamati. Hal ini terjadi karena

adsorpsi intra molekuler, sehingga menghasilkan absorbansi yang kuat pada

energi tinggi yang terjadi pada senyawa katekol.

4.4 Diagram Energi HOMO/LUMO

a b c

f e d

Diagram energi dari hasil perhitungan TDDFT senyawa dopamin bebas dan

dopamin yang teradsorpsi pada TiO2 ditunjukan dalam Gambar 4.13. Dari

gambar tersebut, dapat terlihat perbedaan energi antara HOMO dan LUMO yang

berkurang ketika dopamin mengadsorpsi TiO2. Hal ini terjadi akibat berkurangnya

kestabilan dari HOMO ketika berinteraksi dengan orbital TiO2.

Gambar 4.13 Diagram Energi HOMO/LUMO, (a) Hasil Perhitungan Komputasi

dari Senyawa Dopamin dengan Perangkat Lunak Firefly, (b) Hasil Perhitungan

Komputasi Senyawa Dopamin yang Teradsorpsi pada TiO2 dengan Perangkat

Lunak Firefly, (c) Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Dopamin dengan

Perangkat Lunak Gaussian, dan (d) Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa

Dopamin yang Teradsorpsi pada TiO2 dengan Perangkat Lunak Gaussian.

Gambar 4.13 menunjukan diagram energi HOMO/LUMO untuk masing-

masing senyawa zat warna bebas dan zat warna yangteradsorpsi pada TiO2

cluster. Dari gambar tersebut diketahui letak dari HOMO yang berada band gap

dari cluster sedangkan LUMO berada pada pita konduksi dari cluster. Kedua hal

ini merupakan syarat agar senyawa zat warna dapat digunakan dalam sistem

DSSC.[20]

Diagram energi dari hasil perhitungan TDDFT senyawa metil katekol bebas

dan metil katekol yang teradsorpsi pada TiO2 ditunjukan dalam Gambar 4.14.

Dari gambar tersebut, dapat terlihat perbedaan energi antara HOMO dan LUMO

yang berkurang ketika dopamin mengadsorpsi TiO2. Hal ini terjadi akibat

berkurangnya kestabilan dari HOMO ketika berinteraksi dengan orbital TiO2.

Perbedaan antara HOMO dan LUMO berkurang ketika senyawa zat warna

mengadsorpsi TiO2 sebagai akibat dari berkurangnya kestabilan dari HOMO dan

interaksi dengan orbital TiO2. Dari hasil perhitungan, terlihat orbital HOMO

berada dalam band gap cluster yang digunakan. Dengan demikian, senyawa yang

digunakan dapat diaplikasikan dalam sistem DSSC.

Gambar 4.14 Diagram Energi HOMO/LUMO, (a) Hasil Perhitungan Komputasi

dari Senyawa Metil Katekol dengan Perangkat Lunak Firefly, (b) Hasil

Perhitungan Komputasi Metil Katekol yang Teradsorpsi pada TiO2 dengan

Perangkat Lunak Firefly, (c) Hasil Perhitungan Komputasi Senyawa Metil

Katekol dengan Perangkat Lunak Gaussian, dan (d) Hasil Perhitungan Komputasi

Senyawa Metil Katekol yang Teradsorpsi Pada TiO2 dengan Perangkat Lunak

Gaussian.

Dalam studi komputasi ini, dihasilkan perbedaan pita energi yang dapat

dilihat pada tabel dibawah ini. Perbedaan pita energi yang dihasilkan, merupakan

hasil perhitungan komputasi yang dilakukan dengan menggunakan metode

perhitungan TDDFT. Perbedaan pita energi yang dihasilkan merupakan selisih

antara energi LUMO dengan energi HOMO dengan nilai yang bervariasi pada

masing-masing perhitungannya. Nilai perbedaan pita energi yang semakin kecil,

mengindikasikan bahwa semakin mudah suatu elektron berpindah dari tinglatan

energi yang rendah, ke tingkatan energi yang lebih tinggi. Perpindahan elektron

ini dapat terjadi dengan adanya pengaruh suhu dan penyinaran sinar matahari,

dengan intensitas penyinaran yang sesuai dengan nilai band gap. Oleh karena itu,

daya serap terhadap cahaya matahari dari suatu zat warna akan sangat ditentukan

oleh besar kecilnya perbedaan pita energi yang dimiliki oleh suatu zat warna.

Tabel 4.9 Tabel Perbandingan Nilai Band Gap HOMO/LUMO dari Senyawa Zat

warna Organik Hasil Studi Komputasi

Zat warna Band Gap (eV)

Firefly Gaussian

Dopamin 0,209 0,208

Dopamin-TiO2 0,124 0,124

Metil katekol 0,217 0,213

Metil katekol-TiO2 0,123 0,123

Hasil eksperimen Creutz et al tidak menyertakan nilai band gap untuk

masing-masing senyawa zat warna bebas dan zat warna yang terabsorbsi TiO2

yang digunakan. Untuk itu, perlu disertakan juga nilai band gap untuk senyawa

zat warna organik dalam bentuk keadaan dasarnya. Nilai band gap senyawa zat

warna organik yang terabsorbsi TiO2 memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan

dengan senyawa zat warna organik bebasnya, hal ini dikarenakan memiliki

penyebaran HOMO/LUMO yang lebih luas dapat dilihat dari diagram penyebaran

HOMO/LUMO pada sub bab sebelumnya. Selain itu, TiO2 yang memiliki peranan

penting dalam zat warna yang sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk menstabilkan

sistem zat warna secara keseluruhan, dan sebagai fotokatalis. Dengan demikian,

senyawa zat warna organik yang terabsorbsi TiO2 memiliki potensi baik untuk

digunakan dalam sistem DSSC.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Data yang dihasilkan dari hasil perhitungan komputasi adalah parameter

struktur, spektrum serapan UV-Vis, dan perbedaan pita energi HOMO/LUMO.

Senyawa zat warna yang terabsorbsi TiO2 memiliki spektrum UV-Vis yang lebih

lebar dibandingkan dengan senyawa zat warna pada keadaan bebasnya. Data hasil

perhitungan untuk band gap HOMO/LUMO mendapatan hasil yang baik, hal ini

ditandai dengan didapatkannya nilai perbedaan pita energi yang kecil. Spektrum

UV-Vis yang terlebar dimiliki oleh molekul metil katekol yang teradsorpsi pada

TiO2 hasil perhitungan TDDFT dengan menggunakan perangkat lunak Gaussian,

yakni hingga mencapai 532,90 nm dengan nilai perbedaan pita energi sebesar

0,123 eV pada masing-masing perhitungan menggunakan perangkat lunak Firefly

dan Gaussian. Dapat disimpulkan bahwa senyawa zat warna metil katekol yang

teradsorpsi pada TiO2 berpotensi baik untuk digunakan dalam sistem DSSC.

5.2 Saran

Penambahan pelarut pada senyawa zat warna, dan memperbesar ukuran

cluster juga akan memperbaiki kualitas dari senyawa zat warna agar

menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi. Untuk kedepannya, dapat dilakukan

kembali studi komputasi untuk mencari senyawa baru atau memodifikasi senyawa

zat warna dengan menambahkan gugus fungsi agar mendapatkan efisiensi yang

lebih besar yang dapat diaplikasikan pada sistem sel surya tersensitasi.