BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang · 2018. 4. 20. · Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 1...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang · 2018. 4. 20. · Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 1...
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 1
Studi Komperatif Model BUMDes di Kabupaten Bantaeng
Oleh; Andi Samsir Perkumpulan Katalis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sulawesi Selatan merupakan daerah centra penghasil rumput laut (seaweed).
Berdasarkan data yang dirilis Maritim Nusantara (2016) menyebutkan bahwa
produksi rumput laut daerah ini adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Chile
dengan potensi luas lahan 250 ribu hektar di pinggir laut dan 98 ribu hektar areal
budidaya. Bahkan rumput laut memberikan kontribusi sebesar 70% dari hasil
produksi perikanan budidaya Sulawesi Selatan, yaitu 2 juta ton pada tahun 2015 atau
sekitar 97% dari target produksi. Jenis budidaya terbesar adalah Cattoni dengan
daerah produksi tersebut tersebar di Kabupaten Takalar, Bantaeng, Jeneponto dan
Bulukumba dan Gracillaria banyak dibudidaya di Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Bone,
Wajo dan Palopo.
Sebagai daerah dengan panjang pantai 1.973,7 km persegi, potensi budidaya
rumput laut di Sulawesi Selatan perlu dikembangkan sebagai sumber pendapatan
masyarakat pesisir. Tidak hanya penting bagi pendapatan dan prekonomian daerah,
rumput laut juga dapat menjadi sektor penghidupan masyarakat pesisir. Bagi
masyarakat pesisir budidaya rumput laut menjadi sumber pendapatan utama selain
dari menangkap ikan. Namun demikian usaha budidaya rumput laut oleh masyarakat
masih menemukan banyak kendala. Kondisi kehidupan masyarakat pesisir sangat
rentan terhadap perubahan lingkungan dan cuaca/iklim, mengingat adanya aktivitas
di wilayah pesisir memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap kualitas lingkungan. Kondisi ini dengan sendirinya akan memberikan
pengaruh terhadap usaha, baik di bidang perikanan tangkap maupun budidaya,
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 2
termasuk rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada pendapatan
masyarakat pesisir.
Pendapatan masyarakat pesisir yang tergolong masih sangat rendah merupakan
fenomena yang masih dapat terlihat di Kabupaten Takalar dan Pangkep. Berdasarkan
baseline survey ketahanan pangan yang dilakukan oleh Oxfam bekerjasama dengan
Perkumpulan Katalis pada tahun 2015 di dua daerah tersebut menunjukan bahwa hal
ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas lahan pertanian dan rumput laut serta
kurangnya modal usaha yang dapat diakses oleh masyarakat lokal. Besarnya biaya
produksi yang harus ditanggung oleh petani membuat mereka harus mencari berbagai
cara untuk tetap bisa menjalankan usaha budidaya rumput laut. Berdasarkan data BPS
tahun 20015 rata-rata biaya produksi per hektar sebesar 57,22 persen dari nilai
produksi atau sebesar Rp 8,052 juta. Dengan tingkat pendapatan yang rendah dan
jadwal tanam yang bergantung pada musim sangat memungkinkan sebagian besar
petani menggunakan modal usaha mereka untuk menutupi biaya hidup setiap harinya.
Oleh karena itu, modal usaha menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan dalam
masyarakat yang secara tidak langsung mempengaruhi terhadap tingkat kemiskinan di
daerah pesisir.
Untuk memecahkan masalah lingkaran kemiskinan di daerah pesisir, peran
pemerintah khususnya pemerintahan desa sangat dibutuhkan sebagaimana yang
diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Dapat dikatakan,
otonomi desa merupakan suatu gagasan besar dalam memberikan kesempatan yang
sama kepada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perubahan-
perubahan baik di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa desa harus mengambil peran yang besar secara makro
ekonomi untuk memecahkan masalah-masalah di pedesaan yang memberikan
implikasi secara mikro ekonomi. Dengan demikian, berbagai lembaga ekonomi
pedesaan menjadi bagian penting sekaligus dalam rangka mendukung penguatan
ekonomi perdesaan. Oleh karenanya, diperlukan upaya sistematis untuk mendorong
kelembagaan ini agar mampu mengelola aset ekonomi strategis sekaligus
mengembangkan jaringan ekonomi dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi di
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 3
pedesaan. Dalam konteks demikian, BUMDes merupakan bentuk konsolidasi atau
penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa yang harus dikembangkan,
sekaligus sebagai instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam
jenis potensi.
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagaimana amanat UU No. 6 Tahun 2014
tentang tentang Desa dimaksudkan untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi,
kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya
manusia dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat desa. Sebagai lembaga
usaha ekonomi desa, pembentukan dan pengelolaan BUMDes dimaksudkan sebagai
instrument seluruh kegiatan ekonomi mandiri desa (peningkatan Pendapatan Asli
Desa/PADes dan kesejahteraan masyarakat desa), baik yang berkembang menurut
adat istiadat/budaya setempat (kearifan lokal), maupun kegiatan perekonomian yang
diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat desa.
1.2. Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah; pertama, untuk
mengetahui model pengelolaan BUMDes yang efektif melalui studi komperatif yang
dilakukan di Kabupaten Bantaeng; dan kedua, untuk merancang model BUMDes yang
efektif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir di Kabupaten
Takalar dan Pangkep.
1.3. Output Kajian
Setelah penelitian ini dilakukan diharapkan dapat melahirkan output berupa;
pertama, Pemetaan permasalahan dan potensi daerah sebagai pra implementasi
BUMDes di Kabupaten Takalar dan Pangkep, dan kedua, rekomendasi strategis
pembentukan BUMDes dan model BUMDes yang relevan bagi pemerintah daerah dan
desa di Kabupaten Takalar dan Pangkep.
1.4. Manfaat penelitian
Dengan adanya kajian ini akan memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait,
baik pada tataran stakeholder maupun tingkat grassroots, sebagai upaya mendorong
pengembangan ekonomi masyarakat pesisir khususnya di Kabupaten Takalar dan
Pangkep. Pemerintah daerah diharapkan dapat memperkuat kebijakan local dalam
pembangunan BUMDes.
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 4
BAB II
STUDI PUSTAKA DAN KOMPARATIF
2.1. Studi Pustaka
Pembangunan daerah pedesaan merupakan discourses yang masuk dalam
kajian ekonomi pembangunan. Daerah pedesaan merupakan representative
kehidupan social-ekonomi di negara-negara berkembang. Sebab, sebagian besar
penduduk di negara berkembang bermukim di pedesaan dan mayoritas penduduknya
bergantung pada sektor pertanian dan berada di bawah garis kemiskinan. Salah satu
ciri penting dari penduduk pedesaan adalah masalah kepemilikan tanah. Tahan masih
merupakan modal utama dari kesejahtraan dan kekuatan politik di wilayah pedesaan.
Di sini, untuk mengklasifikasi penduduk desa menurut akses terhadap tanah atau
keterlibatan dalam pertanian dapat dilihat dari tingkat keterlibatan rumah tangga
tersebut dalam aktivitas lain dan mengamati struktur pendapatan dari sumber-
sumber yang lebih luas. Beberapa penulis menggunakan istilah “household survival
strategies” sebagai cara penduduk desa mengatasi persoalan-persoalan yang muncul
(Michel P. Todaro).
Dalam prespektif pembangunan, Boeke yang pernah melakukan penelitian di
Indonesia khususnya pulau Jawa menemukan bahwa perekonomian terbagi dalam
sektor tradisional dan modern yang saling tidak berhubungan. Dalam rangka
mengatasi ketidakseimbangan akibat perekonomian dualistic tersebut, menurut
Boeke, sektor tradisional perlu dirangsang melalui insentif ekonomi dan peningkatan
teknologi produksi meskipun hasilnya tak akan segera tampak. Sebaliknya Geertz
menyatakan upaya perbaikan apa pun tidak akan berhasil dilakukan. Menurut Scott
persoalan yang berlaku pada masyarakat pedesaan adalah rasionalitas social yang
lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih
dominan daripada rasionalitas ekonomi sehingga pendekatan ekonomi akan sulit
bekerja pada masyarakat desa. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek
kelembagaan maupun teknologi, malahan akan menimbulkan resitensi.
Ketidakmampuan menangkap kultur dan nilai-nilai masyarakat desa inilah yang
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 5
membuat banyak kebijakan pembangunan pedesaan gagal diterapkan di lapangan
(Ahmad Erani Yustika, 2013).
Ide dualisme ekonomi yang diinisiasikan oleh Boeke tersebut pada akhirnya,
diakui atau tidak, menjadi diskursus penting dalam proses pembangunan pedesaan di
negara-negara berkembang. Seperti yang telah disarikan oleh Ellis dan Biggs, model
dualisme ekonomi menjadi isu strategis pembangunan pedesaan di negara-negara
berkembang pada akhir tahun 1950-an. Pada fase pertama ini, tujuan pembangunan
pedesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas ke penekanan
pertumbuhan usaha tani kecil. Kedua, pertumbuhan usaha tani kecil dilanjutkan
kepada upaya pembangunan pedesaan yang terintegerasi di antaranya melalui
kebijakan transfer teknologi, mekanisasi dan penyuluhan pertanian. Ketiga,
pergeseran pembangunan pedesaan yang dipandu negara menuju liberalisasi pasar
melalui kebijakan penyesuaian struktural dan pasar. Keempat, pembangunan
pedesaan diarahkan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan,
dan pelaku. Kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah
kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan pedesaan, di antaranya lewat
penguatan kredit mikro, jaringan pengamanan pedesaan, dan peran perempuan dalam
pembangunan. Keenam, menempatkan pembangunan pedesaan sebagai strategi untuk
mengurangi kemiksinan.
Dari fase-fase tersebut bisa diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor
pedesaan sudah lama terjadi (sejak tahun 1960-an) melalui serangkaian kebijakan
yang berupaya meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, revoluasi hijau, dan
penciptaan petani yang rasional. Dengan demikian setiap komersialisasi pertanian
tidak mesti akan meningkatkan pendapatan dan kesejahtraan petani apabila sifat dari
komersalisasi pasar meletakkan petani dalam posisi subordinat. Posisi pemilik modal
yang relatif tinggi tersebut bukan hanya disebabkan oleh adanya penetrasi pasar,
tetapi juga disumbangkan oleh oleh karakteristik produk pertanian yang cepat rusak
sehingga petani tidak mampu menahan produk tersebut untuk sementara waktu demi
mendongkrak harga. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi apabila terdapat fasilitas
penyimpanan yang memungkinkan petani menimbun barang tanpa menimbulkan
kerugian, tetapi hal ini nyaris mustahil dilakukan karena petani tidak memiliki modal
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 6
untuk membeli fasilitas tersebut. Akhirnya, seperti yang sudah diduga, berhadapan
dengan kendala-kendala kelembagaan, teknologi, dan iklim, sehingga petani kurang
berdaya dalam merespon realitas tersebut, dimana membutuhkan intervensi
eksternal dalam merespon situasi yang dihadapi..
Jadi, dari penjelasan tersebut, salah satu persoalan paling rumit di wilayah
pedesaan adalah penyediaan modal. Bahkan, keterbatasan akses terhadap modal
diindentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan. Keterbatasan modal
menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan. Sebaliknya, tanpa ada
perputaran aktivitas ekonomi proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi.
Berbekal situasi yang seperti itu, para perumus kebijakan pembangunan pedesaan
akhirnya meluncurkan program kredit mikro, sebagai instrument pengembangan
kelembagaan sektor finansial di pedesaan.
Pada umumnya lembaga keuangan di pedesaan bisa dibedakan dalam tiga
jenis: pertama, lembaga keuangan formal; kedua, lembaga keuangan semi-formal;
ketiga, lembaga keuangan informal. Di suatu Negara, lembaga keuangan formal
biasanya secara opersional diatur dalam undang-undang perbankan dan disupervisi
oleh bank sentral. Lembaga keuangan tersebut bisa bank pemerintah maupun swasta.
Sementara itu, bank semi-formal adalah perbankan yang tidak diatur dalam UU, tetapi
disupervisi dan diregulasi oleh agen pemerintah selain bank sentral. Terakhir,
lembaga informal beroperasi di luar regulasi dan supervise lembaga pemerintah.
Lembaga ini berisi kegiatan-kegiatan yang benar-benar di luar kelembagaan keuangan
resmi, yang sering kali tidak dicatat. Sungguh pun begitu, tidak berarti sektor
keuangan informal merupakan kegiatan ilagal. Lembaga keuangan ini tetap legal,
hanya saja tidak diregulasi (Soyibo, 1997). Lembaga keuangan informal ini bukan
sekedar meyediakan uang cash untuk keperluan transaksi, tetapi kadang-kadang juga
memberikan bantuan dalam bentuk barang. Dengan karakter yang fleksibel, biasanya
lembaga keuangan informal ini memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup wilayah di
pedesaan (Ahmad Erani Yustika, 2013).
Ciri penting dari lembaga keuangan formal dan semi-formal adalah pada tipe
kesepakatan yang dibikin dalam bentuk system kontrak. Kontrak tersebut berisi
tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, misalnya prasyarat agunan,
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 7
model pembayaran, dan sanksi apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan.
Sebaliknya, lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara kreditor
dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang
dibutuhkan. Bahkan, mekanisme kredit sama sekali tidak menggunakan system
kontrak, karena biasanya tidak ada persyaratan angunan maupun sanksi. Dengan
karateristik tersebut, lembaga keuangan informal biasanya lebih mudah diterima oleh
masyarakat pedesaan. Menurut Kasryno (1983) lembaga kredit informal sangat
berkembang dalam masyarakat pedesaan akibat belum terjangkaunya pelayanan
kredit dari lembaga keuangan formal bagi sebagian besar masyarakat pedesaan,
terutama petani kecil dan buruh tani yang selalu memerlukan kredit dengan
pelayanan yang terjangkau oleh mereka.
Khusus sektor pertanian, setidaknya terdapat tiga sumber kredit informal di
wilayah pedesaan: pertama, pemilik tanah bagi penyakap; kedua, petani penggarap
bagi buruh tani; ketiga, pelepas pinjaman pedesaan (rentenir/tengkulak). Akibat
hubungan yang sangat erat antara penyakap dan pemilik lahan, menjadikan pihak
yang pertama tidak hanya tergantung secara ekonomi kepada pihak kedua. Dalam
banyak hal, secara social politik mereka juga mengikuti apa saja yang diinginkan oleh
pemilik lahan. Bahkan, disengaja maupun tidak, hubungan itu sengaja dilanggengkan
oleh pemilik lahan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat politis. Di luar itu,
salah satu hal yang menjadi ketertarikan petani melakukan kredit ke pemilik
lahan/tengkulak adalah karena sifatnya yang fleksibel, prosedurnya tidak rumit, saling
mengenal, dan berhubungan erat. Inilah yang menyebabkan petani tetap meminjam ke
tengkulak walaupun bunga kredit yang dikenakan sangat tinggi. Dalam prespektif ini
sesungguhnya apa yang dilakukan oleh petani tetap rasional.
2.1.1. Desain kelembagaan sektor Finansial
Berdasarkan gambaran tersebut, sesungguhnya persoalan lembaga keuangan
di pedesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek berikut. Pertama, masalah akses
kredit. Karakter masyarakat pedesaan dengan skala usaha kecil (subsisten)
menyebabkan mereka tidak memiliki asset yang cukup untuk digunakan sebagai
angunan. Akibatnya, akses kredit mereka ke lembaga keuangan formal menjadi sangat
terbatas. Kedua, posisi tawar dan informasi masyarakat pedesaan yang sangat rendah
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 8
menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal
maupun semi-formal. Bentuk manipulasi itu bermacam-macam, misalnya pengenaan
suku bunga lebih tinggi dari kebijakan pemerintah maupun pemberi kredit yang
sangat terlambat sehingga menggangu usaha yang direncanakan. Ketiga, informasi
yang asimentris dari pemberi pinjaman/kredit terhadap peminjam. Setiap lembaga
keuangan formal mempunyai keterbatasan untuk mengenali kemampuan ekonomi
dan usaha dari tiap pelaku usaha di pedesaan sehingga mereka cenderung hati-hati
dalam menyalurkan kredit. Implikasinya lembaga keuangan formal hanya melihat
angunan sebagai kriteria pemberian pinjaman, karena apabila terjadi kasus kegagalan
mereka tetap tidak ada resiko kehilangan uang yang dipinjamkan.
Akan tetapi pada titik itulah kelembagaan keuangan informal masuk untuk
mengisi keterbatasan yang tidak dapat dijangkau oleh lembaga keuangan formal.
Misalnya, pelaku ekonomi skala kecil di pedesaan seperti petani, usaha kecil, nelayan
dan lain-lainnya tidak perlu memberikan angunan kepada tengkulak, rentenir atau
tetangga serta kerabat. Lebih dari itu, Soyibo (1997) mencatat kehadiran lembaga
keuangan informal itu bisa didekati dari dua prespektif. Pertama, pemikiran represi
keuangan. Pendekatan ini yang pertama kali digagas oleh McKinnon (1973) dan Shaw
(1973), beralasan bahwa pelaku keuangan informal memulai usaha sebagai akibat
dari regulasi pemerintah yang besar-besaran terhadap sektor keuangan formal,
seperti penggunan kebijakan kredit langsung, suku bunga ganda dan preferensi
alokasi kredit kepada pemerintah dan cabang-cabangnya. Celakanya, praktek ini
rawan penyuapan dan korupsi di antara bank dan pejabat pemerintah, sehingga
menyebabkan biaya untuk mendapatkan dana bagi kelompok miskin menjadi sangat
mahal. Kedua, pemikiran strukturalis, dimana pendekatan ini melihat munculnya
lembaga keuangan informal di luar motif ekonomi. Menurut aliran ini, system
keuangan informal merupakan subordinat dari system keuangan formla. Dari
prespektif ini segmentasi pasar terjadi bukan akibat regulasi pemerintah, tetapi
karena lembaga keuangan informal memang melayani kelompok social lain. Lembaga
keuangan informal mendistribusikan pendapatan di antara anggota komunitas dan
menyediakan bentuk-bentuk jaminan social yang bisa mengatasi fluktuasi likuiditas
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 9
masyarakat miskin. Anggota-anggota komunitas tersebut mengeskpresikan
solidaritasnya berdasarkan hubungan kekeluargaan, etnisitas dan agama.
Dengan memetakan kelebihan dan kekurangan dari dua jenis lembaga
keuangan tersebut, yakni lembaga keuangan formal/semi-formal dan informal, akan
lebih mudah diperoleh gambaran model kelembagaan sektor finansial yang dapat
dikembangkan di pedesaan. Dalam konteks lembaga keuangan formal, kelemahan
yang paling tampak adalah persyaratan agunan yang berat dan birokratis yang
berbelit sehingga memperkecil akses masyarakat kecil di pedesaan untuk
mendapatkan kredit. Akibatnya, seperti telah diuraikan sebelumnya umumnya
lembaga keuangan formal yang dibentuk oleh pemerintah banyak yang mengalami
kegagalan, setidaknya kinerjanya mengecewakan keculi untuk kasus BRI di Indonesia.
Tetapi lembaga keuangan formal ini tetap layak dikembagkan karena memiliki
kelebihan dalam beberapa hal, misalnya pengenaan bunga kredit yang lebih rendah. Di
samping itu, lembaga keuangan formal juga mengajari pelaku usaha skala kecil
membuat business plan yang benar sehingga secara tidak langsung memberikan bekal
keterampilan kepada masyarakat kecil untuk menjadi wirausahawan yang baik.
Sehingga dalam jangka waktu yang akan datang, aspek yang harus diperbaiki dari
lembaga keuangan formal adalah masalah penurunan nilai angunan dan pemangkasan
birokrasi. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah pemerintah bisa menjadi
peminjam angunan dari setiap kredit yang diajukan masyarakat pedesaan ke lembaga
keuangan formal maupun semi-formal.
Sementara itu, untuk lembaga keuangan informal kelebihan yang paling nyata
adalah prosedurnya yang sederhana dan terjangkau, tanpa angunan, hubungannya
yang cair dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel. Karateristik itu sangat sesuai
dengan ciri pelaku ekonomi di pedesaan yang memiliki asset terbatas, tingkat
pendidikan rendah, dan siklus pendapatan yang tidak teratur. Karateristik masyarakat
pedesaan seperti itu yang ditangkap dengan baik oleh pelaku lembaga keuangan
informal, sehinga eksistensinya lebih mudah diterima oleh masyarakat kecil. Tetapi
kelemahan utama dari lembaga keuangan informal, yakni tingkat bunga kredit yang
sangat tinggi, harus diperbaiki sebab keberadaannya cenderung eksploitatif kepada
masyarakat miskin. Pemerintah dapat mendesain regulasi dengan jalan membatasi
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 10
tingkat suku bunga atau memperluas akses masyarakat miskin kepada kredit formal
sehingga dalam jangka panjang tingkat bunga lembaga keuangan informal akan
tertekan. Model inilah yang harus diadopsi agar kepentingan masyarakata kecil tidak
dirugikan.
Di luar strategi semacam itu, ada dua langka lain yang bisa dilakukan. Pertama,
mengaitkan lembaga keuangan informal dengan lembaga keuangan formal. Asumsi
dari model ini adalah pelaku lembaga formal keuangan informal lebih mengetahui
jejak rekam dari pelaku ekonomi di pedesaan, sehingga kemungkinan terjadinya
kegagalan dapat diperkecil. Dengan begitu, biaya mencari informasi, negosiasi, dan
pengawasan menjadi murah (lower transaction cost). Melaui pembahaman ini,
lembaga keuangan informal bisa diajak bekerjasama sebagai channeling kredit dari
lembaga keuangan formal di pedesaan, tentunya dengan konsekuanesi memberikan
kompensasi keuntungan kepada pelaku lembaga keuangan informal dijadikan sebagai
agen yang mencari dan mengeksekusi kredit kepada masyarakat, sedangkan lembaga
keuangan informal sebagai principal yang menyediakan dana. Dengan model tetap
bisa hidup, masyarakat memiliki akses kepada modal/kredit yang lebih besar, dan
lembaga keuangan formal semakin mudah untuk menyalurkan dananya.
Kedua, mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau
hirarki masyarakat pedesaan, baik struktur nilai-nilai maupun struktur social. Dalam
posisi seperti ini, operasi lembaga keuangan formal didesain dengan cara mengadopsi
nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat local, misanya kasus pengembangan BPR.
Penelitian yang pernah dilakukan menunjukan beberapa BPR yang menyerap system
dan adat dalam mencegah terjadinya kredit macet. Sebaliknya BPR yang menggunakan
perangkat dan kelembagaan baku yang disodorkan oleh bank Indonesia banyak yang
terjebak dengan persoalan kredit macet sehingga membuat kinerja BPR mejadi buruk.
Kasus di wilayah Bali dan Padang membuktikan hal itu, dimana keberhasilan Lembaga
perkredit Desa (LPD) tidak lepas dari kedudukannya sebagai lembaga keuangan yang
sarat dengan nilai adat. Ketua LPD adalah kepala adat. Sementara itu, pengurusnya
ditentukan oleh kepala adat melalui musyawarah, dan yang terpilih biasanya adalah
orang-orang yang jujur, rela berkorban, memiliki integeritas tinggi terhadap moral,
dan tidak cacat di masyarakat.
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 11
Akibat perkembangan yang luar biasa membuat bank-bank komersil berskala
internasional pun ikut serta membuka unit lembaga keuangan mikro, sebab
dipandang sektor ini dapat menghasilkan profit yang lumayan besar. Tentu saja
perkembangan ini menimbulkan sisi positif, tapi akibat persaingan yang makin ketat
membuat kompetisi terkadang menjadi tidak adil, khususnya diantara pemain skala
besar dengan pelaku level gurem. Pemerintah tidak boleh tinggal diam dan harus
mengambil peran dalam melahirkan regulasi dan aturan main yang solid terhadap
lembaga keuangan mikro ini agar keberadaannya tidak semata berorintasi profit, tapi
memiliki misi pelayanan terhadap kaum miskin harus dikedepankan. Akhirnya
persoalan pembangunan di pedesaan tidak cukup hanya ditangani dengan membentuk
lembaga keuangan semata, tetapi juga dimensi lain yang tidak kalah penting, misalnya
infrastruktur ekonomi seperti jalan, jembatan dan irigasi, akses terhadap kesehatan,
pendidikan dan lain-lainnya.
2.1.2. Pembangunan ekonomi di Pedesaan melalui Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes)
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah lembaga usaha desa yang dikelola
oleh masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian
desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. BUMDes menurut
Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah didirikan antara
lain dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Desa (PA Desa). Berangkat dari cara
pandang ini, jika pendapatan asli desa dapat diperoleh dari BUMDes, maka kondisi itu
akan mendorong setiap Pemerintah Desa memberikan “goodwill” dalam merespon
pendirian BUMDes. Sebagai salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi di pedesaan,
BUMDes harus memiliki perbedaan dengan lembaga ekonomi pada umumnya. Hal ini
dimaksudkan agar keberadaan dan kinerja BUMDes mampu memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan warga desa. Di samping itu,
supaya tidak berkembang sistem usaha kapitalistis di pedesaan yang dapat
mengakibatkan terganggunya nilai-nilai kehidupan bermasyarakat.
Terdapat 7 (tujuh) ciri utama yang membedakan BUMDes dengan lembaga
ekonomi komersial pada umumnya yaitu:
1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 12
2. Modal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat (49%) melalui
penyertaan modal (saham atau andil)
3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal
(local wisdom)
4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi pasar;
5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota
(penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa (village policy);
6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Pemdes
7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemdes, BPD, anggota).
BUMDes sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas
inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modal usaha
BUMDes harus bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup
kemungkinan BUMDes dapat mengajukan pinjaman modal kepada pihak luar, seperti
dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak ketiga. Ini sesuai dengan
peraturan per undang-undangan (UU 32 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah).
Penjelasan ini sangat penting untuk mempersiapkan pendirian BUMDes, karena
implikasinya akan bersentuhan dengan pengaturannya dalam Peraturan Daerah
(Perda) maupun Peraturan Desa (Perdes).
2.1.3. Tujuan Pendirian BUMDes
Empat tujuan utama pendirian BUMDes adalah pertama, meningkatkan
perekonomian desa; kedua, meningkatkan pendapatan asli desa; ketiga, meningkatkan
pengolahan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat; keempat, menjadi
tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pedesaan. Pendirian dan
pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah merupakan perwujudan dari
pengelolaan ekonomi produktif desa yang dilakukan secara kooperatif, partisipatif,
emansipatif, transparansi, akuntabel, dan sustainable.. Oleh karena itu, perlu upaya
serius untuk menjadikan pengelolaan badan usaha tersebut dapat berjalan secara
efektif, efisien, profesional dan mandiri untuk mencapai tujuan BUMDes dilakukan
dengan cara memenuhi kebutuhan (produktif dan konsumtif) masyarakat melalui
pelayanan distribusi barang dan jasa yang dikelola masyarakat dan Pemdes.
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 13
Pemenuhan kebutuhan ini diupayakan tidak memberatkan masyarakat,
mengingat BUMDes akan menjadi usaha desa yang paling dominan dalam
menggerakkan ekonomi desa. Lembaga ini juga dituntut mampu memberikan
pelayanan kepada non anggota (di luar desa) dengan menempatkan harga dan
pelayanan yang berlaku standar pasar. Artinya terdapat mekanisme kelembagaan/tata
aturan yang disepakati bersama, sehingga tidak menimbulkan distorsi ekonomi di
pedesaan disebabkan usaha yang dijalankan oleh BUMDes. Dinyatakan di dalam
undang-undang bahwa BUMDes dapat didirikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi
desa. Apa yang dimaksud dengan ”kebutuhan dan potensi desa” adalah:
1. Kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok;
2. Tersedia sumberdaya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal terutama
kekayaan desa dan terdapat permintaan di pasar;
3. Tersedia sumberdaya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai aset
penggerak perekonomian masyarakat;
4. Adanya unit-unit usaha yang merupakan kegiatan ekonomi warga masyarakat
yang dikelola secara parsial dan kurang terakomodasi;
BUMDes merupakan wahana untuk menjalankan usaha di desa. Apa yang
dimaksud dengan “usaha desa” adalah jenis usaha yang meliputi pelayanan ekonomi
desa seperti antara lain:
a) Usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha sejenis
lainnya;
b) Penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa;
c) Perdagangan hasil pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan,
perikanan, dan agrobisnis;
d) Industri dan kerajinan rakyat.
Keterlibatan pemerintah desa sebagai penyerta modal terbesar BUMDes atau
sebagai pendiri bersama masyarakat diharapkan mampu memenuhi Standar
Pelayanan Minimal (SPM), yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan (proteksi)
atas intervensi yang merugikan dari pihak ketiga (baik dari dalam maupun luar desa).
Demikian pula, pemerintah desa ikut berperan dalam pembentukan BUMDes sebagai
badan hukum yang berpijak pada tata aturan perundangan yang berlaku, serta sesuai
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 14
dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Pengaturan lebih lanjut
mengenai BUMDes diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) setelah memperhatikan
peraturan di atasnya. Melalui mekanisme “self help” dan “member-base”,maka BUMDes
juga merupakan perwujudan partisipasi masyarakat desa secara keseluruhan,
sehingga tidak menciptakan model usaha yang dihegemoni oleh kelompok tertentu
ditingkat desa. Artinya, tata aturan ini terwujud dalam mekanisme kelembagaan yang
solid. Penguatan kapasitas kelembagaan akan terarah pada adanya tata aturan yang
mengikat seluruh anggota (one for all).
2.2. Studi Komparatif (Kabupaten Bantaeng)
2.2.1. Kondisi Geografis dan Demografi
Secara geografis Kabupaten Bantaeng terletak pada titik 5o21'23"-5o35'26"
lintang selatan dan 119o51'42"-120o5'26" bujur timur. Berjarak 125 Km ke arah
selatan dari Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayahnya mencapai 395,83
Km2 dengan jumlah penduduk 182.283 jiwa (2014) dengan rincian Laki-laki sebanyak
88.012 jiwa dan perempuan 94.271 jiwa. Wilayah Kabupaten Bantaeng secara
administrative terbagi atas 8 kecamatan, 46 desa dan 21 kelurahan. Pada bagian utara
daerah ini terdapat dataran tinggi yang meliputi pegunungan Lompobattang
sedangkan di bagian selatan membujur dari barat ke timur terdapat dataran rendah
yang meliputi pesisir pantai dan persawahan. Kabupaten Bantaeng yang luasnya
mencapai 0,63% dari luas Sulawesi Selatan, masih memiliki potensi alam untuk
dikembangkan lebih lanjut yaitu lahan yang dimilikinya ± 39.583 Ha. Di Kabupaten
Bantaeng mempunyai hutan produksi terbatas 1.262 Ha dan hutan lindung 2.773 Ha.
Secara keseluruhan luas kawasan hutan menurut fungsinya di Kabupaten Bantaeng
sebesar 6.222 Ha. Karena sebagian besar penduduknya petani, maka wajar bila
Bantaeng sangat mengandalkan sektor pertanian, di antaranya jenis tanaman sayur-
sayurannya sudah berkembang pesat selama ini. Tanaman holtikultura yang banyak di
budidayakan di daerah ini adalah kentang, kool, wortel dan buah-buahan seperti
pisang dan mangga. Perkembangan produksi perkebunan, khususnya komoditi utama
mengalami peningkatan yang cukup berarti.
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 15
Keberhasilan Prof. Dr. Ir. HM. Nurdin Abdullah Magr. dalam membangun
Kabupaten Bantaeng menjadikan daerah ini maknet baru pembangunan di Kawasan
Timur Indonesia. Adapun yang menjadi visi beliau dalah menjadikan Banteang sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi di bagian selatan Sulawesi Selatan tahun 2018. Untuk
mencapai visi tersebut dijabarkan dalam bentuk misi diantaranya:
1. Meningkatkan kualitas SDM melalui pengembangan kapasitas penduduk;
2. Optimaslisai pemanfaatan SDM bidang pertanian dan kelautan;
3. Meningkatkan jaringan perdagangan, industry dan pariwisata;
4. Memaksimalkan berkembangnya lembaga ekonomi masyarakat secara terpadu;
5. Penguatan kelembagaan pemerintah.
Sebagai bentuk implementasi dari misi tersebut, pada tahun 2008 dibentuk
lembaga ekonomi masyarakat secara terpadu dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) di 46 desa yang ada di Kabupaten Bantaeng. Berdasarkan dari hasil
pengamatan dan wawancara di lapangan, dari seluruh BUMDes yang ada di daerah
tersebut, diambil sampel sebanyak dua BUMDes yang dinilai memiliki kinerja yang
baik yaitu BUMDes Ganting di Desa Labbo Kecamatan Tompobulu dan BUMDes Pinang
Raya di Desa Rappoa Kecamatan Pajukukang.
Tabel 1 Komposisi penduduk Desa Labbo dan Rappoa menurut Jenis Pekerjaan Tahun
2015
Menurut Jenis Pekerjaan Desa Labbo Desa Rappoa
Jenis Pekerjaan Jumlah Jenis Pekerjaan Jumlah
Petani 816 Jiwa Petani 185 Jiwa Nelayan -Jiwa Nelayan 45 Jiwa Buruh bangungan 50 Jiwa Buruh bangungan 136 Jiwa Pedagang -Jiwa Pedagang 125 Jiwa PNS 21 Jiwa PNS 69 Jiwa TNI/Polri 3 Jiwa TNI/Polri 3 Jiwa Lainnya 15 Jiwa Lainnya (Honorer) 77 Jiwa
Sumber: Dokumentasi Desa Labbo dan Rappoa, 2016
Tabel 1 menujukan komposisi penduduk di Desa Labbo dan Rappoa pada tahun
2015. Secara umum terlihat adanya perbedaan diantara keduanya dimana 90,17
persen penduduk yang bekerja berada di sektor pertanian sementara itu di Desa
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 16
Rappoa hanya sebesar 35,94 persen atau lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor
infrastruktur dan jasa. Hal tersebut sangat jelas dipengaruhi letak geografis dari
masing-masing desa tersebut. Berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.200
sampai dengan 2000 meter dpl dengan luasi wilayah 13,81 km2 menjadikan Desa
Labbo sangat baik untuk wilayah pertanian. Berbeda halnya dengan Desa Rappoa yang
berada di daerah pesisir dan dekat wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten
Bantaeng sehingga komposisi penduduk yang bekerja di sektor non pertanian masih
lebih besar dari pada sektor pertanian.
Tabel 2. Komposisi penduduk Desa Labbo dan Rappoa menurut tingkat Pendidikan
Tahun 2015
Tingkat Pendidikan
Desa Labbo Desa Rappoa
Jenjang Jumlah Jenjang Jumlah
Tidak sekolah 127 jiwa Tidak sekolah 130 jiwa Tamat SD 131 jiwa Tamat SD 193 jiwa Tamat SMP 227 jiwa Tamat SMP 214 jiwa Tamat SMA 108 jiwa Tamat SMA 102 jiwa Tamat DI/DII/DIII 47 jiwa Tamat DI/DII/DIII 133 jiwa Tamat Akademi/PT 43 jiwa Tamat Akademi/PT 77 jiwa
Sumber: Dokumentasi Desa Labbo dan Rappoa, 2016
Berdasarkan tabel 2 dapat terlihat dengan jelas bahwa komposisi penduduk di
kedua desa menurut tingkat pendidikan rata-rata berada pada kategori tidak tamat
SMP. Hal yang terlihat menarik dengan adanya perbedaan yang sangat signifikan pada
jumlah penduduk yang lanjut ke tingkat perguruan tinggi di antara keduanya, dimana
di Desa Rappo jumlahnya dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk di Desa
Labbo.
Meskipun kemudahan masyarakat untuk mengakses sarana pendidikan
diantara keduanya hampir sama, letak geografis yang dekat dengan wilayah
administrasi pemerintahan dianggap menjadi faktor yang sangat besar mempengaruhi
terhadap komposisi penduduk tersebut. Pilihan untuk bekerja di sektor jasa
mengharuskan mereka untuk meningkatkan kualifikasi mereka melalui pendidikan
tinggi, baik yang ada di Kabupaten Bantaeng dan sekitarnya maupun di ibu kota
Propinsi Sulawesi Selatan. Sementara itu, tidak adanya kualifikasi pendidikan yang
menjadi syarat bagi sektor pertanian dan infrastruktur menjadikan sektor ini menjadi
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 17
pilihan buat mereka yang berpendidikan sekolah menegah dan sekolah dasar bahkan
yang tidak perna duduk dibangku sekolah sama sekali.
Tabel 3. Komposisi penduduk Desa Labbo dan Rappoa menurut tingkat Kelompok
Umur
Tahun 2015
Menurut Kelompok Umur (jiwa)
Desa Labbo Desa Rappoa
Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan Kumulatif Kelompok Umur
Laki-laki Perempuan Kumulatif
0-4 90 136 126 < 1 35 38 73
5-9 45 100 145 1-6 89 85 174 10-14 105 117 222 7-16 101 35 136
15-19 94 153 247 17-24 151 114 292 20-24 115 204 319 25-55 364 467 831
25-29 114 93 207 56> 64 102 166
30-34 72 100 172
35-39 108 138 247
40-44 78 123 201
45-49 107 136 243 50-54 153 135 288
55-59 168 120 288 60-64 67 140 207
65-69 80 146 226 70-74 103 96 199
75+ 17 25 42
Sumber: Dokumentasi Desa Labbo dan Rappoa, 2016
Jika dilihat dari tabel 3 di atas, komposisi penduduk di Desa Labbo dan Rappoa
sebagaian besar berada di usia produktif yaitu masing-masing sebesar 71,56 dan
67,17 persen dari total penduduk. Namun, berdasarkan data empirik di lapangan
hanya ada sebesar 48,63 persen dari usia produktif di Desa Labbo yang benar-benar
bekerja sementara itu ada sebanyak 81,22 persen dari perempuan yang berusia
produktif tidak sedang bekerja (URT). Untuk Desa Rappoa tidak ada data yang
menunjukan tingkat partisipasi angkatan kerja yang tersedia di desa.
2.2.2. Kondisi Sosial Masyarakat Desa
Tanah merupakan asset yang memiliki peranan sangat penting bagi
masyarakat di daerah pedesaan sehingga kondisi social masyarakatnya sangat
dipengaruhi oleh keberadaan asset tersebut. Hubungan kekerabatan masyarakat di
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 18
Desa Labbo masih sangat erat diantara mereka yaitu mencapai 90 persen merupakan
penduduk asli yang turun-temurun mendiami daerah tersebut. Hal yang sama juga
terlihat jelas di Desa Rappoa yang mencapai 89 persen dari jumlah penduduk. Hal
tersebut dapat menggambarkan bahwa besar kemungkinan perpindah kepemilikan
suatu asset (tanah) masih sangat dekat diantara mereka baik melalui system waris
maupun jual beli.
Dengan adanya hubungan kekerabatan yang sangat erat tersebut, kegiatan
social ekonomi masyarakat masih diwarnai budaya tolong menolong seperti pada
kegiatan kerja bakti membersihkan jalan dan drainase, pindah rumah dan hajatan
perkawinan di kampung. Sebagai daerah pedesaan yang digambarkan sebagai
masyarakat tradisional (Gemeinstchaft), Orentasi kolektif tersebut merupakan
konskuesi dari afektifitas, yaitu mementingkan kebersamaan dan rasa simpati yang
tinggi terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolong tanpa pamrih yang
dimasih dipertahankan oleh masyarakat kedua desa tersebut.
Persoalan social seperti kenakalan remaja dan sengketa tanah (warisan) masih
mengandalkan penyelesaian secara kekeluargaan, yaitu mekanisme adat (arbitrasi)
yang ada di desa. Meskipun perangkat dari institusi hukum seperti Polsek Tompobulu
maupun Polsek Pajukukang terdapat di daerah tersebut, masyarakat desa masih lebih
mengandalkan penyelesaian konflik lewat tokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa
seperti ketua RT/RW, kepada dusun dan kepala desa serta camat yang dianggap
memiliki pengaruh yang kuat dalam penyelesaian konflik tersebut. Sementara itu,
polisi dilibatkan sebagai pihak yang berfungsi untuk mengamankan jalannya proses
abitrasi tersebut.
2.2.3. Pengelola BUMDes
A. BUMDes Ganting
BUMDes Ganting yang sekarang berkantor di jalan cengkeh tepatnya
dibelakang kantor Desa Labbo merupakan suatu lembaga ekonomi milik desa Labbo
yang dirintis melalui musyawarah desa pada tanggal 31 Desember 2008 dan
mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Bantaeng bekerjasama dengan
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 19
ACCESS-Phase II sejak tahun 2009 sampai saat ini. Lembaga ini bebentuk usaha
bersama (UB) yang sudah memilik badan hukum berupa akta notaris sejak tahun
2009. Tujuan pendirian lembaga tersebut diantaranya pertama, Mendorong
berkembangnya kegiatan perekonomian masyarakat desa; kedua, meningkatkan
kreatifitas dan peluang usaha ekonomi produkstif anggota (berwirausaha) masyarakat
desa yang berpenghasilan rendah; ketiga, meningkatkan pendapatan asli desa;
keempat, meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, BUMDes Ganting mengelola
beberapa jenis usaha berupa pengelolaan air bersih, jasa angkutan dan pengelolaan
hutan desa.
Alasan memilih unit usaha tersebut, pertama, kondisi desa yang berada di
daerah pegunungan dengan ketinggian 1.200 sampai dengan 2000 meter dpl dengan
luasi wilayah 13,81 km2 menjadikan desa labbo memiliki potensi lahan yang sangat
produktif diantaranya perkebunan dan hutan desa. Dengan luas lahan pertanian
16.296 Ha, masyarakat desa menanam berbagai jenis tanaman jangka panjang seperti
cengkeh, kakao, dan berbagai macam buah-buahan. pada saat panen, masyarakat desa
menghadapi kendala pemasaran hasil bumi mereka. Oleh karena itu, dengan adanya
mobil pick up bantuan pemerintah Kabupaten Bantaeng yang digunakan untuk
operasional usaha BUMDes termasuk melayani jasa pengangkutan hasil bumi
masyarakat sangatlah membantu dalam pemasaran hasil bumi masyarakat tersebut.
Dari unit usaha tersebut pendapatan BUMDes bisa mencapai 350 ribu sampai dengan
750 ribu rupiah perbulan. Masyarakat desa juga mengelola hutan desa dengan luas
504 Ha.
Kedua, keberadaan hutan desa menjadi anugrah yang besar bagi masyarakat di
Desa Labbo dimana BUMDes Ganting adalah pemegang Hak Kelola Hutan (HPHD). Saat
ini ada 119 keluarga yang tersebar di Desa Labbo, dimana Dusun Kampala dan Bonto
Tappalang memanfaatkan hutan desa dengan menanam kopi dan memungut madu
hutan. Di samping itu, hutan desa menjadi ekosistem yang baik bagi lebah hutan.
Untuk memaksimalkan pemanfaatan hasil hutan tersebut, masyarakat membentuk
kelompok peternak lebah madu yang beranggotakan 19 orang dengan 190 peti. Sejauh
ini lembaga BUMDes masih berperan sebatas membantu kelompok tersebut dalam
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 20
pemasaran hasil hutan mereka. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat
desa, Sumber mata air dari hutan desa tersebut dialiri melalui pipa melayani 428
rumah tangga yang dikelola oleh BUMDes. dengan biaya yang relatif lebih murah
dibandingkan dengan tarif yang dikenakan oleh PDAM yaitu sebesar 500 rupiah
untuk biaya beban dan 250 rupiah untuk biaya pemakaian/kubik. Oleh karena itu, dari
unit usaha ini BUMDes memiliki penerimaan sebesar 530 ribu rupiah per bulan.
Untuk mendukung pelaksanaan usaha tersebut, modal usaha BUMDes Ganting
berasal dari pertama, pemerintah Kabupaten Bantaeng yaitu modal usaha sebesar 100
juta rupiah dan sebuah mobil pick up. Bantuan dana pemerintah tersebut merupakan
hibah sedangkan untuk mobil pick up, pengelola BUMDes harus menyetor kepada
pemerintah daerah dalam hal ini dinas perhubungan sebesar 150 ribu rupiah setiap
bulannya. Kedua, bantuan dari dirjen PMD pusat sebesar 160 juta rupiah. Dana ini
merupakan hibah yang diperuntukan pada kegiatan pengembangan desa sehingga
dalam penyalurannya sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) dari Dirjen
PMD Pusat pemerintah desa harus membentuk kelompok teknis kegiatan tersendiri
yang terpisah dengan lembaga BUMDes. Untuk mentaktisi hal tersebut, pemerintah
desa merekrut pengurus BUMDes Ganting untuk mengisi jabatan teknis tersebut.
Tujuan tersebut bertujuan agar dana tersebut dapat disinerjikan kegiatan-kegiatan
desa yang dikelola oleh BUMDes Ganting.
Mengacuh pada peraturan menteri desa, pembangunan daerah tertinggal dan
transmigrasi nomor 4 tahun 2015 pasal pasal 17 (b) modal BUMDes terdiri atas
penertaan modal desa dan modal masyarakat. Namun penyertaan modal pemerintah
Desa Labbo masih nihil meskipun pemerintah memberikan suntikan dana sebesar
sembilan juta rupiah pada saat pelaksanaan musyawarah desa di awal tahun 2014.
Alasan pemerintah desa mengambil tindakan tersebut bertujuan agar kas BUMDes
tetap tidak terganggu. Menurut kepala Desa Labbo penyertaan modal yang nihil
tersebut yang bersumber dari dana desa disebabkan oleh masih belum adanya perdes
yang mengatur hal tersebut. Sementara itu, partisipasi masyarakat dalam bentuk
modal pada BUMDes tersebut juga nihil. Tidak alasan pasti dari pengelola yang
menjelaskan kenapa hal itu tidak dilakukan.
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 21
B. BUMDes Pinang Raya
Seiring dengan pergantian kepengurusan yang baru, kantor BUMDes Pinang
raya masih belum bersifat permanen. Para pengurus untuk sementara waktu
berkantor di kantor Desa Rappoa Kecamatan Pajukukang jalan poros Bulukumba
Makassar dan sebagaian arsip-arsip penting lembaga tersebut berada di rumah salah
satu pengurus baru (sekretaris). Seperti halnya dengan BUMDes Ganting lembaga
ekonomi desa tersebut dirintis melalui musyawarah desa pada di awal tahun 2009
dan mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Bantaeng. Lembaga ini bebentuk
usaha bersama (UB) yang sudah memilik badan hukum berupa akta notaris sejak
tahun 2009. Tujuan pendirian lembaga tersebut dilatarbelakangi dengan adanya
program pemerintah Kabupaten Bantaeng yang ditandai dengan dikucurkannya
bantuan dana BUMDes sebesar 100 juta rupiah tiap desa pada tahun 2009 menindak
lanjuti Surat Keputusan Bupati Bantaeng Nomor 411/510/XII/2008 Tahun 2008
tentang petunjuk tekhnis pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat Melalui Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes). Berdasarkan hal tersebut, pemerintah desa berinisiasi
membentuk lembaga BUMDes dengan diawali pelaksanaan rembug desa
(musyawarah desa) dengan beberapa agenda diantaranya; pertama, melakukan
analsis sosial yang ada di desa, kedua sosialisasi perencanaan dan program kerja yang
bertujuan untuk pengembangan ekonomi masyarakat desa.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, dengan terbentuknya lembaga BUMDes
Pinang Raya yang dipimpin oleh Abdul Salam Bonda sebagai direktur disepakati
beberapa unit usaha yaitu; pertama, perdagangan hasil pertanian, kedua, persediaan
perlengkapan pesta dan ketiga, pembibitan sapi. Dari besarnya jumlah hibah
pemerintah tersebut yang di kelola oleh lembaga, 20 persen digunakan untuk
perlengkapan kantor (ATK) dan 30 persen digunakan untuk membeli bibit sapi
sebanyak sepuluh ekor dengan nilai 30 juta rupiah. Sementara itu, sisa modal
digunakan untuk membeli perlengkapan pesta dan modal usaha perdagangan.
Berbeda halnya dengan potensi yang ada di Desa Labbo, secara geografis letak
desa Rappoa yang berada di sepanjang pesisir selat Makassar. Melalui unit usaha
perdagangan, pengelola membeli hasil bumi masyarakat yang diperoleh dari budi
daya rumput laut. Dengan hanya mengandalkan modal yang bersumber dari hibah
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 22
pemerintah, kemampuan modal usaha yang masih kalah bersaing dengan pedagang
pengumpul lainnya yang ada di desa, unit usaha ini hanya mampu membeli dalam
jumlah yang kecil sesuai dengan harga yang ada di masyarakat. Karena tidak memiliki
tempat penyimpanan yang memadai, hasil pembelian tersebut harus dijual kembali ke
pedangang besar dengan nilai marjin yang sangat kecil. Jumlah yang kecil dan
intensitas yang tidak menentu menyebabkan mereka belum coba untuk memasarkan
langsung ke industri yang ada di Kota Makassar. Meski sempat macet pada tahun 2013
yang berdampak terhadap perkembangan usaha tersebut, atas inisiasi pemerintah
desa berdasarkan hasil musrembang desa yang dilaksanakan awal tahun 2016 dengan
kepengurusan BUMDes yang baru disepakati program pengadaan toko petani rumput
laut yang akan menyediakan segala kebutuhan pertanian diantaranya, tali bentang dan
bibit. Untuk mendukung tujuan pendirian lembaga tersebut. Rapat tersebut juga
menyepakati pembentukan unit baru yaitu unit simpan pinjam untuk masyarakat
kelas ekonomi mengengah bawah. Salah satu peruntukannya adalah sebagai modal
usaha bagi petani rumput laut yang memiliki kendala pada modal usaha.
Untuk mendorong tingkat produktivitas pertanian di desa, pemerintah Desa
Rappoa melalui BUMDes juga mengalokasikan dana desa sebesar 56 juta rupiah untuk
membeli dua unit traktor. Di samping itu juga, melihat adanya nilai ekonomis dari unit
usaha ternak sapi yang selama ini dijalankan, dimana dengan modal tiga juta rupiah
per ekor setelah dua tahun memiliki nilai pasar sebesar dua juta rupiah, pemerintah
kembali akan mengalokasikan dana desa tahun 2017 untuk penambahan jumlah bibit
sapi. Untuk mendorong pembangunan ekonomi di desa pemerintah mencoba
mesingerjikan RPJMdes 2020 dengan pelaksanaan program yang ada di lembaga
BUMDes Pinang Raya. Bantuan dana tersebut merupakan bentuk partisipasi
pemerintah desa dalam penyertaan modal usaha yang dialokasikan dari dana desa
sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 22 tahun 2015.
C. Prinsip-Prinsip Pendirian dan Pengelolaan
Dalam pendirian dan pengelolaan lembaga, prinsip-prinsip pendirian dan
pengelolaan BUMDes diantaranya; pertama, prinsip kooperatif pada BUMDes Ganting
dan Pinang Raya menunjukan adanya hubungan kerja sama yang baik diantara
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 23
pengurus yang ditandai oleh kemampuan masing-masing direktur lembaga tersebut
dalam membangun komunikasi ke setiap lini yang ada di bawahnya meskipun
terkadang terjadi perbedaan persepi tentang tugas pokok dan fungsi masing-masing
pengurus. Sinergitas visi dan misi antara pemerintah desa dan pengelola BUMDes
ternyata sangat mempengaruhi terhadap kinerja lembaga. Hal ini dapat terlihat pada
keberhasilan BUMDes Ganting periode 2012-2014 yang go internasional di masa
kepimpinan Muhammad Jamil yang dapat bersinergi dengan Subehan yang mejabat
sebagai kepala desa pada saat itu. Namun, pada akhir tahun 2013 setelah terpilihnya
Sirajuddin sebagai kepala desa yang baru, Muhammad Jamil tidak lagi mencalonkan
diri pada periode berikutnya dengan alasan politis. Sehingga sampai saat ini belum
terlihat adanya perkembangan yang signifikan yang dilakukan oleh pengurus yang
baru bahkan berdasarkan informasi di lapangan mereka belum melakukan kegiatan
apa pun. Berbeda halnya yang terjadi pada BUMDes Pinang Raya, visi misi kepada desa
(Irwan Darffan) yang tidak mampu diterjemahkan dengan baik oleh pengurus
BUMDes pada periode sebelumnya yang dipimpin oleh Abdul Salam Bonda yang
dianggap mengelola lembaga seperti mengelola usaha pribadi. Sehingga pada awal
tahun 2016 diadakan musyawarah desa dengan menetapkan kepengurusan yang baru,
dimana direktur dan bendahara diisi oleh orang yang baru sementara posisi sekretaris
masih dijabat oleh orang yang sama.
Kedua, prinsip partisipatif yang ditunjukan dengan keterlibatan setiap unsur
yang ada dalam masyarakat dalam musyawarah desa maupun kegiatan usaha
BUMDes, seperti kelompok tani, tokoh masyarakat, tokoh perempuan dan tokoh
pemuda. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan potensi desa
sangat diharap seperti dalam pemeliharaan instalasi PDAM. Kepala unit usaha tidak
mengandalkan seluruhnya kepada karyawan tetapi juga swadaya dari masyarakat
sekitar. Mengingat kecilnya biaya beban dan pemakaian yang dipungut oleh BUMDes,
jika hanya mengandalkan tenaga kerja upahan pasti akan menyebabkan besarnya
kerugian yang akan ditanggung oleh unit usaha yang akhirnya akan dikenakan kepada
pelanggan.
Ketiga, prinsip keadilan dan kesetaraan gender juga ditunjukan dalam
penelolaan BUMDes dimana kepengurusan tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 24
tetapi juga pelibatan perempuan dianggap penting seperti ibu Hilmi Ahriani sebagai
bendahara pada BUMDes Ganting dan Maryani dan Hadriani masing-masing sebagai
sekretaris dan bendahara pada BUMDes Pinang Raya. Meskipun dalam AD/ART pasal
8 poin sangat jelas dibahasakan “Pembentukan BUMDes Ganting Desa Labbo dengan
sistem musyawarah dengan melibatkan semua unsur dalam masyarakat dengan
ketentuan sebagai berikut: a. Perempuan memiliki keterwakilan, b. Wakil masyarakat
paling tidak ada unsur masyarakat miskin”. Namun, dalam musyawarah desa tingkat
partisipasi kaum perempuan masih sangat minim jika dibandingkan dengan kaum
laki-laki. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh kesibukan perempuan dalam
mengurusi rumah tangga mereka serta tingkat pendidikan yang umumnya tidak tamat
SD menyebabkan mereka merasa canggung untuk hadir dalam forum tersebut.
Keempat, prinsip tranparansi dan akuntabilitas yang ditunjukan dalam
pengelolaan kegiatan dan keuangan di kedua BUMDes masih sangat terbatas, yang
hanya bisa diakses oleh pihak-pihak tertentu khususnya pengurus inti. Seperti yang
terjadi pada lembaga lain pada umumnya, kondisi keuangan BUMDes dilaporkan
secara langsung pada akhir periode kepengurusan pada setiap tiga tahun dalam
musyawarah desa. Untuk laporan pertanggungjawaban tahunan sesuai dengan
AD/ART BUMDes Ganting pasal 22 pengurus berkewajiban memberikan laporan
pertanggungjawaban kepada kepala desa selaku komisaris dan kepada masyarakat
minimal sekali dalam setahun. Oleh karena itu, pengurus membuat laporan tahunan
diantaranya laporan keuangan yang disampaikan dalam bentuk tertulis kepada
komisaris. Hal yang sama juga dapat terlihat pada prinsip akuntabilitas di kedua
BUMDes tersebut. Pertanggungjawaban kegiatan secara teknis maupun administratif
masih dilakukan secara periodik dan persuasif tanpa harus diadakan musyawarah
BUMDes pertanggungjawaban (sesuai AD/ART BUMDes Ganting pasal 10).
Kelima, sesuai dengan tujuan pendirian BUMDes di kedua desa tersebut,
prinsip sustainabel dari unit usaha yang dijalankan menjadi prioritas. Ketersedian
sumber daya alam yang sangat potensial sangat mendukung tercapainya prinsip
tersebut. Hal ini dapat terlihat pada setiap unit usaha yang dijalankan oleh BUMDes
Ganting dalam mengelola hutan desa. Untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas
air bersih dan ketersediaan lebah madu yang dikelolah BUMDes Ganting lembaga
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 25
tersebut menerbitkan surat keputusan nomor 03/BMDs-GT/LB/KTB/II/2010 tentang
pengelolaan hutan desa. Tujuan dari peraturan tersebut adalah agar masyarakat dapat
mengakses dan memanfaatkan sumber daya hutan tersebut melalui BUMDes secara
lestari dan dapat meningkatkan kesejahtraan mereka secara berkelanjutan.
Gambar 1. Struktur BUMDes Ganting dan Pinang Raya
D. Hubungan dengan Pihak Lain
Dalam upaya pengembangan lembaga, BUMDes sebagai lembaga yang berada
di era globalisasi yang penuh dengan kompetisi dan sangat dinamis harus sedapat
mungkin membuka diri terhadap berbagai pihak, baik pemerintah, swasta mapupun
lembaga non-pemerintah. Sebagai lembaga ekonomi desa yang memiliki prestasi, baik
ditingkat nasional maupun internasional, BUMDes Ganting telah membangun
kerjasama dengan beberapa lembaga dalam dan luar negeri diantaranya; Univesitas
Hasanuddin, Rekoptisi (Bangkok), Akses, LSM Balang, dan Forum Komunikasi Kehutan
Masyarakat (FKKM).
Untuk dapat mengelola hutan desa sesuai dengan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa dan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Musyawarah Desa
Direksi: Direktur
Sekeretaris Bendahara
Unit Usaha Pengelolaan
Air Desa
Unit Usaha Pengelolaan Huta Desa
Unit Usaha Jasa Angkutan
Komisaris
Badan Pengawas
Musyawarah Desa
Direksi: Direktur
Sekeretaris Bendahara
Unit Usaha Petani Rumpu
laut
Unit Usaha
Perleng-kapan pesta
Unit Usaha Jasa
simpan pinjam
Komisaris
Badan Pengawas
Unit Usaha
Petern-akan sapi
Struktur BUMDes Ganting Struktur BUMDes Pinang Raya
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 26
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 maka atas bantuan Rekoptisi
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.57/Menhut-II/2010 tentang
penetapan kawasan Hutan sebagai Areal kerja Hutan Desa dan Keputusan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor 3805/XI/TH 2010 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan
Hutan Desa di Kawasan Hutan Lindung masyarakat Desa Labbo melalui BUMDes
Ganting dapat mengelola hutan desa yang terletak di Kawasan hutan yang terdapat di
Desa Labbo sesuai badan planalogi Kehutanan dan hasil Peta paduserasi Provinsi
Sulawesi Selatan tahun 1999, seluas 342 ha, berada di 5025’20” – 5023’40” LU dan
119057’30” - 119059’20” LS Hutan Desa yang dicanangkan di Kabupaten Bantaeng
Kecamatan Tompobulu. Untuk dapat mempertahankan kelestarian dan
keberlangsungan hutan tersebut, melalui fakultas kehutan Universitas Hasanuddin
dan FKKM kelompok masyarakat diberi pembinaan dan informasi tentang
pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Keberadaan dan pengelolaan hutan desa
secara terpadu menjadikan BUMDes Ganting dikenal di beberapa negara diantaranya
mendapat kunjungan dari pemerintah Timor Leste dan Bangkok serta undangan
menjadi nara sumber di Bangkok.
Sementara itu, popularitas BUMDes Pinang Raya belum terlihat seperti yang
ada pada lembaga ekonomi desa yang ada di dataran tinggi tersebut. Dengan adanya
unit usaha perdagangan dan simpan pinjam mengharuskan lembaga ini menjalin
bekerjasama dengan pihak perbankan. Selama ini untuk memudahkan dan demi
kelancaran usaha pihak pengelola membangun kerjasama dengan Bank
PembangunanDaerah (BPD) Sulawesi Selatan. Tidak ada penjelasan khusus apa alasan
pengelola BUMDes memilih kerjasama dengan lembaga keuanga tersebut. Jika dilihat
dari jarak lokasi usaha dengan kantor BPD Sulawesi Selatan yang ada di daerah
tersebut dapat dengan mudah dijangkau melalui moda transportasi darat, yang kira-
kira berjarak 3 km.
E. Dampak Keberadaan BUMDes terhadap Masyarakat
Melihat apa yang melatarbelakangi pembentukan BUMDes, dampaknya
terhadap masyarakat luas merupakan hal yang mutlak harus ada. Seperti yang
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 27
tertuang dalam peraturan Desa Labbo Nomor 02 Tahun 2008 pasal 3 tentang tujuan
pembentukan BUMDes Ganting yaitu mendorong perkembangan kegiatan ekonomi,
jiwa kewirausahaan dan pembentukan unit usaha mikro sektor informal di
masyarakat terkhusus bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Sejak berdiri pada
awal tahun 2009 keberadaan BUMDes Ganting sangat terasa dampaknya di
masyarakat, seperti unit usaha air bersih, pengelolaan hutan desa dan jasa angkutan.
Ketersediaan air bersih yang sebelumnya dilakukan secara gotong-royong
(swadaya) saat ini mampu dikelola secara profesional. Dengan menggunakan instalasi
pipa yang dapat melayani 428 rumah tangga juga dilengkapi dengan meteran agar
dapat mengukuran besarnya volume air yang digunakan. Meskipun dikelola secara
profesional seperti halnya perusahaan air minum, aspek kepentingan sosial (nirlaba)
masih menjadi prioritas utama. Hal ini dapat dilihat dari biaya yang dibebankan
kepada masyarakat yaitu sebesar 500 rupiah (beban) dan 250 rupiah per kubik (biaya
pemakaian). Selain sebagai sumber air bersih, masyarakat juga dapat memanfaatkan
hutan secara terpadu dengan membudidayakan berbagai macam komoditas pertanian
seperti kopi dan lebah madu. Agar hutan tetap lestari dan dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan peran BUMDes sebagai lembaga desa untuk mengatur tata kelola
pemanfaatannya. Bahkan, masyarakat di desa diberikan berbagai pelatihan dan
penyuluhan tentang peningkatan kapasitas secara berkelompok. Mereka juga
diberikan bantuan bibit pohon agar dapat ditanam di daerah garapan mereka masing-
masing. Untuk mengangkut hasil bumi masyarakat desa untuk dipasarkan, keberadaan
mobil puck up BUMDes sangat membantu mereka. Bahkan pelayanan jasa angkutan
juga menjangkau desa di sekitarnya.
Untuk meningkatkan nilai ekonomis dari hasil budidaya masyarakat seperti
kopi tidak langsung di pasarkan tetapi BUMDes Ganting melakukan pembinaan
terhadap kaum perempuan di desa yang tergabung dalam “Kelompok Perempuan
Mawar” bagaimana mengolah biji kopi menjadi kopi bubuk. Bahkan, melalui kelompok
itu juga diajari bagaimana menghasilkan oleh-oleh khas daerah yang berbahan dasar
kopi seperti dodol kopi. Agar produk tersebut dapat menjangkau pasar BUMDes
Ganting juga membantu memasarkan produk dari masyarakat melalui pameran dan
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 28
sosialisasi di berbagai even nasional dan daerah serta membangun kerjasama dengan
pihak lain diantaranya rekoptisi.
Hal yang sama juga terlihat di desa Rappoa, keberadaan BUMDes Pinang Raya
dapat mengerakan perekonomian warga maskipun masih dalam skala kecil. Unit
usaha peternakan sapi yang dikelola secara kelembagaan dan perawatannya
diserahkan kepada 10 kepala keluarga mampu meningkatkan pendapatan bagi
sebagaian masyarakat desa. Karena usaha tersebut jenisnya pembibitan dan sifatnya
bergulir maka induk ternak tersebut akan diserahkan ke rumah tangga yang lain agar
terjadi pemerataan. Begitu juga halnya dengan keberadaan dua unit traktor dapat
membantu meningkatkan produktifitas lahan pertanian masyarakat, dimana
sebelumnya mereka harus mendatangkan traktor dari desa tetangga bahkan harus
antri agar biasa menggunakan traktor tersebut. Dengan ada dua unit tersebut,
pengelolaan lahan pertanian di desa Rappoa dapat dikerjakan lebih cepat
dibandingkan sebelumnya.
Meskipun keberadaan toko petani rumput laut belum terealisasi, nanti
diharapkan dapat membantu masyarakat khususnya petani rumput laut dalam
persediaan perlengkapan dan bahan baku yang dibutuhkan. Besarnya minat
masyarakat dalam membudidayakan rumput laut di daerah pesisir selat Makassar
akan meningkatkan bebagai macam kebutuhan mereka terutama bibit rumput laut
yang memiliki kualitas terbaik. Keterbatasaan modal dan persediaan bibit yang jauh
dari lokasi budidaya menjadi masalah yang coba dipecahkan pemerintah desa melalui
unit usaha toko petani rumput laut dan simpan pinjam yang dikelola oleh BUMDes
tersebut.
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 29
BAB III
MODEL BUMDes
Ketergantungan masyarakat yang sangat besar terhadap sector pertanian
khususnya rumput laut di daerah pesisir Kabupaten Takalar dan Pangkep menunjukan
adanya pengaruh yang besar antara daya beli masyarakat terhadap tingkat
produktifitas lahan yang dikelola oleh mereka. Rendahnya daya beli masyarakat
khususnya mereka yang mengelola lahan pertanian. mengharuskan mereka untuk
menggunakan modal yang seharusnya digunakan untuk usaha budidaya rumput laut,
malah digunakan untuk keperluan sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan modal
dalam menjalankan usaha budidaya tersebut dengan harapan penerimaan mereka
tetap ada setiap musim panen, meskipun secara ekonomis harus menanggung
kerugian, umumnya mereka memilih tengkulak sebagai tempat untuk mendapatkan
modal usaha. Ketergantuangan mereka akibat pinjaman tersebut menjadi
permasalahan baru yang tak perna terselesaikan buat mereka. Ibarat bola salju yang
terus menggelinding yang suatu waktu akan merusak setiap tempat yang dilewatinya
mendeskripsikan permasalahan yang dihadapi petani rumput laut yang ada di desa
Laikang, Cikoang dan Patopakkang (Syafiuddin Saleh & Siswan, 2015).
Untuk memecahkan masalah tersebut, peran pemerintah baik daerah maupun
desa dianggap sangat penting dalam mendorong perekonomian masyarakat di
pedesaan. Upaya yang yang dapat dilakukan berdasarkan hasil studi komparatif
(comperative study) yang dilakukan di Kabupaten Bantaeng, dimana keberhasilan
pemerintah tersebut mendorong terbentuknya BUMDes di setiap desa menjadi modal
tersendiri buat keberhasilan pembangunan di daerah itu. Melihat kondisi dan
permasalahan yang ada di daerah pesisir Kabupaten Takalar dan Pangkep, Bentuk
usaha BUMDes yang cocok untuk dikembangkan adalah:
a. Unit usaha simpan pinjam
Kendala modal usaha yang dihadapi oleh petani rumput laut di daerah tersebut
dapat diselesaikan melalui unit usaha simpan pinjam. Untuk dapat melakukan
peminjaman seluruh mekanisme tersebut diatur dalam ART dan peraturan
BUMDes. Penyelengaraan simpan pinjam dimaksud untuk dapat memudahkan
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 30
masyarakat dalam pelayanan kredit. Sementara itu, sifat dari pinjam ini adalah
bersifat pinjaman produktif yaitu, setiap masyarakat yang telah terdaftar sebagai
anggota dapat melakukan pinjaman jika memiliki usaha.
Masyarakat yang tidak memiliki usaha tidak diperkenankan untuk
mendapatkan pinjaman disebabkan oleh tidak sesuai dengan dasar tujuan
pendirian unit usaha itu sendiri. Oleh karena itu, melalui lembaga BUMDes
kegiatan pemberdayaan masyarakat secara ekonomi di desa dapat ditingkatkan
melalui kegiatan pelatihan yang masuk dalam kegiatan social BUMDes. Kegiatan ini
betujuan mendorong dan menciptakan kemampuan kewirausahaan masyarakat di
desa sehingga dana yang ada di unit usaha ini dapat bergulir di masyarakat dengan
tingkat pengembalian yang tinggi.
b. Unit usaha perdagangan (pertokoan)
Keberadaan unit usaha ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
perlengkapan yang digunakan dalam budidaya rumput laut melalui keberadaan
toko pertanian yang dikelola oleh BUMDes seperti tali bentang, pelampung, dan
bibit. Kebutuhan terhadap barang-barang tersebut sebelumnya harus dibeli
dengan harga yang relative lebih tinggi yang disediakan oleh pengusaha yang ada
di desa. Bahkan, khusus tali bentang sebagaian dari mereka harus ke Kota
Makassar untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar dengan harga yang
dianggap lebih murah dibandingkan harga yang ada di desa dengan selisih harga
antara 5 ribu rupiah sampai dengan 10 ribu rupiah per roll (Syaifuddin, 2015).
Margin harga yang relatif besar tersebut dapat dipangkas melalui keberadaan unit
usaha tersebut, bahkan bisa menjadi laba usaha.
Di samping itu, untuk memotong rantai pemasaran yang begitu panjang dengan
marjin harga yang relative besar, unit usaha ini juga dapat melakukan pembelian
hasil produksi petani. Besarnya jumlah produksi rumput laut yang ada di daerah
tersebut sangat memungkinkan BUMDes langsung dapat menjualnya ke industri
yang ada di Kota Makassar. Besarnya margin harga yang ada dalam pemasaran
rumput laut, yaitu sebesar 4 sampai 5 ribu rupiah per kilogram, sangat
mempengaruhi besarnya potensi pendapat yang hilang dari petani rumput laut
yang ada di daerah pesisir kabupaten Takalar dan Pangkep (Syaifuddin, 2015).
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 31
Dengan pemangkasan rantai pemasaran tersebut secara tidak langsung dapat
meningkatkan gairah masyarakat untuk meningkatkan produktifitas usaha
mereka. Misalnya, 30 persen dari margin harga itu diberikan kepada produsen
dalam bentuk tambahan harga pembelian dan selebihnya menjadi laba usaha yang
diperoleh BUMDes. Hal ini tidak hanya mampu meningkatkan pendapatan petani
tetapi juga dapat memperkuat kemampuan keuangan lembaga.
c. Unit usaha agroindustri
Untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga petani rumput laut khususnya
kaum perempuan perlu adanya industry rumah tangga yang dapat mengolah
bahan baku rumput laut menjadi produk yang memiliki nilai tambah (valueadded).
Banyaknya produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku tersebut seperti snack
rumput laut sehingga usaha ini perlu dikembangkan di daerah pesisir. Pelatihan
dan penyediaan tehnologi yang bekerjasama dengan pemerintah daerah dan pusat
dapat dilakukan untuk mendukung pelaksanaan usaha tersebut.
Dari pelatihan dan teknologi yang tersedia, BUMDes dapat mendesain bentuk
usaha yang akan dijalankan ,apakah BUMDes melalui unit usaha ini membangun
industry yang terpusat di suatu tempat atau hanya mengumpulkan hasil produksi
dari home industry yang ada di masyarakat kemudian memasarkannya.
Keuntungan dari hanya memasarkan hasil produksi tersebut yaitu hanya
membutuhkan modal yang relative kecil. Namun, melihat permasalahan yang ada
di masyarakat yang menghadapi kendala modal untuk dapat menjalankan usaha
mereka dalam skala kecil (home industry) pada tahap awal BUMDes dapat menjadi
pioneer dalam mengembangkan usaha tersebut.
3.1. Tahap pendirian
Sebagai lembaga formal, pendirian lembaga BUMDes membutuhkan beberapa
prosedur yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal penting yang
harus diperhatikan, diantaranya:
1. Pendirian BUMDes berdasarkan pada perda kabupaten
2. Diatur berdasarkan peraturan desa
3. Satu desa hanya terdapat satu BUMDes
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 32
4. Pemerintah kabupaten memfasilitasi pendirian BUMDes
5. BUMDes dapat didirikan dalam bentuk usaha bersama (UB) atau bentuk
lainnya
Untuk dapat mendirikan sebuah lembaga BUMDes membutuhkan beberapa
tahapan. Empat tahap pendirian BUMDes
1. Pemerintah desa (pemdes) dan masyarakat bersepakat mendirikan BUMDes
Gagasan awal pendirian BUMDes apakah bersumber dari perorangan atau
kelompok masyarakat harus dibahas di dalam rembug desa. Beberapa aktivitas
yang perlu dilakukan dalam menyiapkan pendirian BUMDes meliputi:
a. Melakukan rembug desa guna membuat kesepakatan pendirian BUMDes
b. Melakukan identifikasi potensi dan permintaan terhadap produk (barang
dan Jasa) yang akan ditawarkan BUMDes
c. Menyusun AD/ART
d. Mengajukan legalisasi badan hukum ke notaris untuk memperoleh
pengesahan
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
a. Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) adalah aturan tertulis
organisasi yang dibuat dan disepakati bersama oleh seluruh anggota yang
berfungsi sebagai pedoman organisasi dalam mengambil kebijakan serta
mejalankan aktivitas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan
bersama. Sifat dari AD/ART adalah mengikat bagi setiap komponen organisasi
dan bersifat melindungi kepentingan bersama.
b. Perbedaan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
Anggaran dasar adalah peraturan tertulis memuat dan terdiri dari aturan
pokok saja dalam organisasi yang berfungsi sebagai pedoman dan kebijakan
untuk mencapai tujuan serta menyusun aturan-aturan lain. Biasanya disusun
sebelum kepengurusan terbentuk.
Langkah penyusunan Anggaran Dasar (AD)
• Pemdes mengundang masyarakat, pimpinan atau pengurs lembaga-
lembaga masyarakat desa, dan toko masyarakat untuk merancang AD
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 33
• Pemdes membentuk tim perumus (dengan melibatkan golongan
miskin/kurang mampu dan perempuan dalam tim)
• Tim perumus menggali aspirasi dan merumuskan pokok-pokok aturannya
dalam bentuk draft AD
• Pemdes membuat berita acara pengesahan draft AD menjadi AD
• Penyusunan dan pembentukan pengelola BUMDes
• Pemdes membuat berita acara pembentukan dan penetapan pengelola
BUMDes
Anggaran Rumah Tangga (ART)
Anggaran rumah tangga adalah aturan tertulis sebagai bentuk operasional yang
lebih terinci dari aturan-aturan pokok dalam anggaran dasar (AD) dalam
melaksanakan tata kegiatan organisasi. Biasanya disususn setelah pengelola
terbentuk, dan disahkan melalui rapat anggota
Langkah penyusunan Anggaran Rumah Tangga (ART)
• Pengelola mengundang masyarakat pengguna kelembagaan desa,
pemerintah desa dan toko masyarakat
• Membentuk tim perumus (golongan miskin dan perempuan dilibatkan)
• Tim perumus menggali aspirasi dan merumuskan pokok-pokok aturannya
dalam bentuk daraft ART
• Rembug desa untuk membahas draft ART
• Dibuat berita acara pengesahan darft ART menjadi ART
2. Pengelolaan BUMDes dan Persyaratan Pemegang Jabatan
• BUMDEs harus dikelola secara profesional dan mandiri sehingga diperlukan
orang-orang yang memiliki kompetensi untuk mengelolanya. Bagi
pemegang jabatan direktur setidak-tidaknya memiliki pengalaman kerja di
lembaga yang bertujuan mencari keuntungan. Latar belakang pendidikan
minimal SMU dan disarankan Strata satu (S1) atau Diploma empat (DIV)
• Bagi pemegang jabatan bagian keuangan, bendahara dan sekretaris
diutamakan berasal dari sekolah kejuruan (SMK/SMEA) atau DIII bidang
akuntansi dan perkantoran. Latar belakang bagi pemegang jabatan ini
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 34
penting agar dapat menjalakan peran dan fungsinya sesuai dengan tuntutan
pekerjaan
• Bagi karyawan diutamakan memiliki latar belakang minimal SMU. Ini
disebabkan mereka harus mampu menyusun laporan aktivitas BUMDes
yang berkaitan dengan pekerjaannya. Seperti pada contoh karyawan di Unit
Jasa Perdagangan, mereka harus menyusun laporan barang-barang yang
terjual dan sisa barang di toko atau di gudang setiap periode tertentu. Perlu
disusun adanya job deskripsi tanggungjawab dan wewenang pada masing-
masing lini organisasi, sebagai pandauan kerja.
• Kegiatan yang bersifat lintas desa perlu dilakukan koordinasi dan
kerjasama antar pemerintah desa dalam pemanfaatan sumber-sumber
ekonomi, misalnya sumber air minum, dll.
• Kerjasama dengan pihak ketiga oleh pengelola harus dengan konsultasi dan
persetujuan dewan komisaris BUMDes
• Dalam kegiatan harian maka pengelola harus mengacu pada tata aturan
yang sudah disepakati bersama sebagaimana yang telah tertuang dalam
AD/ART BUMDes, serta sesuai prinsip-prinsip tata kelola BUMDes.
• Pengelolaan harus transparan/terbuka sehingga ada mekanisme chek and
balance baik oleh pemerintah desa maupun masyarakat
• Perlu disusun rencana-rencana pengembangan usaha.
3. Monitoring dan Evaluasi
a. Dibuat mekanisme/prosedur pengawasan
b. Untuk keperluan pengawasan, disamping dilakukan oleh dewan komisaris
bisa ditambah unsur dari pemerintah kabupaten. Sebab pemerintah
kabupaten juga berperan untuk memfasilitasi usaha BUMDes
c. Proses monitoring dilakukan secara berkelanjutan, sehingga bisa
mamantau kegiatan BUMDes secara baik. Evaluasi dilakukan per-triwulan
atau sewaktu-waktu jika dianggap perlu sesuai ketentuan AD/ART.
4. Pertanggungjawaban Pengelola
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 35
Dalam proses pertanggungjawaban pengelolaan BUMDes, maka disarankan
sebagai berikut:
a. Setiap akhir periode tahun anggaran, pengelola wajib menyusun laporan
pertanggungjawaban untuk disampaikan dalam forum masyawarah desa yang
menghadirkan elemen pemerintah desa, elemen masyarakat serta seluruh
kelengkapan struktur organisasi BUMDes
b. Laporan pertanggungjawaban antara lain memuat:
• Laporan kinerja pengelola selama satu periode/tahunan
• Kinerja usaha yang menyangkut realisasi kegiatan usaha, upaya
pengembangan, indikator keberhasilan dsb
• Laporan keuangan termasuk rencana pembagian laba usaha
• Rencana-rencana pengembangan usaha yang belum terealisasi
• Proses pertanggungjawaban dilakukan sebagai upaya evaluasi tahunan
serta upaya-upaya pengembangan ke depan
• Mekanisme dan tata tertib pertanggungjawaban ini disesuaikan dengan
AD/ART
3.2. Tahap Pengembangan
Untuk mempertahankan dan mengambangkan usaha yang sudah ada, perlu
dilakukan identifikasi terhadap kinerjanya dan prosepek ke depan, misalnya:
1. Bagaimana perkembangan omset penjualan dalam setiap periode
(bulanan/tahunan)
2. Bagaimana perolehan laba/rugi pada setiap periode (bulanan/tahunan)
3. Bagaimana kondisi barang/jasa yang diusahakan (kuantitas, kualitas, keragaman
pilihan, dll)
4. Bagaimana sistem pelayanannya kepada konsumen
5. Upaya promosi apa saja yang sudah dilakukan
6. Dimana letak lokasi usahanya
7. Mungkinkah suatu unit usaha melakukan ekspansi
8. Dan lain-lain
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 36
Bila perkambangan omset penjualan lambat atau perputaran barang/jasa
rendah, berarti unit usaha tersebut ada masalah. Masalah inilah yang harus segera
diatasi agar omset penjualan bisa meningkat. Tugas mengevaluasi kinerja unit usaha
ini adalah menjadi tanggungjawab manajer unit usaha beserta pengurus BUMDes.
Penting untuk diperhatikan adalah saran dari pengawas dan dewan komisaris pada
saat laporan pertanggungjawaban BUMDes di forum rembug desa.
Merintis Unit Usaha Baru Di BUMDes
BUMDes dapat berfungsi mewadahi berbagai usaha yang dikembangkan di
pedesaan. Oleh karena itu, di dalam BUMDes dapat terdiri dari beberapa unit usaha
yang berbeda-beda. Ini sebagimana ditunjukan pada contoh struktur organisasi
BUMDes yang memikiki 3 unit usaha yaitu unit usaha perdagangan, unit usaha jasa
keuangan, dan unit usaha produksi. Unit usaha yang berada di dalam BUMDes secara
umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Unit usaha jasa keuangan, misalnya menjalankan usaha simpan pinjam
2. Unit usaha sektor rill/ekonomi, misalnya mejalankan usaha pertokoan atau
waserda, home industri, peternakan, perikanan dan pertanian serta lain-lainnya.
Merintis unit usaha baru
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk merintis unit usaha baru adalah
sebagai berikut:
1. Menantukan siapa konsumen sasarannya (target pasar)
2. Melakukan indetifikasi kebutuhan, keinginan dan daya belinya
3. Melayani salah satu kebutuhan dan keinginan yang bersifat jangka panjang dan
menguntungkan
4. Mendirikan unit usaha untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut, misalnya
5. Usaha promosi dalam bentuk selebaran atau papan pengumuman. Tujuan dari
promosi adalah konfirmasikan kepada konsumen sasaran berkenan dengan
penyediaan barang atau jasa yang mereka butuhkan dan inginkan.
6. Perlu dibuat perhitungan yang seksama menyangkut tingkat pengembalian modal
usaha yang digunakan. Sehingga pengelola dan dewan komisaris dapat mengetahui
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 37
pada tahun ke berapa usahanya mulai menghasilkan keuntungan dan modalnya
sudah kembali
7. Pelayanan yang baik, bersahabat dan ramah harus dijadikan sebagai landasarn
menjalin kerjasama dengan para konsumen. Sebab bagi usaha yang mencari
keuntungan loyalitas konsumen harus dipertahankan supaya mereka menjadi
pelanggan tetap. Sehingga produk-produk yang ditawarkan ke pasar akan selalu
terjual
8. Pendirian usaha baru yang memiliki kesamaan dengan usaha yang sudah
dijalankan oleh masyarakat sebaiknya dihindari agar tidak terjadi persaingan dan
perebutan pasar. Ini penting disadari mengingat jumlah konsumen di pedesaan
umumnya tidak cukup besar. Jika BUMDes membuka usaha yang sudah dijalankan
masyarakat dan berakibat berkurangnya omzet penjualan masyarakat
dimungkinkan akan menimbulkan persoalan baru.
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 38
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dengan menggunakan dengan
menggunakan beberapa teknik wawancara terstruktur dan pengamatan dapat ditarik
beberapa kesimpulan diantaranya; pertama, BUMDes yang dikembangkan di
Kabupaten Banteng dapat mendorong dan mengembangkan potensi ekonomi desa;
kedua, unit usaha yang dikembangkan melalui BUMDes seperti unit usaha simpan
pinjam, perdagangan, agroindustri dan perternakan dianggap mampu mengatasi
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir Kabupaten Takalar dan Pangkep.
4.2. Rekomendasi
Untuk dapat mengimplementasikan hasil penelitian, maka diharapkan pihak-
pihak yang tekait diantaranya:
1. Pemerintah Daerah
a. Mendorong kebijakan dan program strategis dalam penguatan dan
pengembangan kegiatan ekonomi pedesaan (BUMDes) yang merupakan
turunan RPJPD dan RPJMD serta Renstra SKPD
2. Pemerintah Desa
a. Didorong untuk merumuskan dan menginternaliasi BUMDes ke dalam
RPJMDes dan pro aktif untuk membangun akses networking dan koordinasi
pengembangan BUMDes berdasarkan potensi wilayahnya.
b. Merumuskan peraturan desa (perdes) sebagai implementasi dari UU No. 6
Tahun 2014 pasal 1 (poin 6) tentang penyertaan modal desa dalam
pengelolaan BUMDes.
c. Diharapkan tidak memberikan intervensi di luar tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) aparatur pemerintahan desa dalam pembentukan dan pengelolaan
BUMDes.
3. Civil Society/NGO
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 39
a. Diharapkan mendukung dan melakukan mentoring untuk membantu
berkembangan model BUMDes dalam peningkatan perekonomian desa dan
peningkatan kesejahteraan warga desa.
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 40
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Erani Yustika, 2013, Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori dan Kebijakan, Erlangga: Jakarta.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan, 1/6/2016, Berita resmi statistic No. 74/12/73/Th. II, 23 Desember 2014 (online), (http://sulsel.bps.go.id/website/brs_ind/brsInd- 20150430 104723.pdf) Michel P. Todaro, 2006, Pembangunan Ekonomi, edisi kesembilan, Erlangga: Jakarta. Siswan, 2015, Laporan Survei Ketahanan Pangan Kabupaten Pangkep dan Takalar.
Makasar Syafiuddin Saleh, 2015, Pemetaan nilai rumput laut (seaweed value chain mapping) di
Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep dan Barru. Makassar
Studi Komparatif dan Model BUMDes Page 41
Lampiran
Gambar 1: Sesi wawancara Kepala desa di Kantor Desa Labbo
Gambar: Sesi wawancara pengurus BUMDes Ganting di Hotel Ahriani Kabupaten Bantaeng