BAB I Ototoksik

download BAB I Ototoksik

of 18

description

SVDHFMNBGFUISDHFHGCFSD

Transcript of BAB I Ototoksik

Titin Maisharah H, 07171086

Titin Maisharah H, 071717086OTOTOKSIK

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANGAkhir-akhir ini penyebab ketulian memang belum jelas, tetapi setelah dilakukan anamnesis secara teliti pada penderita, maka terungkap bahwa sebagian besar ketulian penderita disebabkan karena obat atau yang biasa disebut dengan ototoksik, selain karena akibat mekanik atau faktor eksternal lain.1Penyebab umum gangguan pendengaran, terutama di negara-negara berkembang, adalah ototoxicity. ototoxic yang berupa kehilangan pendengaran terjadi ketika seseorang mengambil atau diberi obat yang menyebabkan gangguan pendengaran sebagai salah satu dari efek samping. Kadang-kadang obat yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa, dan gangguan pendengaran adalah harga yang harus dibayar untuk bisa hidup.1Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih paten daftar obat-obatan ototoksik makin bartambah. Pada tahun 1990 Werner melakukan tinjauan pustaka yang menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat termasuk Arsen, etil, metal alcohol, nikotin, toksin bakteri dan senyawa-senyawa logam berat. Dengan ditemukannya antibiotika streptomisin, kemoterapi pertama yang efektif terhadap kuman tuberculosis, menjadi pemicu terjadinya gangguan pendengaran dan vestibuler. 1,2Antibiotik golongan Aminoglikosida lain yang kemudian digunakan diklinik rupanya memperkuat efek ototoksik seperti yang diakibatkan oleh streptomisin. Konsumsi Aminoglikosid dapat menyebabkan kerentanan yang tidak biasa dari telinga dalam, sehingga dalam pemberiannya harus secara hati-hati baik pada penderita dewasa, anak-anak, bayi, bahkan juga pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan efek teratogenik. 3Gejala mula-mula ialah timbulnya tinitus atau kadang-kadang disertai dengan gangguan keseimbangan, sehingga bila obat diteruskan pemberiannya akan mengakibatkan ketulian. Sifat ketulian tersebut dapat reversibel atau irreversibel bila pemberian obat dihentikan. 3

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFENISI OTOTOKSIKOtotoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang terjadi karena efek samping dari konsumsi obat-obatan. Gangguan yang terjadi pada pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli sensoryneural. Yang dapat bersifat reversibel dan bersifat sementara, atau tidak dapat diubah dan permanen. 1

2.2 GEJALAGejala ototoxicity bervariasi dari obat satu dengan obat lain dan dari orang satu dengan lainya. Yang dapat termanifestasi menjadi Tinitus, gangguan pendengaran ataupun vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. 1

2.3 JENIS-JENIS OBAT OTOTOKSIKObat-obatan yang biasanya memberikan efek ototoksik antara lain adalah obat golongan Aminoglikosida, Loop Diuretics, Obat Anti Inflamasi, Obat Anti Malaria, Obat Anti Tumor, dan Obat Tetes Telinga Topikal. 1

2.4 GOLONGAN AMINOGLIKOSIDAAminoglikosida adalah kelompok antibiotika bakterisidal yang digunakan baik secara topikal atau pun sistemik untuk pengobatan infeksi yang disebabkan bakteri gram negatif. Aminoglikosida memberi efek membunuh bakteri melalui pengikatan subunit ribosomal 30S dan mengganggu sintesis protein. Aminoglikosida dihasilkan oleh fungi Streptomyces dan micromonospora. Mekanisme kerjanya: bakterisid, berpenetrasi pada dinding bakteri dan mengikatkan diri pada ribosom dalam sel. 2,6,7Yang termasuk golongan ini adalah Streptomisin, Gentamisin, Neomisin, Kanamisin, Amikasin, Tobramisin, Kapreomisin. Spektinomisin dan Viomisin memiliki bagian struktur aminoglikosida, tetapi secara kimiawi tidak memiliki inti yang sama.Pemakaian obat golongan Aminoglikosida dapat melalui telinga dalam melalui sistem darah, melalui inhalasi, atau melalui difusi dari telinga tengah ke telinga bagian dalam. Selain itu dapat juga dengan memasuki aliran darah dalam jumlah terbesar bila diberikan secara intravena (oleh IV).Mekanisme kerja aktivitas tergantung pada kadarnya, pada kadar rendah bersifat bakteriostatik, dan kadar tinggi bersifat bakterisid terhadap mikroba yang sensitif. Juga aktivitas potensinya lebih kuat pada suasana alkali daripada suasana asam. Pada keadaan anaerobik akan menurunkan potensi aktivitas. Golongan ini mengikatkan diri pada subunit 30S ribosom yang sensitive dari mikroba tersebut. Di samping ,efek terhadap ribosom tersebut juga menimbulkan berbagai efek sekunder terhadap fungsi sel mikroba, yaitu terhadap respirasi, adaptasi enzim, keuntuhan membran dan keutuhan RNA.Perbedaan antar sesama Aminoglikosida bersifat kuantitatif. Pada Kanamisin, Amikasin dan Gentamisin, potensi antimikrobanya melebihi Streptomisin. 2,6,72.4.1 SpektrumPada umumnya menunjukkan banyak persamaan dengan Streptomisin, antara lain terhadap Brucella. H. ducreyi, Actinobacilles, P. pestis dan Shigella, juga terhadap E. coli, M. tbc., Nocardia, Proteus. 32.4.2 FarmakokinetikaSangat sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Pada pemberian peroral tujuannya hanya untuk mendapatkan khasiat lokal dalam saluran cerna saja; umpamanya pada infeksi saluran cerna. Untuk mendapatkan kadar sistemik yang efektif, aminoglikosida perlu diberikan secara perenatal dan biasanya dalam bentuk garam sulfat. Kadar puncak dalam darah dicapai dalam waktu 1/2 sampai 2 jam. Peningkatan oleh protein plasma darah jelas terlihat pada Streptomisin yang berjumlah 1/3 dari seluruh Aminoglikosida dalam darah. Distribusi cukup meluas ke dalam seluruh cairan tubuh, kecuali ke dalam cairan otak. 32.4.3 EkskresiTerutama melalui ginjal dengan filtrasi glomeruler. Aminoglikosida yang diberikan dalam dosis tunggal, menunjukkan jumlah ekskresi renal yang kurang dari dosis yang diberikan. Karena ekskresi hampir seluruhnya berlangsung melalui ginjal, keadaan ini menunjukkan adanya sekuestrasi ke dalam jaringan terutama pada Gentamisin., menunjukkan adanya kumulasi tertinggi dalam jaringan hati, media ginjal, otot skelet dan kelenjar 15%.Adanya hambatan fungsi ginjal akan menghambat ekskresi aminoglikosida yang berakibat terjadinya kumulasi dan cepat meningkatnya kadar dalam darah sampai lebih cepat mencapai kadar toksik. Juga pada bayi yang baru lahir atau prematur dan penderita usia lanjut, dengan adanya gangguan ekskresi, masa paruh akan cepat meningkat. 1,32.4.4 EpidemiologiWalaupun ototoksisitas merupakan efek samping dari aminoglikosida yang tersering kedua, yang paling sering adalah nefrotoksisitas, angka kejadian pastinya masih controversial. Beberapa peneliti melaporkan toksisitas auditori mencapai 41% sedangkan peneliti yang lain melaporkan angka yang jauh lebih rendah yaitu 7%. Data yang terkumpul dari penelitian meta-analisa memperlihatkan sekitar 5% iniden toksisitas auditori karena konsumsi aminoglikosida dengan dosis ganda perhari. Toksisitas vestibuler telah dilaporkan berada pada kisaran 0-7% pada pasien yang mendapatkan aminoglikosida. 32.4.5 Patofisiologi Toksisitas aminoglikosida terutama target ginjal dan sistem cochleovestibular, namun tidak jelas ada korelasi antara tingkat nephrotoxicity dan ototoxicity. Toksisitas koklea yang mengakibatkan gangguan pendengaran biasanya dimulai dalam frekuensi tinggi dan sekunder untuk kerusakan ireversibel luar sel-sel rambut pada organ Corti, terutama pada pergantian basal koklea. Mekanisme aminoglikosida ototoxicity diperantarai oleh gangguan sintesis protein mitokondria, dan pembentukan radikal oksigen bebas. Mekanisme awal aminoglikosida dalam merusak pendengaran adalah penghancuran sel-sel rambut koklea, khususnya sel-sel rambut luar. Aminoglikosida muncul untuk menghasilkan radikal bebas di dalam telinga bagian dalam dengan mengaktifkan nitric oksida sintetase yang dapat meningkatkan konsentrasi oksida nitrat. Radikal oksigen kemudian bereaksi dengan oksida nitrat untuk membentuk radikal peroxynitrite destruktif, yang dapat secara langsung merangsang sel mati.Apoptosis adalah mekanisme utama kematian sel dan terutama diperantarai oleh kaskade mitokondria intrinsik. Nampaknya aminoglikosida berinteraksi dengan logam transisi seperti sebagai besi dan tembaga mungkin terjadi pembentukan radikal bebas tersebut. Akhirnya fenomena ini menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel rambut luar koklea, yang mengakibatkan kehilangan pendengaran permanen. Ototoxicity aminoglikosida kemungkinan multifaktor, dan penyelidikan lebih lanjut terus berlanjut. Beberapa penelitian sedang menyelidiki chelators besi dan antioksidan sebagai agen mungkin untuk mencegah gangguan pendengaran selama terapi, sementara studi lain mengeksplorasi bentuk terapi gen sebagai pilihan pengobatan di masa depan. Saat ini, tidak ada perawatan yang tersedia selain dari amplifikasi dan implantasi koklea, karena itu, pencegahan sangat penting. 6,8,92.4.6 Faktor RisikoFaktor-faktor tertentu bisa menempatkan pasien pada peningkatan risiko untuk ototoxicitas. Ototoxicity aminoglikosida lebih mungkin terjadi dengan dosis yang lebih besar, tingkat darah tinggi, atau lebih lama terapi. Lain pasien risiko tinggi termasuk pasien usia lanjut, mereka yang gagal ginjal, mereka yang memiliki masalah pendengaran yang sudah ada sebelumnya, orang-orang dengan sejarah keluarga ototoxicity, dan mereka yang menerima diuretik loop atau ototoxic lainnya atau obat-obatan nefrotoksik. 4Sebuah kecenderungan genetik mitokondria ada di mutasi RNA 1555A> G, yang telah ditemukan untuk dihubungkan dengan nonsyndromic dan aminoglikosida akibat gangguan pendengaran. Hal tersebut menyebabkan perubahan dalam sintesis protein mitokondria yang memiliki potensi lebih cepat dalam menimbulkan dampak ototksisitas karena Aminoglikosida. Evaluasi yang teliti terhadap sejarah keluarga adalah penting dan dapat mencegah banyak kasus. Selain itu, beberapa telah menyarankan bahwa populasi berisiko tinggi (misalnya, pasien dengan fibrosis kistik, sejarah keluarga, dan disfungsi kekebalan) harus diperiksa untuk antisipasi terjadinya efek ototoksik. 4,52.4.7 Efek SampingDapat dibagi 3 kelompok :a. Allergib. Reaksi irritasi dan toksikc. Perubahan biologik.1. Reaksi AllergiReaksi alergi yang timbul dengan intensitas beragam mulai dari pruritis, urtikaria, eritema, ruam morbiliform dan makulopapular. Pada yang berat ialah dermatitis eksfoliativa.Terhadap komponen darah ialah eosinofilia, trombopenia. Gejala lain ialah stomatitis dan demam. Reaksi hipersensitivitas jarang terjadi pada Tobramisin, Kanamisin, dan Gentamisin.42. Reaksi iritasi dan toksikTimbulnya reaksi iritasi dan rasa nyeri terjadi ditempat suntik. Efek ototoksik terutama terhadap saraf N.VIII mengenai vestibuler dan akustik. Streptomisin dan Gentamisin lebih mempengaruhi komponen vestibuler, sedangkan pada Neomisin, Kanamisin dan Amikasin lebih mempengaruhi komponen akustik. Ototoksisitas arninoglikosida dapat ditingkatkan oleh berbagai faktor, antara lain besarnya dosis, gangguan faal ginjal, usia lanjut. Pada penderita yang pernah mendapat suatu obat ototoksik dan juga bila diberikan asam etakrinat (diuretika kuat). 4Gangguan vestibular gejala dininya ialah sakit kepala yang kemudian diikuti fase akut dengan gejala pusing, mual, muntah dan gangguan keseimbangan. Pada fase kronik, gejala nyata waktu berjalan. Pada fase kompensasi, gejala bersifat laten dan hanya menjadi nyata bila menutup mata. Gejala-gejala ini bersifat reversibel dan kadang-kadang juga pada beberapa penderita timbul sekuele. Pemulihan sempuma 12 sampai 18 bulan.Secara patologis, kerusakan terdapat pada nuklei koklearis ventrikuler di batang otak yang meluas ke ujung serabut saraf di koklea. Dengan dosis 2 gram per hari selama 60 sampai 120 hari, gejala terlihat pada 75% penderita. Dan dengan dosis 1 gram per hari, gejala terlihat pada 25% penderita. 4Gentamisin mempunyai angka ototoksisitas 2%, dan 66% di antaranya berupa gangguan vestibuler, sedangkan untuk Kanamisin sekitar 7%. Pada gangguan akustik, tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap golongan frekuensi tinggi akan berkurang dan ini tidak disadari oleh penderita. Gejala dini berupa tinitus bernada tinggi.Patologi kerusakan akustik terutama berupa degenerasi berat sel-sel rambut luar pada telinga dalam. Sel organ Corti juga mengalami kerusakan. Frekuensi gangguan akustik akibat Streptomisin 4 sampai 15%, bila terapi lebih dari 1 minggu. Gentamisin 34% dari 2% ototoksisitas. Kanamisin 30%. Neomisin paling mudah menimbulkan tuli saraf. Penggunaan topikal atau irigasi luka dengan larutan Neomisin 5% pada penderita dengan ginjal normal, juga dapat menimbulkan tuli saraf. Pada Tobramisin terjadinya gangguan vestibuler dan akustik masing -masing sebanyak 0,4%. Amikasin bila diberikan lebih dari 14 hari juga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Selain efek ototoksik, juga timbul effek nefrotoksik dan neurotoksik. 4,73. Perubahan BiologiAdanya pola mikroflora tubuh dan gangguan absorpsi di usus. Adanya interaksi obat yang perlu diperhatikan ialah, golongan aminoglikosida dengan suatu diuretika kuat akan menaikkan ototosik dan nefrotoksik. 4Macam obat golongan Aminoglikosida dan interaksinyaa. Streptomisin: Streptomisin adalah aminoglikosida yang pertama diterapkan secara klinis dan bberhasil digunakan untuk melawan bakteri gram negatif di masa lalu. Lebih mempengaruhi sistem vestibular daripada sistem pendengaran. Kerusakan Vestibular akibat streptomisin adalah umum dengan penggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Karena sifatnya yang ototoksik agen ini jarang digunakan saat ini. Namun, penggunaan streptomisin meningkat untuk pengobatan TBC. 4b. GentamicinSeperti streptomisin, gentamisin memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi sistem vestibular. Indeks terapi sebesar 10-12 mcg / mL pada umumnya dianggap aman tapi masih dapat bersifat ototoksik pada beberapa pasien. Hati-hati dalam pemberian dosis pada pasien dengan penyakit ginjal. 5c. NeomycinAgen ini adalah salah satu yang paling cochleotoxic bila diberikan secara peroral dan dalam dosis tinggi, karena itu, penggunaan sistemik umumnya tidak dianjurkan. Neomisin merupakan salah satu aminoglikosida yang paling lambat untuk mempengaruhi Perilimfe; akibatnya dapat muncul 1-2 minggu setelah konsumsi ataupun dapat terjadi kemudian setelah penghentian terapi. Neomisin Meskipun umumnya dianggap aman bila digunakan topikal dalam saluran telinga atau pada lesi kulit kecil, sama efektifnya alternatif yang tersedia. 4d. KanamycinMeskipun kurang bersifat ototoksiks dibandingkan neomisin, kanamycin cukup bersifat ototoxic. Kanamycin memiliki kecenderungan mendalam menyebabkan kerusakan sel rambut koklea, ditandai frekuensi tinggi gangguan pendengaran, dan lengkap tuli. Efek yang merusak terutama ke koklea, sedangkan sistem vestibular biasanya terhindar dari cedera. penggunaan klinis saat ini sudah dibatasi. Sepertihalnya dengan neomisin, penggunaan secara parenteral umumnya tidak dianjurkan. 1,4e. AmikacinAmikasin adalah turunan dari kanamycin dan memiliki toksisitas sangat sedikit terhadap organ vestibular. Efek yang merugikan terutama yang melibatkan sistem pendengaran, namun itu dianggap kurang ototoxic dari pada gentamisin. 4f. Tobramycin Ototoxicity dari tobramisin adalah serupa dengan amikasin; menyebabkan tuli pada nada berfrekuensi tinggi. Seperti halnya dengan kanamycin, jarang menyebabkan terjadinya ototoksik terhadap organ vestibuler. Tobramisin sering digunakan secara otic dan topikal. Terapi Topikal digunakan, umumnya dianggap aman. 42.4.8 Tanda dan GejalaSecara klinis, kerusakan koklea akut dapat menampakkan gejala tinnitus. Kehilangan pendengaran pada awalnya mungkin tidak disadari pasien dan awalnya bermanifestasi sebagai peningkatan ambang batas pada frekuensi tinggi (>4000 Hz). Semakin berkembang, frekuensi pembicaraan yang lebih rendah terpengaruh pada pasien dapat menjadi tuli jika dilanjutkan pemberian obat aminoglikosida. Jika konsumsi obat cepat dihentikan, kehilangan pendengaran dapat dicegah. 1,32.4.9 PenatalaksanaanSaat ini, tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikkan kerusakan telinga yang terjadi karena konsumsi obat-obatan golongan Aminoglikosida. Bila pada waktu pemberian obat-obatan ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dalam diketahui secara audiiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian tergantung dari jenis obat, jumlah, dan lamanya penggunaan obat. Hal tersebut lebih rentan terjadi pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan jenis obat itu sendiri.Pengobatan yang tersedia saat ini ditujukan untuk mengurangi dampak kerusakan dan merehabilitasi fungsi. Individu dengan gangguan pendengaran dapat dibantu dengan alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training, termasuk dengan mengguanakn sisa pendengaran dewngan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan blajar bahasa isyarat. Dan mereka yang mengalami gangguan pendengaran bilateral yang sudah mendalam dapat diatasi dengan melakukan implan koklea. Dalam kasus kehilangan fungsi keseimbangan, terapi fisik merupakan hal yang sangat bernilai bagi banyak individu. Tujuannya adalah untuk membantu otak menjadi terbiasa dengan informasi yang berubah dari telinga bagian dalam dan untuk membantu individu dalam mengembangkan cara lain untuk menjaga keseimbanganTetapi dalam kasus-kasus tertentu yang terjadi karena rusaknya organ vestibuler seperti terjadinya tinnitus, vertigo, ataupun kehilangan keseimbangan rupanya juga dapat ditanggulangi dengan obat aminoglikosida, dengan mempengaruhi system vestibuler yang sebenarnya sudah mengalami kelainan pada awalnya. kelainan awal di organ vestibuler yang sudah terbentuk mekanismenya di rusak oleh aminoglikosida yang bersifat ototoksik terhadap organ vestibuler, sehingga gejala awal seperti tinnitus ataupun vertigo menjadi berkurang, walaupun pada akhirnya dapat memberikan efek ototoksik pada organ vestibuler lainnya atau organ akustik yang lain. 1,2,42.4.10 PencegahanBerhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan pengguanaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang pendengaran dan vertigo. Pada pasien yang menunjukan mulai ada gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan pengobatan. 42.4.11 PrognosisPrognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, lamanya pengobatan, dan kerentanan pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik. 1

2.5 LOOP DIURETIKLoop diuretic seperti asam ethacrynic, bumetadine, dam furosemide mengeluarkan efek diuretiknya dengan menghambat sodium dan penyerapan air pada bagian proksimal lop of henle. Obat-obat ini digunakan untuk mengobati gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis, dan hipertensi. 5,62.5.1 PatofisiologiEfek ototoksisitas dari loop diuretic tampaknya berkaitan dengan stria vascularis, yang mempengaruhi oleh perubahan dalam gradient ionic diantaranya perilimfe dan dan endolimfe. Perubahan ini menyebabkan edema pada epithelium dan stria vascularis. Bukti memperlihatkan bahwa endolimfatik berpotensi berkurang, akan tetapi hal ini biasanya bergantung pada dosis dan reversible. Ototiksisitas yang disebabkan oleh asam ethacrynic tampaknya terjadi secara lebih bertahap dan lebih lama disembuhkan daripada yang disebabkan oleh obat loop diuretic biasanya dapat sembuh sendiri pada pasien dewasa. 5,62.5.2 Tanda dan GejalaBergntung pada loop diuretic, pasien biasanya mengalami gangguan pendengaran setelah mengkonsumsi obat ini. Gangguan pendengaran biasanya bilateral dan simetril. Pasien juga mengeluhkan tinnitus dan disequilibrum, akan tetapi gejala ini jarang terlihat dan jarang terjadi tana adanya gangguan pendengaran. Beberapa pasien mengalami gangguan pendengaran permanen, terutama pasien yang menderita gagal ginjal, pasien yang mendapatkan dosis yang lebih tinggi atau mereka yang juga mengkonsumsi aminoglikosida.5,62.5.3 Pencegahan Pencegahan ototosisitas yang disebabkan oleh loop diuretic terdiri dari penggunaan dosis yang paling rendah untuk mencapai efek yang diinginkan dan menghindari pemberian secara cepat. Selain itu factor resiko yang berkaitan dengan pemberian obat ini harus diperiksa seteliti mungkin, termasuk pemberian bersama dengan obat ototoksik lainnya dan riwayat gagal ginjal. Karena pontensial dan sinergisme efek ototoksi dari aminoglikosida dan loop diuretic telah diketahui, pemebrian bersamaan obat-obat ini tidak direkomendasikan. 5

2.6 ANTI INFLAMASIAspirin dan salisilat yang lain sangat berkaitan dengan tinnitus dan gangguan pendengaran sensoneural. Gangguan pendengaran bergantung pada dosis dan dapat berkisar dari moderat hingga parah. Jika konsumsi obat dihentikan pendengaran kembali normal dalam waktu 72 jam. Tinnitus terjadi saat mengkonsumsi aspirin dengan dosis sebesar 6-8 g/hari dan pada dosis yang lebih rendah pada beberapa pasien. Tempat terjadinya efek ototoksik tampaknya pada tingkat mekanik koklear dasar, seperti yang dibuktikan dengan gangguan pendengaran sensorineural, hilangnya emisi otoakustik, penurunan aksi potensial koklear, dan perubahan ujung saraf auditori. Efek-efek ini mungkin disebabkan oleh perubahan pada turgiditas dan motilitas sel rambut dibagian luar.6

2.7 CIPLASTINCisplatin merupakan obat anti kanker yang digunakan untuk mengobati sejumlah keganasan seperti kanker testis, kanker ovarium dan beberapa keganasan pediatric. Dosis pemeliharaan membatasi efek samping cisplatin yaitu ototoksisitas dan neurotoksisitas. Jika dikombinasikan dengan vinblastin dan bleomisin atau etoposide dan bleomisin, terapi cisplatin dapat menyembuhkan kanker testis nonseminomatous. Cisplatin adalah senyawa platinum yang paling ototoksik bahkan dengan menambahkan salin hipertonik, prehidrasi, atau diuresis manitol pada regimen kemoterapi. 2.7,92.7.1 EpidemiologiCisplatin memiliki potensi ototoksik yang tertinggi dibandingkan dengan senyawa platinum yang lain. Sekitar 50% pasien kanker kepala dan leher yang diobati dengan cisplatin mengalami ototoksisitas. Ototoksisitas cisplatin berkaitan dengan dosis. Dalam sebuah penelitian retrospektif yang besar yang mencakup periode tahun 1990 hingga 2001, Derough dan rekan menemukan bahwa 42% dari 400 pasien yang mendapatkan cisplatin dosis tinggi (70-85 mg/M2; rata-rata dosis akumulatis sebesar 420 mg) mengalami ototoksisitas simptomatik. Sebaliknya, ototoksisitas cisplatin hanya terjadi pada 20% pasien yang mendapatkan cisplatin dosis rendah.72.7.2 PatofisiologiMekanisme ototoksisitas cisplatin dimediasi oleh produksi radikal bebas dan kematian sel. Senyawa platinum merusak stria vaskularis dalam scala media dan menyebabkan kematian sel rambut pada bagian luar.radikal bebas dihasilkan oleh NADPH oksidase pada sel rambut bagian dalam setelah terpapar cisplatin. NADPH oksidase merupakan enzim yang mengkatalisa pembentukan radikal superoksida. Bentuk NADPH oksidase tertentu, NOX3, diproduksi didalam telinga bagian dalam dan merupakan sumber pembentukan radikal bebas yang penting dalam koklea, yang dapat berperan dalam terjadinya kehilangan pendengaran. Radikal bebas yang dihasilkan melalui mekanisme ini kemudian menyebabkan kematian sel apoptotic yang dimediasi mitokondria dan dimediasi caspase, yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran yang permanen.52.7.3 Tanda dan gejalaOtotoksisitas cisplatin ditandai oleh kehilangan pendengaran sensorineural yang awalnya terdeteksi pada frekuensi yang sangat tinggi. Kehilangan pendengaran biasanya bilateral dan biasanya simetris. Cirri khas dari kehilangan pendengaran frekuensi tinggi adalah kesulitan dalam membedakan kata yang terdengar, terutama pada lingkungan yang bising. Semakin banyak dosis yang terakumulasi dalam tubuh semakin parah gangguan pendengaran yang diderita. Selain itu pasien ototoksisitas cisplatin juga mengalami tinnitus.5,72.7.4 PencegahanLakukan pemeriksaan audiogram dan pemeriksaan audiogram lanjutan secara berkala selama terapi untuk semua pasien yang mendapatkan obat ini. Lakukan pemeriksaan ini sesegera mungkin sebelum siklus obat yang selanjutnya sehingga efek dari siklus yang sebelumnya dapat diketahui. Yang terakhir, pasieh harus melanjutkan pemeriksaan audiometric karena retensi obat yang cukup lama setelah menghentikan terapi. Juga beritahu pasien untuk menghindari lingkungan yang bising selama 6 bulan. 5

2.8 DIAGNOSIS2.8.1 Anamnesaa. Gejala utama ototoksik : Tinnitus, gangguan pendengaran, vertigo.b. Riwayat pemakaian obat ototoksik yang lama.c. Adanya tuli Karen obat : tuli sensorineural (tidak gap), tuli bilateral, atau unilateral.2.8.2 Pemeriksaan Fisika. Tuli nada tinggi 4 KHz sampai 6 KHzb. Grade ototoksik menurut CTCAE (The National Cancer Institute Common Terminologi Criteria Adverse Event).1. Grade 1 : perubahan atu kehilangan ambang batas dengar 15-25 dB2. Grade 2 : >25-90 dB3. Grade 3 : indikasi hearing aid ( > 20 dB bilateral HL in the speech frequencies, > 30 dB unilateral HL)4. Grade 4 : indikasi implant koklea dan perlu latihan melihat bahasa bibir.

2.9 PENATALAKSANAANSaat ini tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan kerusakan telinga yang terjadi karena konsumsi obat-obatan golongan Aminoglikosida dan obat lain yang menyebabkan gangguan telinga. Bila pada waktu pemberian obat-obatan ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian tergantung jenis obat, jumlah dan lamanya penggunaan obat itu sendiri.Pengobatan yang tersedia saat ini ditunjukkan untuk mengurangi dampak kerusakan dan merehabilitasi fungsi. Individu yang terganggu pendengaran dapat dibantu dengan alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training, termasuk dengan menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan bahasa isyarat. Dan mereka yang mengalami gangguan pendengaran bilateral yang sudah mendalam dapat diatasi dengan melakukan implant koklea. Dalam kasus kehilangan fungsi keseimbangan, terapi fisik merupakan hal yang sangat menilai bagi banyak individu. Tujuannya adalah untuk membantu otak menjadi terbiasa dengan informasi yang berubah dari telinga bagian dalam dan untuk membantu individu dalam mengembangkan cara lain untuk menjaga keseimbangan.Tapi dalam kasus-kasus tertentu yang terjadi karena rusaknya organ vestibuler seperti terjadinya tinnitus, vertigo, ataupun kehilangan keseimbangan rupanya juga dapat ditanggulangi dengan obat aminoglikosida, dengan mempengaruhi system vestibuler yang sebenarnya sudah mengalami kelainan pada awalnya. Kelainan awal di organ vestibuler yang sudah terbentuk mekanismenya dirusak oleh aminoglikosida yang bersifat ototoksik terhadap organ vestibuler, sehingga pada akhirnya dapat memberikan efek ototoksik pada organ vestibuler lainnya atau organ akustik yang lain.2,3,9

2.10 PENCEGAHANBerhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksi, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu memperhatikan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang pendengaran dan vertigo. 3

BAB IIIPENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang terjadi karena efek samping dari konsumsi obat-obatan. Gangguan yang terjadi pada pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli sensoryneural.2. Gejala ototoxicity bervariasi dari obat satu dengan obat lain dan dari orang satu dengan lainya. Yang dapat termanifestasi menjadi Tinitus, gangguan pendengaran ataupun vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.3. Obat-obatan yang biasanya memberikan efek ototoksik antara lain adalah obat golongan Aminoglikosida, Loop Diuretics, Obat Anti Inflamasi, Obat Anti Malaria, Obat Anti Tumor, dan Obat Tetes Telinga Topika4. Dari golongan amonoglikosida, yang paling sering pemakaiannya dan sering menimbulkan ketulian ialah Spreptomisin, Gentamisin dan Neomisin. Pemakaian kanamisin cukup banyak, tetapi persentase ketulian lebih kecil dibandingkan dengan ketiga obat tersebut. Efek teratogenik sering terjadi pada pemberian golongan aminoglikosida, yaitu berupa ketulian pada janin.5. Untuk mendiagnosa ototoksi maka harus kita lakukan anamnesa terlebih dahulu (Gejala utama ototoksik seperti Tinnitus, gangguan pendengaran, vertigo, Riwayat pemakaian obat ototoksik yang lama, Adanya tuli Karena obat) serta pemeriksaan fisik.6. Saat ini tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan kerusakan telinga yang terjadi karena konsumsi obat-obatan golongan Aminoglikosida dan obat lain yang menyebabkan gangguan telinga. Bila pada waktu pemberian obat-obatan ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian tergantung jenis obat, jumlah dan lamanya penggunaan obat itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsyad efiaty et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telingga Hindung Tenggorok Kepala Leher: edisi 5, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2. Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.3. Edmunds ann L., November 2008. Iner Ear Ototoxycity. www.emedicine.com 4. Sriwidodo., 1998, Cermin dunia kedokteran: problema dan tatalaksana gangguan pendengaran, Jakarta: PT KalbeFarma.5. Mudd, Pamela A. Ototoxicity. [cited on October 17, 2011]. Available from www.emedicine.com. 2010.6. Katzung, Bertram. Basic Clinical Pharmacology. Blackwell Science: USA. 2004.Cummings Charles W,MD. Otolaryngology Head & Neck Surgery. Ed.IV. Elsevier. Philadelphia USA: 1998.7. Roland, Peter S; Rutka, John A. Ototoxicity. BC Decker INC. London: 2004.8. Bailey BJ,MD. Johnson JT,MD. Newlands SD,MD,PhD,MBA. Head & Neck Surgery Otolaryngology. Ed.IV. Vol II. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia,USA : 2006.9. Ekborn, Andreas. Cisplatin-Induced Toxicity. Pharmacokinetics, Prediction and Prevention. Repro print. Stockholm: 2003.

KKS ILMU PENYAKIT THT-KL RSUD DR.RM. DJOELHAM BINJAIUNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH17