Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

38
Telinga Ototoksik I. Pendahuluan Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan dengan bertambahnya obat- obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik makin bertambah. 1 Obat-obatan dan zat kimia dapat mempengaruhi telinga dalam dan mekanisme pendengaran. Umumnya efek yang muncul adalah gangguan vestibular dan pendengaran. Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau ireversibel. 2 Dari hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4 negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3 negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% adalah angka cukup tinggi, yang dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksankan di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan pendengaran akibat obat ototoksik sebesar 0,3%. 3 1

Transcript of Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

Page 1: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

Telinga Ototoksik

I. Pendahuluan

Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran,

dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik

makin bertambah.1 Obat-obatan dan zat kimia dapat mempengaruhi telinga dalam dan

mekanisme pendengaran. Umumnya efek yang muncul adalah gangguan vestibular

dan pendengaran. Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau ireversibel.2

Dari hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4

negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3

negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%).

Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% adalah angka cukup tinggi,

yang dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil Survei

Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksankan di

7 propinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan pendengaran akibat obat

ototoksik sebesar 0,3%.3

Tinnitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama

ototoksisitas. Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat yang

telah diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran adalah

golongan aminoglikosida, diuretik, Nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID),

agen-agen kemoterapi, dan obat tetes telinga golongan aminoglikosida.1,4 Gangguan

pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas kini sangat sering ditemukan

oleh karena penggunaan obat-obatan ototoksis yang semakin sering. Berhubung tidak

ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih

penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan penggunaan

obat-obatan ototoksik.1 Dengan mengetahui jenis obat dan mekanisme ototoksiknya,

diharapkan menjadi salah satu cara untuk mengurangi prevalensi ototoksisitas di

Indonesia.

1

Page 2: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

II. Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran

dan vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau

puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani

dengan skala vestibuli.1

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea

tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala

media (duktus koklearis).1

Gambar.1 Anatomi Telinga Dalam.5

Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala

media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda

dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli

2

Page 3: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

(Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis.

Pada membran ini terletak organ Corti. Pada skala media terdapat bagian yang

berbentuk lidahyang disebut membran tektoria, dan pada membran basal

melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan

kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.1

II. Proses Mendengar

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh

daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau

tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan

ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan

mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan

perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.1

Gambar.2 Proses Pendengaran.5

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes

yang menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibula

bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong

3

Page 4: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris

dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang

menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion

terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini

menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan

neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi

pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius.1 Serabut-serabut

saraf ini berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis dan menuju

kolikulus inferior kotralateral,tetapi sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral.

Penyilanga berikutnya terjadi pada lemnikus lateralis dan kolikulus inferior

yang selanjutnya berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian menuju ke

korteks pedengaran di lobus temporalis.5

III. Mekanisme Ototoksik

Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk

merusak struktur dan/atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi

pada struktur auditori dan/atau vestibular telinga dalam.(Ballenger)

Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat

menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang

disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain :1,4

1. Degenerasi stria vaskularis

2. Degenerasi sel epitel sensori

3. Degenerasi sel ganglion

Berikut uraian beberapa preparat ototoksik dan mekanisme

ototoksiknya.

4

Page 5: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

A. Aminoglikosida

Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan

toksisitas terhadap koklea dan vestibula. Penelitian terhadap hewan

dan manusia mencatat terjadinya akumulasi obat-obat ini secara

progresif dalam perilimfe dan endolimfe telinga dalam. Akumulasi

terjadi bila konsentrasi obat dalam plasma tinggi. Waktu paruh

amioglikosida 5-6 kali lebih lama di dalam cairan otik daripada di

dalam plasma. Sebagian besar ototoksisitas bersifat ireversibel dan

terjadi akibat destruksi progresif sel-sel epitel sensorik.6

Aminoglikosida dilaporkan menimbulkan kehilangan pendengaran

pada 33% individu yang diterapi dengan obat ini.7

Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti

melalui mekanisme mechano-electrical transducer channels, akan

terbentuk kompleks aminoglikosida dengan logam (Fe). Terbentuknya

kompleks aminoglikosida-Fe mengaktifkan substansi Reactive Oxygen

Species (ROS), yaitu superoxide anion radical, hydrogen peroxide,

hydroxyl radical,peroxynitrite anion. Substansi-substansi tersebut

mengaktifkan JNK (c-Jun- N-terminal kinase) yang akan membuat

mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c (Cyt c). Cyt c

menginisiasi apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan

hilangnya sel-sel rambut pada organ korti.7

Dengan dosis yang meningkat serta pemajanan yang

diperlama, kerusakan berkembang dari dasar koklea, tempat suara

berfrekuensi tinggi di proses, ke apeks, tempat suara berfrekuensi

rendah di proses. Aminoglikosida diduga juga mengganggu sistem

transpor aktif yang penting untuk mempertahankan kesetimbangan ion

pada endolimfe. Jika sel sensorik hilang, regenerasi tidak akan terjadi.

5

Page 6: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

Hal ini akan diikuti dengan degenerasi saraf pendengaran yang

memburuk, sehingga menyebabkan hilangnya pendengaran secara

ireversibel.6

Gambar.3 Mekanisme Ototoksisitas Aminoglikosida (AG) pada Sel Rambut.7

Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari

ordan korti dan sel rambut vestibular tipe 1. Sel penunjang dan sel

rambut dalam pada organ korti tidak terpengaruhi. Salah satu

penyebab yang mungkin dari pernyataan sebelumnya adalah

kandungan antioksidan. Kadar glutathione, suatu antioksidan endogen

intraselular, pada sel rambut luar lebih rendah dibandingkan sel

lainnya. Selain itu terdapat gradien level glutathione dari basis ke

apeks koklea. Sel rambut luar pada apeks koklea memiliki kadar

glutathione yang lebih tinggi dari sel rambut luar di basis koklea.

(10,19)

6

Page 7: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

Gambar 4. Scanning dengan mikrograph elektron pada organ korti guinea pig , memperlihatkan kehilangan sel rambut setelah terapi aminoglikosida

Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan

jumlah sel-sel rambut sensorik yang rusak dan berkaitan pula dengan

lama pajanan obat. Penggunaan aminoglikosida secara berulang, yang

dalam setiap pemakaiannya menyebabkan hilangnya sel lebih banyak

lagi, dapat menyebabkan ketulian. Oleh karena jumlah sel menurun

seiring bertambahnya usia, pasien lanjut usia mungkin lebih rentan

terhadap ototoksisitas. Obat seperti asam etakrinat dan furosemid

meningkatkan efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba.

Walaupun semua aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi

koklea maupun vestibula, beberapa toksisitas khusus dapat terjadi.

Streptomisin dan gentamisin terutama menimbulkan efek pada

vestibula, sementara amikasin, kanamisin, dan neomisin terutama

mempengaruhi fungsi pendengaran. Tobramisin memberikan pengaruh

yang sama pada keduanya. Selain itu, 75% pasien yang menerima 2

gram streptomisin selama lebih dari 60 hari menunjukkan gejala

7

Page 8: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

nistagmus atau ketidakseimbangan postural. Pasien yang menerima

dosis tinggi dan/atau pemakaian amioglikosida jangka panjang

sebaiknya dipantau.6

Gejala pertama dari toksisitas adalah timbulnya tinitus nada

tinggi. Jika pemakaian obat tidak dihentikan, gangguan pendengaran

dapat terjadi setelah beberapa hari. Suara mendenging ini dapat

bertahan selama beberapa hari hingga 2 minggu setelah terapi

dihentikan. Oleh karena persepsi suara dalam rentang frekuensi tinggi

(di luar rentang pembicaraan normal) merupakan yang pertama hilang,

maka individu yang terganggu ini terkadang tidak sadar akan kesulitan

ini, dan tidak akan dapat terdeteksi kecuali dilakukan pemeriksaan

audiometri.6

Pasien kebanyakan tidak akan memiliki keluhan gangguan

pendengaran hingga pada suatu saat mereka telah kehilangan 30 dB

pada frekuensi 3000 Hz-4000 Hz. Monitoring fungsi pendengaran

penting pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal atau pada

pasie yang mendapatkan dosis terapi obat yang lebih tinggi dari dosis

normal.(Balenger)

Pendekatan untuk memberikan perlindungan pada telinga

akibat penggunaan aminoglikosida (otoprotection) mencakup (1)

upstream protection menggunakan antioksidan, free-radical

scavengers, metal chelators ; (2) downstream protection, seperti

minoksiklin.

B. Eritromisin

Merupakan antibiotik golongan makrolida. Eritromisin

biasanya bersifat bakteriostatik, tetapi dapat bakterisida dalam

8

Page 9: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

konsentrasi yang tinggi terhadap mikroorganisme yang sangat rentan.

Laporan ototoksisitas eritromisin pertama kali dilaporka pada tahun

1972. Gangguan pendengaran sementara merupakan komplikasi yang

mungkin timbul dalam pengobatan menggunakan eritromisin. Hal ini

teramati setelah pemberian intravena eritromisin gluseptat atau

laktobionat dosis tinggi ( 4 gr/hari) atau konsumsi oral eritromisin

estolat dosis tinggi.6

Mekanisme dari ototoksisitas eritromisin belum sepenuhnya

dimengerti dan lokasi kerusakan masih belum jelas diketahui.

Beberapa peneliti menyatakan kerusakan terjadi pada striae vaskularis,

yang pada akhirnya mengganggu potesial ionik. Peneliti lain

menyatakan obat ini mempengaruhi jaras pendengaran sentral. Faktor

resiko untuk terjadinya ototoksisitas eritromisisin adalah pasien

dengan gangguan renal, hepar, dan lanjut usia.7

Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah

kurang pendengaran, tinitus subjektif, dan terkadang vertigo. Pernah

dilaporkan bahwa terjadi tuli sensorineural nada tinggi bilateral dan

tinitus setelah pemberian IV dosis tinggi atau oral. Biasanya gangguan

pendengaran dapat pulih setelah pengobatan dihentikan. Antibiotika

lain seperti Vankomisin, Viomisin, Minoksiklin dapat mengakibatkan

ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu fungsi

ginjalnya.1,2

C. Loop Diuretics

Ethycrynic acid, furosemid,dan bumetanid adalah diuretik kuat

yang memblok pompa Na+-K+-2Cl—di bagian asenden tebal ansa

Henle, sehingga diuretikini disebut juga sebagai diuretik loop.6 Ketiga

9

Page 10: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

obat yang tersebut di atas adalah obat yang paling ototoksik dari

golongan diuretik loop. Diuretik digunakan untuk memodifikasi

komposisi dan/atau volume dari cairan tubuh untuk menangani kondisi

seperti hipertensi, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis dan

sindrom nefrotik. Diuretik loop bekerja pada bagian asending loop of

Henle ginjal. Target kerja dari obat ini adalah protein soldium-

potassium-2 chloride (Na+-K+-2 Cl-) cotransporters. Protein ini

ternyata banyak ditemukan pada sel epitelial dan non-epitelial dan

juga terlokalisasi pada stria vaskularis koklea. Inhibisi dari kerja

protein ko-transporter tersebut menyebabkan eksresi Na+ dari sel

marginal ke ruang intrastrial sehingga menimbulkan edema pada

ruang intrastrial dan juga pada sel penyusun stria vaskularis. Kondisi

ini akan mempengaruhi potensial endokoklea, yang penting untuk

mempertahankan potensial sel rambut dalam batasan yang normal.9

Akan terjadi penurunan potensial positif endolimfe. Furosemid

dilaporkan memiliki efek langsung pada motilitas sel rambut luar

( outer hair cell) yang akan menimbulkan disfungsi sensori.10

Diuretik loop dapat menyebabkan munculnya gejala tinitus,

gangguan pendengaran, ketulian, vertigo, dan rasa “penuh” pada

telinga. Gangguan pendengaran dan ketulian biasanya bersifat

reversibel, tetapi tidak selalu.

10

Page 11: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

Gambar 4. Mekanisme Kerja Diuretik.6

Ototoksisitas paling sering terjadi pada pemberian intravena

secara cepat dan sangat jarang terjadi pada penggunaan oral, terlebih

lagi bila diberikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Faktor

resiko lainnya adalah pemberian IV secara cepat (≥ 25 mg/menit).

Asam etakrinat menginduksi ototoksisitas lebih sering dibandingkan

diuretik lainnya. Bila bersamaan digunakan bersama aminoglikosida,

dapat memperberat ototoksisitas yang muncul.1,6,10

Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92 menit pada

orang sehat. Pada pasien dengan gagal ginjal, waktu paruh obat ini

memanjang menjadi 3 jam. Kadar plasma > 50 mg/L berkaitan

dengan munculnya gangguan pendengaran.

D. Obat Anti Inflamasi

11

Page 12: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas

adalah obat-obat anti inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan

sebagai analgetik-antipiretik, anti-inflamasi, dan pencegah trombosis

serebral. NSAID diketahui menghambat metabolisme asam arakidonat

menjadi prostaglandin. Namun, ternyata NSAID juga menghambat

derivat non-prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion lipofilik,

dan bila pH semakin rendah (daerah inflamasi biasanya pH asam)

maka semakin besar kelarutannya. Asam asetilsalisilat (Aspirin) secara

umum menghambat translokasi anion melewati membran sel, yang

berkontribusi pada munculnya ototoksisitas obat ini. Singkatnya,

salisilat meenghambat protein membran (prestin) dari sel rambut luar

koklea memfasilitasi elektromotilitas melalui translokasi

transmembran dari anion monovalen seperti Cl-, sehingga

mempengaruhi daya choclear amplifier. Penelitian pada tulang

temporal pasien yang sebelumnya telah diterapi dengan salisilat

menunjukkan struktur koklea yang normal. Hal ini menyatakan bahwa

efek ototoksisitas obat ini adalah reversibel.9

Konsentrasi serum asam salisilat 20-50 mg/dL berhubungan

dengan kehilangan pendengaran > 30 dB. Gangguan pendengaran

yang ditemukan adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi dan tinitus.

Namun apabila pengobatan dihentikan pendengaran akan pulih

kembali dan tinitus menghilang.1,9

E. Obat Anti Malaria

Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa

digunakan.1 Pemberian klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis

harian yang tinggi (> 250 mg) untuk mengobati penyakit-penyakit

selain malaria dapat mengakibatkan ototoksisitas.6 Ototoksisitas

12

Page 13: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

terjadi pula bila obat diberikan secara parenteral, misalnya pada

malaria serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran dan

tinitus. Namun bila pengobatan dihentikan maka pendengaran akan

pulih kembali dan tinitus hilang. Klorokuin dan kina dapat melalui

plasenta sehingga dapat terjadi tuli kongenital dan hipoplasia koklea.1

Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan pendengaran

bila digunakan dalam jangka waktu yang panjang dan dengan dosis

tinggi. Dosis oral kuinin yang fatal untuk dewasa adalah 2-8 gram.

Kerusakan N.VIII menimbulkan tinitus, berkurangnya ketajaman

pendengaran, dan vertigo.6

F. Obat Anti Tumor

Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan

dalam terapi tumor ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala-

leher. Seperti banyak agen neoplastik lain, cisplatin dapat

menyebabkan efek-efek yang tidak diinginkan antara lain

ototoksisitas. Efek ini terjadi pada 30% pasien yang diterapi dan pada

akhirnya menimbulkan ketulian permanen/reversibel. Banyak studi

penelitian menyatakan cisplatin menyebabkan kematian sel rambut

yang merupakan organ sensori penting. Setelah diinjeksi secara

sistemik, cisplatin terakumulasi di cairan telinga dalam dan diabsorbsi

oleh sel epitel telinga. Platinated DNA ditemukan pada sel rambut dan

sel-sel penunjang. Pajanan cisplatin juga meningkatkan Reactive

Oxygen Species (ROS) di dalam sel rambut dan menyebabkan

pengeluaran sitokin-sitokin tertentu. Namun, studi lain menyatakan

target primer cisplatin masih belum jelas, sel rambut ataukah tipe sel

epitel sensori telinga lain. Penelitian sebelumnya menyebutkan terapi

13

Page 14: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

cisplatin menginduksi perubahan struktural pada sel-sel penunjang

koklea.11

Gambar 4. Kehilangan sel rambut setelah 24 jam terapi cisplatin pada koklea

hewan.11

Gambar 5. Kehilangan sel rambut ujung distal lebih sering ( daerah

frekuensi rendah) terapi cisplatin pada hewan.11

Dari hasil penelitian pada sel rambut koklea hewan, didapatkan bahwa

terapi dengan cisplatin menyebabkan kehilangan progresif stereosilia,

dimulai dari distal/basal ke proksimal/apikal (distal-to-proximal

pattern).11 Pola kerusakan ini berkaitan erat dengan dimulainya

14

Page 15: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi tinggi terlebih dahulu.

Selain itu cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria vaskularis.9

Sejak pertama kali dikenalkan, dosis standar cisplatin adalah

50 mg/m2 . Peningkatan pemberian dosis menimbulkan peningkatan

kejadian dan derajat gangguan pendengaran. Dilaporkan bahwa pada

pasien yang mendapatkan terapi cisplatin 150-225 mg/m2 mengalami

gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran biasanya terjadi

secara bilateral dan muncul pertama kali pada frekuensi tinggi ( 6000

Hz dan 8000 Hz). Penurunan ke frekuensi yang lebih rendah ( 2000

Hz dan 4000 Hz) dapat terjadi bila terapi dilanjutkan. Gejala

ototoksisitas dapat menjadi lebih berat setelah pemberian obat melalui

bolus injeksi. Efek ototoksik dapat dikurangi dengan cara pemberian

secara lambat (slow infusion) dan pembagian dosis. (Balleger).

G. Anti Fungal

Efek ototoksik dari beberapa obat yaitu aminoglikosida,

makrolida, diuretik loop, cisplatin, salisilat, dan kloroquin sudah

diketahui secara jelas. Namun terdapat data yang terbatas mengenai

ototoksisitas dari agen antifungal topikal.(CEO)

G. Obat Tetes Telinga

Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan

aminoglikosida seperti Neomisin dan Polimiksin B. Terjadiya ketulian

oleh karena obat tersebut dapat menembus membran tingkap bundar

(round window membrane). Walaupun membran tersebut pada

manusia lebih tebal 3 x dibandingkan pada baboon (semacam monyet

15

Page 16: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

besar) (± > 65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat

ditembus obat-obatan tersebut.1

Obat tetes telinga diindikasikan untuk pasien yang menderita

infeksi telinga luar. Beberapa laporan pada literatur menguraikan

gejala ototoksisitas muncul setelah pemberian agen ototopikal pada

pasien dengan perforasi membran timpani. Jalur untuk obat ototopikal

melewati telinga tengah ke telinga dalam adalah melewati tingkap

bundar dan menuju perilimfe skala timpani. Membran tingkap bundar

terdiri atas 3 lapisan yang mengandung micropinocytotic vesicles.

Vesikel ini memberikan jalan pada banyak substansi, misalnya

elektrolit, peroksidase, dan albumin. Masuknya substansi tersebut

melalui 3 mekanisme yaitu difusi, transpor inter-epitelial, dan

transpor-intraepitelial. Permeabilitas membran tingkap bundar

ditemukan secara eksperimental meningkat 48jam setelah munculnya

infeksi telinga tengah. Selama infeksi kronis (OMSK), membran

tingkap bundar menjadi lebih tebal akibat deposisi dari jaringan ikat

dan juga terbentuknya mucosal web. Hal ini menyebabka membran

mejadi kurang permeabel selama inflamasi kronik berlangsung.12

Ototoksisitas dari penggunaan topikal tetes telinga

menampakkan derajat yang bervariasi dalam derajat toksisitas

vestibular dan koklea. Contohnya, pada pasien dengan kadar plasma

aminoglikosida yang tinggi (dalam jangka waktu yang lama), akan

terjadi kerusakan vestibulo-koklea. Namun, pada kadar teraupetikya

(kadar plasma normal), pada beberapa pasien aminoglikosida dapat

menimbulkan ototoksisitas Hal ini disebabkan aminoglikosida dapat

berada di telinga dalam, terbebas dari ekresi renal atau metabolisme

hepar. Preparat topikal telinga yang memiliki efek protektif terhadap

16

Page 17: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

koklea dan vestibular adalah iron chelator, salisilat, kortikosteroid,

leupeptin, dan asam lipoik alfa.12

IV. Faktor Resiko

Faktor resiko yang paling umum untuk menimbulkan gangguan

pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik antara lain : ( ototoxic drug

WHO)

1. Usia lanjut

2. Neonatus

3. Dosis harian dan rute pemberian obat

Rute pemberian obat ototoksik penting dalam menentukan onset

kerusakan pendengaran. Rute yang paling berbahaya hingga paling

aman berturut-turut adalah intraspinal, kemudian intravena,

intramuskular, perkutaneus, dan oral.

4. Pajanan dalam jangka waktu yang lama oleh obat ototoksik

5. Kehamilan

6. Gagal ginjal

7. Insufisiensi hepar

8. Bekerja di lingkungan bising

9. Penggunaan bersamaan dengan obat ototoksik lainnya ( biasanya

pada diuretik)

V. Gejala Ototoksik

Tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama

ototoksisitas. Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan

bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakan yang

17

Page 18: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

menetap, tinitus lama kelamaan tidak begitu kuat, tetapi juga tidak pernah

hilang.1

Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa

menit setelah penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak

begitu berat dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan

progresif dengan hanya disertai tinitus ringan. Tinitus dan kurang

pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina

serta tuli akut yang disebabkan oleh loop diuretic dapat pulih kembali dengan

menghentikan pengobatan segera. Tuli ringan juga pernah dilaporkan sebagai

akibat aminoglikosida, tetapi biasanya menetap atau hanya sebagian yang

pulih kembali. Kurang pendengaran yang disebabkan oleh pemberian

antibiotika biasanya terjadi setelah 3 atau 4 hari.1

Tuli akibat ototoksik dapat menetap hingga berbulan-bulan setelah

pengobatan selesai. Biasanya tuli bersifat bilateral. Kurang pendengaran

akibat pemakaian obat ototoksik bersifat sensorineural. Antibiotika yang

bersifat ototoksik mempunyai ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi

tinggi pada audiogram, sedangka diuretik menghsilkan gambaran audiogram

yang mendatar atau sedikit menurun. Selain itu tidak jarang terdapat pula

gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasi pandangan, terutama

setelah perubahan posisi.1

V. Pemeriksaan Audiologi

Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan

audiologi. Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE)

18

Page 19: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

mendeteksi secara dini gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik

dibandingkan dengan kovensional Pure-tone threshold testing.13

1. Ultra High Frequency Audiometry (Ultra-HFA)

Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar

di bagian basal dari koklea. HFA merupakan tes hantaran udara ( air-

19

Page 20: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

conduction threshold testing ) untuk frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar

di atas 16 atau 20 kHz. HFA dapat mendeteksi gangguan pendengaran

akibat aminoglikosida atau cisplatin. Oleh karena itu HFA saat ini

umum digunakan untuk memonitoring kasus-kasus ototoksisitas.10

High Frequency Audiometry tidak dipengaruhi oleh otitis

media. Berbeda dengan OAE yang hasil pemeriksaannya sangat

dipengaruhi oleh kondisi patologis pada telinga tengah, misalnya otitis

media.10

2. Otoacoustic emission (OAE)

Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut

luar yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut

luar dipersarafi oleh serabut saraf eferen dan mempunyai

elektromotilitas, sehingga pergerakan sel-sel rambut akan

menginduksi depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara

memasukkan probe ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut

terdapat mikrofon dan pengeras suara yang berfungsi untuk

memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi untuk menangkap

suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus.

Otoacoustic emission dibagi mejadi 2 kelompok, yaitu :1

1. Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)

2. Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)

Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang

timbul dengan adanya stimulus suara. Terdapat 3 jenis, yaitu : 1).

Stimulus-frequency Otoacoustic Emission; 2). Transiently-evoked

20

Page 21: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

Otoacoustic Emission (TEOAE); 3). Distortion-product Otoacoustic

Emission (DPOAE).1

Gambar 7. Distortion-product Otoacoustic Emission

(DPOAE).13

Untuk gangguan pendengaran akibat obat ototoksik DPOAE

efektif untuk deteksi dini. DPOAE menggunakan stimulus dua nada

murni (F1,F2) dengan frekuensi tertentu.1,13

3. Pure Tone Audiometry (Audiometri nada murni )

Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya

gangguan pendengaran akibat obat ototoksik. Akan didapatkan tuli

sensorineural frekuensi tinggi pada audiogram.13

21

Page 22: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

Gambar 8. Audiometri Nada Murni pada pasien dengan terapi

cisplatin.13

VI. Penatalaksanaan

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati.

Bila pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga

dalan setelah dilakukan pemeriksaan audiometri, maka pengobatan dengan

obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang

terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya pengobatan.

Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal, renal, serta

sifat obat itu sendiri juga mempengaruhi kemunculan gejala ototoksik.1

22

Page 23: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi

antara lain denga alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training, belajar

berkomunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total

bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea.1,13

VII. Pencegahan

Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik,

maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini

termasuk mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai

kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan

memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam seperti tinitus, kurang

pendengaran, dan vertigo.Pada pasien yang telah menunjukkan gejala-gejala

tersebut harus dilakukan evaluasi audiologi dan menghentikan pengobatan.1

VIII. Prognosis

Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya

pengobatan, serta kerentanan pasien. Pada umumnya pronosis tidak begitu

baik malah mungkin buruk.1

VII. Kesimpulan

Ototoksisitas merupakan efek berbahaya dari obat dan substansi kimia

pada organ pendengaran dan keseimbangan. Penggunaan obat-obat yang

bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan fungsional

pada telinga dalam yang disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi

pada organ telinga dalam. Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat

ototoksik tersebut antara lain degenerasi stria vaskularis , degenerasi sel epitel

sensori dan degenerasi sel ganglion.

23

Page 24: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

Dari hasil “WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia

termasuk 4 negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup

tinggi (4,6%). Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran

tahun 1994-1996 yang dilaksankan di 7 propinsi di Indonesia menunjukkan

prevalensi gangguan pendengaran akibat obat ototoksik sebesar 0,3%.

Banyak obat dilaporkan memiliki efek ototoksik. Beberapa obat yang

paling sering digunakan dan bersifat ototoksik antara lain aminoglikosida,

eritromisin, diuretik loop, obat anti inflamasi, obat anti malaria, anti tumor,

dan obat tetes telinga. Masing-masing obat ini memiliki mekanisme tersendiri

dalam merusak struktur pendengaran dan keseimbangan. Efek yang timbul

dapat bersifat reversibel atau ireversibel.

Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan

audiologi. Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE)

mendeteksi secara dini gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik.

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Apabila

ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain denga

alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training, belajar berkomunikasi total

dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin

dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea.

VIII. Daftar Pustaka

1. Soetirto, Indro, Bramantyo, B., dan Bashirudin, J. Gangguan pendengaran

akibat obat ototoksik. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu

kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI,

2001, h. 53 - 56.

2. Rybak, Leonard P., Touliatos, John. Ototoxicity. Dalam: Snow, James B.,

Ballenger, John J, Ed. Ballenger’s Otorhinolaryngology head and neck

surgery. Edisi ke-16, Spain: Williams & Wilkins, 1996, h. 374 – 378.

24

Page 25: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Rencana strategi nasional

penanggulangan gangguan pedengaran dan ketulian untuk mencapai sound

hearing 2030. 2006, h.4-5.

4. Miller, Monica L., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J, Miller

D. Drug-induced disease. Edisi kedua.America:ASHP, 2010, h.1049-1054.

5. Guyton, A.C, Hall, J.E. Indra pendengaran. Dalam : Guyton and hall buku

ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-sebelas, Jakarta:EGC, 2007, h.688-689.

6. Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba aminoglikosida. Dalam : Hardman

Joel, Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta :

EGC,2007, h. 1195-1204.

7. Reiter RJ, Tan D, Korkmaz A, Fuentes BL. Drug-mediated ototoxicity and

tinnitus: alleviation with melatonin. Journal of Physiology and Pharmacology.

2011, h. 1-7.

8. Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba makrolida. Dalam : Hardman Joel,

Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta : EGC,2007, h.

1230-1231.

9. Durrant JD, Campbell K, Fausti S, Guthrie O, Jacobson G, Poling G.

Ototoxicity monitoring. American Academy of Audiology Position Statement

and Clinical Practice Guidelines. 2009, hal. 5-25.

10. Van der Heijden AJ, Tibboel D, Bogers AJ. Cohen AF, Helbing WA.

Optimal furosemid therapy in critically ill infants. 2007, h. 15-16.

11. Slattery Eric L, dan Warchol Mark E. Cisplatin ototoxicity blocks sensory

regeneration avian inner ear. The Journal of Neuroscience.2010, hal. 1-5.

12. Haynes DS, Rutka J, Hawke M, Roland PS. Ototoxicity of ototopical drops-an

update. Otolaryngologic Clinics of North America. 2007, hal. 670-675.

13. Martin DK, Gordon JS, Reavis KM, Wilmington DJ, Fausti SA. Audiological

monitoring of patient receiving ototoxicity drugs. American Speechlanguage

Hearing Association.2005, hal. 2-4.

25

Page 26: Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik (1)

26