BAB I makalah murniati

download BAB I makalah murniati

If you can't read please download the document

description

ini isi tuas makalah murniati sebagai syarat memenuhi syarat standar untuk mengikutu ujian akhir semester

Transcript of BAB I makalah murniati

BAB IPENDAHULUANLATAR BELAKANG

Persoalan hukum yang paling banyak menyedot perhatian masyarakat di Indonesia adalah perdebatan mengenai hukuman mati. Hukuman mati yang dieksekusikanpada Imam Samudera cs di penghujung tahun 2008 ini, seakan menjadi pertanda bahwa hukuman mati masih eksis di negara kita yang mayoritas berpenduduk muslim .Sementara hampir 130 negara-negara di dunia telah melakukan moratorium bahkan penghapusan hukumanmati. Oleh karenanya, pembahasan berbagai dimensi hukuman mati dari perspektif keadilan sosial dan hokum menjadi sangat penting. Begitu juga dengan pandangan agama Islam, yang notabene dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia, dimensi hukuman matimenjadi menarik untuk dikritisi lebih detail.Problematika hukuman mati yang berkembang sekarang ini menghasilkan dua arus pemikiran hukum; pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan pengahapusan secara keseluruhan. Kelompok yang setuju, beralasan jika secara sadar terpidana melakukan tindakan kriminalnya dan menunjukkan pelanggaran berat terhadap hak hidup sesamanya, maka negara tidak wajib melindungi dan menghormati hak hidup terpidana. Para pelaku kejahatan berat harus diancam hukuman mati sehingga bisa menjadi efek jera.Sedangkan yang menolak hukuman mati beralasan bahwa hukuman yang satu ini merupakan pengingkaran terhadap hak asasi manusia, yaitu berupa hak hidup. Apalagi banyak kalangan yang menganggap pidana mati dalam Islam sangat kejam dan hanya merupakan pelampiasan balas dendam semata.Untuk itu, tulisan ini bermaksud mendeskripsikan tentang berbagai persoalan yang terkait dengan pidana mati, yaitu tentang pandangan hukum Islam terhadap konsep dan penerapaan hukuman pidana mati.1.2 RUMUSAN MASALAHRumusan masalah pada makalah ini meliputi :Bagaimana hukuman mati dalam perspektif syariah ?

Bagaimana hukuman mati dalam teks islam ?

Bagaimana eksekusi hukuman mati ?

Bagaimana nilai-nilai keadilan dalam hukuman mati ?

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. Hukuman Mati Dalam Perspektif SyariahDalam istilah bahasa Arab hukuman dikenal dengan kata(uqbah) yang berarti siksa atau hukuman, yaitu hukuman atasperbuatan yang melanggar ketentuan Syari yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Sementara dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata punishment, yang berarti a penalty imposed on an offender for a crime or wrongdoing (hukuman yang dijatuhkan kepadapelanggar kejahatan atau melakukakan kesalahan), sedangkan hukuman menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya; atau keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.Secara istilah hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abd al-Qadir Audah, Artinya: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara.

Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari syariat didasarkan kemashlahatan tingkat dharuri (primer), Hajji (skunder), dan tahsini (tersier).1) Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup (Dharuri).Adalah segala sesuatau yang diperlukan dan harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban di mana-mana. Kebutuhan hidup yang primer ini (dharuriyat), dalam tradisi hukum Islam disebut denganistilah al-maqasid al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik. Syariat telah menetapkan pemenuhan, kemajuan, dan perlindungan tiap kebutuhan itu, serta menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan yang esensial.2) Menjamin keperluan hidup (hajjiyat).Ini mencakup hal-hal penting untuk menghindari kesukaran, yaitu berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan bagi masyarakat.3) Membuat berbagai perbaikan (tahsini), yaitu hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (keperluan tersier) dibenarkan oleh adat kebiasaan dan termasuk dalam kahlaq mulia..Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untukmenghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual.Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari'at Islam ada dua, yaitu pencegahan () dan pengajaran atau pendidikan().Pencegahan ialah menahan pelaku agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya. Disamping itu juga sebagai pencegahan terhadap orang lain agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah yang serupa.Jarimah atau perbuatan-perbuatan yang mempunyai implikasi hukum dapat berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban. Dalam keadaan seperti itu boleh jadi hukuman meninggalkan kewajiban jauh lebih berat, karena tujuan penjatuhan hukuman pada meninggalkan kewajiban ialah memaksa pelaku untuk mengerjakan kewajiban.Sedangkan soal pencegahan, besarnya hukuman harus sedemikian rupa sehingga tercukupi tujuan hukuman tersebut, tidak boleh lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Tidak heran jika hukuman dapat berbeda-beda terutama pada hukuman tazir, sesuai dengan bentuk perbuatannya dan kondisi pelakunya.Adapun hubungannya denga pengajaran dan pendidikan adalah bahwa hukuman memiliki tujuan utama yaitu mengusahakan kebaikan terhadap diri pelaku, sedemikian rupa sehingga penjauhan diri manusia terhadap jarimah merupakan kesadaran pribadi dan kebenciannya terhadap jarimah, bukan karenatakut akan hukuman.

2.2. Hukuman mati dalam teks IslamSyekh Wahbah az-Zuhaili membagi hukuman dalam Islam menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat ( ) dan hukuman dunia ( )Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah Swt,adalah hukuman yang benar (haq) dan adil (adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya. Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu: hudud dan tazir.Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh Syari dengan nash-nash yang jelas. Hukuman had menurut Hanafiyah ada lima macam yaitu, had zina, had qadzf, had pencurian, had minum hamr, dan had mabuk. Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam yaitu had zina, had qadzf, had pencurian, had hirabah,had mabuk-mabukan, had qisas, had riddah.Tazir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh syara, tetapi bentuk dan ketentuannya diserahkan kepada wali al-amr (negara) dengan memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.Hukuman mati merupakan salah satu alternative hukuman yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana hudud. Namun demikian hukuman mati hanya diberikan kepada empat pelaku hudud, yakni pezina muhson, pembunuhan sengaja, hirobah, dan murtad.1) Pezina MuhsonPelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Hukuman rajam ini semua ulama sepakat dengan banyak hadits yang mengisyaratkan itu, namun yang mbedakannya adalah apakah sebelum dirajam itu didera atau tidak.Menurut jumhur Ulama, orang yang harusdihukum rajam itu tidak didera. Sedang menurut al-Hasan al-Bashri, Ishaq, Ahmad dan Dawud, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan. Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi hargadiri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.Hukuman bagi pezina telah ditentukan oleh al-Quran dan Hadist. Bagi pelaku zina ghaoru muhson (yang belum menikah) didasarkan pada QS An-Nur:2,

Artinya: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.Sedangkan bagi orang yang sudah menikah (muhsan) hukumannya menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempar batu) sampai mati. Hukuman dera adalah hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditentukan oleh syara. Oleh karena itu, hakim tidak boleh mengurangi, menambah, menunda pelaksanaanya, atau menggantinya dengan hukuman yang lain.Hukuman Zina gair muhsan, selain didera harus diasingkan selama satu tahun, hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan Turmuzi. Sebagaimana disebutkansebelumnya, bahwa pezina gair muhsan, dikenai hukuman dera seratus kali, yaitu ayat al-Quran dan hadis di atas, jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Syafii, dan Ahmad berpendapat bahwa hukuman pengasingan harus dilaksanakan bersama-sama dengan hukuman dera seratus kali. Dengan demikian, hukuman pengasingan termasuk hukuman had, dan bukan hukuman tazir. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ubadah Ibn Samit, yaitu: ..Artinya: ..Jejaka dengan gadis hukumannyadera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.Disamping hadis tersebut, jumhur ulama juga beralasan dengan tindakan sahabat antara lain Sayidina Umar dan ali, yang melaksanakan hukuman dera dan pengasingan ini, dan sahabat-sahabat yang lain tidak mengingkarinya. Dengan demikian maka hal ini bisa disebut ijma.2) Pembunuhan SengajaPelaku pembunuhan berencana (disengaja), sebagaimana teks al-Quran menyatakan:Artinya: Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yangbesar baginya. (QS. Al-Nisa" [4]: 93).Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga.3) Perampokan (al-hirabah)Al-hirabah adalah perampokan atau pengacau keamanan. Mengenai definisi hirabah ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya namun pada intinya sama. Paraulama fiqh, sebagaimana dijelaskan Wahbah, berbeda pendapat dalam mendefinisikan hirabah. Definisi hirabah menurut Hanafi adalah ke luar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan atau mengambilharta, atau membunuh orang.Sedangkan Syafiiyah definisi hirabah adalah:ke luar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan).Menurut Imam Malik, hirabah adalah:mengambil harta dengan tipuan (taktik), baik menggunakan kekuatan atau tidak. Golongan Dzahiriyah memberikan definisi yang lebih umum, dengan menyebut pelaku perampokan sebagai berikut: Perampok/Muhariib adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat, serta melakukan perusakan di muka bumi. Imam Ahmad dan Syiah Zaidiyah memberikan definisi yang sama dengan definisi yang dikemukakan oleh Hanafiyah, sebagaimana telah disebutkan.Hukuman bagi jarimah iniditegaskan dalam al-Quran sebagai berikut:Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Al-Maidah [5]: 33)4) Pelaku MurtadRiddah dalam arti bahasa adalah yang artinga kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Sedangkan dalam kamus al Munawwir riddah berasal dari kata: : yang artinya menolakdan memalingkannya. Landasan hukuman mati untuk orang murtad dijelaskan dalam hadis Nabi: ( )Artinya: dari Ibn Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia. (H.R. Bukhari)Dalam hadits lain disebutkan: ( )Artinya: Dari Aisyah RA.telah bersabda Rasulullah SAW: Tidak halal darah seorang muslim kecuali orang yang membunuh jiwa sehingga karenanya ia harus dibunuh, atau orang yang berzina dan ia muhshan, atau orang yang murtad setelah tadinya ia Islam. (H.R. Ahmad)Dua hadits diatas menjelaskan bahwa murtad termasuk salah satu jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.Untuk selain empat hal di atas ada jenis ta'ziryang dikenai hukuman mati, misalnya untuk tindak pidana spionase (mata-mata) dan residivis yang sangat berbahaya.Oleh karena hukuman mati sebagai hukuman tazir ini merupakan pengecualian maka hukuman tersebut harus dibatasi dan tidak boleh diperluas,atau diserahkan kepada hakim, seperti halnya hukuman tazir yang lain. Dalam hal ini penguasa (ulil amri) harus menentukan jenis-jenis jarimah yang dapat dijatuhkan hukuman mati.

2.3. Eksekusi Hukuman MatiPenetapan pelaksanaan hukuman mati dalam Hukum Pidana Islam sangat beragam tergantung si pelaku yang akan di ekskusi. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:Untuk Tindak Pidana Zinah Muhshan

Para ulama sepakat, bahwa hukuman yang dikenakan atas diri pelaku zina muhshan (janda, duda, laki-laki yang masihberistri atau istri yang masih bersuami) adalah wajib dirajam sampai mati. Caranya, orang yang berzina tersebut diletakkan di suatu tempat, diikat atau dikubur setengah badannya lalu dilempari batu.Untuk Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (sengaja)

Parafuqaha sepakat, bahwa wali korban bisa melaksanakan hukuman pembunuhan terhadap pelaku (qishas), namun dengan syarat harus dengan pengawasan penguasa, sebab dalam pelaksanaan memerlukan ketelitian dan jangan sampai berlebihan.Dikalangan para ulama tidak ada kesepakatan cara atau teknis pelaksanaannya. Menurut Hanabilah dan pendapat yang sohih dari kelompok hanabilah, qishas pada jiwa harus dilaksanakan dengan menggunakan pedang, baik tindak pidana pembunuhannya dilakukan dengan pedang maupun dengan alat yang lainnya, dan bagaimanapun cara atau bentuk perbuatannya.Menurut Malikiyah dan Syafiiyyah, orang yang melakukan pembunuhan harus diqishas atau dibunuh dengan alat yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh korban dan cara yang digunakannya.Untuk Tindak Pidana Hirabah

Ada dua hukuman mati yang dijatuhkan kepada pelaku hirabah yaitu:1. Hukuman mati biasa. Hukuman ini dijatuhkan kepada perampok (pengganggu keamanan) apabila melakukan pembunuhan.hukum ini merupakan hukum had bukan merupakan hukum qishas. Oeh karena itu hukuman ini tidak boleh dimaafkan.2. Hukuman mati disalib. Hukuman ini dijatuhkan apabila perampok melakukan pembunuhan dan merampas harta benda. Jadi, hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian bersama-sama, dan pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta.Untuk Tindak Pidana Riddah (Murtad)

Mengenai ketentuan cara hukuman mati untuk orang murtad tidak dijelskan, namun cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam ada dua pendapat:1. Pendapat Abu Hanifah bahwa pidana mati dilaksanakan dengan jalan memenggal leher dengan pedang, atau senjata semacamnya.2. Pendapat syafii dan maliki bahwa pidana mati dilaksanakan dengan berbagai cara, tapi harus mempunyai pembatasan.

2.4. Nilai-Nilai Keadilan DalamHukuman MatiProkontra tentang pemberlakuan hukuman mati di negeri kita tidak pernah akan selesai, mengingat perbedaan cara pandang dalam melihat hukuman mati. Namun pada tuilisan ini, penulis tidak bermaksud menyelesaikan pro-kontra. Sebaliknya tulisan ini bermaksud mengungkap nalai-nilai keadilan yang menjadi pokok persoalan pada perdebatan pro-kontra hukuman mati.Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan. Teori absolut (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sedangkan teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankanketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.Dalam kasus hukuman mati, di mana Indonesia masuk pada 55 negara yang masih memberlakukan hukuman mati, hukuman mati menjadi salah satu pilihan hukuman. Bagi para pakar hukum Indonesia, hukuman mati memiliki nilai-nilai universal yang tidak bertentangan dengan HAM. Karena pelaksanaan hukuman mati merupakan perintah undang-undangan, sehingga masuk kategori alasan penghapus pidana pembenar (wetterlijk voorshrift).Membunuh, merajam, melukai bahkan menahan dalam kondisi normal merupakan perbuatan yang melanggar HAM, namun karena dilakukan atas perintah undang-undang maka perbuatan tersebutsah demi hukum.Hukuman mati bukanlah semata sebagai pembalasan bagi pelaku tindak pidana berat, namun juga sebagai upaya menjaga dan menegakkan HAM. Konsep hifdzu al-nafs sebagaimana dikenal dalam ushul fiqh, berarti menjaga jiwa seseorang dari tindakan yang akan menghilangkan nyawa atau kehormatan seseorang.Dalam literatur-literatur Arab Islam, HAM dalam pengertian kontemporer belum dikenal, bahkan tidak termasuk dalam apa yang difikirkan dalam peradaban Arab maupun peradaban-peradaban lainnya. Istilahal-huquq al-insan al-asasi yang dikenal dalam fiqih modern, belum dikenal pada generasi awal. Istilah ini muncul belakangan setelah jadi kontak Islam dengan Barat pada awal abad XX, kendati demikian, materi dan substansi HAM telah menjadi bahasan Fuqaha,dengan konsep dan istilah tersendiri sesuai dengan khazanah intelektual yang dimilikinya.Di antara konsep yang relevan dengan HAM adalah rumusan fuqaha tentang al-dharuriyat al-khamsah atau biasa dikenal dengan maqshid al Syari berdasarkan analisi fuqaha, bahwa tujuan syariat adalah memelihara kebebasan beragama (hifz ad-din), memelihara diri atau menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nafs),akal (hifz al-Aql),keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara harta (hifz al-amwal), yakni menjaga hal yang lima.Pemaknaan al-dharuriyyat al-khomsah ini dalam perspektif HAM dimaknai sebagai berikut:Hifzhu al-ddin, berarti hak untuk beragama dalam berkerpercayaan, serta mengamalkan ajaran sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, selain itu, berarti pula bahwa setiaporang berkewajiban memelihara dan melindungi hak orang lain untuk beragama dan berkepercayaan sesuai dengan pilihannya.Hifzhu al-aql berarti hak untuk memelihara dan mengembangkan akal pemikiran. Termasuk dalam pengertian ini adalah hak memperoleh pendidikan, serta hak mendapatkan dan mengekspresikan hasil pendidikan serta hak mendapatkan perlindungan atas berbagai hasil karya dan kreativitas intelektual lainnya.Hifzhu an-Nafs, adalah hak untuk mendapatkan perlindungan keselamatan jiwa, ini berarti bahwasetiap orang berhak untuk hidup dan memperoleh kehidupan yang layak, mendapatkan jaminan kesehatan, keamanan dan kesejahteraan.Hifzhu al-nasl wa al-ardl, berarti hak untuk berkelurga, hak memperoleh keturunan (reproduksi), hak betempat tinggal yang layak, serta hak memperoleh perlindungan kehormatan.Hifzhu al-ml, adalah hak untuk memperoleh usaha dan upaya yang layak, memperoleh jaminan perlindungan atas hak miliknya dan kebebasan mempergunakannya untuk keperluan dan kesejahteraah hidupnya.Tentunya dalam menerapkan hukuman mati juga melalui proses hukum acara yang teliti. Audah mensyaratkan tiga hal yang harus diperhatikan dalam memutuskan hukuman. Pertama, ruknu al-syar'i (legalitas), kedua ruknu al-Madi (perbuatan pidana), dan ketiga ruknu al-Adabi (kondisi pelaku).Apabila memenuhi tiga kriteria yang disaratkan dalam hukum pidana Islam di atas, maka pelaku kejahatan demi hukum harus dikenaui hukuman mati.

BAB IIIKESIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal di antaranya:Hukumanmati bukanlah pelanggaran hukum, karena penerapan hukuman mati ditegakkan dalam rangka melindungi lembaga-lembaga kehidupan. Hidup ini merupakan HAM bagi setiap orang, maka negara atas nama hukum melindungi warganya dari peristiwa-peristiwa hukum yang merugikan masyarakatnya.Dalam Islam hukuman mati, terdapat dalam empat kasus, yaitu yang melakukan zina mukhshan, membunuh dengan sengaja, hirabah dan murtad (keluar dari Islam). Dalam Hukum Islam Juga dikenal hukuman mati untuk tazir yaitu apabila hukumanmati tersebut dikehendaki oleh umum, misalnya untuk spionase (mata-mata) dan residivis yang sangat berbahaya.Semoga hukuman mati bisa diterapkan sesuai dengan maqashid syari'ahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Jazuli,Ahmad .fiqh jinayah,PT RajaGrafindo persada.Jakarta. Cetakan I.1999.

Audah, Abdul Qadir. At Tasyri Al Jinaiy Al Islamiy. Dar Al Kitab Al Araby, Beirut. Juz 1.

Kallaf, Abdul wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Ad Dar Al Kuwaitiyah. Cetakan VIII. 1968.

Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Islam.Jakarta: Sinar Grafika. 2004

Abdullah, Musthafa. dkk. Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983.