BAB I kusta
-
Upload
melissa-paul -
Category
Documents
-
view
29 -
download
3
Transcript of BAB I kusta
![Page 1: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara
primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot,
tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan
sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi
dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa
menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di
negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya
adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat
keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan
pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan
penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat,
disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang
ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.
Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia
Tenggara, dengan angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini
disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk, misalnya imigrasi,
![Page 2: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/2.jpg)
pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO
pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly
Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun
2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun
sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan
lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta
bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang
sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar.
Penemuan secara global terhadap kasus baru menunjukkan penurunan.
Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun 1961 jumlah
penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita 3,2
juta dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak
ditemykan di Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang
tercatat lebih dari 5.000 kasus.
Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697 penderita
baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak
(10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716
kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB
(76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423
kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun
2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan
penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada
tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru
![Page 3: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/3.jpg)
adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4
kasus pada tahun 2002.
Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam
merupakan permasalahan yang sangat kompleks bukan hanya dari segi
medis tetapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi, budaya dan
ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya
menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut
akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan
negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan
penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada
kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di
lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi
sosial berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta lebih kecil
daripada sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan
angka kejadian penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak
diketahui. Melihat besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu
dilakukan suatu langkah penanggulangan penyakit tersebut. Program
pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya
penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta
mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud
bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial
ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
![Page 4: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/4.jpg)
Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami mengangkat
masalah upaya penanggulangan penyakit kusta sebagai judul makalah
dengan harapan dapat lebih memahami penyakit kusta dan
penanggulangannya.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami mengangkat beberapa permasalahan
yang terkait dengan Penanggulangan penyakit kusta, yaitu sebagai
berikut :
1.Bagaimana gambaran umum penyakit kusta ?
2.Apa saja bentuk-bentuk dan gejala penyakit kusta ?
3.Bagaimana transimi penularan penyakit kusta ?
4.Bagaimana penegakan diagnosis penyakit kusta ?
5.Bagaimana penanggulangan penyakit kusta ?
6.Bagaimana upaya pencegahan penyakit kusta ?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan
dalam memahami upaya penanggulangan penyakit kusta, yakni
sebagai berikut :
![Page 5: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/5.jpg)
1. Untuk mengetahui gambaran umum penyakit kusta yang meliputi
definisi , sejarah dan epidemiologi penyakit kusta ?
2.Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk dan gejala penyakit
kusta ?
3.Untuk mengetahui bagaimana transimi penularan penyakit kusta ?
4.Untuk mengetahui penegakan diagnosis penyakit kusta ?
5.Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan penyakit kusta ?
6.Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan penyakit kusta ?
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Melalui penulisan makalah yang mengangkat masalah upaya
penanggulangan penyakit kusta diharapkan dapat memberikan
berbagai manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah agar lebih
mengoptimalkan upaya penanggulangan penyakit kusta melalu
kerjasama lintas sektoral.
3. Sebagai sumber pengetahuan bagi mahasiswa, khususnya
mahasiswa kesehatan masyarakat agar dapat mengetahui aspek-
aspek penting mengenai upaya penanggulangan penyakit kusta
![Page 6: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/6.jpg)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Penyakit Kusta
A. Definisi Penyakit Kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha
berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta
disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada
tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah
tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari
saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa
diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan
mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti
pada penyakit tzaraath, yang digambarkan dan sering disamakan
dengan kusta.
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf
tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang
![Page 7: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/7.jpg)
mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat
infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin
beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan
infeksi sewaktu masa knak-kanak. Tanda-tanda seseorang
menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih,
merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada
anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena
kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak.
Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita
luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka
ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang
tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti
tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi
yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang
dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta
dua kali lebih tinggi dari wanita.
B. Sejarah
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan
telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan
India. Pada 1995, Penyakit kusta atau lepra menjadi salah satu
penyakit tertua yang hingga kini awet bertahan di dunia. Dari
![Page 8: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/8.jpg)
catatan yang ditemukan di India, penderita kusta sudah ditemukan
sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Dalam buku City of Joy (Negeri
Bahagia) karya Dominique, mantan reporter untuk sejumlah
penerbitan di Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-an, kusta
menjadi penyakit yang 'populer' dan menjadi bagian dari kehidupan
miskin di Calcutta, India. Namun, kuman penyebab kusta kali
pertama baru ditemukan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen di
Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering disebut penyakit
Hansen. Saat ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika,
Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat
kita bagi dalam 3 (tiga) zaman yaitu zaman purbakala, zaman
pertengahan dan zaman moderen. Pada zaman purbakala karena
belum ditemukan obat yang sesuai untuk pengobatan penderita
kusta, maka penderita tersebut telah terjadi pengasingan secara
spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu, disamping
itu masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik. Pada zaman
pertengan penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa
tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta seumur
hidup.
1. Zaman Purbakala.
Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat
diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400
![Page 9: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/9.jpg)
SM, istilah kusta yang sudah dikenal didalam kitab Weda, di
Tiongkok 600 SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman
purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan
penderita merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat
menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.
2. Zaman Pertengahan.
Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan
ketatanegaraan dan system feodal yang berlaku di Eropa
mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap
penguasa dan hak azasi manusia tidak mendapat perhatian.
Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang umumnya
merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab penyakit dan
obat-obatan belum ditemukan maka penderita kusta diasingkan
lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/Koloni
Perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.
3. Zaman Modern.
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen
pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk
mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada
akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya.
Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap
![Page 10: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/10.jpg)
menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal
ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal
1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori
perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara
isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan.
Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan
penderita kusta.
b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai
diintegrasikan di puskesmas.
c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat
Kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan
rekomendasi WHO.
C. Epidemiologi Penyakit Kusta
a. Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian
besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan
adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa
menyerang di mana saja.
![Page 11: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/11.jpg)
Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan
menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003
menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita
terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Pada 1999, insidensi
penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada 2000,
738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di
Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara
yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India,
Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di
seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus
kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania
dan Nepal.
Tabel 1: Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus baru pada 2001-2005, tidak termasuk di Eropa
Daerah
Prevalensi terdaftar
(rate/10,000 pop.)
Kasus baru yang ditemukan pada tahun
Awal 2006 2001 2002 2003 2004 2005Afrika 40.830 (0.56) 39.612 48.248 47.006 46.918 42.814Amerika 32.904 (0.39) 42.830 39.939 52.435 52.662 41.780Asia Tenggara 133.422 (0.81) 668.658 520.632 405.147 298.603 201.635Mediterania Timur
4.024 (0.09) 4.758 4.665 3.940 3.392 3.133
Pasifik Barat 8.646 (0.05) 7.404 7.154 6.190 6.216 7.137Total 219.826 763.262 620.638 514.718 407.791 296.499
Situasi global
Tabel 1 menunjukkan penemuan kasus secara global menurun sejak 2001.
Tabel 2: Prevalensi dan PenemuanNegara Prevalensi terdaftar
(rate/10,000 pop.)
Penemuan kasus baru
(rate/100,000 pop.)Awal Awal Awal Selama Selama Selama
![Page 12: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/12.jpg)
2004 2005 2006 2003 2004 2005
Brasil
79.908 (4.6)
30.693 (1.7)
27.313 (1.5)
49.206 (28.6)
49.384 (26.9)
38.410 (20.6)
Republik Demokratik Kongo
6.891 (1.3)
10.530 (1.9)
9.785 (1.7)
7.165 (13.5)
11.781 (21.1)
10.737 (18.7)
Madagaskar
5.514 (3.4)
4.610 (2.5)
2.094 (1.1)
5.104 (31.1)
3.710 (20.5)
2.709 (14.6)
Mozambik
6.810 (3.4)
4.692 (2.4)
4.889 (2.5)
5.907 (29.4)
4.266 (22.0)
5.371 (27.1)
Nepal
7.549 (3.1)
4.699 (1.8)
4.921 (1.8)
8.046 (32.9)
6.958 (26.2)
6.150 (22.7)
Tanzania
5.420 (1.6)
4.777 (1.3)
4.190 (1.1)
5.279 (15.4)
5.190 (13.8)
4.237 (11.1)
Total 112.092 60.001 53.192 80.707 81.289 67.614
Tabel 2 menunjukkan situasi kusta pada enam negara utama.
Sebagaimana yang dlaporkan oleh WHO pada 115 negara
dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological
Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah
219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya
adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih
tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta
bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun
yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi
terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru
menunjukkan penurunan.
b. Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah
yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan
penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan,
![Page 13: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/13.jpg)
perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan
pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia
diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara
isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada
abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang
datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta
terdaftar di Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita
kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara
di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang
ditetapkan oleh WHO yaitu tahun 2000.
Prevalensi Penderita Kusta
Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar
17.539 kasus yang mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini
menurun menjadi 17.137 kasus pada desember 2001, akan tetapi
terjadi peningkatan pada tahun 2002 menjadi 19.100 kasus.
Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk menurun dari 0,99
menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi menjadi
0,92.
Pada tahun 2001, PR di tingkat propinsi mempunyai
variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di
![Page 14: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/14.jpg)
Propinsi Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 PR terendah
di propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara
(6,72). Dari gambaran prevalendi di propinsi, terlihat bahwa
kebanyakan propinsi yang belum dapat mencapai eliminasi
terletak di Kawasan Indonesia Timur dan daerah yang sering
terjadi konflik.
Angka Penemuan Penderita Baru
Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru.
Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak
(10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan
14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132
penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah
penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001
dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000
adalah7,22 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001
turun manjadi 6,91 dan naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per
100.000 penduduk. Di tingkat propinsi pada tahun 2001 angka
penemuan tertinggi terdapat di Propinsi Papua (49,65) dan
terendah di propinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun
2002 tertinggi dopropinsi papua (39,55) dan terendah di Propinsi
Bengkulu (0,250. Cakupan penderita dengan MDT 100%,
![Page 15: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/15.jpg)
sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta
sebanyak 4900 dengan angka kesembuhan lebih dari 90%
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak
menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001
dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit
menemukan kasusu baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu
8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. Indonesia
memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta.
Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jatim menyandang beban
sebagai daerah rawan ini bersama Irian Jaya bagian barat, Papua,
Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat,
Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan
DKI Jakarta.
c. Epidemiologi Kusta Di Sulawesi Tenggara
Penderita penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi
Tenggara sebanyak 267 penderita sedangkan pada tahun 2006
sebanuyak 264 penderita tersebar di semua kabupaten yaitu
kabupaten konawe 21, kabupaten muna 26 penderita, kabupaten
kolaka sebanyak 41 penderita, kabupaten buton sebanyak 48
penderita, kota kendari sebanyak 32 pendeita, kota Bau-bau
sebanyak 45 penderita, kabupaten Konawe Selatan sebanyak 5
penderita, Kab.Bombana sebanyak 19 penderita. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
![Page 16: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/16.jpg)
No Kabupaten/Kota Penderita Jml Penduduk Prevalensi/10.000 pnddk
PB MB Total
1. Konawe 1 20 21 255.283 1
2. Muna 2 24 26 296.003 1
3. Kolaka 2 40 41 264.149 2
4. Buton 11 37 48 270.100 2
5. Kota Kendari 2 30 32 227.190 1
6. Kota Bau-bau 4 41 45 121.416 4
7. Konawe Selatan
1 4 5 226.734 0
8. Bombana 5 14 19 106.181 2
9. Kolaka Utara 4 9 13 96.784 1
10
Wakatobi 0 14 14 95.574 1
Jumlah 31 233 264 1.959.414 1,3Sumber :seksi Penyakit Menular Langsung (PML) subdin P2 Dinkes Prov. Sultra Tahun 2006
2.2 Bentuk-bentuk dan Gejala Penyakit Kusta
A. Klasifikasi Penyakit Kusta
1. Tujuan klasifikasi
Untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosus dan
komplikasi
Untuk perencanaan operasional, misalnya menemukan
pasien-pasien yang menular yang mempunyai nilai
epidemiologis tinggi sebagai target utama pengobatan.
![Page 17: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/17.jpg)
Untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan
menderita cacat.
2. Jenis klasifikasi yang umum
A. Klasifikasi Internasional (1953)
Indeterminate (I)
Tuberkuloid (T)
Borderline-Dimorphous (B)
Lepromatosa (L)
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling
(1962)
Tuberkoloid (TT)
Boderline tubercoloid (BT)
Mid-berderline (BB)
Borderline lepromatous (BL)
Lepromatosa (LL)
C. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi
WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)
![Page 18: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/18.jpg)
Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA
negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan
T menurut klasifikasi Madrid.
Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid
dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. bila pada mulanya didiagnosis tepe MB, tetapi diobati sebagai
MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini.
2. bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru
berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.
Tabel 1. perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO
PB MB
1. Lesi kulit
(makula yang
datar, papul
yang
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
> 5 lesi
Distribusi
lebih
![Page 19: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/19.jpg)
meninggi,infiltr
at, plak eritem,
nodus)
2. kerusakan
saraf(menyebab
kan hilangnya
senasasi/kelema
han otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang
terkena)
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang
jelas
Hanya satu cabang saraf
simetris
Hilangnya
sensasi
kurang jelas
Banyak
cabang saraf
** Semua pasien dengan BTA positif, apapun klasifikasi klinisnya diobati dengan MDT-MB
Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang
yang akan menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia
mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya
dalam spektrum penyakit kusta.
Karakteristik Tuberkuloid
(TT)
Borderline
tuberculoid
(BT)
Indeterminate
(I)
Lesi
Tipe
Makula dibatasi
infiltrat
Satu atau
Makula dibatasi
infiltrat saja
Satu dengan
Makula
Satu atau
![Page 20: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/20.jpg)
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Sensibilitas
BTA
Pada lesi kulit
Tes lepromin
beberapa
Terlokalisasi &
asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif
Positif kuat
(3+)
lesi satelit
Asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif atau 1
+
Positif (2 +)
beberapa
Bervariasi
Dapat halus
agak berkilat
Agak terganggu
Biasanya
negatif
Meragukan (1
+)
Tabel 2. gambaran klinis tipe PB
Karakteristik Lepromatosa
(LL)
Borderline
lepromatosa
(BL)
Mid-borderline
(BB)
Lesi
Tipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Makula,
infiltrat difus,
papul, nodus
Banyak,
distribusi luas,
praktis tidak
ada kulit sehat
Makula, plak,
papul
Banyak, tapi
kulit sehat
masih ada
Cenderung
Plak, lesi
berbntuk
kubah, lesi
punched-out
Beberapa, kulit
sehat (+)
![Page 21: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/21.jpg)
Sensibilitas
BTA
Pada lesi kulit
Pada hembusan
hidung
Tes lepromin
simetris
Kering, skuama
Halus dan
berkilap
Todak
terganggu
Banyak (globi)
Banyak (globi)
negatif
simetris
Halus dan
berkilap
Sedikit
berkurang
Banyak
Biasanya tidak
ada
negatif
asimetris
sedikit berkilap,
beberapa lesi
kering
berkurang
agak banyak
tidak ada
biasanya
negatif, dapat
juga (±)
Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien
mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun
klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan
penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini
juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.
1.Tipe tuberkoloid (TT)
![Page 22: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/22.jpg)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu
atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan
pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral
healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata.
Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid
dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons
imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2.Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula
atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi
dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya
gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya
asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal.
3.Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam
spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan
bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif.
Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan
![Page 23: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/23.jpg)
jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Leso
sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4.Tipe borderline lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya
dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan.
Makula lebih jekas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun
masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang
hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada
bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir
dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan
beberapa plak tampak seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan
saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya
keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat
predileksi.
5. Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini
tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni
di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang
dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung
![Page 24: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/24.jpg)
tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium
lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga
menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies
leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih
lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai
pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi
atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala
stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif,
muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat
dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer
mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam
klasifikasi Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para
ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula
hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal.
Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau
muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau
sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan,
bila dengan pemeriksaan histopatologik.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari
tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya
![Page 25: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/25.jpg)
akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail,
agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu:
Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-
lama semakin melebar dan banyak.
Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,
aulicularis magnus seryta peroneus.
Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar
pada kulit
Alis rambut rontok
Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina
(muka singa)
Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :
Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
Anoreksia.
Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
![Page 26: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/26.jpg)
Cephalgia.
Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
hepatospleenomegali.
Neuritis.
Jenis
MultibacillaryTompok putih-kemerahan yang merebak di seluruh kulit badanTanda-tanda awal dari jenis ini sering terjadi pada cuping telinga
dan mukaKusta jenis ini boleh berjangkit
2.3 Transmisi Penularan Penyakit Kusta
A. Organisme Penyebab
Penyakit Kusta
Jenis PaucibacillaryTerdapat satu atau beberapa tompok yang mati rasa (kebas) atau tompok-tompok merah yang tidak gatal.Penyakit kusta ini tidak berjangkit, tetapi bila lambat diubati akan menimbulkan kecacatan.
![Page 27: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/27.jpg)
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae.
Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk
spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang
merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 –
8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA)
atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh
karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak
membentuk safrifit, terdapat juga golongan organisme patogen
(misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium leprae)
yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi
jenis granuloma infeksion. M. leprae belum dapat dikultur pada
laboratorium. Kuman Mycobacterium Leprae menular kepada
manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui
pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari
dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima
tahun, tandatanda seseorang menderita penyakit kusta mulai
muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa
kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
B. Patogenesis
![Page 28: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/28.jpg)
Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum
diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan
bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh
yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae
terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu
regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan
nontoksis.
M.leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama
terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial
pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman
M.leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel
mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas
selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang
kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular
tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman.
Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan
berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-
kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak
![Page 29: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/29.jpg)
segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan
M.lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi
dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi
gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat
bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf
berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
C. Reservoir
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang
diketahui berperan sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas
binatang armadillo liar diketahui secara alamiah dapat menderita
penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang
dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi
penularan dari armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara
alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang
ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.
D. Cara penularan
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui
dengan jelas penularan di dalam rumah tangga dan
kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat
![Page 30: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/30.jpg)
berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui
lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak
diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir
hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa
dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinann
masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang
terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun,
penularannya diduga melalui plasenta.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia
diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan
bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme
di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan
bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.
Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam
di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa
mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam
penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae
yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta
lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada
1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta
lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000
bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien
![Page 31: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/31.jpg)
lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung
mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari
pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per
hari.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih
merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman
kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi
ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung
penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x
24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus
dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik
mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama
dan berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi
basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung.
Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang
tidak mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa
faktor antara lain :
![Page 32: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/32.jpg)
a. Faktor sumber penularan
Adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler ini pun
tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur.
b. Faktor kuman kusta
Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari
tergantung pada suhu dan cuaca dan diketahui kuman kusta yang
utuh yang dapat menimbulkan penularan.
c. Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari
hasil penelitian menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100
orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang
sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum
lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan
diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui
penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di
keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi
tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor
ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
E. Masa inkubasi
![Page 33: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/33.jpg)
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan.
Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa
inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,
berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi
maksimum dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan
berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah
terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah
non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta
tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.
Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia
3 tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-
anak dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan.
Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari
kusta adalah 3-5 tahun.
F. Kerentanan dan kekebalan
Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung
pada kemampuan tubuh untuk membentuk “cell mediated“
kekebalan secara efektif. Tes lepromin adalah prosedur penyuntikan
M. Leprae yang telah mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi
dalam 28 hari setelah penyuntikan disebut dengan reaksi Mitsuda.
Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis lepromatosa dan positif
pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal. Karena tes
ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai
![Page 34: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/34.jpg)
pertanda adanya imunitas. Komite Ahli Kusta di WHO
menganjurkan agar penggunaan tes lepromin terbatas hanya untuk
tujuan penelitian. Angka hasil tes yang positif akan meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai tambahan tingginya
prevalensi transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. leprae
dan terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara
orang yang kontak dengan penderita kusta menandakan bahwa
penularan sudah sering terjadi walaupun hanya sebagian kecil saja
dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit kusta. Pola
klinis penyakit ini ditentukan oleh respons imunitas yang
diperantarai sel (cell-mediated imunity) host terhadap organisme.
Bila respons imunitasnya baik, maka timbul lepra tuberkuloid,
dimana kulit dan saraf-saraf perifer terkena. Lesi kulit berbentuk
tunggal. Atau hanya beberapa, dan berbatas tegas. Bentuknya
verupa makula atau plak dengan hipopigmentasi pada kulit yang
gelap. Terdapat anestesi pada lesi, hilangnya keringat, dan
berkurangnya jumlah rambut. Penebalan cabang-cabang saraf kulit
dapat diraba pada daerah lesi tersebut, dan saraf perifer yang besar
juga dapat diraba. Tes lepromin positif kuat. Gambaran histologis
berupa granuloma tuberkoloid yang jelas, dan tidak ditemukan
adanya basil pada pewarnaan Ziehl-Nielsen yang dimodifikasi. Bila
respons imunitas selulernya rendah, maka multiplikasi kuman
menjadi tak terkendali dan timbul bentuk lepralepromatosa. Kuman
menyebar tidak hanya pada kulit, tetapi juga mukosa saluran
![Page 35: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/35.jpg)
respirasi, mata, testis, dan tulang. Lesi kulit berbentuk multipel dan
nodular. Tes lepromin negatif. Pada pemeriksaan histologi berupa
granuloma yang difus pada dermis, dan ditemukan basil dalam
jumlah yang banyak.
Di antara kedua bentuk lepra yang ekstrem tadi, terdapat
spektrum penyakit ini yang disebut dengan lepra borderline, di
mana gambaran klinis dan histrologisnya menggambarkan berbagai
derajat respons imunitas seluler terhadap kuman. Tidak ada tes
diagnostik lepra yang absolut, yaitu diagnosis yang berdasrakan
pada gambaran klinis dan histologis. Lepra tuberkoloid biasa
diobati dengan kombinasi dapson dan rifampisin selama 6 bulan,
sementara lepra lepromatosa dapat diobati dengan dapson,
rifampisin dan klofazimin paling tidak selama 24 bulan.
Pengobatan lepra mungkin dipersulit dengan adanya reaksi kusta
yang dipengaruhi oleh imunitas, dan harus diamati oleh seseorang
yang berpengalaman dalam hal penanganan lepra.
2.4 Diagnosa Penyakit Kusta
Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan
banyak penyakit lain. Sebaliknya banyak penyakit lain dapat
menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena
itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara
tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit yang lain agar
![Page 36: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/36.jpg)
tidak membuat kesalahan yang merugikan pasien. Diagnosis penyakit
kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama), yaitu :
1.Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula)
atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu :
a. gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
c. gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan rambut yang terganggu.
3. Ditemukannya kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi
kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari
biopsi kulit dan saraf. Untuk menegakkan diagnosis ppenyakit
kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak
atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan
![Page 37: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/37.jpg)
tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang
setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
disingkirkan.
Untuk menetapkan diagnosa kusta perlu dicari tanda-tanda pokok
pada badan yaitu :
a. Adanya kelainan kulit dapat berupa hipopigmentasi (seperti
panu), bercak-eritem (kemerah-merahan), infiltrasi (penebalan
kulit), nodul (benjolan).
b. Berkurang sampai hilang rasa pada kelainan kulit tersebut di atas.
c. Penebalan syaraf tepi.
d. Adanya kuman tahan asam didalam korekan jaringan kulit (BTA
Positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bila mana
terdapat sekurang-kurangnya 2 dari tanda-tanda pokok yang
ditemukan atau bila terdapat BTA Positif. Dan bila ragu-ragu orang
tersebut diangap sebagai suspek dan diperiksa ulang setiap tiga
bulan sampai diagnosa kusta atau penyakit lain dapat ditegakkan.
Menyatakan (mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta
menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga
atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada keraguan-raguan sedikit
![Page 38: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/38.jpg)
saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah pengamatan
hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa
penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi
harus dilihat secara menyeluruh dari segi :
a. Klinis
b. Bakteriologis
c. Immunologis
d. Hispatologis
Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan
anamnese dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas
memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis.
Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung
bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis
pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi
kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis
yang khas. Tes-tes serologik bukan treponema untuk sifilis sering
menghasilkan positif palsu pada lepra.
Diagnosa klinis juga dapat ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan kulit secara lengkap dengan menemukan tanda-tanda
terserangnya syaraf tepi berupa gejala hipestasia, anesthesia,
paralysis pada otot dan ulkus tropikum. Untuk mengetahui apakah
![Page 39: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/39.jpg)
terjadi pembesaran dan pengerasan syaraf tepi, dilakukan palpasi
bilateral, untuk n. ulnaris dilakukan pada bahu dan untuk n.
peronealis pada caput bibulae. Begitu pula dilakukan pemeriksaan
terhadap n. auricularis major. Dilakukan tes terhadap sensasi kulit
dengan rabaan halus, ditusuk dengan jarum pentul, diskriminasi
suhu. Untuk diagnosa banding harus dibedakan dengan penyakit
lain yang menimbulkan penyakit kulit yang infiltratif seperti
limfoma, lupus eritomatosa, psoriasis, skleroderma dan
neurofibromatosis. Leishmaniasis difosa, infeksi jamur pada kulit,
myxedema, kulit pachydernoperiostosis, gejala klinisnya dapat
mirip dengan kusta tipe lepromatosa, namun tidak ditemukan
bakteri tahan asam. Sedangkan karena kekurangan gizi, nevus dan
jaringan parut pada kulit dapat mirip dengan kusta tipe tuberkuloid.
Diagnossa kusta tipe lepromatosa (multibaciller) ditegakkan
dengan ditemukannya bakteri tahan asam pada sediaan yang
diambil dengan melakukan incisi pada kulit. Pada kusta tipe
tuberkuloid (paucibaciller) jumlah basil kemungkinan sangat
sedikit sehingga sulit ditemukan pada pemeriksaan. Dalam keadaan
ini media kulit hendaknya dikirim kepada ahli patologi yang
berpengalaman dalam penegakkan diagnosa kusta. Timbulnya
gejala terserangnya saraf dan ditemukannya bakteri tahan asam
merupakan gejala patognopmonis kusta.
![Page 40: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/40.jpg)
Diagnosis penyakit kusta masih tergantung pada penemuan
klinis dan bakterioiogis, yang sifatnya subyektif dan merupakan
mata rantai yang lemah dalam pemberantasan kusta. Dalam suatu
penelitian ditemukan bahwa rata-rata penyakit kusta baru ter-
diagnosis setelah 2 tahun menderita dan terdiagnosis rata-rata
dalam 4,5 kali kunjungan.
Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan dalam
medium buatan, sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek
masih belum memungkinkan; teknik serologi untuk mengukur
antibodi spesifik terhadap antigen M. leprae masih belum
memuaskan, karena hanya bermakna pada penderita kelompok
multibasiler, hampir tidak berguna pada kelompok paucibasiler, dan
masih belum dapat meramalkan secara pasti kemungkinan sakit-
tidaknya orang-orang sehat yang seropositip.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan teknik menggunakan
enzim polimerase yang merupakan cara M. leprae yang sensitif,
spesifik dan cepat. PCR dikembangkan pentama kali oleh Mullis et
all (1991) merupakan cara invitro untuk memperbanyak DNA suatu
mikroorganisme dengan menggunakan enzim polimerase.
Kelebihan penggunaan teknik PCR adalah sensitivitas dan
spesifisitasnya yang tinggi sehingga mampu mendeteksi M. leprae
secara akurat dan dalam waktu yang cepat. Selain itu dengan PCR
dapat ditentukan penderita pausibasiler, orang sehat carrier dan
![Page 41: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/41.jpg)
sumber-sumber penularan lain seperti: alat-alat rumah tangga,
lantai, pakaian dan sebagainya. Kelemahan utama teknik PCR
adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan; kelemahan lain
adalah bahwa PCR tidak mampu membedakan M. leprae yang
hidup dan yang mati.
2.5 Penanggulangan Penyakit Kusta
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-
mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi
manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode
penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan
pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis,
rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang
merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan
masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga
metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan
tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan program pemberantasan
penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi penyakit kustra
menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang
dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :
1. Penemuan penderita secara dini.
2. Pengobatan penderita.
3. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
![Page 42: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/42.jpg)
4. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.
5. Rehabilitasi penderita kusta.
A. Penanggulangan Penyakit Kusta Melalui Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus
rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati
dan menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya cacat.
Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang
dilakukan masih berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan
penderita, yang tampaknya masih merupakan dua hal yang penting
meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Dilihat
dari sejarahnya pengobatan kusta telah melalui beberapa fase
perkembangan yaitu dari era pre sulfon sampai ditemukannya obat-
obat baru yang bersifat mikobakterisidal yang lebih efektif.
Sampai tahun 1950 belum ditemukan obat yang efektif untuk
menyembuhkan penyakit kusta, satu-satunya cara untuk menangani
penderita kusta adalah dengan mengisolasi penderita ketempat
penawatan khusus. Kemudian ditemukan dapson, yaitu obat anti
penyakit kusta yang pertama. Namun dalam dua dekade berikutnya,
ternyata dapson menjadi kurang efektif karena bakteri penyebab
kusta yaitu Mycobacterium leprae menjadi resisten, sehingga
pengobatan gagal dan penyakit akan kambuh lagi. Di-samping itu
pengobatan yang berlangsung lama sering meng-akibatkan
![Page 43: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/43.jpg)
penderita menjadi putus asa dan malas berobat. Pada tahun 1981
WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy (MDI),
yaitu pengobatan baku terhadap pasien dengan kusta multibasil dan
pasien dengan kusta paucibasil. Regimen ini diharapkan efektif,
dapat digunakan secara luas dan diterima oleh semua pasien;
sampai saat ini telah diterima se-bagai pengobatan standar untuk
penyakit kusta.
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada
1940an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun,
dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah
terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan
populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak
digunakan lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari
dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada
1960an dan 1970an. Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya
merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk
mengakali kekebalan bakteri.Terapi multiobat dan kombinasi tiga
obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO
pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga
obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah
kekebalan atau resistensi bakteri
![Page 44: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/44.jpg)
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk
masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan
Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan
sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan
masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1
kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan
strategi penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada
1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat
standar.Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk
kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang
kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan
rifampisin dan dapson.
![Page 45: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/45.jpg)
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta
secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan.
Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multiobat
masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan
pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah
tercantum pada kemasan obat.
Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit
turunan/kutukan.Tipe MB lama pengobatan : 12 - 18 bulan.Tipe PB
lama pengobatan : 6 - 9 bulanPengobatan Kusta dapat dilakukan
pada Puskesmas/Rumah Sakit/ UPK yang melakukan pengobatan
![Page 46: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/46.jpg)
kusta. Semua pengobatan kusta di Puskesmas/UPK/Rumah Sakit di
dapat secara gratis.
Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta
secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas
sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun sistem pengobatan yang
dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan
dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia.
Meskipun obat-obat baru ditemukan tampaknya memberi
harapan yang lebih cerah, namun karena masih dalam evaluasi uji
klinis maka regimen MDT masih dianjurkan dalam program
pemberantasan kusta di seluruh dunia termasuk di indonesia.
Program MDT
Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok
studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi
pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya
dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas
kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan klofasimin. Selain
untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi
ketidaktaatan penderita dan menurnkan angka putus-obat (drop out
rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping
itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman
kusta dalam jaringan.
![Page 47: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/47.jpg)
Obat dalam rejimen MDT-WHO
a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak
seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit
PABA. Resistensi terhadap
b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat
ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim.
Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang
berikatan secara ireversibel.
c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin
dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson.
Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal
oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek
antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta,
kekurangan obat ini adalah harganya mahal, serta menyebabkan
pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan
berobat penderita.
d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat
tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta.
Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita
kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison,
Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yarlg
![Page 48: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/48.jpg)
bersisik). Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai
dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From
Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan
dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT,
petugas kesehatan harus :
1. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran
tambahan RFT secara teliti.
Semua bercak masih nampak.
Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan
tangan.
Semua syaraf yang masih tebal.
Semua cacat yang masih ada.
2. Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka
penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil
skin semar).
3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar
dibuku register. Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita,
petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT,
yaitu :
Pengobatan telah selesai.
![Page 49: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/49.jpg)
Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar
janga sampai luka.
Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang
untuk periksaan ulang.
Obat kusta baru.
Dalam plekasanaan program MDT-WHO ada beberapa
masalah yang timbul yaitu adanya persister, resistensi rifampisin
dan lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Oleh karena itu
diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang
berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini.
Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain
bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak antagonis dengan
obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat
diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali
sehari. Beberapa macam obat baru yang telah berhasil diidentifikasi
untuk pengobatan penyakit kusta adalah derivat dan rifamisin,
antibiotik beta-lactam, aminoglikosid, kuinolon(8) (pefloxacin,
ofloxacin dan sparfioxacin) minosiklin, klarithromisin, serta
kombinasi antara ofloxacin dan rifamPisin. Diantara yang sudah
terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.
Ofloxacin Dan Rifampicin
![Page 50: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/50.jpg)
Pada tahun 1992 telah dilakukan percobaan obat dalam skala
besar yang dilaksanakan di tujuh negara yaitu: Brazil, Kenya, Mali,
Myanmar, Pakistan, Filipina dan Vietnam. Pengobatan ini diberikan
secara oral, yang merupakan gabungan antibiotik baru yaitu
ofloxacin dengan rifampisin. Dalam percobaan yang me-libatkan
4000 pasien tersebut, dibandingkan penggunaan regi-men baru
dengan regimen MDT standar, hasilnya dapat dilihat setelah 4
sampai 5 tahun kemudian. Kombinasi dengan obat ini ternyata
dapat memperpendek waktu penyembuhan menjadi 1 bulan
dibandingkan dengan standar pengobatan yang sudah ada yaitu 6
bulan sampai 4 tahun.
Cara kerja antibiotik ofloxacin ini adalah membunuh baksil
lepra dengan menghambat enzim yang mengontrol jalannya DNA
coils yang masuk ke dalam baksil. Ofloxacin menjadi alternatif
kedua setelah rifampisin karena kecepatan dan efikasi-nya dalam
membunuh baksil lepra yang telah dilakukan pada percobaan
dengan teknik foot pad pada mencit. Konsentrasi minimum
ofloxacin yang dibutuhkan untuk menghambat per-tumbuhan Myco
bacterium leprae adalah 50 mg/kg berat badan, sedangkan untuk
rifampisin dan rifabutin adalah 0.003% dan 0.00l%.
Penelitian saat ini ditekankan pada anggapan bahwa ofloxacin
dapat lebih membunuh baksil mutan yang resistan terhadap
rifampisin. Akan tetapi karena kombinasi rifampisin dan ofloxacin
![Page 51: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/51.jpg)
lebih mahal daripada dapson dan clofazimine, pengobatan baru
yang lamanya 4 minggu menjadi sama besar biayanya dengan
standar pengobatan yang 6 bulan atau 2 tahun. Namun dengan
penggunaan yang lebih luas maka biaya pengobatan dengan
ofloxacin dapat ditekan sehingga tujuan untuk eliminasi lepra pada
tahun 2000 dapat cepat tercapai.
Minosiklin
Di antara turunan tetrasiklin, monosiklin merupakan satu-satunya
yang aktif terhadap M.leprae. hal ini kemungkinan disebabkan oleh
sifat lipofiliknya sehingga menyebabkan ia mampu menembus
dinding sel M.leprae dibandingkan dengan turunan lain. Minosiklin
bekerja dengan menghambat sintesis prorein melalui mekenisme
yang berbeda dengan obat antikusta yang lain.
Klaritromisin
Dibandingkan obat lain golongan makrolid, klaritromisin
mempunyai aktivitas bakterisidal setara dengan ofloksasin dan
minosiklin. Obat ini juga bekerja dengan menghambat sintesis
protein melalui mekanisme yang lain daripada minosiklin.
B. Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi
a. Rehabilitasi Medik
![Page 52: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/52.jpg)
Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya cacat
pada penyakit kusta merupakan salah satu hal yang paling
penting ditakuti. Dari hasil penelitian pada bulan Maret 1996 di
RSK SITANALA, menunjukkan bahwa lebih dari 73% pasien
yang datang berobat di poliklinik telah disertai cacat kusta.
Walaupun dengan pengobatan yang benar dan teratur penyakit
kusta dapat disembuhkan, akan tetapi cacat yang telah timbul
atau mungkin yang akan timbul merupakan persoalan yang
cukup kompleks. Bila hal ini tidak ditangani secara benar, maka
akan berlanjut semakin parah serta berakhir fatal. Makin berat
keadaan suatu cacat, maka makin cepat pula keadaan memburuk.
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai
pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan
pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari
pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah
rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau
alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula
diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial
(rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap
kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara,
dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu
pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan.
Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu
kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.
![Page 53: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/53.jpg)
Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat
program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi.
Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk mendapat
hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu
dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar
penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk
pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai
secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan
mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan
terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :
1. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari
gangguan sensorik, paralisis, dan kontraktur.
2. Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
3. Kontrol nyeri.
4. Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah
perburukan keadaan penyakit.
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat
pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi
difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan
kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus
dilakukan oleh pasien adalah :
![Page 54: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/54.jpg)
a. Pemeliharaan kulit harian
1. cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan
sedikit sabun (jangan detergen)
2. Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin
3. kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa
agar kulit kering terlepas.
4. kulit digosok dengan minyak.
5. secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot,
nyeri, luka dan lain-lain)
b. Proteksi tangan dan kaki
1. Tangan :
- pakai sarung tangan waktu bekerja
- stop merokok
- jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung
- lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan
lembut
2. Kaki
![Page 55: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/55.jpg)
- selalu pakai alas kaki
- batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan
- meninggikan kaki bila berbaring
c. Latihan fisioterapi
Tujuan latihan adalah :
Cegah kontraktur
Peninkatan fungsi gerak
Peningkatan kekuatan otot
Peningkatan daya tahan (endurance)
1. latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-
jari menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan
orang lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5 – 10 kali per
hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat
ditingkatkan untuk mencegah kontraktur. Latihan lingkup
gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah
gerak.
2. Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga
otot sendiri
![Page 56: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/56.jpg)
3. Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian
belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan
tubuh mendekati tembok, sementara kaki tetap berpijak.
4. Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk
mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot,
dan daya tahan.
d. Bidai
Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan
tangan agar tidak terjadi deformitas. Bidai dipasang pada
anggiota gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai
dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf.
Dianjurkan memakai bidai yang ringan yang dipakai
sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup gerak
sendi.
e. Dapat di buat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang
terjadi.
f. Program terapi okupasi merupakan program yang sangat
penting untuk mempertahankan dan meningkatkan
kemampuan menolong diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang
harus diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya
![Page 57: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/57.jpg)
pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat
untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien.
1. latihan reedukasi motorik
- diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan latihan
peregangan.
- Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan
motorik tangan dan jari-jari, sekaligus melatih
koordinasi gerak dengan bagian ekstremitas yang sehat.
- Gerak terampil tangan dan jari
- Latihan posisi dan postur pasif dan aktif.
2. latihan reedukasi sensorik
- Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien,
dan menolong pasien untuk mencari alternatif lain untuk
meningkatkan sensibilitas sehingga kapasitas fungsional
juga meningkat
- Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar,
sampai halus, dingin dan hangat.
- Latihan pengenalan bentuk berbagai benda.
3. latihan aktivitas menolong diri
![Page 58: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/58.jpg)
4. latihan aktivitas rumah tangga
5. latihan aktivitas kerja
6. latihan daya tahan kerja
g. Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan
merupakan hal yang harus dilaksanakan. Bila ada masalah,
evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat
dijadikan titik tolak program terapi psikososial.
b. Rehabilitasi Nonmedik
Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian,
namun penyakit ini termasuk penyakit yang paling ditakuti
diseluruh dunia. Penyakit ini sering kali menyebabkan
permasalahan yang sangat kompleks bagi penderita kusta itu
sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada penyakit kusta ini
dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat fisik.
Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisk
yang menimbukan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang
berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal
tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah diobati dan
dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisinya cacat,
maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup
![Page 59: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/59.jpg)
penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh
masyarakat di sekitarnya.
Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali
tida dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta.
Akibatnya aka nada perubahan mendasar pada kepribadian dan
tingkah laku penderita. Ia akan selalu sedapat mungkin
menyembunyikan keadaannya sebagai seorang penderita kusta.
Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan,
sebaliknya kan memperbesar resiko timbulnya caca bagi
penderita itu sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta
harus diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali untuk
menghindari salah diagnosis, karena setiap kesalahan dalam
penegakkan diagnosis akan dapat menimbulkan beban psikis dan
dampak social yang tidak hanya dapat dialami oleh penderita itu
sendiri, tetapi juga terhadap keluargannya.
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih
menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri. Hal
ini disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi yang banyak
dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi
yang keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku
masyarakat yang negative terhadap penderita kusta seringkali
menyebabkan penderita kusta tidak mendapatkan tempat di
dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya.
![Page 60: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/60.jpg)
Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus
segera dimulai sedini mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan
kusta itu dimulai dan dilakukan secara terus menerus secara
paripurna sampai ia dapat mencapai kemandirian dan hidup
bermasyarakat seperti sediakala. Dengan kata lain tujuan akhir
rehabilitasi adalah resosialisasi penderita itu sendiri.
Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk
memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya
cacat fisik. Bila pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh
rehabilitasi mental, maka akan sulit dicapai partisipasi aktifdari
penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan secara tuntas
program pengobatan yang telah dianjurkan. Cacat psikososial ini
mulai dirasakan oleh penderitasejak saat ia dinyatakan menderita
penyakit kusta dan bila hal tersebut mulai diketahui oleh
keluarganya maupun oleh masyarakar di sekitarnya. Hal ini akan
bertambah berat bila ia merupakan tumpuan hidup dan sumber
nafkah bagi keluarganya. Dalam banyak hal ia dapat kehilangan
sumber penghasilannya dan memperburuk keadaannya beserta
keluarga.
Untuk mengindari terjadinya hal-hal tersebut, maka bila ada
keragu-raguan meskipun sedikit saja, sebaiknya segera merujuk
penderita kepada mereka yang dianggap lebih berpengalaman.
Setelah diagnosis kusta ditegakkan, maka pengobatan harus
![Page 61: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/61.jpg)
segera dimulai, disertai upaya rehabilitasi mental terhadap
penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya.
Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila
seseorang belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta atau
penyakitnyamasih diragukan. Komplikasi antara lain seperti
penyakit kusta, harus ditangani sedini mungkin dan secara
adekuat untuk mencegah terjadinya cacat kusta. Andaikata cacat
kusta te lah terjadi, maka upaya rehabilitasi untuk mencegah
berlanjutnya cacat harus segera dilakukan.
Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi
hasil pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis
menyatakan bahwa penyakit kusta dalam keadaan inaktif, maka
pengobatan tidak diperlukan lagi dan hanya dilakukan upaya-
upaya rehabilitasi. Pada penderita harus ditekankan bahwa obat-
obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat fisik yang telah ada,
supaya ia tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah
digariskan oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya
diberikan pada penderita kusta aktif, dengan atau tanpa cacat
kusta.
Rehabilitasi Mental
Seperti telah dijelaskan, setiap penderita yang
dinyatakan menderita penyakit kusta akan mengalami
![Page 62: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/62.jpg)
kegoncangan jiwa dan masing-masing mempunyai cara
sendiri untuk bereaksi terhadap keadaan ini. Ada yang segera
dapat menerima keadaan inidan segera mancari pertolongan
medis, adapula yang berusaha menolak kenyataan dengan
mencari pertolongan alternative termasuk berobat pada
dukun, tabib dan sebagainya. Dan adapula yang merasa
rendah diri mengalami depresi, menyendiri, menyembunyikan
dirinya karena malu, dan adapula yang berfikir untuk
melakukan tindakan bunuh diri.
Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh
ketakutan yang sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik
akibat penyakit ini. Suatu hal yang perlu kita sadari bahwa
tidak seorang sehatpun ingin mendapatkan cacat dalam
kehidupannya. Hal ini merupakan dasar bagi setiap petugas
kesehatan dalam melakukan penyuluhan kusta. dengan
menekankan bahwa sebenarnya penyakit kusta bila diobati
secara dini dan benar akan dapat mengurangi risiko terjadinya
cacat semaksimal mungkin. Penyuluhan kesehatan berupa
bimbingan mental, harus diupayakan sedini mungkin pada
setiap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya,
untuk memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat
menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderitadapat
segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar
![Page 63: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/63.jpg)
sampai dinyatakan sembuh secara medis. Informasi yang
perlu disampaikan antara lain sebagai berikut:
Tentang penyakit kusta dan pengobatannya
Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan
leprofobi
Masalah psikososial kusta
Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang
sering sekali timbul selama proses pengobatan
dan setelah pengobatan selesai
Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya
cacat tersebut.
Peran serta masyarakat pada penanggulangan
penyakit kusta.
Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.
Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya
rehabilitasi, berbagai upaya kesehatan
terhadap penyakit kusta.
Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan
kepada penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta
dimulai, secara sederhana dan mudah dimengerti oleh mereka.
Hanya dengan demikian kita dapat mengharapkan
keberhasilan penanggulangan penyakit kusta secara
paripurna.
![Page 64: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/64.jpg)
Petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun
paramedic harus dibekali dengan pengatahuan kusta yang
memadai supaya terampil dalam memberikan penyuluhan
kusta dengan baik dan bermanfaat. Bimbingan mental ini
harus didukung juga oleh partisipasi aktif dari pemuka
masyarakat dan pemuka agama pada setiap kesempatan yang
ada.
Tanpa dibekali informasi yang tepat tentang hal-hal
tersebut, maka penderita cenderung memnjadi bosan
menghadapi masa pengobatan yang panjang dan itu-itu saja,
sehingga ia akan berobat semaunya secara tidak teratur. Lebih
celaka lagi bila selama mmasa pengobatan timbul komplikasi
berupa neuritis atau reaksi yang memperburuk kondisi
tubuhnya, sehingga timbul pikiran negative untuk
menghentikan saja pengobatan yang telah berjalan dengan
baik dan mencari pertolongan pengobatan secara alternatif.
Ketidakteraturan berobat, dan menghilangnya penderita
tanpa melanjutkan pengobatannya menimbulkan banyak
masalah dalam keberhasilan upaya penanggulangan penyakit
kusta. Hal ini akan memperbesar risiko kecacatan dan
resistensi terhadap obat kusta. Dengan timbulnya cacat kusta,
upaya penanggulangan penyakit kusta akan menjadi
bertambah berat karena diperlukan rehabilitasi medis dan
![Page 65: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/65.jpg)
nonmedis yang lebih komleks dan biaya yang lebih besar. Hal
ini akan menjadi beban bagi Negara dan bangsa.
Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya
rehabilitasi ini berhasil dilakukan, tetapi dengan adanya
stigma dan leprofobi akan timbul banyak kendala dalam
memasyarakatkan kembali penderita dan bekas penderita
kusta. Tetapi, dengan memberikan informasi yang benar
tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian yang
baik, maka stigma dan leprofobi dapat dikurangi dan ditekan
hingga seminimal mungkin.
Dengan demikian penyakit kusta dapat dianggap sama
seperti penyakit menular lainnya dan penderita kusta dapat
diterima dan diperlakukan secara wajar oleh masyarakat
dengan hak yang sama seperti orang sehat yang lain.
Rehabilitasi Karya
Tidak semua penderita kusta bila sembuh data kmbali
bekerja pada pekerjaan semula, apalagi bila pekerja terlanjur
mengalam cacat fisik. Walaupun telah diupayakan rehabilitasi
medis dan dinyatakan sembuh dari penyaitnya, mantan
enderita tidak data melaukan pekerjaan yang sama seperti
sedia lkala. Dalam banyak hal adanya stigma atau leprofobia
akan menyebabkan penderita (mantan) kerap kali menghadapi
![Page 66: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/66.jpg)
kebdala social, sehungga perl u mengganti jenis pekerjaan
untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan
keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar atau
dan plantar menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari.
Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita
yang sudah erlanjur cacat dapat kembali melakukan pekerjaan
yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru
sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman
bekerja sebelumnya. Disampng itu penempatan di tempat
kerja yang aman dan tepat akan mengurangi risiko
berlanjutnya cacat pada penderita kusta.
Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social
ekonomi pernderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita
sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya.
Rehabilitasi social bukanlah bantuan sosia yang harus
diberikan secara terus menerus, melaikan upaya yang
bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini
dapat berupa :
1. Memberikan bimbingan social.
2. Memberikan peralatan kerja.
![Page 67: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/67.jpg)
3. Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi
roda atau tongkat jalan.
4. Memberikan bantuan penempatan kerja yang
lebih sesuai dengan keadaan cacatnya.
5. Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha
mereka
6. Membantu pemasaran hasil-hasil usaha
mereka.
7. Memberi bantuan kebutuhan pokok, misalnya
pangan, sandang, papan, jaminan kesehatan,
dan sebagainya.
8. Memberikan permodalan bagi usaha
wiraswasta.
9. Member bantuan pemulangan ke daerah asal.
10. Memberikan bimbingan mental/spiritual.
11. Memberikan pelatihan ketrampilan/magang
kerja dan sebagainya.
Dari segala upaya tersebut , sangat diharapkan
peran serta masyarakat dalam menunjang
keberhasilan resosiaisasi mereka. Semua akan
dapat terlaksana dengan baik apabila stigma dan
leprofobi dapat ditekan hingga seminimal mungkin.
Dengan demikian kehadiran mereka dapatditerima
![Page 68: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/68.jpg)
oleh masyarakat, hasil karya dan usaha mereka
mau dibeli serta dipakai oleh masyarakat. Tanpa
partisipasi, maka segala usaha tersebut tidak akan
berhasil.
2.7 Upaya Pencegahan Penyakit Kusta
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari
hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh
bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan
dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah
amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan
dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan
kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat
secara teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan
salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar
tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat
sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia
tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi
dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan
hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada beberapa obat
yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat
menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada
obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk
diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta
![Page 69: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/69.jpg)
memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan
kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran
bahwa :
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena
kusta
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6
bulan secara teratur
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah yang kami buat,
dapat di simpulkan sebagai berikut :
1. Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi,
kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang
mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
![Page 70: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/70.jpg)
2. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003 menunjukkan India
sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil
dan Myanmar.
3. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan
penyakit kusta. Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jatim
menyandang beban sebagai daerah rawan ini bersama Irian Jaya
bagian barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT,
NTB, Aceh, dan DKI Jakarta.
4. Penderita penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi Tenggara
sebanyak 267 penderita sedangkan pada tahun 2006 sebanuyak 264
penderita tersebar di semua kabupaten yaitu kabupaten konawe 21,
kabupaten muna 26 penderita, kabupaten kolaka sebanyak 41
penderita, kabupaten buton sebanyak 48 penderita, kota kendari
sebanyak 32 pendeita, kota Bau-bau sebanyak 45 penderita,
kabupaten Konawe Selatan sebanyak 5 penderita, Kab.Bombana
sebanyak 19 penderita.
5. Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai
dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan
Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan
imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di
klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe
![Page 71: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/71.jpg)
borderline tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe
borderline lepromatosa, tipe lepromatosa (LL)
6. Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari
tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya
akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail,
agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu :
Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama
semakin melebar dan banyak.
Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,
aulicularis magnus seryta peroneus.
Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar
pada kulit
Alis rambut rontok
Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina
(muka singa)
![Page 72: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/72.jpg)
7. Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana
microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang
merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 –
8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA)
atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh
karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”.
8. Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui
berperan sebagai reservoir.
9. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi
basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung.
Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernapasan dan kulit.
10. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,
berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi
maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Secara umum, telah
disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5
tahun.
![Page 73: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/73.jpg)
11. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda
kardinal (tanda utama), yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan
saraf tepi, ditemukannya kuman tahan asam. Diagnosa kusta dan
klasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi :
a. Klinis
b. Bakteriologis
c. Immunologis
d. Hispatologis
12. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan
dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi
medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode
pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi,
dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada
kelompok tersendiri..
13. Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok
studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi
pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya
dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas
kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan klofasimin.
![Page 74: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/74.jpg)
14. Dalam plekasanaan program MDT-WHO ada beberapa masalah
yang timbul yaitu adanya persister, resistensi rifampisin dan
lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Oleh karena itu
diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang
berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini.
Beberapa macam obat baru yang telah berhasil diidentifikasi untuk
pengobatan penyakit kusta adalah derivat dan rifamisin, antibiotik
beta-lactam, aminoglikosid, kuinolon(8) (pefloxacin, ofloxacin dan
sparfioxacin) minosiklin, klarithromisin, serta kombinasi antara
ofloxacin dan rifamPisin. Diantara yang sudah terbukti efektif
adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.
15. Rehabilitasi medik berupa pemeliharaan kulit harian, proteksi
tangan dan kaki, latihan fisioterapi, bidai, dapat di buat sepatu
khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi, program terapi
okupasi merupakan program yang sangat penting untuk
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong diri,
dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal
yang harus dilaksanakan.
16. Rehabilitasi nonmedik terdiri dari rehabilitasi mental, rehabilitasi
karya, rehabilitasi sosial.
17. Penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan
berisikan pengajaran bahwa :
![Page 75: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/75.jpg)
Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin
terkena kusta
Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira
6 bulan secara teratur.
3.2 Saran
Berdasarkan fenomena dari makalah di atas, beberapa saran
yang dapat kami berikan sebagai berikut :
1. Agar pemerintah lebih meningkatkan upaya penyuluhan mengenai
penyakit menular khususnya penyakit kusta.
2. Agar tugas pembuatan makalah seperti ini lebih sering diberikan
agar dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta.
Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta.
Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.
![Page 76: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/76.jpg)
Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.
Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit.
Puspa Swara. Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kusta
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/03/21/brk,20050321-09,id.html
http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=114
http://htaanet.50megs.com/pendidikan.htm
http://kormonev.menpan.go.id/ebhtml/joomla/index.php?option=com_content&task=view&id=345&Itemid=2
http://spiritia.or.id/news/bacanews.php?nwno=0020
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06EliminasiPenyakitKustapadaTahun2000.pdf/06EliminasiPenyakitKustapadaTahun2000.html
http://www.jatim.go.id/news.php?id=15679
http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/12/tgl/01/time/165726/idnews/490378/idkanal/10
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=314&Itemid=2
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=2&id=106064&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=190
![Page 77: BAB I kusta](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022062221/55cf992f550346d0339c0fed/html5/thumbnails/77.jpg)
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/01/18/0060.html
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06EliminasiPenyakitKustapadaTahun2000.pdf/06EliminasiPenyakitKustapadaTahun2000.html