BAB I kusta

118
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang

Transcript of BAB I kusta

Page 1: BAB I kusta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi

yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara

primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa

mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot,

tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan

sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi

dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa

menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di

negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya

adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat

keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan

pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan,

kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan

penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat,

disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang

ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.

Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia

Tenggara, dengan angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini

disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk, misalnya imigrasi,

Page 2: BAB I kusta

pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO

pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly

Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun

2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun

sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan

lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta

bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang

sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar.

Penemuan secara global terhadap kasus baru menunjukkan penurunan.

Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun 1961 jumlah

penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita 3,2

juta dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak

ditemykan di Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang

tercatat lebih dari 5.000 kasus.

Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697 penderita

baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak

(10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716

kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB

(76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423

kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun

2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan

penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada

tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru

Page 3: BAB I kusta

adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4

kasus pada tahun 2002.

Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam

merupakan permasalahan yang sangat kompleks bukan hanya dari segi

medis tetapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi, budaya dan

ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya

menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut

akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan

negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan

penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada

kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di

lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi

sosial berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta lebih kecil

daripada sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan

angka kejadian penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak

diketahui. Melihat besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu

dilakukan suatu langkah penanggulangan penyakit tersebut. Program

pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya

penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta

mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi

menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud

bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial

ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.

Page 4: BAB I kusta

Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami mengangkat

masalah upaya penanggulangan penyakit kusta sebagai judul makalah

dengan harapan dapat lebih memahami penyakit kusta dan

penanggulangannya.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini kami mengangkat beberapa permasalahan

yang terkait dengan Penanggulangan penyakit kusta, yaitu sebagai

berikut :

1.Bagaimana gambaran umum penyakit kusta ?

2.Apa saja bentuk-bentuk dan gejala penyakit kusta ?

3.Bagaimana transimi penularan penyakit kusta ?

4.Bagaimana penegakan diagnosis penyakit kusta ?

5.Bagaimana penanggulangan penyakit kusta ?

6.Bagaimana upaya pencegahan penyakit kusta ?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan

dalam memahami upaya penanggulangan penyakit kusta, yakni

sebagai berikut :

Page 5: BAB I kusta

1. Untuk mengetahui gambaran umum penyakit kusta yang meliputi

definisi , sejarah dan epidemiologi penyakit kusta ?

2.Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk dan gejala penyakit

kusta ?

3.Untuk mengetahui bagaimana transimi penularan penyakit kusta ?

4.Untuk mengetahui penegakan diagnosis penyakit kusta ?

5.Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan penyakit kusta ?

6.Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan penyakit kusta ?

1.4 Manfaat Penulisan Makalah

Melalui penulisan makalah yang mengangkat masalah upaya

penanggulangan penyakit kusta diharapkan dapat memberikan

berbagai manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat

2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah agar lebih

mengoptimalkan upaya penanggulangan penyakit kusta melalu

kerjasama lintas sektoral.

3. Sebagai sumber pengetahuan bagi mahasiswa, khususnya

mahasiswa kesehatan masyarakat agar dapat mengetahui aspek-

aspek penting mengenai upaya penanggulangan penyakit kusta

Page 6: BAB I kusta

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Penyakit Kusta

A. Definisi Penyakit Kusta

Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha

berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta

disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang

menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada

tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.

Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah

tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari

saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa

diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,

menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan

mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak

menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti

pada penyakit tzaraath, yang digambarkan dan sering disamakan

dengan kusta.

Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf

tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang

Page 7: BAB I kusta

mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat

berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat

infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin

beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan

infeksi sewaktu masa knak-kanak. Tanda-tanda seseorang

menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih,

merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada

anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena

kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak.

Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita

luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka

ditekan dengan jari tidak terasa sakit.

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang

tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti

tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi

yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang

dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta

dua kali lebih tinggi dari wanita.

B. Sejarah

Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan

telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan

India. Pada 1995, Penyakit kusta atau lepra menjadi salah satu

penyakit tertua yang hingga kini awet bertahan di dunia. Dari

Page 8: BAB I kusta

catatan yang ditemukan di India, penderita kusta sudah ditemukan

sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Dalam buku City of Joy (Negeri

Bahagia) karya Dominique, mantan reporter untuk sejumlah

penerbitan di Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-an, kusta

menjadi penyakit yang 'populer' dan menjadi bagian dari kehidupan

miskin di Calcutta, India. Namun, kuman penyebab kusta kali

pertama baru ditemukan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen di

Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering disebut penyakit

Hansen. Saat ini penyakit kusta banyak terdapat di Benua Afrika,

Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.

Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat

kita bagi dalam 3 (tiga) zaman yaitu zaman purbakala, zaman

pertengahan dan zaman moderen. Pada zaman purbakala karena

belum ditemukan obat yang sesuai untuk pengobatan penderita

kusta, maka penderita tersebut telah terjadi pengasingan secara

spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu, disamping

itu masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik. Pada zaman

pertengan penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa

tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta seumur

hidup.

1. Zaman Purbakala.

Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat

diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400

Page 9: BAB I kusta

SM, istilah kusta yang sudah dikenal didalam kitab Weda, di

Tiongkok 600 SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman

purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan

penderita merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat

menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.

2. Zaman Pertengahan.

Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan

ketatanegaraan dan system feodal yang berlaku di Eropa

mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap

penguasa dan hak azasi manusia tidak mendapat perhatian.

Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang umumnya

merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab penyakit dan

obat-obatan belum ditemukan maka penderita kusta diasingkan

lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/Koloni

Perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.

3. Zaman Modern.

Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen

pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk

mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya.

Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada

akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya.

Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap

Page 10: BAB I kusta

menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal

ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal

1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.

Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori

perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara

isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan.

Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :

a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan

penderita kusta.

b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai

diintegrasikan di puskesmas.

c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat

Kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan

rekomendasi WHO.

C. Epidemiologi Penyakit Kusta

a. Epidemiologi Secara Global

Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian

besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan

adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa

menyerang di mana saja.

Page 11: BAB I kusta

Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan

menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003

menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita

terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Pada 1999, insidensi

penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada 2000,

738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di

Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara

yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India,

Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di

seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus

kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania

dan Nepal.

Tabel 1: Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus baru pada 2001-2005, tidak termasuk di Eropa

Daerah

Prevalensi terdaftar

(rate/10,000 pop.)

Kasus baru yang ditemukan pada tahun

Awal 2006 2001 2002 2003 2004 2005Afrika 40.830 (0.56) 39.612 48.248 47.006 46.918 42.814Amerika 32.904 (0.39) 42.830 39.939 52.435 52.662 41.780Asia Tenggara 133.422 (0.81) 668.658 520.632 405.147 298.603 201.635Mediterania Timur

4.024 (0.09) 4.758 4.665 3.940 3.392 3.133

Pasifik Barat 8.646 (0.05) 7.404 7.154 6.190 6.216 7.137Total 219.826 763.262 620.638 514.718 407.791 296.499

Situasi global

Tabel 1 menunjukkan penemuan kasus secara global menurun sejak 2001.

Tabel 2: Prevalensi dan PenemuanNegara Prevalensi terdaftar

(rate/10,000 pop.)

Penemuan kasus baru

(rate/100,000 pop.)Awal Awal Awal Selama Selama Selama

Page 12: BAB I kusta

2004 2005 2006 2003 2004 2005

Brasil

79.908 (4.6)

30.693 (1.7)

27.313 (1.5)

49.206 (28.6)

49.384 (26.9)

38.410 (20.6)

Republik Demokratik Kongo

6.891 (1.3)

10.530 (1.9)

9.785 (1.7)

7.165 (13.5)

11.781 (21.1)

10.737 (18.7)

Madagaskar

5.514 (3.4)

4.610 (2.5)

2.094 (1.1)

5.104 (31.1)

3.710 (20.5)

2.709 (14.6)

Mozambik

6.810 (3.4)

4.692 (2.4)

4.889 (2.5)

5.907 (29.4)

4.266 (22.0)

5.371 (27.1)

Nepal

7.549 (3.1)

4.699 (1.8)

4.921 (1.8)

8.046 (32.9)

6.958 (26.2)

6.150 (22.7)

Tanzania

5.420 (1.6)

4.777 (1.3)

4.190 (1.1)

5.279 (15.4)

5.190 (13.8)

4.237 (11.1)

Total 112.092 60.001 53.192 80.707 81.289 67.614

Tabel 2 menunjukkan situasi kusta pada enam negara utama.

Sebagaimana yang dlaporkan oleh WHO pada 115 negara

dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological

Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah

219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya

adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih

tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta

bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun

yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi

terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru

menunjukkan penurunan.

b. Epidemiologi Kusta di Indonesia

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah

yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan

penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan,

Page 13: BAB I kusta

perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan

pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia

diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara

isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada

abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang

datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan

berdagang.

Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta

terdaftar di Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita

kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara

di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang

ditetapkan oleh WHO yaitu tahun 2000.

Prevalensi Penderita Kusta

Pada akhir tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar

17.539 kasus yang mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini

menurun menjadi 17.137 kasus pada desember 2001, akan tetapi

terjadi peningkatan pada tahun 2002 menjadi 19.100 kasus.

Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk menurun dari 0,99

menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi menjadi

0,92.

Pada tahun 2001, PR di tingkat propinsi mempunyai

variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi di

Page 14: BAB I kusta

Propinsi Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 PR terendah

di propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara

(6,72). Dari gambaran prevalendi di propinsi, terlihat bahwa

kebanyakan propinsi yang belum dapat mencapai eliminasi

terletak di Kawasan Indonesia Timur dan daerah yang sering

terjadi konflik.

Angka Penemuan Penderita Baru

Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru.

Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak

(10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan

14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132

penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah

penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001

dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.

Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000

adalah7,22 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2001

turun manjadi 6,91 dan naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per

100.000 penduduk. Di tingkat propinsi pada tahun 2001 angka

penemuan tertinggi terdapat di Propinsi Papua (49,65) dan

terendah di propinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun

2002 tertinggi dopropinsi papua (39,55) dan terendah di Propinsi

Bengkulu (0,250. Cakupan penderita dengan MDT 100%,

Page 15: BAB I kusta

sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta

sebanyak 4900 dengan angka kesembuhan lebih dari 90%

Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak

menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001

dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit

menemukan kasusu baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu

8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. Indonesia

memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta.

Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jatim menyandang beban

sebagai daerah rawan ini bersama Irian Jaya bagian barat, Papua,

Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat,

Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan

DKI Jakarta.

c. Epidemiologi Kusta Di Sulawesi Tenggara

Penderita penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi

Tenggara sebanyak 267 penderita sedangkan pada tahun 2006

sebanuyak 264 penderita tersebar di semua kabupaten yaitu

kabupaten konawe 21, kabupaten muna 26 penderita, kabupaten

kolaka sebanyak 41 penderita, kabupaten buton sebanyak 48

penderita, kota kendari sebanyak 32 pendeita, kota Bau-bau

sebanyak 45 penderita, kabupaten Konawe Selatan sebanyak 5

penderita, Kab.Bombana sebanyak 19 penderita. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Page 16: BAB I kusta

No Kabupaten/Kota Penderita Jml Penduduk Prevalensi/10.000 pnddk

PB MB Total

1. Konawe 1 20 21 255.283 1

2. Muna 2 24 26 296.003 1

3. Kolaka 2 40 41 264.149 2

4. Buton 11 37 48 270.100 2

5. Kota Kendari 2 30 32 227.190 1

6. Kota Bau-bau 4 41 45 121.416 4

7. Konawe Selatan

1 4 5 226.734 0

8. Bombana 5 14 19 106.181 2

9. Kolaka Utara 4 9 13 96.784 1

10

Wakatobi 0 14 14 95.574 1

Jumlah 31 233 264 1.959.414 1,3Sumber :seksi Penyakit Menular Langsung (PML) subdin P2 Dinkes Prov. Sultra Tahun 2006

2.2 Bentuk-bentuk dan Gejala Penyakit Kusta

A. Klasifikasi Penyakit Kusta

1. Tujuan klasifikasi

Untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosus dan

komplikasi

Untuk perencanaan operasional, misalnya menemukan

pasien-pasien yang menular yang mempunyai nilai

epidemiologis tinggi sebagai target utama pengobatan.

Page 17: BAB I kusta

Untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan

menderita cacat.

2. Jenis klasifikasi yang umum

A. Klasifikasi Internasional (1953)

Indeterminate (I)

Tuberkuloid (T)

Borderline-Dimorphous (B)

Lepromatosa (L)

B. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling

(1962)

Tuberkoloid (TT)

Boderline tubercoloid (BT)

Mid-berderline (BB)

Borderline lepromatous (BL)

Lepromatosa (LL)

C. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi

WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)

Page 18: BAB I kusta

Pausibasilar (PB)

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA

negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan

T menurut klasifikasi Madrid.

Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut

kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid

dan semua tipe kusta dengan BTA positif.

Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus

diklasifikasikan sebagai berikut :

1. bila pada mulanya didiagnosis tepe MB, tetapi diobati sebagai

MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini.

2. bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru

berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.

Tabel 1. perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO

PB MB

1. Lesi kulit

(makula yang

datar, papul

yang

1-5 lesi

Hipopigmentasi/eritema

> 5 lesi

Distribusi

lebih

Page 19: BAB I kusta

meninggi,infiltr

at, plak eritem,

nodus)

2. kerusakan

saraf(menyebab

kan hilangnya

senasasi/kelema

han otot yang

dipersarafi oleh

saraf yang

terkena)

Distribusi tidak simetris

Hilangnya sensasi yang

jelas

Hanya satu cabang saraf

simetris

Hilangnya

sensasi

kurang jelas

Banyak

cabang saraf

** Semua pasien dengan BTA positif, apapun klasifikasi klinisnya diobati dengan MDT-MB

Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang

yang akan menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia

mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya

dalam spektrum penyakit kusta.

Karakteristik Tuberkuloid

(TT)

Borderline

tuberculoid

(BT)

Indeterminate

(I)

Lesi

Tipe

Makula dibatasi

infiltrat

Satu atau

Makula dibatasi

infiltrat saja

Satu dengan

Makula

Satu atau

Page 20: BAB I kusta

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Sensibilitas

BTA

Pada lesi kulit

Tes lepromin

beberapa

Terlokalisasi &

asimetris

Kering, skuama

Hilang

Negatif

Positif kuat

(3+)

lesi satelit

Asimetris

Kering, skuama

Hilang

Negatif atau 1

+

Positif (2 +)

beberapa

Bervariasi

Dapat halus

agak berkilat

Agak terganggu

Biasanya

negatif

Meragukan (1

+)

Tabel 2. gambaran klinis tipe PB

Karakteristik Lepromatosa

(LL)

Borderline

lepromatosa

(BL)

Mid-borderline

(BB)

Lesi

Tipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Makula,

infiltrat difus,

papul, nodus

Banyak,

distribusi luas,

praktis tidak

ada kulit sehat

Makula, plak,

papul

Banyak, tapi

kulit sehat

masih ada

Cenderung

Plak, lesi

berbntuk

kubah, lesi

punched-out

Beberapa, kulit

sehat (+)

Page 21: BAB I kusta

Sensibilitas

BTA

Pada lesi kulit

Pada hembusan

hidung

Tes lepromin

simetris

Kering, skuama

Halus dan

berkilap

Todak

terganggu

Banyak (globi)

Banyak (globi)

negatif

simetris

Halus dan

berkilap

Sedikit

berkurang

Banyak

Biasanya tidak

ada

negatif

asimetris

sedikit berkilap,

beberapa lesi

kering

berkurang

agak banyak

tidak ada

biasanya

negatif, dapat

juga (±)

Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB

Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien

mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun

klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah

klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan

penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis,

bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini

juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.

1.Tipe tuberkoloid (TT)

Page 22: BAB I kusta

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu

atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan

pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral

healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi

bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata.

Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,

kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid

dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons

imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2.Tipe borderline tubercoloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula

atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi

dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,

kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya

gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya

asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer

yang menebal.

3.Tipe mid borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam

spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan

bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif.

Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan

Page 23: BAB I kusta

jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Leso

sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya.

Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4.Tipe borderline lepromatosa

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya

dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan.

Makula lebih jekas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun

masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang

hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada

bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir

dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan

beberapa plak tampak seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan

saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya

keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan

dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat

predileksi.

5. Tipe lepromatosa (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih

eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini

tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni

di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang

dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung

Page 24: BAB I kusta

tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium

lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga

menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies

leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih

lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai

pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi

atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala

stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif,

muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat

dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer

mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan

anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam

klasifikasi Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para

ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula

hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal.

Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau

muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau

sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan,

bila dengan pemeriksaan histopatologik.

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari

tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya

Page 25: BAB I kusta

akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail,

agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu:

Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia

Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-

lama semakin melebar dan banyak.

Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,

aulicularis magnus seryta peroneus.

Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan

mengkilat.

Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar

pada kulit

Alis rambut rontok

Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina

(muka singa)

Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi :

Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.

Anoreksia.

Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.

Page 26: BAB I kusta

Cephalgia.

Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.

Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan

hepatospleenomegali.

Neuritis.

Jenis

MultibacillaryTompok putih-kemerahan yang merebak di seluruh kulit badanTanda-tanda awal dari jenis ini sering terjadi pada cuping telinga

dan mukaKusta jenis ini boleh berjangkit

2.3 Transmisi Penularan Penyakit Kusta

A. Organisme Penyebab

Penyakit Kusta

Jenis PaucibacillaryTerdapat satu atau beberapa tompok yang mati rasa (kebas) atau tompok-tompok merah yang tidak gatal.Penyakit kusta ini tidak berjangkit, tetapi bila lambat diubati akan menimbulkan kecacatan.

Page 27: BAB I kusta

Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae.

Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk

spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang

merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 –

8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang

tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA)

atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan

tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh

karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak

membentuk safrifit, terdapat juga golongan organisme patogen

(misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium leprae)

yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi

jenis granuloma infeksion. M. leprae belum dapat dikultur pada

laboratorium. Kuman Mycobacterium Leprae menular kepada

manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui

pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari

dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima

tahun, tandatanda seseorang menderita penyakit kusta mulai

muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa

kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi

sebagaimana mestinya.

B. Patogenesis

Page 28: BAB I kusta

Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum

diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan

bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh

yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae

terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,

kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu

regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan

nontoksis.

M.leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama

terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial

pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman

M.leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi

mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel

mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas

selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan

kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang

kemudian dapat merusak jaringan.

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular

tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman.

Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan

berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-

kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak

Page 29: BAB I kusta

segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid

akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.

Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan

M.lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi

dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi

gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat

bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf

berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.

C. Reservoir

Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang

diketahui berperan sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas

binatang armadillo liar diketahui secara alamiah dapat menderita

penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang

dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi

penularan dari armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara

alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang

ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.

D. Cara penularan

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui

dengan jelas penularan di dalam rumah tangga dan

kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat

Page 30: BAB I kusta

berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui

lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak

diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir

hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa

dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinann

masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang

terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun,

penularannya diduga melalui plasenta.

Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia

diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan

bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme

di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan

bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.

Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam

di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa

mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam

penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae

yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta

lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa

organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.

Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada

1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta

lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000

bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien

Page 31: BAB I kusta

lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung

mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari

pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per

hari.

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih

merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman

kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi

ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:

a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung

penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x

24 jam.

b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus

dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik

mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama

dan berulang-ulang.

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi

basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung.

Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli

berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran

pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang

tidak mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa

faktor antara lain :

Page 32: BAB I kusta

a. Faktor sumber penularan

Adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler ini pun

tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur.

b. Faktor kuman kusta

Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari

tergantung pada suhu dan cuaca dan diketahui kuman kusta yang

utuh yang dapat menimbulkan penularan.

c. Faktor daya tahan tubuh

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari

hasil penelitian menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100

orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang

sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum

lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua orang

yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan

diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui

penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di

keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi

tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor

ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.

E. Masa inkubasi

Page 33: BAB I kusta

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan.

Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa

inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,

berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi

maksimum dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan

berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah

terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah

non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta

tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.

Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia

3 tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-

anak dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan.

Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari

kusta adalah 3-5 tahun.

F. Kerentanan dan kekebalan

Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung

pada kemampuan tubuh untuk membentuk “cell mediated“

kekebalan secara efektif. Tes lepromin adalah prosedur penyuntikan

M. Leprae yang telah mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi

dalam 28 hari setelah penyuntikan disebut dengan reaksi Mitsuda.

Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis lepromatosa dan positif

pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal. Karena tes

ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai

Page 34: BAB I kusta

pertanda adanya imunitas. Komite Ahli Kusta di WHO

menganjurkan agar penggunaan tes lepromin terbatas hanya untuk

tujuan penelitian. Angka hasil tes yang positif akan meningkat

seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai tambahan tingginya

prevalensi transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. leprae

dan terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara

orang yang kontak dengan penderita kusta menandakan bahwa

penularan sudah sering terjadi walaupun hanya sebagian kecil saja

dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit kusta. Pola

klinis penyakit ini ditentukan oleh respons imunitas yang

diperantarai sel (cell-mediated imunity) host terhadap organisme.

Bila respons imunitasnya baik, maka timbul lepra tuberkuloid,

dimana kulit dan saraf-saraf perifer terkena. Lesi kulit berbentuk

tunggal. Atau hanya beberapa, dan berbatas tegas. Bentuknya

verupa makula atau plak dengan hipopigmentasi pada kulit yang

gelap. Terdapat anestesi pada lesi, hilangnya keringat, dan

berkurangnya jumlah rambut. Penebalan cabang-cabang saraf kulit

dapat diraba pada daerah lesi tersebut, dan saraf perifer yang besar

juga dapat diraba. Tes lepromin positif kuat. Gambaran histologis

berupa granuloma tuberkoloid yang jelas, dan tidak ditemukan

adanya basil pada pewarnaan Ziehl-Nielsen yang dimodifikasi. Bila

respons imunitas selulernya rendah, maka multiplikasi kuman

menjadi tak terkendali dan timbul bentuk lepralepromatosa. Kuman

menyebar tidak hanya pada kulit, tetapi juga mukosa saluran

Page 35: BAB I kusta

respirasi, mata, testis, dan tulang. Lesi kulit berbentuk multipel dan

nodular. Tes lepromin negatif. Pada pemeriksaan histologi berupa

granuloma yang difus pada dermis, dan ditemukan basil dalam

jumlah yang banyak.

Di antara kedua bentuk lepra yang ekstrem tadi, terdapat

spektrum penyakit ini yang disebut dengan lepra borderline, di

mana gambaran klinis dan histrologisnya menggambarkan berbagai

derajat respons imunitas seluler terhadap kuman. Tidak ada tes

diagnostik lepra yang absolut, yaitu diagnosis yang berdasrakan

pada gambaran klinis dan histologis. Lepra tuberkoloid biasa

diobati dengan kombinasi dapson dan rifampisin selama 6 bulan,

sementara lepra lepromatosa dapat diobati dengan dapson,

rifampisin dan klofazimin paling tidak selama 24 bulan.

Pengobatan lepra mungkin dipersulit dengan adanya reaksi kusta

yang dipengaruhi oleh imunitas, dan harus diamati oleh seseorang

yang berpengalaman dalam hal penanganan lepra.

2.4 Diagnosa Penyakit Kusta

Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan

banyak penyakit lain. Sebaliknya banyak penyakit lain dapat

menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena

itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara

tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit yang lain agar

Page 36: BAB I kusta

tidak membuat kesalahan yang merugikan pasien. Diagnosis penyakit

kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama), yaitu :

1.Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula)

atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau

sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.

2. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa

gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu :

a. gangguan fungsi sensoris : mati rasa

b. gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis

c. gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema,

pertumbuhan rambut yang terganggu.

3. Ditemukannya kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi

kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari

biopsi kulit dan saraf. Untuk menegakkan diagnosis ppenyakit

kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak

atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan

Page 37: BAB I kusta

tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang

setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau

disingkirkan.

Untuk menetapkan diagnosa kusta perlu dicari tanda-tanda pokok

pada badan yaitu :

a. Adanya kelainan kulit dapat berupa hipopigmentasi (seperti

panu), bercak-eritem (kemerah-merahan), infiltrasi (penebalan

kulit), nodul (benjolan).

b. Berkurang sampai hilang rasa pada kelainan kulit tersebut di atas.

c. Penebalan syaraf tepi.

d. Adanya kuman tahan asam didalam korekan jaringan kulit (BTA

Positif).

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bila mana

terdapat sekurang-kurangnya 2 dari tanda-tanda pokok yang

ditemukan atau bila terdapat BTA Positif. Dan bila ragu-ragu orang

tersebut diangap sebagai suspek dan diperiksa ulang setiap tiga

bulan sampai diagnosa kusta atau penyakit lain dapat ditegakkan.

Menyatakan (mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta

menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga

atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada keraguan-raguan sedikit

Page 38: BAB I kusta

saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah pengamatan

hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa

penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi

harus dilihat secara menyeluruh dari segi :

a. Klinis

b. Bakteriologis

c. Immunologis

d. Hispatologis

Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan

anamnese dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas

memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis.

Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung

bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis

pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi

kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis

yang khas. Tes-tes serologik bukan treponema untuk sifilis sering

menghasilkan positif palsu pada lepra.

Diagnosa klinis juga dapat ditegakkan dengan melakukan

pemeriksaan kulit secara lengkap dengan menemukan tanda-tanda

terserangnya syaraf tepi berupa gejala hipestasia, anesthesia,

paralysis pada otot dan ulkus tropikum. Untuk mengetahui apakah

Page 39: BAB I kusta

terjadi pembesaran dan pengerasan syaraf tepi, dilakukan palpasi

bilateral, untuk n. ulnaris dilakukan pada bahu dan untuk n.

peronealis pada caput bibulae. Begitu pula dilakukan pemeriksaan

terhadap n. auricularis major. Dilakukan tes terhadap sensasi kulit

dengan rabaan halus, ditusuk dengan jarum pentul, diskriminasi

suhu. Untuk diagnosa banding harus dibedakan dengan penyakit

lain yang menimbulkan penyakit kulit yang infiltratif seperti

limfoma, lupus eritomatosa, psoriasis, skleroderma dan

neurofibromatosis. Leishmaniasis difosa, infeksi jamur pada kulit,

myxedema, kulit pachydernoperiostosis, gejala klinisnya dapat

mirip dengan kusta tipe lepromatosa, namun tidak ditemukan

bakteri tahan asam. Sedangkan karena kekurangan gizi, nevus dan

jaringan parut pada kulit dapat mirip dengan kusta tipe tuberkuloid.

Diagnossa kusta tipe lepromatosa (multibaciller) ditegakkan

dengan ditemukannya bakteri tahan asam pada sediaan yang

diambil dengan melakukan incisi pada kulit. Pada kusta tipe

tuberkuloid (paucibaciller) jumlah basil kemungkinan sangat

sedikit sehingga sulit ditemukan pada pemeriksaan. Dalam keadaan

ini media kulit hendaknya dikirim kepada ahli patologi yang

berpengalaman dalam penegakkan diagnosa kusta. Timbulnya

gejala terserangnya saraf dan ditemukannya bakteri tahan asam

merupakan gejala patognopmonis kusta.

Page 40: BAB I kusta

Diagnosis penyakit kusta masih tergantung pada penemuan

klinis dan bakterioiogis, yang sifatnya subyektif dan merupakan

mata rantai yang lemah dalam pemberantasan kusta. Dalam suatu

penelitian ditemukan bahwa rata-rata penyakit kusta baru ter-

diagnosis setelah 2 tahun menderita dan terdiagnosis rata-rata

dalam 4,5 kali kunjungan.

Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan dalam

medium buatan, sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek

masih belum memungkinkan; teknik serologi untuk mengukur

antibodi spesifik terhadap antigen M. leprae masih belum

memuaskan, karena hanya bermakna pada penderita kelompok

multibasiler, hampir tidak berguna pada kelompok paucibasiler, dan

masih belum dapat meramalkan secara pasti kemungkinan sakit-

tidaknya orang-orang sehat yang seropositip.

Akhir-akhir ini telah dikembangkan teknik menggunakan

enzim polimerase yang merupakan cara M. leprae yang sensitif,

spesifik dan cepat. PCR dikembangkan pentama kali oleh Mullis et

all (1991) merupakan cara invitro untuk memperbanyak DNA suatu

mikroorganisme dengan menggunakan enzim polimerase.

Kelebihan penggunaan teknik PCR adalah sensitivitas dan

spesifisitasnya yang tinggi sehingga mampu mendeteksi M. leprae

secara akurat dan dalam waktu yang cepat. Selain itu dengan PCR

dapat ditentukan penderita pausibasiler, orang sehat carrier dan

Page 41: BAB I kusta

sumber-sumber penularan lain seperti: alat-alat rumah tangga,

lantai, pakaian dan sebagainya. Kelemahan utama teknik PCR

adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan; kelemahan lain

adalah bahwa PCR tidak mampu membedakan M. leprae yang

hidup dan yang mati.

2.5 Penanggulangan Penyakit Kusta

Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-

mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi

manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode

penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan

pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis,

rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang

merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan

masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga

metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan

tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan program pemberantasan

penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi penyakit kustra

menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang

dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :

1. Penemuan penderita secara dini.

2. Pengobatan penderita.

3. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.

Page 42: BAB I kusta

4. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.

5. Rehabilitasi penderita kusta.

A. Penanggulangan Penyakit Kusta Melalui Pengobatan

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus

rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati

dan menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya cacat.

Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang

dilakukan masih berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan

penderita, yang tampaknya masih merupakan dua hal yang penting

meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Dilihat

dari sejarahnya pengobatan kusta telah melalui beberapa fase

perkembangan yaitu dari era pre sulfon sampai ditemukannya obat-

obat baru yang bersifat mikobakterisidal yang lebih efektif.

Sampai tahun 1950 belum ditemukan obat yang efektif untuk

menyembuhkan penyakit kusta, satu-satunya cara untuk menangani

penderita kusta adalah dengan mengisolasi penderita ketempat

penawatan khusus. Kemudian ditemukan dapson, yaitu obat anti

penyakit kusta yang pertama. Namun dalam dua dekade berikutnya,

ternyata dapson menjadi kurang efektif karena bakteri penyebab

kusta yaitu Mycobacterium leprae menjadi resisten, sehingga

pengobatan gagal dan penyakit akan kambuh lagi. Di-samping itu

pengobatan yang berlangsung lama sering meng-akibatkan

Page 43: BAB I kusta

penderita menjadi putus asa dan malas berobat. Pada tahun 1981

WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy (MDI),

yaitu pengobatan baku terhadap pasien dengan kusta multibasil dan

pasien dengan kusta paucibasil. Regimen ini diharapkan efektif,

dapat digunakan secara luas dan diterima oleh semua pasien;

sampai saat ini telah diterima se-bagai pengobatan standar untuk

penyakit kusta.

Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada

1940an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun,

dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah

terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan

populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak

digunakan lagi.

Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari

dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada

1960an dan 1970an. Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya

merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk

mengakali kekebalan bakteri.Terapi multiobat dan kombinasi tiga

obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO

pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga

obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah

kekebalan atau resistensi bakteri

Page 44: BAB I kusta

Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk

masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan

Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan

sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan

masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1

kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan

strategi penghapusan kusta.

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada

1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat

standar.Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk

kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang

kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan

rifampisin dan dapson.

Page 45: BAB I kusta

Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta

secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan.

Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multiobat

masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan

pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah

tercantum pada kemasan obat.

Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit

turunan/kutukan.Tipe MB lama pengobatan : 12 - 18 bulan.Tipe PB

lama pengobatan : 6 - 9 bulanPengobatan Kusta dapat dilakukan

pada Puskesmas/Rumah Sakit/ UPK yang melakukan pengobatan

Page 46: BAB I kusta

kusta. Semua pengobatan kusta di Puskesmas/UPK/Rumah Sakit di

dapat secara gratis.

Di Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta

secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas

sudah dilakukan sejak pelita I). Adapun sistem pengobatan yang

dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan

dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia.

Meskipun obat-obat baru ditemukan tampaknya memberi

harapan yang lebih cerah, namun karena masih dalam evaluasi uji

klinis maka regimen MDT masih dianjurkan dalam program

pemberantasan kusta di seluruh dunia termasuk di indonesia.

Program MDT

Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok

studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi

pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya

dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas

kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan klofasimin. Selain

untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,

penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi

ketidaktaatan penderita dan menurnkan angka putus-obat (drop out

rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping

itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman

kusta dalam jaringan.

Page 47: BAB I kusta

Obat dalam rejimen MDT-WHO

a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak

seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit

PABA. Resistensi terhadap

b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat

ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim.

Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang

berikatan secara ireversibel.

c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin

dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson.

Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal

oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek

antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta,

kekurangan obat ini adalah harganya mahal, serta menyebabkan

pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan

berobat penderita.

d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat

tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta.

Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita

kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison,

Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yarlg

Page 48: BAB I kusta

bersisik). Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai

dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From

Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan

dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT,

petugas kesehatan harus :

1. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran

tambahan RFT secara teliti.

Semua bercak masih nampak.

Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan

tangan.

Semua syaraf yang masih tebal.

Semua cacat yang masih ada.

2. Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka

penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil

skin semar).

3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar

dibuku register. Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita,

petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT,

yaitu :

Pengobatan telah selesai.

Page 49: BAB I kusta

Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar

janga sampai luka.

Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang

untuk periksaan ulang.

Obat kusta baru.

Dalam plekasanaan program MDT-WHO ada beberapa

masalah yang timbul yaitu adanya persister, resistensi rifampisin

dan lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Oleh karena itu

diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang

berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini.

Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain

bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak antagonis dengan

obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat

diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali

sehari. Beberapa macam obat baru yang telah berhasil diidentifikasi

untuk pengobatan penyakit kusta adalah derivat dan rifamisin,

antibiotik beta-lactam, aminoglikosid, kuinolon(8) (pefloxacin,

ofloxacin dan sparfioxacin) minosiklin, klarithromisin, serta

kombinasi antara ofloxacin dan rifamPisin. Diantara yang sudah

terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.

Ofloxacin Dan Rifampicin

Page 50: BAB I kusta

Pada tahun 1992 telah dilakukan percobaan obat dalam skala

besar yang dilaksanakan di tujuh negara yaitu: Brazil, Kenya, Mali,

Myanmar, Pakistan, Filipina dan Vietnam. Pengobatan ini diberikan

secara oral, yang merupakan gabungan antibiotik baru yaitu

ofloxacin dengan rifampisin. Dalam percobaan yang me-libatkan

4000 pasien tersebut, dibandingkan penggunaan regi-men baru

dengan regimen MDT standar, hasilnya dapat dilihat setelah 4

sampai 5 tahun kemudian. Kombinasi dengan obat ini ternyata

dapat memperpendek waktu penyembuhan menjadi 1 bulan

dibandingkan dengan standar pengobatan yang sudah ada yaitu 6

bulan sampai 4 tahun.

Cara kerja antibiotik ofloxacin ini adalah membunuh baksil

lepra dengan menghambat enzim yang mengontrol jalannya DNA

coils yang masuk ke dalam baksil. Ofloxacin menjadi alternatif

kedua setelah rifampisin karena kecepatan dan efikasi-nya dalam

membunuh baksil lepra yang telah dilakukan pada percobaan

dengan teknik foot pad pada mencit. Konsentrasi minimum

ofloxacin yang dibutuhkan untuk menghambat per-tumbuhan Myco

bacterium leprae adalah 50 mg/kg berat badan, sedangkan untuk

rifampisin dan rifabutin adalah 0.003% dan 0.00l%.

Penelitian saat ini ditekankan pada anggapan bahwa ofloxacin

dapat lebih membunuh baksil mutan yang resistan terhadap

rifampisin. Akan tetapi karena kombinasi rifampisin dan ofloxacin

Page 51: BAB I kusta

lebih mahal daripada dapson dan clofazimine, pengobatan baru

yang lamanya 4 minggu menjadi sama besar biayanya dengan

standar pengobatan yang 6 bulan atau 2 tahun. Namun dengan

penggunaan yang lebih luas maka biaya pengobatan dengan

ofloxacin dapat ditekan sehingga tujuan untuk eliminasi lepra pada

tahun 2000 dapat cepat tercapai.

Minosiklin

Di antara turunan tetrasiklin, monosiklin merupakan satu-satunya

yang aktif terhadap M.leprae. hal ini kemungkinan disebabkan oleh

sifat lipofiliknya sehingga menyebabkan ia mampu menembus

dinding sel M.leprae dibandingkan dengan turunan lain. Minosiklin

bekerja dengan menghambat sintesis prorein melalui mekenisme

yang berbeda dengan obat antikusta yang lain.

Klaritromisin

Dibandingkan obat lain golongan makrolid, klaritromisin

mempunyai aktivitas bakterisidal setara dengan ofloksasin dan

minosiklin. Obat ini juga bekerja dengan menghambat sintesis

protein melalui mekanisme yang lain daripada minosiklin.

B. Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi

a. Rehabilitasi Medik

Page 52: BAB I kusta

Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya cacat

pada penyakit kusta merupakan salah satu hal yang paling

penting ditakuti. Dari hasil penelitian pada bulan Maret 1996 di

RSK SITANALA, menunjukkan bahwa lebih dari 73% pasien

yang datang berobat di poliklinik telah disertai cacat kusta.

Walaupun dengan pengobatan yang benar dan teratur penyakit

kusta dapat disembuhkan, akan tetapi cacat yang telah timbul

atau mungkin yang akan timbul merupakan persoalan yang

cukup kompleks. Bila hal ini tidak ditangani secara benar, maka

akan berlanjut semakin parah serta berakhir fatal. Makin berat

keadaan suatu cacat, maka makin cepat pula keadaan memburuk.

Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai

pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan

pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari

pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah

rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau

alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula

diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial

(rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap

kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara,

dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu

pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan.

Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu

kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.

Page 53: BAB I kusta

Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat

program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi.

Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk mendapat

hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu

dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar

penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk

pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai

secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan

mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan

terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :

1. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari

gangguan sensorik, paralisis, dan kontraktur.

2. Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.

3. Kontrol nyeri.

4. Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah

perburukan keadaan penyakit.

Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat

pencegahan kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi

difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan

kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus

dilakukan oleh pasien adalah :

Page 54: BAB I kusta

a. Pemeliharaan kulit harian

1. cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan

sedikit sabun (jangan detergen)

2. Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin

3. kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa

agar kulit kering terlepas.

4. kulit digosok dengan minyak.

5. secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot,

nyeri, luka dan lain-lain)

b. Proteksi tangan dan kaki

1. Tangan :

- pakai sarung tangan waktu bekerja

- stop merokok

- jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung

- lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan

lembut

2. Kaki

Page 55: BAB I kusta

- selalu pakai alas kaki

- batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan

- meninggikan kaki bila berbaring

c. Latihan fisioterapi

Tujuan latihan adalah :

Cegah kontraktur

Peninkatan fungsi gerak

Peningkatan kekuatan otot

Peningkatan daya tahan (endurance)

1. latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-

jari menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan

orang lain. Pertahankan 10 detik, lakukan 5 – 10 kali per

hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat

ditingkatkan untuk mencegah kontraktur. Latihan lingkup

gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah

gerak.

2. Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga

otot sendiri

Page 56: BAB I kusta

3. Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian

belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan

tubuh mendekati tembok, sementara kaki tetap berpijak.

4. Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk

mempertahankan elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot,

dan daya tahan.

d. Bidai

Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan

tangan agar tidak terjadi deformitas. Bidai dipasang pada

anggiota gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai

dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf.

Dianjurkan memakai bidai yang ringan yang dipakai

sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup gerak

sendi.

e. Dapat di buat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas yang

terjadi.

f. Program terapi okupasi merupakan program yang sangat

penting untuk mempertahankan dan meningkatkan

kemampuan menolong diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang

harus diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya

Page 57: BAB I kusta

pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat

untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien.

1. latihan reedukasi motorik

- diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan latihan

peregangan.

- Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan

motorik tangan dan jari-jari, sekaligus melatih

koordinasi gerak dengan bagian ekstremitas yang sehat.

- Gerak terampil tangan dan jari

- Latihan posisi dan postur pasif dan aktif.

2. latihan reedukasi sensorik

- Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien,

dan menolong pasien untuk mencari alternatif lain untuk

meningkatkan sensibilitas sehingga kapasitas fungsional

juga meningkat

- Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar,

sampai halus, dingin dan hangat.

- Latihan pengenalan bentuk berbagai benda.

3. latihan aktivitas menolong diri

Page 58: BAB I kusta

4. latihan aktivitas rumah tangga

5. latihan aktivitas kerja

6. latihan daya tahan kerja

g. Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan

merupakan hal yang harus dilaksanakan. Bila ada masalah,

evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat

dijadikan titik tolak program terapi psikososial.

b. Rehabilitasi Nonmedik

Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian,

namun penyakit ini termasuk penyakit yang paling ditakuti

diseluruh dunia. Penyakit ini sering kali menyebabkan

permasalahan yang sangat kompleks bagi penderita kusta itu

sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada penyakit kusta ini

dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat fisik.

Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisk

yang menimbukan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang

berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal

tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah diobati dan

dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisinya cacat,

maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup

Page 59: BAB I kusta

penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh

masyarakat di sekitarnya.

Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali

tida dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta.

Akibatnya aka nada perubahan mendasar pada kepribadian dan

tingkah laku penderita. Ia akan selalu sedapat mungkin

menyembunyikan keadaannya sebagai seorang penderita kusta.

Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan,

sebaliknya kan memperbesar resiko timbulnya caca bagi

penderita itu sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta

harus diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali untuk

menghindari salah diagnosis, karena setiap kesalahan dalam

penegakkan diagnosis akan dapat menimbulkan beban psikis dan

dampak social yang tidak hanya dapat dialami oleh penderita itu

sendiri, tetapi juga terhadap keluargannya.

Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih

menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri. Hal

ini disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi yang banyak

dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi

yang keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku

masyarakat yang negative terhadap penderita kusta seringkali

menyebabkan penderita kusta tidak mendapatkan tempat di

dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya.

Page 60: BAB I kusta

Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus

segera dimulai sedini mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan

kusta itu dimulai dan dilakukan secara terus menerus secara

paripurna sampai ia dapat mencapai kemandirian dan hidup

bermasyarakat seperti sediakala. Dengan kata lain tujuan akhir

rehabilitasi adalah resosialisasi penderita itu sendiri.

Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk

memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya

cacat fisik. Bila pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh

rehabilitasi mental, maka akan sulit dicapai partisipasi aktifdari

penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan secara tuntas

program pengobatan yang telah dianjurkan. Cacat psikososial ini

mulai dirasakan oleh penderitasejak saat ia dinyatakan menderita

penyakit kusta dan bila hal tersebut mulai diketahui oleh

keluarganya maupun oleh masyarakar di sekitarnya. Hal ini akan

bertambah berat bila ia merupakan tumpuan hidup dan sumber

nafkah bagi keluarganya. Dalam banyak hal ia dapat kehilangan

sumber penghasilannya dan memperburuk keadaannya beserta

keluarga.

Untuk mengindari terjadinya hal-hal tersebut, maka bila ada

keragu-raguan meskipun sedikit saja, sebaiknya segera merujuk

penderita kepada mereka yang dianggap lebih berpengalaman.

Setelah diagnosis kusta ditegakkan, maka pengobatan harus

Page 61: BAB I kusta

segera dimulai, disertai upaya rehabilitasi mental terhadap

penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya.

Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila

seseorang belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta atau

penyakitnyamasih diragukan. Komplikasi antara lain seperti

penyakit kusta, harus ditangani sedini mungkin dan secara

adekuat untuk mencegah terjadinya cacat kusta. Andaikata cacat

kusta te lah terjadi, maka upaya rehabilitasi untuk mencegah

berlanjutnya cacat harus segera dilakukan.

Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi

hasil pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis

menyatakan bahwa penyakit kusta dalam keadaan inaktif, maka

pengobatan tidak diperlukan lagi dan hanya dilakukan upaya-

upaya rehabilitasi. Pada penderita harus ditekankan bahwa obat-

obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat fisik yang telah ada,

supaya ia tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah

digariskan oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya

diberikan pada penderita kusta aktif, dengan atau tanpa cacat

kusta.

Rehabilitasi Mental

Seperti telah dijelaskan, setiap penderita yang

dinyatakan menderita penyakit kusta akan mengalami

Page 62: BAB I kusta

kegoncangan jiwa dan masing-masing mempunyai cara

sendiri untuk bereaksi terhadap keadaan ini. Ada yang segera

dapat menerima keadaan inidan segera mancari pertolongan

medis, adapula yang berusaha menolak kenyataan dengan

mencari pertolongan alternative termasuk berobat pada

dukun, tabib dan sebagainya. Dan adapula yang merasa

rendah diri mengalami depresi, menyendiri, menyembunyikan

dirinya karena malu, dan adapula yang berfikir untuk

melakukan tindakan bunuh diri.

Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh

ketakutan yang sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik

akibat penyakit ini. Suatu hal yang perlu kita sadari bahwa

tidak seorang sehatpun ingin mendapatkan cacat dalam

kehidupannya. Hal ini merupakan dasar bagi setiap petugas

kesehatan dalam melakukan penyuluhan kusta. dengan

menekankan bahwa sebenarnya penyakit kusta bila diobati

secara dini dan benar akan dapat mengurangi risiko terjadinya

cacat semaksimal mungkin. Penyuluhan kesehatan berupa

bimbingan mental, harus diupayakan sedini mungkin pada

setiap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya,

untuk memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat

menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderitadapat

segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar

Page 63: BAB I kusta

sampai dinyatakan sembuh secara medis. Informasi yang

perlu disampaikan antara lain sebagai berikut:

Tentang penyakit kusta dan pengobatannya

Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan

leprofobi

Masalah psikososial kusta

Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang

sering sekali timbul selama proses pengobatan

dan setelah pengobatan selesai

Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya

cacat tersebut.

Peran serta masyarakat pada penanggulangan

penyakit kusta.

Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.

Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya

rehabilitasi, berbagai upaya kesehatan

terhadap penyakit kusta.

Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan

kepada penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta

dimulai, secara sederhana dan mudah dimengerti oleh mereka.

Hanya dengan demikian kita dapat mengharapkan

keberhasilan penanggulangan penyakit kusta secara

paripurna.

Page 64: BAB I kusta

Petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun

paramedic harus dibekali dengan pengatahuan kusta yang

memadai supaya terampil dalam memberikan penyuluhan

kusta dengan baik dan bermanfaat. Bimbingan mental ini

harus didukung juga oleh partisipasi aktif dari pemuka

masyarakat dan pemuka agama pada setiap kesempatan yang

ada.

Tanpa dibekali informasi yang tepat tentang hal-hal

tersebut, maka penderita cenderung memnjadi bosan

menghadapi masa pengobatan yang panjang dan itu-itu saja,

sehingga ia akan berobat semaunya secara tidak teratur. Lebih

celaka lagi bila selama mmasa pengobatan timbul komplikasi

berupa neuritis atau reaksi yang memperburuk kondisi

tubuhnya, sehingga timbul pikiran negative untuk

menghentikan saja pengobatan yang telah berjalan dengan

baik dan mencari pertolongan pengobatan secara alternatif.

Ketidakteraturan berobat, dan menghilangnya penderita

tanpa melanjutkan pengobatannya menimbulkan banyak

masalah dalam keberhasilan upaya penanggulangan penyakit

kusta. Hal ini akan memperbesar risiko kecacatan dan

resistensi terhadap obat kusta. Dengan timbulnya cacat kusta,

upaya penanggulangan penyakit kusta akan menjadi

bertambah berat karena diperlukan rehabilitasi medis dan

Page 65: BAB I kusta

nonmedis yang lebih komleks dan biaya yang lebih besar. Hal

ini akan menjadi beban bagi Negara dan bangsa.

Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya

rehabilitasi ini berhasil dilakukan, tetapi dengan adanya

stigma dan leprofobi akan timbul banyak kendala dalam

memasyarakatkan kembali penderita dan bekas penderita

kusta. Tetapi, dengan memberikan informasi yang benar

tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian yang

baik, maka stigma dan leprofobi dapat dikurangi dan ditekan

hingga seminimal mungkin.

Dengan demikian penyakit kusta dapat dianggap sama

seperti penyakit menular lainnya dan penderita kusta dapat

diterima dan diperlakukan secara wajar oleh masyarakat

dengan hak yang sama seperti orang sehat yang lain.

Rehabilitasi Karya

Tidak semua penderita kusta bila sembuh data kmbali

bekerja pada pekerjaan semula, apalagi bila pekerja terlanjur

mengalam cacat fisik. Walaupun telah diupayakan rehabilitasi

medis dan dinyatakan sembuh dari penyaitnya, mantan

enderita tidak data melaukan pekerjaan yang sama seperti

sedia lkala. Dalam banyak hal adanya stigma atau leprofobia

akan menyebabkan penderita (mantan) kerap kali menghadapi

Page 66: BAB I kusta

kebdala social, sehungga perl u mengganti jenis pekerjaan

untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan

keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar atau

dan plantar menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari.

Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita

yang sudah erlanjur cacat dapat kembali melakukan pekerjaan

yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru

sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman

bekerja sebelumnya. Disampng itu penempatan di tempat

kerja yang aman dan tepat akan mengurangi risiko

berlanjutnya cacat pada penderita kusta.

Rehabilitasi Sosial

Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social

ekonomi pernderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita

sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya.

Rehabilitasi social bukanlah bantuan sosia yang harus

diberikan secara terus menerus, melaikan upaya yang

bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini

dapat berupa :

1. Memberikan bimbingan social.

2. Memberikan peralatan kerja.

Page 67: BAB I kusta

3. Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi

roda atau tongkat jalan.

4. Memberikan bantuan penempatan kerja yang

lebih sesuai dengan keadaan cacatnya.

5. Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha

mereka

6. Membantu pemasaran hasil-hasil usaha

mereka.

7. Memberi bantuan kebutuhan pokok, misalnya

pangan, sandang, papan, jaminan kesehatan,

dan sebagainya.

8. Memberikan permodalan bagi usaha

wiraswasta.

9. Member bantuan pemulangan ke daerah asal.

10. Memberikan bimbingan mental/spiritual.

11. Memberikan pelatihan ketrampilan/magang

kerja dan sebagainya.

Dari segala upaya tersebut , sangat diharapkan

peran serta masyarakat dalam menunjang

keberhasilan resosiaisasi mereka. Semua akan

dapat terlaksana dengan baik apabila stigma dan

leprofobi dapat ditekan hingga seminimal mungkin.

Dengan demikian kehadiran mereka dapatditerima

Page 68: BAB I kusta

oleh masyarakat, hasil karya dan usaha mereka

mau dibeli serta dipakai oleh masyarakat. Tanpa

partisipasi, maka segala usaha tersebut tidak akan

berhasil.

2.7 Upaya Pencegahan Penyakit Kusta

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari

hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh

bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan

dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah

amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan

dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan

kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat

secara teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan

salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar

tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat

sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia

tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi

dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan

hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada beberapa obat

yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat

menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada

obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk

diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta

Page 69: BAB I kusta

memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan

kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran

bahwa :

a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta

b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena

kusta

c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain

d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6

bulan secara teratur

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah yang kami buat,

dapat di simpulkan sebagai berikut :

1. Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi,

kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang

mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat

berfungsi sebagaimana mestinya.

Page 70: BAB I kusta

2. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003 menunjukkan India

sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil

dan Myanmar.

3. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan

penyakit kusta. Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jatim

menyandang beban sebagai daerah rawan ini bersama Irian Jaya

bagian barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT,

NTB, Aceh, dan DKI Jakarta.

4. Penderita penyakit kusta pada tahun 2005 di Sulawesi Tenggara

sebanyak 267 penderita sedangkan pada tahun 2006 sebanuyak 264

penderita tersebar di semua kabupaten yaitu kabupaten konawe 21,

kabupaten muna 26 penderita, kabupaten kolaka sebanyak 41

penderita, kabupaten buton sebanyak 48 penderita, kota kendari

sebanyak 32 pendeita, kota Bau-bau sebanyak 45 penderita,

kabupaten Konawe Selatan sebanyak 5 penderita, Kab.Bombana

sebanyak 19 penderita.

5. Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai

dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan

Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok

berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan

imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di

klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe

Page 71: BAB I kusta

borderline tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe

borderline lepromatosa, tipe lepromatosa (LL)

6. Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari

tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya

akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail,

agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu :

Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia

Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama

semakin melebar dan banyak.

Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,

aulicularis magnus seryta peroneus.

Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan

mengkilat.

Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar

pada kulit

Alis rambut rontok

Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina

(muka singa)

Page 72: BAB I kusta

7. Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana

microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,

berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang

merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 –

8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang

tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA)

atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan

tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh

karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”.

8. Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui

berperan sebagai reservoir.

9. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi

basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung.

Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli

berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran

pernapasan dan kulit.

10. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,

berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi

maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Secara umum, telah

disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5

tahun.

Page 73: BAB I kusta

11. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda

kardinal (tanda utama), yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan

saraf tepi, ditemukannya kuman tahan asam. Diagnosa kusta dan

klasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi :

a. Klinis

b. Bakteriologis

c. Immunologis

d. Hispatologis

12. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan

dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi

medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode

pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi,

dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada

kelompok tersendiri..

13. Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok

studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi

pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya

dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas

kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan klofasimin.

Page 74: BAB I kusta

14. Dalam plekasanaan program MDT-WHO ada beberapa masalah

yang timbul yaitu adanya persister, resistensi rifampisin dan

lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Oleh karena itu

diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang

berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini.

Beberapa macam obat baru yang telah berhasil diidentifikasi untuk

pengobatan penyakit kusta adalah derivat dan rifamisin, antibiotik

beta-lactam, aminoglikosid, kuinolon(8) (pefloxacin, ofloxacin dan

sparfioxacin) minosiklin, klarithromisin, serta kombinasi antara

ofloxacin dan rifamPisin. Diantara yang sudah terbukti efektif

adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.

15. Rehabilitasi medik berupa pemeliharaan kulit harian, proteksi

tangan dan kaki, latihan fisioterapi, bidai, dapat di buat sepatu

khusus, sesuai dengan deformitas yang terjadi, program terapi

okupasi merupakan program yang sangat penting untuk

mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong diri,

dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal

yang harus dilaksanakan.

16. Rehabilitasi nonmedik terdiri dari rehabilitasi mental, rehabilitasi

karya, rehabilitasi sosial.

17. Penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan

berisikan pengajaran bahwa :

Page 75: BAB I kusta

Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta

Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin

terkena kusta

Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain

Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira

6 bulan secara teratur.

3.2 Saran

Berdasarkan fenomena dari makalah di atas, beberapa saran

yang dapat kami berikan sebagai berikut :

1. Agar pemerintah lebih meningkatkan upaya penyuluhan mengenai

penyakit menular khususnya penyakit kusta.

2. Agar tugas pembuatan makalah seperti ini lebih sering diberikan

agar dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa dan pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta.

Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta.

Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.

Page 76: BAB I kusta

Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.

Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit.

Puspa Swara. Jakarta.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kusta

http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/03/21/brk,20050321-09,id.html

http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=114

http://htaanet.50megs.com/pendidikan.htm

http://kormonev.menpan.go.id/ebhtml/joomla/index.php?option=com_content&task=view&id=345&Itemid=2

http://spiritia.or.id/news/bacanews.php?nwno=0020

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06EliminasiPenyakitKustapadaTahun2000.pdf/06EliminasiPenyakitKustapadaTahun2000.html

http://www.jatim.go.id/news.php?id=15679

http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/12/tgl/01/time/165726/idnews/490378/idkanal/10

http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=314&Itemid=2

http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=2&id=106064&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=190

Page 77: BAB I kusta

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/01/18/0060.html

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06EliminasiPenyakitKustapadaTahun2000.pdf/06EliminasiPenyakitKustapadaTahun2000.html