Bab I, II & III

download Bab I, II & III

of 32

description

aa

Transcript of Bab I, II & III

TINJAUAN PUSTAKA

32

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Infeksi nosokomial saat ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit. Infeksi nosokomial dapat menjadi masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Oleh karena itu rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditentukan dan harus diterapkan oleh semua kalangan petugas kesehatan (Darmadi, 2008). Penelitian yang dilakukan National Nosokomial Infections Surveillance (NNIS) dan Centers of Disease Control and Preventions (CDCs) pada tahun 2002 melaporkan bahwa 5 sampai 6 kasus infeksi nosokomial dari setiap 100 kunjungan ke rumah sakit. Diperkirakan 2 juta kasus infeksi nosokomial terjadi setiap tahun di Amerika Serikat dengan menghabiskan dana 2 milyar dolar. Penelitian lainnya yang telah dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2002 menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit di 14 negara yang mewakili 4 kawasan WHO dengan prevalensi Eropa 7,7%, Timur Tengah 9,0%, Asia Tenggara 10% dan pasifik barat 11,8% (Depkes. RI, 2007). Penelitian di berbagai universitas di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) mempunyai kecenderungan terkena infeksi nosokomial 5-8 kali lebih tinggi dari pada pasien yang dirawat diruang rawat biasa. Infeksi nosokomial banyak terjadi di ICU pada kasus pasca bedah dan kasus dengan pemasangan infus dan kateter yang tidak sesuai dengan prosedur standar pencegahan dan pengendalian infeksi yang diterapkan di rumah sakit (Zulkarnain, 2009). Menurut surveilans yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) pada tahun 1997 di 10 RSU Pendidikan, bahwa kejadian infeksi nosokomial cukup tinggi yaitu 6-16% dengan rata-rata 9,8%. Surveilans yang

dilakukan di RSCM Jakarta pada tahun 1991 ditemukan insiden infeksi nosokomial sebesar 3,22% dan tahun 1996 sebesar 4,6%. Hasil survei dari 11 rumah sakit di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perdalin (2003) dan rumah sakit infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta didapatkan angka infeksi nosokomial untuk Infeksi Luka Operasi (ILO) sebesar 18,9%, Infeksi Saluran Kemih (ISK) sebesar 15,1%, Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) sebesar 26,4%, Pneumonia sebesar 24,5% dan Infeksi Saluran Nafas lain sebesar 15,1%, serta infeksi lain sebesar 32,1% (Depkes. RI, 2007). Penelitian yang pernah dilakukan di ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh oleh Syahputra (2011) menyatakan hasil bahwa pola kuman yang berpotensi sebagai infeksi nosokomial di ICU adalah Staphylococcus aureus (72,72%), Pseudomonas aeruginosa (18,18%), dan Acinetobacter baumannii (9,09%). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Depkes RI bersama WHO (2007) di rumah sakit propinsi/kabupaten/kota disimpulkan bahwa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit (KPPIRS) selama ini belum berfungsi optimal sebagaimana yang diharapkan. Penelitian juga menunjukan bahwa anggota komite belum memahami dengan baik tugas, kewenangan, serta tanggung jawab yang harus dilaksanakan dalam lingkup pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Upaya yang harus dilakukan untuk meminimalkan risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya adalah pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), yaitu kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan serta monitoring dan evaluasi (Depkes. RI, 2007). Pencegahan dan Pengendalian infeksi di rumah sakit (PPIRS) sangat penting karena menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit. Apalagi akhirakhir ini muncul berbagai penyakit infeksi baru (new emerging, emerging disease dan re-emerging disease) (Depkes. RI, 2007). Berdasarkan sesuai uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Pelatihan Terhadap Perilaku Perawat Dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Ruang ICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.1.2 Rumusan Masalah1. Apakah ada hubungan pengetahuan dengan perilaku perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh?2. Apakah ada hubungan sikap dengan perilaku perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh?3. Apakah ada hubungan pelatihan dengan perilaku perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh?

1.3 Tujuan Penelitian1. Mengetahui adanya hubungan pengetahuan dengan perilaku perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.2. Mengetahui adanya hubungan sikap dengan perilaku perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.3. Mengetahui adanya hubungan pelatihan dengan perilaku perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Bagi Perawat ICU Dapat menjadi bahan masukan dan kajian bagi perawat ICU dalam penerapan dan pengembangan prinsip pengendalian infeksi nosokomial.

1.4.2 Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki manajemen rumah sakit untuk meningkatkan perilaku perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial.

1.5 Hipotesis1. Ada hubungan pengetahuan dengan perilaku perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.2. Ada hubungan sikap dengan perilaku perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.3. Ada hubungan pelatihan dengan perilaku perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1Konsep Kinerja dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial Menurut Sedarmayanti (2004) pengertian kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara ilegal tidak melanggar hukum dan sesuai moral dan etika. Pengendalian adalah suatu sistem atau proses dimana pelaksanaan pengendalian dan tindakan dibandingkan dan hasilnya berfungsi sebagai dasar untuk menetapkan reaksi yang memadai terhadap hasil-hasil pelaksanaan tersebut. Pengendalian juga dapat digunakan untuk mengkoreksi pekerjaan yang telah dilakukan kemudian menetapkan reaksi untuk perbaikan (Mulyadi, 1984). Infeksi nosokomial merupakan masalah serius bagi rumah sakit. Kerugian yang ditimbulkan sangat membebani rumah sakit dan pasien. Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial merupakan upaya penting dalam meningkatkan mutu pelayanan medis rumah sakit (Bady et al., 2007). Kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial melibatkan berbagai disiplin ilmu dan tingkatan personil di rumah sakit, oleh sebab itu diperlukan prosedur baku untuk setiap tindakan yang berkaitan dengan tindakan pengendalian infeksi nosokomial. Program pengendalian infeksi ini dapat dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu tindakan operasional, tindakan organisasi, dan tindakan struktural (Kayser et al., 2005). Tindakan operasional mencakup kewaspadaan standar dan kewaspadaan berdasarkan penularan/transmisi. Kewaspadaan standar diterapkan pada semua klien dan pasien atau orang yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan (Infections controlled guidelines CDC, Australia). Hal ini mencakup semua tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang berhubungan dengan pengobatan dan perawatan pasien serta tindakan pembersihan (seperti aseptik, disinfeksi, sterilisasi) (kayser et al., 2005). Sebagai contoh, cuci tangan steril dapat mencegah transmisi patogen seperti Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus dan Vancomycin Resistant Enterococci (Mc. Adam et al., 2010). Tindakan operasional dalam pencegahan dan pengendalian infeksi pertama kali diperkenalkan oleh Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Amerika Serikat (CDCs) pada tahun 1985. Hal ini terutama karena adanya wabah penyakit HIV/AIDS dan perlunya strategi baru untuk melindungi seluruh petugas rumah sakit dari penyakit yang ditularkan melalui darah. Tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi tidak hanya difokuskan saat berhubungan dengan darah namun juga untuk cairan tubuh yang memungkinkan menyebabkan terjadinya penularan penyakit serta cairan tubuh yang risiko penularannya masih belum diketahui (cairan amnion, CSF, cairan perikardial, cairan peritoneal dan cairan pleura) (Gusfitri, 2005). Prinsip dasar yang harus diterapkan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial adalah memperlakukan baik pasien maupun petugas kesehatan sebagai individu yang potensial menularkan dan rentan terhadap infeksi (Depkes. RI, 2007).

2.1.1 Kewaspadaan Standar Komponen utama standar pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dalam tindakan operasional mencakup kegiatan sebagai berikut: mencuci tangan, menggunakan alat pelindung diri/APD seperti: sarung tangan, masker, pelindung wajah, kacamata dan apron pelindung, praktik keselamatan kerja, perawatan pasien, penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan lingkungan (Depkes. RI, 2007., Bayuningsih, 2010). a. Mencuci tangan Mencuci tangan merupakan metode yang paling sederhana untuk mengurangi risiko penularan infeksi. Tangan petugas medis merupakan sarana penyebaran mikroorganisme antara pasien dan sering menjadi pencetus terjadinya wabah infeksi (Gusfitri, 2005). Mencuci tangan sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir dan dengan sabun yang digosokkan selama 15 sampai 20 detik. Penting untuk mengeringkan tangan setelah mencucinya. Tujuan mencuci tangan adalah untuk menghilangkan kotoran dari kulit secara mekanis dan mengurangi jumlah mikroorganisme. Mencuci tangan dengan sabun biasa dan air bersih adalah sama efektifnya mencuci tangan dengan sabun antimikroba (Depkes. RI, 2007). Mencuci tangan dapat pula dilakukan dengan larutan antiseptik: seperti hibiscrub (chlorhexidine) dan betadine (povidone iodine) yang merupakan sabun cair yang mengandung antiseptik. Ada beberapa kondisi yang mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sabun antiseptik ini, yaitu saat akan melakukan tindakan invasif, sebelum kontak dengan pasien yang dicurigai mudah terkena infeksi (misalnya: bayi yang baru lahir dan pasien yang dirawat di ICU) (Gusfitri, 2005). Pencucian tangan sebaiknya dilakukan sebelum dan sesudah memeriksa dan mengadakan kontak langsung dengan pasien, saat memakai melepas sarung tangan bedah steril atau yang telah di disinfeksi tingkat tinggi pada operasi serta pada pemeriksaan untuk prosedur rutin, saat menyiapkan, mengkonsumsi dan setelah makan juga pada situasi yang membuat tangan terkontaminasi (misal: memegang instrumen kotor, menyentuh membran mukosa, cairan darah, cairan tubuh lain, melakukan kontak yang intensif dalam waktu yamg lama dengan pasien, mengambil sampel darah, saat memeriksa tekanan darah, tanda vital lainnya juga saat keluar masuk unit isolasi) (Depkes. RI, 2007., Bayuningsih, 2010). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjaga kebersihan tangan. Penelitian membuktikan bahwa daerah dibawah kuku mengandung jumlah mikroba tertinggi, selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa kuku panjang dan kuku buatan dapat berperan sebagai reservoir untuk bakteri gram negative (P. Aeruginosa), jamur dan patogen lain serta memberi distribusi untuk menyebabkan infeksi nosokomial (Tjietjen et al., 2004) . Oleh karena itu kuku harus dijaga tetap pendek, tidak melebihi 3 mm dari ujung jari, penggunaan cat kuku serta perhiasan saat bertugas juga tidak diperkenankan (Depkes. RI, 2007).b. Penggunaan alat pelindung diri Pelindung barrier, yang secara umum disebut alat pelindung diri (APD) merupakan bagian penting dari kewaspadaan standar dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yang telah digunakan selama bertahun-tahun untuk melindungi pasien dari organisme yang ada pada petugas kesehatan. Namun dengan munculnya penyakit AIDS dan hepatitis C serta meningkatnya kembali tuberkulosis dibanyak negara, pemakaian APD juga menjadi sangat penting untuk melindungi petugas kesehatan (Tjietjen et al., 2004). Alat pelindung diri mencakup sarung tangan, masker, alat pelindung mata dan wajah, apron, gaun dan topi. Alat pelindung diri yang paling baik adalah yang terbuat dari bahan yang telah diolah atau bahan sintetik yang tidak tembus oleh cairan. Bahan yang tahan cairan ini tidak banyak tersedia karena harganya yang mahal, oleh sebab itu banyak negara yang menggunakan alat pelindung diri dari bahan katun ringan (Depkes. RI, 2007). Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan dapat melindungi pasien dari mikroorganisme yang terdapat di tangan petugas kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang (barrier) yang paling penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Hal yang paling penting untuk diingat, bahwa pemakaian sarung tangan tidak dapat menggantikan kebutuhan untuk tindakan mencuci tangan, karena sarung tangan bedah lateks dengan kualitas terbaik pun dapat rusak atau robek saat digunakan (Gusfitri, 2005). Satu pasang sarung tangan harus digunakan untuk setiap pasien sebagai upaya menghindari kontaminasi silang (Tjietjen et al., 2004., Depkes. RI, 2007). Jenis sarung tangan harus dipakai sesuai jenis pekerjaan yang dilakukan. Sarung tangan steril dipakai untuk prosedur yang membutuhkan area steril dan sarung tangan non steril untuk prosedur pemeriksaan dan tindakan yang tidak membutuhkan area steril, serta sarung tangan untuk keperluan umum seperti pembersihan (Gusfitri, 2005). Sarung tangan dipakai saat ada kemungkinan kontak dengan darah atau cairan tubuh lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas, saat akan melakukan prosedur medis yang bersifat invasif (seperti: pemasangan kateter dan infus intravena), saat menangani bahan-bahan bekas pakai yang telah terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang tercemar, serta memakai sarung tangan bersih atau tidak steril saat akan memasuki ruang pasien yang telah diketahui atau dicurigai mengidap penyakit menular (Depkes. RI, 2007). Masker dipakai untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan, juga menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan berbicara, bersin dan batuk (Bayuningsih, 2010). Masker juga dipakai untuk mencegah partikel melalui udara atau droplet dari penderita penyakit menular (tuberkulosis). Masker harus dapat menutupi hidung, mulut serta bagian bawah dagu. Sebelum dipakai masker harus diperiksa terlebih dahulu. Pastikan sisi masker yang menempel pada wajah dengan lapisan yang utuh, penyaringnya bersih, tidak robek dan tali masker tidak terpotong (Depkes. RI, 2007). Masker dilepas setelah pemakaian selama 20 menit secara terus-menerus atau masker sudah tampak kotor atau lembab (Gusfitri, 2005). Pelindung mata dan wajah harus dipakai pada prosedur yang memiliki kemungkinan terkena percikan darah atau cairan tubuh. Pelindung mata harus jernih, tidak mudah berembun, tidak menyebabkan distorsi, dan terdapat penutup disampingnya. Bila tidak tersedia pelindung wajah, petugas kesehatan dapat menggunakan kacamata pelindung serta masker (Gusfitri, 2005., Depkes. RI, 2007). Gaun pelindung digunakan untuk menutupi atau mengganti pakaian biasa dan seragam lain, pada saat merawat pasien yang dicurigai atau diketahui menderita penyakit menular melalui droplet atau airborne (Tjietjen et al., 2004). Pemakaian gaun pelindung terutama untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Gaun pelindung juga harus dipakai saat ada kemungkinan terkena darah, cairan tubuh (Bayuningsih, 2010). Pangkal sarung tangan harus menutupi ujung lengan gaun sepenuhnya. Lepaskan gaun sebelum meninggalkan area pasien, kemudian pastikan pakaian dan kulit tidak kontak dengan bagian yang potensial tercemar, lalu segera mencuci tangan (Gusfitri, 2005., Depkes. RI, 2007). Apron terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan air sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan. Apron harus dikenakan dibawah gaun pelindung ketika melakukan perawatan langsung pada pasien, membersihkan pasien atau melakukan prosedur saat terdapat risiko terkena tumpahan darah dan cairan tubuh. Hal ini penting jika gaun tidak tahan air (Depkes. RI, 2007).c. Praktik keselamatan kerja Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaian instrumen tajam seperti jarum suntik (Schaffer et al., 2000). Hal ini meliputi: hindari menutup kembali jarum suntik yang telah digunakan. Bila terpaksa dilakukan, maka gunakan teknik satu tangan untuk menutup jarum, hindari melepas jarum yang telah digunakan dari spuit sekali pakai, hindari membengkokkan, menghancurkan atau memanipulasi jarum suntik dengan tangan serta masukkan instrumen tajam ke dalam wadah yang tahan tusukkan dan tahan air (Depkes. RI, 2007., Bayuningsih, 2010).d. Perawatan pasien Perawatan pasien penting diperhatikan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. Risiko infeksi dapat dikurangi dengan mengikuti mekanisme praktik pencegahan dan pengendalian infeksi pada saat perawatan. Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan: pemakaian kateter urin, pemakaian alat intravaskular, transfusi darah, pemasangan selang nasogastrik, pemakaian ventilator dan perawatan luka bekas operasi (Guntur, 2007). Kateterisasi kandung kemih membawa risiko tinggi terhadap infeksi saluran kemih (ISK). Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan ISK nosokomial terjadi akibat instrumentasi traktus urinarius, terutama pada tindakan kateterisasi. Pemasangan kateter urin merupakan tindakan perawatan yang sering dilakukan di rumah sakit. Prosedur pemasangan hingga pencabutan kateter urin harus dilakukan sesuai prinsip aseptik untuk mencegah dan mengendalikan ISK nosokomial (Schaffer et al., 2000). Prosedur kateterisasi urin meliputi: menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan, petugas mencuci tangan dengan sabun dan air, menggunakan sarung tangan steril dan membersihkan tempat pemasangan kateter dengan larutan antiseptik yang sesuai serta menutup dengan duk steril. Kemudian kateter yang telah diolesi gel dimasukkan perlahan dengan pinset secara aseptik hingga selesai dan fiksasi kateter pada paha pasien secara benar karena pergerakan kateter keluar masuk uretra dapat menyebabkan masuknya kuman dari meatus uretra eksterna kedalam kandung kemih. Pemberian salep antibiotika pada meatus uretra eksterna dapat mengurangi risiko kontaminasi kuman dari kulit. Kosongkan penampungan urin secara teratur (setiap 6 sampai 8 jam) dan awasi sistem aliran urin selalu tertutup (Depkes. RI, 2007). Penggunaan alat intravaskular untuk memasukkan cairan steril, obat atau makanan serta untuk memantau tekanan darah sentral dan fungsi hemodinamik meningkat tajam pada dekade terakhir. Kateter yang dimasukkan melalui aliran darah vena atau arteri melewati mekanisme pertahanan kulit yang normal dan penggunaan alat ini dapat membuka jalan untuk masuknya mikroorganisme (Schaffer et al., 2000). Risiko infeksi dapat dikurangi dengan prosedur pemasangan, pengelolaan dan pengangkatan alat intravaskular secara tepat (Tjietjen et al., 2004). Sebelum pemasangan kateter intravaskular petugas kesehatan harus mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan steril. Gunakan larutan antiseptik pada area pemasangan dengan teknik memutar dari dalam keluar. Setelah pemasangan, fiksasi kateter karena pergerakan kateter akan menimbulkan risiko kolonisasi kuman diujung kateter. Berikan salep antibiotik pada tempat tusukan dan tulis tanggal dan jam pemasangan. Set infus harus diganti jika rusak atau secara rutin tiap 72 jam (Bady et al., 2007). Lakukan pengawasan setiap hari dan hindari manipulasi yang tidak diperlukan pada kateter intravaskular. Gunakan karet infus bagian distal dengan prosedur aseptik untuk menyuntikkan obat dan lepas jarum segera setelah memasukkan obat, hindari pemakaian multidose vial (Schaffer et al., 2000) . Infus set segera diganti ketika terjadi malfungsi dan kateter sebaiknya sering diganti bila dipakai untuk tranfusi darah atau pemakaian cairan hipertonik (Tjietjen et al., 2004). Transfusi darah memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan penggunaan pemberian pengobatan melalui pembuluh darah. Terdapat risiko serius bagi pasien yang menerima transfusi darah. Pedoman dalam melakukan proses seleksi, pemeriksaan serta prosedur transfusi yang tepat dan aman telah dikembangkan mengingat resiko infeksi HBV, HCV dan HIV(Schaffer et al., 2000). Petugas kesehatan juga memiliki risiko terkena infeksi akibat terkena kontaminasi darah. Untuk melindungi dirinya, petugas kesehatan harus memahami benar tentang pentingnya prosedur mencuci tangan, menggunakan sarung tangan dan alat pelindung diri pada saat melakukan tindakan transfusi darah (Tjietjen et al, 2004). Prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dan komplikasi transfusi meliputi: transfusi dilakukan jika dibutuhkan, seleksi donor potensial secara penuh untuk menghindari penularan infeksi serius, donor darah diambil secara aseptik dan dengan sistem tertutup, simpan darah pada suhu yang tepat, pastikan darah cocok agar tidak membahayakan penerima donor, terapkan teknik aseptik saat melakukan transfusi, pantau tanda vital dan reaksi pasien serta hentikan transfusi jika reaksi berlawanan (Tjietjen et al., 2004., Gusfitri, 2005). Prosedur yang melibatkan traktus gastrointestinal (GI) harus memperhatikan penerapan kewaspadaan di rumah sakit seperti prosedur lainnya untuk mencegah penularan mikroorganisme yang berbahaya. Pemasangan selang nasogastrik merupakan salah satu prosedur traktus GI yang paling sering dilakukan dalam perawatan pasien di rumah sakit (Guntur, 2007). Risiko infeksi dalam prosedur ini berasal dari trauma membran mukosa akibat tekanan pada membran dan anoksia jaringan. Pengisapan dan gerakan selang dapat menciderai jaringan. Pajanan terhadap mikroorganisme meningkat, agen infeksi dapat masuk dari reservoir tangan petugas kesehatan, kulit yang rusak, selang, balutan dan dari makanan (Schaffer et al., 2000). Infeksi noskomial dapat dicegah dengan upaya: petugas perawatan kesehatan harus mencuci tangan, menerapkan kewaspadaan standar, mengusahakan jaringan tidak mengalami trauma selama pemasangan selang, pengisapan atraumatik dan irigasi harus dilakukan, perawatan lubang hidung untuk mencegah iritasi, pasien harus dikaji terhadap hidrasi yang adekuat, peralatan pemberian makan harus dibilas dan dibersihkan, larutan pemberian makan disimpan pada suhu yang direkomendasikan (Depkes. RI, 2007). Pemberian makan tidak boleh dilakukan lebih dari 4 jam dan kapasitas lambung tidak boleh dilebihi. Penempatan selang harus diperiksa setiap kali sebelum memberikan makanan (Schaffer et al., 2000). Infeksi saluran pernapasan memiliki urutan kedua sebagai pencetus infeksi nosokomial setelah ISK dan merupakan kasus utama penyebab kematian (Tjietjen et al, 2004). Prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perawatan respiratori seperti intubasi endotrakeal, pengisapan dan ventilasi mekanik memberi kesempatan transmisi mikroorganisme dari benda-benda mati ke pasien (pada komponen humidifier, nebulizer dan ventilator yang terkontaminasi) serta pemindahan mikroorganisme melalui tangan petugas kesehatan yang terkontaminasi, dari satu pasien ke pasien lainnya. Prosedur lain yang dapat membahayakan saluran pernapasan adalah pemberian oksigen, pengobatan pernapasan tekanan positif intermitten, pemasangan dan pemeliharaan jalan napas buatan dan pengisapan endotrakeal (Schaffer et al., 2000). Cara yang paling penting untuk mencegah infeksi nosokomial adalah memutus cara penularan yang berhubungan dengan prosedur perawatan peralatan. Dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi harus diperhatikan sebelum peralatan digunakan kembali (Schaffer et al., 2000., Hidayat, 2003). Pengendalian infeksi untuk perawatan respitatori meliputi: kegiatan mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan membran mukosa, sekresi pernapasan atau benda yang terkontaminasi dengan sekresi pernapasan. Gunakan pula kewaspadaan barrier, seperti sarung tangan, gaun pelindung, pelindung wajah dan mata saat kontak dengan membran mukosa, sekresi pernapasan dan alat yang terkontaminasi (Depkes. RI, 2007). Terapkan teknik aseptik dan gunakan alat, bahan yang steril saat melakukan tindakan. Setelah tindakan, lepas sarung tangan dan buang pada tempat yang telah disediakan serta cuci tangan setelah tindakan. Pantau pasien untuk menilai perkembangan dan menanggapi dengan cepat jika ada tanda-tanda infeksi (Schaffer et al., 2000). Infeksi luka paska operasi atau surgical site infection (SSI) dapat terjadi akibat perawatan luka yang tidak memenuhi syarat aseptik. Transmisi mikroorganisme mudah terjadi saat prosedur ganti balut luka operasi di ruangan berlangsung. Cuci tangan, memakai sarung tangan dan alat pelindung diri, teknik ganti balut secara aseptik dan peralatan steril merupakan prosedur perawatan luka paska operasi yang sering diabaikan (Nurkusuma, 2009). Teknik perawatan luka paska operasi secara aseptik dengan langkah sebagai berikut: cuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau menggunakan alcohol handscrub, menggunakan sarung tangan dan alat pelindung diri seperti masker, tutup dengan duk steril area tindakan, semprot balutan sebelumnya dengan alkohol 70% secukupnya, kemudian angkat balutan yang lama dan plasternya menggunakan pinset secara perlahan. Apabila lengket, balutan disemprotkan lagi dengan alkohol atau basahi dengan NaCl 0,9%. Buang balut lama ketempat sampah atau mangkok (kidney dish), jangan meletakkan alat dan bahan steril ditempat yang tidak steril. Bersihkan luka dengan larutan NaCl 0,9 %, jika perlu ditambahkan perhidrol atau povidone iodine. Tutup luka dengan kasa steril dan bersihkan area sekitar luka yang telah ditutup dengan kasa basah. Tata kembali peralatan dan lepaskan sarung tangan, kemudian buang sarung tangan pada tempat yang telah disediakan. Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun, pantau luka operasi. Interval pergantian balut disesuaikan dengan kondisi luka (Nurkusuma, 2009).e. Penggunaan antiseptik Antisepsis adalah proses pengurangan jumlah mikroorganisme pada kulit, selaput lendir atau jaringan tubuh lain dengan menggunakan bahan antimikroba (antiseptik). Larutan antiseptik dapat meminimalkan jumlah mikroorganisme yang dapat mengkontaminasi luka. Larutan ini dapat digunakan untuk mencuci tangan terutama pada tindakan bedah, pembersihan kulit sebelum tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya. Larutan antiseptik yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan dan efektifitasnya terhadap mikroorganisme (Tjietjen et al., 2004). Antiseptik terkadang digunakan sebagai disinfektan yang dipakai untuk memproses instrumen atau benda mati lainnya tetapi penggunaan antiseptik ini sebenarnya tidak ditujukan untuk penggunaan tersebut, karena tidak memiliki kemampuan membunuh kuman seperti disinfektan kimiawi (Hidayat, 2003). Instrumen yang kotor, sarung tangan bedah dan barang-barang lain yang digunakan kembali dapat diproses dengan dekontaminasi, pembersihan dan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk mengendalikan infeksi (Depkes. RI, 2007). Dekontaminasi dan pembersihan merupakan dua tindakan pencegahan dan pengendalian yang sangat efektif meminimalkan risiko penularan infeksi. Dekontaminasi merupakan langkah pertama dalam menangani alat bedah, sarung tangan dan benda lainnya yang tercemar (Hidayat, 2003). Hal penting sebelum membersihkan adalah mendekontaminasi alat tersebut. Dengan merendam dalam larutan kloron o,5 % selama 10 menit. Langkah ini dapat menonaktifkan HBV, HCV dan HIV serta dapat mengamankan petugas yang membersihkan alat tersebut (Tjietjen et al., 2004). Setelah melakukan langkah dekontaminasi, selanjutnya adalah pembersihan. Proses pembersihan penting dilakukan karena tidak ada prosedur sterilisasi dan DTT yang efektif tanpa melakukan pembersihan terlebih dahulu. Pembersihan dapat dilakukan dengan menggunakan sabun cair dan air untuk membunuh mikroorganisme. Gunakan pelindung saat membersihkan alat (Gusfitri, 2005). Proses selanjutnya dalam penangan instrumen kotor, sarung tangan bedah dan barang lain yang tercemar adalah sterilisasi. Sterilisasi harus dilakukan untuk alat-alat yang kontak langsung dengan aliran darah atau cairan tubuh lainnya dan jaringan (Depkes. RI, 2007). Sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (autoclafe), pemanasan kering (oven), sterilisasi kimiawi dan fisik (Hidayat, 2003). Efektivitas setiap metode sterilisasi bergantung pada jenis dan jumlah mikroorganisme, jenis dan jumlah materi organik yang melindungi mikroorganisme serta jumlah retakan dan celah pada peralatan sebagai tempat menempel mikroorganisme tersebut. Sterilisasi merupakan metode yang paling aman dan efektif dalam pemprosesan alat tetapi peralatan sterilisasi sering tidak tersedia. Dalam keadaan demikian, DTT merupakan alternatif yang dapat diterima. DTT membunuh semua mikroorganisme (termasuk bakteri vegetatif, tuberkulosis dan virus). DTT dapat diperoleh dengan merebus dalam air, menggunakan uap panas dan merendam alat dalam disinfektan kimiawi (Tjietjen et al., 2004). Faktor lingkungan juga memberi distribusi dalam proses penyebaran infeksi, walaupun peran faktor lingkungan tidak terlalu besar, kebersihan dan pemeliharaan yang teratur harus dilakukan untuk mempertahankan situasi yang aman. Semua permukaan peralatan harus dibersihkan untuk meminimalkan menyebarnya mikroorganisme melalui udara. Permukaan lantai harus dibersihkan setiap hari. Sabun dan air hangat dapat digunakan untuk pembersihan rutin setiap harinya, jika dibutuhkan disinfektan juga dapat digunakan (Depkes. RI, 2007). 2.1.2 Kewaspadaan Berdasarkan Penularan atau Transmisi Kewaspadaan berdasarkan penularan atau transmisi juga merupakan bagian penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. Kewaspadaan berdasarkan transmisi diterapkan pada pasien yang menunjukkan gejala, dicurigai terinfeksi atau mengalami kolonisasi dengan kuman yang sangat mudah menular. Kewaspadaan berdasarkan transmisi perlu dilakukan sebagai tambahan kewaspadaan standar (Depkes. RI, 2007). Kewaspadaan berdasarkan transmisi meliputi: penanganan linen dan pakaian kotor, penanganan peralatan makan pasien, dan pencegahan infeksi untuk prosedur yang menimbulkan aerosol pada pasien suspek atau probabel menderita penyakit menular melalui udara atau airborne (Gusfitri, 2005). Selain itu tindakan ini meliputi isolasi pasien yang akan menjadi sumber infeksi juga perlu diperhatikan untuk mencegah transmisi langsung atau tidak langsung (Kayser et al., 2005).a. Penanganan linen dan pakaian kotor Penanganan linen dan pakaian kotor menjadi hal yang penting karena linen yang tercemar oleh mikroorganisme yang sangat patogen, risiko penularannya dapat minimal apabila linen tersebut ditangani dengan baik sehingga dapat mencegah penularan mikroorganisme pada pasien, petugas dan lingkungan. Petugas tidak boleh memegang linen dekat tubuh dan mengibaskan linen tersebut. Menjaga kebersihan, penangan, penyimpanan linen bersih sangat dianjurkan. Selain itu pemakaian peralatan makan pasien suspek dan probable penyakit menular harus diperhatikan. Tidak dibenarkan memakai peralatan makan secara bersama (satu peralatan makan untuk setiap pasien) (Depkes. RI, 2007).b. Isolasi Selain itu, pasien dengan penyakit menular melalui udara perlu dirawat di ruang isolasi untuk mencegah transmisi langsung atau tidak langsung (Gusfitri, 2005). Setiap langkah pencegahan dan pengendalian infeksi yang telah ditetapkan harus dilakukan sesuai petunjuk untuk mencegah penularan infeksi antar pasien dan dari pasien kepetugas kesehatan atau keorang lain. Jumlah petugas kesehatan yang merawat pasien isolasi, harus dijaga seminimal mungkin sesuai dengan tingkat perawatan. Petugas perlu pengawasan ketat dan hendaknya berpengalaman dalam pengendalian infeksi (Depkes. RI, 2007). Beberapa persyaratan dalam pelaksanaan isolasi bagi pasien dengan penyakit menular adalah sebagai berikut: kamar khusus yang selalu tertutup, cuci tangan dengan sabun atau larutan antiseptik sebelum dan sesudah masuk kamar, gunakan masker dan sarung tangan serta baju pelindung, peralatan makan khusus untuk pasien, bahan pemeriksaan laboratorium diletakkan pada tempat steril tertutup rapat, setelah dipakai alat suntik dimasukkan pada tempat khusus dan dibuang, alat pemeriksaan lengkap, penanganan instrumen secara tepat, jumlah pengunjung pasien dibatasi dan kamar dibersihkan setiap hari (Depkes. RI, 2007). Tindakan organisasi dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dapat diwujudkan dengan membentuk Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (KPPI). Tugas KPPI meliputi identifikasi dan analisis situasi, melakukan tindakan yang diperlukan untuk meningkatkan pengendalian infeksi dengan menerbitkan peraturan yang mengikat, kerjasama dalam perencanaan dan pengadaan fasilitas operasional dan struktural, kerja sama pada prosedur operasional di berbagai bagian rumah sakit dan kontribusi untuk pelatihan staf pada pengendalian infeksi dirumah sakit. Untuk melasanakan tugas-tugas ini secara efektif, komite harus memiliki akses ke kelompok kerja dari spesialis. Di rumah sakit besar, ahli epidemiologi dan staf khusus diperlukan untuk program ini (Kayser et al., 2005). Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes. RI) telah melakukan revitalisasi Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di rumah sakit. PPI ini merupakan salah satu pilar menuju Patient Safety dan diharapkan kejadian infeksi dirumah sakit dapat diminimalkan sehingga pelayanan kesehatan kepada masyarakat lebih optimal. Selain itu Menkes RI juga telah mengeluarkan kebijakan yaitu Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan memasukkan PPI dalam Standar Pelayanan Minimal dan Akreditasi Rumah Sakit yang berarti rumah sakit harus melaksanakan PPI secara optimal (Depkes. RI, 2007). Tindakan struktural berhubungan dengan struktur bangunan baru yang akan dibuat yang harus sesuai dengan standar sanitasi. Oleh karena itu diwajibkan untuk berkonsultasi dengan tenaga ahli dalam perencanaan bagian-bagian yang relevan. Aspek higienis juga dipertimbangkan dalam rekontruksi dan pemulihan substansi bangunan tua (Kayser et al., 2005).

2.2 Infeksi Nosokomial Infeksi adalah proses dimana terjadi invasi dan multiplikasi dari mikroorganisme patogen didalam tubuh sehingga menyebabkan seseorang menjadi sakit. Mikroorganisme patogen dapat berupa bakteri, virus, riketsia, jamur maupun parasit (Hidayat, 2003). Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat dirumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial (Tietjen et al., 2004., Bayuningsih, 2010). Secara umum pasien yang masuk rumah sakit dengan tanda infeksi yang timbul kurang dari 3x24 jam, menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, sedangkan infeksi dengan gejala 3x24 jam setelah pasien berada dirumah sakit tanpa tanda-tanda klinik infeksi pada waktu penderita mulai dirawat, serta tanda infeksi bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumya, maka ini yang disebut infeksi nosokomial (Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Paru USU, 2005). Selama 10-20 tahun belakang ini telah banyak perkembangan yang telah dibuat untuk mencari masalah utama terhadap meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial di banyak negara. Keadaan ini akan memperlama waktu perawatan dan meningkatkan biaya pengobatan serta penggunaan jasa di luar rumah sakit. Karena itulah, dinegara-negara miskin dan berkembang, pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial lebih diutamakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien dirumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya (Bady et al., 2007). Pasien dengan umur tua, berbaring lama atau beberapa tindakan seperti prosedur diagnostik invasif, infus yang lama dan kateter urin yang lama atau pasien dengan penyakit tertentu yaitu penyakit yang memerlukan kemoterapi, penyakit yang sangat parah, pre operasi, post operasi, penyakit keganasan, diabetes, anemia, penyakit autoimun dan penggunaan imunosupresan atau steroid risiko terkena infeksi lebih besar (Zulkarnain, 2009). Sumber dan cara penularan terutama terjadi melalui tangan petugas kesehatan maupun personil kesehatan lainnya, jarum injeksi, kateter intra vena, kateter urin, kasa pembalut atau perban dan cara yang keliru dalam menangani luka. Infeksi nosokomial ini pun tidak hanya mengenai pasien saja, tetapi juga dapat mengenai seluruh personil rumah sakit yang berhubungan langsung dengan pasien maupun penunggu dan para pengunjung pasien (Pelczar et al., 2005). Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh. Tetapi, selain untuk mencari kesembuhan, rumah sakit juga merupakan depot bagi berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier (Guntur, 2007). Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit, seperti: udara, air, lantai, makanan dan benda-benda medis maupun non medis (Bayuningsih, 2010). Terjadinya infeksi nosokomial akan menimbulkan banyak kerugian, yaitu: lama hari perawatan bertambah panjang, penderitaan bertambah dan biaya meningkat (Tietjen et al., 2004).

2.2.1Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi NosokomialA. Agen Pasien akan terkena berbagai macam mikroorganisme selama di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada tingkat kemampuan invasi dan merusak jaringan, lamanya pemaparan, resistensi terhadap zat-zat antibiotika, tingkat virulensi dan banyaknya materi infeksius (Pelczar et al., 2005., Darmadi, 2008). Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection) (Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Paru USU, 2005). Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia dan sebelumnya jarang menyebabkan penyakit pada orang normal (Hidayat, 2003).B. Instrinsic Factors Merupakan faktor predisposisi yang berasal dari diri penderita. Faktor terpenting dari diri penderita adalah tingkat toleransi dan respon tubuh pasien, seperti yaitu: umur, status imunitas penderita, penyakit yang diderita, obesitas dan malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan dan steroid serta intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi (Guntur, 2007., Darmadi, 2008). Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi, kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik (Zulkarnain, 2009). Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan risiko infeksi (Pelczar et al., 2005).C. Extrinsic Factors Merupakan faktor yang berasal dari luar yang setiap saat atau setiap hari dipastikan selalu dekat atau mendapat kontak dengan penderita, baik sebagai sumber penularan maupun media perantara penularan. Infeksi dapat terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung dengan penyebab infeksi (Maryati, 2011). Infeksi direct dapat terjadi dari tranfusi darah dengan darah yang terkontaminasi, droplet nuclei saat bersin, batuk, berbicara. Sedangkan infeksi indirect membutuhkan media perantara baik petugas kesehatan yang berhubungan langsung dengan penderita seperti dokter, bidan dan perawat ataupun perantara lain seperti barang/bahan, air, udara, makanan atau minuman dan vektor (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit dan menjadi sangat penting karena: meningkatnya jumlah penderita yang dirawat, seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur, mikororganisme yang baru (mutasi) dan meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika (Pelczar et al., 2005).D. Faktor Alat Suatu penelitian klinis menyatakan infeksi nosokomial terutama disebabkan infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi dari luka bekas operasi. Pemakaian infus dan kateter urin yang lama dan tidak diganti-ganti meningkatkan risiko infeksi nosokomial serta menyebabkan komplikasi berupa gangguan mekanis, fisik dan kimiawi (Tjietjen et al., 2004). Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui vena seksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip antiseptik, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat pemasangan infus dan bakteremia pada pasien (Tjietjen et al., 2004., Zulkarnain, 2009).

2.2.2 Patofisiologi Infeksi nosokomial dapat terjadi melalui cara silang (cross-infection) dari satu pasien ke pasien lainnya atau infeksi diri sendiri (Self infection atau auto infection) dimana kuman sudah ada pada pasien, kemudian melalui suatu migrasi (gesekan) pindah tempat dan ditempat yang baru menimbulkan infeksi. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang kurang karena penyakit kronik, usia tua dan penggunaan immunosupresan. Kuman awalnya tidak patogen dan hidup simbiosis berdampingan secara damai dengan penjamu, akibat daya tahan yang menurun sehingga menimbulkan infeksi (Zulkarnain, 2009). Infeksi ini dapat terjadi dengan berbagai cara (misalnya: transfusi darah atau transplantasi organ) tetapi yang paling umum dan mudah dicegah adalah penyebaran yang meliputi penyebaran dari tangan para pekerja kesehatan atau kontaminasi dari permukaan benda-benda seperti tempat tidur (Kumar et al., 2010).

2.2.3 Diagnosa Klinis Secara klinis diagnosa infeksi nosokomial bisa ditentukan dengan adanya gejala-gejala infeksi pada hari ke tiga masa perawatan pasien di rumah sakit. Gejala klinis tersebut meliputi: panas lebih dari 38o C yang minimal bertahan 24 jam, hipotermi kurang dari 36o C, diare, batuk, sesak nafas, sakit saat buang air kecil, infeksi kulit, infeksi luka operasi, phlebitis, mastitis dan gejala sepsis (Depkes. RI, 2001).2.3. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat diperbaharui melalui indera pendengaran dan indera penglihatan. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda beda (Nurbiyanti, 2006). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Asfriyanti (2006) mengungkapkan sebelum orang berperilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan :1. Kesadaran, menyadari dalam arti pengetahuan terlebih dahulu terhadap stimulus.2. Merasa tertarik, dimana orang mulai tertarik dengan stimulus.3. Menimbang-nimbang, terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.4. Mencoba, dimana orang telah mencoba perilaku baru.5. Mengadopsi, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.4 Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap adalah kesiapan atau kesedian untuk bertindak dan bukan pokok pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan pridisposisi perilaku (Nurbiyanti, 2006).Menurut Nurbiyanti (2006) sikap terdiri dari 3 komponen, yaitu :1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.2. Kehidupan emosional dan evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek.3. Kecenderungan untuk bertindak, artinya sikap merupakan komponen yang mendahulukan tindakan atau perilaku terbuka.

2.5 Pelatihan Pelatihan dapat diartikan sebagai proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu dalam melaksanakan tanggung jawab dengan semakin baik sesuai standar. Pelatihan lebih merujuk pada pengembangan keterampilan bekerja (vocational) yang dapat digunakan segera. Pelatihan terdiri dari: on the job, training, vestibule training, apprenticesip, kursus-kursus khusus (Maryati, 2011). Sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial adalah dengan memberikan pelatihan kewaspadaan universal pencegahan infeksi. Metode pelatihan ini dipilih untuk meningkatkan kemampuan perawat karena infeksi nosokomial berhubungan dengan beban kerja dari sumber daya atau tenaga kesehatan serta tingkat pelatihan perawat, beban kerja yang tinggi terkait dengan tindakan pengendalian infeksi seperti kebersihan tangan dan kepatuhan dalam tindakan pencegahan infeksi (Bady et al., 2007). Berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan yang bermakna antara pelatihan perawat dengan kinerja SDM dalam pengendalian infeksi nosokomial, meskipun kontribusi angka yang disumbangkan hanya rendah, namun pihak manajemen tidak bisa memandang remeh faktor pelatihan dalam pengendalian infeksi di rumah sakit. Perawat yang telah diberikan pelatihan infeksi nosokomial dan dianggap memahami tentang infeksi nosokomial ternyata kinerjanya lebih baik dari pada perawat yang tidak/belum pernah diberikan pelatihan infeksi nosokomial (Bady et al., 2007). Peneliti berpendapat apabila seluruh perawat diberikan pelatihan infeksi nosokomial tentu besar kemungkinannya kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial akan menjadi sangat bagus dan pastinya angka kejadian infeksi nosokomial lebih rendah. Dan hal ini akan menaikkan citra pelayanan rumah sakit dikarenakan tinggi rendahnya angka infeksi nosokomial adalah salah satu indikator standar mutu pelayanan rumah sakit, semakin rendah angka infeksi nosokomial semakin efektif dan efisien pelayanan, hari rawat inap semakin pendek, tentunya biaya juga dapat ditekan (Bady et al., 2007).

2.6 Standar Operasional Prosedur Peningkatan kinerja pelayanan kesehatan telah menjadi tema utama diseluruh dunia. Dengan tema ini, organisasi pelayanan kesehatan dan kelompok profesional kesehatan sebagai pemberi pelayanan harus menampilkan akuntabilitas sosial dalam memberikan pelayanan kepada konsumen yang berdasarkan standar profesionalisme, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja dalam memberikan pelayanan kesehatan. Sebagai konsekuensinya peningkatan kinerja memerlukan persyaratan yang diterapkan dalam melaksanakan pekerjaan berdasarkan standar operasional prosedur (SOP) yang telah disepakati dan dibakukan.(Suyanto, 2008) Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsesus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya. Penentuan standar dibuat tidak terlalu tinggi karena akan sulit untuk pencapaiannya dan juga standar tidak boleh dibuat terlalu rendah karena mudah pencapaiannya namun tidak berkualitas. Jadi standar harus dibuat dalam minimal atau maksimal atau dalam kisaran yang telah disepakati (Suyanto, 2008). Standar operasional prosedur merupakan tata cara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu kerja tertentu, sehingga suatu kegiatan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien. Tujuan pelaksanaan SOP untuk menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas atau tim dalam organisasi atau unit. SOP selain dapat dijadikan sebagai pedoman dapat pula menjadi alat ukur untuk melakukan penilaian dan evaluasi untuk menciptakan motivasi kerja secara profesional karena hasil pekerjaan akan mudah diukur baik dan buruknya (Suyanto, 2008).

2.7 Insentive Agar seseorang mau dan bersedia melakukan seperti yang diharapkan, kadang kala perlu di sediakan perangsang (insentive).Perangsang dibedakan atas dua macam yaitu: A. Perangsang positif Perangsang positif (positive insentive) adalah imbalan yang menyenangkan yang disediakan untuk karyawan yang berprestasi. Rangsangan positif ini banyak macamnya antara lain hadiah, pengakuan promosi ataupun melibatkan karyawan tersebut pada kegiatan yang bernilai gengsi yang lebih tinggi. Perangsang positif menyebabkan konsekuensi menyenangkan yang mendorong pengulangan perilaku, sebagai contoh seorang pegawai merasa bahwa apabila dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik maka pimpinan atau atasan akan memberi imbalan pengakuan dan pujian, pegawai cenderung menyukai pengakuan dan pujian maka perilaku yang diperkuat dengan hal demikian membuat pegawai cenderung ingin melakukan lagi pekerjaan yang berkualitas tinggi. Pengakuan agar karyawan mampu bekerja dan melaksanakan tugas dengan baik dapat di ekspresikan dengan cara pimpinan memberikan penghargaan kepada yang bersangkutan. Penghargaan terhadap kinerja adalah sesuatu yang bersifat non finansial yang diberikan kepada karyawan sebagai penghargaan atas prestasi yang telah dicapainya. Dengan cara ini, karyawan akan sadar bahwa kinerjanya dihargai dan dinilai tinggi (Lupiah et al., 2009).B. Perangsang negatif. Perangsang negatif (negative insentive) ialah imbalan yang tidak menyenangkan berupa hukuman bagi karyawan yang tidak berprestasi dan ataupun yang berbuat tidak seperti yang di harapkan. Macam perangsang yang negatif banyak pula jenisnya, antara lain denda, teguran, pemindahan tempat kerja (mutasi) dan ataupun pemberhentian (Lupiah et al., 2009).

2.8 Kerangka Teoritis

Pencegahan dan PengendalianKasyer et al., 2005Upaya yang dilakukan:-Tindakan operasional-Tindakan organisasi-Tindakan struktural Darmadi, 2008Faktor yang Memperngaruhi:Agen Intrinsic factorsExtrinsic factorsFaktor alat

Infeksi Nosokomial

Kinerja Perawat

Perilaku kesehatan

Hasmoko, 2008Faktor yang mempengaruhi kinerja perawat:-Pengetahuan-Sikap-Pelatihan-SOP-Insentive

Gambar 2.1 Kerangka Teoritis

2.9 Kerangka konsep Kerangka konsep adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti (Notoadmodjo, 2005). Variabel dalam penelitian ini ada dua, yaitu variabel dependen dan variabel independen.1. Variabel dependen pada penelitian ini adalah kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin.2. Variabel independen pada penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan pelatihan. Kerangka konsep tersebut digambarkan sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan

Kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial

Sikap

Pelatihan

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN3.1Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik, dengan desain cross sectional dimana variabel indepeden dan dependen dikumpulkan dalam waktu bersamaan untuk menganalisa kinerja perawat ICU dalam pengendalian infeksi nosokomial di ICU Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

3.2Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di ICU Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Waktu penelitian ini berlangsung dari 9 Mei sampai dengan 2 Juni 2012.

3.3Populasi dan Sampel3.3.1Populasi penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat ICU yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien di ICU Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2012.

3.3.2Sampel Penelitian Sampel pada penelitian ini adalah seluruh perawat ICU yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien di ICU Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang berjumlah 22 orang. Teknik pengambilan sampel secara total populasi. Adapun kriteria sampel pada penelitian ini meliputi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut:1. Kriteria Inklusi: Seluruh perawat yang bertugas di ICU tanpa memandang strata pendidikan (SPK, D3, S1).

2. Kriteria Eksklusi:a) Perawat yang sedang cuti, sakit atau halangan lain sehingga tidak bisa menjalani tugas dalam jangka waktu selama penelitian berlangsung.b) Perawat tidak tetap (magang) yang sedang ditugaskan di ICU.

3.4Definisi Operasional3.4.1 Variabel Dependen Perilaku perawat dalam Pengendalian infeksi nosokomial adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon, serta dapat diamati secara langsung melalui hasil kerja yang dicapai oleh perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan di ICU RSUDZA Banda Aceh yang sesuai dengan SOP infeksi dari rumah sakit. Alat ukur berupa kuesioner, cara ukur dengan teknik observasi, hasil ukur dari penilaian adalah baik atau kurang baik dan skala ukur ordinal.

3.4.2 Variabel Independen1. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh perawat ICU RSUDZA Banda Aceh sebagai pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit. Alat ukur berupa kuesioner, cara ukur dengan teknik wawancara, hasil ukur dari penilaian adalah baik atau kurang baik dan skala ukur ordinal.2. Sikap adalah sikap perawat ICU RSUDZA Banda Aceh tentang pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit. Alat ukur berupa kuesioner, cara ukur dengan teknik wawancara, hasil ukur dari penilaian adalah setuju atau tidak setuju dan skala ukur ordinal.3. Pelatihan adalah pelatihan yang diikuti oleh perawat ICU RSUDZA tentang pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit. Alat ukur berupa kuesioner, cara ukur dengan teknik wawancara, hasil ukur dari penilaian adalah ada atau tidak ada dan skala ukur ordinal.

3.5 Alat Pengukuran Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengukur data. Kuesioner ini terdiri dari bagian A, B, C dan D.1. Bagian A merupakan lembar persetujuan untuk memberikan izin dalam pelaksanaan penelitian.2. Bagian B merupakan data demografi, yang diisi oleh petugas berupa identitas responden yang meliputi, nomor urut, tanggal pengisian, kode responden, jenis kelamin, lama bekerja dan pendidikan.3. Bagian C merupakan kuesioner analisa kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit. 4. Bagian D merupakan pernyataan penelitian yang menunjukan gambaran pertanyaan pengetahuan, sikap dan pelatihan dalam pengendalian infeksi nosokomial.

3.6 Metode Pengukuran Variabel3.6.1 Kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial1. Baik, apabila diperoleh skore hasil observasi median (21) . 2. Kurang baik, apabila diperoleh skore hasil observasi < median (21). 3.6.2 Pengetahuan dalam pengendalian infeksi nosokomial1. Baik, apabila diperoleh skore hasil wawancara Median (15). 2. Kurang baik, apabila diperoleh data hasil wawancara < median (15).3.6.3 Sikap dalam pengendalian infeksi nosokomial1. Baik, apabila diperoleh skore hasil wawancara median (6,50).2. Kurang baik, apabila diperoleh skore hasil wawancara < median (6,50).3.6.4 Pelatihan dalam pengendalian infeksi nosokomial1. Ada, apabila diperoleh data hasil wawancara perawat ICU mengikuti pelatihan pengendalian infeksi nosokomial.2. Tidak ada, apabila diperoleh data hasil wawancara perawat ICU tidak mengikuti pelatihan pengendalian infeksi nosokomial.

3.7 Analisis Data1. Analisis UnivariatAnalisis univariat dilakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian yaitu pengetahuan, sikap dan pelatihan dengan menggunakan distribusi frekuensi untuk mengetahui gambaran terhadap variabel yang diteliti (Tumbelaka et al., 2008).Pengkatagorian variabel pengetahuan, sikap dan pelatihan berdasarkan nilai median menggunakan rumus:Me = 1/2 n dan Me = 1/2 n + 1Keterangan:Me : Mediann : banyaknya pengamatanApabila x (hasil pengamatan) nilai median berati gambaran pengetahuan, sikap dan pelatihan berada pada katagori baik, sedangkan bila x < nilai median berati gambaran pengetahuan, sikap dan pelatihan berada pada katagori kurang baik Budiarto, 2002).Setelah diolah, selanjutnya data yang telah dimasukan kedalam tabel distribusi frekuensi ditentukan presentase perolehan untuk tiap-tiap katagori dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

P = Keterangan:P: Persentase f x: Frekuensi atau jumlah nilai yang diambiln: Jumlah responden yang menjadi sampel

1. Analisis BivariatAnalisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan, dengan tujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen yaitu pengetahuan, sikap dan pelatihan dengan variabel dependen yaitu kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial. Analisis data dilakukan dengan Fishers exact test dengan kriteria hubungan ditetapkan berdasarkan p value dengan kriteria, sebagai berikut:

1. Jika p value > 0,05 maka tidak ada hubungan yang signifikan.1. Jika p value 0,05 maka ada hubungan yang signifikan.