BAB I - II

download BAB I  - II

of 60

Transcript of BAB I - II

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga berakibat timbulnya kerugian ekosistem dan terancamnya kelestarian lingkungan.

Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat berharga karena mengandung keanekaragaman hayati yang tak terbatas. Namun gangguan terhadap hutan intensitasnya semakin meningkat dari waktu ke waktu baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap hutan yang paling sering terjadi terutama pada musim kemarau. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, pengertian kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan atau nilai lingkungan.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia. Dampak yang besar dari kebakaran hutan mendorong berbagai pihak untuk melakukan tindakan pencegahan. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan cara memperkirakan wilayah yang memiliki potensi dilanda kebakaran. Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh pendeteksian wilayah tersebut menjadi lebih cepat sehingga dapat segera dilakukan langkah pencegahan selanjutnya. Sebagai upaya pencegahan jangka panjang, perencanaan tata ruang wilayah perlu memperhatikan aspek-aspek keseimbangan alam. Selain itu peningkatan kemampuan instansi atau pihak terkait di dalam pemadaman kebakaran juga diperlukan untuk mengantisipasi kebakaran yang sudah terjadi.

Penggunaan data satelit lingkungan seperti NOAA/AVHRR dan AQUA MODIS yang memanfaatkan band termal yang dimiliki oleh kedua satelit tersebut. Band termal yang dimiliki satelit NOAA/AVHRR adalah Kanal yang dimanfaatkan untuk tujuan deteksi titik panas adalah band termal kanal termal ( kanal 3) , (kanal 4) dan (kanal 5) dengan panjang gelombang 3,55 3,93 m untuk kanal 3, 10.30-11.30 untuk kanal 4 dan 11,5-12,5 m untuk kanal 5. Sedangkan pada MODIS memanfaatkan data suhu kenampakan kanal 21 atau 22 dengan panjang gelombang 3,929 3,989 m dan kanal 31 dengan panjang gelombang 10,780-11,280 m ( Frelya , 2009).I.2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana cara menentukan lokasi sebaran dan perhitungan titik panas (hotspot) di Riau menggunakan citra satelit NOAA/AVHRR dan AQUA MODIS berbasis algoritma kanal termal ?

2. Bagaimana menentukan pendeteksi sebaran titik panas (hotspot) antara citra satelit NOAA/AVHRR dan AQUA MODIS menggunakan teknik teknik dari penginderaan jauh di masing-masing citra satelit tersebut ?

I.3. Pembatasan Masalah

Adapun pembatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan kajian pengamatan tentang wilayah sebaran titik panas (hotspot) yang ada di Provinsi Riau pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014.2. Menggunakan citra satelit NOAA/AVHRR dan AQUA MODIS pada pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014.

3. Metode pendeteksian titik panas dan pemantauan suhu permukaan daratan.

I.4. Tujuan Dan Manfaat PenelitianTujuan dan pemanfaatan penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui jumlah titik panas (hotspot) di Provinsi Riau menggunakan citra satelit AQUA MODIS dan intensitas suhu sebaran titik panas dengan citra satelit NOAA-18 /AVHRR.2. Untuk mendeteksi lokasi sebaran titik panas (hotspot) di Provinsi Riau menggunakan citra satelit NOAA/AVHRR dan AQUA MODIS dengan teknik penginderaan jauh.3. Untuk memetakan daerah-daerah yang berpotensi mengalami kebakaran hutan atau lahan yang berada di Provinsi Riau dengan menggunakan metode penentuan berapa banyak titik panas dengan menggunakan citra satelit AQUA MODIS dan pemantauan suhu permukaan daratan NOAA/AVHRR.

Manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu manfaat dari segi keilmuan dan manfaat dari segi rekayasa.

Manfaat dari segi kelimuan :1. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak titik panas yang berada di suatu daerah.

2. Metode penginderaan jauh dapat dijadiakan sebuah opsi untuk menentukan suatu lokasi titik panas.

Manfaat dari segi Kerekayasaan :

Penelitian ini bermanfaat untuk berbagai keperluan diantaranya smemberikan kontribusi dalam pengambilan keputusan untuk pencegahan dan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.

I.5. Ruang Lingkup Penelitian

I.5.1. Wilayah Penelitian

Dalam penelitian ini daerah yang dijadiakan penelitian adalah Provinsi Riau karena daerah tersebut sering sekali terjadi kebakaran hutan yang cakupannya cukup luas. Pada penelitian kali ini metode yang digunakan untuk mendekteksi kebakaran hutan adalah metode penginderaan jauh menggunakan citra satelit AQUA MODIS untuk menentukan koordinat titik panas dan citra satelit NOAA/AVHRR yang digunakan dalam melakukan perhitungan algoritma kanal termal yang nantinya hasil dari algoritma tersebut dapat mendeteksi tempat yang berpotensi terjadinya kebakaran hutan di daerah Riau. Lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 1.1 :

Gambar 1.1.Wilayah penelitian Provinsi Riau (BNPN , 2014)

I.5.2. Alat dan data penelitianI.5.2.1. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Perangkat keras

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat laptop yang memiliki spesifikasi sebagai berikut:

Merek laptop: Acer Aspire 4738z

Sistem Operasi: Microsoft Windows 7 32-bit

Processor

: Intel(R) Pentium(R) CPU P6200 2,13GHzn 2,13 Ghz RAM

: 1.00 GB

2. Perangkat lunak

Perangkat lunak yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Perangkat lunak ER mapper 7.1

b. Perangkat lunak ENVI 4.6.1

c. Perangkat lunak HRPT Reader

d. Perangkat lunak ArcGIS 10

e. Perangkat lunak Microsoft Exel 2010

f. Perangkat lunak Microsoft Office 2010 I.5.2.2. Data Penelitian

Data penelitian ini menggunakan citra satelit NOAA/AVHRR dan AQUA MODIS pada pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014 dan peta Administrasi Provinsi Riau.

Tabel 1.1. Data waktu pengamatan

NoJenis dataWaktu pengamatanSumber

1NOAA-18/AVHRR.L1B (2014-02-27 16.21_N18.ers) 27 Februari 2014Stasiun LAPAN

2NOAA-18/AVHRR L1B (2014-02-28 16.10_N18.ers)28 Februari 2014Stasiun LAPAN

3AQUAMODIS a1.14058.0552.mod14.hdf 27 Februari 2014Stasiun LAPAN

4AQUA MODIS a1.14059.0458.mod14.hdf 28 Februari 2014Stasiun LAPAN

I.5.3. Metodologi Penelitian1. Tahap persiapan awal :

Merupakan tahap dari pengumpulan dan studi literatur jurnal yang berkaitan baik dari buku penelitian sebelumnya maupun dari situs internet. Pada tahap ini juga dilakukan pengumpulan data dan pengadaan data alat yang menunjang pelaksanaan penelitian.

2. Tahap Pelaksanaana. Pengolahan data

Tahap pengolahan data dilakukan setelah proses pengumpulan data selesai, langkah-langkah yang harus dilakukan dengan memasukkan data ke perangkat lunak Pengolahan awal melakukan proses georefensi citra yaitu proses penempatan objek berupa raster atau gambar yang belum mempunyai acuan sistem koordinat ke dalam system koordinat dan proyeksi tertentu kemudian dilanjutkan dengan melakukan koreksi geometrik yang bertujuan untuk mendapatkan citra yang sesuai dengan membuat GCP pada citra. setelah proses georefensi citra dan koreksi geometrik selesai lalu dilakukan perhitungan nilai titik panas (hotspot) pada data citra satelit NOAA/AVHRR menggunakan algoritma kanal termal dan untuk data AQUA MODIS yang menggunakan format mod14 tidak perlu melakukan proses seperti pada citra satelit NOAA/AVHRR karna pada data AQUA MODIS mod14 berisikan data koordinak titik panas dan langsung di olah di perangkat lunak ArcGis.b. Analisis data penelitian

Tahap analisis ini dilakukan setelah proses pengolahan data sudah selesai di kerjakan dan mendapatkan hasil titik panas pada kedua citra satelit NOAA/AVHRR dan AQUA MODIS mod14 lalu hasil perhitungan titik panas antara citra satelit NOAA/AVHRR dan AQUA MODIS mod14 di bandingkan dan mendapat hasil perbandingannya.3. Tahap akhir.

Merupakan tahap selesainya segala kegiatan penelitian yang dituangkan dalam laporan tugas akhir4. Diagram Alir metodologi penelitianGambar 1.2. Diagram alir metodelogi penelitianI.6. Sistematika Penulisan LaporanLaporan tugas akhir ini dibagi menjadi lima bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan laporan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang,rumusan masalah, pembatasan masalah, ruang lingkup penelitian ,tujuan dan pemanfaatan penelitian, metodelogi penelitian, dan sistematika penulisan laporan.BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

Menjelasan tentang landasan teori yang berkaitan dengan penelitian titik panas (hotspot) dan suhu permukaan daratan yang diperlukan dalam melakukan penelitian dan penyusunan laporan tugas akhir yang akan dibuat.

BAB III. TAHAPAN IDENTIFIKASI SEBARAN TITIK API

Menjelaskan mengenai gambaran umum tahapan dari penelitian yang dilakukan mulai lokasi penelitian yaitu provinsi jawa tengah, peralatan dan data penelitian, diagram alir pelaksanaan, pelaksanaan penelitian, pengolahan data citra dan analisis dari data spasial dan atributnya sehingga dapat diperoleh sebaran titik panas dan suhu permukaan daratan yang ada di Provinsi Riau.BAB IV. HASIL DAN ANALISIS

Menjelaskan hasil penelitian dan pembahasan dari perbandingan titik panas pada citra satelit NOAA/AVHRR dan AQUA MODIS serta keterkaitan dengan sebaran titik panas di kedua citra satelit tersebut.

BAB V. PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran dari keseluruhan pelaksanaan penelitian dan saran-saran.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1. Kajian Penelitian Terdahulu

Beberapa kajian yang menejelaskan tentang analisis titik panas di permukaan daratan bumi yang akan dijelaskan singkat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu

NoPengarang Tahun JudulKeterangan

1Achmad Siddik ThohaBambang Hero SaharjoLaila Syaufina2008Penggunaan data hotspot untuk monitoring kebakaran hutan dan lahan di IndonesiaMetode yang digunakan dalam penjelasan titik panasnya adalah menggunakan teknik monitoring dari data penginderaan jauh

2Giatika Chrisnawati

Dodi Sudiana2008Analisa sebaran titik panas dan suhu permukaan daratan sebagai penduga terjadinya kebakaran hutan menggunakan sensor satelit NOAA/AVHRR dan EOS AQUA-TERRA/MODISMetode yang digunakan dalam penjelasan titik panasnya adalah menggunakan teknik teknik dari penginderaan jauh

3Asep Kusuma Dodi Sudiana2008Metode pendeteksian titik panas (hotspot) dan pemantauan suhu permukaan daratan.

Metode penentuan suhu permukaan laut AVHRR menggunakan NON Linier SST dan multi Channel pada kanal 4 dan 5

4Frelya Artha

Lalu Muhamad Jaelani

Wiweka

Heri Y. Sulyantara 2009Studi perbandingan sebaran hotspot dengan menggunakan citra satelit NOAA/AVHRR dan AQUA MODISMetode yang digunakan dalam penjelasan titik panasnya adalah menggunakan teknik teknik dari penginderaan jauh

5Bagus Aji Saputra

Arief Laila Nugroho

L.M.Sabri2010Analisis daerah bekas kebakaran lahan menggunakan data satelit AQUA MODISMetode yang digunakan dalam mengetahui luas daerah bekas kebakaran hutan menggunakan teknik teknik dari penginderaan jauh

6Tegar Dio Arsadya Rahadian Yudo prasetyo

Haniah

2015Analisis sebaran dan perhitungan hotspot menggunakan citra satelit noaa/avhrr dan aqua modis berbasis algoritma Kanal termal

Metode pendeteksian titik panas (hotspot) dan pemantauan suhu permukaan daratan menggunakan algoritma kanal termal

Achmad Siddik Thoha (2008) Pada penelitian ini dibahas bahwa data titik panas dengan keunggulannya dapat bermanfaat bagi upaya deteksi monitoring maupun pengembangan sistem peringatan dini kebakaran hutan dan lahan. Disamping itu, terdapat kelemahan pada aplikasi penggunaan data titik panas yang berhubungan dengan karakteristik data, standar pemrosesan data, sistem distribusi data dan berkelanjutan ketersediaan data.

Giatika Chrisnawati (2008) Pada Penelitian ini Satelit yang dapat digunakan untuk pemantauan titik panas adalah satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) melalui sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) dan sensor satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectro-Radiometer) yang dibawa oleh satelit Terra dan Aqua. Penentuan titik panas dihitung menggunakan metode yang dikembangkan oleh LAPAN untuk data MODIS dan Forest Fire Prevention and Control Project, Departemen Kehutanan RI, untuk data NOAA/AVHRR. Sementara suhu permukaan daratan, dihitung menggunakan metode yang dikembangkan oleh MAIA. Sebaran titik panas dan suhu permukaan daratan disajikan dalam bentuk peta 2-dimensi yang diberi data geografis. Perbandingan antara peta sebaran titik panas dan suhu permukaan daratan juga dibahas dalam penelitian ini.

Asep Kusuma (2008) Pada Penelitian ini Metode penentuan suhu permukaan laut AVHRR menggunakan NON Linier SST dan multi Channel pada kanal 4 dan 5. Sedangkan modis menggunakan algoritma NON Linier SST yang dibuat oleh IMAPP pada kanal 31 dan 32 . data yang digunakan untuk masing-masing sensor pada penelitian ini adalah data level 1b.

Frelya Artha (2009) Pada penelitian ini dilakukan pengolahan dan perbandingan data citra satelit NOAA-19/AVHRR dan Aqua MODIS untuk mengetahui citra yang lebih efektif dalam mendeteksi sebaran Hotspot pada waktu perekaman / waktu temporal citra tanggal 31 Oktober 2009. Setiap band pada NOAA/AVHRR berhubungan dengan atribut pada perhitungan Hotspot (kebakaran hutan). Sedangkan Aqua MODIS memiliki lebih banyak band dibandingkan NOAA/AVHRR sehingga menghasilkan lebih banyak kombinasi band untuk berbagai macam tujuan.

Bagus Aji Saputra (2010 ) pada penelitian ini dilakukan pengolahan data menggunakan citra satelit AQUA Modis untuk mengetahui luas daerah kebakaran lahan di wilayah Kalimantan yang berdasarkan nilai reflektansinya dari citra AQUA MODIS sebelum puncak kebakaran dan sesudah puncak kebakaran pada tahun 2009.

Tegar Dio (2015) Pada penelitian ini dilakukan pengolahan dan perbandingan data citra satelit NOAA-19/AVHRR dan AQUA MODIS untuk mengetahui Untuk memetakan daerah-daerah yang berpotensi mengalami kebakaran hutan atau lahan yang berada di Provinsi Riau dengan menggunakan metode penentuan berapa banyak titik panas dengan menggunakan citra satelit AQUA MODIS dan pemantauan suhu permukaan daratan NOAA/AVHRR.II.2. Titik Panas (Hotspot) Sebuah titik panas yang berupa satu piksel pada citra satelit dimana suhu kecerahan dari piksel tersebut mengindikasikan adanya kebakaran. Pada awalnya titik panas diidentikkan dengan adanya titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua titik panas mengindikasikan adanya titik api. Menurut Thoha (2008) titik panas mengindikasikan lokasi kebakaran vegetasi seperti terlihat pada monitor komputer atau peta yang dicetak, atau ketika dicocokan dengan koordinatnya. Hal ini merupakan istilah yang sangat popular pada awal-awal pengenalan penggunaan citra satelit untuk mendekteksi kebakaran vegetasi dan saat ini sangat di mengerti oleh semua pihak. Titik panas berbeda dengan titik api beberapa sumber menyatakan bahwa titik panas identik dengan titik api. Namun beberapa sumber lain menyatakan hal yang sebaliknya. Nilai titik panas dideteksi pada kisaran (range) temperatur 320K - 330K. Saat ini belum ada standar internasional pada sistem deteksi titik panas seperti penetapan nilai ambang batas suhu titik panas dan perbedaan algoritma yang digunakan, menyebabkan perbedaan jumlah titik panas di setiap instansi stasiun pengamat. nilai ambang batas suhu titik panas yang digunakan oleh LAPAN adalah 322K, sedangkan Departemen Kehutanan Bogor dan ASMC Singapura menggunakan 320K (Artha,F., 2011).Cara untuk mendeteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan melakukan pengamatan terhadap jumlah dan sebaran titik panas. Jumlah dan sebaran titik panas dapat diperoleh dengan melakukan pengolahan terhadap citra satelit. Pengolahan dilakukan dengan menggunakan suatu algoritma. Algoritma untuk mendapatkan sebaran titik panas pada suatu citra berbeda-beda sesuai dengan karakteristik dari sensor yang digunakan. (Anderson I.P.,dkk,1999 dikutip dalam Chrisnawati,G., 2008).

a. Untuk sensor AVHRR sebaran titik panas dapat diperoleh dengan algoritma sebagai berikut :

T b3 315K (siang hari) ........................................................................(2.1)T b3 T b4 20 K (siang hari) ..............................................................(2.2)

T b3 310K (malam hari) ......................................................................(2.3)Keterangan :

T b3 atau kanal 3 : suhu kecerahanT b4 atau kanal 4 : suhu kecerahan (brightness temperature) kanal 3 dan kanal 4.

Pada siang hari digunakan contextual algorithim yang menerapkan ambang batas 315K untuk suhu kecerahan kanal 3 dan 20K untuk perbedaan suhu kecerahan kanal 3 dan kanal 4. Sedangkan pada malam hari digunakan simple algorithm yang menerapkan ambang batas 310K untuk suhu kecerahan kanal 3 . suatu daerah terdekteksi sebagai titik panas jika suatu daerah yang dipantau oleh satelit memiliki suhu diatas ambang batas tersebut.

Suhu kecerahan dari kanal 3 dan kanal 4 diperoleh dengan melakukan kalibrasi terhadap nilai radiasi pada kanal tersebut .

b. Untuk sensor MODIS menerapkan algoritma yang berbeda untuk mendapatkan sebaran titik panas dari suatu citra, yaitu :Algoritma untuk mendapatkan titik panas pada sensor MODISTabel 2.2 Algoritma MODIS siang hari (Giglio dkk, 2003).Siang hari

Contextual AlgorithmAbsolute

Algorithm

T 4 > T4b + 4 T4b

atau T4 > 320K

T4 > 360K

T41> T41b + 4T4 1 b

atau T41> 20K

Tabel 2.3 Algoritma MODIS malam hari (Giglio dkk, 2003).Malam hari

Contextual AlgorithmAbsolute

Algorithm

T 4 > T4b + 4 T4b

atau T4 > 315K

T4 > 330K

T41> T41b + 4T4 1 b

atau T41> 10K

Rumus :

T 41 = T 4 T 11.................................................................................(2.4)

Keterangan :

T 4b = Suhu kenampakan latar belakang kanal 4 m, yaitu suhu kenampakan dari

piksel-piksel sekitarnya (21 x 21 piksel)

T 4b = Standar deviasi suhu kenampakan latar belakang kanal 4 m

T 41b = T 4b T 11b............................................................................(2.5)

Keterangan :

Dan Suhu Permukaan Daratan (Land Surface Temperature) Suhu permukaan daratan dapat diketahui dengan algoritma sebagai berikut :

LST=T4+(1.31 + 0.27 x (T4-T5)) x (T4-T5) + 1.16................................(2.6)

Keterangan :

T b4 dan T b5 adalah suhu kecerahan kanal 4 dan kanal 5.II.3. Konsep Umum Kebakaran HutanKebakaran hutan didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak tertahan dan dapat menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan, antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, batang kayu, tunggak, daun-daunan dan pohon-pohon yang masih hidup (Brown dan Davis 1973 dikutip dalam Chrisnawati,G., 2008).

Suatu kebakaran hutan dapat digambarkan sebagai segitiga api yang disebut The Fire Triangle. Sisi-sisi segitiga api tersebut adalah bahan bakar, oksigen dan sumber panas api , yang apabila salah satu atau lebih dari sisi-sisinya tidak ada maka kebakaran tidak terjadi atau kondisi sisi-sisi tersebut dalam keadaan lemah, maka kecepatan pembakaran semakin menurun, demikian juga dengan intensitas api atau kecepatan terlepasnya energi panas. Bagan segitiga api dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1. Fire Triangle (State , 2007)

II.3.1. Tipe Kebakaran Hutan

Menurut (Davis 1959, dikutip dalam Chrisnawati,G., 2008) Dilihat dari bahan bakar yang terbakar dan cara penjalaran api, kebakaran hutan dapat digolongkan dalam 3 tipe ,yaitu :

1. Kebakaran bawah (Ground Fire)

Merupakan kebakaran yang membakar bahan-bahan organik di bawah permukaan tanah yang meliputi bahan organik yang sedang membusuk, humus dan lapisan tanah bagian atas. Penjalaran api lambat tapi terus berlanjut dan tidak menampilkan nyala api sehingga sulit diketahui. Arah kebakaran ke segala arah sehingga kebakaran bawah berbentuk lingkaran.

2. Kebakaran permukaan (Surface Fire)

Kebakaran jenis ini terjadi di lantai hutan, bahan bakarnya antara lain berupa serasah dan tumbuhan bawah yang ada dilantai hutan. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih tinggi dan penjalarannya dimulai dari permukaan lantai hutan. Penjalaran api berbentuk lonjong karena mendapat pengaruh angin.

3. Kebakaran atas (Crown Fire)

Kebakaran atas disebut pula kebakaran tajuk. Kebakaran tajuk dapat terjadi karena adanya kebakaran permukaan yang menjalar ke arah tajuk pohon, atau sebaliknya. Biasanya kebakaran jenis ini mempercepat terjadinya kebakaran dan berkembang dari tajuk suatu pohon ke tajuk pohon lainnya.

Ketiga tipe kebakaran tersebut dapat terjadi secara bersamaan. Kebakaran permukaan dapat menjalar menjadi kebakaran tajuk atau sebaliknya, api dari tajuk jatuh ke permukaan tanah dan mengakibatkan kebakaran permukaan dan kebakaran permukaan juga dapat menyebabkan kebakaran bawah.II.4. Karakteristik Sensor Penginderaan Jauh

Hingga saat ini kebanyakan sensor yang digunakan untuk sistem penginderaan jauh meruapaka sensor sistem pasif, yaitu sensor yang menangkap energi pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik dari objek, tanpa mengirim gelombang energi kearah objek-objek tersebut. Sensor ini pada umumnya adalah sensor elektro-optik (atau opto-elektronik), yang mengombinasikan prinsip-prinsip fisika optik dengan mekanisme piranti elektronik (Danoedoro,P., 2012).

Dalam Kusuma (2007), sinyal radiasi elektromagnetik yang sampai ke sensor direkam dalam pita magnetik untuk diproses menjadi data visual atau digital yang dapat diolah dikomputer. Sensor dalam penginderaan jauh dapat menerima informasi dalam berbagai bentuk antara lain sinar atau cahaya, gelombang bunyi dan jaya elektromagnetik. Sensor digunakan untuk melacak, mendeteksi, dan merekam suatu objek dalam jangkauan tertentu. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kemampuan sensor untuk merekam gambar terkecil disebut resolusi spasial. Semakin kecil objek yang direkam maka semakin baik resolusi spasial pada citra. berdasarkan perekamannya sensor dibagi menjadi dua yaitu :

1. Sensor Fotografi

Menurut Kusuma (2007) Sensor fotografi proses perekamannya berlangsung seperti pada kamera foto biasa atau yang dikenal melalui proses kimiawi. Energi elektromagnetik yang diterima kemudian direkam pada emulsi film dan setelah diproses akan menghasilkan analisa suhu permukaan foto. Ini berarti di samping sebagai energi film juga berfungsi sebagai perekam yang hasil akhirnya berupa foto udara jika perekamannya dilakukan dari udara baik melalui pesawat udara atau wahana lainnya. Tapi jika perekamannya dilakukan dari antariksa maka hasil akhirnya disebut foto satelit atau foto orbital.2. Sensor Elektronik

Sensor elekronik berupa alat yang bekerja secara elektrik dengan pemrosesan menggunakan komputer. Hasil akhirnya berupa data visual atau data digital atau numerik. Proses perekamannya untuk menghasilkan citra dilakukan dengan memotret data visual dari layar atau dengan menggunakan film perekam khusus. Hasil akhirnya berupa foto dengan film sebagai alat perekamannya dan tidak disebut foto udara tetapi citra. Agar informasi-informasi dalam berbagai bentuk diatas dapat diterima oleh sensor,

Informasi tersebut berupa data dengan objek yang diinderakan dan dikenali dari hasil rekaman berdasarkan karakteristiknya dalam bentuk cahaya, gelombang bunyi, dan tenaga elektromagnetik. Semua sistem penginderaan jauh yang dirancang untuk memonitor permukaan bumi mengandalkan energi yang dihamburkan dan atau diemisikan dari permukaan bumi.

Sistem penginderaan jauh yang ada sekarang ini terbagi kedalam tiga kategori berdasarkan sumber radiasi elektromagnetik dan interaksi yang berhubungan antara energi dengan permukaan (Smith,2006 dikutip dalam Kusuma,2007), Sebagai berikut :1. Sensor Pemantulan Radiasi SuryaSistem sensor ini mendeteksi radiasi surya yang di hamburkan (scattering) keatas dari permukaan bumi. Rentang panjang gelombang yang menyediakan informasi berguna terdiri dari rentang ultraviolet, cahaya tampak, inframerah dekat (near infrared), dan inframerah pertengahan (middle infrared). Sistem penginderaan pemantulan surya membedakan material yang mempunyai pola yang bebreda penyerapan panjang gelombang tertentu yang berhubungan Analisa suhu permukaan dengan susunan kimia dan struktur fisik material. Karena sistem sensor ini tergantung dari cahaya matahari sebagai sumbernya, sistem ini hanya dapat menyediakan citra yang dapat digunakan selama siang hari, sementara perubahan penerangan dan perubahan kondisi atmosfer dapat menjadi suatu masalah.

2. Sensor Inframerah Termal

Sensor yang dapat mendeteksi radiasi inframerah termal yang diemisikan oleh permukaan bumi dapat menampakan informasi tentang ciri-ciri temperatur dari permukaan bumi. Seperti halnya sensor pemantulan surya, ini adalah sistem pasif yang mengandalkan pada radiasi surya sebagai sumber energi utama. Oleh karena temperatur permukaan bumi berubah selama siang dan malam hari, sistem sensor inframerah sensitif terhadap waktu siang dan malam hari.3. Sensor Pencitraan Radar

Sistem aktif ini menerangi permukaan bumi dengan penyiaran radiasi gelombang mikro, kemudian mengukur energi yang dikembalikan lagi kesensor. Energi yang dikembalikan menyediakan informasi tentang kekerasanpermukaan dan kandungan air dari material permukaan dan potongan daripermukaan tanah. Gelombang mikro yang panjang gelombangnya lebih panjang mengalami hamburan kecil di atmosfer, selama menembus awanpenutup. Pencitraan radar berguna secara khusus dikarenakan wilayah tropis yang sangat mudah tertutup awan.II.5. Resolusi Penginderaan Jauh

Resolusi ( disebut juga resolving power = daya pisah ) adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi secara spasial berdekatan atau spektral mempunyai kemiripan (swain dan davis,1978). Dalam bidang penginderaan jauh terdapat enam konsep resolusi yang sangat penting antara sebagai berikut : a. Resolusi Spasial

Ukuran terkecil suatu objek yang masih dapat di deteksi sistem pencitraan . semakin kecil ukuran objek yang terdekteksi , semakin halus atau tinggi resolusi spasialnya. Begitu pula sebaliknya, semakin besar ukuran objek terkecil yang terdeteksi , semakin besar atau rendah resolusinya. (Danoedoro,P, 2012).b. Resolusi Spektral

Yaitu kemampuan sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi (objek) berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semakin banyak jumlah salurannya , semakin tinggi kemungkinannya untuk membedakan objek berdasarkan respon spektralnya. Dengan kata lain semakin sempit interval panjang gelombangnya dan atau semakin banyak jumlah salurannya , semakin tinggi pula jumlah resolusi spektralnya. (Danoedoro,P, 2012).

Sensor optik elektronik satelit untuk membedakan informasi atau daya pisah objek berdasarkan besarnya pantulan atau pancaran spektral spektrum elektromagnetik yang digunakan untuk perekaman data. Semakin banyak band atau spektral suatu sensor, semakin baik resolusi spektralnya.(Purwadhi, 2001)c. Resolusi Radiometrik

Yaitu kemampuan dalam mencatat respon spektral objek dinyatakan sebagai resolusi radiometrik. Sensor yang peka dapat mencapai sensor ini secara langsung dengan kemampuan koding yaitu mengubah intensitas pantulan atau pancaran spektral menjadi angka digital. Kemampuan ini dinyatakan dalam bit. (Danoedoro,P, 2012).d. Resolusi Layar

Data digital yang tersimpan sebagai byte map dalam media magnetik masih perlu ditampilkan pada layar monitor untuk dianalisis secara interaktif . disinilah masalah kualitas perangkat keras memegang peran penting : kapasitas data, kecepatan pengolahan, dan juga kualitas monitor dalam menyajikan citra pada layar. (Danoedoro,P, 2012).e. Resolusi Temporal

Yaitu kemampuan kemampuan suatu sistem merekam uang daerah yang sama . suatu resolusi temporal adalah jam atau hari. Satelit NOAA dapat merekam daerah yang sama dua kali sehari melintasi ekuator , yaitu pada pukul 07.30 dan 19.30 (untuk satelti NOAA berseri genap) dan pada pukul 14.00 dan 02.00 (untuk satelti NOAA berseri ganjil) (Danoedoro,P, 2012).II.6. Spektrum ElektromagnetikDasar dari penginderaan jauh dimulai dari foto udara yang menggunakan cahaya tampak dari matahari sebagai sumber energi. Tetapi, susunan rangkaian cahaya tampak hanya sebagian kecil dari spektrum elektromagnetik yang rangkaian kesatuannya berjajar mulai dari energi tinggi, sinar gamma gelombang pendek, sampai pada energi rendah gelombang panjang gelombang radio.

Spektrum elektromagnetik yang terpendek adalah sinar gama dan sinar X. sedangkan spectrum yang terpanjang adalah gelombang mikro dan gelombang radio. Radiasi elektromagnetik selanjutnya di klasifikasikan berdasarkan panjang gelombang atau frekuensi pada spectrum gelombang elektromagnetik (Danoedoro,P, 2012). salah satu model klasifikasi spectrum GE termuat dalam gambar Gambar 2.2.Gambar 2.2 dibawah ini mengilustrasikan bagian-bagian spektrum elektromagnetik yang digunakan pada penginderaan jauh permukaan bumi. Secara alami, bumi diterangi oleh radiasi elektromagnetik dari matahari. Puncak energi surya adalah pada rentang panjang gelombang cahaya tampak antara 0.4 sampai 0.7 gm. Walaupun cahaya tampak termasuk seluruh rentang warna tampak pada pelangi, bagian lebih kasar terdiri dari wilayah panjang gelombang merah, hijau, dan biru sudah cukup dalam banyak studi penginderaan jauh. Bagian penting yang lain dari energi surya adalah pada bentuk ultraviolet dan radiasi inframerah tidak tampak. Hanya sejumlah kecil radiasi surya diperluas kedalam wilayah spectrum gelombang mikro. Sistem pencitraan radar digunakan dalam penginderaan jauh dengan membangkitkan dan menyebarkan gelombang mikro, kemudian mengukur bagian sinyal yang dikembalikan ke sensor dari permukaan bumi. (Smith, 2006 dikutip dalam Kusuma, 2007).

Gambar 2.2.Spektrum Elektromagnetik (Paine, 1981)

Bagian spektrum elektromagnetik yang digunakan didalam penginderaan jauh terletak secara berkesinambungan yang dicirikan dengan perubahan perubahan besaran tenaga dengan kelipatan 10 berpangkat banyak. Oleh karena itu lazim digunakan skala algoritma untuk menggambarkan spectrum elektromagnetik. Bagian spectrum tampak pada gambaran logaritmik meratakan bagian yang kecil , karena kepekaan spectral mata manusia hanya sekitar 0.4 m hingga sekitar 0.7 m. Warna biru terdapat kira-kira pada julat 0.4 m-0.5 m, hijau antara 0.5 m 0.6 m , dan merah antara 0.6 m 0.7 m. Tenaga ultraviolet membentang ke arah panjang gelombang yang lebih pendek dari bagian spektrum tampak ialah energgi inframerah pantulan. Panjang gelombang yang lebih panjang dari gelombang ini adalah inframerah termal. Pada panjang gelombang yang jauh lebih panjang (1mm 1m) disebut bagian spectrum gelombang mikro Sistem penginderaan jauh yang paling sering digunakan bekerja pada satu atau beberapa spectrum dari spectrum tampak , inframerah pantuan , inframerah termal atau gelombang mikro. Bahwa membuat suatu pembedaan yang penting antara spectrum inframerah pantulan dan tenaga inframerah termal. Inframerah termal secara langsung berkaitan dengan penginderaan panas, sedangkan inframerah pantulan tidak.Matahari merupakan sumber radiasi elektromagnetik yang paling penting untuk penginderaan jauh . akan tetapi semua benda pada suhu diatas nol derajat absolut memancarkan radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Oleh sebab itu maka objek di bumi merupakan sumber radiasi , walaupun besaran dan komposisi spektranya berbeda terhadap matahari. Besarnya tenaga yang diradiasikan oleh suatu objek antara lain merupakan suatu fungsi suhu permukaan objek tersebut. (Lillesand and Kiefer, 1987)

Gambar 2.3. Spektrum Gelombang Elektromagnetik (Lillesand and Kiefer, 1987)Tabel 2.3.Spektrum Elektromagnetik dan bagian-bagiannya (Paine, 1981)

spektrumPanjang gelombangKeterangan

Gamma0.03 nmDiserap oleh atmosfer, tapi benda radioaktif dapat di indera dari pesawat terbang rendah

X0.03 - 3 nmDiserap oleh atmosfer, sinar buatan digunakan dalam kedokteran

Ultra Vioet(UV)3 nm 0.4 m 0.3 mDiserap oleh atmosfer

UV Fotografik0.3 nm 0.4 mHamburan atmosfer berat sekali

Tampak0.4 0.7 m

Biru0.4 0.5 m

Hijau0.5 0.6 m

Merah0.6 0.7 m

Inframerah (IM)0.7 1.000 mJendea atmosfer terpisa oleh saluran absorpsi

IM Pantulan0.7 3 mFilm khusus dapat merekam hingga panjang gelombang hamper 1.2 m

IM Fotografik0.7 0.9 mJendela-jendela atmosfer daam spectrum ini

IM Termal3 5 mGelombang panjang yang dapat menembus awan, citra dapat dibuat dalam cara pasif dan aktif

Gelombang mikro8 14 mPenginderaan jauh dalam sistem aktif

Radar0.3 300 cmYang paling sering digunakan

Ka0.3 300 cmYang paling sering digunakan

Ka0.8 1.1 cm

Ku1.1 1.7 cm

X1.7 2.4 cm

C2.4 3.8 cm

S3.8 7.5 cm

L7.5 15 cm

P15 30 cm

Radio30 100 cmTidak digunakan dalam penginderaan jauh

II.7. Satelit Untuk Pemantauan Titik Panas (Hotspot)II.7.1. Satelit AQUA MODISMODIS merupakan suatu instrumen berupa sensor multispectral yang terdapat pada satelit Terra (EOS PM) dan AQUA (EOS AM). TERRA mengorbit bumi dari utara ke selatan melintasi equator di pagi hari. Sementara AQUA melintasi bumi dari selatan ke utara melintasi equator di sore hari. MODIS memegang peranan penting dalam validasi data, pengembangan model untuk memprediksi perubahan global secara akurat untuk membantu para pengambil kebijakan membuat keputusan menyangkut perlindungan lindungan di wilayah mereka masing-masing (Rahmannia, 2011)Satelit AQUA diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2004 pukul 02:55a.m di Vandenberg Air Force Bone,CA. MODIS (moderare Resolution Imaging Spectroradiometer) dilengkapi oleh high radiometric sensitivity (12 bit) dalam 36 kanal spektral yang mempunyai gelombang antara 0,4 m sampai 14,4 m. satelit AQUA MODIS memiliki orbit seperti NOAA yaitu selaras dengan matahari dan dekat dengan kutub. Setiap kali melintas satelit menyediakan luas pandang 2330 km dan mengorbit bumi 1-2 hari pada ketinggian 705 km di atas permukaan bumi.

TERRA MODIS dan AQUA MODIS melintasi seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari, mengumpulkan data 36 kanal, dengan kanal 1-19 berada pada kisaran cahaya tampak dan kanal 20-36 berada pada kisaran inframerah (NASA, 2009). Data-data tersebut akan meningkatkan pemahaman kita mengenai dinamika global dan proses-proses yang terjadi didaratan, dilautan dan interaksi antara bumi dan atmosfer. Spesifikasi dari setiap kanal di tunjukkan pada Tabel 2.5. Kanal-kanal ini membuat sensor MODIS mampu mengukur parameter dari permukaan laut hingga atmosfer. Setiap kanal pada sensor MODIS memiliki resolusi yang berbeda. Kanal 1-2 memiliki resolusi spasial 250 m, kanal 3-7 memiliki resolusi spasial 500 m dan kanal 8-36 memiliki resolusi spasial 1000 m (NASA, 2009).

Gambar 2.4.Satelit AQUA MODIS (NASA,2009)Dengan menggunakan MODIS dapat diketahui lebih awal informasi tentang permukaan bumi, atsmosfer dan fenomena laut secara luas dengan menggunakan instrument yang ada di satelit modis dan dapat digunakan oleh berbagai komunitas didunia.Tabel 2.4. Karakteristik Citra Satelit AQUA Modis (NASA ,2009)

Orbit750 km , satelit terra akan turun pada pukul 10.30 pagi dan satelit Aqua akan naik pada pukul 11.30 siang

Rata-rata penyinaran 20,3 rpm, crosstrack

Swatch Dimension 2330 km dengan garis lintang 10

Telescope17,78 cm diam

Ukuran 1,0 x 1,6 x 1,0 m

Berat 228,7 kg

Power 162,5 W (single orbit average)

Data Rate10,6 Mbps (peak daytime); 6,1 Mbps (orbital average)

Kuantisasi12 bits

Resolusi Spasial250 m (band 1-2)

500 m (band 3-7)

1000 m (band 8-36)

Masa pemakaian 6 tahun

Tabel 2.5. kanal Modis dan Prinsip Aplikasinya (NASA ,2009)

Kanal Kegunaan

Kanal 1 2Untuk analisis batas tanah atau awan

Kanal 3 7Untuk analisis kandungan tanah atau awan

Kanal 8 16Untuk analisis warna laut dan plangton

Kanal 17 19Untuk analisis uap air atmosfer

Kanal 20 23Untuk analisis suhu permukaan atau awan

Kanal 24 25Untuk analisis suhu atmosfer

Kanal 26Untuk analisis awan cirrus

Kanal 27 29Untuk analisis uap air

Kanal 30Untuk analisis ozon

Kanal 31 32Untuk analisis suhu permukaan atau awan

Kanal 33 36Untuk analisis ketinggian puncak awan

Tabel 2.6. Spesifikasi kanal 1-19 MODIS (NASA ,2009) Primary UseBand Bandwidth'Spectral

Radiance2Required

SNR3

Land/Cloud/

Aerosols Boundaries1

2620 670

841 87621.8

24.7128

201

Land/Cloud/

Aerosols Properties3

4

5

6

7459 - 479

545 565

1230 1250

1628 1652

2105 - 215535.3

29.0

5.4

7.3

1.0

243

228

74

275

11

Primary UseBand Bandwidth'Spectral

Radiance2Required

SNR3

Ocean Color/

Phytoplankton/

Biogeochemistry8

9

10

11

12

13

14

15

16405 420

438 448

483 493

526 536

546 556

662 672

673 683

743 753

862 87744.9

41.9

32.1

27.9

21.0

9.5

8.7

10.2

6.2880

838

802

754

750

910

1087

586

516

Atmospheric Water

Vapor17

18

19890 920

931 941

915 96510.0

3.6

15.0167

57

250

Surface/Cloud

Temperature20

21

22

233.660 - 3.840

3.929 - 3.989

3.929 - 3.989

4.020 - 4.0800.45 (300K)

2.38 (335K)

0.67 (300K)

0.79 (300K)0.05

2.00

0.07

0.07

Atmospheric

Temperature24

254.43 3 - 4.498

4.482 - 4.5490.17 (250K)

0.59 (275K)0.25

0.25

Cirrus CloudsWater

Vapor26

27

281.360 - 1.390

6.535 - 6.895

7.175 - 7.4756.00

1.16 (240K)

2.18 (250K)150(SNR)

0.25

0.25

Cloud Properties298.400 - 8.7009.58 (300K)0.05

Ozone309.580 - 9.8803.69 (250K)0.25

Surface/Cloud

Temperature31

3210.780 - 11.280

11.770 - 12.2709.55 (300K)

8.94 (300K)0.05

0.05

Cloud Top Altitude33

34

35

3613.185 - 13.485

13.485 - 13.785

13.785 - 14.085

14.085 - 14.3854.52 (260K)

3.76 (250K)

3.11 (240K)

2.08 (220K)0.25

0.25

0.25

0.35

II.7.2. Satelit NOAA/AVHRR

Satelit NOAA adalah satelit cuaca yang dioperasikan oleh National Ocean and Atmospheric Administration (NOAA) yang merupakan badan induk dari dinas udara Amerika Serikat (U.S Weather Service). Menurut orbitnya satelit NOAA bisa dibagi menjadi dua macam yaitu orbit geostationer dan orbit polar . satelit NOAA dengan orbit polar adalah satelit yang memonitoring bumi pada ketinggian 540 mil diatas permukaan bumi (NOAA, 2008) AVHRR adalah sensor yang terpasang pada satelit NOAA/AVHRR dikembangkan oleh Lembaga Antariksa Amerika Serikat sejak tahun 1978 untuk pemantauan iklim dan kelautan global. Namun seiring dengan pengembangan teknologi, citra satelit NOAA, mulai diolah untuk mendeteksi adanya anomali panas permukaan bumi untuk mendapatkan titik panas. (Chrisnawati,G, 2008)

Gambar 2.5.Satelit NOAA/AVHRR (NASA,2009)

NOAA merupakan satelit yang dapat diandalkan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan fisik lautan/samudera dan atmosfer. Seri NOAA ini dilengkapi dengan 6 (enam) sensor utama , yaitu :

1. AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer),

2.TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde), 3. HIRS (High Resolution InfraredSounder (bagian dari TOVS),

4. DCS (Data Collection System),

5. SEM (Space Environment Monitor),

6. SARSAT (Search And Rescue Sattelite System).

Di antara 6 (enam) sensor utama di atas, maka sensor yang relevan untuk pemantauan bumi adalah sensor AVHRR dengan kemampuan memantau lima saluran yang dimulai dari saluran tampak (visible band) sampai dengan saluran inframerah jauh (far infrared band). Periode untuk sekali orbit bagi satelit NOAA adalah 102 menit, sehingga setiap hari mengasilkan kurang lebih 14,1 orbit. Bilangan orbit yang tidak genap ini menyebabkan sub-orbital track tidak berulang pada baris harian walaupun pada saat perekaman data waktu lokalnya tidak berubah dalam satu lintang.AVHRR mempunyai 5 saluran pada spectrum tampak, inframerah dekat, dan inframerah termal , dengan resolusi 1.1 kilometer untuk liputan lokal (LAC, local area coverage) dan 4 kilometer untuk liputan global (GAC, global area converage). TOVS terdiri dari pengukuran inframerah beresolusi tinggi (HIRS/2), unit pengukuran stratosfer (SSU) dan unit pengukuran gelombang pendek (MSU). (Danoedoro,P, 2012).Sensor AVHRR mampu mendeteksi permukaan bumi dengan resolusi yang tinggi yaitu sebesar 1,1 Km serta dapat mengirimkan data minimal satu kali dalam sehari. Karakteristik dari masing-masing band citra AVHRR dapat dilihat dibawah ini :

Tabel 2.7. Kanal kanal sensor AVHRR (NOAA, 2009)

Band Bandwidth (m)Kegunaan

10.58-0.68Awan siang , salju ,es dan vegetasi

20.725-1.00Batas daratan dan lautan

3a1.58-1.64Deteksi salju dan es

3b3.55-11.30Pemetaan awan malam dan suhu permukaan laut

410.30-11.30Pemetaan awan malam dan suhu permukaan laut

511.50-12.50Suhu permukaan laut

Sensor generasi pertama NOAA adalah radiometer 4 kanal, yang terpasang pada satelit TIROS-N (yang diluncurkan pada Oktober 1978). Lalu pada bulan juni 1981, diluncurkan satelit NOAA-7 yang membawa instrument sensor 5 kanal AVHRR/2. Sistem instrumen terakhir yang diluncurkan adalah sistem AVHRR/3 dengan 6 kanal , yang diluncurkan bersama satelit NOAA-15 pada bulan Mei 1998. Instrumen AVHRR/3 ini mempunyai bobot 33kg dan mempunyai dimensi ukuran 29cm x 37cm x 80cm dam memakai sumber energi sebesar 28.5 watt daya. Satelit ini mengambil keseluruhan citra bumi sebanyak 2 kali sehari. Resolusi pada titik nadira adalah 1.1km dengan resolusi data 10 bit (Kusuma, 2007).BAB III

TAHAPAN IDENTIFIKASI SEBARAN TITIK PANAS

III.1. Pendahuluan

Pada penelitian ini tahap identifikasi sebaran titik panas yang berada diwilayah Sumatra Provinsi Riau mengunakan citra satelit AQUA MODIS dan NOAA-18/AVHRR pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014 dengan menggunakan perangkat lunak ENVI, ERmapper dan ArcGIS serta menggunakan algoritma pada citra satelit NOAA-18/AVHRR untuk menentukan intensitas suhu titik panas dan koordinat titik panasnya.III.1.1. Tahapan Penelitian

Tahapan pada penelitian ini seperti pada diagram alir berikut ini :

Gambar 3.1. Tahapan penelitian

A. Pengumpulan data

Pada tahap ini data yang harus disiapkan adalah data citra satelit AQUA MODIS dan NOAA-18/AVHRR serta data peta administrasi untuk keperluan koreksi geometrik.

1. Pengumpulan data citra AQUA MODIS dan NOAA-18/AVHRR Pengumpulan data citra AQUA MODIS dan NOAA-18/AVHRR dilakukan di LAPAN. Data citra AQUA MODIS yang digunakan dalam penelitian ini adalah data berformat mod14. Data ini merupakan data berisi tentang sebaran koordinat titik panas di suatu daerah penelitian yang nantinya digunakan dalam perbandingan sebaran titik panas oleh citra sateli NOAA-18/AVHRR pada penelitian ini.

Data yang digunakan adalah :

a. Data AQUA MODIS a1.14058.0552.mod14.hdf pada tanggal 27 Februari 2014.

b. Data AQUA MODIS a1.14059.0458.mod14.hdf pada tanggal 28 Februari 2014.Data citra satelit NOAA-18/AVHRR yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tingkat 1B. Data ini sudah berupa data digital dan sudah dilengkapi beberapa file yang berupa data lokasi geometris,dan koefisien untuk kalibrasi.

Data yang digunakan adalah :

a. Data NOAA-18/AVHRR 2014-02-27 16.21_N18-L1B pada tanggal 27 Februari 2014.

b. Data NOAA-18/AVHRR 2014-02-28 16.10_N18-L1B pada tanggal 28 Februari 2014.

Kedua data penelitian tersebut di dapat dari Instansi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Kedua tanggal tersebut dipilih karena hasil perekaman dari kedua citra satelit AQUA MODIS dan NOAA-18/AVHRR tepat berada di suatu wilayah yang sama yaitu di Provinsi Riau dan pada bulan Februari 2014 tersebut pula terjadi peningkatan musim kemarau yang memunculkan titik panas di wilayah Provinsi Riau. Sumber informasi yang di terima tersebut berasal dari pembimbing dari instansi LAPAN yang juga memberikan data citra satelit AQUA MODIS dan NOAA-18/AVHRR sebagai penelitian tugas akhir ini dan sumber penguat lainnya yang didapatkan pada data website http://geospasial.bnpb.go.id/monitoring/hotspot/. Pada penelitian ini kanal yang di gunakan dalam pendeteksian titik panas pada citra satelit NOAA-18/AVHRR adalah kanal termal ( kanal 3) , (kanal 4) dan (kanal 5), dengan panjang gelombang 3,55 3,93 m untuk kanal 3, 10.30-11.30 untuk kanal 4 dan 11,5-12,5 m untuk kanal 5 sedangkan pada data AQUA MODIS menggunakan data dengan format mod14 yang digunakan untuk mengetahui koordinat sebaran titik panas yang terjadi di daerah penelitian ini.2. Pengumpulan peta administrasi Indonesia Peta Administrasi Indonesia 1:1.000.000 merupakan peta RBI skala 1:1.000.000 tahun 1999 yang didigitasi sehingga menjadi peta vektor sebagai peta acuan pada pemrosesan koreksi geometrik. Peta ini diperoleh dari Instansi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang mendapat data dari Instansi Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL).B. Tahap pengolahan data Pada tahap ini dilakukan pengolahan data citra satelit NOAA-18/AVHRR dan AQUA MODIS dengan format mod14. Dengan menggunakan perangkat lunak seperti ini:

a. Perangkat lunak ENVI 4.8b. Perangkat lunak ER mapper 7.1c. Perangkat lunak ArcGIS 10d. Perangkat lunak HRPT Readere. Perangkat lunak Microsoft Excel 2010

f. Perangkat lunak Microsoft Office 2010

Untuk lebih jelasnya proses tahapan pengolahan data citra satelit NOAA-18/AVHRR dan AQUA MODIS bisa dilihat pada sub bab III.2. III.1.2. Tahapan Pengolahan Data

Diagram alir proses pengolahan data pada penelitian ini ditunjukkan oleh gambar berikut.

Gambar 3.2. Diagram alir proses pengolahan dataIII.2. Tahapan Pengolahan Data

Pengolahan pada data AQUA MODIS yang berformat mod14 dan data citra satelit NOAA-18/AVHRR mempunyai tahap-tahap pengolahan di perangkat lunak yang berbeda dalam proses penentuan koordinat titik panas dan penentuan suhu titik panasnya pada penelitian ini. Untuk lebih jelas tahap-tahap pengolahan data penelitian ini bisa di lihat sub bab dibawah ini sebagai berikut. III.2.1. Data citra satelit AQUA MODIS

Data AQUA MODIS yang digunakan dalam penelitian ini berformat mod14. Format mod14 adalah format data yang sudah siap diolah untuk dijadikan sebaran koordinat titik panas. Format tersebut berisi tentang koordinat dan sebaran titik panas yang ada pada daerah penelitian tersebut. Data citra satelit AQUA MODIS yang dipakai adalah data citra dengan waktu pengamatan pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014. Dalam satu file data mentah (raw data) dari data AQUA MODIS terdapat format data yaitu format a1.14058.0552.mod14.hdf dan a1.14059.0458.mod14.hdf. yang nantinya harus dilakukan proses konversi koordinat terlebih dahulu agar bisa di gunakan dan diolah di salah satu perangkat lunak ArcGIS.

III.2.2. Konversi format data

Konversi format data AQUA MODIS a1.14058.0552.mod14.hdf dan a1.14059.0458.mod14.hdf harus diubah terlebih dahulu kedalam format *.DBF sebelum bisa di gunakan pada tahap selanjutnya. Tahap pertama yang dilakukan yaitu memasukkan data mod14.hdf menggunakan perangkat lunak ENVI 4.8 agar dapat diolah ketahapan yang lebih lanjut. Setelah memasukan data AQUA MODIS a1.14058.0552.mod14.hdf dan a1.14059.0458.mod14.hdf menggunakan ENVI 4.8 kemudian melakukan pemilihan 3 item data set *.HDF yang ada di dalam perangkat lunak tersebut seperti pada gambar 3.3 yang ada di dalam data citra satelit AQUA MODIS berformat mod14 antara lain :

1. Latitude of fire pixel 2. Longitude of fire pixel

3. Detection Confidence

Gambar 3.3. Dataset *.HDF

Kemudian setelah proses diatas selesai proses selanjutnya file yang sudah dipilih 3 item dataset tersebut harus disimpan dalam bentuk ASCII format *.TXT Seperti gambar 3.5. setelah proses penyimpanan berhasil, dilanjutkan dengan mengolah format *.TXT menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel terlebih dahulu dan menyimpannya kembali dalam bentuk *.DBF. format *.DBF ini merupaka format data *.TXT dari hasil pengkonversian proses sebelumnya. Pada proses yang lebih lanjut tahapan pengolahan data format *.DBF sudah bisa di buka menggunakan perangkat lunak ArcGIS yang nantinya dapat berguna dalam membuat peta sebaran koordinat titik panas.

Gambar 3.4. Penyimpanan file ASCII

Gambar 3.5. Hasil data AQUA MODIS format mod14

III.2.3. Pengolahan data

A. Perangkat lunak Microsoft Excel

Data hasil citra satelit AQUA MODIS format mod14 yang sudah diolah di aplikasi ENVI seperti gambar 3.5. yang berformat *TXT belum bisa di lakukan pengolah, maka dari itu proses dilanjutkan dengan mengolah data *TXT tersebutmenggunakan perangkat lunak Microsoft Excel dan di lakukan penyimpanan dalam bentuk *DBF agar bisa di lakukan pengolahan di perangkat lunak ArcGIS.

Gambar 3.6. Data masukkan di perangkat lunak Microsoft ExcelB. Pengolahan di perangkat lunak ArcGIS

Proses yang dilakukan adalah memasukan data AQUA MODIS dalam bentuk *DBF yang sudah di proses untuk mendapatkan sebaran koordinat dari titik panas yang ada di wilayah penelitian provinsi Riau ke aplikasi ArcGis untuk bisa diolah ke tahap selanjutnya

Gambar 3.7. Data file format *DBF

Setelah proses memasukkan data selesai di lakukan, sistem koordinat data tersebut terlebih dahulu di atur, pada penelitian ini sistem koordinat yang dipakai WGS-84 agar dapat bertampalan dengan peta administrasi Indonesia.

Kemudian proses memasukan peta administrasi Indonesia berformat *.SHP yang digunakan sebagai peta acuan dalam memasukan data koordinat sebaran titik panas data AQUA MODIS mod14. Peta ini diperoleh dari Instansi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang mendapat data dari Instansi Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Setelah proses diatas sudah selesai dilakukan hasil dari koordinat sebaran titik panas yang ada di provinsi Riau bisa dapat dilihat seperti gambar 3.9.

Gambar 3.8. Hasil proses pengolahan data AQUA MODIS mod14

Gambar 3.9. Hasil pemotongan wilayah Riau III.2.4. Data citra NOAA-18/AVHRR

Data citra satelit NOAA-18/AVHRR yang digunakan adalah citra dengan waktu 27 Februari 2014 pukul 16.21 dan 28 Februari 2014 pukul 16.10 dari seri satelit NOAA-18/AVHRR (2014-02-27 16.21_N18.ers) dan (2014-02-28 16.10_N18.ers) dengan tingkat 1B (L1B). Dalam satu file data mentah (raw data) dari data citra satelit NOAA-18/AVHRR terdapat dua format data yaitu format *.L1B dan *.HRP. Format *.HRP yang berisi data telemetri tentang informasi BlackBody digunakan untuk melakukan perhitungan nilai titik panas. Pemilihan seri NOAA-18/AVHRR ini karena melintas di daerah Indonesia pada siang hari menjelang petang antara pukul 07.30 hingga 19.30. Kanal yang dimanfaatkan untuk tujuan deteksi titik panas adalah band termal kanal termal ( kanal 3) , (kanal 4) dan (kanal 5) dengan panjang gelombang 3,55 3,93 m untuk kanal 3, 10.30-11.30 untuk kanal 4 dan 11,5-12,5 m untuk kanal 5 .III.2.5. Georefensi citra

Georefensi citra merupakan koreksi sistematis citra yang bertujuan untuk memposisikan citra sesuai dengan kondisi asli bumi. Georefensi citra dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.8. Proses georeferensi Citra pada citra satelit NOAA-18/AVHRR (2014-02-27 16.21_N18.ers) dan (2014-02-28 16.10_N18.ers) menggunakan proyeksi peta (map projection) dan menggunakan geografis (Geographic Lat/Lon). Cakupan NOAA-18/AVHRR yang luas yaitu sekitar 1.1 km sehingga tidak dapat diterapkan proyeksi UTM yang dibagi per zona, sedangkan datum yang digunakan adalah datum WGS-84.

Tahap pertama pengolahan data yang di lakukan adalah dengan memasukan data citra satelit NOAA-18/AVHRR ke perangkat lunak ENVI 4.8 untuk dilakukan proses georefensi citra dan mengubah format dari *.L1B menjadi bentuk *.HDR. Proses georefensi dilakukan karna posisi awal pada citra NOAA-18/AVHRR masih dalam keadaan terbalik seperti gambar 3.11. georefensi bertujuan untuk memposisikan citra sesuai dengan kondisi asli bumi. Proses tahapan georefensi yaitu,

1. Klik map pada toolbar ENVI 4.8

2. Pilih georefence AVHRR > georefence data

3. Pilih data citra NOAA-18/AVHRR

4. Pilih parameter gerefensinya (Geographic lat/lon dan datum WGS-84)

Gambar 3.10. Data informasi NOAA-18/AVHRR

Gambar 3.11. Citra satelit NOAA/AVHRR sebelum proses georefensi

Setelah proses memasukkan data citra NOAA-18/AVHRR dengan ENVI 4.8 sudah dilakukan dan sudah melakukan langkah-langkah georefensi data kemudian dilanjutkan dengan melakukan regristrasi parameter untuk di jadikan acuan dalam proses georefensi citra NOAA-18/AVHRR seperti pada gambar 3.12 dibawah ini.

Gambar 3.12. Registrasi parameter

Dari tahapan proses georeferensi diatas kemudian didapatkan hasil citra satelit NOAA18/AVHRR yang kondisinya sudah sesuai seperti pada gambar 3.14.

Gambar 3.13. Citra satelit NOAA-18/AVHRR sesudah proses georefensi

Gambar 3.14. Data citra satelit NOAA-18/AVHRR sesudah proses georefensiIII.2.6. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik merupakan proses memposisikan citra sehingga cocok dengan koordinat peta dunia yang sesungguhnya. Posisi geografis citra pada saat pengambilan data dapat menimbulkan distorsi karena perubahan posisi dan juga ketinggian sensor. Dalam akuisisi citra satelit distorsi ini akan bertambah seiring dengan perbedaan waktu pembuatan peta dan akuisisi citra serta kualitas dari peta dasar yang kurang baik. Akibat dari kesalahan geometrik ini, maka posisi piksel dari citra satelit tersebut tidak sesuai dengan posisi yang sebenarnya.

Tahap tahap yang dilakukan adalah registrasi dan rektifikasi citra menggunakan Ground Control Point (GCP) dengan Metode Image to Map Rectification. Metode Geocoding menggunakan Metode Polynomial Linear yang biasanya diterapkan untuk citra yang mengalami pergeseran linear, ukuran piksel sama dalam satu set, digunakan untuk mengurangi distorsi untuk keseluruhan citra, baik untuk data beresolusi spasial tinggi maupun rendah. Untuk koreksi geometrik paling sedikit dibutuhkan 3 (tiga) GCP. Sedangkan peta acuan yang digunakan adalah peta administrasi Indonesia skala 1 : 1.000.000. peta administrasi Indonesia 1:1.000.000 merupakan Peta RBI skala 1:1.000.000 tahun 1999 yang dideliniasi atau didigitasi sehingga menjadi peta vektor sebagai peta acuan pada koreksi geometrik. Peta ini diperoleh dari Instansi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang mendapat data dari Instansi Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).

Proses georeferensi citra dan koreksi geometrik keduanya harus sama sama dilakukan karena georeferensi citra hanya sebagai koreksi sistematis saja sehingga masih harus dilakukan proses koreksi geometrik. Rektifikasi dilakukan untuk memperbaiki kondisi piksel citra akibat dilakukan registrasi (piksel citra tertarik karena memposisikan citra sesuai acuan yang digunakan berdasarkan GCP). Metode yang digunakan untuk meakukan koreksi geometrik pada data citra adalah menggunakan regristrasi data citra dengan peta acuan dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.8

Proses koreksi geometrik citra satelit NOAA-18/AVHRR dilakukan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.8,langkah pertama melakukan regristration GCP image to map seperti gambar 3.15 , kemudian dilanjutkan dengan memilih regristration projection pada penelitian ini menggunakan geographic lat/lon dan datum WGS-84 selanjutnya memasukkan koordinat peta administrasi Indonesia sebagai titik acuan untuk penentuan GCP nya seperti gambar 3.17.

Gambar 3.15. Proses regristrasi GCP

Gambar 3.16. Proses koreksi geometrikGambar 3.17.Proses penentuan koordinat GCP

Gambar 3.18. Peta acuan Administrasi Indonesia 1:1.000.000

RMS Error 1 pixel Menurut Purwadhi (2001), batas toleransi untuk nilai kesalahan Root Mean Square (RMS Error, RMSE) adalah 1 piksel, sehingga apabila nilai RMSE lebih besar dari 1 piksel maka harus dilakukan registrasi ulang. Tujuannya agar citra yang telah terkoreksi geometrik sesuai dengan salah satu proyeksi peta dipermukaan bumi. Semakin kecil nilai RMS yang digunakan maka koreksi geometrik akan semakin teliti. Pada penelitian ini jumlah titik GCP yang digunakan pada citra satelit NOAA-18/AVHRR berjumlah 15 titik yang nilainya bisa dilihat pada gambar 3.19.

Gambar 3.19. Nilai RMS citra satelit NOAA-18/AVHRR

III.2.7. Verifikasi Koreksi Geometrik

Tahap ini dilakukan dengan cara menampalkan (overlay) citra NOAA-18/AVHRR (2014-02-27 16.21_N18.ers) dan (2014-02-28 16.10_N18.ers) yang telah terkoreksi geometrik dengan peta acuan yang digunakan yaitu peta vektor administrasi Indonesia skala 1 : 1.000.000. agar nantinya saat proses pemotongan citra dapat sesuai dengan peta vektor batas administrasi di wilayah Riau.

Gambar 3.20. Verifikasi Koreksi Geometrik

III.2.8. Pemotongan Citra

Proses pemotongan (Cropping) citra bertujuan untuk memilih daerah yang diinginkan, pada penelitian ini wilayah yang di jadiakan proses pemotongan adalah Provinsi Riau. Proses pemotongan citra yang dilakukan pada data NOAA-18/AVHRR menggunakan perangkat lunak ENVI4.8.

Gambar 3.20. Hasil proses pemotongan citra wilayah RiauIII.3. Perhitungan Algoritma Titik PanasIII.3.1. Data telemetri

Data telemetri merupakan metadata dari citra NOAA-18/AVHRR (2014-02-27 16.21_N18.HRP) dan (2014-02-28 16.10_N18.HRP). Data telemetri merupakan metadata dari citra NOAA-18/AVHRR. Data telemetri dari citra satelit NOAA-18/AVHRR dapat diperoleh dengan cara mengolah data citra yang berformat *.HRP dengan perangkat lunak HRPTReader. Data Telemetri yang berisi tentang informasi BlackBody dimasukkan nilainya ke dalam formulasi tertentu untuk mendapatkan nilai Gain dan Intercept sehingga dapat digunakan dalam perhitungan nilai titik panas.

Gambar 3.21. Data telemetri NOAA-18/AVHRR (2014-02-27 16.21_N18.HRP)

Gambar 3.22. Data telemetri NOAA-18/AVHRR (2014-02-28 16.10_N18.HRP)III.3.2. Perhitungan Nilai Titik Panas NOAA-18/AVHRR

Data telemetri pada citra NOAA-18/AVHRR (2014-02-27 16.21_N18.ers) dan (2014-02-28 16.10_N18.ers) yang telah dibaca dengan, digunakan untuk melakukan proses perhitungan selanjutnya hingga diperoleh nilai titik panas dengan langkah langkah sebagai berikut :1. Perhitungan Temperatur blackbody efektif (T**bb)Radiansi TBB pada tiap saluran termal dari blackbody internal pada suhu TBB adalah rataan terbobot fungsi planck pada respon spektral saluran tersebut. Fungsi respon spektral untuk tiap saluran diukur pada sekitar 200 internal panjang gelombang dan disediakan bagi NESDIS oleh pembuat instrument. Secara praktis suatu look-up tabel yang menghubungkan radiansi dengan suhu dibuat untuk tiap saluran. Tiap tabel menunjukkan radiansi pada tiap 1/10 derajat Kelvin antara 180 dan 340 K. Tabel ini disebut Tabel Energi. Tabel Energi setara dengan suhu blackbody dengan ketelitian 0,01 K pada range 180 sampai 340K. Tiap saluran termal mempunyai satu persamaan, yang menggunkan bilangan gelombang pusat (central wavenumber), VC, dan suhu blackbody efektif, TB.

T**bbi = A + (B * ch).........................................................(3.1)

Keterangan :

T**bbi : temperatur blackbody efektif

ch : apparet blackbody temperature kanal 3B

i : indeks kanal 3B, 4, 5

Tabel.3.1. Koefisien kanal Termal NOAA-18/AVHRR untuk konversi temperatur ke radian (National Climatic Data Center U.S Department of Commerce, 2005)Kanal VcAB

3B2659.7951.6987040.99696

4928.1460.4366450.998607

5833.25320.2531790.999057

2. Perhitungan Gain (G)

Gi = (Nbbi - Ns)/(Cbb - Cs) .....................................................(3.2)

Nbbi = c1 Vcb3 / [exp (c2 Vc / T**bb)......................................(3.3)

Keterangan :

Gi : Nilai Gain

Nbbi : Nilai Radiansi blackbody

Ns : Lihat tabel

Cbbi : Callibration patch channel values

Csi : look-at space values pada data telemetri

c1 : 1,1910427 x 10-5 mW/(m2-sr-cm-4)

c2 : 1,4387752 cm-K

Vci : Central wavenumber

i : Kanal 3B, 4, 5Tabel.3.2 Radian di angkasa luar dan koefisien untuk radian koreksi kuadratik nonlinier NOAA-18/AVHRR (National Climatic Data Center U.S Department of Commerce, 2005)Kanal NSB0B1B2

4-5.535.82-0.110690.0005234

5-2.222.67-0.04360.0001772

3. Perhitungan Intercept

I = Ns - Gi Cs........................................................................(3.4)Keterangan :

Gi : Nilai Gain

Ns : Lihat tabel

Csi : look-at space values pada data telemetri

4. Hasil perhitungan gain dan InterceptUntuk hasil perhitungan data citra NOAA-18/AVHRR pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014 didapatkan nilai gain dan intercept seperti pada table 3.3.Tabel.3.3 Hasil perhitungan rumus gain dan interceptTanggal 27-02-2014b1b2b3b4b5

Gain-0.00287-0.187-0.1967

Intercept2.847559179.7885192.5088

Tabel.3.3 Hasil perhitungan rumus gain dan intercept (lanjutan )Tanggal 28-02-2014b1b2b3b4b5

Gain-0.00287-0.18692-0.19659

Intercept2.842428179.7052192.4001

5. Perhitungan nilai radians kanal

Ni = Gi Xi + Ii ......................................................(3.5)

Keterangan :

N : Nilai radiansi masing-masing kanal 3,4,5

G : Koefisien Gain

X : Nilai keabuan piksel

I : Koefisien Intercepti : Indeks i menunjukkan kanal 3,4,5

6. Perhitungan nilai temperatur kecerahan citra (Tbb)Menghitung Nilai Temperatur Kecerahan Citra (Tbb)

Tbb = C2 Vc/ln(1+((C1*Vc3 )/Ni))......................................(3.6)

Keterangan :

Tbb: Nilai temperatur kecerahan citra

C1 : 1,1910427x10-5 m -1 W sr -1 cm 4 .

C2 : 1,4387752 cm K

Vc : Nilai gelombang pusat (central wave number)

N : Radiansi

i : Indeks band 3,4,57. Menghitung nilai suhu kecerahan objek

Tb = (Tbb A)/B..................................................................(3.7)

A dan B merupakan nilai koefisien radiansi (radiance coefficients). Setiap seri dari NOAA, memiliki nilai koefisien radiansi yang berbeda beda.

Gambar 3.23. Hasil citra dari perhitungan algoritma kanal termal 8. Perhitungan nilai titik panas berdasarkan nilai ambang batas (Threshold)

Tb43 t dengan (t 300 ) Kelvin...........................................(3.8)Keterangan :

Tb4 :Temperatur Kecerahan kanal 4

Nilai ambang batas (Threshold) Temperatur yang digunakan adalah 300K. Menurut Qin (1999), berdasarkan Hukum Pergeseran Wiens, hubungan antara spectral radian dan panjang gelombang untuk Bumi dengan temperatur sekitarnya 300K, puncak spektral radian terjadi pada panjang gelombang 9,6 m. Secara teoritis, hubungan energi termal dengan temperatur fisik bumi dapat diamati menggunakan panjang gelombang 10 m yang didefinisikan sebagai kanal termal pada sistem penginderaan jauh. Ketentuan di atas merupakan pengembangan rumus untuk perhitungan titik panas yang digunakan pada penelitian ini karena area objek yang diteliti yang cukup luas untuk dideteksi oleh sensor AVHRR dengan resolusi spasial (1,1 km x 1,1 km).

Gambar 3.24. Hasil citra dari perhitungan algoritma kanal termal BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

IV.1. Hasil Nilai Ketelitian Koreksi Geometrik

Dari proses koreksi geometrik pada citra satelit NOAA-18/AVHRR yang dilakukan diperangkat lunak ENVI 4.8 didapatkan nilai RMS yang bisa dilihat pada tabel dibawah ini sebagai berikut :

Tabel 4.2.Hasil koreksi geometrik NOAA-18/AVHRR tanggal 27 Februari 2014TitikMap XMap YImage XImage YPredict xPredict yError xError yRMS

195.195.531254.07957.791253.59957.48-0.48-0.310.57

295.625.6312969471296.28947.290.280.290.4

397.55.251485.34985.151485.65985.230.310.080.32

498.294.421564.831069.331564.591069.2-0.24-0.130.27

5103.391.162076.513962076.331396.14-0.170.140.22

6103.81021181513.252118.161512.80.16-0.450.48

7103.78-0.342115.371547.172115.191547.28-0.180.110.21

8104.55-1.852192.51699.752192.41699.62-0.1-0.130.17

9106.85-2.572422.251770.52422.161770.72-0.090.220.24

1097.792.2315141290.251514.381289.730.38-0.520.64

1196.553.731389.681139.311389.881139.240.2-0.070.21

1297.122.011447.9213121447.641312.58-0.280.580.64

13105.59-1.532296.731666.672297.031666.590.3-0.080.31

14102.641.012001.041411.442001.161411.430.12-0.010.12

15101.482.071885.311305.351885.11305.62-0.210.270.34

Total RMS Error : 0.3795

Average RMS error : 0.025

Tabel 4.3.Hasil koreksi geometrik NOAA-18/AVHRR tanggal 28 Februari 2014TitikMap XMap YImage XImage YPredict xPredict yError xError yRMS

195.195.5310231184.441022.811184.33-0.19-0.110.22

295.445.661048.221171.561048.621171.490.4-0.070.41

395.895.510941187.381093.761187.57-0.240.190.31

497.94.881296.881248.881296.491248.81-0.39-0.070.4

598.014.611307.881276.751307.881276.220-0.530.53

698.294.421335.181295.641335.411295.840.230.20.3

798.683.91375.251347.741375.21347.89-0.050.150.16

81021.611708.911578.961708.741578.68-0.17-0.280.33

9102.51.2517591613.881759.441614.140.440.260.51

10103.80.011890.131738.51889.91738.55-0.230.050.24

TitikMap XMap YImage XImage YPredict xPredict yError xError yRMS

1196.553.731159.8413651160.091365.180.250.180.31

1297.782.241284.841515.471284.851515.720.010.250.25

1398.840.091391.2517321391.191732.05-0.060.050.08

1498.89-0.91396.251832.251396.021832.04-0.23-0.210.31

15100.38-1.041545.251845.51545.481845.470.23-0.030.23

Tabel 4.3.Hasil koreksi geometrik NOAA-18/AVHRR tanggal 28 Februari 2014 (lanjutan)Total RMS Error : 0.3276Average RMS error : 0.021

dari data tebel diatas bisa dilihat nilai koreksi geometrik untuk masing-masing citra satelit NOAA-18/AVHRR pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014.berdasarkan letak pergeseran titik-titik piksel ditunjukkan dengan nilai root mean error (RMSE) dari masing-masing titik kontrol . Pada penelitian ini didapatkan nilai rata-rata RMSE untuk tiap titik pada citra NOAA-18/AVHRR pada tanggal 27 Februari 2014 adalah 0.025 meter yang pada kenyataannya terjadi pergeseran sebesar 0.025 meter x 1100 meter = 27.5 meter dan untuk penelitian ini didapatkan nilai rata-rata RMSE untuk tiap titik pada citra NOAA-18/AVHRR pada tanggal 28 Februari 2014 adalah 0.021 meter yang pada kenyataannya terjadi pergeseran sebesar 0.021 meter x 1100 meter = 23.1 meter. IV.2. Hasil Sebaran Titik Panas AQUA MODIS format mod14Berikut ini adalah hasil dari proses pengolahan data AQUA MODIS mod14 berupa sebaran koordinat titik panas yang ada pada wilayah Riau dan sekitarnya.

Gambar 4.1. Sebaran titik panas AQUA MODIS mod14

Data AQUA MODIS yang digunakan dalam penelitian ini berformat mod14. Format mod14 adalah format data yang sudah siap diolah untuk dijadikan sebaran koordinat titik panas yang berada di wilayah Riau. Format tersebut berisi tentang koordinat sebaran titik panas yang ada pada daerah penelitian tersebut. Data pengamat citra satelit AQUA MODIS mod14 yang dipakai adalah data citra dengan waktu pengamatan pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014.

Bisa dilihat dari gambar 4.1 sebaran koordinat titik panas pada data AQUA MODIS mod14 pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014 terdapat beberapa sebaran koordinat di daerah Riau yang terdekteksi titik panas, koordinat ini pada umumnya tersebar paling banyak di daerah Riau sebelah barat , agar lebih jelas daerah-daerah koordinat titik panas mana saja yang terdekteksi titik panas di wilayah Riau bisa dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jumlah sebaran titik panas di wilayah Riau Nama KecamatanJumlah Titik Panas

Kubu5

Bangko1

Bukit Kapur4

Rupat11

Sungai Apit14

Tebing Tinggi5

Bunut7

Pangkal Kuras2

Kuala Kampar18

Keteman4

Mandah3

Kuala Indragi1

Pangkal Kuras2

Teluk Bintang1

Galang1

Kundur1

Total titik panas80

Pada hasil data AQUA MODIS format MOD14 pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014 didapatkan beberapa koordinat sebaran titik panas yang ada di wilayah Riau dan sekitarnya. Sebaran koordinat titik panas dari data AQUA MODIS format mod14 ini nantinya di jadikan perbandingan dari hasil pengolahan sebaran titik panas pada data citra NOAA-18/AVHRR di tanggal yang sama.IV.3. Hasil Sebaran Titik Panas NOAA-18/AVHRR

Pada citra satelit NOAA-18/AVHRR pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014 dengan nilai ambang batas temperatur 300K atau 27C hal ini didukung dengan adanya data suhu yang diperoleh dari stasiun pengamatan cuaca di Bandar udara sultan kasim 2 bahwa pada bulan Februari tahun 2014 suhu rata-rata adalah 27.5C. Bisa dilihat pada gambar 4.2. berwarna merah menunjukan sebaran titik panas pada suhu berada diatas kisaran 27C yang menunjukan terdapat sebaran titik panas pada wilayah tersebut dan warna lainnya seperti biru dan hijau menunjukkan suhu dibawah 27C yang berarti daerah tersebut tidak masuk dalam lokasi sebaran titik panas pada wilayah Riau atau pada daerah tersebut citra satelit NOAA terdapat tutupan awan yang mengakibat kan suhu rendah pada kawasan yang tersebut.

Gambar 4.2. Sebaran titik panas NOAA-18/AVHRR tanggal 28 Februari 2014

Gambar 4.3. Sebaran titik panas NOAA-18/AVHRR tanggal 27 Februari 2014IV.4. Analisis Sebaran Titik Panas NOAA-18/AVHRR a. Data citra satelit NOAA-18/AVHRR tanggal 28 Februari 2014

Dari gambar 4.4 dan gambar 4.5 terlihat jelas citra satelit NOAA-18/AVHRR pada tanggal 28 februari 2014 ada beberapa wilayah yang ada di riau terdekteksi titik panas yang berwarna merah . wilayah tersebut memiliki suhu pada kisaran 27C - 35C pada suhu kurang dari 27C tidak terdekteksinya titik panas pada wilayah tersebut bukan berarti wilayah tersebut tidak berpeluang terjadi kebakaran hutan bisa saja daerah tersebut tertutup awan karena sensor AVHRR tidak dapat menembus awan dan pada kanal dari sensor tersebut menggunakan kanal inframerah, titik panas pada wilayah tersebut tidak bisa diperoleh dari daerah yang tertutup awan.

Tabel 4.2. Informasi intensitas suhu tiap kecamatan tanggal 28 Februari 2014NOKecamatanSuhu Titik Panas

1Bangko27C - 29C

2Kubu27C

3Bukit kapur27C - 33C

4Rupat27C - 30C

5Dumai timur27C - 33C

6Bukit batu27C - 35C

Tabel 4.2. Informasi intensitas suhu tiap kecamatan tanggal 28 Februari 2014 (lanjutan)NOKecamatanSuhu Titik Panas

7Sungai apit27C - 29C

8Bengkalis27C - 28C

9Bantan27C - 28C

10Merbau27C - 28C

11Tebing tinggi27C - 28C

12Kuala Kampar27C - 28C

Dari data citra satelit NOAA-18/AVHRR mampu meliputi kawasan yang sangat luas akan tetapi jika ditemukan titik panas dengan suhu diatas 27C tidak seluruhnya merupakan kawasan yang terindikasi kawasan rawan kebakaran maka diperlukan untuk mengidentifikasi langsung kelapangan. Biasanya titik panas yang berada di daerah pemukiman hanya merupakan pembakaran untuk penyiapan ladang. Namun bila titik panas berada di wilayah HTI atau perkebunan, maka kemungkinan besar merupakan kawasan yang teridentifikasi kebakaran yang sebenarnya.

Gambar 4.4.Sebaran intensitas suhu NOAA-18/AVHRR tanggal 28 februari 2014

Dari hasil lokasi sebaran suhu pada citra satelit NOAA-18/AVHRR tanggal 28 februari 2014 didapat beberapa lokasi yang diduga daerah tingkat rawan kebakaran tinggi karna memiliki intensitas suhu yang melebihi diatas nilai ambang batas 27C seperti didaerah Bukit Kapur, Dumai Timur dan Bukit Batu yang intensitas suhunya melebihi 30C pada daerah tersebut juga mempunyai kawasan hutan cukup luas seperti Bukit Kapur yang memiliki kawasan hutan sekitar 252 Ha, Dumai Timur memiliki kawasan hutan 4712.50 Ha dan Bukit Batu memiliki kawasan hutan 21500 Ha luas wilayah ini didapat dari surat keputusan menteri kehutanan dan perkebukan wilayah Riau yang di unduh dari web http://hutanriau.org pada luas daerah hutan tersebut menjadi kemungkinan besar teridentifikasi daerah yang rawan mengalami kebakaran hutan.

Gambar 4.5. Sebaran titik panas NOAA-18/AVHRR tanggal 28 Februari 2014b. Data citra satelit NOAA-18/AVHRR tanggal 27 Februari 2014

Pada Data citra satelit NOAA-18/AVHRR tanggal 27 Februari 2014 jumlah titik panasnya tidak sebanyak dan peningkatan suhunya tidak terlalu drastis seperti pada citra satelit NOAA-18/AVHRR pada tanggal 28 Februari 2014 dikarenakan pada citra tanggal 27 Februari 2014 yang digunakan pada wilayah Riau cukup banyak yang tertutup awan dan karna iklim yang sulit di tentukan pada perekaman citra tersebut. Pada tanggal ini hanya ada beberapa wilayah yang ada di Riau terdekteksi titik panas yang berwarna merah . wilayah tersebut memiliki suhu pada kisaran 26C - 30C saja dan pada suhu kurang dari 26C hasil perekaman pada tanggal ini tidak terdekteksinya titik panas disebabkan karna tertutup awan yang lumayan banyak karena sensor AVHRR tidak dapat menembus awan dan pada kanal dari sensor tersebut menggunakan kanal inframerah titik panas pada wilayah tersebut tidak bisa diperoleh dari daerah yang tertutup awan.

Tabel 4.3. Informasi intensitas suhu tiap kecamatan tanggal 27 Februari 2014NOKecamatanSuhu Titik Panas

1Kubu22C - 24C

2Bukit kapur22C - 26C

3Rupat22C - 26C

4Rangsang22C - 27C

5Bukit batu20C - 24C

6Sungai apit27C - 24C

7Bengkalis22C - 24C

8Bantan27C - 24C

9Tebing tinggi20C - 27C

10Kuala Kampar20C - 24C

Dari tabel diatas bisa dilihat kenaikan suhu pada citra satelit NOAA-18/AVHRR pada tanggal 27 Februari 2014 untuk pendekteksian titik panas diwilayah Riau tidak terlalu pesat kenaikan suhunya jika dibandingkan pada citra satelit NOAA-18/AVHRR pada tanggal 28 Februari 2014 dikarena citra yang digunakan cukup banyak wilayah yang tertutup awan yang mengakibatkan sensor AVHRR yang dimiliki satelit NOAA-18 tidak efektif untuk monitoring sebarang titik panas pada tanggal 27 februari 2014.

Ada beberapa wilayah yang masih bisa terdekteksi daerah yang teridentifikasi titik panas yang intensitas suhunya memasuki nilai ambang batas 27C seperti pada daerah Rangsang dan Tebing tinggi yang suhu maksimalnya sampai 27C pada daerah tersebut juga memiliki hutan produksi daerah hutan tersebut menjadi kemungkinan besar teridentifikasi daerah yang rawan mengalami kebakaran hutan.

Gambar 4.6. Sebaran intensitas suhu NOAA-18/AVHRR tanggal 27 februari 2014

Gambar 4.7. Sebaran titik panas NOAA-18/AVHRR tanggal 27 februari 2014c. Hasil sebaran titik panas dari data AQUA MODISmod 14 dan NOAA-18/AVHRR pada tanggal 28 Februari 2014

Gambar 4.8. sebaran titik panas AQUA MODISmod 14 dan NOAA-18/AVHRR tanggal 28 Februari 2014

Dari hasil data AQUA MODISmod 14 dan NOAA-18/AVHRR pada tanggal 28 Februari 2014 ada beberapa sebaran titik panas yang lokasinya sesuai dengan kedua data citra tersebut. Lokasi ini menjadi bagian dari wilayah yang teridentifikasi sebaran titik panas dan intensitas suhu tiap daerah tersebut sekitar 27C bahkan pada daerah Bukit kapur dan Rupat intensitas maksimal suhunya diatas 30C bisa dilihat pada tabel 4.4. Daerah tersebut memiliki cakupan hutan yang cukup luas, daerah hutan tersebut merupakan daerah yang kemungkinan rawan terjadi kebakaran hutan. Tabel 4.4. Informasi lokasi sebaran titik panas dari data AQUA MODISmod 14 dan NOAA-18/AVHRR pada tanggal 28 Februari 2014NONama KecamatanJumlah Titik Panas

AQUA MODISmod 14Suhu

NOAA-18/AVHRRLuas wilayah hutan

1Kubu527C-

2Bangko127C - 29C24000 Ha

3Bukit Kapur427C - 33C252 Ha

Tabel 4.4. Informasi lokasi sebaran titik panas dari data AQUA MODISmod 14 dan NOAA-18/AVHRR pada tanggal 28 Februari 2014 (Lanjutan )NONama KecamatanJumlah Titik Panas

AQUA MODISmod 14Suhu

NOAA-18/AVHRRLuas wilayah hutan

4Rupat1127C - 30C9.750 Ha

5Sungai Apit1427C - 29C-

6Tebing Tinggi527C - 28C2.379 Ha

Gambar 4.7. Peta kawasan hutan dan perairan riau (Departemen kehutanan Riau , 2009)

Dari hasil sebaran titik panas pada citra satelit NOAA-18/AVHRR yang ada di wilayah Provinsi Riau daerah yang terdekteksi titik panas berada pada kawasan hutan seperti pada gambar 4.7 yang memungkinkan besar merupakan wilayah yang rawan terjadi kebakaran.

IV.5. Data Cuaca

Berdasarkan data yang di unduh dari internet, diperoleh informasi data suhu bulanan dari Pos pengamatan : stasiun bandar udara Sultan syarif kasim 2 pada tahun 2014 sebagai berikut :

Tabel 4.5.Informasi suhu bulanan BulanSuhu Rata-Rata (C)Kecepatan Angin

Januari26C7.1

Februari27.5C6.9

Maret27.3C7.3

April27.7C8.5

Mei28C6.7

Juni28.7C6.6

Juli28.2C6.5

Agustus27.5C7.6

September27.5C7.3

Oktober27.6C6.6

November27.1C7.9

Desember26.7C9.0

Dari data yang diperoleh dari stasiun bandara sultan kasim 2 didapatkan Data Informasi Unsur Iklim Bulanan pada tabel 4.4 meliputi data rata rata suhu dan kecepatan angin. Data suhu yang didapat kan ini yang nantinya di jadikan patokan dalam nilai ambang batas pada penelitian ini.IV.6. Analisis

a. Berdasarkan hasil pengolahan citra satelit NOAA-18/AVHRR untuk waktu perekaman (waktu temporal) pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014 waktu penelitian yang lebih baik adalah pada tanggal 28 Februari 2014 hal ini dapat dilihat dari sebaran titik panas yang diterima setelah dilakukan perhitungan algoritma dan pengolahan di perangkat lunak. Sebaran titik panas yang didapat dari citra satelit NOAA-18/AVHRR citra satelit NOAA-18/AVHRR jauh lebih banyak dan memiliki nilai suhu minimum yang mendekati 27C yang sesuai dengan nilai ambang batas untuk penentuan suhu titik panas dan suhu yang maksimal yang diterima sampai 36C untuk wilayah Riau seperti pada tabel 4.2 , sedangkan citra satelit NOAA-18/AVHRR pada 27 Februari 2014 tidak terlalu banyak sebaran titik panasnya dan intensitas suhu pada data citra tersebut cukup rendah suhu maksimal nya hanya mencapai 30C hal ini disebabkan karena citra tersebut cukup banyak awan yang berada pada wilayah penelitian tersebut, sensor AVHRR tidak dapat menembus awan dan pada kanal dari sensor tersebut menggunakan kanal inframerah titik panas pada wilayah tersebut tidak bisa diperoleh karena adanya wilayah yang tertutup awan.

b. Pada data AQUA MODIS mod14 pada tanggal 27 Februari 2014 dan 28 Februari 2014 data sebaran koordinat titik panas diwilayah Riau yang menunjukkan lokasi sebaran titik panas paling banyak adalah pada tanggal 28 Februari 2014 dapat dilihat pada tabel 4.1 dan data AQUA MODIS mod14 pada tanggal 28 Februari 2014 ini juga ada beberapa yang sesuai dengan data sebaran titik panas pada citra satelit NOAA-18/AVHRR 28 Februari 2014. c. Nilai ambang batas (Threshold) temperatur yang digunakan adalah 300K. Hal ini didukung dengan adanya data suhu yang diperoleh dari bandara sultan kasim 2 Pada bulan Februari 2014 , suhu rata rata adalah 27,5C atau sekitar 300K. Menurut Qin (1999), berdasarkan hukum pergeseran Wiens bahwa pancaran radiasi maksimum kenampakan permukaan bumi terjadi pada panjang gelombang kurang lebih 9,7 m hubungan antara spektral radian dan panjang gelombang untuk Bumi dengan temperatur sekitarnya 300K, puncak spektral radian terjadi pada panjang gelombang 9,7 m. Secara teoritis, hubungan energi termal dengan temperatur fisik bumi dapat diamati menggunakan panjang gelombang 10 m yang didefinisikan sebagai kanal termal pada sistem penginderaan jauh. Oleh sebab itu penerapan nilai ambang batas (Threshold) Temperatur sebesar 300K masih dapat ditangkap oleh sensor AVHRR.d. Berdasarkan data cuaca yang diperoleh dari bandar udara sultan syarif kasim 2, faktor cuaca yang berpengaruh besar terkait timbulnya sebaran titik panas adalah temperatur suhu yang tinggi dan kecepatan angin yang mempengaruhi suhu daratan. Pada bulan Februari 2014 angka angka pada tabel 4.5 tersebut masuk kategori cukup tinggi pada suhu 27.5C. Faktor angin memilliki pengaruh yang sangat besar terhadap timbulnya titik panas karena angin dapat memperluas area lahan yang terbakar. Semakin luas area yang terbakar, maka akan semakin mudah dideteksi oleh kanal termal suatu sensor satelit. Penyinaran matahari yang tinggi menyebabkan tingkat penguapan air yang tinggi sehingga banyak vegetasi yang mengalami kekeringan dan menjadi mudah terbakar. Oleh sebab itu emisi panas yang dipancarkan dapat ditangkap oleh sensor kanal termal dari satelit NOAA-18/AVHRR. e. Dari hasil pengolahan Dari hasil data AQUA MODISmod 14 dan NOAA-18/AVHRR pada tanggal 28 Februari 2014 ada beberapa sebaran titik panas yang lokasinya sesuai dengan kedua data citra tersebut. Lokasi ini menjadi bagian dari wilayah yang teridentifikasi titik panas dan intensitas suhu tiap daerah tersebut sekitar 27C bahkan pada daerah Bukit kapur dan Rupat intensitas maksimal suhunya diatas 30C bisa dilihat pada tabel 4.4. pada daerah tersebut memiliki cakupan hutan yang cukup luas, daerah hutan tersebut merupakan daerah yang kemungkinan rawan terjadi kebakaran hutan. BAB V

PENUTUP

V.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian perbandingan sebaran titik panas dengan menggunakan citra satelit NOAA-18/AVHRR dan AQUA MODIS mod14 pada tanggal 27 Februari 2014 dan tanggal 28 Februari 2014 di Provinsi Riau dan Sekitarnya, dapat disimpulkan sebagai berikut:

A. Berdasarkan hasil analisis antara Citra Satelit NOAA-18/AVHRR dan AQUA MODIS mod14 untuk waktu perekaman (waktu temporal) tanggal 27 Februari 2014 dan tanggal 28 Februari 2014 citra yang dapat mendeteksi titik panas dengan lebih baik adalah Citra Satelit NOAA-18/AVHRR dan AQUA MODIS tanggal 28 Februari 2014 hasil sebaran dari kedua citra tersebut memiliki beberapa lokasi yang sesuai, lokasi tersebut teridentifikasi wilayah yang rawan terjadi kebakaran hutan karena wilayah itu juga memiliki luas daerah hutan yang cukup luas. B. Nilai ambang batas temperatur 300K atau 27C pada pengolahan citra NOAA-18/AVHRR dapat digunakan untuk mendeteksi sebaran titik panas untuk wilayah kajian lumayan luas. Hal ini didukung dengan adanya data informasi suhu yang menunjukkan bahwa suhu rata rata pada bulan Februari 2014 adalah 27,5 C atau sekitar 300.5 K. Selain itu penerapan nilai ambang batas temperatur sebesar 300K masih dapat ditangkap oleh kanal termal pada sensor AVHRR

C. Faktor yang berpengaruh meluasnya api sehingga memperluas area kebakaran hutan yang dideteksi sebagai titik panas adalah faktor kecepatan angin. Selain itu, suhu harian dan penyinaran matahari juga berpengaruh besar dalam penentuan deteksi titik panas dan titik panas tersebar pada wilayah yang memiliki suhu permukaan daratan yang tinggi.

D. Penggunaan citra satelit seperti NOAA-18/AVHRR dan AQUA MODIS mod14 pada wilayah kajian yang luas belum dapat mendeteksi titik panas dengan baik karena terdapat kejadian kebakaran hutan yang tidak dapat ditangkap oleh sensor satelit dan faktor kondisi awan yang dapat menutupi wilayah penelitian yang mengakibatkan sensor dari kedua citra tidak dapat mendekteksi titik panas karena sensor kedua citra tersebut tidak dapat menembus awan.

E. Diperlukan analisa lanjutan untuk mengidentifikasi apakah titik panas pada daerah penelitian merupakan tempat terjadinya kebakaran yang sebenarnya dan diperlukan validasi ke lapangan langsung agar hasil yang didapatkan sesuai dengan tempat kejadian sebaran titik panas

V.2. Saran Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, beberapa saran yang dapat diajukan antara lain sebagai berikut :

A. Untuk mendeteksi titik panas pada wilayah kajian yang luas diperlukan citra satelit dengan resolusi yang lebih tinggi dari pada citra satelit yang digunakan pada penelitian ini.

B. Untuk wilayah kajian yang cukup luas lebih baik menggunakan citra satelit yang tidak terlalu banyak awan yang menutupi pada daerah penelitian karena sensor pada kedua citra tersebut tidak dapat menembus awan.C. Pemanfaatan Data Sebaran titik panas dari pengolahan citra satelit NOAA-18/AVHRR maupun AQUA MODIS dapat dipertimbangkan untuk mempermudah melakukan pemantauan kebakaran hutan di wilayah Riau.D. Perlu dilakukan uji kelapangan untuk memastikan bahwa daerah yang terdekteksi titik panas memang benar daerah hutan yang rawan kebakaran agar bisa dilakukan pencegahan terlebih dahulu agar tidak terjadi kebakaran hutan. Data satelit NOAA 18

Data satelit MODIS format mod14

Georeferensi citra

Koreksi geometrik

Konversi format data

RMS error < 1 pixel

Perhitungan Algoritma Titik panas

Peta administrasi indonesia 1:1000.000

Pemotongan citra

Verifikasi hasil geometrik

Data koordinat titik panas dan data temperatur Suhu titik panas

Data sebaran titik panas

Peta sebaran hotspot

Data suhu wilayah Riau

tidak

Pengolahan data

Pengolahan data di MSExcel

Pengolahan data di ArcGis

Sebaran koordinat titik panas

ya

Analisis

Pengumpulan data

Pengolahan data

Perhitungan algoritma titik panas

Data satelit MODIS format mod14

Peta administrasi indonesia 1:1000.000

Data satelit NOAA-18/AVHRR

Konversi format data

Georeferensi citra

Pengolahan data

a. Pengolahan data di MSExcel

Pengolahan data di ArcGis

tidak

Kokreksi geometrik

RMS error < 1 pixel

Sebaran koordinat titik panas

ya

Verifikasi hasil geometrik

Perhitungan Algoritma titik panas

Pemotongan citra

7

_1502625033.pdf

SIAK

KAMPARPELALAWAN

INDRAGIRI HILIR

BENGKALIS

ROKAN HILIR

ROKAN HULU

TEBO

INDRAGIRI HULU

SOLOK

LABUHANBATU

AGAM

KUANTAN SINGINGI

LIMAPULUHKOTO

KOTA PASAMAN

TANJUNGJABUNG BARATDHARMASRAYA

SAWAHLUNTO / SINJUN

TANAHDATAR

PESISIR SELATANBUNGO

TAPANULI SELATAN

PADANGPARIAMAN

TANJUNGJABUNG TIMUR

KOTA PADANG

SOLOK SELATAN

KARIMUN

KOTA PEKANBARU

PASAMAN BARAT

KOTA DUMAI

KOTA SAWAHLUNTO

KOTA PAYAKUMBUH

KOTA BATAM

KOTA SOLOK

KOTA PARIAMAN

MUAROJAMBI

KOTA BUKITTINGGI

KOTA PADANGPANJANG

RIAU

JAMBI

SUMATERA UTARA

SUMATERA BARAT

KEPULAUAN RIAU

MALAYSIA

1030'0"E

1030'0"E

1020'0"E

1020'0"E

1010'0"E

1010'0"E

1000'0"E

1000'0"E

20'0"N

20'0"N

10'0"N

10'0"N

00'0"

00'0"

10'0"S

10'0"S

SELAT MALAKA

I-4

PETA KAWASAN HUTANDAN PERAIRAN

PROVINSI RIAUSkala 1: 1.750.0000 100 Km

DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUANSUMBER DAYA HUTANDIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANANDEPARTEMEN KEHUTANANTAHUN 2009

Fungsi KawasanKawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam DaratKawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam PerairanHutan LindungHutan Produksi TerbatasHutan ProduksiHutan Produksi yang dapat di-KonversiAreal Penggunaan Lain

U

Catatan :

Sumber :

- Batas-batas yang tergambar tidak sepenuhnya dapat dijadikan sebagai acuan

1. Peta Dasar Tematik Kehutanan Skala 1:250.0002. Peta Lampiran SK Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/1986 (TGHK) Tanggal 06/06/1986

LEGENDA :SungaiDanau/ Waduk

Ibu Kota Provinsi

Batas KabupatenBatas Provinsi

")

RIAU

SUMATERA SELATAN

SUMATERA UTARA

LAMPUNGBENGKULU

SUMATERA BARAT BANGKA-BELITUNG

NANGGROE ACEH DARUSSALAM KEPULAUAN RIAUMALAYSIA

1100'0"E

1100'0"E

1050'0"E

1050'0"E

1000'0"E

1000'0"E

950'0"E

950'0"E

50'0"N

50'0"N

00'0"

00'0"

50'0"S

50'0"SDaerah yang dipetakan