BAB I dan BAB II

34
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP EFEKTIFITAS PENGOBATAN PADA PENDERITA HIPERTENSI DI PUSKESMAS SEMPAJA SAMARINDA TAHUN 2015 Disusun Oleh Rahayu Asmarani Desire Bibiana Palada Ayu Herwan Mardatillah Pembimbing : dr. Hj. Irama Fitamina dr. Siti Nuriyatus Zahrah, MKN Dr. dr. Rahmat Bakhtiar, MPPM Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas Puskesmas Sempaja Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2015

description

rahayu

Transcript of BAB I dan BAB II

Page 1: BAB I dan BAB II

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP EFEKTIFITAS

PENGOBATAN PADA PENDERITA HIPERTENSI DI PUSKESMAS

SEMPAJA SAMARINDA TAHUN 2015

Disusun Oleh

Rahayu Asmarani

Desire Bibiana Palada

Ayu Herwan Mardatillah

Pembimbing :

dr. Hj. Irama Fitamina

dr. Siti Nuriyatus Zahrah, MKN

Dr. dr. Rahmat Bakhtiar, MPPM

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas

Puskesmas Sempaja

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

2015

BAB 1

Page 2: BAB I dan BAB II

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan terjadinya transisi epidemiologi saat ini, terjadi perubahan

pola penyakit dari penyakit infeksi menjadi non infeksi (penyakit degeneratif)

seperti penyakit jantung, hipertensi, ginjal dan stroke yang akhir-akhir ini banyak

terjadi di masyarakat. Penyakit-penyakit diatas digolongkan ke dalam penyakit

tidak menular yang frekuensi kejadiannya mulai meningkat seiring dengan

perkembangan teknologi, perubahan pola makan, gaya hidup serta kemajuan

ekonomi bangsa (Bustan,2000). Salah satu penyakit tidak menular yang menjadi

masalah kesehatan yang sangat serius saat ini adalah hipertensi.

Hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar

dari 140 mmHg, atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali

pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat/ tenang

(Kuswardhani, 2005). Menurut WHO dan the International Society of

Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh

dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10

penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat.

Proporsi mortality rate hipertensi di seluruh dunia adalah 13% atau sekitar

7,1 juta kematian. Sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdeteksi

dan jika penyakit ini tidak terkontrol, akan menyerang target organ, dan dapat

menyebabkan serangan jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan. Dari

beberapa penelitian dilaporkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol

dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar

terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung.

Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit stroke dan

tuberkulosis mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di

Indonesia. Prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7% (Riskesdas,

2007). Pada kelompok umur 25-34 tahun sebesar 7%, naik menjadi 16% pada

kelompok umur 35-44 tahun dan kelompok umur 65 tahun atau lebih menjadi

Page 3: BAB I dan BAB II

29% (Survey Kesehatan Nasional, 2001). Prevalensi hipertensi di Kalimantan

Timur sendiri menempati urutan ketiga di Indonesia yaitu sebesar (29,6%), setelah

Bangka Belitung (30,9%) dan Kalimantan Selatan (30,8%) (Riset Kesehatan

Dasar Kaltim, 2013).

Hipertensi sebagai besar disebabkan oleh gaya hidup manusia yang banyak

dipacu oleh kemudahan-kemudahan. Kemudahan yang di maksud meliputi

kemudahan akibat kemajuan teknologi dan gaya hidup, seperti fastfood yang

banyak di gemari yang pada akhirnya menyebabkan keengganan untuk bergerak.

Padahal, dengan banyak bergerak seluruh otot-otot tubuh termasuk otot-otot

pembuluh darah akan berkembang dengan baik sehingga mampu memperlancar

aliran darah dalam tubuh manusia (Tedjasukmana,2009). Hal-hal tersebut

menjadikan meningkatnya kasus hipertensi hingga menjadi masalah yang cukup

besar. Penelitian Mardiyati (2009), menunjukkan bahwa penderita hipertensi

mempunyai sikap yang buruk dalam menjalani diet hipertensi, hal tersebut disebabkan

oleh faktor pengetahuan penderita hipertensi.

Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor dominan yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior). Perilaku yang didasari

oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Mubarak dkk, 2007). Peningkatan pengetahuan penderita hipertensi

tentang penyakit akan mengarah pada kemajuan berpikir tentang perilaku

kesehatan yang lebih baik sehingga berpengaruh terhadap terkontrolnya tekanan

darah. Pengetahuan dalam pencegahan komplikasi hipertensi dilatarbelakangi oleh

tiga faktor yaitu faktor predisposisi meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan,

nilai, tradisi keluarga, faktor pendukung meliputi ketersediaan sumber fasilitas,

faktor pendorong meliputi sikap, perilaku petugas kesehatan, anggota keluarga

dan teman dekat (Notoatmodjo, 2007).

Di wilayah Puskesmas Sempaja Samarinda, angka kunjungan hipertensi

sebesar 1529 dimana kasus baru pasien hipertensi ditemukan sebanyak 229 pada

periode Januari hingga Juli 2015. Hipertensi sendiri menempati urutan kedua dari

10 penyakit terbanyak di wilayah Puskesmas Sempaja Samarinda. Angka ini

Page 4: BAB I dan BAB II

meningkat dari tahun sebelumnya dan salah satunya pengetahuan pasien

hipertensi memegang peran penting dalam hal ini. Berdasarkan latar belakang di

atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang “hubungan tingkat

pengetahuan terhadap keadaan klinis pasien hipertensi di Puskesmas Sempaja

tahun 2015”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana

hubungan tingkat pengetahuan terhadap keadaan klinis pasien hipertensi di

Puskesmas Sempaja.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat

pengetahuan terhadap keadaan klinis pasien hipertensi di Puskesmas Sempaja.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi instansi kesehatan terkait guna meningkatkan promosi

kesehatan dalam mencegah dan menangani penyakit hipertensi.

2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat pada umumnya

dalam hal mencegah hipertensi, dan khususnya bagi pasien hipertensi dalam

mengontrol tekanan darahnya.

3. Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti tentang penyakit

hipertensi.

4. Sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Muda Ilmu Kesehatan

Masyarakat.

Page 5: BAB I dan BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1 Pengertian dan Klasifikasi Hipertensi

Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap

pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi volume darah dan elastisitas

pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan peningkatan volume

darah atau elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan

menurunkan tekanan darah (Ronny et al, 2010).

Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis dimana terjadi

peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu yang lama). Dimana

keadaan tekanan darah sistolik sama atau lebih dari 140 mmHg ( 140) dan tekanan

diastolik sama atau lebih dari 90 mmHg ( 90) pada seseorang yang tidak menggunakan

O.A.H (obat anti hipertensi) (Syatria, 2008; Davey, 2005; Nolah, 2005).

Pada tahun 2003, National Institutes of Health Amerika telah

mengeluarkan suatu laporan lengkap berkenaan hipertensi yang dikenali sebagai

The Seventh Report of Joint National Committee on Detection, Evaluation, and

Treatment for High Blood Pressure (JNC-7). Berdasarkan rekomendasi (Joint

National Committee 7 (JNC-7), tekanan darah yang normal seharusnya berkisar di

bawah 120 mmHg sistolik dan di bawah 80 mmHg diastolik. Tekanan darah

sistolik di antara 120 dan 139 mmHg dan tekanan darah diastolik di antara 80 dan

89 mmHg dianggap pre-hipertensi. Diagnosa hipertensi hanya akan dibuat apabila

tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg dan tekanan darah diastolik melebihi

90 mmHg. Untuk orang dewasa dengan Diabetes Mellitus, tekanan darah individu

tersebut haruslah berada di bawah 130/80 mmHg. Hipertensi kemudiannya

dibagikan lagi kepada hipertensi derajat 1 dan 2 berdasarkan tekanan darah

sistolik dan diastoliknya. Pembagian hipertensi berdasarkan  Joint National

Committee 7 seperti yang tercantum dalam tabel di bawah:

Page 6: BAB I dan BAB II

Tabel 2.1. Definisi dan Klasifikasi Tekanan Darah berdasarkan JNC-VII 2003

Kategori Desakan sistolik Diastolik

Normal

Prehypertension

Stage 1 hypertension

Stage 2 hypertension

< 120

120 - 139

140 - 159

≥ 160

< 80

80 – 89

90 - 99

≥ 110

World Health Organization (WHO) membagi hipertensi sebagai berikut :

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah menurut WHOKlasifikasi Tekanan

DarahTekanan Darah

Sistolik (mmHg)Tekanan Darah

Diastolik (mmHg)Normal 140 90

Borderline 140-159 90-94Hipertensi Definitif 160 95Hipertensi Ringan 160-179 95-140

Sumber : Rilantono, 2003

Sedangkan menurut European Society of Hypertension (ESH, bersama European

Society of Cardiology). Membagi hipertensi sebagai berikut :

Tabel 2.3 Klasifikasi Tekanan Darah menurut ESH/ESCKlasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah

Optimal <120/80Normal 120-129/80-84

High Normal 130-139/85-89Hypertension Grade I 140/90

140-159/90-99Hypertension Grade II 160-179/100-109Hypertension Grade III >180/110

Sumber : European Society of Hypertension, 2003

Masih ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan hipertensi lain dari

International Society of Hypertension (ISH), British Hypertension Society (BSH) serta

Canadian Hypertension Education Program (CHEP), tetapi umumnya digunakan JNC

VII (Yogiantoro, 2006).

Hipertensi, atau tekanan darah tinggi, dianggap merupakan masalah paling utama

yang dihadapi oleh orang dewasa di seluruh dunia dan merupakan salah satu

faktor risiko utama terjadinya penyakit kardiovaskuler. Hipertensi lebih sering

Page 7: BAB I dan BAB II

dijumpai pada laki-laki muda berbanding wanita muda (Grim, 1995), pada orang

berkulit gelap berbanding orang berkulit cerah, pada orang dengan sosioekonomi

rendah dan pada orang tua (Gillum, 1996). Berdasarkan satu kajian dari

Framingham study mengusulkan bahawa individu yang memiliki tensi yang

normal (normotensive) sehingga umur 55 tahun 90% cenderung untuk

menghidapi hipertensi pada waktu yang akan datang (Vassan, 2001)

2.1.2 Epidemiologi HipertensiHipertensi merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan

penanggulangan yang baik. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

prevalensi hipertensi seperti umur, jenis kelamin, obesitas, dan adanya riwayat hipertensi

dalam keluarga (Susalit, Kapojos, & Lubis, 2001).

Di Amerika Serikat, prevalensi hipertensi pada orang dewasa sekitar 20-30%.

Sekitar 50 juta orang di Amerika Serikat menderita hipertensi dan sekitar 1 milyar orang

menderita hipertensi di seluruh dunia. Prevalensi meningkat dengan peningkatan umur,

kira-kira 1 dari 3 pasien termasuk pada dekade V. Data dari Framingham Heart Study

menunjukan bahwa rata-rata orang yang normotensiv pada usia 55 tahun memiliki 90%

risiko hipertensi. Sebagaimana populasi usia pertengahan semakin meningkat, sudah pasti

prevalensi hipertensi akan lebih meningkat jika tindakan pencegahan tidak dilaksanakan

secara efektif. Banyak pasien hipertensi mempunyai riwayat keluarga yang menderita

hipertensi. Cara penurunan hipertensi ini, kompleks dan kemungkinan poligenik pada

beberapa kejadian. Orang yang mengalami kegemukan memiliki hubungan erat dengan

terjadinya hipertensi. Pada anak-anak, obesitas merupakan penyebab terbanyak dari

hipertensi. Suatu penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara berat badan

dan tekanan darah, dimana tekanan darah akan turun dengan penurunan berat badan

(Nolah, 2005).

Di Indonesia, sampai saat ini belum terdapat penyelidikan yang bersifat nasional,

multisenter, yang dapat menggambarkan prevalensi hipertensi secara tepat. Banyak

penyelidikan dilakukan secara terpisah dengan metodologi yang belum baku (Susalit,

Kapojos, & Lubis, 2001).

Bodhi Darmojo dalam tulisannya yang dikumpulkan dari berbagai penelitian

melaporkan bahwa 1,8-28,6% penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah pasien

hipertensi. Pada umumnya prevalensi hipertensi berkisar antara 8,6-10%. Prevalensi

terendah yang dikemukakan dari data tersebut berasal dari desa Kalirejo, Jawa Tengah,

Page 8: BAB I dan BAB II

yaitu sebesar 5,3%. Data lain yang dikemukakan Gunawan S, menyelidiki masyarakat

terisolasi di Lembah Baliem, Irian Jaya, mendapatkan prevalensi hipertensi 0,65%

(Susalit, Kapojos, & Lubis, 2001).

Kalau ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata wanita lebih banyak

menderita hipertensi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi

6,0% pada pria dan wanita 11,6%. Laporan dari Sumatera Barat, menunjukkan 18,6%

pada pria dan 17,4% pada wanita. Di daerah perkotaan Semarang didapatkan 7,5% pada

pria dan 10,9% pada wanita, sedangkan di daerah perkotaan Jakarta (Petukangan) di

dapatkan 14,6% pada pria dan 13,7% pada wanita (Susalit, Kapojos, & Lubis, 2001).

2.1.3 Penyebab Hipertensi

Sembilan puluh persen sampai 95% hipertensi bersifat idiopatik

(hipertensi esensial), yaitu suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang

dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal tanpa

penyebab sekunder yang jelas (Mervin, 1995). Hipertensi esensial dipengaruhi

oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik atau

keturunan serta faktor lingkungan yang meliputi obesitas, stres, konsumsi garam

berlebih dan sebagainya (Depkes, 2007). Selain itu terdapat pula jenis hipertensi

lainnya yang disebut dengan hipertensi sekunder, yaitu hipertensi yang sudah

diketahui penyebabnya, meliputi kurang lebih 5% dari total enderita hipertensi.

Timbulnya penyakit hipertensi sekunder sebagai akibat dari suatu penyakit,

kondisi atau kebiasaan seseorang ( Astawan, 2010). Gangguan ginjal yang dapat

menimbulkan hipertensi yaitu, glomerulonefritis akut, penyakit ginjal kronis,

penyakit polikistik, stenosis arteria renalis, vaskulitis ginjal, dan tumor penghasil

renin. Gangguan pada sistem endokrin juga dapat menyebabkan hipertensi,

dintaranya seperti hiperfungsi adrenokorteks (sindrom Cushing, aldosteronisme

primer, hiperplasia adrenal kongenital, ingesti licorice), hormon eksogen

(glukokortikoid, estrogen, makanan yang mengandung tiramin dan

simpatomimetik, inhibitor monoamin oksidase), feokromositoma, akromegali,

hipotiroidisme, dan akibat kehamilan. Gangguan  pada sistem kardiovaskular

seperti koarktasio aorta, poliarteritis nodosa,  peningkatan volume intravaskular,

peningkatan curah jantung, dan rigiditas aorta  juga dapat menyebabkan

Page 9: BAB I dan BAB II

hipertensi, begitu pula dengan gangguan neurologik seperti psikogenik,

peningkatan intrakranium, apnea tidur, dan stres akut (Cohen, 2008).

2.1.4 Faktor Risiko Hipertensi

Hipertnsi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama

karena interaksi faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang mendorong

timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah faktor risiko seperti diet dan

asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, genetis, sistem saraf simpatis (tonus

simpatis dan variasi diurnal), keseimbangan modulator vasodilatasi dan

vasokontriksi, serta pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem

renin, angiotensin dan aldosteron. Pasien prehipertensi beresiko mengalami

peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi; mereka yang tekanan darahnya

berkisar antara 130-139/80-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki

dua kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular

daripada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari

50 tahun, tekanan darah sistolik >140 mmHg yang merupakan faktor risiko yang

lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada tekanan darah

diastolik. Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75

mmHg, meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg. Risiko penyakit

kardiovaskular ini bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko

lainnya, serta individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami

hipertensi (Yogiantoro, 2006).

Page 10: BAB I dan BAB II

Dapat Dimodifikasi Tidak dapat dimodifikasi

Hipertensi Umur (Pria > 55 tahun, wanita > 65 tahun)

Merokok Riwayat keluarga dengan penyakit

kardivaskuler premature (Pria < 55 tahun,

wanita < 65 tahun)/ Genetik

Obesitas (BMI≥ 30) Jenis kelamin

Physical Inactivity

Dislipidemia

Diabetes Melitus

Mikroalbuminemia atau GFR < 60 ml/min

Sumber: Yugiantoro,2006

2.1.5 Patofisiologi Hipertensi

Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh

interaksi berbagai faktor genetik, lingkungan dan demografik yang mempengaruhi

dua variabel hemodinamik: curah jantung dan resistansi perifer. Total curah

jantung dipengaruhi oleh volume darah, sementara volume darah sangat

bergantung pada homeostasis natrium. Resistansi perifer total terutama ditentukan

di tingkat arteriol dan bergantung pada efek pengaruh saraf dan hormon. Tonus

vaskular normal mencerminkan keseimbangan antara pengaruh vasokontriksi

humoral (termasuk angiotensin II dan katekolamin) dan vasodilator (termasuk

kinin, prostaglandin, dan oksida nitrat). Resistensi pembuluh juga memperlihatkan

autoregulasi; peningkatan aliran darah memicu vasokonstriksi agar tidak terjadi

hiperperfusi jaringan. Faktor lokal lain seperti pH dan hipoksia, serta interaksi

saraf (sistem adrenergik α - dan β-), mungkin penting. Ginjal berperan penting

dalam pengendalian tekanan darah, melalui sistem renin-angiotensin, ginjal

mempengaruhi resistensi perifer dan homeostasis natrium. Angiontensin II

meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan resitensi perifer (efek

langsung pada sel otot polos vaskular) dan volume darah (stimulasi sekresi

aldosteron, peningkatan reabsorbsi natrium dalam tubulus distal). Ginjal juga

mengasilkan berbagai zat vasodepresor atau antihipertensi yang mungkin

Page 11: BAB I dan BAB II

melawan efek vasopresor angiotensin. Bila volime darah berkurang, laju filtrasi

glomerulus (glomerular filtration rate) turun sehingga terjadi peningkatan

reabsorbsi natrium oleh tubulus proksimal sehingga natrium ditahan dan volume

darah meningkat (Kumar, et al, 2007). Sembilan puluh persen sampai 95%

hipertensi bersifat idiopatik (hipertensi esensial). Beberapa faktor diduga berperan

dalam defek primer pada

hipertensi esensial, dan mencakup, baik pengaruh genetik maupun lingkungan.

Penurunan ekskresi natrium pada tekanan arteri normal mungkin merupakan

peristiwa awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi natrium kemudian

dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung, dan

vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat. Pada keadaan tekanan

darah yang lebih banyak natrium untuk mengimbangi asupan dan mencegah

retensi cairan. Oleh karena itu, ekskresi natrium akan berubah, tetapi tetap steady

state (“penyetelan ulang natriuresis tekanan”). Namun, hal ini

menyebabkan peningkatan stabil tekanan darah. Hipotesis alternatif menyarankan

bahwa  pengaruh vasokonstriktif (faktor yang memicu perubahan struktural

langsung di dinding pembuluh sehingga resistensi perifer meningkat) merupakan

penyebab  primer hipertensi. Selain itu, pengaruh vasikonstriktif yang kronis atau

berulang dapat menyebabkan penebalan struktural pembuluh resistensi. Faktor

lingkungan mungkin memodifikasi ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stres,

kegemukan, merokok, aktifitas fisik berkurang, dan konsumsi garam dalam

jumlah besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi (Kumar, et al,

2007).

Page 12: BAB I dan BAB II

Gambar 2.1. Susunan Saraf Otonom

2.1.6 Gejala Klinis Hipertensi

Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun

secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan

dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak) (Rilantono, 2003).

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah

yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan,

eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema

pupil (edema pada diskus optikus) (Rilantono, 2005).

Crowin (2000) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah

mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa (Rilantono, 2005) :

a. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat

peningkatan tekanan darah intracranial.

b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.

c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.

d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.

Page 13: BAB I dan BAB II

e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.

Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, sakit

kepala, keluar darah dari hidung (mimisan) secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal, muka

merah dan lain-lain (Rilantono, 2005).

Hipertensi juga dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien

hipertensi adalah (Yogiantoro, 2006) :

1. Jantung

a. Hipertrofi ventrikel kiri

b. Angina atau infark miokardium

c. Gagal jantung

2. Otak

a. Stroke atau transient ischemic attack

3. Penyakit ginjal kronis

4. Penyakit arteri perifer

5. Retinopati

2.1.7 Komplikasi Hipertensi

Hipertensi menimbulkan stres pada jantung dan pembuluh darah. Jantung

mengalami peningkatan beban kerja karena harus memompa melawan resistensi

perifer yang meningkat, sementara dinding pembuluh darah akan melemah akibat

proses degeneratif arteriosklerosis. Penyulit hipertensi antara lain adalah gagal

jantung kongestif akibat ketidakmampuan jantung memompa darah melawan

peningkatan tekanan arteri, stroke akibat rupturnya pembuluh di otak, atau

serangan jantung akibat ruptur pembuluh koroner. Perdarahan spontan akibat

pecahnya pembuluh-pembuluh kecil di bagian tubuh lain juga dapat terjadi, tetapi

dengan akibat yang relatif lebih ringan, misalnya ruptur pembuluh darah di hidung

mengakibatkan mimisan. Penyulit serius lainnya pada hipertensi adalah gagal

ginjal akibat gangguan progresif aliran darah melalui pembuluh-pembuluh ginjal

yang rusak. Selain itu, kerusakan retina yang disebabkan oleh perubahan

pembuluh yang memperdarahi mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan

progresif. Sampai terjadi penyulit, hipertensi tidak menimbulkan gejala karena

jaringan mendapat pasokan darah yang adekuat. Dengan demikian, kecuali apabila

dilakukan pengukuran tekanan darah secara berkala, hipertensi dapat berlangsung

Page 14: BAB I dan BAB II

tanpa terdeteksi sampai timbul penyulit. Jika seseorang menyadari penyulit yang

mungkin terjadi pada hipertensi dan mempertimbangkan bahwa 25 % orang

dewasa di Amerika Serikat diperkirakan mengidap hipertensi kronik, ia dapat

membayangkan besarnya masalah kesehatan masyarakat yang ditimbulkan

penyakit ini (Sherwood, 2001).

2.1.8 Diagnosis Hipertensi

Penegakkan diagnosa hipertensi sebagaimana lazimnya penegakkan diagnosa

penyakit lain, dimulai dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Selain itu, dilakukan

pemeriksaan penunjang (Syatria, 2008).

1. Anamnesa

Ananmensa yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya,

riwayat dan gejala penyakit-penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner,

gagal jantung. Diabetes Mellitus, penyakit serebrovaskular, dan lainnya. Adanya riwayat

penyakit dalam keluarga, gejala-gejala yang berkaitan dengan penyebab hipertensi,

perubahan aktivitas dan kebiasaan (seperti merokok, minum alkohol), konsumsi makanan

(terutama asupan garam), riwayat obat-obatan bebas, hasil dan efek samping terapi

antihipertensi sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan (keluarga,

pekerjaan, dan sebagainya), pada wanita dapat dipertanyakan riwayat kehamilan dan

persalinan (preeklampsi dan eklampsi), serta alat kontrasepsi (Yogiantoro, 2006).

2. Pemeriksaan Fisik

Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran, perlu

dilakukan pengukuran 2 kali atau lebih, kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala-

gejala klinis. Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang

dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan

menggunakan cuff yang meliputi minimal 80% lengan atas pasien dengan posisi duduk

dan telah beristirahat 5 menit (Poth, 2005). Selain pasien diistirahatkan selama 5 menit,

pasien yang akan diperiksa harus bebas dari rokok dan kafein (Nolah, 2005).

Pengukuran tekanan darah (Lioyd, Jones, & Levy, 2007) :

1. pengukuran rutin dikamar periksa

2. pengukuran 24 jam (Ambulatory Pressure Monitoring-ABPM)

3. pengukuran sendiri oleh pasien

Pengukuan dikamar periksa dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien

istirahat selama 5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Ukuran

dan peletakkan manset (panjang 12-13 cm, lebar 35 cm untuk standar orang dewasa) dan

Page 15: BAB I dan BAB II

stetoskop harus benar (gunakan suara Korotkoff fase I dan V untuk penentuan sistolik

dan diastolik) (Yogiantoro, 2006). Pengukuran dilakukan dua kali, dengan sela antara 1

sampai 5 menit, pengukuran tambahan dilakukan jika hasil kedua pengukurannya

sebelumnya sangat berbeda. Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk

menghindarkan kelainan pembuluh darah perifer. Pengukuran denyut jantung dengan

menghitung nadi (30 detik) dilakukan saat duduk segera sesudah pengukuran tekanan

darah (Yogiantoro, 2006). Untuk orang usia lanjut, diabetes, dan kondisi lain dimana

diperkirakan ada hipotensi ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah

pada posisi berdiri (Poth, 2005).

Beberapa indikasi penggunaan ABPM antara lain (Yogiantoro, 2006) :

a. Hipertensi yang borderline atau yang bersifat episodik

b. Hipertensi office atau white coat

c. Adanya disfungsi saraf otonom

d. Hipertensi sekunder

e. Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi

f. Tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan antihipertensi

g. Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan antihipertensi

Pengukuran sendiri di rumah memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kekurangannya adalah masalah ketepatan pengukuran, sedang kelebihannya antara lain

dapat menyingkirkan efek white coat dan memberikan banyak hasil pengukuran.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa pengukuran di rumah lebih mewakili kondisi

tekanan darah sehari-hari. Pengukuran tekanan darah di rumah juga diharapkan dapat

meningkatkan kepatuhan pasien dan meningkatkan keberhasilan pengendalian tekanan

darah serta menurunkan biaya (Yogiantoro, 2006).

Beberapa faktor akan mempengaruhi hasil pengukuran, seperti faktor pasien,

faktor alat, dan tempat pengukuran harus mendapat perhatian.

Pemeriksaan penunjang (Yogiantoro, 2006) :

a. Test darah rutin

b. Glukosa darah (sebaiknya puasa)

c. Kolesterol total serum

d. Kolesterol LDL dan HDL serum

e. Trigliserida serum (puasa)

f. Asam urat serum

g. Kreatinin serum

h. Kalium serum

Page 16: BAB I dan BAB II

i. Aldosteron

j. Katekolamin urin

k. Hemoglobin dan hematokrit

l. Urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin)

m. Foto thoraks

n. Elektrokardiogram

o. USG pembuluh darah besar

p. USG ginjal

q. Ekokardiografi

2.1.9 Pengobatan Hipertensi

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah (Yogiantoro, 2006) :

a. target tekanan darah <140/900 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes,

gagal ginajal, proteinuria) <130/80 mmHg.

b. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular

c. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria

Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor risiko atau kondisi

penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan

hingga mencapai target terapi masing-masing kondisi (Yogiantoro, 2006).

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan terapi

farmakologis.

1. Terapi non farmakologis (Davey, 2005)

a. Menghentikan Merokok

b. Menurunkan berat badan berlebih

c. Mengurangi konsumsi alkohol berlebih

d. Latihan fisik secara teratur

e. Mengurangi asupan garam

f. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta mengurangi asupan lemak

2. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan apabila terapi non farmakologis gagal dala,

mengontrol tekanan darah serta adanya tanda-tanda kerusakan organ target (Nolah,

2005).

Jenis-jenis obat antihipertensi dan tatalaksanan untuk terapi farmakologis yang

dianjurkan oleh JNC VII (Davey, 2005):

a. Diuretika, terutaa jenis Thiazide (Thiaz) dan Aldosterone Antagonist (Aldo Ant)

Page 17: BAB I dan BAB II

Diuretika tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan

tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal

tubulus distal ginjal, meningkatkan eksresi sodium dan volume urin. Tiazid juga

mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat

mempertahankan efek antihipertensi ebih lama. Efek tiazid pada tubulus ginjal

tergantung pada tingkat eksresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat

untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping: hipokalemia,

hiponatremia, hipomagnesia, hiperurisemia, intoleransi glukosa (resisten terhadap

insulin) yang mengakibatkan peningkatan risiko diabetes mellitus tipe 2,

hiperlipidemia, 25% dari pria mengalami impotensi selama pemakaian.

b. Beta Blocker (BB)

Seperti atenolol dan metoprolol, menurunkan danyut jantung dan TD dengan

bekerja secara antagonis terhadap sinyal adrenergic. Efek samping : letargi,

impotensi, perifer dingin, eksaserbasi diabetes, dan hiperlipidemia.

Kontraindikasi pada penderita asma, hati-hati bila digunakan pada oenyakit

vascular perifer.

c. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)

Vasodilator yang menurunkan TD. Nifedipin (kemungkinan amlopidin)

menyebabkan takikardia refleks kecuali bila diberikan juga -Blocker. Diltiazem

dan verampil menyebabkan bradikardia, bermanfaat bila ada kontraindikasi -

Blocker. Efek samping : muka merah, edema pergelangan kaki, perburukan gagal

jantung (kecuali amlopidin).

d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Seperti kaptropil, enalapril, lisinopril, dan ramipril, memberikan efek

antihipertensi dengan menghambat pembentukan angiotensin II. Bisa

menyebabkan hipotensi berat atau gagal ginjal akut pada penderita hipertensi

renovaskular, misalnya pada stenosis arteri renalis bilateral. Efek samping

diantaranya batuk kering (sering dijumpai) dan angioderma.

e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor Antagonist/Blocker

Seperti losartan dan valsartan, bekerja antagonis terhadap aksis angiotensin II-

renin. Efikasinya sebanding dengan ACEI, walaupun data penelitian yang

mendukung penggunaannya kurang komprehensif. Indikasinya pada gagal

jantung atau gangguan fungsi ventrikel kiri jika batuk akibat ACEI terasa

mengganggu. Efek dalam fungsi ginjal pada hipertensi renovaskular sama.

Page 18: BAB I dan BAB II

Masing-masing obat memiliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan

hipertensi tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu

(Yogiantoro, 2006) :

1. faktor sosial ekonomi

2. profil faktor risiko kardiovaskular

3. ada tidaknya kerusakan organ target

4. ada tidaknya penyakit penyerta

5. variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihiipertensi

6. kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk

penyakit lain

7. bukti ilmiah kemamouan ibat antihipertensi yang akan digunakan dalam

menurunkan risiko kardiovaskular.

Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokkan pasien berdasar yang

memerlukan pertimbangan khusus (Special Considerations), yaitu kelompok indikasi

yang memaksa (Compelling Indication) dan keadaan khusus lainnya (Special Situations)

(Yogiantoro, 2006).

Indikasi yang memaksa meliputi (Yogiantoro, 2006) :

1. gagal jantung

2. pasca miokard infark

3. risiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi

4. diabetes

5. penyakit ginjal kronis

6. pencegahan stroke berulang

Keadaan khusus lainnya beserta terapinya meliputi (Yogiantoro, 2006) :

1. obesitas dan sindroma metabolic (terdapat 3 atau lebih keadaan berikut: lingkar

pinggang laki-laki >102 cm atau perempuan >89 cm, toleransi glikosa terganggu

dengan gula darah puasa 150 mg/dl, kolesterol HDL rendah <40 mg/dl pada

laki-laki atau <50 mg/dl pada perempuan) modifikasi gaya hidup yang intensif

dengan pilihan terapi utama golongan ACEI. Pilihan lain adalah antagonis

reseptor AII, penghambat kalsium dan penghambat .

2. Hipertrofi ventrikel kiri tatalaksana tekanan darah yang agresif termasuk

penurunan berat badan, restriksi asupan natrium, dan terapi dengan semua kelas

antihipertensi kecuali vasodilator langsung, hidralazin dan minoksidil.

3. Penyakit arteri perifer semua kelas antihipertensi, tatalaksanan faktor risiko

lain, dan pemberian aspirin.

Page 19: BAB I dan BAB II

4. Lanjut usia, termasuk penderita hipertensi sistolik terisolasi diuretika

(Thiazide) sebagai lini pertama, dimulai dengan dosis rendah 12,5 mg/hari.

Pengguanaan obat antihipertensi laindengan memepertimbangkan penyakit

penyerta.

5. Kehamilan pilihan terapi adalah golongan metildopa, -Blocker antagonis

kalsium, dan vasodilator. ACEI dan antagonis reseptor AII tidak boleh digunakan

selama kehamilan.

Page 20: BAB I dan BAB II

2.1.10Algoritme Penanganan Hipertensi

Algoritme penanganan hipertensi menurut JNC 7 (2003), dijelaskan pada

skema dibawah ini:

Page 21: BAB I dan BAB II

Gambar 2.1. (Sumber : National Institutes of Health, 2003)

Page 22: BAB I dan BAB II

2.2 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui

indera yang dimilikinya atau hasil dari penginderaan manusia. Proses

penginderaan akan menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan tersebut sangat

dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Dimana

Pengetahuan sesorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang

berbeda-beda. Dalam Notoatmodjo (2010) secara garis besar dibagi menjadi 6

tingkat pengetahuan, yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai memanggil atau recall memory yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati atau melihat sesuatu. Untuk mengetahui atau

mengukur bahwa seseorang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-

pertanyaan.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu obajek bukan sekedar tahu tentang objek tersebut dan bisa

menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar

tentang objek yang diketahui tersebut.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan jika seseorang yang telah memahami objek yang dimaksud

dapat mengaplikasikan atau menggunakan prinsip tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis merupakan kemampuan sesorang menjabarkan dan memisahkan,

selanjutnya mencari hubungan antara komponen- komponen yang terdapat dalam

suatu objek atau masalah yang telah diketahui. Yang mengindikasi bahwa

pengetahuan seseorang telah sampai pada tingkat analisis yaitu apabila orang

tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat

diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis merupakan kemampuan untuk menyususun formulasi baru dari

formulasi-formulasi yang telah ada. Sintesis menunjukkkan suatu kemampuan

seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis

dalam komponen- komponen pengetahuan yang dimiliki.

f. Evaluasi (evaluation)

Page 23: BAB I dan BAB II

Evaluasi merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian

(justifikasi) terhadap suatu objek tertentu yang didasarkan pada suatu kriteria

yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo dalam Wulandari (2011) , pengetahuan seseorang

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Pengalaman

Pengalaman dapat memperluas pengetahuan seseorang. Pengalaman

tersebut dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman

orang lain.

b. Tingkat pendidikan

Secara umum, orang yang berpendidikan lebih tinggi akan

memiliki pengetahuan yang lebih luas daripada orang yang

berpendidikan lebih rendah.

c. Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun, baik

keyakinan yang positif maupun keyakinan yang negatif, tanpa

adanya pembuktian terlebih dahulu.

d. Fasilitas

Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi

pengetahuan seseorang adalah majalah, radio, koran, televisi, buku, dan

lain-lain.

e. Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh secara langsung terhadap

pengetahuan seseorang. Namun, jika seseorang berpenghasilan

cukup besar, maka dia mampu menyediakan fasilitas yang lebih

baik.

f. Sosial budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat

mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap

sesuatu.

Page 24: BAB I dan BAB II

Apabila materi atau objek yang ditangkap pancaindera adalah tentang gigi,

penyakit mulut, serta kesehatan gigi dan mulut, maka pengetahuan yang diperoleh

adalah mengenai gigi, penyakit mulut, serta kesehatan gigi dan mulut

(Budiharto,2010). Pengukuran pengetahuan dilakukan menggunakan kuesioner

dengan menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian.

Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan

dengan tingkatan pengetahuan (Notoatmodjo,2007)