bab i, ii

56
BAB I PENDAHULUAN Angka kematian maternal di Indonesia adalah 4,5 permil, tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Salah satu penyebab kematian tersebut adalah preeklampsia - eklampsia, yang bersama infeksi dan perdarahan, diperkirakan mencakup 75 - 80% dari keseluruhan kematian maternal. Berdasarkan hasil survai yang dilakukan oleh Angsar, insiden preeklampsia- eklampsia berkisar 10-13% dari keseluruhan ibu hamil. 1,4 Eklampsi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Eklampsi diklasifikasikan kedalam penyakit hypertensi yang disebabkan karena kehamilan. Sedangkan eklampsia ditandai oleh adanya koma dan/atau kejang di samping ketiga tanda khas Pre- Eklampsi Berat/PEB (hipertensi sedang-berat, edema, dan proteinuria yang masif). 1 Penyebab dari kelainan ini masih kurang dimengerti, namun suatu keadaan patologis yang dapat diterima adalah adanya iskemia uteroplacental. 1 Diagnosis dini dan penanganan adekuat dapat mencegah perkembangan buruk kearah eklampsia. Semua kasus eklampsia dan PEB harus dirujuk ke rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas penanganan intensif maternal dan neonatal, untuk mendapatkan terapi definitif dan pengawasan terhadap timbulnya komplikasi- komplikasi.

description

obgyn

Transcript of bab i, ii

Page 1: bab i, ii

BAB I

PENDAHULUAN

Angka kematian maternal di Indonesia adalah 4,5 permil, tertinggi di antara

negara-negara ASEAN. Salah satu penyebab kematian tersebut adalah preeklampsia -

eklampsia, yang bersama infeksi dan perdarahan, diperkirakan mencakup 75 - 80% dari

keseluruhan kematian maternal. Berdasarkan hasil survai yang dilakukan oleh Angsar,

insiden preeklampsia-eklampsia berkisar 10-13% dari keseluruhan ibu hamil. 1,4

Eklampsi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan

perinatal di Indonesia. Eklampsi diklasifikasikan kedalam penyakit hypertensi yang

disebabkan karena kehamilan. Sedangkan eklampsia ditandai oleh adanya koma dan/atau

kejang di samping ketiga tanda khas Pre-Eklampsi Berat/PEB (hipertensi sedang-berat,

edema, dan proteinuria yang masif).1

Penyebab dari kelainan ini masih kurang dimengerti, namun suatu keadaan

patologis yang dapat diterima adalah adanya iskemia uteroplacental.1 Diagnosis dini

dan penanganan adekuat dapat mencegah perkembangan buruk kearah eklampsia. Semua

kasus eklampsia dan PEB harus dirujuk ke rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas

penanganan intensif maternal dan neonatal, untuk mendapatkan terapi definitif dan

pengawasan terhadap timbulnya komplikasi- komplikasi.

Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita pre-eklampsia yang disusul

dengan koma. Kejang di sini bukan akibat kelainan neurologis (saraf). PreEklampsi-

Eklampsi hampir secara eksklusif merupakan penyakit pada kehamilan pertama

(nullipara). Biasanya terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrim, yaitu pada

remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur lebih dari 35 tahun.

Kondisi gawat terjadi bila timbul kejang atau bahkan pingsan yang berarti sudah

terjadi gangguan di otak. Pada tahap ini bisa dikatakan penyakit berada pada tahap

eklampsia. Pada kasus yang sudah lanjut, sang ibu pada awalnya mengalami kejang

selama 30 detik, lalu meningkat selama 2 menit, sebelum akhirnya pingsan selama 10-30

menit. Kewaspadaan perlu ditingkatkan, karena bila penderita koma berkepanjangan bisa

timbul komplikasi berat. Seperti gagal jantung, gagal ginjal, terganggunya fungsi paru-

paru, dan tersendatnya metabolisme tubuh.

Page 2: bab i, ii

Kelainan pre-eklampsia dan eklampsia berbeda dengan kehamilan dengan

hipertensi. Bedanya, pada pre-eklampsia dan eklampsia tekanan darah yang tadinya

normal tiba-tiba naik ketika kehamilan masuk minggu ke-20. Sementara penderita

hipertensi yang hamil, tekanan darahnya tinggi sejak awal, bisa saja penderita hipertensi

juga menderita pre-eklampsia. Biasanya pada kehamilan minggu ke-20, tekanan darahnya

sudah mencapai 160/100. Tidak menutup kemungkinan penderita tekanan darah rendah

juga bisa terkena pre-eklampsia.

Oleh karena itu, pada kehamilan pertama setiap ibu harus waspada. Soalnya rahim

yang untuk pertama kalinya menerima hasil pembuahan, seringkali menimbulkan

serangkaian reaksi dan perubahan yang kurang wajar. Kehamilan mesti dipersiapkan

sebaik-baiknya secara fisik dan mental. Suami juga perlu dilibatkan sehingga secara

kejiwaan ibu dan bayi merasa “aman”. Karena kematian pada ibu melahirkan sebagian

besar disebabkan oleh pendarahan atau eklampsia yang terlambat ditangani, maka

pemeriksaan kehamilan secara teratur mutlak dilakukan. Apalagi kehamilan dengan

gangguan eklampsia tidak memandang usia ataupun tingkat sosial ekonomi tertentu.

Klasifikasi menurut American Committee and Maternal Welfare :1

I. Hypertensi yang hanya terjadi dalam kehamilan dank khas untuk kehamilan ialah

preeklampsia dan eklampsia. Diagnosa dibuat atas dasar hypertensi dengan proteinuri

atau oedem atau kedua-duanya pada wanita hamil setelah minggu 20

II. Hypertensi yang chronis (apapun sebabnya). Diagnosis dibuat atas adanya hypertensi

sebelum kehamilan atau penemuan hypertensi sebelum minggu ke 20 dari kehamilan

dan hipertensi ini tetap setelah kehamilan berakhir.

III. Preeklampsia dan eklampsia yang terjadi atas dasar hypertensi yang chronis. Pasien

dengan hypertensi yang chronis sering memberat penyakitnya dalam kehamilan,

dengan gejala-gejala hypertensi naik, proteinuri, oedem, dan kelainan retina.

IV. Transient hypertnsion. Diagnosis dibuat jika timbul hypertensi dalam kehamilan atau

dalam 24 jam pertama dari nifas pada wanita yang tadinya normotensi dan yang hilang

dalam 10 hari postpartum.

Page 3: bab i, ii

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EKLAMPSIA

2.1.1 Definisi

Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut

dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa

didahului oleh tanda-tanda lain. Sekarang kita ketahui bahwa eklampsia pada umumnya

timbul pada wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda pre-eklampsia. Pada

wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejang yang diikuti oleh koma.

Eklampsia lebih sering pada primigravida daripada multipara. Tergantung dari saat

timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia gravidarum (eklampsia antepartum),

eklampsia parturientum (eklampsia intrapartum), dan eklampsia puerperale (eklampsia

postpartum). Kebanyakan terjadi antepartum. Perlu dikemukakan bahwa pada eklampsia

gravidarum sering kali persalinan mulai tidak lama kemudian.2

Dengan pengetahuan bahwa biasanya eklampsia didahului oleh pre-eklampsia,

tampak pentingnya pengawasan antenatal yang teliti dan teratur, sebagai usaha untuk

mencegah timbulnya penyakit itu.2

Eklampsia lebih sering terjadi pada :1

1) Kehamilan kembar

2) Hydramnion

3) Mola hydatidosa

2.1.2 Terminologi1,4

Dahulu, disebut pre eklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan

darah ≥ 140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi

dimasukkan dalam kriteria diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan

normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol ≥

90 mmHg digunakan sebagai pedoman.

Eklampsia adalah pre eklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik

yang bersifat umum. Koma yang fatal tanpa disertai kejang pada penderita pre eklampsia

juga disebut eklampsia. Namun kita harus membatasi definisi diagnosis tersebut pada

Page 4: bab i, ii

wanita yang mengalami kejang dan kematian pada kasus tanpa kejang yang berhubungan

dengan pre eklampsia berat. Mattar dan Sibai (2000) melaporkan komplikasi –

komplikasi yang terjadi pada kasus persalinan dengan eklampsia antara tahun 1978 –

1998 di sebuah rumah sakit di Memphis, adalah solutio plasentae (10 %), defisit

neurologis (7 %), pneumonia aspirasi (7 %), edema pulmo (5 %), cardiac arrest (4 %),

acute renal failure (4 %) dan kematian maternal (1 %)

2.1.3 Frekuensi

Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dan yang lain. Frekuensi rendah

pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan antenatal yang baik,

penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup dan penanganan pre-eklampsia yang

sempurna.2  

Di negara-negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3% -

0,7%, sedang di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaiatu 0,05% - 0,1%.2

2.1.4 Etiologi

Sebab eklampsia belum diketahui benar. Salah satu teori yang dikemukakan ialah

bahwa eklampsia disebabkan ischemia rahim dan plasenta (ischaemia uteroplacentae).

Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak.1

Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum

sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini

sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat

diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik,

penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan

dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal

trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat

berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta.

Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel,

agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.

2.1.5 Patofisiologi

Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis Preeklampsi-eklampsi.

Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan

hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel

Page 5: bab i, ii

setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan

mikro pada tempat endotel. Selain itu Hubel (1989) mengatakan bahwa adanya

vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya penurunan perfusi

uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi plasenta.

Hipoksia/anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan

proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga

dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel Peroksidase lemak adalah

hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh.

Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara perok-sidase

terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih domi-nan, maka akan timbul keadaan

yang disebut stess oksidatif.3

Pada Preeklampsi-eklampsi serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta

menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal,

serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai

antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui

ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang

dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel

tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan meng-akibatkan antara lain :3

adesi dan agregasi trombosit,

gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma

terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dai rusaknya

trombosit

produksi prostasiklin terhenti

terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan

terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lema

2.1.6 Gejala dan Tanda

Page 6: bab i, ii

Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya pre-eklampsia dan

terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras,

nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera

diobati, akan timbul kejangan; terutama pada persalinan bahaya ini besar. Konvulsi

eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yaitu :2

1.      Tingkat awal atau aura (Tingkat Invasi). Keadaan ini berlangsung kira-kira 30

detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula

tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.2

2.      Kemudian timbul tingkat kejangan tonik (Tingkat Kontraksi) yang berlangsung

kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya

kelihatan kaku, tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan

berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.2

3.      Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik (Tingkat Konvulsi) yang

berlangsung antara 1 – 2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi

dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah

dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut ke luar ludah yang berbusa, muka

menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tak sadar. Kejang klonik ini

dapat demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya.

Akhirnya, kejangan terhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.2

4.      Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama

secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, Kalau pasien sadar kembali maka

ia tidak ingat sama sekali apa yang telah terjadi, lamanya coma dari beberapa menit

sampai berjam-jam, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan

baru dan yang berulang, sehingga ia tetap dalam koma.2

Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai

40 derajat Celcius. Sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti

(1) lidah tergigit; perlukaan dan fraktura; (2) gangguan pernapasan; (3) solusio plasenta;

dan (4) perdarahan otak.2   

  Sebab kematian eklampsia ialah : oedeme paru-paru, apoplexia dan accidosis.

Atau pasien mati setelah beberapa hari karena pneumonia aspirasi, kerusakan hati dan

gangguan faal ginjal.

Page 7: bab i, ii

Kadang-kadang terjadi eklampsia tanpa kejang, gejala yang menonjol adalah

koma. Eklampsia semacam ini disebut ”eclampsia sine eclampsi”, dan terjadi pada

kerusakan hati yang berat. Pernafasan biasanya cepat dan berbunyi, pada eklampsia yang

berat ada cyanosis.

Setelah persalinan keadaan pasien berangsur baik, kira-kira dalam 12-24 jam.

Juga kalau anak mati di dalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya penyakit akan

berkurang. Proteinuri hilang dalam 4-5 hari sedangkan tensi normal kembali kira-kira 2

minggu.

2.1.7 Diagnosa

Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda

dan gejala pre-eklampsia yang disusul oleh serangan kejangan seperti telah diuraikan,

maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian, eklampsia harus

dibedakan dari (1) epilepsi; dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil

atau pada hamil-muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada; (2) kejang karena obat

anestesia; apabila obat anestesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejang;

(3) koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis,

uremia, keracunan.2

 2.1.8 Komplikasi

Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah

melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi

yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan eklampsia.2

1.      Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita

hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di Rumah Sakit Dr. Cipto

Mangunkusumo 15,5% sulusio plasenta disertai pre-eklampsia.2

2.      Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%

bipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar

fibrinogen secara berkala.2

3.      Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan

gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti

apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis

Page 8: bab i, ii

periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat

menerangkanikterus tersebut.2

4.      Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal

penderita eklampsia.2

5.      Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai

seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini

merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.2

6.      Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus

eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.2

7.      Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan

akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi

ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui

dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.2

8.      Sindroma HELLP. Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet

count.2

9.      Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan

sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain

yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.2

10.  Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan frakura karena jatuh akibat kejang-kejang

pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).2

11.  Prematuritas, dismaturitas dan kematian jani intra-uterin.2

2.1.9 Prognosis

Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta

korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui kematian ibu

berkisar antara 9,8% - 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% -

48,9%. Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju lebih kecil. Tingginya

kematian ibu dan anak di negara-negara yang kurang maju disebabkan oleh kurang

sempurnanya pengawasan antenatal dan nata; penderita-penderita eklampsia sering

terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh

perdarahan otak, dekompensasio kordis dengan edema paru-paru, payah-ginjal, dan

masuknya isi lambung ke dalam jalan pernapasan waktu kejangan.2

Page 9: bab i, ii

Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterin dan prematuritas.

Berlawanan dengan yang sering diduga, pre-eklampsia dan eklampsia tidak menyebabkan

hipertensi menahun. Oleh penulis-penulis tersebut ditemukan bahwa pada penderita yang

mengalami eklampsia pada kehamilan pertama, frekuensi hipertensi 15 tahun kemudian

atau lebih tinggi daripada mereka yang hamil tanpa eklampsia.2

Prognosa kurang baik untuk Ibu dan anak. Prognosa bagi multipaara lebih buruk,

dipengaruhi juga oleh umur terutama kalau umur melebihi 35 tahun dan juga oleh

keadaan waktu masuk Rumah Sakit.

Jika diuresis lebih dari 800 cc dalam 24 jam atau 200 cc tiap 6 jam maka prognosa

agak baik. Oliguri dan anuri merupakan gejala yang buruk.

Gejala-gejala lain memberatkan prognosa dikemukakan oleh Eden :

1) Coma yang lama

2) Nadi > 120 x/menit

3) Suhu > 39°C

4) TD > 200 mmHg

5) > 10 serangan

6) Proteinuti 10 gr sehari atau lebih

7) Tidak adanya oedem

2.1.10 Pencegahan

Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.

Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas :2

1.      Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua

wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;

2.      Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya

segara apabila ditemukan;

3.      Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila

setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.2

2.1.11 Penanggulangan

Terapi profilaksis ialah dengan pencegahan, diagnosis dini dan terapi yang cepat

dan intensif dari pre-eklampsia.2

Page 10: bab i, ii

Tujuan utama pengobatan eklampsia ialah menghentikan berulangnya serangan

kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu

mengizinkan.2

Pengawasan dan perawatan yang intensif sangat penting bagi penanganan

penderita eklampsia, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit. Pada pengangkutan ke

rumah sakit diperlukan obat penenang yang cukup untuk menghindarkan timbulnya

kejang; penderita dalam hal ini dapat diberi diazepam 20 mg 1M. Selain itu, penderita

harus disertai seorang tenaga yang trampil dalam resusitasi dan yang dapat mencegah

terjadinya trauma apabila terjadi serangan kejang.2

Tujuan pertama pengobatan eklampsia ialah menghentikan kejang mengurangi

vasospasmus, dan meningkatkan diuresis. Dalam pada itu, pertolongan yang perlu

diberikan jika timbul kejang ialah mempertahankan jalan pernapasan bebas (Bersihkan

mulut yang mungkin berisi bahan-bahan hasil regurgitasi dari lambung, intubasi

endotrakeal), menghindarkan tergigitnya lidah (tong spatel dililit dengan kain, penyumbat

mulut, dompet), pemberian oksigen, dan menjaga agara penderita tidak mengalami

trauma (Kepala pasien diganjal dengan sesuatu: handuk, sweater), Baringkan pasien pada

sisi kiri (posisi tredelenburg) untuk mengurangi risiko aspirasi. Untuk menjaga jangan

sampai terjadi kejang lagi yang selanjutnya mempengaruhi gejala-gejala lain, dapat

diberikan beberapa obat, misalnya :2

1.      Sodium pentothal sangat berguna untuk menghentikan kejang dengan segera bila

diberikan secara intravena. Akan tetapi, obat ini mengandung bahaya yang tidak

kecil. Mengingat hal ini, obat itu hanya dapat diberikan di rumah sakit dengan

pengawasan yang sempurna dan tersedianya kemungkinan untuk intubasi dan

resusitasi. Dosis inisial dapat diberikan sebanyak 0,2 - 0,3 g dan disuntikkan

perlahan-lahan.2

2.      Sulfas magnesicus yang mengurangi kepekaan saraf pusat pada hubungan

neuromuskuler tanpa mempengaruhi bagian lain dari susunan saraf. Obat ini

menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan darah, meningkatkan diuresis, dan

menambah aliran darah ke uterus. Dosis inisial yang diberikan ialah 8 g dalam larutan

40% secara intramuskulus; selanjutnya tiap 6 jam 4g, dengan syarat bahwa refleks

patella masih positif, pernapasan 16 atau lebih per menit, diuresis harus melebihi 600

Page 11: bab i, ii

ml per hari; selain intrarnuskulus, sulfas magnesikus dapat diberikan secara intravena;

dosis inisial yang diberikan adalah 4 g 40% Mg S04 dalam larutan 10 ml intravena

secara pelahan-lahan, diikuti 8 g IM dan selalu disediakan kalsium glukonas 1 g

dalam 10 rnl sebagai antidotum. Bahaya sulfas magnesicus ialah dapat melumpuhkan

diafragma hingga pasien berhenti bernafas, malahan kontraksi jantung berhenti. Maka

untuk menjauhi bahaya tersebut di atas sebelum menyuntikkan sulfas magnesicus

harus diperiksa : refleks lutut dan pernafasan tidak boleh < 16 x/menit. Sebagai

antidotum selalu harus tersedia gluconas calcicus 1 gr dalam 10 cc dan bantu dengan

ventilator.2

3.      Lyric cocktail yang terdiri atas petidin 100 mg, kiorpromazin 100 mg, dan

prometazin 50 mg dilarutkan dalam glukosa 5% 500 ml dan diberikan secara infus

intravena. jumlah tetesan disesuaikan dengan keadaan dan tensi penderita. Maka dari

itu, tensi dan nadi diukur tiap 5 menit dalam waktu setengah jam pertama dan bila

keadaan sudah stabil, pengukuran dapat dijarangkan menurut keadaan penderita.2

 

Di sini ditekankan bahwa pemberian obat-obat tersebut disertai dengan

pengawasan yang teliti dan terus-menerus. Jumlah dan waktu pemberian obat disesuaikan

dengan keadaan penderita pada tiap-tiap jam demi keselamatannya dan sedapat-dapatnya

juga demi keselamatan janin dalam kandungan.2

Sebelum diberikan obat penenang yang cukup, maka penderita eklampsia harus

dihindarkan dari semua rangsang yang dapat menimbulkan kejang, seperti keributan,

injeksi, atau pemeriksaan dalam.2

Penderita dirawat dalam kamar isolasi yang tenang, tekanan darah, nadi,

pernapasan dicatat tiap 30 menit pada suatu kertas grafik; suhu dicatat tiap jam secara

rektal. Bila penderita belum melahirkan, dilakukan pemeriksaan obstetrik untuk

mengetahui saat permulaan atau kemajuan persalinan. Untuk melancarkan pengeluaran

sekret dari jalan pernapasan pada penderita dalam koma penderita dibaringkan dalam

letak Trendelenburg dan selanjutnya dibalikkan ke sisi kiri dan kanan tiap jam untuk

menghindarkan dekubitus. Alat penyedot disediakan untuk membersihkan jalan

pernapasan, dan oksigen diberikan pada sianosis. Dower catheter dipasang untuk

mengetahui diuresis dan untuk menentukan protein dalam air kencing secara kuantitatif.

Page 12: bab i, ii

Balans cairan harus diperhatikan dengan cermat. Pemberian cairan disesuaikan dengan

jumlah diuresis dan air yans hilang melalui kulit dan paru-paru; pada umumnya dalam 24

jam diberikan 2000 nil. Balans cairan dinilai dan disesuaikan tiap 6 jam.2

Kalori yang adekuat diberikan untuk menghindarkan katabolisme jaringan dan

asidosis. Pada penderita koma atau kurang sadar pemberian kalori dilakukan dengan infus

dekstran, glukosa 10%, atau larutan asam amino, seperti Aminofusin. Cairan Yang

terakhir ini, selain mengandung kalori cukup, juga berisi asam amino yang diperlukan.2

B.I. Perawatan Aktif

Pengobatan Medisinal

1) Segera rawat di ruangan yang terang dan tenang (ICU), terpasang infus Dx/RL dari

IGD.

2) Total bed rest dalam posisi lateral decubitus.

3) Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.

4) Antasida.

5) Anti kejang:

a) Sulfas Magnesikus (MgSO4)

Syarat: Tersedia antidotum Ca. Glukonas 10% (1 amp/iv dalam 3 menit). Reflek

patella (+) kuat, Rr > 16 x/menit, tanda distress nafas (-), Produksi urine > 100 cc

dalam 4 jam sebelumnya.

Cara Pemberian:

Loading dose secara intravenas: 4 gr/MgSO4 20% dalam 4 menit, intramuskuler:

4 gr/MgSO4 40% gluteus kanan, 4 gr/ MgSO4 40% gluteus kiri. Jika ada tanda

impending eklampsi LD diberikan iv+im, jika tidak ada LD cukup im saja.

Maintenance dose diberikan 6 jam setelah loading dose, secara IM 4 gr/MgSO4

40%/6 jam, bergiliran pada gluteus kanan/kiri.

Penghentian SM :

Pengobatan dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi, setelah 6 jam pasca

persalinan, atau dalam 6 jam tercapai normotensi.

Page 13: bab i, ii

b) Diazepam: digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4

tidak dipenuhi. Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam.

Jika dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada pemberian, alih rawat R. ICU.

6) Diuretika Antepartum: manitol

Postpartum: Spironolakton (non K release), Furosemide (Krelease). Indikasi: Edema

paru-paru, gagal jantung kongestif, Edema anasarka

7) Anti hipertensi

Indikasi: T > 180/110 Diturunkan secara bertahap.

Alternatif:

antepartum

Adrenolitik sentral:

- Dopamet 3X125-500 mg.

- Catapres drips/titrasi 0,30 mg/500 ml D5 per 6 jam : oral 3X0,1 mg/hari.

Post partum

ACE inhibitor: Captopril 2X 2,5-25 mg dan Ca Channel blocker: Nifedipin 3X5-10

mg.

8) Kardiotonika , Indikasi: gagal jantung

9) Lain-lain:

Antipiretika, jika suhu >38,5 °C

Antibiotika jika ada indikasi

Analgetika

Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1X80 mg/hari Syarat: Trombositopenia

(<60.000/cmm)(7).

Pengobatan obstetrik

1) Belum inpartu

a) Amniotomi & Oxytocin drip (OD), Syarat: Bishop score >8, setelah 3 menit tx.

Medisinal.

b) Sectio Caesaria, Syarat: kontraindikasi oxytocin drip 12 jam OD belum masuk fase

aktif.

2) Sudah inpartu

Page 14: bab i, ii

Kala I

Fase aktif: 6 jam tidak masuk f. aktif dilakukan SC. Fase laten: Amniotomy saja, 6 jam

kemudian pembuatan belum lengkap lakukan SC (bila perlu drip oxytocin).

Kala II

Pada persalinan pervaginam, dilakukan partus buatan VE. Untuk kehamilan < 37 minggu,

bila memungkinkan terminasi ditunda 2X24 jam untuk maturasi paru janin.

B.II. Perawatan konservatif

Perawatan konservatif kehamilan preterm <37 minggu tanpa disertai tanda-tanda

impending eklampsia, dengan keadaan janin baik. Perawatan tersebut terdiri dari:

SM Therapy: Loading dose: IM saja. Maintenance dose: sama seperti di atas.

Sulfas Magnesikus dihentikan bila sudah mencapai tanda Preeklampsia ringan,

selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.

Terapi lain sama seperti di atas.

Dianggap gagal jika > 24 jam tidak ada perbaikan, harus diterminasi.

Jika sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan, diberikan SM 20% 2 gr/IV dulu.

Penderita pulang bila: dalam 3 hari perawatan setelah penderita menunjukkan

tanda-tanda PER keadaan penderita tetap baik dan stabil.

2.1.12 Tindakan Obstetri

Setelah kejang dapat diatasi dan keadaan umum penderita diperbaiki, maka

direncanakan untuk mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara

yang aman. Apakah pengakhiran kehamilan dilakukan dengan seksio sesarea atau dengan

induksi persalinan per vaginam, hal tersebut tergantung dari banyak faktor, seperti

keadaan serviks, komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli anestesia, tidak terdapat

koagulopati dan sebagainya.2

Persalinan per vaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilaksanakan

cepat tanpa banyak kesulitan. Pada eklampsia gravidarum perlu diadakan induksi dengan

amniotomi dan infus pitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang selama 12 jam

dan keadaan serviks mengizinkan. Tetapi, apabila serviks masih lancip dan tertutup

terutama pada primigravida, kepala janin masih tinggi, atau ada persangkaan disproporsi

sefalopelvik, sebaiknya dilakukan seksio sesarea.2

Page 15: bab i, ii

Jika persalinan sudah mulai pada kala I, dilakukan amniotomi untuk mempercepat

partus dan bila syarat-syarat telah dipenuhi, dilakukan ekstraksi vakum atau cunam.

Pilihan anestesia untuk mengakhiri persalinan pada eklampsia tergantung dari

keadaan umum penderita dan macam obat sedativa yang telah dipakai. Keputusan tentang

hal ini sebaiknya dilakukan oleh ahli anestesia. Anestesia lokal dapat dipakai bila sedasi

sudah berat. Anestesia spinal dapat menyebabkan hipotensi yang berbahaya pada

eklampsia; jadi sebaiknya jangan dipergunakan.2

Pengalaman menunjukkan bahwa penderita eklampsia tidak seberapa tahan

terhadap perdarahan postpartum atau trauma obstetrik; keduanya dapat menyebabkan

syok, Maka dari itu, semua tindakan obstetrik harus dilakukan seringan mungkin, dan

selalu disediakan darah. Ergomettin atau metergin boleh diberikan pada perdarahan

postpartum yang disebabkan oleh atonia uteri, tetapi jangan diberikan secara rutin tanpa

indikasi.2

Setelah kelahiran, perawatan dan pengobatan intensif diteruskan untuk 48 jam Bila

tekanan darah turun, maka pemberian obat penenang dapat dikurangi setelah 24 jam

postpartum untuk kemudian lambat laun dihentikan. Biasanya diuresis bertambah 24 - 48

jam setelah kelahiran dan edema serta proteinuria berkurang.2

Perawatan post partum : antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau

kejang terakhir, teruskan antihipertensi jika tekanan diastolik masih > 110 mmhg, pantau

urin.2

Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terdapat oliguria (< 400 ml/24 jam),

terdapat sindrom HELLP, koma berlanjut > 24 jam sesudah kejang.2

2.2 Ketuban Pecah Dini

2.2.1 Definisi

Ketuban pecah dini (KPD) atau spontaneus/early/premature rupture of membrans

(PROM) adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum menunjukkan

tanda-tanda persalinan/inpartu (keadaan inpartu didefinisikan sebagai kontraksi uterus

teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan terjadinya effacement atau dilatasi

serviks), atau bila satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan, atau

secara klinis bila ditemukan pembukaan kurang dari 3 cm pada primigravida dan kurang

dari 5 cm pada multigravida.

Page 16: bab i, ii

Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi kapan saja baik pada kehamilan aterm

maupun preterm. Saat aterm sering disebut dengan aterm prematur rupture of membrans

atau ketuban pecah dini aterm. Bila terjadi sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut

ketuban pecah dini preterm / preterm prematur rupture of membran (PPROM) dan bila

terjadi lebih dari 12 jam maka disebut prolonged PROM. 6,9,10

2.2.2 Etiologi

Membran fetus yang normal adalah sangat kuat pada awal kehamilan. Kombinasi

akibat peregangan membran dengan pertumbuhan uterus, seringnya kontraksi uterus dan

gerakan janin memegang peranan dalam melemahnya membran amnion. KPD pada

kehamilan aterm merupakan variasi fisiologis, namun pada kehamilan preterm

melemahnya membran merupakan proses yang patologis. KPD sebelum kehamilan

preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

bakteri yang terikat pada membran melepaskan substrat seperti protease yang

menyebabkan melemahnya membran. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks

metaloproteinase merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh

karena infeksi7,9,10.

Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan

beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini antara lain

adalah6,8,10:

1. Infeksi

Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup untuk

melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat bakteri patogen di dalam

vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis, infeksi neonatal akan meningkat 10

kali.

Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya

infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat pada membran

melepaskan substrat seperti protease yang menyebabkan melemahnya membran.

Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks metaloproteinase merupakan enzim

spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh karena infeksi7,9,10.

2. Defisiensi vitamin C

Page 17: bab i, ii

Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen.

Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas

yang berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu.

3. Faktor selaput ketuban

Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan atau

terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di dalam kavum amnion, di samping juga

ada kelainan selaput ketuban itu sendiri. Hal ini terjadi seperti pada sindroma Ehlers-

Danlos, dimana terjadi gangguan pada jaringan ikat oleh karena defek pada sintesa dan

struktur kolagen dengan gejala berupa hiperelastisitas pada kulit dan sendi, termasuk

pada selaput ketuban yang komponen utamanya adalah kolagen. 72 % penderita

dengan sindroma Ehlers-Danlos ini akan mengalami persalinan preterm setelah

sebelumnya mengalami ketuban pecah dini preterm.

4. Faktor umur dan paritas

Semakin tinggi paritas ibu akan makin mudah terjadi infeksi cairan amnion akibat

rusaknya struktur serviks akibat persalinan sebelumnya.

5. Faktor tingkat sosio-ekonomi

Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan insiden

KPD, lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak, serta jarak kelahiran

yang dekat.

6. Faktor-faktor lain

- Inkompetensi serviks atau serviks yang terbuka akan menyebabkan pecahnya

selaput ketuban lebih awal karena mendapat tekanan yang langsung dari kavum

uteri.

- Beberapa prosedur pemeriksaan, seperti amniosintesis dapat meningkatkan

risiko terjadinya ketuban pecah dini.

- Pada perokok secara tidak langsung dapat menyebabkan ketuban pecah dini

terutama pada kehamilan prematur.

- Kelainan letak dan kesempitan panggul lebih sering disertai dengan KPD

namun mekanismenya belum diketahui dengan pasti.

Page 18: bab i, ii

- Faktor-faktor lain seperti hidramnion, gemeli, koitus, perdarahan antepartum,

bakteriuria, pH vagina di atas 4,5; stres psikologis, serta flora vagina abnormal akan

mempermudah terjadinya ketuban pecah dini.

2.2.3 Patogenesis

Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput

ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini

dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks

ekstraseluler pada selaput ketuban3.

Gambar 1. Gambar skematis dari struktur selaput ketuban saat aterm8.

Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan jumlah

jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan aktivitas

kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh matriks

metaloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah

komponen-komponen matriks ektraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam selaput

ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan triple helix dari kolagen fibril

(tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga

memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi penghambat

Page 19: bab i, ii

metaloproteinase / tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP). TIMP-1 menghambat

aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2 menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3

dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama dengan TIMP-1.

Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa kehamilan oleh karena

aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih tinggi. Saat

mendekati persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu didapatkan kadar MMP

yang meningkat dan penurunan yang tajam dari TIMP yang akan menyebabkan

terjadinya degradasi matriks ektraseluler selaput ketuban. Ketidakseimbangan kedua

enzim tersebut dapat menyebabkan degradasi patologis pada selaput ketuban. Aktivitas

kolagenase diketahui meningkat pada kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini.

Sedangkan pada preterm didapatkan kadar protease yang meningkat terutama MMP-9

serta kadar TIMP-1 yang rendah.

Terjadinya gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya

gangguan pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini.

Mikronutrien lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini

adalah asam askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix dari

kolagen. Zat tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban

pecah dini. Pada wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang rendah.

Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa mekanisme.

Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus, dan

Trikomonas vaginalis mensekresi protease yang akan menyebabkan terjadinya degradasi

membran dan akhirnya melemahkan selaput ketuban.

Respon terhadap infeksi berupa reaksi inflamasi akan merangsang produksi

sitokin, MMP, dan prostaglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan

tumor nekrosis faktor α yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas

MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion.

Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang produksi prostalglandin

oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan ketuban pecah dini preterm

karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi kolagen membran. Beberapa jenis

bakteri tertentu dapat menghasilkan fosfolipase A2 yang melepaskan prekursor

Page 20: bab i, ii

prostalglandin dari membran fosfolipid. Respon imunologis terhadap infeksi juga

menyebabkan produksi prostaglandin E2 oleh sel korion akibat perangsangan sitokin yang

diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim siklooksigenase II

yang berfungsi mengubah asam arakidonat menjadi prostalglandin. Sampai saat ini

hubungan langsung antara produksi prostalglandin dan ketuban pecah dini belum

diketahui, namun prostaglandin terutama E2 dan F2α telah dikenal sebagai mediator dalam

persalinan mamalia dan prostaglandin E2 diketahui mengganggu sintesis kolagen pada

selaput ketuban dan meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan MMP-3.

Indikasi terjadi infeksi pada ibu dapat ditelusuri metode skrining klasik yaitu

temperatur rektal ibu dimana dikatakan positif jika temperatur rektal lebih 38°C,

peningkatan denyut jantung ibu lebih dari 100x/menit, peningkatan leukosit dan cairan

vaginal berbau7.

Hormon

Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ekstraseluler pada

jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan menurunkan konsentrasi MMP-1 dan

MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks dari kelinci

percobaan. Tingginya konsentrasi progesteron akan menyebabkan penurunan produksi

kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah dapat menstimulasi produksi

kolagen. Ada juga protein hormon relaxin yang berfungsi mengatur pembentukan

jaringan ikat diproduksi secara lokal oleh sel desidua dan plasenta. Hormon ini

mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh progesteron dan

estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam membran janin.

Aktivitas hormon ini meningkat sebelum persalinan pada selaput ketuban manusia saat

aterm. Peran hormon-hormon tersebut dalam patogenesis pecahnya selaput ketuban

belum dapat sepenuhnya dijelaskan.

Kematian Sel Terprogram

Pada ketuban pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian sel

terpogram (apoptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan selaput ketuban.

Pada korioamnionitis telihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan granulosit,

yang menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian sel. Kematian

sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi matriks ekstraseluler dimulai,

Page 21: bab i, ii

menunjukkan bahwa apoptosis merupakan akibat dan bukan penyebab degradasi tersebut.

Namun mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum diketahui dengan jelas8.

Peregangan Selaput Ketuban

Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di selaput ketuban

seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu peregangan juga merangsang

aktivitas MMP-1 pada membran. Interleukin-8 yang diproduksi dari sel amnion dan

korionik bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas kolegenase. Hal-

hal tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses sintesis dan

degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya selaput ketuban8.

Gambar 2. Diagram berbagai mekanisme multifaktorial yang diteorikan sebagai

penyebab ketuban pecah dini8

2.2.4 Gejala Klinis

Pasien dengan ketuban pecah dini umumnya datang dengan keluhan keluarnya

cairan dalam jumlah cukup banyak secara mendadak dari vagina. Mungkin juga

Page 22: bab i, ii

merasakan ‘kebocoran’ cairan yang terus menerus atau kesan ‘basah’ di vagina atau

perineum. Pemeriksaan yang terbaik untuk diagnosis pasti adalah melalui observasi

langsung keluarnya cairan amnion dari lubang vagina.

Gejala klinis dan diagnosis dapat juga ditegakkan dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik antara lain6:

1. Anamnesis:

a. Kapan keluarnya cairan, warna dan baunya.

b. Adakah partikel-partikel dalam cairan (lanugo dan verniks).

2. Inspeksi: keluar cairan pervaginam.

3. Inspekulo: bila fundus uteri ditekan atau bagian terendah digoyangkan, keluar cairan

dari osteum uteri internum (OUI).

4. Pemeriksaan dalam:

a. Ada cairan dalam vagina.

b. Selaput ketuban sudah pecah.

Catatan:

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada ketuban pecah dini adalah:

1. Saat ketuban pecah ditentukan berdasarkan anamnesis diketahui pasti kapan

ketuban pecah.

2. Bila anamnesis tidak dapat memastikan kapan ketuban pecah, maka saat

ketuban pecah adalah saat penderita masuk rumah sakit.

Bila berdasarkan anamnesis pasti bahwa ketuban sudah pecah > 12 jam, maka dikamar

bersalin dilakukan observasi selama dua jam. Bila setelah dua jam tidak ada tanda-tanda

inpartu dilakukan terminasi kehamilan9

2.2.5 Diagnosis

Mendiagnosa ketuban pecah dini dapat dengan berbagai cara. Pertama, dengan

melakukan anamnesis yang baik dan teliti kapan mulai keluar air, jumlahnya, merembes

atau tiba-tiba banyak, konsistensinya encer atau kental dan baunya.

Kemudian dengan melakukan pemeriksaan fisik, sebagai berikut7:

- Semua wanita dengan keluhan keluar air pervaginam harus dilakukan pemeriksaan

inspekulo steril. Pemeriksaan serviks mungkin memperlihatkan keluarnya cairan

amnion dari lubang serviks.

Page 23: bab i, ii

- Jika meragukan apakah cairan berasal dari lubang serviks atau cairan pada forniks

posterior vagina, dilakukan pemeriksaan pH dari cairan tersebut (cairan amnion

akan merubah lakmus menjadi berwarna biru karena bersifat alkalis). Cairan vagina

dalam keadaan normal bersifat asam. Perubahan pH dapat terjadi akibat adanya

cairan amnion, adanya infeksi bahkan setelah mandi. Tes nitrazine kuning dapat

menegaskan diagnosa dimana indikator pH akan berubah berwarna hitam,

walaupun urine dan semen dapat memberikan hasil positif palsu.

- Melihat cairan yang mengering di bawah mikroskop, cairan amnion akan

menunjukkan fern-like pattern (gambaran daun pakis), walaupun tes ini sedikit

rumit dan tidak dilakukan secara luas.

- Batasi pemeriksaan dalam untuk mencegah ascending infection. Lakukan vaginal

swab tingkat tinggi. Jika curiga terjadi infeksi, periksa darah lengkap, cRP, MSU

dan kultur darah. Berikan antibiotika spektrum luas.

- Pemeriksaan lebih lanjut seperti USG digunakan untuk melihat organ interna dan

fungsinya, juga menilai aliran darah uteroplasenta. USG yang menunjukkan

berkurangnya volume likuor pada keadaan ginjal bayi yang normal, tanpa adanya

IUGR sangat mengarah pada terjadinya ketuban pecah dini, walaupun volume

cairan yang normal tidak mengeksklusi diagnosis.

- Pada masa yang akan datang, tes seperti cairan prolaktin atau alpha-fetoprotein,

dan penghitungan fibronektin bayi mungkin dapat menentukan dengan lebih tepat

adanya ketuban pecah dini.

2.2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan KPD dengan kehamilan aterm berdasarkan prosedur tetap RSUP

Sanglah adalah6:

Diberikan antibiotik profilaksis, ampisilin 4x500 mg selama 7 hari

Dilakukan pemeriksaan admission test, bila hasilnya patologis dilakukan

terminasi kehamilan.

Observasi temperatur rektal setiap 3 jam, bila ada kecenderungan meningkat atau

sama dengan 37,6 °C dilakukan terminasi segera.

Bila temperatur rektal tidak meningkat, dilakukan observasi selama 12 jam.

setelah 12 jam bila belum ada tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi.

Page 24: bab i, ii

Batasi pemeriksaan dalam, dilakukan berdasarkan indikasi obstetrik.

Bila dilakukan terminasi, lakukan evaluasi pelvic score (PS):

1. Bila PS lebih atau sama dengan 5, dilakukan induksi dengan oksitosin

drip.

2. Bila PS kurang dari 5, dilakukan pematangan serviks dengan Misoprostol

50 ugr setiap 6 jam oral, maksimal 4 kali pemberian.

2.2.7 Komplikasi

KPD berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan. jarak antara pecahnya

ketuban dan permulaan persalinan disebut periode laten (lag period = LP). Makin muda

umur kehamilan makin memanjang LP-nya.

KPD dapat menimbulkan komplikasi yang bervariasi sesuai dengan usia

kehamilan, baik terhadap janin maupun terhadap ibu. Kurangnya pemahaman terhadap

kontribusi dari komplikasi yang mungkin timbul dengan peningkatan morbiditas dan

mortalitas perinatal bertanggung jawab terhadap kontroversi dalam penatalaksanaannya.8:

1. Terhadap janin

Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi, tetapi janin sudah terkena

infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi (amnionitis, vaskulitis)

sebelum gejala pada ibu dirasakan. jadi akan meninggikan morbiditas dan mortalitas

perinatal. Beberapa komplikasi yang berhubungan dengan KPD antara lain:

Infeksi intrauterin

Tali pusat menumbung

Kelahiran prematur

Amniotic Band Syndrome

2. Terhadap ibu

Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila terlalu

sering diperiksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis (nifas),

peritonitis, septikemia, dan dry-labor. Ibu akan merasa lelah karena terbaring di

tempat tidur, partus akan menjadi lam, maka suhu badan naik, nadi cepat dan

nampaklah gejala-gejala infeksi. hal-hal tersebut dapat meninggikan angka kematian

dan morbiditas pada ibu.

2.2.8 Prognosis

Page 25: bab i, ii

Ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan komplikasi-komplikasi yang mungkin

timbul serta umur kehamilan.

2.3 Kala II Lama

2.3.1 Definisi Partus Lama dan Kala II Lama

Persalinan lama, yang disebut juga dengan istilah distosia secara umum

dimaksudkan untuk persalinan yang abnormal atau sulit. Sementara itu, WHO secara

lebih spesifik mendefinisikan persalinan lama (prolonged labor / partus lama) sebagai

proses persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam. Waktu pemanjangan proses

persalinan yang dimaksud adalah penambahan kala I dan/atau kala II persalinan. Dalam

penentuan batas waktu, terdapat variasi terdapat sebuah sumber yang menyatakan bahwa

batasan waktu dalam penentuan partus lama adalah 18 jam.11,12

Nullipara Multipara

Prolonged latent phase > 20 jam >14 jam

Protracted dilation < 1.2 cm/ jam < 1.5 cm/ jam

Protracted descent < 1 cm/ jam < 2 cm/ jam

Arrest of dilation >2 jam >2 jam

Arrest of descent >2 jam >1 jam

Prolonged second stage >2 jam >1 jam

Prolonged third stage >30 menit >30 menit

Tabel 2.3.1. Perpanjangan fase-fase persalinan13

Kala II lama (Prolonged Second Stage) diartikan sebagai memanjangnya waktu

kala II dimana pada primigravida berlangsung lebih dari 2 jam dan pada multipara

berlangsung lebih dari 1 jam. Menurut AGOG (American Congress of Obstetricians and

Gynecologists), kala II lama didefiniskan sebagai tidak adanya kemajuan pada kala II

dengan batasan waktu dilakukan pimpinan persalinan sebagai berikut: persalinan dengan

anestesi epidural pada nullipara yang berlangsung lebih 3 jam dan multipara berlangsung

lebih 2 jam, sedangkan untuk persalinan tanpa anestesi epidural nullipara berlangsung

lebih 2 jam dan multipara berlangsung 1 jam.14,15

2.3.2 Faktor Resiko

Page 26: bab i, ii

Faktor Resiko terjadinya kala II lama masih belum diketahui secara pasti, tetapi

dalam South Australian Perinatal Practice Guidelines, disebutkan terdapat beberapa hal

yang mempengaruhi terjadinya variasi waktu dalam kala II, yaitu posisi ibu pada kala II,

posisi dari janin, penurunan pada saat pembukaan lengkap, kualitas dari his, penggunaan

oksitosin, kekuatan mengejan ibu dan penggunaan analgesik. Dalam penelitiannya,

Thomas dan Santolaya menemukan bahwa nullipara, preeklamsia, diabetes, makrosomia,

janin laki-laki, anestesi epidural, induksi persalinan, penggunaan oksitosin, serta

koriamnionitis sebagai faktor resiko terjadinya persalinan dengan kala II lama.

2.3.3 Etiologi

Secara umum penyebab kala II lama dapat dibagi ke dalam beberapa faktor yaitu

faktor tenaga (power), faktor panggul (passage), faktor anak (passenger), faktor psikis

dan faktor penolong.

Faktor Tenaga

His yang normal dimulai dari salah satu sudut di fundus uteri kemudian

menjalarmerata simetris ke seluruh korpus uteri dengan dominasi kekuatan pada

fundusuteri (lapisan otot uterus paling dominan) kemudian terdapat relaksasi

secaramerata dan menyeluruh. Kelainan his terutama ditemukan pada primigravidatua.

Kelainan anatomis uteri juga menghasilkan kelainan his. Pada multipara lebih banyak

ditemukan kelainan yang bersifat inersia uteri. Peregangan rahim yang berlebihan pada

kehamilan ganda atau hidramnion juga dapat menyebabkan inersia uteri.16

Kelainan tenaga pada kala II lama, dapat dibagi menjadi 2, yaitu:16

1. Inertia uteri Kelainannya terletak dalam hal kontraksi uterus yaitu lebih singkat, dan

jarang daripada biasanya. Keadaan umum penderita biasanya baik, dan rasa nyeri

tidak seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak banyak bahaya, baik bagi

ibu maupun bagi janin, kecuali jika persalinan berlangsung terlalu lama. Keadaan ini

dinamakan inersia uteri primer atau hypotonic uterine contraction Kalau timbul

setelah berlangsungnya his kuat untuk waktu yang lama, hal itu dinamakan inersia

uteri sekunder. Hingga saat ini etiologi dari inertia belum diketahui tetapi beberapa

faktor dapat mempengaruhi: umum (primigravida pada usia tua, anemia, perasaan

tegang dan emosional, pengaruh hormonal: oksitosin dan prostaglandin, dan

penggunaan analgetik yang tidak tepat), dan lokal (overdistensi, perkembangan

Page 27: bab i, ii

anomali uterus misal hypoplasia, mioma, malpresentasi, malposisi, dan disproporsi

cephalopelvik, kandung kemih dan rektum penuh).

2. Incoordinate uterine action.

Disini sifat his berubah sehingga tonus otot uterus meningkat, juga diluar his, dan

kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronasi antara

kontraksi bagian-bagiannya. Tidak adanya koordinasi antara kontraksi bagian atas,

tengah dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.

Selain 2 hal tersebut diatas, kurang adekuatnya mengejan dapat menyebabkan

terjadinya kala II. Kekuatan yang dihasilkan oleh kontraksi otot abdomen dapat

terganggu secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan melalui

vagina. Sedasi berat atau anestesia regional kemungkinan besar mengurangi dorongan

refleks untuk mengejan.17

2.3.4 Gejala Klinis18

Gejala klinis terjadinya kala 2 lama dapat dijumpai pada ibu dan janin. Gejala

klinis yang dapat dijumpai pada ibu meliputi:

1. Tanda-tanda kelelahan dan dehidrasi dari ibu (nadi cepat dan lemah, perut kembung,

demam, nafas yang cepat dan his hilang dan lemah)

2. Vulva edema

3. Cincin retraksi patologi Brandl

Sering timbul akibat persalinan yang terhambat disertai peregangan dan penipisan

berlebihan segmen bawah uterus, dan menandakan ancaman akan rupturnya segmen

bawah uterus.

Gejala Klinis yang dapat ditemui pada janin:

1. Denyut jantung janin cepat, hebat, tidak teratur, bahkan negatif

2. Air ketuban terdapat mekonium, kental kehijau-hijauan, berbau.

3. Kaput suksedaneum yang besar. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan

menyebabkan kesalahan diagnostik yang serius. Biasanya kaput suksedaneum,

bahkan yang besar sekalipun, akan menghilang dalam beberapa hari.

4. Moulase kepala yang hebat akibat tekanan his yang kuat, tulang tengkorak saling

bertumpang tindih satu sama lain.

5. Kematian janin dalam kandungan atau intra uterine fetal death (IUFD).

Page 28: bab i, ii

2.3.5 Patofisiologi Uterus Pada Kala II Lama19

Pada awal persalinan, uterus akan menghasilkan energi untuk berkontraksi dan

relaksasi. Kondisi metabolik ini dapat berlangsung jika energi ibu cukup, dan aktivitas ini

dipertahankan selama berjam-jam. Namun, jika kondisi ini berlangsung terlalu lama,

akan menyebabkan patologi pada uterus. Pertama-tama, akan timbul gangguan emosi dan

kelelahan pada ibu yang mengakibatkan cadangan glikogen pada uterus akan berkurang,

sehingga ATP yang dihasilkan juga akan berkurang. Selain itu juga dapat terjadi

asidifikasi karena timbunan asam laktat untuk memenuhi kebutuhan ATP. Timbunan

asam laktat ini bisa mengurangi kemampuan uterus untuk berkontraksi. Kontraksi yang

terus-menerus pada miometrium yang mengalami deplesi energi dan hipoksia akan

mengakibatkan ruptur uteri.

Gambar 2.1. Patofisiologi Uterus Pada Persalinan Lama11

Page 29: bab i, ii

2.3.6 Diagnosis Kala II lama

Berdasarkan Nice Clinical Guidelines, diagnosis kala II lama dapat ditegakkan

sebagai berikut:15

1. Nullipara

Kala II lebih dari 2 jam tanpa pengaruh regional anestesi (AGOG 2003) atau lebih

dari 3 jam dengan pengaruh regional anestesi. (Kala II dimulai terjadi pembukaan

lengkap pada serviks)

2. Multipara:

Kala II lebih dari 1 jam tanpa pengaruh regional anestesis (AGOG 2003), atau

lebih dari 2 jam dengan pengaruh regional anestesi ((Kala II dimulai terjadi

pembukaan lengkap pada serviks)

2.3.7 Penatalaksanaan Kala II Lama

Kala II lama merupakan salah satu kegwawatdaruratan obstetrik yang

memerlukan penanganan tepat dan cepat dimana penanganan tersebut dapat mengurangi

morbiditas maupun mortalitas ibu dan janin. Ketika Kala II lama ditegakkan maka

penilaian klinik perlu dilakukan, diantaranya:20

1. Penilaian klinik terhadap ibu

Kondisi ibu

Kontraksi/his

Pemeriksaan klinik berupa: pemeriksaan kandung kemih, palpasi abdomen, dan

pemeriksaan dalam (evaluasi pelvik, imbangan feto pelvik/penentuan CPD,

maupun ada tidaknya tumor pada jalan lahir)

2. Penilaian Klinik terhadap janin

Janin berada di dalam atau di luar Rahim

Jumlah janin

Letak

Presentasi dan penurunan bagian terbawah janin

Posisi, moulage, dan kaput suksadenum

Bagian kecil janin (tangan, tali pusat dll)

Anomali kongenital yang dapat mengganggu ekspulsif bayi

Tafsiran berat janin

Page 30: bab i, ii

Gawat janin

Janin hidup atau tidak

3. Penilaian terhadap kekuatan mengejan ibu

Berdasarkan hasil penilaian tersebut, maka dapat ditentukan dengan segera

etiologi gangguan kemajuan proses persalinan saat kala II dapat segera diambil keputusan

yang tepat.

Faktor Temuan Klinik Diagnosis

Jalan Lahir Palpasi luar menunjukkan

bagian terbawah janin belum

masuk PAP

Diameter anteropsoterior

lebih kecil dari normal

Promotorium menonjol

Kesempitan pintu panggul

atas

Dinding samping panggul

menyempit dan krista iliaka

sangat menonjol

Arcus pubis kurang 900

Kesempitan panggul tengah

Sacrum melengkung ke

depan dan cocygeus

mengarah pada sumbu jalan

lahir

Kesempitan pintu panggul

bawah

Bayi Tafsiran berat badan ekstrim Makrosomia

Bagian terbawah muka Presentasi muka

Dagu dibelakang dan dasar

panggul

Mentoposterior persisten

Sutura sagitalis melintang

dan parietal tertahan di

promotorium

Asinklitimus

Teraba tangan atau lengan

disamping tangan atau

Presentasi Majemuk

Page 31: bab i, ii

bokong

Teraba rusuk dan atau lengan

dengan kepala di lateral

Letak Lintang

Bahu pada posisi

anteroposterior dan tertahan

pada dasar panggul

Distosia Bahu

Tenaga Ekspulsi Kontraksi lemah dan tidak

terkoordinasi

Inersia uteri

Ibu tidak mampu membuat

posisi efektif mengejan

Ibu kelelahan

Lingkaran konstriksi CPD

Tabel 2.3.7. Hubungan faktor penyebab Kala II lama, temuan klinik dan Diagnosis20

Setelah ditegakkan diagnosis, maka harus segera dilakukan intervensi untuk

menyelesaikan kala II, sebagai berikut:15,20

1. Pada wanita dengan kondisi fisik yang lelah dan panik, klinisi dapat memberikan

dukungan dan semangat untuk melakukan persalinan. Selain itu dapat diberikan

analgesik ataupun anestesi dan dilakukan rehidrasi maupun pemberian kalori.

2. Pemberian oksitosin sesuai dengan indikasi adanya inersia uteri.

3. Pada distosia bahu dilakukan ALARM

4. Tindakan bedah baik per vaginam maupun Sectio Cesaria sesuai indikasi

5. Sectio Cesaria dilakukan pada keadaan yang tidak memungkinkan persalinan per

vaginam dengan tindakan operatif misalnya: panggul sempit, makrosomia,

malpresentasi, letak lintang, CPD, dan asinklitimus.

Page 32: bab i, ii

Gambar 2.2. Bagan Manajemen Kala II Lama21

2.3.8 Komplikasi

Komplikasi pada persalinan dengan kala II lama dapat terjadi pada ibu maupun

pada bayi. Pada kala II lama dapat terjadi infeksi sampai sepsis. Infeksi adalah bahaya

serius yang mengancam ibu dan janinnya, terutama bila disertai pecahnya ketuban.

Bakteri didalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta

pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin.20

Selain itu dapat terjadi dehidrasi, syok, kegagalan fungsi organ-organ, robekan

jalan lahir, ruptur uteri. Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya

serius selama partus lama, terutama pada wanita dengan paritas tinggi dan pada mereka

dengan riwayat bedah sesar. Robekan serta pembentukan fistula pada buli-buli, vagina,

uterus dan rektum. Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke pintu atas panggul

Page 33: bab i, ii

tetapi tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir yang terletak di

antaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan berlebihan. Karena gangguan

sirkulasi, maka dapat terjadi nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah

melahirkan dengan munculnya fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau rektovaginal.

Umumnya nekrosis akibat penekanan ini terjadi setelah persalinan kala dua yang sangat

berkepanjangan.20

Gambar 3. Komplikasi Fistula Pada Kala II Lama11

Menurut Myles dan Santolaya, terjadinya morbiditas maternal yang meliputi

laserasi jalan lahir, dan pendarahan postpartum sebanding dengan lama kala II

berlangsung. Selain itu, dalam penelitiannya, Myles dan Santolaya mendapatkan bahwa

tindakan bedah obstetri meningkat sesuai dengan lama dari kala II. Dalam peneltiannya

Brown et al, menyimpulkan bahwa ibu dengan kala II lama memiliki resiko 1,4 kali

terjadinya inkontinesia urine dibandingkan ibu yang tidak mengalami kala II lama, dalam

3 bulan postpartum.17

Komplikasi yang terjadi pada janin akibat kala II lama adalah gawat janin dalam

rahim sampai meninggal. Juga dapat terjadi kelahiran janin dalam asfiksia berat sehingga

menimbulkan cacat otak menetap. Trauma persalinan merupakan akibat lain dari

persalinan kala II lama yang dilakukan tindakan operastif per vaginam. Trauma tersebut

meliputi eksoriasi kulit, sefalhematom, perdarahan subgaleal, ikterus neonatorum berat,

dan nekrosis kepala yang akan diikuti alopesia di kemudian hari. Selain itu dapat terjadi

patah tulang dada, lengan, kaki, kepala karena pertolongan persalinan dengan tindakan.22

2.3.9 Prognosis

Prognosis dari partus kala II lama ini ditentukan oleh kecepatan dan ketepatan

dalam mendiagnosis serta menanganinya. Semakin lama partus tersebut berlangsung,

Page 34: bab i, ii

maka semakin besar kemungkinan terjadinya partus lama dan semakin banyak

komplikasi yang ditimbulkan baik pada ibu maupun pada janinnya hingga terjadinya

partus kasep.20

Page 35: bab i, ii

DAFTAR PUSTAKA

1. Mose C, Johanes. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi,Ed. 2, Gestosis

hal 68 – 81, Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Padjajaran Bandung. EGC. Jakarta: 2005

2. Wiknjosastro. H, Prof, dr, SpOG. Ilmu Kebidanan. Ed.3, Cet. 8. Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 2006. Hal 281 – 300

3. Rambulangin, John, Penanganan Pendahuluan Prarujukan Penderita Preeklampsia Berat dan Eklampsia, Cermin Dunia Kedokteran; 2003. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_139_kebidanan_dan_penyakit_kandungan.pdf)

4. Sudhaberatha, Ketut.Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia, UPF: Ilmu

Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Rumah Sakit Umum Tarakan

KalimantanTimur; 15 Juni 2008.

http://www.sidenreng.com/2008/06/penanganan-preeklampsia-berat-dan-

eklampsia/#more-37

5. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal. 2006.

Preeklmapsia Berat dan Eklampsia Hal M-38. Ed.1, Cet. 11. Jakarta: Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

6. Anonim, Ketuban Pecah Dini. In: Prosedur Tetap Bagian/SMF Obstetri dan

Ginekologi FK Unud/RS Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Obstetri dan

Ginekologi FK Unud/RS Sanglah. Denpasar. 2004. p:8-10

7. Suwiyoga IK, Budayasa AA, Soetjiningsih. Peranan Faktor Risiko Ketuban Pecah

Dini terhadap Insidens Sepsis Neonatorum Dini pada Kehamilan Aterm. Cermin

Dunia Kedokteran, No 151. 2006. p: 14-17

8. Garite TJ, Prematur Rupture of the Membrans. In: Maternal-Fetal Medicine

Principle and Practice. Fifth edition. Editors: Creasy RK, Resnik R, Iams JD;

W.B. Saunders Company Ltd. USA. 2004. p: 723-37.

9. Goepfert AR, Preterm Delivery. In: Obstetrics and Gynecology Principle for

Practice. Editors: Ling FW, Duff P; McGraw Hill Medical Publishing Division,

USA. 2001. p: 357-67.

10. Svigos JM, Robinson JS, Vigneswaran R; Prematur Rupture of the Membrans. In:

High Risk Pregnancy Management Options. Editors: James DK, Steer PJ, Weiner

CP, Gonik B; W.B. Saunders Company Ltd. London. 1994. p: 163-70.

Page 36: bab i, ii

11. Anonymous. Managing Prolonged and Obstructed Labour. Education for Safe Motherhood. Second edition. Geneva:Department of Making Pregnancy safer WHO; 2006.

12. Mochtar., Rustam. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi,Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta: EGC; 1998.

13. Cunningham., Gary et-al. Williams Obstetrics. 23rd Edition. New York: Mc Graw Hill, 2010.

14. Ness, Amen., Golberg, Jay., Berghella, Vicenzo. Abnormalities of the First and Second Stages of Labor. J Obstet Gynecol Clin 2005: 32; 201-20.

15. Anonymous. Intrapartum care: Care of healthy women and their babies during childbirth. NICE Guidelines; 2007.

16. Neilson, J.P., lavender, T., Quenby, S., Wray, S. Obstructed labour: reducing maternal death and disability during pregnancy. British Medical Bulletin, 2003: 67: 191–204.

17. Myles, Thomas D., Santolaya, Joaquin. Maternal and Neonatal Outcomes in Patients With a Prolonged Second Stage of Labor. Jobstet Gynecol America 2003: 102 (1); 52-8.

18. Pernoll, M. L. Benson & Pernoll’s handbook of obstetrics and gynecology. Tenth edition. New York: Mc Graw Hill, 2001.

19. Syakurah, Risma. Tinjauan Pustaka Partus Kasep (Serial Online), 2011. http//www.wordpress.com. diakses tanggal 5 Mei 2012.

20. Anonymous. Buku Acuan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Jaarta:Bakti Husada, 2008.

21. Anonymous. South Australia Perinatal Practice Guideline: Chapter 9a Delays in the second stage of labour. South Australia, 2012.

22. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008.