BAB I Final

50
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Coalbed Methane (CBM) telah menjadi sumber energi alternatif baru. Peningkatan eksplorasi dalam bidang ini dapat meningkatkan persediaan untuk keamanan pasokan energi di Indonesia. Berdasarkan penelitian penyelidikan oleh Pertamina dan PT. Caltex Pacific (Kun Kurnely et ai., 2003 dalam Permana, 2007), Potensi Coalbed Methane di Indonesia adalah sekitar 337 triliun kaki kubik (TCF). Potensi sumber daya ini menyebar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Tetapi potensi terbesar terdapat di cekungan Sumatera Selatan dengan cadangan tidak kurang dari 183 TCF (Permana, 2007). Menurut Permana (2007) Secara geologi karakteristik batubara Formasi Muaraenim di Kabupaten Sarolangun memiliki prospek untuk eksploitasi sumber daya Coalbed Methane. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik mengenai potensi dan sumber daya Coalbed Methane di daerah ini, penelitian difokuskan pada tempat yang sudah dilakukan inventarisasi sebelumnya. Seperti pada tahun 2006, dilakukan penelitian Proyek Pengembangan Coalbed Methane yang merupakan sebuah 1

Transcript of BAB I Final

Page 1: BAB I Final

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Coalbed Methane (CBM) telah menjadi sumber energi alternatif baru.

Peningkatan eksplorasi dalam bidang ini dapat meningkatkan persediaan untuk

keamanan pasokan energi di Indonesia. Berdasarkan penelitian penyelidikan oleh

Pertamina dan PT. Caltex Pacific (Kun Kurnely et ai., 2003 dalam Permana,

2007), Potensi Coalbed Methane di Indonesia adalah sekitar 337 triliun kaki kubik

(TCF). Potensi sumber daya ini menyebar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Tetapi potensi terbesar terdapat di cekungan Sumatera Selatan dengan cadangan

tidak kurang dari 183 TCF (Permana, 2007).

Menurut Permana (2007) Secara geologi karakteristik batubara Formasi

Muaraenim di Kabupaten Sarolangun memiliki prospek untuk eksploitasi sumber

daya Coalbed Methane. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik mengenai

potensi dan sumber daya Coalbed Methane di daerah ini, penelitian difokuskan

pada tempat yang sudah dilakukan inventarisasi sebelumnya. Seperti pada tahun

2006, dilakukan penelitian Proyek Pengembangan Coalbed Methane yang

merupakan sebuah program dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Minyak dan

Gas Bumi (LEMIGAS).

Beberapa data penelitian yang terkait dengan penelitian sebelumnya,

diperoleh dari laporan, baik yang diterbitkan maupun tidak, terutama data

batubara perusahaan swasta, menjadi data yang mendukung penelitian

laboratorium selanjutnya. Lebih banyak lagi, data terbaru menuju pemahaman

yang lebih baik pada batubara, yang berkaitan dengan kemungkinan Coalbed

Methane dari daerah penelitian.

1.2. Tujuan Penulisan

Fokus penelitian ini untuk memperkirakan potensi dan sumber daya CBM

di Sumatera Tengah, diperoleh dari sampel batubara, baik secara lapangan

1

Page 2: BAB I Final

maupun analisis laboratorium. Hasil analisis ini sangat penting karena sebagai

pemahaman mengenai karakteristik batubara yang berkaitan dengan potensi CBM,

khususnya Formasi Muaraenim.

Studi ini menggunakan metode petrografi organik dan geokimia organik

batubara dari Formasi Muaraenim. Tujuan dari penelitian ini antara lain:

a. menentukan, menganalisis, dan mengevaluasi karakteristik batubara.

b. menentukan kuantitas dan kualitas yang dihasilkan dari CBM Sarolangun.

Tujuan dari laporan ini adalah untuk mempersiapkan informasi geologi

daerah studi, informasi baru mengenai karakteristik batubara secara makroskopik

dan mikroskopis yang terkait dengan potensi CBM.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, rumusan

masalah yang penulis ajukan adalah bagaimana karakteristik dari batubara

Formasi Muaraenim secara analisis petrografi organik dan analisis geokimia dan

seberapa besar potensi CBM yang bisa dieksploitasi di Formasi Muaraenim

dengan menggunakan metode petrografi organik dan analisis geokimia organik di

daerah tersebut.

1.4. Lingkup Kajian

Kajian ini meliputi daerah Sarolangun-Pauh, terletak di Kabupaten

Sarolangun, termasuk ke Provinsi Sumatera Selatan. Tetapi, penelitian difokuskan

di Lapangan Batubara Sungai Belati, Lubuk Napal, Karangjering, Sungai Dingin.

Keempat daerah tersebut diduga memiliki potensi cadangan Coalbed Methane.

Selain itu, lapisan batubara juga dipelajari untuk memperoleh lebih banyak

informasi batubara untuk referensi dan perbandingan.

1.5. Metode Pengumpulan Data

Mencapai tujuan penelitian, spesifik bidang geologi teknik investigasi dan

laboratorium dilakukan. Sampel yang dipilih merupakan sampel yang berasal dari

lapisan batubara yang relatif lengkap, termasuk pengamatan, dan pengukuran

2

Page 3: BAB I Final

dengan jelas, tipe batuan, posisi dan karakteristik batubara dan juga gas dalam

pengukuran.

Penyusunan makalah menggunakan referensi utama dari makalah yang

berjudul “Coal Characteristics of Sarolangun – Pauh Region: Implication for

Coalbed Methane Potential” yang disusun oleh A.K. Permana yang dimuat dalam

Jurnal Sumber Daya Geologi Vol. 18 No. 6 Bulan Desember 2008, Hal. 351 –

360.

1.6. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis membagi ke dalam beberapa bab.

Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang berisi mengenai latar belakang,

tujuan, rumusan masalah, lingkup kajian, metoda pengumpulan data, serta

sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang keadaan geologi regional di Cekungan Sumatra

Selatan. Bab ini berisi informasi berupa geologi regional, tektonik regional,

stratigrafi regional dan Formasi Muaraenim.

Sedangkan bab ketiga penulis menguraikan landasan teori yang

berhubungan dengan permasalahan yang ada di dalam makalah ini. Pada bab ini

penulis membahas mengenai batubara, pembentukan batubara, pengenalan CBM,

proses terbentuknya CBM.

Bab keempat penulis memaparkan data hasil dari empat lapangan batubara

yang berbeda, kemudian melakukan analisis secara petrografi dan analisis

geokimia untuk menentukan karaktersitik batubara, kemudian dilakukan

pembahasan mengenai masalah yang menjadi tujuan pembuatan makalah. Pada

bab ini penulis juga membahas potensi yang dihasilkan dalam suatu daerah

lapangan batubara. Dan bab yang terakhir, Bab kelima, berisi mengenai

kesimpulan dari permasalahan yang telah dibahas dalam makalah ini.

3

Page 4: BAB I Final

BAB II

GEOLOGI REGIONAL

2.1 Geologi Regional

Secara geologi, daerah Pauh – Sarolangun berlokasi pada sub-cekungan

Palembang Tengah, bagian baratlaut dari cekungan Sumatera Selatan (Gambar 1).

Menurut (de Coster, 1974 dalam Permana, 2007), cekungan ini terletak di bagian

selatan Pulau Sumatera yang merupakan back-arc basin.

Gambar 1. Batas cekungan dan tektonik di Pulau Sumatera dan sekitarnya serta lokasi Cekungan Sumatera Selatan (lingkaran merah) (de Coster, 1974 dalam Kelembagaan dan Kelitbangan Pusat Survei Geologi, 2007)

4

Page 5: BAB I Final

Secara morfologi, ke arah barat, cekungan dibatasi oleh Pegunungan

Barisan. Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Kapur Akhir sampai awal

Tersier akibat lempeng Indian-Australian di bawah lempeng Eurasia dalam batas

bagian barat kepulauan Sumatera. (Daly et al., 1987 dalam Permana, 2007).

Gambar 2. Lokasi penelitian pengambilan sampel batubara Sarolangun-Pauh yang masuk ke dalam sub-Cekungan Palembang Tengah, Sumatera Selatan (Adaptasi dari Bishop, 2001 dalam Permana 2007)

Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier

berarah barat laut – tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di

sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di

5

Page 6: BAB I Final

sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda,

serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut

yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera

Tengah.

2.2 Tektonik Regional

Blake (1989 dalam Ardiansyah, 2009) menyebutkan bahwa daerah

Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur

Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda

(sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India.

Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat

daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh

Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh

dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.

Gambar 3. Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (back-arc basin) (Blake, 1989 dalam Ardiansyah, 2009)

Menurut Salim et al. (1995 dalam Ardiansyah, 2009) Cekungan Sumatera

Selatan terbentuk selama Awal Tersier (Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri)

6

Page 7: BAB I Final

graben berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman menyudut antara lempeng

Samudra India di bawah lempeng Benua Asia.

Menurut De Coster (1974 dalam Ardiansyah, 2009), diperkirakan telah

terjadi 3 episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan

Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir –

Tersier Awal dan Orogenesa Plio – Plistosen.

Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik

termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi

oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut

Pulunggono (1992 dalam Ardiansyah, 2009), fase ini membentuk sesar berarah

barat laut – tenggara yang berupa sesar – sesar geser.

Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak

– gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara –

selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan

batuan – batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua

yang mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.

Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang

menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam

pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi

geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan

Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang

berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang

terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan

Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di

daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko.

Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen

menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara tetapi sesar yang

terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Jenis sesar

yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar

normal.

7

Page 8: BAB I Final

Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat

laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola

struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan

dan barat laut – tenggara serta pola muda yang berarah barat laut – tenggara yang

sejajar dengan Pulau Sumatera .

2.3 Stratigrafi Regional

Secara geologi, Sub-Cekungan Palembang Tengah berasal dari laut

dangkal (pada bagian dasar), paludal, dan dataran delta dan lingkungan non-

marin. Menurut Permana (2007), selama pengendapan sedimen klastik, seperti

batupasir, batulempung dan adanya sisipan batubara. Batas paling bawah dari

bagian selatan cekungan ini biasanya ditandai dengan adanya lapisan batubara,

dan di daerah Jambi setara dengan bagian atas kontak batupasir glaukonitik dalam

Formasi Airbenakat. Lapisan batubara ini semakin menipis ke arah utara dalam

Cekungan Sumatera Selatan.

Lapisan utama batubara disebut Formasi Muaraenim yang diperkirakan

pembentukan pada Miosen Akhir sampai Awal Pliosen. Formasi Muaraenim

mengalami penggangkatan Pegunungan Bukitbarisan Secara lithologi, Formasi

Muaraenim terdiri dari batulempung dan batulanau dengan adanya sisipan

batupasir dan sisipan batubara. Lebih spesifik ketebalan Formasi Muaraenim

bervariasai antara 450-750m (Darman dan Sidi, 2000, dalam Permana, 2007).

Secara umum material organik Formasi Muaraenim ini sistem deltaik tropis.

8

Page 9: BAB I Final

Gambar 4. Kolom lithostratigafi umum Cekungan Sumatera Selatan (Modifikasi dari Tarazona et. al, dalam Kelembagaan dan Kelitbangan Pusat Survei Geologi. 2006)

2.4 Formasi Muara Enim

Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi tersier.

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada

lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi

9

Page 10: BAB I Final

ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung, batulanau dan batubara.

Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada

formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood.

Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit.

Formasi Muara Enim berumur Miaosen Akhir – Pliosen Awal.

10

Page 11: BAB I Final

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Analisis Kimia Batubara

Batubara adalah campuran dari beragam senyawa organik, yang bersatu

dengan sejumlah material anorganik tertentu dalam bentuk moisture dan mineral

pengotor. Sisa-sisa tumbuhan dapat menjadi sumber utama penghasil batubara

karena mengandung bahan-bahan organik penyusun batubara. Sisa-sisa tumbuhan

tersebut, pada  umumnya, dapat berupa pepohonan, ganggang, lumut, bunga, serta

tumbuhan yang biasa hidup di rawa-rawa. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan

yang telah membusuk dan terakumulasi dalam suatu daerah dengan kondisi

banyak air seperti rawa-rawa. Kondisi tersebut yang dapat menghambat kerja dari

bakteri anaeorob dalam penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang

kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara.

3.1.1 Penggologan Analis Batubara

Untuk keperluan penelitian, material ini dapat dievaluasi dengan

kombinasi dari dua set data analisis:

a. Analisa proksimat

Analisa ini memberikan jumlah relatif dari senyawa organik ringan

(volatile matter), sebagai lawan dari material organik non volatile (fixed

carbon). Analisa ini juga memberikan jumlah dari moisture dari batubara, dan

pengukuran dari komponen inorganik yang tersisa, seperti residu atau abu

ketika batubara dibakar.

b. Analisa ultimat

Analisa ini mendeterminasi jumlah total dari masing-masing elemen

kimia yang penting dalam batubara: seperti karbon, hidrogen, oksigen,

nitrogen, dan sulfur. Hasil dari analisa ultimat dan proksimat adalah untuk

mengindikasikan bagaimana peran batubara dalam industri.

11

Page 12: BAB I Final

3.1.2 Sampling Untuk Analisis Batubara

Sampel batubara dapat diambil dari luar pertambangan, dalam tambang,

atau dari insitu yang terekspos, dari data pengoboran dan cuttings, dan dari massa

batubara yang hancur seperti dalam conveyor belts dan stockpiles.

Sampling batubara di dalam pertambangan. Sampel dapat diambil dari

salah satu metode dibawah ini:

a. Pillar Sampling

Metode ini melibatkan pengambilan blok batubara yang menerus, yang

terdapat diantara atas dan bawah bidang perlapisan yang menandakan batas dari

interval dari perlapisan batubara. Sampel ini membutuhkan biaya yang besar

dalam pengambilannnya, sulit untuk diambil, dan jarang digunakan kecuali untuk

pekerjaan detail.

b. Strip atau channel sampling

Metode ini melibatkan cutting dari channel atau alur dari tubuh batubara,

dan pengumpulan dari semua bagian yang terlepas dalam plastik sampel yang

bersih pada saat pengambilan.

Jumlah dari material dalam sampel strip atau sampel channel dapat

direduksi, ini diperlukan dalam teknik ’cone and quarter’ untuk memberikan berat

yang pantas dalam pengangkutan.

3.2 Analisis proksimat

Analisis proksimat memberikan pengukuran dari jumlah relatif volatile

dan non-volatile matter senyawa organik dalam batubara sebagai jumlah

prosentase dari air dan mineral yang tidak terbakar.

3.2.1. Moisture

Moisture (lengas) dalam batubara dapat muncul dalam 4 bentuk:

a. surface moisture

total moisture

12

Page 13: BAB I Final

inherent atau air-dried moisture

b. hygroskopik moisture

c. decomposition moisture

d. mineral moisture

3.2.2. Volatile Matter

Material yang berkenaan dengan volatile matter (zat terbang) dalam

sampel batubara merepresentasikan komponen-komponen dalam batubara, kecuali

kandungan moisture, yang dibebaskan pada temperatur tinggi dengan tidak

hadirnya udara.

3.2.3. Abu

Abu dari batubara adalah residu inorganik yang tidak terbakar yang masih

tersisa ketika batubara tersebut dibakar.

Batubara yang mengandung kandungan abu dengan jumlah yang tinggi

kurang digunakan dibandingkan dengan kandungan abunya yang sedikit.

3.2.4. Fixed carbon

Fixed carbon terdiri dari jumlah karbon yang terkandung dalam batubara

yang masih tersisa setelah volatile matter dikeluarkan.

3.3 Analisis Ultimat

Komponen organik dari batubara pada dasarnya terdiri dari senyawa

kimia, terbentuk dari karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen dan sulfur. Analisis

ultimat melibatkan prosentase determinasi dari masing-masing senyawa kimia di

atas dalam sampel.

Prosentase dari karbon, hidrogen dan oksigen dalam fraksi organik dalam

batubara dapat juga digunakan sebagai indikasi tingkat dan parameter dalam

klasifikasi batubara.

13

Page 14: BAB I Final

3.3.1. Karbon dan hidrogen

Karbon dan hidrogen hadir pada umumnya sebagai senyawa kompleks

hidrokarbon. Tersusun sebagai CO dan H2O ketika batubara tersebut dibakar.

Hidrogen juga ditemukan dalam inherent moisture dari batubara yang bebas dari

udara, dan pada akhirnya semua pengukuran total karbon dan hidrogen meliputi

jumlah pasti dari material yang didapat dari sumber inorganik.

Pada kebanyakan teknik determinasi dari karbon dan hidrogen didasarkan

pada pemanasan air-dried coal dalam uap oksigen kering, dan pengumpulan dari

CO2 dan H2O yang diproduksi dalam rangkaian tabung adsorpsi.

3.3.2. Nitrogen

Nitrogen ditemukan dalam batubara dalam senyawa organik tertekan yang

hadir.

3.3.3. Sulfur

Sulfur dapat hadir dalam batubara dengan beberapa cara:

a. Sulfur organik

b. Sebagai mineral sulfida

c. Sebagai mineral sulfat

Dalam analisis ultimat, total sulfur yang terkandung yang terdeterminasi,

merepresentasikan material yang hadir dalam segala bentuk yang mungkin

muncul.

Batubara yang kandungan sulfurnya tinggi menimbulkan banyak problem

dalam penggunaannya.

3.3.4 Oksigen

Oksigen adalah komponen dari banyak senyawa organik dalam batubara.

Jika batubara tidak segar, oksigen dapat ditemukan dalam oksida besi, hidroksida

dan berbagai macam mineral sulfat. Oksigen dalam batubara juga perlu untuk

indikasi tingkat batubara. Oksigen juga berperan penting dalam gasifikasi dan

14

Page 15: BAB I Final

operasi liquefaction, yang didapat dari hidrogen selain itu untuk menghasilkan

senyawa hidrokarbon.

Oksigen yang terkandung dalam batubara biasanya dideterminasi dengan

menyubtraksi jumlah dari komponen kimia lainnya (C, H, N dan S) dalam persen.

3.4. Analisis Kimia Lainnya

Tidak jauh berbeda dari analisis proksimat dan analisis ultimat, analisis

kimia laninnya sering digunakan dalam testing sampel batubara. Prosedur analisis

tersebut antara lain:

3.4.1. Bentuk dari sulfur

Walaupun total dari sulfur yang terkandung menyediakan data dalam

jumlah terbatas untuk aplikasi komersial, pengetahuan dari masing-masing tiga

bentuk prinsipel dapat berguna untuk keperluan-keperluan berikut ini:

a. Untuk menemukan level dari total sulfur yang terkandung dapat direduksi

atau tidak dari proses preparasi batubara.

b. Untuk menemukan perhitungan secara normatif dari jumlah material

mineral dalam batubara.

3.4.2. Karbonat karbondioksida

Mineral karbonat, umumnya merupakan unsur utama dari batubara.

Mineral-mineral bebas CO2, pada pembakaran dan selanjutnya diperuntukkan

pada kandungan total karbon pada batubara yang mana dideterminasi dari analisa

ultimat. Proses ini merupakan proses endoterm dan pengurangan dari jumlah

energi yang ada dari batubara dengan kata lain mempunyai kandungan karbon

semu yang tinggi. Jumlah dari karbon ini diperlukan untuk tujuan-tujuan berikut

ini:

a. determinasi dari jumlah karbon yang dapat terbakar dari kandungan total

karbon

b. estimasi dari persentase dari mineral matter yang didapat dari perhitungan

15

Page 16: BAB I Final

3.4.3. Klorin

Klorin dapat dideterminasi oleh metoda Eschka, dimana batubara

dioksidasi pada temperatur 6750C dalam magnesium oksida dan sodium karbonat.

3.4.4. Fosfor

Analisa kimia untuk fosfor berdasarkan proses oksidasi dari batubara

dalam asam kuat atau dalam larutan asam dari abu batubara diikuti dengan

determinasi spektrofotometri dengan amonium molybdate.

3.4.5. Analisa abu

Analisa abu terdiri hampir seluruhnya dari terdekomposisinya sisa

karbonat, silikat, sulfat, dan mineral lainnya, dan sedikitnya 99% dari komposisi

kimianya.

3.4.6. Elemen jejak

Bagian dari organik komponen utama dan unsur pokok dari komponen

inorganik. Jenis tumbuhan yang terdapat pada sebuah lapisan batubara tergantung

pada kondisi iklim setempat. Dalam suatu cebakan lapisan batubara yang sama,

sifat-sifat analitik yang ditemukan pada komposisi penyusunnya dapat berbeda,

selain karena jenis tumbuhan asalnya yang mungkin berbeda, juga karena

banyaknya reaksi kimia yang mempengaruhi kematangan suatu batubara.

3.5. Coalbed Methane (CBM)

3.5.1 Pendahuluan CoalBed Methane

Coalbed Methane adalah gas alam yang berasal dari batubara. Batubara

memiliki lapisan-lapisan berisi gas alam dengan kandungan utamanya berupa

metana (CH4). Walaupun tidak semua batubara menghasilkan CBM. Adapun gas

metana ini terbentuk dari aktivitas mikrobakteri (biogenik) atau panas

(termogenik) selama proses pembentukan batubara (pembatubaraan).

Karakteristik dari CBM yaitu tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah

terbakar.

16

Page 17: BAB I Final

Jumlah kandungan CBM dalam lapisan batubara sangat tergantung pada

kedalaman dan kualitas batubaranya. Semakin dalam lapisan batubara terbenam

dari permukaan tanah, sebagai hasil dari tekanan formasi batuan di atasnya,

semakin tinggi nilai energi dari batubara tersebut, dan semakin banyak pula

kandungan CBM. Secara umum, lapisan batubara bisa menyimpan gas metana

sebesar 6 - 7 kali lebih banyak daripada jenis batuan lain dari reservoir gas.

Adapun karakteristik batubara yang baik untuk menghasilkan CBM, yaitu:

a. Batubara memiliki kandungan gas yang tinggi, yaitu berkisar antara 15m3 –

30m3 per ton.

b. Batubara memiliki permeabilitas yang baik, yaitu antara 30mD – 50mD.

c. Lapisan batubara berada pada kedalaman yang cukup dangkal yaitu kurang

dari 1000 m di bawah permukaan. Adanya batasan kedalaman ini karena

semakin dalam suatu lapisan batubara,tekanannya juga akan semakin besar

dan akan menyebabkan gas terakumulasi saat lapisan batubara mengalami

dewatered. Hal ini disebabkan oleh semakin besar tekanan akibat

pembebanan, maka semakin besar kemungkinan cleat pada batubara akan

tertutup dan menyebabkan berkurangnya permeabilitas.

d. Tingkat batubara. Pada umumnya CBM menghasilkan gas dari batubara pada

tingkat bituminus, tetapi tidak menutup kemungkinan pada tingkat antrasit

juga dapat menghasilkan gas.

Terdapat empat mekanisme penyimpanan CBM pada lapisan batubara,

yaitu:

– sebagai gas bebas di dalam micropore (pori-pori dengan diameter kurang

dari 0,0025 inchi) dan cleats (rekahan alami pada batubara);

– sebagai gas yang terlarut dalam air yang ada di batubara;

– sebagai gas yang teradsorpsi oleh daya tarik molekuler pada permukaan

maseral (material organik yang menyusun batubara), micropori, dan cleats

di dalam batubara; dan

– sebagai gas yang teradsorpsi dalam sturuktur molekuler dari molekul

batubara.

17

Page 18: BAB I Final

Gas yang terperangkap di dalam lapisan batubara akan sangat bergantung

dari posisi ketinggian air bawah tanah. Sebenrnya, air bawah tanah ini akan

berada pada bagian atas lapisan batubara dan berfungsi menahan gas yang ada

pada lapisan batubara tersebut. Dengan menurunkan tinggi air, maka tekanan

dalam reservoar akan berkurang dan dapat melepaskan CBM.

3.5.2 Proses Pembentukan Coal Bed Methane

Adapun proses terbentuknya CBM dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. Biogenic methane

Selama proses perubahan material organik menjadi batubara atau biasa

dikenal dengan proses pembatubaraan, terbentuk beberapa gas, salah satunya

adalah gas metana (CH4). Gas metana in terbentuk sebagai hasil dari aktivitas

mikrobakteri. Selama tahap awal dari proses pembentukan batubara, biogenic

methane terbentuk sebagai produk sampingan dari respirasi bakteri. Bakteri

aerobik, yaitu bakteri yang menggunakan oksigen untuk respirasi, menggunakan

oksigen bebas yang tertinggal di lapisan sedimen untuk metabolisme. Pada

lingkungan fresh water, produksi metana dimulai segera setelah oksigen habis.

Kemudian bakteri anaerobik (bakteri yang tidak menggunakan oksigen untuk

respirasi) menurunkan kandungan karbondioksida dan memproduksi metana

dengan respirasi anaerobik. Gas metana mulai terbentuk oleh proses biogenik

pada suhu sekitar 50°C.

Aktivitas bakteri sangat dipengaruhi oleh sirkulasi air. Sirkulasi air yang

baik menyebabkan gas biogenik dapat berkembang hingga tahap akhir. Selain itu,

proses pembentukan gas metana pada batubara merupakan fungsi dari tekanan,

temperatur dan waktu. Umumnya CBM terbentuk pada kedalaman yang dangkal.

Temperatut ideal yang dibutuhkan untuk bakteri metana berkisar antara 40-90°C.

Gambar di bawah ini merupakan model lapisan batubara yang menghasilkan

metana karena berhubungan dengan sirkulasi air yang baik.

18

Page 19: BAB I Final

b. Thermogenic methane

Ketika temperatur batubara di bawah permukaan meningkat hingga lebih

dari 50°C karena peningkatan gradien geotermal, proses termogenik dimulai dan

penambahan air, pembentukan karbondioksida dan nitrogen sebagai produk dari

pembatubaraan (Rightmire, 1984). Pembentukan karbondioksida mencapai

maksimum pada suhu sekitar 100°C. pembentukan termogenik metana dimulai

pada tingkat volatil batubara yang lebih tinggi dan pada suhu 120°C, jumlah

metana yang dihasilkan melebihi jumlah karbondioksida. Puncak pembentukan

metana terjadi pada suhu 150°C. Mungkin pada temperatur yang lebih tinggi dan

kelas batubara yang lebih baik, metana masih terbentuk tetapi dengan volume

yang lebih kecil (Rightmire, 1984; dalam Katz, 1987).

c. Late Biogenic

Proses ini berlangsung setelah batubara mencapai kematangan. Gas

metana terbentuk dari aktivitas bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa CBM

merupakan gas yang dapat terbaharui walaupun proses pembatubaraan sudah tidak

berlangsung lagi.

19

Page 20: BAB I Final

BAB IV

DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Geologi Batubara

Jika dilihat dari stratigrafi, Pauh-Sarolangun terdiri dari batubara,

batulumpur, batulanau, tuff, batupasir, dan sisipan batubara. Secara umum,

batubara, berwarna hitam, getas,tidak mengandung mineral, dalam batulumpur

berwarna cokelat, dengan ketebalan 3 m, terutama pada bagian bawah stratigrafi

strata I.

Gambar 5. Peta Geologi yang memperlihatkan daerah penelitian. Pada bagian (A) merupakan letak penelitian Lubuk Napal dan Sungai Belati; (B) Karangjering dan Sungai Dingin (Suwarna, et al., 1992, dalam Permana 2007)

20

Page 21: BAB I Final

Daerah Pauh - Sarolangun, penelitian telah difokuskan di Sungai Belati

Coal, Lubuk Napal, Sungai Dingin dan daerah Karangjering (Gambar 5). Sifat dan

karakteristik Batubara masing-masing daerah penelitian yang terkait dengan

potensi CBM, digambarkan sebagai berikut.

4.1.1 Sungai Belati

Sungai Belati yang tidak jauh dari Kota Sarolangun, sekitar 15 km

ke arah timur laut, merupakan lapangan batubara yang terbentuk secara baik

dan menyisip ke dalam lapisan batulumpur dan batupasir.

Tabel 1. Data hasil analisis petrografi organik dari sampel yang diambil dari Sarolangun (Permana, 2007)

Di daerah ini, terdiri atas sedimen klastik berbutir halus-sedang

yang merupakan lanjutan dari Formasi Muaraenim. Bagian atas formasi ini

21

Page 22: BAB I Final

berasal dari sedimen klastik vulkanik yang berasal dari Formasi Kasai. Dua

kolom stretigrafi menunjukan perubahan batubara, batupasir dan

batulumpur. Secara megaskopis, batubara dicirikan kilap buram, warna

cokelat kehitaman, agak keras, belahan chonchoidal. Kualitas batubara di

daerah ini sedang-rendah.

Kualitas batubara, diukur secara analisis data petrografi (tabel 1).

Hasilnya batubara Sungai Belati memiliki kandungan maseral vitrinit yang

sangat dominan (77,4%) (foto 2), dengan sedikit inertinit (13%), ekstinite

(6,8%), dan nilai dari reflektansi vitrinit sebesar 0,45%.

Gambar 6. Foto dari Singkapan Batubara yang memperlihatkan dull banded lithotype (Permana, 2007)

Hasil analisis geokimia, sampel batubara di Sungai Belati, terdiri

atas kandungan abu sebesar 0,68%, material volatil 28.57%, total sulfur

adalah 0,11-0,90%, sedangkan kadar air adalah 42,60% (Tabel 2)

22

Page 23: BAB I Final

Tabel 2. Hasil dari analisis geokimia organik pada sampel batubara dari Sarolangun (Permana, 2007)

4.1.2 Lubuk Napal

Daerah ini terletak sekitar 60 km timur laut Kota Sarolangun.

Pengambilan sampel dilakukan di dua lokasi, Pertama, tidak jauh dari jalan

Pauh ke Lubuk Napal (km-18) dan yang kedua adalah sekitar 3 km ke utara

dari daerah pertama.

Gambar 7. Singkapan batubara yang memperlihatkan dull banded lithotype di Sungai Monobegading, Lubuk Napal (Permana,2007)

23

Page 24: BAB I Final

Pada lapisan batubara di daerah tersebut, seperti pada gambar 7,

menunjukkan bahwa batubara di Sungai Monobegading berkisar dari dull

untuk lithotype banded. Namun, yang dominan adalah dull lithotype

banded. Secara megaskopis, batubara berwarna coklat kehitaman, cokelat,

beberapa lapisan sangat tipis. Ketebalan dari masing-masing sub-lapisan

batubara kurang dari 1,5 m.

Gambar 8. Kolom startigrafi menunjukan rangkaian Formasi Muaraenim Lubuk Napal (Permana, 2007)

Analisis kualitas batubara menggunakan analisis petrografi

batubara dan analisis data. Secara Petrografi, batubara Lubuk Napal yang

mengandung kelompok maseral vitrinit yang dominan (hingga 93,8%)

dengan sedikit inertinit berkisar dari 1,6% - 19,2%, dan eksinite 2,8% -

9,6% (Foto 4), nilai reflektansi vitrinit berkisar 0,46 % - 0.47%.

kemudainsecara analisis geokimia, batubara Lubuknapal mengandung abu

antara 1,05%- 6,20%, material volatil 24,39% - 33,50%, total sulfur adalah

0.13% - 1.21%, sedangkan kadar air inheren adalah dari 34,06% -40,40%.

24

Page 25: BAB I Final

Gambar 9. Photomicrograph dari hasil reflektansi virinit dari sampel 06 AP 05C. menunjukan adanya telokolinit, sklerotinit, suberinit, dan kandungan mineral (Permana, 2007)

Berdasarkan parameter yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi

batubara, kandungan Coalbed Methane yang berasal dari lapisan batubara

Lubuk Napal memiliki kadar rendah – sedang, dengan kandungan metan

berkisar antara 3,73 m3/t - 5,3 m3/t.

4.1.3 Sungai Dingin

Lokasi daerah Sungai Dingin kira-kira 40 km ke arah baratdaya dari

Kota Sarolangun. Banyak terdapat singkapan batubara sepanjang Sungai

Keruh.

Daerah Sungai Dingin merupakan lapisan batubara yang dicirikan

kilap kusam, warna coklat, kekerasan sedang-keras, resin sekitar 0,5-3,5 cm

(Gambar 5).Secara petrografi, terdiri atas kelompok maseral vitrinit yang

dominan (hingga 91,0%) dengan sedikit eksinit dari 1,4% - 3,4% (Gambar

25

Page 26: BAB I Final

5), inertinit mulai dari 0,6% - 2,4%, dan nilai dari pantulan vitrinit

bervariasi dari 0,37% - 0,40%.

Gambar 10. Kolom startigrafi menunjukan adanya sisipan batubara dalam rangakaian Formasi Muaraenim Sungai Dingin (Permana, 2007)

Selain itu, Secara geokimia, karakteristik batubara dicirikan dengan

kandungan abu dari 22,42% - 37,18%, material volatile 20,43% - 23,44%,

total sulfur adalah antara 0.44% - 0.56%, dan kadar air berkisar antara

18,01% - 22,77%.

Gambar 11. Photomicrograph dari hasil reflektansi virinit dari sampel 06 TH 21F menunjukan adanya telokolinit, eksudanit, sporinit, dan kandungan mineral (pyrit) (Permana, 2007)

26

Page 27: BAB I Final

Berdasarkan diagram Barbara-Winter, kandungan Coalbed Methane

yang berasal dari lapisan bat ubara Sungai Dingin memiliki kandungan

sedang, dengan kisaran kandungan metana sekitar 5,35 m3/t.

4.1.4 Karangjering

Daerah Karangjering terletak di antara Desa Muaralimun dan Desa

Hulumengkua, sekitar 35 km ke arah barat dari Sarolangun. Lokasi ini dapat

dicapai dengan kendaraan roda 4 langsung dari Muara Limun atau

Sarolangun. Jika dilihat dari karakteristik batubara daerah Karangjering,

memiliki kilap dull dan dull banded, warna coklat, agak keras, mengandung

resinyang menyebar (0.5 - 1,5 cm), beberapa sampel menunjukkan lapisan

sangat tipis warna cerah dengan ketebalan sekitar 0,5 mm (Gambar 6).

Gambar 12 Kolom startigrafi menunjukan adanya sisipan batubara dalam rangakaian Formasi Muaraenim Karangjering (Permana, 2007)

Kandungan batubara Karangjering terdiri dari maseral vitrinit

maceral yang dominan (40.6%) dengan sedikit inertinit (2,0%), eksinit

(1,0%), dan material mineral yang tinggi (59,4%) (Foto 6); sedangkan nilai

pantulan vitrinit sekitar 0,35%. Selain itu, batubara mengandung abu sekitar

52,40%, material volatile 13,01%, dan total sulfur 2,38%, dengan

kandungan moistur 23,9 1%.

27

Page 28: BAB I Final

Gambar 13 Photomicrograph dari hasil reflektansi virinit dari sampel 06 TH 27A menunjukan adanya telokolinit, detrovitrinit, skelotinit, pyrite dan mineral lempung (Permana, 2007)

Berdasarkan parameter yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi

batubara, kandungan coalbed methane yang berasal dari lapisan batubara

Sungai Dingin berada pada tingkat sedang, dengan kandungan metana 6,02

m3/t. (Gambar 7).

Gambar14 Mengukur in-situ gas methane di Sungai Mengkua, Karangjering, menggunakan peralatan sederhana.(Permana, 2007)

28

Page 29: BAB I Final

4.2. Pembahasan

4.2.1 Potensi Coalbed Methane dan Kualitas Batubara

Karakteristik batubara Sarolangun-Pauh menunjukkan kilap dull sampai

dull banded. Dari analisis petrografi sampel menunjukkan bahwa batubara

didominasi oleh vitrinit dengan sedikit kandungan inertinit dan eksinit. Meskipun

pada beberapa sampel menunjukkan kandungan vitrinit rendah hanya 40,6%. Dari

seluruh sampel batubara menunjukkan bahwa kadar batubara tidak termasuk

dalam kategori rendah, dan kandungan maseral eksinite rendah sampai sedang,

mulai dari 1,0% sampai dengan 9,6%. Selain itu, nilai dari pantulan vitrinit

menunjukkan 0,35% sampai dengan 0,47%, yang menunjukkan kadar batubara

rendah sampai sedang. Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik di atas, batubara

di Pauh-Sarolangun ini diprediksi memiliki memiliki potensi biogenik Coalbed

Methane. Bukti pendukung lain, yaitu hasil analisis kandungan gas metan dalam

lapisan bawah batubara daerah Sarolangun bervariasi sekitar 13,56-100%.

Rata-rata total moisture masing-masing sampel berkisar antara 18,01%

sampai 40,18%; dengan rata-rata nilai kalori sekitar 5.545-5.745 kal/g. Tetapi

terdapat sampel yang memiliki nilai kalori yang rendah di daerah Karangjering

yaitu, 1225 kkal/kg. Hal ini karena kandungan abu tinggi sekitar 52,40%.

Rata-rata kandungan abu masing-masing sampel, mulai dari 0,11% sampai

dengan 2,38%. Nilai-nilai ini berkorelasi dengan kandungan mineral lempung

(hasil analisis petrografi organik) sebesar 0,8%-52,2%. Nilai-nilai ini juga

berkorelasi dengan nilai kalori. Maka sampel ini bukan sampel batubara, tapi

mungkin serpih sisipan batubara.

Material Volatil di Sarolangun-Pauh menunjukkan bahwa beberapa sampel

berkisar antara 13,39% sampai dengan 33,50%. Kandungan material volatile di

daerah ini rendah sampai menengah, sehingga kandungan gas masuk kategori

sedang-tinggi potensi metana berkisar antara 10,68% dan 31,91%.

Meskipun karakteristik secara petrografi, tekstur cleat sangat penting yang

harus dipertimbangkan dalam semua analisis sampel. Karena akan berguna dalam

membantu menentukan kandungan potensi CBM. Secara umum, kandungan cleat

cukup sedang di semua lokasi, kecuali di wilayah Karangjering.

29

Page 30: BAB I Final

Hasil analisis SEM untuk setiap sampel, selain dari maseral dan material

organik, semua tekstur, fitur dan karakteristik lainnya secara visual dengan baik

terpapar dalam tiga dimensi. Oleh karena itu, dimensi micro-cleat atau retakan

mikro secara kuantitatif dapat diukur dalam skala mikron. Hasil pengukuran

micro-cleat atau retakan mikro yang ditemukan di setiap sampel (Panggabean dan

Hermiyanto, 2006 dalam Permana, 2007).

Fitur mikro-cleat atau retakan mikro didominasi oleh jurus meskipun

beberapa melengkung dan agak melengkung juga hadir. Open microcleats sangat

dominan dibandingkan dengan close microcleats.

Nilai micro-cleat yang cukup baik atau memiliki kepadatan tinggi

diidentifikasi dalam sampel 06 TH 21A, 06 TH 22D, dan 06 TH 23 berkisar 0,4-

0,8. Di sisi lain, nilai micro-cleat yang rendah ditemukan dalam sampel 06 TH 26,

06 TH 27B, 06 TH 28.

4.2.2 Sumber Daya Gas in-Place

Parameter yang digunakan untuk menghitung potensial gas in-place dari

Sarolangun-Pauh berdasarkan teori kandungan gas Barbara and Winter Diagram,

and Lost selama pengeboran Gas (Q1) ditambah desorption selama transportasi

gas (Q2).

Gambar 15. Diagram Barbara-Winter untuk menentukan potensi cadangan CBM

(Suwarna, N., et al.,2006)

30

Page 31: BAB I Final

Untuk menghitung secara teoritis gas in-place potensi daerah studi,

parameter penting yang diperlukan adalah kandungan material volatile dari

batubara.

Potensi atau kandungan gas in-place dari masing-masing lapisan batubara

yang dipilih akan ditampilkan sebagai berikut:

– Daerah Sungai Belati diagram Barbara-Winter menunjukkan bahwa

kandungan gas rata-rata 3,98 m3/t dari batubara.

– Daerah Lubuk Napal dan sekitarnya diagram Barbara-Winter menunjukkan

bahwa kandungan gas berkisar antara 3,73 m3/t. - 5.3 m3/t dari batubara.

– Daerah Sungai Dingin diagram Barbara-Winter menunjukkan nilai rata-rata

5,35 m3/t.

– Daerah Karangjering dan sekitarnya Diagram barbara / winter menunjukkan

kandungan gas rata-rata 6,02 m3/t dari batubara.

Dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan parameter yang mempengaruhi

kapasitas adsorpsi batubara (diagram Barbara Winter), kandungan gas yang

berasal dari lapisan batubara Sarolangun berada pada tingkat rendah sampai

sedang, dengan kandungan metana dari 2,89 m3/ t - 6,02 m3/t.

Selain itu, gas dalam reservoir CBM disimpan dalam matriks batubara oleh

sorption. Persamaan berikut (Aminian, 2007 dalam Permana, 2007) umumnya

digunakan untuk memperkirakan total adsorbed awal gas dalam reservoir CBM.

Seperti dapat dilihat dari Persamaan, rata-rata konten gas, ketebalan

batubara, reservoir atau drainase yang baik, dan rata-rata massa jenis batubara

insitu adalah parameter yang dibutuhkan untuk memperkirakan gas in-place

dalam reservoir CBM. Dari parameter ini, potensi gas in-place dari setiap lapisan-

lapisan batubara sebagai berikut:

– Daerah Sungai Belati menunjukkan bahwa kandungan gas sekitar

338,001,354.6234 SCF.

– Daerah Lubuk Napal dan sekitarnya menunjukkan bahwa kandungan gas 743,

232,370.6576 SCF.

31

Page 32: BAB I Final

– Sungai Dingin daerah dan sekitarnya menunjukkan bahwa kandungan gas

sekitar 419.343.508.7245 SCF.

Selain itu, menurut parameter tersebut dapat disimpulkan bahwa lapisan

batubara Sarolangun rata-rata memiliki kandungan gas sekitar 500, 189,411.3382

SCF.

32

Page 33: BAB I Final

BAB V

KESIMPULAN

– Hasil analisis petrografi, batubara secara umum terdiri dari vitrinit yang

dominan, dengan sedikit inertinit, exinite, dan mineral lainnya. Pengukuran

pantulan vitrinit menunjukkan nilai rata-rata berkisar dari 0,35% sampai

0,47%. Selain itu, Karakteristik batubatubara Sarolangun-Pauh umumnya

memiliki lithotype dari dull sampai dull banded, tetapi didominasi oleh dull.

Hal tersebut menunjukan bahwa sampel batubara termasuk kategori sedang –

tinggi.

– Hasil analisis geokimia menunjukkan bahwa batubara secara umum batubara

mengandung material volatile bervariasi dari 13,39% sampai dengan 33,50%,

total sulfur 0,11-2,38%, kandungan abu antara 0,11% sampai dengan 2,38%,

dan kandungan moisture dari 18,01% hingga 40,18%.

– Dengan menggunakan Diagram Barbara-Winter diperkirakan potensi

Coalbed Methane daerah Sungai Belati sekitar 33,8 TCF. Sedangkan, di

Lubuk Napal kandungan gas mencapai 74,3 TCF, sementara di Sungai Dingin

dan sekitarnya kandungan gas sekitar 41,9 TCF. Dan Sarolangun rata-rata

memiliki kandungan gas sekitar 50,18 TCF

33

Page 34: BAB I Final

DAFTAR PUSTAKA

Ardiasyah, H. 2009. Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan, e-book. 80

KB; http://hidayatardiansyah.files.com/2008/07blake.htm. Tgl. 31/10/09

Pkl. 19.06

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2002. Rekaman Kegiatan dan

Pengembangan Geologi 2001. Bandung: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi. Hal. 101 – 124

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2003. Rekaman Kegiatan dan

Pengembangan Geologi 2002. Bandung: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi. Hal. 282 – 284.

Kelembagaan dan Kelitbangan Pusat Survei Geologi. 2006. Laporan Tahunan

2006. Bandung: Pusat Survei Geologi. Hal. 133 -144

Kelembagaan dan Kelitbangan Pusat Survei Geologi. 2007. Laporan Tahunan

2007. Bandung: Pusat Survei Geologi. Hal. 163 -165

Permana, A.K. 2007. Coal Characteristics of Sarolangun – Pauh Region:

Implication for Coalbed Methane Potential. Bandung: Jurnal Sumber

Daya Geologi Vol. 18 No. 6 Hal. 351 – 360

Suwarna, N., Hermanto, B., Sihombing, T., Kusumah, K.D., 2006. Coalbed

Methane Potential and Coal Characteristics in the Lati region, Berau

basin, East Kalimantan. Bandung: Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 1

Maret 2006. Hal. 19-30

34

Page 35: BAB I Final

LAMPIRAN- LAMPIRAN

35

LAMPIRAN I

REFERENSI UTAMA: Permana A.K., 2007. Coal Characteristics of Sarolangun

– Pauh Region: Implication for Coalbed Methane Potential”. Bandung: Jurnal

Sumber Daya Geologi Vol. 18 No. 6 Bulan Desember 2008, Hal. 351 – 360.