BAB I FE

108
BAB I PENGANTAR I.1 Latar Belakang Perkembangan industri di Indonesia dewasa ini selain membawa keuntungan dan kesejahteraan umat manusia, juga membawa dampak negatip bagi lingkungan sekitar misalnya pencemaran oleh limbah industri. Limbah industri ini dapat berbentuk padat, cair dan gas. Limbah cair yang dapat berupa air limbah biasanya mengandung senyawa anorganik antara lain ion-ion logam berat maupun senyawa organik seperti fenol dan turunannya. Keberadaan fenol sebagai polutan biasanya berasal dari industri petroleum dan migas, industri pulp dan kertas, rumah sakit, industri plastik dan industri kayu, sehingga fenol potensial untuk mencemari lingkungan perairan. Kehadiran senyawa fenol maupun fenol terklorinasi seperti senyawa p-klorofenol, 1

Transcript of BAB I FE

Page 1: BAB I FE

BAB I

PENGANTAR

I.1 Latar Belakang

Perkembangan industri di Indonesia dewasa ini selain membawa

keuntungan dan kesejahteraan umat manusia, juga membawa dampak

negatip bagi lingkungan sekitar misalnya pencemaran oleh limbah industri.

Limbah industri ini dapat berbentuk padat, cair dan gas. Limbah cair yang

dapat berupa air limbah biasanya mengandung senyawa anorganik antara

lain ion-ion logam berat maupun senyawa organik seperti fenol dan

turunannya. Keberadaan fenol sebagai polutan biasanya berasal dari

industri petroleum dan migas, industri pulp dan kertas, rumah sakit,

industri plastik dan industri kayu, sehingga fenol potensial untuk

mencemari lingkungan perairan.

Kehadiran senyawa fenol maupun fenol terklorinasi seperti senyawa

p-klorofenol, diklorofenol, triklorofenol, tertraklorofenol dan pentaklorofenol

di perairan dapat berbahaya bagi lingkungan. Hal ini karena senyawa

fenol maupun fenol terklorinasi merupakan polutan yang mempunyai

toksisisitas yang tinggi dan bersifat karsinogen (pemicu kanker). Oleh

karena itu kandungan fenol (fenol total) di dalam limbah cair yang

diperbolehkan sesuai Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

Nomor 42/MENLH/10/1996 tidak boleh lebih dari 2,0 mg/L. Rendahnya

batas ambang konsentrasi fenol dalam perairan mendorong dilakukannya

1

Page 2: BAB I FE

berbagai penelitian untuk menurunkan konsentrasi fenol atau

menghilangkan fenol dari air limbah.

Pengolahan fenol dan turunannya dapat dilakukan secara fisika,

biologi maupun kimia. Secara fisika, penanganan klorofenol dapat

dilakukan dengan cara adsorpsi menggunakan karbon aktif maupun zeolit

alam sebagai adsorben. Metode adsorpsi ini relatif sederhana dan

memberikan hasil yang efektif. Pengolahan fenol secara biologi, biasanya

dilakukan dengan cara peruraian menggunakan berbagai mikroorganisme

seperti Pseudomonas sp., yang juga disebut biodegradasi. Biodegradasi

p-klorofenol dalam kondisi anaerob dapat menguraikan senyawa tersebut

menjadi gas metana dan gas karbon dioksida dalam waktu yang relatif

cepat, sedangkan dalam kondisi aerob p-klorofenol dapat terdegradasi

menjadi CO2 dan H2O, tetapi memerlukan waktu yang relatif lama.

Degradasi klorofenol secara kimia dapat dilakukan antara lain

dengan cara oksidasi dan fotodegradasi. Secara oksidasi, oksidan yang

telah digunakan antara lain ozon dan hidrogen peroksida, yang sangat

efektif untuk pemecahan cincin benzena. Metoda oksidasi ini kurang

ekonomis karena memerlukan jumlah oksidan yang banyak dan

menghasilkan limbah bahan kimia.

Pada dasarnya klorofenol dapat mengalami degradasi secara

alamiah oleh cahaya matahari yang disebut fotodegradasi, namun

berlangsung secara lambat. Hal ini dapat mengakibatkan akumulasi yang

lebih cepat daripada degradasinya, sehingga konsentrasi p-klorofenol

2

Page 3: BAB I FE

akan terus meningkat sampai tingkat yang berbahaya. Peningkatan

efektivitas fotodegradasi fenol dapat dilakukan dengan menggunakan

fotokatalis antara lain Fe2O3, ZnO, CdS, dan TiO2. Kemampuan fotokatalis

berasal dari struktur elektronik yang dikarakterisasi oleh energi band gap

(Eg) antara 2,2 sampai dengan 3,5 eV. Di antara semikonduktor tersebut,

TiO2 paling sering diaplikasikan ke lingkungan daripada semikonduktor

yang lain. Hal ini karena TiO2 mempunyai harga energi band gap (Eg)

sebagai parameter fotokatalis yang cukup tinggi yaitu 3,0 eV untuk jenis

rutile dan 3,2 eV untuk jenis anatase. Selain mempunyai harga Eg yang

cukup tinggi, TiO2 mempunyai kestabilan yang tinggi terhadap proses

biologi dan kimia. Penggunaan fotokatalis TiO2 dalam fotodegradasi

senyawa fenol ini telah sering dikaji di laboratorium maupun diterapkan

pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) industri.

Selain oleh adanya fotokatalis TiO2, fotodegradasi juga dapat

ditingkatkan dengan adanya pemeka (sensitizer) yang berupa ion seperti

ion Fe (III). Sementara itu, suatu perairan sering menerima pembuangan

air limbah yang tidak hanya mengandung fenol, tetapi juga mengandung

TiO2 dan berbagai jenis ion logam seperti ion Fe(III), yang berasal dari

limbah industri cat, kosmetik, dan pelapisan logam. Dalam perairan

tersebut, jika ada sinar matahari yang cukup dan pH yang sesuai, maka

dapat terjadi degradasi p-klorofenol yang efektivitasnya dipengaruhi oleh

ion Fe(III). Sampai saat ini, fenomena tersebut belum banyak mendapat

perhatian. Oleh karena itu untuk membuktikan hal tersebut, dalam

3

Page 4: BAB I FE

penelitian ini akan dilakukan kajian pengaruh ion Fe(III) terhadap hasil

fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dalam skala laboratorium.

Mengingat bahwa berlangsungnya proses fotodegradasi dapat

dipengaruhi oleh fotokatalis, reaktan, maupun kondisi proses, maka pada

penelitian ini telah dipelajari pengaruh jumlah fotokatalis, konsentrasi p-

klorofenol, konsentrasi ion Fe(III), dan pengaruh pH larutan terhadap hasil

fotodegradasi p-klorofenol. Selain itu, juga ditentukan efek proses

fotokatalisis terhadap kristalinitas TiO2, dan ion Fe(III). Senyawa-senyawa

hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dengan adanya ion

Fe(III) akan ditentukan jenis strukturnya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar

desain penanganan limbah p-klorofenol secara alamiah dan sinergis,

misalnya pembuangan limbah p-klorofenol dilakukan di perairan yang

sama dengan pembuangan air limbah yang mengandung TiO2 dan ion

Fe(III). Pengolahan limbah secara alamiah atau self-treatment yang murah

dan efektif ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu di bidang lingkungan dan industri, khususnya dalam

teknologi penanganan air limbah.

4

Page 5: BAB I FE

I.2. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum penelitian adalah mengkaji pengaruh adanya ion

Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi senyawa p-klorofenol

terkatalisis TiO2.

2. Tujuan Khusus dalam penelitian ini adalah :

a. Menentukan rasio konsentrasi p-klorofenol terhadap massa

TiO2 dan konsentrasi awal p-klorofenol minimum yang dapat

menghasilkan fotodegradasi p-klorofenol yang maksimum.

b. Mempelajari pengaruh adanya ion Fe(III) dan konsentrasi ion

Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol yang

terkatalisis TiO2.

c. Mempelajari pengaruh pH larutan terhadap efektivitas

fotodegradasi senyawa p-klorofenol yang terkatalisis TiO2

dengan adanya ion Fe(III).

5

Page 6: BAB I FE

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Tinjauan Pustaka

Senyawa fenol dan turunannya misalnya p-klorofenol, dalam

perairan diketahui sebagai polutan yang berbahaya karena bersifat

karsinogenik (pemicu kanker) dan beracun (U.S. EPA, 1996). Usaha

penanganan fenol dalam skala laboratorium telah banyak dilakukan,

antara lain dengan cara fisika, biologi dan kimia. Secara fisika antara lain

dengan cara adsorpsi menggunakan karbon aktif (Hu et al., 2000) dan

zeolit alam (Sulistiyani dkk., 2000). Metoda adsorpsi dengan adsorben

karbon aktif merupakam metoda yang relatif sederhana dan efektif, namun

memerlukan biaya mahal. Selain itu, jika adsorben tersebut telah jenuh

dengan fenol, maka bahan ini akan menjadi limbah padat. Adsorpsi yang

lebih murah adalah dengan menggunakan zeolit alam yang tersedia

melimpah di Indonesia. Zeolit alam telah dibuktikan dapat berfungsi

sebagai adsorben dengan kapasitas yang cukup besar. Zeolit alam dapat

menyerap fenol yang bersifat polar karena memiliki sisi aktif seperti

hidroksil, (SiO4)4- dan (AlO4)5- yang juga bersifat polar (Brus, 1986).

Penanganan fenol secara biologi dilakukan dengan menggunakan

berbagai jenis mikroorganisme. Penggunaan mikroorganisme Clostridium

sp., Methanospirillum hungatii, dan Methanosarcina barkeri, yang bekerja

pada kondisi anaerob dapat mendegradasi 2,2-diklorofenol menjadi gas

6

Page 7: BAB I FE

metana dan gas karbon dioksida. Selain itu biodegradasi dengan

mikroorganisme Arthrobacter sp. dan Pseudomonas sp. pada kondisi

aerob dapat mendegradasi p-klorofenol menjadi CO2 dan H2O. Degradasi

klorofenol secara biologi (biodegradasi) pada kondisi aerob maupun

anaerob memerlukan waktu yang relatif lama (Sulfita dan Miller dalam

Chauldry, 1994).

Degradasi klorofenol secara kimia dapat dilakukan dengan berbagai

cara, salah satunya adalah oksidasi. Oksidan yang telah digunakan antara

lain ozon (Prado et al., 1994 dan Jung, 2001) dan hidrogen peroksida

(Zepp et al., 1992 dan Ghaly et al, 2001), yang sangat efektif untuk

pemecahan cincin benzena. Metode oksidasi biasanya kurang ekonomis

karena memerlukan jumlah oksidan yang banyak, dan menghasilkan

limbah bahan kimia.

Metoda kimia lain yang dikembangkan untuk mendegradasi fenol

dan turunannya adalah metoda fotodegradasi. Proses fotodegradasi

adalah peruraian dengan menggunakan energi foton yang dapat berasal

dari matahari maupun lampu UV. Proses fotodegradasi secara alamiah

yaitu dengan cahaya matahari biasanya berlangsung lambat. Oleh karena

itu telah dikembangkan berbagai macam fotokatalis untuk mempercepat

proses fotodegradasi tersebut, antara lain Fe2O3, ZnO, CdS dan TiO2.

Penggunaan TiO2 untuk mempercepat reaksi fotodegradasi fenol

telah dilaporkan oleh Hoffmann et al. (1995) dan Linsebigler et al. (1995).

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fotodegradasi fenol dengan

7

Page 8: BAB I FE

katalis TiO2 berlangsung lebih efektif daripada tanpa katalis. Peiro, et al.

(2001) juga telah membuktikan bahwa aktivitas fotokatalis TiO2 dalam

mendegradasi senyawa organik cukup tinggi, dan penggunaan TiO2

dengan berat yang bervariasi menghasilkan pengaruh yang berbeda

terhadap penurunan konsentrasi polutan organik.

Penelitian aktivitas fotokatalitik TiO2 yang diembankan dalam

beberapa jenis zeolit seperti zeolit X dan zeolit Y untuk mendegradasi

asetofenon dalam medium cair telah dilaporkan oleh Liu et al. (1993), Xu

and Langford (1997). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

kemampuan fotokatalitik TiO2–zeolit lebih besar daripada TiO2 saja. Telah

dilaporkan pula oleh Vinodgopal et al. (1993) bahwa penggunaan

fotokatalis TiO2 yang diembankan pada elektroda memberikan hasil

degradasi p-klorofenol yang lebih tinggi daripada serbuk TiO2.

Selain itu, kajian fotodegrdasi fenol atau zat organik yang terkatalisis

TiO2 oleh adanya berbagai logam juga telah dilaporkan. Dominguez et al.

(1998) telah melakukan oksidasi fotokatalitik oleh TiO2 dengan adanya

FeCl3 untuk mendegradasi polutan-polutan organik dalam air seperti

dodesilbenzensulfonat (DBS), azynphos methyl dan dimethoate. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa selama 150 menit DBS mengalami

fotodegradasi sebesar 30% dengan adanya TiO2, dan terdegradasi 70%

oleh adanya campuran TiO2 dan FeCl3. Selama 20 menit azynphos methyl

mengalami fotodegradasi 85% oleh adanya FeCl3, dan dapat terdegradasi

100% dengan TiO2. Namun bila menggunakan campuran TiO2 dan FeCl3,

8

Page 9: BAB I FE

azynphos methyl dapat terdegradasi 100% selama 2 menit. Jadi adanya

ion Fe(III) dapat meningkatkan secara nyata efektifitas fotodegradasi

senyawa-senyawa organik yang terkatalisis TiO2.

Brezova et al. (1995) dan Shul’pin et al. (1997) juga telah

mempelajari pengaruh ion-ion logam terlarut seperti Ca2+, Mg2+, Ni2+,

Zn2+, Mn2+, Co2+, Cu2+, Cr3+, dan Fe3+ terhadap efektifitas fotodegradasi

fenol terkatalisis TiO2. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Ca2+,

Mg2+, dan Ni2+ tidak mempunyai pengaruh terhadap laju degradasi fenol,

sedangkan Mn2+, Co2+, dan Cu2+ menghambat fotodegradasi fenol, Cr3+

dapat menghentikan degradasi fotokatalitik fenol, sementara itu Fe3+dapat

meningkatkan degradasi fenol.

Dari berbagai hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, dapat

diketahui bahwa di antara ion-ion logam yang telah dikaji, ion Fe(III)

adalah salah satu ion logam yang dapat meningkatkan fotodegradasi fenol

yang terkatalisis TiO2. Hal ini karena Fe(III) pada pH>4 yang berada

sebagai Fe(OH)2+, Fe(OH)2+, Fe2(OH)2

4+ atau Fe(OH)3 setelah menyerap

energi foton (hv) dapat menghasilkan radikal OH, yang merupakan

oksidator kuat (Brezova et al., 1995).

Penggunaan Fe2O3 dan FeO-Zeolit sebagai fotokatalisis terhadap

hasil fotodegradasi fenol telah dilaporkan oleh Wahyuni (2003). Hasil

penelitian diperoleh bahwa fotodegradasi fenol meningkat dengan

menggunakan fotokatalis FeO-Zeolit daripada Fe2O3 saja.

9

Page 10: BAB I FE

Sejauh ini kajian efek pH dan konsentrasi Fe(III) terhadap

fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 belum banyak dilaporkan.

Oleh karena itu pada penelitian ini telah dilakukan kajian pengaruh pH dan

konsentrasi ion Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi senyawa

p-klorofenol yang terkatalisis TiO2.

II. 2 Landasan Teori

II. 2. 1 Senyawa p-klorofenol

Senyawa p-klorofenol atau 4-klorofenol merupakan fenol yang

tersubstitusi oleh klor pada posisi para yang mempunyai rumus molekul

C6H4OHCl dengan struktur molekul sebagai Gambar 1.

Gambar 1. Struktur molekul p-klorofenol

Sifat fisika p-klorofenol merupakan kristal putih kekuningan yang

berbau khas fenol, mempunyai densitas 1,224 g/mL pada suhu 20 ºC, titik

lebur 41-43 ºC, dan titik didih 217–220 ºC. Senyawa ini bersifat asam,

sangat mudah larut dalan aseton, alkohol, benzen, kloroform, eter dan

metanol, dan sedikit larut dalam air (Merck, 2000; NIOSH, 1994).

Pembakaran terhadap senyawa p-klorofenol akan menghasilkan HCl

dan Cl2 yang bersifat racun dan korosif. Senyawa para-klorofenol sangat

10

OH

Cl

Page 11: BAB I FE

berbahaya bagi manusia, antara lain jika terhirup dapat mengganggu

pernapasan, kontak dengan mata dapat menyebabkan iritasi, jika kontak

dengan kulit dapat menyebabkan kulit melepuh dan sangat beracun jika

tertelan. Tindakan pencegahan untuk keselamatan adalah setelah kontak

dengan kulit, maka kulit harus segera dicuci dengan air yang cukup.

Senyawa p-klorofenol dapat mengalami oksidasi sehingga dapat

berperan sebagai reduktor. Fenol dan fenol terklorinasi dapat mengalami

biodegradasi oleh adanya bakteri tertentu. Pada umumnya semakin

banyak jumlah klor yang terikat pada fenol, maka laju biodegradasi

aerobik semakin menurun. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya proses

biodegradasi p-klorofenol secara aerobik adalah 2 hari untuk fenol, 14 hari

untuk 2-klorofenol, >72 hari untuk 3-klorofenol, 2,4,5-triklorofenol, 2,3,4,6-

tetraklorofenol dan pentaklorofenol, 9 hari untuk p-klorofenol dan

2,4-diklorofenol serta 5 hari untuk 2,4,6-triklorofenol (Aleksander dan

Aleem dalam Chauldry, 1994).

Senyawa p-klorofenol dalam suasana asam lebih mudah

melepaskan ion klorida daipada suasana basa, sehingga pada suasana

asam p-klorofenol lebih mudah menjadi senyawa fotoaktif dan mudah

terdegradasi menjadi senyawa lain yang lebih sederhana. Senyawa

p-klorofenol dapat mengalami reaksi fotooksidasi menjadi hidrokuinon,

p-benzokuinon, hidroksi p-benzokuinon, p-klorokatekol dan asam-asam

karboksilat, dan jika fotodegradasi berlangsung secara sempurna maka

11

Page 12: BAB I FE

akan menghasilkan CO2, HCl dan H2O (Hoffman et al., 1995, Alemany

et al., 1997, Burrows et al., 1998).

II. 2. 2 Titanium oksida (TiO2)

Sifat TiO2. TiO2 merupakan kristal yang berwarna putih dengan

indeks bias sangat tinggi dan titik lebur 1855 ºC. Kristal ini bersifat asam

yang tidak larut dalam air, asam klorida, asam sulfat encer dan alkohol,

tetapi larut dalam asam sulfat pekat dan asam fluorida (Merck, 2000).

TiO2 mempunyai 3 bentuk struktur kristal yaitu rutile, anatase dan brookite.

Rutile dan anatase mempunyai struktur tetragonal dengan tetapan kisi

kristal dan sifat fisika yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan sifat TiO2 jenis rutile dan anatase (Fujishima et al., 1999)

Sifat Rutile Anatase

Bentuk kristal Tetragonal Tetragonal

Tetapan kisi-kisi a 4,58 Ǻ 3,78 Ǻ

Tetapan kisi-kisi c 2,95 Ǻ 9,49 Ǻ

Berat jenis 4,2 3,9

Indeks bias 2,71 2,52

Kekerasan 6,0-7,0 5,5-6,0

Permitivitas 114 31

Titik didih 1858ºC berubah menjadi rutile pada temperatur tinggi

12

Page 13: BAB I FE

Struktur rutile lebih stabil pada temperatur tinggi, sedangkan anatase

lebih stabil pada temperatur rendah. Brookite mempunyai struktur

ortorombik yang sulit dibuat dan jarang ditemukan. Titanium oksida relatif

melimpah dalam kulit bumi yaitu sekitar 0,6 %. Mineral TiO2 yang utama

adalah FeTiO3 (ilmenite) dan CaTiO3 (perovskite).

Sebagai fotokatalis, spesies aktif dari TiO2 dalam larutan berair

adalah >TiOH. Keberadaan >TiOH dari dapat dilihat dari persamaan

reaksi berikut:

>TiOH2 pKa1 >TiOH + H+ + e- pKa1 = 4,5 (1)

>TiOH pKa2 >TiO- + H+ pKa2 = 8,0 (2)

Dari persamaan reaksi 1 dan 2 terlihat bahwa >TiOH stabil pada pH 4,5

sampai dengan pH 8 (Hoffmann et al., 1995).

Kegunaan TiO2. TiO2 dapat dipergunakan antara lain sebagai

pigmen dalam industri cat, pemutih pada industri kosmetik, dan fotokatalis.

TiO2 dapat berfungsi sebagai fotokatalis yaitu mempercepat reaksi yang

diinduksi oleh cahaya karena mempunyai struktur semikonduktor yaitu

struktur elektronik yang dikarakterisasi oleh adanya pita valensi (valence

band; vb) terisi dan pita konduksi (conduction band; cb) yang kosong.

Kedua pita tersebut dipisahkan oleh celah yang disebut energi celah pita

(band gap energy; Eg). Eg TiO2 jenis anatase sebesar 3.2 eV dan jenis

rutile sebesar 3.0 eV, sehingga jenis anatase lebih fotoreaktif daripada

jenis rutile (Hoffmann et al., 1995; Fujishima et al., 1999). Secara umum,

13

Page 14: BAB I FE

cara kerja suatu fotokatalis digambarkan oleh Hoffmann et al. (1995),

yang disajikan dalam Gambar 2.

Keterangan : 1. Pembentukan muatan oleh foton 2. Rekombinasi pembawa muatan 3. Inisiasi reaksi oksidasi

4. Inisiasi reaksi reduksi5. Reaksi termal lanjutan6. Trapping elektron7. Trapping hole

Gambar 2. Mekanisme fotokatalitik TiO2

(Hoffmann et al., 1995)

Gambar 2 menunjukkan tahapan utama mekanisme fotokatalitik

TiO2 yaitu :

1. Pembentukan muatan oleh foton: Jika fotokatalis dikenai radiasi

foton (hv) dengan energi hv yang besarnya sama atau melebihi

energi celahnya (Eg), maka satu elektron akan tereksitasi ke dalam

pita konduksi (evb-) dengan meninggalkan lubang pada pita valensi

(hvb+).

14

eeb-

hvb+

4

3

Oksidator

Oksidator-

Reduktor+

Reduktor

CO2 , Cl- , H+ , H2O

7

5

6

Ti

Ti

2 1hv

HO

Page 15: BAB I FE

2. Rekombinasi pembawa muatan: Hole (lubang) pada pita valensi

(hvb+) dapat bertindak sebagai oksidator yang cukup kuat dan dapat

bergabung dengan elektron pada pita konduksi (ecb-) sambil

melepaskan panas.

3. Jika di dalam sistem terdapat substrat (misalnya p-klorofenol) yang

dapat teroksidasi maka lubang pada pita valensi (hVb+) akan

menginisiasi reaksi oksidasi terhadap substrat tersebut.

4. Jika di dalam sistem terdapat suatu oksidator (misalnya oksigen)

maka dapat terjadi inisiasi reaksi reduksi oleh elektron pada pita

konduksi (ecb-).

5. Reaksi fotoreduksi terkatalisis dan reaksi termal lanjutan ( misalnya

reaksi hidrolisis atau reaksi dengan oksigen aktif) akan

menghasilkan gas CO2, H+, Cl-, dan H2O.

6. Penjebakan (trapping) elektron pada pita konduksi (ecb-) ke

permukaan fotokatalis Ti(IV)OH membentuk Ti(III)OH.

7. Penjebakan (trapping) lubang pada pita valensi (hVb+) ke dalam

permukaan gugus titanol menghasilkan radikal OH. Radikal OH

pada permukaan Ti(IV)OH dapat bertindak sebagai oksidator.

Dengan demikian jelas bahwa peran fotokatalis adalah

menyediakan spesies oksidator yaitu lubang pada pita valensi (hvb+) dan

radikal OH, yang akan meningkatkan efektifitas reaksi fotodegradasi

suatu substrat seperti senyawa p-klorofenol. Tahapan reaksi fotokatalisis

TiO2 tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

15

Page 16: BAB I FE

1. Pembentukan pembawa muatan oleh foton (cahaya).

TiO2 + hv >Ti (IV) OH + hvb+ + ecb

- (3)

2. Trapping pembawa muatan.

hvb+ + >TiIV OH (>Ti IV OH )+ (4)

ecb- + >Ti IVOH ( >Ti III OH) (5)

ecb- + >Ti IV >Ti III (6)

3. Rekombinasi pembawa muatan

ecb- + (>Ti IVOH )+ >Ti IVOH (7)

hvb+ + (>Ti III OH) >TiIVOH (8)

4. Ttransfer muatan antar muka

(>Ti IV OH)+ + Red >TiIV OH + Red+ (9)

ecb- + Oks >TiIV OH + Oks (10)

(Hoffmann et al., 1997).

dimana >TiOH = bentuk terhidrat dari TiO2

Red (reduktant) = pendonor elektron

Oks (oksidant) = akseptor elektron

(>Ti IV OH)+ = permukaan dari penjebakan hvb+ (radikal OH)

(>Ti III OH) = permukaan dari penjebakan ecb-

Dengan demikian (>Ti IV OH)+ akan mengoksidasi senyawa organik

misalnya p-klorofenol menjadi senyawa yang fotoaktif atau senyawa yang

lebih sederhana.

16

Page 17: BAB I FE

II. 2. 3 Proses fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2

Reaksi fotodegradasi atau reaksi perusakan senyawa organik pada

dasarnya merupakan reaksi oksidasi yang diinduksi oleh cahaya

UV/Visibel. Reaksi tersebut dapat berlangsung apabila dalam suatu

sistem terdapat sumber cahaya, substrat, oksigen dan fotokatalis.

Penyedia energi foton dapat berasal dari sinar matahari atau lampu UV,

substrat biasanya berupa senyawa organik yang dapat menyerap radiasi

UV/Vis seperti p-klorofenol. Jika senyawa organik tersebut menyerap

radiasi UV maka akan teraktifkan menjadi senyawa fotoaktif yang kurang

stabil dan selanjutnya senyawa ini akan terurai menjadi senyawa-senyawa

yang lebih sederhana.

Selain itu, molekul-molekul H2O yang telah menyerap radiasi UV

akan membentuk radikal OH yang dapat mendegradasi senyawa

p-klorofenol. Namun karena radikal OH yang dihasilkan relatif sangat

rendah maka pada umumnya reaksi ini berjalan lambat. Penyerapan

radiasi ultraviolet oleh molekul H2O dan oksigen terlarut juga dapat

menghasilkan radikal OH maupun radikal HO2 yang berfungsi sebagai

oksidator dan dapat mengoksidasi p-klorofenol.

Degradasi senyawa organik dapat meningkat dengan adanya radikal

OH yang tidak hanya berasal dari molekul H2O, tetapi juga berasal dari

permukaan fotokatalis. Jumlah radikal OH yang disediakan oleh

fotokatalis ini jauh lebih banyak daripada yang berasal dari H2O. Oleh

17

Page 18: BAB I FE

karena itu reaksi fotodegradasi dapat berlangsung lebih efektif dengan

adanya fotokatalis.

Fotokatalis TiO2 setelah menyerap foton, dapat menghasilkan

spesies hvb+ dan ecb

-. Spesies hvb+ bila bereaksi dengan >TiIVOH dapat

menghasilkan radikal OH. Sementara itu, spesies hvb+ dan spesies ecb

-

dapat bergabung kembali (rekombinasi) sambil melepaskan panas. Jika

hal ini terjadi maka jumlah radikal OH akan berkurang, sehingga terjadi

penurunan efektivitas dari fotokatalis. Rekombinasi ini dapat dicegah

dengan penambahan O2 sehingga pembentukan radikal OH pada

permukaan fotokatalis oleh adanya hvb+ tidak berkurang. Penyediaan

oksigen ke dalam sistem reaksi dapat dilakukan dengan cara mengalirkan

gas oksigen ke dalam sistem sampai jenuh sebelum sistem disinari

dengan lampu UV. Reaksi fotodegradasi p-klorofenol dapat dituliskan

sebagaimana yang diusulkan oleh Hoffmann et al. (1995) dalam

Gambar 3.

Gambar 3 menunjukkan bahwa bila senyawa p-klorofenol (4-CP)

bereaksi dengan radikal OH maka senyawa tersebut akan teroksidasi

menjadi 4-klorodihidroksi-fenil radikal (4-CD). Selanjutnya 4-CD dapat

mengalami reduksi menjadi hidroquinon (HQ) dan ion klorida. Selain

mengalami reduksi, 4-CD juga mengalami reaksi oksidasi dengan spesies

aktif (seperti HO2 atau OH) menjadi 4-klorokatekol (4-CC).

Senyawa p-klorokatekol tersebut dapat terhidrolisis membentuk senyawa

dengan cincin benzen terbuka dan terhidrolisis lagi menjadi senyawa

18

Page 19: BAB I FE

karboksilat sambil melepaskan HCl. Selanjutnya senyawa karboksilat

akan terurai menjadi CO2 dan H2O (Hoffmann et al., 1995). Menurut

Alemany et al. (1997), hidrokuinon juga dapat terurai menjadi asam

asetat dan asam karboksilat. Selanjutnya asam asetat dan karboksilat

terurai menjadi CO2 dan H2O.

Gambar 3. Mekanisme Fotodegradasi p-klorofenol terkatalis TiO2

(Hoffmann et al., 1995)

Efektivitas proses fotodegradasi terkatalisis dapat dipengaruhi oleh

katalis, reaktan dan kondisi proses. Peran katalis dapat diwakili oleh

jumlah fotokatalis. Jumlah fotokatalis akan menentukan jumlah permukaan

19

OH

Cl

> TiOH+

OH

Cl OH

OH

OH

OH

O Cl

OH+ le

le- 1 H-atom

H2O

4-CP 4-CD 4 C-C

HQ

+ Cl-

+ HCl

H2O

CO2 + H2O

OH CClO

CH2OH

OH

CH2OH

COOH

Page 20: BAB I FE

fotokatalis yang dapat menyediakan radikal OH. Dengan demikian,

jumlah radikal OH yang besar dapat meningkatkan efektivitas reaksi

fotodegradasi p-klorofenol.

Peran reaktan dapat berkaitan dengan konsentrasi reaktan tersebut

dalam sistem reaksi. Dengan kenaikan konsentrasi larutan p-klorofenol,

berarti jumlah tumbukan antar molekul p-klorofenol dan tumbukan antara

p-klorofenol dengan radikal OH bertambah banyak sehingga efektivitas

proses fotodegradasi p-klorofenol juga meningkat.

Kondisi proses yang berpengaruh antara lain pH dan lama waktu

penyinaran. pH larutan mempengaruhi spesiasi p-klorofenol, fotokatalis

TiO2, maupun ion Fe(III). Mengingat bahwa spesies-spesies tersebut

menentukan kemudahan proses fotodegradasi maka pH larutan juga

dapat berpengaruh terhadap efektivitas proses fotodegradasi. Spesiasi

p-klorofenol dan fotokatalis telah dikemukakan pada sub bab sebelumnya.

Lama waktu penyinaran dengan lampu UV dalam proses

menggambarkan lama interaksi (kontak) antara fotokatalis dengan cahaya

(hv) dan kontak antara radikal OH dengan substrat p-klorofenol. Semakin

lama waktu penyinaran maka semakin banyak energi foton yang diserap

oleh fotokatalis, sehingga radikal OH yang terbentuk pada permukaan

fotokatalis semakin banyak. Selain itu, semakin lama waktu penyinaran

berarti waktu kontak antara fotokatalis dengan larutan p-klorofenol juga

semakin lama. Hal ini akan meningkatkan efektivitas proses fotodegradasi

p-klorofenol.

20

Page 21: BAB I FE

II. 2. 4 Spesiasi besi

Besi merupakan logam yang melimpah kedua di alam sesudah

alumunium, dan unsur keempat yang melimpah di kulit bumi. Di alam, bijih

besi yang utama adalah hematite (Fe2O3), magnetite (Fe3O4), limonite

[FeO(OH)] dan siderite (FeCO3) (Cotton and Wilkinson, 1989). Besi

memiliki tingkat oksidasi +2, +3, +4, dan +6. Besi dengan tingkat oksidasi

+4, dan +6 tidak stabil, sedangkan besi dengan tingkat oksidasi +2 dan +3

adalah stabil. Spesiasi besi(II) dan besi(III) dalam suatu larutan

merupakan fungsi pH, seperti diperlihatkan pada Gambar 4 dan Gambar

5. Angka 1,0; 1,1; 1,2 dll. pada Gambar 4 dan 5 sebagai x,y dimana x

adalah jumlah atom Fe dan y adalah jumlah OH dalam satu senyawa.

Gambar 4. Spesies-spesies ion Fe(III) fungsi pH (Baes dan Mesmer,1976)

Gambar 4 menunjukkan bahwa hidrolisis ion Fe(III) dimulai pada

pH 1 dengan membentuk spesies Fe(H2O)5OH2+. Spesies binuklear

21

Page 22: BAB I FE

Fe2(OH)24+ dan dua buah spesies mononuklear Fe(OH)2+, Fe(OH)2

+

terbentuk pada suasana asam, sedangkan spesies Fe(OH)3 dan Fe(OH)4-

berada pada suasana netral dan basa. Sebelum terjadi pengendapan, ion

Fe(III) berada sebagai Fe3(OH)45+ dalam jumlah yang sangat kecil.

Endapan stabil dari Fe(OH)3 yaitu FeO(OH) (Baes dan Mesmer, 1976).

Reaksi fotooksidasi-reduksi (fotoredoks) antara ion Fe(III) dan H2O

air dengan adanya radiasi foton (hv) diawali oleh terjadinya reduksi ion

Fe(III) menjadi ion Fe(II), radikal OH dan H+, seperti reaksi berikut:

Fe3+ + H2O + hv Fe2+ + OH + H+ (11)

Selanjutnya radikal OH berfungsi sebagai oksidator kuat yang akan

mengoksidasi p-klorofenol (Brezova et al., 1995 dan Hoffmann et al.,

1995). Pembentukan radikal OH selain berasal dari hidrolisis ion Fe(III),

juga berasal dari spesies Fe(OH)2+, Fe(OH)2+, Fe2(OH)2

4+, Fe(OH)3 dan

Fe(OH)4-, yang setelah menyerap foton akan menghasilkan reaksi berikut

(Herrera et. al., 2001):

Fe(OH)2+ +hv Fe2++OH (12)

Fe(OH)2+ + hv Fe2++ 2OH+ e – (13)

Fe2(OH)24++ hv 2Fe2++2OH (14)

Fe(OH)3 + hv Fe 2+ + 3 OH + 2e– (15)

Fe(OH)4- + hv Fe2+ + 4OH + e– (16)

Spesies aktif dari Fe(III) dalam pelarut air adalah >FeOH.

Keberadaan >FeOH dapat dilihat dari reaksi berikut:

>FeOH2+ pKa1 >FeOH + H+ pKa1 = 6,7 (17)

22

Page 23: BAB I FE

>FeOH pKa2 >FeO- + H+ pKa2 = 10,4 (18)

Dari persamaan reaksi 17 dan 18 mengindikasikan bahwa spesies

aktif FeOH pada pH 6,7 sampai dengan 10,4. Selain sebagai Fe(III), besi

dapat berbentuk Fe(II). Spesies-spesies ion Fe(II) dalam suatu larutan

merupakan fungsi pH larutan, sehingga pada pH 0-7 spesies besi akan

berada sebagai ion Fe2+. Pada pH 7-14 diperlihatkan spesies-spesies ion

Fe(II) dalam suatu larutan merupakan fungsi pH larutan dan disajikan

sebagai Gambar 5.

Gambar 5. Spesies-spesies ion Fe(II) fungsi pH (Baes dan Masmer, 1976

Gambar 5 memperlihatkan bahwa pada pada pH 7 sampai dengan

14 ion Fe(II) terhidrolisis menghasilkan spesies mononuklear FeOH+,

Fe(OH)2, Fe(OH)3-, dan Fe(OH)4

2-. Hidrolisis ion Fe2+ membentuk ion

23

Page 24: BAB I FE

FeOH+ terjadi pada pH 8, dan terus meningkat sampai pH 10 dan turun

kembali sampai pH 12, dan pada pH 10 mulai terjadi pengendapan

Fe(OH)2. Pada pH 10 mulai terbentuk spesies Fe(OH)3- sampai pH 12,

dan pada pH 12 baru terbentuk spesies Fe(OH)42-.

Menurut Balzanni dan Carassiti (1970) bahwa dengan kenaikan pH,

jumlah ion Fe(II) pada larutan yang mengandung Fe(OH)3 akan berkurang

karena terjadinya reaksi balik produk Fe(II) setelah menyerap cahaya

menjadi Fe(III). Kecenderungan Fe2+ teroksidasi menjadi Fe3+ dalam

keadaan dalam asam maupun basa dan dapat diamati berdasarkan harga

potensial elektrodanya, seperti reaksi berikut:

2 Fe2+ + ½ O2 + 2H+ 2 Fe3+ + H2O E = 0,46 V (19)

Fe(OH)2 + OH ½ Fe2O3 . 3 H2O + e- E = 0,56 V (20)

Berdasarkan harga potensial elektrodanya, kecepatan oksidasi

spesies Fe(II) dalam larutan basa lebih tinggi daripada dalam larutan

asam.

II. 2. 5 Metode Analisis

Dalam penelitian ini dilakukan berbagai analisis, yaitu penentuan

jenis TiO2 dan penentuan tingkat kristalinitas fotokatalis TiO2 setelah

digunakan dalam proses fotodegradasi, analisis konsentrasi p-klorofenol

yang tidak terdegradasi, analisis konsentrasi Fe(II) hasil fotoreduksi

Fe(III), dan penentuan senyawa-senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol

yang masing-masing dilakukan dengan metode difraksi sinar-X,

24

Page 25: BAB I FE

kromatografi gas, spektrofotometri UV-Visibel, dan kromatografi cair

kinerja tinggi.

Metode difraksi sinar-X. Metode difraksi sinar-X adalah metode

analisis yang didasarkan pada difraksi radiasi elektromagnetik yang

berupa sinar-X oleh suatu kristal. Proses difraksi dapat terjadi karena

panjang gelombang sinar-X (0,5–2,5Ǻ) mempunyai order yang sama

dengan jarak antar bidang suatu kristal (d). Bragg menyusun

hipotesissebagai berikut:

2d sin = n . (21)

Persamaan 21 disebut hukum Bragg yang menunjukkan hubungan

antara jarak bidang kristal d, dengan sudut difraksi () suatu kristal pada

panjang gelombang tertentu (λ), dan n = order refleksi, yang mempunyai

harga 1, 2, 3 dan seterusnya. Secara umum orde refleksi suatu senyawa

dianggap 1, sehingga persamaan 21 menjadi:

2 d sin = (22)

Metode difraksi sinar-X digunakan untuk mengidentifikasi zat

padat kristal, karena setiap kristal mempunyai harga d dengan intensitas

yang karakteristik. Identifikasi jenis kristal TiO2 dilakukan dengan

membandingkan minimum 3 harga d dengan intensitas yang tinggi dari

difraktogram sampel TiO2 dengan difraktogram standar yang disediakan

oleh JCPDS. Data difraktogram TiO2 jenis rutile dan anatase dinyatakan

sebagai Tabel 2.

25

Page 26: BAB I FE

Tabel 2. Data XRD TiO2 jenis rutile dan anatase

Anatase Rutile

d(A) Intensitas d (A) Intensitas

3,52 100 3,24 999

2,43 10 2,48 442

2,38 20 2,29 65

2,33 10 2,18 171

1,89 35 2,05 60

1,70 20 1,68 479

1,67 20 1,62 139

1,48 14 1,48 66

d : Jarak antara tiap satuan bidang (International Centre for Diffraction Data, 2001)

Selain digunakan untuk mengidentifikasi jenis kristal TiO2, metode

difraksi sinar-X dalam penelitian ini juga digunakan untuk menentukan

kristalinitas TiO2 setelah digunakan. Hal ini dilakukan karena selama

proses fotokatalisis, kristalinitas TiO2 dimungkinkan mengalami kerusakan

kristal akibat interaksi dengan radiasi foton maupun dengan reaktan.

Kristalinitas TiO2 ditentukan dengan cara membandingkan intensitas

yang relatif tinggi pada beberapa harga d pada difraktogram sebelum dan

sesudah digunakan dalam proses fotodegradasi p-klorofenol. Jika

Intensitas total TiO2 sesudah digunakan dibandingkan dengan intensitas

total TiO2 sebelum digunakan mengalami penurunan, ini menunjukkan

bahwa TiO2 mengalami kerusakan kristal.

26

Page 27: BAB I FE

Metode kromatografi gas. Analisis larutan p-klorofenol dalam

penelitian ini dilakukan dengan kromatografi gas. Dasar analisis

kromatografi gas adalah perbedaan distribusi komponen sampel diantara

2 fase yaitu fase diam dan fase cair. Dalam kromatografi gas-cair, fase

diam (stationary phase) berupa cairan yang dilekatkan pada padatan,

sedangkan fase gerak (mobile phase) berupa gas yang mangalir terus

menerus sepanjang fase diam.

Pada kromatografi gas, sampel yang telah berubah menjadi uap

dibawa oleh gas pembawa (fase gerak) untuk melewati kolom. Dalam

kolom, komposisi sampel mempunyai koefisien distribusi berbeda-beda,

sehingga di dalam kolom, sampel akan terdistribusi di antara fase gerak

dan fase diam dengan waktu yang berbeda-beda pula. Fase diam akan

menahan komponen secara selektif berdasarkan koefisien distribusi

sampel. Pemisahan di dalam kolom memerlukan waktu tertentu. Waktu

sejak penyuntikan sampai puncak maksimum disebut waktu retensi (tR).

Pada suhu, laju alir dan kolom tertentu, waktu retensi suatu senyawa

adalah khas. Data kromatografi gas suatu sampel berupa kromatogram

yang terdiri dari puncak-puncak dengan luasan tertentu yang muncul pada

waktu retensi tertentu.

Analisis kualitatif terhadap sampel yang mengandung p-klorofenol

menggunakan kromatografi gas dikerjakan dengan cara membandingkan

waktu retensi suatu cuplikan terhadap waktu retensi p-klorofenol standar.

Sedangkan analisis kuantitatif dengan kromatografi gas bertujuan untuk

27

Page 28: BAB I FE

menentukan jumlah atau prosentase komponen dari suatu sampel, yang

dapat dikerjakan dengan metode standar eksternal. Prinsip utama metode

standar eksternal adalah pembuatan kurva standar yang menunjukkan

hubungan luas puncak dengan sederetan konsentrasi larutan p-klorofenol

standar. Cara penentuan konsentrasi p-klofenol dalam sampel dapat

dilakukan dengan cara mengintrapolasikan luas puncak sampel ke dalam

kurva standar p-klorofenol (Robyt dan White, 1987; Stewart dan Ebel,

2000).

Metode spektrofotometri UV-Visibel. Dasar analisis pada metode

spektrofotometri UV-Visibel adalah absorpsi radiasi UV-Visibel oleh

larutan berwarna yaitu mengandung solut yang mempunyai gugus

kromofor. Prinsip penentuan Fe(II) dengan metode spektrofotometri UV-

Visibel adalah 1 molekul Fe(II) yang terlarut dalam suasana asam akan

bereaksi dengan 3 molekul 1,10-fenantrolin membentuk ion kompleks

yang berwana merah orange dan reaksi yang terjadi dituliskan sebagai

persamaan 23 :

Fe2++ 3phen [Fe(phen)]32+ (23)

Struktur dari senyawa kompleks [Fe(phen)3]2+ sebagai Gambar 6.

28

Page 29: BAB I FE

2 +

N

N

Fe

3

Gambar 6. Struktur dari senyawa [Fe(phen)3]2+

Senyawa kompleks [Fe(phen)3]2+ dapat menyerap radiasi pada

panjang gelombang antara 490 sampai dengan 530 nm. Metode ini

selektif untuk penentuan Fe(II), karena Fe(III) tidak membentuk kompleks

dengan ortho-fenantrolin pada panjang gelombang tersebut.

Analisis kuantitatif dengan metoda spektrofotometri didasarkan pada

hubungan absorbansi dengan tebal larutan dan konsentrasi, yang dikenal

dengan hukum Lambert-Beer, yaitu:

A = . b. c atau A = a . b . c (24)

dimana A = absorbansi, b = tebal larutan, c = konsentrasi larutan, dan

= koefisien ekstingsi bila satuan konsentrasi mol/L dan a = absorptivitas

molar bila satuan konsentrasi dalam satuan gram/L.

Penentuan konsentrasi Fe(II) dalam sampel dilakukan dengan

mengintrapolasikan absorbansi sampel pada kurva standar Fe(II). Kurva

standar berupa hubungan antara absorbansi sederetan larutan standar

dengan berbagai konsentrasi dengan konsentrasi larutan tersebut. Dari

hubungan absorbansi (A) dengan konsentrasi larutan tersebut dapat

diperoleh persamaan garis regresi linear Y = a + bX , di mana Y adalah

29

Page 30: BAB I FE

absorbansi senyawa kompleks, X adalah konsentrasi larutan Fe(II),

a adalah titik potong (intercept), dan b adalah lereng (slope) (Robyt and

White, 1987; Stewart and Ebel, 2000).

Dalam analisis untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka

dilakukan optimasi beberapa parameter antara lain optimasi panjang

gelombang, waktu kestabilan kompleks, pH dan perbandingan moll

1,10-fenantrolin / mol Fe(II).

Metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Kromatografi cair

kinerja tinggi (KCKT) atau high performance liquid chromatography

(HPLC) adalah kromatografi yang fase geraknya berupa cairan. Di dalam

setiap pemisahan suatu campuran yang terdiri dari 2 komponen yang

dipentingkan adalah kemampuan alat untuk memisahkan komponen satu

dan komponen lain yang disebut resolusi antara dua puncak. Efisiensi dan

efektivitas KCKT dipengaruhi oleh diameter kolom dan panjang kolom.

KCKT menggunakan kolom dengan diameter < 40 μm sehingga memiliki

efisiensi yang relatif tinggi dalam memisahkan analit.

Analisis kualitatif KCKT didasarkan pada perbedaan laju alir setiap

senyawa dalam suatu kolom. Cuplikan yang masuk ke dalam kolom,

komponen-komponennya akan terpisah dengan laju penahanan dalam

fase diam yang berbeda. Hal ini mengakibatkan komponen-komponen

senyawa yang keluar dari suatu kolom akan memiliki waktu retensi yang

berbeda. Untuk menentukan jenis senyawa dari suatu cuplikan, waktu

30

Page 31: BAB I FE

retensi dari komponen-komponen suatu cuplikan dibandingkan dengan

waktu retensi dari senyawa standar yang sama (Makuch and Kamiski,

1993).

II. 3 Hipotesis

Apabila TiO2 dikenai cahaya atau energi foton sebesar hv yang

sama atau lebih besar daripada energi bandgap (Eg) dari semikonduktor

fotokatalis tersebut maka TiO2 akan menyerap cahaya sehingga

menghasilkan radikal OH di permukaan katalis [OH(s)]. Semakin banyak

jumlah katalis yang dipergunakan maka semakin banyak permukaan TiO2

yang menyerap radiasi ultraviolet, sehingga jumlah radikal OH yang

dihasilkan juga bertambah banyak. Dengan bertambahnya jumlah radikal

OH maka efektivitas dalam fotodegradasi p-klorofenol semakin besar.

Dari uraian tersebut dapat diajukan hipotesis 1 sebagai berikut:

Hipotesis 1: Kenaikan jumlah fotokatalis TiO2 yang dipergunakan

dapat meningkatkan efektivitas fotodegradasi

p-klorofenol.

Efektivitas fotodegradasi p-klorofenol, selain dipengaruhi oleh jumlah

fotokatalis, juga dipengaruhi oleh konsentrasi awal reaktan (p-klorofenol).

Kenaikan konsentrasi awal p-klorofenol berarti jumlah tumbukan antar

molekul-molekul p-klorofenol dan tumbukan antara p-klorofenol dengan

radikal OH baik yang berada di permukaan katalis maupun di dalam

31

Page 32: BAB I FE

larutan bertambah banyak, sehingga efektivitas fotodegradasi p-klorofenoll

meningkat. Dengan demikian dapat diajukan hipotesis 2 sebagai berikut:

Hipotesis 2: Kenaikan konsentrasi awal p-klorofenol dapat

meningkatkan efektivitas fotodegradasi p-klorofenol.

Dalam reaksi fotodegradasi p-klorofenol, radikal OH tidak hanya

berasal dari TiO2 saja tetapi dapat berasal dari adanya ion Fe(III). Ion

Fe(III) di dalam larutan, yang dapat berada sebagai Fe3+, Fe(OH)2+,

Fe(OH)2+, [Fe2(OH)2 ]4+ dan Fe(OH)3, setelah menyerap radiasi UV akan

tereduksi menjadi ion Fe(II) dan radikal OH. Jadi adanya Fe(III) dan

fotokatalis TiO2, jumlah radikal OH yang dihasilkan lebih besar daripada

dengan fotokatalisis TiO2 saja. Dengan demikian dapat diajukan hipotesis

3 seperti berikut ini:

Hipotesis 3: Adanya spesies Fe(III) dalam larutan akan meningkatkan

efektivitas fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalis

TiO2 yang peningkatannya sejalan dengan kenaikan

konsentrasi ion Fe(III) tersebut.

Spesiasi p-klorofenol, TiO2, maupun Fe(III) dapat dipengaruhi oleh

pH larutan. Pada suasana asam p-klorofenol akan lebih mudah

melepaskan ion kloridanya daripada suasana basa. Spesies aktif dari TiO2

dalam larutan berair adalah >TiOH. Spesies >TiOH stabil atau terbentuk

pada pH 4,5 sampaii dengan 8,0. Keberadaan TiOH dari TiO2 seperti

32

Page 33: BAB I FE

disebutkan pada bab sebelumnya. Hidrolisis ion Fe(III) dimulai pada pH 1

dengan membentuk spesies Fe(H2O)5OH2+. Spesies binuklear Fe2(OH)24+

dan dua buah spesies mononuklear Fe(OH)2+, Fe(OH)2+ terbentuk pada

pH asam, sedangkan spesies Fe(OH)3 dan Fe(OH)4- berada pada pH

netral dan basa. Spesies-spesies tersebut setelah menyerap foton

mempunyai kemudahan dalam membentuk radikal OH yang berbeda.

Radikal OH mudah terbentuk dari spesies Fe(OH)3 yang berada pada pH

6 sampai dengan 8. Dengan demikian dapat diajukan hipotesis sebagai

berikut:

Hipotesis 4 : jika dalam proses fotodegradasi p-klorofenol yang

dominan adalah peran fotokatalis TiO2 dan ion Fe(III),

maka proses yang paling efektif berlangsung pada pH

6 sampai dengan 8.

33

Page 34: BAB I FE

BAB III

CARA PENELITIAN

Dalam cara penelitian dikemukakan bahan, alat, dan prosedur

penelitian.

III. 1 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah p-klorofenol,

TiO2, FeCl3 .6H2O, Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O, HCl, NaOH, KH-ftalat, KH2PO4,

KCl, dan H3BO3 semuanya buatan Merck, akuabides, kertas saring

Whatman 42, dan oksigen dari PT. Aneka gas.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah reaktor yang

dilengkapi dengan pengaduk magnetic P.N. 510-652 dan lampu UV tipe-C

40 Watt merk Phillip, Centrifuge IEC (International Equipment Company)

MP4R, Neraca analitik Mettler AE 200, pH meter OP-211,

Spektrofotometer UV-Vis Lambda 20 buatan Perkin Elmer, alat-alat gelas

meliputi erlenmeyer, labu ukur, pipet volume, corong gelas, dan beker

gelas (semuanya berada di laboratorium Kimia Analitik UGM), Difraksi

sinar-X merk Shimadzu tipe PW 3710 di jurusan Kimia UGM, Kromatografi

gas merk HITACHI Tipe 263-50 dan HPLC merk Shimadzu LC-6A di

laboratorium Kimia Fisika Pusat UGM Yogyakarta.

34

Page 35: BAB I FE

III. 2 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini terdiri dari: (1) Karakterisasi TiO2, analisis

p-klorofenol yang tidak terdegradasi dan konsentrasi ion Fe(II), (2) Proses

fotodegradasi p-klorofenol, (3) Penentuan tingkat kristalinitas TiO2 setelah

digunakan dalam proses fotodegradasi p-klorofenol, dan (4) Analisis

senyawa–senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol.

III.2.1 Karakterisasi TiO2, analisis konsentrasi p-klorofenol yang tidak terdegradasi dan analisis konsentrasi ion Fe(II)

Karaktarisasi TiO2. Serbuk TiO2 murni dianalisis secara kualitatif

dengan metoda difraksi sinar-X untuk menentukan jenis struktur kristal

dari TiO2 dan kristalinitas TiO2 sesudah digunakan selama fotodegradasi p-

klorofenol. Penentuan ini dilakukan dengan kondisi sebagai berikut:

Tabung sinar X : - Logam target : Cu - Voltase : 40,0 kV - Arus : 30,0 mA Kisaran scan : 5.000 – 80.000 degLaju difraksi : 5 deg / menitSlit DS : 1,00 deg ; SS = 1,00 deg; RS = 0,30 mm

Difraktogram sinar-X berupa hubungan harga jarak antar bidang (d)

dan intensitas relatif (Ir). Identifikasi jenis kristal dilakukan dengan

membandingkan d dan Ir sampel dengan data dari JCPDS- International

Centre for Diffraction Data yang tersedia pada data base alat, sehingga

jenis kristal TiO2 murni dapat diketahui.

35

Page 36: BAB I FE

Analisis konsentrasi p-klorofenol yang tidak terdegradasi.

Konsentrasi p-klorofenol yang tidak terdegradasi dalam larutan diukur

dengan kromatografi gas menggunakan metoda standar eksternal. Kurva

standar dibuat dari satu seri larutan standar p-klorofenol dengan

konsentrasi 15, 25, 50 75, 100, 125,150, 175, 200, 225, 250 dan 300 mg/L

melalui pengenceran larutan induk p-klorofenol 1000 mg/L. Kondisi

operasi alat kromatografi gas yang digunakan adalah:

Alat : Kromatografi GasMerk : HITACHI 263-50Detektor : FIDKolom : SE 30 dengan panjang 2 m dan diameter 0,4 cmSuhu injector : 250CSuhu detector : 250C Suhu Kolom : 140CGas pembawa : N2 = 30 mL/ menit Udara = 1 kg/ cm2

H2 = 1 kg/ cm2

Kisaran : 10 2

Attunution : 2Volume injeksi : 3 LRekorder : Integrator C-R6A

Kromatogram yang dihasilkan berupa luas puncak (A) dengan

waktu retensi tertentu. Dari data luas puncak (A) dan konsentrasi p-

klorofenol (C) kemudian dibuat hubungan A dengan C yang diperoleh

persamaan garis regresi linear dan koefisien korelasi. Luas puncak (A)

sampel diintrapolasikan pada persamaan garis regresi dari larutan standar

p-klorofenol tersebut.

36

Page 37: BAB I FE

Analisis konsentrasi ion Fe(II). Pada proses fotodegradasi dengan

penambahan ion Fe(III), diduga ion Fe(III) tereduksi menjadi ion Fe(II).

Untuk memastikan hal itu dilakukan analisis konsentrasi ion Fe(II) yang

terjadi. Analisis Fe(II) dilakukan dengan metoda spektrofotometri Visibel

menggunakan pengompleks 1,10-fenantrolin yang membentuk warna

merah orange. Sebelum dilakukan analisis Fe(II) pada sampel, terlebih

dahulu dilakukan optimasi panjang gelombang, waktu kestabilan

kompleks, rasio mol 1,10-fenantrolin / mol Fe(II) dan pH. Selanjutnya

dilakukan pembuatan kurva standar Fe(II) dengan menggunakan kondisi

optimum.

Prosedur optimasi panjang gelombang pada penentuan Fe(II)

adalah sebagai berikut: 5,0 mL larutan p-klorofenol 10 mg/L ditambah

3 mL larutan NH2OH.HCl 10–3 M, dibuat pada pH 4 dengan larutan

HCl 0,2 M. Larutan tersebut kemudian dikomplekskan dengan 5 mL 1,10-

fenantrolin 10-2 M dan tambahkan akuabides sampai volume larutan

25,0 mL. Larutan berwarna yang terbentuk selanjutnya diukur

absorbansinya pada panjang gelombang 490–530 nm setelah 10 menit

dari saat pencampuran Fe(II) dengan 1,10-fenantrolin.

Penentuan dengan cara yang sama, telah dilakukan optimasi waktu

kestabilan kompleks, yaitu dengan mengukur absorbansi pada panjang

gelombang optimum dengan selang waktu 5 menit selama 60 menit, rasio

[mol 1,10- fenantrolin / mol Fe(II)] optimum (dengan variasi rasio mol 1-6),

dan pH (dengan variasi pH 1 – 7).

37

Page 38: BAB I FE

Pembuatan kurva standar Fe(II) 0,1–1,0 mg/L dilakukan sebagai

berikut : Dimasukkan larutan standar Fe(II) 10 mg/L berturut-turut 0,25;

0,5; 0,75; 1,0; 1,25; 1,50; 1,75; 2,0; 2,25 dan 2,50 mL dalam labu ukur

25,0 mL kemudian ditambah 3 mL larutan NH2OH.HCl 10–3 M, dan diatur

pH optimum. Selanjutnya larutan tersebut dikomplekskan dengan

1,10-fenantrolin 10-2 M dengan volume optimum dan tambahkan

akuabides sampai volume larutan 25,0 mL. Selanjutnya larutan tersebut

diukur absorbansinya pada panjang gelombang optimum setelah waktu

reaksi yang optimum. Dari data absorbansi dan konsentrasi Fe(II) dibuat

kurva standar sehingga diperoleh persamaan garis regresi dan koefisien

korelasi.

Penentuan konsentrasi Fe(II) dalam larutan sampel hasil

fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dengan adanya ion Fe(III)

(variasi pH larutan 2-12 dan variasi konsentrasi ion Fe(III) 25-1200 mg/L

dilakukan dengan langkah yang sama, dan absorbansi sampel

diintrapolasikan pada kurva standar.

III.2.2 Proses fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2

dengan adanya ion Fe(III)

Proses fotodegradasi p-klorofenol dilakukan secara sistem batch

dalam reaktor yang dilengkapi lampu UV tipe C 40 Watt. Proses diawali

dengan memasukkan 25,0 mL p-klorofenol 300 mg/L ke dalam

erlenmeyer, kemudian ditambahkan dengan 20 mg TiO2 dan dialiri gas

oksigen dengan laju alir 200 mL/menit selama 30 menit. Suspensi yang

38

Page 39: BAB I FE

diperoleh selanjutnya dimasukkan dalam reaktor seperti Gambar 7 yang

disinari lampu UV sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama

waktu tertentu. Larutan dipisahkan dari padatannya dengan cara

sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Filtrat yang

diperoleh diencerkan sampai volume larutan tepat 25,0 mL dan dianalisis

dengan kromatografi gas guna penentuan konsentrasi p-klorofenol yang

tidak terdegradasi.

Gambar 7. Gambar reaktor yang digunakan dalam penelitian

Reaksi fotodegradasi p-klorofenol dapat dipengaruhi jumlah TiO2,

konsentrasi p-klorofenol, adanya ion Fe(III), konsentrasi Fe(III), dan pH

39

a. Kotak Tanpa celahb. Saklarc. Jendela d. Magnetik Stirrere. Erlenmeyer dan pengaduk magnetf. Lampu UV

Page 40: BAB I FE

larutan. Oleh karena itu pengaruh variabel-variabel tersebut telah

dipelajari dengan membuat variasi massa TiO2 (10, 20, 30 dan 40 mg per

25 mL larutan p-klorofenol 300 mg/L), variasi konsentrasi p-klorofenol

(200, 300, 400 dan 500 mg/L), penambahan ion Fe(III) 600 mg/L, variasi

konsentrasi ion Fe(III) yaitu 25, 75, 150, 300, 600, 900, dan 1200 mg/L,

dan variasi pH yaitu pH 2 - 12.

III.2.3 Penentuan tingkat kristalinitas TiO2 setelah digunakan dalam proses fotodegradasi

Padatan TiO2 yang telah digunakan dalam proses fotodegradasi p-

klorofenol selama 25 jam ditentukan tingkat kristalinitasnya dengan

metode difraksi sinar-X dengan kondisi alat sama seperti pada

karakterisasi TiO2. Dari difraktogram diperoleh intensitas total sampel TiO2

dari beberapa puncak yang tinggi. Selanjutnya kristalinitas TiO2 sesudah

digunakan selama fotodegradasi ditentukan dengan membandingkan

intensitas total sampel TiO2 sesudah digunakan dengan intensitas total

TiO2 awal dan dikalikan 100%.

III.2.4 Identifikasi senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dan adanya Fe(III)

Larutan hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2

dengan adanya ion Fe(III) selama waktu degradasi 1, 2, 4, dan 25 jam

dianalisis dengan metoda kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk

diketahui jenis senyawa yang diperoleh sesudah proses fotodegradasi.

40

Page 41: BAB I FE

Identifikasi dilakukan dengan membandingkan senyawa hasil

fotodegradasi dengan senyawa dari larutan standar p-klorofenol dan

hidrokuinon. Kondisi operasi alat kromatografi cair kinerja tinggi yang

digunakan adalah:

Alat : Kromatografi Cair Kinerja Tinggi merk Shimadzu Pompa : Shimadzu LC-6A Kolom : ODS 3 dengan panjang 7 cm dan partikel 5 mikron Eluen : Rasio Volume metanol : volume H2O = 40 : 60 Laju alir : 1mL/ menitPanjang gelombang: 285 nm AUFS : 0,16Detektor : Shimadzu SPD - 6AVVolume injeksi : 5 LRekorder : Chromatopac C-R 6A

41

Page 42: BAB I FE

42

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan tentang :

(1) Karakterisasi TiO2, analisis konsentrasi p-klorofenol dan ion Fe(II), (2)

Proses fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2, (3) Efek proses

fotokatalisis terhadap kristalinitas TiO2 dan ion Fe(III), dan (4) Identifikasi

senyawa-senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2

dengan adanya ion Fe(III).

IV.1 Karakterisasi TiO2 , Analisis Konsentrasi p-Klorofenol, dan Analisis Konsentrasi Ion Fe(II)

IV.1.1 Karakterisasi TiO2

Dalam penelitian ini digunakan TiO2 sebagai fotokatalis yang

diperoleh dari perdagangan. TiO2 dapat ditemukan sebagai rutile dan

anatase yang mempunyai fotoreaktivitas berbeda. Oleh karena itu pada

penelitian ini, TiO2 sebelum digunakan terlebih dahulu ditentukan jenisnya

dengan alat difraksi sinar-X. Difraktogram TiO2 sampel yang dibuat

dengan radiasi Cu -K dari sudut 2 = 10 – 80° ditampilkan sebagai

Gambar 8.

Gambar 8 menunjukkan adanya puncak-puncak dengan intensitas

yang tinggi pada 2 = 22,86; 25,35; 37,85; 48,10; 53,95; 55,13; dan

62,75°. Masing-masing harga 2 tersebut diubah menjadi harga jarak

antar bidang (d) mengikuti hukum Bragg, dengan panjang gelombang

Page 43: BAB I FE

1,54060 Ǻ. Harga-harga d tersebut berturut–turut adalah 3,89; 3,51; 2,38;

1,89; 1,70; 1,66; dan 1,48 Ǻ dengan intensitas 21, 100, 20, 32, 17, 19, dan

15 %.

2 θ (derajat)

Gambar 8. Difraktogram sampel TiO2

Harga-harga d dan intensitas sampel tersebut selanjutnya

dibandingkan dengan data XRD dari berbagai jenis TiO2 pada JCPDS-

International Centre for Difraction Data (2001) yang telah disajikan pada

Tabel 2. Data (d) dan intensitas (I) sampel ternyata sesuai dengan d dan I

karakteristik dari TiO2 jenis anatase.

TiO2 jenis anatase mempunyai harga Eg 3,2 eV yang lebih besar

daripada harga Eg jenis rutile yaitu 3,0 eV. Dengan demikian TiO2 jenis

anatase yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan mempunyai

fotoaktivitas yang tinggi.

43

Page 44: BAB I FE

IV. 1. 2 Analisis konsentrasi p-klorofenol dan ion Fe(II)

Dalam penelitian ini telah dilakukan penentuan konsentrasi

larutan p-klorofenol yang tidak terdegradasi dan konsentrasi ion Fe(II)

yang terbentuk dalam larutan setelah proses fotodegradasi. Penentuan

konsentrasi larutan p-klorofenol dilakukan dengan metode kromatografi

gas dan penentuan konsentrasi ion Fe(II) dilakukan dengan metode

spektrofotometri UV-Visibel dengan pengompleks 1,10-fenantrolin.

Analisis p-klorofenol yang tidak terdegradasi dengan

kromatografi gas. Analisis p-klorofenol yang tidak terdegradasi dilakukan

dengan kromatografi gas, karena metoda ini lebih selektif dan praktis

daripada metoda lain seperti metoda spektrofotometri UV-Visibel. Dengan

kromatografi gas, senyawa yang berbeda mempunyai waktu retensi (tR)

yang berbeda pula. Sementara itu analisis p-klorofenol menggunakan

metoda spektrofotometri UV-Visibel dapat terjadi interferensi dengan

senyawa turunan fenol lain, yang terbentuk selama fotodegradasi. Hal ini

disebabkan senyawa turunan fenol lain tersebut mempunyai panjang

gelombang yang sangat berdekatan dengan panjang gelombang p-

klorofenol.

Kurva standar p-klorofenol dibuat dengan mengalurkan hasil

pengukuran luas puncak standar p-klorofenol terhadap sederetan

konsentrasi larutan standar p-klorofenol. Untuk menarik suatu garis lurus

pada grafik antara luas puncak (A) terhadap konsentrasi p-klorofenol (X),

44

Page 45: BAB I FE

diperoleh persamaan regresi yaitu Y = a + bX, a adalah titik potong

(intercept), b adalah lereng (slope) yang menggambarkan kepekaan

analisis, dan R2 adalah koefisien korelasi yang menunjukkan linearitas

kurva. Data luas puncak dari larutan srandar p-klorofenol tercantum dalam

Lampiran 5 dan kurva standar p-klorofenol disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Kurva standar p-klorofenol

Gambar 9 menunjukkan bahwa persamaan garis regresi p-klorofenol

yaitu Y = 49,156 X – 115,8 dan koefisien korelasi R2= 0,9948. Koefisien

korelasi yang mendekati 1 merupakan korelasi yang baik dan kurva

hampir linier. Dari data perhitungan pada lampiran 5 diperoleh limit deteksi

6,55 mg/L, di mana limit deteksi didefinisikan sebagai batas konsentrasi

minimum dari suatu hasil analisis yang memberikan sinyal instrumen yang

berbeda secara signifikan dari sinyal blanko, dan kisaran konsentrasi

45

Page 46: BAB I FE

p-klorofenol yang memberikan garis linear adalah 6,55 sampai dengan

300 mg/L Konsentrasi p-klorofenol yang tidak terdegradasi dalam sampel

dihitung dengan cara menginterpolasikan luas puncak sampel ke dalam

persamaan garis regresi dari kurva standar p-klorofenol yang diperoleh.

Analisis konsentrasi ion Fe(II) dengan metode spektrofotometri

UV- Visibel. Selama proses fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2

dengan adanya ion Fe(III), maka ion Fe(III) akan tereduksi menjadi Fe(II).

Oleh karena itu perlu dilakukan analisis Fe(II) yang dilakukan

menggunakan metode spektrofotometri UV-Visibel dengan pengompleks

1,10-fenantrolin. Dengan metode ini diperoleh hasil yang selektif terhadap

pengukuran konsentrasi Fe(II) dan tidak terhadap Fe(III), sedangkan

metoda yang lain seperti spektrofotometri serapan atom (Atomic

Absorption Spectrophotometry=AAS) hanya dapat mengukur Fe total,

sehingga metoda tersebut tidak dapat membedakan konsentrasi ion Fe(II)

dan konsentrasi ion Fe(III).

Untuk mendapatkan hasil yang akurat, penentuan konsentrasi Fe(II)

dilakukan pada kondisi yang optimum. Oleh karena itu pada penelitian ini

telah dilakukan optimasi panjang gelombang, waktu kestabilan kompleks,

pH, dan rasio mol 1,10-fenantrolin / mol Fe(II). Data optimasi dan kurva

standar Fe(II) tecantum pada Lampiran 7.

Dari data pada lampiran 7, kondisi optimum diperoleh pada panjang

gelombang 510 nm, waktu kestabilan kompleks 10 menit dari

46

Page 47: BAB I FE

pencampuran Fe(II) dengan 1,10-fenantrolin, pH larutan 4, dan rasio mol

[1,10-fenantrolin:Fe(II)] adalah 3:1 diterapkan untuk analisis Fe(II) pada

langkah selanjutnya. Untuk menentukan Fe(II) yang terjadi selama proses

fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dan adanya Fe(III)

diperlukan kurva standar Fe(II). Kurva standar Fe(II) disajikan dalam

Gambar 10.

Gambar 10. Kurva Standar Fe(II)

Gambar 10 menunjukkan persamaan garis regresi Fe(II) yaitu

Y= 0,3066X – 0,003 dan koefisien korelasi (R2) adalah 0,9967. Koefisien

korelasi ini menunjukkan linearitas kurva, dan R2 mendekati 1, berarti

kurva hampir linear. Dari data perhitungan pada lampiran 7 diperoleh limit

deteksi = 0,05 mg/L dan kisaran konsentrasi yang memberikan garis linear

antara 0,05 – 1,00 mg/L. Konsentrasi Fe(II) dalam sampel dihitung dengan

47

Page 48: BAB I FE

cara menginterpolasikan absorbansi sampel ke dalam persamaan garis

regresi dari kurva standar Fe(II) yang diperoleh.

IV. 2 Proses Fotodegradasi p-Klorofenol Terkatalis TiO2

Proses fotodegradasi dengan katalis TiO2 dilakukan dengan cara

mencampur suspensi p-klorofenol, serbuk TiO2, dan gas O2 sampai jenuh,

kemudian disinari dengan lampu UV 40 Watt. Lampu UV merupakan

sumber energi foton yang diperlukan agar reaksi fotokimia dapat terjadi.

TiO2 setelah meyerap radiasi foton dapat menyediakan radikal OH dan

menghasilkan elektron (ecb-). Radikal OH dan ecb

- dapat bergabung

kembali (rekombinasi) sambil melepaskan panas. Rekombinasi tersebut

dapat menurunkan jumlah radikal OH, sehingga harus dicegah.

Pencegahan rekombinasi tersebut dilakukan dengan cara menambahkan

oksigen yang akan menangkap eCB- tersebut. Efektivitas fotodegradasi

p-klorofenol dapat dipengaruhi oleh jumlah TiO2, konsentrasi awal

p-klorofenol, adanya ion Fe(III), konsentrasi ion Fe(III), dan pH larutan.

Faktor-faktor tersebut telah dipelajari dalam penelitian ini.

IV.2.1 Pengaruh jumlah TiO2 yang digunakan

Jumlah TiO2 yang dipergunakan berkaitan dengan jumlah radikal OH

yang dapat disediakan oleh fotokatalis. Hasil kajian tentang pengaruh

jumlah TiO2 untuk setiap 25,0 mL p-klorofenol 300 mg/L (data lengkap

disajikan sebagai Tabel 6. 1, Lampiran 6) ditunjukkan sebagai Gambar 11.

48

Page 49: BAB I FE

0

20

40

60

80

100

0 10 20 30 40 50

Jumlah TiO2 (mg) per 25 mL larutan

% p

-klo

rofe

nol t

erde

grad

asi

Gambar 11. Pengaruh jumlah fotokatalis terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol selama waktu reaksi 25 jam

Gambar 11 nampak bahwa kenaikan jumlah fotokatalis TiO2 dari

0 sampai dengan 40 mg akan meningkatkan jumlah p-klorofenol yang

terdegradasi. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan massa fotokatalis

yang digunakan meningkatkan jumlah permukaan fotokatalis yang

menyediakan radikal OH. Adanya radikal OH yang semakin meningkat

maka reaksi fotodegradasi p-klorofenol semakin efektif dan jumlah

p-klorofenol terdegradasi semakin banyak. Untuk pertimbangan efisiensi,

dalam penelitian digunakan 20 mg TiO2 untuk setiap 25 mL larutan p-

klorofenol 300 mg/L.

IV.2.2 Pengaruh konsentrasi awal p-klorofenol

Peran p-klorofenol sebagai reaktan dapat berkaitan dengan

konsentrasi larutan tersebut. Pengaruh konsentrasi p-klorofenol terhadap

jumlah p-klorofenol yang terdegradasi (data lengkap pada pada Tabel 6.2,

Lampiran 6) disajikan dalam Gambar 12.

49

Page 50: BAB I FE

Gambar 12. Pengaruh konsentrasi awal p-klorofenol terhadap efektivitas

fotodegradasi p-klorofenol 5jam( TiO2 = 20 mg/25 ml)

Gambar 12 menunjukkan bahwa secara umum kenaikan konsentrasi

awal larutan p-klorofenol meningkatkan efektivitas fotodegradasi

p-klorofenol. Pada kenaikan konsentrasi awal larutan p-klorofenol 200

sampai dengan 300 mg/L talah meningkatkan efektivitas p-klorofenol

terdegradasi yang cukup nyata. Namun demikian, kenaikan konsentrasi

awal larutan p-klorofenol dari 300 sampai dengan 500 mg/L ternyata

hanya memberikan peningkatan pada efektivitas fotodegradasi

p-klorofenol yang sangat kecil.

Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan konsentrasi awal larutan

p-klorofenol dari 200-300 mg/L telah meningkatkan tumbukan efektif di

antara p-klorofenol maupun antara p-klorofenol dengan radikal OH di

permukaan fotokatalis sehingga efektivitas fotodegradasi p-klorofenol juga

semakin meningkat.

Untuk konsentrasi awal larutan p-klorofenol yang lebih tinggi lagi,

sudah terbentuk produk hasil fotodegradasi dalam jumlah banyak,

50

Page 51: BAB I FE

sehingga akan mengurangi interaksi antara permukaan fotokatalis dengan

p-klorofenol, akibatnya proses fotodegradasi p-klorofenol lebih lambat

atau kurang efektif. Dalam penelitian ini digunakan konsentrasi awal

larutan p-klorofenol 300 mg/L.

IV.2.3 Pengaruh adanya ion Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi p- klorofenol terkatalisis TiO2

Pengaruh adanya ion Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi

p-klorofenol terkatalisis TiO2 diamati selama waktu reaksi antara 0 sampai

dengan 50 jam pada pH 8. Data lengkap disajikan sebagai Tabel 6.3,

Lampiran 6 dan hasil perhitungan ditunjukkan sebagai Gambar 13.

Gambar 13. Pengaruh adanya ion Fe(III) [600 mg/L] terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol (pH 8)

51

Page 52: BAB I FE

Gambar 13 menunjukkan bahwa tanpa fotokatalis TiO2 fotodegradasi

p-klorofenol dapat berlangsung namun hasilnya sangat rendah. Dengan

penambahan fotokatalis TiO2, efektivitas fotodegradasi p-klorofenol terlihat

meningkat. Dengan penembahan fotokatalis TiO2 dan ion Fe(III),

efektivitas fotodegradasi p-klorofenol meningkat lebih tinggi lagi.

Efektivitas fotodegradasi p-klorofenol dapat berlangsung meskipun

tanpa fotokatalis, karena p-klorofenol setelah menyerap cahaya akan

menjadi senyawa fotoaktif atau radikal sehingga p-klorofenol tidak stabil

dan mudah mengalami degradasi. Selain itu, H2O setelah menyerap

cahaya dapat membentuk radikal OH, yang dapat menguraikan p-

klorofenol. Pada kondisi ini peruraian p-klorofenol menjadi senyawa

fotoaktif relatif lambat dan radikal OH yang berasal dari H2O jumlahnya

sangat kecil. Oleh karena itu proses kurang efektif dan hasil fotodegradasi

p-klorofenol rendah. Sementara itu, adanya TiO2 yang dapat menyediakan

radikal OH dengan mudah akan menambah jumlah radikal OH dalam

sistem reaksi, sehingga reaksi lebih efektif. Selain H2O dan TiO2, Fe(III)

yang berada sebagai Fe(OH)3 juga dapat membentuk radikal OH.

Dengan demikian jumlah radikal OH menjadi lebih banyak lagi dan

efektivitas fodegradasi p-klorofenol semakin meningkat.

Gambar 13 juga menunjukkan bahwa semakin lama penyinaran

(1 sampai dengan 25 jam), efektivitas fotodegradasi p-klorofenol semakin

meningkat. Untuk penyinaran yang lebih tinggi lagi (25 sampai dengan 50

jam), efektivitas fotodegradasi p-klorofenol terlihat relatif tetap.

52

Page 53: BAB I FE

Hal ini mengindikasikan bahwa pada penyinaran 1 sampai dengan

25 jam, interaksi antara cahaya dengan p-klorofenol, TiO2, dan Fe(III)

semakin besar sehingga jumlah p-klorofenol yang menjadi senyawa

fotoaktif dan radikal OH yang terbentuk semakin banyak. Selain itu,

interaksi radikal OH dengan p-klorofenol juga semakin lama sehingga

reaksi fodegradasi p-klorofenol semakin efektif. Akan tetapi pada waktu

reaksi yang semakin lama, produk hasil fotodegradasi yang telah

terbentuk semakin banyak. Hal ini dapat menghalangi interaksi antara

cahaya dengan reaktan, cahaya dengan fotokatalis, dan fotokatalis

dengan reaktan, sehingga fotodegradasi p-klorofenol lebih lambat atau

kurang efektif.

IV.2.4 Pengaruh konsentrasi ion Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi p- klorofenol terkatalisis TiO2.

Dari kajian sebelumnya menunjukkan bahwa adanya Fe(III) dapat

meningkatkan fotodegradasi p-klorofenol. Untuk mendukung hal tersebut

telah dilakukan kajian tentang pengaruh konsentrasi ion Fe(III) terhadap

fotodegradasi p-klorofenol terkatalis TiO2. Data lengkap disajikan sebagai

Tabel 6.4, Lampiran 6 dan hasil perhitungan ditunjukkan sebagai Gambar

14.

53

Page 54: BAB I FE

Gambar 14. Pengaruh konsentrasi ion Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2 (pH 8)

Gambar 14 menunjukkan bahwa pada kenaikan konsentrasi ion

Fe(III) dari 25 sampai dengan 600 mg/L memberikan kenaikan prosen

p-klorofenol terdegradasi yang cukup tajam. Namun kenaikan konsentrasi

Fe(III) dari 600 sampai dengan 1200 mg/L kenaikan prosen p-klorofenol

yang terdegradasi relatif kecil.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa peran Fe(III) pada pH 8

yang barada sebagai Fe(OH)3 adalah menyediakan radikal OH. Jadi

radikal OH dapat berasal dari H2O, TiO2, dan Fe(OH)3. Dengan

bertambahnya konsentrasi ion Fe(III) maka Fe(OH)3 yang terbentuk juga

semakin besar, sehingga jumlah radikal OH yang terbentuk juga semakin

banyak, dan reaksi fotodegradasi p-klorofenol semakin efektif. Namun jika

konsentrasi Fe(III) lebih tinggi lagi maka jumlah Fe(OH)3 yang terbentuk

semakin banyak, sehingga dapat menutupi permukaan TiO2 dan

54

Page 55: BAB I FE

menghalangi pembentukan radikal OH. Dengan demikian reaksi reaksi

fotodegradasi p-klorofenol kurang efektif.

IV.2.5 Pengaruh pH larutan terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2 dan adanya ion Fe(III)

Pengaruh pH larutan terhadap hasil fotodegradasi p-klorofenol

terkatalisis TiO2 dengan adanya ion Fe(III) juga telah dipelajari dalam

penelitian ini. Hal ini karena spesiasi p-klorofenol, TiO2 maupun ion Fe(III)

merupakan fungsi pH larutan. Pengaruh pH terhadap efektivitas

fotodegradasi p-klorofenol (data lengkap dalam Tabel 6.5, Lampiran 6),

disajikan dalam Gambar 15.

Gambar 15. Pengaruh pH larutan terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol (300 mg/L) yang terkatalis TiO2 dan ion Fe(III) 600 mg/L selama waktu reaksi 25 jam

Gambar 15 menunjukkan bahwa kenaikan pH dari 2 sampai

dengan 6, telah meningkatkan hasil fotodegradasi p-klorofenol, pada

kenaikan pH dari 6 sampai dengan 8, jumlah p-klorofenol terdegradasi

55

Page 56: BAB I FE

relatif tetap, dan kenaikan pH dari 8 sampai dengan 12 menyebabkan

penurunan p-klorofenol yang teredegradasi. Jika ditinjau dari spesiasi

p-klorofenol, pada pH asam p-klorofenol lebih mudah melepas ion klorida

sehingga lebih mudah terdegradasi. Namun data menunjukkan hal yang

sebaliknya. Oleh karena itu perlu ditinjau dari spesiasi TiO2 dan Fe(III).

Spesies TiO2 lebih mudah membentuk radikal OH jika berbentuk

TiOH. TiOH dapat terbentuk pada pH 4,5 sampai dengann 8 (Hoffmann

et al., 1995). Pada pH < 4,5 TiO2 berada sebagai TiOH2 dan pada pH > 8

TiO2 berada sebagai TiO- sehingga sulit membentuk radikal OH. Namun

demikian, seharusnya efektivitas fotodegradasi p-klorofenol tertinggi pada

pH 4,5 sampai dengan 8. Sementara itu, efektivitas fotodegradasi

p-klorofenol pada pH 4,5 sampai dengan 6 relatif lebih rendah dan hasil

tertinggi diperoleh pada pH 6 sampai dengan 8. Hasil yang lebih rendah

pada pH 4,5 sampai dengan 6, kemungkinan karena spesies ion Fe(III).

Oleh karena itu, perlu dilihat spesies ion Fe(III) pada pH larutan.

Pada kenaikan pH dari 2 sampai dengan 4, ion Fe(III) berada

sebagai Fe3+, sehingga jumlah radikal OH kecil. Pada kenaikan pH dari 4

sampai dengan 6, ion Fe(III) berada sebagai campuran Fe(OH)2+,

Fe(OH)2+, Fe2(OH)2

4+dan Fe(OH)3, dengan jumlah Fe(OH)3 semakin

banyak sehingga jumlah radikal OH lebih besar daripada sebagai Fe3+.

Pada kenaikan pH dari 6 sampai dengan 8, jumlah Fe(OH)3 paling

dominan sehingga jumlah radikal OH paling maksimal. Sedangkan pada

pH > 8, ion Fe(III) berada sebagai anion Fe(OH)4– sehingga sulit

56

Page 57: BAB I FE

membentuk radikal OH dan efektivitas fotodegradasi p-klorofenol

menurun.

Dengan demikian, jika hanya dilihat peran TiO2 saja, maka efektivitas

fotodegradasi tertinggi pada pH 4-8. Sedangkan ion Fe(III) pada pH 4,5

sampai dengan 6 merupakan campuran Fe(OH)2+, Fe(OH)2+, Fe2(OH)2

4+,

dan Fe(OH)3 maka pembentukan radikal OH berkurang dan ion Fe(III)

pada pH >8 berada sebagai anion Fe(OH)4-, sehingga sulit membentuk

radikal OH. Dengan demikian, jumlah radikal OH tertinggi pada pH 6

sampai dengan 8, berasal dari TiO2 dan Fe(III), sehingga efektivitas

fotodegradasi p-klorofenol diperoleh pada pH 6 sampai dengan 8.

IV. 3 Efek Proses Fotokatalisis Terhadap Kristalinitas TiO2 dan Ion Fe(III)

IV.3.1 Efek proses fotokatalisis terhadap kristalinitas TiO2

Dalam proses fotokatalisis, TiO2 berinteraksi dengan hv untuk

pembentukan radikal OH, maupun dengan p-klorofenol dan ion Fe(III).

Hal ini dapat berpengaruh terhadap kristalinitas TiO2. Untuk mengetahui

hal ini maka dilakukan penentuan kristalinitas TiO2, dengan membuat

difraktogram sinar-X sampel tersebut. Kristalinitas ditentukan dengan cara

membandingkan intensitas yang tinggi dari beberapa harga d pada

difraktogram TiO2 sebelum dan sesudah digunakan dalam proses

fotodegradasi. Difraktogram TiO2 sebelum dan sesudah digunakan untuk

fotodegradasi p-klorofenol selama 25 jam disajikan sebagai Gambar 16.

57

Page 58: BAB I FE

Gambar 16. Difraktogram TiO2 sebelum dan sesudah digunakan dalam proses fotodegradasi p-klorofenol

Gambar 16 menunjukkan adanya beberapa puncak dengan

7 puncak yang mempunyai intensitas tinggi pada beberapa sudut 2θ. Dari

data difraktogram diperoleh harga d dan intensitas relatif TiO2 sebelum

dan sesudah digunakan dalam memfotodegradasi p-klorofenol selama

25 jam dan data disajikan dalam Tabel 3.

58

Page 59: BAB I FE

Tabel 3. Data 2θ, d ,dan intensitas TiO2 sebelum dan sesudah digunakan pada proses fotodegradasi p-klorofenol

Puncak No 2θ d (Ǻ)Intensitas

Sebelum Sesudah 1 22,86 3,89 1034 855

2 25,35 3,51 4978 4160

3 37,85 2,38 998 898

4 48,10 1,89 1600 1364

5 53,95 1,70 827 778

6 55,95 1,66 933 797

7 62,75 1,48 729 670

Jumlah 11094 9522

Dari Tabel 3 ditunjukkan bahwa jumlah intensitas total TiO2

sebelum digunakan adalah 11094 dan jumlah intensitas TiO2 sesudah

digunakan adalah 9522. Bila kristalinitas TiO2 sebelum digunakan

dianggap 100%, maka kristalinitas TiO2 sesudah digunakan adalah

85,87% yang berarti terjadi kerusakan sebesar 14,13%. Hal ini

mengindikasikan bahwa iselama fotodegradasi terjadi interaksi antara TiO2

dengan cahaya maupun antara TiO2 dengan p-klorofenol dan Fe(III).

IV.3.2 Efek proses fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2

terhadap ion Fe(III) Peran Fe(III) dalam meningkatkan hasil fotodegradasi p-klorofenol

adalah menyediakan radikal OH dan atau menangkap elektron sehingga

59

Page 60: BAB I FE

ion Fe(III) dapat tereduksi menjadi ion Fe(II) yang terlarut. Peran tersebut

tergantung pada spesies ion Fe(III) yang keberadaannya tergantung pada

pH larutan. Untuk membuktikan hal tersebut telah diukur konsentrasi ion

Fe(II) dalam larutan hasil fotodegradasi pada berbagai pH. Data lengkap

dalam Tabel 9.1, Lampiran 9 dan hasil perhitungan disajikan sebagai

Gambar 17.

.

Gambar 17. Pengaruh pH larutan pada proses fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2 selama 25 jam dengan adanya ion Fe(III) 600 mg/L terhadap konsentrasi ion Fe(II)

Gambar 17 menunjukkan bahwa pada kenaikan pH dari 2 sampai

dengan 4, jumlah ion Fe(II) hasil reduksi ion Fe(III) relatif tinggi. Pada

kenaikan pH dari 4 sampai dengan 8, jumlah ion Fe(II) yang terbentuk

mengalami penurunan secara drastis. Pada kenaikan pH dari 8 sampai

dengan 12, jumlah ion Fe(II) sangat kecil dan relatif tetap.

Pada pH 2 sampai dengan 4 ion, Fe(III) yang berada sebagai ion

Fe3+ dapat menangkap elektron yang dihasilkan oleh TiO2 setelah

60

Page 61: BAB I FE

menyerap cahaya, dan tereduksi menjadi ion Fe2+. Pada kenaikan pH dari

4 sampai dengan 8, spesies Fe(III) yang berada sebagai campuran

Fe(OH)2+, Fe(OH)2+, Fe2(OH)2

4+, dan Fe(OH)3. Fe(III) yang berupa kation

tersebut lebih mudah menangkap elektron dan lebih mudah tereduksi,

sedangkan Fe(III) yang berada sebagai Fe(OH)3 sulit menangkap elektron

dan sulit tereduksi menjadi ion Fe(II). Namun dengan kenaikan pH, jumlah

Fe(III) sebagai kation berkurang dan jumlah Fe(OH)3 meningkat, sehingga

jumlah ion Fe(III) yang tereduksi menjadi ion Fe(II) berkurang. Pada

kenaikan pH dari 8 sampai dengan 12, ion Fe(III) berada sebagai Fe(OH)4-

yang tidak dapat menangkap elektron sehingga ion Fe(III) sulit tereduksi.

Untuk mendukung bahwa ion Fe(III) dapat tereduksi menjadi ion

Fe(II), juga telah dilaakukan penentuan Fe(II) yang terbentuk sebagai hasil

fotoreduksi pada konsentrasi Fe(III) yang bervariasi pada pH 8. Data

lengkap dalam Tabel 9.2, Lampiran 9 dan Hasil perhitungan disajikan

sebagai Gambar 18.

Gambar 18 menunjukkan bahwa pada kenaikan konsentrasi Fe(III)

dari 25 sampai dengan 600 mg/L, konsentrasi ion Fe(II) yang terbentuk

dari reduksi ion Fe(III) semakin meningkat. Namun pada konsentrasi yang

lebih tinggi lagi (600 sampai dengan 1200 mg/L) konsentrasi ion Fe(II)

yang dihasilkan relatif tetap.

61

Page 62: BAB I FE

Gambar 18. Pengaruh konsentrasi Fe(III) pada proses fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2 terhadap pembentukan ion Fe(II) (mg/L) pada pH 8

Pada pH 8, spesies Fe(III) berada sebagai campuran Fe(OH)2+,

Fe(OH)2+, Fe2(OH)2

4+, dan Fe(OH)3. Ion Fe(III) yang berupa kation tersebut

lebih mudah menangkap elektron dan lebih mudah tereduksi menjadi ion

Fe(II) daripada yang berada sebagai Fe(OH)3. Dengan kenaikan

konsentrasi ion Fe(III), jumlah Fe(III) yang berupa kation bertambah

banyak sehingga lebih mudah menangkap elektron dan ion Fe(III) yang

tereduksi semakin meningkat meskipun jumlahnya rendah. Namun

demikian, untuk konsentrasi ion Fe(III) yang lebih tinggi lagi produk hasil

fotodegradasi sudah terbentuk, sehingga akan menghalangi ion Fe(III)

dalam menangkap elektron dan tereduksi menjadi ion Fe(II) lebih sulit.

V. 4 Penentuan Senyawa Hasil Fotodegradasi p-Klorofenol Terkatalis TiO2 dengan Adanya Ion Fe(III)

62

Page 63: BAB I FE

Penentuan senyawa-senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol

terkatalis TiO2 dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair kinerja

tinggi (KCKT) atau high performance liquid chromatography (HPLC).

Larutan yang dianalisis adalah larutan hasil fotodegradasi selama 1, 2, 4

dan 25 jam. Gambar kromatogram sampel disajikan sebagai Gambar 19

dan Gambar 20.

Gambar 19. Kromatogram hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dengan adanya ion Fe(III) selama waktu fotodegradasi a. 1jam, b. 2 jam.

63

Gambar 19 a Gambar 19 b

Page 64: BAB I FE

Gambar 20. Kromatogram hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dengan adanya ion Fe(III) selama waktu fotodegradasi a. 4 jam, b. 25 jam.

Dari Gambar 19 dan 20 dapat diketahui bahwa setelah fotodegradasi

terdapat luas puncak (A) yang berbeda dan dari data kromatogram

diperoleh harga waktu retensi dan luas puncak sampel yang disajikan

sebagai Tabel 4.

Kromatogram larutan standar p-klorofenol dan hidrokuinon

disajikan sebagai Gambar 21.

64

Gambar 20 a Gambar 20 b

Page 65: BAB I FE

Gambar 21. Kromatogram larutan standar (A) p-klorofenol (B) hidrokuinon

Tabel 4. Harga tR dan Luas Puncak (A) Setelah Proses Fotodegradasi p-Klorofenol yang Terkatalisis TiO2 dengan Adanya Ion Fe(III)

No

Puncak

Senyawa

Waktu

retensi

(menit)

Luas puncak (A) sampel setelah

mengalami fotodegradasi selama

waktu tertentu (jam)

1 2 4 25

1 X1 – X20 0,600 11857 13786 24129 -

2 Y 0,825 1441 1441 550 -

3 Hidrokuinon 1,045 3005 3226 5533 -

4 Z 1,433 - - 671 -

5 p-Klorofenol 5,890 178392 175266 163371 11179

Dari Tabel 4 terlihat bahwa selama waktu reaksi (1 sampai 25 jam)

larutan hasil fotodegradasi memberikan 5 harga tr yang berbeda. Selain itu

65

Page 66: BAB I FE

juga terlihat bahwa semakin lama waktu degradasi maka harga luas

puncak (A) yang menunjukkan jumlah / konsentrasi yang berbeda untuk

setiap komponen. Kromatogram HPLC dari larutan standar hidrokuinon

dan p-klorofenol, memberikan harga tR = 1,045 untuk hidrokuinon dan

tr = 5,890 untuk p-klorofenol (Gambar 21). Dengan demikian dapat

diketahui bahwa dalam larutan hasil fotodegradasi mengandung

hidrokuinon dan p-klorofenol yang tidak terdegradasi. Namun untuk ketiga

senyawa yang lain belum dapat ditentukan jenisnya sehingga diberi notasi

senyawa X, Y, dan Z.

Fase diam yang digunakan dalam HPLC adalah oktadesilsilika 3

yang bersifat non polar, sehingga senyawa yang mempunyai sifat non

polar akan tertahan lebih lama pada fase diam tersebut, dan sebaliknya

senyawa yang polaritasnya tinggi akan terpisah lebih dahulu (waktu

retensi rendah). Harga tR senyawa X < tR senyawa Y < tR hidrokuinon,

mengindikasikan bahwa polaritas senyawa X > polaritas senyawa Y >

polaritas hidrokuinon. Sementara itu tR hidrokuinon < tR senyawa Z<

tR p-klorofenol, mengindikasikan bahwa polaritas hidrokuinon > polaritas

senyawa Z > polaritas p-klorofenol.

Dalam waktu reaksi 1 sampai dengan 4 jam, luas puncak

hidrokuinon dan senyawa X semakin bertambah, yang berarti jumlah

hidrokuinon dan senyawa X semakin bertambah, yang berarti hidrokuinon

dan senyawa X merupakan senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol.

Semakin lama waktu reaksi 1sampai dengan 4 jam, luas puncak p-

66

Page 67: BAB I FE

klorofenol dan senyawa Y semakin berkurang, yang berarti jumlah p-

klorofenol dan senyawa Y berkurang, kemungkinan p-klorofenol dan

senyawa Y terdegradasi menjadi senyawa X. Setelah 4 jam waktu

fotodegradasi, luas puncak senyawa Z baru terbentuk dan kemungkinan

senyawa Z adalah hasil dari fotodegradasi senyawa X dan p-klorofenol.

Oleh karena itu Senyawa X, Y dan Z perlu diidentifikasi lebih lanjut.

Setelah 25 jam waktu fotodegradasi, hanya terdapat luas puncak

p-klorofenol, yang berarti di dalam larutan tidak ada senyawa lain kecuali

p-klorofenol yang tidak terdegradasi. Hal ini menunjukkan bahwa setelah

25 jam hidrokuinon, senyawa X, senyawa Y, dan senyawa Z sudah tidak

terdeteksi dalam larutan yang kemungkinan telah berubah menjadi CO2

dan H2O yang tidak dapat terdeteksi.

67

Page 68: BAB I FE

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V. 1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan

diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Kenaikan jumlah fotokatalis TiO2 dan konsentrasi awal larutan

p-klorofenol memberikan peningkatan efektivitas fotodegradasi

p-klorofenol.

2. Adanya ion Fe(III) dalam proses fotodegradasi p-klorofenol yang

terkatalisis TiO2 dapat meningkatkan efektivitas fotodegradasi

p-klorofenol, yang peningkatannya sejalan dengan kenaikan

konsentrasi ion Fe(III) tersebut.

3. Efektivitas tertinggi dalam proses fotodegradasi p-klorofenol

terkatalisis TiO2 dan adanya ion Fe(III) diperoleh pada pH larutan

antara 6 sampai dengan 8, yang terkait dengan spesiasi dari TiO2

dan ion Fe(III) dalam larutan.

4. Hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dengan

adanya ion Fe(III) tertinggi adalah 93,90% dan diperoleh pada

kondisi rasio antara konsentrasi p-klorofenol dengan massa TiO2

adalah 300 mg/L p-klorofenol : 20 mg TiO2 dalam 25 ml larutan,

konsentrasi awal p-klorofenol 300 mg/L, konsentrasi ion Fe(III)

68

Page 69: BAB I FE

600 mg/L, pH larutan 6 sampai dengan 8, dan lama penyinaran

25 jam.

5. Jenis TiO2 yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah anatase

dan efek proses fotodegradasi terhadap kristalinitas TiO2 sesudah

digunakan adalah terjadinya kerusakan kristal TiO2 sebesar

14,13%.

6. Efek proses fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2

terhadap ion Fe(III) adalah proses tereduksinya ion Fe3+ menjadi

ion Fe2+ dan kenaikan konsentrasi ion Fe3+ akan meningkatkan

jumlah konsentrasi ion Fe2+.

7. Selama 1-4 jam proses fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis

TiO2 terhadap ion Fe(III), p-klorofenol berubah menjadi senyawa

lain, yaitu hidrokuinon dan 3 senyawa yang belum diketahui jenis

senyawanya. Setelah 25 jam hanya terdapat p-klorofenol yang

belum terdegradasi, hidrokuinon dan 3 senyawa yang belum

diketahui jenisnya sudah tidak ada lagi dalam larutan, yang

kemungkinan telah berubah menjadi CO2 dan H2O yang tidak dapat

terdeteksi.

69

Page 70: BAB I FE

V. 2 SARAN

Dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi

senyawa-senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol selain hidrokuinon

dan menentukan mekanisme reaksi fotodegradasi yang terkatalisis

TiO2 dengan adanya ion Fe(III) dengan menggunakan metode HPLC

dan spektrofotometri Infra Red.

70

Page 71: BAB I FE

DAFTAR PUSTAKA

Alemany, L. J., Banares, M. A., Pardo, E., Martin, F., Galan-Fereres, M., and Blasco, J. M., 1997, “Photodegradation of Phenol in Water Using Silica Supported Titania Catalyst”, J. Appl. Catal. B: Environ., 13, 289 297.

Anonim, 1996, “Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : 42/MENKLH/10/1996 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan”, Sekretariat Kementrian Negara KLH, Jakarta.

Baes, C. and Mesmer, R.E., 1976, “The Hydrolysis of Cation”, John Wiley and Sons, New York.

Balzani, V. and Carassiti, V., 1970, “Photochemistry of Coordination Compounds”, Academic Press : New York.

Bendiyasa,M., Syamsiah, S., dan Indriani, S., 2000, “Equilibrium Adsoption of single and binary Component of Phenolic Compounds in aqueous Solution onto Activated Natural Zeolit”, Proceeding of the Second Pacific Basin Conference on Adsorption Sci. and Techn., Brisbane, 593 597.

Brezova, V., Blazkova, A, Blazkova, A., Borozova, E., Ceppan, M., and Fiala Radin, 1995, “The Influence of Dissolved Metal Ion on the Photocatalytic Degradation of Phenol in Aqueous TiO2

Suspensions”, J. Molec. Catal. A, 98, 109 116.

Brus, L., 1986, “Electronic Wave Function in Semiconductor Clusters : Experiment and Theory”, J. Phys. Chem., 90, 2555 2560.

Burrows, H. D., Ernestova, L. S., Kemp, T. J., Skurlatov, Y. I., Purmal A. P., and Yermakov, A. N., 1998, “Kinetics and Mechanism of Photodegradation of Chlorophenol”, J. Sci. and Techn. Lett., 23, 4285 4299.

Chuang, K. T., Qin,, J., and Zhang, Q., 2001, “Catalytic Wet Oxidations of

p-Chlorophenol Over Supported Noble Metal Catalysts”, J. Appl. Catal. B, Environ., 29, 115 123.

Chauldhry , G. R., 1994, “Biological Degradation and Bioremediation of Toxic Chemicals”, Chapman and Hall, London, 74 158.

71

Page 72: BAB I FE

Cotton, F. A., and Wilkinson, G., 1976, “Basic Inorganic Chemistry”, diterjemahkan oleh : Suharto, S., 1989, Kimia Anorganik Dasar, Cetakan Pertama, UI Press, Jakarta.

Day, R. A., and Underwood, A. L., 1986, “Quantitative Analysis”, diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjatmaka, Analisa Kimia Kuantitatif, edisi kelima, Erlangga, Jakarta.

Dominguez, C., Garcia, J., Pedras, M.A., Torres, A., and Galan, M.A.,

1998, “Photocatalytic oxidation of Organic pollutants in water”, J. Catal. Today , 85 101.

Dunitz, J. D., 1995, “X-Ray Analysis and the Structure of Organic Moleculs Chemical Acta Base”, Switzerland, Germany.

Ghaly, M. Y., Hartel, G., Mayer, R., and Hasender, R., 2001, “Photochemical Oxidation of p-Chlorophenol by UV/H2O2 and Photo-Fenton Process A Comparative Study”, J. Wast. Manag., 21, 41 47.

Herrera, F., Lopez, A. Mascolo, G., Albers, P., and Kiwi, J., 2001, “Catalytic Combustion of Orange II on Hematite Surface Species Responsible for the Dye Degradation”, J. Appl. Catal. B: Environ., 29, 147 162.

Herrera, F., Lopez, A., Mascolo, G., Albers, P., and Kiwi, J., 2001, “Catalytic Decomposition of the Reactive Dye Uniblue A on Hematite, Modelling of the Reactive Surface”, J. Wat. Res., 35, (3), 750 760.

Hoffmann, M.R., Martin, S.T., Choi, W., and Bahneman, D.W., 1995, “Environmental Application of Semiconductor Photocatalysis”, J. Chem. Rev., 69 96.

Hu, Z., Srinivast, MP., and Ni, Y., 2000, “Adsorption and Desorption of Phenol and Dyes on Microporous and Mesoporous Activated Carbon”, Proceeding of the Second Pacific Basin Conference on Adsorption Sci. and Techn., Brisbane Australia, 274 278.

Jung, O.J., 2001, “Destruction of 2-Chlorophenol from Waste Water and Investigation of Product by Ozonation”, Chem. Soc., 22, (8), 850 856.

Liu, X., Lu, K., and Thomas, J. K., 1993, “Preparation, Characterization, and Photoactivity of Ti(IV) Oxide Encapsuled in Zeolit”, J. Chem. Soc., 89, (11), 1861 1865.

72

Page 73: BAB I FE

Mac Nair, H. M., dan Bonelli, E. J., 1988, “Dasar-dasar Kromatografi Gas”, edisi kelima, Penerbit ITB, Bandung.

Makuch, B., Gazda, K., and Kamiski, M., 1993, “Determination of Phenol and Monochlorophenols in Water by Reversed-Phase Liquid Chromatography”, J. Anal. Chem., 284, 53 58.

Matos, J., Herrmann, J. M., and Laine, J., 1998, “Sinergy Effect in Photocatalytic Degradation Suspended Mixture of Titania and Activated Carbon”, J. Appl. Catal. B: Environ., 18, 281 291.

Mercks, 2000, “The Mercks Index on CD-Room Version 12:3”, Merck & Co Inc, Whitehouse Station, NJ, USA.

Miller, J.C. and Miller, J.N., 1991, “Statistic and Chemometric for Analytical Chemistry”, 4 ed., diterjemahkan oleh Suroso, Penerbit ITB, Bandung.

NIOSH Manual of Analytical Methods, 1994, “p-Chlorophenol”, Method 2014, 4 ed., www.edc.gov/niosh/nmam/pdfs/7600.pdf.

Peiro, A.M., Antinio, J., Peral, J., and Domenech, X., 2000, “TiO2-photocatalyzed degradation of phenol and ortho phenolic compounds”, J. Appl. Catal. B: Environ., 359 373.

Prado, J., Arantegui, J. A., and Esplugas, S., 1994, “Degradation of 2,4-Chlorophenol by Ozone and Light”, J. Sci. Eng., 16, 235 254.

Pulgarin, C. , Peringer, P., Alberts, P., and Kiwi J., 1994, “Effect of Fe-ZSM-5 Zeolite on Photochemical and Biochemical Degradation of 4-Nitrophenol”, J. Molec. Catal. A, 61 74.

Robyt, J.F., and White B.J., 1987, “Biochemical Thechniques Theory and Practice”, Waveland Press, Inc., America.

Saragih, B. S., 2002, “Aplikasi Asam Humat sebagai Sensitizer dalam

Fotoreduksi Fe(III) menjadi Fe(II)”, Tesis S2, Program Studi Kimia FMIPA, UGM, Yogyakarta.

Shul’pin, G.B., Bochkova, M.M., Nizova, G.V., Kozlova, N. B., 1997, “Aerobic Photodegradation of Phenols in Aqueous Solution Promoted by Metal Compounds”, J. Appl. Catal. B, Environ., 12, 1 19.

73

Page 74: BAB I FE

Stumm, W. and Morgan, J. J., 1996, “Aquatic Chemistry, Chemical Equilibria and Rates in Natural Water”, 3 ed., John Willey & Sons, New York.

Stewart, K.K., and Ebel, R.R., 2000, “Chemical Measurements in Biological System”, John Wiley & Sons, Inc. Publication, New York.

Sulistyani, E., 2000, “Kajian Adsorpsi Fenol oleh Zeolit Alam”, Skripsi S1, FMIPA UGM, Yogyakarta.

Sykes, A. G., 1997, “Advances in Inorganic Chemistry”, Academic Press, San Diego, 44.

Tonda, R. M., “ Kajian Fotodegradasi 4-Klorofenol yang Terkatalisis oleh CdO/Zeolit Alam”, Skripsi S1, FMIPA UGM, Yogyakarta.

U. S. EPA, 1996, “Test Methods for Evaluating Solid Waste Physical / Chemical Method”, SW-846, on line versions, Methods 7190, 7196A, U.S. Env. Protection Agency, Washington, DC. http://www.epa.gov/epaoswer/main.htm.

Wahyuni, E.T., 2003, “Synthesis of Iron Oxide Nanoparticles in the Zeolite-NaY Structure, Disertasi S3, Program Studi Kimia UGM, Yogyakarta.

Waite, T. D. dan Morel F. M. M., 1984, “Photoreactive Dissolution of Colloidal Iron Oxides in Natural Waters” Environ. Sci. Techn., 18, (11), J. Chem. Soc., 860 868.

Xu, Y., and Langford, C. H., 1995, “Enchanched Photoactivity of Titanium (IV) Oxide Supported on ZSMS and Zeolite A at Low Coverage”, J. Phys. Chem., 11501 11507.

Xu, Y., and Langford, C. H., 1997, “Photoactivity of Titanium (IV) Oxide Supported on MCM41, Zeolite X, and Zeolite Y”, J. Phys. Chem. B, 101, 3115 3121.

Vinodgopal, K., Hotchadani, S., and Kamat, P.V., 1993, “Elechtrochemically Assisted Photocatalysis TiO2 Particulate Film Electrodes for Photocatalytic Degradation of 4-Chlorophenol”, J. Phys. Chem., 97, 9040 9044.

Zepp, R. G., Faust, B. C., and Hoigne, J., 1992, “Hydroxyl Radical Formation in Aqueous Reactions of Fe(II) with H2O2: The Photo-Fenton Reaction”, J. Environ. Sci. Techn., 26, 313 319.

74