BAB I
-
Upload
patricia-reynolds -
Category
Documents
-
view
214 -
download
0
description
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu
masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang
pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan
pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan, kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan
kesehatan serta adanya daerah miskin gizi (iodium) (Almatsier,
2009).
Hasil Riskesdas 2010 menunjukan 40,7% penduduk
mengkonsumsi makanan di bawah kebutuhan minimal (kurang dari
70% dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan.
Kontribusi konsumsi karbohidrat terhadap konsumsi energi adalah
61%, sedikit diatas angka yang dianjurkan PUGS (Pedoman
Umum Gizi Seimbang) yaitu 50-60%. Kontribusi protein terhadap
konsumsi energi hanya 13,3% di bawah dari yang dianjurkan
PUGS yaitu 15%, dan kontribusi konsumsi lemak terhadap energi
sebesar 25,6% melebihi yang dianjurkan PUGS yaitu 25%. Asupan
protein pada anak usia 7-12 tahun secara nasional rata-rata 113,2,
dan di Lampung rata-rata 101,1. Di Indonesia asupan rata-rata
protein sebesar 105,8, sedangkan di Lampung rata-rata asupan
protein 96,3. Terdapat perbedaan antara asupan protein nasional
dengan Provinsi Lampung dimana rata-rata asupan protein pada
Provinsi Lampung lebih rendah dibandingkan dengan asupan
protein nasional (Riskesdas, 2010).
Menurut kerangka UNICEF (1998) masalah gizi
dipengaruhi faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor
langsung yaitu asupan makanan dan penyakit infeksi yang
keduanya saling berkaitan. Kurangnya asupan makanan dapat
menyebabkan tubuh mudah terserang penyakit infeksi bahkan
memperparah kondisi penyakit infeksi, dan begitu juga sebaliknya.
Selain itu, ada pula faktor-faktor yang berpengaruh secara tidak
langsung yaitu ketersediaan pangan, pola asuh anak, lingkungan
dan pelayanan kesehatan serta tingkat pendidikan dan pengetahuan
ibu.
Asupan makanan yang bergizi dibutuhkan oleh anak usia
menunjang masa pertumbuhan dan perkembangannya. Kebutuhan
tubuh akan energi jauh lebih besar dibandingkan dengan usia
sebelumnya, karena anak sekolah lebih banyak melakukan aktivitas
fisik seperti bermain, berolahraga atau membantu orang tuanya
(Anindya, 2009).
Selain itu, pengaruh makanan terhadap perkembangan otak,
apabila makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang
dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung lama, akan menyebabkan
perubahan metabolisme dalam otak. Pada keadaan yang lebih berat
dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan
terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga
kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi
ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi biokimia
dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan
kecerdasan anak (Anwar, 2008 dalam Pamularsih, 2009).
Prestasi dan kecerdasan seorang anak dipengaruhi oleh
status gizi . Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Himmah (2010) pada anak SD di Bekasi, dihasilkan bahwa
prestasi belajar siswa kurang ternyata banyak terjadi pada siswa
dengan status gizi yang kurang (80,6%) dibandingkan siswa
dengan status gizi yang normal (41,4%). Hal ini didukung dengan
penelitian Pamularsih pada anak SD di Boyolali, terdapat
hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar.
Anak yang kurang gizi mudah mengantuk dan kurang
bergairah yang dapat mengganggu proses belajar di sekolah dan
menurun prestasi belajarnya, daya pikir anak juga akan berkurang,
karena pertumbuhan otaknya tidak optimal (Anindya, 2009).
Kurang gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan
perkembangan kecerdasan, menurunkan daya tahan, meningkatkan
kesakitan dan kematian (Achmad, 2000). Dalam Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi (2000) disebutkan bahwa pada anak usia
sekolah kekurangan gizi akan mengakibatkan anak menjadi lemah,
cepat lelah dan sakit - sakitan sehingga anak seringkali absen serta
mengalami kesulitan mengikuti dan memahami pelajaran.
Begitu juga dengan anak yang mengalami obesitas akan
mempengaruhi terhadap prestasi belajarnya. Hal ini berdasarkan
Datar, Sturm, dan Magnabosco (2004) yang menyatakan prestasi
anak obesitas pada pelajaran matematika dan membaca cenderung
lebih rendah dibandingkan anak yang tidak obesitas.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat
memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO
(2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang
menunjukkan bahwa Indeks Pengembangan Manusia Indonesia
makin menurun (Aqila, 2010).
Pada tahun 2003, IPM Indonesia menempati urutan ke 112
dari 174 negara (UNDP, 2003). Sedangkan pada tahun 2004, IPM
Indonesia menempati peringkat 111 dari 177 negara (UNDP,
2004), yang merupakan peringkat lebih rendah dibandingkan
peringkat IPM negara-negara tetangga (Hadi, 2005).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh IEA, Asosiasi
Internasional yang secara berkala meriset pencapaian bidang
pendidikan masyarakat dunia, tentang kemampuan membaca siswa
Sekolah Dasar (SD) di sejumlah negara, termasuk Indonesia,
menunjukkan bahwa kemampuan siswa SD di Indonesia sangat
rendah (di bawah rata-rata). Dari 33 negara yang diteliti, siswa SD
di Indonesia berada di urutan ke-32 (Eriyanti, 2007).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsumsi Zat Gizi
Adanya hubungan erat antara makanan dengan kesehatan manusia
telah lama diakui. Sejak tahun 1970 para pembuat kebijakan pembangunan
menyadari bahwa arti makanan lebih luas dari sekedar untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan saja. Kecukupan gizi dan pangan merupakan
salah satu faktor terpenting dalam mengembangkan kualitas sumber daya
manusia, hal tersebut merupakan faktor kunci dalam pembangunan suatu
bangsa. Dalam hal ini gizi ternyata sangat berpengaruh terhadap
kecerdasan dan produktivitas kerja. Zat gizi (nutrient) adalah ikatan kimia
yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan
energi, membangun dan memelihara jaringan serta mengatur proses-proses
kehidupan (Almatsier,2009).
Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak factor
antara lain: tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas
fisik, dan faktor yang bersifat relative yaitu: gangguan pencernaan
(ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat penggunaan
(utilization), dan perbedaan pengeluaran dan penghancuran (excretion and
destruction) dari zat gizi tersebut dalam tubuh (I Dewa Nyoman Supariasa
dkk, 2012).
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses pencernaan, absobsi,
transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang
tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan
fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Supariasa,
dkk, 2001).
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status
keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang
dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis:
(pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan
lainnya).Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam
bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk
variabel tertentu (Supariasa, dkk, 2001).
Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang
dikonsumsinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Bila kekurangan itu
ringan, tidak akan dijumpai penyakit defisiensi yang nyata, tetapi akan
timbul konsekuensi fungsional yang lebih ringan dan kadang-kadang tidak
disadari kalau hal tersebut karena faktor gizi (Ari Agung, 2003).
Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis
dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada
waktu tertentu pola makan merupakan berbagai informasi yang memberi
gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap
hari oleh suatu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu
kelompokmasyarakat tertentu (Yayuk Farida Baliwati. dkk, 2004).
Batissini (2005) mengatakan bahwa pola makan adalah segala
sesuatu mengenai frekuensi konsumsi makanan, kebiasaan makan,
konsumsi minuman, ukuran porsi, dan kualitas makanan sehari-hari. Anak
usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) mempunyai karakteristik banyak
melakukan aktivitas jasmani. Oleh karena itu, pada masa ini, anak harus
memiliki pola makanyang sehat untuk menunjang segala aktivitasnya.
Pola makan yang sehat berpengaruh positif pada diri anak seperti
menjaga kesehatan, mencegah atau membantu menyembuhkan penyakit.
Pedoman pola makan sehat untuk masyarakat secara umum yang sering
digunakan adalah pedoman Empat Sehat Lima Sempurna, Makanan
Triguna, dan pedoman yang paling akhir diperkenalkan adalah 13 Pesan
dasar Gizi Seimbang. Pengertian makanan triguna adalah bahwa makanan
atau diet sehari-hari harus mengandung: 1) karbohidrat dan lemak sebagai
zat tenaga; 2) protein sebagai zat pembangun; 3) vitamin dan mineral
sebagai zat pengatur (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2003).
Pola makan anak akan berpengaruh terhadap status gizi anak
tersebut. Status sangat mempengaruhi kemampuan anak dalam mengikuti
pelajaran di sekolah dan akan mempengaruhi prestasi belajar. Penelitian
Wilma ( 2006) di Kabupaten Nabire tentang kaitan indeks prestasi dengan
status gizi anak menemukan bahwa semakin rendah status gizi siswa
semakin rendah pula nilai prestasi mereka. Huwae ( 2005) menyatakan
dari 43 sampel anak sekolah yang diteliti di Kabupaten Nabire terdapat 36
% menderita gizi kurang dan 1,3 % mengalami gizi buruk. Penelitian ini
menyatakan terdapat hubungan yang erat antara pola makan dengan
prestasi belajar siswa sekolah dasar yaitu pola makan sehat siswa maka
akan berpengaruh pula terhadap prestasi belajar mereka.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Makan
Pola makan seseorang pada dasarnya tidak dapat dibentuk dengan
sendirinya. Menurut Dirjen Binkesmas Depkes RI (2007), berbagai macam
faktor yang mempengaruhi pola makan seseorang adalah sebagai berikut:
1. Budaya
Budaya cukup menentukan jenis makanan yang sering dikonsumsi.
Demikian pula letak geografis mempengaruhi makanan yang
diinginkannya. Sebagai contoh, nasi untuk orang-orang Asia dan
Orientalis, pasta untuk orang-orang Italia, curry (kari) untuk orang-orang
India merupakan makanan pokok, selain makana-makanan lain yang mulai
ditinggalkan. Makanan laut banyak disukai oleh masyarakat sepanjang
pesisir Amerika Utara. Sedangkan penduduk Amerika bagian Selatan lebih
menyukai makanan goreng-gorengan (Dirjen Binkesmas Depkes RI ,
2007).
2. Agama/Kepercayaan
Agama / kepercayaan juga mempengaruhi jenis makanan yang
dikonsumsi. Sebagai contoh, agama Islam dan Yahudi Orthodoks
mengharamkan daging babi. Agama Roma Katolik melarang makan
daging setiap hari, dan beberapa aliran agama (Protestan) melarang
pemeluknya mengkonsumsi teh, kopi atau alkohol (Dirjen Binkesmas
Depkes RI 2007).
3. Status Sosial Ekonomi
Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut
dipengaruhi oleh status sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, orang kelas
menegah ke bawah atau orang miskin di desa tidak sanggup membeli
makanan jadi, daging, buah dan sayuran yang mahal. Pendapatan akan
membatasi seseorang untuk mengkonsumsi makanan yang mahal
harganya. Kelompok sosial juga berpengaruh terhadap kebiasaan makan,
misalnya kerang dan siput disukai oleh beberapa kelompok masyarakat,
sedangkan kelompok masyarakat yang lain lebih menyukai hamburger dan
pizza (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007).
4. Personal Preference
Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh
terhadap kebiasaan makan seseorang. Orang seringkali memulai kebiasaan
makannya sejak dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Misalnya, ayah
tidak suka makan kai, begitu pula dengan anak laki-lakinya. Ibu tidak suka
makanan kerang, begitu pula anak perempuannya. Perasaan suka dan tidak
suka seseorang terhadap makanan tergantung asosiasinya terhadap
makanan tersebut. Anak-anak yang suka mengunjungi kakek dan
neneknya akan ikut menyukai acar karena mereka sering dihidangkan acar.
Lain lagi dengan anak yang suka dimarahi bibinya, akan tumbuh perasaan
tidak suka pada daging ayam yang dimasak bibinya (Dirjen Binkesmas
Depkes RI, 2007).
5. Rasa Lapar, Nafsu Makan, dan Rasa Kenyang
Rasa lapar umumnya merupakan sensasi yang kurang
menyenangkan karena berhubungan dengan kekurangan makanan.
Sebaliknya, nafsu makan merupakan sensasi yang menyenangkan berupa
keinginan seseorang untuk makan. Sedangkan rasa kenyang merupakan
perasaan puas karena telah memenuhi keinginannya untuk makan. Pusat
pengaturan dan pengontrolan mekanisme lapar, nafsu makan dan rasa
kenyang dilakukan oleh sistem saraf pusat, yaitu hipotalamus (Dirjen
Binkesmas Depkes RI ,2007).
6. Kesehatan
Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan.
Sariawan atau gigi yang sakit seringkali membuat individu memilih
makanan yang lembut. Tidak jarang orang yang kesulitan menelan,
memilih menahan lapar dari pada makan (Dirjen Binkesmas Depkes RI
2007).
Kebutuhan Gizi Anak Usia SD
Anak usia sekolah dasar dapat digambarkan sebagai bocah
berumur 6 sampai 12 tahun, dengan karakteristik pertumbuhan yang relatif
tetap dan dengan sedikit masalah pemberian makanan. Pada masa ini
terjadi peningkatan nafsu makan secara alamiah, sebuah faktor yang dapat
meningkatkan konsumsi makanan. Waktu lebih banyak dihabiskan di
sekolah sehingga anak usia ini mulai menyesuaikan dengan jadwal rutin.
Mereka juga mencoba mempelajari keterampilan fisik dan menghabiskan
banyak waktu untuk berolahraga dan bermain. Di sekolah juga
mempelajari tentang makanan dan gizi sebagai bagian dari kurikulum di
sekolah. Pengaruh teman sebaya, guru, pelatih dan tokoh-tokoh idola
sangatlah besar. Anak pada usia sekolah dasar tumbuh dengan kecepatan
genetis masing-masing, dengan perbedaan tinggi badan yang sudah mulai
tampak. Ada sebagian anak yang terlihat relatif lebih pendek atau lebih
tinggi. Komposisi tubuh anak usia sekolah dasar juga mulai berubah.
Komposisi lemak meningkat setelah anak berusia 6 tahun (Muhilal dan
Didit Damayanti, 2006). Hal ini diperlukan untuk persiapan percepatan
pertumbuhan pubertas. Komposisi tubuh anak laki-laki dengan anak
perempuan mulai terlihat berbeda walaupun tidak bermakna. Tubuh anak
perempuan lebih banyak lemak, sedangkan badan anak laki-laki lebih
banyak jaringan otot.
Gizi yang cukup, secara bertahap memainkan peran yang penting
selama usia sekolah untuk menjamin bahwa anak-anak mendapatkan
pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang maksimal. Anak usia
sekolah 7-12 tahun yang memiliki beragam aktifitas kebutuhan gizinya
harus diperhatikan karena pada usia ini anak mudah terpengaruh oleh
kebiasaan-kebiasaan diluar keluarga. Pada usia ini anak mulai
memilih/menentukan sendiri. Kadang-kadang timbul kesulitan yang
berlebihan terhadap salah satu makanan tertentu yang disebut Food
Faddism (Anggaraini, 2003).
Pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah dasar akan
lebih maksimal jika kebutuhan gizi anak dapat terpenuhi. Selain itu,
pembiasaan pola makan sehat di dalam keluarga harus benar-benar
ditanamkan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal.
Salah satu pembiasaan yang penting bagi anak adalah sarapan pagi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak yang makan pagi mempunyai sikap
dan prestasi sekolah yang lebih baik daripada anak yang tidak sempat
sarapan (Muhilal dan Didit Damayanti, 2006).
Penelitian olah Pollit, Leibel, dan Greefield menunjukkan pada
anak usia 9-11 tahun dengan gizi baik, kemampuan pemecahan
masalahnya dipengaruhi oleh makan pagi. Penelitian lain menunjukkan
bahwa konsentrasi berpikir anak yang tidak makan pagi lebih rendah
secara bermakna. Hal ini dapat dijelaskan bahwa agar otak dan sel darah
merah bekerja diperlukan energi dari glukosa (karbohidrat). Tanpa
sarapan, pada tengah hari persediaan glukosa menurun sehingga anak
kekurangan energi yang dibutuhkan otak untuk dapat berkonsentrasi.
Makanan pagi menyumbang seperempat dari kebutuhan gizi sehari
yaitu sekitar 450-500 kalori dengan 8-9 gram protein. Selain kandungan
gizinya cukup, bentuk makanan pagi sebaiknya juga yang disukai anak-
anak serta praktis pembuatannya (Muhilal dan Didit Damayanti, 2006).
Anak Sekolah Dasar
Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Anak sekolah dasar adalah anak yang berusia 7-12 tahun, memiliki
fisik lebih kuat mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak
bergantung dengan orang tua. Biasanya pertumbuhan anak putri lebih
cepat dari pada putra. Kebutuhan gizi anak sebagian besar digunakan
untuk aktivitas pembentukan dan pemeliharaan jaringan. Karakteristik
anak sekolah meliputi:
1. Pertumbuhan tidak secepat bayi.
2. Gigi merupakan gigi susu yang tidak permanen (tanggal).
3. Lebih aktif memilih makanan yang disukai.
4. Kebutuhan energi tinggi karena aktivitas meningkat.
5. Pertumbuhan lambat.
6. Pertumbuhan meningkat lagi pada masa pra remaja (Moehji, 2003).
Anak sekolah biasanya banyak memiliki aktivitas bermain yang
menguras banyak tenaga, dengan terjadi ketidakseimbangan antara energi
yang masuk dan keluar, akibatnya tubuh anak menjadi kurus. Untuk
mengatasinya harus mengontrol waktu bermain anak sehingga anak
memiliki waktu istirahat cukup (Moehji, 2003).
Karakteristik Siswa Kelas IV, V, dan VI Sekolah Dasar
1. Pertumbuhan dan Perkembangan
Dwi Siswoyo dkk, (2007) mengatakan bahwa istilah pertumbuhan
pada diri siswa diartikan sebagai bertambahnya tinggi badan, berat badan,
semakin efektifnya fungsi otot-otot tubuh dan organ fisik, organ panca
indera, kekekaran tubuh dan lain-lain yang menyangkut aspek fisik. Istilah
perkembangan ditandai dengan semakin optimalnya kemajuan aspek
psikis siswa serta kemampuan cipta, rasa, karsa, karya, kematangan
pribadi, pengendalian emosi, kepekaan spiritualitas, keimanan dan
ketaqwaan.
Pertumbuhan dan perkembangan siswa dari masa anak-anak
hingga dewasa melalui berbagai proses dan tahapan. Masing-masing tahap
merupakan masa peka siswa terhadap kebutuhan tertentu yang
membutuhkan perlakuan sesuai dari pendidik. Maria Montessori dalam
Dwi Siswoyo, dkk (2007) mengemukakan masa peka ini dengan istilah
“sensitive periods”. Tugas seorang pendidik adalah mengenali masa peka
yang ada pada diri siswa yang kemudian memberikanpelayanan dan
perlakuan yang tepat.
Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh (2005) mengatakan bahwa
masa usia sekolah dasar sering pula disebut sebagai masa intelektual atau
masa keserasian sekolah. Pada masa ini secara relatif anak lebih mudah
dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini diperinci
menjadi dua fase, yaitu masa kelas rendah sekolah dasar (kelas 1, 2, dan
3), dan masa kelas tinggi sekolah dasar (kelas 4, 5, dan 6).
Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh (2005) mengatakan bahwa
masa kelas tinggi sekolah dasar memiliki sifat khas antara lain adalah
seperti yang disebutkan di bawah ini:
a. Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal
ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan
pekerjaan-pekerjaan yang praktis.
b. Amat realistis, ingin tahu, ingin belajar.
c. Menjelang masa akhir ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata
pelajaran khusus, yang oleh para ahli ditafsirkan sebagai mulai
menonjolnya faktor-faktor.
d. Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau
orangorang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi
keinginannya, setelah kira-kira umur 11 tahun pada umumnya anak
menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikannya
sendiri.
e. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang
tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah.
f. Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya,biasanya
untuk dapat bermain bersama-sama.
Masalah Gizi Anak Sekolah Dasar
Masalah gizi (malnutrition) adalah gangguan pada beberapa segi
kesejahteraan perorangan dan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak
terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan.
Masalah gizi berkaiatan erat dengan masalah pangan. Masalah pangan
antara lain menyangkut ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi
pangan yang dipengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan dan
adat/kepercayaan yang terkait dengan tabu makanan. Sementara,
permasalahan gizi tidak hanya terbatas pada kondisi kekurangan gizi saja
melainkan tercakup pula kondisi kelebihan gizi.
Di beberapa daerah pada sekelompok masyarakat Indonesia
terutama di kota-kota besar, masalah kesehatan masyarakat utama justru
dipicu dengan adanya kelebihan gizi, meledaknya kejadian obesitas di
beberapa daerah di Indonesia akan mendatangkan masalah baru yang
mempunyai konsekuensi yang serius bagi pembangunan bangsa Indonesia
khususnya di bidang kesehatan. Dengan kata lain, masih tingginya
prevalensi kurang gizi di beberapa daerah dan meningkatnya prevalensi
obesitas yang dramatis di beberapa daerah yang lain akan menambah
beban yang lebih komplek dan harus dibayar mahal oleh bangsa Indonesia
dalam upaya pembangunan bidang kesehatan, sumber daya manusia dan
ekonomi (Hadi, 2005).
Kebutuhan Makanan pada Anak Sekolah
Awal usia 6 tahun anak mulai masuk sekolah, dengan demikian
anak-anak mulai masuk ke dalam dunia baru, dimana dia mulai banyak
berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, dan dia berkenalan
dengan suasana dan lingkungan baru dalam kehidupannya. Hal ini tentu
saja banyak mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Pengalaman-
pengalaman baru, kegembiraan di sekolah, rasa takut terlambat tiba di
sekolah, menyebabkan anak-anak ini sering menyimpang dari kebiasaan
waktu makan yang sudah diberikan kepada mereka (Moehji, 2003).
Adanya aktivitas yang tinggi mulai dari sekolah, kursus,
mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan mempersiapkan pekerjaan untuk
esok harinya, membuat stamina anak cepat menurun kalau tidak ditunjang
dengan intake pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas. Agar stamina
anak usia sekolah tetap fit selama mengikuti kegiatan di sekolah maupun
kegiatan ekstra kurikuler, maka saran utama dari segi gizi adalah jangan
meninggalkan sarapan pagi. Ada berbagai alasan yang seringkali
menyebabkan anak-anak tidak sarapan pagi. Ada yang merasa waktu
sangat terbatas karena jarak sekolah cukup jauh, terlambat bangun pagi,
atau tidak ada selera untuk sarapan pagi (Khomsan, 2003).
Pentingnya mengkonsumsi makanan selingan selama di sekolah
adalah agar kadar gula tetap terkontrol baik, sehingga konsentrasi terhadap
pelajaran dan aktivitas lainnya dapat tetap dilaksanakan. Kandungan zat
gizi makanan selingan ditinjau dari besarnya kandungan energi dan protein
sebesar 300 kkal dan 5 gram protein. Kebutuhan energi golongan umur 10-
12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena
pertumbuhan relatif cepat, terutama penambahan tinggi badan. Mulai umur
10-12 tahun, Kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak
perempuan. Adapun jumlah energi dan protein yang dianjurkan oleh
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi bagi anak umur 7-12 tahun
Tabel Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan
(Per Orang Per Hari) Umur Anak Umur 7 –12 Tahun
Golongan Umur
Berat Tinggi Energi Protein
7-9 tahun 25 kg 120 cm 1800 kkal 45 gram10 –12 tahun (pria)
35 kg 138 cm 2050 kkal 50 gram
10 –12 tahun (wanita)
38 kg 145 cm 2050 kkal 50 gram
Sumber : Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Jakarta 17- 19 Mei 2004
Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang
diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan.
Status ini merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat
keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari
pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004).
Menurut Supariasa, dkk (2001) menyatakan bahwa status gizi yaitu
ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau
perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Contoh : Gizi
kurang merupakan keadaan tidak seimbangnya konsumsi makanan dalam
tubuh seseorang.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Penyebab Langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan
gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan
makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat
cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat
menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak
memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan
melemah dan akan mudah terserang penyakit.
Penyebab tidak Langsung
Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi
kurang yaitu :
- Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap
keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan
seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah
maupun mutu gizinya.
- Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan
mayarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan
dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik
baik fisik, mental dan sosial.
- Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim
pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin
penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang
terjang kau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.
Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang
diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan
suatu populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang
maupun gizi lebih (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). Penilaian status gizi
terdiri dari dua jenis, yaitu :
1. Penilaian Langsung
a. Antropometri
Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang
berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan
tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi
dan komposisi tubuh seseorang (Supariasa, 2001). Metode antropometri
sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan
tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat-zat
gizi yang spesifik (Gibson, 2005).
b. Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan
perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun
kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan
epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang
dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti,
2007).
c. Biokimia
Pemeriksaan biokimia disebut juga cara laboratorium. Pemeriksaan
biokimia pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi
zat gizi pada kasus yang lebih parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan
dalam suatu bahan biopsi sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau
adanya simpanan di jaringan yang paling sensitif terhadap deplesi, uji ini
disebut uji biokimia statis. Cara lain adalah dengan menggunakan uji
gangguan fungsional yang berfungsi untuk mengukur besarnya konsekuensi
fungsional dari suatu zat gizi yang spesifik Untuk pemeriksaan biokimia
sebaiknya digunakan perpaduan antara uji biokimia statis dan uji gangguan
fungsional (Baliwati, 2004).
d. Biofisik
Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur
jaringan yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti kejadian
buta
senja (Supariasa, 2001).
2. Penilaian Tidak Langsung
a. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi
dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu
maupun keluarga. Data yang didapat dapat berupa data kuantitatif maupun
kualitatif. Data kuantitatif dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang
dikonsumsi, sedangkan data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan
cara seseorang maupun keluarga dalam memperoleh pangan sesuai dengan
kebutuhan gizi (Baliwati, 2004).
b. Statistik Vital
Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui
data-data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi,
seperti angka kematian menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan
dan kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi
yang berkaitan dengan kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
c. Faktor Ekologi
Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah
gizi dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor
biologis, faktor fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor
ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah
(malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna
untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2001).
Indeks Antropometri
Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks
antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau
lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi.
Salah satu contoh dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh
(IMT) atau yang disebut dengan Body Mass Index (Supariasa, 2001). IMT
merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa
khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan,
maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat
mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang. Dua parameter yang
berkaitan dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh, terdiri dari :
1. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu parameter massa tubuh yang paling
sering digunakan yang dapat mencerminkan jumlah dari beberapa zat gizi
seperti protein, lemak, air dan mineral. Untuk mengukur Indeks Massa
Tubuh, berat badan dihubungkan dengan tinggi badan (Gibson, 2005).
2. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang dan dapat
merefleksikan pertumbuhan skeletal (tulang) (Hartriyanti dan Triyanti,
2007).
2.3.1. Cara Mengukur Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh diukur dengan cara membagi berat badan dalam
satuan kilogram dengan tinggi badan dalam satuan meter kuadrat (Gibson,
2005).
Kategori Indeks Massa Tubuh
Untuk mengetahui status gizi seseorang maka ada kategori ambang batas
IMT yang digunakan, seperti yang terlihat pada tabel 2.1 yang merupakan
ambang batas IMT untuk Indonesia.
Tabel Kategori Batas Ambang IMT di Indonesia (kg/m2)
Kategori IMT (kg/m2)
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17-18,4
Normal 18,5-25
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat ≥ 27,0
Sumber : Depkes, 2003
Kategori IMT (kg/m2)
Underweight < 18,5
Normal 18,5 – 24,99
Overweight ≥ 25,00
Preobese 25,00 – 29,99
Obesitas tingkat 1 30,00 – 34,99
Obesitas tingkat 2 35,00 – 39,9
Obesitas tingkat 3 ≥ 40,00
Sumber : WHO (2000) dalam Gibson (2005)
Penilaian Status Gizi Anak Sekolah Dasar
Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
Supariasa, dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah
ukuran tubuh. Maka antropometri gizi berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh
dari berbagai tingkat umur dan tingkat dan tingkat gizi.
Pengukuran antropometri relatif mudah dilaksanakan. Akan
tetapi untuk berbagai cara, pengukuran antropometri ini
membutuhkan keterampilan, peralatan dan keterangan untuk
pelaksanaanya. Jika dilihat dari tujuannya antropometri dapat dibagi
menjadi dua yaitu :
1. Untuk ukuran massa jaringan : Pengukuran berat badan,
tebal lemak dibawah kulit, lingkar lengan atas. Ukuran
massa jaringan ini sifanya sensitif, cepat berubah, mudah
turun naik dan menggambarkan keadaan sekarang.
2. Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar
kepala dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik,
perubahan relatif lambat, ukuranya tetap atau naik, dapat
menggambarkan riwayat masa lalu.
Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan
untuk menilai status gizi anak adalah indikator Berat Badan
Menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U),
Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) (Depkes RI, 1995).
. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang
memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak),
karena massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang
mendadak misalnya karena penyakit infeksi, menurunnya
nafsu makan atau menurunya makanan yang dikonsumsi maka berat badan
merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal,
dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara intake dan
kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti
pertambahan umur. Sebaliknya keadaan abnormal, terdapat dua
kemungkinan perkembangan berat badan yaitu berkembang lebih cepat atau
berkembang lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan sifat-sifat ini,
maka indeks berat badan menurut umur (BB/U) digunakan sebagai salah
satu indikator status gizi. Oleh karena sifat berat badan yang stabil maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat kini
(current nutritional status).
Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi
memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian.
Kelebihan indeks BB/U yaitu :
1. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat
umum.
2. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek.
3. Dapat mendeteksi kegemukan (Over weight).
Sedangkan kelemahan dari indek BB/U adalah :
1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila
terdapat oedema.
2. Memerlukan data umur yang akurat.
3. Sering terjadi kesalahan pengukuran misalnya pengaruh pakaian,
atau gerakan anak pada saat penimbangan.
4. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah
sosial budaya setempat. Dalam hal ini masih ada orang tua yang
tidak mau menimbangkan anaknya karena seperti barang dagangan
(Supariasa, 2002).
Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang
menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal,
tinggi badan tumbuh bersamaan dangan pertambahan umur.
Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang
sensitif terhadap masalah defisiensi zat gizi jangka pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak
pada saat yang cukup lama.
Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lampau,
dan dapat juga digunakan sebagai indikator perkembangan sosial
ekonomi masyarakat. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah
(tujuh tahun), menggambarkan status gizi masa balitanya. Masalah
penggunaan indek TB/U pada masa balita, baik yang berkaitan
dengan kesahlian pengukuran tinggi badan maupun ketelitian data
umur. Masalah-masalah seperti ini akan lebih berkurang bila
pengukuran dilakukan pada anak yang lebih tua karena pengukuran
lebih mudah dilakukan dan penggunaan selang umur yang lebih
panjang (setelah tahunan atau tahunan) memperkecil kemungkinan
kesalahan data umur.
Kelemahan penggunaan indeks tinggi badan menurut umur
(TB/U) yaitu :
1. Tidak dapat member gambaran keadaan pertumbuhan secara
jelas.
2. Dari segi operasional, sering dialami kesulitan dalam pengukuran
terutama bila anak mengalami keadaan takut dan tegang (Jahari,
1998).
Indeks Massa Tubuh Menurut (IMT/U)
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan
pelaksanaan perbaikan gizi adalah dengan menentukan atau melihat.
Ukuran fisik seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi.
Atas dasar itu, ukuran-ukuran yang baik dan dapat diandalkan bagi
penentuan status gizi dengan melakukan pengukuran antropometri.
Hal ini karena lebih mudah dilakukan dibandingkan cara penilaian
status gizi lain, terutama untuk daerah pedesaan (Supariasa, dkk.,
2001).
Pengukuran status gizi pada anak sekolah dapat dilakukan
dengan cara antropometri. Saat ini pengukuran antropometri
(ukuran-ukuran tubuh) digunakan secara luas dalam penilaian status
gizi, terutama jika terjadi ketidakseimbangan kronik antara intake
energi dan protein. Pengukuran antropometri terdiri atas dua
dimensi, yaitu pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh.
Komposisi tubuh mencakup komponen lemak tubuh (fat mass) dan
bukan lemak tubuh (non-fat mass) (Riyadi, 2004).
Pengukuran status gizi anak sekolah dapat dilakukan dengan
indeks antropometri dan menggunakan Indeks Massa Tubuh
Menurut Umur (IMT/U) anak sekolah.
Rumus IMT
IMT =
Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Antropometri
Dalam penelitian status gizi, khususnya untuk keperluan
klasifikasi diperlukan ukuran baku (reference). Pada tahun 2009,
Standar Antropometri WHO 2007 diperkenalkan oleh WHO sebagai
standar antopometri untuk anak dan remaja di dunia.
Klasifikasi status gizi anak dan remaja menurut WHO 2007
adalah sebagai berikut :
Indeks BB/U :
a. Normal : ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD
b. Kurang : ≥ -3 SD s/d < -2 SD
c. Sangat Kurang : < -3 SD
Indeks TB/U :
a. Normal : ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD
b. Pendek : ≥ -3 SD s/d < -2 SD
c. Sangat pendek : < -3 SD
Indeks IMT/U :
a. Sangat gemuk : > 3 SD
b. Gemuk : > 2 SD s/d ≤ 3 SD
c. Normal : ≥ -2 SD s/d ≤ 2 SD
d. Kurus : ≥ -3 SD s/d < -2 SD
e. Sangat kurus : < -3 SD
.