BAB I

18
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes Scabiei varietas hominis (Sutanto, 2009) . Skabies mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia, atau sebaliknya. Dapat menyerang semua ras, umur, dan semua golongan ekonomi yang ada di dunia (Gilmore, 2011) . Skabies merupakan suatu penyakit kulit yang terabaikan, banyak masyarakat indonesia yang mengganggap penyakit ini sebagai penyakit kulit yang lumrah terjadi tanpa mereka tahu sebenarnya pervalensi penyakit ini cukup tinggi di Indonesia (Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005). Prevalensi skabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per tahun (Chosidow, 2006). Sedangkan prevalensi skabies di Indonesia menurut Depkes RI berdasarkan data dari puskesmas seluruh Indonesia tahun 2008 adalah 5,6%-12,95%. Scabies di Indonesia menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering (Azizah & Setiyowati, 2011). Insiden dan prevalensi skabies masih sangat tinggi di Indonesia terutama pada lingkungan masyarakat pesantren. Hal ini tercermin bahwa prevalensi scabies pada pondok pesantren di Kabupaten Lamongan 64,2%, dan 1

description

lalalalala

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes

Scabiei varietas hominis (Sutanto, 2009) . Skabies mudah menular dari manusia

ke manusia, dari hewan ke manusia, atau sebaliknya. Dapat menyerang semua

ras, umur, dan semua golongan ekonomi yang ada di dunia (Gilmore, 2011) .

Skabies merupakan suatu penyakit kulit yang terabaikan, banyak masyarakat

indonesia yang mengganggap penyakit ini sebagai penyakit kulit yang lumrah

terjadi tanpa mereka tahu sebenarnya pervalensi penyakit ini cukup tinggi di

Indonesia (Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005).

Prevalensi skabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per

tahun (Chosidow, 2006). Sedangkan prevalensi skabies di Indonesia menurut

Depkes RI berdasarkan data dari puskesmas seluruh Indonesia tahun 2008

adalah 5,6%-12,95%. Scabies di Indonesia menduduki urutan ketiga dari 12

penyakit kulit tersering (Azizah & Setiyowati, 2011). Insiden dan prevalensi

skabies masih sangat tinggi di Indonesia terutama pada lingkungan masyarakat

pesantren. Hal ini tercermin bahwa prevalensi scabies pada pondok pesantren di

Kabupaten Lamongan 64,2%, dan di Kabupaten Pasuruan 70% (Ma’rufi,

Keman & Notobroto, 2005).

Skabies sangat erat hubungannya dengan perilaku hidup bersih dan

sehat, terutama dalam hal personal hygiene. Pemeliharaan Personal hygiene

menentukan status kesehatan, dimana seorang individu dengan sadar dan dengan

inisiatif sendiri menjaga kesehatan dan mencegah ternjadinya penyakit. Upaya

kebersihan diri ini menyangkut kebersihan mulut, gigi, kuku, kulit, rambut serta

kebersihan dalam berpakaian. Salah satu upaya personal hygiene adalah

merawat kebersihan kulit, karena kulit berfungsi untuk melindungi tubuh dari

serangan parasit yang dapat menyebabkan skabies (Djuanda, 2007) . Selain itu

sanitasi yang buruk juga dapat meningkatkan infeksi skabies (Ma’rufi, Keman &

Notobroto, 2005).

1

Page 2: BAB I

Faktor yang menyebabkan scabies adalah keterkaitan antara faktor sosio

demografi dengan lingkungan (Zayyid, Saadah, Adil, Rohela & Jamaiah, 2011) .

Penyakit skabies sangat erat dengan kemiskinan dan kepadatan penduduk .

Faktor yang mengakibatkan tinggginya prevalensi scabies antara lain

kelembaban yang tinggi, rendahnya sanitasi, kepadatan, malnutrisi , personal

higiene yang buruk, pengetahuan, sikap dan perilaku yang kurang mendukung

pola hidup sehat (Steer et al., 2009) .

Faktor personal higiene, ketersediaan air bersih, status sosial ekonomi

berpengaruh terhadap prevalensi skabies. Kebiasaan tidur, berbagi baju, handuk,

praktek higiene yang tidak benar, sering berpergian ke tempat yang beresiko dan

berpotensi sebagai sumber penularan scabies merupakan faktor yang

menyebabkan scabies. Sanitasi lingkungan yang buruk di merupakan faktor

dominan yang berperan dalam penularan dan tingginya angka prevalensi

penyakit Scabies (Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005).

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh perilaku hidup bersih dan sehat

terhadap timbulnya penyakit skabies, maka diperlukan informasi yang

mendalam tentang skabies dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Selain

itu juga diperlukan informasi mengenai hubungan antara skabies dan perilaku

hidup bersih dan sehat. (PHBS).

2. Tujuan

Mengetahui pengaruh perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) terhadap

timbulnya penyakit skabies.

2

Page 3: BAB I

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Skabies

1.1. Etiologi

Sarcoptes scabiei adalah tungau yang termasuk dalam famili

sarcoptidae, ordo acari, kelas arachianida. Badannya berbentuk oval dan

gepeng. Betina berukuran 300x350 mikron, sedangkan jantan berukuran

150x200 mikron. Saat dewasa memiliki 4 pasang kaki. Setelah kopulasi

S.scabiei jantan akan mati, sang betina akan membuat terowongan pada

stratum korneum kulit. Betina bertelur setelah 2 hari. Telur menetas menjadi

larva dalam waktu 3-5hari. Larva akan berkembang menjadi nimfa dalam waktu

3-4hari. Nimfa akan berubah menjadi dewasa setelah 3-5hari (Sutanto, 2009)

1.2. Epidemiologi

Skabies biasanya menghinggapi pasien dengan hygiene yang buruk,

miskin, dan hidup dalam lingkungan yang padat dan kumuh (Sutanto, 2009)

Faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial

ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual dan sifatnya

promiskuitas (ganti-ganti pasangan), kesalahan diagnosis dan perkembangan

demografi serta ekologi (Djuanda, 2010).

1.3. Cara Penularan

Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak

langsung, adapun cara penularannya adalah:

a. Kontak langsung (kulit dengan kulit)

Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan,

tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual

merupakan hal tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari

orang tua atau temannya.

3

Page 4: BAB I

b. Kontak tidak langsung (melalui benda)

Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur,

pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan.

Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut

memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa

sumber penularan utama adalah selimut (Djuanda, 2010).

1.4. Patogenesis

Lesi primer skabies berupa terowongan yang berisi tungau, telur dan

hasil metabolisme. Tungau membuat terowongan dengan cara mengeluarkan

sekret yang dapat melisiskan stratum korneum. Sekret dan eksekret dapat

menyebabkan sensitisasi sehingga dapat menimbulkan pruritus dan lesi

sekunder. Lesi sekunder dapat berupa papul, vesikel, pustul dan kadang bula.

Dapat juga terjadi lesi tersier berupa ekskoriasi, eksematisasi dan pioderma

(Sutanto, 2009).

Tungau hidup di dalam terowongan di tempat perdileksi, yaitu jari

tangan, pergelangan tanan bagian ventral, siku bagian luar, ketiak bagian depan,

umbilikus, gluteus, ekstremitas, genitalia eksterna pada laki-laki dan areola

mammae pada perempuan. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan

telapak kaki. Terowongan ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder.

Terowongan umumnya ditemukan pada penderita kulit putih dan sangat jarang

ditemukan pada penderita di Indonesia karena umumnya penderita datang pada

stadium lanjut sehingga sudah terjadi infeksi sekunder (Sutanto, 2009).

1.5. Gambaran Klinis

a. Pruritus noktural yaitu gatal pada malam hari karena aktifitas tungau yang

lebih tinggi pada suhu yang lembab dan panas.

b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam keluarga,

biasanya seluruh anggota keluarga, begitu pula dalam sebuah perkampungan

yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan

4

Page 5: BAB I

diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh

anggota keluarganya terkena.

c. Adanya kunikulus (terowongan) pada tempat-tempat yang dicurigai berwarna

putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata 1 mm,

pada ujung terowongan ditemukan papula (tonjolan padat) atau vesikel (kantung

cairan). Jika ada infeksi sekunder, timbul polimorf (gelembung leokosit).

d. Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostik. Tungau sulit

ditemukan pada pemeriksaan laboratorium karena yang meninfestasi penderita

sedikit.

e. Adanya tanda : papula (bintil), pustula (bintil bernanah), ekskoriasi (bekas

garukan). Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal

pada kulit yang umumnya muncul di sela-sela jari, selangkangan dan lipatan

paha, dan muncul gelembung berair pada kulit (Djuanda, 2010)

1.6. Diagnosis

Diagnosis dapat dipastikan bila ditemukan S.scabiei yang di dapatkan

dengan cara mencongkel atau mengeluarkan tungau dari kulit, kerokan kulit atau

biopsi. Diagnosis dioerensial skabies dalah purigo yang mempunyai perdileksi

yang sam a. pada pemeriksaan laboratorium tungau sulit ditemukan karena

jumlah telur yang menetas hanya 10 %, selain itu garukan juga dapat

mengeluarkan tungau secara mekanik dan jika terjadi infeksi sekunder maka pus

yang terbentuk dapat membunuh tungau karena pus bersifat akarisida (Sutanto,

2009)

1.7. Pengobatan

a. Preparat sulfur presipitatum 5-10 % efektif terhadap stadium larva, nimfa

dan dewasa tetapi tidak dapat membunuh telur. Karena itu pengobatan

minimal 3 hari agar larva yang menetas dari telurnya dapat pula

dimatikan.

5

Page 6: BAB I

b. Gama benzen heksaklorida efektif untuk semua stadium tetapi tidak

dapat digunakan untuk semua stadium dan tetapi tidak aman digunakan

untuk anak-anak dibawah 6 tahun karena bersifat neurotoksik

c. Permetrin dalam bentuk krim 5% efektif untuk semua stadium dan relatif

aman untuk digunakan pada anak-anak.

d. Obat lain yang efektif untuk semua stadium adalah benzilbenzoat 20-

25% dan krotamiton, tetapi obat ini relatif mahal (Sutanto, 2009)

1.8. Pencegahan

Pencegahan skabies pada manusia dapat dilakukan dengan cara

menghindari kontak langsung dengan penderita dan mencegah penggunaan

barang-barang penderita secara bersama-sama. Pakaian, handuk dan barang-

barang lainnya yang pernah digunakan oleh penderita harus diisolasi dan dicuci

dengan air panas. Pakaian dan barang-barang asal kain dianjurkan untuk

disetrika sebelum digunakan. Sprai penderita harus sering diganti dengan yang

baru maksimal tiga hari sekali. Benda-benda yang tidak dapat dicuci dengan air

(bantal, guling, selimut) disarankan dimasukkan kedalam kantung plastik selama

tujuh hari, selanjutnya dicuci kering atau dijemur di bawah sinar matahari.

Kebersihan tubuh dan lingkungan termasuk sanitasi serta pola hidup yang sehat

akan mempercepat kesembuhan dan memutus siklus hidup S. scabiei (Rodina,

2007).

1.9. Faktor yang mempengaruhi terjadinya Skabies

Kepadatan penduduk, diagnosis yang tertunda, perlakuan yang tertunda

dan pendidikan masyarakat yang rendah berkontribusi pada prevalensi scabies

baik di negara industri maupun non industri (Chowsidow, 2006). Rendahnya

tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap

peningkatan prevalensi scabies. Semakin rendah tingkat pendidikan sesorang

maka tingkat pengetahuan tentang personal higienis juga semakin rendah.

Akibatnya menjadi kurang peduli tentang pentingnya personal higienis dan

perannya dalam higiene rendah terhadap penyebaran penyakit. Perlu program

6

Page 7: BAB I

kesehatan umum untuk mendidik populasi mengerti aspek pencegahan penyakit

(Raza, Qadir & Agha, 2009).

2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

2.1. Definisi

Perilaku Sehat adalah pengetahuan, sikap dan tindakan proaktif untuk

memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman

penyakit, serta berperan aktif dalam Gerakan Kesehatan Masyarakat (Depkes,

2007).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), adalah wujud pemberdayaan

masyarakat yang sadar, mau dan mampu mempraktekkan PHBS. Dalam hal ini ada

program prioritas yaitu KIA, Gizi, Kesehatan Lingkungan, Gaya Hidup, dan Dana

Sehat/Asuransi Kesehatan/JPKM (Depkes, 2007).

Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), adalah upaya untuk

memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan,

keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi,

memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan,

sikap dan perilaku, melalui pendekatan pimpinan (Advokasi), bina suasana (Social

Support) dan pemberdayaan masyarakat (Empowerment). Dengan demikian

masyarakat dapat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri, terutama dalam

tatanan masing-masing, dan masyarakat/dapat menerapkan cara-cara hidup sehat

dengan menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Depkes, 2007).

Perilaku adalah suatu kegiatan makhluk hidup yang berhubungan dengan

berbagai aktifitas. Perilaku atau aktifitas manusia, dapat diamati baik secara

langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dalam kaitannya dengan

pemeliharaan kesehatan, individu merespon perilaku lingkungan, perilaku kesehatan

untuk dirinya sendiri. Perilaku kesehatan yang berkaitan dengan upaya kebersihan

7

Page 8: BAB I

diri dalam kaitannya dengan upaya pencegahan penyakit dilakukan dengan berbagai

cara contohnya seperti kebiasaan mandi, mencuci tangan dan kaki, dan kebersihan

pakaian (Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005).

Higiene atau biasa juga disebut dengan kebersihan, adalah upaya untuk

memelihara hidup sehat yang meliputi kebersihan pribadi, kehidupan

bermasyarakat, dan kebersihan kerja. Kebersihan merupakan suatu perilaku yang

diajarkan dalam kehidupan manusia untuk mencegah timbulnya penyakit karena,

pengaruh lingkungan serta membuat kondisi lingkungan agar terjaga kesehatannya

(Tarwoto, 2005).

Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan

kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis Personal hygiene bertujuan

agar manusia dapat memelihara kesehatan diri sendiri, mempertinggi dan

memperbaiki nilai kesehatan, serta mencegah timbulnya penyakit. Personal hygiene

disini antara lain mencakup kebersihan kulit, kebersihan rambut, perawatan gigi dan

mulut, kebersihan tangan, perawatan kuku kaki dan tangan, pemakaian alas kaki,

kebersihan pakaian, makanan dan tempat tinggal (Tarwoto, 2005).

2.2. Tujuan

Tujuan PHBS adalah untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan

kemauan masyarakat agar hidup sehat, serta meningkatkan peran aktif

masyarakat termasuk swasta dan dunia usaha, dalam upaya mewujudkan derajat

hidup yang optimal (Depkes, 2007).

2.3. Manfaat

a. Tiap orang dapat menjaga kesehatannya.

b. Masyarakat mampu mengupayakan agar lingkungan tetap sehat.

c. Masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.

d. Anak dapat terlindungi dari kekerasan dan stres.

e. Setiap ada masalah dapat diatasi segera. (Depkes,2007)

8

Page 9: BAB I

2.4. Indikator PHBS

a. Pengertian Indikator

Indikator diperlukan untuk menilai apakah aktifitas pokok yang dijalankan

telah sesuai dengan rencana dan menghasilkan dampak yang diharapkan.

Dengan demikian indikator merupakan suatu alat ukur untuk menunjukkan

suatu keadaan atau kecenderungan keadaan dari suatu hal yang menjadi

pokok perhatian (Depkes, 2007).

b. Jenis indikator

Jenis indikator ada 3, yaitu indikator input, indikator proses dan indikator

output/outcome. Apabila diuraikan sebagai berikut :

1) Indikator Input

Yaitu indikator yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut

menentukan keberhasilan program. Seperti : tersedia air bersih, tersedia jamban

yang bersih, tersedia tempat sampah,dll.

2) Indikator Proses

Yaitu indikator yang menggambarkan bagaimana proses kegiatan/program

berjalan atau tidak. Seperti: terpelihara tempat penampungan air, tersedia alat

pembersih jamban, digunakan dan dipeliharanya tempat sampah dan lain-lain.

3) Indikator Output

Yaitu indikator yang menggambarkan bagaimana hasil output suatu program

kegiatan telah berjalan atau tidak. Seperti : Digunakannya air bersih,

digunakannya jamban, di halaman dan di dalam ruangan dalam keadaan bersih

dan lain-lain (Depkes 2007)

3. Pengaruh Perilaku Hidup Bersih dan Sehat terhadap Timbulnya Penyakit

Skabies

Skabies disebabkan antara lain oleh rendahnya faktor sosial ekonomi, higiene

yang buruk seperti mandi, mengganti pakaian, pemakaian handuk dan melakukan

hubungan seksual (Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005). Faktor yang berperan pada

9

Page 10: BAB I

tingginya prevalensi skabies di negara berkembang terkait dengan kemiskinan yang

diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kebersihan, akses air yang sulit, dan

kepadatan hunian. Tingginya kepadatan hunian dan interaksi atau kontak fisik antar

individu memudahkan transmisi dan infestasi tungau skabies (Shelley & Currie,

2007)

Penyebaran tungau skabies adalah dengan kontak langsung oleh penderita

skabies atau dengan kontak tak langsung seperti melalui penggunaan handuk

bersama, alas tempat tidur, dan segala hal yang dimiliki pasien skabies (Handoko,

2007). Skabies sering menyebar dalam anggota keluarga, satu asrama, kelompok

anak sekolah, pasangan seksual bahkan satu kampung atau desa. Penularan penyakit

ini erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan kepadatan penduduk

(Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005).

Personal hygiene merupakan hal yang sehari-hari harus dilakukan, namun

kadang masih dianggap kurang penting. Pendapat ini terjadi karena kurangnya

sosialisasi akan pentingnya personal hygiene. Pengetahuan masyarakat yang kurang

tentang personal hygiene, membuat perilaku hidup sehat ini sulit diterapkan di

masyarakat. Faktor lain yang membuat personal hygiene tidak diterapkan adalah

body image, praktek sosial, status sosial ekonomi, budaya, kebiasaan seorang dan

kondisi fisik. Penerapan personal hygiene yang kurang akan memudahkan

timbulnya suatu penyakit-penyakit menular seperti skabies (Azizah & Setiyowati,

2011)

Tingkat pendidikan mempengaruhi prevalensi penyakit di komunitas. Pada

komunitas dengan tingkat pendidikan yang tinggi, prevalensi penyakit menular

umumnya lebih rendah dibandingkan dengan komunitas yang mempunyai tingkat

pendidikan rendah. Orang berpendidikan rendah memiliki kesadaran rendah

mengenai pentingnya higiene pribadi dan tidak mengetahui bahwa higiene pribadi

yang buruk berperan penting dalam penularan penyakit. prevalensi skabies tertinggi

10

Page 11: BAB I

terdapat pada orang dengan pendidikan rendah (Fakoorziba, Amin, Moemenbellah-

Fard & Najafi, 2009)

11

Page 12: BAB I

C. KESIMPULAN

Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan

bahwa :

a) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) berpengaruh terhadap

timbulnya penyakit skabies.

b) Perilaku hidup bersih dan sehat yang buruk akan meningkatkan

prevalensi penyakit skabies. Perilaku hidup bersih dan sehat yang buruk

tersebut adalah rendahnya tingkat kebersihan, kepadatan hunian dan

kontak tak langsung seperti melalui penggunaan handuk bersama, alas

tempat tidur, dan segala hal yang dimiliki pasien skabies yang dapat

meningkatkan prevalensi penyakit skabies.

12