BAB I
-
Upload
aminatuz-zukhruf -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
description
Transcript of BAB I
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes
Scabiei varietas hominis (Sutanto, 2009) . Skabies mudah menular dari manusia
ke manusia, dari hewan ke manusia, atau sebaliknya. Dapat menyerang semua
ras, umur, dan semua golongan ekonomi yang ada di dunia (Gilmore, 2011) .
Skabies merupakan suatu penyakit kulit yang terabaikan, banyak masyarakat
indonesia yang mengganggap penyakit ini sebagai penyakit kulit yang lumrah
terjadi tanpa mereka tahu sebenarnya pervalensi penyakit ini cukup tinggi di
Indonesia (Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005).
Prevalensi skabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per
tahun (Chosidow, 2006). Sedangkan prevalensi skabies di Indonesia menurut
Depkes RI berdasarkan data dari puskesmas seluruh Indonesia tahun 2008
adalah 5,6%-12,95%. Scabies di Indonesia menduduki urutan ketiga dari 12
penyakit kulit tersering (Azizah & Setiyowati, 2011). Insiden dan prevalensi
skabies masih sangat tinggi di Indonesia terutama pada lingkungan masyarakat
pesantren. Hal ini tercermin bahwa prevalensi scabies pada pondok pesantren di
Kabupaten Lamongan 64,2%, dan di Kabupaten Pasuruan 70% (Ma’rufi,
Keman & Notobroto, 2005).
Skabies sangat erat hubungannya dengan perilaku hidup bersih dan
sehat, terutama dalam hal personal hygiene. Pemeliharaan Personal hygiene
menentukan status kesehatan, dimana seorang individu dengan sadar dan dengan
inisiatif sendiri menjaga kesehatan dan mencegah ternjadinya penyakit. Upaya
kebersihan diri ini menyangkut kebersihan mulut, gigi, kuku, kulit, rambut serta
kebersihan dalam berpakaian. Salah satu upaya personal hygiene adalah
merawat kebersihan kulit, karena kulit berfungsi untuk melindungi tubuh dari
serangan parasit yang dapat menyebabkan skabies (Djuanda, 2007) . Selain itu
sanitasi yang buruk juga dapat meningkatkan infeksi skabies (Ma’rufi, Keman &
Notobroto, 2005).
1
Faktor yang menyebabkan scabies adalah keterkaitan antara faktor sosio
demografi dengan lingkungan (Zayyid, Saadah, Adil, Rohela & Jamaiah, 2011) .
Penyakit skabies sangat erat dengan kemiskinan dan kepadatan penduduk .
Faktor yang mengakibatkan tinggginya prevalensi scabies antara lain
kelembaban yang tinggi, rendahnya sanitasi, kepadatan, malnutrisi , personal
higiene yang buruk, pengetahuan, sikap dan perilaku yang kurang mendukung
pola hidup sehat (Steer et al., 2009) .
Faktor personal higiene, ketersediaan air bersih, status sosial ekonomi
berpengaruh terhadap prevalensi skabies. Kebiasaan tidur, berbagi baju, handuk,
praktek higiene yang tidak benar, sering berpergian ke tempat yang beresiko dan
berpotensi sebagai sumber penularan scabies merupakan faktor yang
menyebabkan scabies. Sanitasi lingkungan yang buruk di merupakan faktor
dominan yang berperan dalam penularan dan tingginya angka prevalensi
penyakit Scabies (Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005).
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh perilaku hidup bersih dan sehat
terhadap timbulnya penyakit skabies, maka diperlukan informasi yang
mendalam tentang skabies dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Selain
itu juga diperlukan informasi mengenai hubungan antara skabies dan perilaku
hidup bersih dan sehat. (PHBS).
2. Tujuan
Mengetahui pengaruh perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) terhadap
timbulnya penyakit skabies.
2
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Skabies
1.1. Etiologi
Sarcoptes scabiei adalah tungau yang termasuk dalam famili
sarcoptidae, ordo acari, kelas arachianida. Badannya berbentuk oval dan
gepeng. Betina berukuran 300x350 mikron, sedangkan jantan berukuran
150x200 mikron. Saat dewasa memiliki 4 pasang kaki. Setelah kopulasi
S.scabiei jantan akan mati, sang betina akan membuat terowongan pada
stratum korneum kulit. Betina bertelur setelah 2 hari. Telur menetas menjadi
larva dalam waktu 3-5hari. Larva akan berkembang menjadi nimfa dalam waktu
3-4hari. Nimfa akan berubah menjadi dewasa setelah 3-5hari (Sutanto, 2009)
1.2. Epidemiologi
Skabies biasanya menghinggapi pasien dengan hygiene yang buruk,
miskin, dan hidup dalam lingkungan yang padat dan kumuh (Sutanto, 2009)
Faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial
ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual dan sifatnya
promiskuitas (ganti-ganti pasangan), kesalahan diagnosis dan perkembangan
demografi serta ekologi (Djuanda, 2010).
1.3. Cara Penularan
Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung, adapun cara penularannya adalah:
a. Kontak langsung (kulit dengan kulit)
Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan,
tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual
merupakan hal tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari
orang tua atau temannya.
3
b. Kontak tidak langsung (melalui benda)
Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur,
pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan.
Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut
memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa
sumber penularan utama adalah selimut (Djuanda, 2010).
1.4. Patogenesis
Lesi primer skabies berupa terowongan yang berisi tungau, telur dan
hasil metabolisme. Tungau membuat terowongan dengan cara mengeluarkan
sekret yang dapat melisiskan stratum korneum. Sekret dan eksekret dapat
menyebabkan sensitisasi sehingga dapat menimbulkan pruritus dan lesi
sekunder. Lesi sekunder dapat berupa papul, vesikel, pustul dan kadang bula.
Dapat juga terjadi lesi tersier berupa ekskoriasi, eksematisasi dan pioderma
(Sutanto, 2009).
Tungau hidup di dalam terowongan di tempat perdileksi, yaitu jari
tangan, pergelangan tanan bagian ventral, siku bagian luar, ketiak bagian depan,
umbilikus, gluteus, ekstremitas, genitalia eksterna pada laki-laki dan areola
mammae pada perempuan. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan
telapak kaki. Terowongan ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder.
Terowongan umumnya ditemukan pada penderita kulit putih dan sangat jarang
ditemukan pada penderita di Indonesia karena umumnya penderita datang pada
stadium lanjut sehingga sudah terjadi infeksi sekunder (Sutanto, 2009).
1.5. Gambaran Klinis
a. Pruritus noktural yaitu gatal pada malam hari karena aktifitas tungau yang
lebih tinggi pada suhu yang lembab dan panas.
b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam keluarga,
biasanya seluruh anggota keluarga, begitu pula dalam sebuah perkampungan
yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan
4
diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh
anggota keluarganya terkena.
c. Adanya kunikulus (terowongan) pada tempat-tempat yang dicurigai berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata 1 mm,
pada ujung terowongan ditemukan papula (tonjolan padat) atau vesikel (kantung
cairan). Jika ada infeksi sekunder, timbul polimorf (gelembung leokosit).
d. Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostik. Tungau sulit
ditemukan pada pemeriksaan laboratorium karena yang meninfestasi penderita
sedikit.
e. Adanya tanda : papula (bintil), pustula (bintil bernanah), ekskoriasi (bekas
garukan). Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal
pada kulit yang umumnya muncul di sela-sela jari, selangkangan dan lipatan
paha, dan muncul gelembung berair pada kulit (Djuanda, 2010)
1.6. Diagnosis
Diagnosis dapat dipastikan bila ditemukan S.scabiei yang di dapatkan
dengan cara mencongkel atau mengeluarkan tungau dari kulit, kerokan kulit atau
biopsi. Diagnosis dioerensial skabies dalah purigo yang mempunyai perdileksi
yang sam a. pada pemeriksaan laboratorium tungau sulit ditemukan karena
jumlah telur yang menetas hanya 10 %, selain itu garukan juga dapat
mengeluarkan tungau secara mekanik dan jika terjadi infeksi sekunder maka pus
yang terbentuk dapat membunuh tungau karena pus bersifat akarisida (Sutanto,
2009)
1.7. Pengobatan
a. Preparat sulfur presipitatum 5-10 % efektif terhadap stadium larva, nimfa
dan dewasa tetapi tidak dapat membunuh telur. Karena itu pengobatan
minimal 3 hari agar larva yang menetas dari telurnya dapat pula
dimatikan.
5
b. Gama benzen heksaklorida efektif untuk semua stadium tetapi tidak
dapat digunakan untuk semua stadium dan tetapi tidak aman digunakan
untuk anak-anak dibawah 6 tahun karena bersifat neurotoksik
c. Permetrin dalam bentuk krim 5% efektif untuk semua stadium dan relatif
aman untuk digunakan pada anak-anak.
d. Obat lain yang efektif untuk semua stadium adalah benzilbenzoat 20-
25% dan krotamiton, tetapi obat ini relatif mahal (Sutanto, 2009)
1.8. Pencegahan
Pencegahan skabies pada manusia dapat dilakukan dengan cara
menghindari kontak langsung dengan penderita dan mencegah penggunaan
barang-barang penderita secara bersama-sama. Pakaian, handuk dan barang-
barang lainnya yang pernah digunakan oleh penderita harus diisolasi dan dicuci
dengan air panas. Pakaian dan barang-barang asal kain dianjurkan untuk
disetrika sebelum digunakan. Sprai penderita harus sering diganti dengan yang
baru maksimal tiga hari sekali. Benda-benda yang tidak dapat dicuci dengan air
(bantal, guling, selimut) disarankan dimasukkan kedalam kantung plastik selama
tujuh hari, selanjutnya dicuci kering atau dijemur di bawah sinar matahari.
Kebersihan tubuh dan lingkungan termasuk sanitasi serta pola hidup yang sehat
akan mempercepat kesembuhan dan memutus siklus hidup S. scabiei (Rodina,
2007).
1.9. Faktor yang mempengaruhi terjadinya Skabies
Kepadatan penduduk, diagnosis yang tertunda, perlakuan yang tertunda
dan pendidikan masyarakat yang rendah berkontribusi pada prevalensi scabies
baik di negara industri maupun non industri (Chowsidow, 2006). Rendahnya
tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap
peningkatan prevalensi scabies. Semakin rendah tingkat pendidikan sesorang
maka tingkat pengetahuan tentang personal higienis juga semakin rendah.
Akibatnya menjadi kurang peduli tentang pentingnya personal higienis dan
perannya dalam higiene rendah terhadap penyebaran penyakit. Perlu program
6
kesehatan umum untuk mendidik populasi mengerti aspek pencegahan penyakit
(Raza, Qadir & Agha, 2009).
2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
2.1. Definisi
Perilaku Sehat adalah pengetahuan, sikap dan tindakan proaktif untuk
memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman
penyakit, serta berperan aktif dalam Gerakan Kesehatan Masyarakat (Depkes,
2007).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), adalah wujud pemberdayaan
masyarakat yang sadar, mau dan mampu mempraktekkan PHBS. Dalam hal ini ada
program prioritas yaitu KIA, Gizi, Kesehatan Lingkungan, Gaya Hidup, dan Dana
Sehat/Asuransi Kesehatan/JPKM (Depkes, 2007).
Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), adalah upaya untuk
memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan,
keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi,
memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan,
sikap dan perilaku, melalui pendekatan pimpinan (Advokasi), bina suasana (Social
Support) dan pemberdayaan masyarakat (Empowerment). Dengan demikian
masyarakat dapat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri, terutama dalam
tatanan masing-masing, dan masyarakat/dapat menerapkan cara-cara hidup sehat
dengan menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Depkes, 2007).
Perilaku adalah suatu kegiatan makhluk hidup yang berhubungan dengan
berbagai aktifitas. Perilaku atau aktifitas manusia, dapat diamati baik secara
langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dalam kaitannya dengan
pemeliharaan kesehatan, individu merespon perilaku lingkungan, perilaku kesehatan
untuk dirinya sendiri. Perilaku kesehatan yang berkaitan dengan upaya kebersihan
7
diri dalam kaitannya dengan upaya pencegahan penyakit dilakukan dengan berbagai
cara contohnya seperti kebiasaan mandi, mencuci tangan dan kaki, dan kebersihan
pakaian (Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005).
Higiene atau biasa juga disebut dengan kebersihan, adalah upaya untuk
memelihara hidup sehat yang meliputi kebersihan pribadi, kehidupan
bermasyarakat, dan kebersihan kerja. Kebersihan merupakan suatu perilaku yang
diajarkan dalam kehidupan manusia untuk mencegah timbulnya penyakit karena,
pengaruh lingkungan serta membuat kondisi lingkungan agar terjaga kesehatannya
(Tarwoto, 2005).
Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis Personal hygiene bertujuan
agar manusia dapat memelihara kesehatan diri sendiri, mempertinggi dan
memperbaiki nilai kesehatan, serta mencegah timbulnya penyakit. Personal hygiene
disini antara lain mencakup kebersihan kulit, kebersihan rambut, perawatan gigi dan
mulut, kebersihan tangan, perawatan kuku kaki dan tangan, pemakaian alas kaki,
kebersihan pakaian, makanan dan tempat tinggal (Tarwoto, 2005).
2.2. Tujuan
Tujuan PHBS adalah untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan
kemauan masyarakat agar hidup sehat, serta meningkatkan peran aktif
masyarakat termasuk swasta dan dunia usaha, dalam upaya mewujudkan derajat
hidup yang optimal (Depkes, 2007).
2.3. Manfaat
a. Tiap orang dapat menjaga kesehatannya.
b. Masyarakat mampu mengupayakan agar lingkungan tetap sehat.
c. Masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
d. Anak dapat terlindungi dari kekerasan dan stres.
e. Setiap ada masalah dapat diatasi segera. (Depkes,2007)
8
2.4. Indikator PHBS
a. Pengertian Indikator
Indikator diperlukan untuk menilai apakah aktifitas pokok yang dijalankan
telah sesuai dengan rencana dan menghasilkan dampak yang diharapkan.
Dengan demikian indikator merupakan suatu alat ukur untuk menunjukkan
suatu keadaan atau kecenderungan keadaan dari suatu hal yang menjadi
pokok perhatian (Depkes, 2007).
b. Jenis indikator
Jenis indikator ada 3, yaitu indikator input, indikator proses dan indikator
output/outcome. Apabila diuraikan sebagai berikut :
1) Indikator Input
Yaitu indikator yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut
menentukan keberhasilan program. Seperti : tersedia air bersih, tersedia jamban
yang bersih, tersedia tempat sampah,dll.
2) Indikator Proses
Yaitu indikator yang menggambarkan bagaimana proses kegiatan/program
berjalan atau tidak. Seperti: terpelihara tempat penampungan air, tersedia alat
pembersih jamban, digunakan dan dipeliharanya tempat sampah dan lain-lain.
3) Indikator Output
Yaitu indikator yang menggambarkan bagaimana hasil output suatu program
kegiatan telah berjalan atau tidak. Seperti : Digunakannya air bersih,
digunakannya jamban, di halaman dan di dalam ruangan dalam keadaan bersih
dan lain-lain (Depkes 2007)
3. Pengaruh Perilaku Hidup Bersih dan Sehat terhadap Timbulnya Penyakit
Skabies
Skabies disebabkan antara lain oleh rendahnya faktor sosial ekonomi, higiene
yang buruk seperti mandi, mengganti pakaian, pemakaian handuk dan melakukan
hubungan seksual (Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005). Faktor yang berperan pada
9
tingginya prevalensi skabies di negara berkembang terkait dengan kemiskinan yang
diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kebersihan, akses air yang sulit, dan
kepadatan hunian. Tingginya kepadatan hunian dan interaksi atau kontak fisik antar
individu memudahkan transmisi dan infestasi tungau skabies (Shelley & Currie,
2007)
Penyebaran tungau skabies adalah dengan kontak langsung oleh penderita
skabies atau dengan kontak tak langsung seperti melalui penggunaan handuk
bersama, alas tempat tidur, dan segala hal yang dimiliki pasien skabies (Handoko,
2007). Skabies sering menyebar dalam anggota keluarga, satu asrama, kelompok
anak sekolah, pasangan seksual bahkan satu kampung atau desa. Penularan penyakit
ini erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan kepadatan penduduk
(Ma’rufi, Keman & Notobroto, 2005).
Personal hygiene merupakan hal yang sehari-hari harus dilakukan, namun
kadang masih dianggap kurang penting. Pendapat ini terjadi karena kurangnya
sosialisasi akan pentingnya personal hygiene. Pengetahuan masyarakat yang kurang
tentang personal hygiene, membuat perilaku hidup sehat ini sulit diterapkan di
masyarakat. Faktor lain yang membuat personal hygiene tidak diterapkan adalah
body image, praktek sosial, status sosial ekonomi, budaya, kebiasaan seorang dan
kondisi fisik. Penerapan personal hygiene yang kurang akan memudahkan
timbulnya suatu penyakit-penyakit menular seperti skabies (Azizah & Setiyowati,
2011)
Tingkat pendidikan mempengaruhi prevalensi penyakit di komunitas. Pada
komunitas dengan tingkat pendidikan yang tinggi, prevalensi penyakit menular
umumnya lebih rendah dibandingkan dengan komunitas yang mempunyai tingkat
pendidikan rendah. Orang berpendidikan rendah memiliki kesadaran rendah
mengenai pentingnya higiene pribadi dan tidak mengetahui bahwa higiene pribadi
yang buruk berperan penting dalam penularan penyakit. prevalensi skabies tertinggi
10
terdapat pada orang dengan pendidikan rendah (Fakoorziba, Amin, Moemenbellah-
Fard & Najafi, 2009)
11
C. KESIMPULAN
Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan
bahwa :
a) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) berpengaruh terhadap
timbulnya penyakit skabies.
b) Perilaku hidup bersih dan sehat yang buruk akan meningkatkan
prevalensi penyakit skabies. Perilaku hidup bersih dan sehat yang buruk
tersebut adalah rendahnya tingkat kebersihan, kepadatan hunian dan
kontak tak langsung seperti melalui penggunaan handuk bersama, alas
tempat tidur, dan segala hal yang dimiliki pasien skabies yang dapat
meningkatkan prevalensi penyakit skabies.
12