BAB I

44
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produktivitas seekor ternak sangat bergantung pada kondisi lingkungan setempat. Produktivitas ternak yang tinggi akan tercapai jika kondisi lingkungannya nyaman untuk hidup berproduksi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produk ternak antara lain suhu, kelembapan, curah hujan, tiupan dan intensitas cahaya. Kelinci memiliki kemampuan biologis yang tinggi, selang beranak pendek, mampu beranak banyak, dapat hidup dan berkembang biak dari limbah pertanian dan hijauan (TEMPLETON, 1968). Tersedianya hijauan berupa rumput, leguminosa, berbagai jenis herba, dan limbah sayuran seperti daun wortel, kobis serta limbah pertanian seperti dedak, onggok, ampas tahu dan lain-lain di daerah beriklim tropis seperti Indonesia, merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan kelinci. Pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya produktivitas ternak. Penerapan tatalaksana pemberian pakan, yang berorientasi pada kebutuhan kelinci dan ketersediaan bahan pakan, merupakan upaya yang tepat untuk meningkatkan produktivitas ternak kelinci secara efisien. Hasil-hasil penelitian menunjukkan, melalui penerapan tatalaksana pemberian pakan berdasarkan ketersediaan sumber bahan pakan yang meliputi pemilihan jenis bahan pakan, pemenuhan jumlah kebutuhan, dan pengaturan pola pemberian pakan produktivitas 1

description

ilmu ingkungan ternak

Transcript of BAB I

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangProduktivitas seekor ternak sangat bergantung pada kondisi lingkungan setempat. Produktivitas ternak yang tinggi akan tercapai jika kondisi lingkungannya nyaman untuk hidup berproduksi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produk ternak antara lain suhu, kelembapan, curah hujan, tiupan dan intensitas cahaya.Kelinci memiliki kemampuan biologis yang tinggi, selang beranak pendek, mampu beranak banyak, dapat hidup dan berkembang biak dari limbah pertanian dan hijauan (TEMPLETON, 1968). Tersedianya hijauan berupa rumput, leguminosa, berbagai jenis herba, dan limbah sayuran seperti daun wortel, kobis serta limbah pertanian seperti dedak, onggok, ampas tahu dan lain-lain di daerah beriklim tropis seperti Indonesia, merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan kelinci. Pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya produktivitas ternak. Penerapan tatalaksana pemberian pakan, yang berorientasi pada kebutuhan kelinci dan ketersediaan bahan pakan, merupakan upaya yang tepat untuk meningkatkan produktivitas ternak kelinci secara efisien. Hasil-hasil penelitian menunjukkan, melalui penerapan tatalaksana pemberian pakan berdasarkan ketersediaan sumber bahan pakan yang meliputi pemilihan jenis bahan pakan, pemenuhan jumlah kebutuhan, dan pengaturan pola pemberian pakan produktivitas ternak kelinci dapat ditingkatkan (SUDARYANTO, 1984; SARTIKA, 1988; HARSOJO, 1988; RAHARDJO et al., 2004)Permintaan produk peternakan terus meningkat sebagai konsekuensi adanya peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya proporsi penduduk perkotaan, pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang perlunya makanan yang berkualitas dan bergizi serta adanya dukungan membaiknya pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Disisi lain peternakan belum mampu menyediakan produk daging dan susu untuk memenuhi permintaan konsumen dan industri, sehingga berakibat ketergantungan terhadap impor yang semakin besar. Saat ini rata-rata konsumsi daging secara nasional masih rendah yaitu kurang dari 2 kg/kapita/tahun dan diperkirakan akan mencapai 3 kg/kapita/tahun sehingga peningkatan konsumsi dan peningkatan penduduk akan memerlukan pasokan sapi potong sekitar 1,5 juta ekor per tahun. Pangan hewani (daging, telur dan susu) mutlak diperlukan tubuh karena protein yang terkandung didalamnya memiliki asam amino esensial dan tidak dapat digantikan sumber lain karena berfungsi membangun struktur pertumbuhan, bio katalisator, buffer dalam cairan tubuh, penyangga penyakit/racun, sumber hormon dan energi. Sehingga penyediaannya dianggap sebagai agent of develompment bagi pembangunan bangsa baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang. Untuk itu pemerintah telah menetapkan pangan hewani sebagai salah satu unsur sembilan bahan pokok (sembako) yang berarti produk peternakan menjadi komponen penting bagi kehidupan masyarakat. Sesuai dengan tugas/fungsi subsektor peternakan sebagai bagian integral dalam pembangunan ekonomi nasional yang berperan penting dalam penyediaan protein hewani, lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan dan pengembangan potensi wilayah untuk itu diperlukan strategi guna meningkatkan populasi ternak. Sebagai upaya untuk meningkatkan populasi dan mengoptimalkan produktivitas ternak perlu dikembangkan suatu sistem pertanian yang diarahkan untuk mentransformasikan pertanian tradisional menjadi usaha agribisnis yang tangguh. Salah satu usaha agribisnis yang memiliki potensi untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan agribisnis ternak kelinci. Pengembangan usaha ternak kelinci merupakan salah satu terobosan karena merupakan pengembangan usaha peternakan tanpa harus membuka lahan baru. Keuntungan yang diperoleh adalah sinergi produksi ternak dan kulit ternak dalam suatu hamparan yang terbatas.1.2. Tujuan Untuk memberikan gambaran potensi ternak kelinci di Indonesia Untuk mengetahui pengembangan ternak kelinci di daerah tropis serta factor yang mempengaruhinya Untuk mengetahui Peluang dan Kendala dalam budidaya ternak kelinci di Indonesia

1.3. ManfaatDiharapkan dengan makalah ini dapat memberikan gambaran potensi ternak kelinci bersera peluang dan kendalanya, agar dapat diterapkan dengan baik di Indonesia, serta dapat menjadi referensi dalam penelitian berikutnya.

BAB IIKAJIAN PUSTAKA2.1. Agroklimat IndonesiaLingkungan tropis umumnya mempunyai ciri khusus, suhu udaranya hangat dan lembap dengan keragaman suhu lingkungan yang sangat rendah. Keragaman suhu udara aka semakin tinggi jika lokasi tersebut menjauhi ekuator, khusus daerah yang lebih kering. Pada daerah yang letaknya cukup dari permukaan laut, suhu udaranya lebih dingin dengan perubahan yang lebih nyata antara malam dan siang hari. Tingginya kelembapan udara dapat menghambat mekanisme pelepasan panas tubuh atau penurunan beban panas yang dapat menimbulkan heat stress. Heat stress akan menurunkan produksi dan reproduksi ternak. Produksi ternak dipengaruhi oleh iklim dengan dua cara, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Daerah tropis yang terletak antara 70 C lintang utara dan lintang: selatan umumnya mempunyai rataan suhu udara lingkungan 270 C dengan curah hujan yang tinggi, antara 2.000 - 3.000 mm/tahun dan kelembapan udara yang tinggi. Semakin jauh lokasi yang bersangkutan dari garis khatulistiwa, curah hujannya akan semakin rendah. Kombinasi suhu lingkungan yang tinggi dengan kelembapan yang tinggi menyebabkan ternak kesulitan dalam membuang panas tubuhnya. Selain itu, mikroorganisme juga mudah berkembang sehingga ternak mudak terinfeksi penyakit. Oleh karena itu, upaya untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan temak tersebut sangat penting, mengingat lingkungan pemeliharaan di Indonesia cukup beragam, mulai lingkungan yang bersuhu udaraCukup panas di daerah sekitar pantai sampai daerah pegunungan yang sejuk, tetapi kelembapan udaranya masih cukup tinggi. Intensitas serangan penyakit dan parasit pada kondisi lingkungan yang lembab dan hangat tersebut cukup tinggi sehingga hal ini menjadi kendala dalam upaya meningkatkan produksi. Keadaan ini menjadi semakin serius dengan adanya pasokan pakan yang jumlah dan mutunya kurang baik. Faktor-faktor ini dengan sendirinya akan mempengaruhi ketahanan ternak terhadap serangan penyakit dan parasit yang selanjutnya mempengaruhi penampilan produksi ternak. Produksi ternak ditentukan oleh interaksi antara genotip dan faktor lingkungan, seperti iklim, penyakit, dan manajemen. Di siitu, produksi ternak juga dipengaruhi oleh kualitas dan keseimbangan pakan yang diberikan. Kualitas pakan di daerah beriklim tropis umumnya rendah karena hijauannya mengandung air dan serat kasar tinggi serta protein dan mineral rendah. Namun demikiaa Indonesia merupakan daerah yang subur dan berpotensi tinggi untuk pertumbuhan hijauan pakan ternak, meskipun masih bersifat musiman. Pada sistem pertanian yang baik, dapat diperoleh hasil hijauan makanan ternak yang melimpah.2.2. Ternak KelinciSudah sejak lama (sekitar 20 tahun yang lalu), kelinci dipromosikan sebagai salah satu ternak alternatif untuk pemenuhan gizi (khususnya protein hewani) bagi ibu hamil dan menyusui, serta anak-anak yang kekurangan gizi . Hal ini karena ternak kelinci dapat dijadikan alternatif sumber protein hewani yang bermutu tinggi, dagingnya berwarna putih dan mudah dicerna. Kelebihan kelinci sebagai penghasil daging adalah kualitas dagingnya baik, yaitu kadar proteinnya tinggi (20,10%), kadar lemak, cholesterol dan energinya rendah (Diwyanto et al., 1985 dalam Lestari, et. Al., 2008), Kelinci merupakan ternak yang mempunyai potensi besar sebagai penyedia daging dalam waktu yang relatif singkat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat, disamping sebagai penyedia kulit bulu (fur), khususnya fur dari kelinci Rex dan Satin yang mempunyai nilai komersiil tinggi sebagai bahan garmen yang dapat menggantikan fur dari binatang buas yang semakin langka. Aspek yang menarik pada daging kelinci adalah kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol, sehingga daging kelinci dapat dipromosikan sebagai daging sehat, namun untuk pengembangannya banyak kendala yang dihadapi, antara lain sulitnya pemasaran, karena daging kelinci belum populer di masyarakat. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh faktor kebiasaan makan (food habit) dan efek psikologis yang menganggap bahwa kelinci sebagai hewan hias atau kesayangan yang tidak layak untuk dikonsumsi dagingnya. Merubah faktor kebiasaan makan adalah hal yang sulit, karena manusia biasanya memiliki ikatan batin, loyalitas dan sensitifitas terhadap kebiasaan makannya meskipun hal ini dapat ditembus, namun memerlukan jangka waktu yang lama. Perubahan kebiasaan makan dapat terjadi melalui dua cara, yaitu melalui perubahan lingkungan dan perubahan pada makanan itu sendiri yang akan sampai pada suatu keputusan untuk menerima atau menolak suatu makanan. Perubahan lingkungan mencakup hal yang kompleks, yaitu faktor sosial, ekonomi dan ekologis yang mengarah kepada perubahan kebudayaan dan keadaan sosial, sehingga perubahan penyajian merupakan langkah yang lebih cepat dalam mensosialisasikan daging kelinci. Hal ini terbukti masyarakat sudah mulai menerima daging kelinci dalam bentuk olahan sate dan gule, oleh karena itu aplikasi teknologi pengolahan daging merupakan langkah yang tepat untuk mensosialisasi dan mempopulerkan daging kelinci dimasyarakat (Suradi, 2005). Ternak kelinci merupakan salah satu aset petani yang sangat berharga. Di samping sebagai tabungan, kelinci juga sebagai penghasil daging yang tinggi kandungan protein dan rendah kolesterol dan trigeliserida dan dapat dibuat dalam bentuk produk olahan, seperti abon, dendeng, sosis, burger, dan bentuk cepat saji seperti sate. Selain itu sebagai penghasil kulit bulu (fur), juga menghasilkan wool, sebagai hewan coba dalam dunia kedokteran dan farmasi, menjadi hewan kesayangan (fancy) dengan harga jual relatif tinggi, kotoran dan urine sebagai pupuk organik yang bermutu tinggi untuk tanaman sayuran dan bunga (Iskandar, 2005).2.3. Potensi Berternak KelinciKelinci memiliki potensi biologis yang tinggi, diantaranya dapat dikawinkan kapan saja asal telah dewasa kelamin, beranak banyak, waktu bunting pendek, pertumbuhan cepat. Mempunyai keragaman genetik yang tinggi antar ras dan dalam ras (lebih dari 20 ras dan tiap ras memiliki beberapa galur). Selain itu juga mempunyai kemampuan memanfaatkan hijauan dan produk limbah secara efisien sehingga tidak bersaing dengan manusia. Daerah yang cocok untuk tumbuh dan berkembangbiaknya kelinci secara umum pada daerah sub tropis (dingin) sampai tropis dengan suhu agak rendah dan kelembaban tinggi terutama untuk penghasil kulit dan bulu. Untuk itu daerah yang sesuai adalah daerah dataran tinggi dengan ketinggian 800 m dpl. Dagingnya baik untuk kesehatan karena kandungan proteinnya tinggi tetapi kolesterol dan sodiumnya rendah sehingga dapat meningkatkan kecerdasan pada anak-anak dan mencegah penyumbatan pembuluh darah pada orang dewasa. Daging kelinci mengandung protein 20,8%, lemak 10,2% dan energi 7,3MJ/Kg, kandungan asam lemak linoleat tertinggi diantara ternak lainnya (22,5%), kandungan kolesterol relatif rendah 0,1% dan sedikit garam. Selain memproduksi daging kelinci juga menghasilkan bahan baku kulit dalam waktu yang relatif singkat dalam jumlah yang banyak dan bernilai tinggi untuk industri pakaian bulu, selendang, topi, boneka, tas wanita, cendramata dan kerajinan lain yang harganya sangat mahal. Kotoran (urine dan feces) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk karena mengandung kadar N, P dan K yang tinggi serta media pertumbuhan cacing dimana cacing dimanfaatkan sebagai sumber protein ransum bagi ternak. Dengan melihat potensi kelinci untuk tumbuh dan berkembang biak secara cepat, baik pada pemeliharaan yang sederhana maupun dengan pemeliharaan semi intensif dengan memanfaatkan pakan hijauan yang dapat diperoleh dari limbah pertanian maupun industri pangan, sehingga dapat menjadi alternatif sebagai penyedia sumber daging dan kulit dalam jumlah yang banyak.2.4. Konsumsi Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak atau sekelompok ternak selama periode tertentu. Menurut Parakkasi (1999), konsumsi pakan merupakan faktor esensial untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan kadar zat makanan dalam ransum untuk memenuhi hidup pokok dan produksi. Pemenuhan pakan kelinci dihitung berdasarkan konsumsi bahan kering (Herman, 2000). Kebutuhan bahan kering menurut NRC (1977) yaitu untuk hidup pokok 3%-4% dari bobot badan dan untuk pertumbuhan normal 5%-8% dari bobot badan. 2.5. Pertumbuhan Pertumbuhan adalah perubahan unsur yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh termasuk perubahan komponen- komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas. Pola pertumbuhan secara normal merupakan gabungan dari pola pertumbuhan semua komponen penyusunnya. Bentuk kurva pertumbuhan past natal untuk semua spesies ternak pada kondisi yang ideal adalah serupa yaitu mengikuti pola kurva pertumbuhan sigmoid. Sesuai dengan pola pertumbuhan komponen karkas yang diawali dengan pertumbuhan tulang yang cepat kemudian setelah mencapai pubertas laju pertumbuhan otot menurun dan deposisi lemak meningkat (Soeparno, 1992). Menurut Selamat (1996), timbulnya pubertas sangat beragam tergantung pada bangsa. Perkembangan reproduksi pada bangsa kelinci tipe kecil atau sedang lebih cepat yaitu pada umur 4-5 bulan dibandingkan bangsa kelinci yang besar yaitu 5-8 bulan. Pubertas pada kelamin dicapai pada saat organ reproduksi telah berkembang dan berfungsi sempurna (Blakely dan Bade, 1994). Ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor selama dalam proses pertumbuhan antara lain faktor genetik, pemberian pakan, suhu, kemampuan beradaptasi dan lingkungan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998). 2.6. Konversi Pakan Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan 1 kg bobot hidup. Konversi pakan menurut Campbell dan Lasley (1985) dipengaruhi oleh kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, kecukupan zat pakan untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh lain serta jenis pakan yang dikonsumsi. Kebutuhan Pakan untuk Pertumbuhan Kebutuhan pakan tergantung pada zat makanan yang dikandungnya, bahan makanan serta tujuan pemeliharaannya. Kebutuhan zat makanan kelinci yang sedang tumbuh terdapat pada Tabel 1.Tabel 1. Kebutuhan Zat Pakan Kelinci pada Berbagai Status FisiologisZat PakanKebutuhan Pakan

Hidup PokokPertumbuhanBuntingMenyusui

DE (Kkal)2100250025002500

PK (%)12161517

Serat Kasar (%)1410 1210 - 1210 - 12

Lemak (%)2222

TDN (%)55655870

Ca (%)-0,400,450,75

P (%)-0,220,740,50

Sumber: Banerjee (1982)2.7. Kebutuhan Bahan Kering Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian pakan ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan bervariasi tergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan kelinci. Kebutuhan bahan kering kelinci pada berbagai periode pemeliharaan terdapat pada Tabel 2.

Table 2. Kebutuhan Bahan Kering Pakan Berdasarkan Periode PemeliharaanStatusBobot (kg)Bahan Kering (%)Kebutuhan Bahan Kering (g/ekor/hari)

Muda1,8 3,25,2 6,2112 - 173

Dewasa2,3 6,83,0 4,092 104

Bunting2,3 6,83,7 5,0115 -251

Menyusui4,511,5520

Sumber: NRC (1977) dan Ensminger (1991)Smith dan Mangkuwidjojo (1998) menyatakan bahwa kualitas pakan merupakan faktor penting bagi kemampuan kelinci untuk mencapai kemampuan genetik untuk pertumbuhan, pembiakan, umur produksi maupun reaksi terhadap perlakuan. Apabila ternak tersebut diberi pakan yang berkualitas baik, maka pertumbuhannya akan lebih cepat dan mencapai bobot hidup tertentu pada umur yang lebih awal. Kebutuhan bahan kering berdasarkan periode pemeliharaan terdapat pada Tabel 2. 2.8. Lingkungan Iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi ternak. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan rendahnya konsumsi pakan dan rendahnya pertambahan bobot badan (Anggorodi, 1990). Produktifitas kelinci dapat mencapai optimal pada kondisi lingkungan dengan suhu udara 18 C dan tingkat kelembaban udara 70% (Lukefahr dan Cheeke, 1990). Menurut Fernandez et al. (1995), suhu yang tinggi yaitu 30 C menyebabkan bobot hidup yang rendah pada kelinci betina, bobot total anak saat lahir yang relatif rendah, pertumbuhan yang rendah pada anak kelinci. 2.9. Kandang Sistem perkandangan adalah faktor yang sangat penting karena berpengaruh terhadap sirkulasi udara didalam kandang sehingga akan mempengaruhi stres panas pada kelinci (Finzi et al., 1992). El-Raffa (2004) menyebutkan bahwa salah satu syarat suksesnya produksi kelinci di daerah tropis adalah kandang yang nyaman bagi ternak. Suhu optimum untuk kelinci New Zealand White, California dan Flemish Giant berkisar 10-25 C (SCRAM, 1998). Stres panas dapat menyebabkan mortalitas dan menurunkan kemampuan reproduksi (SCRAM, 1998), karena itu kandang kelinci yang baik adalah ternak dapat bergerak bebas, makan dan minum dengan nyaman. Produksi kelinci merupakan suatu sistem pemeliharaan yang lebih intensif daripada jenis ternak lain dalam produksi peternakan. Kelinci lepas sapih biasanya dipelihara dalam kandang kelompok, akan tetapi pada batas tertentu akan meningkatkan mortalitas (Sartika dan Raharjo, 1990). Kandang penyapihan pada ternak kelinci tersebut tidak dapat ditetapkan ukurannya. Kepadatan kandang yang maksimum adalah 6 ekor/m . Kelinci New Zealand White yang mempunyai tujuan utama untuk produksi daging yang dipelihara sampai umur < 2,5 bulan, menunjukkan kepadatan kandang yang menunjang penampilan produksi ternak terbaik adalah 14,4 ekor/m atau sekitar 10 ekor/m dengan pertambahan bobot hidup sebesar 40,5 g/ekor/hari dan konversi pakan sebesar 2,7 (Prawirodigdo et al., 1985). Kepadatan kandang merupakan hasil pertimbangan antara perlunya menekan biaya kandang setiap ekor dan ruang yang memungkinkan memperoleh performa maksimal dari setiap ekor ternak. Kandang seluas 0,37 m cukup untuk seekor kelinci dewasa sedangkan luasan kandang sebesar 0,93 m cukup untuk seekor induk beserta anak-anaknya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Kandang untuk ternak ini mempunyai ukuran panjang 80- 100 cm, lebar 60-70 cm dan tinggi 50-60 cm, biasanya digunakan untuk penggemukan sebanyak 5-6 ekor dengan bobot hidup 2,5-2,8 kg (Lebas et al., 1986). 2.10. Sekam padi Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi (kulit padi) dan merupakan salah satu hasil sampingan yang dihasilkan dari industri penggilingan padi. Luh (1991) menyatakan bahwa padi kering di dalam satu malai akan menghasilkan beras putih 52% (% dalam berat), sekam sebanyak 20%, 15% jerami, dedak 10% dan sebanyak 3% akan hilang selama konversi. Bobot isi sekam berkisar 0,10-0,16 gram/ml dengan kepadatan sesungguhnya sekitar 0,67-0,74 gram/cm3. Soepardi (1983) menyatakan sekam padi merupakan sumber energi bagi perkembangan jasad renik dalam tanah dan dapat memperbaiki aerasi tanah dengan cara memperbaiki struktur tanah. Sekam juga dapat meningkatkan penyerapan silika oleh tanaman. Singhania (2004) menyatakan bahwa tiap satu ton produksi akan menghasilkan 220 kg sekam padi (sebanyak 22%). Menurut Grist (1995), sekam padi dapat digunakan dalam berbagai hal yaitu untuk alas kandang pada tipe ternak tertentu, sebagai pupuk dan sebagai penunjang media bagi sayuran hidroponik. Luh (1991) menambahkan sekam padi dapat pula digunakan sebagai bahan campuran untuk bahan bangunan, pembuatan papan fiber dan batu bata, sebagai penyerap atau absorban, pembuatan semen, bahan bakar industri karet maupun untuk makanan ternak dan binatang. 2.11. Kawat Peternak kelinci komersial biasanya menggunakan kandang yang terbuat dari kawat. Kandang ini memiliki kelebihan yaitu ventilasi udara yang baik dan sistem pembersihan kotoran yang mudah (Cheekeet al., 2000). Animal Research (2007) menyatakan bahwa beberapa mencit ditempatkan pada kandang dengan menggunakan kawat di bagian alas kandang. Tipe kandang seperti ini memudahkan dalam pengambilan feses dan urin. Bambu Bambu memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan karena batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk, mudah dibersihkan dan mudah dikerjakan serta ringan sehingga mudah diangkut. Selain itu, bambu relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di sekitar pemukiman pedesaan. (Krisdianto et al., 2007). Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Permanawati (2008) bahwa kandang yang baik harus mudah dibersihkan, permukaan tahan air, tidak ada bagian tajam, terbuat dari bahan non toksik, tidak mudah rusak, dan dilakukan pemeriksaan, perawatan, dan pergantian secara berkala.

BAB IIIPENGEMBANGAN TERNAK KELINCI DI DAERAH TROPIS3.1. Indonesia Sebagai Daerah Peternakan KelinciSifat iklim di daerah tropis seperti di Indonesia tergolong iklim panas dan lembab. Hal ini ditandai dengan kelembaban udara rata-rata di atas 60%, curah hujan rata-rata di atas 1.800 mm/tahun serta perbedaan suhu antara siang dan malam hari tidak begitu menyolok sekitar 2 5 0C.Berkaitan Dengan kehidupan ternak, maka dikenal dua daerah iklim yaitu : 1. Daerah beriklim ideal (comfort zone) yang merupakan daerah beriklim normal bagi kehidupan ternak. Pada darah ini ternak bisa hidup nyaman, tanpa harus beradaptasi.2. Daerah beriklim / bersuhu kritis, merupakan daerah yang bersuhu di atas atau di bawah normal. Daerah ini kritis karena memaksa hewan untuk melakukan adaptasi guna mempertahankan kehidupannya. Akibatnya hewan akan stress. Jika suhu tinggi atau sangat dingin, maka hewan akan kehilangan lingkungan untuk hidup nyaman. Untuk adaptasi dengan lingkungan panas hewan umumnya mengeluarkan air lewat keringat, paru-paru dan mulut.Kelinci sangat rentan terhadap perubahan temperature. Temperature atau suhu udara sangat mempengaruhi proses metabolisme tubuh kelinci. Konsumsi kelinci sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Ketika suhu lingkungan melebihi zona tubuh comfort (zona nyaman), maka kelinci cenderung akan mengurangi konsumsi dan memperbanyak minum. Ketika suhu lingkungan berada di bawah zona nyaman bagi kelinci, maka kelinci cenderung memperbanyak konsumsi pakan untuk dapat mempertahankan suhu tubuhnya.Temperatur ideal bagi kelinci adalah berada pada kisaran 60 65F atau sama dengan 15.5 18.3C yang diketahui sebagai temperature comfort zone bagi kelinci. Kelinci lebih tahan pada cekaman suhu dingin jika dibandingkan dengan suhu panas.Pengaruh lingkungan terutama suhu udara sangat mempengaruhi performansi kelinci yang hidup di daerah tropis. Tingkat stress panas pada kelinci sangat tinggi di daerah tropis sehingga mengurangi produktifitas kelinci. Suhu udara yang panas menyebabkan kelinci banyak mengonsumsi air dan mengurangi kegiatan makan sehingga produktivitas kelinci berkurang. Karakteristik pakan kelinci yang hidup di daerah tropis hendaknya besifat sedikit kuantitasnya namun tinggi akan nilai nutrisi sehingga dapat mengimbangi kebutuhan kelinci terhadap rasio pakan dan minum kelinci.Fluktuasi suhu lingkungan harian dapat menyebabkan penyakit pada kelinci. Selain stress karena cekaman panas, fluktuasi suhu juga dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada kelinci. Enteritis merupakan penyakit pencernaan yang sering terjadi pada kelinci anakan dan menyebabkan tingkat mortalitas kelinci tinggi. Perubahan suhu harian dari tingkat panas ke dingin secara fluktuasi dapat merubah pola makan kelinci. Pola makan yang berubah drastis berdampak pada perubahan pola fermentasi pakan di dalam saluran pencernaan khususnya pada sekum. Ketika suhu lingkungan panas, maka kelinci cenderung mengurangi konsumsi pakan dan banyak minum, seiring dengan penurunan suhu lingkungan yang drastis menyebabkan kelinci memperbanyak konsumsi pakan khususnya sumber energi (karbohidrat) untuk menjaga kestabilan suhu tubuh. Sebagai akibatnya, maka terjadi konsumsi karbohidrat yang berlebih yang menyebabkan isi sekum didominasi oleh karbohidrat yang mudah difermentasi.Bakteri pathogen cenderung lebih memilih bahan makanan yang mudah difermentasi (karbohidrat), sehingga hal tersebut dapat mendorong perkembangan (proliferasi) bakteri pathogen di dalam saluran pencernaan. Populasi bakteri pathogen yang meningkat di saluran pencernaan menghasilkan toxin yang bersifat letal yang dapat membahayakan induk inangnya yaitu kelinci itu sendiri dan dapat menyebabkan kematian.Solusi pemeliharaan kelinci yang terbaik adalah dengan menjaga lingkungan hidup kelinci agar tetap nyaman. Hal tersebut bisa dilihat dari model atap atau pun kandang dan disertai dengan vegetasi lingkungan kandang. Pepohonan disekitar kandang sangat berperan penting dalam menjaga fluktuasi perubahan suhu yang drastis. Sirkulasi kandang dari tipe atap monitor dan model kandang terbuka dengan dibatasi naungan vegetasi penghalang angin dapat menjadi pilihan dalam membangun kandang kelinci di daerah tropis.3.1. Pemberian Pakan Dalam Kondisi TropisSalah satu keuntungan dari produksi kelinci di daerah tropis adalah bahwa kelinci bisa diberi makan hijauan dan sisa hasil pertanian yang tidak untuk konsumsi manusia. Kenyataannya, jika pakan yang tersedia yang cocok untuk produksi unggas peternak lebih memilih memberikannya untuk usaha produksi unggas daripada kelinci. Kelebihan kelinci sendiri adalah bahwa produksi kelinci dapat menempati ditunjang dengan pemanfaatan pakan alternatif yang tidak berguna untuk unggas, serta babi, dan hijauan yang mungkin tersedia dalam jumlah cukup yang digunakan oleh ternak ruminansia. Ketika pakan ini membuat sebagian dari diet, penggunaan sejumlah kecil pakan konsentrat untuk meningkatkan kinerja dapat dibenarkan.Menurut Anggorodi (1990) iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi ternak. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan rendahnya konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang rendah pula. Lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ternak. Kelinci dapat mencapai optimal pada kondisi lingkungan dengan suhu udara 18oC dan tingkat kelembaban 70% (Lukefahr dan Cheeke, 1990). Kelinci adalah ternak yang dapat memanfaatkan hijauan secara efisien, melalui sifat herbivora. Kelinci dapat mengkonsumsi dan memanfaatkan protein yang berasal dari hijauan atau limbah pertanian lebih efisien dibandingkan dengan ternak lainnya. Salah satu limbah pertanian yang sudah dikenal masyarakat sebagai bahan pakan ternak untuk ruminansia seperti sapi perah adalah ampas tahu.Kinerja pertumbuhan kelinci dalam studi yang dilaporkan dari negara-negara tropis umumnya dalam kisaran 10-20 g per hari, berbeda dengan 35-40 g per hari yang biasa terlihat di daerah beriklim sedang. Hal ini dipengaruhi sejumlah faktor, termasuk stres panas, serta diet. Sebuah studi menunjukkan produksi kelinci dari jenis yang sama di berbagai lokasi tropis saat diberi diet yang sama seperti yang digunakan dalam studi Amerika atau Eropa, untuk menentukan sejauh mana kinerja yang lebih miskin dapat dikaitkan dengan lingkungan. Ternyata memberikan hasil yang berbedaHanya sedikit data yang tersedia pada nilai gizi feed tropis untuk kelinci, dan bahkan kurang pada sistem dan program pemberian makanan. Kompilasi yang paling luas data gizi pada feed kelinci adalah bahwa Raharjo (1987), yang mengevaluasi sejumlah hijauan Indonesia dan pertanian oleh-produk. Ayoade et al (1985) melaporkan pada komposisi dari sejumlah Afrika hijauan dengan potensi pakan kelinci. Secara umum, legum hijauan tropis lebih tinggi protein dan rendah serat dari rumput tropis, dan jauh lebih mudah dicerna

* Panicum maximum cv Green Panic.** Panicum maximum cv Guinea.Pakan tropis banyak yang mengandung zat beracun . Beberapa legum tropis mengandung asam amino beracun atau alkaloid ( misalnya : Leucaena mengandung mimosine, singkong mengandung sianogen ) . Dengan menggunakan campuran hijauan , konsentrasi racun tertentu dapat disimpan ke tingkat yang tidak berbahaya. Jadi pakan berpotensi berharga seperti Leucaena dapat dimanfaatkan sebagai komponen campuran pakan ternak .Kelinci dapat dikembangkan dengan sukses tanpa menggunakan biji-bijian dalam diet . Misalnya , Raharjo et al ( 1986b ) digunakan diet di mana semua dari protein dan energi yang disediakan oleh penggilingan gandum, dan menemukan bahwa produksi tidak lebih dari beberapa paritas memadai. Karena kebutuhan energi dan protein yang tertinggi untuk menyusui , mungkin bijak untuk menggunakan suplemen konsentrat hanya untuk kelinci laktasi, dan untuk kelinci pedaging sepenuhnya menggunakan pakan dari pertanian atau produk olahan sampingan seperti dedak gandum atau dedak padi . Dedak padi merupakan sumber energi yang sangat baik untuk kelinci ( Raharjo 1987) , dan tersedia dalam jumlah besar di banyak negara berkembang . Namun, rentan terhadap pengembangan tengik , yang dapat mengurangi palatabilitas . Perawatan harus diambil untuk menghindari dedak tengik untuk makanan kelinci .Jumlah pakan yang ditawarkan harus disesuaikan dengan ketersediannya untuk dikonsumsi . Hal ini diinginkan untuk memberikan jaminan ketersediaan untuk hijauan segar agar setidaknya dapat diberikan dua kali sehari , dengan penyaringan makanan untuk membuang bahan yang tidak dimakan sebelum pakan tambahan ditawarkan untuk mencegah pembusukan . Dengan palatabilitas hijauan , asupan harian hijauan segar dari doe atau disapih kelinci akan sekitar 400-500 g per hewan per hari . Jumlah konsentrat yang ditawarkan harus sekitar 50 g per hewan per hari . Entah konsentrat komersial dibeli atau rumah - campuran , suplemen tambahan dari sampah rumah tangga dapat digunakan . Selain itu, kelinci membutuhkan garam dalam diet mereka .Palatabilitas hijauan penting dalam produksi kelinci , terutama dalam situasi ketika hijauan diharapkan untuk memberikan bagian utama dari asupan nutrisi harian . Raharjo dan Cheeke ( 1985 ) dan Raharjo ( 1987 ) mengevaluasi sejumlah hijauan Indonesia dalam tes preferensi pakan . Secara umum , legum tropis yang disukai adalah rumput segar dan produk hasil sampingan pertanian , dengan pengecualian gamal ( Gliricidia sepium ) , kacang-kacangan yang terbukti tidak diminati oleh kelenci . Lamtoro ( Leucaena leucocephala ) adalah pakan yang sangat cocok untuk kelinci , meskipun mengandung mimosine asam amino yang beracun . Erythrina ( Erythrina lithosperma ) , kacang-kacangan lain , diterima dengan baik . Anggur ubi jalar yang cocok untuk kelinci dalam studi Raharjo ( 1987) , sedangkan pisang dan pepaya daun yang buruk diterima . Sebagian besar rumput ( misalnya : Setaria , Brachiaria , rumput gajah ) yang kurang enak dari kacang-kacangan .Daun pohon dapat digunakan di banyak daerah untuk menyediakan pakan di musim kemarau . Selain legum tropis disebutkan sebelumnya , pohon-pohon lain dengan potensi untuk makan termasuk murbei ( Morus spp . ) Yang digunakan di India , Brasil dan Kosta Rika sebagai hijauan , dan belalang hitam ( Robinia pseudoacacia ) , tumbuh secara luas di Cina untuk kelinci pakan . Rami digunakan di Brazil , di mana ia dianggap sebagai pakan hijauan yang sangat lezat dan bergizi bagi kelinci .Banyak penelitian lebih lanjut diperlukan pada nilai gizi dan makan pakan tropis untuk produksi kelinci , dan pengembangan sistem makan yang optimal . Cheeke ( 1987) telah merangkum informasi yang tersedia mengenai nutrisi dan memberi makan kelinci dalam kondisi beriklim sedang dan tropis .

3.2. Manajemen Pakan Ternak Kelinci3.2.1. Pemilihan Jenis Bahan Pakan SITORUS (1982) melaporkan hijauan merupakan bahan pakan utama yang diberikan oleh peternak kelinci di Jawa dengan jumlah pemberian mencapai 8090% dari total ransum. Jenis-jenis hijauan yang dapat diberikan sabagai pakan kelinci diantaranya rumput lapangan, sintrong, babadotan lalakina, jukut loseh, daun ubi jalar, daun pisang, daun singkong, daun wortel, daun kangkung, kobis, daun turi dan lamtoro. Hasil penelitian SUDARYANTO (1984) terhadap beberapa hijauan yang diberikan pada kelinci, melaporkan bahwa ketela rambat dan rumput lapangan merupakan hijauan yang paling baik untuk diberikan pada kelinci. Dari hasil pengamatannya terdapat petunjuk untuk menggunakan hijauan ketela rambat dalam bentuk kering, sehingga jumlah konsumsi bahan kering dapat terjamin. Selanjutnya SARTIKA (1988) melaporkan daun wortel mempunyai potensi yang baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan kelinci di daerah padat penduduk (lahan sempit) seperti di perkotaan. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan bahan pakan berasal limbah pertanian yang tersedia, murah dan memiliki potensi untuk dimanfaatkan oleh kelinci. RAHARDJO et al. (2004) melaporkan bahwa diantara bahan pakan inkonvensional yang tersedia daun rami (Boehmeria nivea L Goud) yang memiliki kandungan protein cukup tinggi (18,97%) dan ampas teh dengan kandungan protein 17,57% dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak kelinci. Selanjutnya dikemukakan RAHARDJO et al. (2004) bahwa daun rami dapat dimanfaatkan sampai sekitar 30% dari total ransum, sehingga biaya pakan menjadi lebih rendah. Sementara ampas teh dapat diberikan sampai 40% dari total ransum, namun kinerja tertinggi dicapai pada tingkat pemberian 10%. Konsentrat untuk bahan pakan kelinci dapat berupa pellet (pakan buatan pabrik), atau campuran beberapa bahan pakan diantaranya dedak, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ampas tahu, ampas tapioka, bulgur, pakan starter ayam, ubi jalar dan ubi kayu. Pemilihan jenis bahan konsentrat tergantung kepada tujuan, sistem pemeliharaan dan ketersediaan bahan pakan di masing-masing daerah.

3.2.2. Pola Pemberian Pakan 3.2.2.1. Imbangan hijauan dan konsentrat Untuk mendukung kecukupan gizi yang seimbang pemberian hijauan perlu diimbangi dengan konsentrat. Pada peternakan kelinci intensif hijauan diberikan 6080%, sisanya konsentrat. Ada juga yang memberikan 60% kosentrat dan sisanya hijauan (SARWONO, 2002). Pakan komersial bentuk pellet yang merupakan campuran hijauan dan kosentrat pada peternakan intensif dibuat dengan imbangan 5060% hijauan, 5040% konsentrat (ENSMINGER, 1991). Dalam kaitannya dengan pemberian kosentrat, RAHARDJO et al. (2004) melaporkan hasil penelitiannya pada ternak kelinci Rex yang diberi rumput lapang ad libitum (100%) dan rumput lapang ad libitum ditambah konsentrat, hasil penelitian menunjukkan bahwa performans produksi terbaik ditunjukkan oleh pemberian rumput lapang ad libitum + 60 g kosentrat dengan pertambahan bobot badan sebesar 1191 g/ekor, selama 12 minggu sedangkan pada ternak kelinci yang diberikan rumput lapang ad libitum tanpa konsentrat, pertambahan bobot badannya hanya sebesar 610 g/ekor dalam waktu yang sama. Bentuk pakan yang diberikan pada kelinci bergantung pada tujuan dan sistem pemeliharaan. Pada beberapa peternakan intensif memformulasikan hijauan dan konsentrat dalam bentuk pellet sehingga komposisi bahan keringnya lebih akurat dan peternak tidak perlu lagi memberikan hijuan dalam bentuk segar atau tambahan pakan lain. Namun kendalanya bagi peternak kecil biaya proses pembuatan pellet ini cukup mahal. Untuk kondisi peternak kecil di pedesaan pemberian pakan dengan mengutamakan pemberian beragam jenis hijauan dan limbah sebagai tambahan seperti dedak, ampas tahu, onggok dan limbah pertanian lainnya adalah alternatif yang paling memungkinkan dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak kelinci secara efisien. 3.2.2.2. Pemberian hijauan Sebelum diberikan pada ternak hijauan sebaiknya dilayukan terlebih dahulu dengan cara membiarkan/diangin-anginkan pada ruangan sekitar kandang. Zat toksik pada beberapa hijauan seperti adanya HCN pada daun singkong dapat membahayakan kesehatan ternak. Melalui proses pelayuan zat toksik yang terkandung pada hijauan dapat dikurangi. Selain itu pelayuan dapat menurunkan kadar air hijauan yang sangat basah, dimana hijauan yang basah dapat mengakibatkan kembung (bloat) dan mencret (enteritis) pada kelinci (BELANGER, 1977).Diantara jenis hijauan ada yang sangat bergetah bahkan ada struktur hijauan yang dapat menyebabkan gatal-gatal dan merusak mulut kelinci (SITORUS et al., 1982). Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan pencacahan. Pencacahan dilakukan dengan memotong-motong hijauan sepanjang 23 cm dengan cara manual atau mekanis. Melalui proses pencacahan tekstur hijauan yang kasar dan getah hijauan dapat dikurangi. 3.2.2.3. Pemberian konsentrat Konsentrat yang akan diberikan dipilih dari bahan yang disukai, mudah didapat dan tersedia secara kontinu. Konsentrat harus bersih, tidak rusak, tidak berjamur. Konsentrat diberikan pada tempat pakan yang mudah dijangkau oleh kelinci. Tempat pakan harus selalu dijaga kebersihannya, sisa pakan yang sudah berjamur segera dibuang. Kecuali bentuk pellet atau crumble, konsentrat bentuk all mash (tepung) sebaiknya dicampur dengan air panas atau diseduh kemudian dikepal-kepal, selain bermanfaat untuk membunuh organisme penyebab penyakit yang mungkin ada, juga dapat mengaktifkan enzym inhibitor yang dapat mengurangi kualitas dari konsentrat tersebut (KRATZER dan PAYNE, 1977 dalam SITORUS et al., 1982). Sebaliknya pemberian konsentrat kering menyebabkan kelinci sering berbangkis dan menyebabkan intake makanan rendah. Kelinci yang mendapat pakan dari gandum yang telah dikukus menunjukkan pertumbuhan lebih cepat (LEBAS, 1976 dalam LANG, 1981). 3.2.2.4. Pemberian air minum Air sangat diperlukan untuk melancarkan makanan dalam saluran pencernaan, terlebih lagi terkait dengan produksi susu bagi induk yang sedang menyusui (SANFORD, 1979). Air minum diberikan secara adlibitum. Pemberian dapat dilakukan dengan menyediakan tempat minum pada masing-masing kandang. Pada beberapa peternakan intesif air minum diberikan dengan sistem nipple yang diinstalasikan pada masing-masing kandang. Untuk kondisi pedesaan tempat minum dapat dibuat dari bahan yang murah dan mudah didapat misalnya dari bahan plastik yang dilapisi semen sebagai pemberat agar tidak mudah tumpah.

3.2.2.5. Waktu pemberian pakan Walaupun pakan kelinci diberikan secara tak terbatas (ad libitum), namun pemberian secara berangsur angsur dengan pengaturan waktu yang tepat akan lebih mengefisienkan dan mengefektifkan jumlah pakan yang diberikan. Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari. Konsentrat diberikan pada pagi hari sekitar pkl 10:00 setelah pembersihan kandang dan 1/3 bagian hijauan diberikan pada siang hari sekitar pkl 13:00 dan 2/3 bagian hijauan diberikan pada sore hari sekitar pkl 18:00. Mengingat kelinci termasuk binatang malam (noctural), dimana aktivitasnya lebih banyak dilakukan pada malam hari, maka pemberian volume pakan terbanyak pada sore hari sampai malam hari. HARSOJO (1988) melaporkan kelinci yang diberi pakan dari pkl 18:0006:00 bobot badannya lebih tinggi dibanding kelinci yang diberi pakan dari pkl. 06:0018:00.

3.3. Pengontrolan Penyakit Di Daerah TropisSalah satu atribut yang berbeda dari pertanian kelinci adalah relatif rendahnya insiden penyakit epidemi ketika standar yang tinggi kebersihan dan pengelolaan yang cermat dipraktekkan ( IFS 1978 ) . Kelinci tidak memerlukan vaksinasi rutin atau obat untuk mencegah atau mengobati penyakit tertentu . Ini merupakan aspek penting karena dalam spesies ternak lain kurangnya obat-obatan yang tepat kadang-kadang diakui sebagai kendala utama untuk produksi sukses .Ketika penyakit terjadi, solusi lokal dapat digunakan sebagai pengobatan . Misalnya , satu kondisi penyakit yang umum disebut sebagai kutu telinga (yang disebabkan oleh parasit eksternal , Psoroptes cuniculi ) keduanya dapat dicegah dan diobati dengan menerapkan tetes larutan minyak - minyak tanah langsung di dalam saluran telinga . Minyak nabati , minyak sawit merah dan bahkan oli mesin bersih dapat digunakan . Mengendalikan gangguan pencernaan , seperti diare dan sembelit , berbagai tanaman obat dan sayuran yang digunakan oleh suku Kamerun telah diamati untuk memberikan hasil terapi yang sama pada kelinci ( Lukefahr dan Goldman 1985 ) . Owen ( 1976) mengamati kecenderungan yang nyata ketika penyakit memberikan penyebaran yang lebih rendah produktivitas dalam operasi kelinci dikelola dalam unit-unit peternakan skala kecil dibandingkan dengan peternakan yang dikelola intensif batau unit komersial . Manajemen mutu per hewan mungkin kurang dalam operasi besar, dan situasi kurungan dekat juga dapat menentukan kemungkinan lebih besar wabah penyakit secara cepat , khususnya mengenai myxomatosis dan pasteurellosis . Hal ini penting , karena itu, di mana peternakan kelinci besar perlu adanya tingkat keamanan kebersihan dan pemusnahan hewan yang sakit , serta melaksanakan tindakan karantina yang tepat.Dua penyakit yang menjadi perhatian global utama untuk produksi kelinci adalah koksidiosis dan pasteurellosis . Sementara koksidiosis sebagian besar dapat dicegah dan diobati , penyakit ini sering kali tidak terdiagnosis ke titik di mana cedera fisik serius terjadi - kerusakan hati dan penurunan berat badan yang parah . Budidaya kelinci di alas tanah memperburuk masalah karena eksposur yang lebih langsung ke agen infeksi . Berbagai obat berbasis sulfa telah menunjukkan hasil yang baik dalam mengendalikan kelinci koksidiosis ( ADUMA 1978) . Sanitasi adalah penentu penting dalam pengendalian frekuensi episodik dan tingkat kesakitan akibat wabah koksidiosis .

Gambar 1. Daur Hidup KoksidaPasteurellosis adalah penyakit bakteri ( Pasteurella multocida ) yang mempengaruhi hampir seluruh jaringan tubuh . Tanda-tanda penyakit ini termasuk discharge mukopurulen hidung , pneumonia, abses kulit , konjungtivitis , infertilitas dan kematian . Hanya pengobatan yang menggunakan spektrum luas dan obat-obatan berbasis sulfa yang dapat diberikan . Selain itu , hanya tes kultur dapat mengkonfirmasi paparan definitif untuk Pasteurella . Dalam peternakan yang dikelola dengan baik, penyakit ini mungkin jarang menjadi masalah . Saat ini , cara terbaik untuk mengendalikan pasteurellosis dicapai melalui desain perkandangan yang layak , pemusnahan ketat hewan yang terinfeksi . Beberapa laboratorium dan universitas telah mengembangkan spesifik patogen - bebas ( SPF ) stock yang pasteurella bebas , proyek dalam beberapa kasus didirikan populasi kelinci melalui SPF impor stock . Pedoman umum kelinci impor stock , berkaitan dengan pengendalian penyakit dan pemanfaatan sumber daya genetik suara.

Gambar 2. Hati kelinci yang menderita koksida3.4. Pengontrolan Lingkungan Dan KandangSeperti spesies ternak lainnya , kelinci membutuhkan perlindungan dari kondisi lingkungan yang merugikan , termasuk perlindungan terhadap predator . Faktor lingkungan seperti sinar matahari dan ventilasi menjadi sangat penting , perubahan yang ekstrem dari kedua factor tersebut akan sangat mempengaruhi produksi. Kualitas udara menjadi perhatian utama dalam pengendalian penyakit pernapasan , seperti pasteurellosis dan pneumonia . Ambient temperatur dan tingkat kelembaban , juga , sangat relevan terutama dengan lingkungan tropis atau gersang.Dalam rejimen percobaan terkontrol , Stephen ( 1981) dan Poujardieu dan Matheron (1984 ) menyelidiki pengaruh suhu dan kelembaban terhadap efek stres pada pertumbuhan dan Feed Performance kelinci . Stephen (1981 ) mengamati suhu produktivitas optimal pada 18 C ( dibandingkan dengan 5 dan 30 C ) dan kelembaban 70 % ( dibandingkan dengan 60 dan 80 % ) dari 37,4 g rata-rata gain harian dan 4,23 nilai efisiensi pakan . Poujardieu dan Matheron ( 1984) melaporkan bahwa perubahan tingkat suhu dan kelembaban yang signifikan memberikan pengaruh yang nyata pada respon pertumbuhan kelinci.Hal ini juga ditetapkan bahwa suhu lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan kemandulan pada kelinci peternakan. Kelinci yang tampaknya lebih dipengaruhi oleh panas yang bertentangan dengan iklim dingin . Lama paparan suhu kritis lebih dari 30 C dianggap sebagai titik ambang di mana dapat menyebabkan infertilitas . Sejumlah langkah-langkah praktis untuk mengurangi stres panas telah didokumentasikan oleh Cheeke et al ( 1987).

Gambar 3. Model perkandangan kelinci di Indonesia

Gambar 4. Model Tempat Pakan Ternak Kelinci3.5. Pengaruh Kepadatan Kandang Terhadap Produksi Salah satu jenis kelinci yang popular di Indonesia adalah Kelinci Rex. Kelinci Rex dikenal sebagai ternak yang tumbuh dengan cepat. Penelitian Raharjo, dkk (2003) menunjukkan bahwa kelinci Rex yang mengkonsumsi pakan 94 100 gr/hari menghasilkan pertambahan bobot badan 13 22 gram/ekor/hari. Selain menghasilkan daging, kelinci Rex juga merupakan ternak penghasil kulit bulu (fur) yang bernilai ekonomis tinggi.Pertumbuhan tubuh kelinci seperti halnya ternak lain dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan terdiri atas pakan, teknik pemeliharaan, kesehatan, dan iklim. Kelinci Rex membutuhkan suhu 16 18 C untuk pemeliharaan badan dan perkembang biakan, sedangkan untuk pertumbuhan bulu, ada baiknya jika dipelihara pada suhu 5 15 C (Sarwono, 1988). Laporan terakhir menyebutkan bahwa suhu lingkungan yang paling baik untuk usaha pemeliharaan kelinci Rex adalah 15-20C dengan batasan suhu kritis paling rendah adalah -7C dan suhu kritis paling tinggi 29C, dengan kelembaban relatif sekitar 55-65%. Selain suhu lingkungan, pemberian pakan termasuk pada faktor lingkungan yang berpengaruh paling besar, sekitar 60% (Siregar, 1994).Pemeliharaan kelinci dapat dilakukan dengan penempatan kelinci pada kandang individu atau secara koloni, dimana tiap-tiap metode penempatan kelinci tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan penggunaan tipe kandang individu yaitu memudahkan pengamatan dan perawatan ternak, sedangkan kekurangannya adalah besarnya biaya investasi kandang dan dibutuhkannya lahan yang luas. Kelebihan kandang koloni adalah efisiensi penggunaan lahan yang tinggi karena luasan lahan yang digunakan berkurang, namun kekurangan dari penggunaan kandang koloni adalah adanya kemungkinan perkelahian antar ternak pada usia mendekati dewasa kelamin, peningkatan suhu dalam kandang yang kemungkinan besar dapat menyebabkan stress dan rendahnya kemampuan produksi.Kandang yang baik adalah kandang yang dapat dihuni kelinci dengan produksi optimal. Kandang demikian merupakan kandang yang memiliki suhu, kelembaban, dan sanitasi, serta ventilasi yang baik dengan kepadatan dalam kandang yang tepat. Ukuran kandang yang sering dijumpai pada peternak adalah 70 x 60 cm, atau setara dengan 2,2 ekor/m2, ukuran kandang tersebut sesuai dengan pendapat Manshur (2006) bahwa ukuran kandang bagi kelinci Rex dewasa ialah 2,2 ekor/m2 dengan tinggi 50 cm.Martens dan De Groote (1984) menyatakan bahwa kepadatan kandang maksimum adalah 6 ekor/m2. jika kepadatan kandang dapat ditingkatkan tanpa mengurangi performa dan meningkatkan angka mortalitas, maka peternak akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Penentuan kepadatan kandang yang tepat diharapkan akan memberikan efisiensi dalam penggunaan lahan untuk bangunan kandang sehingga dicapai hasil produksi yang optimum.3.6. Peluang Dan KendalaPengembangan usaha ternak kelinci mempunyai peluang dan harapan yang besar dibanding ternak lainnya, untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat karena: a. Jumlah penduduk Indonesia 220 juta dengan tingkat pertambahan 1,5% dan tingkat pertumbuhan ekonomi 5%6% membutuhkan konsumsi daging dan kulit yang sangat besar sedang pemenuhan daging dalam negeri cenderung menurun, sehingga pengembangan usaha ternak kelinci merupakan salah satu alternatif penyedia daging. b. Kelinci memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang biak dengan cepat (prolifik) pada pemeliharaan sederhana maupun intensif dengan kondisi pakan yang murah dan mudah didapat (memanfaatkan limbah pertanian). c. Kelinci mempunyai potensi biologis yang tinggi karena dapat dikawinkan kapan saja asal dewasa kelamin, beranak banyak (612 ekor), waktu bunting pendek sehingga dalam satu tahun dapat beranak 68 kali setahun, pertumbuhan cepat serta tidak membutuhkan lahan yang luas. d. Daging kelinci mempunyai gizi dan rasa yang lebih unggul dibandingkan daging yang berasal dari ternak lainnya sehingga sangat baik dan aman dikonsumsi anak- anak maupun dewasa serta usia lanjut karena kandungan protein tinggi (21%) dengan kandungan kolesterol sangat rendah (0,1%) serta mengandung asam linoleat tertinggi diantara ternak lainnya (22,5%). Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan ternak kelinci adalah: a. Dari segi produksi kendala yang dihadapi adalah rendahnya produktifitas dan mutu hasil terutama pada pemeliharaan skala kecil yang diakibatkan kurangnya pengetahuan manajemen pemeliharaan. b. Kelinci merupakan hewan kesayangan dan bentuknya mirip kucing dan tikus serta adanya anggapan bahwa daging kelinci tidak halal untuk dimakan, sehingga sangat sulit untuk memasyarakatkan daging kelinci sebagai sumber pangan alternatif. c. Pengembangan agribisnis ternak kelinci masih memerlukan promosi yang intensif dan kemampuan untuk memasuki pasar atau menciptakan pasar .

3.6. Pengembangan Usaha Peternakan KelinciPengembangan usaha ternak kelinci peternakan memerlukan pendekatan untuk mengapresiasikan akan pentingnya peranan, ciri-ciri, sifat-sifat dan nilai ternak kelinci antara lain: a. Berorientasi pada peternak sebagai pelaku utama agribisnis peternakan serta mengacu pada dinamika perkembangan global dan semangat desentralisasi. b. Menjamin agar produk yang dihasilkan mempunyai daya saing sesuai kebutuhan pasar dan ramah lingkungan melalui promosi dan pameran ternak. Sedangkan strategi yang akan dikembangkan adalah mengacu kepada kebijaksanaan pemerintah seperti halnya pada jenis ternak lainnya dengan membentuk networking atau keterkaitan dan keterikatan antar subsistem mulai dari pra-produksi, proses produksi dan pasca-produksi serta sarana pendukung yang antara lain meliputi: a. Pemberdayaan peternak dengan membentuk kelompok untuk mempermudah akses memperoleh kredit dengan bunga rendah. b. Mengembangkan peternakan yang efisien, terintegrasi serta melibatkan masyarakat. c. Mengembangkan ketersediaan sumber pakan lokal, sehingga biaya pakan murah dan sumber bibit yang lebih terjamin ketersediaannya. d. Pengembangan industri kompos dan meningkatkan mutu pengolahan limbah dan kotoran yang mempunyai nilai tambah. e. Peningkatan efisiensi pemasaran ternak dan hasil ikutan melalui usaha pemasaran bersama dan memperpendek rantai pemasaran. f. Promosi bahwa daging ternak kelinci merupakan organic farming. g. Pengembangan usaha melalui keterkaitan industri penyamakan kulit dengan budidaya ternak. Pola pengembangan usaha ternak kelinci dilaksanakan dengan berwawasan agribisnis yang diselaraskan dengan potensi riil dari permintaan pasar yang ada. Untuk itu Ditjen Peternakan sejak tahun 1981 telah melaksanakan penyebaran dan pengembangan ternak kelinci di 10 propinsi yaitu Sumut, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Sulsel, NTB dan NTT sebanyak 5 juta ekor dengan pola bergulir dari Village Breeding Centre untuk kemudian disebarkan kepada petani. Kemudian pada tahun 1998/1999 kembali dilaksanakan melalui Proyek PPRT dengan menyebarkan ternak kelinci REX untuk tujuan produksi kulit bulu (fur) di Kabupaten Tabanan, Bali dan Banjarnegara serta Brebes, Jawa Tengah. Pola yang dikembangkan juga dengan sistem bergulir dengan membentuk Rabbit Multiplication Centre (RMC) sebagai tempat perbanyakan untuk kemudian disebarkan kepada masyarakat.

BAB IVPENUTUP

Potensi utama ternak kelinci dalam mewujudkan suatu agribisnis adalah kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang biak dengan cepat, baik melalui pola usaha skala rumah tangga maupun skala industri. Selain itu, kelinci juga menghasikan berbagai ragam produk bermutu yang dibutuhkan pasar. Namun, tak dapat disangkal bahwa agribisnis ternak kelinci di berbagai negara, termasuk Indonesia, kurang populer dan kurang berkembang dibandingkan dengan ternak konvensional lainnya. Pengembangan agribisnis ternak kelinci di Indonesia, dalam hubungannya dengan masalah yang dihadapi, tidaklah terbatas pada teknologi semata, tetapi juga pada pemasaran dan kebijakan.Salah satu factor yang menentukan dalam usaha peternakan adalah Penerapan tatalaksana pemberian pakan, yang secara keseluruhan yang meliputi pemilihan jenis bahan pakan, pemenuhan jumlah kebutuhan dan pengaturan pola pemberian pakan secara tepat sangat menuntut kesungguhan peternak dalam melaksanakannya. Bahan-baku pakan untuk kelinci banyak tersedia dan mudah diperoleh di hamper seluruh wilayah indonesia dengan pemeliharaan harga murah. Produktivitas ternak kelinci dapat dioptimalkan guna menunjang pengembangan agribisnis ternak kelinci yang efisien dan menguntungkan.Keberhasilan peternak kelinci tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor faktor internal peternak kelinci, seperti pakan yang diberikan, jumlah ternak yang dipelihara. Disamping faktor tersebut, ada faktor lain yang cukup besar peranannya untuk mendorong keberhasilan usaha ternak yaitu pendidikan dan lama beternak. Karena faktor faktor tersebut sangat berpengaruh dalam pengelolaan usaha. Keberhasilan agribisnis peternakan akan sangat tergantung pada komitmen, konsistensi, komunikasi, network dan partisipasi dari seluruh stakeholders. Oleh karena itu dalam workshop nasional pengembangan satwa harapan kelinci diharapkan dapat menjaring aspirasi dari stakeholder pengembangan agribisnis peternakan yang mempunyai arti yang sangat strategis dan sangat penting bagi pembangunan peternakan di masa mendatang.

REFERENSIAduma J P 1978 Coccidiosis in rabbits. Paper in the Workshop on Rabbit Husbandry in Africa, Morogoro, Tanzania, Dec. 16-21, pp. 155-162. Stockholm, IFS Ayoade J A, Makhamvera T P E and Kayange M 1985 Studies on the nutrition of rabbits in Malawi. I. A preliminary study on the chemical composition of some Central Malawi plants eaten by rabbits. Journal of Applied Rabbit Research 8:81-82 Campos A P, Rochambeau H De, Rouvier R and Poujardieu B 1980 The Mexican program of selection in rabbits: Objectives and first results. (in Spanish). Paper in the II World Rabbit Congress, Barcelona, April 14- 18, pp. 263-273. WRSA Carregal R D 1980 Evaluation of the heterosis, combining abilities, and maternal and reciprocal effects in rabbits. (in Spanish). Paper in the II World Rabbit Congress, Barcelona, April 14-18, pp. 213-220. WRSA Raharjo Y C, Cheeke P R and Patton N M 1986b Growth and reproductive performance of rabbits on a moderately low crude protein diet with or without methionine or urea supplementation. Journal Animal Science 63:795-803 Rugh J W 1978 Housing of rabbits in Africa. Paper in the Workshop on Rabbit Husbandry in Africa, Morogoro, Tanzania, Dec. 16-21, pp. 171-179. Stockholm, IFS Stephen E 1981 Effect of ambient temperatures on the fattening performances of table rabbits of different breeds. (in German with English abstract). Kleintierpraxis, 26:313-317 Xu W, Du N and Liu S 1988 A new virus isolated from hemorrhagic disease in rabbits. Paper in the IV World Rabbit Congress, Budapest, Oct. 10-14, pp. 456-462. WRSA ENSMINGER, M.E. 1991. Animal Science. 9th Edition. The Interstate Printers. And Publisher. Inc. Denville, Illionis. USA. FARREL, D.J. dan Y.C. RAHARJO. 1984. Potensi ternak kelinci sebagai penghasil daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. HARSOJO, D. dan C.K. SRI LESTARI. 1988. Pengaruh bobot badan kelinci persilangan jantan akibat perbedaan waktu pemberian pakan. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak II. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian. LANG, J. 1981. The Nutrition of the Commercial Rabbit. Feeding and General Aspects of Nutrition. Nutr. Abstr. Rev. 51(5): 287. RAHARDJO, Y.C., T. MURTISAri dan E. JUARINI. 2004. Peningkatan produktivitas dan mutu produk kelinci eksotis.. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2003. Buku II. Ternak Non Ruminansia. Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. RAHARDJO, Y.C., T. MURTISARI, SAJIMIN, B. WIBOWO, NURHAYATI, D, PURWANTARI, LUGIYO dan HARTATI. 2004. Pemanfaatan Aneka Ternak sebagai sumber pangan hewani dan produk lain bermutu tinggi. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2003. Buku II. Ternak Non Ruminansia. Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. SANFORD, J.C. 1979. The Domestic Rabbit. 3rd Ed. Granada London, Toronto, Sydney, New York. SARTIKA, T., DONNA GULTOM dan D. ARITONANG. 1988. Pemanfaatan daun wortel (Daucus carota) dan campurannya dengan rumput lapang sebagai pakan kelinci. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak II. Balai Penelitian Ternak Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Litbang Pertanian. SARWONO, B. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Kelinci Potong dan Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta. SITORUS, P., S. SASTRODIHARDJO, Y.C. RAHARJO, I.G. PUTU, SANTOSO, B. SUDARYANTO dan A. NURHADI. 1982. Laporan Budidaya Peternakan Kelinci di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. SUDARYANTO, B., Y.C. RAHARDJO dan M. RANGKUTI. 1984. Pengaruh beberapa hijauan terhadap performanas kelinci di pedesaan. Ilmu dan Peternakan. Puslitbangnak Bogor. TEMPLETON, G.S. 1968. Domestic Rabbit Production. The Interstate Printers & Publisher, Inc. Denville Illionis.29