BAB I
-
Upload
agam-chekmat -
Category
Documents
-
view
19 -
download
0
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
Jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia
reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi perinatal dari ibunya.
Laporan CDC (Central for Disease Control) Amerika memaparkan bahwa seroprevalensi HIV
pada ibu prenatal adalah 0,0% - 1,7%, pada saat persalinan 0,4% - 2,3% dan 9,4 – 29,6% pada
ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Sebaliknya,
risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi HIV masih merupakan tanda Tanya.
Transmisi vertical virus AIDS dari ibu kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum
jelas diketahui, kapan transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di Amerika Serikat dan
Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 – 40%. Transmisi
dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan atau melalui ASI. Walaupun
demikian WHO menganjurkan agar ibu dengan HIV (+) tetap menyusui bayinya mengingat
manfaat ASI yang lebih besar dibandingkan dengan risiko penularan HIV.1
Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang relatif baru,
terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1982 sebagai
suatu sindrom defisiensi imun makin meningkat secara relatif cepat disertai angka kematian yang
mencemaskan, maka dilakukanlah pengamatan dan penelitian yang intensif sehingga akhirnya
penyebab defisiensi imun ini ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang
kemudian dikenal dengan nama human immunodeficiency virus tipe-1 (HIV-1), pada tahun 1985.
Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini dapat menimbulkan rentangan
gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala hingga gejala yang sangat berat dan progresif, dan
umumnya berakhir dengan kematian. Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun
oleh virus ini pada orang dewasa secara cepat di seluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak
mendapat perhatian dan penanganan yang memadai, dalam waktu dekat diperkirakan jumlah
kasus defisiensi imun pada anak juga akan meningkat.2
Secara keseluruhan, infeksi pada wanita meningkat, dan proporsi wanita dan gadis remaja
yang terinfeksi meningkat tiga kali lipat dari 7 menjadi 23 persen dari tahun 1985 sampai 1998.
Sejak saat itu, prevalensi penyakit yang mematikan ini meningkat di seluruh dunia hampir secara
geometris. Di Amerika Serikat sampai tahun 1998, Fauci (1999) menyebut sekitar 650.000
sampai 900.000 orang terinfeksi dan hampir setengah juta meninggal. Pada tahun 1994, kematian
akibat infeksi HIV menjadi penyebab utama kematian pada orang berusia 25 sampai 44 tahun.
Seperti diperkirakan, infeksi perinatal juga meningkat. Sampai tahun 1993, Centers for Disease
Control and Prevention memperkirakan bahwa di Amerika Serikat 15.000 anak terinfeksi HIV
lahir dari wanita positif HIV.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik
dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi
kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus.2Kausa sindrom imunodefisiensi ini
adalah retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan HIV-2.3
2.2. Etiologi
Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus.
Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberi dari kode A
sampai J. Dan subtype yang paling ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.4
2.3. Cara Penularan
Kita masih belum mengetahui secara persis bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi. Namun,
kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui
oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut:12
Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang paling
mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah) ibunya. Oleh karena itu,
salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak dapat terdeteksi – seperti
juga ART untuk siapa pun terinfeksi HIV. Viral load penting pada waktu melahirkan. Seperti
ditunjukkan pada gambar, penularan dapat terjadi dalam kandungan. Hal ini dapat disebabkan
oleh kerusakan pada plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan
tersebut dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat
disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB.12
Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan
cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu antara saat pecah ketuban
dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk
membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko.
Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan
HIV melalui menyusui.
Faktor risiko lain termasuk kelahiran premature (bayi lahir terlalu dini) dan kekurangan
perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko menunjukkan satu hal:
yang terpenting adalah mengawasi kesehatan ibu.
Beberapa pokok kunci:
Status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya
Status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya
Status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu
2.4. Patofisiologi
Untuk dapat terinfeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul CD4.
Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap
molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul
CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai
dengan penempelan virus pada limfosit-T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari
membran sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel
limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi
seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase H,
RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerisasi
menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polimerase. DNA yang terbentuk ini kemudian
pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu
dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal
dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas
dan deferensiasi sel pejamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi
yang dapat memicu dan mamacu terjadinya replikasi dengan kecepatan tinggi.2
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus, yaitu
pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih belum jelas, walaupun
umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja
melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak
semua sitokin dapat memacu replikasi virus oleh karena sebagian sitokin malah dapat
menghambat replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta
mengatur respons imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis factor α dan β,
interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan macrophage colony-
stimulating factor. Yang bersifat menghambat adalah interleukin-4, transforming growth factor
β, interferon α dan β.2
Hal lain yang dapat memicu replikasi HIV adalah adanya ko-faktor yang terdiri dari
infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus hepatitis B, virus
herpes simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh
kuman seperti mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja lokal di dalam
jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus
meningkat untuk dapat menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam
jaringan. Oleh karena itu, pada keadaan adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan
(terutama di dalam kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus.2
Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan organ limfoid dapat
dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau
melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Di sini terjadi
replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain
(multipel) yang dapat menimbulkan limfadenopati subklinis.2
Sementara itu, sel limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum germinativum jaringan
limfoid juga memberikan respon imun yang spesifik terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan
limfadenopati yang nyata akibat hiperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai oleh
meningkatnya sel dendrit folikular di dalam sentrum germinativum dan sel limfosit T-CD4.
Akumulasi sel limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat
proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi limfosit dari luar. Migrasi sel T-CD4 dari
luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang
merupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sel limfosit-B
menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel
T-CD4.2
Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan komplemen
terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik folikular ini, pada respons
imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum
germinativum dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang
akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi. Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4
dapat tinggal laten untuk waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali
akibat berbagai stimulasi. Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan
partikel HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat
diamati adalah dengan progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit folikular sehingga
hilanglah kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel HIV yang berakibat meningkatnya
HIV di dalam sirkulasi. Hal ini sudah tentu meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai
organ tubuh.2
Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel limfosit T-CD4 tidak saja
berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan fungsi sel T-CD4 dan sitolisis,
hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi (perubahan fungsi dan penurunan jumlah)
sel limfosit T-CD4 ini diduga berlangsung sebagai yang tertera sebagai berikut:2
Pengaruh sitopatik langsung HIV (single-cell killing)
Pembentukan sinsitium
Respon imun spesifik
Limfosit-T sitolitik yang spesifik untuk HIV
Sitotoksisitas selular akibat adanya antibodi
Sel killer alami
Apoptosis (kematian yang terprogram)
Mekanisme autoimun
Anergi yang disebabkan oleh pengiriman isyarat yang tidak sempurna yang diakibatkan
oleh interaksi molekul gp 120-CD4
Gangguan fungsi (perturbation) subkelompok sel-T akibat adanya suatu super antigen
2.5. Klasifikasi
HIV merupakan virus RNA, termasuk famili retroviridae dan genus lentivirus. HIV dibagi
menjadi dua tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2(virologi). HIV-1 dibagi lagi menjadi 3 grup, dan 10
subtipe (clade). (Gambar 1) Sebanyak 90% dari infeksi HIV yang terjadi di dunia ini berasal dari
HIV-1 Clade B.5
HIV-1 berdiameter kira-kira 100-150 nm, terdiri dari membrane lipid, protein envelope
gp-120, protein transmembran gp-41, protein matriks (p17), kapsid (p24) dan nukleokapsid (p7).
(Gb.2) Di dalam kapsid terdapat dua kopi genom RNA rantai tunggal dan enzim-enzim yang
diperlukan saat virus bereplikasi dalam sel pejamu (reverse transcriptase, integrase, dan
protease). RNA rantai tunggal HIV berisi gen yang mengkode rangkaian protein structural (gag,
pol, dan env) dan protein non struktural atau dikenal sebagai regulator [tat, rev, nef, vpr, vpu
(atau vpx di HIV-2) dan vif].5
Klasifikasi Infeksi HIV/AIDS
Adapun klasifikasi HIV/AIDS berdasarkan stadium WHO (2003) ialah :6
1) Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata
2) Stadium 2
Berat badan turun < 10 %
Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur, kuku,
ulkus oral rectum, cheilitis angularis)
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran nafas atas rekuren
3) Stadium 3
Berat badan turun > 10 %
Diare yang tidak diketahui penyebab, > 1 bulan
Demam berkepanjangan (intermitten atau konstan), > 1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leucoplakia
Tuberculosis paru
Infeksi bakteri baru (pneumonia, piomiositis)
4) Stadium 4
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis carinii
Toksoplama serebral
Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening (misalnya
retinitis CMV)
Infeksi herpes simpleks, mukokutan (> 1 bulan) atau viseral
Progressive multifocal leucoencephalopathy
Mikosis endemic diseminata
Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus
Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
Septikemia salmonela non-tifosa
Tuberkulosis ekstrapulmoner
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Ensefalopati HIV
A. TRANSMISI HIV DARI IBU KE ANAK
Bukan saja pemuda pada usia produktif ataupun perkembangan jiwa menuju tahap
pendewasaan diri, rentan sekali menjadi sasaran penyebaran virus HIV/AIDS. Tetapi usia
anak-anak pun tak kalah rentannya. Hal itu terbukti dengan meningkat tajamnya penderita
HIV/AIDS di kalangan anak-anak. Kasus HIV pada anak biasanya paling sering
ditemukan akibat transmisi dari ibu yang sudah memiliki HIV ke anaknya Kemungkinan
besar perpindahan virus ini terjadi selama proses kehamilan dan juga persalinan maupun
menyusui.
Transmisi HIV dari ibu ke anak tersebut timbul mendekati 25-30% dari bayi yang
lahir dari ibu yang tidak mendapat pengobatan anti virus selama kehamilan, sedangkan
waktu terjadinya infeksi vertikal dari HIV belum dapat ditentukan dengan baik. Transmisi
intra uterin telah ditunjukkan secara langsung dengan deteksi virus pada jaringan abortus
fetal. Kebanyakan episode dari infeksi kongenital HIV timbul selama periode
intrapartum, mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu yang
terinfeksi dan sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi darah ibu-anak
muncul selama kontraksi uterus. Sedangkan penularah postnatal adalah melalui air susu
ibu.
1. Transmisi selama kehamilan
Infeksi transplasental telah dilaporkan dan tampaknya menjadi jalan utama
transmisi namun mekanisme yang pasti tetap belum diketahui. HIV telah secara
langsung diisolasi dari plasenta, cairan amnion dan produk awal konsepsi. Pasase
transplasenta HIV muncul pada 30% kehamilan yang dipengaruhi, dipertinggi oleh
jumlah limfosit T helper (kurang dari 400/mm3) atau kesakitan maternal yang lanjut.
Penentuan kejadian infeksi vertikal dikomplikasi oleh sulitnya membuat diagnosis
neonatal karena antobodi IgG maternal terhadap HIV secara pasif melewati plasenta.
Semua bayi lahir dengan ibu HIV antibodi positif akan memiliki antibodi positif saat
lahir. Antibodi maternal dapat tetap terdeteksi pada sirkulasi bayi hingga 15 sampai
18 bulan.
Sampai saat ini prediksi transmisi transplasenta pada kasus-kasus individual
belum memungkinkan. Banyak faktor yang mempengaruhi transmisi. Termasuk
tingkat penyakit lanjut, perkembangan menjadi AIDS selama kehamilan, infeksi
aktif, hasil kultur positif, dan penurunan jumlah CD4+. Faktor-faktor lain yang
penting meningkatkan risiko transmisi maternal ke fetus termasuk jumlah virus yang
tinggi, virus yang bereplikasi dengan cepat dan kondisi yang dapat mengganggu
integritas plasenta seperti penyakit menular seksual yang lain dan korioamnionitis.
Walau banyak faktor terus dipelajari sebagai penentu penting pada transmisi vertikal
HIV prediktor terbaik untuk risiko transmisi perinatal diantara wanita hamil dan
keturunannya yang diobati dengan ZDV adalah jumlah virus.
2. Transmisi selama persalinan
Kebanyakan kejadian dari infeksi kongenital HIV timbul selama periode
intrapartum, mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu yang
terinfeksi dan sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi darah ibu-anak
muncul selama kontraksi uterus. Transmisi intrapartum virus mendukung kenyataan
bahwa 50-70% anak terinfeksi memiliki tes virologi negatif pada saat lahir, menjadi
positif pada saat usia 3 bulan. Ditunjukkan bahwa anak yang lahir pertama dari
kembar dua berada pada risiko lebih tinggi mengalami infeksi dibanding yang lahir
kedua, mungkin karena lebih lamanya paparan terhadap sekresi mukosa
servikovaginal. Peningkatan risiko transmisi telah digambarkan selama persalinan
yang memanjang, pecah ketuban yang lama, perdarahan plasenta dan adanya cairan
amnion yang mengandung darah.
3. Transmisi setelah melahirakan (Air Susu Ibu)
HIV ditemukan pada air susu ibu dan menyusui telah dilaporkan sebagai jalan
infeksi pada perinatal lanjut. Infeksi HIV dari ibu ke bayi juga dapat timbul melalui
minum air susu ibu yang terkontaminasi. Transmisi HIV selama menyususi dapat
sebanyak sepertiga sampai duapertiga dari semua transmisi HIV dan tambahan risiko
dari menyusui untuk transmisi HIV telah ditentukan bervariasi antara 14-26%.
Banyak faktor mungkin mempengaruhi transmisi virus melalui menyusui.
Imaturitas traktus gastrointestinal bayi baru lahir dapat memungkinkan penetrasi
mukosa intestinal oleh virus. Tapi transmisi juga dapat muncul pada bayi yang
memulai susu ibu jauh sesudah periode perinatal. Pengenalan dini pada makanan lain
dapat juga memegang peranan dengan merusak intestinal.
B. PENCEGAHAN TRANSMISI HIV DARI IBU KE ANAK
Infeksi HIV dengan perkembangan lanjutnya AIDS adalah salah satu masalah
penting dari perhatian kesehatan masyarakat abad 20. Tanpa pengetahuan pengobatan
terhadap penyakit yang mematikan ini, bayi yang terpapar akan mengalami hidup yang
singkat dan sulit. Untuk alasan ini penatalaksanaan yang agresif telah dilakukan dengan
maksud untuk mengurangi kemungkinan transmisi HIV dari ibu ke anak.
Pencegahan transmisi vertikal infeksi HIV dilakukan Melalui manajemen sebagai
berikut :
a. Manajemen antepartum
Evaluasi antepartum pada pasien HIV positif harus meliputi pengamatan klinis
dan laboratorium untuk disfungsi imun, perkembangan penyakit dan infeksi
oportunistik. Studi fungsi imun harus meliputi penghitungan lengkap sel darah,
jumlah total sel T, sel CD4+(CD8+) tiap trimester.
Pengamatan secara klinis dan laboratorium ini dapat dilakukan melalui
pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif. Pelaksanaan Antenatal care
yang berkesinambungan dan terjadwal.
ANTENATAL CARE (ANC), meliputi :
a) Kunjungan pertama: Anamnesis lengkap, pemeriksaan, suplemen folat,
deworming dan VCCT
b) Kunjungan kedua : monitoring kemajuan kehamilan, konseling mengenai
PPIA dan pilihan menyusui, dosis pertama TPI, tetanus toxoid, suplemen
besi/folic .
c) Kunjungan ketiga : monitoring kemajuan kehamilan, tekanan darah, Hb
dan analisa urine, dosis kedua TPI, tetanus toxoid, supplemen besi/folic.
Dukungan konseling
d) Kunjungan keempat : sama seperti diatas. Pendaftaran program PPIA , Beri
obat antiretroviral
INTERVENSI FARMASI :
Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk
HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV.
Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV
biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orang yang
mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu
kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai
terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini
dapat mengunakan:
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan
pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari
viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim
viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan
materi turunan kedalam sel–sel. Obat obatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan
dilepaskan.
Seorang wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya
selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari
intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap
HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk
mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:
1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28
minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan
angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan
terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek
dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki
pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC).
2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan
satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis
tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya
digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan
tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
Tabel I. Terapi Retroviral Oral
b. Manajemen intrapartum
Hampir semua AIDS pediatrik dihasilkan dari transmisi intrapartum. HIV telah
ditemukan pada sekret serviks dan vagina pada jalan persalinan. Meminimalkan
kontak langsung fetal-maternal dengan menunda pecah selaput ketuban, dan tindakan
invasif dapat mengurangi setidaknya secara teori risiko infeksi intrapartum.
Salah satu strategi adalah pembersihan jalan lahir dengan agen pembunuh
virus. Pendekatan ini menarik karena lebih murah, risiko rendah, dan mudah
dilakukan. Chlorhexidine telah terbukti digunakan melawan penyakit infeksius
lainnya seperti grup β streptokokus dan secara in vitro mempunyai aktifitas melawan
HIV.
Intervensi obstetrik
Seksio Sesaria.
Langkah pertama kearah perkembangan intervensi obstetrik untuk pencegahan
transmisi HIV dari ibu ke anak adalah demonstrasi bahwa transmisi muncul selama
Antepartum Intrapartum Post partum
Untuk Ibu
neonatal
AZT 300mgs p.o
B.D setelah
kehamilan 35
mgg
AZT 300mgs
p.o tiap 3 jam
sampai
melahirkan
AZT 300mgs p.o
B.D selama 7
hari
4mgs/kg p.o
B.D selama 7
hari
Tidak ada NVP 200 mgs
p.o saat mulai
persalinan
Tidak ada 2mgs/kg p.o 48-
72 jam
periode intrapartum. HIV perinatal muncul selama atau dekat pada periode
intrapartum. Beberapa analisa menunjukkan peningkatan yang kuat pada kejadian
transmisi setelah ketuban pecah lebih dari empat jam. Persalinan operatif telah
diyakini sebagai strategi yang potensial untuk pencegahan transmisi intrapartum.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa wanita yang secara optimal diobati
dengan antiretrovirus, seksio sesaria dapat memiliki efek yang penting dalam
mengurangi kejadian transmisi HIV dari ibu ke anak, juga mengindikasikan bahwa
dibandingkan cara persalinan lainnya seksio sesaria yang dilakukan sebelum
persalinan dan sebelum pecah ketuban (seksio sesaria elektif) secara bermakna
mengurangi kejadian transmisi HIV perinatal. Wanita terinfeksi HIV harus
disarankan seksio sesaria terjadwal untuk mengurangi kejadian transmisi jauh dari
yang dapat dicapai hanya dengan terapi ZDV saja.
c. Manajemen postpartum
Banyak faktor yang mempengaruhi transmisi virus melalui menyusui. Virus
HIV bisa menyusup lewat ASI kemudian menulari si bayi. Kemungkinannya cukup
besar, sekitar 35 persen. Imaturitas traktus gastrointestinal bayi baru lahir dapat
memungkinkan penetrasi mukosa intestinal oleh virus. Tapi transmisi juga dapat
muncul pada bayi yang memulai susu ibu jauh sesudah periode perinatal. Pengenalan
dini pada makanan lain dapat juga memegang peranan dengan merusak intestinal.
Tapi kini ibu dengan HIV/AIDS boleh memberikan ASI ke bayinya. Para ibu
tak perlu takut bayinya tertular HIV/AIDS lagi. Bulan November 2009 lalu, badan
kesehatan dunia WHO pun merekomendasikan bahwa ibu pengidap HIV/AIDS bisa
memberikan ASI eksklusif. Penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan jika
perbandingan antara risiko si bayi terkena HIV dan meninggal karena tidak diberi
ASI ternyata sama besar. Sebab, bayi akan rentan terkena berbagai penyakit infeksi
yang membahayakan nyawa jika tidak diberi ASI. Yang perlu diingat, pemberian
ASI bisa dilakukan asal si ibu sudah mendapat terapi antiretroviral (ARV) selama
kehamilan. Kalau perlu, si bayi juga mesti mendapat terapi ARV begitu dilahirkan
untuk memperkecil kemungkinan tertular virus dari ASI. Bayi pun tidak boleh
mendapat makanan tambahan selama masa menyusui. Sebab makanan tambahan bisa
membuat usus bayi terluka. Apabila sampai usus terluka, maka risiko bayi tertular
HIV sangat besar. Jika si ibu mau memberi makanan tambahan, maka pemberian ASI
harus dihentikan.