BAB I

23
BAB I PENDAHULUAN Jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak- anak mengalami infeksi perinatal dari ibunya. Laporan CDC (Central for Disease Control) Amerika memaparkan bahwa seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0% - 1,7%, pada saat persalinan 0,4% - 2,3% dan 9,4 – 29,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi HIV masih merupakan tanda Tanya. Transmisi vertical virus AIDS dari ibu kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui, kapan transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 – 40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan atau melalui ASI. Walaupun demikian WHO menganjurkan agar ibu dengan HIV (+) tetap menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang lebih besar dibandingkan dengan risiko penularan HIV. 1 Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang relatif baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun makin meningkat secara relatif cepat disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukanlah

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

Jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia

reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi perinatal dari ibunya.

Laporan CDC (Central for Disease Control) Amerika memaparkan bahwa seroprevalensi HIV

pada ibu prenatal adalah 0,0% - 1,7%, pada saat persalinan 0,4% - 2,3% dan 9,4 – 29,6% pada

ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena. Berbagai penelitian menunjukkan

bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Sebaliknya,

risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi HIV masih merupakan tanda Tanya.

Transmisi vertical virus AIDS dari ibu kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum

jelas diketahui, kapan transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di Amerika Serikat dan

Eropa menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20 – 40%. Transmisi

dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan atau melalui ASI. Walaupun

demikian WHO menganjurkan agar ibu dengan HIV (+) tetap menyusui bayinya mengingat

manfaat ASI yang lebih besar dibandingkan dengan risiko penularan HIV.1

Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang relatif baru,

terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1982 sebagai

suatu sindrom defisiensi imun makin meningkat secara relatif cepat disertai angka kematian yang

mencemaskan, maka dilakukanlah pengamatan dan penelitian yang intensif sehingga akhirnya

penyebab defisiensi imun ini ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang

kemudian dikenal dengan nama human immunodeficiency virus tipe-1 (HIV-1), pada tahun 1985.

Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini dapat menimbulkan rentangan

gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala hingga gejala yang sangat berat dan progresif, dan

umumnya berakhir dengan kematian. Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun

oleh virus ini pada orang dewasa secara cepat di seluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak

mendapat perhatian dan penanganan yang memadai, dalam waktu dekat diperkirakan jumlah

kasus defisiensi imun pada anak juga akan meningkat.2

Secara keseluruhan, infeksi pada wanita meningkat, dan proporsi wanita dan gadis remaja

yang terinfeksi meningkat tiga kali lipat dari 7 menjadi 23 persen dari tahun 1985 sampai 1998.

Sejak saat itu, prevalensi penyakit yang mematikan ini meningkat di seluruh dunia hampir secara

Page 2: BAB I

geometris. Di Amerika Serikat sampai tahun 1998, Fauci (1999) menyebut sekitar 650.000

sampai 900.000 orang terinfeksi dan hampir setengah juta meninggal. Pada tahun 1994, kematian

akibat infeksi HIV menjadi penyebab utama kematian pada orang berusia 25 sampai 44 tahun.

Seperti diperkirakan, infeksi perinatal juga meningkat. Sampai tahun 1993, Centers for Disease

Control and Prevention memperkirakan bahwa di Amerika Serikat 15.000 anak terinfeksi HIV

lahir dari wanita positif HIV.3

Page 3: BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik

dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi

kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus.2Kausa sindrom imunodefisiensi ini

adalah retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan HIV-2.3

2.2. Etiologi

Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus.

Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberi dari kode A

sampai J. Dan subtype yang paling ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.4

2.3. Cara Penularan

Kita masih belum mengetahui secara persis bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi. Namun,

kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui

oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut:12

Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang paling

mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah) ibunya. Oleh karena itu,

salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak dapat terdeteksi – seperti

Page 4: BAB I

juga ART untuk siapa pun terinfeksi HIV. Viral load penting pada waktu melahirkan. Seperti

ditunjukkan pada gambar, penularan dapat terjadi dalam kandungan. Hal ini dapat disebabkan

oleh kerusakan pada plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan

tersebut dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat

disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB.12

Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan

cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu antara saat pecah ketuban

dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk

membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko.

Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan

HIV melalui menyusui.

Faktor risiko lain termasuk kelahiran premature (bayi lahir terlalu dini) dan kekurangan

perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko menunjukkan satu hal:

yang terpenting adalah mengawasi kesehatan ibu.

Page 5: BAB I

Beberapa pokok kunci:

Status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya

Status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya

Status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu

2.4. Patofisiologi

Untuk dapat terinfeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul CD4.

Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap

molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul

CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai

dengan penempelan virus pada limfosit-T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari

membran sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel

limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi

seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase H,

RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerisasi

menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polimerase. DNA yang terbentuk ini kemudian

pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu

dengan bantuan enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal

dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas

dan deferensiasi sel pejamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi

yang dapat memicu dan mamacu terjadinya replikasi dengan kecepatan tinggi.2

Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus, yaitu

pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih belum jelas, walaupun

umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja

melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak

semua sitokin dapat memacu replikasi virus oleh karena sebagian sitokin malah dapat

menghambat replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta

mengatur respons imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis factor α dan β,

interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan macrophage colony-

stimulating factor. Yang bersifat menghambat adalah interleukin-4, transforming growth factor

β, interferon α dan β.2

Page 6: BAB I

Hal lain yang dapat memicu replikasi HIV adalah adanya ko-faktor yang terdiri dari

infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus hepatitis B, virus

herpes simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh

kuman seperti mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja lokal di dalam

jaringan tanpa masuk ke dalam sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus

meningkat untuk dapat menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam

jaringan. Oleh karena itu, pada keadaan adanya gangguan imunologik-pun, di dalam jaringan

(terutama di dalam kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus.2

Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan organ limfoid dapat

dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau

melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Di sini terjadi

replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain

(multipel) yang dapat menimbulkan limfadenopati subklinis.2

Sementara itu, sel limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum germinativum jaringan

limfoid juga memberikan respon imun yang spesifik terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan

limfadenopati yang nyata akibat hiperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai oleh

meningkatnya sel dendrit folikular di dalam sentrum germinativum dan sel limfosit T-CD4.

Akumulasi sel limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat

proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi limfosit dari luar. Migrasi sel T-CD4 dari

luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang

merupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sel limfosit-B

menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel

T-CD4.2

Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan komplemen

terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik folikular ini, pada respons

imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum

germinativum dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang

akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi. Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4

dapat tinggal laten untuk waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali

akibat berbagai stimulasi. Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan

partikel HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat

Page 7: BAB I

diamati adalah dengan progresivitas penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit folikular sehingga

hilanglah kemampuan organ limfoid untuk menjerat partikel HIV yang berakibat meningkatnya

HIV di dalam sirkulasi. Hal ini sudah tentu meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai

organ tubuh.2

Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa infeksi HIV pada sel limfosit T-CD4 tidak saja

berakhir dengan replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan fungsi sel T-CD4 dan sitolisis,

hingga populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi (perubahan fungsi dan penurunan jumlah)

sel limfosit T-CD4 ini diduga berlangsung sebagai yang tertera sebagai berikut:2

Pengaruh sitopatik langsung HIV (single-cell killing)

Pembentukan sinsitium

Respon imun spesifik

Limfosit-T sitolitik yang spesifik untuk HIV

Sitotoksisitas selular akibat adanya antibodi

Sel killer alami

Apoptosis (kematian yang terprogram)

Mekanisme autoimun

Anergi yang disebabkan oleh pengiriman isyarat yang tidak sempurna yang diakibatkan

oleh interaksi molekul gp 120-CD4

Gangguan fungsi (perturbation) subkelompok sel-T akibat adanya suatu super antigen

2.5. Klasifikasi

HIV merupakan virus RNA, termasuk famili retroviridae dan genus lentivirus. HIV dibagi

menjadi dua tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2(virologi). HIV-1 dibagi lagi menjadi 3 grup, dan 10

subtipe (clade). (Gambar 1) Sebanyak 90% dari infeksi HIV yang terjadi di dunia ini berasal dari

HIV-1 Clade B.5

Page 8: BAB I

HIV-1 berdiameter kira-kira 100-150 nm, terdiri dari membrane lipid, protein envelope

gp-120, protein transmembran gp-41, protein matriks (p17), kapsid (p24) dan nukleokapsid (p7).

(Gb.2) Di dalam kapsid terdapat dua kopi genom RNA rantai tunggal dan enzim-enzim yang

diperlukan saat virus bereplikasi dalam sel pejamu (reverse transcriptase, integrase, dan

protease). RNA rantai tunggal HIV berisi gen yang mengkode rangkaian protein structural (gag,

pol, dan env) dan protein non struktural atau dikenal sebagai regulator [tat, rev, nef, vpr, vpu

(atau vpx di HIV-2) dan vif].5

Klasifikasi Infeksi HIV/AIDS

Adapun klasifikasi HIV/AIDS berdasarkan stadium WHO (2003) ialah :6

1) Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata

2) Stadium 2

Berat badan turun < 10 %

Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur, kuku,

ulkus oral rectum, cheilitis angularis)

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Infeksi saluran nafas atas rekuren

3) Stadium 3

Berat badan turun > 10 %

Diare yang tidak diketahui penyebab, > 1 bulan

Demam berkepanjangan (intermitten atau konstan), > 1 bulan

Kandidiasis oral

Page 9: BAB I

Oral hairy leucoplakia

Tuberculosis paru

Infeksi bakteri baru (pneumonia, piomiositis)

4) Stadium 4

HIV wasting syndrome

Pneumonia Pneumocystis carinii

Toksoplama serebral

Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan

Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening (misalnya

retinitis CMV)

Infeksi herpes simpleks, mukokutan (> 1 bulan) atau viseral

Progressive multifocal leucoencephalopathy

Mikosis endemic diseminata

Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus

Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru

Septikemia salmonela non-tifosa

Tuberkulosis ekstrapulmoner

Limfoma

Sarkoma Kaposi

Ensefalopati HIV

A. TRANSMISI HIV DARI IBU KE ANAK

Bukan saja pemuda pada usia produktif ataupun perkembangan jiwa menuju tahap

pendewasaan diri, rentan sekali menjadi sasaran penyebaran virus HIV/AIDS. Tetapi usia

anak-anak pun tak kalah rentannya. Hal itu terbukti dengan meningkat tajamnya penderita

HIV/AIDS di kalangan anak-anak. Kasus HIV pada anak biasanya paling sering

ditemukan akibat transmisi dari ibu yang sudah memiliki HIV ke anaknya Kemungkinan

besar perpindahan virus ini terjadi selama proses kehamilan dan juga persalinan maupun

menyusui.

Transmisi HIV dari ibu ke anak tersebut timbul mendekati 25-30% dari bayi yang

lahir dari ibu yang tidak mendapat pengobatan anti virus selama kehamilan, sedangkan

waktu terjadinya infeksi vertikal dari HIV belum dapat ditentukan dengan baik. Transmisi

Page 10: BAB I

intra uterin telah ditunjukkan secara langsung dengan deteksi virus pada jaringan abortus

fetal. Kebanyakan episode dari infeksi kongenital HIV timbul selama periode

intrapartum, mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu yang

terinfeksi dan sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi darah ibu-anak

muncul selama kontraksi uterus. Sedangkan penularah postnatal adalah melalui air susu

ibu.

1. Transmisi selama kehamilan

Infeksi transplasental telah dilaporkan dan tampaknya menjadi jalan utama

transmisi namun mekanisme yang pasti tetap belum diketahui. HIV telah secara

langsung diisolasi dari plasenta, cairan amnion dan produk awal konsepsi. Pasase

transplasenta HIV muncul pada 30% kehamilan yang dipengaruhi, dipertinggi oleh

jumlah limfosit T helper (kurang dari 400/mm3) atau kesakitan maternal yang lanjut.

Penentuan kejadian infeksi vertikal dikomplikasi oleh sulitnya membuat diagnosis

neonatal karena antobodi IgG maternal terhadap HIV secara pasif melewati plasenta.

Semua bayi lahir dengan ibu HIV antibodi positif akan memiliki antibodi positif saat

lahir. Antibodi maternal dapat tetap terdeteksi pada sirkulasi bayi hingga 15 sampai

18 bulan.

Sampai saat ini prediksi transmisi transplasenta pada kasus-kasus individual

belum memungkinkan. Banyak faktor yang mempengaruhi transmisi. Termasuk

tingkat penyakit lanjut, perkembangan menjadi AIDS selama kehamilan, infeksi

aktif, hasil kultur positif, dan penurunan jumlah CD4+. Faktor-faktor lain yang

penting meningkatkan risiko transmisi maternal ke fetus termasuk jumlah virus yang

tinggi, virus yang bereplikasi dengan cepat dan kondisi yang dapat mengganggu

integritas plasenta seperti penyakit menular seksual yang lain dan korioamnionitis.

Walau banyak faktor terus dipelajari sebagai penentu penting pada transmisi vertikal

HIV prediktor terbaik untuk risiko transmisi perinatal diantara wanita hamil dan

keturunannya yang diobati dengan ZDV adalah jumlah virus.

2. Transmisi selama persalinan

Kebanyakan kejadian dari infeksi kongenital HIV timbul selama periode

intrapartum, mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu yang

Page 11: BAB I

terinfeksi dan sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi darah ibu-anak

muncul selama kontraksi uterus. Transmisi intrapartum virus mendukung kenyataan

bahwa 50-70% anak terinfeksi memiliki tes virologi negatif pada saat lahir, menjadi

positif pada saat usia 3 bulan. Ditunjukkan bahwa anak yang lahir pertama dari

kembar dua berada pada risiko lebih tinggi mengalami infeksi dibanding yang lahir

kedua, mungkin karena lebih lamanya paparan terhadap sekresi mukosa

servikovaginal. Peningkatan risiko transmisi telah digambarkan selama persalinan

yang memanjang, pecah ketuban yang lama, perdarahan plasenta dan adanya cairan

amnion yang mengandung darah.

3. Transmisi setelah melahirakan (Air Susu Ibu)

HIV ditemukan pada air susu ibu dan menyusui telah dilaporkan sebagai jalan

infeksi pada perinatal lanjut. Infeksi HIV dari ibu ke bayi juga dapat timbul melalui

minum air susu ibu yang terkontaminasi. Transmisi HIV selama menyususi dapat

sebanyak sepertiga sampai duapertiga dari semua transmisi HIV dan tambahan risiko

dari menyusui untuk transmisi HIV telah ditentukan bervariasi antara 14-26%.

Banyak faktor mungkin mempengaruhi transmisi virus melalui menyusui.

Imaturitas traktus gastrointestinal bayi baru lahir dapat memungkinkan penetrasi

mukosa intestinal oleh virus. Tapi transmisi juga dapat muncul pada bayi yang

memulai susu ibu jauh sesudah periode perinatal. Pengenalan dini pada makanan lain

dapat juga memegang peranan dengan merusak intestinal.

B. PENCEGAHAN TRANSMISI HIV DARI IBU KE ANAK

Infeksi HIV dengan perkembangan lanjutnya AIDS adalah salah satu masalah

penting dari perhatian kesehatan masyarakat abad 20. Tanpa pengetahuan pengobatan

terhadap penyakit yang mematikan ini, bayi yang terpapar akan mengalami hidup yang

singkat dan sulit. Untuk alasan ini penatalaksanaan yang agresif telah dilakukan dengan

maksud untuk mengurangi kemungkinan transmisi HIV dari ibu ke anak.

Pencegahan transmisi vertikal infeksi HIV dilakukan Melalui manajemen sebagai

berikut :

a. Manajemen antepartum

Page 12: BAB I

Evaluasi antepartum pada pasien HIV positif harus meliputi pengamatan klinis

dan laboratorium untuk disfungsi imun, perkembangan penyakit dan infeksi

oportunistik. Studi fungsi imun harus meliputi penghitungan lengkap sel darah,

jumlah total sel T, sel CD4+(CD8+) tiap trimester.

Pengamatan secara klinis dan laboratorium ini dapat dilakukan melalui

pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif. Pelaksanaan Antenatal care

yang berkesinambungan dan terjadwal.

ANTENATAL CARE (ANC), meliputi :

a) Kunjungan pertama: Anamnesis lengkap, pemeriksaan, suplemen folat,

deworming dan VCCT

b) Kunjungan kedua : monitoring kemajuan kehamilan, konseling mengenai

PPIA dan pilihan menyusui, dosis pertama TPI, tetanus toxoid, suplemen

besi/folic .

c) Kunjungan ketiga : monitoring kemajuan kehamilan, tekanan darah, Hb

dan analisa urine, dosis kedua TPI, tetanus toxoid, supplemen besi/folic.

Dukungan konseling

d) Kunjungan keempat : sama seperti diatas. Pendaftaran program PPIA , Beri

obat antiretroviral

INTERVENSI FARMASI :

Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk

HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV.

Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV

biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orang yang

mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu

kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai

terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini

dapat mengunakan:

1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan

pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari

viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).

Page 13: BAB I

2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat

reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim

viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan

materi turunan kedalam sel–sel. Obat obatan NNRTI termasuk: Nevirapine,

delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).

3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya

sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan

dilepaskan.

Seorang wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya

selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari

intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap

HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk

mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:

1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28

minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan

angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan

terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek

dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki

pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC).

2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan

satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis

tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya

digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan

tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.

Tabel I. Terapi Retroviral Oral

Page 14: BAB I

b. Manajemen intrapartum

Hampir semua AIDS pediatrik dihasilkan dari transmisi intrapartum. HIV telah

ditemukan pada sekret serviks dan vagina pada jalan persalinan. Meminimalkan

kontak langsung fetal-maternal dengan menunda pecah selaput ketuban, dan tindakan

invasif dapat mengurangi setidaknya secara teori risiko infeksi intrapartum.

Salah satu strategi adalah pembersihan jalan lahir dengan agen pembunuh

virus. Pendekatan ini menarik karena lebih murah, risiko rendah, dan mudah

dilakukan. Chlorhexidine telah terbukti digunakan melawan penyakit infeksius

lainnya seperti grup β streptokokus dan secara in vitro mempunyai aktifitas melawan

HIV.

Intervensi obstetrik

Seksio Sesaria.

Langkah pertama kearah perkembangan intervensi obstetrik untuk pencegahan

transmisi HIV dari ibu ke anak adalah demonstrasi bahwa transmisi muncul selama

Antepartum Intrapartum Post partum

Untuk Ibu

neonatal

AZT 300mgs p.o

B.D setelah

kehamilan 35

mgg

AZT 300mgs

p.o tiap 3 jam

sampai

melahirkan

AZT 300mgs p.o

B.D selama 7

hari

4mgs/kg p.o

B.D selama 7

hari

Tidak ada NVP 200 mgs

p.o saat mulai

persalinan

Tidak ada 2mgs/kg p.o 48-

72 jam

Page 15: BAB I

periode intrapartum. HIV perinatal muncul selama atau dekat pada periode

intrapartum. Beberapa analisa menunjukkan peningkatan yang kuat pada kejadian

transmisi setelah ketuban pecah lebih dari empat jam. Persalinan operatif telah

diyakini sebagai strategi yang potensial untuk pencegahan transmisi intrapartum.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa wanita yang secara optimal diobati

dengan antiretrovirus, seksio sesaria dapat memiliki efek yang penting dalam

mengurangi kejadian transmisi HIV dari ibu ke anak, juga mengindikasikan bahwa

dibandingkan cara persalinan lainnya seksio sesaria yang dilakukan sebelum

persalinan dan sebelum pecah ketuban (seksio sesaria elektif) secara bermakna

mengurangi kejadian transmisi HIV perinatal. Wanita terinfeksi HIV harus

disarankan seksio sesaria terjadwal untuk mengurangi kejadian transmisi jauh dari

yang dapat dicapai hanya dengan terapi ZDV saja.

c. Manajemen postpartum

Banyak faktor yang mempengaruhi transmisi virus melalui menyusui. Virus

HIV bisa menyusup lewat ASI kemudian menulari si bayi. Kemungkinannya cukup

besar, sekitar 35 persen. Imaturitas traktus gastrointestinal bayi baru lahir dapat

memungkinkan penetrasi mukosa intestinal oleh virus. Tapi transmisi juga dapat

muncul pada bayi yang memulai susu ibu jauh sesudah periode perinatal. Pengenalan

dini pada makanan lain dapat juga memegang peranan dengan merusak intestinal.

Tapi kini ibu dengan HIV/AIDS boleh memberikan ASI ke bayinya. Para ibu

tak perlu takut bayinya tertular HIV/AIDS lagi. Bulan November 2009 lalu, badan

kesehatan dunia WHO pun merekomendasikan bahwa ibu pengidap HIV/AIDS bisa

memberikan ASI eksklusif. Penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan jika

perbandingan antara risiko si bayi terkena HIV dan meninggal karena tidak diberi

ASI ternyata sama besar. Sebab, bayi akan rentan terkena berbagai penyakit infeksi

yang membahayakan nyawa jika tidak diberi ASI. Yang perlu diingat, pemberian

ASI bisa dilakukan asal si ibu sudah mendapat terapi antiretroviral (ARV) selama

kehamilan. Kalau perlu, si bayi juga mesti mendapat terapi ARV begitu dilahirkan

untuk memperkecil kemungkinan tertular virus dari ASI. Bayi pun tidak boleh

mendapat makanan tambahan selama masa menyusui. Sebab makanan tambahan bisa

Page 16: BAB I

membuat usus bayi terluka. Apabila sampai usus terluka, maka risiko bayi tertular

HIV sangat besar. Jika si ibu mau memberi makanan tambahan, maka pemberian ASI

harus dihentikan.